5
Mari Memudahkan, Semoga Dimudahkan! Artikel ini saya ambilkan dari blog wibirama.com, sebagai pengantar untuk membahas Kaidah ke-5 dalam Fiqh Da’wah, yakni At-Taysiiru Laa At Ta’siiru (Memudahkan, bukan Menyulitkan) Di Penghujung Malam “Ya Allah yang Maha Pemurah, mudahkanlah segala urusan kami. Engkau adalah Dzat yang menguji makhluk sesuai dengan kemampuannya, maka mampukanlah kami melewati ujianmu” Demikian doa seorang hamba yang barangkali kita pun pernah melakukannya. “Dimudahkan segala urusannya” adalah ‘jurus maut’ yang tak dinyana-nyana sering terselip dalam doa-doa harian kita. Dan itu sah-sah saja, tiada yang melarang. Namun, kadang terkabulnya sebuah doa tidak dengan serta merta nyata setelah sang hamba meminta. Di ‘titik tunda’ itulah, Allah menyelipkan peluang bagi sang hamba untuk instropeksi diri, bermuhasabah, sambil terus mengharap kemurahan dari Sang Pencipta. Ikhwah sekalian, setiap kita memiliki permasalahan, baik yang bisa kita ‘ceritakan’ kepada Allah SWT dan mahluq-nya, maupun permasalahan yang hanya bisa kita ‘ceritakan’ kepada Allah SWT. Masalah itu, ada kalanya tak kunjung terselesaikan bukan karena Allah tidak mengabulkan doa kita. Sebagaimana nasihat dalam “Mutu Manikam dari Kitab Al Hikam” [1] bab 6: “Belum terkabulnya doa si hamba setelah berusaha berulang-ulang berdoa penuh harapan, jangan sampai membuat si hamba berputus asa. Allah SWT telah memberi jaminan diterimanya doa setiap hamba Allah, menurut pilihan dan ketentuan Allah sendiri, bukan atas pilihan dan kemauan si hamba, atau menurut waktu yang dikehendaki si hamba. Allah SWT telah menetapkan kapan dan di saat apa doa seorang hamba diterima oleh-Nya”. Mungkin saja, ada hal-hal lain yang perlu kita jalani, sebelum doa itu terkabulkan. Dan inilah salah satunya, memudahkan urusan orang lain. Taujih Nabawi (Nasihat Nabi)

Mari Memudahkan, Semoga Dimudahkan!

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Mari Memudahkan, Semoga Dimudahkan!

Citation preview

Page 1: Mari Memudahkan, Semoga Dimudahkan!

Mari Memudahkan, Semoga Dimudahkan!

Artikel ini saya ambilkan dari blog wibirama.com, sebagai pengantar untuk membahas Kaidah ke-5 dalam Fiqh Da’wah, yakni At-Taysiiru Laa At Ta’siiru (Memudahkan, bukan Menyulitkan)

Di Penghujung Malam

“Ya Allah yang Maha Pemurah, mudahkanlah segala urusan kami. Engkau adalah Dzat yang menguji makhluk sesuai dengan kemampuannya, maka mampukanlah kami melewati ujianmu”

Demikian doa seorang hamba yang barangkali kita pun pernah melakukannya. “Dimudahkan segala urusannya” adalah ‘jurus maut’ yang tak dinyana-nyana sering terselip dalam doa-doa harian kita. Dan itu sah-sah saja, tiada yang melarang. Namun, kadang terkabulnya sebuah doa tidak dengan serta merta nyata setelah sang hamba meminta. Di ‘titik tunda’ itulah, Allah menyelipkan peluang bagi sang hamba untuk instropeksi diri, bermuhasabah, sambil terus mengharap kemurahan dari Sang Pencipta.

Ikhwah sekalian, setiap kita memiliki permasalahan, baik yang bisa kita ‘ceritakan’ kepada Allah SWT dan mahluq-nya, maupun permasalahan yang hanya bisa kita ‘ceritakan’ kepada Allah SWT. Masalah itu, ada kalanya tak kunjung terselesaikan bukan karena Allah tidak mengabulkan doa kita. Sebagaimana nasihat dalam “Mutu Manikam dari Kitab Al Hikam” [1] bab 6:

“Belum terkabulnya doa si hamba setelah berusaha berulang-ulang berdoa penuh harapan, jangan sampai membuat si hamba berputus asa. Allah SWT telah memberi jaminan diterimanya doa setiap hamba Allah, menurut pilihan dan ketentuan Allah sendiri, bukan atas pilihan dan kemauan si hamba, atau menurut waktu yang dikehendaki si hamba. Allah SWT telah menetapkan kapan dan di saat apa doa seorang hamba diterima oleh-Nya”.

