57
 http://www.kalbefarma.com/cdk ISSN : 0125 913X 2007 THT vol 34 no 2/155 Ma ret April 20 07 Kajian Manfaat Tonsilektomi Pola Kuman Aerob Penyebab Sinusitis Maksila Kronis Pola Sensitivitas Kuman Isolat Hasil Usap Tenggorok Kuman dan Uji Kepekaan Antibiotika Sekret Telinga Tengah Penderita Mastoiditis Akut RISA untuk Membedakan Spesies Bakteri Otitis Media Supuratif Kronik Benigna Aktif Hubungan Tonsilitis Kronik dengan Prestasi Belajar Kelelahan Bersuara Formaldehid sebagai Faktor Risiko Kanker Nasofaring Densitas Mikrovaskuler dan Respon Klinik Penderita Karsinoma Nasofaring Komposisi Tubuh, Tekanan Darah dan Plasma Kolesterol pada Puasa Bulan Ramadhan

manfaat tonsilektomi.pdf

  • Upload
    angset

  • View
    158

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

  • http://www.kalbefarma.com/cdk

    ISSN : 0125-913X

    2007

    THTvol.34 no.2/155

    Maret April 2007

    Kajian Manfaat Tonsilektomi

    Pola Kuman Aerob PenyebabSinusitis Maksila Kronis

    Pola Sensitivitas Kuman IsolatHasil Usap Tenggorok

    Kuman dan Uji KepekaanAntibiotika Sekret Telinga Tengah

    Penderita Mastoiditis Akut

    RISA untuk MembedakanSpesies Bakteri Otitis Media

    Supuratif Kronik Benigna Aktif

    Hubungan Tonsilitis Kronikdengan Prestasi Belajar

    Kelelahan Bersuara

    Formaldehid sebagai FaktorRisiko Kanker Nasofaring

    Densitas Mikrovaskuler danRespon Klinik Penderita Karsinoma

    Nasofaring

    Komposisi Tubuh, TekananDarah dan Plasma Kolesterol pada

    Puasa Bulan Ramadhan

  • http://www.kalbefarma.com/cdk

    International Standard Serial Number: 0125 913X

    Daftar isi : 58. Editorial 60. English Summary Artikel 61. Kajian Manfaat Tonsilektomi - Tolkha Amarudin, Anton Christanto 69. Pola Kuman Aerob Penyebab Sinusitis Maksila Kronis - Delfitri Munir,

    Beny Kurnia 73. Pola Sensitivitas Kuman dari Isolat Hasil Usap Tenggorok Penderita

    Tonsilo-Faringitis Akut di Puskesmas Jakarta Pusat terhadap Beberapa Antimikroba Betalaktam - Retno Gitawati, Ani Isnawati

    77. Pola Sebaran Kuman dan Uji Kepekaan Antibiotika Sekret Telinga Tengah Penderita Mastoiditis Akut di RS Dr Kariadi Semarang 2004 2005 - Kristiawan AR, Jogjahartono, Pujo Widodo

    81. Pendekatan Molekuler (RISA) untuk Membedakan Spesies Bakteri Otitis Media Supuratif Kronik Benigna Aktif - Anton Christanto, Soepomo Soekardono, Agus Surono, Novi Primadewi, Roikhan Harowi

    87. Hubungan Tonsilitis Kronik dengan Prestasi Belajar pada Siswa Kelas II Sekolah Dasar di Kota Semarang - Farokah, Suprihati, Slamet Suyitno

    93. Aspek Fisiologis dan Biomekanis Kelelahan Bersuara serta Penatalaksanaannya - Hamsu Kadriyan

    96. Paparan Formaldehid sebagai Faktor Risiko Kanker Nasofaring - Kajian pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RS. Dr. Kariadi Semarang - Adi Nolodewo, Yuslam, Muyassaroh

    100. Hubungan antara Densitas Mikrovaskuler dengan Respon Klinik Penderita Karsinoma Nasofaring WHO 2 dan WHO 3 terhadap Terapi Radiasi - Willy Yusmawan, Amriyatun

    104. Perubahan Komposisi Tubuh, Tekanan Darah dan Plasma Kolesterol

    Sebelum dan Sesudah 20 Hari Puasa pada Bulan Ramadhan : Studi pada Mahasiswa FKG Universitas Jember, 2005 Hari Basuki, Dwi Prijatmoko

    76. Agenda Kegiatan Ilmiah 107. Informatika Kedokteran 109. Kapsul 110. Laporan Kegiatan Ilmiah 111. Abstrak 112. RPPIK

    2007

    vol. 34 no. 2/155THT

    Ket.gambar: struktur silia di dalam organ Cortis.geschmeisnerr spl

  • Cermin Dunia Kedokteran

    EEDDIITTOORRIIAALL

    Kalangan masyarakat luas pernah menganggap bahwa penyakit amandel akan menyebabkan anak menjadi bodoh. Penelitian Farokah mencoba meneliti kebenaran anggapan tersebut hasilnya dapat sejawat baca di Cermin Dunia Kedokteran edisi ini ; yang harus ditafsirkan dengan hati-hati sesuai dengan kasus atau situasi yang anda hadapi. Yang juga perlu dibaca ialah kajian manfaat tonsilektomi yang kami sertakan, bersama - sama dengan penelitian jenis kuman utama yang menyebabkan radang tonsil akut. Masalah infeksi di bidang THT lain seperti mastoiditis dan radang telinga tengah juga kami ketengahkan. Kanker nasofaring salah satu keganasan yang sering dijumpai juga dibahas, antara lain mengenai hubungannya dengan paparan formaldehid. Artikel tambahan yang juga menarik ialah pengaruh puasa terhadap kadar kolesterol darah sejawat dapat mengambil manfaat tambahan darinya. Selamat membaca, saran dan kritik tetap kami tunggu untuk meningkatkan mutu majalah ini,

    Redaksi

    Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 58

  • 2007

    International Standard Serial Number: 0125 - 913X

    KETUA PENGARAH Prof. Dr. Oen L.H. MSc

    REDAKSI KEHORMATAN

    PEMIMPIN UMUM Dr. Erik Tapan

    KETUA PENYUNTING Dr. Budi Riyanto W.

    - Prof. DR. Sumarmo Poorwo Soedarmo

    Guru Besar Purnabakti Infeksi Tropik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

    - Prof. DR. Hendro Kusnoto, Drg, SpOrt.

    Laboratorium Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Trisakti Jakarta

    -

    -

    TATA USAHA Dodi Sumarna

    INFORMASI/DATABASE Ronald T. Gultom, SKom

    Prof. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, MScD, PhD. Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

    Prof. DR. Arini Setiawati Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta

    ALAMAT REDAKSI Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval Jl. Letjen. Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510, P.O. Box 3117 JKT. Tlp. 021 - 4208171 E-mail : [email protected] http: //www.kalbefarma.com/cdk

    DEWAN REDAKSI

    - Dr. Boenjamin Setiawan Ph.D - Prof. Dr. Sjahbanar Soebianto Zahir MSc.

    NOMOR IJIN 151/SK/DITJEN PPG/STT/1976 Tanggal 3 Juli 1976 -

    Dr. Karta Sadana

    -

    Dr. Sujitno Fadli

    PENERBIT Grup PT. Kalbe Farma Tbk.

    PENCETAK PT. Temprint

    http://www.kalbefarma.com/cdk

    PETUNJUK UNTUK PENULIS

    Cermin Dunia Kedokteran menerima naskah yang membahas berbagai aspek kesehatan, kedokteran dan farmasi, juga hasil penelitian di bidang-bidang tersebut.

    Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang khusus untuk diterbitkan oleh Cermin Dunia Kedokteran; bila pernah dibahas atau dibacakan dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

    Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggunakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam bahasa Indonesia. Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya. Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia. Untuk memudahkan para pembaca yang tidak berbahasa Indonesia lebih baik bila disertai juga dengan abstrak dalam bahasa Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak berbahasa Inggris untuk karangan tersebut.

    Naskah diketik dengan spasi ganda di atas kertas putih berukuran kuarto/ folio, satu muka, dengan menyisakan cukup ruangan di kanan kirinya, lebih disukai bila panjangnya kira-kira 6 - 10 halaman kuarto disertai/atau dalam bentuk disket program MS Word. Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lembaga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/ grafik/ilustrasi yang melengkapi naskah dibuat sejelas-jelasnya dengan tinta hitam agar dapat langsung direproduksi, diberi nomor sesuai dengan urutan

    pemunculannya dalam naskah dan disertai keterangan yang jelas. Bila terpisah dalam lembar lain, hendaknya ditandai untuk menghindari kemungkinan ter-tukar. Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index Medicus dan/ atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9). Contoh : 1. Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, London:

    William and Wilkins, 1984; Hal 174-9. 2. Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro-

    organisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic physio-logy: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders, 1974;457-72.

    3. Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan filariasis di Indonesia. Cermin Dunia Kedokt. 1990; 64: 7-10.

    Bila pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

    Naskah dikirimkan ke alamat : Redaksi Cermin Dunia Kedokteran, Gedung Enseval, Jl. Letjen Suprapto Kav. 4, Cempaka Putih, Jakarta 10510 P.O. Box 3117 JKT. Tlp. (021) 4208171. E-mail : [email protected]

    Pengarang yang naskahnya telah disetujui untuk diterbitkan, akan diberitahu secara tertulis.

    Naskah yang tidak dapat diterbitkan hanya dikembalikan bila disertai dengan amplop beralamat (pengarang) lengkap dengan perangko yang cukup.

    Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapat masing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandangan atau kebijakan instansi/lembaga/bagian tempat kerja si penulis.

  • English Summary

    MOLECULAR APPROACH (RISA) FOR BACTERIAL SPECIES DISCRIMINA-TION TAKEN FROM ACTIVE BENIGN CHRONIC SUPPURATIVE OTITIS MEDIA

    Anton Christanto, Soepomo Soekardono, Agus Surono, Novi Primadewi, Roikhan Harowi

    Dept. of Otolaryngology, Head and Neck Surgery, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University / Dr. Sardjito Hospital, Yogyakarta, Indonesia Background: Bacterial ear infec-tion, such as active benign chronic suppurative otitis media (ABCSOM) is a potentially serious disorder and requires topical antibiotic treatment. Traditionally, the identification and enumeration of bacteria depended entirely on pure culture techniques; but colony/cell morphology and bio-chemistry test sometimes do not adequate; so the intergenic spa-cers (IGS) between the 16S and 23S rRNA genetic loci are frequent-ly used in PCR finger-printing to discriminate bacteria strains at species and intraspecies levels. Objective: to investigate molecu-lar polymorphisms with IGS-PCR fingerprinting on bacteria isolated from active benign chronic suppurative otitis media Methods: Middle ear discharge samples were collected from 5 ABCSOM cases using sterile cathe-ter and syringe. Bacteria were isolated using blood agar media plate method. We compared the traditional and molecular app-roach (ribosomal intergenic spa-

    cer analysis-RISA) in discriminating bacterial species obtained from fluid discharge samples. The RISA was performed by PCR amplifi-cation of 16S-23S ribosomal DNA. Result: Molecular approach iso-lated more bacterial species compared with traditional app-roach. Key words: ABCSOM, ribosomal intergenic spacer analysis, bacterial species discrimination

    Cermin Dunia Kedokt. 2007; 34 (2) :81-6 aco, sso, aso, npi, rhi

    CORRELATION BETWEEN CHRONIC TONSILLITIS AND STUDY ACHIEVE-MENT AMONG SECOND YEAR PRIMARY STUDENTS IN SEMARANG

    Farokah, Suprihati, Slamet Suyitno

    Dept. of Ear, Nose and Throat Diseases, Faculty of Medicine, Diponegoro University, Semarang, Indonesia

    Objective: To prove whether chronic tonsillitis influences study achievement in children. Methods : Cross sectional study on 514 primary school second class students in Semarang who fulfilled study criteria. All sample students were screened wiith ENT physical examination, weight and height measurement, study achievement data and IQ test. Data were collected and ana-lyzed with prevalence ratio, confidence interval and Chi-square test. Other factors analyzed were: education of parents, gender, private lesson and intellIgence. Results : From 301 students

    included in this study, 145 (48,2 %) were male; 145 (48,2 %) with chronic tonsillitis. There was signi-ficant correlation between chronic tonsillitis with study achievement (p < 0,05, 95%CI : 2,48-4,99). Low study achievement among stu-dents with chronic tonsillitis was 3,5 more frequent compared with students without chronic tonsillitis. Logistic regression analysis showed that chronic tonsillitis and intelli-gence influenced study achieve-ment; while parents education level, gender and private lesson didnt. Conclusion : Chronic tonsillitis lowers study achievement.

