Upload
aji-imaduddin
View
103
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
mekanisme ACTH
Citation preview
“Mekanisme Regulasi ACTH dan Kaitannya Dengan Manifestasi Klinis Cushing Syndrome”
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Cushing syndrome adalah kumpulan gejala yang disebabkan oleh hiperadrenokortisisme akibat
neoplasma korteks adrenal atau adenohipofisis, atau asupan glukokortikoid yang berlebihan.
Bila terdapat sekresi sekunder hormon adrenokortikoid yang berlebihan akibat adenoma
hipofisis dikenal sebagai Cushing Disease (Dorland, 2002).
Gejala klinis yang timbul pada pasien disertai dengan hasil pemeriksaan fisik serta laboratorium
dapat mengarah ke suatu kesimpulan diagnosis penyakit. Hal ini harus didasarkan pada
mekanisme patogenesis dan patofisiologi penyakit tersebut, sehingga selanjutnya dapat
ditentukan penatalaksanaan yang paling tepat untuk pasien dalam kasus.
Berikut ini adalah permasalahan dalam skenario 3:
Seorang wanita umur 32 tahun, dirawat di ruang rawat inap penyakit dalam rumah sakit Dr
Moewardi Surakarta dengan keluhan sering pusing.
Riwayat penyakit sekarang :
5 bulan yang lalu penderita merasakan bahwa pusing kumat-kumatan, badannya kelihatan
makin membesar dan lemah. 1 bulan sebelum masuk rumah sakit pusingnya bertambah berat
dan badan semakin melemah dan diperiksakan ke dokter dikatakan gejala Cushing’s
syndrome.
Riwayat penyakit dahulu:
Penderita sudah tidak menstruasi sejak 4 bulan (amenorhoe) dan tidak hamil.
Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum lemah, gizi obeis, kesadaran compos mentis. Tekanan darah Hipotensi (90 /
60 mm Hg). Muka moon face, tumbuh rambut banyak di dada, striae di abdomen dan kulit
seluruh badan hiperpigmentasi.
Pemeriksaan penunjang :
Kadar natrium serum 130 mg/dl, kadar gula darah puasa 70 mg/dl. Two-day low-dose
dexamethason test masih menunggu hasil. Penderita telah dilakukan pemeriksaan CT scan
doubel kontras kepala ditemukan tumor di hipofise.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana mekanisme kerja dan regulasi hormon adrenokortikal?
2. Bagaimanakah patogenesis dan patofisiologi Cushing Syndrome?
3. Apakah dasar kriteria diagnosis Cushing Syndrome?
4. Bagaimanakah penatalaksanaan Cushing Syndrome?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui mekanisme kerja dan regulasi hormon adrenokortikal.
2. Mengetahui patogenesis dan patofisiologi Cushing Syndrome.
3. Mengetahui dasar kriteria diagnosis Cushing Syndrome.
4. Mengetahui penatalaksanaan Cushing Syndrome.
D. MANFAAT PENULISAN
Mahasiswa mengetahui dasar teori endokrinologi dan aplikasinya dalam pemecahan kasus
dalam skenario.
F. HIPOTESIS
Pasien dalam kasus memderita Cushing Syndrome akibat konsekuensi berlebihnya sekresi
glukokortikoid yang mempengaruhi sebagian besar proses metabolisme, sehingga laporan ini
akan lebih fokus membahas fisiologi kortisol sebagai glukokortikoid utama.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hormon Adrenokortikal
Kelenjar adrenal terletak di kutub superior kedua ginjal. Setiap kelenjar terdiri dari dua bagian
yang berbeda, yaitu korteks dan medula, dengan korteks sebagai bagian terbesar. Medula
adrenal mensekresikan hormon epinefrin dan norepinefrin yang berkaitan dengan sistem
saraf simpatis, sedangkan korteks adrenal mensekresikan hormon kortikosteroid. Korteks
adrenal mempunyai 3 zona:
1. Zona glomerulosa: sekresi mineralokortikoid-aldosteron. Sekresi aldostern diatur oleh
konsentrasi angiotensin II dan kalium ekstrasel.
2. Zona fasikulata: lapisan tengah dan terlebar, sekresi glukokortikoid-kortisol,
kortikosteron, dan sejumlah kecil androgen dan esterogen adrenal. Sekresi diatur oleh
sumbu hipotalamus-hipofisis oleh hormon adrenokortikotropik (ACTH).
