30
MATERI III KEMISKINAN DAN PENANGGULANNYA A. Karakteristik Ekonomi dan Kelompok Penduduk Miskin Secara garis besar gambaran umum kondisi negara berkembang adalah tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan yang tidak merata. Sedangkan gambaran mengenai penduduk miskinnya adalah tempat tinggal yang umumnya berada di pedesaan dengan mata pencaharian pokok di sektor pertanian dan kegiatan lain yang berhubungan erat dengan sektor tradisional. Kondisi ini ternyata sesuai dengan data yang ada tentang negara dunia ketiga bahwa dua pertiga penduduk miskin di negara berkembang masih tinggal di pedesaan dan menggantungkan hidupnya pada pola pertanian yang subsisten baik sebagai petani kecil atau buruh tani yang berpenghasilan kecil. Sedangkan sepertiganya lagi memiliki mata pencaharian dari usaha jasa kecil-kecilan. Penduduk yang tinggal di pingiran kota atau kampung-kampung kumuh di pusat kota banyak yang memiliki mata pencaharian di sektor informal seperti kuli kasar, pedagang asongan, usaha kecil-kecilan, dan sebagainya yang tergolong pekerja rendahan. Oleh karena itu, untuk mengentaskan mereka dari lingkaran kemiskinan, seharusnya perhatian utama kebijakan pemerintah diarahkan pada kelompok ini. Namun, yang terjadi saat ini adalah perhatian pemerintah tercurah pada daerah 1

Materi III

Embed Size (px)

DESCRIPTION

materi bab 3

Citation preview

Akar Kemiskinan dan Penanggulangannya

MATERI IIIKEMISKINAN DAN PENANGGULANNYAA. Karakteristik Ekonomi dan Kelompok Penduduk MiskinSecara garis besar gambaran umum kondisi negara berkembang adalah tingkat pendapatan per kapita yang rendah dan distribusi pendapatan yang tidak merata. Sedangkan gambaran mengenai penduduk miskinnya adalah tempat tinggal yang umumnya berada di pedesaan dengan mata pencaharian pokok di sektor pertanian dan kegiatan lain yang berhubungan erat dengan sektor tradisional. Kondisi ini ternyata sesuai dengan data yang ada tentang negara dunia ketiga bahwa dua pertiga penduduk miskin di negara berkembang masih tinggal di pedesaan dan menggantungkan hidupnya pada pola pertanian yang subsisten baik sebagai petani kecil atau buruh tani yang berpenghasilan kecil. Sedangkan sepertiganya lagi memiliki mata pencaharian dari usaha jasa kecil-kecilan. Penduduk yang tinggal di pingiran kota atau kampung-kampung kumuh di pusat kota banyak yang memiliki mata pencaharian di sektor informal seperti kuli kasar, pedagang asongan, usaha kecil-kecilan, dan sebagainya yang tergolong pekerja rendahan. Oleh karena itu, untuk mengentaskan mereka dari lingkaran kemiskinan, seharusnya perhatian utama kebijakan pemerintah diarahkan pada kelompok ini. Namun, yang terjadi saat ini adalah perhatian pemerintah tercurah pada daerah perkotaan dengan berbagai sektor ekonominya, seperti sektor industri modern dan komersial.

Secara umum penduduk yang banyak mengalami kemiskinan adalah para wanita dan anak-anak. Mereka menderita kekurangan gizi dan paling sedikit menerima pelayanan kesehatan dan jasa sosial. Di negara dunia ketiga banyak wanita yang menjadi kepala rumah tangga. Banyaknya tugas yang mereka emban menyebabkan mereka tidak dapat bekerja secara optimal sehingga kapasitasnya rendah untuk memperoleh pendapatan yang memadai. Akses kaum wanita terhadap pendidikan dan pekerjaan yang layak secara formal sangat terbatas. Keadaan ini turut mempersempit kesempatan mereka untuk memperoleh sumber keuangan dibandingkan dengan kaum pria.

Pada masyarakat miskin di negara dunia ketiga banyak ditemukan wanita yang menjadi kepala rumah tangga yang seharusnya menjadi tanggung jawab kaum pria. Namun kenyataannya, banyak kaum pria yang seharusnya menjadi tulang punggung keluarga justru tidak mempunyai pekerjaan yang tetap. Oleh karena potensi kaum wanita untuk mendapatkan pendapatan sendiri jauh lebih rendah dari kaum pria maka keluarga yang menjadi tanggungannya termasuk kelompok masyarakat yang paling miskin.

Penyebab ketimpangan antara keluarga yang dikepalai oleh pria dan wanita antara lain disebabkan adanya jurang kesenjangan pendapatan antara pria dan wanita. Upah buruh wanita umumnya lebih rendah walaupun beban kerjanya sama. Begitu pula yang terjadi di perkotaan, kaum wanita sulit untuk mendapatkan pekerjaan formal yang berstatus dan berpenghasilan memadai. Mereka biasanya memperoleh pekerjaan yang produktivitas dan penghasilannya rendah bahkan mungkin pekerjaan illegal yang tidak menggunakan standar upah minimum dan tidak mentaati peraturan perburuhan. Di daerah pedesaan kondisinya tidak lebih baik pula. Mereka justru lebih sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang pendapatannya setara kaum pria.

