31
Beton Pratekan merupakan teknologi konstruksi beton yang mengkombinasikan beton berkekuatan tinggi dengan baja. Perbedaan beton pratekan dengan beton bertulang biasa adalah pada beton betulang biasa mengkombinasikan beton dan tulangan baja dengan cara membiarkan keduanya bekerja secara pasif dengan tidak memberi pembagian tahanan beban, sedangkan pada beton pratekan mengkombinasikan beton kekuatan tinggi dengan baja secara aktif dengan cara menarik baja dan menahannya pada beton sehingga membuat beton dalam keadaan tertekan. Kombinasi aktif ini menghasilkan perilaku lebih baik dari kedua bahan tersebut. Beton pratekan telah banyak dipakai sebagai elemen utama dalam berbagai bangunan, baik itu bangunan gedung maupun jembatan. Dalam aplikasinya, pemakaian pratekan dalam suatu proyek memiliki beberapa aspek yang perlu diperhatikan agar tidak terjadi kegagalan pada pratekan. Beberapa masalah yang terjadi pada pratekan dapat dijumpai dalam berbagai tahap, mulai dari tahap pengecoran, pengangkuran, transfer hingga service. Tiap-tiap tahap ini memiliki resiko kegagalan yang berbeda namun memiliki akibat yang fatal. Oleh karena itu, pelaksanaan masing-masing tahap harus mengikuti standar yang telah ada. Pada makalah ini akan dibahas mengenai masalah yang timbul saat tahap transfer dan servis, yaitu saat pratekan akan diangkut menuju lokasi pemasangannya dan saat bangunan pratekan telah berfungsi. Dalam tahap ini, masalah yang seringkali terjadi adalah kegagalan elemen pratekan berupa retak akibat kesalahan metode pengangkutan dan korosi akibat tidak adanya pemeliharaan. Beberapa masalah akan disajikan dan kemudian akan dibahas tentang bagaimana kegagalan itu terjadi dan tentu saja, cara untuk menghindari masalah tersebut.

masalah pratekan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: masalah pratekan

Beton Pratekan merupakan teknologi konstruksi beton yang mengkombinasikan beton berkekuatan tinggi dengan baja. Perbedaan beton pratekan dengan beton bertulang biasa adalah pada beton betulang biasa mengkombinasikan beton dan tulangan baja dengan cara membiarkan keduanya bekerja secara pasif dengan tidak memberi pembagian tahanan beban, sedangkan pada beton pratekan mengkombinasikan beton kekuatan tinggi dengan baja secara aktif dengan cara menarik baja dan menahannya pada beton sehingga membuat beton dalam keadaan tertekan. Kombinasi aktif ini menghasilkan perilaku lebih baik dari kedua bahan tersebut.

Beton pratekan telah banyak dipakai sebagai elemen utama dalam berbagai bangunan, baik itu bangunan gedung maupun jembatan. Dalam aplikasinya, pemakaian pratekan dalam suatu proyek memiliki beberapa aspek yang perlu diperhatikan agar tidak terjadi kegagalan pada pratekan.

Beberapa masalah yang terjadi pada pratekan dapat dijumpai dalam berbagai tahap, mulai dari tahap pengecoran, pengangkuran, transfer hingga service. Tiap-tiap tahap ini memiliki resiko kegagalan yang berbeda namun memiliki akibat yang fatal. Oleh karena itu, pelaksanaan masing-masing tahap harus mengikuti standar yang telah ada.

Pada makalah ini akan dibahas mengenai masalah yang timbul saat tahap transfer dan servis, yaitu saat pratekan akan diangkut menuju lokasi pemasangannya dan saat bangunan pratekan telah berfungsi. Dalam tahap ini, masalah yang seringkali terjadi adalah kegagalan elemen pratekan berupa retak akibat kesalahan metode pengangkutan dan korosi akibat tidak adanya pemeliharaan.

Beberapa masalah akan disajikan dan kemudian akan dibahas tentang bagaimana kegagalan itu terjadi dan tentu saja, cara untuk menghindari masalah tersebut.

Page 2: masalah pratekan

TAHAP TRANSFER

Page 3: masalah pratekan

Contoh kesalahan dalam pengangkutan elemen pratekan :

Page 4: masalah pratekan

Contoh pengangkatan yang baik :

Page 5: masalah pratekan
Page 6: masalah pratekan
Page 7: masalah pratekan

Panduan Pengerjaan Beton Pratekan :

1) Penanganan dan PengangkutanPerhatian khusus harus diberikan dalam penanganan dan pemindahan unit-unit betonpracetak. Gelagar dan pelat pracetak harus diangkat dengan alat pengangkat atau melaluilubang-lubang dibuat pada unit-unit tersebut, dan harus diangkut dalam posisi tegak. Titikangkat, bentuk dan posisinya harus disetujui oleh Direksi Pekerjaan. Penyangga danpenggantung yang cocok harus digunakan setiap saat dan tidak boleh ada unit betonpracetak yang akan digerakkan sampai sepenuhnya lepas dari permukaan tanah.Unit-unit beton pracetak yang rusak akibat penyimpanan dan penanganan yang tidaksebagaimana mestinya harus diganti oleh Kontraktor dengan biaya sendiri.Bilamana cara pengangkatan dan pengangkutan gelagar tidak disebutkan dalam Gambar,maka Kontraktor harus menyerahkan cara yang diusulkan kepada Direksi Pekerjaan. Setelahdisetujui oleh Direksi Pekerjaan, maka Kontraktor harus mengikuti cara yang telah disetujui.