    Cermin Dunia Kedokt. 2007; 34 (2) :87-92 frh, spi, sso

    PHYSIOLOGICAL AND BIOMECHA-NICAL ASPECT OF VOICE FATIGUE

    Hamsu Kadriyan Medicine Study Program, Mataram University, West Nusa Tenggara, Indonesia

    Professionals who rely on voice are prone to voice fatigue. Voice has physiologic and biomechanic aspects that can influence voice generation such as neuromus-cular, non-neuromuscular stretch-ing, blood flow disturbance, respi-ratory muscle fatigue and disturb-ance of vocal cord elasticity. Treatment are based on cause(s), including voice therapy, voice conservation, voice behaviour therapy and drug(s) if necessary.

    Cermin Dunia Kedokt. 2007; 34 (2) :93-5 hkn

    Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 60

  • Manfaat Tonsilektomi

    TINJAUAN PUSTAKA

    Kajian Manfaat Tonsilektomi

    Tolkha Amarudin, Anton Christanto

    Departemen THT Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/ RS Dr Sardjito Yogyakarta

    ABSTRAK

    Kontroversi seputar tonsilektomi telah lama terjadi. Tonsilektomi sebagai tindakan operasi terbanyak dan biasa dilakukan di bidang THT belum mempunyai keseragaman indikasi. Indikasi tonsilektomi yang diterima luas pada saat ini adalah tonsilitis kronik dengan insidensi 7 atau lebih episode sakit tenggorok akibat tonsilitis dalam 1 tahun atau 5 episode/tahun dalam dua tahun dan 3 episode/tahun dalam 3 tahun. Kajian manfaat tonsilektomi terhadap kejadian sakit tenggorok, kualitas hidup, keuntungan ekonomi, dan gambaran imunologis tonsil belum dibahas secara mendalam. Kata Kunci : Tonsilektomi, tonsilitis kronis

    PENDAHULUAN Tonsilektomi merupakan tindakan pembedahan tertua,

    berupa tindakan pengangkatan jaringan tonsila palatina dari fossa tonsilaris. Tonsilektomi dideskripsikan pertama kali di India pada tahun 1000 SM. Pada tahun 30 SM, Celsus melaporkan tindakan tonsilektomi untuk pertama kali menggunakan skalpel untuk eksisi tonsil, namun belum maksimal karena tidak semua jaringan berhasil diangkat. Selanjutnya Meyer (1867) melaporkan kasus adenotonsil-ektomi pada wanita 20 tahun yang mengeluh hidung tersumbat dan pendengaran menurun. Crowe (1917) melaporkan tonsilektomi pada 1000 pasien dengan mouth gauge, yang sekarang dikenal sebagai Crowe-Davis mouth gauge.1

    Teknik tonsilektomi terus mengalami perkembangan, tahun 1827 tonsil diangkat menggunakan guillotine, pada saat itu dinamai primary enucleation, pertama kali digunakan oleh Physick. Tahun 1867, Meyer menggunakan pisau berbentuk lingkaran, mengangkat tonsila adenoid melalui kavitas nasi, pada pasien dengan penurunan pendengaran dan sumbatan hidung. Pada tahun 1910 Wilis dan Pybus melaporkan pengangkatan tonsil lengkap dengan kapsulnya. Pada tahun 1912, Sluder menemukan alat untuk mengambil tonsil sehingga keberhasilan pengambilan tonsil lengkap dengan kapsulnya mencapai 99,6 %.1 Teknik tonsilektomi lain terus dikembangkan seperti elektrokauter ditujukan untuk mengurangi efek yang tidak diharapkan.2

    Pengaruh rangsangan bakteri yang terus menerus terhadap tonsil pada tonsilitis kronik menyebabkan sistem imunitas lokal tertekan; menurunnya respon imunologis limfosit tonsil dan perubahan epitel akan mengurangi reseptor antigen. Hal ini menyebabkan kegagalan fungsi tonsil sebagai gatekeeper dan menurunkan respon imunologi tonsil terhadap antigen.

    Pengobatan tonsilitis kronik sangat sulit dan lazim dilakukan tonsilektomi. Kontroversi seputar tonsilektomi telah lama terjadi, meskipun demikian di bidang THT tonsilektomi merupakan tindakan terbanyak dan biasa dilakukan Tonsilektomi dianggap sebagai tindakan kecil, namun dapat menimbulkan komplikasi baik durante maupun postoperasi, dapat berupa abses paru dan pneumonitis akibat aspirasi darah dan debris atau infeksi yang ada sebelumnya, maupun perdarahan. Di samping itu tonsilektomi dapat menimbulkan berbagai masalah dan berisiko menimbulkan nyeri pasca tonsilektomi dan infeksi.

    Tonsilektomi sebagai tindakan operasi terbanyak di bidang THT belum seragam indikasinya. Manfaat tonsilektomi terhadap kejadian sakit tenggorok, kualitas hidup, keuntungan ekonomi, dan gambaran imunologis tonsil belum dibahas secara mendalam. KEKERAPAN

    Di Inggris (1987-1993) telah dilakukan 70.000 - 90.000 tonsilektomi dan adenoidektomi per tahun. Di Skotlandia

    Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 61

  • Manfaat Tonsilektomi

    selama 1990 1996 terjadi penurunan jumlah adenotonsil-ektomi, angka tonsilektomi pada anak turun dari 602 per 100 000 menjadi 511 per 100 000, 44 % perempuan dan 54% dengan adenoidektomi.3 Di Amerika Serikat tonsilektomi dilakukan sampai 1.500.000 tindakan pada tahun 1970 dan 286.000 orang menjalani adenotonsilektomi, sedangkan tahun 1985 dilakukan 400.000 tonsilektomi.1

    Di Indonesia sampai saat ini jumlah kasus tonsilektomi masih sulit didapat. Dari catatan medis RSUP Dr Sardjito tonsilektomi merupakan lebih dari separuh dari seluruh tindakan pembedahan di bagian THT. Data pada tahun 1996 dan tahun 1997 sejumlah 107 tindakan, tahun 1998 ada 102 tindakan, dan tahun 1999 94 tindakan. Tonsilektomi tahun 2003 tercatat sebanyak 59 kasus, tahun 2004 hingga bulan Agustus sebanyak 45 kasus, rentang umur terbanyak 5-15 tahun, indikasi tersering adalah tonsilitis kronis. Terlihat angka tonsilektomi dari tahun ke tahun mengalami penurunan, mungkin disebabkan indikasi tonsilektomi makin ketat.4

    ANATOMI

    Gambar 1. Anatomi tonsila palatina

    Tonsil palatina adalah suatu jaringan limfoid yang terletak

    di fossa tonsilaris di kedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsil palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateral-nya ditutupi oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta.10

    Kripta tonsil berbentuk saluran tidak sama panjang dan masuk ke bagian dalam jaringan tonsil. Umumnya berjumlah 8-20 buah dan kebanyakan terjadi penyatuan beberapa kripta. Permukaan kripta ditutupi oleh epitel yang sama dengan epitel permukaan medial tonsil. Saluran kripta ke arah luar biasanya bertambah luas; hal ini membuktikan asalnya dari sisa perkembangan kantong brakial II. Secara klinik kripta dapat merupakan sumber infeksi, baik lokal maupun umum karena dapat terisi sisa makanan, epitel yang terlepas, kuman.9,10,11

    Permukaan lateral tonsil yang tersembunyi ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat disebut kapsul; walaupun para ahli anatomi menyangkal adanya kapsul ini, tetapi para pakar klinik menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih

    yang menutupi 4/5 bagian tonsil.10 Plika triangularis atau plika retrotonsilaris atau plika transversalis merupakan struktur normal yang telah ada sejak masa embrio. Plika triangularis terletak di antara pangkal lidah dengan bagian anterior kutub bawah tonsil dan merupakan serabut yang berasal dari otot palatofaringeus.10 Fossa tonsil atau sinus tonsil yang di dalamnya terletak tonsil palatina, dibatasi oleh otot-otot orofaring: 1) Batas anterior adalah otot palatoglossus, disebut plika anterior, 2) Batas posterior adalah otot palatofaringeus, disebut plika posterior, 3) Batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Plika anterior berbentuk seperti kipas di rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Plika posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba Eustachius dan dasar tengkorak. ke arah bawah meluas hingga dinding lateral esofagus. (Gambar 1)

    Plika anterior dan plika posterior ini bersatu di atas di palatum mole. Ke arah bawah berpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring. Di bagian atas fossa tonsil terdapat ruangan yang disebut fossa supratonsil. Ruangan ini terjadi karena tonsil tidak mengisi penuh fossa tonsil.

    Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang a. karotis eksterna yaitu: a. maksilaris eksterna (a. fasialis) yang mempunyai cabang a. tonsilaris dan a. palatina asenden, a. maksilaris interna dengan cabangnya yaitu a. palatina desenden, a. lingualis dengan cabangnya yaitu a. lingualis dorsal, dan a. faringeal asenden.

    Arteri tonsilaris berjalan ke atas di bagian luar m. konstriktor superior dan memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole. Arteri palatina asenden, mengirimkan cabang-cabangnya melalui m. konstriktor posterior menuju tonsil. Arteri faringeal asenden juga memberikan cabangnya ke tonsil melalui bagian luar m. konstriktor superior. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil, plika anterior dan plika posterior. Arteri palatina desenden atau a. palatina posterior atau lesser palatine artery memberi vaskularisasi tonsil dan palatum mole dari atas dan membentuk anastomosis dengan a. palatina asenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring.10,11,12

    Aliran getah bening dari daerah tonsil menuju ke rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah m. sternokleidomastoideus. Selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktuli torasikus. Infeksi dapat menuju ke semua bagian tubuh melalui perjalanan aliran getah bening.

    Inervasi tonsil bagian atas berasal dari serabut saraf V melalui ganglion sphenopalatina dan bagian bawah dari saraf glossofaringeus (N. IX).12 MORFOLOGI TONSILA PALATINA 1. Kripte dan Epitel Tonsil

    Susunan kripte tubuler di bagian dalam menjadi salah satu karakteristik tonsila palatina. Tonsila palatina memiliki 10 30 kripte dan luas permukaan 300 cm2. Masing-masing kripte tidak hanya bercabang tapi juga saling anastomosis.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 62

  • Manfaat Tonsilektomi

    Bersama dengan variasi bentuk dan ukuran folikel limfoid menyebabkan keragaman bentuk tonsil. Kripte berisi sel degenerasi dan debris selular. Epitel kripte adalah modifikasi epitel skuamosa berstratifikasi yang menutupi bagian luar tonsil dan orofaring. Derajat retikulasi (jumlah limfosit intraepitel) epitel sangat bervariasi. Retikulasi epitel kripte berperan penting dalam inisiasi imun respon pada tonsila palatina. Pada kripte antigen lumen diambil oleh sel khusus dari retikulasi epitel skuamosa yang menyerupai membran sel intestinal peyers patches, atau yang dikenal sel M.

    Sel M melakukan endositosis antigen, mentranspor antigen ke dalam vesikel di basolateral membran dan eksositosis ke rongga intra dan subepitel tempat terjadinya kontak dengan jaringan limfoid. Sel M tonsil terdiri dari sedikit sel epitel kripte dan memiliki mikrovilli khusus di bagian apeks. Fungsi transpor sel M tidak hanya menyediakan sampling antigen tapi juga sebagai gateway bagi infeksi mukosa atau imunisasi. Sel M memiliki relevansi klinis karena beragam antigen menggunakan sel M sebagai pintu masuk untuk menginvasi host.

    Sel T dan sel B dapat ditemukan di semua bagian epitel tanpa pola distribusi tertentu. Sebagian makrofag dan dendritic cells juga berkontribusi terhadap populasi sel non epitel. Sel plasma dominan terdapat di sekitar kapiler intraepitel. Banyaknya sel immunokompeten dalam epitel kripte membentuk satu mikrokompartemen limfoid tersendiri dalam tonsila palatina14 (gambar 2).

    Gambar 2. Diagram skematis tonsil palatine dan komposisi sel14

    2. Folikel Limfoid

    Folikel limfoid primer tampak di tonsil dari minggu ke 16 kehamilan, dan sentrum germinativum dibentuk segera setelah lahir. Folikel limfoid di tonsila palatina berbentuk bulat atau elips, terletak di bawah epitel dan di sisi dengan intensitas maturasi dan diferensiasi sel B sebaik aktivasi sel T (gb. 3).