Peraturan perundang-undangan yang ada acapkali juga menghalangi wanita untuk berusaha sekalipun mereka mempunyai faktor produksi yang memadai. Contohnya, seperti dalam suatu kontrak finansial, untuk memperoleh kredit modal kerja semua persyaratan tidak sah jika tidak ada tanda tangan suami. Hal ini sangat menghambat pengembangan potensi diri yang dapat menghasilkan pendapatan yang layak. Oleh karena itu, tingkat pendapatan per kapita dan tingkat pendapatan rata-rata rumah tangga (household income) sebenarnya bukan merupakan indikator yang dapat mencerminkan tentang kesejahteraan seseorang. Justru status ekonomi dari kaum wanita yang mencukupi keluarganyalah yang merupakan indikator yang baik karena lebih dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan keluarga mereka. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa adanya bias gender inilah yang mengakibatkan tingginya tingkat kematian bayi atau anak perempuan di banyak negara berkembang. Contohnya, seperti di Cina, berjuta-juta anak perempuan hilang, sebab suatu keluarga di sana lebih mengutamakan keberadaan anak laki-laki sesuai dengan keyakinannya bahwa anak laki-laki lebih dapat diandalkan untuk memberi kontribusi finansial pada keluarganya.

Ada suatu dilema dalam keluarga pada umumnya, jika seorang ibu yang bekerja mendapatkan tambahan pendapatan, maka kecenderungannya porsi terbanyak dari pendapatan tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan gizi keluarganya. Akan tetapi bila yang bertambah adalah pendapatan dari sang Bapak maka yang digunakan untuk menambah gizi keluarga porsinya sedikit sekali. Di banyak negara berkembang kenaikkan pendapatan keluarga tidak bisa diartikan langsung sebagai kenaikan kecukupan gizi keluarga tersebut. Selama status ekonomi kaum wanita tetap relatif rendah maka standar hidup mereka dan anak-anaknya masih dalam kondisi kurang baik.

Masalah utama lainnya adalah terbatasnya kontrol kaum wanita terhadap penghasilan dan sumber daya keluarga. Dalam kenyataannya hasil jerih payah wanita banyak yang tidak mendapat imbalan upah. Contohnya, mencari kayu di hutan, mengurus rumahtangga dengan segala permasalahannya, dan sebagainya. Selain itu, jika mereka bekerja di kegiatan milik keluarga, mereka tidak mendapatkan upah yang semestinya. Misalnya di areal pertanian, seluruh hasil panen akan dikendalikan oleh kaum pria, termasuk hasil penjualan produknya walaupun panen tersebut tercipta karena kerja keras sang istri. Adanya norma-norma di negara berkembang yang menganggap kaum wanita tidak mutlak bekerja di luar rumah, juga merupakan penghalang bagi partisipasi ekonomi kaum wanita.

Implikasi dari rendahnya kesejahteraan dan status ekonomi kaum wanita adalah proses pertumbuhan ekonomi yang gagal memperbaiki kondisi kesejahteraan kaum wanita dan anak-anak yang berakibat gagalnya tujuan utama dari pembangunan. Peranan kaum wanita sangat menentukan majunya suatu negara, karena mereka sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan kemajuan keluarga mereka. Anak-anak yang ada dalam asuhan mereka merupakan tumpuan masa depan dan investasi sumber daya manusia yang menentukan kemajuan suatu bangsa.

B. Faktor Penyebab Kemiskinan Dan Keterbelakangan Secara Umum

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan dan keterbelakangan, antara lain:

1.Kemiskinan secara umum. Secara umum negara berkembang digolongkan ke dalam kelompok negara miskin dengan pendapatan per kapitanya sangat rendah, pada umumnya sebesar $ 300 bahkan kurang dan jurang kesenjangannya sangat lebar. Pendapatan per kapita yang rendah ini menggambarkan standar hidup masyarakatnya rendah. Kondisi ini juga menggambarkan bahwa makanan merupakan konsumsi utama mereka. Sekitar 75% dari pendapatannya digunakan untuk belanja makanan dengan standar gizi yang tergolong rendah. Bagian terbesar dibelanjakan untuk makanan pokok yang mengandung karbohidrat, sedangkan sebagian kecilnya dibelanjakan untuk makanan yang mengandung protein. Seperti di India, konsumsi biji-bijian sebesar 427 gram per hari per kapita, dan konsumsi protein sebesar 48 gram per kapita per hari. Dibandingkan dengan negara maju, seperti Amerika Serikat, konsumsi biji-bijian kurang dari 200 gram per kapita per hari, dan konsumsi protein sebesar 97 gram per kapita per hari. Dari segi sandang dan papan, kondisinya juga cukup memprihatinkan. Banyak masyarakat yang tinggal di tempat yang tidak layak huni dan juga mengenakan pakaian yang seadanya. Kondisi kehidupan rakyat dapat dikatakan tidak sehat, mengkonsumsi air tidak sehat dan sanitasi juga buruk.

2.Mata pencaharian utama di sektor pertanian. Lebih dari dua per tiga penduduk dunia ketiga tinggal di daerah pedesaan dan mata pencaharian utamanya adalah di sektor pertanian. Menurut M.L Jhingan (2002), apabila sebagian besar penduduk mata pencahariannya terpusat di sektor pertanian maka pertanda negara tersebut miskin. Alasannya karena terjadi kegiatan yang tidak produktif. Cara bertani dilakukan dengan cara tradisional dengan metode produksi yang sudah tertinggal. Selain itu rata-rata kepemilikan tanah luasannya kecil, bahkan banyak yang hanya menjadi buruh tani tanpa memiliki lahan pertanian. Akibatnya produktivitas tanah sangat rendah dan petani terpaksa hidup pada tingkat sekedar hidup.