2) PenyimpananUnit-unit harus ditempatkan bebas dari kontak langsung dengan permukaan tanah danditempatkan pada penyangga kayu di atas tanah keras yang tidak akan turun baik musinhujan maupun kemarau, akibat beban dari unit-unit tersebut. Bilamana unit-unit tersebutdisusun dalam lapisan-lapisan, maka tidak melebihi dari 3 lapisan dengan penyangga kayudipasang di antara tiap lapisan. Penyangga untuk setiap lapisan harus dipasang di ataslapisan yang terdahulu. Untuk gelagar dan tiang pancang, penyangga harus dipasang padajarak tidak lebih dari 20 % dari ukuran panjang unit, yang diukur dari setiap ujung.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada panduan berikut ini.

Page 8: masalah pratekan

PANDUAN PELAKSANAAN

Page 9: masalah pratekan

TAHAP SERVIS

Page 10: masalah pratekan

Contoh Kasus :

ROOSSENO, Bapak Beton IndonesiaPosted by admin on 2008-08-02 10:03:00

Tulisan dibawah ini dibuat Prof.Dr.Ir. Wiratman Wangsadinata, lulusan ITB (dulu UI) tahun 1960 yang telah dimuat di Harian Kompas 2 Agustus 2008.

Tanggal 2 Agustus 2008 adalah tepat 100 tahun kelahiran Prof. DR (HC) Ir. Roosseno dan sehubungan dengan itu alangkah baiknya kita simak kembali jasa-jasanya sebagai pelopor di bidang ilmu beton, inovator dalam memecahkan berbagai masalah Teknik Sipil, pendidik kharismatik, pendorong generasi muda untuk mempertebal rasa percaya diri dan percaya akan kemampuan bangsa Indonesia sendiri. Penulis sebagai mantan mahasiswanya, mantan asistennya, mantan mitra kerjanya dan mantan sesama konsultan sebelum ia meninggal pada tahun 1996 sempat mengikuti semua itu.Predikat Bapak Beton Indonesia tepat sekali

diberikan kepada Pak Roosseno. Sejak ia bekerja di Departement van Verkeer en Waterstaat tahun 1935, ia berhasil meyakinkan atasan-atasannya, untuk mengutamakan penggunaan beton dalam pembangunan jembatan di Indonesia. Alasannya, bahan-bahan dasar beton seperti pasir, batu pecah, semen dan kayu perancah dapat dibeli di Indonesia sendiri, sehingga biaya pengadaannya akan masuk ke dalam kantong rakyat dan ikut mensejahterakan rakyat. Ini merupakan kebijaksanaan langka Pemerintah kolonial Belanda yang berpihak pada kepentingan rakyat Indonesia. Di masa pendudukan Jepang, tanggal 1 April 1944 Pak Roosseno diangkat menjadi Guru Besar (Kyodju) dalam bidang Ilmu Beton di Bandung Kogyo Daigako. Kemudian, sebagai orang swasta yang baru hijrah dari Yogyakarta ke Jakarta, tanggal 26 Maret 1949 ia diangkat menjadi Guru Besar Luar Biasa dalam bidang Ilmu Beton di Universiteit van IndonesiÑ‘, Faculteit van Technische Wetenschap di Bandung. Pak Roosseno menulis buku ajar beton pertama dalam bahasa Indonesia tahun 1954. Beton pratekan mulai diperkenalkan di Indonesia oleh Pak Roosseno melalui kuliah-kuliahnya di ITB tahun 1949, juga melalui tulisan-tulisan dalam Majalah Insinyur Indonesia tahun 1959. Struktur beton pratekan pertama di Indonesia akhirnya terwujud dalam tahun 1961 pada pelataran Monumen