Menanti askes yang berkeadilan sosial

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1. MENUJU ASKES YANG LEBIH BERKEADILAN SOSIALMemperingati Hari Asuransi (Insurance Day) yang kemarin jatuh pada tanggal 18Oktober, ada baiknya kita mencermati kembali perjalanan panjang asuransi khususnyaasuransi kesehatan (askes) di Indonesia. Asuransi menurut asal kata adalah in-sureyang berarti memastikan, jika dilihat dari mekanisme gotong royong antar pesertamaka dapat diartikan sebagai risk sharing serta bila dilihat dari mekanismepengumpulan dana maka bisa juga disebut risk pooling. Pada dasarnya asuransi adalahbagian dari sistem manajemen risiko, selama ini kita jarang bisa membedakan arti istilahdari risiko dan resiko. Resiko cenderung spekulatif-masih ada peluang untung atau rugi,sedangkan risiko (pure risk) adalah bukan spekulatif-tidak ada peluang untuk untung daninilah yang jadi obyek utama dari asuransi.Menilik perkembangan terakhir dari industri asuransi kesehatan di Indonesia dapatdilihat dari salah satu hasil survey di 8 negara Asia tahun 2007, ternyata kesadaranmasyarakat Indonesia untuk berasuransi masih sangat rendah, yakni hanya 43% yangsudah di-cover asuransi. Sebagian besar yang telah di-cover memang pada umumnya ikutjenis asuransi kesehatan yang dibeli oleh perusahaan untuk karyawannya, namun apabiladilihat angka masyarakat yang secara sadar mau membeli sendiri produk askes hanyamencapai 5% saja (Kompas, 25 Oktober 2007)Pasang SurutSekilas sejarah awal pengembangan asuransi kesehatan di Tanah Air dirintis mulaitahun 1942 namun terbatas asuransi kecelakaan & penyakit akibat kerja pada perusahaan.Jika dibandingkan di Jerman sudah dirintis oleh Otto van Bismark di tahun 1883 dan diAmerika Serikat sejak tahun 1851, maka memang produk askes kita sudah jauhterlambat. Di era tahun 1960-an lalu diluncurkan model managed care dibawah Depkesdengan sistem kapitasi untuk PNS dan keluarga, di tahun 1984 diambil alih oleh PerumHusada Bhakti yang kemudian berdasarkan PP No 61/1992 berubah menjadi PT.(Persero) Askes sampai sekarang.Askes bagi pekerja di Indonesia dikembangkan pemerintah melalui pendirianperusahaan Astek di era tahun 1970-an yang lalu berubah menjadu PT Jamsostek padatahun 1992 dengan empat paket penjaminannya. Hanya saja khusus JaminanPemeliharaan Kesehatan (JPK) malah kemudian diberlakukan kebijakan optional outmelalui PP14/1993, yang berarti perusahaan swasta boleh tidak ikut JPK jika sanggupmemberi JPK yang lebih baik. Hal ini yang disinyalir menyebabkan masih rendahnyapartisipasi dari pekerja/perusahaan swasta dalam JPK yaitu hanya sekitar 1,3 juta pekerjadibandingkan yang ikut Jaminan Kecelakan Kerja yang mencapai 20 juta pekerja di tahun2004.Upaya pemberdayaan masyarakat untuk ikut askes secara mandiri juga dirintispemerintah di era tahun 1970-an lewat program Dana Sehat, awalnya dimulai diKarang Kobar, Banjarnegara dan kemudian direplikasi menjadi ribuan jumlahnya tetapisaat ini hampir tidak ada yang bertahan. Di era tahun 1990-an kemudian Depkesmengeluarkan kebijakan tentang Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPKM) sebagaipenggantinya. Secara khusus JPKM meskipun telah dimasukkan secara tegas dalam UUNo 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan ditindak lanjuti dengan Permenkes RI 527 &571 Th 1993 untuk pendirian Badan Pelaksana (Bapel) JPKM di seluruh Indonesia akantetapi perkembangannya ternyata tetap stagnan kalau tidak mau dikatakan gagal total.