3.Adanya perekonomian dualistis. Hampir semua negara berkembang berada pada kondisi ekonomi yang dualistis, yaitu di satu pihak sudah berorientasi pada perekonomian pasar yang berpusat di kota, sedangkan di lain pihak masih subsisten dan berpusat di pedesaan. Ironisnya, ada perekonomian di negara berkembang yang tergolong modern, namun dikendalikan oleh pihak asing yang bersifat kapitalis. Contohnya beberapa negara berkembang yang mempunyai sumber daya tambang minyak mentah. Dari kondisi ini pun masih terdapat dualisme dalam hal upah. Orang yang bekerja pada perusahaan asing tersebut penghasilannya cukup besar dan standar hidupnya juga cukup tinggi. Sedangkan orang yang mata pencahariannya pada sektor pertanian, penghasilannya hanya dapat digunakan untuk kebutuhan pokoknya saja. Akibat lainnya adalah hasil keuntungan dari eksloitasi sumber daya di negara berkembang, bagian terbesarnya diambil oleh pihak asing tersebut.

4.Kurangnya pengolahan sumber daya alam secara efisien. Artinya sumber daya yang ada di negara berkembang kurang dapat dimanfaatkan secara efisien. Suatu negara mungkin kekurangan sumber daya alam, namun tidak dalam arti relatifnya. Banyak negara yang kurang mempunyai sumber daya alam, bahkan tidak mempunyai sama sekali, namun mereka dapat menjadi kaya dengan mengeksploitasi sumber daya alam dari negara lain dengan alasan investasi. Atau ada kemungkinan juga, jika ada teknologi baru maka akan ditemukan sumber daya alam baru. Oleh karena itu, dapat dikatakan negara berkembang miskin secara absolut, dan dapat dikatakan pula bahwa negara tersebut belum berhasil memecahkan kelangkaan melalui perubahan teknologi, organisasi sosial dan ekonomi yang pantas. Bauer dan Yamey mengatakan sebenarnya negara berkembang bukannya miskin akan sumber daya alam, akan tetapi kurang memanfaatkan potensi yang ada atau salah dalam pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Misalnya negara Afrika, sebenarnya memiliki 44% potensi tenaga air, akan tetapi yang dimanfaatkan masih kurang dari 0,1 persen.

5.Pertumbuhan penduduk yang cepat. Pada umumnya negara berkembang mempunyai kesamaan ciri utama, yaitu pertambahan penduduk yang cepat dan tingkat kematian yang cenderung mulai menurun walaupun posisi demografinya mempunyai kecenderungan yang beragam. Seperti yang terlihat pada kepadatan, daya dukung, struktur usia serta laju pertumbuhan. Dengan keadaan seperti ini walaupun ada peningkatan output sebagai hasil perbaikan teknologi dan pemupukan modal, hasil pembangunan juga akan cepat habis karena adanya pertambahan tersebut. Akibatnya tidak ada perbaikan taraf hidup masyarakat. Peningkatan jumlah penduduk yang cepat ini semakin memperberat persoalan kelangkaan modal. Karena untuk menampung pertumbuhan tenaga kerja perlu dilakukan investasi secara besar-besaran. Dan jika digambarkan dengan piramida penduduk, sebagian besar penduduk berada pada kelompok penduduk usia muda dan 90%nya masih berada di bawah tanggungan keluarga. Sehingga keadaan ini mengakibatkan kecilnya kesempatan menabung untuk keperluan investasi peralatan dan modal usaha. Ditinjau dari harapan hidup penduduk negara berkembang umumnya sangat pendek, rata-rata sekitar 50 tahun sehingga memperkecil masa kerja efektif. Hal ini jelas menghalangi laju pertumbuhan ekonomi.6. Tingginya angka pengangguran. Pengangguran yang terjadi di negara berkembang umumnya adalah pengangguran nyata dan pengangguran tersembunyi. Pengangguran paling banyak dijumpai di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena terjadinya urbanisasi dan meningkatnya pendidikan. Kondisi ini diperparah lagi dengan tidak berkembangnya sektor industri yang diharapkan dapat menampung tenaga kerja. Selain itu, terjadinya pengangguran khususnya pengangguran yang berpendidikan disebabkan karena tidak adanya kesinambungan antara kewajiban menempuh pendidikan setinggi mungkin dengan perencanaan kesempatan kerja. Ciri lainnya dari negara berkembang adalah tingginya pengangguran tersembunyi. Sebenarnya setiap orang bersedia untuk bekerja sesuai dengan kemampuannya. Hanya saja tidak ada faktor pendukung ketersediaan lapangan kerja yang sesuai sehingga produktivitas kerja mereka tidak maksimal. Contohnya, sebidang tanah pertanian dikerjakan oleh lima orang walaupun sebenarnya dapat diselesaikan oleh tiga orang. Dan hasilnya sebenarnya sama saja jika dikerjakan oleh tiga orang maupun lima orang. Hal ini berarti, orang tidak bekerja secara penuh atau produktivitasnya tidak maksimal. Seandainya ada dua orang pekerja yang dipindahkan ke kepekerjaan lainnya maka tidak akan mempengaruhi hasil tanah tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa produktivitas marjinal unit-unit faktor tenaga kerja pada sebidang tanah tersebut adalah nol atau bahkan mendekati negatif. Jenis pengangguran tersembunyi lainnya, misalnya seseorang karena menganggur terpaksa melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginannya atau tidak sesuai dengan pendidikannya atau pula orang yang bekerja, tetapi upah yang diterima tidak setimpal.7.Kondisi ekonomi yang terbelakang. Keterbelakangan ekonomi dicirikan dengan kondisi seperti efisiensi tenaga kerja yang rendah, berbagai faktor tenaga kerja bersifat statis, terbatasnya spesialisasi dalam jenis pekerjaan dan perdagangan, kebodohan, serta struktur nilai yang akan menghambat perubahan ekonomi. Rendahnya efisiensi tenaga kerja disebabkan oleh kesehatan yang buruk, buta huruf dan tidak adanya mobilitas dalam pekerjaan dan pendidikan. Kurangnya mobilitas tenaga kerja disebabkan oleh adanya sistem kekeluargaan dan sistem kasta. Sistem kekeluargaan menyebabkan orang lebih betah berdiam di rumah. Sedang sistem kasta menyebabkan adanya pekerjaan tertentu yang hanya boleh dilakukan oleh suatu kasta, agama, atau kelompok tertentu. Misalnya seperti di India, untuk pekerjaan di sektor perdagangan hanya boleh dilakukan oleh kasta tertentu. Demikian juga untuk pembuat pakaian di Amerika Latin. Jadi dapat dikatakan Ada faktor budaya dan psikologis tertentu yang merupakan faktor dominan dalam mempengaruhi atau menentukan persedian tenaga kerja dibandingkan dengan tingkat upah. Menurut Dr. Stephen Enke, negara berkembang mempunyai struktur ekonomi yang pandangan tradisionalnya menghambat pendayagunaan secara penuh sumber daya manusianya. Oleh karena sebagian penduduknya masih sangat rendah pendidikannya, konservatif dan pasrah pada nasib, menganggap kemiskinan merupakan takdir Tuhan yang tidak bisa dielakkan. Selain itu ada anggapan pula bahwa menjadi pegawai negeri masih lebih dihargai dari pada pekerjaan lainnya. Orang dihargai tidak dari kemampuannya dapat menyelesaikan suatu pekerjaan, tetapi dari usia, golongan, dan kastanya.

