Upload
duongtuyen
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
MEKANISME DAN IMPLIKASI DESENTRALISASI
PELAYANAN PUBLIK TERHADAP WEWENANG PEMERINTAH
DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2009
TENTANG PELAYANAN PUBLIK
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh :
Dian Kus Pratiwi
NIM.E0006012
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
MEKANISME DAN IMPLIKASI DESENTRALISASI
PELAYANAN PUBLIK TERHADAP WEWENANG PEMERINTAH
DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2009
TENTANG PELAYANAN PUBLIK
Oleh
DIAN KUS PRATIWI
NIM.E0006012
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, April 2010
Dosen Pembimbing
Pembimbing Co. Pembimbing
Aminah, S.H., M.H Isharyanto, S.H., M.Hum NIP.195105131981032001 NIP. 197805012003121002
3
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum ( Skripsi )
MEKANISME DAN IMPLIKASI DESENTRALISASI
PELAYANAN PUBLIK TERHADAP WEWENANG PEMERINTAH
DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2009
TENTANG PELAYANAN PUBLIK
Oleh
DIAN KUS PRATIWI
NIM.E0006012
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Pada : Hari : Senin Tanggal : 03 Mei 2010
DEWAN PENGUJI
1. Suranto, S.H., M.H. :.............................................. Ketua
2. Isharyanto, S.H., M.Hum. :.............................................. Sekretaris
3. Aminah, S.H., M.H. :.............................................. Anggota
Mengetahui
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum NIP. 19610930 198601 1 001
4
MOTTO
”Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang
yang berilmu beberapa derajat”
(QS. Al Mujadalah:11)
”Berusaha dan Berdoa adalah kunci sebuah kesuksesan”
5
PERSEMBAHAN
Penulisan hukum ini kupersembahkan teruntuk :
Almamaterku tercinta, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret..
Ayah dan Ibuku tercinta, terima kasih atas segala curahan kasih sayang, kesabaran
bimbingan dan doa yang terucap maupun tak terucap dalam setiap langkahku, Semoga beliau
berdua selalu dalam lindungan Allah SWT… amin
Kakak-kakak dan keluargaku yang tersayang atas segala kebersamaan, suka dan duka yang
kita lalui bersama dalam menghadapi cobaan kehidupan ini, semoga pelajaran hidup yang kita
lalui dapat membuat kita kokoh kedepannya dan Allah SWT selalu me-Rahmati kita semua,
amiin...
Seseorang spesial dihatiku yang selalu menemani dan mendukungku sesulit apapun yang
kuhadapi
Teman-teman terbaikku yang aku miliki, aku bangga bersama kalian, keep our friendship!!!
Bapak ibu dan dosen yang terhormat, terima kasih atas bekal ilmu yang kalian berikan
6
PERNYATAAN
Nama : Dian Kus Pratiwi
Nim : E0006012
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
MEKANISME DAN IMPLIKASI DESENTRALISASI PELAYANAN PUBLIK
TERHADAP WEWENANG PEMERINTAH DAERAH DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN
PUBLIK adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam
penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditujukan dalam daftar
pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi)
dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, April 2010
yang membuat pernyataan
Dian Kus Pratiwi
NIM. E0006012
7
ABSTRAK
Dian Kus Pratiwi. E0006012. 2010. MEKANISME DAN IMPLIKASI DESENTRALISASI PELAYANAN PUBLIK TERHADAP WEWENANG PEMERINTAH DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PUBLIK. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian hukum ini bertujuan untuk memperdalam pengetahuan penulis di bidang Hukum Tata Negara, khususnya melalui kajian tentang pemerintahan daerah dan asas desentralisasi dalam kaitanya di bidang pelayanan pelayanan publik ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan mengetahui mekanisme dan implikasi desentralisasi pelayanan publik oleh pemerintah daerah.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat
preskriptif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan metode yuridis normatif. penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian doktrinal yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan. Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan intepretasi atau penafsiran terhadap mekanisme dan implikasi desentralisasi pelayanan publik terhadap wewenang pemerintah daerah ditinjau dari UU Pelayanan Publik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan desentralsasi pelayanan publik dilatarbelakangi oleh beberapa hal, dan salah satunya adalah adanya pelimpahan kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pengaturan pelaksanaan pelayanan publik melalui mekanisme desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah menurut asas-asas maupun ketentuan yang tercantum dalam UU No. 25 Tahun 2009. Dari pelaksanaan desentralisasi pelayanan publik menurut ketentuan yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009 mempunyai beberapa implikasi positif maupun negatif.
Dengan desentralisasi yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, khususnya di bidang pelayanan publik, sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pemerintah daerah akan dapat mencipatakan momentum untuk melakukan penguatan politik lokal yang berdampak kepada perbaikan pelayanan pemerintah daerah yang dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah kepada rakyat. Hal ini akan tercapai apabila apartur birokrasi di daerah mentaati asas-asas pelayanan publik maupun ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Pelayanan publik.
Kata kunci : Desentralisasi. Pelayanan Publik. UU No. 25 Tahun 2009
8
ABSTRACT
Dian Kus Pratiwi. E0006012. 2010. THE MECHANISM AND IMPLICATIONS OF DECENTRALIZATION ON PUBLIC SERVICE AUTHORITY VIEWED FROM REGIONAL GOVERNMENT LAW NO. 25 YEAR 2009 REGARDING PUBLIC SERVICE. Law Faculty of Sebelas Maret University. The aim of this legal research is to make the author’s knowledge deeper in the field of Constitutional Law, particularly through a study on local governance and decentralization principles in the case of public service, in terms of Act No. 25th Year of 2009 about Public Services and finding out the mechanisms and implications of decentralization on public services in regional governments. This research is a prescriptive normative law. The method used in this research is normative juridical methods. Author uses this type of legal research, normative or doctrinal study of legal research by exploring library materials, or secondary data. The secondary data sources used include the primary legal materials, legal materials, secondary and tertiary legal materials. The data collection techniques used in this research is literature studies. The data obtained were then analyzed and interpreted with the interpretation of the mechanisms and implications of decentralization on public services viewed from local government authority in the terms of the Public Service Act. The results of the research shows that the implementation of decentralization on public service motivated by several things, and one of them is the devolution of power from central to local government. The arrangements of public services through decentralized mechanisms by local governments according to the principles and provisions are contained in Law no. 25 Year in 2009. By the implementation of decentralization of public services according to the provisions stipulated in Law No. 25 Year 2009, have some positive and negative implications. With the decentralization of delegation of authority from central government to local governments, particularly in the areas of public service, as stipulated in Law no. 25 Year 2009 concerning Public Service, local governments will create some policy to strengthen local politics that impact to the improvement of local government services which implemented by the government bureaucracy for the people. That will be achieved when local bureaucracy officers obey the principles of public service and the provisions stipulated in the Public Service Act. Keywords: Decentralization. Public Service. Law. Year 2009 25
KATA PENGANTAR
9
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang yang telah melimpahkan Rahmat, Nikmat serta Karunia-
Nya kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan hukum (Skripsi) ini
yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang ilmu
hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, dengan judul :
“MEKANISME DAN IMPLIKASI DESENTRALISASI PELAYANAN PUBLIK
TERHADAP WEWENANG PEMERINTAH DAERAH DITINJAU DARI
UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN
PUBLIK.”.
Penulis menyadari terhadap segala kekurangan yang ada pada diri Penulis,
sehingga tidak mungkin menyelesaikan penulisan hukum (Skripsi) ini tanpa
bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini
dan dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
tak terhingga kepada :
1. Bapak Muhammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta seluruh Pembantu Dekan.
2. Ibu Aminah, S.H., M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dan selaku Pembimbing
Pertama yang telah memberi izin dan kesempatan kepada Penulis untuk
melaksanakan penulisan hukum ini serta memberikan bimbingan dan arahan
kepada penulis dalam penulisan hokum ini.
3. Bapak Isharyanto, S.H., M.Hum, selaku Pembimbing Kedua yang telah
dengan tulus meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan
pengarahan kepada Penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.
4. Bapak Dr. Jamal Wiwoho, S.H., M.H, selaku Pembimbing Akademik (PA)
yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada Penulis selama
mengikuti perkuliahan.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan bekal
ilmu pengetahuan selama masa perkuliahan dan semoga dapat Penulis
amalkan di masa mendatang.
10
6. Segenap Staf dan Karyawan Fakultas Hukum UNS yang telah membantu
Penulis selama masa perkuliahan.
7. Ayah dan Ibuku tercinta, Bapak Drs. Djuwalman, M.Pd dan Ibu Dra.
Margyaningsih Rahayu yang dengan penuh keikhlasannya mencurahkan
kasih sayang, bimbingan, doa dan tuntunannya kepada Penulis, semoga
Allah SWT selalu menjaga dan memberikan kebahagiaan yang senantiasa
tercurah kepada Beliau berdua, amin.
8. Kakak-kakakku tersayang, Mbak Dewi, Mas Awan, ponakanku tersayang
Raditya Daffa Pradipta, sepupu sekaligus sahabatku Norma Anggerda, serta
seluruh keluarga besarku Mbah Uti, Mbah Kakung, Bulek Erna, Om Tono,
serta Bulek dan Om yang tak mungkin penulis sebutkan satu persatu, terima
kasih atas dukungan semoga Allah SWT selalu mencurahkan nikmatnya
kepada keluarga kita, amin.
9. Teman-teman serta sahabat-sahabatku, Sandra Puspita Dewi, Januar Annisa,
Eppy Yuniar Putri, Riska Yunita, Mas Chkrisna Aditya, Mas Danar Ady
Nugroho, yang selalu menemaniku saat suka maupun duka, berbagi kasih
dan cerita bersama, dan selalu mendukungku saat aku lemah, semoga
persahabatan kita tak kan lekang oleh waktu.
10. Seorang yang berarti buatku, sebagai Mas maupun Sahabat yang
memberikan kasih sayangnya yang tulus padaku, selalu menemaniku dalam
suka, duka, sehat maupun sakit, yang memberiku semangat dan terus
mendorongku untuk bangkit dan maju, Sigit Riagung Nugroho, terimaksaih
atas semua yang kau berikan padaku selama ini, semoga hubungan ini akan
tetap terjaga hingga akhir nanti.
11. Teman-teman angkatan 2006, Heppy Indah Alamsari, Oktantiani DP,
Ghusnie Arinie, Tina Indri Puspita, Deasy Widyasari, Teny Dwi Arianti,
Agung Prakosa Subantolo, Raharjo Kurniawan, dan semua teman-teman lain
yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang telah menemani,
mendukung, membantu selama masa perkuliahan dan penulisan hukum ini.
12. Semua teman-teman terbaikku di Fakultas Hukum UNS, Dwi, Hastin
Tafrihana, Zulfia Nossy, Iin Woelandari, Angga Martandy teman
11
seperjuangan dalam penulisan hukum ini, mas Aris Setyo Nugroho yang
selalu memberi arahan dalam menyelesaikan penulisan hukum ini, serta
teman-teman yang tak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang sudah
dengan senang hati membantu dalam segala hal dan dalam membantu
menyelesaikan penulisan hukum ini. Tanpa kalian aku bukan apa-apa.
13. Teman dan sahabaku di Jogja Ermin Puji Danarwati, Titis Wulandari, Adyy
Kurniawan, Luluk Anggi Rumondank, Whisnu Idrajati dan teman-teman
yang lainnnya, yang selalu memberi semangat kepada Penulis.
14. Om Joe dan Mas Ari, yang telah membantu dalam proses editing penulisan
hukum ini.
15. Semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, yang telah
membantu dalam menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (Skripsi) ini,
terima kasih yang setulusnya.
Penulis menyadari bahwa dengan keterbatasan yang Penulis miliki, maka
dalam penulisan hukum ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang menunjang bagi kesempurnaan penulisan
hukum ini.
Semoga penulisan hukum ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, almamater, masyarakat serta pihak-pihak yang
memerlukan, sehingga tidak menjadi suatu karya yang sia-sia nantinya.
Surakarta, April 2010
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
12
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii
HALAMAN MOTTO........................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN.............................................................................. vi
ABSTRAK............................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii
DAFTAR ISI......................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah .................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ....................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 6
D. Manfaat penelitian ........................................................................... 7
E. Metode Penelitian ............................................................................ 7
F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori ................................................................................ 17
1. Tinjauan tentang Desentralisasi ................................................. 17
1. Definisi Desentralisasi ...................................................... 17
2. Tujuan dan Konsep Desentralisasi.................................... 20
3. Derajat Desentralisasi dan Desentralisasi di Indonsesia... 24
2. Tinjauan tentang Kewenangan................................................... 30
1. Definisi wewenang............................................................... 30
2. Jenis-jenis Wewenang.......................................................... 30
3. Cara Memperoleh Wewenang.............................................. 30
4. Definisi Pelimpahan Wewenang.......................................... 31
5. Manfaat dan Batasan Pelimpahan Wewenang..................... 32
6. Asas-asas pendelegasian Wewenang ................................... 33
13
7. Derajat Pelimpahan Wewenang........................................... 35
8. Pendistribusian Wewenang Pemerintah Pusat kepada Daerah 36
9. Cara Penyerahan Wewenang Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah............................................................... 37
10. Penyalahgunaan Wewenang dan Tindakan Sewenang-
wenang ................................................................................. 37
11. Kewenangan Diskresi .......................................................... 38
3. Tinjauan tentang Pelayanan Publik dalam UU No. 25 Tahun
2009............................................................................................ 39
1. Definisi Pelayanan Publik.................................................... 39
2. Penyelenggara Pelayanan Publik menurut UU No.25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik................................. 41
3. Tujuan dan Kualitas Pelayanan Publik menurut UU
No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik...................... 42
4. Konsep Efisien dan Efektifitas dalam Pelayanan Publik..... 44
5. Asas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik
menurut UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik ................................................................................... 45
6. Ruang Lingkup Pelayanan Publik ....................................... 46
7. Standar Pelayanan Publik .................................................... 48
B. Kerangka Pemikiran......................................................................... 50
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kajian terhadap Latarbelakang Desentralisasi Pelayanan Publik
Pemerintah
Daerah ............................................................................................. 53
B. Kajian terhadap Mekanisme Penyelenggaraan Desentralisasi
Pelayanan Publik oleh Pemerintah Daerah Menurut UU No. 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik .......................................... 58
14
1. Pengaturan Penyelenggaraan Desentralisasi Pelayanan
Publik oleh Pemerintah Daerah ditinjau dari UU No. 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik .................................... 58
2. Prosedur Evaluasi, Penyelesaian Pengaduan dan
Pelanggaran hukum dalam Penyelenggaraan Pelayanan
Publik di tinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik ...................................................................... 65
3. Standart Pelayanan .................................................................. 68
C. Implikasi Desentralisasi Pelayanan Publik ditinjau dari
UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik .......................... 77
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 91
B. Saran .............................................................................................. 97
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia
menyebutkan bahwa tujuan Negara Indonesia adalah melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaiaan abadi dan
keadilan sosial. Untuk mewujudkan tujuan Negara tersebut maka salah satu
cara yaitu dengan melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan yang
berkelanjutan tersebut di laksanakan oleh pemeintah pusat dan pemerintah
daerah. Pembangunan oleh pemerintah pusat berkaitan dengan sektor-sektor
yang lebih global, sedangkan pembangunan di daerah dilaksanakan oleh
pemerintah daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat.
Perubahan UUD 1945 menyatakan jelas mengenai bentuk dan susunan
pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Republik Indonesia. Pasal 18
ayat (1) berbunyi “ Negara Kesatuan Repulik Indonesia dibagi atas daerah-
daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang
tiap-tiap propisi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah
yang diatur Undang-Undang”. Sedang Pasal 18 ayat (5) UUD 1945
menyebutkan bahwa pemerintah daerah merupakan daerah otonom yang dapat
menjalankan urusan pemerintahan dengan seluas-luasnya serta mendapat hak
untuk mengatur kewenangan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat.
Pasal 18 A ayat (1) menyebutkan bahwa hubungan wewenang antara
pemerintah pusat dan daerah propinsi, kabupaten, dan kota atau antara
propinsi dan kabupaten dan kota diatur dengan undang-undang dengan
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Sedang Pasal 18 A ayat
(2) menyebutkan hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber
16
daya alam dan sumber daya lainya antara pemerintah pusat dan daerah diatur
dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Sekalipun otonomi itu seluas-luasnya, namun urusan-urusan tertentu
dalam Pasal 18 ayat (5) yang menjadi urusan pemerintah pusat sebagaimana
terumus dalam kalimat “ kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-
undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”, sehingga ini menjadi
dasar yuridis peraturan perundang-undangan yang berlaku, yakni Undang-
Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Terkait dengan ketentuan yang mengatur tentang urusan Pemerintahan
Pusat disebutkan dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 yakni bahwa
urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat meliputi:
a. Politik luar negeri;
b. Pertahanan;
c. Keamanan;
d. Yustisi;
e. Moneter dan fiskal; dan
f. Agama.
Dengan lahirnya UU No. 32 tahun 2004 yang menggantikan UU
sebelumnya yaitu UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah maka,
mekanisme pembangunan daerah antara pemerintah pusat dan daerah pun
menjadi berbeda.
Dalam manajemen penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
pola-pola penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang
sentralististik menjadi kurang aktual, sehingga perlu pendekatan desentralistik.
Peran pemerintah lebih ditekanankan sebagai regulator dan fasilitator untuk
menciptakan iklim yang kondunsif. Birokrasi pemerintahan tidak lagi
menampilkan sosok sebagai penguasa, tetapi sebagai pelanyan masyarakat.
Semua bentuk kegiatan pemerintah dan pembangunan harus dikelola secara
transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.
Dalam rangka melaksanakan tujuan Negara khususnya untuk
memajukan kesejahteraan umum melalui pembangunan nasional , negara
17
berkewajiban salah satunya yaitu melayani setiap warganegara dan penduduk
untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan
publik, dimana telah diamanat oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan telah diatur dengan Undang-Undang No. 25 tahun
2009. Pelayanan publik yang di berikan pemerintah pada rakyat tersebut tentu
saja tidak dilaksanakan secara langsung oleh pemerintah pusat kepada rakyat,
akan tetapai melalui pemerintah daerah sebagai kapanjangan tangan dari
pemerintah pusat didaerah untuk melaksanakan pembangunan tersebut sesuai
dengan UU No. 32 tahun 2004.
Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan daerah, dari
sentralistisasi ke desentralisasi, dari terpusatnya kekuasaan pada pemerintah
daerah (eksekutif) ke power sharing antara eksekutif dan legislatif daerah,
harus disikapi dengan mengubah manajemen pemerintahan daerah. Dari sisi
manajemen publik, juga terjadi perubahan nilai yang semula menganut proses
manajemen yang berorientasi kepada kepentingan internal organisasi
pemerintahan ke kepentingan eksternal disertai dengan peningkatan pelayanan
dan pendelegasian sebagian tugas pelayanan publik dari pemerintah ke
masyarakat ataupun pasar. Demikian halnya sebagai konsekwensi reformasi,
manajemen publik juga harus beralih orientasi dari orientasi lama yang
menekankan pada proses “tindakan administrasi” yang meliputi kegiatan:
perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), penempatan pegawai
(staffing), pengarahan (directing), pengawasan (controlling), pengaturan
(regulating), dan penganggaran (budgeting) ke orientasi baru yang
menekankan pada proses “pembuatan kebijakan dan tindakan pelaksanaan”
yang meliputi kegiatan: analisis kebijakan (policy analysis), manajemen
keuangan (financial management), manajemen sumberdaya manusia (human
resources management), manajemen informasi (information management),
dan hubungan keluar (external relation). Semua perubahan di atas harus
diantisipasi oleh semua pelaksana pemerintahan, terutama kepala daerah.
18
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat
keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang-orang yang berada pada
level bawah dalam suatu struktur organisasi. Pada saat sekarang ini banyak
perusahaan atau organisasi yang memilih serta menerapkan sistem
desentralisasi karena dapat memperbaiki serta meningkatkan efektifitas dan
produktifitas suatu organisasi.
Sistem pemerintahan yang terdesentralisasi sesuai dengan UU No. 32
Tahun 34 tentang Pemerintahan Daerah, sejatinya pemerintah daerah memiliki
hak dan kewajiban yang luas untuk menciptakan pelayanan publik semakin
baik. Hal ini karena pemberian otonomi daerah dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah bertujuan untuk menciptakan pemerintahan yang semakin
efisien dan pemerintahan yang dapat meningkatkan partisipasi masyarakat
(participatory democracy). Meskipun pada dasarnya kedua tujuan tersebut
sering kali diletakkan dalam prioritas yang berbeda oleh pemerintah pusat dari
satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain, tetapi keduan tujuan tersebut
selalu menyertai penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam aspek efisiensi,
pengambilan keputusan dapat dilakukan secara cepat oleh pemerintah daerah
tanpa persetujuan pemerintah pusat. Pemerintah daerah bersama-sama dengan
masyarakatnya menentukan potensi dan kebutuhan yang akan menjadi
prioritas pembangunan dan pelayanan daerah (local responsiveness). Dalam
aspek-aspek participatory democracy, otonomi daerah memiliki dimensi
political equality dan local accountability. Dalam hal ini pembangunan dan
pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah harus dapat
dipertanggungjawabkan dan memberikan kesempatan yang sama bagi seluruh
kelompok masyarakat.
Konsepsi otonomi daerah, harus dapat dijadikan momentum untuk
melakukan penguatan politik lokal yang berdampak kepada perbaikan
pelayanan pemerintah yang dilaksanakan oleh birokrasi kepada rakyat. Hal
tersebut dikarenakan salah satu dari tujuan otonomi daerah adalah
memberikan pelayanan yang maksimal terhadap publik.
19
Ada beberapa daerah yang bisa dijadikan contoh dalam pelaksanaan
desentralisasi pelayanan yang baik untuk masyarakatnya. Sragen, misalnya, dapat
menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakatnya dengan menciptakan iklim
investasi yang baik naik 16,6% untuk industri kecil dan 21,3% untuk industri berat.
Hasilnya, penyerapan tenaga kerja meningkat 44,29% serta kenaikan jumlah
perusahaan sebesar 30,1%. Ada pula Kabupaten Jembrana yang menggalakkan
sekolah gratis dan kesehatan gratis sejak 2001. Gratis di sini maksudnya pemerintah
Kabupaten Jembrana melakukan relokasi subsidi kesehatan yang semula untuk biaya
obat-obatan RSUD dan puskesmas menjadi untuk membayar premi asuransi kesehatan
bagi seluruh rakyat. Seluruh penduduk Jembrana memiliki KTP dengan pengurusan
yang mudah dan cepat. Sekolah gratis didanai dari subsidi sekitar Rp3,7 miliar per
tahun dalam kurun waktu 2001-2004. Program reformasi sosial telah menekan
angka kemiskinan dari 19,4% (2001) menjadi 10,9% (2003); kematian bayi (per 1000
lahir hidup) dari 15,25 (2001) menjadi 8,39 (2003); dan tingkat drop out sekolah
dasar dari 0,08% menjadi 0,02% pada tahun yang sama (Data dari Harian Media
Indonesia Senin, 21 April 2008).