2. Kegagalan JPKM ini dipicu sejak terjadi krisis moneter sekitar tahun 1997 karena misikemandirian membayar iuran oleh masyarakat yang diusung melalui JPKM terkendaladengan daya beli masyarakat yang turun drastisPasca krisis, terjadi perubahan prioritas sasaran yang lebih fokus pada pemberiansubsidi untuk rakyat miskin yang jumlahnya naik. Saat itu muncul kesan kuat pola tambalsulam kebijakan pendanaan dari pemerintah. Awalnya diluncurkan program JaringPengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPSBK) untuk masyarakat miskin (maskin) denganjangka waktu 5 tahun. Kemudian berubah menjadi program Penanggulangan DampakPengurangan Subsidi Energi Bidang Kesehatan (PDPSE-BK) pada tahun 2001-2003sebagai reaksi banyaknya kontroversi dalam pemanfaatan dan pendistribusian danasubsidi sehingga diganti dengan model transfer langsung ke puskemas dan RS. Periode2003 -2004 berganti nama menjadi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Keluarga Miskin(JPK Gakin), dan di tahun 2004 berubah lagi menjadi Program Kompensasi PenguranganSubsidi Bahan Bakar Minyak Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan BakarMinyak (PKPS-BBM). Malah pada tahun 2005 mengalami dua kali perubahan nama,semester pertama yaitu Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) dan disemester kedua tahun 2005 sampai sekarang namanya menjadi Asuransi KesehatanMasyarakat Miskin (Askeskin).Terlalu seringnya perubahan nama yang dilabelkan oleh pemerintah untuk programjaminan kesehatan bagi rakyat miskin nampaknya tidak bisa dilepaskan dari ketidakkonsistenan sumber pengalokasian dana yang tersedia saat itu. Disisi lain jugamengindikasikan terjadinya kebingungan dari pemerintah untuk memilih pola distribusidan pemanfaatan dana apakah secara sentralistik atau didesentralisasikan.Dampak yang kemudian muncul adalah menjalarnya kebingungan dan ketakutanadanya konsekuensi hukum di kalangan petugas kesehatan disebabkan ketidak jelasanaturan main dalam pemanfaatan dana dan pertanggung jawaban adminsitratifkeuangannya. Keadaan ini menyebabkan fungsi pelayanan kepada masyarkat miskin olehpetugas menjadi tersendat, bahkan ironisnya malah sempat terjadi akumulasipenumpukan sisa dana maskin cukup banyak di beberapa daerah.Misi Berat Melalui Tap MPR RI No X/2001 Presiden telah diberi tugas mengembangkan SistemJaminan Sosial Nasional (SJSN) yang ditegaskan saat Sidang Umum MPR tahun 2002yang mengamandemen pasal 32(4) UUD 45 yaitu menugaskan negara mengembangkansistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Konsep universal coverage ini dikuatkandengan lahirnya UU No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).Pencapaian misi untuk menciptakan keadilan sosial melalui SJSN sebenarnya amatmulia, namun sungguh terasa berat mengingat berbagai latar belakang kondisi Indonesiayang kurang mendukung.Pertama, dari sisi demand, penduduk kita cenderung bersifat risk taker terkait denganmasih rendahnya pengetahuan (consumer ignorance) dan kepedulian (awareness) merekaterhadap kesehatan dan ancaman risiko sakit. Kedua, menyangkut daya beli masyarakatrelatif rendah dengan pendapatan perkapita masih dibawah US$ 1000/tahun akanmenyulitkan mereka untuk menyisihkan pendapatannya untuk membeli premi asuransi.Ketiga, dari sisi supply masih sedikit pemain yang terjun dalam industri asuransikesehatan sehingga akan mengurangi alternatif dan aksesibilitas masyarakat terhadapproduk jaminan kesehatan; Keempat, ketidak percayaan masyarakat terhadap 3. ketersediaan dan kualitas dari provider pelayanan kesehatan sehingga masyarakat engganmemilih paket asuransi kesehatan yang mengikat kontrak dengan provider pelayanankesehatan yang kualitasnya tidak memuaskan; Kelima, kelemahan regulasi menyangkutijin dan kepastian hukum dalam industri asuransi yang mampu melindungi baikkepentingan pelaku bisnis maupun konsumen asuransi. Hal ini antara lain terlihat daribelum jelasnya peraturan pelaksana meski UU SJSN sudah ditetapkan sejak 3 tahun yanglalu. Keenam, vested interested untuk mempertahankan status quo antar para pemainutama dari industri asuransi sosial/kesehatan nasional yang ditunjuk sebagai Bapel yaituPT. Askes, PT. Jamsostek, PT. Assabri dan PT Taspen. Ditambah lagi sempat munculontran-ontran antara Depkes dengan beberapa Bapel di daerah yang hak dan kewajibankonstitusinya merasa dirugikan dengan adanya UU SJSN ini. Meski sudah menghasilkansebuah Keputusan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Agustus 2005 akan tetapi padaprakteknya masih muncul multitafsir diantara pemangku kepentingan di pusat maupun didaerah.Pada prinsipnya bagaimanapun skenario yang akan dikembangkan dalam sistemasuransi kesehatan nasional kedepan harus mampu mengantisipasi kondisi tersebut.Untuk saat ini mungkin yang paling krusial adalah menyiapkan kombinasi antara hardstrategy meliputi pembenahan paket regulasi dan seluruh sistem pelayanannya dan softstrategy berupa pemberdayaan stakeholders baik dari sisi decision maker, bapel, providerdan yang paling berat adalah di level grass root-masyarakat. Meskipun tidak adajaminan proses kedepan akan lebih mudah namun paling tidak masih tersisa optimismebahwa suatu saat Indonesia akan benar-benar memiliki sistem asuransi kesehatan yanglebih berkeadilan sosial.(Sutopo Patria Jati, Dosen di FKM UNDIP)