Nasional berukuran 45m x 45m dan pada Jembatan Semanggi di Jakarta berbentang 50m. Pelataran Monumen Nasional direncanakan oleh Pak Roosseno dengan sistem prategangan Freyssinet dari Perancis dan dilaksanakan PN. Adhi Karya. Jembatan Semanggi direncanakan dan dilaksanakan PN. Hutama Karya di bawah pimpinan Ir. Sutami dengan sistem prategangan BBRV dari Swiss. Dalam mendorong rasa percaya diri dan percaya akan kemampuan bangsa Indonesia sendiri, dalam pidato pengukuhan jabatan Guru Besar pada Universiteit van IndonesiÑ‘ di Bandung tanggal 26 Maret 1949 dan dalam pidato pengukuhan Doktor Honoris Causa di ITB tanggal 25 Maret 1977, Pak Roosseno menyanggah isi syair sastrawan Inggris Rudyard Kipling (1865 – 1936): “Oh, East is East, and West is West, and never the twain shall meet”. Syair ini menyatakan, bahwa orang Timur tidak mungkin dapat mencapai kesetaraan dengan orang Barat, suatu ungkapan yang sangat menyakitkan hati. Karena itu, Pak Roosseno mengajak seluruh generasi muda untuk membuktikan, bahwa sajak itu seharusnya berbunyi: “Oh, East is East, and West is West, but this time the twain shall meet”. Pak Roosseno sendiri telah membuktikannya, dengan lulus dari Technische Hooge School Bandung tanggal 1 Mei 1932 dengan nilai tertinggi di antara 7 orang Belanda dan 1 orang Tionghoa. Dalam menghadapi pihak asing semboyan harus percaya akan kemampuan nasional, sering diucapkan Pak Roosseno. Bahwa hal ini benar, terbukti dari berbagai peristiwa. Ketika di awal tahun 1970-an pembangunan gedung tinggi mulai merebak, Gubernur Ali Sadikin membentuk Tim Penasehat Konstruksi Bangunan (TPKB) tanggal 1 Juli 1972 dengan Pak Roosseno sebagai Ketua dan Penulis sebagai Wakil Ketua, dengan tugas memeriksa rencana gedung-gedung tinggi tersebut. Setelah diperiksa oleh TPKB banyak rencana konsultan asing yang “ngawur”. Pertamina Tower (sekarang Gedung BPPT-I), tahun 1973 dihentikan pembangunannya oleh Pemda DKI atas rekomendasi TPKB, karena perencanaan strukturnya terhadap gempa tidak betul. Pak Roosseno mengabdi di TPKB sampai akhir hayatnya (1972 – 1996), dan sampai tahun 1990 adalah Ketuanya.Pada tahun 1972 proyek pemugaran Candi Borobudur mendapat bantuan dari UNESCO dan suatu International Consultative Committee dibentuk untuk mengawasi aspek-aspek teknis pemugaran. Anggotanya terdiri dari ahli-ahli pemugaran dari 5 negara, yaitu Jepang, Amerika Serikat, Belgia, Jerman (Barat) dan Indonesia. Pak Roosseno yang mewakili Indonesia ditunjuk sebagai Ketua dan Penulis sebagai Asisten. Pekerjaan pemugaran terdiri dari pembongkaran 2 juta batu dan batu arca, pemasangan pelat-pelat fondasi beton serta sistem pipa drainase, dan pemasangan kembali batu dan batu arca ke tempatnya semula. Karena penanganan masalah kestabilan lereng bukit Borobudur oleh 2 konsultan UNESCO bertele-tele dan tidak tuntas, tahun 1975 Pak Roosseno meminta Penulis untuk mengambil alih penanganan masalah ini. Untuk itu dibentuklah tim yang

