Upload
yusni-amru-ghazali
View
353
Download
28
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Oleh: M Yusni Amru Ghazali
Citation preview
MAZHAB, CORAK DAN METODE TAFSIR
A. PENDAHULUAN
Sebagaimana kita ketahui Al-Qur’an adalah Kalamullah yang kandungannya tak
mudah dipahami dari bahasa aslinya. Banyak kata, kalimat dan gaya bahasa dalam Al-
Qur’an yang—ketika itu—orang Arab sendiri perlu bertanya pada Rasulullah saw.
untuk memahaminya.1 Bahkan dalam hal bacaan saja, Umar bin Khaththab pernah
mempermasalahkan Hisyam bin Hakim bin Hizam karena bacaannya berbeda dengan
yang ia ketahui dari Rasulullah saw.
Dalam kisahnya, Umar mengadukan hal itu, hingga akhirnya Rasulullah saw.
mengumpulkan mereka berdua. Lalu, beliau berkata pada Hisyam bin Hakim bin
Hizam, “Wahai Hisyam bacakan huruf-huruf (yang diadukan Umar).” Mendengar
bacaan Hisyam, Rasululullah saw. berkata, “Seperti inilah bacaan ayatnya ketika
diturunkan.” Kemudian, Rasulullah saw. berkata pada Umar, “Wahai Umar, bacalah.”
Mendengar bacaan Umar bin Khaththab Rasulullah saw. juga berkata hal yang sama,
“Seperti inilah bacaan ayatnya ketika diturunkan.” Lantas, beliau manambahkan
sabdanya,
“Sesungguhnya Al-Qur’an diturunkan dengan 7 bahasa (dari bahasa Arab)2, maka
bacalah yang paling mudah darinya.” (HR. Al-Bukhari)3
Tidak hanya itu, dalam Al-Qur’an bahkan ada kata yang tak bisa dimengerti
oleh siapa pun tafsirnya kecuali Allah (tafsîr lâ ya’lamuhu illallâh), seperti halnya
1 Fahd Ar-Rumi, Buhûts fi Ushûl at-Tafsîr wa Manâhijuhu, (Riyadh, Maktabah At-Taubah,
1999), h. 13. Lihat juga, Muhamad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, (Kairo,
Maktabah Wahbah, 2000) Jil. 1. Hal. 30. 2 Sa’ud bin Abdullah Al-Fanisan, Ikhtilâf Al-Mufassirîn, Asbâbuhu wa Atsâruhu, (Riyadh, Dar
Isybiliya, 1402 H) Hal. 67. 3 Al-Bukhari, Shahîh Al-Bukhâri, Kitab Fadhâ’il Al-Qur’an, Bab man lam yara ba’san an
yaqûla sûrah al-Baqarah wa sûrah kadza wa kadza
fawâtih as-suwar dan ayat-ayat yang berkaitan dengan Hari Kiamat. Seperti yang
dikatakan Abu Bakar Ash-Shiddiq,
“Dalam setiap kitab Allah (samawi) ada rahasia (yang Allah turunkan), dan salah
satu rahasia yang ada dalam Al-Qur’an adalah huruf-huruf yang ada di awal surah
(fawâtih as-suwar).”4
Sekilas, hal di atas menunjukkan bahwa Al-Qur’an itu kompleks atau
mengandung beberapa unsur yang pelik dan saling berhubungan. Oleh sebab itu,
sebagai orang awam kita perlu perangkat untuk memahami kandungannya. Perangkat
yang diharapkan mampu membongkar makna kalimat dalam Al-Qur’an—atau istilah
Musa’id bin Sulaiman, kasyfu ma’ânil qur’ân—, yang mengungkap hikmah-hikmah
dan hukum-hukum dalam Al-Qur’an,5 dan fungsi-fungsi lain yang tujuannya
memperjelas Al-Qur’an.
Lantas apa perangkatnya? Salah satunya adalah tafsir karena tafsir adalah
bayânul qur’ânil karîm.6 Ia menjembatani kita dalam memahami Kalamullah untuk
membumikan Al-Qur’an ke dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana pendapat
Muhammad Muhammad Abu Syuhbah bahwa tafsir adalah, al-ashlu fi fahmil qur’ân
wa tadabburihi, (pondasi utama untuk memahami Al-Qur’an dan mentadaburinya).7
4 Muhammad bin Yusuf, Abu Hayyan Al-Andalusi, Tafsir Al-Bahr Al-Muhîth, (Libanon, Dar
Al-Kutub Al-‘Ilmiyah, 2001) h. 157. 5 Itu sesuai dengan definisi tafsir oleh Imam Az-Zarkasyi,
“Ilmu yang berguna untuk memahami Kitabullah—yang diturunkan pada Nabi Muhammad saw.—,
menjelaskan makna-maknanya, dan mengungkap hukum-hukum serta hikmah-hikmahnya.” Lihat,
Badruddin Az-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûmil Qur’ân, (Lebanon, Dar Ihya’ Al-Kutub al-‘Arabiyah,
1957) h. 13. 6 Musa’id bin Sulaiman bin Nashir Ath-Thayyar, Tafsir Al-Lughawi li Al-Qur’ân Al-Karîm,
(Riyadh, Dar ibn Al-Jauzi, 2001) h. 32. 7 Asy-Syeikh Khalid Abdurrahman Al-‘Ak, Ushûl At-Tafsîr wa Qawâ’idihi, (Beirut: Dar An-
Nafa’is, 1968) Hal. 28.
Dan, masih banyak lagi fungsi tafsir yang lain. Seperti, ketika Al-Qur’an—
sebagai sumber hukum, norma, ilmu pengetahuan dan paradigma berpikir umat
Islam—berhadapan dengan tempat dan masa yang berbeda-beda, tafsir berperan
menjelaskan dan mendamaikannya. Sehingga tidak terjadi jarak antara Al-Qur’an dan
umat sebagai subjek hukum. Fungsi ini, menjadikan tafsir bagaikan pelita bagi umat
hingga membuat kandungan Al-Qur’an terang benderang. Seperti Ibnu Al-Jauzi
bilang, tafsir itu seperti pelita bagi orang yang membaca dalam kegelapan.8 Maka
orang yang tidak tahu tafsir, takkan tahu kandungan Al-Qur’an yang dibacanya.
Intinya, tafsir berperan besar dalam membahasakan Al-Qur’an secara aktual
pada kita. Ia menerjemahkan makna dari sifat Al-Qur’an, shâlihun likulli zaman wa
makân, aktual kapan pun dan di mana pun.
Tafsir terus mengiringi kita untuk mengaktualkan Al-Qur’an pada budaya dan
peradaban yang berubah dan berkembang setiap saat, dengan cara menjelaskan,
mengiterpretasikan, dan memberi komentar terhadap kandungan Al-Qur’an. Oleh
sebab itu, tafsir tunduk pada perkembangan zaman, sedangkan Al-Qur’an sebagai
objeknya, utuh tak tersentuh dan tak goyah oleh apa pun dari produk budaya maupun
peradaban manusia. Dan, karena tafsir tunduk pada perkembangan zaman, maka
otomatis ia akan terus mengalami evolusi dalam arti berkembang terus secara
berangsur-angsur.
Tapi, sebenarnya organisme tafsir yang ada saat ini atau cikal bakalnya, baik
itu mazhab, metode maupun coraknya, sudah ada sejak zaman Nabi saw. Seiring
berjalannya waktu dan animo umat dalam memahami Al-Qur’an, cikal-bakal dari
organisme tafsir itu pun berkembang semakin kaya. Itu terbukti dengan lahirnya
8 Ibnu Al-Jauzi, Zâd Al-Masîr fi ‘Ilmi At-Tafsîr, (Beirut, Al-Maktab Al-Islami, 1404 H) Jil. 1.
Hal. 4.
berbagai mazhab, metode dan corak dalam tafsir. Berikut ini adalah bagian-bagian
tafsir setelah 14 abad berkembang, menurut Dr. Ahsin Sakho Muhammad:
Mazhab Tafsir
1. Bi Al-Ma’tsûr
2. Bi Al-Ra’yi
o Mahmûd
o Madzmûm
Corak Tafsir
Tafsir Syi’ah
Tafsir Mu’tazilah
Tafsir Fikih
Tafsir Sufi
Tafsir Falsafi
Tafsir Balaghi
Tafsir Ijtima’i
Tafsir Haraki
Tafsir ‘Ilmi
Metode Tafsir
Tahlili
Tahlili Al-Basîth
Tahlili Al-Wasîth
Tahlili Al-Wajîz
Ijmali
Muqâran
Maudhû’i
Sedangkan Dr. Abdul Hayy Al-Farmawi fokus pada metode. Sehingga tafsir
baginya adalah metode. Adapaun pembagiannya adalah sebagai berikut:9
1. Tafsir Tahlili
Tafsir Bil-Ma’tsur
Tafsir Bir-Ra’yi
Tafsir Sufi
Tafsir Falsafi
Tafsir Fiqhi
Tafsir ‘Ilmi
Tafsir Adabi Ijtima’i
2. Tafsir Ijmali
3. Tafsir Muqaran
4. Tafsir Maudhu’i
Pembagian model ini dapat dimaklumi mengingat Dr. Abdul Hayy adalah
penemu metode Tafsir Mudhu’i. Atau singkatnya, ini adalah subjektivitas Dr. Abdul
Hayy Al-Farmawi.
Berbeda dengan Al-Farmawi, Muhammad Husein Adz-Dzahabi membagi
semua tafsir yang ada itu ke dalam 5 kelompok besar, yaitu:
1. Tafsir Bil-Ma’tsur
2. Tafsir Bir-Ra’yi atau Bil-‘Aqli
3. Tafsir Maudhu’i
4. Tafsir Isyari
9 Dr. Abdul Hayy Al-Farmawi, Al-Bidâyah fî At-Tafsîr Al-Maudhû’i Dirâsah Manhajiyah
Maudhû’iyyah, terjemah; Metode Tafsir Maudhu’i dan Cara Penerapannya, (Bandung: Pustaka Setia, 2002) Hal. 9.
5. Tafsir ‘Ilmi
Jadi, menurut Muhammad Husein Adz-Dzahabi, semua metode dan corak
yang ada dalam tafsir akan berujung pada 5 bagian di atas.10
Dari semua model pembagian itu, mungkin yang paling klasik adalah
pembagian Ibnu Abbas:11
1. Tafsir yang diketahui orang Arab
2. Tafsir yang dipahami semua orang
3. Tafsir yang diketahui ulama
4. Tafsir yang hanya diketahui Allah
B. MAZHAB TAFSIR
1. TAFSIR BIL-MA’TSUR
Setelah 14 abad dari sejak turunnya kepada manusia, Al-Qur’an ditafsirkan dengan
dua mazhab yaitu mazhab Tafsir Bil-Ma’tsûr ( لمأثوربا ) dan mazhab Tafsir Bir-
Ra’yi (بالرأي). Tafsir Bil-Ma’tsur adalah tafsir berdasarkan riwayat sahih seperti
menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah
yang memang fungsinya sebagai penjelas Kitabullah, menafsirkan Al-Qur’an dengan
riwayat dari sahabat sebagai orang yang paling tahu tentang Kitabullah, atau
menafsirkan Al-Qur’an dengan riwayat dari tabi’in senior karena mereka belajar tafsir
langsung dari para sahabat.12
Jadi, model Tafsir Bil-Ma’tsur ini ada 4 yaitu:
1. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
2. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Hadis Rasulullah saw.