    Folikel limfoid sekunder berisi sentrum germinativum terdiri dari zona gelap, dengan sejumlah besar proliferasi B blast atau sentroblast, zona terang (bagian basal dan apeks) terisi sebagian besar oleh sentrosit dan sebuah mantle zone berisi nave B cells. Dengan menggunakan teknik antibodi monoklonal, lima kelas sel B (Bm 1= nave B cells sampai Bm

    5= memory B cells) telah diidentifikasi pada tonsil manusia. Folikel limfoid tonsil berisi jaringan follicular dendritic

    cells (FDC) dan sebuah kelas khusus sel dendritik sentrum germinativum yang mengaktivasi sel T di sentrum germinativum. FDC mampu menahan sejumlah besar kompleks imun di membran plasma untuk jangka lama dan dengan cara beraksi sebagai antigen presenting cells yang memberikan lingkungan yang sesuai untuk proliferasi dan diferensiasi sel B di sentrum germinativum. Selanjutnya FDC berperan dalam modulasi kerentanan terhadap apoptosis sel B di folikel limfoid. Secara ultrastruktur teridentifikasi 7 populasi FDC berbeda namun belum jelas apakah mereka memiliki fungsi yang berbeda. Seperti sel B, FDC sebagian besar terletak dalam dark zone, sedangkan proliferasinya terbanyak terletak pada light zone.14

    3. Daerah Ekstrafolikuler

    Daerah ekstrafolikular berisi sel T (terutama fenotip helper, CD 4), interdigitating dendritic cells (IDC), makrofag, dan venula khusus yang dikenal high endothelial venules (HEV). HEV diperlukan sebagai pintu masuk sel T dan B dari darah ke dalam tonsil. Dalam zona ekstrafolikuler, terdapat sel penghasil sitokin spesifik (IL - 1 dan TNF dari makrofag sebaik IDC, IL-2 dan IFN- dari sel T) dan produksi antibodi.14

    Gambar 3. Foto mikrografi tonsila palatina menunjukkan distribusi

    kelas-kelas sel T (CD 3+), sel B ( CD 20+), sel T helper (CD4+) dan sel T sitotoksik (CD 8+). Catatan: CD 4 Dan CD 8 tidak hanya terdapat pada sel T helper dan sel T sitotoksik, tapi juga beberapa sel non limfoid.14

    IMUNOBIOLOGI TONSIL

    Lokasi tonsil sangat memungkinkan terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 3 10 tahun. Pada usia lebih dari 60 tahun Ig-positif sel B dan sel T sangat berkurang di semua kompartemen tonsil. Selain itu juga terjadi pada sejumlah IDC dan FDC yang merupakan age-dependent tonsilar involution.14

    Gambaran struktur imunologis tonsil menunjukkan seluruh elemen yang dibutuhkan untuk sistem imunologi mukosa. Bakteri, virus, atau antigen makanan akan diabsorpsi secara selektif oleh makrofag, sel HLA (+) dan sel M dari tipe

    Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 63

  • Manfaat Tonsilektomi

    tonsil. Selanjutnya, antigen ditranspor dan dipresentasikan ke sel T di area ekstra folikuler dan ke sel B di sentrum germinativum oleh FDCs.15

    Interaksi antara sel T dengan antigen yang dipresentasikan oleh APC akan mengakibatkan terjadinya peristiwa biokimiawi dalam sel T berupa peningkatan kadar ion Ca++ dalam sitoplasma dan mengaktifkan enzim kinase protein C yang merupakan sebagian signal untuk mengaktifkan sel T. Dua faktor tersebut belum cukup untuk mengaktifkan sel T karena ada faktor ke tiga yaitu IL-1 yang disekresi oleh APC. Peranan sitokin dalam aktivasi sel T terlihat di Gambar 4.

    Gambar 4. Peranan sitokin dalam aktivasi sel T 15

    Sel T yang telah aktif ditandai dengan sekresi IL-2 dan

    ekspresi reseptor IL-2, sehingga akan 1) meningkatkan jumlah klon sel T sendiri, 2) meningkatkan perbanyakan limfosit lain yang telah diaktifkan oleh antigen yang sama atau mirip, namun tidak dapat menghasilkan IL-2 (sel CD8+), 3) meningkatkan jumlah sel limfosit yang telah dirangsang sebelumnya tetapi memiliki reseptor IL-2 (sel memori yang tidak spesifik terhadap antigen yang merangsangnya), dan 4) meningkatkan pertumbuhan sel-sel bukan limfosit T tetapi memiliki reseptor IL-2 (limfosit B dan natural killer cell NK). Hubungan antara ekspresi reseptor IL-2 dengan kadar ion Ca++ intraseluler dibuktikan oleh Komada dkk (1987) yang mendapatkan ekspresi maksimum reseptor IL-2 sesuai dengan kadar maksimum ion Ca++ intrasel.16

    Aktifasi limfosit B oleh antigen menjadi sel yang mampu menghasilkan antibodi memerlukan bantuan sel Th. Terhadap sel B selain IL-2 yang bertindak sebagai aktifator dan promotor pembelahan, sitokin lain yang berpengaruh adalah IL-4 sebagai aktifator limfosit B istirahat, IL-5 sebagai faktor pertumbuhan limfosit B aktif dan IL-6 sebagai faktor diferensiasi akhir yang mampu menjadikan sel B melepaskan immunoglobulin (gambar 5).

    Plasma sel didistribusikan pada zona ekstrafolikuler dan epitel kripte, selanjutnya imunoglobulin disekresikan ke dalam kripte. Maka dari itu, tonsil berperan penting dalam memelihara flora normal dalam kripte orang sehat. Selain itu tonsil juga akan mensekresikan IgA ke dalam lumen kripte dan juga bertindak sebagai sumber sel B IgA dengan rantai J positif dimer untuk area lain pada sistim respirasi atas seperti kelenjar parotis, lakrimalis, mukosa hidung dan mukosa telinga tengah.15

    Gambar 5 . Peran sitokin pada aktivasi sel 15

    Secara sistematik proses imunologis di tonsil terbagi

    menjadi 3 kejadian yaitu 1) respon imun tahap I, 2) respon imun tahap II, dan 3) migrasi limfosit. Respon imun tahap I terjadi ketika antigen memasuki orofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen tonsil pertama sebagai barier imunologis. Sel M tidak hanya berperan mentranspor antigen melalui barier epitel tapi juga membentuk kompartemen mikro intraepitel spesifik yang membawa bersamaan material asing, limfosit dan APC seperti makrofag dan sel dendritik dalam konsentrasi tinggi. Interaksi sel M dengan sel yang berbeda dalam sistem imun di mikrokompartemen selama inisiasi respon imun selular atau humoral belum dipahami.

    Sel limfoid ditemukan dalam ruang epitel kripte tonsila palatina terutama tersusun atas limfosit B dan sel T helper (CD4+). Respon imun membutuhkan bantuan sitokin. Sitokin adalah peptida yang terlibat dalam regulasi proses imun dan dihasilkan secara dominan oleh stimulasi antigen lokal limfosit intraepitel, sel limfoid lain atau sel non limfoid. Sel T intraepitel menghasilkan berbagai sitokin antara lain IL 2, IL-4, IL-6, TNF-, TNF- / LT-, INF , dan TGF-.

    Diperkirakan 50-90% limfosit intraepitel adalah sel B berupa mature memory cells B dengan potensial APC yang memungkinkan terjadinya kontak antara antigen presenting B cells dan T cells, menyebabkan respon antibodi yang cepat. Beragam isotipe Ig dihasilkan dalam tonsila palatina, 82 % dari sentrum germinativum menghasilkan Ig D, 55% Ig M, 36% IgG dan 29 % IgA.

    IgA merupakan komponen substansial sistem imun humoral tonsila palatina. Produksi J-chain oleh penghasil Ig merupakan faktor krusial dalam transpor epitel polimer Ig melalui komponen sekretoris transmembran. Distribusi J-chain itu sendiri tergantung dari lokasi sel (29% IgA dihasilkan di sentrum germinativum dan 59% IgA dihasilkan di regio ekstrafolikular). Ig terbentuk secara pasif ditranspor ke dalam kripte.

    Respon imun tonsila palatina tahap ke dua terjadi setelah antigen melalui epitel kripte dan mencapai daerah ekstrafolikular atau folikel limfoid. Di daerah ekstrafolikular, IDC dan makrofag memproses antigen dan menampakkan atigen terhadap CD4+ limfosit T. Sel TFH

    kemudian

    menstimuli limfosit B folikel sehingga berproliferasi dan

    Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 64

  • Manfaat Tonsilektomi

    bermigrasi dari dark zone ke light zone, mengembangkan suatu antibodi melalui sel memori B dan antibodi melalui sel plasma. Sel plasma tonsil juga menghasilkan lima kelas Ig (IgG 65%, IgA 20%, sisanya Ig M, IgD, IgE) yang membantu melawan dan mencegah infeksi. Lebih lanjut, kontak antigen dengan sel B memori dalam folikel limfoid berperan penting untuk menghasilkan respon imun sekunder. Meskipun jumlah sel T terbatas namun mampu menghasilkan beberapa sitokin (misal IL-4) yang menghambat apoptosis sel B.

    Adapun respon imun berikutnya berupa migrasi limfosit yang berlangsung terus menerus dari darah ke tonsil melalui HEVdan kembali ke sirkulasi melalui limfe. Tonsil berperan tidak hanya sebagai pintu masuk tapi juga keluar bagi limfosit, beberapa molekul adesi (ICAM-1 dan L-selectin), kemokin, dan sitokin. Kemokin yang dihasilkan kripte akan menarik sel B untuk berperan di dalam kripte.14 TONSILITIS KRONIS

    Tonsilitis kronis umumnya terjadi akibat komplikasi tonsilitis akut, terutama yang tidak mendapat terapi adekuat; mungkin serangan mereda tetapi kemudian dalam waktu pendek kambuh kembali dan menjadi laten. Proses ini biasanya diikuti dengan pengobatan dan serangan yang berulang setiap enam minggu hingga 3 4 bulan. Seringnya serangan merupakan faktor prediposisi timbulnya tonsilitis kronis yang merupakan infeksi fokal.11,12,17

    Gejala tonsilits kronis menurut Mawson (1977): 1) gejala lokal, bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan, 2) gejala sistemis, rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian, 3) gejala klinis tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis kronis), udem atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan kelenjar limfe regional.18

    Boies (1978) dan Paparella (1980), mengemukakan gejala tonsilitis kronis antara lain: 1) gejala klinis, rasa nyeri di tenggorok disertai demam ringan, nyeri sendi, 2) gejala lokal, hipertrofi tonsil, permukaan berbenjolbenjol, kripte melebar dan jika kripte ditekan keluar massa seperti keju. Kadangkadang tonsil atrofi atau degenerasi fibrotik dan terlihat dalam fossa tonsilaris, jika ditekan terdapat discharge purulen, dan pembesaran kelenjar limfe regional.4,12

    Gambaran respon imun selular pada tonsillitis kronik menunjukkan terjadinya peningkatan deposit antigen pada jaringan tonsil. Hal ini menyebabkan peningkatan regulasi sel-sel imunokompeten yang terjadi terus-menerus. Fenomena peningkatan tersebut telah dibuktikan oleh Agren et al. yang mendapatkan peningkatan insidensi sel yang mengekspresikan IL-1, TNF-, IL-6, IL-8, IL-2, INF-, IL-10, dan IL-4.19

    IL-1 terdiri dari 2 bentuk yakni IL-1 dan IL-1 keduanya mempunyai aktifitas biologis sama. IL-1 dibuat oleh makrofag sedangkan IL-1 dibuat oleh sel-sel epitel (endotel) dan fibroblas setelah diaktifkan antigen, merupakan sitokin kunci pada proses inflamasi yang berperan sentral dalam respon imun. Pengaruh IL-1 terhadap sel T adalah meningkatkan kemampuan proliferasi sel Th2 setelah

    stimulasi oleh IL-4, dan bersama IL-6 menginduksi ekspresi reseptor IL-2 pada sel T istirahat. Terhadap sel sel B, IL-1 bersama IL-4 merupakan aktifator dan khusus IL-1 berperan membantu sintesis DNA pada perkembangan sel B.

    IL-2 dikenal sebelumnya sebagai T-cell growth factor diproduksi oleh sel T. Hanya sel T aktif mengekspresikan reseptor dengan afinitas tinggi dan mensekresi IL-2 sehingga ekspansi sel T terkontrol. IL-2 berpengaruh terhadap sel T sebagai aktifator dan faktor pertumbuhan yang kuat, berperan menginduksi pertumbuhan dan differensiasi sel NK dan sel B, serta mengaktifkan makrofag dan monosit.

    IL-4 dikenal sebagai B-cell activating differentiating factor-1 (BCDF-1) berpengaruh terhadap sel B dalam induksi, aktivasi, dan diferensiasi, terutama untuk memproduksi IgG dan IgE, sehingga IL-4 yang tinggi berperan dalam alergi. IL-4 diproduksi oleh subpopulasi sel T dan sel mast setelah sel T diaktifkan atau terjadi ikatan silang reseptor pada basofil dan sel mast. IL-4 juga berperan mengarahkan perkembangan sel T menjadi sel Th2 dengan cara menghambat differensiasi sel Th0 menjadi sel Th1. Pengaruh terhadap Th0 dinetralisir oleh IL-12 yang mengadakan regulasi silang dengan IL-4. Terhadap makrofag IL-4 akan menginduksi ekspresi MHC II, tetapi menghambat produksi sitokin.