Oleh karena itu, dengan adanya otonomi daerah, maka pemerintah
daerah dapat menjalankan urusan pemerintahan dengan seluas-luasnya serta
mendapat hak untuk mengatur kewenangan pemerintahan daerah yang
menjadi kewenangannya. Dan salah satu kewenangannya adalah melayani
setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan
dasarnya dalam kerangka pelayanan publik, dimana telah diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan telah
diatur dengan Undang-Undang No 25 tahun 2009. Untuk itu penulis tertarik
untuk mengambil judul penelitian “MEKANISME DAN IMPLIKASI
DESENTRALISASI PELAYANAN PUBLIK TERHADAP WEWENANG
PEMERINTAH DAERAH DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 25
TAHUN 2009 TENTANG PELAYANAN PUBLIK”.
B. Perumusan Masalah
20
Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam suatu
penulisan hukum. Perumusan masalah dibuat untuk memecahkan masalah
pokok yang timbul secara jelas dan sistematis. Perumusan masalah
dimaksudkan untuk lebih menegaskan masalah yang akan diteliti, sehingga
dapat ditentukan suatu pemecahan masalah yang tepat dan mencapai tujuan
atau sasran sesuai yang dikehendaki.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis mengambil
perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah mekanisme penyelenggaraan dalam desentralisasi
pelayanan publik ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik?
2. Apa saja Implikasi dari penyelenggaraan desentralisasi pelayanan publik
ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian diperlukan karena terkait erat dengan perumusan
masalah dan judul dari penelitian itu sendiri. Oleh karena itu peneliti
mempunyai tujuan atau hal-hal yang ingin dicapai melalui penelitian ini.
Tujuan itu berupa tujuan secara subjektif dan objecktif. Adapun tujuan
penelitian ini adalah:
1. Tujuan Objecktif
a. Untuk mengetahui mekanisme dan implikasi desentralisasi pelayanan
publik terhadap kewenangan pemerintah daerah.
b. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir
dinamis sekaligus untuk mengetauhi kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh.
a. Dari hasil penelitian ini diharapkan dan dapat memberikan masukan
serta tambahan pengetahuan.
2. Tujuan Subjektif
21
a. Untuk memperdalam pengetahuan penulis di bidang Hukum Tata
Negara, khususnya melalui kajian tentang pemerintahan daerah dan
asas desentralisasi dalam kaitanya di bidang pelayanan pelayanan
publik ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
b. Untuk penyusunan penulisan hukum/skripsi guna melengkapi tugas
akhir dan memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan
di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini sangat diharapkan adanya manfaat dan kegunaan
yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang dapat
diambil dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
di bidang Hukum Tata Negara, khususnya melalui kajian tentang
mekanisme dan implikasi desentralisasi pelayanan publik oleh
pemerintah daerah.
b. Diharapkan dapat menambah bahan referensi di bidang karya ilmiah
serta bahan masukan bagi penelitian sejenis di masa yang akan
datang.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk mengembangkan daya pikir dan analisis yang akan membentuk
pola pikir dinamis, sekaligus untuk mecocokan bidang keilmuan yang
selama ini diperoleh dalam teori dan praktek.
b. Dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang sedang diteliti.
E. Metodologi Penelitian
Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang tata cara
seorang ilmuan mempelajari, menganalisis dan memahami lingkungan-
22
lingkungan yang dihadapinya (Soerjono Soekanto, 1986:6). Metode
penelitian adalah cara-cara mengenai bagaimana suatu penelitian itu akan
dilakukan dengan cara-cara tertentu yang dibenarkan, baik mengenai tata cara
pengumpulan data, pengolahan data maupun analisis data serta penulisan
laporan penelitian. Adapun metode yang digunakan penulis dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penelitian secara umum dapat digolongkan dalam beberapa jenis,
dan pemilihan jenis penelitian tersebut tergantung pada perumusan
masalah yang ditentukan dalam penelitian tersebut. Dalam penelitian ini,
penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau penelitian
doktrinal yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder (Soerjono Soekanto, 1986:15).
Penelitian ini memfokuskan diri pada studi kepustakaan dan
doktrin-doktrin hukum yaitu pandangan atau ajaran-ajaran para ahli
hukum mengenai bidang studi yang dikaji, yakni berkaitan dengan
mekanisme dan implikasi desentralisasi pelayanan publik oleh pemerintah
daerah yang ditinjau dari pendekatan UU No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum normatif yang
bersifat preskriptif da terapan. Penelitian yang bersifat preskriptif
merupakan penelitian hukum dalam rangka mempelajari tujuan hukum,
nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan
norma-norma huku. Sedang terapan berarti penelitian dalam rangka
menetapkan standar prosedur, ketentuan-ketentuan, dan rambu-rambu
dalam melaksanakan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 22).
Dalam penelitian ini, sifat ilmu hukum sebagai ilmu terapan
merupakan konsekuensi dari sifat preskriptifnya, sehingga penelitian ini
23
bermaksud untuk menemukan dan mempelajari konsep-konsep serta
aturan hukum yang ada dan bersangkutan dengan isu yang diteliti. Isu
yang diteliti yaitu mengenai mekanisme dan implikasi desentralisasi
pelayanan publik terhadap wewenang pemerintah daerah, sedangkan
konsep-konsep yang digunakan sebagai tinjauan isu yang diteliti yaitu
UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dimana
dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapat informasi dari
berbagai aspek mengenai isu hukum yang sedang dicoba untuk dicari
jawabannya.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, ada beberapa pendekatan dalam
penelitian, yaitu pendekatan undang-undang (statue approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan histori (historical
approach), pendekatan komparatif (comparatif approach), dan
pendekatan konseptual (conseptual approach) (Peter Mahmud Marzuki,
2009: 93).
Pada penelitian ini hanya digunakan pendekatan dari sisi undang-
undang (statute approach), dengan menelaah semua legislasi yang
berkaitan dengan isu hukum yang sedang dikaji, yakni isu hukum
berkaitan dengan mekanisme dan implikasi desentralisasi pelayanan
publik oleh pemerintah daerah yang ditinjau dari pendekatan UU No. 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
4. Jenis Data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder. Data sekunder adalah data yang tidak secara langsung diperoleh
24
dari lapangan, tetapi diperoleh melalui studi kepustakaan, berupa buku-
buku, dokumen-dokumen, laporan-laporan, majalah, peraturan
perundang-undangan, surat kabar, sumber-sumber lain yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan objeck penelitian. Data sekunder mencakup bahan hukum primer
yaitu UUD 1945 khususnya Pasal 18 tentang Pemerintahn Daerah;
Peraturan Perundang-Undangan khususnya UU No. 25 Tahun 2009 dan
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahan hukum
sekunder berupa sejumlah keterangan atau fakta dengan cara mempelajari
bahan-bahan pustaka yang berupa buku-buku, dokumen-dokumen,
laporan-laporan, majalah, peraturan perundang-undangan, surat kabar dan
sumber-sumber lain yang memberi penjelasan akan permasalahan yang di
teliti yaitu tentang aspek desentralisasi di bidang pelayanan publik, dan
bahan hukum tersier.
5. Sumber Data
Yang dimaksud sumber data dalam penelitian ini adalah sumber
dimana data diperoleh. Berdasarkan jenis datanya, yaitu data sekunder
maka yang menjadi sumber data sekunder dalam penelitian ini yaitu:
a. Bahan Hukum Primer: yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat
yang terdiri:
1) UUD 1945 khususnya Pasal 18 tentang Pemerintahn Daerah;
2) Peraturan Perundang-Undangan
a) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
b) UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
antara Pusat dan Daerah
c) UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
d) UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara
25
e) PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom
f) Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang
Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan
Minimal
g) PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah
Daerah Kabupaten Kota
h) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.
63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik
i) Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No.
KEP/26/M.PAN/2004 tentang Petunjuk Teknis
Transaparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan
Pelayanan Publik
j) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 Tahun 2007 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar
Pelayanan Minimal
k) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.79 Tahun 2007
tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar
Pelayanan Minimaltunjuk Teknis Penyusunan dan
Penetapan Standar Pelayanan Minimal
l) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 62 Tahun 2008
tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pemerintahan
Dalam Negeri Di Kabupaten/Kota
m) Dan peratuan perundang-undangan yang lainnya
b. Bahan Hukum Sekunder, merupakan bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum seperti yaitu berupa
sejumlah keterangan atau fakta dengan cara mempelajari bahan-
bahan pustaka yang berupa buku-buku, dokumen-dokumen, laporan-
laporan, majalah, peraturan perundang-undangan, surat kabar dan
26
sumber-sumber lain yang memberi penjelasan akan permasalahan
yang di teliti yaitu tentang mekanisme dan implikasi desentralisasi
pelayanan publik oleh pemerintah daerah.
c. Bahan Hukum Tersier merupakan bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, seperti bahan dari internet, kamus,
ensiklopedia, indeks kumulatif, dan sebagainnya. Bahan hukum
tersier dalam hal ini seperti bahan dari internet, kamus, ensiklopedia,
dan sebagainnya yang memberi penjelasan akan permasalahan yang
di teliti yaitu tentang mekanisme dan implikasi desentralisasi
pelayanan publik oleh pemerintah daerah.
6. Teknik Pengumpulan Data
Suatu penelitian pasti membutuhkan data yang lengkap, dalam hal
ini dimaksudkan agar data yang terkumpul benar-benar memiliki nilai
validitas dan reabilitas yang cukup tinggi. Di dalam penelitian lazimnya
dikenal paling sedikit tiga jenis teknik pengumpulan data, yaitu: studi
dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara
atau interview (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006: 21).
Dalam upaya pengumpulan data dari sumber data diatas, penulis
menggunakan teknik pengumpulan data adalah dengan study
kepustakaan. Study kepustakaan adalah suatu teknik pengumpulan data
dengan cara mencari data-data dari bahan yang berupa buku-buku,
dokumen-dokumen, laporan-laporan, majalah, peraturan perundang-
undangan, surat kabar dan sumber-sumber lain yang berkaitan dengan
permasalahan yang diteliti. Penilitian kepustakaan ini meliputi:
a. Inventarisasi Peraturan Perundang-undangan UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 tentang
27
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, UU No. 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik, UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, PP No. 25 tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah
Otonom, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang
Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal,
PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah
Kabupaten Kota, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur
Negara No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara No. KEP/26/M.PAN/2004 tentang
Petunjuk Teknis Transaparansi dan Akuntabilitas dalam
Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Peraturan Menteri Dalam Negeri
No.6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan
Penetapan Standar Pelayanan Minimal, Peraturan Menteri Dalam
Negeri No.79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana
Pencapaian Standar Pelayanan Minimaltunjuk Teknis Penyusunan
dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal, Peraturan Menteri
Dalam Negeri No. 62 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Pemerintahan Dalam Negeri Di Kabupaten/Kota,
dll.
b. Identifikasi norma-norma hukum yang terkait dengan desentralisasi
atau pelimpahan wewenang yang kemudian di hubungkan dengan
penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah.
c. Mengkaji tentang doktrin-doktrin hukum yang diperoleh melalui
buku-buku hukum yang berkaitan dengan desentralisasi dan
penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah.
7. Teknis Analisis Data
28
Teknis analisis data adalah suatu uraian tentang cara-cara analisis,
yaitu dengan kegiatan mengumpulkan data kemudian diadakan
pengeditan terlebih dahulu, untuk selanjutnya dimanfaatkan sebagai
bahan analisis yang sifatnya kualitatif.
Teknis analisis data merupakan pengolahan data yang pada
hakekatnya untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan
hukum tertulis. Sehingga kegiatan yang dilakukan berupa pengumpulan
data, kemudian data direduksi sehingga diperoleh data khusus yang
berkaitan dengan masalah yang sedang dibahas untuk kemudian dikaji
dengan menggunakan norma secara materiil atau mengambil isi data yang
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan akhirnya diambil
kesimpulan/verifikasi dan akan diperoleh kebenaran objektif.
Teknis analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis data dengan interpretasi atau penafsiran.
Sudikno mengatakan bahwa interpretasi atau penafsiran merupakan
salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan gamblang
mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat
diterapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu (Sudikno Mertokusumo,
1993: 169).
Interpretasi yang digunakan oleh seorang peneliti menurut Peter
Mahmud Marzuki telah memberikan memberikan sumbangan dan
pengembangan ilmu dan praktek hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2008:
106).
Penafsiran atau interpretasi yang dikenal dalam ilmu hukum antara
lain : interpretasi gramatikal, interpretasi sistematis, interpretasi teologis
atau sosiologi, interpretasi historis, interpretasi komparatif dan
interpretasi futuristis. Di dalam beberapa literatur dikenal juga interpretasi
autentik. Bahkan interpretasi gramatikal dan interpretasi autentik dapat
dimasukkan ke dalam interpretasi sistematis.
29
Dalam penelitian ini peneliti tidak hanya menggunakan satu
interpretasi, beberapa interpretasi yang digunakan oleh peneliti yaitu
interpretasi gramatikal, yaitu cara penafsiran atau penjelasan untuk
mengetahui makna ketentuan undang-undang dengan menguraikan
menurut bahasa, susunan kata atau bunyinya. Selanjutnya interpretasi
autentik, yakni penjelasan yang diberikan oleh undang-undang dan
terdapat dalam teks undang-undang (Sudikno Mertokusumo, 1993: 170).
Selain itu peneliti juga menggunakan jenis interpretasi sistematis yang
menurut P.W.C. Akkerman adalah interpretasi dengan melihat kepada
hubungan di antara aturan dalam suatu undang-undang yang saling
bergantung (Peter Mahmud Marzuki, 2008: 112). Dalam interpretasi
sistematis ini hubungan tidak hanya dilihat secara teknis, melainkan juga
dilihat asas yang melandasinya. Landasan pemikiran interpretasi sistematis
adalah undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satu pun
ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk mempermudah penulisan hukum ini, maka penulis dalam
penelitiannya dibagi menjadi empat bab, dan tiap-tiap bab dibagi dalam sub
bab yang disesuaikan dengan luas pembahsan.
Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut:
HALAMAN JUDUL
HALAMAN TANDA TANGAN TIM PENGUJI DAN PENGESAHAN
DEKAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
30
Dalam bab ini diuraikan tentang:
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan Hukum
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai kerangka
teori yang berisi:
Pada bab ini akan diuraiakan mengenai tinjauan kepustakaan
yang terdiri dari :
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Desentralisasi
2. Tinjauan tentang Wewenang
3. Tinjauan tentang Pelayanan Publik menurut UU No. 25
Tahun 2009
B. Kerangka Pemikiran
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan tentang gambaran umum mengenai
mekanisme dan implikasi desentralisasi pelayanan publik oleh
pemerintah daerah.
BAB IV : PENUTUP
Dalam Bab ini penulis akan menguraikan tentang kesimpulan
dan saran dari peneliti tentang permasalahan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
31
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Desentralisasi
a. Definisi Desentralisasi
Secara etimologis istilah desentralisasi berasal dari bahasa
Latin yang berarti de = lepas dan centrum = pusat, dengan demikian
berarti melepaskan diri dari pusat. Dari sudut ketatanegaraan yang
dimaksud dengan desentralisasi ialah pelimpahan kekuasaan
Pemerintah Pusat kepada Daerah-daerah yang mengurus rumah
tangganya sendiri.
Dari beberapa pakar dan literatur menyebutkan tentang pengertian desentralisasi yaitu: 1) Asas desentralisasi adalah asas yang menyatukan penyerahan
sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah yang lebih tinggi kepada pemerintah daerah yang lebih rendah sehingga menjadi urusan rumah tangga sendiri daerah itu. Untuk itu semua prakarsa, wewenang dan tanggungjawab mengenai urusan-urusan diserahkan sepenuhnya menjadi tanggungjawab daerah itu, baik politik kebijaksanaan, perencanaan maupun mengenai segi-segi pembiayaannya. Pelaksananya adalah perangkat daerah sendiri. (Cst. Kansil dan Christine st Kansil, 2002: 3)
2) Rondinelli dan Cheema menyatakan bahwa desentralisasi adalah “the transfer of planning decision making, administrative authority from the central government to this field organizations, local administrative units, semi autonomous and parastatal organizations” desentralisasi adalah penyerahan perencanaan, pembuatan keputusan atau kewenangan administrasi dari pemerintah pusat kepada organisasi-organisasi tingkat bawah, kesatuan-kesatuan administrasi daerah, semi otonomi dan organisasi (Cheema, G. Shabbir dan Rondinelli, Dennis A (Ed). 1983:18).
3) Decentralization and Democratic Local Governance Programming Handbook vol 63 Decentralization is a process of transferring power to popularly elected local governments. Transferring power means providing local governments with greater political authority (e.g., convene
32
local elections or establish participatory processes), increased financial resources (e.g., through transfers or greater tax authority), and/or more administrative responsibilities artinya bahwa desentralisasi adalah proses pengalihan kekuasaan kepada pemerintah daerah populer terpilih. Mentransfer berarti memberikan kekuasaan pemerintah daerah dengan otoritas politik yang lebih besar (misalnya, mengadakan pemilu lokal atau menetapkan proses partisipatif), peningkatan sumber daya keuangan (misalnya, melalui transfer atau lebih otoritas pajak), dan / atau lebih tanggung jawab administrasi.
4) J.H.A. Logeman dalam The Liang Gie 1968 Berbicara desentralisasi sebagai ketentuan, jika pekerjaan penguasa Negara dilimpahkan kepada persekutuan-persekutuan yang berpemerintahan sendiri. “Van decentralizatie spreek men als regel, indien overheidswerkzaamheid va de landoverheid wordt afgewented op zelfregerende gemeenschappen”.
5) Menurut Smith Desentralisasi adalah pendelegasian kekuasaan dari tingkat tertinggi ke tingkat yang lebih rendah, dalam herarkhi territorial meliputi dua aspek, pertama syarat pembatasan wilayah (the limitation of areas) karena adanya pembagian teritorial Negara. Kedua, penyerahan wewenang (delegation of authority). “….that decentralization involves one of more division of the state’s territory” (Smith, 1985:18).
Desentralisasi dengan demikian merupakan prinsip
pendelegasian wewenang dari pusat ke bagian-bagiannya, prinsip ini
mengacu pada fakta adanya span if control dari setiap organisasi
sehingga perlu diselenggarakan secara bersama-sama.
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004 “
desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik
Indonesia”.
Berdasarkan rumusan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa:
1) desentralisasi baru terwujud apabila terdapat penyerahan
overdragen wewenang pemerintahan;
2) pengakuan hanya ada satu bentuk desentralisasi yakni otonomi.
Kita ketahui bahwa otonomi hanyalah salah satu bentuk dari
desentralisasi, disamping tugas pembantuan (zelfsbestuur).
33
Dalam kaitan ini, maka konsep desentralisasi yang
dikembangkan dalam hukum positif Indonesia memperlihatkan
arahnya kepada konsep penyerahan wewenang pemerintahan dari/oleh
eksekutif tingkat pusat kepada daerah otonom. Desentralisasi dibatasi
pada ruang lingkup wewenang pemerintahan yang menjadi kompetensi
eksekutif.
Dilihat dari aspek pemberian wewenang, maka desentralisasi
akan memberikan wewenang kepada Pemerintah Daerah untuk
melaksanakan atau menangani urusan-urusan pemerintahan tertentu
sebagai urusan rumah tangga sendiri. Desentralisasi merupakan
pelaksanaan dari konsep adanya pemerintahan yang bersifat otonom
yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah
tertentu yang berwenang mengatur dan mengurus rumah kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam ikatan Negara Republik Indonesia.
Desentralisasi dimaksudkan untuk memperlancarkan roda
pemerintahan, mengingat bahwa Indonesia mempunyai wilayah yang
terdiri dari beribu-ribu pulau yang besar dan kecil, serta masyarakat
yang pluralistik dari segi agama, budaya dan rasa tahu suku serta
aspek-aspek lainya yang berbeda-beda bentuk dan coraknya, sehingga
Pemerintah Pusat tidak mungkin dapat menyelenggarakan
pemerintahan dengan baik, apabila segala sesuatunya diputuskan dan
dilaksanakan sendiri. Karena itu, kepada daerah-daerah diberikan
wewenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk
meningkatkan hasil guna dan daya guna penyelenggaraan
pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
pembangunan.
34
Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
desentralisasi di Indonesia sebagai akibat dari:
1) Luasnya wilayah di Indonesia
2) Ketidakmampuan Pemerintah Pusat menyelenggarakan semua
urusan pemerintah
3) Keadaan Indonesia yang pluralistik
4) Untuk terciptanya daya guna dan hasil guna pemerintahan dan
pembangunan
Ditinjau dari sudut penyelenggaraan pemerintahan,
desentralisasi antara lain bertujuan meringankan beban pekerjaan
Pemerintah Pusat. Dengan desentralisasi tugas dan pekerjaan dialihkan
kepada Daerah. Pemerintah Pusat dengan demikian dapat memusatkan
perhatian pada hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan nasional
atau Negara secara keseluruhan.
Dengan demikian, menurut hemat penulis desentralisasi
merupakan asas yang menyatukan penyerahan sejumlah urusan
pemerintahan dari pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah yang
lebih tinggi kepada pemerintah daerah yang lebih rendah sehingga
menjadi urusan rumah tangga sendiri daerah itu. Untuk itu semua
prakarsa, wewenang dan tanggungjawab mengenai urusan-urusan
diserahkan sepenuhnya menjadi tanggungjawab daerah itu.
b. Tujuan dan Konsep Desentralisasi
Tujuan utama yang ingin dicapai melalui kebijaksanaan
desentralisasi yaitu: tujuan politik dan tujuan administratif.
1) Tujuan politik akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagai
medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal dan
secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara
nasional untuk mencapai terwujudnya civil society.
2) Tujuan administratif akan memposisikan Pemerintah Daerah
sebagi unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk
35
menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien, dan
ekonomis yang dalam hal ini terkait dalam pelayanan publik.