10
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, ‘Ilmu At-Tafsîr, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, t. th.) Hal. 39. 11
Badruddin Muhammad Az-Zarkasyi, Al-Burhân fî ‘Ulûm Al-Qur’ân, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 2000) Jil. 2. Hal. 146.
12 Manna’ Al-Qaththan, Mabâhits fi ‘Ulûm Al-Qur’ân, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000) Hal.
337.
3. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Pendapat Sahabat
4. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Pendapat Tabi’in.
Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Banyak ayat dalam Al-Qur’an—meski tidak semuanya—yang memiliki hubungan
saling menjelaskan, sehingga bisa menafsirkan satu sama lain. Hubungan saling
menjelaskan ini, terbagi dalam beberapa kategori:
Pertama, menjelaskan dalam arti memerinci yakni menafsirkan ayat Al-
Qur’an yang kandungannya masih global (mujmal) dengan ayat lain yang sudah
perinci (mubayyan). Contoh,
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, lalu Dia pun
menerima tobatnya.” (QS. Al-Baqarah [2]: 37)
Sepintas, setelah membaca ayat di atas, akan tebersit dalam hati untuk
bertanya, “Apa yang dimaksud ‘beberapa kalimat’ pada ayat di atas?” Jawabannya
sudah ada dalam Al-Qur’an, yaitu:
“Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika
Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami
termasuk orang-orang yang rugi.’” (QS. Al-A’râf [7]: 23)
Jadi, ayat ke-23 surah Al-A’râf di atas, menjadi tafsir dari “beberapa kalimat”
yang ada pada ayat ke-37 surah Al-Baqarah.
Kedua, menafsirkan ayat Al-Qur’an yang kandungannya masih general
(muthlaq) dengan ayat lain yang lebih spesifik (muqayyad). Contoh,
“maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak.” (QS. Al-Mujâdilah [58]:
3)
Budak itu macamnya banyak, lantas budak apa yang diminta untuk
dimerdekakan pada ayat di atas? Maka tafsirnya ada dalam ayat,
“(hendaklah) dia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman.” (QS. An-
Nisâ’ [4]: 92)
Ketiga, menafsirkan ayat Al-Qur’an yang kandungannya masih umum (‘âm)
dengan ayat lain yang sudah lebih khusus (khâsh). Contoh,
“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah
Kami berikan kepadamu sebelum datang hari ketika tidak ada lagi jual beli, tidak
ada lagi persahabatan dan tidak ada lagi syafaat. Orang-orang kafir itulah orang
yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 254)
Jika dipahami dari ayat ini saja, tepatnya dari kalimat “tidak ada lagi
persahabatan dan tidak ada lagi syafaat” maka pada Hari Kiamat nanti sama sekali
tidak persahabatan dan syafaat yang berlaku bagi semua manusia. Namun, di ayat lain
ada penjelasan yang lebih khusus bahwa orang-orang yang bertakwa tetap utuh dalam
persahabatan dan orang-orang yang dikehendaki Allah, masih bisa menerima syafaat.
Berikut ini ayatnya,
“Teman-teman karib pada hari itu saling bermusuhan satu sama lain, kecuali mereka
yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf [43]: 67)
“Dan betapa banyak malaikat di langit, syafaat (pertolongan) mereka sedikit pun tidak
berguna kecuali apabila Allah telah mengizinkan (dan hanya) bagi siapa yang Dia
kehendaki dan Dia ridai.” (QS. An-Najm [53]: 26)
Dan, masih ada lagi beberapa metode lain dari penafsiran Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an. Seperti, menafsirkan Al-Qur’an dari qiraat satu dengan qiraat lain yang
berbeda atau yang lainnya.13
Tapi, ketiga metode di atas adalah yang paling populer.
Menafsirkan Al-Qur’an dengan Hadis Rasulullah saw.
Metode ini, berangkat dari fakta dan pemahaman bahwa Rasulullah saw. adalah sosok
yang paling mengerti kandungan Al-Qur’an. Beliau memang diutus sebagai penjelas
atau al-mubayyin bagi Kitabullah,14
baik dalam perbuatan, perkataan maupun
akhlaknya. Sebagaimana yang beliau sendiri tegaskan dalam hadisnya,
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi wahyu Al-Qur’an beserta (hadis) yang semisal
denganya.” (HR. Abu Dawud)
Contoh dari Tafsir Bil-Ma’tsur jenis ini adalah,
13
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, Jil. 1. Hal. 31-33 14
Manna’ Al-Qaththan, Mabâhits fi ‘Ulûm Al-Qur’ân, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000) Hal.
336.
Intinya, tafsir jenis ini sangat mengandalkan hadis Rasulullah saw. Oleh sebab
itu, berlakulah hukum hadis terhadap tafsir jenis ini, bahwa ayat yang ditafsirkan
dengan hadis sahih, maka sahihlah tafsirnya. Begitu juga, jika sesuatu ayat ditafsirkan
dengan hadis dhaif maka dhaif pula tafsirnya. Apalagi, jika ditafsirkan dengan hadis
maudhu’.
Mungkin bagi orang awam, untuk menafsirkan suatu ayat dengan hadis yang
sahih adalah kesulitan tersendiri. Mengingat perlu perangkat ilmu dasar yang kuat
untuk bisa melakukannya. Sebab, untuk mengetahui kualitas hadis saja—sahih, hasan,
dhaif, maudhu’—seseorang harus merujuk berbagai referensi buku induk, ditambah
lagi mengkaitkannya dengan ayat dan menyatakan sebagai tafsirnya.
Tapi, ulama sudah mengantisipasi hal ini dengan berbagai kemudahan-
kemudahan yang mereka tawarkan dalam bentuk karya. Dalam kitab Shahîh Al-
Bukhâri misalnya, di dalamnya sudah ada bagian khusus mengenai Tafsir Bil-Ma’tsur
jenis ini dan masih banyak lagi karya lainnya.
Menafsirkan Al-Qur’an dengan Kaul Sahabat
Dalam Tafsir Bil-Ma’tsur jenis ini, seorang mufasir akan melakukan penelitian dan
mencari secara jeli berbagai kaul para sahabat tentang suatu ayat dalam Al-Qur’an.
Sebagaimana yang dijelaskan Muhammad Husein Adz-Dzahabi dalam karya
monumentalnya, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, bahwa dalam menafsirkan Al-Qur’an,
sahabat akan berkata sesuai dengan apa yang ia dengar dari Rasulullah saw.—baik
secara langsung ataupun tidak langsung—, sesuai dengan peristiwa yang mereka
saksikan saat suatu ayat diturunkan (sabab an-nuzûl), dan sesuai dengan ijtihad
mereka sendiri.15
Tiga standar itulah yang kemudian menjadikan Tafsir Bil-Ma’tsur jenis ini
tampak beragam. Mengingat, pemahaman dan intensitas pertemuan masing-masing
sahabat dengan Rasulullah saw. berbeda-beda. Di antara mereka, ada yang dekat
sekali dengan Rasulullah saw. seperti Abu Hurairah ra., ‘Aisyah ra. dan yang lainnya.
Dan, ada pula yang jarang bertemu Rasulullah saw. karena mengemban tugas sebagai
utusan beliau di negeri nun jauh di seberang, seperti Mu’adz bin Jabal dan yang
lainnya.
Intensitas pertemuan mereka dengan Rasulullah saw. ini, sedikit banyak
memengaruhi kuantitas hadis yang mereka dengar. Dan, itulah yang menjadi salah
satu faktor adanya strata pemahaman para sahabat dalam memahami dan menafsirkan
ayat Al-Qur’an. Namun, strata itu bukan mengarah pada pertentangan di antara
mereka, melainkan saling melengkapi satu sama lain.
Ada juga satu faktor lain yang mendorong munculnya strata pemahaman para
sahabat dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Qur’an—dan ini hanya terjadi
pada satu orang sahabat—yaitu di antara mereka ada yang mendapatkan doa pandai
menakwil dari Rasulullah saw. yaitu Ibnu Abbas. Seperti dikisahkan dalam hadis
berikut;
Ibnu Abbas berkata, “Suatu hari Umar mengajakku ikut dalam sebuah
pertemuan bersama senior-senior Ahli Badar. Hingga di antara mereka ada yang
menceletuk pada Umar, ‘Kenapa kamu ajak anak kecil ini bersama kami? Kita-kita
15
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, Jil. 1. Hal. 49.
juga punya anak semacam dia.’ Mendegar itu Umar menjawab, ‘Dia adalah anak yang
kalian sendiri tahu kelebihannya.’
Akhirnya, pada hari yang lain, Umar mengundang lagi senior-senior Ahli
Badar dan ia juga mengajakku. Saat itu, sebenarnya aku tahu bahwa Umar
mengundangku hanya untuk menunjukkan siapa diriku kepada mereka.
Setelah berkumpul, tiba-tiba, Umar bertanya pada senior-senior Ahli Badar,
‘Apa komentar kalian terhadap surah ini,
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat
manusia berbondong-bondong masuk agama Allah, maka bertasbihlah dengan
memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya. Sungguh, Dia Maha
Penerima tobat (QS. An-Nashr [110]: 1-3).
Mendegar pentanyaan Umar, di antara senior-senior Ahli Badar menjawab,
‘Ini adalah perintah agar kita bersyukur pada Allah dan beristighfar. Mengingat, Allah
telah memberi anugerah pertolongan (an-nahsr) dan kemenangan (al-fath) pada kita.’
Yang lain berkata, ‘Kami tidak tahu.’ Bahkan sebagian dari mereka hanya diam.
Kemudian Umar bertanya kepadaku, ‘Wahai Ibnu ‘Abbas! Apakah
pendapatmu sama?’ Aku menjawab, ‘Surah itu adalah pemberitahuan Allah yang
mengisyaratkan dekatnya ajal Rasulullah saw. (jadi tafsirnya adalah);
‘Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan’ yakni Fathu
Makkah, maka itu adalah pertanda ajalmu tiba. Oleh sebab itu (Muhammad),
‘bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya.’
Mendengar penjelasanku, Umar berkata, ‘Aku tidak tahu apa-apa tentang surah itu,
kecuali dari yang kamu ketahui.’” (HR. Al-Bukhari)
Intinya, kisah ini, cukup jelas menunjukkan bahwa antara sahabat satu dengan
sahabat lain memiliki strata pemahaman yang berbeda dalam memahami dan
menafsirkan Al-Qur’an.
Contoh penafsiran Ibnu Abbas pada hadis di atas adalah penafsiran sahabat
dengan ijtihadnya sendiri. Ijitihad sahabat tersebut secara teori berdasarkan pada
empat sumber yaitu, (1) pengetahuan mereka tentang kedudukan bahasa Arab atau Al-
Qur’an dan rahasianya, (2) pengetahuan mereka tentang budaya dan peradaban Arab,
(3) pengetahuan mereka tentang kondisi orang-orang Yahudi dan Nasrani di tanah
Arab, terutama saat Al-Qur’an diturunkan, (4) daya pikir dan kualitas otak mereka.16
Ada contoh lain dari Tafsir Bil-Ma’tsur jenis penafsiran Al-Qur’an dengan
kaul sahabat ini, yakni penafsiran sahabat terhadap ayat Al-Qur’an berdasarkan apa
yang didengar dari Rasulullah saw.:
Dari Abu Ubaidah dari ‘Aisyah ra. Abu Ubaidah berkata, “Aku pernah bertanya
‘Aisyah (tentang maksud al-kautsar) dari ayat ‘Sungguh, Kami telah memberimu
(Muhammad) al-kautsar.’ Mendegar pertanyaanku, ‘Aisyah menjawab, ‘Al-Kautsar
adalah sungai di tepi surga yang diberikan Allah kepada nabi kalian, atapnya terbuat
dari mutiara dan gelasnya sebanyak jumlah bintang kemintang.’” (HR. Al-Bukhari)
16
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, Jil. 1. Hal. 45.