Page 11: masalah pratekan

terdiri dari Penulis, Ir. Aziz Djayaputra dan 2 insinyur yang baru lulus waktu itu Ir. FX. Toha dan Ir. Indradjati Sidi. Laporan final akhirnya rampung yang menyimpulkan, bahwa semua tahap pemugaran adalah aman terhadap kelongsoran dan faktor keamanan jangka panjangnya adalah cukup memadai. Laporan ini disetujui oleh International Consultative Committee di Candi Borobudur tanggal 27 April 1976, sehingga pekerjaan fisik pemugaran dapat dimulai. Dengan begitu Pak Roosseno telah membuktikan, bahwa tim ahli nasional dapat diandalkan, bahkan lebih dari konsultan asing. Penyelesaian pemugaran Candi Borobudur diresmikan oleh Presiden Soeharto tanggal 23 Februari 1983. Ketahanan Candi Borobudur terhadap gempa kuat telah teruji, ketika terjadi Gempa Bantul tanggal 27 Mei 2006 dengan magnitudo 6,3 Skala Richter, kedalaman 10 km dan jarak episenter dari Candi Borobudur sekitar 45 km. Ketika itu Candi Borobudur sama sekali tidak mengalami kelongsoran atau kerusakan.Transfer of Technology telah terjadi tahun 1973 pada pembangunan Jembatan Rantau Berangin yang melintasi Sungai Batanghari di Riau. Jembatan yang merupakan jembatan beton pratekan pertama di Indonesia yang dibangun dengan metoda kantilever segmental (freie Vorbau) direncanakan oleh konsultan Belanda NV. IBIS dan dilaksanakan oleh PN. Waskita Karya dengan Pak Roosseno selaku penasehatnya. Panjang jembatan seluruhnya adalah 200m dengan bentang tengah 120m dan ke dua bentang samping 40m. Dalam proyek ini Pak Roosseno berhasil menyerap semua hal baru yang berkaitan dengan perencanaan dan pelaksanaan jembatan jenis baru ini. Dua tahun kemudian pada tahun 1975 jembatan serupa dibangun PN. Waskita Karya di atas Sungai Citarum di Rajamandala, dengan panjang total 222m dengan bentang tengah 132m dan ke dua bentang samping 45m. Dengan berbekal pengetahuan yang diperoleh dari proyek Jembatan Rantau Berangin, perencanaannya sepenuhnya dapat dilakukan oleh insinyur-insinyur Indonesia (termasuk Penulis) di bawah pengarahan Pak Roosseno. Transfer of technology telah terjadi efektif dan nyata.Dalam bidang ilmu beton dan Teknik Sipil Pak Roosseno telah menghasilkan berbagai-bagai solusi yang inovatif yang disajikan dalam banyak publikasi. Pak Roosseno telah terlibat dalam banyak proyek penting sebagai Penasehat Pemilik Proyek, Penasehat Kontraktor atau sebagai Konsultan, seperti pada proyek-proyek Bank Indonesia, Gedung Sarinah, Hotel Indonesia, Wisma Nusantara, Samudera Beach Hotel, Ambarukmo Hotel, Bali Beach Hotel, Masjid Istiqlal, Dermaga Tanjung Priok dan lain-lain. Saat ini untuk berbagai inovasi, Pak Roosseno masih memegang patennya.Di samping banyak sekali ceritera sukses, ada juga yang kurang sukses mengenai buah karya Pak Roosseno. Yang pertama mengenai Jembatan Sarinah berbentang 40m di atas Jalan Wahid Hasyim, Jakarta, yang runtuh tanggal 28 Februari 1981 akibat putusnya balok tarik beton pratekan penahan gaya reaksi horisontal di bawah Jalan Wahid Hasyim, karena baja prategangnya berkarat. Kekecewaan ke dua bagi Pak Roosseno adalah tidak berhasilnya gagasan meningkatkan daya pikul gelegar komposit baja-beton dengan memberikan prakompresi dengan mengerjakan gaya horisontal dengan dongkrak pipih (flat jack) pada pelat betonnya. Sistem ini dicoba pada Jembatan Kali Ciliwung di Condet yang terdiri dari 3 bentang 24m, 48m dan 24m. Namun selang beberapa waktu prakompresinya hilang, sehingga jembatan harus diperkuat tahun 1994. Hal ini menunjukkan, bahwa pemberian prakompresi melalui transfer gaya tekan dari pelat beton ke gelegar baja masih harus diteliti lebih lanjut. Namun, Pak Roosseno tidak sempat menyelesaikan penelitian ini, karena keburu dipanggil oleh Sang Khalik pada tanggal 15 Juni 1996 dalam usia 88 tahun.Pak Roosseno tetap tegar sampai akhir hayatnya, pantang menyerah dalam menghadapi berbagai tantangan baik dalam hidup maupun bidang profesi, dilandasi oleh jiwa pengabdian untuk kemajuan dan kejayaan Tanah Air dan Bangsa. Yang jelas menjelang akhir hayat dalam usia senja, Pak Roosseno tampak bahagia dan bangga melihat mantan-mantan mahasiswanya dan generasi muda pada umumnya telah berhasil mengambil alih tongkat estafet pengembangan keinsinyuran di Indonesia dari tangannya.

Sumber : http://books.google.com/books?id=AEsZFGKONzUC&pg=PA318&lpg=PA318&dq=jembatan+sarina

Pembahasan :

Untuk kasus di atas, setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata jembatan Sarinah yang memiliki bentang 40 m merupakan jembatan dengan struktur pelengkung 3 sendi dengan

Page 12: masalah pratekan

sendi dipuncak dan di masing-masing pangkalnya. Kedua pangkal tersebut dihubungkan dengan balok tarik (trekband)beton pratekan. Balok tarik ini memiliki fungsi yang sangat fital karena satu-satunya elemen yang menahan gaya reaksi horizontal dari sistem pelengkung 3 sendi, sedangkan kedua tiang pada pangkalnya diperhitungkan untuk memikul gaya reaksi vertikal saja. Jadi, jika batang tarik ini gagal maka jembatan dapat dipastikan runtuh.

Beban lalu lintas yang berangsur-angsur membebani batang tarik sehingga mengalami momen lentur yang besar dan menyebabkan adanya retakan pada batang tarik. Retakan tadi menyebabkan air tanah meresap dan membuat korosi sehingga tulangan batang tarik menjadi putus. Jadi dapat dikatakan bahwa kelemahan struktur ini adalah tidak adanya perlindungan khusus pada batang tariknya.

Page 13: masalah pratekan

BANGUNAN PRATEKAN

JEMBATAN SURAMADU

Page 14: masalah pratekan

Pembangunan jembatan Suramadu yang akan menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Madura, bertujuan untuk memperluas kawasan pembangunan Kota Surabaya. Jembatan ini akan melintasi Selat Madura dengan panjang total 5.438 meter dan dengan rata-rata kedalaman muka air laut kurang lebih 20 meter. Perencanaan awal jembatan dilakukan oleh BPPT pada tahun 1993 menggunakan konstruksi precast prestressed concrete girder simply supported pada bagian causeway dengan bentangan 40 meter dan segmental box girder pada bagian jalur navigasi dengan bentangan 150 meter menerus di atas empat tumpuan.