8.Kurangnya inisiatif untuk berusaha. Kewiraswastaan merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada negara berkembang faktor kewiraswastaan ini sangat kecil atau mungkin tidak ada untuk kasus beberapa negara. Ketiadaan faktor ini disebabkan oleh adanya sistem sosial yang mengungkung sehingga menutup daya cipta seseorang. Kekuatan adat-istiadat, ketegaran status, serta kecurigaan terhadap gagasan baru dan keinginan intelektual menjadi penyebab kondisi yang tidak menunjang eksperimen dan inovasi. Sedangkan prakarsa dan kemauan untuk berusaha dirintangi oleh kondisi, seperti, pasar yang sempit, ketiadaan modal, tidak adanya kepemilikan pribadi, tidak adanya kebebasan untuk kontrak, serta tidak adanya hukum dan ketertiban. Hal ini menyebabkan perusahaan swasta sulit tumbuh. Demikian pula pada perusahaan negara yang memiliki sistem administrasi yang tidak bekerja secara efisien. Di negara ini hanya ada sekelompok kecil pedagang yang berusaha dalam barang konsumsi dan bertindak sebagai penyedia uang. Pedagang ini cenderung menjadi monopolis atau kwasi monopolistik. Mereka membangun hubungan pribadi dan politik yang erat dengan pejabat pemerintah dan mendapatkan keistimewaan, misalnya dalam hal pajak dan pemberian modal. Negara ini juga dimanfaatkan oleh pihak asing yang mempelopori berbagai pembangunan ekonomi seperti pengolahan tambang, pembukaan perkebunan, pendirian industri dan sebagainya. Namun, sayangnya pihak asing ini tidak membantu memunculkan perusahaan setempat karena bukan itu tujuan pokok mereka. Tujuan pokoknya adalah motif untuk mencari untung sebanyak-banyaknya. Tujuan pembangunan di daerah koloni ini hanya untuk menggarap daerah tersebut demi kepentingan sendiri dan pemerintah negara asalnya.

9.Adanya kelangkaan alat modal. Untuk membangun suatu industri yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi diperlukan modal yang sangat besar. Hal ini tidak dipunyai oleh negara berkembang. Pemupukan tabungan untuk pembentukan modal sangat rendah karena pendapatan per kapita juga sangat rendah. Tingkat pertumbuhan modal sangat tidak mencukupi untuk menopang penduduk yang tumbuh dengan cepat, apalagi untuk ditanamkan dalam proyek-proyek padat modal. Bahkan negara berkembang juga mengalami kesulitan untuk menutup penyusutan modal dan mengganti peralatan modal yang ada. Kesenjangan pendapatan juga sangat parah terjadi di negara berkembang. Persentase penduduk yang menerima pendapatan nasional dalam jumlah besar sangat sedikit sekitar 3-5 persen. Pada umumnya mereka yang tergolong sebagai pedagang dan pemilik tanah. Namun, pendapatan besar yang mereka terima ini tidak dialokasikan untuk tabungan, tetapi ditanamkan pada bidang yang tidak produktif, seperti barang mewah, emas, batu berharga, pasar modal di luar negeri, rumah mewah dan sebagainya. Golongan kaya di negara berkembang mempunyai keinginan untuk meniru pola standar hidup negara lain yang relatif makmur, seperti standar konsumsi. Keadaan ini oleh Nurkse disebut terjadi demonstation effects. Sebagai akibat dari demonstration effects ini, peningkatan pendapatan lebih banyak digunakan untuk pengeluaran konsumsi mewah dan tabungan menjadi tidak berkembang. Demonstration effects ini juga terjadi di sektor pemerintahan. Banyak pemerintah negara berkembang yang meniru program dan pola kebijakan, seperti negara maju, misalnya undang-undang tentang upah minimum, asuransi kesehatan, tunjangan hari tua, dan sebagainya. Kebijakan ini tidak sesuai dengan kondisi negara tersebut. Bahkan berbalik menjadi penghalang bagi pertumbuhan sektor swasta sehingga semakin memperlambat pembentukan modal.