Hadis di atas adalah tafsirnya ‘Aisyah ra. terhadap makna Al-Kautsar. Dan,
disinyalir kuat tafsiran itu berasal dari apa yang ‘Aisyah ra. dengar dari Rasulullah
saw. Mengingat, isinya sama dengan hadis Rasulullah saw. Inilah hadis Rasulullah
saw. tersebut;
“Al-Kautsar adalah sungai di surga tepiannya dilapisi emas, dasarnya terbuat dari
yakut (batu permata berwarna hijau atau biru) dan permata, tanahnya lebih harum
dari misik, airnya lebih manis dari madu dan lebih jernih dari salju.” (HR. Ibnu
Majah)
Persamaan dua hadis di atas bukanlah pada detilnya, tapi pada pernyataannya
bahwa Al-Kutsar adalah sungai di surga.
Adapun di antara sahabat Rasulullah saw. yang bergelar mufasir adalah
Abdullah ibn Abbas, Abdullah ibn Mas’ud, Ali bin Abi Thalib, dan Ubai ibn Ka’b.17
Dan, Tafsir Bil-Ma’tsur jenis ini sendiri memiliki beberapa kelebihan:
1. Dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an, antara sahabat satu dengan yang lain,
tidak saling bertentangan.
2. Pendapat mereka dalam menafsirkan ayat-ayat hukum (fikih) masih satu,
belum terpecah-pecah oleh sentimen mazhab dan aliran.
3. Tafsir jenis ini secara tekstual bersumber dari hadis, bahkan tafsir mereka bisa
jadi termasuk dari “bagian” hadis itu sendiri.18
Kekurangannya,
17
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, Jil. 1. Hal. 50-69. 18
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, Jil. 1. Hal. 73.
1. Tidak ada di antara mereka yang menafsirkan Al-Qur’an secara keseluruhan.
2. Model tafsir mereka stagnan yakni dengan metode ijmali.
3. Di masanya, belum dicetak satu kitab tersendiri mengenai tafsir. 19
Menafsirkan Al-Qur’an dengan Kaul Tabi’in
Al-Khatib Al-Hafizh Al-Baghdadi mendefinisikan Tabi’in sebagai orang yang pernah
bersahabat dengan sahabat Rasulullah saw. Atau pendapat lain menambahkan, Tabi’in
adalah orang-orang yang lahir di masa Rasulullah saw. dari anaknya para sahabat.
Bahkan, orang yang hidup dari sejak zaman Jahiliah hingga zaman Nabi saw. tapi
masuk Islamnya belakangan—yakni setelah Nabi saw. wafat, sehingga tidak sempat
bersahabat dengan beliau—juga termasuk Tabi’in. Mereka seringkali disebut sebagai
Al-Mukhadramun.20
Tapi terlepas dari definisi di atas, sebenarnya Tabi’in telah mendapat
legitimasi sakral dari Rasulullah saw. sebagai golongan umat yang utama dan terbaik
setelah sahabat. Oleh sebab itu, meski bukan orang terdekat Nabi saw. hak nasihat
mereka masih tinggi dan berpengaruh kuat di dalam Islam. Termasuk dalam disiplin
ilmu tafsir, mereka adalah golongan yang perkataannya sah dan absah sebagai rujukan
dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an.
Adapun hadis yang megukuhkan posisi mereka adalah sebagai berikut:
“Yang terbaik dari kalian adalah yang hidup di masaku, kemudian generasi
selanjutnya dan generasi selanjutnya.” (HR. Al-Bukhari)
19
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, Jil. 1. Hal. 73. 20
Ibnu Shalah, Muqaddimah Ibnu Shalâh, (Mesir: Maktabah Al-Farabi, 1984) hal. 179.
Kata ‘Imran bin Hushain, “Saya lupa, setelah menyebutkan generasinya itu,
apakah Nabi saw. menyebutkan lagi dua generasi atau tiga generasi.” Dan, dalam
bahasa Arab sendiri, qarn itu hitungan masa sekitar 100 tahun atau 1 abad.21
Adapun sumber tafsir yang mereka gunakan adalah (1) tafsir Al-Qur’an
dengan Al-Qur’an, (2) riwayat dari sahabat dari Rasulullah saw. (3) tafsir sahabat
sendiri terhadap Kitabullah, (4) pengetahuan yang mereka dapat dari Ahli Kitab
tentang kandungan kitab suci mereka, (5) ijtihad dan pemikiran mereka sendiri
terhadap kandungan Al-Qur’an.22
Tabi’in memiliki peran yang penting dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan tafsir. Mereka adalah pondasi pertama yang mendongkrak tafsir ke
tahap yang lebih sempurna. Mengingat, pada masa sahabat tafsir masih berserak dan
tidak terakomodir dengan baik. Akhirnya, mereka menyempurkan tafsir dengan
berbagai upaya sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan mereka.23
Tapi, bagaimana pun juga Tabi’in bukanlah generasi yang tiba-tiba muncul
dan menyempurnakan tafsir. Sebelumnya mereka adalah murid-murid dari para
sahabat yang mendirikan sekolah-sekolah tafsir. Dan, ada tiga sekolah tafsir ternama
ketika itu yaitu Sekolah Tafsir Ibnu Abbas di Mekah, Sekolah Tafsir Ubai ibn Ka’b di
Madinah, dan Sekolah Tafsir Ibnu Mas’ud di Irak. Ketiga sekolah tafsir inilah yang
mewarnai gaya dan perkembangan tafsir Tabi’in.
Alumni Sekolah Tafsir Ibnu Abbas di Mekah adalah Sa’id ibn Jubair,
Mujahid, ‘Ikrimah, Thawus ibn Kisan dari Yaman, dan Atha’ ibn Abi Rabah.24
1. Sa’id ibn Jubair (w. 95 H)
21
Al-Bukhari, Shahîh Al-Bukhari, Kitab Asy-Syahâdât, Bab Lâ Yasy-had ‘ala Syahadati Jûr
Idza Syahada, 22
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, Jil. 1. Hal. 76. 23
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, Jil. 1. Hal. 76. 24
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, Jil. 1. Hal. 78-86.
a. Menguasai berbagai macam qira’at sehingga kuat dalam hal
Ma’ani Al-Qur’an.
b. Anti terhadap Tafsir Bir-Ra’yi.
c. Menguasai berbagai disiplin ilmu dalam Islam.
2. Mujahid ibn Jabr (w. 104 H)
a. Fanatik terhadap Ibnu ‘Abbas
b. Murid istimewa Ibnu ‘Abbas
c. Sebagian Ulama menolak tafsirnya, seperti Abu Bakar ibn
‘Ayyasy.
d. Menggunakan nalarnya secara bebas dalam memahami nas-nas Al-
Qur’an sehingga mendapat cibiran dari sebagian Tabi’in yang anti
Tafsir Bir-Ra’yi.
3. ‘Ikrimah (w. 104 H)
a. Ada kontroversi dari sebagian ulama mengenai ke-tsiqah-annya.
b. Menguasai banyak ilmu.
4. Thawus ibn Kisan (w. 106 H)
a. Ahli ibadah.
5. Atha’ ibn Abi Rabah (w. 114 H)
a. Bertemu dengan 200 sahabat Nabi saw.
b. Fikihnya kuat.
c. Anti Tafsir Bir-Ra’yi.
Adapun alumni dari Sekolah Tafsir Ubai ibn Ka’b di Madinah adalah Abu Al-
‘Aliyah, Muhammad ibn Ka’b, dan Zaid ibn Aslam.25
1. Abu Al-‘Aliyah (w. 90 H)
25
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, Jil. 1. Hal. 86-88.
a. Masuk Islam 2 tahun setelah wafatnya Nabi saw.
b. Hafal Al-Qur’an dan menguasai qiraat.
2. Muhammad ibn Ka’b (w. 118 H)
a. Wara’ dan tsiqah.
b. Banyak meriwayatkan hadis.
c. Ahli fikih.
3. Zaid ibn Aslam (w. 136 H)
a. Ahli fikih
b. Menganut mazhab Tafsir Bir-Ra’yi
c. Malik ibn Anas mengambil tafsirnya.
Sekolah Tafsir Ibnu Mas’ud di Irak terkenal dengan mazhab Tafsir Bir-Ra’yi
adapun di antara murid-murid mereka adalah ‘Alqamah ibn Qais, Masruq, Al-Aswad
ibn Yazid, Murrah Al-Hamdani, ‘Amir Asy-Sya’bi, Al-Hasan Al-Bashri dan Qatadah
ibn Di’amah.26
1. ‘Alqamah ibn Qais (w. 61 H)
a. Tsiqah
b. Ahli ibadah
c. Murid istimewa Ibnu Mas’ud.
2. Masruq (w. 63 H)
a. Ahli ibadah
b. Ahli fikih
c. Menguasai ilmu ma’ani Al-Qur’an
3. Al-Aswad ibn Yazid (w. 74 H)
a. Tabi’in senior
26
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, Jil. 1. Hal. 89-94.
b. Tsiqah
c. Fakih
4. Murrah Al-Hamdani (w. 76 H)
a. Ahli ibadah
5. ‘Amir Asy-Sya’bi (w. 109 H)
a. Bertemu 500 sahabat
b. Mendengar langsung dari 49 sahabat
c. Fakih dan tsiqah
d. Anti Tafsir Bir-Ra’yi
6. Al-Hasan Al-Bashri (w. 110 H)
a. Tsiqah
b. Ahli ibadah
c. Ahli fikih
7. Qatadah (w. 117 H)
a. Menguasai syair dan bahasa Arab
b. Menguasai sejarah kebudayaan Arab
c. Ahli fikih
Selain ketiga sekolah tafsir di atas, sebenarnya masih ada sekolah tafsir di
tempat lain. Namun, tidak berkembang pesat, seperti sekolah tafsir di Syam yang
alumninya antara lain Abdurrahman Al-Asy’ari, Umar ibn Abdul Aziz, Ka’ab Al-
Ahbar, dan Raja’ Ibn Hayah Al-Kindi. Sedangkan, sekolah tafsir di Mesir
menghasilkan beberapa aslumni ternama antara lain, Yazid Al-Azdi, Abu Al-Khair
dan Wahb ibn Munabbih.27
27
Muhammad Umar Al-Haji, Mausu’ah At-Tafsîr Qabla ‘Ahdi At-Tadwîn, (Syiria: Dar Al-
Maktabi, 2007) Hal. 281-282.
Tafsir Bil-Ma’tsur jenis ini yakni menafsirkan Al-Qur’an dengan kaul Tabi’in,
memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya,
1. Memegang teguh tradisi talaqi dan riwayah dalam menafsirkan ayat Al-
Qur’an.
Dan, kekurangannya adalah:
1. Banyak isra’iliyat-nya begitu juga kabar-kabar Nasrani. Ini karena banyak
di antara Tabi’in adalah golongan Al-Mukhadramun. Seperti, Abdullah ibn
Salam, Ka’b Al-Ahbar, Wahb ibn Munabbih, dan Abdul Malik ibn Abdul
Aziz ibn Juraij.