Melalui serangkaian kajian lebih lanjut, perlu dilakukan modifikasi terhadap lebar opening dan tinggi ruang bebas sehingga diperlukan perencanaan ulang dengan perbaikan vertical alignment. Untuk maksud tersebut dalam detail desain jembatan yang dilakukan oleh Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah telah menetapkan “jembatan utama” pada jalur navigasi menggunakan sistem konstruksi jembatan cable stayed dengan lebar bentang utama 434 meter dengan bentang sisi simetris 192 meter sehingga panjang total jembatan cable stayed adalah 818 meter. Modifikasi juga dilakukan pada lebar jembatan yang semula 23,5 meter menjadi 30 meter untuk mengantisipasi kebutuhan lalu lintas ringan antar ke dua pulau.

Page 15: masalah pratekan

1. PENDAHULUAN

Gagasan alm. Prof. Sediyatmo untuk membangun jembatan antar pulau yang menghubungkan pulau Sumatera – Jawa – Bali atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tri Nusa Bima Sakti akan menjadi kenyataan. Jembatan Selat Madura yang menghubungkan pulau Jawa dan Madura akan menjadi jembatan pertama dari gagasan yang dibangun.

Realisasi pelaksanaan pembangunan jembatan Suramadu ini melalui proses waktu yang cukup panjang yaitu selama 17 tahun. Dimulai pada tahun 1986, Presiden menugaskan Menteri Negara Riset dan Teknologi/BPPT untuk mengkaji kemungkinan hubungan langsung antara pulau Sumatera – Jawa – Bali atau yang lebih dikenal dengan sebutan Tri Nusa Bima Sakti. Kemudian pada tahun 1989, dicapai Nota kesepakatan (MoU) antara BPPT, Departemen Pekerjaan Umum dan Bappenas tentang studi “Tri Nusa Bima Sakti” yang kemudian diperluas menjadi “Proyek Tri Nusa Bima Sakti dan Penyeberangan Utama” dengan tindak lanjut melaksanakan studi-studi pendahuluan untuk hubungan Sumatera – Jawa – Madura/Bali. Dari berbagai hasil kajian tersebut menunjukan bahwa Jembatan Suramadu adalah yang mungkin dilaksanakan terlebih dahulu. Hubungan Jawa - Madura memang merupakan lintasan paling layak diselesaikan terlebih dahulu dipandang dari segi keterbatasan-keterbatasan yang ada baik pendanaan maupun kemampuan dan pengalaman engineering.

Perencanaan teknis jembatan Surabaya – Madura (Suramadu) telah selesai dilakukan pada tahun 1994 oleh konsultan perencana Parson Polytech Inc. Namun akibat mundurnya waktu pembangunan selama kurang lebih 9 tahun, maka telah terjadi perkembangan situasi di lokasi jembatan dan meningkatnya kebutuhan pemanfaatan jembatan akibat meningkatnya arus lalu lintas. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan tinjauan kembali terhadap hasil perencanaan teknis yang ada. Review desain jembatan Suramadu telah dilakukan pada tahun 2002, dengan berbagai perubahan antara lain meliputi geometrik jembatan, geometrik jalan pendekat, kepala jembatan, drainage, perkerasan dan bangunan pelengkap jembatan termasuk tipe konstruksi jembatan.

2. PERUBAHAN KONSEP DESAIN

Pada awal perencanaan teknis, struktur jembatan yang digunakan adalah Pre-cast Girder U-type bentang 40 meter, Cast in Place Concrete Box Girder bentang 70 meter, dan Cast in Place Concrete Box Girder bentang 110 – 150 – 110 meter. Dari bentang utama 150 meter tersebut, setelah dikurangi lebar poer pilar dan buffer struktur (fender) maka ruang bebas horisontal untuk jalur navigasi adalah 110 meter. Namun dengan mempertimbangkan kondisi saat ini dan akan datang, ruang bebas tersebut perlu disesuaikan kembali. Dari hasil koordinasi dengan PT. Pelindo, Departemen Perhubungan serta Angkatan Laut maka untuk jenis kapal yang akan memasuki pelabuhan tanpa gangguan dari bangunan jembatan memerlukan ruang bebas

Page 16: masalah pratekan

horisontal setidaknya 225 meter. Mengingat hal tersebut di atas, perencanaan teknis jembatan Suramadu perlu di tinjau kembali dengan memberi bentangan utama yang lebih panjang. Setidaknya diperlukan kebutuhan bentang yang lebih besar dari 300 meter pada saat tinggi air pasang dan ombak maksimum.

Pemilihan tipe struktur bangunan atas yang cocok untuk mengantisipasi kebutuhan jalur navigasi tersebut diperoleh berdasarkan teori bentang ekonomis (lihat Gambar 1), di mana untuk bentangan utama antara 200 – 1000 meter akan lebih ekonomis jika menggunakan jembatan tipe cable stayed.