Sejalan dengan pendapat tersebut, ide desentralisasi yang
terwujud dalam konsep otonomi daerah sangat terkait dengan konsep
pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu dalam desentralisasi
terdapat 3 (tiga) dimensi utama, yaitu:
1) Dimensi ekonomi, rakyat memperoleh kesempatan dan kebebasan
untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga mereka
secara relatif melepaskan ketergantungannya terhadap bentuk-
bentuk intervensi pemerintah, termasuk didalamnya
mengembangkan paradigma pembangunan yang berorientasi pada
ekonomi kerakyatan. Dalam konteks ini, eksploitasi sumber daya
dilakukan untuk kepentingan masyarakat luas, dilakukan oleh
masyarakat lokal;
2) Dimensi politik, yakni berdayanya masyarakat secara politik, yaitu
ketergantungan organisasi-organisasi rakyat dari pemerintah;
3) Dimensi psikologis, yakni perasaan individu yang terakumulasi
menjadi perasaan kolektif (bersama) bahwa kebebasan menentukan
nasib sendiri menjadi sebuah keniscayaan demokrasi. Tidak ada
perasaan bahwa “orang pusat” lebih hebat dari “orang daerah” dan
sebaliknya.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, tampak bahwa tujuan yang
akan diwujudkan dengan dianutnya konsep desentralisasi adalah agar
tidak terjadi penumpukan kekuasaan (concentration of power) pada
satu pihak saja, yakni Pemerintah Pusat. Dan dengan desentralisasi
diharapkan terjadi distribusi kekuasaan (distribution of power) maupun
transfer kekuasaan (transfer of power) dan terciptannya pelayanan
masyarakat (publik services) yang efektif, efisien dan ekonomis serta
terwujudnya pemerintahan yang demokratis (democratic government)
sebagai model pemerintahan modern serta menghindari lahirnya
pemerintahan sntralistik yang sebenarnya sudah tidak populer.
36
Pemerintahan sentralistik menjadi tidak popular karena tidak mampu
memahami dan menterjemahkan secara cepat dan tepat nilai-nilai yang
tumbuh dan berkembang di daerah, serta kurangnya pemahaman
terhadap sentiment lokal. Salah satu alasan karena warga masyarakat
merasa lebih aman dan tentram dengan badan pemerintah lokal yang
lebih mengetahui keinginan, aspirasi dan kepentingan masyarakat
daerah, serta lebih baik secara fisik dan juga secara psikologis.
Dari uraian-uraian di atas yang perlu diperhatikan adalah nilai-
nilai yang terkandung dalam konsep desentralisasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan baik di pemerintahan pusat maupun
pemerintah daerah.
Menurut Smith, dari sudut pemerintah pusat paling tidak
terdapat 3 (tiga) nilai desentralisasi yaitu:
1) Pendidikan politik, latihan kepemimpinan, dan untuk menciptakan
stabilitas politik. Sementara dari sisi kepentingan pemerintahan
daerah nilai pertama dari desentralisasi adalah untuk mewujudkan
apa yang dinamakan political equality.
2) Terciptanya local accountability dan yang ketiga adalah nilai local
responsiveness.
3) Dari sudut pemerintah pusat desentralisasi mempunyai nilai
sebagai pendidikan politik (political education), hal ini
dmaksudkan agar kepala daerah diharapkan dapat mengetahui akan
hak-hak dan kewajibanya dalam konteks hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Desentralisasi dalam pemerintahan akan berkaiatn dengan dua
hal:
1) Adanya subdivisi teritori dari suatu Negara yang mempunyai
ukuran otonomi. Subdivisi teritori ini memiliki self governing
melalui lembaga politik akar dalam wilayah sesuai dengan batas
yuridiksinya. Wilayah ini tidak diadministrasikan oleh agen-agen
37
pemerintah di atasnya tetapi diatur oleh lembaga yang dibentuk
secara politis di wilayah tersebut.
2) Lembaga-lembaga tersebut akan direkrut secara demokratis.
Berbagai keputusan akan diambil berdasarkan prosedur
demokratis.
Smith mengemukakan bahwa biasanya desentralisasi diasumsikan memerlukan demokrasi. Walaupun secara logis desentralisasi tidak membawa implikasi terhadap demokrasi, tetapi desentralisasi untuk mencapai tujuan yang dikehendaki seperti akuntabilitas pelayanan publik, kesejahteraan dan partisipasi tetap memerlukan adanya demokrasi. Hal ini dapat dipahami karena dengan demokrasi akan muncul para pengambil kebijakansebagai wakil terpilih yang bertanggung jawab pada pemilih dalam kehidupan politik (Smith, 1985:11).
Dengan demikian, menurut hemat penulis dianudnya
konsep desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah
didasarkan pada hal-hal:
1) Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan
desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan
kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat
menimbulan tirani.
2) Dalam bidang penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai
tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam
pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak
demokrasi.
3) Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan
pemerinthan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk
mencapai suatu pemerintahan yang efisien. Apa yang dianggap
lebih utama untuk diurus oleh pemerintah setempat pengurusannya
diserahkan kepada Daerah. Hal-hal yang lebih tepat ditangan Pusat
tetap diurus oleh Pemerintah Pusat.
38
Sehingga desentralisasi mencakup berbagai elemen, yakni:
1) Desentralisasi memerlukan pembatasan area, yang bisa didasarkan
pada tiga hal (pola kehidupan sosial dan ekonomi, rasa identitas
politik, dan efisiensi pelayanan publik yang bisa dilaksanakan;
2) Desentralisasi yang meliputi pula pendelegasian wewenang, baik
itu kewenangan politik maupun kewenangan birokratis.
c. Derajat Desentralisasi dan Desentralisasi di Indonesia
Derajat desentralisasi dapat disusun berdasarkan faktor-faktor
tertentu meski masih mengundang perdebatan. Faktor-faktor tersebut
antara lain:
1) Desentralisai dapat dilihat dari fungsi yang dijalankan
pemerintahan daerah. Semakin banyak fungsi yang
didesentralisasikan maka semakin tinggi pula desentralisasinya.
Dalam hal ini apabila kita kaitkan dengan bidang pelayanan publik,
berarti apabila terdapat banyak fungsi (hal-hal yang berkaitan
dengan pelayanan publik) dari pemerintah pusat yang
didesentralisasikan ke pemerintah derah maka semakin tinggi pula
desentralisasinya.
2) Jenis pendelegasian fungsi ada dua jenis dalam hal ini, open-end
arrangement atau general competence dan ultra-vires doctrine.
Jika suatu pemerintah daerah memiliki fungsi atas tipe
pendelegasian general competence maka dapat dianggap derajat
desentralisasinya lebih besar.
3) Jenis kontrol pemerintah pusat atas pemerintah daerah. Kontrol
represif derajat desentralisasinya lebih besar kontrol yang bersifat
preventif.
4) Berkaitan dengan keuangan daerah yang menyangkut sejauh mana
adanya desentralisasi pengambilan keputusan, baik penerimaan
maupun pengeluaran pemerintah daerah. Apabila dikaitkan dal
39
bidang pelayanan publik dalam pemerintah daerah, aspek
desentralisasi dapat dilihat melalui faktor ini yaitu sejauh mana
pemerintah daerah berperan dalam pengambilan keputusan
mengenai keuangan daerah yaitu baik yang berkaitan dengan
penerimaan maupun pengeluaran pemerintah berkatan bidang
pelayan publik ini.
5) Berkaitan dengan metode pembentukan pemerintahan daerah.
Derajat desentralisasi akan lebih tinggi jika sumber otoritas daerah
berasal dari ketetapan legislatif daripada pendelegasian dari
eksekutif.
6) Derajat ketergantungan financial pemerintah dearah terhadap
pemeintah pusat. Semakin besar presentase bantuan pemerintah
pusat daripada penerimaan asli daerah, berarti semakin besar pula
ketergantungan daerah tersebut kepada pusat. Hal ini berarti derajat
desentralisasinya lebih rendah.
7) Besarnya wilayah pemerintahn daerah. Ada anggapan bahwa
semakin luas wilayahnya maka semakin besar derajat
desentralisasinya karena pemerintah daerah lebih dapat mengatasi
persoalan dominanasi pusat atas daerah. Meskipun demikian,
hubungan antara besaran wilayah dengan kontrol masih terbuka
untuk diperdebatkan.
8) Politik partai, jika perpolitikan di tingkat daerah masih didominasi
oleh organisasi politik nasional maka derajat desentralisasinya
dianggap lebih rendah daripada jika perpolitikan di tingkat lokal
lebih mandiri dari organisasi politik nasional.
9) Faktor lainnya adalah sruktur dari system pemerintahan
desentralissi. Sistem pemerintahannya yang sederhana dianggap
kurang desentralistis bila dibandingkan dengan system yang
kompleks.
40
Diantara delapan faktor yang dapat dipergunakan untuk
menentukan derajat desentralisasi suatu Negara, dua faktor pertama
sering kali mendapat perhatian lebih besar daripada sisi administrasi
publik karena secara langsung berkenaan dengan ruang lingkup
pelayanan yang dapat diberikan administrasi publik kepada masyarakat
melalui penjenjangan susunan pemerintahan. Untuk itu, persoalan
distribusi fungsi atau wewenang dalam rangka desentralisasi tersebut
dapat dilacak dari tulisan Diana Conyers yang berjudul
“Desentralization and Developoment: a Framework for analysis”(
Diana Conyers dalam Khairul Muluk 2007:18).
Berdasarkan tulisan Conyers tersebut terdapat beberapa hal
yang perlu dipertimbangkan dalam distribusi wewenang.
1) Menyangkut aktifitas fungsional apa yang perlu didesentralisasi.
Komponnen ini menyangkut keseluruhan fungsi, kecuali fungsi
yang penting bagi kesatuan national, beberapa kategori fungsi, atau
fungsi tunggal saja. Dalam hal ini, tampaknya distribusi fungsi
yang terjadi di Indonesia dalam UU No. 32 Tahun 2004 adalah
cara yang pertama, yakni menyangkut keseluruhan fungsi kecuali
aktifitas yang penting bagi kesatuan nasional. Fungsi yang
dikecualikan tersebut adalah pertahanan, moneter, yudisial, agama,
dan hubungan luar negeri.
2) Tentang kekuasaan apa saja yang perlu dilekatkan dalam aktivitas
atau fungsi yang didesentralisasi. Dalam hal ini ada tiga kategori
kekuasaan, yakni kekuasaan dalam pembuatan kebijakan (dibagi
lagi dalam kekuasaan mengatur dan mengurus), kekuasaan dalam
bidang keuangan, dan kukuasaan di bidang kepegawaian
(kekuasaan dalam menentukan prasyarat, penetapan, penunjukan,
pemindahan, pengawasan, dan penegakan disiplin). Distribusi
fungsi di Indonesia juga meliputi kekuasaan dalam hal pembuatan
kebijakan yang mencakup kekuasan mengatur (policy making atau
41
regeling) dan mengurus (policy executive atau bestuur). Kekuasaan
keuangan juga menunjukan adanya desentralisasi fiscal yang
berarti ada distribusi kekuasaan untuk memutuskan sendiri baik
penerimaan maupun pengeluaran. Selanjutnya kekuasaan di bidang
kepegawaian yang ada dalam kebijakan desentralisasi di Indonesia
juga menunjukan tanda adanya distribusi kekuasaan kepada daerah
yang mencakup komponen tersebut.
3) Menyangkut desntralisasi kekuasaan pada tingkat tertentu yang
mencakup tiga tingkatan, yakni pada tingkat wilayah (regions) atau
Negara bagian (state) dengan jumlah penduduk satu juta atau lebih;
tingkatan distrik atau setara dengan jumlah penduduk 50.000
sampai 200.000; dan tingkatan desa atau masyarakat.
Kebijakan desentralisasi yang dijalankan di Indonesia sesuai
dengan UU No. 32 Tahun 2004 tidak lagi merujuk pada istilah
tingkatan karena hubungan provinsi dan daerah kita bersifat coordinate
dan independent. Distribusi fungsi diberikan pada provinsi atau pada
tingkatan pertama dalam pembagian dan kabupaten atau kota setara
dengan tingkatan ke dua. Selain itu, UU No. 32 Tahun 2004 juga
mengatur distribusi fungsi pada pemerintahan desa yang setara dengan
tingkatan ketiga. Namun dalam hal pelaksanaannya, distribusi fungsi
pada pemerintahan desa dijalankan dibawah subordinasi dan
bergantung pada daerah kabupaten atau kota.
Pada sistem pemerintahan yang terbaru tidak lagi banyak
menerapkan sistem sentralisasi, melainkan sistem otonomi daerah yang
memberikan sebagian wewenang yang tadinya harus diputuskan pada
pemerintah pusat kini dapat di putuskan di tingkat pemerintah daerah
atau pemda. Kelebihan sistem ini adalah sebagian besar keputusan dan
kebijakan yang berada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa
adanya campur tangan dari pemerintahan di pusat. Namun kekurangan
dari sistem desentralisasi pada otonomi khusus untuk daerah adalah
42
euforia yang berlebihan di mana wewenang tersebut hanya
mementingkan kepentingan golongan dan kelompok serta digunakan
untuk mengeruk keuntungan pribadi atau oknum. Hal tersebut terjadi
karena sulit untuk dikontrol oleh pemerintah di tingkat pusat.
Pemberian otonomi daerah sebagai perwujudan dari
desentralisasi pada hakekatnya memberikan kewenangan kepada
daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
(UU No. 32 Tahun 2004).
Desentralisasi diselenggarakan untuk mewakili kepentingan
nasional. Desentralisasi diselenggarakan untuk mewakili kepentingan
masyarakat setempat (lokal) di daerah dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Mengingat masyarakat tiap masyarakat
lokal memiliki keunikan masing-masing, dengan demikian hanya
cocok jika instrumen desentralisasi diterapkan.
Desentralisai merupakan keharusan dan kebutuhan setiap
masyarakat apapun bentuk dan ideologi negaranya. Praktek
penyelenggaraan sentralisasi yang berlebihan terbukti menimbulkan
kekecewaan dan ketidakpuasan warga masyarakat terhadap
pemerintahannya. Desentralisasi sangat didambakan/disukai, dan
karenanya memiliki nilai (value) baik sedangkan sentralisasi bernilai
buruk sehingga cenderung ditolak.
Desentralisasi menurut berbagai pakar memiliki segi positif,
diantaranya : secara ekonomi, meningkatkan efisiensi dalam
penyediaan jasa dan barang publik yang dibutuhkan masyarakat
setempat, megurangi biaya, meningkatkan output dan lebih efektif
dalam penggunaan sumber daya manusia. Secara politis, desentralisasi
dianggap memperkuat akuntabilitas, political skills dan integrasi
43
nasional. Desentralisasi lebih mendekatkan pemerintah dengan
masyarakatnya, memberikan/menyediakan layanan lebih baik,
mengembangkan kebebasan, persamaan dan kesejahteraan.
Desentralisasi/otonomi adalah persoalan yang menyangkut hak
asasi manusia, oleh karena dalam desentralisasi/otonomi individu
diberikan kebebasan untuk berpikir dan bertindak atas dasar aspirasi
masing-masing, tiap individu dipenuhi kebutuhan hidupnya dengan
cara dan kualitas yang terbaik, berpartisipasi dalam kehidupan sosial,
ekonomi dan politik, dengan tidak ada kontrol langsung dari
pemerintah pusat. Dalam era otonomi daerah, dituntu peranan
pemerintah daerah untuk memberikan kesejahteraan kepada
masyarakat daerahnya dengan penyediaan publik services yang sangat
dibutuhkan. Pergeseran paradigma dari good government menuju good
governance (local governance), akan melibatkan hubungan antara
pemerintah daerah dengan masyarakatnya dalam kegiatan/urusan
urusan pemerintahan. Dalam good governance harus ada
keseimbangan antara publik, privat dan sosial/ masyarakat. Dengan
demikian desentralisasi/otonomi tidak hanya berupa penyerahan
wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, tetapi
juga penyerahan wewenang kepada masyarakat (J.B. Kristiadi :1994).
Desentralisasi menggambarkan pengalihan tugas operasional
dari pemerintahan pusat ke pemerintahan lokal, dan desentralisasi
menunjukkan pendekatan atau devolusi kewenangan pembuatan
keputusan kepada pemerintah yang tingkatannya lebih rendah, dengan
demikian desentralisasi merupakan wahana dalam rangka
memampukan masyarakat daerah/lokal.
Selain sebagai wahana memampukan masyarakat lokal
desentralisasi jika dilihat latar belakang sejarah kemunculannya,
bermuara pada peningkatan kualitas pelayanan publik. Ide
44
desentralisasi muncul sebagai dampak adanya tuntutan akan perlunya
percepatan pelayanan yang harus dilakukan oleh pemerintah kepada
masyarakat (sebagai konstituennya). untuk menjawab tuntutan ini,
maka selain menyerahkan pemberian layanan layanan kepada lembaga
yang terdekatdengan masyarakat, yang secara hierarkhis adalah
penyerahan peran pemberian layanan publik kepada kepada lembaga
pemerintah dibawahnya, juga pengalihan peran pemberian layanan
publik dari pemerintah kepada swasta.
2. Tinjauan tentang Kewenangan
a. Definisi Kewenangan
Kewenangan atau wewenang adalah suatu istilah yang biasa
digunakan dalam lapangan hukum publik. Namun sesungguhnya
terdapat perbedaan diantara keduanya. Kewenangan adalah apa yang
disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan
yang diberikan oleh Undang-undang atau legislatif dari kekuasaan
eksekutif atau administratif. Karenanya, merupakan kekuasaan dari
segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap suatu bidang
pemerintahan atau urusan pemerintahan tertentu yang bulat.
Sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari
kewenangan. Wewenang (authority) adalah hak untuk memberi
perintah, dan kekuasaan untuk meminta dipatuhi.
b. Jenis-jenis Wewenang
Berdasarkan sumbernya wewenang dibedakan menjadi dua
yaitu wewenang personal dan wewenang offisial.
1) Wewenang personal
45
Bersumber pada intelegensi, pengalaman, nilai atau normal, dan
kesanggupan untuk memimpin.
2) Wewenang offisial
Merupakan wewenang resmi yang di terima dari wewenang yang
berada di atasnya.
c. Cara memperoleh kewenangan
Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui 2 (dua) cara
yaitu dengan atribusi atau dengan pelimpahan wewenang.
1) Atribusi
Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan.
Dalam tinjauan hukum tata Negara, atribusi ini ditunjukan dalam
wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam
menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang
dibentuk oleh pembuat undang-undang. Atribusi ini menunjuk
pada kewenangan asli atas dasar konstitusi (UUD) atau peraturan
perundang-undangan.
2) Pelimpahan wewenang
Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian dari
wewenang pejabat atasan kepada bawahan tersebut membantu
dalam melaksanakan tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak
sendiri. Pelimpahan wewenang ini dimaksudkan untuk menunjang
kelancaran tugas dan ketertiban alur komunikasi yang bertanggung
jawab, dan sepanjang tidak ditentukan secara khusus oleh
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Proses pelimpahan dapat melalui :
46
a) Delegasi yaitu pendelegasian diberikan biasanya antara organ
pemerintah satu dengan organ pemerintah lain, dan biasanya
pihak pemberi wewenang memiliki kedudukan lebih tinggi dari
pihak yang diberikan wewenang.
b) Mandat, pada umumnya mandat diberikan dalam hubungan
kerja internal antara atasan dan bawahan.
d. Definisi Pelimpahan wewenang
Menurut Sutarto pengertian pelimpahan wewenang adalah
penyerahan sebagian hak untuk mengambil tindakan yang diperlukan
agar tugas dan tanggungjawabnya dapat dilaksanakan dengan baik dari
pejabat yang satu kepada pejabat yang lain (Sutarto, 1993:158).
Menurut Staff of Rohre, Hibler dan Replogle (Ero H.Rosydi,
1982:12) mendefinisikan pelimpahan wewenang:
“ delegation of authority is the process by which authority is distributed throughout an organization. This concept includes the idea of assigning duties and authority to those individuals who are expected to assist in attaining the desired goal”
Sehingga pelimpahan wewenang adalah proses pendistribusian
wewenang melalui suatu organisasi atau lembaga. Konsep ini termasuk
pemberian kewajiban dan wewenang kepada individu-individu yan
diharapkan membantu dalam mencapai tujuan yang dikehendaki (Ero
H.Rosydi, 1982:12).
e. Manfaat dan Batasan Pelimpahan Wewenang
Dalam rangka pelimpahan wewenang ada beberapa hal yang
harus diperhatikan antara lain:
1) Batas wewenang, setiap pejabat yang akan melimpahakan
wewenang kepada pejabat lain harus mengetahui dengan jelas
47
terlebih dahulu apa saja wewenang yang dimiliki dalam organisasi
tempat kerjanya;
2) Tanggungjawab pelimpahan wewenang dipikul bersama antara
pejabat yang melimpahkan wewenang dan pejabat yang menerima
wewenang;
3) Antara tugas, tanggungjawab dan wewenang harus seimbang,
apabila tugas yang diserahkan ringan maka tanggungjawab juga
harus ringan sehinggga wewenang yang diperlukan juga sedikit,
sebaliknya apabila tugas yang diserahkan berat maka akan
menimbulkan tanggungjawab yang lebih berat, sehingga
wewenang yang dilimpahkan harus besar pula;
4) Kemampuan memperhatikan pendapat dari pejabat yang menerima
limpahan, apabila seorang pejabat telah berani melimpahkan
sebagian wewenangnya kepada pejabat bawahannya harus disertai
kemauan sewaktu-waktu memperhatikan pendapat atau saran dari
pejabat bawahanya;
5) Mempercayai pejabat yang diserahi wewenang.
Pelimpahan wewenang sangat penting dilakukan, banyak
pemimpin yang berhasil berkat kecakapannya dalam melimpahkan
wewenangnya kepada bawahan. Tanpa pelimpahan wewenang tidak
ada organisasi yang berfungsi dengan efektif.
Menurut C.L.Littlefield, Frank M. Rachel, Donal L.Caruth (Ero
H.Rosydi, 1982:12) menyebutkan ada dua manfaat pelimpahan
wewenang:
1) Eksekutif dibebaskan dari tugas detail dan memberikan lebih
banyak waktu dalam kedudukannya untuk tanggungjawab
manajerial.
2) Para pegawai dari kesatuan kerja diberi kesempatan untuk berpikir
dan untuk mengembangkan dirinya. Ini penting bagi dua hal baik
48
untuk kepuasan mereka maupun suksesnya organisasi dikemudian
hari.
f. Asas-asas Pendelegasian Wewenang
Terdapat 7 asas dalam pendelegasian wewenang antara lain:
1) Asas kepercayaan,delegartor hanya mendelegasikan sebagian
wewenang kepada deleget, jika deleget tersebut dapat dipercaya,
kepercayaan ini harus didasarkan atas pertimbangan yang objecktif
mengenai kecakapan, kemampuan, kejujuran, ketrampilan dan
tanggungjawab dari deleget yang bersangkutan;
2) Asas delegasi atas hasil yang diharapkan, asas ini memperhatikan
hasil yang akar, diperoleh dari pendelegasian wewenang itu yang
harus sesuai dengan adanya jaminan kecakapan dan keterampilan
untuk mncapai hasil yang diharapkan;
3) Asas penentuan fungsi atau kejelasan tugas, semakin jelas kegiatan
yang harus dilakukan, maka akan semakin jelas delegtions of
authority dalam organisasi dan semakin jelas pula hubungan
wewenang dengan bagian lainya, maka akan semakin jelas
tanggungjwab dalam melakukan tugas-tugas untuk mencapai
tujuan;
4) Asas rantai berkala, asas ini menghendaki adanya urutan-urutan
wewenang dari manajer puncak sampai pada bawahan, jika
manajer akan memerintahkan tugas kepada bawahan harus melalui
tingkatan yang ada;
5) Asas keseimbangan wewenang dan tanggungjawab, besarnya
wewenang yang didelegasikan harus sesuai dan seimbang dengan
besarnya tugas dan tanggungjawab;
6) Asas pembegian kerja untuk berfungsinya organisasi hendaknya
dilakukan distribusi pekerjaan, karena tanpa adanya pembagian
49
kerja manajemen tidak berarti apa-apa dan semua tudas akan
langsung dikerjakan sendiri oleh manajer;
7) Asas kemutlakan tanggungjawab, bahwa setiap deleget yang
menerima wewenang mutlak harus bertanggungjawab kepada
delegatornya menegenai wewenang yang dilakukan.