2. Banyak muncul aliran dan mazhab penafsiran.
3. Banyak terjadi khilaf antara penafsiran Tabi’in dengan penafsiran
sahabat.28
Adapun produk Tafsir Bil-Ma’tsur ini di antaranya adalah
1. Jâmi’ Al-Bayân fî Tafsîr Al-Qur’ân karya Ibnu Jarir Ath-Thabari
2. Bahr Al-‘Ulûm Abu Al-Laits As-Samarqandi
3. Al-Kasyfu wa Al-Bayân ‘an Tafsîr Al-Qur’ân karya Abu Al-Ishaq
Ats-Tsa’labi
4. Ma’âlim At-Tanzîl karya Abu Muhammad Al-Husein Al-Baghawi
5. Al-Muharrar Al-Wajîz fî Tafsîr Al-Kitâb Al-‘Azîz karya Ibnu
‘Athiyyah Al-Andalusi
6. Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Azhîm karya Ibnu Katsir
7. Al-Jawâhir Al-Hisân fî Tafsîr Al-Qur’ân karya Abdurrahman Ats-
Tsa’alabi
28
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, ‘Ilm At-Tafsîr, Hal. 97.
8. Ad-Dûr Al-Mantsûr fî Tafsîr Al-Ma’tsûr karya Jalaluddin As-
Suyuthi
2. MAZHAB TAFSIR BIR-RA’YI
Mazhab tafsir Bir-Ra’yi ini adalah mazhab kontroversial. Banyak ulama yang
mengecam tafsir dengan cara ini, bahkan ada yang melarangnya.29
Mereka melakukan
itu berdasarkan sabda Rasulullah saw.,
“Siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan akalnya, meskipun benar dia dianggap
salah.” (HR. At-Turmudzi)30
Menurut Imam At-Turmudzi, para ulama sangat keras terhadap orang yang
bicara tentang Al-Qur’an, dalam arti menafsirkan dengan akalnya, karena kebanyakan
mereka bicara tanpa pengetahuan. Komentar ini, ditulis Imam At-Turmudzi tepat di
bawah hadis yang diriwayatkannya.
Tapi, mengenai maksud man qâla fil qur’âni bira’yihi ini, beberapa ulama
mengungkapkan pendapatnya; Abu Al-Hasan Ahmad Al-Wahidi An-Naisaburi
misalnya, beliau berkata bahwa menafsirkan Al-Qur’an dengan akal yang dilarang
adalah tafsir tanpa istinbath dan tanpa mempertimbangkan kemungkinan lain dari
maksud ayat. Intinya, menafsirkan Al-qur’an dengna akal itu dilarang jika, pertama,
memiliki kecenderungan untuk menuruti hawa nafsu demi kepentingan pribadi atau
golongan tertentu. Kedua, buru-buru menafsirkan Al-Qur’an dari teks Arabnya saja,
tanpa meneliti dan menjelaskan kata-kata gharîb dari ayat yang ditafsirkan. Ini
29
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, ‘Ilm At-Tafsîr, Hal. 48. 30
At-Turmudzi, Sûnan At-Turmudzi, Kitab Tafsîril Qur’ân, Bab Alladzi Yufassirul Qur’ân
Bira’yihi. Hadis no. 2952.
penting, karena dalam Al-Qur’an banyak sekali kata gharîb yang maknanya berbeda
dari bunyi teks asli.31
Abu Al-Hasan Al-Mubarakfuri, juga berpendapat senada bahwa menafsirkan
Al-Qur’an dengan akal dilarang jika sifatnya pendapat pribadi. Artinya,
mengomentari ayat tanpa ada upaya penafsiran. Seperti, tidak mengais hadis yang
terkait dengan ayat, tidak meneliti unsur kebahasaannya, tidak mencari tahu sabab
nuzul-nya dan lain-lain.32
Padahal, menurut Imam Ibnu Hajar, untuk mendedah ayat
Al-Qur’an, diperlukan kurang lebih 15 disiplin ilmu sebagai perangkatnya. Seperti,
Ilmu Nahwu, Ilmu Fikih, Ilmu Hadis, ‘Ilmu Al-Lughah, ‘Ilmu At-Tahsrif, ‘Ilmu Al-
Isytiqâq, ‘Ilmu Al-Ma’âni, ‘Ilmu Al-Bayân, ’Ilmu Al-Badî’, ‘Ilmu Al-Qira’ât, ‘Ilmu
Asbab An-Nuzûl, ‘Ilmu Al-Qashash, ‘Ilmu An-Nasikh wa Al-Mansûkh, dan
sebagainya.33
Intinya, Tafsir Bir-Ra’yi ini mengundang ikhtilaf sehingga untuk
mendamaikannya, dipecahlah mazhab tafsir ke dalam dua bagian, yaitu Tafsir Bir-
Ra’yi Mahmud (boleh) dan Tafsir Bir-Ra’yi Madzmum (tidak boleh).34
Contoh Tafsir
Bir-Ra’yi Mahmud adalah:
1. Mafâtih Al-Ghaib karya Al-Fakhru Ar-Razi
2. Anwâr At-Tanzîl wa Asrâr At-Ta’wîl karya Al-Baidhawi
3. Madârik At-Tanzîl wa Haqâ’iq At-Ta’wîl karya An-Nasafi
4. Lubâb At-Ta’wîl fî Ma’âni At-Tanzîl karya Al-Khazin
5. Al-Bahru Al-Muhîth karya Abu Hayyan
6. Gharâ’ib Al-Qur’ân wa Raghâ’ib Al-Furqân karya An-Naisaburi
31
Al-Mubarakfuri Abu Al-‘Ula, Tuhfatul Ahwadzi, Kitab Abwâb Tafsîril Qur’ân, Bab Ma
Jâ’a Filladzi Yufassirul qur’ân Bira’yihi. (Beirut, Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiah, 2001) Jilid. 8. Hal. 226. 32
Abu Al-Hasan Al-Mubarakfuri, Mir’âtul Mafâtih Syarh Misykât Al-Mashâbih, (India, Idarat
Al-Buhuts Al-‘Ilmiah wa Ad-Da’wah wa Al-Ifta’, 1984) Hal. 330 33
Al-Mubarakfuri Abu Al-‘Ula, Tuhfatul Ahwadzi, Kitab Abwâb Tafsîril Qur’ân, Bab Ma
Jâ’a Filladzi Yufassirul qur’ân Bira’yihi. Jilid. 8. Hal. 226. 34
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, ‘Ilm At-Tafsîr, (Kairo, Dar Al-Ma’arif, tt) Hal. 64.
7. Tafsir Al-Jalâlain karya Jalaluddin Al-Muhala dan Jalaluddin As-Suyuthi
8. As-Sirâj Al-Munîr fî Al-‘I’ânati ‘ala Ma’rifati Ba’dhi Ma’âni Kalâmi
Rabbina Al-Hakîm Al-Khabîr karya Al-Khatib Asy-Syarbini
9. Irsyâd Al-‘Aql As-Salîm ila Mazâyâ Al-Kitâb Al-Karîm karya Abu Sa’ud
10. Rûh Al-Ma’âni fî Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Azhîm wa As-Sab’ Al-Matsâni
karya Al-Alusi
Adapun contoh kitab Tafsir Bir-Ra’yi Madzmum, menurut Muhammad
Husein Adz-Dzahabi sangat jarang, bahkan susah ditemukan. Mengingat tafsir jenis
ini, seringkali mendapat pertentangan dan dilarang secara resmi oleh penerbit-penerbit
Islam. Eksistensi tafsir jenis ini menyebar di berbagai kitab yang ada. Tapi,
setidaknya ada dua kitab dari Tafsir Mu’tazilah yang dikenal berjenis Tafsir Bir-Ra’yi
Madzmum yaitu:35
1. Tanzîh Al-Qur’ân ‘an Al-Muthâ’in karya Al-Qadhi Abdul Jabbar
(Muktazilah)
2. Tafsîr Hûd ibn Muhkam Al-Hawari (Khawarij, Ibadhiyah)
3. Himyân Az-Zâd ila Dâr Al-Ma’âd Karya Muhammad ibn Yusuf
Iththafayasy. (Khawarij, Ibadhiyah)
4. Tafsir ‘Athiyyah ibn Muhammad An-Najrani (Syiah Az-Zaidiyah)
5. Majma’ Al-Bayân li ‘Ulûm Al-Qur’ân, karya Al-Fadhl ibn Al-Hasan Ath-
Thabrasy
6. Ash-Shâfi fi Tafsir Al-Qur’ân Al-Karîm karya Mulla Muhsin Al-Kasyi
7. Fath Al-Qadîr karya Muhammad ibn Asy-Syaukani
8. Al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq At-Tanzîl wa ‘Uyûn Al-Aqâwil fî wujûh At-
Ta’wîl, karya Az-Zamakhsyari.
35
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, ‘Ilmu At-Tafsir, Hal. 67-69.
C. CORAK TAFSIR SY’IAH
Sebelum berbicara mengenai tafsirnya, mungkin ada baiknya sekilas kita menelisik
tentang sejarah Syi’ah. Itu akan membantu sedikit pemahaman kita terhadap corak
Tafsir Syi’ah.
Syi’ah secara bahasa menurut Ibnu Khaldun adalah ash-shahbu wa al-ittibâ’36
(bersahabat dan mengikuti). Sedangkan menurut istilah, Syi’ah adalah pengikut
fanatik Ali bin Abi Thalib yang kemudian meyakininya sebagai Imam sah setelah
Rasulullah saw. tanpa diselingi oleh siapa pun. Oleh sebab itu, mereka tidak
menganggap khalifah-khalifah pendahulu Ali ra. sebagai imam.37
Al-Hasan Al-
Asy’ari berkata, “Mereka disebut Syi’ah karena mengikuti (syaya’u) Ali ra. dan lebih
mengutamakan Ali ra. dari sahabat yang lain.” Sedangkan, Asy-Syahrastani
berpendapat, “Syi’ah itu orang-orang yang secara khusus mengikuti Ali ra. dan
mereka mengimaninya sebagai Imam dan khalifah yang sah berdasarkan dalil teks
dan wasiat Nabi saw. Mereka juga berkeyakinan bahwa para imam selanjutnya—
yakni setelah Ali ra.—adalah orang-orang yang berasal dari keturunannya.”38
Mazhab ini, muncul di akhir pemerintahan khalifah Utsman bin Affan.
Kemudian, menjadi pesat saat Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi khalifah, karena
posisi khalifah itu menjadikannya lebih dekat dengan masyarakat, terutama pengikut
fanatiknya. Hingga akhirnya, para pengikut Ali ra. dapat melihat dari dekat segala
kehebatan talenta dan pengetahuan agamanya. Dan, fanatisme itu menjadi semakin
36
Muhammad Muhammad Ibrahim Al-‘Asal, Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah wa Manhajuhum
fi Tafsîr Al-Qur’an Al-Karim, (Mesir: Dar Manshur, 2007) Hal. 26. 37
Nashir ibn Abdullah ibn ‘Ali, Ushûl Madzhab Asy-Syi’ah Al-Imâmiyah Al-Itsna ‘Asyariyah,
Bab Ta’rif Asy-Syi’ah fi Kutub Al-Imâmiyah Al-Itsna ‘Asyariyah, Disertasi. (Saudi Arabia: Jami’ah Al-
Imam Muhammad bin Sa’ud, 1994) Hal. 10. 38
Muhammad Muhammad Ibrahim Al-‘Asal, Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah wa Manhajuhum
fi Tafsîr Al-Qur’an Al-Karim. Hal. 25.
kuat—bahkan berlebihan—saat di antara keluarga Ali bin Abi Thalib ada yang
dizalimi pemerintahan Umayyah.39
Bagi fans beratnya, Ali bin Abi Thalib adalah sahabat yang paling mulia.