Gambar 1. Grafik bentang ekonomis untuk menentukan tipe jembatan

Rencana Semula Konstruksi Diusulkan

1 Pre-cast Girder U Type

(bentang 40 m)

Pre-cast Girder I Type

(bentang 40 m)

2 Cast in Place Concrete Box Girder

(bentang 70 m)

Concrete Box Girder

(bentang 80 m)

3 Cast in Place Concrete Box Girder

(bentang 110 + 150 + 110 m)

Cable stayed

(bentang 192 + 434 + 192 m)

Page 17: masalah pratekan

Tabel 1. Perubahan bentang utama jembatan

Gambar 2. Desain lama dan baru jembatan Suramadu

Spesifikasi teknik dan dimensi hasil review desain jembatan mengubah tipe struktur segmental kantilever box girder menjadi jembatan cable stayed. Jembatan cable stayed yang dipilih mempunyai bentangan 192 – 434 – 193 meter. Pemilihan konfigurasi bentangan demikian atas dasar pertimbangan sesedikit mungkin dilakukan modifikasi pada bagian-bagian lain. Namun demikian akibat adanya perubahan alinyemen vertikal pada bagian di luar cable-stayed tidak urung juga diperlukan perubahan pada ketinggian pilar. Melalui kajian jenis bangunan atas yang intensif, diharapkan penambahan tinggi pilar tersebut tidak banyak mempengaruhi jumlah fondasi.

Untuk mengantisipasi kebutuhan akan lalu lintas ringan antara kedua pulau, perlu juga dilakukan perubahan terhadap lebar jembatan. Perubahan ini dilakukan dengan menambah jalur pada kiri dan kanan jalur yang ada sehingga total lebar jembatan yang semula 23,5 meter menjadi 30 meter.

Dimensi dan material jembatan cable stayed yang diusulkan adalah

Konfigurasi bentang : 192 + 434 + 192 meter (818 meter)

Tinggi tower di atas lantai : 100 meter

Tinggi lantai dari muka air : 35 meter pada posisi tower

Konfigurasi kabel : Radial dengan life-end pada bagian tower

Stayed-Cable : PSC-Strand 0,6” HDPE

Jarak antar kabel : @10 meter pada sidespan dan @11 pada main span

Page 18: masalah pratekan

Girder jembatan : Steel box girder dengan lantai komposit baja-beton

Tower : Steel box girder

3. PERENCANAAN TEKNIS JEMBATAN CABLE STAYED

3.1 Umum

Konsep dan aplikasi jembatan cable stayed telah mulai digunakan pada abad ke-17, ketika seorang ahli Venesia bernama Verantius membangun jembatan dengan beberapa gantungan diagonal berupa rantai. Sebenarnya jauh berabad-abad sebelumnya, gagasan ini telah muncul di Mesir yang menggunakan kabel-kabel penggantung pada tiang kapal laut, serta di daerah tropis (termasuk Indonesia) yang mengaplikasikannya pada jembatan gantung yang memakai bambu.

Jembatan cable stayed modern merupakan jembatan yang struktur atasnya (superstructure) terbuat dari baja atau beton yang ditumpu pada satu atau beberapa tempat dengan kabel yang terikat pada menara (pylon). Konsep ini sangat menarik bagi para ahli selama beberapa abad sampai dengan pengembangan jembatan cable stayed modern pada tahun 1950 di Jerman. Setelah perang dunia II, Jerman mengalami masalah dengan hancurnya sekitar 15.000 jembatan yang harus segera diperbaiki. Keadaan ini merupakan kesempatan bagi para ahli teknik dan kontraktor negara tersebut untuk mengaplikasikan konsep desain dan pelaksanaan jembatan baru seperti jembatan cable stayed. Dalam periode yang relatif singkat, yaitu sekitar tahun 1955 sampai tahun 1974, di dunia telah dibangun sekitar 60 jembatan cable stayed untuk lalu lintas jalan raya, dengan sepertiga dari jumlah tersebut dibangun di Jerman. Pertumbuhan yang amat pesat ini menunjukkan bahwa jembatan ini mempunyai beberapa kelebihan, diantaranya adalah ekonomis, mudah dalam pelaksanaan pembangunan dan memiliki nilai estetika. Perkembangan teknologi bahan dan metode pelaksanaan pembangunan pada masa sekarang, telah memungkinkan untuk mendesain dan membangun struktur cable stayed yang lebih fleksibel.

Di Indonesia, walaupun berbagai jenis jembatan telah direncanakan dan dibangun, jembatan cable stayed dengan segala permasalahannya masih tergolong langka. Dengan perkembangan teknologi saat ini, terutama pembangunan material dan sarana pelaksanaannya, mendorong kita untuk membangun jembatan cable stayed dengan berbagai keunggulannya.

3.2 Perilaku Kabel Jembatan

Untuk dapat mendukung beban yang bekerja pada lantai jembatan khususnya pada jembatan sistem cable-stayed, maka kabel penggantung harus diberi gaya pratekan. Untuk memberikan gaya pratekan pada kabel, maka perlu dihitung panjang kabel yang diperlukan sehingga didapatkan gaya pratekan yang diinginkan. Rumus catenary dibawah ini dapat digunakan untuk

Page 19: masalah pratekan

menentukan panjang kabel yang diperlukan untuk mendapatkan gaya pratekan yang diinginkan.

ζ=L2 [√1+( 4 hL )

2

+ L4hsinh−1 ( 4hL )]

(1)

P=ωL2

8h(2)

dimana:

= panjang kabel

L = jarak lurus kabel

h = sag kabel

= berat sendiri kabel

P = gaya axial pada kabel

Dalam aplikasi perencanaan jembatan dengan sistem cable-stayed, dimana umumnya gaya axial kabel (P), berat sendiri kabel (), dan jarak lurus kabel diketahui, dengan menggunakan rumus-rumus catenary di atas, maka panjang kabel yang diperlukan dapat ditentukan.