Mungkin saja, ada hal-hal lain yang perlu kita jalani, sebelum doa itu terkabulkan. Dan inilah salah satunya, memudahkan urusan orang lain.

Taujih Nabawi (Nasihat Nabi)

Ikhwah sekalian, ‘pabila Sampeyan ingat buku tentang ‘Hadits Arbain’ yang mungkin pernah Sampeyan baca, tentu Sampeyan mengerti bagaimana utamanya 40 hadits yang dikumpulkan oleh Imam Nawawi. Beliau bahkan mengatakan, hadits-hadits di dalamnya adalah “landasan agama yang penting, yang para ulama menilainya sebagai inti ajaran agama Islam”[2]. Ada sebuah hadits yang cukup relevan dengan tema di atas. Hadits ke-36 bertema “Membantu Sesama Muslim” itu memiliki redaksi demikian:

Page 2: Mari Memudahkan, Semoga Dimudahkan!

Artinya:

Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Siapa yang menyelesaikan kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitan-kesulitan dunia, niscaya Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya di hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitann niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat dan siapa yang menutupi (aib) seorang muslim Allah akan tutupi aibnya di dunia dan akhirat. Allah selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya menolong

saudaranya. Siapa yang menempuh jalan untuk mendapatkan ilmu, akan Allah mudahkan baginya jalan ke syurga. Suatu kaum yang berkumpul di salah satu rumah Allah membaca kitab- kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, niscaya akan diturunkan kepada mereka ketenangan dan dilimpahkan kepada mereka rahmat, dan mereka dikelilingi malaikat serta Allah sebut-sebut mereka kepada makhluk disisi-Nya. Dan siapa yang lambat amalnya, hal itu tidak akan dipercepat oleh nasabnya. (Muttafaq ‘alaih).

Dalam hadits di atas, ada penggalan yang berbunyi “…wa man yassara ‘ala mu’sirin, yassarallahu ‘alaihi fid-dunya wal akhirah….”. Inilah tema yang akan kita perbincangkan dalam artikel ini, “…Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitann niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat…”

Kisah Klasik untuk Masa Depan

Dalam kitab Ad-Da’wah – Qawa’id wa Ushul [3], Ustadz Jum’ah Amin menjelaskan salah satu kaidah dalam penyebaran Islam adalah ‘At-Taisiiru Laa At-ta’siiru” atau “Memudahkan bukan mempersulit”. Simak sikap Rasulullah kepada seorang sahabat yang telah ‘melanggar aturan’ saat Ramadhan:

Dari Abi Hurairah ra, bahwa seseorang mendatangi Rasulullah SAW dan berkata, ”Celaka aku ya Rasulullah.” “Apa yang membuatmu celaka?“ Aku berhubungan seksual dengan isteriku di bulan Ramadhan.” Nabi bertanya, ”Apakah kamu punya uang untuk

Page 3: Mari Memudahkan, Semoga Dimudahkan!

membebaskan budak? “ “Aku tidak punya,” jawabnya. “Apakah kamu sanggup puasa 2 bulan berturut-turut?” ”Tidak.” “Apakah kamu bisa memberi makan 60 orang fakir miskin?“ ”Tidak.” Kemudian duduk. Lalu dibawakan kepada Nabi sekeranjang kurma maka Nabi berkata, ”Ambillah kurma ini untuk kamu sedekahkan.” Orang itu menjawab lagi, ”Adakah orang yang lebih miskin dariku? Tidak lagi orang yang lebih membutuhkan di barat atau timur kecuali aku.” Maka Nabi SAW tertawa hingga terlihat giginya lalu bersabda, ”Bawalah kurma ini dan beri makan keluargamu.” (H.R. Bukhari dan Muslim) [4]