Sahabat ar-râsyidah Rasulullah saw. yang lain dianggap bukan siapa-siapa. Mereka
hanyalah penyela yang menggeser posisi Ali bin Abi Thalib dari kursi wasiat.
Bahkan, mereka dianggap meng-gashab jabatan Ali bin Abi Thalib sehingga di antara
firkah yang ghulah ada yang biasa mencaci ketiga khalifah tersebut dan menganggap
mereka kafir.
Semua itu, nantinya juga akan memengaruhi penafsiran Syi’ah Ghulah
terhadap ayat Al-Qur’an. Misalnya, dalam ayat 72, surah Al-Ahzab berikut,
“Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh,” yang dimaksud manusia
adalah pada ayat ini adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Atau, pada ayat 16, surah Al-Hasyr
“Seperti (bujukan) setan ketika ia berkata kepada manusia, ‘Kafirlah kamu!’” ini,
yang dimaksud setan adalah Umar bin Al-Khaththab. Dan, masih banyak penafsiran-
penafsiran lain yang suasananya sangat fanatik.40
Tapi, tidak semua Syi’ah adalah ghulah. Dan, keimaman Ali bin Abi Thalib
dalam Syi’ah ini dipahami secara bertingkat oleh pengikut fanatiknya. Ada yang
berlebihan (ghulah) adapula yang moderat (mu’tadil) yang memuliakan Ali bin Abi
Thalib tapi tidak mengafirkan tiga al-khalîfah ar-rasyidah yang lain.
39
Muhammad Abu Zahrah, Târikh Al-Madzahib Al-Islâmiyah, (Beirut: Dar Al-Fikr Al-‘Arabi,
t.th) Hal. 35. 40
Muhamad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah,
2000) Jil. 2. Hal. 12.
Di masa Ali ra. sendiri, sebenarnya sikap kaum Syi’ah terhadap khalifah 3
sudah beragam. Pertama, mengakui imamah ketiga khalifah tersebut kecuali beberapa
tahun terakhir sisa kekhalifahan ‘Utsman. Kedua, mengakui khalifah Abu Bakar dan
Umar tapi tidak mengakui kekhalifahan ‘Utsman. Ketiga, menganggap bahwa
imamahnya Abu Bakar dan Umar lahir karena pemilihan dan musyawarah dan
mereka tidak melihat itu sebagai suatu yang buruk. Namun, ada yang lebih utama dari
itu yakni imamah karena wasiat seperti imamahnya Ali ra.41
Bagi mereka, sahabat
yang bersih itu hanya ada 4 saja yaitu Salman Al-Farisi, ‘Ammar bin Yasar, Abu Dzar
Al-Ghiffari, dan Al-Miqdad bin Al-Aswad.42
Mazhab Syi’ah ini, pertama kali muncul di Mesir. Tapi, Syi’ah berkembang
pesat di Irak karena saat itu Irak adalah wilayah yang sangat terbuka dan marak
dengan berbagai sekte dan pemikiran. Bahkan, pada masa itu filsafat tumbuh subur di
Irak. Ini jugalah yang akhirnya memengaruhi corak tafsir dan konsep keberagamaan
Syi’ah.43
Sampai-sampai, bicara apapun—yang terkait dengan Al-Qur’an ataukan
hadis Rasulullah saw.—Syi’ah mengandalkan filsafat. Dan, filsafatnya cenderung
berkiblat pada Persia yang konsep keberagamaannya bersifat autokrasi dalam arti
agama dibawah kendali raja dan sistem waris. Makanya, Syi’ah tidak mengenal
pemilu bagi khalifah. Prinsip mereka, setelah Nabi saw. wafat, yang berhak
mengganti adalah keturunannya, namun karena tidak ada keturunan Nabi saw. yang
berjenis kelamin lelaki, Ali bin Abi Thalib adalah orang yang paling berhak. Jadi,
41
Muhammad Muhammad Ibrahim Al-‘Asal, Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah wa Manhajuhum
fi Tafsîr Al-Qur’an Al-Karim. Hal. 28-29. 42
Muhammad Muhammad Ibrahim Al-‘Asal, Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah wa Manhajuhum
fi Tafsîr Al-Qur’an Al-Karim. Hal. 85. 43
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Mazdahib Al-Islamiyah, (Kairo: Dar Al-Fikr Al-‘Arabi,
tth.) Hal. 38.
Abu Bakar, Umar dan Utsman adalah orang yang dianggap mencuri kekuasaan bagi
mereka.44
Mazhab Syi’ah terbagi dalam banyak golongan, ada yang ghulah—seperti
Saba’iah,45
Al-Bayaniah,46
Al-Mughiriah, Al-Manshuriah,47
Al-Khitabiah,48
dan
Ubaidiyin49
—dan ada juga yang mu’tadil. Tapi, semuanya berinduk pada dua
golongan yaitu Zaidiyah dan Imamiyah. Imamiyah terbagi menjadi dua yakni
Imamiyah Isma’iliyah dan Imamiyah Itsna ‘Asyariyah.50
AKIDAH POKOK SYI’AH ITSNA ‘ASYARIYAH
Memaparkan hal ini sangat penting karena nantinya Akidah Pokok inilah yang akan
mewarnai corak tafsir Syi’ah Itsna ‘Asyariyah terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Adapun
akidah pokok tersebut adalah; pertama, tauhid. Dalam tauhidnya, mereka meyakini
bahwa Allah memiliki 2 sifat yaitu Sifat Tsubutiah dan Sifat Salbiah. Di antara Sifat
Tsubutiah adalah Allah itu mutakallim, artinya Dia menciptakan kalam bagi makhluk-
Nya. Adapun di antara Sifat Salbiah adalah Allah tidak akan menampakkan diri-Nya
44
Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Mazdahib Al-Islamiyah, hal. 40. 45
Yakni pengikut Abdullah bin Saba’ yang mengaku Islam dan sangat berlebihan dalam
mengimani Ali bin Abi Thalib. Saking parahnya, Ali ra. dianggap nabi bahkan Tuhan. Menurut mereka
juga, Ali ra. tidak mati (terbunuh) melainkan diangkat ke langit. 46
Yakni pengikut Bayan bin Sam’an dari Bani Tamim. Ia menjadi populer di Irak di awal-
awal abad ke-2 hijriah. Tapi, akhirnya ia meninggal dibunuh oleh Khalid bin Abdullah pada tahun 119
Hijriah. Khalid bin Abdullah Al-Qasri sendiri adalah Amir Irak dan Khurasan dari Bani Umayyah. (Al-
Bidayah wa An-Nihayah karya Ibnu Katsir, VIII/20). Ia juga membunuh Al-Mughirah bin Sa’d tokoh
Syi’ah Ghulah sekaligus pendiri sekte Al-Mughiriah. Tapi, Khalid bin Abdullah Al-Qasri sendiri
akhirnya juga mati terbunuh pada tahun 126 H. (Al-Kamil fi At-Tarikh karya Ibnu Al-Atsir, III/441) 47
Yakni pengikut Abu Manshur Al-‘Ajli yang mendapat julukan Al-Kasf. Al-Manshuriah ini
mengimani Imamah hanya sampai Al-Baqir (Abu Ja’far bin Ali bin Al-Husein), kemudian mengaku
Al-Baqir menyerahkan kekhalifahan setelahnya pda diri Abu Manshur. (At-Tafsir wa Al-Mufassirûn,
karya Muhammad Husein Adz-Dzahabi, II/13). 48
Yakni pengikut Abu Al-Khitab Al-Asadi. Ia mengimani bahwa imamah berhenti sampai
pada Ibnu Ja’far Ash-Shadiq. Pengikut ini meyakini bahwa para Imam adalah Tuhan dan keturunan Al-
Hasan dan Al-Husein adalah anak-anak Allah. (At-Tafsir wa Al-Mufassirûn, karya Muhammad Husein
Adz-Dzahabi, II/13). 49
Yakni pengikut Ubaidillah Al-Mahdi, pendiri dinasti Ubaidiyin atau Fathimiyah.
Sebelumnya ia pernah berkuasa di Afrika. Ia juga mengaku bernama Sa’id ibn Al-Husein dan masih
keturunan Fathimah Az-Zahra. Makanya, ketika salah satu pengikut setianya (Al-Mu’iz) dapat
mengausai Mesir ia mendirikan dinasti bernama Fathimiyah. 50
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, Jil. 2 Hal. 7.
di surga. Siapa yang meyakini bahwa Allah menampakkan diri di surga maka dia
kafir.51
Salbiah dan Tsubutiah ini, sebenarnya sama saja dengan an-nafyu wa al-itsbat.
Kedua, adalah Al-‘Adl Al-Ilahi. Maksudnya, Allah itu Maha Adil, Dia tidak akan
menzalimi siapa pun dari hamba-Nya. Dalam konsep ini, qadha’ dan qadar terhadap
hamba-Nya tidak mungkin buruk. Ketiga, menurut mereka kenabian adalah tugas dari
Tuhan dan para nabi adalah ma’shum. Nabi dan rasul adalah manusia paling mulia
kecuali para Imam, mereka lebih utama dari semua rasul yang ada. Tapi, derajat para
Imam masih di bawah Rasulullah saw. Keempat, Imamah. Menurut Syi’ah, ini adalah
rukun di atas rukun. Dengan pokok keempatnya ini, mereka menganggap kaumnya
sebagai Al-Islam Al-Akhâshsh (Islam Khusus) sedangkan Islam yang lain adalah Al-
Islam Al-Â’mm (Islam Umum). Kelima, adalah Al-Ma’ad. Tempat kedua setelah
kematian manusia yakni tempatnya amal dan perbuatan manusia dihisab. Dalam
konteks ini, mereka meyakini bahwa semua unsur jasad akan kembali wujud di Al-
Ma’ad.52
Adapun di antara keyakinan Syi’ah mengenai syariat adalah: pertama, rukun
Islam ada 5 yaitu shalat, zakat, puasa, haji, dan al-wilâyah (kepemimpinan). Kedua,
air liur orang kafir dan anak hasil hubungan zina adalah najis. Kedua, wanita haid dan
lelaki junub boleh membaca Al-Qur’an kecuali surah Al-‘Alaq, An-Najm, As-Sajdah,
dan Fushshilat. Keempat, tayamum hanya membasuh dahi. Kelima, sejak matahari
tergelincir hingga tenggelam adalah waktu untuk shalat Zhuhur dan Asar, sedangkan
waktu Maghrib dan Isya’ adalah dari tenggelamnya matahari hingga tengah malam.