Berlandaskan pada PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom
sebagaimana telah diperbaharui dengan PP No. 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi,
dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kota, tujuan peletakan kewenangan
dalam penyelenggaraan otonomi daerah adalah peningkatan
kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan, demokratisasi dan
penghormatan terhadap budaya lokal dan memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah.
Daerah berkewajiban menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya secara mandiri. Urusan yang menjadi
kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan.
Urusan pemerinthan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh pemerintahan daerah terkait dengan pelayanan
dasr (basic services) bagi masyarakat. Sedangkan urusan pemerintahan
yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan
oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait dengan
upaya mengembangkan potensi unggulan yang menjadi kekhasan
daerah.
Sebagaimana diamanatkan dalam peraturan perundang-
undangan, urusan pemerintahan wajib dan pilihan menjadi dasar
susunan organisasi dan tata kerja perangkat daerah.
g. Derajat Pelimpahan Wewenang
50
Dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah secara
teoritis penyerahan wewenang kepada daerah didasarkan pada
pertimbangan bahwa urusan-urusan yang diserahkan akan lebih
efisien, efektif dan akuntabel apabila diserahkan kepada daerah untuk
mengelolannya. Efisien dalam hal ini adalah bahwa urusan tersebut
dari segi dana dan daya akan lebih menguntungkan dilakukan
didaerah. Sedangkan yang dimaksud efektif adalah penyerahan urusan
tersbut akan mencapai sasaran yang diinginkan. Akuntabel berarti
bahwa pemerintah daerah didalam menjalankan urusan-urusan
bertanggungjawab kepada rakyat pemilih. Pemerintah dipilih da
mendapatkan legitimasi atau kepercayaan dari rakyat melalui
pemilihan. Dalam menjalankan kegiatannya, pemerintah dibiayai oleh
dana masyarakat melalui mekanisme pajak. Untuk itu maka sebaiknya
pemerintah bertanggungjawab kepada rakyat yang telah memberikan
legitimasi dan biaya untuk menjalankan kekuasaannya. Itulah esensi
dari akuntabilitas tersebut.
Dikaitkan dengan penyerahan urusan-urusan yang sesuai yang
sesuai dengan daerah, maka ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan
acuan dalam mendesentralisasikan kewenangan tersebut.
1) Urusan tersebut haruslah bersifat lokal yaitu untuk memenuhi
kebutuhan lokal. Urusan lokal berarti bahwa urusan-urusan
tersebut bukan berskala nasional. Urusan-urusan yang berskala
nasional umumnya yang berkaitan dengan pertahanan, keaman,
hubungan luar negeri, kegiatan moneter dalam arti mencetak uang
dan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat antar propinsi (regional)
yang akan lebih tepat ditangani secara nasional.
2) Urusan tersebut akan lebih efisien, efektif dan akuntabel kalau
dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Kriteria efektif dan efisien
sering menimbulkan debat yang berkepanjangan. Banyak orang
berargumen bahwa suatu urusan akan jauh lebih efisien kalu
51
dilakukan oleh unit yang besar dengan pertimbangan economies of
scale, misalnya pembangunan prasarana social seperti air, rumah
sakit, transportasi akan jauh lebih efisien kalau mencakup wilayah
yang luas. Dengan perkembangan teknologi terutama kemudahan
komunikasi, faktor geografis di dalam penentuan desentralisasi
menjadi semakin berkurang perannanya. Suatu urusan akan jauh
lebih efisien kalau dipusatkan dalam suatu unit pemerintahan
karena kemudahan komunikasi, urusan tersebut menjadi aksesibel
secara geografis.
h. Pendistribusian Wewenang Pemerintah Pusat kepada Daerah
Dasar pendistribusian kewenangan antara Pusat dan daerah ada
dua pendekatan. Pertama berdasarkan pada basis kewilayahan
(teritorial) dimana kewenangan untuk menyelengggarakan urusan-
urusan local didistribusikan antara satuan wilayah (state local
goverment) dan dan pemerintah lokal (local state government).
Kedua, berdasarkan pada basis fungsional, kewenangan untuk
menyelenggarakan urusan-urusan pemerintah local didistribusikan
antara kementrian-kemetrian pusat yang bersifat khusus dan agen-
agennya yang berada di luar kantor pusatnya sebagai pelaksana
kebijakan darinya.
Pemerintah pusat mendistribusikan kewenangan
penyelenggaraan urusan-urusan lokal tersebut pada badan-badan
pelaksananya baik secara teritorial maupun fungsional, yang saling
terkait, saling melengkapi, tumpang tindih dan bersaing.
i. Cara Penyerahan Wewenang Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah
52
1) Ultra Vires Doctrine
Pemerintah pusat menyerahkan wewenang pemerintahan kepada
daerah otonom dengan cara merinci satu persatu. daerah otonom
hanya boleh menyelenggarakan sesuai apa yang dirinci oleh
pemerintah pusat. Pemerintah pusat menyerahkan urusan setahap
demi setahap dengan tetap memperhatikan keadaan dan
kemampuan daerah yang bersangkutan. Sisa urusan yang
diserahkan kepada daerah tetap menjadi kewenangan pusat.
2) Open end agrragement atau general competence
Daerah otonom bolah menyelenggarakan semua urusan diluar
yang dimiliki pusat. Artinya pusat meneyerahkan kewenangan
kepada daerah untuk menyelenggararak kewenangan berdasarkan
kebutuhan dan inisiatifnya sendiri di luar kewenangan yang
dimiliki pusat.
j. Penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang
Penyalahgunaan wewenang merupakan suatu tindakan yang
dilakukan oleh seseorang dalam hal ini apartur daerah sebagai
pelaksana pelayanan publik dimana orang atau aparatur tersebut
melakukan suatu tindakan yang melebihi kewenangan yang
dimilikinya.
Di dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara salah satu isinya menyebutkan bahwa ada dua jenis
penggunaan wewenang, yaitu penyalahgunaan wewenang
(detournement de pouvoir) dan tindakan sewenang-wenang (willkeur).
Pasal 53 ayat (2) huruf b dan c berbunyi sebagai berikut:
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan
keputusan sebagaimana di maksud dalam ayat (1) telah
53
menggunakan wewenangnnya untuk tujuan lain dari maksud yang
diberikan wewenang tersebut.
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan
keputusan sebagaimana di maksud dalam ayat (1) telah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan
keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau
tidak mengambil keputusan tersebut.
Sedang tindakan sewenang-wenang merupakan tindakan yang
dilakukan seseorang dalam hal ini aparatur pemerintah daerah sebagai
pelaksana pelayanan publik dimana tindakan yang dilakukannya
tersebut sebenarnya bukan kewenangannya akan tetapi tetap dilakukan
melebihi kewenangan yang sesunguhnya.
k. Kewenangan Diskresi
Diskresi adalah kewenangan Pejabat Administrasi
Pemerintahan yang digunakan dalam mengambil keputusan untuk
mengatasi masalah dengan memperhatikan batas-batas hukum yang
berlaku,asas-asas umum pemerintahan yang baik dan norma-norma
yang berkembang di masyarakat.dalam konteks tersebut, diskresi
berarti suatu bentuk kelonggaran pelayanan yang diberikan aparatur
penyelenggara pelayanan publik kepada masyarakat sebagai pengguna
jasa. Pertimbangan melakukan diskresi adalah adanya realitas bahwa
suatu kebijakan atau peraturan tidak mungkin mampu merespon
banyak aspek dan kepentingan semua pihak sebagai akibat
keterbatasan prediksi para stakeholder dalam proses perumusan
kebijakan.
Unsur kewenangan dalam diskresi Menurut Hadjon diskresi
mengandung dua kewenangan yaitu, kewenangan untuk memutus
sendiri dan kewenangan untuk interpretasi sendiri.
54
Cst. Kansil mengemukakan bahwa setiap pejabat administrasi
bebas bertindak mengambil keputusan dengan pendapat sendiri akan
tetapi harus berdasarkan asas legalitas (Cst. Kansil dan Christine st
Kansil, 1997:163).
3. Tinjauan Tentang Pelayanan Publik
a. Definisi Pelayanan Publik
1) Menurut Kotler sebagaimana terpetik dalam Lijan Poltak
Sinambela, pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan
dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan
meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik
(Lijan Poltak Sinambela, 2008:4)
2) Samparan Lukman dalam Lijan Poltak Sinambela berpendapat,
pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi
dalam interaksi dalam interaksi langsung antar seseorang dengan
orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan
pelanggan (Lijan Poltak Sinambela, 2008:5).
3) Kamus Besar Bahasa Indonesia
Istilah public berasal dari Bahasa Inggris yang berarti umum,
masyarakat, negara. Kata publik sebenarnya sudah diterima
menjadi Bahasa Indonesia Baku menjadi Publik yang berarti
umum, orang banyak, ramai. Padanan kata yang tepat digunakan
adalah praja yang sebenarnya bermakna rakyat sehingga lahir
istilah pamong praja yang berarti pemerintah publik adalah
sejumlah manusia yang memiliki kebersamaan berpikir, perasaan,
harapan, sikap dan tindakan yang benar dan baik berdasarkan nilai-
nilai norma yang merasa memiliki. Oleh karena itu pelayanan
publik diartikan sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap
kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau
55
kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun kepuasan meskipun
hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.
4) Menurut UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa pelayanan publik adalah
kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan
kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundangundangan
bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan / atau
pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara
pelayanan publik.
Pelayanan publik diartikan, pemberian layanan (melayani)
keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada
organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah
ditetapkan.
Pelayanan publik pada dasarnya menyangkut aspek kehidupan
yang sangat luas. Dalam kehidupan bernegara, maka pemerintah
memiliki fungsi memberikan berbagai pelayanan publik yang
diperlukan oleh masyarakat, mulai dari pelayanan dalam bentuk
pengaturan atau pun pelayanan-pelayanan lain dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan,
utlilitas, dan lainnya. Berbagai gerakan reformasi publik (publik
reform) yang dialami negara-negara maju pada awal tahun 1990-an
banyak diilhami oleh tekanan masyarakat akan perlunya peningkatan
kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah. Di
Indonesia, upaya memperbaiki pelayanan sebenarnya juga telah sejak
lama dilaksanakan oleh pemerintah, antara lain melalui Inpres No. 5
Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian
Perijinan di Bidang Usaha. Upaya ini dilanjutkan dengan Surat
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No.
81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Untuk lebih
mendorong komitmen aparatur pemerintah terhadap peningkatan mutu
56
pelayanan, maka telah diterbitkan pula Inpres No. 1 Tahun 1995
tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur
Pemerintah Kepada Masyarakat. Pada perkembangan terakhir telah
diterbitkan pula Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003
tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. (Dr.
Ismail Mohamad Deputi II Bidang Kajian Manajemen Kebijakan dan
Pelayanan Lembaga Administrasi Negara disampaikan dalam acara
Seminar “Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi” yang
diselenggarakan oleh Bappenas, pada tanggal 18 Desember 2003, di
Kantor Bappenas, Jakarta Pusat.)
Menurut Kepmenpan No.63/KEP/M.PAN/7/2003, publik
adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan. Dengan
demikian, pelayanan publik adalah pemenuhan keinginan dan
kebutuhan masyarakat oleh penyelenggara Negara. Negara didirikan
oleh publik (masyarakat) tentu saja dengan tujuan agar dapat
menngkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada hakikatnya Negara
dalam hal ini pemerintah (birokrat) haruslah dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat. Kebutuhan dalam hal ini bukanlah kebutuhan
secara individual akan tetapi berbagai kebutuhan yang sesungguhnya
diharapkan masyarakat, misalnya kebutuhan akan kesehatan,
pendidikan, dan lain-lain.
b. Penyelenggara Pelayanan Publik menurut UU No. 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik.
Dalam Pasal 1 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya
disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-
57
undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang
dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik.
Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya, pelayanan
publik atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh
organisasi privat, adalah semua penyediaan barang atau jasa publik
yang diselenggarakan oleh swasta, seperti misalnya rumah sakit
swasta, PTS, perusahaan pengangkutan milik swasta.
2. Pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh
organisasi publik. Yang dapat dibedakan lagi menjadi :
a) bersifat primer adalah semua penyediaan barang/jasa publik
yang diselenggarakan oleh pemerintah yang di dalamnya
pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara dan
pengguna/klien mau tidak mau harus memanfaatkannya.
Misalnya adalah pelayanan di kantor imigrasi, pelayanan
penjara dan pelayanan perizinan.
b) bersifat sekunder, adalah segala bentuk penyediaan barang/jasa
publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi yang di
dalamnya pengguna/klien tidak harus mempergunakannya
karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_publik)
c. Tujuan dan Kualitas Pelayanan Publik menurut UU No.25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik
Secara teoritis menurut Litjan Poltak Sinambela, tujuan
pelayanan publik pada dasarnya adalah memuaskan masyarakat (Litjan
Poltak Sinambela dkk, 2008:6).
58
Untuk mencapai kepuasan tersebut dituntut kualitas pelayanan
prima yang tercermin dari:
1) Transparansi, yakni pelayanan yang bersifat terbuka, mudah dan
dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan
secara memadai serta mudah dimengerti;
2) Akuntabilitas, yakni pelayanan yang dapat dipertanggung-
jawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
3) Kondisional, yakni pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan
kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap
berpegang pada prinsip efisiensi dan efektifitas;
4) Partisipasif, yakni pelayanan yang dapat mendorong peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan
memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat.
5) Kesamaan hak, yakni pelayanan yang tidak melakukan
diskriminasi dilihat dari aspek apapun khususnya suku, ras, agama,
golongan, status social, dan lain-lain;
6) Keseimbangan hak dan kewajiban, yakni pelayanan
mengembangkan aspek keadilan antara pemberi dan penerima
pelayanan.
Agar pelayanan yang diberikan berkualitas harus mengacu
pada:
1) Kualitas terdiri atas sejumlah keistimewaan produk, baik
keistimewaan langsung, maupun keistimweaan atraktif yang
memenuhi keinginan pelanggan (dalam hal ini masyarakat) dan
memberikan kepuasan atas penggunaan produk;
2) Kualitas terdiri atas segala sesuatu yang bebas dari kekurangan
atau kerusakan.
Fitzsimmons dan Fitzsimmons dalam Litjan Poltak Sinambela, berpendapat terdapat lima indikator pelayanan publik:
59
1) Realiability yang ditandai pemberian pelayanan yang tepat dan benar;
2) Tangibles yang ditandai dengan penyediaan yang memadai sumber daya manusia dan sumber daya lainnya;
3) Responsiveness, yang ditandai dengan keinginan melayani konsumen dengan cepat;
4) Assurance, yang ditandai dengan tingkat perhatian terhadap etika dan moral dalam memberikan pelayanan;
5) Empati, yang ditandai tingkat kemauan untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen (Litjan Poltak Sinambela, 2008:7).
d. Konsep Efisien dan Efektifitas dalam Pelayanan Publik
Ada kecenderungan bahwa efisiensi dan efektifitas menjadi
identitas pertama aparat emerintah dalam memberikan pelayanan
publik. Efektifitas pelayanan publik bisa dilihat dari tingkat
keberhasilan pelayanan yang telah diberikan pada publik itu sendiri.
Efisiensi pelayanan publik ditandai dengan sejauh mana sumber daya
yang digunakan untuk memberikan pelayanan. Biasanya efisiensi lebih
menekankan pada aspek internal yang terjadi dalam organisasi publik
tersebut.
Pelayanan publik lebih menekankan efektivitas dibanding
efisiensi dalam kinerjanya. Untuk mengetahui efektivitas kegiatan
organisasi pelayanan publik, dikenal beberapa pendekatan:
1) Pendekatan sasaran (goal approach)
Pendekatan ini memusatkan perhatiannya dalam mengukur
efektivitas ada aspek output, yaitu dengan mengukur keberhasilan
organisasi publik dalam mencapai tingkatan output yang
direncanakan. Beberapa sasaran yang dianggap penting dalam
kinerja suatu organisasi adalah efektivitas, efisiensi, produktivitas,
keuntungan, pengembangan, stabilitas dan kepemimpinan.
60
2) Pendekatan sumber (system resource approach)
Yaitu dengan mengukur keberhasilan organisasi publik dalam
mendapatkan sumber-sumber yang dibutuhkan untuk mencapai
performasi yang baik.
3) Pendekatan proses
Menekankan pada aspek internal organisasi yaitu dengan
mengukur efektivitas layanan publik melalui berbagai indikator
organisasi, seperi efisiensi dan iklim organisasi.
4) Pendekatan integratif
Merupakan gabungan dari ke tiga pendekatan, yang muncul
sebagai akibat kelemahan dan kelebihan dari ke tiga pendekatan
tersebut. Termasuk dalam pendekatan ini antara lain adalah
pendekatan konstituensi, yakni pendekatan bidang sasaran dan
kerangka ketergantungan, yang memusatkan perhatiannya pada
konstituensi organisasi, yaitu berbagai kelompok di luar organisasi
memiliki kepentingan terhadap performasi organisasi, seperti
karyawan, pemilik, konsumen, dan sebagainya.
e. Asas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik menurut UU No.
25 Tahun 2009 Pelayanan Publik
Dalam UU No.25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,
penyelenggaraan pelayanan publik berasaskan :
1) Kepentingan umum;
Pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan
pribadi dan/atau golongan.
61
2) Kepastian hukum;
Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan
pelayanan.
3) Kesamaan hak;
Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama,
golongan, gender, dan status ekonomi.
4) Keseimbangan hak dan kewajiban;
Pemenuhan hak hams sebanding dengan kewajiban yang harus
dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan.
5) Keprofesionalan;
Pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai
dengan bidang tugas.
6) Partisipatif;
Peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan
masyarakat.
7) Persarnaan perlakuan/ tidak diskriminatif;
Setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil.
8) Keterbukaan;
Setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan
memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan.
62
9) Akuntabilitas;
Proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggung-
jawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
10) Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
Pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta
keadilan dalam pelayanan.
11) Ketepatan waktu;
Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai
dengan standar pelayanan.
12) Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Setiap jenis pelayanan tlilakukan secara cepat, mudah, dan
terjangkau.
f. Ruang Lingkup Pelayanan Publik Menurut UU No. 25 tahun
2009 tentang Pelayanan Publik
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UU No. 25 tahun 2009 ruang
lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan barang publik dan jasa
publik serta pelayanan administratif yang diatur dalarn peraturan
perundang-undangan. Ruang lingkup sebagaimana dimaksud pada
pasal 5 ayat (1) UU No. 25 tahun 2009 meliputi pendidikan,
pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan
informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi,
perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor
strategis lainnya.
63
Sedang pelayanan barang publik sebagaimana dimaksud pada
Pasal 5 ayat (1) UU No. 25 tahun 2009 meliputi:
1) Pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh
instansi pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber
dari anggaran pendapatan dan belanja Negara dan/atau anggaran
pendapatan dan belanja daerah.
2) Pengadaan dan penyaluran barang publik yang dilakukan oleh
suatu badan usaha yang modal pendiriannya sebagian atau
seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/atau kekayaan
daerah yang dipisahkan; dan
3) Pengadaan dan penyaluran barang publik yang pembiayaannya
tidak bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah atau badan usaha yang
modal pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari
kekayaan Negara dan/ atau kekayaan daerah yang dipisahkan,
tetapi keterscdiaannya menjadi misi negara yang ditetapkan dalam
peraturan perundangundangan.
Pelayanan atas jasa publik sebagaimana dimaksud pada Pasal 5
ayat (1) UU No. 25 tahun 2009 meliputi:
1) Penyediaan jasa publik oleh instansi pemerintah yang sebagian
atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan
belanja Negara dan/ atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;
2) Penyediaan jasa publik oleh suatu badan usaha yang modal
pendiriannya sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan
Negara dan/atau kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
3) Penyediaan jasa publik yang pembiayaannya tidak bersumber dari
anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan
dan belanja daerah atau badan usaha yang modal pendiriannya
sebagian atau seluruhnya bersumber dari kekayaan negara dan/
atau kekayaan daerah yang dipisahkan, tetapi ketersediaannya
64
menjadi misi negara yang ditetapkan ddam peraturan perundang-
undangan.
Pelayanan administratif sebagaimana dimaksud pada Pasal 5
ayat (1) UU No. 25 tahun 2009 meliputi:
1) Tindakan administratif pemerintah yang diwajibkan oleh negara
dan diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka
mewujudkan perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda warga negara.
2) Tindakan administratif oleh instansi nonpemerintah yang
diwajibkan oleh negara dan diatur dalam peraturan perundang-
undangan serta diterapkan berdasarkan perjanjian dengan penerima
pelayanan.
g. Standar Pelayanan Publik
Penyelenggara berkewajiban menyusun dan menetapkan
standar pelayanan dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara,
kebutuhan masyarakat, dan kondisi lingkungan. Dalam menyusun dan
menetapkan standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20
ayat (1) UU No.25 tahun 2009, penyelenggara wajib mengikutsertakan
masyarakat dan pihak terkait. Penyelenggara juga berkewajiban
menerapkan standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada Pasal 20
ayat (1) UU No.25 tahun 2009. Pengikutsertaan masyarakat dan pihak
terkait sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (2) UU No.25 tahun
2009 dilakukan dengan prinsip tidak diskriminatif, terkait langsung
dengan jenis pelayanan, memiliki kompetensi dan rnengutamakan
musyawarah, serta memperhatikan ke beragaman.
Penyusunan standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU No.25 tahun 2009 dilakukan dengan
pedoman tertentu yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
65
Komponen standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi:
1) Dasar hukum;
2) Persyaratan;
3) Sistem, mekanisme, dan prosedur;
4) Jangka waktu penyelesaian;
5) Biaya/ tarif;
6) Produk pelayanan;
7) Sarana, prasarana, dan/ atau fasilitas;
8) Kompetensi pelaksana;
9) Pengawasan internal;
10) Penanganan pengaduan, saran, dan masukan;
11) Jumlah pelaksana;
12) Jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan
dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan;
13) Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk
komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan
risiko keraguraguan; dan;
14) Evaluasi kinerja pelaksana.