    IL-5 merupakan glikoprotein yang diproduksi oleh sel T aktif, dengan bentuk aktif fungsional berupa disulfid dengan ikatan dimer. Bentuk ikatan ini memungkinkan IL-5 berinteraksi pada reseptor yang diekspresikan oleh eosinofil, basofil dan sel B aktif. Pada sel B, IL-5 bertindak sebagai faktor pengaktif sel B dan bersinergis dengan IL-6 berperan besar dalam produksi IgA. Dikenal juga sebagai faktor differensiasi eosinofil dan patologis berperan pada penyakit alergi melalui sekresi eosinophil major basic protein dan neurotoksin akibat degranulasi eosinofil.

    IL-6 menjadi B-cell differentiating factor diproduksi oleh makrofag, endotel dan fibroblast. Fungsi utamanya adalah menginduksi sel B untuk berdiferensiasi menjadi sel pembentuk antibodi dan jika bersama IL-1 bertindak sebagai co-stimulator ekspresi reseptor IL-2 pada sel T.

    IL-8 diproduksi oleh makrofag dan endotel, terlibat dalam inflamasi dan migrasi sel, merupakaan inducer kuat kemotaksis neutrofil, sel T memori, monosit, dan basofil. IL-8 juga dikenal sebagai faktor angiogenik yang berperan serta pada peningkatan vaskularisasi beberapa tumor.

    IL-10 menjadi mediator penghambat produksi sitokin, menghambat INF, menghambat presentasi aantigen dan menghambat makrofag memproduksi IL-1, IL-6 dan TNF serta berperan dalam regulasi IgE. Diproduksi oleh sel Th0 dan Th2 dari sel T dan produksinya dihambat oleh INF. Disamping IL-10 berperan sebagai sitokin anti inflamasi, IL-10 juga bersinergi dengan sitokin lain dalam menstimulasi proliferasi sel B. Bersama TGF menyebabkan produksi IgA oleh sel B.

    TNF merupakan imunomodulator respon imun yang kuat memperantarai induksi molekul adhesi, produksi sitokin, aktifasi neutrofil, dan sinergi dengan sitokin lain bersifat mitogen terhadap endotel. Disekresi oleh beberapa sel antara lain oleh makrofag, sel T, sel B, dan sel NK. TNF yang

    Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 65

  • Manfaat Tonsilektomi

    disekresi oleh makrofag setelah berinteraksi dengan komponen bakteri.

    INF dikenal sebagai antivirus merupakan glikoprotein monomer yang dibuat oleh sel T aktif (Th0, Th1 dan CD8+) dan sel NK. INF pengaktif kuat bagi makrofag untuk menginduksi NO sintetase, TNF dan IL-1. Hal ini menjelaskan bagaimana sitokin meningkatkan kemampuan mikrobakterisidal makrofag. INF juga sinergis dengan beberapa sitokin lain, misalnya TNF memperantarai sitotoksisitas berbagai tipe sel.20 INDIKASI TONSILEKTOMI

    Saat ini indikasi tonsilektomi masih beragam. Di abad ke 20 tonsilektomi dilakukan karena tonsil merupakan fokus infeksi untuk penyakit sistemik seperti reumatisme. Menurut Ballenger (1997), tidak ada rumusan baku untuk indikasi tonsilektomi. Grey (1994) dan Simpson (1967) membagi indikasi tonsilektomi menjadi indikasi lokal, fokal dan umum, sedangkan Boies (1997) atas indikasi relatif dan indikasi absolut. Royal College Paediatric & Child Health / RCPCH (2000) dan Scottish Intercollegiate Guideline Network / SIGN (2001), tidak membagi indikasi tonsilektomi menjadi indikasi relatif dan indikasi absolut.

    Antoni W (2002) menyatakan bahwa kriteria pasien dirujuk untuk tonsilektomi adalah 1) ada riwayat abses peritonsiler, 2) ada riwayat obstruksi akibat hipertrofi tonsil, 3) ada riwayat empat atau lebih episode faringitis streptokokal yang telah dikonfirmasi laboratorium dalam 1 tahun atau sakit tenggorokan kronik dengan adenopati yang tidak responsif terhadap terapi selama 6 bulan atau lebih, 4) ada episode sakit tenggorokan yang mengganggu fungsi normal.7

    Rekomendasi kriteria rujukan indikasi tonsilektomi pada tonsilitis dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN) adalah adanya semua kriteria berikut 1) sakit tenggorokan disebabkan tonsilitis, 2) Lima atau lebih episode sakit tenggorokan tiap tahun, 3) gejala sekurangnya 1 tahun, dan 4) episode sakit tenggorokan mengganggu dan membatasi fungsi normal.

    Indikasi yang menjadi perdebatan adalah definisi tonsilitis kronis dan tonsilitis rekuren, di samping itu sampai sekarang belum ada definisi praktis tonsilitis yang jelas dan diterima secara luas. Hal ini menyulitkan penelitian mengenai tonsilitis. Paradise et al. (2003) mendefinisikan secara klinis sebagai sakit tenggorok dengan 1) suhu oral 38,3 C, 2) eksudat tonsil atau faring, 3) pembesaran > 2 cm atau nyeri tekan pada limfadenopati servikal dan 4) swab tenggorok menunjukkan Streptokokus hemolitikus grup A (SBHGA).8

    Capper dan

    Canter menyatakan bahwa kesepakatan gambaran diagnostik tonsillitis dan indikasi tonsilektomi sangat rendah. Indikasi yang paling banyak dianut adalah tonsillitis rekuren dan obstruksi traktus aerodigestif. Perbedaan definisi antara peneliti menyebabkan banyak penelitian sulit dibandingkan.9

    Simpson et al. (1967) dan Gray (1992) membedakan indikasi tonsilektomi dalam indikasi lokal, fokal dan general (umum). Yang termasuk indikasi lokal: 1) abses peritonsil, 2) tonsilitis rekuren, 3) tonsilitis kronis, 4) tonsil sebagai karier Streptococcus Beta Hemolyticus Group A (SBGA), 5)

    hipertrofi tonsil sehingga menyebabkan sumbatan jalan nafas dan saluran makanan yang gagal diatasi secara konservatif, 6) untuk pengambilan prosesus styloideus pada neuralgia, 7) kecurigaan keganasan jika biopsi tidak cukup. Yang termasuk indikasi fokal adalah: 1) adenitis servikal menetap, 2) infeksi saluran nafas atas berulang, 3) rematik akut berulang yang dihubungkan dengan tonsilitis, 4) glomerulonefritis akut yang dihubungkan dengan tonsilitis, 5) radang dan infeksi, konjungtiva, sendi dan fascia yang dihubungkan dengan tonsilitis. Yang termasuk indikasi umum adalah: berat badan tidak bertambah, malaise.

    Indikasi tonsilektomi menurut Adam (1996) dibagi atas

    indikasi absolut dan indikasi relatif. Indikasi absolut adalah: 1) timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan nafas kronis, 2) hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindrom apnea waktu tidur, 3) hipertrofi berlebihan menyebabkan disfagi dan penurunan berat badan, 4) biopsi eksisi kecurigaan keganasan, 5) abses peritonsil berulang atau abses yang meluas ke jaringan sekitarnya. Selain itu ada indikasi relatif yang masih dapat diterima yaitu: 1) serangan tonsilitis berulang yang tercatat, tonsilitis terkait streptokokus menetap dan patogenik (keadaan karier), 2) hipertrofi tonsil dengan obstruksi fungsional, 3) riwayat demam rematik, 4) radang tonsil kronis tidak responsif terhadap terapi medikamentosa.

    Rekomendasi indikasi tonsilektomi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN) adalah pasien yang memenuhi semua kriteria berikut: 1) Sakit tenggorokan disebabkan tonsilitis, 2) Lima atau lebih episode sakit tenggorok tiap tahun, 3) Gejala sekurangnya 1 tahun, 4) Episode sakit tenggorokan mengganggu dan membatasi fungsi normal.

    Pasien jarang dirujuk ke spesialis dalam kondisi akut, oleh sebab itu episode sakit dan disability pasien harus dikonfirmasi. Dianjurkan periode 6 bulan pengamatan untuk menentukan pola gejala sakit tenggorokan dan memberi kesempatan pasien mempertimbangkan secara penuh implikasi operasi. Saat keputusan tonsilektomi diambil, seharusnya segera dilakukan saat keuntungan maksimal sebelum penyembuhan alami terjadi. PEMBAHASAN

    Tonsilitis kronik sangat sulit diobati dan tonsilektomi lazim dilakukan. Tetapi tonsilektomi dapat menimbulkan ber-bagai masalah dan berisiko menimbulkan komplikasi seperti perdarahan, syok, nyeri pasca tonsilektomi, maupun infeksi.

    Kriteria pembedahan yang diterima luas saat ini adalah adanya 7 episode tonsilitis dalam satu tahun, 5 episode tonsilitis tiap tahun selama 2 tahun atau 3 episode tonsilitis tiap tahun selama 3 tahun. Kriteria lain yang sering dijadikan landasan adalah 1) Sakit tenggorokan disebabkan tonsilitis, 2) Lima atau lebih episode sakit tenggorokan tiap tahun, 3) adanya riwayat peritonsiler abses, 4) ada riwayat empat atau lebih episode faringitis streptokokus yang telah dikonfirmasi laboratorium dalam 1 tahun atau sakit tenggorokan kronik dengan adenopati yang tidak respon terhadap terapi selama 6 bulan atau lebih, 5) ada episode sakit tenggorokan yang menyebabkan gangguan fungsi normal.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 66

  • Manfaat Tonsilektomi

    Tonsilektomi perlu dipertimbangkan bila ada keyakinan tonsil sebagai fokus infeksi dan gagal dieradikasi dengan terapi antibiotika yang adekuat. Tindakan tonsilektomi dilakukan setelah meneliti kembali kegagalan pengobatan dengan antibiotika standar. Kegagalan terapi dapat pula diakibatkan karena organisme yang ada telah membentuk koloni yang tidak responsif terhadap terapi, organisme resisten terhadap terapi antibiotika standar atau penderita tidak patuh minum obat sesuai takaran.

    Tonsil sebagai sumber infeksi (focal infection) merupakan keadaan patologis akibat inflamasi kronis dan akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi organ lain. Hal ini dapat terjadi karena kripta tonsil dapat menyimpan bakteri atau produknya yang dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya..

    Tonsila palatina yang terpapar infeksi bakteri dan virus dapat merupakan sumber autoantibodi terhadap sejumlah sistem organ sehingga tonsil memainkan peranan penting terhadap patogenitas penyakit autoimun.. Tonsilitis fokal oleh virus atau bakteri dapat menghasilkan berbagai antigen yang mirip dengan bagian lain tubuh yang dapat memacu imunitas seluler (cell-mediated) maupun imunitas humoral sehingga terjadi komplek imun terhadap bagian lain tubuh seperti kulit, mesangium ginjal dan mungkin sendi kostoklavikula. Struktur tonsil dengan banyak tampaknya merupakan pintu gerbang bagi antigen asing dan merangsang respon imun pada tonsil.

    Tonsilektomi sering dilakukan pada tonsilitis kronik atau rekuren karena tonsil tersebut telah dekompensata dari segi imunologis. Pemeriksaan radioautografi elektron pada limfosit tonsil 20 penderita tonsilitis kronik dekompensata, menunjukkan di jaringan limfoid tonsil terjadi proliferasi limfosit T dan B dengan differensiasi jelek. Proses ini ditunjukkan dengan kuatnya inkorporasi 3H+-thymidine berbagai tipe limfosit yang berbeda. Tingginya inkorporasi prekursor radioaktif pada limfosit B menunjukkan terjadinya diferensiasi menetap pada populasi limfosit ini. Esensinya bahwa limfosit B menunjukkan menetapnya produksi maksimal substrat protein aktif yang memperantarai imunitas humoral pada tonsilitis kronik.21

    Penelitian Unal et al. menggunakan desain before and after, mengenai kadar sitokin (IL-1, IL-4, IL-6, IL-8 dan TNF-) pada penderita tonsilitis kronik yang menjalani tonsilektomi. Didapatkan penurunan kadar sitokin IL-1, IL-6, dan IL-8 setelah tonsilektomi. Peningkatan IL-1 dan IL-6 bertanggung jawab terhadap efek sistemik tonsilitis kronik seperti demam rematik, pustulosis palmaris ataupun glomerulonefritis akut.