Kelima, shalat wajib mereka ada 9 yaitu shalat wajib sehari-hari, shalat Jum’at, shalat
dua Hari Raya, shalat Al-Ayât atau shalat karena ada tanda-tanda kebesaran Allah
51
Muhammad Muhammad Ibrahim Al-‘Asal, Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah wa Manhajuhum
fi Tafsîr Al-Qur’an Al-Karim. Hal. 28-29. 52
Muhammad Muhammad Ibrahim Al-‘Asal, Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah wa Manhajuhum
fi Tafsîr Al-Qur’an Al-Karim. Hal. 74-87.
seperti kusuf, khusuf, angin kencang dan sebagainya. Kemudian shalat wajib
selajutnya adalah shalat thawaf, shalat mayit, shalat yang ditinggalkan orangtua,
mengqadha’ yang tertinggal dan shalat yang dinadzarkan. Keenam, membaca âmin
dapat membatalkan shalat. Ketujuh, shalat tarawih adalah bid’ah. Kedepalan, boleh
nikah mut’ah. Dan, masih banyak lagi yang lainnya.53
Semua ini dan yang lainnya, sedikit banyak akan mewarnai kitab-kitab tafsir
mereka, baik secara tersirat maupun tersurat. Memang, akidah dan syariat adalah
faktor paling esensial yang mewarnai corak tafsir Syi’ah. Di antara kalangan mereka
sendiri saja perbedaan mengenai keduanya bisa sangat tajam, bahkan hingga 1800.
Tentu saja, ini berbeda dengan Sunni, yang perbedaan antara masing-masing mazhab
tidak begitu tajam kecuali beberapa hal.
Perbedaan yang begitu tajam antara masing-masing firkah di dalam Syi’ah itu,
mungkin terjadi karena dua hal yaitu banyaknya tokoh spiritual dan tingginya taasub.
Kalau hanya karena banyaknya tokoh spritual, mungkin perbedaan bisa diminimalisir.
Tapi, taasub membuat masing-masing pengikut begitu kuat memegang doktrin
tokohnya. Oleh karena itu, pengikut setia akan terus berjuang mencari kebenaran dan
membenarkan semua tentang doktrin frikahnya dengan sangat subyektif.
Pada akhirnya, subyektivitas kelompok itulah yang memperkaya corak
pemikiran dan tafsir dalam Syi’ah. Masing-masing anggota secara sadar maupun tidak
sadar membuat ciri atau diferensiasi agar dikenali ciri khasnya. Ciri khas itulah yang
menjadi kebanggaan intelektual sebuah “organisasi” atau dalam konteks ini adalah
firkah, sekaligus menjadi daya pikat bagi pengikutnya. Minimal, itu berguna untuk
membuat pengikut dapat bertahan dalam aliran dan pemikiran yang sudah menjadi
doktrinnya.
53
Muhammad Muhammad Ibrahim Al-‘Asal, Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah wa Manhajuhum
fi Tafsîr Al-Qur’an Al-Karim. Hal. 88-96.
PENDAPAT SYI’AH ITSNA ‘ASYARIYAH TENTANG AL-QUR’AN54
Jauh sebelum berbicara mengenai Tafsir Syi’ah, mungkin sangat penting mengetahui
bagaimana pendapat mereka tentang Al-Qur’an. Dengan ini, kita akan tahu bagaimana
mereka memerlakukan Al-Qur’an. Dan, dari cara mereka memerlakukan Al-Qur’an
kita akan dapat menggambarkan corak, metode atau mazhab mereka dalam
menafsirkan Al-Qur’an. Apalagi, informasi lain mengatakan bahwa mereka meyakini
bahwa mushaf Utsman mengalami banyak penambahan dan pengurangan dari wahyu
asli yang disampaikan Rasulullah saw.55
Berikut ini, sekilas tentang keyakinan kaum Syi’ah terutama Syi’ah Itsna
‘Asyariyah terhadap Al-Qur’an:
a. Al-Qur’an Tidak Bisa Menjadi Hujah Kecuali atas Petunjuk Al-Qayyim
Di dalam kitab yang bernama Ushûl Al-Kâfi, Al-Kalini berkata,
“Sesungguhnya Al-Qur’an tidak bisa menjadi hujah kecuali dengan perantara
seorang qayyim (pengontrol tertinggi) dan Ali bin Abi Thalib adalah qayyim-nya Al-
Qur’an. Mentaatinya adalah wajib karena beliau sumber yang otoritatif setelah
Rasulullah saw.”
Ini artinya, teks Al-Qur’an tidak bisa menjadi dalil atau hujah kecuali dengan
merujuk pendapat Al-Qayyim yaitu Ali bin Abi Thalib. Jadi, kehujahan Al-Qur’an
54
Nashir ibn Abdullah ibn Ali, Ushul Madzhabi Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah ‘Ardh wa
Naqd, Hal. 30. 55
Ignaz Goldziher, Madzahib At-Tafsîr terjemah Arab oleh Dr. Abdul Halim An-Najar
(Mesir: Maktabah Al-Khaniji, 1955) Hal. 293.
bukan pada bunyi teksnya, melainkan pada pendapat Imam. Dari Ali bin Abi Thalib
itu, kemudian ilmu Al-Qur’an menurun pada 12 Imam yang ada.
Menurut kaum Syi’ah, aturan ini diberlakukan karena banyak sekali orang dari
kalangan Murji’ah, Qadariah dan kaum Zindiq yang berbicara tentang Al-Qur’an,
padahal mereka tidak percaya pada Al-Qur’an. Parahnya, pembicaraan mereka
membuat banyak orang dari kaum Syi’ah teperdaya dan meyakininya sebagai
kebenaran.
Prinsip ini dipegang kuat oleh Syi’ah Itsna ‘Asyariyah. Hingga saking kuatnya
berpegang pada pondasi ini, mereka membuat istilah bahwa Imam adalah Al-Qur’an
An-Nâthiq (Al-Qur’an yang berbicara) dan Al-Qur’an adalah Al-Qur’an Ash-Shâmit
(Al-Qur’an yang diam). Bahkan, ada yang mengatakan para Imam itulah Al-Qur’an
yang sebenarnya.56
Sekarang ini adalah masa-masa intidhzâr yakni menunggu kedatangan Imam
ke-12 yang sedang dalam kegaiban (al-ghaibah al-kubra). Maka, berhujah kepada Al-
Qur’an untuk sementara waktu berhenti sehingga yang penting adalah merujuk pada
pendapat-pendapat Imam yang sudah ada.
b. Yang Berhak Menafsirkan Al-Qur’an adalah 12 Imam
Menurut kaum Syi’ah Istna ‘Asyariyah, Allah telah memberikan hak istimewa pada
12 Imam untuk mengetahui seluruh kandungan Al-Qur’an. Sehingga, merekalah yang
paling berhak menafsirkan Al-Qur’an. Siapa pun tidak berhak menafsirkan Al-Qur’an
selain Imam.
Ada kisah menarik mengenai hal ini; suatu ketika Abu Ja’far pernah bertemu
dengan Qatadah dan berkata padanya, “Wahai Qatadah, benar kamu ahli fikih dari
56
Nashir ibn Abdullah ibn Ali, Ushul Madzhabi Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah ‘Ardh wa
Naqd, Hal. 45.
Bahsrah? Qatadah menjawab, “Begitulah orang-orang beranggapan.” Kemudian Abu
Ja’far bertanya lagi, “Aku dengar kamu juga menafsirkan Al-Qur’an?” Qatadah
menjawab, “Ya. Benar.” Mendengar itu Abu Ja’far berkata, “Celaka kau Qatadah.
Yang tahu Al-Qur’an hanyalah orang yang ditunjuk.”57
c. Pendapat Imam dapat Mengkhususkan Keumuman Ayat Al-Qur’an
Bahkan kaul Imam dapat menasakh ayat Al-Qur’an. Ini karena Imam menurut mereka
adalah Al-Qur’an An-Nâthiq. Setelah Rasulullah saw. meninggal, syariat memang
telah sempurna. Tapi, menurut mereka masih ada bagian-bagian tertentu dari syariat
yang “berlubang” dan untuk penyempurnaannya diwakilkan Rasulullah saw. kepada
Ali bin Abi Thalib. Kemudian, Ali bin Abi Thalib mengeluarkannya sesuai dengan
kebutuhan zaman. Lantas, setelah Ali bin Abi Thalib wafat, masalah ini diwariskan
pada penerusnya dari Imam ke Imam hingga Imam ke-12.58
Jadi, Tasyri’ Ilahi menurut mereka terus berlanjut setelah Rasulullah saw.
wafat dan itu berakhir pada abad ke-4 Hijriah ketika terjadi ghaibah al-kubra atau
masa ketika Imam ke-12 Syi’ah menghilang.
Inilah pemahaman Syi’ah Itsna ‘Asyariyah mengenai Al-Qur’an. Posisi Imam
bagi mereka sangat kuat bahkan bagian dari akidah mereka yang mendasar. Hak-hak
spiritual para Imam bahkan melampaui hak Rasulullah saw. semasa beliau masih
hidup. Konsep imamah mereka melebihi konsep nubuahnya orang sunni. Bahkan,
setiap ucapan Imam bagi mereka setara dengan firman Allah.
57
Nashir ibn Abdullah ibn Ali, Ushul Madzhabi Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah ‘Ardh wa
Naqd. Hal. 133-134. 58
Nashir ibn Abdullah ibn Ali, Ushul Madzhabi Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah ‘Ardh wa
Naqd. Hal. 145.
Tuhan bagi mereka adalah imam-imam yang menjelma dan hidup di antara
umat manusia. Ucapan mereka adalah firman, sehingga dapat menambah,
mengurangi, bahkan menghapus ayat dalam Al-Qur’an.
Konsep mendasar ini sangat penting diketahui untuk melihat bagaimana corak
Tafsir Syi’ah yang sebenarnya. Tapi, seiring berjalannya waktu, stereotype mereka
juga menurun, toleransi mereka juga sedikit demi sedikit meningkat. Hingga akhirnya
corak tafsir mereka pun belakangan mulai menemukan konsep yang lebih lembut di
telinga kaum Sunni. Faktanya, beberapa tafsir kontemporer dari kaum Syi’ah
menggunakan tartîb mushafi Ahlus Sunnah. Padahal, mereka memiliki tartîb mushafi
sendiri yang sama sekali berbeda dengan mushaf Utsmani. Yang mana di antara
perbedaannya adalah mushaf mereka sama sekali tidak menganggap penting surah Al-
Fâtihah.59
PENDAPAT SYI’AH ITSNA ‘ASYARIYAH TENTANG HADIS
Hadis menurut Syi’ah Itsna ‘Asyariyah adalah perkataan, perbuatan atau persetujuan
yang datang dari Rasulullah saw. melalui sanad yang mereka sepakati dan apa-apa
yang datang dari para Imam Alul Bait yang mana derajatnya sama dengan hadis
Rasulullah saw.60
Mengenai hadis Syi’ah ini penting untuk dibahas karena dengannya
kita akan tahu model mazhab Tafsir Bil-Ma’tsurnya mereka.
Menurut Syi’ah derajat hadis terbagi menjadi 4 yaitu sahih, hasan, muwatsaq
dan dhaif. Hadis Sahih adalah hadis yang riwayatnya bersambung dari para Imam
yang adil. Hadis Hasan adalah hadis yang riwayatnya bersambung dari para Imam
yang tidak jelas keadilannya. Hadis Muwatsaq adalah hadis yang diriwayatkan oleh
59
Ignaz Goldziher, Madzahib At-Tafsîr terjemah Arab oleh Dr. Abdul Halim An-Najar. Hal.
299. 60
Muhammad Muhammad Ibrahim Al-‘Asal, Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah wa Manhajuhum
fi Tafsîr Al-Qur’an Al-Karim. Hal. 98.