Rumus lain yang dapat dipakai untuk menentukan panjang kabel adalah

ζ=L [ 1 + 83 ( hL )

2

− 325 ( hL )

4

+ ⋯](3)

Panjang kabel yang dihitung dengan rumus [3] ini, akan sama dengan yang dihitung dengan rumus [1] di atas.

3.3 Konsep Analisa

Prinsip dasar dari jembatan cable stayed adalah penggunaan kabel-kabel berkekuatan tinggi sebagai perletakan elastis pada gelagar sehingga jembatan dapat mempunyai bentang yang panjang. Dalam desain jembatan cable stayed, prinsip dasar ini telah berkembang dimulai dari prinsip (1) Pier & deck kaku, kemudian (2) Pylon kaku & deck flexible, dan (3) Pylon & deck flexible menggunakan back stayed cable (lihat Gambar 3).

Page 20: masalah pratekan

Gambar 3. Perkembangan pemodelan jembatan cable stayed

Dalam perencanaan teknis jembatan cable stayed, setiap tahapan konstruksi jembatan, besarnya gaya-gaya dalam, tidak boleh melampaui kapasitas penampang dan pada tahap akhir pembebanan, perpindahan titik puncak tower dan lendutan lantai jembatan harus memenuhi yang disyaratkan.

Pada jembatan cable stayed, lantai akan melendut pada tahap akhir pembebanan (beban konstruksi). Kabel sebagai penyangga beban lantai perlu diberi gaya pratekan (gaya aksial) dengan cara penarikan kabel sedemikian sehingga tidak terjadi lendutan pada lantai jembatan. Dengan dicapainya lendutan pada posisi “kabel” yang kecil, bidang momen dari lantai jembatan menjadi optimum dan bahkan dapat dicapai kondisi momen positif hampir sama dengan momen negatif pada setiap peralihan antar tumpuan stay. Demikian pula pada pylon yang menerima beban dari kabel, harus mengalami displacement sekecil mungkin dalam batas toleransi. Proses iterasi perlu dilakukan dengan cara penarikan kabel sehingga didapat dimensi-dimensi penampang kabel, gelagar dan pylon yang memenuhi kondisi tersebut di atas (lihat gambar 4).

Secara garis besar, proses iterasi penarikan kabel dapat dilihat pada Gambar 5. Tahapan yang dilakukan adalah dengan penarikan kabel pada main span dan side span secara bergantian.

Page 21: masalah pratekan

Gambar 4. Proses desain jembatan cable stayed

3.4 Konsep Desain

Pada analisa struktur jembatan sistem cable stayed, metode konstruksi akan menentukan tahapan analisa. Metode konstruksi jembatan ditentukan dengan sistem kantilever dengan menggunakan traveller. Analisa 2-D digunakan untuk menentukan gaya pratekan pada kabel untuk mendukung berat sendiri konstruksi dan perkiraan beban lalu lintas yang akan bekerja serta beban akibat peralatan konstruksi. Pada tahapan analisa 2-D ini, akibat berat sendiri dan beban tambahan, profil stayed cable ditentukan sehingga demikian lantai jembatan tidak mengalami sag (diukur dari kondisi awal analisa) dan tower jembatan tidak mengalami overstress, yang umumnya diukur dimana puncak tower dikontrol sehingga pada saat awal

Page 22: masalah pratekan

service tidak mengalami perpindahan (offset) dari kondisi awal analisa atau sebelum beban lantai bekerja. Untuk mendapatkan kondisi demikian, maka gaya pratekan pada masing-masing kabel harus ditentukan secara iterasi, agar didapatkan kondisi yang optimum. Proses iterasi untuk mendapatkan profil kabel yang optimum dapat lebih mudah dan mengurangi waktu kerja dengan memanfaatkan kondisi simetris jembatan.

Setelah profil kabel ditentukan, analisa 3-D diperlukan untuk mendapatkan perilaku konstruksi terhadap konfigurasi beban lalu-lintas. Perilaku jembatan terhadap beban angin, gempa juga akan ditentukan dari analisa 3-D. Namun demikian dalam tahap analisa 2-D beban-beban tersebut harus juga dipertimbangkan mengingat selama pelaksanaan jembatan, pengaruh beban tersebut tidak bisa diabaikan.

Gambar 5. Prosedur penarikan kabel

Page 23: masalah pratekan

4. SPESIFIKASI PERENCANAAN

4.1 Peraturan Perencanaan

Peraturan perencanaan jembatan Bina Marga (BMS ’92) merupakan pegangan dalam perencanaan jembatan di Indonesia. Peraturan ini memberikan saran perencanaan jembatan yang dapat menjamin tingkat keamanan, kegunaan dan tingkat penghematan yang masih dapat diterima dalam perencanaan struktur jembatan atau dengan kata lain merupakan standar minimum yang menjamin keamanan, kegunaan dan penghematan dalam perencanaan jembatan (yang masih dapat diterima).