10.Rendahnya tingkat penguasaan teknologi. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah dikuasainya teknologi yang menunjang. Di negara terbelakang tingkat teknologi yang ada digolongkan sangat terbelakang dan tidak efisien. Hal ini tercermin pada: 1) ongkos produksi rata-rata yang tinggi walaupun upah buruh tergolong rendah, 2) tingginya rasio buruh output dan modal output, yang dilihat dari adanya faktor harga yang konstan yang mencerminkan produktivitas buruh dan modal yang rendah, 3) besarnya jumlah tenaga yang tidak terdidik dan tidak terlatih. Selain itu juga, besarnya jumlah barang-barang modal yang diperlukan untuk menghasilkan suatu output nasional. Rendahnya pendidikan merupakan rintangan dalam penyebaran teknologi. Keterbelakangan teknololgi ini juga disebabkan karena adanya dualisme teknologi, yaitu penggunaan berbagai fungsi sekaligus dalam sektor ekonomi yang modern dan tradisional. Keadaan ini menyebabkan terjadinya pengangguran struktural dan teknologis di sektor industri dan pengangguran tersembunyi di sektor pedesaan.11.Orientasi ekspor barang primer. Dilakukannya perdagangan luar negeri yang menguntungkan diharapkan dapat menambah pendapatan negara. Ekspor utama negara berkembang pada umumnya merupakan barang-barang primer, seperti hasil perkebunan, hasil tambang, minyak mentah dan sebagainya. Dominasi pada ekspor barang-barang primer tersebut dapat menimbulkan dampak negatif, yaitu Pertama, perekonomian hanya terpusat pada produksi barang primer untuk ekspor, akibatnya sektor lainnya menjadi terabaikan. Kedua, perekonomian menjadi rentan terhadap fluktuasi harga internasional barang-barang ekspor tersebut. Jika terjadi depresi dunia akan menjatuhkan permintaan dan harga sehingga perekonomian secara keseluruhan akan terkena efeknya. Ketiga, perekonomian akan sangat tergantung pada impor, seperti alat-alat transpor, barang pabrik, mesin dan sebagainya. Kempat, terjadi kemerosotan sekuler berupa imbangan pendapatan (income terms of trade), yaitu terjadinya ketidakmampuan untuk mengimpor sehingga akan mengalami kesulitan di dalam neraca pembayaran dan semakin membesarnya utang luar negeri. Kondisi ini menyebabkan diperlukannya pemasukan modal asing untuk mengembangkan dan memperluas sektor ekspor. Akibat yang terjadi selanjutnya modal asing ini akan mengendalikan dan mengelola sektor ekspor tersebut, yang akhirnya akan menjadi monopoli di berbagai sektor penting, seperti perkebunan dan pertambangan. Akhirnya, akan menguras sumber daya pada sektor-sektor tersebut tanpa memperhatikan kelestariannya.C. Kebijakan Mengurangi Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan

Kebijakan-kebijakan umum yang harus diambil pemerintah untuk mengurangi atau mengatasi kemiskinan dan ketimpangan pendapatan adalah:

a. Mengubah distribusi pendapatan fungsional melalui kebijakan yang ditujukan untuk mengubah harga relatif faktor. Hal ini terutama dimaksudkan untuk mengurangi/ menghilangkan distorsi harga faktor yang merugikan kelompok miskin.

b. Memperbaiki distribusi pendapatan melalui redistribusi pemilikan aset secara progresif, yang antara lain dilakukan melalui land reform, dan pemberian kredit lunak bagi usaha kecil.

c.Mengurangi bagian pendapatan penduduk golongan atas (kaya) melalui pajak pendapatan dan pajak kekayaan yang progresif. Dengan demikian, peningkatan penerimaan negara hasil pajak itu akan dapat ditujukan pada perbaikan kesejahteraan kelompok miskin.

d. Meningkatkan bagian pendapatan penduduk golongan bawah (melarat) melalui pembayaran transfer secara langsung serta penyediaan barang dan jasa publik atas tanggungan pemerintah. Hal ini antara lain dilakukan melalui pembebasan/keringanan pajak bagi kelompok miskin, tunjangan atau subsidi pangan, bantuan pelayanan kesehatan, bantuan pelayanan umum lainnya.

Terjadinya kemiskinan secara umum disebabkan oleh tidak meratanya pendapatan nasional riil yang diterima masing-masing kelompok masyarakat. Selain itu di negara dunia ketiga pendapatan nasional yang relatif kecil harus dibagi kepada penduduk yang jumlahnya relatif besar.

Tinggi rendahnya tingkat kemiskinan dipengaruhi oleh (1) tingkat pendapatan nasional rata-rata, dan (2) lebar sempitnya kesenjangan dalam distribusi pendapatan. Pengertian kemiskinan sangat multidimensional yaitu kemiskinan mempunyai banyak aspek, sebab kebutuhan manusia juga sangat beragam. Pada dasarnya ada dua jenis kemiskinan yaitu primer dan sekunder.

Tiga aspek kemiskinan. adalah (1) penyebab kemiskinan, yang membahas tentang masalah kemiskinan dari sisi kebijakan pembangunan, (2) ukuran kemiskinan, ukuran ini banyak digunakan dan membahas tentang kemiskinan absolut dan relatif, (3) indikator kemiskinan yang melihat kesejahteraan masyarakat dari kecukupan konsumsi beras per tahun (Sayogyo), tingkat pendapatan dan tingkat kesejahteraan, yang dilihat dari empat komponen yaitu kesehatan, konsumsi gizi, perumahan dan pendidikan.

Faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan secara umum, antara lain:

1. Mata pencaharian utama di sektor pertanian.

2. Adanya perekonomian dualistis.

3. Kurangnya pengolahan sumber daya alam secara efisien.

4. Pertumbuhan penduduk yang cepat.

5. Tingginya angka pengaangguran

6. Kondisi ekonomi yang terbelakang

7. Tidak adanya inisiatif untuk berusaha

8. Adanya kelangkaan alat modal

9. Rendahnya tingkat penguasaan teknologi

10. Orientasi ekspor barang primer

Karakteristik penduduk miskin pada umumnya tinggal di pedesaan dan pinggiran kota atau di kampung-kampung kota yang kumuh. Mata pencahariannya selain bertani adalah usaha di sektor informal.

Kaum wanita termasuk dalam kelompokk miskin karena ketidakberdayaan mereka untuk mendapatkan penghasilan yang tidak setimpal dengan tenaga yang telah dicurahkan. Adanya pembedaan-pembedaan dan norma-norma masyarakat menyebabkan kaum wanita tidak dapat bekerja secara maksimal.Rendahnya tingkat kesejahteraan banyak diderita boleh kaum wanita dan anak-anak.

D. Akar Kemiskinan Dan Penanggulangannya

Seorang antropolog Amerika, yang terkenal dengan konsep budaya kemiskinannya, Oscar Lewis, memaknai kemiskinan sebagai ketidaksanggupan seseorang atau sekelompok orang untuk dapat memenuhi dan memuaskan keperluan-keperluan dasar materialnya.Dalam konteks pengertian Lewis itu, kemiskinan adalah ketidakcukupan seseorang untuk bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya, seperti pangan, sandang, dan papan untuk kelangsungan hidup dan meningkatkan posisi sosial-ekonominya. Sumber-sumber daya material yang dimiliki atau dikuasainya betul-betul sangat terbatas, sekadar mampu digunakan untuk mempertahankan kehidupan fisiknya, tidak memungkinkan bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraannya.Dengan kata lain, sumber daya material yang ada pada dirinya hanya dapat dipakai untuk keperluan langsung konsumsi sehari-hari. Katakanlah, pendapatan yang diperolehnya hanya cukup untuk hari ini, sementara untuk kebutuhan hari esok, ia harus mencarinya lagi.Karenanya, tak ada dalam kamus orang-orang miskin istilah menabung, apalagi investasi. Kalau meminjam pernyataan James Scott, orang-orang miskin adalah, "ibarat orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun sudah cukup untuk menenggelamkannya".Dengan demikian, pertama-tama, kemiskinan terkait langsung dengan pengalaman seseorang, di perdesaan maupun di perkotaan atau di mana pun, yang mengalami kelangkaan, keterbatasan, dan kekurangan dalam pemilihan dan penguasaan atas benda atau tidak adanya akses dan kontrol atas sumber-sumber daya ekonomi atau kapital lainnya, sehingga tidak memungkinkan dirinya untuk bisa melakukan mobilitas secara vertikal. Karena itu, ukuran apa pun yang dipakai untuk mengatur tingkat kemiskinan dan di mana pun ukuran itu diterapkan, meski menunjuk pada indikasi bahwa tingkat pendapatan serta pemilikan dan penguasaan sumber daya ekonomi seseorang sangat serba terbatas untuk bisa memenuhi kebutuhan dasarnya, apalagi untuk pemuasan kebutuhan sekunder dan tertier. Dan kemiskinan ini selalu merupakan lingkaran setan, umpamanya karena pendapatan kecil, maka akan mengalami kekurangan pangan, tidak dapat berpakaian yang layak, dan kondisi papannya pun jauh dari memenuhi syarat sebagai tempat "berteduh". Keadaan itu mengakibatkan tingginya kepekaan atau beresiko besar untuk terserang penyakit, tingkat produktivitas kerja yang rendah, tingkat pendidikan yang juga rendah, dan akibat lanjutannya adalah dengan sendirinya pendapatan yang diterimanya pun akan sangat rendah pula. Berarti di sini kemiskinan merupakan penyebab dan sekaligus dampak.

Bahkan, menurut Oscar Lewis, kemiskinan yang bersangkut-paut dengan keterbatasan pemilikan dan penguasaan sumber-sumber dasar material itu selanjutnya akan merefleksikan suatu cara hidup tertentu atau budaya kemiskinan, yang ciri-cirinya antara lain fatalistik, meminta-minta, selalu mengharapkan bantuan, serta cenderung suka berjudi dan mabuk-mabukan (terutama untuk masyarakat miskin kota). Malah, jaringan-jaringan dan organisasi-organisasi sosial yang terbentuk pada masyarakat miskin itu bukannya mendorong pada peningkatan status ekonomi mereka, tetapi menjerat mereka untuk tetap berada dalam lingkaran kemiskinan. Dengan kata lain, budaya kemiskinan dan institusi sosial yang muncul dari kemiskinan cenderung akan memperkuat dan memapankan kemiskinan itu sendiri, bukannya menemukan jalan dan atau ruang bagi para pendukungnya untuk bisa naik status sosial-ekonominya.