Imam yang tsiqah, tapi akidahnya rusak meskipun sebagian riwayatnya yang lain ada
yang sahih. Hadis Dhaif adalah hadis yang sanadnya rusak karena periwayatnya
terkenal fasik.61
Terkait hadis ini, terdapat beberapa catatan:
1. Syi’ah tidak menerima hadis Ahlus-sunnah meskipun itu mutawatir atau sahih.
2. Jika para sahabat bersama-sama meriwayatkan suatu hadis, namun tidak ada
salah satu dari sahabat itu yang termasuk 12 Imam yang mereka yakini, maka
hadisnya tidak sah.
3. Yang paling penting, hadis itu berasal dari Imam, baik dengan sanad yang
sambung atau sekadar disandarkan pada Nabi saw. (marfu’).
4. Para Imam adalah sumber utama periwayatan, semua hadis harus melalui jalur
periwayatan mereka.
5. Teori ‘adalah itu tidak berlaku bagi Imam. Jadi, meskipun Imamnya itu cacat,
hadisnya tetap diterima.
6. Hadis yang diriwayatkan Imam tidak harus sambung hingga Rasulullah saw.
Adapun kitab induk hadis mereka adalah:
a. Al-Kâfi karya Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub yang memiliki posisi
seperti Imam Al-Bukhari di golongan Ahlu Sunnah. Ia wafat pada tahun
329 Hijriah.
b. Kitâb lâ Yahdhurruhu Al-Faqîh karya Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin
Al-Husein. Gelarnya Ash-Shaduq. Meninggal pada tahun 381 Hijriah.
c. At-Tahdzîb dan Al-Istibshâr. Keduanya karya Muhammad ibn Al-Husein
Ath-Thusi. Meninggal pada 460 Hijriah.
61
Muhammad Muhammad Ibrahim Al-‘Asal, Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah wa Manhajuhum
fi Tafsîr Al-Qur’an Al-Karim. Hal. 99-100.
d. Al-Wâfi karya Mula Muhsin Al-Faidh Al-Kasyani. Adalah ulama hadis
kontemporer bagi Syi’ah. Meninggal pada tahun 1091 Hijriah.
e. Kitab Tafshîl Wasâ’il Asy-Syi’ah karya Muhammad ibn Al-Hasan Al-Hurr.
Meninggal pada tahun 1104 Hijriah.
f. Al-Mustadrak ‘ala Al-Wasâ’il karya Al-Mirza Husein An-Nuri. Meninggal
tahun 1320 Hijriah.62
TAFSIR BATINIAH SYI’AH ISMA’ILIYAH
Isma’iliyah adalah firkah dalam Syi’ah Imamiah yang meyakini keimaman Alu Bait
dari Ali bin Abi Thalib hingga Isma’il bin Ja’far Ash-Shadiq saja dan itu berarti hanya
sampai pada generasi ketujuh dari keturunan Ali bin Thalib. Ini berbeda dengan
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah, yang mengangkat Musa Al-Kadzim bin Ja’far Ash-Shadiq
sebagai Imam ketujuh dan berlanjut hingga generasi kedua belas dari keturunan Ali
bin Abi Thalib. Makanya, ada yang bilang Isma’iliyah ini adalah Syi’ah Tujuh. Tapi,
intinya baik Musa Al-Kadzim ataupun Isma’il adalah sama-sama anak dari Ja’far
Ash-Shadiq.
Mereka berkeyakinan bahwa yang bicara dari Al-Qur’an adalah makna bathin
saja.63
Zhahir Al-Qur’an yakni teks yang biasa kita baca, tidak memiliki pengaruh
apapun baik itu sebagai dalil atau pun prinsip hidup. Contohnya, jika ada ayat Al-
Qur’an yang jelas-jelas mewajibkan shalat seperti,
62
Muhammad Muhammad Ibrahim Al-‘Asal, Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah wa Manhajuhum
fi Tafsîr Al-Qur’an Al-Karim. Hal. 100. 63
Muhamad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn. Jil. 2. Hal. 174.
“Dan kita diperintahkan agar berserah diri kepada Tuhan seluruh alam, dan agar
melaksanakan salat serta bertakwa kepada-Nya. Dan Dialah Tuhan yang kepada-Nya
kamu semua akan dihimpun.” (QS. Al-An’âm [6]: 71-72)
Shalat pada ayat di atas, mereka artikan sebagai Rasulullah saw. dan semua
kata shalat, diartikan Rasulullah saw. Inilah maksud mereka bahwa Al-Qur’an itu
hanya patut diimani dari unsur bathin saja. Tidak hanya itu, kata al-ka’bah yang ada
dalam Al-Qur’an diartikan dengan Nabi saw., al-jannah artinya saat badan istirahat
dari lelah dan capai, an-nâr adalah kondisi saat jiwa terbebani berbagai kewajiban64
dan masih banyak lagi yang lainnya. Sehingga, untuk mengatakan sesat saya kira kita
tidak perlu mengambil atau merujuk pada fatwa ulama siapa dan kyai mana. Sebab,
semua kesesatan Isma’iliyah telah terang benderang.
Firkah atau tha’ifah ini sebenarnya bukan termasuk dari agama Islam karena
mereka lebih dekat dengan agama Majusi.65
Mereka tidak meyakini kewajiban shalat
juga haji. Bahkan dari caranya meyakini unsur bathin dalam Al-Qur’an, sebenarnya
mereka mengisyaratkan keengganannya berhujah dengan Al-Qur’an. Tapi, anehnya
mereka dalam beberapa kesempatan (terdesak) menggunakan dalil Al-Qur’an.
Oleh karena banyaknya penyimpangan yang parah ini, dalam dakwahnya
Isma’iliyah bergerilya dan diam-diam.66
Mereka tidak berani menampakkan diri di
dalam komunitas dan masyarakat. Ini adalah tradisi yang diwariskan nenek moyang
mereka dari sejak zaman Khalifah Al-Maimun. Cara ini sebenarnya dilakukan karena
sebagian besar dari mereka adalah keturunan Majusi yang takut dengan tentara umat
64
Muhamad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn. Jil. 2. Hal. 179. 65
Muhamad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn. Jil. 2. Hal. 174. 66
Muhamad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn. Jil. 2. Hal. 175.
Islam.67
Bahkan, mereka tidak akan mengaku sebagai aliran batiniah kecuali pada
orang yang sama-sama beraliran batiniah.68
Isma’iliyah seringkali menafsirkan ayat Al-Qur’an dengan cara yang sangat
berlebihan. Benar-benar keluar jauh dari konteks dan teks, tapi sangat cocok dengan
ambisi dan hawa nafsu mereka. Untungnya, Isma’iliyah ini tidak memiliki satu kitab
tafsir pun.69
Tapi, tafsir-tafsir sesat mereka beredar pada beberapa kitab-kitab induk
mereka yang tentunya jarang ada.
Menurut Husein Adz-Dzahabi, mereka tidak mampu menafsirkan Al-Qur’an
ayat per ayat hingga tuntas karena tidak mampu mengotori Al-Qur’an dan
merendahkannya dengan pemikiran sesat.70
Dan, itulah bagian dari kemukjizatan Al-
Qur’an sebagaimana firman Allah swt.,
“Sesungguhnya (Al-Qur'an) itu adalah Kitab yang mulia, (yang) tidak akan didatangi
oleh kebatilan baik dari depan maupun dari belakang (pada masa lalu dan yang akan
datang), yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana, Maha Terpuji.” (QS.
Fushshilat [41]: 41-42)
Dari sini, kita kemudian dapat gambaran bahwa mereka tidak punya metode
dalam menafsirkan Al-Qur’an. Tapi, mereka memiliki corak yang sangat dekat
dengan hawa nafsu dan fanatik kelompok. Mereka tidak memiliki metode karena
metode penafsiran itu didapat dan diketahui dari karya tafsir yang ada. Jika mereka
tidak punya tafsir—sebagaimana yang dikatakan Husein Adz-Dzahabi—maka
67
Abu Manshur Muhammad Al-Baghdadi, Al-Farqu baina Al-Firaq wa Bayanu Al-Firqah
An-Najiyah Minhum; ‘Aqa’id Al-Firaq Al-Islamiyah wa Ara’u Kibar A’lamiha, (Kairo: Maktabah Ibnu
Sina, t.th.) Hal. 249. 68
Abu Manshur Muhammad Al-Baghdadi, Al-Farqu baina Al-Firaq wa Bayanu Al-Firqah
An-Najiyah Minhum; ‘Aqa’id Al-Firaq Al-Islamiyah wa Ara’u Kibar A’lamiha. Hal. 255. 69
Muhamad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn. Jil. 2. Hal. 175. 70
Muhamad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn. Jil. 2. Hal. 175.
otomatis mereka tidak punya metode penafsiran. Mereka juga tentunya tidak memiliki
mazhab tafsir, baik itu Bil-Ma’tsur atau pun Bir-Ra’yi.
Yang parah adalah paham batiniah Isma’iliyah ini ternyata menggiurkan
orang-orang yang terkekang hawa nafsu. Akibatnya, bukannya punah atau hancur
ditelah zaman, justru paham batiniah ini berkembang dari zaman ke zaman. Bahkan,
menurut Husein Adz-Dzahabi firkah yang memiliki paham seperti ini sudah banyak
dan mereka memiliki nama sendiri. Seperti, Al-Babiyah, Al-Baha’iyah, Al-
Qadiyaniyah, Al-‘Alawiyah, dan Al-Bikdasyiyah.71
Sebenarnya aliran batiniah ini dimunculkan pertama kali dan dipelopori oleh
beberapa orang di antaranya adalah Maimun ibn Daishan yang terkenal dengan Al-
Qaddâh. Maimun ibn Daishan ini awalnya adalah pembantu Ja’far bin Muhammad
Ash-Shadiq. Selain Maimun ibn Daishan adalah Muhammad bin Al-Husein yang
terkenal dengan julukan Dindan. Keduanya pernah dipenjara oleh gubernur Irak pada
saat itu. Dan, di dalam penjara itulah akhirnya mereka sepakat membentuk sekte
batiniah. Setelah keluar dari penjara, dakwah mereka makin gencar. Bahkan, untuk
memikat jamaah terutama dari golongan Rafidhah dan Hululiyah, Maimun ibn
Daishan mengaku sebagai anaknya Isma’il bin Abu Ja’far Ash-Shadiq.72
Mungkin
inilah, yang kemudian orang mengenal bahwa aliran batiniah itu berasal dari
Isma’iliyah.
Dalam memahami Al-Qur’an mereka melakukan ta’wil yang bebas. Dalil
mereka adalah ayat,
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin datang kepadamu.” (QS. Al-Hijr [15]: 99)
71
Muhamad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn. Jil. 2. Hal. 188. 72
Abu Manshur Muhammad Al-Baghdadi, Al-Farqu baina Al-Firaq wa Bayanu Al-Firqah
An-Najiyah Minhum; ‘Aqa’id Al-Firaq Al-Islamiyah wa Ara’u Kibar A’lamiha. Hal. 247-248.
Menurut mereka berdasarkan ayat ini, keyakinan itu hanya didapat dengan
melakukan ta’wil.
CORAK DAN METODE TAFSIR SYI’AH ITSNA ‘ASYARIYAH
Di dalam Syi’ah, corak tafsirnya—dalam arti kriteria tertentu yang membedakannya
dengan yang lain—sangat bergantung pada corak dan pemikiran tokohnya.