Peraturan Bina Marga ini, mencakup perencanaan jembatan jalan raya dan pejalan kaki. Untuk jembatan bentang panjang (lebih dari 100 meter) dan penggunaan struktur yang tidak umum atau yang menggunakan material dan metode baru harus diperlakukan sebagai jembatan khusus.

Prinsip umum perencanaan yang diatur dalam peraturan ini, harus didasarkan pada prosedur yang memberikan kemungkinan-kemungkinan yang dapat diterima, untuk mencapai suatu kondisi batas selama umur rencana jembatan. Dengan asumsi jembatan dibangun memenuhi persyaratan perencanaan dan dipelihara dengan baik selama umur rencana (umur rencana peraturan ini adalah 50 tahun).

4.2 Umur Rencana Jembatan

Umur rencana jembatan diasumsikan 50 tahun (peraturan Bina Marga), kecuali untuk jembatan sementara dan moduler dapat diambil lebih kecil yaitu 20 tahun. Sedangkan untuk jembatan yang memiliki nilai stategis dan ekonomi yang dikategorikan sebagai jembatan khusus (yang ditetapkan oleh yang berwenang), harus direncanakan dengan umur rencana 100 tahun atau lebih. Jembatan SURAMADU termasuk kelompok jembatan khusus oleh karenanya harus memenuhi kriteria tersebut.

Perkiraan umur rencana tidak berarti jembatan tidak dapat berfungsi lagi pada akhir umur rencana. Dan tidak juga berarti bahwa jembatan masih bisa dipakai selama umur rencana tanpa dilakukan pemeriksaan dan perbaikan yang cukup.

Dengan umur rencana 50 tahun, periode ulang pada prinsip perencanaan ULS adalah 1000 tahun, mengingat kemungkinan terjadinya aksi dengan periode ulang tersebut, dibatasi sebesar 5%. Sedangkan pada perencanaan SLS, periode ulang aksi adalah 20 tahun.

Periode ulang kejadian untuk prinsip perencanaan ULS untuk umur rencana jembatan 100 tahun yang dihitung dengan rumus [1] di atas adalah 2000 tahun.

Page 24: masalah pratekan

4.3 Spesifikasi Pembebanan

Mengingat peraturan perencanaan yang berlaku (Bina Marga) untuk umur rencana 50 tahun, maka perlu dilakukan koreksi atas peraturan ini, agar dapat digunakan pada perencanaan Jembatan SURAMADU. Faktor koreksi umur tersebut hanya digunakan pada perencanaan Ultimate Limit States.

Faktor koreksi ini dapat ditentukan dengan asumsi bahwa frekuensi terjadi kejadian acak mengikuti distribusi eksponensial dan ini dianggap cukup tepat untuk kasus banjir, angin topan dan temperatur (tinggi). Distribusi ini diasumsikan juga cukup akurat untuk beban lalu-lintas (ekstrim), tetapi tidak dapat dipakai untuk pengaruh gempa.

Dengan menggunakan distribusi eksponensial, maka hubungan antara besarnya aksi dan periode ulang rata-ratanya dapat ditentukan sebagai berikut:

M 1

M 0

=Ln (Ri )Ln(R0 )

(4)

dimana:

Mo = besaran yang diketahui

Ro = periode ulang dari Mo

M1 = besaran dari periode ulang R1

R1 = periode ulang dari M1

Dari rumus [4] di atas faktor koreksi umur rencana jembatan 100 tahun dari umur rencana 50 tahun adalah 1.1x, atau dengan kata lain besar aksi yang ada pada peraturan perencanaan Bina Marga harus dikalikan dengan faktor sebesar 1.1, terutama untuk beban lalu-lintas, angin, temperatur dan banjir.

5. PENUTUP

Suramadu akan menjadi penghubung tetap menghubungkan Pulau Jawa dan Madura sebagai landmark kedua pulau tersebut. Jembatan Suramadu akan menjadi tonggak sejarah bagi engineer-engineer Indonesia. Proyek ini menunjukan kemampuan dari engineer Indonesia. Realisasi proyek ini merupakan tantangan berikutnya bagi engineer Indonesia akan memberi nilai pengetahuan bagi proyek-proyek jembatan bentang panjang yang akan datang seperti jembatan selat sunda, selat bali dan lain-lain.

Page 25: masalah pratekan

Referensi:

1. DR. Ir. Mustazir, Perkembangan Jembatan di Indonesia, seminar Unbraw, 1998.

2. DR. Ir. Mustazir dan Ir. Herry Vaza, Jembatan Bentang Panjang, Konsep dan Kebijakan Perencanaan, Jakarta.

3. Rene Walther, Cable Stayed Bridges, Thomas Telford Ltd, London, 1988.

4. Parsons, Polytech Inc., Final Report Study Detailed Engineering Design Surabaya – Madura Bridge, March 1993.

5. PT. Virama Karya, Perencanaan Teknis Jembatan Cable Stayed (818 m) Modifikasi Jembatan Jawa – Madura, 2003.

6. Ir. Iwan Zarkasi, MEngSc dan Monang S. Pasaribu, ST, Perjalanan Konsep Desain Jembatan Selat Madura, 2010.