66
B. Kerangka Pemikiran
UU PEMDA 32/2004 (OTONOMI DAERAH)
UU No. 25 Tahun 2009
UUD 1945 (Pasal 18 A ayat (2))
67
Bagan 1. Kerangka Pemikiran
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia
menyebutkan bahwa tujuan Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaiaan abadi dan keadilan sosial. Untuk
mewujudkan tujuan Negara tersebut maka salah satu cara yaitu dengan
melaksanakan pembangunan nasional . Dengan lahirnya UU No. 32 tahun 2004
yang menggantikan UU sebelumnya yaitu UU No. 22 tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah, maka mekanisme pembangunan daerah antara pemerintah
pusat dan daerah pun menjadi berbeda.
Konsepsi otonomi daerah didasarkan pada UUD 1945 yang berisi tentang
pemerintahan daerah. Pemerintahan daerah di atur dalam Pasal 18 UUD 1945
yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah merupakan daerah otonom yang
dapat menjalankan urusan pemerintahan dengan seluas-luasnya serta mendapat
hak untuk mengatur kewenangan pemerintahan kecuali urusan pemerintahan yang
DESENTRALISASI
PELAYANAN PUBLIK
MEKANISME DAN
IMPLIKASI
68
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat, dalam Pasal
18 A ayat (2) juga telah mengatur secara implisit bahwa kewenangan pemerintah
daearah salah satunya yaitu pelayanan umum. Isi Pasal 18 UUD 1945 tersebut
kemudian di implementasikan ke dalam UU tentang Pemerintahan Daerah UU
No.32 Tahun 2004 yang berisi mengenai Pemerintah Daearah dan Otonomi
Daerah.
Sebagai tindak lanjut amanat Pasal 18 UUD 1945, UU No. 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah satu cara untuk melaksanakan
tujuan Negara Republik Indonesia yaitu dalam memajukan kesejahteraan umum.
Negara berkewajiban salah satunya yaitu melayani setiap warganegara dan
penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka
pelayanan publik. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga
merupakan momentum untuk melakukan penguatan politik lokal yang berdampak
kepada perbaikan pelayanan pemerintah daerah yang dilaksanakan oleh birokrasi
pemerintah kepada rakyat, khususnya dengan menggunakan asas desentralisasi,
yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah
dalam bidang pelayanan publik sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam menjalankan pelayanan terhadap
masyarakat tersebut, bagaimanakah mekanisme pengaturan penyelenggaraan
dalam desentralisasi pelayanan publik menurut UU No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik, serta apa saja implikasi dari penyelenggaraan desentralisasi
pelayanan publik menurut UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik?
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kajian terhadap Latarbelakang Desentralisasi Pelayanan Publik
Pemerintah Daerah
Sebelum kita membahas tentang mekanisme pengaturan desentralisasi
pelayanan publik ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik, maka alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu latarbelakang
dari desentralisasi pelayanan publik pemerintah daerah. Peran Pemerintah
daerah dalam pelayanan publik secara eksplisit mencakup seluruh bidang
pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain (Pasal 10
ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004). Dalam Pasal 14 ayat (1) dikemukakan
bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan kabupaten dan kota
meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,
perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup,
pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Terkait dengan pasal-pasal tersebut
kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, mencakup kewenangan dalam
bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta
kewenangan bidang tertentu lainnya. Pasal 1 ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004
yang menyatakan desentralisasi merupakan penyerahan wewenang kepada
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem
Negara kesatuan RI, maka penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat
kepada daerah otonom bermakna peralihan wewenang secara delegasi disebut
delegation of authority. Tatkala terjadi penyerahan wewenang secara delegasi
maka pemerintah pusat akan kehilangan semua kewenangan itu, dah beralih
kepemerintah daerah. Betapapun luasnya cakupan otonomi, maka
desentralisasi yang mengemban pemerintahan daerah tidak boleh meretakkan
bingkai Negara kesatuan RI (H.M Laica Marzuki, 2007:9-11).
lxx
lxx
Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan kriteria
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian
hubungan antar susunan pemerintahan. Penyelenggaraan urusan pemerintahan
sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004
merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara Pemerintah dan
pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintahan
daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem
pemerintahan.
Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah,
yang diselenggarakan terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan
wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 UU No. 32 Tahun 2004 adalah
urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah
provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan
pelayanan dasar bagi kepentingan publik atau masyarakat.
Urusan wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk
lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
lxxi
lxxi
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan
oleh kabupaten/kota ; dan
p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-
undangan.
Urusan pilihan merupakan urusan pemerintahan yang secara nyata ada
dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
Penentuan urusan pilihan ditetapkan oleh pemerintahan daerah.
Sedangkan, penyelenggaraan urusan wajib berpedoman pada standar
pelayanan minimal yang ditetapkan Pemerintah dan dilaksanakan secara
bertahap, yang selajutnya pembagian kewenangan atau urusan antara
pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah
kabupaten/kota di atur dengan PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan
Pemerintah daerah Kabupaten/Kota.
Dari uraian urusan wajib dan urusan pilihan dapat dikatakan sebagian
besar merupakan cakupan urusan di didang pelaynan publik. Luasnya cakupan
pelayanan publik dalam bidang pemerintahan, memungkinkan adanya variasi
cakupan pelayanan. Lebih-lebih bila dikaitkan dengan pendapat bahwa setiap
daerah memiliki kemandirian dalam menentukan pelayanan yang diinginkan.
Dengan demikian, perlu dikaji variasi cakupan pelayanan yang dilaksanakan
Pemerintah Daerah, sehingga dalam jangka panjang dapat dijalankan model
pelayanan publik yang ideal, sesuai dengan karakteristik berbagai daerah
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai hasil proses politik dan hubungan antara hak rakyat dan
tanggung jawab pemerintah, maka pelayanan publik memiliki tiga unsur
penting, yakni: lembaga perwakilan sebagai pengambil keputusan, lembaga
eksekutif (pemerintahan) sebagai pemberi layanan, dan masyarakat sebagai
pengguna layanan. Ketiganya mempunyai hubungan yang setara dan saling
lxxii
lxxii
mempengaruhi agar kualitas pelayanan publik tetap terjaga. Kelemahan pada
salah satu unsur akan berdampak pula pada tingkat kepuasan atas
layanan publik secara keseluruhan. Sehingga melalui pelimpahan wewenang
dari pemerintah pusat ke daerah di harapkan akan tercapai ketiga unsur
tersebut. Dengan demikian jelas bahwa pelayanan publik memiliki dua
dimensi, yakni: dimensi politik berupa pengambilan keputusan dan
penetapan kebijakan, dan dimensi administratif penyelenggaraan fungsi
pemerintahan berupa kegiatan-kegiatan pemberian layanan dengan
standar minimal yang dibakukan.
Peran masyarakat sebagai pengguna layanan dalam transaksi
pelayanan publik adalah kemampuannya menunjukkan kehendak, tuntutan,
harapan, serta penilaian kepuasan terhadap pelayanan publik. Bentuk-bentuk
tuntutan dan harapan masyarakat pada umumnya diartikulasikan melalui opini
publik (agenda publik) yang terbentuk dari proses agenda media dan
kelompok strategis representatif yang diwacanakan di ruang publik.
Dalam kontek proses pembuatan kebijakan daerah, opini publik yang
merepresentasikan kehendak publik dalam hal pelayanan publik menjadi
masukan penting untuk diapresiasi oleh anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) dalam rangka menjalankan fungsinya, yaitu
fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan. Kemampuan dan kearifan anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam mengapresiasi dan
mengartikulasikan opini publik representatif menjadi salah satu indikator
penting bagi upaya peningkatan kualitas layanan publik.
Sejalan dengan hal tersebut maka apabila dikaitkan dengan konsep
atau tujuan politik dan tujuan administratif dari penyelenggaraan desentralisasi
pelayanan publik maka tujuan politik akan memposisikan Pemerintah Daerah
sebagai medium pendidikan politik bagi masyarakat di tingkat lokal dan
secara agregat akan berkontribusi pada pendidikan politik secara nasional
untuk mencapai terwujudnya civil society, Sedang tujuan administratif akan
memposisikan Pemerintah Daerah sebagi unit pemerintahan di tingkat lokal
lxxiii
lxxiii
yang berfungsi untuk menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif,
efisien, dan ekonomis yang dalam hal ini terkait dalam pelayanan publik.
Sehingga pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah
dalam hal pelayanan publik sebenarnya telah memenuhi konsep dari asas
desentralisasi yaitu:
1) Dilihat dari sudut politik sebagai permainan kekuasaan desentralisasi
dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak
saja yang pada akhirnya dapat menimbulan tirani, maka apabila dikaitkan
dengan desentralisasi pelayanan publik, pelaksanaan pelimpahan
wewenang tersebut bertujuan agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan
pada aparatur pemerintah pusat sebagai penyelenggara pelayanan publik.
Apabila pelaksanaan pelayanan publik di daerah dilaksanakan olh aparatur
pemerintah daerah maka akan terjadi transformasi kekuasaan yang
mengurangi timbulnya tirani.
2) Dalam bidang penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai tindakan
pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan
melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi. Hal tersebut apabila
dikaitkan dengan desentralisasi pelayanan publik, maka kenyataan
pelaksanaan pelayanan publik oleh aparatur pemerintah daerah talah
mencerminkan konsep demokrasi sebagai tujuan dilaksanakan
desntralisasi di daerah. Hal ini dapat terlihat dengan adanya peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik sesuai dengan Pasal
39 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yaitu masyarakat
dilibatkan sejak dimulai penyususan standar pelayanan sampai dengan
evaluasi dan pemberian penghargaan. Pelaksanaan Pasal tersebut
merupakan salah satu wujud pelaksanaan desentralisasi pelayanan publik.
Keterlibatan masyarakat dalam pelayanan publik sesuai mekanisme
desentralisasi juga meunjukan partisipasi dari masyarakat yang dalam
konsep pelayanan prima partisipasif merupakan sebuah pelayanan publik
yang dapat mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan
lxxiv
lxxiv
pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan
masyarakat.
3) Dari sudut teknik organisatoris pemerintahan, alasan mengadakan
pemerintahan daerah (desentralisasi) adalah semata-mata untuk mencapai
suatu pemerintahan yang efisien. Di kaitkan dengan pelaksanaan
desentralisasi pelayanan publik di daerah maka telah sesuai dengan kosep
desentralisasi tersebut. Pelaksanaan pelayanan publik dengan mekanisme
desentralisasi yang dilaksanakan di daerah merupakan tujuan dari konsep
desentralisasi yaitu untuk mencapai pemerintahan yang efisien
sebagaimana diharapkan oleh pemerintah.
Dengan desentralisasi dalam kerangka otonomi daerah sesungguhnya
daerah diberikan kebebasan untuk membuat dan melaksanakan keputusan
yang terbaik bagi masyarakatnya. Dan dengan demikian, dengan adanya
desentralisasi pelayanan publik diharapkan akan tercipta masyarakat yang
tumbuh atas dasar inisiatif/prakarsa sendiri, sehingga akan melahirkan
masyarakat yang kreatif inovatif tanpa ada kekangan dari pemerintah pusat.
B. Kajian terhadap Mekanisme Penyelenggaraan Desentralisasi Pelayanan
Publik oleh Pemerintah Daerah ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik
1. Pengaturan Penyelenggaraan Desentralisasi Pelayanan Publik oleh
Pemerintah Daerah ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik
Dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
disebutkan bahwa penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya
disebut penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang
untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk
semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Oleh kerena itu pemerintah
lxxv
lxxv
daerah sebagai salah satu penyelenggara Negara berhak dan berwenang
menyelenggarakan pelayanan publik.
Dalam urusan di bidang pelayanan publik pemerintah daerah
berwenang menyelenggarakan pelayanan publik terhadap masyarakat
melalui sebuah Organisasi Penyelenggara yang dalam Pasal 8 UU No. 25
Tahun 2009 dijelaskan bahwa sebuah organisasi penyelenggara
berkewajiban menyelenggarakan pelayanan publik sesuai dengan tujuan
pembentukan. Oleh karena itu melaui sebuah Satuan Organisasi Satuan
Organisasi Perangkat Daerah (diatur dengan Peraturan Pemerintah No. 41
Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah) pemerintah dapat
menyelenggarakan pelayanan publik secara langsung pada masyarakat.
Sebagai organisasi penyelenggara maka pemerintah daerah dan
sebagai pelaksana teknis di daerah, dalam penyelenggaraan pelayanan
publik sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) UU No. 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik, kewenangan pemerintah daerah sekurang-
kurangnya meliputi:
a) pelaksanaan pelayanan;
b) pengelolaan pengaduan masyarakat;
c) pengelolaan informasi;
d) pengawasan internal;
e) penyuluhan kepada masyarakat; dan
f) pelayanan konsultasi.
Pelaksaanaan kewenangan pemerintah daerah sebagai
penyelenggara di bidang pelayanan publik hingga saat berjalan dengan
baik di sebagaian besar daerah di Indonesia. Hal ini salah satunya
dikarenakan karena dalam pelaksanaanya pemerintah daerah berpegangan
dengan apa saja yang telah di atur dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik. Perubahan paradigma pelayanan publik yang sekarang
ini menekankan pada proses “pembuatan kebijakan dan tindakan
lxxvi
lxxvi
pelaksanaan” yang meliputi kegiatan: analisis kebijakan (policy analysis),
manajemen keuangan (financial management), manajemen sumberdaya
manusia (human resources management), manajemen informasi
(information management), dan hubungan keluar (external relation).
Beberapa hal yang diperhatikan bahwa dalam pelaksanaan
penyelenggaraan pelayanan publik harus berpenggangan dengan asas-asas
maupun tujuan dari penyenggaraan pelayanan publik, tujuan pelayanan
publik diantaranya terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas antara
hak, tanggungjawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang
terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, terwujudnya system
penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik, terpenuhinya penyenggaraan pelayanan
publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan terwujudnya
perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
Pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah
daerah yang meliputi kegiatan analisis kebijakan (policy analysis),
manajemen keuangan (financial management), manajemen sumberdaya
manusia (human resources management), manajemen informasi
(information management), dan hubungan keluar (external relation) harus
memperhatikan asas-asas yang ada dalam pelayanan publik. Melalui asas-
asas yang terdapat dalam Pasal 4 UU No. 25 Tahun 2009 penulis
melakukan interpretasi gramatikal mengenai pelaksanaan pelayanan publik
yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah yaitu:
a) Kepentingan umum;
Berarti bahwa dalam pemberian pelayanan publik pemerintah
daerah tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan.
Apabila kita temukan pelaksanaan dilapangan banyak pejabat maupun
aparat birokrasi yang dalam tugasnya lebih mengutamakan kepentingan
lxxvii
lxxvii
pribadi maupun golongannya berarti pejabat atau aparatur penyelenggara
pelayanan publik tersebut telah melanggar asas ini. Konsepsi pelayanan
publik yang berarti melayani masyarakat luas maupun umum merupakan
suatu yang paten dan harus ditanamkan dalam jiwa pejabat maupun
aparatur birokrasi di lengkungan pemerintah daerah.
b) Kepastian hukum;
Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan
pelayanan. Hal ini berati bahwa pemerintah daerah khususnya dalam hal
pembuatan suatu kebijakan mengenai pelayanan publik maka kebijakan
yang dibuat haruslah menjamin terwujudnya hak dan kewajiban dalam
penyelenggaran pelayanan publik. Dengan kepastian hukum, maka hukum
harus di tegakkan sehingga dengan adanya kepastian hukum ketertiban
dalam masyarakatpun akan tercapai (N.A Martana 2009:57)
c) Kesamaan hak;
Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama,
golongan, gender, dan status ekonomi. Pemerintah daerah sebagai
penyelenggara pelayanan publik harus adil daam memberikan pelayanan
kepada masyarakat. Kesamaan hak yang diperoleh dalam pelaynan publik
tidak dapat di halangi oleh perbedaan suku, ras, agama, golongan, gender
maupun status ekonomi. Beberapa hal yang kita temui dilapangan bahwa
banyak pelayanan yang berikan pemerintah masih memandang suku, ras,
agama, golongan, gender dan terutama status ekonomi. Sebagai contoh
dilapangan, masih banyak orang dengan satus ekonomi yang tinggi
mendapatkan kemudahan dan pelayanan publik dibadingkan dengan status
ekonomi yang lebih rendah. Kasus seperti ini diharapkan tidak akan terjadi
dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah dengan
memperhatikan ketentuan asas kesamaan hak ini.
d) Keseimbangan hak dan kewajiban;
lxxviii
lxxviii
Pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus
dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan. Pemerintah
daerah sebagai pemberi atau pnyelenggara pelayanan publik, dan
msayarakat sebagai penerima layanan publik diharapkan terjadi
keseimbangan antara hak yang di terima maupun kewajiban yang
dilakukan oleh penelenggara. Dalam pelaksanaannya, ketentuan asas ini
sangat sulit untuk diterapkan, akan tetapi apabila pemerintah daerah dan
masyaraat sama-sama mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing
maka pelaksanaan pelayanan publik sesuai dengan asas ini tidak akan
sulit.
e) Keprofesionalan;
Pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai
dengan bidang tugas. Faktor keprofesional ini lebih ditekankan pada
aparatur pemerintah daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik yang
mempunyai kompentensi yang cukup dalam bidangnya, agar dapat
menjalankan tugasnya dengan baik sesuai tugasnya dan mencapai tujuan
yang di harapkan. Keprofesionalan juga sangat berpengaruh dalam
menentukan suatu kualitas dari pelayanan publik. Dengan aparatur yang
profesinal maka kualitas dari pelayanan publik pun akan lebih baik, dan
akan berpengaruh kepada kinerja pelayanan publik yang semakin baik
pula.
f) Partisipatif;
Pertisipasif berarti peningkatan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan,
dan harapan masyarakat. Melaluai konsep desentralisasi di daerah, maka
desentralisasi diselenggarakan untuk mewakili kepentingan masyarakat
setempat (lokal) di daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Asas ini sangat penting bagi pelaksanaaan pelayanan publik di
lxxix
lxxix
daerah, yaitu dalam hal pembuatan suatu kebijakan dan tindakan
pelayanan berkaitan dengan pelayanan publik. Partisipasi masyarakat
khususnya masyarakat lokal di harapkan akan mengakomodir aspirasi,
kebutuhan serta harapan-harapan dari masyarakat dari suatu pelayanan
publik, yang kemudian oleh pemerintah daerah diakomodir dan di
tuangkan dalam suatu pembuatan kebijakan dan tindakan pelayanan.
Diharapkan dengan desentralisasi dan pelaksanaan asas ini akan lebih
mendekatkan pemerintah dengan masyarakatnya,
memberikan/menyediakan layanan lebih baik, mengembangkan
kebebasan, persamaan dan kesejahteraan.
g) Persarnaan perlakuan/ tidak diskriminatif;
Setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil. Asas
ini pada dasarnya dilaksanakan oleh pemerintah daerah sama seperi
melaksanakan asas kesamaan hak seperti yang telah dijelaskan di atas.
Persamaan perlakuan dan tidak diskrimanatif tersebut tercermin dalam
pemberian pelayanan publik oleh pemerintah daerah yang sama dan adil
antara masyarakat yang satu dengan yang lain dala menerima pelayanan,
tanpaharus memandang suku, ras, agama, golongan, gender maupun status
ekonomi.
h) Keterbukaan;
Setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan
memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan. Kesedian
informasi ini sangat penting bagi masyarakat sebagai penerima pelayanan
agar lebih jelas dan mdah mendapat informasi mengenai pelayanan yang
di inginkan. Pemerintah daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik di
daerah berkewajiban mengelola system informasi yang terdiri atas sistem
informasi elektronik atau non elektronik seperti yang tercantum dalam
Pasal 23 UU No. 25 Tahun 2009 ayat (4) sekurang- kurangnya meliputi:
lxxx
lxxx
1) profil penyelenggara ;
2) profil pelaksana;
3) standar pelayanan;
4) maklumat pelayanan;
5) pengelolaan pengaduan; dan
6) penilaian kinerja.
Penyelenggara berkewajiban menyediakan informasi sebagaimana
dimaksud pada Pasal 23 UU No. 25 Tahun 2009 ayat (4) kepada
masyarakat secara terbuka dan mudah diakses.
i) Akuntabilitas;
Berarti proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat
dipertanggung-jawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Akuntabilitas yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah ini
tercermn dengan adanya kualitas pelayanan pulik yang abaik yang
diberikan oleh pemerintah daerah, dimana indikator dari suatu kualitas
yang di berikan yaitu, ditandai pemberian pelayanan yang tepat dan benar,
penyediaan yang memadai sumber daya manusia dan sumber daya lainnya,
keinginan melayani konsumen dengan cepat, tingkat perhatian terhadap
etika dan moral dalam memberikan pelayanan, tingkat kemauan untuk
mengetahui keinginan dan kebutuhan konsumen (Budiman, Arief: 1996).
j) Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan;
Berarti pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga
tercipta keadilan dalam pelayanan. Pelaksananan asas ini dalam UU
Pelayanan Publik di atur dalam Bagian serta Pasal selanjutnya dalam
Undang-Undang ini.
k) Ketepatan waktu;
lxxxi
lxxxi
Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai
dengan standar pelayanan.
l) Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.
Setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan
terjangkau oleh masyarakat.
Dengan asas desentralisasi, yaitu pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, khususnya di bidang
pelayanan publik sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik, pemerintah daerah akan dapat menciptakan
momentum untuk melakukan penguatan politik lokal yang berdampak
kepada perbaikan pelayanan pemerintah daerah yang dilaksanakan oleh
birokrasi pemerintah kepada rakyat. Hal ini akan tercapai apabila aparatur
birokrasi di daerah mentaati asas-asas pelayanan publik maupun
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Pelayanan publik.
Apabila dalam penyelenggaraan desentralisasi pelayanan publik,
pemerintah daerah dapat melaksanakan kesemua asas-asas yang tercantum
dalam pelayanan publik, niscaya kualitas pelayanan yang di berikan
pemerintah daerah pun menjadi baik. Akan tetapi apabila dalam
penyelenggaraan pelayanan publik terjadi penyimpangan terhadap asas-
asas tersebut maka akan terjadi peluang penyimpangan penyelenggaraan
pelayanan publik, baik oleh aparatur pemerintah daerah sebagai pelaksana
publik maupun terhadap kualitas dan kinerja pelayanan publik.
2. Prosedur Evaluasi, Penyelesaian Pengaduan dan Pelanggaran hukum
dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di tinjau dari UU No. 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
lxxxii
lxxxii
Dalam Pasal 10 UU No. 25 Tahun 2009 di atur bahwa
Penyelenggara berkewajiban melaksanakan evaluasi terhadap kinerja
pelaksana di lingkungan organisasi secara berkala dan berkelanjutan.