Sebagaimana yang sudah disebutkan, hal ini karena konsep taasub yang begitu
mengakar di dalam Syi’ah. Dalam ayat-ayat tertentu, glolongan Saba’iah misalnya
memiliki corak tafsir yang berbeda dengan tafsir golongan Al-Mughiriah. Jadi, firkah-
firkah dalam Syi’ah sangat berperan dalam memecah corak tafsir. Apalagi, jika
dikaitkan dengan konsep Al-Qur’an An-Nathiq—dimana imam memiliki peran
tertinggi dalam menafsirkan Al-Qur’an—maka perbedaan imam dapat memengaruhi
corak tafsir.
Corak tafsir dalam Syi’ah ini secara garis besarnya dibagi menjadi dua yaitu
ghulah dan mu’tadil. Corak tafsir yang ghulah ini terbagi ke dalam beberapa bagian
disesuaikan dengan nama firkah masing-masing. Ada corak Saba’iah, corak Al-
Bayaniah, corak Al-Mughiriah, corak Al-Manshuriah, corak Al-Khitabiah, dan corak
‘Ubaidiyin. Adapun corak yang mu’tadil dipelopori oleh Syi’ah Imamiah dan Zaidiah.
Syi’ah Imamiah sendiri terbagi menjadi dua yakni Imamiah Isma’iliyah dan Imamiah
Itsna ‘Asyariyah.
Adapun metode tafsir yang mereka pergunakan, khususnya Syi’ah Istna
‘Asyariyah adalah sama seperti metode tafsir pada umumnya. Yaitu ada Tahlili,
Ijmali, Muqaran dan Maudhui. Bahkan mereka juga memiliki mazhab tafsir yang
sama dengan Sunni, yaitu mazhab Tafsir Bil-Ma’tsur dan mazhab Tafsir Bir-Ra’yi.
Hanya saja, sumber rujukan, corak pemikiran, konsep akidah dan syariahnya berbeda.
MUFASIR SYI’AH DAN KITAB TAFSIRNYA73
A. Tafsir Syi’ah Ghulah
Perlu dipertegas di sini, bahwa ada firkah ghulah, ada tafsir ghulah. Tafsir
ghulah ini tidak berarti produk dari firkah ghulah.
1. Tafsir Al-Hasan Al-‘Askari
Tafsir ini adalah karya Al-Hasan bin Ali bin Muhammad Ali bin Musa bin
Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal ‘Abidin bin Al-
Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Dia adalah Imam ke-11 dari 12 Imam utama.
Dia adalah bapak dari Muhammad bin Al-Hasan Al-Muntazhar yakni Imam
ke-12 yang mengalami ghaibah al-kubra. Lahir pada tahun 232 Hijriah di
Madinah dan meninggal pada tahun 260 Hijriah. Ia dimakamkan di Irak di
kota Samarra yang merupakan kepanjangan dari surra man ra’a. Al-‘Askari
adalah nama lain dari kota Samarra. Ceritanya, dahulu Al-Mu’tashim, khalifah
dari Dinasti Abassiyah pernah membangun kota tersebut kemudian ia pindah
dan menempatinya bersama tentaranya (al-‘askar).
Ciri khas dari tafsir ini adalah:
1. Memuat banyak khurafat bahkan yang tidak ada hubungannya sama sekali
dengan Al-Qur’an.
2. Sangat serius membahas imamahnya Ali ra. dan keturunannya.
3. Banyak mencaci sahabat lain selain Ali bin Abi Thalib.
2. Tafsir Al-Qumi
Kitab ini adalah karya Abu Al-Hasan ‘Ali bin Ibrahim bin Hasyim Al-Qumi.
Hidup di akhir abad ketiga hingga awal abad keempat. Kitab ini adalah yang
73
Muhammad Muhammad Ibrahim Al-‘Asal, Asy-Syi’ah Al-Itsna ‘Asyariyah wa Manhajuhum
fi Tafsîr Al-Qur’an Al-Karim. Hal. 828-870.
pertama menisbatkan kata kufr, nifaq atau syirk kepada sahabat. Bahkan,
mereka dianggap sebagai musuh utama keluarga Muhammad saw. Dalam
tafsir ini kata أية dan كتاب dengan Ali bin Abi Thalib. Ia juga menafsirkan
.dengan para Imam نعمة
3. Tafsir Mir’atul Anwar wa Misykatul Asrar
Kitab ini adalah karya Al-Maula ‘Abdul Latif Al-Kazarani. Tafsir ini sangat
menekankan pentingnya meyakini bahwa Al-Qur’an terdiri dan Zhahir dan
Bathin. Selain itu, tafsir ini juga meyakinkan pembacanya bahwa Imam adalah
segalanya dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an. Satu hal lagi, bahwa lafadz al-
jalalah, apapun bentuknya apakah itu Allah, rabb atau ilah harus ditafsirkan
sebagai para Imam.
4. Tafsir Ash-Shafi
Kitab ini merupakan karya Muhammad bin Al-Murtadha bin Asy-Syah
Mahmud atau dikenal dengan Mula Muhsin Al-Kasyani wafat pada tahun
1090 Hijriah. Menurut Muhsin Al-Kasyani, pengetahuan tentang Al-Qur’an
sepenuhnya adalah hak para Imam.
5. Tafsir Al-Burhan
Kitab ini adalah karya Hasyim bin Sulaiman bin Isma’il Al-Husaini Al-
Bahrani. Ia meninggal pada tahun 1107 Hijriah. Melarang Tafsir Bir-Ra’yi
tanpa mengambil pendapat salah satu Imam. Menurutnya juga, Al-Qur’an
terdiri dari Zhahir dan Bathin.
6. Tafsir Al-Qur’an li Al-Ashfihani
Kitab ini dikarang oleh Muhammad Husein Al-Ashfihani An-Najafi. Lahir
pada tahun 1235 Hijriah. Dalam tafsir ini di antaranya dijelaskan bahwa tidak
ada dosa bagi orang kafir. Pendapat ini berangkat dari pengafirannya terhadap
3 khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib.
7. Tafsir Bayânus Sa’âdah fî Maqâmatil ‘Ibâdah
Kitab ini adalah karya Sulthan Muhammad bin Haidar bin Muhammad Al-
Janabidzi. Ia meninggal pada tahun 1311 Hijriah. Kitab ini penuh dengan
pandangan filsafat. Ia juga meyakini bahwa semua sahabat adalah kafir.
B. Tafsir Syi’ah Mu’tadil
1. Tafsir Majma’ Al-Bayân fi Tafsir Al-Qur’an
Kitab ini dikarang oleh Abu ‘Ali Al-Fadhl bin Al-Hasan Ath-Thabarasi. Ia
adalah ulama Syi’ah abad keenam Hijriah. Lahir dan besar di Tabarestan,
Iran. Artinya, ia satu daerah dengan Ibnu Jarir Ath-Thabari. Ath-Thabarasi
termasuk mufasir Syi’ah yang moderat.
2. Tafsir Jawâmi’ Al-Jâmi’
Kitab ini adalah karya Ath-Thabarasi juga. Kitab ini terdiri dari 4 jilid.
Tujuan dari mengarang kitab ini adalah untuk mengkompromikan antara
tafsir Majma’ Al-bayan dengan tafsir Az-Zamakhsari.
3. Kitab Kunuz Al-‘Irfan fi Fiqhi Al-Qur’an
Pengarang kitab ini adalah Al-Miqdad bin Abdullah bin Muhammad Al-
Asadi. Kitab ini lebih banyak memuat materi fikih, kalaupun ada materi
akidah itu hanya sedikit saja.
4. Kitab Tafsir Ba’dh Ayat Al-Ahkam fi Al-Qur’an
Pengarangnya adalah Hasan Najafi. Kitabnya tipis dan hanya satu jilid.
Kitab ini memiliki metode yang sama dengan kitab Kunuz Al-‘Irfan.
5. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim
Pengarangnya adalah As-Sayyid Abdullah bin Muhammad Ridha Al-
‘Alawi atau terkenal dengan sebutan Syabr. Ia meninggal pada tahun 1242
Hijriah. Semua tentang ajaran pokok Syi’ah Istna ‘Asyriah dijelaskan
dalam tafsir ini tapi dengan sudut pandang yang moderat.
6. Alâ’ Ar-Rahmân fî Tafsîr Al-Qur’an
Pengarangnya adalah Syeikh Muhammad Jawwad Al-Balaghi. Meninggal
pada tahun 1952 Masehi. Berbeda dengan tafsir-tafsir Syi’ah yang lain,
tafsir ini sangat focus pada masalah balaghah dalam Al-Qur’an.
7. Tafsir Al-Mubîn
Kitab ini merupakan karya Syeikh Muhammad Jawwad Mughniah. Tafsir
ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1978 Masehi. Ia termasuk tokoh
pembaharu dalam Syi’ah Imamiah yang mencoba mengenalkan Syi’ah
Imamiah dengan cara yang berbeda.
CATATAN TENTANG TAFSIR SYI’AH
Dalam menafsirkan Al-Qur’an mereka sangat fanatik terhadap mazhab. Terhadap
ayat-ayat yang disinyalir berkaitan dengan mazhabnya, mereka berpegang dan
menjunjung tinggi. Tapi, jika tidak berkaitan maka mereka akan berusaha sekuat
tenaga agar dapat terkait. Hawa nafsu telah menguasai corak tafsir mereka, terutama
golongan Syi’ah yang ghulah. Seperti tafsirnya Syi’ah Saba’iah, Syi’ah Al-Bayaniah,
Syi’ah Al-Mughiriah, Syi’ah Al-Manshuriah, Syi’ah Al-Khithabiah dan Syi’ah
‘Ubaidiyah.74
Tapi, di antara golongan Syi’ah ada yang corak penafsirannya bisa ditelaah
secara baik dan ilmiah karena memiliki sejarah perkembangan yang bertahap. Yaitu
74
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, Jil. 2 Hal. 9-18.
corak tafsir dari Syi’ah Itsna ‘Asyariyah. Mereka menyerahkan semua tafsir dan
ta’wil ayat Al-Qur’an pada imamnya yang 12—yang satunya belum muncul.
Khususnya, yang bekaitan dengan masalah-masalah yang pelik dan berat, seperti
hukum dan fatwa tertentu, akidah, dan lain-lain.75
Mereka juga meyakini bahwa Al-Qur’an memiliki dua entitas yaitu zhahir dan
bathin. Konsep bathin Al-Qur’an inilah yang kemudian mewadahi berbagai pikiran
filsafat mereka dalam menafsirkan Al-Qur’an. Sebab, bathin Al-Qur’an adalah
sesuatu yang sifatnya obskur atau samar. Itu pun masih mereka bagi kedalam 77
tingkatan bathin Al-Qur’an.76
Sehingga tidak ada standar filter yang pasti. Oleh sebab
itu, kebebasan, keliaran dan keleluasaan penafsiran mereka dapat terwadahi.
Penafsiran bathin ini, sebenarnya mirip dengan corak Isyari atau ‘Irfani yang
menafsirkan ayat dengan cara mengambil makna terjauh dari bunyi teks, yadzhabu ila
ab’ad minal ma’na azh-zhahiril-ayah.
Syi’ah Itsna ‘Asyariyah ini, dalam menafsirkan Al-Qur’an yang berkaitan
dengan ketauhidan berkiblat pada Mu’tazilah. Dua golongan itu (Syi’ah dan
Mu’tazilah) memang hampir tidak memiliki perbedaan dalam aliran kalamnya, kalau
pun ada itu hanya sedikit saja.77
D. METODE TAFSIR
75
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, Jil. 2 Hal. 20. 76
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, Jil. 2 Hal. 23. 77
Muhammad Husein Adz-Dzahabi, At-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, Jil. 2 Hal. 20.