3. Zona retikularis: sekresi androgen adrenal dehidroepiandrosteron (DHEA) dan
androstenedion, dan sejumlah kecil esterogen dan glukokortikoid. Sekresi diatur oleh
ACTH, dan faktor lain seperti hormon perangsang-androgen korteks yang disekresi oleh
hipofisis.
Dari korteks adrenal dikenali lebih dari 30 jenis hormon steroid, namun hanya dua jenis yang
jelas fungsional, yaitu aldosteron sebagai mineralokortikoid utama dan kortisol sebagai
glukokortikoid utama. Aktivitas mineralokortikoid mempengaruhi elektrolit (“mineral”)
cairan ekstrasel, terutama natrium dan kalium. Sedangkan glukokortikoid meningkatkan
glukosa darah, serta efek tambahan pada metabolisme protein dan lemak seperti pada
metabolisme karbohidrat (Guyton and Hall, 2007).
B. Hormon Glukokortikoid
Sedikitnya 95% aktivitas glukokortikoid dari sekresi adrenokortikal merupakan hasil dari sekresi
kortisol, yang dikenal juga sebagai hidrokortisol. Namun, sejumlah kecil aktivitas
glukokortikoid yang cukup penting diatur oleh kortikosteron.
Efek kortisol terhadap metabolisme karbohidrat adalah sebagai berikut: 1) perangsangan
glukoneogenesis dengan cara meningkatkan enzim terkait dan pengangkutan asam amino dari
jaringan ekstrahepatik, terutama dari otot; 2) penurunan pemakaian glukosa oleh sel dengan
menekan proses oksidasi NADH untuk membentuk NAD+; dan 3) peningkatan kadar
glukosa darah dan “Diabetes Adrenal” dengan menurunkan sensitivitas jaringan terhadap
insulin.
Efek kortisol terhadap metabolisme protein adalah sebagai berikut: 1) pengurangan protein sel;
2) kortisol meningkatkan protein hati dan protein plasma; dan 3) peningkatan kadar asam
amino darah, berkurangnya pengangkutan asam amino ke sel-sel ekstrahepatik, dan
peningkatan pengangkutan asam amino ke sel-sel hati. Jadi, mungkin sebagian besar efek
kortisol terhadap metabolisme tubuh terutama berasal dari kemampuan kortisol untuk
memobilisasi asam amino dari jaringan perifer, sementara pada waktu yang sama
meningkatkan enzim-enzim hati yang dibutuhkan untuk menimbulkan efek hepatik.
Efek kortisol terhadap metabolisme lemak adalah sebagai berikut: 1) mobilisasi asam lemak
akibat berkurangnya pengangkutan glukosa ke dalam sel-sel lemak sehingga menyebabkan
asam-asam lemak dilepaskan; dan 2) obesitas akibat kortisol berlebihan karena penumpukan
lemak yang berlebihan di daerah dada dan kepala, sehingga badan bulat dan wajah “moon
face”, disebabkan oleh perangsangan asupan bahan makanan secara berlebihan disertai
pembentukan lemak di beberapa jaringan tubuh yang berlangsung lebih cepat daripada
mobilisasi dan oksidasinya.
Selain efek dan fungsi yang terkait metabolisme, kortisol penting dalam mengatasi stres dan
peradangan karena dapat menekan proses inflamasi bila diberikan dalam kadar tinggi, dengan
mekanisme menstabilkan membran lisosom, menurunkan permeabilitas kapiler, menurunkan
migrasi leukosit ke daerah inflamasi dan fagositosis sel yang rusak, menekan sistem imun
sehingga menekan produksi limfosit, serta menurunkan demam terutama karena kortisol
mengurangi pelepasan interleukin-1 dari sel darah putih. Kortisol juga dapat mengurangi dan
mempercepat proses inflamasi, menghambat respons inflamasi pada reaksi alergi,
mengurangi jumlah eosinofil dan limfosit darah, serta meningkatkan produksi eritrosit,
walaupun mekanismenya yang belum jelas.
Hormon glukokortikoid mempunyai mekanisme kerja seluler sebagai berikut: 1) hormon masuk
ke dalam sel melalui membran sel; 2) hormon berikatan dengan reseptor protein di dalam
sitoplasma; 3) kompleks hormon-reseptor kemudian berinteraksi dengna urutan DNA
pengatur spesifik, yang disebut elemen respons glukokortikoid, untuk membangkitkan atau
menekan transkripsi gen; dan 4) glukokortikoid akan meningkatkan atau menurunkan
transkripsi banyak gen untuk mempengaruhi sintesis mRNA utnuk protein yang
memperantarai berbagai pengaruh fisiologis.
Regulasi kortisol dipengaruhi oleh hormon ACTH yang disekresi oleh hipofisis. ACTH ini
merangsang sekresi kortisol. Sedangkan sekresi ACTH sendiri diatur oleh CRF/CRH
(Corticotropin Releasing Factor/Hormone) dari hipotalamus. ACTH ini mengaktifkan sel
adrenokortikal untuk memproduksi steroid melalui peningkatan siklik adenosin monofosfat
(cAMP). Kortisol ini apabila berlebih mempunyai umpan balik negatif terhadap sekresi
ACTH dan CRF yang masing-masing mengarah pada hipofisis dan hipotalamus agar sekresi
CRF, ACTH, dan kortisol kembali menjadi normal (Guyton and Hall, 2007).
Berlawanan dengan aldosteron, kortisol pada keadaan tertentu dapat menyebabkan retensi Na+
dan meningkatkan ekskresi K+, tetapi efek ini jauh lebih kecil daripada aldosteron. Hal ini
disebabkan karena kortisol dapat menambah kecepatan filtrasi glomeruli; selain itu kortisol
juga dapat meningkatkan sekresi tubuli ginjal (Gunawan et.al, 2007).
C. Adenoma Hipofisis
Tumor hipofisis merupakan 10-15% dari seluruh neoplasma intrakranial. Dari pemeriksaan
histopatologi diketahui bahwa 85-90% tumor hipofisis merupakan tumor functioning yang
terdiri dari prolaktinoma (60%), tumor yang memproduksi GH dan ACTH masing-masing
20% dan 10%, sementara tumor dengan hipersekresi TSH dan gonadotropik sangat jarang.
Sedangkan tumor hipofisis yang non-functioning hanya 10%.
Tumor dapat diklasifikasikan menjadi mikroadenoma dan makroadenoma berdasarkan
ukurannya. Morbiditas akibat mikroadenoma disebabkan oleh sekresi hormon yang berlebih,
sedangkan morbiditas makroadenoma disebabkan oleh efek massa tumor, ketidakseimbangan
hormonal (karena defisiensi hormon karena kompresi sel normal, atau produksi hormon yang
berlebih oleh tumor), dan komorbiditas pasien.
Gangguan pada hipofisis dapat memiliki gambaran klinis yang bervariasi, berupa: 1)
defisiensi satu atau lebih hormon hipofisis; 2) kelebihan hormon; 3) efek massa tumor; dan 4)
ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan CT scan atau MRI (Soedoyo et.al, 2006).
D. Cushing Syndrome
Gejala khusus penyakit Cushing adalah adanya mobilisasi lemak dari bagian bawah
tubuh, wajah membengkak, dan potensi androgenik dapat menimbulkan timbulnya jerawat
dan hirsutisme (penumbuhan bulu wajah yang berlebihan). Gambaran wajah tersebut sering
digambarkan seperti “moon face”. Kira-kira 80% pasien juga mengalami hipertensi ringan
akibat efek mineralokortikoid ringan dari kortisol. Selain itu juga terjadi kenaikan kadar gula
darah, lemahnya otot, dan timbulnya striae. Mungkin pasien juga mengalami osteoporosis
akibat berkurangnya endapan protein pada tulang (Guyton and Hall, 2007).
E. Penatalaksanaan Cushing Syndrome
Pengobatan Cushing syndrome terdiri atas pengangkatan tumor adrenal atau mengurangi
sekresi ACTH bila dimungkinkan. Tumor hipofisis kadang dapat diangkat dengan tindakan
operasi atau dapat dirusak dengan cara radiasi. Obat yang dapat menghambat steroidogenesis
seperti metirapon, ketokonazol, dan aminoglutemid, atau yang menghambat sekresi ACTH
seperti anatagonis serotonin dan inhibitor transaminase-GABA dapat pula dilakukan bila
pembedahan tidak dapat dilakukan (Guyton and Hall, 2007).
BAB III
PEMBAHASAN
Hormon adrenokortikal diatur oleh hipotalamus yang mensekresi CRF, kemudian CRF
merangsang hipofisis mensekresi ACTH. ACTH kemudian merangsang korteks adrenal untuk
mensekresi hormon-hormon adrenokortikal, terutama glukokortikoid berupa kortisol, karena
regulasi aldosteron didasarkan pada kadar angiotensin II dan kalium. Kortisol ini kemudian
apabila berlebih dapat menimbulkan mekanisme umpan balik negatif terhadap hipotalamus dan
hipofisis.
Dari gejala-gejala yang telah dialami pasien, hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat efek yang
berlebih dari kortisol. Selain gejala klinis, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang seperti CT
scan. Sedangkan pemeriksaan dexamethason berfungsi untuk membedakan antara Cushing
Syndrome-ACTH dependent dan ACTH independent.
Berdasarkan hasil CT scan, didapatkan adanya tumor hipofisis. Efek massa tumor pada sella
tursika terhadap struktur sekitarnya inilah yang dapat menyebabkan penderita merasa sering sakit
kepala atau pusing. Tubuh penderita bertambah besar diakibatkan adanya penumpukan lemak
pada dada dan kepala khas gejala klinis Cushing Syndrome, yang disertai wajah “moon face”.
Mobilisasi protein terutama dari otot sebagai bahan glukoneogenesis selanjutnya menjadi
penyebab pasien lemah karena protein yang di“ambil” berasal dari jaringan ekstrahepatik
terutama otot dan jaringan limfoid, sehingga fungsi imunitas juga akan menurun pada keadaan
kortisol sangat berlebih. Sedangkan amenore dan rambut yang tumbuh di dada terjadi akibat efek
androgen adrenal yang berlebih. Preprohormon ACTH dan MSH (Melanocyte Stimulating
Hormone) sama, yaitu POMC (proopiomelanokortin), sehingga apabila sekresi ACTH
meningkat, maka sekresi MSH juga ikut meningkat. ACTH yang mengandung rangkaian MSH
mempunyai efek perangsang melanosit kira-kira 1/30 dari MSH, namun karena sekresi MSH
murni sangat sedikit sedangkan ACTH sangat besar, maka ACTH jauh lebih penting daripada
MSH dalam menentukan jumlah melanin kulit. Karena itulah terjadi keadaan hiperpigmentasi.
Sedangkan hilangnya sintesis protein dalam jaringan seperti kulit, otot, pembuluh darah, dan
tulang menyebabkan ruptur serabut-serabut elastis berupa tanda regang berwarna ungu pada
abdomen yang disebut striae. Pada kasus hiperkortisisme, seharusnya pasien mengalami
hipertensi, akibat sifat retensi Na dari mineralokortikoid, yang walaupun efeknya sedikit tetapi
juga dimiliki oleh kortisol. Efek kortisol terhadap metabolisme karbohidrat berupa peningkatan
glukoneogenesis menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah juga karena kortisol menurunkan
sensitivitas jaringan terhadap insulin.
Penatalaksanaan primer untuk kasus adalah operasi tumor hipofisis. Jika gagal, maka kelenjar
adrenal diangkat. Kedua, dengan obat-obatan seperti ketokonazol yang menghambat sintesis
kortisol, metyrapon, mifepriston, dan aminoglutemid yang menghambat perubahan kolesterol
menjadi ∆-5-pregnenolon dalam sintesis hormon.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Hipotalamus mensekresi CRF, yang mengatur sekresi ACTH oleh hipofisis anterior.
ACTH kemudian akan merangsang korteks adrenal menghasilkan hormon
adrenokortikal.
2. Adanya desakan massa tumor di hipofisis dalam sella tursika mengakibatkan pasien
merasa pusing. Wajah “moon face” diakibatkan adanya penumpukan lemak khas gejala
Cushing syndrome. Striae dan lemah yang dirasakan pasien terjadi akibat mobilisasi
protein dari jaringan otot. Amenore dan rambut yang tumbuh berlebih adalah
konsekuensi dari berlebihnya sekresi adrenal. Hiperpigmentasi terjadi karena
meningkatnya sekresi ACTH yang juga menentukan pembentukan melanin. Sifat retensi
Na yang juga dimiliki oleh kortisol menyebabkan terjadinya hipertensi pada kasus
hiperkostisisme.
3. Diagnosis Cushing Syndrome didasarkan pada gejala-gejala klinis, hasil pemeriksaan CT
scan, dan dexamethason-test.
4. Penatalaksanaan primer Cushing Syndrome adalah dengan tindakan operasi tumor
hipofisis atau pengangkatan kelenjar adrenal. Sedangkan pilihan kedua adalah dengan
obat-obatan.
B. SARAN
1. Sebaiknya pasien menjalani operasi pengangkatan tumor hipofisis dahulu, kemudian
mungkin juga dapat dikombinasikan dengan obat-obatan penghambat sintesis hormon
adrenokortikal.
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: EGC.
Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Elysabeth. 2007. Farmakologi dan Terapi
Edisi 5. Jakarta: FKUI.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC.
Soedoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti.
2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.