Dalam konsepsi Clifford Geertz, khususnya tentang kemiskinan yang menimpa masyarakat Jawa, bahwa "mereka itu miskin, bukannnya karena malas, mereka malas, karena miskin!" Apa pun yang dimiliki dan dikuasai orang-orang miskin, apakah itu harta benda, sumber daya ekonomi, institusi sosial, dan cara-cara hidup tertentu selalu berputar dalam mekanisme yang involutif. Artinya, apa pun yang ada pada masyarakat miskin itu, bahkan bentuk-bentuk pola kerja sama dan solidaritas yang tumbuh di antara mereka, selalu berputar-putar di dalam dan menjebak mereka sendiri untuk tetap hidup dalam batas-batas subsistensi ekonomi, bukan suatu pergerakan yang evolutif, yang berkembang. Bagaimana menangani kemiskinan memang menarik untuk disimak. Teori ekonomi mengatakan bahwa untuk memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan peningkatan keterampilan sumber daya manusianya, penambahan modal investasi, dan mengembangkan teknologi. Melalui berbagai suntikan maka diharapkan produktifitas akan meningkat. Namun, dalam praktek persoalannya tidak semudah itu. Lantas apa yang dapat dilakukan. Program-program kemiskinan sudah banyak dilaksanakan di berbagai negara. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi antar negara bagian, memperbaiki kondisi permukiman perkotaan dan perdesaan, perluasan kesempatan pendidikan dan kerja untuk para pemuda, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi orang dewasa, dan pemberian bantuan kepada kaum miskin usia lanjut. Selain program pemerintah, juga kalangan masyarakat ikut terlibat membantu kaum miskin melalui organisasi kemasyarakatan, gereja, dan lain sebagainya.

Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan sudah banyak pula dilaksanakan, seperti : pengembangan desa tertinggal, perbaikan kampung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan. Sekarang pemerintah menangani program tersebut secara menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, melalui program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS ini masyarakat sasaran ikut terlibat dalam berbagai kegiatan. Sedangkan, P2KP sendiri sebagai program penanggulangan kemiskinan di perkotaan lebih mengutamakan pada peningkatan pendapatan masyarakat dengan mendudukan masyarakat sebagai pelaku utamanya melalui partisipasi aktif. Melalui partisipasi aktif ini dari masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran tidak hanya berkedudukan menjadi obyek program, tetapi ikut serta menentukan program yang paling cocok bagi mereka. Mereka memutuskan, menjalankan, dan mengevaluasi hasil dari pelaksanaan program. Nasib dari program, apakah akan terus berlanjut atau berhenti, akan tergantung pada tekad dan komitmen masyarakat sendiri.

Akar kemiskinan

Ketidaksepakatan yang paling menonjol dalam menjelaskan konsep kemiskinan sebenarnya bukan terletak pada penetapan ukuran kemiskinan itu. Bukan pada indikator kuantitatif kemiskinan, melainkan pada penyebabnya. Mengapa seseorang atau sekelompok orang miskin? Apa yang menjadi faktor-faktor penyebabnya?

Dalam upaya menjawab pertanyaan ini berbagai ilmuwan dan kalangan pemerintahan memberikan penjelasan yang berbeda, bahkan secara diametral, sehingga rekomendasi yang diajukan untuk memecahkan persoalan kemiskinan pun berbeda. Dengan demikian, tentunya implikasi yang muncul dari implementasi program penanggulangan kemiskinan pun akan berbeda pula.

Paling tidak, di sini tercatat ada tiga macam pendekatan yang mencoba menjelaskan mengenai sebab-sebab kemiskinan, yakni system approach, decision-making model, dan structural approach. Pendekatan pertama lebih menekankan pada adanya keterbatasan pada aspek-aspek geografi, ekologi, teknologi, dan demografi. Kondisi kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor tersebut dianggap lebih banyak menekan warga masyarakat yang tinggal di wilayah perdesaan atau pedalaman. Dalam konteks anggapan penyebab kemiskinan yang demikian itu, pendekatan itu menyarankan dilakukannya intervensi tertentu untuk meningkatkan kemampuan daya dukung lingkungan alam melalui introduksi teknologi baru yang memiliki kemampuan dan kapasitas lebih besar dalam mengeksplorasi dan mengeksploatasi sumber-sumber daya ekonomi, sehingga dapat tercapai surplus produksi serta dapat meningkatkan nilai tambah hasil produksi.Kemudian juga harus diupayakan untuk membangun dan memperbaiki prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi publik yang memungkinkan daerah bersangkutan menjadi terbuka sehingga memudahkan arus pertukaran barang dan jasa serta diterapkannya program untuk mengerem laju pertumbuhan penduduk. Sementara pendekatan kedua menekankan pada kurangnya pengetahuan, keterampilan, dan keahlian sebagian warga masyarakat dalam merespon sumber-sumber daya ekonomi, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar. Dengan kata lain, pendekatan ini melihat bahwa sebagian warga masyarakat kurang memiliki kemampuan inovasi atau tidak memiliki empati dan jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) untuk mengelola secara lebih baik, efisien, dan efektif unit-unit usaha yang mereka miliki atau kuasai, kurang mempunyai kemampuan untuk memperbarui teknologi serta menciptakan dan memperluas pasar komoditi.

Karenanya, pendekatan ini menghendaki ditingkatkannya kemampuan, yakni keahlian dan keterampilan SDM seperti pembentukan dan pengembangan motivasi, mendorong mobilitas atau urbanisasi, peningkatan pendidikan pada orang-orang miskin supaya mereka memiliki jiwa-jiwa yang inovatif, kreatif, responsif, dan proaktif dalam persaingan. Sedangkan pendekatan ketiga melihat bahwa kemiskinan itu terjadi karena adanya ketimpangan dalam penguasaan dan pemilikan faktor-faktor produksi, seperti tanah, teknologi, dan bentuk kapital lainnya. Di sini wajah kemiskinan memiliki dimensi struktural, yang merupakan akibat dari adanya ketimpangan dalam pemilikan dan penguasaan aset-aset ekonomi atau kapital lainnya, yang ditunjukkan dengan adanya sebagian anggota masyarakat yang jumlahnya lebih kecil tetapi menguasai dan memiliki faktor-faktor produksi yang lebih banyak. Sementara sebagian besar warga masyarakat menguasai dan memiliki faktor-faktor produksi yang lebih sedikit. Dalam kamus ilmu sosial di Indonesia, kemiskinan ini dikenal dengan istilah "kemiskinan struktural", kemiskinan yang diderita suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak memberi peluang untuk bisa terlibat dalam menggunakan sumber-sumber daya ekonomi atau kapital lainnya, seperti organisasi dan pengetahuan.