Di sisi lain, Rasulullah juga ingin memberikan kemudahan untuk mereka yang masih tergolong ‘awam’, meskipun harus menegur sahabat Mu’adz bin Jabal, yang disebut Rasulullah sebagai ‘orang yang paling mengetahui halal dan haram’:

Rasulullah suatu ketika gusar karena suatu saat Mu’adz bin Jabal menjadi imam shalat membaca surat Al-Qur’an terlalu panjang. Beberapa riwayat menyebutkan di raka’at awal beliau membaca surat Al-Baqarah dan di rekaat kedua surat An-Nisaa. Seorang makmum memprotes Mu’adz karena shalatnya terlalu lama dan hal tersebut kemudian dilaporkan kepada Rasulullah Saw.

Ketika mendengar hal tersebut, Rasulullah Saw kemudian menegur sahabat Mu’adz. “Hai Mu’adz, janganlah kamu menjadi tukang fitnah, di belakangmu ikut bersembahyang orang yang sudah tua, orang yang lemah, orang yang punya hajat, musafir…” [5]

Coba kita bayangkan, bila Rasulullah sama sekali tidak member kemudahan kepada sahabat di kisah pertama dan jama’ah sholat Mu’adz bin Jabal di kisah kedua. Tentu, da’wah Rasulullah akan semakin sulit. Namun, Rasulullah mengajarkan kepada kita: sama sekali tidak ada kesukaran, yang ada adalah kemudahan. Dengan kemudahan tersebut, seluruh taklif (pembebanan) dan hal-hal fardhu dalam hidup akan terlaksana dengan penuh kesungguhan. Dengan kemudahan, Islam menjadi agama rahmatan lil ‘alamiin yang bertahan di tengah terik panas sahara, maupun dinginnya daerah Skandinavia.

Wijhat (Perspektif)

Artinya:

Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quran itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al Quran itu kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang (Maryam: 97)

Salah satu cara untuk menjadi ‘pandai memudahkan urusan orang lain’ adalah memupuk rasa empati dan toleransi. Empati dan toleransi adalah bekal berinteraksi. Nasihat Ustadz Adil Abdullah Al-Laili Asy-Syuwaikh, “Toleransi adalah konsekuensi ukhuwah. Barangsiapa yang toleran kepada saudaranya, maka Allah akan toleran kepadanya” [6] sangat relevan dengan judul di artikel ini. Allah, Dzat yang Maha Memiliki dan yang Maha Berkehendak, bahkan mengajarkan ‘empati’ kepada manusia. Lihat ayat di atas, Alqur’an diturunkan

Page 4: Mari Memudahkan, Semoga Dimudahkan!

dengan ‘bahasa manusia’ agar kita mudah menghafal dan memahami. Sebuah bentuk ‘empati’ Allah kepada manusia.

Lihat perintah shalat malam yang “diringankan” pada Q.S. Al Muzammil ayat 20. Dibalik keringanan itu, Allah Maha Tahu bahwa “….akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah, dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran”. Bahkan bacaan “Faqraauu maa tayassara minal qur’an” (maka bacalah apa yang mudah dari Alqur’an) diulang lagi di ayat yang sama dengan frase “Faqrauu maa tayassara minhu” dengan arti yang serupa pada frase sebelumnya. Betapa Allah sangat ‘berempati’ kepada kita semua.

Ikhwah sekalian, bisa jadi kesulitan yang menimpa hari-hari kita adalah sebuah pesan dari Allah SWT, agar kita tidak membebani diri sendiri dengan mempersulit urusan orang lain. Hari-hari berat kita, mungkin adalah ‘sentilan’ dari Yang Maha Kuasa. Mari bersama merenungi frase-frase yang pernah kita ucapkan. Janji-janji kita kepada saudara seiman dan seperjalanan. Sudahkah kita berlapang dada menerima kondisi saudara kita? Ataukah kita berkeras hati meletakkan kemauan kita, meski saudara kita sebenarnya tak merasa nyaman namun enggan menyampaikannya?

Semoga Allah mempermudah langkah kita, dan memudahkan kita untuk mempermudah langkah sahabat-sahabat kita.

Yogyakarta, 20.10.2010Akhukum fillah,

SunuWibirama

Bibliografi