Berdasarkan hasil evaluasi tersebut penyelenggara berkewajiban
melakukan upaya peningkatan kapasitas pelaksana. Evaluasi terhadap
kinerja pelaksana pelayanan publik dilakukan dengan indikator yang jelas
dan terukur dengan memperhatikan perbaikan prosedur dan atau
penyempurnaan organisasi sesuai dengan asas pelayanan publik dan
peraturan perundang-undangan.
Penyelenggara berkewajiban melakukan penyeleksian dan promosi
pelaksana secara transparan, tidak diskriminatif, dan adil sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Penyelenggara wajib memberikan
penghargaan kepada pelaksana yang memiliki prestasi kerja.
Penyelenggara wajib memberikan hukuman kepada pelaksana yang
melakukan pelanggaran ketentuan internal penyelenggara. Ketentuan lebih
lanjut mengenai mekanisme pemberian penghargaan dan hukuman
ditentukan oleh penyelenggara.
Dengan evaluasi yang berpedoman dengan pendekatan Pendekatan
sasaran (goal approach) maka akan memusatkan perhatiannya dalam
mengukur efektivitas ada aspek output, yaitu dengan mengukur
keberhasilan melalui evaluasi maka organisasi publik diharapkan dapat
mencapai tingkatan output yang direncanakan.
Untuk memperoleh umpan balik dari masyarakat atas kualitas
maupun kinerja terhadap pelayanan publik yang diberikan aparatur
pemerintah, perlu disediakan akses kepada masyarakat untuk memberikan
informasi, saran/pendapat/tanggapan, complaint/pengaduan dalam bentuk
kotak pengaduan, kotak pos, atau satuan tugas penerima pengaduan yang
berfungsi menerima dan menyelesaikan pengaduan masyarakat.
lxxxiii
lxxxiii
Setiap orang yang menyampaikan pengaduan, baik secara tertulis
maupun secara langsung kepada pejabat/petugas penerima pengaduan
diberi surat/formulir tanda bukti pengaduan. Pada surat/formulir tanda
bukti pengaduan disebutkan nama dan jabatan pejabat atau petugas yang
berwenang untuk menyelesaikan masalah atau pengaduan tersebut dan
jangka waktu penyelesaiannya.
Masukan masyarakat, baik merupa informasi, saran, pendapat,
tanggapan dan atau pengaduan hendaknya ditindaklanjuti dengan langkah-
langkah upaya perbaikan dan evaluasi pelayanan oleh unit pelayanan
instansi pemerintah yang bersangkutan. Apabila dalam pengaduan terdapat
masyarakat yang dirugikan, perlu dipertimbangkan pemberian
kompensasi. Pengaduan tertulis baik melalui surat maupun media
elektronik oleh masyarakat harus disampaikan secara jelas dan
bertanggungjawab dengan menyebutkan nama, alamat dan indentitas yang
sah (bukan “surat kaleng”). Apabila dalam pengaduan ternyata terjadi
penyimpangan yang dilakukan oleh petugas pelayanan, maka perlu
diberikan sanksi kepada petugas yang bersangkutan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik telah
diatur mengenai mekanisme pengaduan yang datang dari masyarakat
mengenai kinerja aparatur maupun kualitas pelayanan publik yang
diterimannya. Pengaturannya terdapat dalam Pasal 40 sampai dengan
Pasal 50 UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Di jelaskan bahwa masyarakat berhak mengadukan
penyelenggaraan pelayanan publik kepada penyelenggara, ombudsman,
dan/atau Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota. Masyarakat
yang melakukan pengaduan dijamin hak-haknya oleh peraturan
perundang-undangan.
lxxxiv
lxxxiv
Pengaduan dapat dilakukan terhadap penyelenggara yang tidak
melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan, dan pelaksana
yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan,
maupun terhadap hal-hal yang menyimpang yang dilakukan oleh aparatur
pemerintah daerah sebagai penyelenggara maupun pelaksana pelayanan
publik.
Masyarakat sebagai pengguna layanan publik yang diselenggrakan
oleh pemerintah daerah sebagai penyedia layanan dapat mengajukan
gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara apabila terindikasi adanya
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh aparatur pemerintah
daerah maupun aparat birokrasi penyelenggara pelayanan publik. Hal ini
telah di atur dalam Pasal 51 UU No. 25 Tahun 2009. Pengajuan gugatan
yang disampaikan masyarakat kepada pemerintah daerah sebagai
penyelengara layanan publik tidak akan menghapus kewajiban pemerintah
daerah sebagai pihak penyelenggara. Pengajuan gugatan disampaikan
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan mekanisme yang berlaku
dalam hukum acara Peradian Tata Usaha Negara.
Pengajuan gugatan melalui Peradilan Tata Usaha Negara
dikarenakan, pelayanan publik merupakan salah satu bentuk
penyelenggaraan administrasi pemerintahan, dimana penyelenggara
maupun pelaksana adalah aparatur pemerintah (ketentuan umum UU
Peayanan publik, penyelenggra dapat berupa institusi penyelenggara
Negara) sehingga apabila dalam penyelenggaraan pelayanan publik
terdapat penyimpangan maupun pelanggaran hukum yang dilakukan
aparatur pemerintah daerah khususnya dalam hal ini, dapat di ajukan dan
di selesaikan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
Lalu bagaimana dengan penyelenggara pelayanan publik yang
melakukan tindak pidana dalam pelaksanaan pelayanan publik? Secara
implisit dalam Pasal 53 UU Pelayanan Publik di sebutkan, bahwa dalam
hal penyelenggara melakukan tindak pidana dalam penyelenggaraan
lxxxv
lxxxv
pelayanan publik sebagaimana di atur dalam UU Pelayanan publik maka
masyarakat dapat melaporakan penyelenggara ke pihak berwenang. Dari
uraian Pasal tersebut, maka sebuah tindak pidana yang dilakukan
penyelenggara pelayanan publik dapat di selesaikan melalui mekanisme
Peradilan umum, dikarenakan pihak yang berewenng menerima laporan
dari masyarakat adalah pihak penyidik (Kepolisian) yang dapat
selanjutnya melimpahkan perkara ke Peradilan Umum. Ketentuan
mengenai sanksi pelanggaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik di
atur secara lengkap dalam Pasal 54 UU Pelayanan Publik.
3. Standart Pelayanan
Kualitas dan kinerja pelayanan publik juga dipengaruhi oleh sesuai
atau tidakanya pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah daerah
terhadap standar pelayanan minimal masing-masing daerah.
Kewenangan yang didesentralisasikan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah dalam hal pelayanan publik sesuai Pasal 11 ayat
(4) dan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi
Undang-Undang, salah satunya yaitu menentuan standar pelayanan
minimal diatur dalam PP No. 65 Tahun 2005 tentang Pedoman
Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimum.
Dalam UU No. 25 Tahun 2009 Pasal 20 ayat (1) sampai dengan (5)
di sebutkan bahwa Penyelenggara berkewajiban menyusun dan
menetapkan standar pelayanan dengan memperhatikan kemampuan
penyelenggara, kebutuhan masyarakat, dan kondisi lingkungan. Dalam
menyusun dan menetapkan standar pelayanan, penyelenggara wajib
mengikutsertakan masyarakat dan pihak terkait dan penyelenggara
lxxxvi
lxxxvi
berkewajiban menerapkan standar pelayanan Pengikutsertaan masyarakat
dan pihak terkait dilakukan dengan prinsip tidak diskriminatif, terkait
langsung dengan jenis pelayanan, memiliki kompetensi dan
rnengutamakan musyawarah, serta memperhatikan ke beragaman. Dan
penyusunan standar pelayanan dilakukan dengan pedoman tertentu yang
diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Dalam Pasal 21 UU Pelayanan Publik diatur mengenai komponen
standar pelayanan sekurang-kurangnya meliputi:
a. Dasar hukum:
b. Persyaratan
c. Sistem, mekanisme, dan prosedur;
d. Jangka waktu penyelesaian;
e. Biaya/ tarif;
f. Produk pelayanan;
g. Sarana, prasarana, dan/ atau fasilitas;
h. Kompetensi pelaksana;
i. Pengawasan internal;
j. Penanganan pengaduan, saran, dan masukan;
k. Jumlah pelaksana;
l. Jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan
dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan;
m. Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk
komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko
keraguraguan; dan;
n. Evaluasi kinerja pelaksana.
Adanya standar pelayanan minimal sangat diperlukan baik bagi
pemerintah daerah maupun bagi masyarakat konsumen dari pelayanan itu
sendiri. Bagi pemerintah daerah adanya standar pelayanan minimal dapat
dijadikan tolok ukur (benchmark) dalam penentuan biaya ang diperlukan
untuk membiayai penyediaan pelayanan publik. Sedang bagi masyarakat
lxxxvii
lxxxvii
adanya standar pelayanan minimal akan menjadi acuan bagi menentukan
mengenai kualitas dan kuantitas suatu pelayanan publik yang disediakan
oleh pemerintah daerah.
Standar pelayanan minimum merupakan standar minimum
pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah kepada
masyarakat. Adanya standar pelayanan minimum akan menjamin
minimum pelayanan yang berhak diperoleh masyarakat Indonesia dari
pemerintah. Disamping standar pelayanan minimum yang merupaan
kewenangan wajib, pemerintah daerah dapat mengembangkan dan
menerapkan standar kinerja untuk kewenangan daerah yang lain.
Kewenangan wajib daerah merupakan kewenangan ynag
diwajibkan pelaksanaanya oleh pemerintah kepada daerah. Kewenangan
wajib berkaitan dengan penyedianan pelayanan dasar yang
pelaksanaannya mengikuti standar pelayanan minimum yang ditetapkan
pemerintah. Pelaksanaan kewenangan wajib menjadi prioritas utama untuk
dilaksanankan oleh daerah.
Dengan adanya standar pelayanan minimum maka akan terjamin
kualitas minimum dari suatu pelayanan publik yang dapat dinikmati oleh
masyarakat, dan diharapkan akan terjadi pemerataan pelayanan pubik dan
menghindari kesenjangan pelayanan antar daerah.
Harus dibedakan pemahaman terhadap standar pelayanan
minimum dengan persyaratan teknis dari suatu pelayanan. Standar teknis
merupakan faktor pendukung untuk mencapai standar pelayanan minimum
Contoh standar pelayanan minimum adalah anak-anak Indonesia berhak
atas pendidikan minimm 9 tahun. Untuk itu maka setiap daerah
berkewajiban menyediakan pendidikan sampai dengan SLTP. Dalam
bidang kesehatan contohnya, dalam satu desa minimum harus ada sebuah
Pukesmas. Persyaratan teknis adalah persyaratan yang harus dipenuhi
lxxxviii
lxxxviii
dalam penyedianan pelayanan public seperti tebalnya jalan, garis sepadan
bangunan atau jalan, teknis bangunan, persyaratn laboratorium dan
sebagainya.
Standar pelayanan minimum harus mampu menjamin terwujudnya
hak-hak individu serta dapat menjamin akses masyarakat mendapat
pelayanan dasar yang wajib disediakan pemerintah daerah sesuai ukuran
yang ditetapkan oleh pemerintah. Untuk itu kriteria kewenangan wajib
adalah:
a. Melindungi hak-hak konstitusional perorangan maupun masyarakat.
b. Melindungi kepentingan national yang ditetapkan berdasarkan
konsensus nasional dalm rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, kesjahteraan masyarakat, ketentraman dan
ketertiban umum.
c. Memenuhi komitment nasional yang berkaitan dengan perjanjian dan
konvesi nasional.
Standar pelayanan minimum bersifat dinamis dan perlu dikaji
ulang serta diperbaiki dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan
kebutuhan dan perkembangan kapasitas daerah. Standar pelayanan
minimum ditentukan oleh pemerintah secara jelas dan konkrit,
sesederhana mungkin, tidak terlalu banyak dan mudah diukur untuk
dijadikan pedoman oleh pemerintah daerah.
Beberapa hal yang dapat dicapai oleh pemerintah daerah dengan
adanya standar pelayanan minimum yaitu:
a. Dengan adanya standar pelayanan minimum maka masyarakat akan
terjamin menerima suatu pelayanan public dari pemerintah darah.
b. Standar pelayanan minimum bermanfaat untuk menentukan jumlah
anggaran yang dibutuhkan untuk menyediakan suatu pelayanan publik.
Dengan adanya standar pelayanan minimum maka akan dapat
ditentukan Standard Spensing Assesment (SSA). Dengan adanya SSA
akan dapat dihitung biaya untuk suatu pelayanan public. Dengan cara
lxxxix
lxxxix
yang sama maka akan dapat dihitung kebutuhan agregat minimum
pembiayaan daerah.
c. Standar pelayanan minimum akn menjadi landasan dalam penentuan
perimangan keuangan yang lebih adil dan transparan. Standar
pelayanan minimum dapat dijadikan dasar untuk menentukan system
subsidi yang lebih adil.
d. Standar pelayanan minimum dapat dijadikan dasar dalam menentukan
anggaran berbasis manajemen kinerja. Standar pelayanan minimum
dapat menjadi dasar dalam alokasi anggaran daerah dengan tujuan
yang lebih terukur.
e. Standar pelayanan minimum dapat membantu penilaian kinerja atau
LPJ kepala daerah secara lebih akurat dan terukur sehingga
mengurangi terjadinnya money politik dan kesewenang-wenangan
dalam menilai kinerja pemerintah daerah. Adanya standar pelayanan
minimum akan memperjelas tugas pokok pemerintah daerah dan akan
merangsang terjadinya check and balances yang efektif antara
eksekutif dan legisalatif.
f. Standar pelayanan minimum dapat menjadi alat untuk meningkatkan
akuntabilitas pemerintah daerah terhadap masyarakat. Masyarakat
dapat mengukur sejauh mana pemerintah daerah dapat memenuhi
kewajibannya untuk menyediakan pelayanan public.
g. Standar pelayanan minimum dapat merangsang transparansi dan
partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemerintah daerah. SPm akan
menbantu pemerintah daerah dalam melakukan alokasi anggaran
secara lebih seimbang sehingga merangsang efisiensi dan efektifitas
penyediaan pelayanan public oleh pemerintah daerah.
h. Standar pelayanan minimum dapat menjadi argument bagi peningkatan
pajak dan retribusi daerah karena baik pemerintah daerah dan
masyarakat dapat melihat keterkaitan pembiayaan dengan pelayanan
public yang disediakan oleh pemerintah daerah.
xc
xc
i. Standar pelayanan minimum dapat merangsang rasionalisasi
kelembagaan pemerintah daerah, kareana pemerintah daerah akan
lebih berkonsetrasi pada pembentukan kelembagaan yang beroralasi
dengan pelayanan publik.
j. Standar pelayanan minimum dapat membantu pemerintah daerah
dalam merasionalisasi jumlah dan kualifikasi pegawai yang
dibutuhkan. Kejelasan pelayanan akan membantu pemerintah daerah
dalam menentukan jumlah dan kualifikasi pegawai untuk mengelola
pelayanan publik.
3.1. Hubungan antara Kewenangan dan Standar Pelayanan
Minimum
Penyusunan standar pelayanan minimum akan sulit apabila
belum ada kejelasan mengenai kewenangan antar tingkatan
pemerintahan. Untuk itu ada beberapa hal yang perlu dilakukan
sebagai syarat penyusunan standar pelayanan minimum itu:
a. Adanya pembagian kewenangan yang jelas antar tingkatan
pemerintahan (pusat, propinsi, kabupaten dan kota) menjadi
prasyarat utama untuk menentukan standar pelayanan
minimum.
b. Pembagian kewengangan baru menunjukan siapa melakukan
apa, namun belum menunjukan kewenangan-kewenangan apa
saja yang memerlukan standar pelayanan minimum. Oleh
karena itu tidak semua kewenangan membutuhkan standar
pelayanan minimum.
c. Otonomi luas telah menimbulkan beralihnya pengaturan
otonomi dari prinsip ultra vires (otonomi limitatif atau
materiil) menjadi general competence (otonomi luas) dengan
asas pelimpahan wewenang (desentralisasi). Dari seluruh
kewenangan luas yang dimiliki daerah, kewenangan-
xci
xci
kewenangan apa saja yang menjadi kewenangan wajib
(obligatory functions)
d. Ada tiga kriteria utama yang dapat dijadikan acuan dalam
membagi kewenangan antara tingkatan pemerintahan yaitu
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi.
e. Adanya output pemerintahan daerah yang jelas dalam bentuk
pelayanan public dari kewenangan wajib tersebut. Pelayanan
publik terbagi dua varian yaitu public goods dan public
regulations.
f. Public goods dan public regulations harus ada standar
minimum yang harus dipenuhi daerah untuk menjamin adanga
keseimbangan antardaerah dalam penyediaan pelayanan
publik.
g. Apabila public goods tersebut disediakan oleh swasta
(privatisasi), maka pemerintah daerah mengatur pelayanan
minimum dari aspek pengaturan (public regulations). Contoh:
dalam pendirian pasar swalayan ada minimum tempat parkir
yang harus disediakan. Untuk rumah sakit swasta, minimum
harus menyediakan pelayanan untuk kelompok kurang
mampu.
h. Dalam konteks UU No. 32 Tahun 2004 ada sebelas bidang
kewenangan wajib yang harus dilakssnankan pemerintah
daerah. Untuk itu perlu adanya pembagian atau rincian
bagian-bagian urusan apa saja yang harus dikerjakan oleh
setiap tingkatan pemerintahan dari urusan tersebut.
i. UU No. 32 Tahun 2004 belum memperlihatkan pembagian
bagian-bagian urusan tersbut ke dalam tingkatan-tingkatan
pelerintahan, namun lenih bersifat agregat. Lebih lanjut
pembagian kewenangan untukpusat dan daerah diatur dalam
PP No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan
kewenangan Propinsi sebgai daerah otonom.
xcii
xcii
j. Adanya kewenangan wajib akan mewajibkan pemerintah
daerah menentukan pelayanan apa saja yang harus disediakan
pemerintah daerah berdasarkan kewenangan wajib tersebut.
Untuk itu pemerintah daerah perlu membuat list of services
yang disediakan berdasarkan kewenangan yang dimilikinya.
Hal ini akan meningkatkan akuntabilitas pemerintah daerah
terhadap warganya.
3.2. Mekanisme dan Koordinasi Pelaksanaan Standar Pelayanan
Minimum
Pencapaian standar pelayanan minimum akan
mencerminkan tingkat akuntabilitas daerah dalam menyediakan
pelayanan public terhadap masyarakat. Untuk itu diperlukan
adanya mekanisme dan koordinasi yang optimal di tingkat pusat,
propinsi dan kabupaten atau kota.
Pusat
a. Pemerintah menetapkan kewenangan wajib dan standar
pelayanan minimum yang berlaku secara nasional dan wajib
dilaksanakan oleh daerah kabupaten atau kota.
b. Pemerintah melakukan supervisi atau pengawasan terhdadap
pelaksanann kewenangan wajib dan standar pelayanan
minimum.
c. Pemerintah melakukan penilaian terhadap pelaksanaan standar
pelayanan minimum di daerah.
d. Pemerintah melakukan fasilitasi bagi daerah yang belum
mampu mecapai standar pelayanan minimum maupun
melaksanaka kewenangan wajib.
e. Pemerintah melakukan sosialisasi, pelatihan, bimbingan dan
workshop mengenai standar pelayanan minimum.
Propinsi
xciii
xciii
a. Gubernur sebagai wakil pemerintah bersama kabupaten atau
kota menetapkan program dan kurun waktu pencapaian
standar pelayanan minimum sesuai kondisi masing-masing
daerah
b. Gubernur melakukan supervisi, monitoring dan evaluasi
terhdap pelaksanaan standar pelayanan minimum.
c. Gubernur melaporkan hal-hal yang penting yang berkaitan
dengan pelaksanaan standar pelayanan minimum.
d. Gubernur melakukan sosialisasi, pelatihan, bimbingan dan
workshop mengenai standar pelayanan minimum.
Kabupaten/Kota
a. Pemerintah kabupaten atau kota menetapkan Perda
pelaksanaan standar pelayanan minimum.
b. Pelaksanaan standar pelayanan minimum dilakukan oleh
perangkat daerah atau Badan Usaha Milik Daerah bermitra
dengan swasta.
c. Mengakomodasikan standar pelayanan minimum ke Renstra
Daerah sebgai dasar melaksnakan anggran kerja.
d. Memprioritaskan kewenangan wajib yang menyentuh
langsung pelayanan publik.
e. Melakukan sosilisasi tentang pelayanan publik yang
disedianakan oleh pemerintah daerah.
f. Secara periodik melakukan survey penilaian atas pelayanan
publik yang telah diberikan pemerintah daerah.
Dari uraian yang telah di sampaikan maka pelaksanaan
SPM pertama-tama menuntut adanya distribusi kewenangan antara
tingkatan pemerintahan (pusat, propisi, kabupaten atau kota) secara
objekctif atas kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi.
Langkah berikutnya adalah disusunnya standar pelayanan
minimum oleh departemen atau LPND sebagai acuan bagi
xciv
xciv
pemerintah daerah dalam melaksakan pelayanan publikberbasis
standar pelayanan minimum.
Standar pelayanan minimum akan menciptakan berbagai
rasionalisai dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan
dilaksankannya standar pelayanan minimum akan membantu
pmerintah daerah dalam melakukan rasionalisasi terhadap
kelembagaan, personil, keuangan sebagai pilar utama dalam
penyelenggaraan otonomi daerah dan asas desentralisasi.
C. Implikasi Desentralisasi Pelayanan Publik ditinjau UU No. 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik
Pelaksaanaan kewenangan pemerintah daerah sebagai penyelenggara
di bidang pelayanan publik hingga saat berjalan dengan baik di sebagian besar
daerah di Indonesia. Hal ini salah satunya dikarenakan karena dalam
pelaksanaanya pemerintah daerah berpegangan dengan apa saja yang telah di
atur dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Dari pelaksanaan pelayanan publik melalui mekanisme desentralisasi
yang dilakukan oleh pemerintah daerah menurut asas-asas maupun ketentuan
yang tercantum dalam UU No. 25 Tahun 2009 ternyata mempunyai sisi positif
dan juga sisi negatif. Hal-hal tersebut diantaranya:
1. Apabila dalam menjalankan pelayanan publik, aparatur pemerintah
daerah berpegangan denagn asas-asas maupun ketentuan dalam UU
Pelayanan publik, niscaya tujuan dari pelayanan publik pun akan
tercapai, yakni pelayanan publik yang efektif, efisien dan akuntabel.
2. Sedangkan apabila pelaksanaan pelayanan publik tidak sesuai dengan
asas-asas dan ketentuan dalam UU Pelayanan Publik, maka akan terjadi
peluang-peluang yang negative seperti penyalahgunaan wewenang dan
tindakan sewenang-wenang, budaya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,
dan berdampak pada kualitas pelayanan publik.