Saran dari pendekatan ketiga untuk mengeliminasi kemiskinan pertama-tama adalah dengan menelorkan dan menerapkan kebijaksanaan atau suatu politik pembangunan yang langsung mengidentifikasi dan menghapus sumber-sumber ketimpangan itu sendiri, yakni bagaimana agar banyak orang bisa memiliki kesempatan dan peluang ekonomi dan partisipasi politik yang sama. Program pendekatan struktural ini menginginkan dilakukannya suatu transformasi pada struktur dan politik yang tidak lagi didominasi kelompok elite, tetapi diarahkan pada pemilihan pada orang-orang miskin dengan cara memberikan akses dan terutama kontrol atas sumber-sumber kapital bagi tumbuhnya peluang berusaha dan kesempatan bekerja yang layak orang-orang miskin bersangkutan.

Evaluasi program

Bila ditelaah secara kritis, masing-masing pendekatan di atas tampaknya tidak begitu komprehensif dalam melihat faktor-faktor penyebab kemiskinan. Pendekatan pertama dan kedua terlalu berlebihan menekankan pada penyebab dari dalam, yakni melihat pada keterbatasan sumber daya alam, infrastruktur dan sarana ekonomi, teknologi, kapital lainnya, psiko-kultural yang dimiliki dan dikuasai masyarakat.

Pengalaman menunjukkan bahwa intervensi ragam teknologi, upaya peningkatan daya dukung lingkungan, peningkatan sumber daya manusia, dan pembangunan infrastruktur dan sarana ekonomi yang selama ini dilakukan pemerintah maupun lembaga-lembaga non-pemerintah tidak serta merta dapat mengangkat warga masyarakat miskin ke tingkat hidup yang lebih sejahtera.

Dengan kata lain, program bantuan tersebut mengabaikan faktor-faktor eksternal yang kerapkali justru lebih kuat menahan proses transformasi sosial-ekonomi masyarakat. Dan kalaupun program yang direkomendasikan pendekatan pertama dan kedua terlihat membuahkan hasil, artinya banyak di antara penduduk miskin yang meningkat pendapatannya, tetapi bila tidak disertai dengan tindakan reformasi yang disarankan pendekatan ketiga, yang kemudian terjadi adalah tidak meratanya distribusi pendapat hasil pembangunan. Dan program tersebut pada akhirnya akan mendorong pada terciptaya kemiskinan relatif, yakni ketimpangan pendapatan yang lebar antar kelompok masyarakat. Model pembangunan di banyak negara-negara selatan, termasuk di Indonesia, telah memberikan pengalaman mengenai semakin besarnya ketimpangan sosial-ekonomi akibat tidak disertakannya perubahan pada dimensi struktur ekonomi dan politik.

Sebaliknya, pendekatan ketiga pun, struktural approach, terlalu berlebihan menekankan pada penyebab kemiskinan sebagai refleksi dari struktur ekonomi dan politik perdesaan yang membatasi partisipasi masyarakat miskin untuk melakukan mobilitas sosial ekonomi yang vertikal. Dengan kata lain, pendekatan ini terlalu memfokuskan pada penjelasan eksternal. Padahal pengalaman perubahan sosio-ekonomi yang selama ini terjadi memperlihatkan bahwa meskipun struktur ekonomi dan politik terlihat cukup ketat dalam membatasi partisipasi warga masyarakat miskin, ternyata ada juga orang-orang miskin yang berkat kerja keras, kemauan besar, dan bersikap menekan tingkat konsumsi, dapat menerobos hambatan-hambatan struktural tersebut, hingga dapat melakukan mobilitas vertikal, meskipun jumlahnya tidak begitu banyak.

F. Kesimpulan

Di masa krisis ekonomi yang sudah berlangsung lebih dari lima tahun ini, tampaknya jumlah orang-orang miskin di negara Indonesia kembali bertambah. Sehingga orang yang berasal dari lapisan menengah, karena terkena PHK atau unit usaha mereka "lumpuh", masuk ke dalam lapisan miskin dan untuk bisa naik kembali dihadapkan pada berbagai kendala, masih terbatasnya peluang usaha dan kesempatan kerja.

Memang berbagai program pemerintah diajukan untuk menanggulanginya, namun kelihatannya berjalan tersendat-sendat. Akses dan kontrol warga masyarakat miskin pada berbagai smber kapital masih tetap terbatas. Sektor politik sekarang ini memang sudah mengalami reformasi, tetapi perubahan pada lembaga politik ini ditandai oleh munculnya berbagai konflik kepentingan di kalangan elite daerah dan pusat yang berusaha untuk mempertahankan kontrol mereka atas sumber-sumber kapital. Mereka enggan untuk membuka secara langsung sumber-sumber kapital itu untuk masyarakat miskin. Struktur sosial diupayakan tetap dipertahankan oleh lapisan elite sedemikian rupa agar pertukaran barang dan jasa tetap bergerak ke atas.

PAGE 1