    Penyakit nefropati Ig A, yang ditandai dengan adanya deposit Ig A terutama di mesangium glomerulus, sering terjadi setelah ISPA seperti tonsilitis atau faringitis. Tonsil sebagai sumber infeksi fokal bertanggung jawab pada peningkatan sirkulasi komplek imun Ig A nefrogenik. Suzuki et al. (2003) menyebutkan bahwa pada pasien nefropati Ig A ditemukan deposit membran luar Haemophilus parainfluensa di glomerulus dan peningkatan serum Ig A terhadap antigen membran luar Haemophilus parainfluensa.23

    Tonsilektomi tidak mencegah terjadinya sakit

    tenggorokan berulang. Hasil penelitian Paradise et al. menunjukkan angka kejadian sakit tenggorokan pada tahun pertama kunjungan pada kelompok yang menjalani tonsilektomi 1,96 (P= 0,02); kelompok adenotonsilektomi 1,85 (P= 0,01); dan kelompok kontrol 2,78. Pada tahun ke dua masing-masing menjadi 1,59 (P= 0,01); 1,78 (P= 0,01); dan 2,85. Pada tahun ke tiga kelompok tonsilektomi 1,19 (P=0,002); kelompok adenotonsilektomi 1,36 (P= 0,01); dan kelompok kontrol 2,25. Insiden infeksi sakit tenggorokan di kelompok tonsilektomi atau adenotonsilektomi lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol selama 3 tahun follow up. Sedangkan kejadiaan sakit tenggorokan di kelompok yang menjalani tonsilektomi saja dan di kelompok adenotonsilektomi tidak berbeda bermakna.24

    Dengan desain case series atas 290 penderita peritonsiler abses, Kronenberg et al. (1987) mendapatkan bahwa penderita tonsilitis rekuren memiliki angka kekambuhan abses peritonsiler lebih besar dibandingkan dengan yang tanpa riwayat tonsilitis rekuren (40% berbanding 10.5%, nilai p= 0.0001). Tindakan konservatif tanpa tonsilektomi memberikan angka kekambuhan 22%.

    Gangguan fungsi pada penderita tonsilitis kronik dan dampaknya terhadap kualitas hidup telah banyak diteliti. Penderita tonsilitis kronik yang terganggu fungsi respirasi dan deglutisi mengalami penurunan kualitas hidup, meningkatkan biaya perawatan kesehatan dan kehilangan waktu untuk sekolah atau bekerja. Obstructive sleep apnea syndrome (OSAS), yang prevalensinya 1 3 % pada anak TK dan usia sekolah, menimbulkan masalah kesulitan bernafas malam hari terutama saat tidur, gangguan emosional, gangguan perilaku dan gangguan neurokognitif.

    Penelitian before and after surgery oleh Goldstein et al. menggunakan Child behavior checklist (CBCL) dan OSA-18 (18 item berkaitan survai QOL pada penderita OSAS) menilai 64 pasien obstruksi saluran nafas dan atau tonsilitis. Hasil penelitian menyebutkan bahwa gangguan perilaku dan emosional ditemukan pada anak dengan OSAS sebelum diobati dan membaik setelah adenotonsilektomi. Skor CBCL menunjukan korelasi signifikan dengan skor QOL (OSA-18).

    Penelitian Lianne et al. dengan desain prospektif, observasional, before and after trial, atas 101 pasien OSD (obstructive sleep disorders) yang menjalani adenotonsilektomi; menggunakan OSD-6, yang meliputi keluhan fisik, gangguan tidur, kesulitan bicara, kelainan menelan, distress emosional, keterbatasan fisik, dan perhatian orang tua. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hampir 90% anak yang menjalani tonsilektomi mengalami peningkatan QOL setelah pembedahan - 75% perbaikan besar dan 6% perbaikan sedang.

    Neil et al. meneliti daya guna tonsilektomi pada dewasa dan menentukan pengaruhnya terhadap QOL. Desain yang dipakai cross-sectional, menggunakan parameter Glasgow Benefit Inventory (GBI) meliputi demografi, penggunaan antibiotik, kunjungan pasien, kehilangan waktu kerja disebabkan tonsilitis kronik selama 12 bulan sebelum dan setelah tonsilektomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tonsilektomi pada dewasa memberikan perbaikan QOL pasien.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 67

  • Manfaat Tonsilektomi

    Tonsilektomi juga menurunkan pemakaian sarana kesehatan dan waktu kerja yang hilang.

    5. Ulina S. Hasil guna ketoprofen dalam mengatasi nyeri pasca tonsilektomi. Karya Akhir Bagian Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. RSUP DR. Sardjito/FK UGM. 2002. Keuntungan tonsilektomi secara ekonomi diteliti oleh

    Bhattacharyya et al. menggunakan break even time analysis model pada 83 pasien yang menjalani tonsilektomi karena tonsilitis kronik, menggunakan GBI dan kuesioner untuk menilai sebelum dan setelah tonsilektomi. Dalam 1 tahun terdapat penurunan pemakaian antibiotik, kunjungan pasien ke dokter dan hari kerja yang hilang. Break even point keseluruhan tonsilektomi dicapai pada 2,3 tahun. Berdasar fakta tersebut dapat disimpulkan tonsilektomi menurunkan pemakaian fasilitas kesehatan, meminimalkan economic burden tonsilitis kronik pada populasi dewasa.

    6. Royal College Paediatric & Child Health. Management of acute and recurring sore throat and indication for tonsillectomy. RCPCH. London. 2000.

    7. Anthony WC. Pharyngitis and Tonsillitis. In Best Practice of Medicine. [email protected]. 2002.

    8. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn K, Benard BS, Rockette HE, Lasky MK. Tonsillectomy and adenotonsilectomy for recurrent throat infection in moderately affected children. Pediatrics 2002;110: 7-15.

    9. Ballanger JB. Penyakit telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Ed.13. Binarupa Aksara. Jakarta: 318-323.

    10. Gray RF, Hawthrorne M. Anatomy of the mouth and pharynx. In: Synopsis of Otolaryngology. 5th.ed. Singapore: Butterworth Heinemann 1992: 288 304.

    11. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Applied anatomy and physiology mouth and pharynx. In: Richard AB (ed). Ear, Nose and Throat Disease, a pocket reference. 2nd rev.ed. New York: Thieme Flexibook 1994:307 -315.

    KESIMPULAN

    12. Adam GL. Penyakit penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Boies Buku Ajar Penyakit THT. Edisi bahasa Indonesia. EGC Jakarta 1996: 337 345.

    Tonsilektomi merupakan tindakan operasi bidang THT tersering. Indikasi tonsilektomi yang diterima luas pada saat ini adalah tonsilitis kronik dengan 7 atau lebih episode sakit tenggorok akibat tonsilitis dalam 1 tahun atau 5 episode/tahun dalam dua tahun dan 3 episode/tahun dalam 3 tahun. Indikasi lain adalah riwayat abses peritonsilar, karier SBHGA, dan gangguan fungsi.

    13. Ballantyne J, Groves J. Acute infection of the pharynx and tonsil. Scott Browns Otolaryngology. 5th ed. Butterworth. London, Sydney. Durban Toronto: 1987. 76 98.

    14. Nave H, Gebert A, Pabst. Morphology and immunology of the human palatine tonsil. Anat Embryol 2001;204: 367-373.

    15. Bernstein JM, Yamanaka N, Nadal D. Imunobiology of the tonsil and adenoid. In Handbook of Mucosal Immunology. Academic Press Inc.: 1994. pp. 625-640.

    Pada tonsilitis kronik terjadi penurunan fungsi imunitas tonsil. Penurunan fungsi ditunjukkan melalui peningkatan deposit antigen persisten pada jaringan tonsil sehingga terjadi peningkatan regulasi sel-sel imunokompeten berakibat peningkatan insiden sel yang mengekspresikan IL-1, TNF-, IL-6, IL-8, IL-2, INF-, IL-10, dan IL-4.

    16. Subowo. Imunobiologi. 10 th

    ed.. Bandung:Angkasa, 1993. 17. Simpson JF, Robin IG, Ballantyne JC, Groves J. A synopsis of

    otolaryngology. 2nd ed. Bristol: John Wright and Sons Ltd. 1967. p: 189-193.

    18. Mawson SR. Disease of the tonsil and adenoid. In: The Disease of the Ear, Nose and Throat. London: Butterworth 1977; 3: 123 170. Tonsilektomi harus dengan indikasi tepat mengingat

    peranan tonsil sebagai bagian sistem pertahanan tubuh. Penelitian menunjukkan bahwa pada tonsilitis rekuren atau kronik, tonsilektomi menurunkan angka kejadian sakit tenggorok, meningkatkan QOL, menurunkan pemakaian fasilitas kesehatan dan meminimalkan beban ekonomi penderita tonsilitis. Pada anak-anak hendaknya dikerjakan pada tonsilitis kronik yang telah mengganggu fungsi normal seperti obstructive sleep disorders dan gangguan fungsi digesti. Sedang pada kasus Ig A nefropati, palmaris pustulosa, demam rematik tonsilektomi dikerjakan untuk menghilangkan fokus infeksi.

    19. Agren K, Anderson U, Nordlander B, Nord CE, Linde A, Ernberg I et al. Upregulated local cytokine production in recurrent tonsillitis compare with tonsillar hypertrophy. Acta Otolaryngol 1995;115: 689-696.

    20. Male D, Cooke A, Owen M, Trowsdale J, Champion B. Advance Immunology. 3 rd ed. Mosby Year Books. London. 1996.

    21. Chikovani NV, Gabuniia UA, Lomaia TG. Morphology of the palatine tonsils lymphocytes in chronic tonsillitis using data of electron microscopic radioautography. Arch Pathol 1989;51: 55-59.

    22. Murat U, Oztruck C, Gorur K. Effect of tonsillectomy on serum concentration of Interleukin and TNF in patients in chronic tonsillitis. Otorhinolaryngol 2002;64: 254 256.

    23. Suzuki S, Fujieda S, Sunaga H, Yamamoto C, Kimura H, Gejyo F. 2000. Synthesis of immunoglobulins against Haemophilus parainfluenza by tonsillar lymphocyte from patients Ig A nephropaty. Nephrol Dial Transplant 15: 619-624. 24. Paradise JL, Bluestone CD, Colborn DK, Benard BS, Rockette HE, Kurs-Lasky M. Tonsilectomy and adenotonsilectomy for rekuren throat infection in moderately affected children. Pediatrics 2002; 110: 7-15.

    25. Kronenberg J, Wolf M, Leventon G. Peritonsilar absess: recurrence rate and indications of tonsillectomy. Otolaryngol 1987;8: 82-84. KEPUSTAKAAN 26. Goldstein NA, Fatima M, Campbell TF, Rosenfeld RM. Child behaviour and quality of life before and after tonsillectomy and adenoidectomy. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2002;128: 770-775.

    1. Quinn FB, Ryan MB. The tonsil and adenoid in pediatric patient. In

    Grand Round Presentation, UMTB, Dept. Otolaryngology. www. UMTB.edu. 2002.

    27. Lianne M. Impact of adenotonsilectomy on quality of life in children with obstructive sleep disorders. Arch otolaryngol head neck surg., 2002;128:489-496. 2. Timms MS, Temple RH. Coablation tonsillectomy: a double blind

    randomized controlled study, J Laryngol. Otol. 2002; 116: 450-.2. 28. Bhattacharyya N, Kepness LJ, Shapiro J. Efficacy and quality of life impact of adult tonsillectomy. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2001; 127: 1347-1350. 3. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of sore throat and indications for tonsilectomy. www.show.scot. nhs.uk. 1999 29. Bhattacharyya N,Kepness LJ.Economic benefit of tonsilectomy in adults with chronic tonsillitis. Ann Otol Rhinol Laryngol 2002;111: 983-8. 4. Paparella MM. Otolaryngology. Philadelphia: WB Saunders 1980: 417- 19.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 68

  • Kuman Penyebab Sinusitis Maksila

    HASIL PENELITIAN

    Pola Kuman Aerob Penyebab

    Sinusitis Maksila Kronis

    Delfitri Munir, Beny Kurnia

    Poliklinik THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/ Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan, Sumatera Utara, Indonesia

    ABSTRAK

    Bakteri penyebab sinusitis maksila kronis banyak macamnya, baik anaerob maupun yang aerob. Pada kesempatan ini kami hanya meneliti bakteri aerob saja.

    Penelitian ini bersifat prospektif deskriptif dari Juli 2000 s/d Juni 2001. Penderita yang memenuhi kriteria berjumlah 40 penderita dengan bakteri aerob terbanyak adalah Streptokokus pneumonia. Kata Kunci: Sinusitis maksila kronis, bakteri aerob.

    PENDAHULUAN Istilah sinusitis telah dikenal luas oleh masyarakat awam

    dan merupakan salah satu penyakit yang sering dikeluhkan dengan berbagai tingkatan gejala klinik.1 Harus dipahami bahwa hidung dan sinus paranasal merupakan bagian dari sistem pernafasan2 sehingga infeksi yang menyerang bronkus, paru dapat juga menyerang hidung, sinus paranasal dan sebaliknya2. Infeksi sinus paranasal yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maksila.3

    Sinusitis adalah proses peradangan mukosa yang melapisi sinus4. Secara klinis sinusitis dikatakan kronis bila gejalanya berlangsung lebih dari 3 bulan.1,3 Gambaran klinis yang dapat dijumpai adalah hidung tumpat, ingus kental, cairan mengalir di belakang hidung, hidung berbau, penciuman berkurang, nyeri kepala, sekret di meatus media, riwayat hidung berdarah, dan batuk 5.

    Faktor-faktor fisik, kimia, saraf, hormonal atau emosional dapat mempengaruhi mukosa hidung yang selanjutnya dapat mempengaruhi mukosa sinus2. Pada umumnya, infeksi sinus kronik lebih sering dijumpai pada daerah beriklim lembap dan dingin2. Defisiensi nutrisi, kelelahan, kesegaran fisik yang menurun, dan penyakit sistemik juga penting dalam etiologi sinusitis2. Perubahan faktor lingkungan seperti udara dingin, panas, kelembapan, kekeringan dan polusi udara termasuk asap tembakau juga merupakan predisposisi infeksi2. Faktor lokal yang juga dapat merupakan predisposisi penyakit sinus antara lain deformitas tulang2, alergi1,2,4, keadaan gigi geligi2,4, benda asing1,2,6, tumor1,2,5,6, polip nasi1,5-,9, deviasi

    septum1,2,5,7,8, parut stenotik ostium sinus6,7, konka hipertrofi1, rinolit1.

    Bakteri-bakteri penyebab sinusitis kronik antara lain Pneumokokus2,5,10, Streptokokus2,5, Stafilokokus2,5,10, Hemofilus influensa2,5,7,10, kokus gram positif anaerob2, Klebsiella2, batang gram negatif2, Streptokokus pneumonia7,11 Stafilokokus aureus7,11, Branhamella katarrhalis7,11, Streptokokus hemolitikus4,10, Mikrokokus katarrhalis5, E.koli10, Pseudomonas11.

    Untuk mendapatkan jenis bakteri penyebab dapat dilakukan kultur sekret hidung anterior, namun kecil artinya dalam kaitan dengan sinusitis. Cara lain yang lebih akurat adalah melalui bagian belakang hidung, namun sulit dilakukan. Untuk mendapatkan hasil kultur yang lebih spesifik, sekret diambil dari irigasi sinus maksila.2

    Makna klinis kultur bakteri positif pada sinusitis sulit diperkirakan. Kontaminasi dari permukaan kolonisasi mukosa sinus mungkin sulit dibedakan dari keterlibatan tulang atau intramukosa yang sebenarnya. Terlebih lagi, pewarnaan Gram sering tidak dapat memperlihatkan adanya bakteri walaupun secara endoskopi terbukti sinusitis aktif.12 Pada sinusitis akut dan kronik sering terlibat lebih dari satu jenis bakteri2. Dengan demikian untuk menentukan antibiotik yang tepat harus diketahui benar jenis bakterinya penyebab sinusitisnya. JENIS PENELITIAN

    Penelitian ini bersifat prospektif deskriptif, data diambil secara cross sectional.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 69

  • Kuman Penyebab Sinusitis Maksila

    SUBYEK DAN BAHAN : Subjek penelitian terdiri dari penderita sinusitis maksila

    kronik yang berobat ke Poliklinik THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan dari bulan Juli 2000 s/d Juni 2001, dengan kualifikasi :

    a. Kriteria inklusi : i. Semua penderita sinusitis maksila kronis dengan keluhan

    lebih dari 3 bulan yang baru pertama datang berobat ke poliklinik THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan

    ii. Penderita berusia di atas 15 tahun iii. Hasil foto Sinus Paranasal menunjukkan Sinusitis Maksila

    berupa perselubungan atau air fluid level iv. Bersedia ikut serta dalam penelitian. b. Kriteria eksklusi : i. Ibu hamil dan menyusui ii. Pada saat punksi tidak dijumpai sekret. iii. Tidak dijumpai pertumbuhan kuman pada tes kepekaan iv. Tidak sesuai dengan kriteria (a) Alat / Bahan Penelitian : - Alat pemeriksaan THT rutin - Alat irigasi sinus (Trokard) - Syringe steril 10 ml - Selang kecil dari wing needle no. 23 - Media pertumbuhan kuman (blood agar) CARA Pada penderita yang memenuhi kriteria inklusi dilakukan ; 1. Anamnesis yang berhubungan dengan keluhan pasien 2. Pemeriksaan THT rutin 3. Foto polos sinus paranasal

    Setelah ditegakkan diagnosis sinusitis maksila kronik secara klinis dan radiologis, dilakukan pungsi sinus dari meatus inferior. Jika dijumpai sinusitis maksila kronis dupleks, dipilih satu sinus yang secara radiologis dan klinis lebih berat. Sebelum cairan pencuci dimasukkan, terlebih dahulu sekret di dalam sinus maksila dihisap menggunakan syringe steril yang di ujungnya tersambung selang kecil. Syringe berisi sekret tersebut langsung ditutup secara steril dan segera dibawa ke Laboratorium Patologi Klinik RS HAM untuk dilakukan pemeriksaan kultur dan tes kepekaan.

    Data yang terkumpul diolah dan disajikan dalam bentuk tabel serta diagram. Tabel 4.1. Distribusi umur dan jenis kelamin penderita sinusitis maksila

    kronik

    Jenis k el a m i n No Kelompok Umur (thn) Pria % Prmpn %

    Jml %

    1. 15 24 3 7,5 3 7,5 6 15 2. 25 34 8 20 8 20 16 40 3. 35 44 5 12,5 5 12,5 10 25 4. 45 54 1 2,5 3 7,5 4 10 5. > 55 2 5 2 5 4 10

    JUMLAH 19 47,5 21 52,5 40 100

    HASIL PENELITIAN Sampel yang terkumpul sebanyak 40 penderita. Tabel 4.1 menunjukkan penderita sinusitis maksila kronik

    terbanyak berusiar 25 34 tahun (16 penderita - 40%) dan terendah pada kelompok umur > 50 tahun (4 penderita - 10%). Perempuan lebih banyak dengan perbandingan 1,1 : 1. Tabel 4.2. Distribusi keluhan / gejala klinis pada penderita sinusitis

    maksila kronik

    Keluhan Jumlah % Hidung tumpat 38 95 Cairan mengalir di belakang hidung 37 92,5 Sakit kepala 37 92,5 Penciuman berkurang 25 62,5 Ingus kental 22 55 Hidung berbau 20 50 Batuk 19 47,5 Riwayat hidung berdarah 3 7,5

    Keluhan utama penderita yang terbanyak adalah hidung

    (38 kasus - 95%), dan yang terendah adalah riwayat hidung berdarah (3 kasus - 7,5%). Semua penderita datang dengan keluhan lebih dari satu. (tabel 4.2 )

    Diagram 4.1. Distribusi gambaran foto polos sinus paranasal pada

    penderita sinusitis maksila kronik. Gambaran foto polos sinus paranasal pada penderita

    sinusitis maksila kronik terutama berupa perselubungan sinus (36 kasus - 90%). (Diagram 4.1)

    Tabel. 4.3. Distribusi kuman aerob pada pemeriksaan kultur dari penderita sinusitis maksila kronik.

    No Jenis kuman Jumlah Persentase 1. Streptokokus 18 45 2. Pseudomonas sp 8 20 3. Streptokokus piogenes 5 12,5 4. Klebsiela pneumonia 5 12,5 5. Pseudomonas 2 5 6. Proteus sp 1 2,5 7. Klebsiela oksitoka 1 2,5

    Pemeriksaan kultur terhadap sekret sinus maksila

    mendapatkan kuman aerob terbanyak adalah Streptokokus pneumonia (18 kasus - 45%), diikuti Pseudomonas sp 8 kasus (20%), Streptokokus piogenes dan Klebsiela pneumonia masing-masing 5 kasus (12,5%). Pada penelitian ini tidak dijumpai lebih dari 1 kuman aerob pada satu sediaan. (Tabel 4.3)

    90%Perselubungan = 36

    Air-fluid level = 410%

    Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 70

  • Kuman Penyebab Sinusitis Maksila

    Tabel 4.4. Pola antibiotika yang paling sensitif pada tes sensitivitas dari penderita sinusitis maksila kronik

    No Jenis antibiotika Jumlah 1. Streptomisin 19 2. Rifampisin 19 3. Kanamisin 16 4. Gentamisin 15 5. Doksisiklin 14 6. Tetrasiklin 14 7. Eritromisin 10 8. Siprofloksasin 10 9. Ampisilin 9

    10. Negram (Asam Nalidiksik) 9 11. Linkomisin 8 12. Kloramfenikol 6 13. Amoksisilin 5 14. Trimetoprim 5 15. Fosmisin 1 16. Dibekasin 1 17. Imipenam 1 18. Cefdinir 1

    Antibiotika yang sensitif untuk terapi sinusitis maksila

    kronik terutama adalah Streptomisin, Rifampisin, Kanamisin dan Gentamisin dalam bentuk injeksi. Antibiotika oral yang sensitif terbanyak adalah Doksisiklin, Tetrasiklin, Eritromisin, dan Siprofloksasin (tabel 4.4). PEMBAHASAN

    Penderita yang diikutkan dalam penelitian ini dimulai dari usia 15 tahun untuk memudahkan pemeriksaan karena lebih kooperatif.

    Umur penderita terutama 25 34 tahun (16 penderita - 40%). (tabel 4.1). Peneliti lain mendapatkan umur terbanyak 21 30 tahun13. Di Medan (1998) umur terbanyak adalah 18 27 tahun (60%)14, Di Semarang (1999)15 umur terbanyak 20 29 tahun. Alfian Taher (Medan, 1999) 16 mendapatkan umur penderita terbanyak 15 24 tahun (36,85%). Melania & Samsul (Malang,1999) 17 mendapatkan umur terbanyak 30 40 tahun. Elfahmi (Medan, 2001)18 mendapatkan umur terbanyak adalah 35 44 tahun (12 orang - 30%).

    Dari data di atas terlihat bahwa sinusitis maksila kronik lebih banyak menyerang dewasa muda.

    Dalam penelitian ini jumlah penderita perempuan 21 penderita (52,5%), laki-laki 19 penderita (47,5%). Massudi (Semarang, 1991)19 mendapatkan laki-laki 48,5% dan perempuan 51,5%. Benninger MS (1996)20 dari 100 penderita sinusitis maksila kronis didapatkan laki-laki 45 orang dan perempuan 55 orang. Ika S & Mulyarjo (Surabaya, 1998) 21 mendapatkan laki-laki 29 orang dan perempuan 40 orang. Muyassaroh & Suprihati (Semarang, 1999) 15 mendapatkan laki-laki 29 orang dan perempuan 23 orang. Melania S & Samsul I (Malang, 1999)17 mendapatkan penderita laki-laki 21 orang dan perempuan 19 orang. Pramono (Semarang, 1999)22 mendapatkan 34 penderita laki-laki dan 37 perempuan, sedangkan Elfahmi (Medan, 2001)18 dari 40 penderita

    sinusitis maksila kronis didapat laki-laki 21 orang (52,5%) dan perempuan 19 orang (47,5%).

    Dari data di atas tampak bahwa dalam penelitian kami ini tidak berbeda jauh dari penelitian lain.

    Keluhan penderita sinusitis maksila kronis dalam penelitian ini yang terbanyak adalah hidung tumpat (38 kasus - 95%) diikuti dengan cairan mengalir di belakang hidung dan sakit kepala masing-masing 37 kasus (92,5%), penciuman berkurang sebanyak 25 kasus (62,5%) (tabel 4.2). Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa penderita sinusitis maksila kronis pada umumnya mengeluh hidung tumpat, gangguan faring, dan nyeri kepala. Hal yang sama juga didapatkan Massudi (Semarang, 1991)19 yang keluhan utama penderitanya adalah hidung tersumbat dan nyeri kepala. Benninger (1996)20 juga mendapatkan keluhan terbanyak penderita sinusitis maksila kronis berupa hidung tersumbat.

    Gambaran foto polos sinus paranasal yang terbanyak adalah perselubungan (36 kasus - 90%) sisanya air-fluid level (4 kasus-10%). (diagram 4.1). Nuti W Nizar (Jakarta, 1995)23 mendapatkan gambaran perselubungan pada foto polos sinus paranasal sebanyak 87,04%; air-fluid level 9,26%. Elfahmi (Medan, 2001)18 mendapatkan gambaran perselubungan (23 sinus - 57,50%), dan air-fluid level ( 3 sinus - 7,50%).

    Dari pemeriksaan kultur, kuman penyebab terbanyak dalam penelitian ini adalah Streptokokus pneumonia (18 kasus - 45%), diikuti Pseudomonas sp (8 kasus - 20%), Streptokokus piogenes dan Klebsiella pneumonia masing-masing 5 kasus (12,5%). (Tabel 4.3).

    Legent F dkk (Prancis, 1994)24 menemukan kuman penyebab sinusitis maksila kronis yang terbanyak adalah Stafilokokus aureus, diikuti Hemofilus influensa, Streptokokus pneumonia. Sedangkan Fombeur dkk (Paris, 1994)25 menemukan kuman Streptokokus pneumonia sebagai penyebab terbanyak dari sinusitis maksila kronis, diikuti oleh Stafilokokus aureus dan Hemofilus influenza, Moraksela kataralis dan Korinebakterium sp.

    Ika S dan Mulyarjo (Surabaya, 1998) dari 57 penderita dalam penelitiannya menemukan spektrum kuman aerob yang terbanyak pada sinusitis maksila kronis adalah Stafilokokus aureus 15 penderita (33,3%), Streptokokus pneumonia dan Streptokokus viridans masing-masing 8 penderita (17,8%), Pseudomonas aeruginosa 5 penderita (11,1%), Klebsiella pneumonia dan E.koli masing-masing 3 penderita (6,7%).21

    Dari 24 kasus di Semarang (1999), Enterobakter merupakan kuman terbanyak yang menyebabkan sinusitis maksila kronis yaitu 11 penderita (45,8%). Kemudian diikuti oleh Stafilokokus epidermidis 8 penderita (33,3%), Klebsiella 2 penderita (8,3%).15

    Sedangkan di Malang (1999) 20% kuman penyebab sinusitis maksila kronis odontogenik adalah Stafilokokus epidermidis, diikuti oleh Pseudomonas aeruginosa 17,5%; Streptokokus viridans 7,5% dan Asinobakter anitratus 2,5%.17

    Penelitian di West Virginia (2000) menemukan kuman terbanyak adalah Stafilokokus epidermidis (30%), diikuti oleh Moraksella kataralis (6%), Streptokokus pneumonia (5%), Stafilokokus aureus (3%). Mereka tidak menjumpai pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa, Hemofilus influensa

    Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 71

  • Kuman Penyebab Sinusitis Maksila

    atau Streptokokus piogen.26Pada 83 penderita sinusitis maksila kronis di New York,

    kuman yang terbanyak Stafilokokus koagulase negatif 31% diikuti Hemofilus influensa 25%, Streptokokus pneumonia 12%, Moraksella kataralis 10%, Pseudomonas aeruginosa 7%, Streptokokus hemolitikus alfa 5% dan Stafilokokus aureus 3%.27

    Pada tabel 4.5. terlihat antibiotika yang sensitif untuk penanganan sinusitis maksila kronis adalah Streptomisin, Rifampisin, Kanamisin, Gentamisin; namun obat-obat tersebut berbentuk injeksi. Dari tabel tersebut juga dapat dilihat beberapa obat antibiotika oral yang sensitif terbanyak untuk terapi sinusitis maksila kronis yaitu Doksisiklin, Tetrasiklin, Eritromisin, dan Siprofloksasin.

    Siprofloksasin sama efektifnya dengan Amoksisilin Asam klavulanat.24

    Pada 40 penderita sinusitis maksila kronik odonto-genik, Tetrasiklin masih sensitif pada 14 kasus, Kloramfenikol 10 kasus, Eritromisin 10 kasus, dan Amoksisilin 10 kasus.17

    Sedangkan di Semarang (1999) kepekaan beberapa kuman terhadap Ampisilin sangat rendah yaitu 41,7%; terhadap Tetrasiklin 62,5%; Kloramfenikol 66,7%; Gentamisin 83,3% dan Kotrimoksazol 95,8% tetapi semuanya sensitif terhadap Amikasin, Cefipim dan Levofloksasin.15 KESIMPULAN 1. Kuman aerob terbanyak yang menyebabkan sinusitis

    aksila kronis pada pemeriksaan kultur adalah Streptokokus pneumonia (45%), yang diikuti Pseudomonas sp (20%), Streptokokus piogenes dan Klebsiela pneumonia masing-masing (12,5%).

    2. Jenis antibiotika yang sensitif terutama adalah Streptomisin, Rifampisin, Kanamisin, dan Gentamisin, namun dalam bentuk injeksi. Ada beberapa obat antibiotika oral yang sensitif yaitu terbanyak Doksisiklin, Tetrasiklin, Eritromisin, dan Siprofloksasin.

    KEPUSTAKAAN 1. Endang Mangunkusumo. Sinusitis. Dalam: Kumpulan Makalah

    Simposium Sinusitis. Jakarta: 1999. 2. Purnaman SP, Nusyirwan Rifki. Sinusitis. Dalam : Nurbaiti Iskandar,

    Efiaty AS, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok. Edisi pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1990: 122-29.

    3. Colman BH. Sinusitis. In : Hall & Colmans, Diseases of the Nose, Throat and Ear, and Head and Neck. A Handbook for Students and Practitioners. 14th ed. Singapore: Longman Singapore Publ. Pte Ltd. 1993: 49-54.

    4. Adam GL, Boies LR, Paparella MM. Acute and Chronic Sinuses Diseases. In: Boies Fundamentals of Otolaryngology. 5th ed. Philadelphia.: W Saunders Co. 1978: 393- 414.

    5. Weir N, Goldingwood DG. Infective Rhinitis and Sinusitis. In: Mackay IS, Bull TR eds. Scott-Browns Otolaryngology. Rhinology. vol. 4. 6th ed. Great Britain: Butterworth-Heinemann. 1997: 4/8/1 - 4/8/49.

    6. Magbool M. Sinusitis. In: Textbook of Ear, Nose and Throat Diseases. 6th ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publ Pvt. Ltd. 1993: 282-301.

    7. Hybels RL. Sinus Disorders. In: Katz AE ed. Manual of Otolaryngology-Head and Neck Therapeutics. Philadelphia: Lea &

    Febiger 1986: 165-77. 8. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR et al. Inflammation of the Sinuses.

    In: Ear, Nose, and Throat Diseases, A Pocket Reference. 2nd ed. New York: Georg Thieme Verlag. 1994: 224-53.

    9. Wilson WR, Montgomery WW. Infectious Diseases of the Paranasal Sinuses. In: Paparella MM et al. (eds.). Otolaryngology. Volume III. Head and Neck. 3rd ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 1991: 1843-59.

    10. Maran AGD. Chronic Sinusitis. In: Logan Turners Diseases of the Nose, Throat and Ear. 10th ed. Singapore: PG Publ.Pte Ltd. 1990: 42-50.

    11. Ballenger JJ. Infeksi Sinus Paranasal. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Alih Bahasa Staf Ahli Bagian THT RSCM-FKUI Indonesia. edisi 13. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. 1994: 232-46.

    12. Hwang PH, Montone KT, Gannon FH et al. Application of In Situ Hybridization Techniques in the Diagnosis of Chronic Sinusitis. Am J Rhinol. 1999; 13(15): 335-38

    13. Moerseto, dkk. Aspek Alergi pada Sinusitis Maksila Kronis. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS XII Semarang. Balai Penerbit Univesitas Diponegoro Semarang 1999: 461-67

    14. Rizal A. Lubis. Uji Banding Irigasi Sinus Maksila Melalui Meatus Nasi Inferior dengan Fosa Kanina. Bagian THT FK USU. Medan. 1998; 54-55. Tesis.

    15. Muyassaroh, Suprihati. Resistensi Beberapa Kuman Penyebab Sinusitis Maksila terhadap Ampisilin di SMF Kesehatan THT RSUP Dr. Kariadi Semarang. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres Nasional XII- Perhati

    16. Alfian Taher. Uji Banding Antara Hasil Foto Polos Sinus Paranasal dan Punksi Sinus Maksila untuk Ketepatan Diagnosis Adanya Pus Pada Sinusitis Maksila Kronis Unilateral. Bagian THT FK USU Medan. 2000. 1-65. Tesis.

    17. Melania S, Samsul I. Pola Kuman Sinusitis Maksilaris Odontogenik dan Efektivitas Pemakaian Antibiotika. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres Nasional XII-Perhati Semarang, 28-30 Okt. 1999. Semarang: Balai Penerbit Univesitas Diponegoro Semarang. 1999: 469-85

    18. Elfahmi. Gambaran Klinis Ostio Meatal pada Sinusitis Maksila Kronis dengan Pemeriksaan Nasoendoskopi. Bagian THT FK USU Medan. 2001; 63-66. Tesis.

    19. Massudi RH. Pola Kuman Aerob dan Kepekaan in vitro pada Sinusitis Maksila Kronis di RS Dr. Kariadi Semarang. Dalam : Kumpulan Naskah PIT Perhati Batu Malang. 1996; 766-73

    20. Benninger M. Nasal Endoscopy. Its Role in Office Diagnosis. Am. J.Rhinol. 1977;II(2):172-78

    21. Ika S Utami, Mulyajo. Spektrun Kuman Sinusitis Maksilaris dan Uji Resistensi terhadap Beberapa Antibiotika. Dalam : Kumpulan Naskah Ilmiah Kongres Nasional XII- Perhati Semarang, 28-30 Oktober 1999. Semarang: Balai Penerbit Univesitas Diponegoro Semarang. 1999:524-35

    22. Pramono, dkk. Rinitis Alergi Perenial Sebagai Salah Satu Faktor Resiko Sinusitis Maksila Kronis. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS Perhati XII. Semarang. Balai Penerbit Univesitas Diponegoro Semarang. 1999; 693-703

    23. Nuti W Nizar, Soetjipto D. Temuan Sinuskopi pada Pasien Sinusitis Maksila Kronis. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah KONAS Perhati XI. Yogyakarta. 1995; 179-88

    24. Legent F, Bordure PH, Beauvillain C, Berehe P. A Double Blind Comparison of Ciprofloxacin and Amoxicillin/Clavulanic Acid in the Treatment of Chronic Sinusitis. In: Schnfeld H, Bergan T, Boger WP et al, eds. Chemotherapy, Internat. J. Experiment. Clin. Chemother. 1994; 40 Suppl 1::8-15

    25. Fombeur JP, Barrault S, Koubbi G, et al. Study of the Efficacy and Safety of Ciprofloxacin in the Treatment of Chronic Sinusitis. In: Schnfeld H, Bergan T, Boger WP et al, eds. Chemotherapy, Internat. J. Experiment. Clin. Chemother. 1994;40. Suppl 1: 24-28

    26. Keech DR, Ramadan H, Mathers P. Analysis of Aerobic Bacterial Strains Found in Chronic Rhinosinusitis Using The Polymerase Chain Reaction. Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2000; 123 (4): 363-67.

    27. Chan J. The microbiology of chronic rhinosinusitis: Results of a Community Surveillance Study. http://www.findarticles.com/cf_o/ moBUM/3_80/76559009/p1/ article. jhtml?term=%22chronic+ maxillary+sinusitis%22.

    Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 72

  • Sensitivitas Kuman Tonsilo Faringitis Akut

    HASIL PENELITIAN

    Pola Sensitivitas Kuman

    dari Isolat Hasil Usap Tenggorok Penderita Tonsilo-Faringitis Akut di

    Puskesmas Jakarta Pusat terhadap Beberapa Antimikroba

    Betalaktam

    Retno Gitawati, Ani Isnawati

    Pusat Penelitian Pengembangan Farmasi dan Obat Tradisional Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta

    ABSTRAK

    Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di Indonesia, terutama infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) baik infeksi saluran pernafasan atas maupun infeksi saluran pernafasan bawah. Terapi antimikroba digunakan bila infeksi disebabkan oleh bakteri (kuman). Salah satu antimikroba terpilih untuk pengobatan ISPA adalah antimikroba golongan betalaktam. Untuk mengetahui sensitivitas kuman isolat usap tenggorok terhadap antimikroba betalaktam, dilakukan penelitian ini.

    Metoda penelitian cross-sectional terhadap 83 pasien tonsilo-faringitis akut pengunjung dua puskesmas di Jakarta Pusat pada bulan September 1999 sampai bulan Nopember 1999. Pemeriksaan isolat dan sensitivitas kuman terhadap antimikroba dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi FK-UI.

    Hasil penelitian menemukan 132 kuman dari 12 spesies. Lima spesies kuman terbanyak adalah : Streptococcus viridans 54,2%, Branhamella catarrhalis 22,9 %, Streptococcus -hemolyticus 6,11%, Streptococcus pneumoniae 3,82% dan Streptococcus nonhemolyticus 3,82%. Penurunan sensitivitas Streptococcus viridans, Branhamella catarrhalis, Streptococcus -hemolyticus, Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus nonhemolyticus terbesar terhadap antimikroba Cephradin berturutturut adalah 73,3 %; 53,52%; 87,5%; 40% dan 80%. Penurunan sensitivitas Branhamella catarrhalis terhadap Penisilin G adalah 30%, sedangkan kuman Streptococcus pneumoniae dan Klebsiella pneumoniae terhadap Ceftriaxone 20%.

    Total resistensi tertinggi kuman-kuman usap tenggorok adalah terhadap Cephradin, yakni sebesar 68.04%. Kata kunci : Tonsilo-faringitis, Betalaktam, Streptococcus sp, B.catarrhalis

    PENDAHULUAN

    Penyakit infeksi masih merupakan penyakit utama di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Jenis penyakit infeksi di Indonesia yang banyak diderita oleh

    masyarakat adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), baik infeksi saluran pernapasan atas maupun bagian bawah. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 menunjukkan bahwa prevalensi ISPA untuk usia 0-4 tahun

    Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 73

  • Sensitivitas Kuman Tonsilo Faringitis Akut

    47,1 %, usia 5-15 tahun 29,5 % dan dewasa 23,8 %; lebih dari 50% penyebabnya adalah virus(1). Infeksi sekunder bakterial pada ISPA dapat terjadi akibat komplikasi terutama pada anak dan usia lanjut, dan memerlukan terapi antimikroba. Beberapa kuman penyebab komplikasi infeksi ISPA yang pernah diisolasi dari usap tenggorok antara lain Streptococcus, Staphylococcus, Klebsiella, Branhamella, Pseudomonas, Escherichia, Proteus, dan Haemophilus(2), dan untuk mengatasinya seringkali digunakan antimikroba golongan betalaktam, makrolida, dan kotrimoksazol(3).

    Antimikroba golongan betalaktam, yakni golongan penisilin dan sefalosporin, termasuk jenis antimikroba yang diperkirakan paling banyak digunakan untuk infeksi saluran napas; sejauh ini belum banyak diketahui status sensitivitas golongan tersebut, khususnya terhadap kuman penyebab ISPA.

    Untuk mengetahui hal tersebut, telah dilakukan uji sensitivitas kuman yang diisolasi dari usap tenggorok penderita ISPA, terhadap antimikroba golongan betalaktam. BAHAN DAN CARA

    Desain uji adalah studi kasus cross sectional, dengan sampel usap tenggorok penderita infeksi tonsilofaringitis yang berobat di dua puskesmas di wilayah Jakarta Pusat, yang memiliki angka kesakitan ISPA tertinggi di wilayah tersebut pada triwulan pertama tahun 1999.

    Jumlah subyek sebanyak 83 penderita, dengan rentang usia antara 5 65 tahun, dan memenuhi kriteria inklusi sebagai penderita tonsilofaringitis akut dengan gejala klinik: demam tinggi sampai 400C, sakit menelan, tonsil membesar dan merah dengan tanda-tanda detritus, batuk, hiperemis, kadang-kadang disertai folikel bereksudat. Semua subyek bersedia mengikuti penelitian ini dengan menandatangani informed consent, dan belum pernah mendapatkan antibiotika selama sakit.

    Spesimen usap tenggorok dikumpulkan dalam media transport dan dilakukan uji sensitivitas di Laboratorium Mikrobiologi FKUI. Kultur dan isolasi kuman menggunakan media perbenihan agar darah dan agar coklat pada suhu 370C selama 24 jam. Identifikasi dilakukan berdasarkan morfologi koloni, sifat hemolisis agar darah, fermentasi karbohidrat, dan uji-uji khusus lainnya. Kuman hasil isolasi diuji sensitivitasnya dengan metoda cakram Kirby-Bauer pada media Mueller-Hinton, terhadap beberapa antimikroba golongan betalaktam, yakni dengan mengukur zona hambatan. HASIL

    Sejumlah 132 kuman terdiri atas 12 spesies Gram positif dan Gram negatif berhasil diisolasi dan diidentifikasi dari 83 sampel usap tenggorok penderita tonsilofaringistis (Tabel 1).

    Enam jenis kuman terbanyak yang berhasil diisolasi dari spesimen usap tenggorok berturut-turut adalah: Streptococcus viridans (54.2%), Branhamella catarrhalis (22.9%), Streptococcus -haemolyticus (6.11%), Streptococcus pneumoniae (3.82%), Streptococcus non-haemolyticus

    (3.82%) dan Klebsiella pneumoniae (3.05%). Isolat-isolat kuman tersebut kemudian diuji sensitivitasnya terhadap antimikroba betalaktam, dan hasilnya menunjukkan profil resistensi seperti pada Tabel 2.

    Sebagian besar kuman Gram positif dan negatif dari isolat usap tenggorok tersebut masih cukup sensitif terhadap antimikroba betalaktam, kecuali terhadap Cefradin.

    Terhadap hasil uji sensitivitas berbagai spesies kuman terhadap antimikroba betalaktam di atas dilakukan penghitungan total resistensi antimikroba (Soebandrio 2000), dengan cara atau rumus sebagai berikut: % R total antimikroba A = (% kuman X x % R antimikroba A terhadap kuman X)/100 + (% kuman Y x % R antimikroba A terhadap kuman Y)/100 + (% kuman Z x % R antimikroba A terhadap kuman Z)/100. (R = resistensi) Hasilnya tertera pada Tabel 3. Tabel 1. Frekuensi distribusi jenis kuman dari 83 spesimen usap

    tenggorok

    No. Jenis (spesies) kuman Jumlah % 1. Streptococcus viridans 71 54.2 2. Branhamella catarrhalis 30 22.9 3. Streptococcus -haemolyticus 8 6.11 4. Streptococcus pneumoniae 5 3.82 5. Streptococcus non-haemolyticus 5 3.82 6. Klebsiella pneumoniae 4 3.05 7. Acinobacter spp. 2 1.53 8. Yeast (ragi) 2 1.53 9. Staphylococcus aureus 2 1.53

    10. Alkaligenes dispar 1 0.76 11. Pseudomonas aeruginosa 1 0.76 12. Staphylococcus epidermidis 1 0.76

    Jumlah 132 100

    Total resistensi tertinggi kuman-kuman usap tenggorok adalah terhadap antimikroba Cefradin, yakni sebesar 68.04%, sedangkan terhadap Penisilin-G dan amoksisilin total resistensi kuman relatif rendah, berurut-turut 9.93% dan 5.35%. DISKUSI

    Hasil usap tenggorok menemukan 12 jenis kuman Gram negatif dan kuman Gram positif. Kuman yang terbanyak ditemukan S. viridans (54.2 %), berbeda dengan yang dilaporkan Sugito(4) yaitu 25 % dan Hartono(5) yaitu 31,43 %. Untuk kuman S. hemolyticus diperoleh 6,4 % , hampir sama dengan yang ditemukan Suprihati dkk(6) sebanyak 4,46 %, tetapi berbeda dengan yang ditemukan oleh Sugito(4) sebanyak 25 % dan mirip dengan yang ditemukan Hartono(5) 25,71 %. Kuman ini merupakan kuman yang dicurigai sebagai

    Cermin Dunia Kedokteran No. 155, 2007 74

  • Sensitivitas Kuman Tonsilo Faringitis Akut

    penyebab endokarditis.Tabel 2. Profil resistensi isolat kuman usap tenggorok terhadap antimikroba betalaktam

    % resistensi antimikroba Isolat kuman %

    isolat Kuman PeG Amx Sulb Cefo Ceftr Cefta Cefpi Cefe Cefrd

    S. viridans 54.2 2.82 2.82 0 1.41 4.23 4.23 0 0 73.33 B. catarrhalis 22.9 30.0 0 0 0 3.33 3.33 3.33 0 53.52 S. -haemolyticus 6.11 0 0 0 0 0 0 0 0 87.5 S. pneumoniae 3.82 0 0 0 0 20.0 20.0 0 0 40.0 S. non-haemolyticus 3.82 0 0 0 0 0 0 0 0 80.0 K. pneumoniae 3.05 0 0 0 0 20 0 0 0 100 Acinobacter spp. 1.53 0 0 0 0 50 0 0 0 0 Yeast (ragi) 1.53 100 100 100 100 100 100 100 100 100 S. aureus 1.53 0 50 0 0 0 0 0 0 0 Alkaligenes spp. 0.76 0 100 100 0 0 0 0 0 100 P. aeruginosa 0.76 0 100 0 100 0 0 0 0 100 S. epidermidis 0.76 0 0 0 0 0 0 0 0 0

    Keterangan: PeG= Penisilin-G; Amx = Amoksisilin; ; Sulb = Sulbenisilin; Cefo = Cefotiam; Ceftr= Ceftriakson; Cefta = Cefotaksim; Cefpi = Cefpirome;Cefe = Cefepime; Cefd = Cefradin.

    Tabel 3. Total resistensi isolat kuman usap tenggorok terhadap

    antimikroba betalaktam No. Antimikroba % Total resistensi

    1. Cefradin 68.04 2. Penisilin-G 9.93 3. Ceftriakson 6.87 4. Cefotaksim 5.57 5. Amoksisilin 5.35 6. Cefotiam 3.05 7. Cefpirome 2.52 8. Sulbenisilin 2.29 9. Cefepime 1.53

    Total resistensi tertinggi berbagai kuman isolat tenggorok adalah terhadap antimikroba Cefradin sebesar 68,04 %, diikuti oleh Penicillin G dan Ceftriakson. Antimikroba Cefradin merupakan antimikroba generasi I dari golongan sefalosporin dan banyak digunakan secara oral untuk penderita infeksi saluran pernafasan sehingga mungkin sudah banyak terjadi resistensi. Penulisan resep oleh dokter umum di United Kingdom (UK) thn 1998(7) untuk infeksi saluran pernafasan adalah antimikroba broadspectrum penisilin sebanyak 53,2 %, makrolid 15 % dan medium serta narrow spectrum penisilin 13,0 %, sefalosporin 7,7 %. Tahun 1997 pasar dunia antibiotik mencapai US $ 12 miliar dengan jumlah peresepan 818 juta untuk infeksi saluran pernafasan akut dan sebagian besar antibiotik yang digunakan di rumah sakit berturut - turut adalah Golongan beta laktam, makrolid dan fluorokuinolin.

    Di Indonesia untuk infeksi pernafasan akut (tonsilitis dan faringitis ) sebagai standar pengobatan di puskesmas penisilin G masih merupakan obat pilihan keempat setelah eritromisin, amoksisilin dan ampisilin(2). Data resistensi kuman S.viridans dan S. aureus terhadap Penisilin G dari hasil penelitian

    Josodiwondo (1996) 3,7 % dan 96,8 % sedangkan dari penelitian Trihendrokesowo, dkk ( 1986 ) sebesar 3,2 % dan 66,7 % tidak jauh berbeda dengan resistensi kuman S.viridans yang diperoleh dari penelitian ini yaitu 2,82 %, namun berbeda dengan hasil resistensi kuman S. aureus 0 %. Golongan penisilin masih cukup ampuh untuk mengatasi bakteri gram positif, tetapi akhir-kakhir ini banyak dilaporkan bakteri yang resisten terhadap antimikroba golongan penisilin bahkan juga pada golongan sefalosporin, karena bakteri ini mampu menghasilkan enzim betalaktamase. Untuk mengatasi bakteri gram negatif tampaknya penisilin, bahkan sefalosporin sudah berkurang kemampuannya kecuali sefalosporin generasi ketiga(8,9). Penggunaan tidak rasional akan mempercepat resistensi, selain hal itu dapat terjadi resistensi silang antar golongan maupun dalam satu golongan. Test kepekaan tidak selalu akurat untuk memprediksi kesembuhan dan sering terjadi tidak ada korelasi antara minimum inhibitor concentration (MIC) kuman dan kesembuhan. Observasi pada penderita infeksi menunjukkan bahwa 81 % penderita sembuh jika terinfeksi dengan bakteri yang sensitif, 9 % penderita meninggal. Bila terinfeksi bakteri yang resisten dapat menaikkan rata-rata kematian sebesar 17 % (p< 0,05 )(10 ). KESIMPULAN

    Ditemukan 132 kuman terdiri dari 12 spesies kuman, lima kuman terbanyak yang ditemukan adalah : Streptococcus viridans 54,2%, Branhamella catarrhalis 22,9 %, Streptococcus -hemolyticus 6,11%, Streptococcus pneumoniae 3,82% dan Streptococcus nonhemolyticus