3. Ketentuan-ketentuan dalam UU Pelayanan publik, meskipun telah
dilaksanakan dengan asas-asas dan tujuan yang baik, ternyata masih
xcv
xcv
memberikan peluang negatif bagi para aparatur penyelenggra pelayanan
publik. Misalnya: kewenangan diskresi yang dilakukan aparatur
pemerintah merpakan hal yang positif demi pelaksanaan pelayanan
publik yang efektif, efisien dan akuntabel, akan tetapi juga memberikan
peluang bagi para aparatur pemerintah daerah untuk melakukan
penyimpangan terhadap kewenangan itu.
Hal-hal yang diperhatikan bahwa dalam pelaksanaan penyelenggaraan
pelayanan publik oleh pemerintah daerah yaitu aparatur pelaksana pelayanan
publik harus berpenggangan dengan asas-asas maupun tujuan dari
penyenggaraan pelayanan publik, tujuan pelayanan publik diantaranya
terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas antara hak, tanggungjawab,
kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik, terwujudnya system penyelenggaraan
pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan
yang baik, terpenuhinya penyenggaraan pelayanan publik sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan terwujudnya perlindungan dan kepastian
hukum bagi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Berdasarkan beberapa hal yang penulis soroti dalam hal
penyelenggaraan pelayanan publik, pemerintah daerah sebagai penyelenggara
pelayanan publik apabila tidak memenuhi asas-asas penyelenggaraan
pelayanan publik maupun ketentuan lain yang ada dalam UU Pelayanan
Publik, ternyata mempunyai beberapa peluang terhadap beberapa hal yaitu:
1. Penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang
Konsep dari pelimpahan wewenang (desentralisasi) di daerah
apabila di kaitkan dengan pelaksanaan UU No. 25 Tahun 2009 tentang
pelayanan publik, sangat membawa implikasi yang besar. Bahwa UU No.
25 tahun 2009 tentang pelayanan publik dibuat bertujuan agar dalam
pemberian pelayanan publik oleh pemerintah pusat pada umumnya dan
pemerintah daerah khususnya (desentralisasi), dalam pelaksanaanya di
xcvi
xcvi
harapkan sesuai dengan asas-asas pelayanan publik yang telah ditentukan
dan agar dalam pelaksanaannya tidak terjadi penyalahgunaan wewenang
maupun tindakan sewenang-wenang di dalamnya, khususnya pemerintah
daerah sebagai penyelenggara pelayanan publik di daerah melalui aparatur
birokrasinya. Di dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara salah satu isinya menyebutkan bahwa ada dua jenis
penggunaan wewenang, yaitu penyalahgunaan wewenang (detournement
de pouvoir) dan tindakan sewenang-wenang (willkeur). Pasal 53 ayat (2)
huruf b dan c berbunyi sebagai berikut:
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan
keputusan sebagaimana di maksud dalam ayat (1) telah menggunakan
wewenangnnya untuk tujuan lain dari maksud yang diberikan
wewenang tersebut.
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan
keputusan sebagaimana di maksud dalam ayat (1) telah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan
keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak
mengambil keputusan tersebut.
Apabila di kaitkan dengan Pelayanan publik maka penyalahgunaan
wewenang merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang
dalam hal ini aparatur daerah sebagai pelaksana pelayanan publik dimana
orang atau aparatur tersebut melakukan suatu tindakan untuk tujuan lain
dari maksud wewenang tersebut maupun suatu tindakan yang melebihi
kewenangan yang dimilikinya. Sedang tindakan sewenang-wenang
merupakan tindakan yang dilakukan seseorang dalam hal ini aparatur
pemerintah daerah sebagai pelaksana pelayan publik dimana tindakan
yang dilakukannya tersebut seharusnya tidak sampai pada pengambilan
atau tidak mengambil keputusan tersebut atau merupakan suatu tindakan
yang sebenarnya bukan kewenangannya namun tetap dilakukan melebihi
kewenangan yang sesungguhnya.
xcvii
xcvii
Dalam pelaksanaan pelayanan publik di daerah menurut UU No.
25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dengan adanya desetralisasi
penulis mengamati terjadinya penyalahgunaan wewenang dan tindakan
sewenang-wenang yang dilakukan organ pemerintah di daerah khususnya
aparatur pelaksana pelayanan publik di daerah. Beberapa hal yang
mempengaruhi timbulnya penyalahgunaan wewenang dan tindakan
sewenang-wenang, dintaranya dipengaruhi oleh:
1. Dalam pelaksanaan pelayanan publik tidak berdasarkan pada asas-asas
maupun aturan-aturan yang ada dalam UU Pelayanan Publik.
Perubahan paradigma sebagai akibat desentralisasi, lebih berorientasi
pada hak yang menekankan pada proses pembuatan kebijakan dan
tindakan pelaksanaan. Dalam proses pembuatan kebijakan maupun
tindakan pelaksanaan, pemerintah daerah harus berpedoman dengan
asas-asas pelayanan publik. Dalam pembuataan suatu kebijakan
misalnya harus memperhatikan asas kepentingan umum dan
partisipasi masyarakat. Asas kepentingan umum ini, bertujuan agar
dalam pembuatan suatu kebijakan pelayanan publik memperhatikan
kepentingan-kepentingan umum masyarakat daerah, bukan di buat
untuk sekelompok golongan saja. Sedangkan partisipasi yang
tercermin dlam pembuatan suatu kebijaka pelaynan publik, tercermin
dari apa yang di atur dalam kebijakan yang di buat pemerintah daerah
merupakan hasil akomodir dari apa saja aspirasi, kebutuhan, dan
harapan masyarakat. Apabila asas ini dilanggar dalam proses
pembuatan kebijakannya, maka aparatur pemerintah daerah yang
membuat kebijakan tersebut dapat dikatakan telah melakukan
penyalahgunaan wewenang. Sedangkan dalam proses tindakan
pelaksanaan pelayanan publik, dapat di contohkan misalnya seorang
aparatur pemerintah daerah yang menyelenggarakan pelayanan publik,
berlaku diskriminatif terhadap masyarakat yang menerima pelayanan
publik, yaitu dengan memperlakukan masyarakat secara diskrimanatif
antara golongan masyarakat yang satu engan yang lain, antara orang-
xcviii
xcviii
orang yang dekat dengan dirinya dengan masyarakat lainya. Hal ini
tentu melanggar asas perlakuan tidak diskriminatif dalam pelayanan
publik, dan aparatur yang melakukan tindakan tersebut dapat dikatakan
telah melakukan penyalahgunaan wewenang.
2. Secara umum berdasarkan tinjauan kesejarahan dapat terlihat bahwa
perilaku dan masalah birokrasi yang di lakukan oleh aparat pemerintah
sebagai pelaksana pelayanan publik di Indonesia bahnyak dipengaruhi
oleh faktor sejarah pembentukan birokrasi dari masa ke masa.
Birokrasi semenjak zaman kerajaan sampai masa kolonial tidak pernah
di rancang untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat. Birokrasi
sepenuhnya mengabdi pada kepentingan kekuasaan, yakni sultan atau
raja. Demikian pula pada masa pemerintahan kolonial, birokrasi
dipergunakan sebagai instrument bagi kepentingan kekuasaan. Bahkan
berlanjut sampai masa pemerintahan orde baru. Berbagai kebijakan
politik dari pemerintah selalu menempatkan birokrasi sebagai sentral
pengaturan kehidupan masyarakat. Dari kebiasaan birokrasi yang
dijalankanpada masa ke masa tersebut kemudian menjadi faktor
pendorong adanya penyalahgunaan wewenang yang dilakukan aparatur
pemerintah sebagai penyedia pelayanan publik.
3. Kebiasaan yang tumbuh subur semenjak zaman kerajaan hingga orde
baru maupun pada masa reformasi seperti sekarang ini, masih
ditemukannya banyak terjadi penyalahgunaan wewenang.
Penyalahgunaan wewenang tersenbut menimbulkan budaya birorasi
yang sangat sentralistik dan berorientasi pada kekuasaan. Praktek
penyelenggaraan sentralisasi yang berlebihan terbukti menimbulkan
kekecewaan dan ketidakpuasan warga masyarakat terhadap
pemerintahannya. Dengan sentralisasi maka rakyat tidak banyak
dilibatkan dalam pelayanan publik yang pada akhirnya akan
menimpulkan kekecewaan dan ketidak puasan dari suatu pelayanan
publik yang diterima masyarakat. Hal ini sangat bertentangan dengan
asas partisipasi masyarakat dan ketentuan dalam UU Pelayanan Publik
xcix
xcix
yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik harus
melibatkan peran serta dari masyarakat (Bab IV dalam Pasal 39 UU
No. 25 Tahun 2009). Selain itu, dengan adanya tumpang tindih tugas
dan kewenangan maka juga akan mendorong terjadinya
penyalahgunaan wewenang, korupsi, kolusi, dan nepotisme, perlakuan
diskriminatif, dan lain sebagainya.
4. Pola pelayanan kekeluargaan yang mendarah daging, juga menjadi
faktor yang mengakibatkan tumbuh suburnya praktek korupsi, kolusi
dan nepotisme yan sangat berdampak pada penyalahgunaan
wewenang. Aparat pemerintah daerah sebagai pelaksana pelayanan
publik bagi masyarakat, apabila dalam dirinya terpatri sikap
kekeluargaan yang berlebih maka dapat melakukan penyalahgunaan
wewenang dalam kinerja pelayanan publik. Sebagai contoh: adanya
pengurusan sertifikat hak atas tanah yang dilakukan oleh salah seorang
kerabat maupun orang yang dikenal secara baik, maka seorang aparat
pemerintah pelaksana pelayanan publik akan memberpudah birokrasi
yang harusnya panjang menjadi lebih mudah. Hal ini hanya salah satu
contoh kecil apatur pemerintah dearah yang melakukan
penyalahgunaan wewenang dan bertentangan dengan asas-asas
pelayanan publik yaitu asas kepentingan umum, persamaan hak,
perlakuan tidak diskriminatif dan profesionalitas.
Suatu tindakan penyalahgunaan wewenang oleh seorang pejabat
maupun aparatur pemerintah daerah sebagai penyelenggara pelayanan
publik dapat di kenai pidana dengan pasal yang telah di atur dalam KUHP
di Indonesia. Beberapa pasal yang dapat menjerat seseorang yang
melakukan penyalahgunaan wewenang adalah Pasal 421 dan Pasal 423
KUHP. Pasal 421 berisi bahwa seorang pejabat yang menyalahgunakan
wewenang atau kekuasaannya memaksa seseorang untuk melakukan,
tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, diancam pidana penjara paling
lama dua tahun delapan bulan. Sedangkan Pasal 423 menyebutkan bahwa
seorang pejabat dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang
c
c
lain secara melawan hukum, dengan menyalahgunakan kekuasaannya,
memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau
menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu
bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana pejara paling lama enam
tahun. Kedua Pasal tersebut memperlihatkan bahwa penyalahgunaan
wewenang maupun kekuasaan dapat di ancam dengan pidana.
Sedang tindakan sewenang-wenang merupakan tindakan yang
dilakukan seseorang dalam hal ini aparatur pemerintah daerah sebagai
pelaksana pelayanan publik dimana tindakan yang dilakukannya tersebut
sebenarnya bukan kewenangannya akan tetapi tetap dilakukan melebihi
kewenangan yang sesunguhnya, dengan kata lain pejabat publik
menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk bertindak)
melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud
bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, menjadikan pelayanan
umum tidak dapat diterima secara baik oleh masyarakat.
Tidakan sewenang-wenang yang dilakukan aparatur pemerintah
daerah sebagai pelaksanan pelayanan publik di daerah misalnya dalam
sebuah pengrusan KTP, seorang masyarakat dapat mengurus hingga
mendapatkan KTP dalam waktu satu hari, akan tetapi karena sesatu hal
apatur penyelenggara birokrasi tidak melakukan tugasnya karena suatu
alas an pribadi, sehingga pengurusan KTP tersebut menjadi mundur. Hal
ini merupakan salah satu contoh tindakan sewenang-wenang aparatur
pemerintah penyelenggara layanan publik..
Aparatur pemerintah daerah sebagai penyelenggara pelayanan
publik yang seharusnya menerapkan salah satu asas-asas pemerintahan
yang layak yaitu asas larangan penyalahgunaan wewenang (detournement
de pouvoir) dan asas-asas yang ada dalam pelayanan publik, apabila dalam
tugasnya melanggar ketentuan asas-asas tersebut (khususnya asas larangan
detournement de pouvoir) maka akan berpengaruh pada kualitas serta
kinerja dari pelayanan yang diberikan. Pelayanan yang diterima oleh
masyarakatpun menjadi kurang maksimal dan tidak dapat memuaskan
ci
ci
masyarakat sebagai penerima layanan. Kemudian timbulnya suatu
pengaduan yang datang dari masyakat akibat dari kinerja aparatur
pemerintahan maupun kualitas pelayanan yang diterima.
2. Kinerja Pelayanan Publik yang di lakukan oleh Pemerintah Daerah
menurut UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,
mengenai penilaian kinerja pelayanan publik oleh aparatur di daerah telah
dicantumkan pengaturan mengenai evaluasi kinerja pelayanan publik.
Aparatur pemeintah di daerah sebagai pelaksana pemberi pelayanan
publik, dalam tiap bidang kerjannya harus selalu di evaluasi oleh
perangkat daerah yang lebih tinggi kedudukannya. Evaluasi tersebut
dilakukan untuk mengetahui apakah kinerja aparatur pemerintah dalam
memberi pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan prosedur mapun
aturan yang diterapkan atau tidak. Evaluasi tersebut juga membri manfaat
sebagai tolok ukur keberhasilan pemerintah daerah dalam melayanai
masyarakat di bidang pelayanan publik.
Menurut pengamatan penulis, secara garis besar kinerja pelayanan
publik yang dilakukan oleh aparatur pemerintah daerah hingga saat ini
tampaknya belum maksimal. Setidaknya ada tiga masalah utama yang
dihadapi oleh aparatur pemerintah kita, yaitu:
a. Rendahnya kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh
sebagian aparatur pemerintahan atau administrasi negara dalam
menjalankan tugas dan fungsinya. Kondisi ini karena di dalam
kerangka hukum administrasi positif Indonesia saat ini telah diatur
tentang standar minimum kualitas pelayanan, namun kepatuhan
terhadap standar minimum pelayanan publik tersebut masih belum
termanifestasikan dalam pelaksanaan tugas aparatur pemerintahan.
Kita ingat bahwa standar pelayanan minimum dibuat pemerintah
sebagai tolok ukur (benchmark) dalam penentuan biaya ang
cii
cii
diperlukan untuk membiayai penyediaan pelayanan publik. Sedang
bagi masyarakat adanya standar pelayanan minimal akan menjadi
acuan bagi menentukan mengenai kualitas dan kuantitas suatu
pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah daerah. Standar
pelayanan minimal dapat membantu penilaian kinerja atau laporan
pertanggungjwaban kepala daerah secara lebih akurat dan terukur
sehingga mengurangi terjadinnya money politik dan kesewenang-
wenangan dalam menilai kinerja pemerintah daerah. Adanya standar
pelayanan minimal akan memperjelas tugas pokok pemerintah daerah
dan akan merangsang terjadinya check and balances yang efektif
antara eksekutif dan legisalatif, standar pelayanan minimal juga akan
menjamin minimum pelayanan yang berhak diperoleh masyarakat
Indonesia dari pemerintah. Sehingga apabila sebagian aparatur
pemerintahan pelaksana pelayanan publik tidak menjalankan
pelayanan sesuai dengan standar pelayanan minimal, maka jaminan
kualitas dan kuantitas pelayanan yang merupakan hak masyarakat pun
menjadi tidak diperoleh. Selain itu rendahnya kualitas pelayanan
publik juga dipengaruhi oleh adanya kesetaraan dan hubungan antara
masyarakat prngguna jasa dengan aparat yang bertugas memberikan
pelayanan (Ratminto dan Atik Septi Winarsih, 2007:36).
Pelayanan publik hanya akan baik apabila masyarakat yang mengurus
sesuatu jenis pelayanan tertentu mempunyai posisi tawar yang
sebanding dengan posisi tawar petugas yang melaksanakan
pelayanan. Artinya dalam pelayanan publik tidak memposisikan
seseorang yang lebih tinggi status atau kewenangan maupun pangkat
yang lebih tinggi akan memperoleh pelayanan yang lebih baik atau
didadulukan dibanding masyarakat yang lain. Sebagai contoh:
lancarnya pengurusan sertifikat tanah oleh Siti Hardianti Rukmana
(mbak Tutut) di kawasan Tawangmangu, kabupaten Karanganyar
membuat iri Himpunan Pemilik Tanah Persil di kawasan
ciii
ciii
Tawangmangu, pasalnya Himpunan Pemilik Tanah Persil tersebut
lebih dahulu mengurus sertifikat tanah belum juga berhasil, akan
tetapi mbak Tutut yang belangkangan mengurus sertifikat lebih
dimudahkan dalam pengurusannya. Hal ini tentu saja dipengaruhi
oleh faktor kekuasaan yang dimiliki Soeharto. Dari contoh tersebut
dapat dilihat bahwa, pentingnya posisi tawar antara petugas dan
instansi pemberi layanan di satu sisi dengna masyarakat penggunan
jasa di sisi lainnya adalah mutlak untuk mewujudkan pelayanan yang
berkualitas. Selain itu rendahnya Sumber daya manusia juga sangat
mempengaruhi kualitas pelayanan yang diberikan oleh apparatus
pemerintah dalam menjalankan tugas untuk melayanani masyarakat.
b. Birokrasi yang panjang (red-tape bureaucracy) dan adanya tumpang
tindih tugas dan kewenangan, yang menyebabkan penyelenggaraan
pelayanan publik menjadi panjang dan melalui proses yang berbelit-
belit, sehingga besar kemungkinan timbul ekonomi biaya tinggi.
Birokrasi yag panjang dan berbelit-belit tidaklah heran kita jumpai
dalam kehidupan masyarakat kita selama ini. Birokrasi yang panjang
dan berbelit-belit sudah menjadi kultur dalam pelayanan publik di
Indonesia.
c. Rendahnya pengawasan external dari masyarakat (social control)
terhadap penyelenggaraan pelayanan publik, sebagai akibat dari
ketidak jelasan standar dan prosedur pelayanan, serta prosedur
peyampaian keluhan pengguna jasa pelayanan publik. Karena itu
tidak cukup dirasakan adanya tekanan sosial (social pressure) yang
memaksa penyelenggara pelayanan publik harus memperbaiki kinerja
mereka.
(http://www.komunitasdemokrasi.or.id/comments.php?id)
3. Budaya Korupsi Kolusi dan Nepotisme dalam Birokrasi Pelayanan
Publik Aparatur Pemerintah Daerah
civ
civ
Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak
pidana korupsi. Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara
melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara
Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau
negara. Sedangkan nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara
Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan
keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa,
dan Negara.
Tindak korupsi secara politik adalah suatu perbuatan yang
menggunakan atau memanfaatkan kekuasaan pemerintah yang dilakukan
oleh pejabat pemerintahan yang secara tidak sah untuk menguntungkan
dirinya sendiri maupun . Aparatur penyelenggara pelayanan publik yang
memiliki jabatan tertentu memiliki wewenang yang berupa kekuasaan
dengan membuat kebijakan atau keputusan yang tujuannya secara sepihak
menguntungkan secara materi si pemegang jabatan tersebut. Keuntungan
yang di dapat di sini adalah keuntungan secara ekonomi berupa tambahan
kekayaan secara tidak sah.
Kultur budaya di Indonesia yang lebih menekankan aspek
kekeluargaan dapat menjadikan salah satu faktor tumbuhnya budaya
korupsi, kolusi, dan nepotisme di dalam praktek pelayanan publik. Sebuah
pelayanan publik yang harusnya sama diterima oleh masyarakat, akan
menjadi berbeda atau timpang apabila aparatur penyelenggara pelayanan
publik melakukan koupsi, kolusi, dan nepotisme. Birokrasi yang
seharusnya panjang menjadi singkat dengan adanya koupsi, kolusi, dan
nepotisme di dalamnya.
Budaya koupsi, kolusi, dan nepotisme tersebut, tumbuh subur
dengan adanya perilaku aparatur pemerintah daerah yang tidak taat dan
cv
cv
patuh terhadap ketentuan-ketentuan yang di atur dalam UU Pelayanan
Publik.
4. Kewenangan Diskresi
Salah satu konsep mengenai efisiensi dan efektifitas menjadi
identitas pertama aparat pemerintah dalam memberikan pelayanan publik.
Dalam UU Pelayanan Publik pun tercermin dalam asas kecepatan,
kemudahan, dan keterjangkauan dalam pelayanan publik dan asas
akuntabilitas pelayanan publik. Dari asas-asas dan konsep efisiensi serta
efektifitas pelayanan publik inilah yang mendorong aparatur
penyelenggara pelayanan publik melakukan kewenangan diskresi.
Diskresi adalah kewenangan Pejabat Administrasi Pemerintahan
yang digunakan dalam mengambil keputusan untuk mengatasi masalah
dengan memperhatikan batas-batas hukum yang berlaku, asas-asas umum
pemerintahan yang baik dan norma-norma yang berkembang di
masyarakat.dalam konteks tersebut. Diskresi berarti suatu bentuk
kelonggaran pelayanan yang diberikan aparatur penyelenggara pelayanan
publik kepada masyarakat sebagai pengguna jasa. Pertimbangan
melakukan diskresi adalah adanya realitas bahwa suatu kebijakan atau
peraturan tidak mungkin mampu merespon banyak aspek dan kepentingan
semua pihak sebagai akibat keterbatasan prediksi para astakkeholder
dalam proses perumusan kebijakan.
Pelimpahan wewenang (desentralisasi) dari aparat yang lebih
tinggi kepada aparat yang lebih rendah mendorong dilakukannya diskresi.
Diskresi menjadi isu krusial dalam pelayanan publik seiring adanya
tuntuttan kepada aparat birokrasi untuk memberikan pelayanan publik
yang efisien, efektif, responsif, dan akuntabel kepada publik atau
masyarakat. Dari data sebuah survei memperlihatkan bahwa masih
tingginya tingkat ketergantungan aparat pelayanan kepada pimpinan dalam
cvi
cvi
pemberian pelayanan publik. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
diskresi belum dilakukan di lingkungan birokrasi pelayanan. Adanya
ketakutan pada sebagian kalangan aparat pelayanan di semua tingkatan
pelayanan untuk melakukan diskresi membawa implikasi pada pola
pengambilan keputusan pelayanan yang merugikan masyarakat. Aparat
pelayanan ketika menemui suatu kasus lebih memilih untuk melakukan
tindakan penundaan pelayanan dan menunggu petunjuk pimpinan untuk
mememutuskannya (Agus Dwiyanto,dkk, 2006:147).
Beberapa alasan diskresi secara umum maupun dalam pelayanan
publik yaitu:
a. Mendesak dan alasannya mendasar serta dibenarkan motif
perbuatannya;
b. Peraturan perundang-undangan yang dilanggar dalam menetapkan
kebijaksanaan diskresi, khusus untuk kepentingan umum, bencana
alam dan keadaan darurat, yang penetapannya dapat dipertanggung
jawabkan secara hukum;
c. Untuk lebih cepat, efisien, dan efektif dalam mencapai
penyelenggaraan pemerintahan Negara, dan untuk keadilan serta
kesejahteraan masyarakat.
Sebuah contoh tindakan diskresi yang dilakukan aparat
penyelenggara pelayann publik di Kantor Dinas Pelayanan Perijinan: ada
seorang penguasaha dealer motor asal Kota A yang membuka usaha di
Kota B. Dia sudah mempunyai SILIP yang disahkan oleh Dinas
Perdagangan Kota A. Setelah diteliti, ternyata SILIP menujukkan ada
sedikit kekurangan, yakni tidak dicantumkan dimana tempat usahanya.
Apabila seorang aparatur penyelenggara pelayanan publik kaku maka akan
menyuruh pengusaha tersebut untuk kembali ke Kota A untuk mengurus
kekurangan dan menunggu satu minggu lagi dan harus mengeluarkan
biaya lagi. Namun, Kepala Kantor Dinas Pelayanan Perijinan Kota B
cvii
cvii
mempunyai inisiatif untuk memenuhi kekurangan datanya di kantor dinas
tersebut dan kemudian menandatanganinya, dan semua urusan pun
menjadi selesai tanpa harus pengusaha kembali ke Kota A untuk
mengurusnya. Dan terdapat kepuasan dari pengusaha tersebut karena
diberikan kemudahan dalam pengurusan perijinan. Tanpa adanya inisiatif
maupun diskresi dari Kepala Kantor Dinas Pelayanan Perijinan tersebut
maka urusan perijinan pengusaha tersebutpun menjadi berbelit-belit dan
kurang efisien.
Tindakan inisiatif pelayanan pada kasus di atas, seharusnya sudah
membudaya di lingkungan birokrasi. Akan tetapi, fakta menunjukkan
bahwa tindakan inisiataif di lingkungan birokrasi masih sulit diakukan.
Salah satu faktor yang turut mempengaruhinya adalah mentalitas sebagian
aparat birokrasi yang korup. Tindakan penundaan pelayanan, seperti pada
kasus pelayanan perijinan usaha, merupakan peluang bagi aparat
pelayanan untuk melakukan pungli atau menekan pengusaha dengan
meminta imbalan sejumlah uang.
Aparat pelayanan publik yang menerapkan prosedur pelayanan
alternatif, yaitu selain aturan formal, pada umumnya tela memiliki tingkat
kesadaran tinggi pada pentingnya kelancaran pelayanan yang dibutuhkan
masyarakat. Aparat pelayanan publik yang mempunyai diskresi
kewenangan yang tinggi akan lebih mampu memahami kesulitan-kesulitan
masyarakat pemohon. Hal ini merupakan sisi positif dari dilaksanakannya
kewenangan diskresi. Akan tetapi terdapat pula sisi negatif dari
pelaksanaan kewenangan diskresi, yaitu dalam pelayanan publik seorang
pejabat sangat rentan untuk melakukan perbuatan melawan hukum
(onrechtmatig/ondoelmatig) terutama saat menggunakan kewenangan
untuk melakukan diskresi, oleh karenanya sangat diperlukan pengawasan
dan pembatasan pola-pola penggunaan diskresi secara menyimpang.
Dalam teori unsur kewenangan dalam diskresi menurut M. Hadjon
mengandung dua kewenangan yaitu, kewenangan untuk memutus sendiri
cviii
cviii
dan kewenangan untuk interpretasi sendiri. Kewenangan untuk memutus
maupun kewenangan untuk interprstasi sendiri inilah yang memberikan
peluan aparatur penyelenggara pelayanan publik melakukan
penyalahgunaan wewenang maupun tindakan sewenang-wenang. Tanpa
kewenangan diskresipun apartur penyelenggara pelayanan publik dapat
melakukan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang.
Apalagi terdapat kewenangan diskresi, akan lebih besar peluang
melakukan penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang.
Hal ini merupakan sisi negatif dari kewenangan diskresi selain sisi
positfnya, yaitu mencapai pelayanan publik yang effisien, efektif dan
akuntabel.
BAB IV
PENUTUP
cix
cix
A. KESIMPULAN
Dari hasil analisa yang dilakukan penulis pada BAB III sebelumnya,
maka diperoleh kesimpulan menegenai beberapa hal yaitu:
1. Latarbelakang Desentralisasi Pelayanan Publik Pemerintah Daerah
1) Pasal 1 ayat (7) UU No. 32 Tahun 2004 yang menyatakan
desentralisasi merupakan penyerahan wewenang kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus pemerintahan dalam sistem
Negara kesatuan RI, maka penyerahan wewenang oleh pemerintah
pusat kepada daerah otonom bermakna peralihan wewenang secara
delegasi disebut delegation of authority. Tatkala terjadi penyerahan
wewenang secara delegasi maka pemerintah pusat akan kehilangan
semua kewenangan itu, dan beralih ke pemerintah daerah, maka
dalam hal urusan bidang pelayanan publikpun beralih ke pemeintah
daerah.
2) Adanya pembagian urusan pemerintahan wajib dan urusan pilihan
yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, dimana Pasal 13 UU
No. 32 Tahun 2004 adalah urusan pemerintahan yang wajib
diselenggarakan oleh pemerintahan daerah provinsi dan
pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan
dasar bagi kepentingan publik atau masyarakat, maka pelayanan
publikpun menjadi kewenangan pemerintah daerah.
3) Sebagai hasil proses politik dan hubungan antara hak rakyat dan
tanggung jawab pemerintah, maka pelayanan publik memiliki 3
(tiga) unsur penting, yakni: lembaga perwakilan sebagai pengambil
keputusan, lembaga eksekutif (pemerintahan) sebagai pemberi
layanan, dan masyarakat sebagai pengguna layanan. Sehingga
melalui pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah di
harapkan akan tercapai ketiga unsur tersebut.
4) Peran masyarakat sebagai pengguna layanan dalam transaksi
pelayanan publik adalah kemampuannya menunjukkan kehendak,
cx
cx
tuntutan, harapan, serta penilaian kepuasan terhadap pelayanan
publik. Melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam
mengapresiasi dan mengartikulasikan opini publik representatif
menjadi salah satu indikator penting bagi upaya peningkatan kualitas
layanan publik.
5) Tujuan administratif akan memposisikan Pemerintah Daerah sebagi
unit pemerintahan di tingkat lokal yang berfungsi untuk
menyediakan pelayanan masyarakat secara efektif, efisien, dan
ekonomis yang dalam hal ini terkait dalam pelayanan publik.
6) Desentralisasi pelayanan publik atau pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat ke daerah dalam hal pelayanan publik sebenarnya
telah memenuhi konsep dari asas desentralisasi yaitu dari dari sudut
politik, dalam bidang penyelenggaraan desentralisasi, dan dari sudut
teknik organisatoris pemerintahan.
2. Mekanisme Penyelenggaraan Desentralisasi Pelayanan Publik oleh
Pemerintah Daerah ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik
a. Pengaturan Penyelenggaraan Desentralisasi Pelayanan Publik
oleh Pemerintah Daerah ditinjau dari UU No. 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik
1) Pemerintah daerah sebagai organisasi penyelenggara pelayanan
publik di daerah ada dalam Pasal 8 UU No. 25 Tahun 2009
dan sebagai pelaksana teknis di daerah kewenangan pemerintah
daerah di atur selanjutnya dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
2) Pemerintah daerah sebagai organisasi penyelenggara pelayanan
publik di daerah harus memperhatikan asas-asas yang ada
dalam pelayanan publik. Asas-asas penyelenggaraan pelayanan
public diatur dalam Pasal 4 UU No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik.
cxi
cxi
3) Kuliatas dan kinerja pelayanan publik juga dipengaruhi oleh
sesuai atau tidakanya pelayanan publik yang diberikan oleh
pemerintah daerah terhadap standar pelayanan minimal, Pasal
21 UU No. 25 Tahun 2009 mengatur tentang komponen standar
pelayanan.
b. Prosedur Evaluasi, Penyelesaian Pengaduan dan Pelanggaran
hukum dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik di tinjau dari
UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
1) Pasal 10 UU No. 25 Tahun 2009 di atur bahwa Penyelenggara
berkewajiban melaksanakan evaluasi terhadap kinerja
pelaksana di lingkungan organisasi secara berkala dan
berkelanjutan. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut
penyelenggara berkewajiban melakukan upaya peningkatan
kapasitas pelaksana. Evaluasi terhadap kinerja pelaksana
pelayanan publik dilakukan dengan indikator yang jelas dan
terukur dengan memperhatikan perbaikan prosedur dan atau
penyempurnaan organisasi sesuai dengan asas pelayanan publik
dan peraturan perundang-undangan.
2) Mekanisme pengaduan yang datang dari masyarakat mengenai
kinerja aparatur maupun kualitas pelayanan publik yang
diterimannya, terdapat dalam Pasal 40 sampai dengan Pasal 50
UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
3) Mekanisme penyelesaian pelanggaran hukum mapun adanya
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh aparatur
pemerintah daerah maupun aparat birokrasi penyelenggara
pelayanan publik di atur dalam Pasal 51 UU No. 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik.
c. Standart Pelayanan
1) Kualitas dan kinerja pelayanan publik juga dipengaruhi oleh
sesuai atau tidakanya pelayanan publik yang diberikan oleh
cxii
cxii
pemerintah daerah terhadap standar pelayanan minimal masing-
masing daerah.
2) Dalam UU No. 25 Tahun 2009 Pasal 20 ayat (1) sampai dengan
(5) di sebutkan bahwa Penyelenggara berkewajiban menyusun
dan menetapkan standar pelayanan dengan memperhatikan
kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat, dan kondisi
lingkungan. Dalam menyusun dan menetapkan standar
pelayanan, penyelenggara wajib mengikutsertakan masyarakat
dan pihak terkait dan penyelenggara berkewajiban menerapkan
standar pelayanan Pengikutsertaan masyarakat dan pihak terkait
dilakukan dengan prinsip tidak diskriminatif, terkait langsung
dengan jenis pelayanan, memiliki kompetensi dan
rnengutamakan musyawarah, serta memperhatikan ke
beragaman. Dan penyusunan standar pelayanan dilakukan
dengan pedoman tertentu yang diatur lebih lanjut dalam
peraturan pemerintah.
3) Adanya standar pelayanan minimal sangat diperlukan baik bagi
pemerintah daerah maupun bagi masyarakat konsumen dari
pelayanan itu sendiri. Bagi pemerintah daerah adanya standar
pelayanan minimal dapat dijadikan tolok ukur (benchmark)
dalam penentuan biaya ang diperlukan untuk membiayai
penyediaan pelayanan publik. Sedang bagi masyarakat adanya
standar pelayanan minimal akan menjadi acuan bagi menentukan
mengenai kualitas dan kuantitas suatu pelayanan publik yang
disediakan oleh pemerintah daerah.
4) Dengan adanya standar pelayanan minimum maka akan terjamin
kualitas minimum dari suatu pelayanan publik yang dapat
dinikmati oleh masyarakat, dan diharapkan akan terjadi
pemerataan pelayanan pubik dan menghindari kesenjangan
pelayanan antar daerah.
cxiii
cxiii
5) Standar pelayanan minimum akan menciptakan berbagai
rasionalisai dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Dengan dilaksankannya standar pelayanan minimum akan
membantu pmerintah daerah dalam melakukan rasionalisasi
terhadap kelembagaan, personil, keuangan sebagai pilar utama
dalam penyelenggaraan otonomi daerah dan asas desentralisasi.
3. Implikasi Desentralisasi Pelayanan Publik ditinjau UU No. 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik
Pelaksaanaan kewenangan pemerintah daerah sebagai
penyelenggara di bidang pelayanan publik hingga saat berjalan dengan
baik di sebagian besar daerah di Indonesia. Hal ini salah satunya
dikarenakan karena dalam pelaksanaanya pemerintah daerah berpegangan
dengan apa saja yang telah di atur dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik.
Dari pelaksanaan pelayanan publik melalui mekanisme
desentralisasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah menurut asas-asas
maupun ketentuan yang tercantum dalam UU No. 25 Tahun 2009
ternyata mempunyai sisi positif dan juga sisi negatif. Hal-hal tersebut
diantaranya:
1. Apabila dalam menjalankan pelayanan publik, aparatur pemerintah
daerah berpegangan denagn asas-asas maupun ketentuan dalam UU
Pelayanan publik, niscaya tujuan dari pelayanan publik pun akan
tercapai, yakni pelayanan publik yang efektif, efisien dan akuntabel.
2. Sedangkan apabila pelaksanaan pelayanan publik tidak sesuai
dengan asas-asas dan ketentuan dalam UU Pelayanan Publik, mka
akan terjadi peluang-peluang yang negative seperti penyalahgunaan
wewenang dan tindakan sewenang-wenang, budaya KKN, dan
berdampak pada kualitas pelayanan publik.
3. Ketentuan-ketentuan dalam UU Pelayanan publik, meskipun telah
dilaksanakan dengan asas-asas dan tujuan yang baik, ternyata masih
cxiv
cxiv
memberikan peluang negatif bagi para aparatur penyelenggra
pelayanan publik. Misalnya: kewenangan diskresi yang dilakukan
aparatur pemerintah merpakan hal yang positif demi pelaksanaan
pelayanan publik yang efektif, efisien dan akuntabel, akan tetapi juga
memberikan peluang bagi para aparatur pemerintah daerah untuk
melakukan penyimpangan terhadap kewenangan itu.
Hal-hal yang diperhatikan bahwa dalam pelaksanaan
penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah yaitu aparatur
pelaksana pelayanan publik harus berpenggangan dengan asas-asas
maupun tujuan dari penyenggaraan pelayanan publik, tujuan pelayanan
publik diantaranya terwujudnya batasan dan hubungan yang jelas antara
hak, tanggungjawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang
terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, terwujudnya system
penyelenggaraan pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik, terpenuhinya penyenggaraan pelayanan
publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan terwujudnya
perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
Dengan desentralisasi yaitu pelimpahan wewenang dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, khususnya di bidang
pelayanan publik, sebagaimana diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik, pemerintah daerah akan dapat mencipatakan
momentum untuk melakukan penguatan politik lokal yang berdampak
kepada perbaikan pelayanan pemerintah daerah yang dilaksanakan oleh
birokrasi pemerintah kepada rakyat. Hal ini akan tercapai apabila apartur
birokrasi di daerah mentaati asas-asas pelayanan publik maupun
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Pelayanan publik.
Apabila dalam pelaksanaan desentralisasi pelayanan publik,
pemerintah daerah dapat melaksanakan kesemua asas-asas yang
cxv
cxv
tercantum dalam pelayanan publik, niscaya kualitas pelayanan yang di
berikan pemerintah daerah pun menjadi baik. Akan tetapi apabila dalam
penyelenggaraan pelayanan publik terjadi penyimpangan terhadap asas-
asas tersebut maka akan terjadi peluang penyimpangan penyelenggaraan
pelayanan pubilk, baik oleh aperatur pemerintah daerah sebagai
pelaksana publik maupun terhadap kualitas dan kinerja pelayanan publik.
Sedangkan implikasi pelaksanaan pelayanan publik di daerah
yang tidak sesuai dengan asas-asas maupun ketentuan dari UU Pelayanan
Publik diantaranya:
1. Penyalahgunaan wewenang dan tindakan sewenang-wenang
2. Berdampak pada kualitas dan kinerja pelayanan publik
3. Budaya KKN dalam birokrasi pelayanan publik aparatur pemerintah
daerah
4. Terjadinya kewenangan diskresi
B. SARAN
a. Mengoptimalkan pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU
No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Optimalisasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU
Pelayanan publik bertujuan agar pelaksanaan pelayanan publik didaerah dapat
tercapai sesuai harapan yaitu pelayanan publik yang efektif, efisien dan
akuntabel.
b. Segera di buat ketentuan pelaksana dari UU No. 25 Tahun 2009 tentang
Pelayanan Publik yaitu dengan di keluarkannya Peraturan Pemerintah sebagai
pelaksana UU No. 25 Tahun 2009
cxvi
cxvi
Dengan aturan pelaksana yang ada (dalam hal ini Peraturan Pemerintah) maka
diharapkan dalam pelaksanaan pelayanan publik menjadi lebih terarah sesuai
dengan tujuan yang diharapkan.
c. Tinjauan terhadap Pasal-pasal dan ketentuan dalam UU No. 25 tahun 2009
agar dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan peluang penyeimpangan dari
Undang-undang tersebut.
d. Menyusun Standar Pelayanan Minimum bagi setiap institusi (Dinas) di daerah
yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Deregulasi dan
Debirokratisasi mutlak harus terus menerus dilakukan oleh Pemda, serta perlu
dilakukan evaluasi secara berkala agar pelayanan publik senantiasa
memuaskan masyarakat.
e. Perbaikan di sektor pelayanan publik yang patut dipertimbangkan:
Mempercepat terbentuknya ketentuan pelaksana UU Pelayanan Publik,
Pembentukan pelayanan publik satu atap (one stop services), Transparansi
biaya pengurusan pelayanan publik, Membuat Standar Operasional Prosedur
(SOP), dan reformasi pegawai yang berkecimpung di pelayanan publik.
DAFTAR PUSTAKA
A Lohman, Roger. 2007. Public Administration Review. Washigntin. Vol. 6.
Agus, Dwiyanto, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Study Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada.
Budiman, Arief. 1996. Teori Negara, Negara, Kekuasaan dan Ideologi. Jakarta: Gramedia
cxvii
cxvii
Cheema, G. Shabbir dan Rondinelli, Dennis A (Ed). 1983. Decentralization and Development : Policy Implementation in Developing Countries. London: Sage Publications.
Clarke M, M. dan Steward. 1992. Public Service Orientation Developing The Approach. Policy Studies Journal. Vol. 13. No. 4
Cst. Kansil dan Christine st Kansil. 2001. Pemerintah Daerah di Indonesia Hukum Administrasi Daerah. Jakarta: Sinar Grafika.
Ero H.Rosydi. 1982. Pelimpahan Wewenang. Bandung: Alumni.
Jhonny, Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing.
J.B Kristiadi. 1992. Administrasi Pembangunan dan Administrasi Keuangan. Dalam JIIS, No. 2.
J, Kaloh. 2007 . Mencari Bentuk Otonomi Daerah. Jakarta: Rineka Cipta.
Joe Fernandes, dkk. 2002. Otonomi Daerah di Indonesia Masa Reformasi: Antara Ilusi dan Fakta, Jakarta: IPOS dan Ford Fondation.
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum.
Keputusan Menpan No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
cxviii
cxviii
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. KEP/26/M.PAN/2004 tentang Petunjuk Teknis Transaparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal
Peraturan Menteri Dalam Negeri No.79 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pencapaian Standar Pelayanan Minimaltunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 62 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pemerintahan Dalam Negeri Di Kabupaten/Kota
Khairul, Muluk. 2007. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Malang: Bayumedia Publishing.
Lexy, J Maleaong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Luthfi J. Kurniawan dkk. 2007. Wajah Buram Pelayanan Publik. Malang: Malang Corruption Watch.
_________________. 2007. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Jakarta: Bayu Media Publishing.
Hanif, Nurcholis. 2005. Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Jakarta: Grasindo.
H.M, Laica Marzuki. 2007. Hakekat Desentralisasi dalam Sistem Ketatanegaraan RI. Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI Vol. 4 No. 1 Maret 2007.
cxix
cxix
I Made Suwandi, dkk. Reformasi Pemerintahan Daerah. Surakarta: Pustaka Cakra.
M.R. Khairul, Muluk. 2002. Desentralisasi, Teori, Cakupan dan Elemen. Jurnal Administrasi Negara, Vol II/2, Maret.
Moeljarto, Tjokrowinoto. 2001. Birokrasi dan Polemik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muhammad, Fauzan. 2006. Hukum Pemerintahan Daerah Kajian Hubungan Keuangan Daerah antara Pusat dan Daerah. Yogyakarta: UII Press
N.A, Martana. 2009. Asas Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Majalah Kerta Wicaksana Vol. 15 No. 1 Januari 2009.
Nissatulikhsan. Pergeseran Paradigma dalam Pelayanan Publik. Harian Media Indonesia Senin, 21 April 2008).
Nurmadi, Achmad. 1999. Manajemen Perkotaan. Yogyakarta : Lingkaran Bangsa.
Nurul ,D Irawati. 2004. Reformasi Birokrasi dalam Pelayanan Publik. http://www.komunitasdemokrasi.or.id/comments.php?id=P39_0_13_0_C (24 Maret 2010 pukul 20:00)
Peter Mahmud Marzuki. 2008. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal
Ratminto, dan Atik Septi Winarsih. 2007. Manajemen Pelayanan Publik (Pengembangan Model Konseptual, Penerapan Citizen Cararter dan Standar Pelayanan Minimal). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
cxx
cxx
Redaktur. Decentralization and Democratic Local Governance Programming. Handbook Vol 63. www.usaid.gov/our_work/democracy_and_governance/publications (24 Maret 2010 pukul 20:00).
Redaktur. Pelayanan Publik. http://id.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_publik (1 Desember 2009 pukul 20:00)
Ridwan, HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rohman, Ahmad Ainur. 2008. Reformasi Pelayanan Publik. Malang: Program Sekolah Demokrasi dan Averroes press.
Rondinelli, Dennis A. etc, 1981. Decentralization in Developing Countries : A Review of Recent Experience. Washington DC: World Bank Staff Working Papers.
Sarundang. S.H. 2001. Pemerintahan daerah diberbagai Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Sinambela, Lijan Poltak, dkk. 2008. Reformasi Pelayanan Publik Teori Kebijakan dan Implementasi.. Jakarta: Bumi Aksara
Smith, Brian C. 1985. Desentralization: The Territorial Dimention of the State. Hamstead: George Allen & Unwin.
Soekanto, Soerjono. 1985. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
cxxi
cxxi
Sudikno Mertokusumo, 1993. Bab-bab tentang Penemuan Hukum. Bandung: Citra
Aditya Bakti
Sutarto. 1993. Dasar-dasar Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Suwondo. Desentralisasi Pelayanan Publik. http:www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/brapub/5Desentralisasi%20Pelayanan%20Publik-Suwondo.pdf (1 Desember 2009 pukul 20:00)
Sri Susilih. Desentralisasi Public Service dalam Era Otonomi Daerah. Staff Pengajar Jurusan Ilmu Administrasi, Program Studi Administrasi Negara, Universitas Indonesia.
(http://pdfdatabase.com/index.php?q=desentralisasi+pelayanan+publik)
29 November 2009 pukul 13:00
The, Liang Gie. 1968. Pertumbuhan Pemerintahan daerah di Negara Republik Indonesia. Jilid I-II. Jakarta: Gunung Agung.
Willock. 1992. Leslie et.al.Rediscovering Public Services Managemet. Ed. London : McGraw-Hill.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen IV
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik