Upload
others
View
36
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
MANAJEMEN PENDIDIKAN
Aplikasi, Strategi, dan Inovasi
JEJEN MUSFAH
EDITOR: HIDAYATUS SYARIFAH
PENGANTAR EDITOR
Bismillahirrahmaanirrahiim
Alhamdulillah, buku ini telah hadir di hadapan pembaca. Shalawat dan salam
semoga senantiasa dicurahkan oleh Allah SWT. kepada Nabi Muhammad SAW.,
keluarga, sahabat, dan pengikut sunnahnya.
Buku ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan penulis dari beberapa
tema dan sasaran penelitian. Cakupan kajiannya tidak hanya seputar permasalahan
dalam lingkup pendidikan formal di tingkat sekolah dan madrasah, namun juga
Perguruan Tinggi (PT). Selain itu, juga dikaji permasalahan di lingkup pendidikan
non-formal, pesantren dan homeschooling. Harapannya, buku ini dapat membuka
cakrawala pengetahuan tentang masalah-masalah pendidikan, khususnya bidang
manajemen pendidikan.
Secara khusus, buku ini ini diperuntukkan bagi: 1) Mahasiswa dan dosen S1,
S2, dan S3 pada mata kuliah Manajemen Pendidikan di Program Studi Manajemen
Pendidikan; 2) Mahasiswa S1, S2, dan S3 pendidikan pada umumnya; 3)
Penyelenggara dan pimpinan pendidikan di level dasar, menengah, dan tinggi; 4)
Peneliti bidang kebijakan dan praksis pendidikan; dan 5) pejabat pemerintah bidang
pendidikan sebagai bahan pengambilan kebijakan.
Proses pendidikan, sebuah jembatan atas anugerah Tuhan bagi manusia
untuk memanusiakan dirinya. Ada yang panjang, pendek, berliku atau lurus.
Bagaimana manusia dapat melewati dan mencapai keberhasilannya. Semua
bergantung pada usaha individu. Selainnya adalah aspek pendukung. Pencapaian
pendidikan yang ditempuh, besar kecilnya dipengaruhi oleh manajemen yang tepat,
terarah, dan berkualitas. Tata kelola pendidikan sebagai sebuah sistem, memiliki
berbagai aspek yang saling berkaitan. Mulai dari visi, misi, tujuan, kompetensi
pendidik, kemampuan peserta didik, kurikulum, metode, biaya, hingga evaluasi.
Perlu kerja keras dan kerja sama berbagai pihak untuk mewujudkan manajemen dan
pendidikan yang bermutu.
Apresiasi atas penerbitan buku ini perlu diberikan kepada beberapa pihak.
Ucapan terima kasih yang tulus diberikan kepada penerbit Prenada Media yang
bersedia menerbitkan buku ini. Penerbitan buku ini diharapkan mampu
menjangkau khalayak pembaca yang lebih luas tentang pentingnya manajemen
pendidikan. Keberlangsungan penerbitan dan stock buku ini diharapkan dapat
terjaga, jika ia mendapatkan sambutan yang positif dari masyarakat pembacanya.
Ungkapan terima kasih juga dihaturkan kepada penulis sekaligus dosen saya
yang telah memberikan kepercayaan kepada saya sebagai editor. Beberapa bagian
buku merupakan hasil penelitian penulis dengan peneliti lainnya, yaitu Bapak A.
Mushtofa Asrori, Ibu Mariatul Kiftiah, Ibu Sri Purwanti, Ibu Nurfitriyani, dan Ibu
Widya Ningsih. Terima kasih juga kepada Kang Dede Munandar, serta berbagai
pihak yang mendonasikan ketulusan do’a, dukungan dan bantuan dalam
penyelesaian buku ini. Semoga Tuhan menghadiahkan nikmat dan karunia atas
kebaikan dan usaha yang tulus pihak-pihak yang telah disebutkan.
Semoga buku ini dapat menaburkan manfaat bagi pembaca. Meskipun
demikian, buku ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, tegur sapa, dan
saran konstruktif dari pembaca akan sangat berharga untuk penyempurnaan buku
ini di kemudian hari. Wallahu a’lam.
Jakarta, 12 Januari 2018
Editor,
Hidayatus Syarifah
DAFTAR ISI
Pengantar Editor .........................................................................................................
Daftar Isi .......................................................................................................................
Bagian I Pendahuluan
A. Latar Belakang ..............................................................................
B. Perumusan Masalah .....................................................................
C. Manfaat ..........................................................................................
D. Metode Penelitian .........................................................................
Bagian II Manajemen Sekolah, Madrasah dan Pesantren
A. Madrasah Unggul: Studi Kasus MAN Yogyakarta I ..............
B. Pembentukan Budaya Disiplin di SMK Negeri 18 Jakarta .....
C. Pengembangan Kompetensi Pedagogik Guru SMK ...............
D. Implementasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
di SMAN 37 Jakarta .....................................................................
E. Pengembangan Kurikulum di Komunitas Homeschooling
Kak Seto Pusat ..............................................................................
F. Pesantren Pendidik Perempuan:
Perguruan Diniyyah Putri Lampung ........................................
Bagian III Manajemen Perguruan Tinggi
A. Problem dan Solusi PPL Mahasiswa LPTK ..............................
B. Penelitian Ilmiah: Studi Kasus Dosen Magister PAI FITK
UIN Jakarta ....................................................................................
C. Kontiunitas Dakwah Walisongo:
Fakultas Keagamaan UIN ...........................................................
Biodata Penulis ............................................................................................................
Biodata Editor ..............................................................................................................
BAGIAN I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Manusia membutuhkan pendidikan, baik bagi kebutuhan akalnya (otak)
maupun jiwanya (hati). Pemenuhan atas kebutuhan jiwa dan akal tersebut
diyakini dapat membentuk seseorang yang berkarakter, berilmu, dan
berketerampilan. Pendidikan yang dapat menghasilkan demikian merupakan
pendidikan yang berkualitas.
Bagaimana menciptakan pendidikan yang berkualitas? Diperlukan sinergi
positif antara Manajemen 8 Standar Pendidikan (Isi/ Kurikulum, Pendidik,
Peserta Didik, Proses, Pengelolaan, Sarana dan Prasarana, Pembiayaan, dan
Evaluasi), Kepemimpinan, dan Pemangku Kepentingan. Tiga aspek tersebut
tidak dapat dipisahkan.
Dalam buku ini disajikan berbagai problematika praktik pendidikan. Sudut
pandang pengkajiannya adalah bidang Manajemen Pendidikan. Paparan
problematika ini dapat dijadikan khazanah pengetahuan, guna mewujudkan
pendidikan yang berkualitas melalui implementasi tiga aspek di atas.
Permasalahan yang dikemukakan merupakan latar belakang dari penelitian-
penelitian yang telah dilakukan, antara lain:
Pertama, sekolah/ madrasah yang unggul mampu mengelola budaya
sekolah dengan baik. Budaya tersebut, dapat meminimalisir tindak negatif di
kalangan remaja, seperti tawuran, penyalahgunaan narkotika, dan lain
sebagainya. Tentu, pengelolaan budaya tersebut tidak mudah. Selain itu,
penguatan sains dan pengembangan life skills juga termasuk di dalam
pengelolaannya. Bagaimana mewujudkan siswa yang berkarakter dan dapat
hidup di masyarakat setelah lulus? Tentu karena bekal kompetensi-kompetensi
yang telah dimilikinya saat menempuh pendidikan di sekolah/ madrasah.
Kedua, pembentukan budaya disiplin di sekolah sangat diperlukan dalam
rangka peningkatan mutu pendidikan. Sekolah/ madrasah masih minim
melaksanakannya. Pasalnya, sekolah/ madrasah banyak yang lebih
mengutamakan aspek pengetahuan peserta didik dan mengabaikan
pembentukan sikap. Banyak faktor yang menyebabkan budaya disiplin di
sekolah tidak kondusif, antara lain: lemahnya kepemimpinan kepala sekolah,
lemahnya implementasi tata tertib, belum optimalnya proses sosialisasi budaya
disiplin, minimnya usaha penanaman nilai disiplin di sekolah, disiplin kerja
guru masih rendah, dan belum efektifnya pemberian reward dan punishment.
Ketiga, keterbatasan SDM yang berkualitas merupakan akar dari persoalan
bangsa kita dewasa ini. Salah satu sarana untuk mewujudkan upaya
pengembangan SDM tersebut yaitu melalui pendidikan. Guru merupakan
komponen yang paling menentukan dan pemegang peranan penting dalam
proses belajar mengajar. Menjadi guru merupakan profesi yang sangat berat dan
hanya bisa dilakukan oleh guru yang kompeten dan ahli dibidangnya. Namun
realitanya, saat ini masih banyak guru yang belum mampu mengelola proses
pembelajaran di kelas dengan baik. Faktornya, antara lain: 1) Mayoritas sekolah
yang tidak memiliki program pengembangan kompetensi guru; 2) Sekolah
kurang melakukan perencanaan terhadap pengembangan kompetensi guru; 3)
Lemahnya pembinaan kepala sekolah terhadap kompetensi guru; 4) Rendahnya
motivasi guru untuk mengembangkan kompetensi yang dimilikinya; dan 5)
Belum maksimalnya evaluasi yang dilakukan kepala sekolah dalam
mengembangkan kompetensi pedagogik guru.
Keempat, beban pembiayaan pendidikan diringankan oleh adanya BOS
(Biaya Operasional Sekolah), yang merupakan hasil pengurangan subsidi BBM
oleh pemerintah sejak tahun 2005. Alokasi dana BOS sesuai dengan RAPBS,
seperti pengadaan buku LKS, kegiatan mid dan ujian semester serta uang SPP
bulanan bagi yatim dan dhu’afa. Meskipun demikian, peran BOS untuk
menyelenggarakan pendidikan gratis secara total, belum dapat dilaksanakan
karena sebagian besar dana digunakan untuk mencukupi honor guru swasta
dan biaya operasional lain.
Kelima, praktik pendidikan tidak hanya berbentuk formal, namun juga
terdapat non-formal dan informal. Ketiganya memiliki karakterisik masing-
masing. Salah satu alternatif pilihan bagi masyarakat adalah Homeschooling.
Banyak faktor pendiriannya, seperti: adanya ketidakpuasan masyarakat (orang
tua) dengan pendidikan sekolah formal mulai dari guru yang kurang
memperhatikan keadaan psikologis siswa karena jumlah siswa dalam 1 kelas
yang terlampau banyak, fasilitas di sekolah yang kurang memadai, guru kurang
menguasai materi pelajaran hingga metode pembelajaran yang monoton dari
tahun ke tahun, atau bahkan karena hal lainnya. Praktik homeschooling sendiri
tidak hanya memiliki banyak manfaat, namun juga kelemahan-kelemahan.
Meskipun demikian, demi menciptakan pendidikan berkualitas melalui
homeschooling diperlukan inovasi, penguatan, dan ketepatan dalam merancang
kurikulum. Artinya, meskipun bukan tergolong sekolah formal, namun tetap
harus merancang dan mengembangkan kurikulumnya.
Keenam, terjadi kesenjangan gender dalam berbagai bidang, khususnya
pendidikan. Perempuan memiliki peran yang tidak kalah penting dengan laki-
laki, baik dalam kehidupan keluarga maupun bermasyarakat. Dengan demikian,
perempuan dituntut berpendidikan dan berketerampilan. Ide mendirikan
lembaga pendidikan khusus putri dengan tujuan melahirkan ibu pendidik yang
terampil dan pandai berwirausaha sangat relevan dari dulu hingga sekarang.
Ketujuh, pencapaian empat kompetensi bagi calon guru adalah hal yang
mutlak. Tidak mudah melahirkan calon guru kompeten. Selain faktor mutu
masukan mahasiswa LPTK, mutu proses pembelajaran teori dan praktik di
kampus dan PPL sangat penting bagi pembentukan calon guru kompeten. PPL
keguruan adalah satu cara yang harus ditempuh oleh mahasiswa calon guru
agar menjadi guru profesional. Model PPL di setiap LPTK sangat beragam, baik
dari sisi lama waktu maupun ruang lingkup PPL. Dengan demikian, LPTK perlu
menyusun kurikulum dengan baik, khususnya dalam program PPL.
Kedelapan, dosen memiliki tiga tugas utama, yakni pengajaran, penelitian,
dan pengabdian masyarakat. Diantara indikator PT kelas dunia adalah kuantitas
dan kualitas penelitian yang dilakukan dosen. Karena itu, PT harus mendesain
program yang mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian dosen,
sehingga bisa diakui secara nasional dan internasional. Meskipun demikian,
tingkat kesadaran dosen untuk melakukan penelitian masih minim dengan
didukung melalui beberapa data dalam penelitian.
Kesembilan, program studi keagamaan adalah tempat untuk melahirkan para
ahli agama atau ulama. Terjadi degradasi jumlah peminat program studi
keagamaan di UIN dibandingkan program studi umum. Terlebih UIN sendiri,
mayoritas menggunakan nama Walisongo. Sebagaimana diketahui bahwa
dakwah Walisongo jelas bertujuan islamisasi tanah Jawa, mencetak kader ulama,
dan menghiasi masyarakat dengan karakter islami. Fakultas-fakultas keagamaan
di UIN yang merupakan kontinuitas perjuangan dakwah Walisongo
menghadapi tantangan berat saat ini.
Sembilan permasalahan pokok di atas, menjadi konsen dalam penelitian
penulis—sebagaimana tecermin dalam bab-bab buku ini. Melalui penelitian
pustaka atau studi konten dan penelitian lapangan jawaban atas permasalahan-
permasalahan di atas diharapkan memperkaya khazanah keilmuan manajemen
pendidikan Islam dan menjadi panduan atau pertimbangan pengelola dan
pejabat pendidikan tingkat lokal maupun nasional.
B. RUMUSAN MASALAH
Berbagai pemaparan problematika yang telah dikemukakan dalam latar
belakang di atas, untuk kemudian dapat dirangkai rumusan masalah. Rumusan
masalah yang dikemukakan merupakan pokok permasalahan secara general
dalam delapan permasalahan penelitian –sebagaimana dikemukakan dalam
latar belakang.
1. Bagaimana menciptakan sekolah/ madrasah yang unggul dan berbudaya?
2. Bagaimana membentuk guru yang kompeten secara paedagogik?
3. Bagaimana implementasi dana BOS sebagai salah satu beban pembiayaan
pendidikan?
4. Bagaimana cara mengembangkan kurikulum di Homeschooling?
5. Bagaimana implementasi pesantren pendidik khusus bagi perempuan?
6. Bagaimana solusi yang tepat bagi problem PPL mahasiswa?
7. Bagaimana kualitas penelitian ilmiah dosen?
8. Bagaimana eksistensi Fakultas Keagamaan di UIN di era globalisasi?
C. MANFAAT
Secara teoritis, buku ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan
bidang Manajemen Pendidikan Islam.
Adapun secara praktis, buku ini dapat dijadikan panduan bagi pendidik dan
tenaga kependidikan dalam tugasnya masing-masing di Sekolah/ Madrasah,
serta bagi pemegang kebijakan dalam penyusunan program dan pengambilan
keputusan di bidang pendidikan.
D. METODE PENELITIAN
Semua penelitian yang ada dalam buku ini menggunakan pendekatan
kualitatif, dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan teknik observasi partisipatif, wawancara
mendalam, dan dokumentasi. Teknik analisis data meliputi reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Pengecekan keabsahan data
dilakukan dengan cara perpanjangan kehadiran peneliti, pengamatan terus
menerus dan cermat, serta teknik triangulasi dengan menggunakan berbagai
sumber, metode, dan teori.
BAGIAN II
MANAJEMEN SEKOLAH, MADRASAH, DAN PESANTREN
MADRASAH UNGGUL:
Studi Kasus Man Yogyakarta I
Pendahuluan ♦ Tentang MAN Yogyakarta I ♦ Pengembangan Karakter ♦
Pengembangan Sains ♦ Pengembangan Life Skills (Vokasional) ♦ Penutup
A. PENDAHULUAN
Pendidikan adalah upaya pembentukan generasi yang berkarakter, berilmu,
dan berketerampilan. Upaya tersebut tidak mudah, kecuali siswa berada di
madrasah yang bermutu. Madrasah yang tidak hanya memiliki visi yang bagus,
tetapi memiliki kepala madrasah, guru, fasilitas, lingkungan, dan kurikulum
yang bagus. Cirinya adalah madrasah dan siswa memiliki prestasi dalam bidang
akademik dan non-akademik, baik level nasional maupun regional.
Pembentukan karakter pada usia remaja bukan hal mudah. Data
menunjukkan bahwa angka tawuran pelajar bukannya menurun malah semakin
meningkat. Hermawan (2013) menulis, “Komisi Nasional Perlindungan Anak
(Komnas Anak) mencatat ada 229 kasus tawuran pelajar sepanjang Januari
hingga Oktober tahun 2013. Jumlah ini meningkat sekitar 44 persen dibanding
tahun lalu yang hanya 128 kasus. Dalam 229 kasus kekerasan antar pelajar SMP
dan SMA itu, 19 siswa meninggal dunia.”
Tingkat pergaulan bebas dan penggunaan narkoba di kalangan remaja juga
sangat mengkhawatirkan. Mahardika (2013) menulis, “berdasarkan data dari
BKKBN tahun 2013, anak usia 10-14 tahun yang telah melakukan aktivitas seks
bebas atau seks atau seks di luar nikah mencapai 4,38 persen, sedang pada usia
14-19 tahun sebanyak 41,8 persen telah melakukan aktivitas seks bebas. Data
lain mengatakan bahwa tidak kurang dari 700.000 siswi melakukan aborsi setiap
tahunnya. Selain itu penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar dan
mahasiswa cukup mengkhawatirkan, yaitu sebanyak 921.695 orang (4,7
persen).”
Kualitas pelajar Indonesia juga sangat rendah. Febrialdi (2013) menulis,
“pada tahun 2012 lalu PISA (Programme Internationale for Student Assesment) telah
melakukan survei terhadap 65 negara di dunia mewakili 80% ekonomi global
dunia. Lebih dari 510 ribu pelajar yang berusia 15 tahun dan 16 tahun telah
menjalani tes yang diadakan selama dua jam. Ujian yang dilakukan meliputi:
Matematika, Membaca, Ilmu pengetahuan ilmiah (Sains). Jumlah siswa yang
ikut tes ini mewakili 28 juta dari total populasi 80% penduduk dunia. Tes
dilakukan selama dua jam dengan kombinasi soal ujian pilihan ganda dan
terbuka. Kepala sekolah juga ikut berpartisipasi pada tes ini dengan menjawab
beberapa pertanyaan tentang latar belakang siswanya, tentang sekolahnya, serta
wawasan tentang lingkungan sekitarnya, dan sistim yang dipakai dalam proses
pengajaran. Peringkat siswa Indonesia berada posisi 64 dari 65 negara. Indonesia
hanya lebih baik dari negara Peru yang menempati posisi paling buncit dalam
survei ini.”
Terkait dengan life skill atau vokasi, berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik, “Jumlah pengangguran pada Februari 2014 mencapai 7,2 juta orang,
dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) cenderung menurun, dimana TPT
Februari 2014 sebesar 5,70 persen turun dari TPT Agustus 2013 sebesar 6,17
persen dan TPT Februari 2013 sebesar 5,82 persen.”
Berdasarkan data-data tersebut, sekolah perlu melakukan review kurikulum
guna mengantisipasi tawuran pelajar, perilaku menyimpang remaja, dan
membekali alumni dengan life skill, yaitu dengan kurikulum yang berorientasi
pada pembentukan karakter dan life skill. Penguatan bidang sains adalah hal
lainnya. Selanjutnya, perbaikan manajemen sekolah dalam pengembangan
sumber daya, dan efektivitas fasilitas sekolah.
Perhatian terhadap pentingnya masalah nilai ini tercantum dalam UU No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 Poin 1, bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Pengelolaan budaya sekolah yang baik merupakan solusi dari permasalan di
atas. Budaya sekolah dapat dipelajari dari manifes-manifes yang muncul dalam
bentuk-bentuk perilaku dan simbol-simbol karakteristik sekolah. Madrasah
dikenal memiliki keunggulan dalam pembentukan karakter siswa, karena tidak
pernah siswanya tawuran. Kecuali keunggulan karakter, madrasah juga
mengembangkan sains dan vokasional sebagai bekal kompetensi kepada
siswanya.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis praktik keunggulan Madrasah
Aliyah Negeri Yogyakarta I, yaitu keunggulan karakter, keunggulan sains, dan
keunggulan vokasional. Penelitian dilakukan pada Juni hingga Oktober 2011,
dengan biaya dari Lembaga Penelitian (Lemlit) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
B. PROFIL MAN YOGYAKARTA I
1. Letak Geografis
MANSA secara geografis terletak di daerah paling utara wilayah Kota
Yogyakarta, karena kurang lebih 100 m ke arah utara sudah memasuki
wilayah Kabupaten Sleman. Kondisi ini sangat mendukung sebagai tempat
pembelajaran siswa, dengan ketenangan dan berdampingan dengan sentra
pendidikan tinggi yang terkenal di Indonesia seperti UGM, UII, dan UNY. Di
Wilayah Kecamatan Gondukusuman juga terdapat SMA negeri dan swasta,
beberapa pendidikan non formal/ bimbingan belajar, toko buku, dan fotocopy
sehingga memacu siswa dalam peningkatan prestasi.
Seiring dengan perkembangan wilayah kota ke arah utara (Jalan
Kaliurang) terjadi berbagai perubahan, terutama jalur transportasi yang
menuju MANSA mudah dijangkau berbagai tipe dan jalur angkutan, serta
makin berkembangnya kawasan di lingkungan tersebut sebagai pusat
pertokoan.
Secara Geografis letak MAN Yogyakarta I dapat digambarkan sebagai
berikut: Sisi Utara berbatasan dengan Jl. Sekip Universitas Gadjah Mada; Sisi
Barat berbatasan dengan kampus Universitas Gadjah Mada (FISIPOL); Sisi
Selatan berbatasan dengan Jl. Kampung Terban; Sisi Timur berbatasan
dengan Jl. C. Simanjuntak.
2. Visi dan Misi
Visi MANSA adalah UngguL, ILmiah, AmaLiyah, IBAdah, dan
Bertanggungjawab (ULIL ALBAB); Terwujudnya lulusan Madrasah yang
unggul di bidang iman–taqwa (imtaq) dan iptek, berfikir ilmiah, mampu
mengamalkan ajaran agama, tekun beribadah, bertanggung jawab dalam
kehidupan bermasyarakat dan pelestarian lingkungan.
Sedangkan misinya adalah: a) Menumbuhkan dan meningkatkan
keimanan, ketaqwaan dan ibadah serta akhlakul karimah sehingga menjadi
pedoman hidup; b) Menumbuhkembangkan nilai sosial dan budaya bangsa
sehingga menjadi sumber kearifan dalam bertindak; c) Melaksanakan proses
pendidikan dan pengajaran secara efektif dan efisien agar siswa dapat
berkembang secara optimal sesuai dengan potensi yang dimiliki; d)
Meningkatkan pembelajaran terhadap siswa melalui pendidikan yang
berkarakter unggul, berbudaya, aktif, inovatif, kreatif dan menyenangkan; e)
Menumbuhkan semangat juang menjadi yang terbaik kepada siswa dalam
bidang akademik dan nonakademik; f) Mempersiapkan dan menfasilitasi
siswa untuk studi lanjut ke perguruan tinggi; dan g) Menumbuhkan rasa
tanggung jawab dalam berkehidupan di masyarakat dan pelestarian
lingkungan.
Kepala madrasah menjalankan perannya dengan baik, seperti
memastikan bahwa visi tersebut dipahami oleh guru dan tenaga
kependidikan, dan menyiapkan kurikulum, fasilitas, dan program-program
untuk tercapainya visi tersebut. Kepala madrasah merasa mampu mencapai
visi tersebut karena visi dirumuskan bersama-sama dengan guru dan tenaga
kependidikan, dan mereka punya komitmen yang sama untuk mencapainya.
Guru dan tenaga kependidikan memahami dengan baik visi dan misi
madrasah, dan tahu bagaimana mewujudkan visi dan misi tersebut. Guru dan
tenaga kependidikan menjalankan tugasnya masing-masing dengan baik
demi tercapainya visi madrasah ini. Visi itu mencerminkan pembentukan
siswa yang berkarakter, menguasai sains, dan menguasai keterampilan sesuai
bakat masing-masing siswa.
Visi dan misi madrasah menunjukkan orientasi pada pengembangan
karakter, pengetahuan, dan keterampilan. Visi dan misi ini untuk
menyiapkan siswa menjadi generasi yang dewasa, berpengetahuan luas, dan
terampil di bidang tertentu.
C. PENGEMBANGAN KARAKTER
Sekolah merupakan tempat yang bisa mengembangkan karakter/ budaya,
pengetahuan, dan keterampilan siswa melalui kurikulum yang dijalankan secara
baik dan konsisten. Pendidikan dan pembelajaran bertujuan melahirkan siswa
yang kompeten. Jarvis (1983: 35) mengungkapkan tiga elemen kompetensi,
yaitu: 1) pengetahuan dan pemahaman, mencakup disiplin akademik, elemen
psikomotor, hubungan interpersonal, dan nilai-nilai moral; 2) keterampilan-
keterampilan, mencakup melaksanakan prosedur-prosedur yang bersifat
psikomotorik dan berinteraksi dengan orang lain; dan 3) sikap-sikap profesional,
mencakup pengetahuan tentang profesionalisme, komitmen emosi terhadap
profesionalisme, dan kesediaan untuk bertindak secara profesional.
Lebih lanjut UNESCO (Delors, 1997) menekankan pentingnya empat pilar
yang harus dilakukan dalam semua proses pendidikan, yaitu: belajar untuk
mengetahui (learning to know); belajar untuk berbuat (learning to do); belajar
untuk mandiri (learning to be); dan belajar untuk hidup bersama (learning to live
together).
Survey yang dilakukan oleh Harvard Seminar Participans mengenai keinginan
dan kebutuhan warga USA terhadap pendidikan umum atau sekolah-sekolah di
Amerika Serikat menunjukkan hasil: 16 persen ilmu pengetahuan, 32 persen
keterampilan, dan 52 persen nilai, (Reeves, 2002: 76). Di samping cerdas dan
terampil, keluaran sekolah harus berakhlak.
Henderson (1960: 114) menulis, “We can find the basis for morality in our own
natures, in the conduct necessary to realize our best potentialities and the kind of society
in which man could live as man”. Peserta didik pada dasarnya mengetahui nilai-
nilai moral, tugas pendidik adalah menguatkan dan membimbing mereka agar
cenderung pada kebaikan, menghindari dan mencegah keburukan.
MANSA merumuskan nilai-nilai keunggulan, yaitu: UngguL, ILmiah,
AmaLiyah, IBAdah dan Bertanggungjawab (ULIL ALBAB). Pembentukan
karakter/ budaya dilakukan melalui kurikulum dan pembiasaan, baik melalui
kegiatan rutin, spontan, maupun keteladanan, serta kegiatan yang terprogram.
Madrasah ini menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP).
Pendidikan karakter terintegrasi dalam kurikulum MANSA, tepatnya dalam
setiap mata pelajaran. Penanaman karakter diintegrasikan ke dalam setiap
materi pelajaran. Materi pelajaran dan kegiatan pembelajaran mengandung nilai
tertentu yang diupayakan bisa dimiliki oleh siswa. Strategi pembelajaran
dilakukan dengan berbasis masalah, kerjasama, dan kerja. Proses pembelajaran
dilakukan dengan menggunakan metode Aktif, Interaktif, Komunikatif, Efektif,
dan Menyenangkan (PAIKEM).
Kurikulum harus sejalan dengan budaya dan karakter bangsa. Mata
Pelajaran Muatan Lokal yang diajarkan adalah Bahasa Jawa, Bahasa Perancis,
Kewirausahaan, dan Karya Tulis Ilmiah (KTI). Kecuali itu, MANSA juga
memberikan pelajaran tambahan kepada para siswa dan guru, seperti pelatihan
pemadam kebakaran, workshop anti narkoba, dan seminar persahabatan.
Para pengembang kurikulum harus memerhatikan aspek moral, seperti
ditulis John D. McNeil (1977: 213-4), “People are becoming increasingly aware that
without a moral base, no governmental, technological, or material approach to these
issues will suffice. Hence, curriculum developers, too, are animated by an undercurrent
of moral concern”. Penanaman nilai bisa dilakukan melalui pengintegrasian nilai
ke dalam kurikulum. Karena itu, para guru harus diberi pemahaman atau
pelatihan tentang cara mengintegrasikan nilai tersebut ke dalam setiap materi
pelajaran. Dengan demikian, guru berada di garda depan penyadaran dan
pengembangan nilai.
Di MANSA disediakan fasilitas asrama bagi siswa Jurusan Agama. Di
asrama para siswa dididik secara intensif untuk menguasai materi keagamaan
dan keunggulan karakter yang berbasis pada agama.
Kegiatan ekstrakurikuler yang diadakan di MANSA untuk pengembangan
diri para siswa, yaitu: Kepramukaan, UKS, PMR, seni budaya, karya ilmiah, dan
pecinta alam. Untuk mendukung kegiatan ekstrakurikuler tersebut disediakan
ruangan khusus untuk masing-masing pengurus ekstrakurikuler. Keikutsertaan
siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler akan mengembangkan nilai-nilai positif
yang ada dalam dirinya, seperti: disiplin, tanggung jawab, cinta lingkungan, dan
peduli sesama.
Kecuali itu, madrasah juga memiliki kegiatan rutin seperti piket kelas,
jama’ah zuhur, dan kuliah tujuh menit; kegiatan spontan seperti berterima kasih,
membuang sampah pada tempatnya, dan meminta memberi maaf; kegiatan
keteladanan seperti ikhlas, berkomitmen, dan berdisiplin; dan kegiatan
terprogram seperti upacara bendera, baca-tulis Quran, dan lomba kebersihan
(lihat lampiran 1). Kegiatan siswa dan guru selama di madrasah itu mendukung
pembentukan karakter/ budaya, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Di
madrasah ada masjid dua lantai yang digunakan untuk salat. Madrasah menjadi
juara tingkat nasional dalam hal kebersihan, menunjukkan karakter bersih dan
cinta lingkungan.
Kotter dan Heskett (1992: 3-4) menulis bahwa budaya adalah “the qualities of
any specific human group that are passed from one generation to the next.” Deal dan
Peterson (1990: 4) mengartikan budaya sekolah sebagai “Deep patterns of values,
beliefs, and traditions that have formed over the course of the school’s history”.
Budaya sekolah adalah pengetahuan dan hasil karya cipta komunitas
sekolah yang berusaha ditransformasikan kepada peserta didik, dan dijadikan
pedoman dalam setiap tindakan komunitas sekolah. Pengetahuan dimaksud
mewujud dalam sikap dan perilaku nyata komunitas sekolah, sehingga
menciptakan warna kehidupan sekolah yang bisa dijadikan cermin bagi siapa
saja yang terlibat di dalamnya.
Ormord (2003: 136) menulis, “Many aspects of moral thinking and moral
behavior are apparently influenced by observation and modeling”. Keteladanan tidak
cukup hanya dijelaskan, tetapi harus diwujudkan dalam perilaku kepala
sekolah, guru, dan tenaga kependidikan.
Para peserta didik akan hidup dalam masyarakat, karena itu para guru
perlu mengkomunikasikan persoalan sosial, etik, dan konsekuensi politis dari
suatu perbuatan (Pinar, 2004: 16). Guru menyadari bahwa esensi pendidikan
adalah menjadikan peserta didik yang bermoral dan religious. Bahkan menurut
Whitehead (1957: 26), “The essence of education is that it be religious”.
Proses pendidikan moral itu kadang tidak disadari oleh guru, padahal
mereka telah menjalankannya. Hal ini seperti ditulis Kohlbergh (1981: 6),
“Although moral education has a forbidding sound to teachers, they constantly practice
it. They tell children what to do, make evaluations of children’s behavior, and direct
children’s relations in the classrooms. Some times teachers do these things without being
aware that they are engaging in moral education, but the children are aware of it”.
Beberapa aspek penting pendidikan dalam teladan ditulis Ajami (2006: 131),
yaitu: a) Manusia saling memengaruhi satu sama lain melalui ucapan,
perbuatan, pemikiran, dan keyakinan; b) Perbuatan lebih besar pengaruhnya
dibanding ucapan; dan c) Metode teladan tidak membutuhkan penjelasan.
Ajami (2006: 133) menulis, “Para murid bisa lupa perkataan pendidik, tapi
mereka tidak akan pernah melupakan sikap dan perbuatannya”.
Sekolah harus menanamkan sejak dini nilai-nilai utama pada siswa,
sehingga kelak mereka mampu mengamalkan nilai-nilai utama tersebut dalam
kehidupan nyata di masyarakat—apa pun profesi mereka. Menurut Kohlberg
(Crain, 2000: 165), “Wanted to see people advance to the highest possible stage of moral
thought. The best possible society would contain individuals who not only understand
the need for social order, but can entertain visions of universal principles, such as justice
and liberty”.
Bruner (1973: 52) menulis, “For the limits of growth depend on how a culture
assist the individual to use such intellectual potential as he may posses”.
Aktivitas, program, dan lingkungan sekolah harus mengajarkan pada siswa
tentang nilai-nilai utama, sehingga mereka bukan hanya tahu baik-buruk, tetapi
menjalankannya dalam kenyataan dan interaksi sehari-hari di sekolah.
Gustafson (1970: 7) menulis, “Morality cannot remain merely an intellectual exercise;
it must be put to the test, and children must see it put to the test by themselves and by
others around them in and out of the schools...Morality is put to the test every day in
schools, and we teachers are often found wanting in it.” Ketika siswa terbiasa dengan
perilaku, sikap, dan ucapan yang utama di sekolah, maka nilai-nilai utama bisa
menjadi budaya bagi mereka, yang tidak akan mudah luntur oleh terpaan
budaya-budaya negatif. Sebaliknya, budaya utama tersebut akan menjadi modal
berharga bagi kehidupan siswa kelak. Karena, budaya luhur akan membawa
pada keberhasilan dan bahkan kebahagiaan.
Luthan (1981: 563) menyebutkan bahwa karakteristik budaya organisasi
meliputi peraturan-peraturan perilaku yang harus dipenuhi, norma-norma,
nilai-nilai yang dominan, filosofi, aturan-aturan, dan iklim organisasi. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa budaya dapat diamati, ditelaah, dipelajari,
dan dikembangkan untuk kepentingan kemajuan suatu organisasi melalui
berbagai manifestasi budaya dan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya.
Caldwell dan Spink (1993: 69) menyebutkan beberapa unsur budaya
organisasi sekolah, sebagai berikut: perwujudan konseptual/verbal, perwujudan
dan simbolisasi visual/ material, dan perwujudan perilaku.
Segala hal (fisik dan non-fisik) yang ada di sekolah merupakan wujud atau
cermin jati diri para pendiri, pemimpin, dan pengelola sekolah. Sekolah perlu
menegaskan pencapaian karakter atau nilai apa saja yang harus dimiliki siswa
setelah belajar selama enam atau tiga tahun. Hanya dengan cara ini efektivitas
sebuah sekolah bisa diukur.
Robbins (1990: 253) mencatat lima fungsi budaya organisasi, yaitu: a)
membedakan satu organisasi dengan organisasi lainnya; b) meningkatkan sense
of identity anggota; c) meningkatkan komitmen bersama; d) menciptakan
stabilitas sistem sosial; dan e) mekanisme pengendalian yang terpadu dan
membentuk sikap dan perilaku karyawan.
Terbentuknya budaya organisasi bermula dari ide yang dimiliki oleh
pemimpin, selanjutnya budaya tersebut digunakan sebagai pedoman dalam
mengelola lembaga pendidikan. Tindakan manajemen puncak menentukan
iklim umum dari perilaku yang dapat diterima dan tidak. Keberhasilan
pembumian budaya di sekolah sangat tergantung pada fokus dan komitmen
pemimpin.
Di sekolah, karakter atau budaya tertentu yang ingin diterapkan mungkin
muncul pertama kali dari kepala sekolah atau pimpinan puncaknya. Akan
tetapi, budaya tersebut harus didiskusikan dengan anggota yang lainnya.
Diskusi antara pimpinan dan guru serta staf akan memunculkan kesepakatan
tentang budaya apa saja yang ingin ditransformasikan kepada para siswa
sebagai anak didik. Bagaimana strategi pembudayan dan penyediaan
fasilitasnya akan mudah dirumuskan melalui diskusi yang melibatkan banyak
pihak di sekolah. Selanjutnya, sekolah perlu menyiapkan langkah-langkah
evaluasi implementasi budaya tersebut. Keberhasilan penanaman karakter akan
sangat tergantung pada konsistensi program, ketepatan pembelajaran dan
metodenya, fasilitas sekolah, dan keteladanan dari kepala sekolah, guru, dan
staf.
D. PENGEMBANGAN SAINS
Komunitas madrasah ini menetapkan bahwa madrasah harus memiliki
keunggulan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Di MANSA diajarkan Mata
Pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Beberapa siswa—baik individu maupun kelompok—menjadi juara dalam
lomba sains seperti roket air jarak terjauh, robot line follower, OSN astronomi,
dan karya ilmiah remaja bidang IPA. MANSA melakukan upaya-upaya khusus
untuk menghadapi UN, SPMBM, dan KIR, seperti untuk Jurusan IPA dilakukan
Intensifikasi Matematika, Fisika, dan Kimia.
Tenaga pendidik bidang sains sesuai dengan bidang keahliannya. Mereka
berpendidikan minimal sarjana (S1). Keunggulan para pendidik bidang sains di
MANSA bisa dilihat dari tercapainya prestasi siswa-siswi MANSA dalam
bidang sains. Para siswa dengan bimbingan dari guru sains melakukan
penelitian bidang sains.
Keunggulan sains MANSA terlihat juga dari jumlah alumni yang terserap di
perguruan tinggi negeri. 30% lulusan MANSA lulus dalam ujian SPMB pada
Perguruan Tinggi favorit. Namun secara umum, 80% alumni MANSA
melanjutkan ke Perguruan Tinggi Negeri, seperti UGM, IPB, UNDIP, UNS,
UNSOED, UI, UII Unggulan, UNY, IAIN, UIN, dan Al-Azhar. Beberapa siswa
diterima di PTN/ PTS tanpa tes melalui PMDK/ PBUD/ SNMPTN undangan.
Madrasah umumnya tertinggal dalam penguasaan dan prestasi sains.
Ketertinggalan tersebut disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari mutu
pendidik dan peserta didik, kepemimpinan kepala Madrasah, tidak adanya
laboratorium sains, hingga persoalan manajemen Madrasah yang tidak
profesional.
Mengharapkan penguasaan sains pada siswa tanpa penyediaan sarana
seperti perpustakaan dan laboratorium IPA yang memadai suatu hal mustahil
terwujud. Karena itu, madrasah unggul harus memprioritaskan kelengkapan
sarana pembelajaran IPA yang di atas standar.
Gardner dan Cowell (1995: 35) berpendapat, “Sumber belajar dimaksud
termasuk juga perlengkapan mengajar yang dimanfaatkan guru untuk
mengajar. Perlengkapan berarti semua barang di sekolah yang dapat digunakan
untuk membantu guru mengajar”. Tidak hanya bola dunia, peta, chart, diagram,
gambar, model, dan alat atau beraneka macam alat bantu belajar, melainkan
juga buku, baik buku teks maupun buku perpustakaan, dan laboratorium fisika,
kimia, dan biologi yang memadai dan nyaman.
Banyaknya perlengkapan mengajar yang dimiliki sekolah bukanlah
petunjuk yang memadai untuk menilai baik tidaknya suatu sekolah. Sekolah
dengan banyak perlengkapan dapat saja dikatakan sebagai sekolah buruk jika
perlengkapannya tidak digunakan sama sekali. Gardner dan Cowell (1995: 35)
menyatakan, “Sekolah dengan perlengkapan yang sedikit masih dapat
dikatakan sangat efektif apabila para guru dan siswa memakainya secara
inteligen dan apabila dapat membantu anak-anak agar dapat memahami
pelajaran lebih baik”.
Hal ini menunjukkan pentingnya manajemen sekolah memfasilitasi para
guru dengan sebuah program pelatihan singkat tentang bagaimana
menggunakan sapras (termasuk perlengkapan mengajar) secara efektif dan
efisien. Dengan demikian, guru bisa memanfaatkan sapras dan perlengkapan
yang tersedia di sekolah dengan sebaik-baiknya.
Standar sarana dan prasarana sekolah, hingga saat ini belum terpenuhi.
Fasilitas-fasilitas dasar sekolah yang mesti dipenuhi untuk tingkat SD, antara
lain, adalah ruang kelas, ruang guru, perpustakaan, ruang usaha kesehatan
sekolah, tempat beribadah, jamban, dan olahraga, dan laborartorium IPA.
Di tingkat SMP ditambah konseling, organisasi kesiswaan, dan tata usaha.
Ada pun di tingkat SMA prasarana laboratorium mesti lengkap, yakni
laboratorium Fisika, Kimia, Biologi, komputer, dan bahasa.
Berdasarkan data Depdiknas tahun 2008, baru 32 persen SD memiliki
perpustakaan, sedangkan di SMP 63,3 persen. Pada jenjang SMA keberadaan
perpustakaan di SMA negeri mencapai 80 persen, di SMA swasta 60 persen,
serta di SMK 90 persen. SMA negeri yang punya laboratorium multimedia 80
persen, sedangkan SMA swasta 50 persen. Yang punya laboratorium IPA
lengkap (Fisika, Biologi, dan Kimia) sudah 80 persen. Kondisi memprihatinkan
terjadi di SMA swasta karena yang punya tiga laboratorium IPA baru 10 persen
dan yang dua laboratorium IPA 30 persen (Kompas, 22 Oktober 2009).
E. PENGEMBANGAN LIFE SKILLS (VOKASIONAL)
Tidak semua alumni Madrasah melanjutkan ke Perguruan Tinggi (PT).
Alumni Madrasah yang tidak melanjutkan ke PT seharusnya bisa tetap
produktif dan kreatif dalam menjalani hidupnya. Karena itu, Madrasah harus
membekali peserta didik dengan life skill.
Kurikulum vokasional bagi Jurusan Bahasa (intrakurikuler bagi kelas X)
MANSA adalah Bahasa Perancis, Karya Ilmiah remaja (KIR), dan Public
Speaking; Jurusan IPA kelas XII adalah Elektronika dan kelas XI adalah
Bioteknologi; Jurusan IPS adalah kewirausahaan; dan Jurusan Agama adalah
Nahwu Sharaf. Adapun ekstrakurikulernya adalah KIR, pelatihan khutbah,
syarhil Qur’an, musik, dan olahraga (basket, futsal, bulu tangkis). Pembiasaan
Rutin di MANSA adalah muhadharah, menjadi imam salat berjamaah, dan khatib
salat Jumat secara bergilir. Muhadharah adalah pidato 5-7 menit setelah salat
jamaah wajib.
Madrasah mengirim siswa ke berbagai perlombaan. Siswa madrasah
menjadi juara dalam beberapa lomba seperti bercerita dalam Bahasa Prancis, da’i
remaja, cipta lagu, band, dan karya ilmiah. Mereka juga menjadi juara dalam
Nasyid, sepak takraw, MTQ, kaligrafi, fahmil Qur’an, musik religi, bulutangkis,
tenis meja, dan bola voli.
Alumni Madrasah harus bisa menjadi generasi yang kuat dan tangguh
secara mentalitas, sehingga mampu menjawab setiap masalah dan tantangan
hidup di abad 21 ini. Masalah dan tantangan hidup saat ini jauh lebih kompleks
dan berat daripada masa-masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan daya saing di
dunia kerja sangat ketat dan kebutuhan hidup yang semakin mahal atau tinggi,
sehingga memerlukan ketahanan mental dan jiwa kreatif yang tinggi. Jika tidak
dibekali dengan life skill—melalui pembelajaran dan pengalaman di sekolah dan
masyarakat, maka alumni Madrasah akan menjadi pengangguran dan tidak
menutup kemungkinan menjadi benalu bagi masyarakat sekitarnya.
Dalam rangka menyiapkan lulusan yang terampil dan mandiri, madrasah
harus menyediakan ekstrakurikuler dan/atau jurusan yang bisa membekali
siswa keterampilan khusus, terutama bagi siswa-siswa dari kalangan tidak
mampu yang tidak akan melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Penguasaan keterampilan khusus bisa menjadi modal yang besar bagi
lulusan madrasah untuk mandiri dan mengembangkan potensinya lebih besar
lagi, baik dengan jalan menjadi pekerja atau berwirausaha sesuai dengan
kompetensinya.
Disamping kecerdasan intelektual, siswa dididik memiliki kecerdasan
emosional; hard skills dan soft skills. Kecerdasan intelektual dan emosional, dan
hard skills dan soft skills identik dengan life skills. Hidup berisi kebahagiaan juga
kesedihan; hidup menawarkan kemudahan tapi tidak sedikit kesulitan.
Kekuatan emosional itulah yang bisa menuntun manusia tetap tegar meski
kesedihan dan kesulitan menghampirinya.
Siswa perlu diajarkan life skills sejak dini. Adapun definisi life skills menurut
WHO adalah abilities that help us to adapt and behave positively so that can deal
effectively with the challenges of everyday life (Hanbury, 2008: 9). Tantangan hidup
siap menanti generasi muda sehingga diperlukan usaha sadar dari orangtua,
sekolah, dan masyarakat untuk membekali mereka dengan keterampilan hidup
sedini mungkin.
Ada lima area dasar life skills yang relevan diterapkan dalam budaya
manapun (Department of Mental Health WHO, 1999: 1): 1) Decision-making and
problem-solving; 2) Creative thinking and critical thinking; 3) Communication and
interpersonal skills; 4) Self-awareness and empathy; dan 5) Coping with emotion and
coping with stress.
Bagaimana keterampilan masyarakat kita dalam lima aspek di atas? Lihat
bagaimana kita mengelola dan mengatasi kemacetan dan banjir di jalan raya
yang tidak menunjukkan tanda-tanda segera teratasi. Bagaimana pengambilan
keputusan dan pemecahan masalah di DPR dan DPRD terkait hal tersebut? Kita
menolak banjir namun di kota tumbuh subur bangunan mall dan apartemen,
dan di kawasan puncak tumbuh pesat bangunan hotel dan villa. Kita menolak
kemacetan namun kredit motor dan mobil dipermudah; kepemilikan kendaraan
bermotor dibiarkan tumbuh tanpa kendali.
Bagaimana dengan kreativitas masyarakat kita? Hingga kini kita dikenal
sebagai bangsa konsumen bukan produsen. Mobil, motor, dan telepon semua
hasil karya bangsa lain. Kita bangsa penikmat bukan bangsa pencipta. Bahkan
kita kalah dengan Korea Selatan dan Malaysia. Masyarakat kita juga mudah
ditipu oleh calon anggota legislatif hanya dengan sedikit rupiah dan dibumbui
dengan janji-janji palsu. Daya kritis mereka tumpul dengan memilih calon yang
tidak kompeten dan tidak berintegritas.
Keterampilan komunikasi dan empati para politisi, pengacara, dan tokoh
masyarakat juga lemah. Pada acara Indonesian Lawyer Club (ILC) di sebuah
stasiun televisi swasta sering terlihat bagaimana kualitas komunikasi dan empati
mereka terhadap lawan bicara. Misalnya, memotong lawan bicara, berbicara
kasar dan keras, dan tidak menghargai pendapat orang lain.
Emosi masyarakat kita mudah tersulut sehingga terjadi tawuran; penuh
dendam dan amarah. Pelajar dan mahasiswa terlibat tawuran menaun;
kekerasan senior terhadap yunior terjadi di Perguruan Tinggi ikatan dinas.
Demikianlah gambaran buram masyarakat kita yang menunjukkan pentingnya
pendidikan life skills di sekolah-sekolah. Sedari dini mereka harus dikenalkan
betapa kehidupan di luar sana penuh tantangan yang tak mudah ditaklukkan.
Musuh mereka bukan senjata pistol dan meriam tetapi emosi dan cara berpikir
masyarakat yang tak kunjung dewasa dan terdidik.
Generasi masa depan kita bisa mengubah keadaan tersebut lebih baik dari
sebelumnya. Keluaran dari orang yang memiliki life skills adalah teamwork, self-
esteem, learning from each other, confidence, etc (Hanbury, 2008: 10). Karena life skills
kita lemah—sebagaimana dijelaskan di atas, maka kita tidak memiliki: kerja tim,
harga diri, jiwa belajar, dan percaya diri.
Seharusnya pemerintah dan DPR bekerjasama membangun negeri demi
kesejahteraan rakyat, namun mereka bekerja untuk kepentingan partai dan
jaringannya. Kue besar APBN dan APBD dibagi-bagi antar partai pemenang
pemilu. Lihat saja bagaimana formasi menteri pembantu Presiden kita;
gambaran sempurna bagi-bagi kue kekuasaan. Pertimbangannya sangat politis
bukan dasar profesionalitas.
Mereka melakukan apa pun cara untuk berkuasa. Petinggi partai, pejabat,
pemerintah, dan DPR korupsi berjamaah. Suap-menyuap dalam kasus pilkada
dan pejabat yang semuanya berakhir di penjara menandakan hilangnya harga
diri (self-esteem) mereka. Meraih jabatan dengan pengorbanan materi dengan
harapan meraih materi lebih banyak lagi setelah berkuasa. Pemimpin, wakil
rakyat, dan pejabat seperti inikah yang memiliki harga diri itu?
Lalu, bagaimana bangsa ini seolah tidak pernah belajar kepada kemajuan
bangsa lain? Bagaimana Negara yang memiliki sumber daya alam yang kaya—
daratan dan lautan—bisa kalah maju dari Singapura, Korea Selatan, dan Jepang.
BBM, beras, daging, dan gula, semuanya mengandalkan impor. Apa kita
memang bangsa yang tidak pernah belajar dari kemajuan bangsa lain?
Murid-murid dan guru kita juga terkenal rendah diri atau tidak percaya diri.
Malu bertanya dan menjawab pertanyaan guru, sedangkan guru pasif saat
mengikuti pelatihan. Sedikit murid kita yang punya mimpi besar, seperti bisa
sekolah di luar negeri karena guru tidak memotivasi dan membesarkan hati
murid.
Pertanyaannya, mengapa masyarakat kita lemah dalam life skills? Karena
sekolah hanya menjalankan pembelajaran bukan pendidikan. Di rumah dan di
masyarakat kering nilai-nilai pendidikan. Sangat sulit mencari tokoh teladan di
negeri ini. Maka, life skills sangat penting menjadi agenda utama sekolah dan
perguruan tinggi. Life skills are generic skills, relevant to many diverse experiences
throughout life (WHO, 1999: 5).
F. PENUTUP
MAN Yogyakarta I (MANSA) tidak hanya memiliki keunggulan karakter,
tetapi juga memiliki keunggulan sains dan keunggulan vokasional. Madrasah
sudah berhasil mencapai visinya karena ada dukungan dari kepala madrasah,
integritas dan kompetensi guru, staf yang kompeten, kurikulum yang bagus,
fasilitas yang memadai, dan siswa yang rajin. Banyaknya perlombaan yang
diikuti siswa setiap tahun menunjukkan perhatian dan komitmen kepala
madrasah terhadap pengembangan siswa dan guru.
Referensi
Ajami, Al-, M.A. (2006). Al-Tarbiyah al-Islâmiyah: Al-Ushûl wa al-Tathbîqât. Riyadh: Dâr Al-Nâsyir Al-Daulî.
Bruner, J.S. (t.th.). The Relevance of Education. New York: The Norton Library.
Caldwell, N.J. and Spink, J.M. (1993). Leading the Self-Managing School. London: Falmer Press.
Crain, W. (2000). Theories of Development; Concepts and Applications. New Jersey: Prentice Hall.
Department of Mental Health WHO. (1999). Mental Health Promotion; Partners in Life Skills Educaion. Geneva: World Health Organization.
Gardner, R., dan Cowell, N. (1995). Teknik Mengembangkan Guru dan Siswa; Buku Panduan untuk Penilik Sekolah Dasar. Jakarta: Grasindo. Penerjemah: Setyani D. Sjah.
Febrialdi. (2013). Siswa Indonesia Peringkat 64 Dari 65 Negara, tapi Paling Bahagia di Dunia. http://edukasi.kompasiana.com. Diunduh pada 11/11/2014
Gustafson, J.M., et. all. (1975). Moral Education; Five Lectures. Cambridge and London: Harvard University Press.
Hanbury, C. (2008). The Life Skills Hanbook; An Active Learning Handbook for Working with Children and Young People. www.lifeskillshandbooks.com. Diunduh pada Mei 2014.
Hermawan, E. (2013). Tawuran Sekolah Jakarta Naik 44 Persen. http://www.tempo.co. Diunduh pada 11/11/2014
Jarvis, P. (1983). Professional Education. London-Canberra: Crown Helm.
Kohlberg, L. (1981). The Philosophy of Moral Development. San Francisco: Harper & Row
Kotter, J.P., and Heskett, J.L. (1992). Corporate Culture and Performance. New York: The Free Press.
Luthan, F. (1981). Introduction to Management. New York: McGraw-Hill Book Co.
Mahardika, M.F. (2013) Relfleksi Pelajar Akhir Tahun Pelajaran 2012-2013. http://edukasi.kompasiana.com. Diunduh pada 11/11/2014
McNeil, J.D. (1977). Curriculum: A Comprehensive Introduction. Canada: Little, Brown & Company.
Ormrod, J.E. (2003). Human Learning. Fourth Edition. New York: Pearson Prentice Hall.
Pinar, W.F. (2004). What Is Curriculum Theory? New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates
Reeves, D.B. (2002). The Leader’s Guide to Standars: A Blueprint for Educational Equity and Excellence. San Francisco: Jossey-Bass.
Robbins, S.P. (1993). Organizational Behaviour. 6th edition. New Jersey: Prentice Hall. Inc. Internet Edition.
Whitehead, A.N. (1957). The Aims of Education and Other Essays. England: William and Norgate, Ltd.
Lampiran 1
Kegiatan MANSA
Rutin
Datang tepat waktu dilanjutkan dengan melaksanakan 5 S (Senyum,
Sapa, Salam, Sopan, Santun).
Doa awal dan tadarus bersama melalui sentral audio dipandu oleh
guru agama secara bergantian.
Shalat Dhuha.
Shalat Dzuhur berjamaan di masjid.
Doa penutup mata pelajaran dipimpin oleh guru mata pelajaran jam
terakhir.
Berjabat tangan dan mengucapkan salam ketika bertemu.
Berbusana sesuai tata tertib yang berlaku di Madrasah.
Piket kelas dan menjaga kebersihan lingkungan.
Spontan
Memberi dan menjawab salam.
Meminta dan memberi maaf.
Berterimakasih.
Mengunjungi orang yang sakit.
Membuang sampah pada tempatnya.
Menolong orang yang sedang kesusahan.
Melerai pertengkaran.
Keteladanan
Berkasih sayang pada yang lebih muda, hormat pada yang lebih tua.
Sopan dalam perilaku, santun dalam bertutur kata, serta menjaga
akhlaqul karimah.
Ikhlas dalam belajar dan bekerja.
Menjaga nama baik madrasah.
Berkomitmen dan berdisiplin.
Kegiatan
yang
Terprogram
Harian
Remedial teaching untuk kelas X dan XI.
Matrikulasi baca Al-Quran dan hafalan surat-surat pendek untuk kelas
X dan XI.
Mingguan
Setiap Senin minggu pertama, ketiga dan kelima diadakan upacara
bendera.
Setiap Senin minggu kedua pengajian pada hari Senin jam pertama.
Setiap Senin minggu keempat audiensi antara siswa dengan para wali
kelasnya.
Setiap Senin mengumpulkan infaq.
Tahunan
PPL kelas X dan XI.
Pelatihan ESQ kelas X, XI dan XII.
Mujahadah Kelas X, XI, dan XII.
Pendalaman materi pelajaran UN kelas XII.
Pelatihan manasik haji.
Pelatihan perawatan jenazah.
Pesantren Ramadhan kelas XI.
Lampiran 2
Keteladanan MANSA
Disiplin Kepala sekolah, guru, dan staf datang ke sekolah tepat waktu
Rapat atau pertemuan di sekolah dilaksanakan tepat waktu
salat berjamaah tepat waktu
Kejujuran transparansi dana dan perencanaan sekolah
Kerja keras Kepala sekolah mengunjungi kelas
Kepala sekolah memeriksa toilet dan halaman sekolah secara rutin
menampilkan bahan pengajaran yang optimal
guru tidak sekedar mengajar, tetapi mendidik
memeriksa dengan baik setiap tugas-tugas siswa dan memberikan
umpan balik
Kreativitas
Kepala sekolah membuat program pengembangan potensi anak didik
Guru mengembangkan metode mengajar yang variatif
Guru menulis karya ilmiah (buku, modul, artikel, alat peraga, dll)
Rasa
Kebangsaan
Mengadakan upacara bendera
Mengadakan upacara peringatan hari-hari besar nasional
Peduli
Sosial
Mengunjungi warga sekolah yang mengalami musibah (sakit,
kecelakaan, meninggal dunia, bencana alam)
Memberikan beasiswa/keringanan kepada siswa yang kurang mampu
Menghargai
Prestasi
Pemberian hadiah terhadap siswa-siswi yang berprestasi dengan
variasi yang beragam—baik berupa materi maupun non-materi
Lampiran 3
Prestasi MAN Yogyakarta I
NO PRESTASI PENYELENGGARA TAHUN
1 Juara 3 Perustakaan SMA/MA se Kota Jogja Dinas Pendidikan
Kota Jogja
2010
2 Juara 1 MA Berprestasi Nasional kategori
Reguler
Dep. Agama RI 2007
3 Juara 1 MA Berprestasi DIY Kanwil Depag 2007
4 Juara 3 Madrasah Sehat DIY Kanwil Depag DIY 2007
5 Juara 3 Madrasah Sehat DIY Kanwil Depag DIY 2005
6 Juara 2 Madrasah Berprestasi Nasional
Kategori Reguler
Dep. Agama 2005
Lampiran 4
Prestasi Siswa MAN Yogyakarta I
NO NAMA JUARA JENIS LOMBA & PENYELENGGARA BULAN &
TAHUN
1 Band II DIY Band SMA (Univ. Janabadra) Juni
2 Tim Roket III DIY Roket Air (STTA) Mei
3 Tim Robot IV DIY Jateng Robot Line Follower (UNY) Mei
4 Tim LCC III DIY LCC Bhs. Perancis (FBS UNY) Mei ‘ 11
5 MG Coustik II DIY Nasyid (Festifal Seni Islami) Mei 11
6 Tim LCC III DIY Jateng LCC Bhs. Perancis (SMA N 8) Mei’ 11
7 Nur Dian II & III DIY Sepak Takraw (POPDA DIY) Maret’ 11
8 Iis Mega E III DIY Tenis Meja (POPDA DIY) April’ 11
9 III DIY Taekwondo (POPDA DIY) April ‘ 11
10 Tim Roket I Roket terjauh (UMY Fak. Tek.) Mart’ 11
11 Hadyan A, Ainun N, Luvisola I, Hrp I, II Esai (CCS MORA UIN Suka) Mart’ 11
12 Hadiyan A&Ainun N III DIY Jateng LKTI Bank Syari’ah (UII Eko) Mart ‘ 11
13 Nur Sarafina I DIY Foto Terbaik Busna Muslim (IBF) Feb 11
14 Joni Pranata J I Kota Pencak Silat Klas A (POPDA) Feb’11
15 Iis Maga E I Kota Tenis Meja Putri (POPDA) Feb’11
16 Nur Sarafina I DIY Foto terbaik Busana Muslim (Islami Book Fair) Feb’11
17 Fanny NS I DIY Kaligrafi (IKM Riau) Feb’11
18 Abdul Kafi & M. Mahruf II & Hrpn 1 Adzan (UAD) Feb’11
19 Nila Hazra II DIY MTQ Putri (Muallimin Muh. Yk) Feb’11
20 Zain Amri II DIY Pidato Bhs.Indo (Muallimin Muh Yk) Feb’11
21 Hadiyan A & Ainun Nuha The Best Poster
Nasional
Olimpiade Geografi (Geografi UGM) Feb’11
22 Abdul Kafi III DIY MTQ (Al Mizan UIN) Jan ‘11
23 Anisa I & Fanny NS II & III DIY Kaligrafi (Al Mizan UIN) Jan’11
24 Tim Fahmil (Miftah dkk) I DIY Fahmil Qur’an (Al Mizan UIN) Jan’11
25 Pramuka 6 Tropy Juara PDT
Kota YK
PDT Pramuka (Kwarcab Kota) Des ‘10
26 MG Coustik & MANSA Coustik II & Hrpn 1 DIY Musik Religi (UAD) Des’10
27 Lasita R II DIY & Jateng LKTI (Komunikasi UPN) Nov’10
28 Irvani R & Lasita R II & Hrpn 1 DIY Pidato Bhs. Jawa (Farmasi UGM) Nov’10
29 Mira F & Rr. Umi M I DIY LKTI Tekno Ramah Lingk. (Kimia UGM) Nov’10
30 KIR (Fina dkk ; Gina dkk) Finalis Nasional OPSI (Kemediknas) Okt’10
31 Tim KIR (Arini dkk, Lisra dkk, I, II dan Hrpn 1 DIY LKTI (Balitbang Keagamaan Semarang) Okt’10
Andina dkk) Jateng
32 Luvisola AG II DIY Esai HIV AID (FKU UII) Okt’10
33 Bagas AS II DIY Poster HIV/AID (FKU UII) Okt’10
34 MG Coustik II DIY Musikalisasi Puisi (BEM UGM) Okt’10
35 MG Coustik I DIY Musik Relegi (Pocari) Agst’10
36 Tim I Nasional Roket Air (STTA) Agst’10
37 M Nur Rohim II Kota OSN Astronomi (Dinas Pend. Kota Yk) Juli’10
38 Tim III & Harpn 1 DIY Scintek Idol (Taman Pintar) Juli ‘10
39 Tim I Yel-Yel DIY Scintek Idol (Taman Pintar) Juli’10
40 Tim Robot II Nasional Robot Line Follower Senior (Taman Pintar) Juli’10
41 Tim Robot II Nasional Yuda Robot (Taman Pintar) Juli’10
42 Tim Robot III Nasional Robot Line Follower (Taman Pintar) Juli ‘10
43 Tim KIR (Lisra dkk) II Jawa Bali LKTS (FMIPA UNY) Juli ‘10
44 Astrid SV II Jawa Bali Speech Contest (Bio UNY) Juli ‘10
45 Pramuka I Umum Pa DIY Jelajah Budaya (BP3 Jogja) Juni’10
46 Abdul Khafi II DIY MTQ (MA Mu’allimin Muh) Mei’10
47 Afrin Fikri & Zain Amri I & III DIY Pidato Bhs. Indonesia (MA Mu’ allimin Muh.) Mei’10
48 Tim Robot IV DIY Robot Line Follower (UNY) April’10
49 Arini M & Dyah K III DIY Esai (Fak. Kehutanan UGM) April’10
50 Noordian M III Regu Pa DIY Sepak Tkraw (POPDA DIY) April’10
51 Purusa Yogi III Tunggal & II
Ganda Campuran
Bulutangkis (POPDA DIY) April’10
52 Iis Mega E III Tunggal & II
Ganda putri DIY
Tenis Meja (POPDA DIY) April’10
53 Alifia AZ III Regu Pi DIY Bola voli (POPDA DIY) April’10
54 Band III DIY Band XL Heroes (XL&Swaragama) Maret’10
55 Astrid SV III DIY Jateng Storry Telling (FakTeknik UAJY) Feb’10
56 Nasyid I DIY Cipta Lagu Islami (ANS) Feb’10
57 Band Finalis DIY Jateng Jingle Dare Indomie Feb’10
58 Astrid SV I DIY Jateng Storry Telling (UIN) Jan’10
59 Pramuka I Putra DIY Pengembaran Desember Tradisional (Kwarcab
Kota)
Des’09
60 Pramuka II Putri DIY Pengembaran Desember Tradisional (Kwarcab
Kota)
Des’09
61 Tim I & III DIY Roket Air Jarak Terjauh(UMY) Des’09
62 Tim I DIY Roket Air Ketepatan (UMY) Des’09
63 Astrid SV II DIY Cerita Bhs.Prancis (FIB UGM) Des’09
64 Tim III DIY LCC Bhs. Prancis (FIB UGM) Des’09
65 Tim Robot I & II DIYJateng Robot Line Follower (STTNas) Nop’09
66 Pramuka Gudep Percontohan Kwartir Yogyakarta Nop’09
67 Perpustakaan III Kota Yk Perpustakaan Teladan Nop’09
68 Tim Robot III DIY Jateng Robot Line Follower (STTA) Nop’09
69 Lasita R & Bagus R I Kota Jogja KIR bid. IPS (Dinas Pend Kota ) Nop’09
70 Ginuk AS & MN Farid II Kota Jogja KIR Bid IPA (Dinas Pend Kota Yk) Nop’09
71 Nur Kholifah III DIY jateng Esai Sejarah (UGM) Nop’09
72 Lasita Rahmawati II DIY Dai Remaja Pi (UIN) Nop’09
73 Afrin Fikri II DIY Dai Remaja Pa (UIN) Nop’09
74 Tim II DIY Mading Bhs. Ingrris (UIN) Nop’09
75 Tim II DIY Mading Bhs. Arab (UIN) Nop’09
76 Pramuka I DIY Adu Pintar Pramuka (TVRI Jogja) Nop’09
77 Tim IV Kota Jogja LCC UUD 45 (Dinas Pend Kota) Nop’09
78 Tim Robot I DIY Jateng Robot Lin Follower (UTY) Sept’09
79 Tim (Hanum dkk) II DIY Debat Politik (TVRI Jogja) Agst’09
80 Tim (Astrid dkk) I DIY Cerita Bhs Prancis (FBS UNY) Agst’09
81 Tim III DIY Yuda Robot (Taman Pintar) Agst’09
82 Purusa Yogi I MA Nasasional Bulutangkis Pa (Depag RI) Juli’09
83 Ginuk Ari S III MA Nas KIR IPA (Depag RI) Juli’09
84 Mariska S & Arini N I MA Nasional KIR IPS (Depag RI) Juli’09
85 Lasita R & Bagus R I MA Nasional KIR Agama (depag RI) Juli’09
Prestasi tahun sebelumnya, dituliskan yang juara di tingkat nasional karena terbatasnya tempat
86 Tartusi & Ery II Nasional Cipta Lagu (Depdagri RI) Nop’08
87 St. Alifah Farhana II Nasional KIR IPS (LIPI) Agust.’08
88 Aning AZ & Susi S III Nasional KIR IPS (Depdiknas) Agustus’08
89 Tim IV Nasional LCC UUD 45 (MPR RI) Agustus’08
90 Nurhamidah I MA Nasional KIR Bid Agama (Depag RI) Okto.’08
91 St.Alifah & Sukron II Nasional KIR (Magistra Utama) Mei’08
PEMBENTUKAN BUDAYA DISIPLIN
DI SMK NEGERI 18 JAKARTA
Oleh :
JEJEN MUSFAH
Dosen FITK UIN Jakarta, [email protected]
MARIATUL KIFTIAH
Guru SDIT Gembira Bekasi, [email protected]
Pendahuluan ♦ Pembentukan Budaya Disiplin ♦ Penanaman Budaya Disiplin
♦ Pemberian Reward dan Punishment ♦ Penutup
A. PENDAHULUAN
Dunia pendidikan kita telah memberikan porsi yang sangat besar untuk
pengetahuan, tetapi melupakan pengembangan nilai dan perilaku dalam
pembelajarannya (Muslich, 2011: 17). Perilaku remaja diwarnai dengan gemar
menyontek dan kebiasaan bullying di sekolah (Zubaedi, 2013: v). Fenomena
tersebut terjadi karena minimnya usaha penanaman karakter di sekolah. Sekolah
dirasakan perlu melakukan pembiasaan karakter positif, yang nantinya
diharapkan dapat menjadi budaya sekolah yang melekat pada diri peserta didik.
Manajemen iklim budaya sekolah merupakan kebijakan yang harus
diperhatikan oleh kepala sekolah dan guru dalam rangka pendidikan karakter
di sekolah (Tu’u, 2004: 35). Kepala sekolah dan guru harus menciptakan budaya
sekolah yang efektif dalam rangka pendidikan karakter di sekolah. Di antara
nilai karakter yang dapat dikembangkan dalam budaya sekolah adalah
kedisiplinan. Menurut Husain dan Ashraf (1979: 107), “Dalam dunia
kontemporer saat ini perhatian lebih ditujukan pada bangunan, peralatan,
perlengkapan, dan materi, dibandingkan pada kepribadian dan karakter guru”.
Disiplin sekolah apabila dikembangkan dan diterapkan dengan baik,
konsisten, dan konsekuen akan berdampak positif bagi kehidupan dan perilaku
siswa (Tu’u, 2004: 35). Disiplin di lingkungan sekolah ditanamkan melalui
pembiasaan. Pembiasaan disiplin yang diterapkan sekolah diharapkan akan
menjadi budaya sekolah yang dapat mendukung peningkatan mutu pendidikan.
Banyak sekolah yang belum memahami bahwa budaya disiplin harus
diperhatikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Budaya disiplin
belum terbentuk dengan baik. Sekolah saat ini sangat mengutamakan aspek
pengetahuan peserta didik, namun mengabaikan pembentukan sikap.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan budaya disiplin di sekolah tidak
kondusif. Pertama, lemahnya kepemimpinan kepala sekolah dalam menciptakan
budaya disiplin. Kedua, lemahnya implementasi tata tertib dalam rangka
penanaman budaya disiplin. Ketiga, belum optimalnya proses sosialisasi budaya
disiplin. Keempat, minimnya usaha penanaman nilai disiplin di sekolah. Kelima,
disiplin kerja guru masih rendah. Keenam, belum efektifnya pemberian reward
dan punishment.
Pembentukan budaya disiplin di sekolah merupakan strategi peningkatan
mutu pendidikan melalui penanaman dan pembiasaan nilai disiplin di sekolah,
yaitu perilaku yang menunjukkan ketaatan terhadap peraturan yang berlaku di
sekolah. Pembiasaan nilai disiplin yang dilakukan oleh sekolah tersebut
diharapkan dapat menjadi budaya yang melekat dalam kehidupan sehari-hari,
baik kehidupan peserta didik, guru, staf, maupun kepala sekolah.
SMK Negeri 18 Jakarta memiliki peraturan sekolah yang ketat dengan
sistem pemberian poin pada setiap pelanggaran dan prestasi yang dilakukan
oleh peseta didik. Sekolah ini berusaha menanamkan budaya disiplin bagi guru
dan peserta didik.
B. PEMBENTUKAN BUDAYA DISIPLIN
1. Pentingnya Disiplin
Phillips, dikutip oleh Komariah dan Triatna (2010: 101) merumuskan
budaya sekolah sebagai the beliefs, attitudes, and behaviors which characterize a
school. Kedisiplinan bisa menjadi identitas sekolah tertentu. Kepala Sekolah,
guru, dan peserta didik di SMK Negeri 18 Jakarta sangat menyadari
pentingnya kedisiplinan di sekolah. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Kepala Sekolah bahwa, semua aturan dan kegiatan dapat dijalankan dengan
baik jika adanya disiplin. Arti disiplin menurut Liang Gie, dikutip oleh Imron
(2004: 135) adalah suatu keadaan tertib dimana orang-orang yang tergabung
dalam suatu organisasi tunduk pada peraturan-peraturan yang telah ada
dengan rasa senang hati.
Kepala sekolah dan guru-guru menyadari bahwa disiplin sangat penting
diterapkan dalam proses pembelajaran di sekolah. Kedisiplinan yang tinggi
tidak hanya dapat mendukung kelancaran seluruh kegiatan di sekolah,
melainkan peserta didik juga dapat belajar membiasakan diri untuk
berperilaku positif, yang bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya.
Kesadaran Kepala Sekolah dan guru-guru akan pentingnya disiplin di
sekolah juga didukung oleh kesadaran yang muncul dari diri peserta didik.
Hal tersebut terbukti dari pernyataan saudara Widodo selaku Ketua Umum
OSIS, yang menyatakan bahwa disiplin itu penting sekali, dan harus
diterapkan mulai dari diri sendiri. Selain itu, Apriliani selaku Ketua OSIS 1
juga menyatakan bahwa jika tidak ada disiplin suasana sekolah menjadi
kacau.
2. Pembuatan tata tertib
Kotter dan Heskett, dikutip oleh Tika (2012: 19) menyatakan bahwa
budaya organisasi yang diciptakan oleh manajemen puncak
diimplementasikan menjadi visi/filosofi atau strategi bisnis. Tata tertib di
SMK Negeri 18 Jakarta dibuat oleh Kepala Sekolah dan guru. Seluruh guru
turut berperan dalam penetapan tata tertib di SMK Negeri 18 Jakarta.
Selain siswa, guru-guru juga memiliki standar-standar yang harus
dipatuhi. Standar-standar tersebut berasal dari dinas dan juga kesepakatan
bersama para guru. Standar-standar untuk guru dan siswa ditempel di
beberapa titik, di antaranya di depan ruang guru, seperti foto standar guru
dan siswa. Menurut Kreitner dan Kinicki, fungsi budaya organisasi adalah
memfasilitasi komitmen kolektif. Anggota organisasi mempunyai komitmen
bersama tentang norma-norma dalam organisasi yang harus diikuti dan
tujuan bersama yang harus dicapai (Daryanto dan Farid, 2013: 220; Wibowo,
2013: 49-52).
Tata tertib siswa sangat banyak, di antaranya: ketentuan pakaian seragam
sekolah, ketentuan kegiatan ekstrakurikuler, dan lainnya yang menunjang
disiplin siswa. Sedangkan standar-standar untuk guru juga disesuaikan
berdasarkan tugas pokok dan fungsinya, seperti: standar kinerja guru,
standar pakaian seragam guru, standar kinerja wali kelas, dan lain-lain.
Selain standar-standar guru dan siswa, ditempel juga berbagai macam
motto, contoh seragam siswa yang baik, dan simbol-simbol lainnya yang
secara tidak langsung dapat mendukung pembentukan budaya disiplin di
sekolah. Menurut Wiyani (2012: 139), “Budaya sekolah adalah suasana
kehidupan sekolah tempat antar anggota masyarakat sekolah saling
berinterkasi. Interaksi tersebut terikat oleh berbagai aturan, norma serta etika
bersama yang berlaku di sekolah.”
3. Sosialisasi tata tertib
Stephen P. Robbins (1996: 297-299) mengemukakan bahwa untuk
mempertahankan suatu budaya organisasi diperlukan sosialisasi. Karyawan
baru memiliki potensi untuk mengganggu keyakinan dan kebiasaan
organisasi yang sudah ada. Oleh karena itu, organisasi berniat membantu
karyawan baru menyesuaikan diri dengan budayanya. Proses penyesuaian
ini disebut sosialisasi.
Dalam mewujudkan disiplin sekolah yang tinggi, tata tertib sekolah harus
diketahui oleh seluruh warga sekolah. Dengan begitu, seluruh warga sekolah
akan merasa ikut bertanggung jawab atas penegakkan tata tertib sekolah.
Fungsi utama budaya organisasi menurut Yukl, dikutip oleh Sunyoto dan
Burhanuddin (2011: 152) yaitu membantu memahami lingkungan dan
menentukan bagaimana meresponnya, sehingga dapat mengurangi
kecemasan, ketidakpastian, dan kebingungan.
Di SMK Negeri 18 Jakarta, tata tertib siswa disosialisasikan secara
bertahap dan terus menerus. Tata tertib di sekolah ini disosialisasikan melalui
surat pernyataan yang berisi tentang kesediaan orang tua dan siswa untuk
mengikuti tata tertib sekolah. Surat itu pun dilengkapi dengan lembaran tata
tertib, poin pelanggaran, hak dan kewajiban peserta didik. Selain itu, tata
tertib peserta didik juga disosialisasikan pada kegiatan orientasi peserta didik
baru.
Proses sosialisasi tata tertib dilakukan secara bertahap, mulai kepada
orangtua hingga ke peserta didik baru melalui surat persetujuan untuk
mengikuti seluruh tata tertib sekolah dan kegiatan MOPDB (Masa Orientasi
Peserta Didik Baru). Menurut Kreitner dan Kinicki, ditulis oleh Daryanto dan
Farid (2013: 220) dan Wibowo (2013: 49-52), fungsi budaya organisasi adalah
membentuk perilaku dengan membantu anggota menyadari lingkungannya.
Kegiatan MOPDB diadakan untuk memperkenalkan dan membentuk
budaya disiplin di sekolah. Selain kegiatan MOPDB, ada beberapa program
yang dirancang untuk melatih kedisiplin peserta didik, di antaranya: kegiatan
Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS) dan ektrakulikuler. Pada
kegiatan LDKS dan ektrakulikuler, peserta didik dilatih menjadi pribadi yang
mandiri dan disiplin.
4. Pengawasan kepala sekolah
Penegakkan tata tertib sekolah dalam rangka pembentukan budaya
disiplin di sekolah harus diawasi. Tanpa adanya pengawasan, kedisiplinan
akan sulit diterapkan di sekolah. Kepala Sekolah SMK Negeri 18 Jakarta
selalu melakukan pengawasan langsung terhadap penegakkan tata tertib
sekolah. Menurut Robins (Sagala, 2009: 114-115), karakteristik utama yang
menjadi pembeda dari budaya organisasi adalah kontrol: jumlah peraturan
dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan
mengendalikan perilaku pegawai.
Setiap Senin, setelah upacara diadakan breaking news. Dalam breaking news
ini, kepala sekolah mengevaluasi semua aktivitas sekolah selama 1 minggu
sebelumnya, baik yang berkaitan dengan kehadiran, seragam, maupun
kedisplinan lainnya.
Kepala Sekolah selalu mengawasi jalannya tata tertib di sekolah sebagai
upaya pembentukan budaya disiplin di sekolah. Segala hal yang penting,
dicatat dan kemudian dibahas pada kegiatan rutin breaking news setiap hari
Senin untuk dievaluasi bersama. Menurut Teori Pembelajaran Sosial, bahwa
organisasi diciptakan oleh pemimpin. Budaya organisasi banyak ditentukan
oleh pendiri organisasi, di mana tindakan pendiri organisasi menjadi inti
budaya awal organisasi (Schein, dalam Nawawi, 2013: 19-22).
Breaking news adalah kegiatan rapat guru dan tenaga kependidikan yang
dipimpin langsung oleh Kepala Sekolah dan rutin diadakan setiap hari Senin
setelah dilaksanakannya upacara bendera, yaitu berlangsung selama 30
menit. Breaking news ini diadakan di ruang guru. Dalam breaking news, Kepala
Sekolah mengevaluasi seluruh kegiatan sekolah selama 1 minggu. Breaking
news ini bertujuan untuk tetap menjaga kerja sama antara guru dan tenaga
kependidikan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya masing-masing
sehingga seluruh kegiatan dapat berjalan dengan baik.
C. PENANAMAN BUDAYA DISIPLIN
Penanaman budaya disiplin dapat dilakukan melalui implementasi tata
tertib. Terdapat tujuh aspek kedisiplinan, antara lain:
1. Kehadiran peserta didik
Di SMK Negeri 18 Jakarta ada 3 jenis pelanggaran yang berkaitan dengan
kehadiran peserta didik, yaitu: terlambat tiba di sekolah, tidak masuk sekolah
tanpa keterangan, dan meninggalkan sekolah tanpa izin. Dari aspek
kehadiran peserta didik ini, jenis pelanggaran yang sering dilakukan oleh
para peserta didik di SMK Negeri 18 Jakarta adalah terlambat tiba di sekolah
dengan alasan rumah jauh atau bangun kesiangan.
Berikut ini data yang peneliti dapatkan dari guru Bimbingan dan
Konseling (BK), yaitu berupa data keterlambatan siswa/bulan pada Tahun
Pelajaran 2013/2014, mulai Juli 2013 hingga April 2014.
Diagram 1. Keterlambatan Siswa TA 2013/2014
Pelanggaran yang paling sering dilakukan oleh peserta didik adalah
terlambat datang ke sekolah. Hal tersebut dibuktikan oleh data keterlambatan
siswa yang terdata dari Juli hingga April. Jika dihitung rata-rata
keterlambatan peserta didik selama 10 bulan, terhitung dari Bulan Juli sampai
dengan April, rata-rata keterlambatan peserta didik hanya 17.94% per
bulannya. Artinya, persentase keterlambatan peserta didik di SMK Negeri 18
Jakarta masih tergolong rendah.
Dalam hal ini, guru-guru selalu mengingatkan dan memberi himbauan
dimana pun dan kapan pun agar siswa tidak datang terlambat. Selain itu,
untuk mengatasi kehadiran dan keterlambatan siswa, dibuat laporan harian
siswa yang harus diisi oleh ketua kelas dan diserahkan kepada petugas piket
untuk langsung direkap serta dibuat buku poin pelanggaran dan
penghargaan bagi masing-masing siswa.
Sekolah ini juga merumuskan strategi-strategi yang dapat mendukung
pembentukan budaya disiplin, khususnya yang berkaitan dengan kehadiran.
Salah satu strategi yang dilakukan yaitu pemberian teladan bagi peserta
didik. Beberapa aspek penting pendidikan dalam teladan ditulis Ajami (2006:
131), ”1) Manusia saling mempengaruhi satu sama lain melalui ucapan,
perbuatan, pemikiran, dan keyakinan; 2) Perbuatan lebih besar pengaruhnya
dibanding ucapan; 3) Metode teladan tidak membutuhkan penjelasan”.
Data dari Wakil Manajemen Mutu (WMM), menunjukkan persentase
kehadiran guru dan karyawan pada April dan Mei 2014.
Diagram 2. Kehadiran Guru dan Karyawan SMKN 18 Jakarta
Berdasarkan informasi dan data di atas, peneliti dapat menyimpulkan
bahwa guru di SMK Negeri 18 Jakarta telah memberikan tauladan yang baik
bagi peserta didik, yaitu ketepatan waktu dan kehadiran. Hal itu terbukti dari
persentase kehadiran guru pada April mencapai 97,42% dan pada Mei 2014
mencapai 97,41%. Artinya, persentase kehadiran guru selama Bulan April dan
Mei 2014 cenderung tinggi dan stabil. Menurut Henson (1995: 84), “Guru
tidak dapat menolak mengajarkan etik. Alasan lain mengapa guru harus
memperhatikan etik adalah bahwa, di setiap masyarakat, pendidikan
menginisiasikan para pemuda ke dalam budayanya, dan kepercayaan moral
merupakan bagian besar budaya”.
0
20
40
60
80
100
April Mei
Hadir, 97.42 Hadir, 97.41
Sakit,0.92
Sakit, 0.46
Izin, 1.33
Izin, 1.76
Alpa,0.3
Alpa, 0.37
Persentase Kehadiran Guru dan KaryawanSMKN 18 Jakarta
Hadir
Sakit
Izin
Alpa
2. Ketentuan pakaian seragam
Di SMK Negeri 18 Jakarta ada 3 jenis pelanggaran yang berkaitan dengan
ketentuan pakaian seragam, yaitu: berseragam tidak sesuai ketentuan dan
memakai perhiasan berlebihan serta aksesoris yang tidak semestinya. Dari
aspek ketentuan pakaian seragam ini, jenis pelanggaran yang sering
dilakukan oleh para peserta didik di SMK Negeri 18 Jakarta adalah
berseragam tidak sesuai ketentuan, terutama masalah sepatu.
Sepatu yang ditetapkan oleh sekolah adalah sepatu berwarna hitam, tali
sepatu hitam, dan kaos kaki putih. Tidak dibenarkan sepatu dengan sedikit
garis putih. Menurut Kreitner dan Kinicki (Daryanto dan Farid, 2013: 220;
Wibowo, 2013: 49-52), fungsi budaya organisasi adalah memberi identitas
anggota organisasional. Identitas organisasi menunjukkan ciri khas yang
membedakan dengan organisasi lain yang mempunyai sifat khas yang
berbeda.
Dalam hal ini, banyak siswa yang mewarnai kombinasi warna putih pada
sepatunya dengan spidol hitam atau cat hitam. Menanggapi hal itu, pihak
sekolah menghargai usaha para peserta didik tersebut. Dengan demikian,
terbukti bahwa peserta didik telah berusaha untuk mentaati tata tertib yang
telah ditetapkan oleh sekolah. Jika ada peserta didik yang memakai sepatu
dengan kombinasi putih atau warna lainnya, sepatu tersebut akan diambil
oleh Guru Bimbingan Konseling.
3. Kebersihan dan kerapihan lingkungan sekolah
Di SMK Negeri 18 Jakarta ada jenis pelanggaran yang berkaitan dengan
aspek kebersihan dan kerapihan lingkungan sekolah, yaitu: meludah,
membuang sampah tidak pada tempatnya, tidak melaksanakan piket kelas,
dan mengotori atau mencoret-coret sarana dan prasarana sekolah. Robbins
(Wibowo, 2013: 37-38) mengemukakan karateristik budaya organisasi adalah
attention to detail: di mana pekerja diharapkan menunjukkan ketepatan,
analisis, dan perhatian pada hal detail.
Masalah membuang sampah, sudah diatasi dengan disediakannya tempat
sampah di setiap depan kelas dan di setiap sudut sekolah. Kemudian
mengenai piket di kelas, sejauh ini siswa selalu melakukan piket kelas. Siswa
selalu melakukan piket sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Contohnya
setiap Jum’at, ada yang diwajibkan mengikuti senam dan ada yang
diwajibkan membersihkan kelas masing-masing.
Selain itu, tentang sarana dan prasarana, siswa sudah tidak ada lagi yang
mencoret-coret kursi, meja maupun dinding. Hal itu bisa terjadi karena di
SMK Negeri 18 ini siswa tidak diperbolehkan untuk membawa Tipp-Ex ke
sekolah. Jika ada yang membawa Tipp-Ex akan diambil oleh guru dan tidak
dikembalikan.
Masih ada siswa yang senang membuang sampah sembarangan. Namun,
hal tersebut sudah diatasi dengan disediakannya tempat sampah di setiap
sudut sekolah.
4. Kerapian peserta didik
Adapun jenis pelanggaran yang berkaitan dengan aspek kerapian peserta
didik ada 2, yaitu: tidak membawa perlengkapan belajar dan berambut
gondrong atau mengecat rambut. Pelanggaran tidak membawa perlengkapan
belajar belum pernah terjadi. Namun, jika terjadi, akan diberikan poin minus
2. Kemudian bagi siswa yang berambut gondrong, akan digunting secara
tidak rapi.
5. Kesopanan
Di SMK Negeri 18 Jakarta, peserta didik cenderung menjaga kesopanan.
Pelanggaran yang berkaitan dengan kesopanan tidak pernah terjadi, karena
di SMK Negeri 18 Jakarta ini selalu berusaha untuk membudayakan 5 S
(Senyum, Salam, Sapa, Sopan, Santun) antar seluruh warga sekolah. Namun
jika ada yang melanggar, akan diberikan poin minus sesuai dengan jenis
pelanggarannya. Foto Budaya 5 S (Senyum, Salam, Sapa, Sopan, Santun)
ditempel di beberapa titik dinding sekolah. Phenix menulis (1964: 215),
“Esensi makna etik, atau pengetahuan moral, adalah perbuatan yang benar,
yaitu, apa yang seharusnya seseorang lakukan”.
Berkaitan dengan kesopanan dan ketaatan, peserta didik di SMK Negeri
18 Jakarta juga tidak pernah menolak jika diberikan hukuman oleh guru,
seperti menyiram tanaman, mengepel, dan hukumun fisik ringan di
lapangan. Tidak adanya penolakan ini, karena sudah disosialisasikan saat
awal masuk, ada peraturan, perjanjian, dan kesepakatan. Menurut Kurnia
dan Qomaruzzaman (2012: 37), unsur pembentukan budaya sekolah terdiri
dari: visi, misi dan tujuan: nilai, kepercayaan, norma, dan asumsi.
6. Kekerasan
Peserta didik di SMK Negeri 18 Jakarta tidak pernah melakukan
pelanggaran yang berkaitan dengan aspek kekerasan, berkelahi apalagi
sampai memukul kepala sekolah, guru atau pun tenaga kependidikan
lainnya. Menolak diberikan hukuman saja tidak pernah, apalagi sampai
berkelahi atau bahkan memukul. Namun, jika pelanggaran itu terjadi akan
diberikan poin minus. Bagi siswa yang berkelahi akan mendapat poin minus
25 dan bagi siswa yang memukul akan dikenakan poin minus 100 serta
diberikan SP (Surat Peringatan) ke-3.
7. Tindak kriminal
Sama halnya dengan aspek kekerasan, peserta didik di SMK Negeri 18
Jakarta juga tidak pernah melakukan pelanggaran yang berkaitan dengan
aspek tindak kriminal. Namun, jika pelanggaran itu terjadi diberikan poin
minus 100 serta ditindak tegas dengan diberikan SP (Surat Peringatan) ke-3,
bahkan bisa langsung dikembalikan kepada orangtua sebagai hukuman
terberat di sekolah ini.
Sekolah selalu melakukan razia mendadak untuk mengecek isi tas siswa.
Tujuannya, untuk mengantisipasi jika ada siswa yang membawa zat terlarang
atau benda tajam. Handphone pun dirazia.
Hukuman dikembalikan kepada orangtua adalah hukuman yang terberat
yang ada di sekolah ini. Pihak sekolah tidak berharap, dia tidak sekolah.
Dalam hal ini, sekolah memberikan rekomendasi ke sekolah lain dengan
membuatkan surat pindah. Barangkali di sekolah lain, siswa ini bisa dibina
dan menjadi lebih baik.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa
pelanggaran yang paling sering dilakukan oleh peserta didik, yaitu: terlambat
datang ke sekolah, tidak memakai sepatu sesuai ketentuan sekolah, dan
membuang sampah sembarangan. Seluruh pelanggaran tersebut dimasukan
ke buku pelanggaran untuk mendapatkan poin minus. Poin minus tersebut
terus diakumulasikan untuk mendapat penanganan atau tindak lanjut dari
Guru Bimbingan Konseling.
D. PEMBERIAN REWARD DAN PUNISHMENT
Pemberian reward dan punishment sangat penting dalam pembentukan
budaya disiplin di sekolah. SMK Negeri 18 Jakarta adalah salah satu sekolah
yang menjalankan sistem poin, yaitu poin plus bagi siswa yang berprestasi atau
yang mendapat penghargaan dan poin minus bagi siswa yang melanggar tata
tertib sekolah. Reward dan punishment yang diberikan kepada peserta didik
mengacu kepada penetapan poin tersebut.
Hukuman yang paling ringan mendapat poin minus 2. Jika dijumlahkan
poin pelanggaran sudah mencapai minus 50, wali kelas dihimbau untuk
memanggil orangtua. Jika poin minus sudah mencapai minus 100 dan siswa
sudah tidak mampu dibina oleh pihak sekolah, akhirnya siswa dikembalikan
kepada orangtua. Menurut Elizabeth B. Hurlock (1978: 84), ada empat hal pokok
yang harus diperhatikan dalam mendisiplinkan perilaku anak, yaitu peraturan
sebagai pedoman perilaku, konsistensi dalam peraturan tersebut, hukuman
untuk pelanggaran peraturan dan penghargaan untuk perilaku yang baik.
Selain phunishment bagi peserta didik, di SMK Negeri 18 Jakarta juga ada
phunishment bagi para guru dan tenaga kependidikan. Adanya potongan gaji
dari pemerintah langsung, sedangkan dari sekolah akan mendapatkan teguran
saja.
Sekolah ini sangat memperhatikan peserta didik yang berprestasi. Peserta
didik yang berprestasi selalu diberikan reward. Sekolah memberikan piagam
penghargaan, dan di momen-momen tertentu sekolah memberikan uang
meskipun tidak seberapa.
Selain penghargaan untuk siswa, di SMK Negeri 18 Jakarta juga ada
penghargaan bagi guru, seperti sertifikat dan hadiah. Setiap tahun biasanya
Kepala Sekolah memberikan reward terhadap kinerja guru berupa uang. Kalau
menjadi pembimbing biasanya ada sertifikat. Menurut Robins (Sagala, 2009: 114-
115), karakteristik utama yang menjadi pembeda dari budaya organisasi adalah
sistem imbalan: sejauh mana alokasi imbalan seperti kenaikan gaji dan promosi
didasarkan atas kriteria prestasi pegawai sebagai kebalikan dari senioritas, sikap
pilih kasih dan sebagainya.
Berdasarkan pemaparan di atas, bahwa pemberian reward dan phunisment
bagi peserta didik di SMK Negeri 18 Jakarta mengacu pada penetapan poin
pelanggaran dan penghargaan. Menurut Aunillah (2011: 56-60), ada beberapa
hal yang perlu dilakukan oleh guru untuk membentuk karakter disiplin pada
diri peserta didik. Di antaranya adalah sebagai berikut: memberikan hukuman.
Bagi peserta didik yang melanggar akan mendapatkan poin minus. Jika poin
minus sudah mencapai minus 50, akan diberikan SP (Surat Peringatan) pertama.
Kemudian jika poin minus sudah mencapai minus 75 akan diberikan SP (Surat
Peringatan) kedua. Selanjutnya, jika poin minus sudah mencapai minus 100 akan
diberikan SP (Surat Peringatan) ketiga. Jika sudah diberikan SP (Surat
Peringatan) ketiga dan peserta didik terbukti melanggar lagi, akan diberikan
surat pengunduran diri oleh sekolah yang berarti peserta didik yang
bersangkutan dikembalikan kepada orangtua.
Artinya, sistem pemberian reward dan phunisment yang ada di SMK Negeri
18 Jakarta sudah berjalan dengan baik. Sekolah ini tidak hanya memberi sanksi
kepada yang melanggar tata tertib, melainkan mengakui dan menghargai
prestasi peserta didik dengan memberikan penghargaan.
E. PENUTUP
1. Simpulan
a. Kepala Sekolah, guru, dan peserta didik di SMK Negeri 18 Jakarta
sangat menyadari akan pentingya pembentukan budaya disiplin di
sekolah. Kesadaran dari seluruh warga sekolah ini yang menjadi dasar
utama dalam pembentukan budaya disiplin di sekolah.
b. Kondisi kedisiplinan peserta didik di SMK Negeri 18 Jakarta sudah baik.
Peserta didik di SMK Negeri 18 Jakarta telah memiliki kesadaran akan
pentingnya tata tertib dan berusaha untuk mentaati tata tertib yang ada.
Selain itu, guru-guru juga telah memberikan tauladan yang baik bagi
peserta didik, contohnya guru tepat waktu tiba di sekolah.
c. Sistem pemberian reward dan punishment yang ada di SMK Negeri 18
Jakarta sudah berjalan dengan baik. SMK Negeri 18 Jakarta bukan hanya
memberi sanksi kepada yang melanggar tata tertib, melainkan
mengakui dan menghargai kelebihan peserta didik dengan memberikan
penghargaan.
2. Saran
a. Bagi Kepala Sekolah. Pertama, kepala Sekolah hendaknya lebih
berinovasi dalam membuat beberapa kegiatan dalam rangka membina
kedisiplinan demi terbentuknya budaya disiplin peserta didik. Kedua,
Kepala Sekolah hendaknya lebih meningkatkan kerjasama dengan
berbagai pihak, seperti orangtua, guru, tenaga pendidik dan siswa
dalam memecahkan masalah yang dihadapi tentang kedisiplinan
sekolah.
b. Bagi guru. Pertama, guru hendaknya membuat rekap setiap jenis
pelanggaran guna lebih mudah mengidentifikasi jumlah persentase
setiap pelanggaran yang telah dilakukan oleh peserta didik. Kedua, guru
hendaknya tidak pernah jenuh dan lelah untuk tetap memberikan
tauladan yang baik bagi para siswa, contohnya dengan datang tepat
pada waktunya dan berpakaian rapi.
c. Bagi siswa. Pertama, siswa hendaknya membiasakan diri untuk datang
ke sekolah tepat pada waktunya dengan berseragam yang lengkap dan
rapih. Kedua, siswa hendaknya membiasakan diri bertanggung jawab
atas tugas dan amanah yang diberikan oleh guru.
Referensi
Ajami, Al-, M.A. 2006. Al-Tarbiyah al-Islâmiyah: Al-Ushûl wa al-Tathbîqât. Riyadh: Dâr Al-Nâsyir Al-Daulî. Cet. I.
Aunillah, N. I. 2011. Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Laksana, cet. 1.
Daryanto dan Farid, M. 2013. Konsep Dasar Manajemen Pendidikan di Sekolah. Yogyakarta: Penerbit Gava Media.
Henson, K.T. 1995. Curriculum Development for Education Reform. New York: Longman.
Hurlock, E. B. 1978. Perkembangan Anak, Penterjemah: Tjandrasa. Jakarta: Erlangga, ed. 6, jilid 2.
Husain, S.S. dan Ashraf, S.A. 1979. Crisis in Muslim Education. Jeddah: King Abdulaziz University.
Imron, A. 2004. Manajemen Peserta Didik Berbasis Sekolah. Malang: Departemen Pendidikan Nasional Universitas Negeri Malang.
Komariah, A. dan Triatna, C. 2010. Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif. Jakarta: Bumi Aksara. cet. 4.
Kurnia, A. dan Qomaruzzaman, B. 2012. Membangun Budaya Sekolah. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, cet. 1.
Muslich, M. 2011. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara, cet. 1.
Nawawi Uha, I. 2013. Budaya Organisasi Kepemimpinan & Kinerja: Proses Terbentuk, Tumbuh Kembang, Dinamika dan Kinerja Organisasi. Jakarta: Kencana, cet. 1.
Phenix, P.H. 1964. Realm of Meaning: A Philosophy of the Curriculum for General Education. USA: McGraw-Hill.
Robbins, S. P. 1996. Perilaku Organiasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi, Penerjemah: Hadyana Pujaatmaka. Jakarta: Prenhallindo. Jilid 2.
Sagala, S. 2009. Memahami Organisasi Pendidikan. Bandung: Alfabeta, cet. 1.
Sunyoto, D. dan Burhanudin, 2011. Perilaku Organisasional. Yogyakarta: CAPS.
Tika, M. P. 2012. Budaya Organisasi dan Peningkatan Kinerja Perusahaan. Jakarta: PT Bumi Aksara, cet. 4.
Tu’u, T. 2004. Peran Disiplin pada Perilaku dan Prestasi Siswa. Jakarta: Grasindo.
Wibowo. 2013. Budaya Organisasi Sebuah Kebutuhan untuk Meningkatkan Kinerja Jangka Panjang. Jakarta: Rajawali Pers, cet. 3.
Wiyani, N. A. 2012. Manajemen Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasinya di Sekolah. Yogyakarta: Pedagogia.
Zubaedi. 2013. Pendidikan Karakter; Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencana, cet. 3.
PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN
Oleh:
JEJEN MUSFAH
Dosen FITK UIN Jakarta, [email protected]
SRI PURWANTI
Mahasiswi FITK UIN Jakarta
Pendahuluan ♦ Profil SMK Islamiyah Ciputat ♦ Program Pengembangan
Kompetensi Pedagogik Guru ♦ Perencanaan Program ♦ Pelaksanaan Program ♦
Kendala ♦ Pengawasan ♦ Manfaat Bagi Guru ♦ Kendala Bagi Guru ♦ Evaluasi ♦
Penutup
A. PENDAHULUAN
Keterbatasan sumber daya manusia yang berkualitas merupakan akar dari
persoalan bangsa kita dewasa ini. Salah satu upaya untuk mengatasi
permasalahan tersebut adalah pemerintah harus mengambil langkah-langkah
jangka panjang seperti membangun dan mengembangkan mental SDM yang
mandiri, dan berjiwa kompetitif. Salah satu sarana untuk mewujudkan upaya
pengembangan SDM tersebut yaitu melalui pendidikan. Kebijakan pemerintah
dalam pembangunan di bidang pendidikan mengacu kepada suatu upaya
strategi pencapaian tujuan pendidikan Nasional. Dalam Undang-Undang RI No.
20, BAB I Pasal 1 disebutkan bahwa:
“Pendidikan adalah Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara”(2003).
Pendidikan merupakan suatu usaha terencana yang dilakukan dalam
mengembangkan potensi peserta didik. Pelaksanaan pendidikan terutama
dalam kegiatan belajar mengajar akan terlaksana apabila komponen-komponen
pendidikan terpenuhi dengan baik. Salah satu komponen pendidikan yang
paling utama dalam meningkatkan mutu pendidikan yaitu guru. Guru dalam
Undang-Undang RI No. 14 BAB I Pasal I tentang Guru dan Dosen (2005)
dijelaskan bahwa “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah.
Guru merupakan komponen yang paling menentukan dan pemegang
peranan penting dalam proses belajar mengajar. Karena guru yang akan
berhadapan langsung dengan peserta didik dan di tangan gurulah akan
terciptanya suasana belajar yang menyenangkan. Oleh karena itu, untuk
menciptakan proses belajar yang menyenangkan tentunya guru sebagai tenaga
pendidik yang profesional harus memfasilitasi dirinya dengan berbagai macam
ilmu pengetahuan, pengalaman, serta keterampilan tentang keguruan. Menurut
Fathurrohman dan suryana (2012) “Guru profesional adalah guru yang
menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan dan ahli dalam mengajarkannya
(menyampaikannya). Dengan kata lain, guru profesional adalah guru yang
mampu mengajarkan peserta didiknya tentang pengetahuan yang dikuasainya
dengan baik”. Guru profesional sebagai komponen pendidikan yang paling
utama dalam rangka meningkatkan output yang berkualitas, harus mampu
mengembangkan diri melalui pemanfaatan sarana dan prasarana pembelajaran
serta meningkatkan kompetensi yang dimilikinya guna mencapai tujuan akhir
proses pembelajaran yang diharapkan.
Sebagai pendidik profesional yang menjalankan tugas dan kewajibannya,
tentunya seorang guru dituntut untuk memiliki empat kompetensi. Pertama,
kompetensi pedagogik yaitu kemampuan seorang guru dalam mengelola proses
pembelajaran yang mencakup pemahaman guru dalam merencanakan serta
melaksanakan proses pembelajaran dan pemahaman guru tehadap peserta
didik. Kedua, kompetensi kepribadian yaitu kemampuan kepribadian yang
mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik,
dan berakhlak mulia, sebagai orang-orang yang dianggap model atau panutan
yang harus diikuti. Ketiga, kompetensi profesional yaitu kemampuan
penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang
memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi
yang ditetapkan dalam standar pendidikan. Keempat, kompetensi sosial yaitu
kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi
dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga
kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar(Permadi &
Arifin, 2013).
Salah satu kompetensi yang mutlak harus dimiliki oleh seorang guru adalah
kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik yaitu suatu kemampuan yang
harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan proses pembelajaran
terkait dengan pemahaman guru dalam merencanakan dan mengelola proses
pembelajaran. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan yang menjadi
dasar utama dalam melaksanakan proses pembelajaran, karena di dalam proses
pembelajaran tentunya guru harus memiliki kemampuan dalam mengelola
pembelajaran, kemampuan merancang serta melaksanakan proses pembelajaran
dan kemampuan mengevaluasi hasil pembelajaran. Oleh sebab itu dalam
mengajar, seorang guru harus memiliki kompetensi, serta kemampuan dan
keterampilan agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Melalui tugas dan tanggung jawab yang dijalankannya, tentunya guru
bukanlah profesi yang sembarangan, guru merupakan suatu profesi yang harus
memiliki keahlian khusus agar proses pembelajaran berjalan efektif. Tanpa
keahlian serta keterampilan yang dimiliki, maka tentunya seorang guru tidak
akan mampu untuk mencapai proses pembelajaran yang efektif. Mengacu
kepada hal tersebut sebagaimana dijelaskan di dalam Hadis Shahih Bukhari
yaitu:“Apabila sesuatu pekerjaan tidak diberikan kepada ahlinya, maka lihatlah
kehancurannya.”Atas dasar itu, tentunya segala profesi harus dijalankan pada
orang yang ahli dibidangnya. Begitupun halnya mengajar, guru yang
profesional dan memiliki keahlian serta keterampilan khusus tentunya akan
mampu menciptakan proses belajar mengajar yang efektif dan mampu
mengelola iklim belajar yang menyenangkan.
Menjadi guru tentunya merupakan profesi yang sangat berat dan hanya bisa
dilakukan oleh guru yang kompeten dan ahli dibidangnya. Namun realitanya
saat ini, masih banyak guru yang belum mampu mengelola proses pembelajaran
di kelas dengan baik. Permasalahan yang muncul yaitu, guru tidak memiliki
kesiapan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Hal ini terjadi karena
sebelum mengajar guru tidak membuat perencanaan yang matang atau langkah-
langkah apa saja yang akan dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan di dalam proses pembelajaran, sehingga guru merasa kebingungan
ketika melaksanakan proses pembelajaran di kelas. Padahal perencanaan
pembelajaran sangat penting agar seorang guru memiliki kesiapan di dalam
mengajar serta mampu memprediksi sejauh mana tingkat keberhasilan yang
ingin dicapai. Sebagaimana yang dijelaskan Sanjaya (2008, hlm. 33) bahwa
dengan perencanaan yang matang dan akurat, kita akan mampu memprediksi
seberapa besar keberhasilan yang akan dapat dicapai. Tidak hanya rendahnya
kemampuan guru dalam membuat perencanaan pembelajaran, akan tetapi guru
juga belum mampu mengelola dan memahami karakteristik siswa sehingga
belum mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif yang dapat
mengembangkan aktivitas dan kreativitas belajar secara optimal sesuai dengan
kemampuan masing-masing peserta didik.
Menurut Mulyasa dan Mukhlis (2007, hlm. 79)ada empat hal yang harus
dipahami oleh guru dari peserta didik, yaitu tingkat kecerdasan, kreativitas,
cacat fisik, dan perkembangan kognitif. Jika keempat hal tersebut dapat
dipahami oleh guru maka akan terciptanya iklim belajar yang kondusif. Selain
itu, guru kurang menguasai materi yang diajarkan sehingga dalam
penyampaian materi guru terkesan teksbook dan metode yang digunakan tidak
bervariatif dan masih terfokus pada metode ceramah sehingga proses kegiatan
belajar mengajar terkesan monoton dan guru tidak melibatkan siswa secara aktif
di kelas, sehingga siswa hanya mendengarkan gurunya saja.
Permasalahan tersebut juga diperkuat oleh munculnya fakta bahwa saat ini
masih banyak guru yang tidak layak untuk mengajar. Terdapat data yang
menyatakan bahwa sebanyak 912.505 guru dari lebih kurang 2,6 juta guru di
Indonesia dinilai tidak memiliki kompetensi yang layak untuk mengajar.
Mereka terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan
63.962 guru SMK. Di samping itu, tercatat pula bahwa 15% guru mengajar tidak
sesuai dengan keahlian yang dipunyainya atau bidang studinya.
Ramli (Ketua Ikatan Guru Indonesia) menjelaskan rendahnya kompetensi
guru ini terlihat pada hasil Uji Kompetensi Guru (UKG). Dalam UKG yang
hanya mengukur 2 dari 4 kompetensi dasar guru ini terlihat jelas bahwa hanya
ada 6% lebih dari 2,6 juta guru yang dinyatakan lulus dan tak perlu dilatih lagi.
Ketika data seleksi CPNS guru dibuka, ada calon guru yang hanya bisa
menjawab 1 benar dari 40 soal bahkan ada calon guru yang hanya mampu
menjawab 5 benar dari 100 soal seleksi (Edupost.ID, 2016).
Pada dasarnya munculnya permasalahan tersebut karena beberapa faktor.
Pertama mayoritas sekolah yang tidak memiliki program pengembangan
kompetensi guru. sehingga tidak ada kesempatan untuk guru meningkatkan
dan mengembangkan kompetensi yang dimilikinya. Sekolah hendaknya
memiliki program yang mampu mengembangkan kompetensi guru terutama
kompetensi pedagogik. Guru merupakan ujung tombak di dalam proses
pembelajaran jika kompetensi yang dimiliki guru rendah maka tentunya akan
berdampak pada output pendidikan. Selain itu, tentunya sekolah juga perlu
memberi kesempatan kepada guru untuk mengembangkan kompetensinya
dengan mengikutsertakan guru-guru dalam kegiatan pengembangan
kompetensi seperti pelatihan, workshop, seminar, MGMP dan berbagai kegiatan
lainnya. Kedua, sekolah kurang melakukan perencanaan terhadap
pengembangan kompetensi guru. perencanaan merupakan rancangan dasar
untuk memilih sasaran dan menetapkan bagaimana cara mencapai tujuan dalam
suatu kegiatan. Melalui perencanaan tentunya semua komponen terutama guru
yang melaksanakan pengembangan kompetensi tersebut mengetahui dengan
baik tujuan yang hendak dicapai. Ketiga, lemahnya pembinaan kepala sekolah
terhadap kompetensi guru. pembinaan sangat penting dilakukan oleh kepala
sekolah terhadap guru, supaya kepala mengetahui sejauhmana kompetensi
yang dimiliki guru. Sehingga nantinya kepala sekolah dapat mengambil
langkah-langkah yang perlu diperbaiki dari proses kegiatan belajar mengajar
yang dilaksanakan oleh guru tersebut. Melalui pembinaan ini juga kepala
sekolah dapat meningkatkan kemampuan profesional guru dalam
meningkatkan proses belajar mengajar. Keempat, rendahnya motivasi guru
untuk mengembangkan kompetensi yang dimilikinya. Motivasi sangat
berpengaruh terhadap peningkatan kompetensi yang dimiliki guru.
keberhasilan dalam meningkatkan kompetensi sangat ditentukan oleh gurunya.
Karena guru merupakan pusat pembelajaran Jika seorang guru tidak memiliki
motivasi untuk meningkatkan kompetensinya maka proses pembelajaran
nantinya tidak dapat menghasilkan output yang berkualitas. Untuk itu seorang
guru harus senantiasa memiliki motivasi yang tinggi dalam mengembangkan
diri secara mandiri terutama dalam mengembangkan kompetensi yang
dimilikinya. Tidak bergantung pada inisiatif kepala sekolah. Kelima, belum
maksimalnya evaluasi yang dilakukan kepala sekolah dalam mengembangkan
kompetensi pedagogik guru. Melalui evaluasi kepala sekolah dapat mengukur
dan menilai sejauhmana tingkat keberhasilan guru dalam mengikuti
pengembangan kompetensi pedagogik. Oleh sebab itu, sangat diperlukannya
evaluasi terhadap hasil dari pengembangan kompetensi guru, agar kedepannya
guru dapat memperbaiki kinerjanya terutama dalam proses belajar mengajar.
Berdasarkan data-data tersebut, menjadi tanggung jawab besar bagi instansi
pendidikan terutama bagi sekolah untuk melakukan berbagai upaya serta
pembenahan terhadap sistem pengembangan kompetensi guru. Sekolah perlu
melakukan pembinaan serta pengembangan terhadap kompetensi guru, agar
dapat mengantisipasi terhadap rendahnya kompetensi yang dimiliki guru. Hal
ini juga diperkuat oleh adanya Undang-Undang tentang Guru dan Dosen
sebagaimana tercantum pada pasal 34 tentang pengembangan dan pembinaan
bahwa pemerintah dan satuan pendidikan wajib membina dan mengembangkan
kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Selain itu, sekolah juga perlu
membuat program atau kegiatan dalam upaya mengembangkan kompetensi
guru terutama kompetensi pedagogik diantaranya program, seminar, workshop,
MGMP, serta mengikutsertakan guru-guru dalam berbagai pelatihan, sertifikasi
dan juga sekolah perlu memfasilitasi berbagai macam sumber belajar berupa
sarana prasarana seperti laboratorium, perpustakaan dan internet). Melalui
upaya tersebut tentunya guru mempunyai kesempatan untuk terus
meningkatkan kompetensinya. Beberapa upaya tersebut juga perlu didukung
dari dalam diri guru tersebut, guru juga harus memiliki motivasi yang tinggi
untuk selalu meningkatkan kualitas dirinya dan selalu terus berusaha
mengembangkan keahlian serta kompetensi yang dimilikinya sehingga bisa
menjadi guru yang kompeten dan profesional yang mampu mewujudkan
pendidikan yang bermutu. Jika sekolah dan guru mampu bekerjasama dengan
baik guna melakukan pembenahan terhadap sistem pengembangan kompetensi
guru, maka tentunya kompetensi guru akan memenuhi standar yang ada,
sehingga nantinya akan berdampak pada tugas dan tanggung jawab yang
dijalankan oleh guru dan bisa menghasilkan output yang berkualitas.
Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan di SMK Islamiyah Ciputat,
program yang telah diikuti oleh guru-guru SMK Islamiyah dalam rangka
mengembangkan kompetensi pedagogik diantaranya mengikuti pelatihan
MGMP akuntansi, pelatihan MGMP untuk guru bidang pemasaran, pelatihan
MGMP Bahasa Indonesia, pelatihan kurikulum 2013, pelatihan Berbasis
Kompetensi (CBT) untuk guru bidang bisnis dan manajemen, serta mengikuti
workshop dan pelatihan kejuruan, dan berbagai seminar. Akan tetapi hal ini
dilaksanakan hanya sesuai kebutuhan saat itu, dan kegiatan pengembangan
kompetensi pedagogik tersebut tidak terjadwalkan secara rutin dan tidak
tertulis.
Kegiatan-kegiatan seperti ini perlu dilakukan untuk mengembangkan
kompetensi guru terutama kompetensi pedagogik agar dapat membekali guru
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya terutama tugasnya dalam
melaksanakan kegiatan belajar mengajar.
B. PROFIL SMK ISLAMIYAH CIPUTAT
Berdirinya Yayasan Islamiyah Ciputat ini bermula adanya kegiatan dan
semangat beberapa pemuda yang berada di sekitar wilayah Ciputat. Mereka
merasa terpanggil dan ikut bertanggung jawab terhadap pelestarian dan
pengenalan syari’ah Islam. Keinginan dan semangat mereka ini kemudian
disambut gembira oleh para orang tua. Musyawarah demi musyawarah
dilaksanakan akhirnya tercetuslah suatu keinginan dan semangat bersama
untuk mengembangkan dan menegakan syari’ah Islamiyah melalui bidang
pendidikan. Hal ini didasarkan bahwa pendidikan tingkat menengah saat itu
tergolong masih langka, sehingga banyak pemuda yang berkeinginan
melanjutkan tingkat pendidikan menengah harus pergi ke Jakarta
dikarenakannya belum adanya lembaga pendidikan tingkat menengah. Dari
keinginan dan semangat bersama akhirnya pada tanggal 12 Mei 1965 disepakati
untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan Islam yang bernama Pendidikan
Guru Agama (PGA) Islamiyah.
Nama Islamiyah diambil sebagai ciri suatu lembaga Pendidikan Islam secara
umum. Informasi mengenai berdirinya PGA Islamiyah ini ternyata mendapat
cukup banyak antusias dari masyarakat dan kerana mempunyai prospek yang
cukup baik pada akhirnya pada tahun 1965/ 1966 Islamiyah membuka sekolah
baru yaitu SKKPNU (Sekolah Kesejahteraan Keluarga Pertama) khusus untuk
para remaja putri yang kemudian pada tahun 1966/ 1967 diganti menjadi SMP
Islamiyah.Situasi dan kondisi jugalah yang membuat Islamiyah harus terus
bergerak agar tidak kalah dengan lembaga pendidikan lain, sehingga pada
tanggal 5 Agustus 1978 dibentuklah sebuah yayasan yakni Yayasan Islamiyah
Ciputat yang berbadan hukum berdasarkan akta No.16 Tanggal 11 Agustus
1978. Tak lama setelah itu dibentuklah lembaga pendidikan lain seperti Sekolah
Menengah Ekonomi Atas (SMEA 1), Taman Kanak-kanak Cendrawasih dan
Madrasah Ibtidaiyah hingga sekarang Yayasan Islamiyah Ciputat mempunyai
beberapa lembaga pendidikan diantaranya: SMK Islamiyah, MA Islamiyah, SMP
Islamiyah, MTs Islamiyah dan STIE.
C. PROGRAM PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU
Program pengembangan kompetensi guru merupakan hal yang sangat
penting yang perlu dilakukan di dalam lembaga pendidikan seperti sekolah.
Melalui program tersebut membantu para guru untuk mengembangkan
kompetensi yang dimilikinya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Sudarmanto bahwa pengembangan (development) merupakan kesempatan
belajar untuk membantu individu/pegawai dapat berkembang dalam jangka
panjang (Sudarmanto, 2009). Sejalan dengan pernyataan tersebut, Dian
Rostikawati (DR) wakil kepala sekolah SMK Islamiyah menganggap bahwa
pelaksanaan program pengembangan kompetensi pedagogik sangat penting
dilaksanakan karena menurutnya setiap guru dituntut untuk memiliki
kompetensi dibidangnya masing-masing terlebih kompetensi pedagogik(Dian,
27 Nopember). Seorang guru yang profesional tentunya dituntut harus memiliki
kompetensi pedagogik sebagai kemampuan dasarnya dalam mengelola proses
pembelajaran di dalam kelas. Kompetensi pedagogik inilah yang membedakan
guru dengan profesi lainnya, dengan memiliki kompetensi ini guru akan mudah
mengelola proses pembelajaran di dalam kelas sehingga akan tercipta proses
pembelajaran yang efektif.
SMK Islamiyah merupakan sekolah kejuruan yang berada di bawah
naungan yayasan Islamiyah. Sekolah ini merupakan sekolah yang cukup baik,
dari aspek kurikulum sekolah ini menjadi SMK percontohan yang
menggunakan kurikulum 2013. Selain itu, dari aspek tenaga pendidik sekolah
ini mempunyai tenaga pendidik yang cukup baik dan bisa dibilang profesional
serta kompeten di bidangnya. Hal ini terlihat dari berbagai macam kegiatan
pengembangan kompetensi yang selalu diikuti baik di sekolah maupun di luar
sekolah oleh sebagian besar tenaga pendidik di sekolah tersebut, salah satunya
pengembangan kompetensi pedagogik. Sehingga, dampak atau hasil yang
diperoleh yaitu meningkatnya kemampuan atau kompetensi pedagogik yang
dimiliki tenaga pendidik di SMK Islamiyah Ciputat.
Sejalan dengan pernyataan tersebut, berikut ungkapan Dian Rostikawati
selaku wakil kepala sekolah bidang kurikulum terkait dengan kompetensi
pedagogik guru di SMK Islamiyah Ciputat bahwa,“kompetensi pedagogik guru
di sekolah ini sudah bagus, kalau dibilang profesional menurut saya sudah
hampir 90% mereka sudah profesional karena mereka sudah banyak mengikuti
pelatihan.” (Wawancara, Dian, 27 Nopember)
Melihat kondisi tenaga pendidik yang dirasa sudah cukup baik, tentunya
hal ini tidak terlepas dari peran kepala sekolah serta wakil kepala sekolah
bidang kurikulum yang selalu memberikan kesempatan kepada guru untuk
mengembangkan kompetensinya dan berupaya mengembangkan kompetensi
pedagogik guru seperti mengadakan berbagai pelatihan dan seminar dengan
mendatangkan narasumber yang kompeten. Selain itu, mengikutsertakan guru-
guru pada pelatihan serta berbagai macam kegiatan yang terkait dengan
pengembangan kompetensi pedagogik, maupun melalui bimbingan atau arahan
kepada para guru.
Pengembangan kompetensi pedagogik sangat penting untuk dilaksanakan
karena sebagai bekal bagi para guru dalam melaksanakan proses kegiatan
belajar mengajar di dalam kelas. Melalui kegiatan pengembangan tersebut,
tentunya guru akan memiliki banyak pengalaman serta memiliki banyak ilmu
yang didapat terkait dengan pelaksanaan pengajaran di dalam kelas.
Terkait dengan program pengembangan yang diberikan oleh sekolah, dalam
hal ini kepala sekolah belum menyusun perencanaan secara tertulis, karena
program pengembangan di sekolah bersifat kondisional. Jika memang
dibutuhkan untuk diadakan di sekolah maka kegiatan pengembangan tersebut
dilaksanakan. Namun jika dilihat dari intensitas pelaksanaan kegiatan
pengembangan kompetensi pedagogik, dalam satu bulan kegiatan tersebut bisa
dilaksanakan beberapa kali.
Dalam upaya mengembangkan keterampilan guru dalam mengajar, kepala
sekolah mengikutsertakan guru-guru dalam pelatihan dan seminar yang
berkaitan dengan pendidikan, kemudian memberikan arahan-arahan serta
pembekalan kepada para guru. Adapun kegiatan/program yang dilakukan
kepala sekolah dalam mengembangkan kompetensi pedagogik guru
diantaranya:
1. Program Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP)
Program MGMP ini diadakan setiap satu kali dalam sebulan, dan
diadakan secara bergantian ditempat yang berbeda. Kegiatan ini bertujuan
untuk mendiskusikan dan memecahkan berbagai permasalahan para guru
pada saat proses kegiatan belajar mengajar. Selain itu kegiatan ini juga
bertujuan untuk memotivasi para guru dalam membuat dan melaksanakan
program pembelajaran. Kegiatan MGMP ini terdiri dari guru mata pelajaran
Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika, dan Kewirausahaan dari
masing-masing rayon Se-Tangerang Selatan. Menurut Darmawel
(Wawancara, 13 Januari) kegiatan yang dibahas dalam MGMP tersebut yaitu
pembahasan silabus dan RPP serta diskusi dan mencari solusi mengenai
permasalahan yang terjadi pada saat proses kegiatan belajar mengajar
berlangsung.
2. Program pelatihan guru
3. Mengembangkan Wawasan/ Landasan Kependidikan Guru
Sebagai guru profesional tentunya tidaklah cukup jika seorang guru
hanya menguasai pengetahuan yang ingin diajarkannya, namun guru juga
harus mampu memahami wawasan kependidikan seperti memahami visi-
misi pendidikan, serta fungsi dan peran lembaga pendidikan. Dengan
memahami wawasan kependidikan bisa menjadi penunjang bagi para guru
untuk lebih memiliki kesiapan dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Dalam mengembangkan wawasan kependidikan guru, kepala sekolah selalu
memberikan arahan melalui mengadakan suatu pertemuan kemudian
memberikan informasi terkait dengan kurikulum atau hal-hal terbaru seputar
kependidikan. Namun pada dasarnya kepala sekolah hanya memberikan
arahan secara umum saja, selebihnya guru tersebut yang menjalankannya.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Ahmadi (Wawancara, 27 Januari) bahwa,
“kepala sekolah selalu memberikan arahan terkait dengan hal-hal yang belum
diketahui para guru termasuk memberikan informasi terbaru baik yang
berkaitan dengan kependidikan maupun yang bersifat umum. Dalam
kegiatan ini biasanya kepala sekolah membuat suatu pertemuan dan kadang
jika memang diperlukan kepala sekolah juga mendatangkan narasumber
yang kompeten.”
Pernyataan ini diperkuat oleh Gilang (Wawancara, 27 Januari) bahwa
guru selalu di beri arahan oleh kepala sekolah setiap kali merasa kesulitan
terutama kesulitan dalam mengimplementasi kurikulum, selain itu kepala
sekolah juga selalu memberikan informasi terkait dengan hal-hal yang
dibutuhkan oleh guru. Selain memberikan arahan tentu kepala sekolah juga
memberikan fasilitas berupa buku yang menjadi pegangan para guru untuk
menambah pengetahuannya.
Wawasan serta pengetahuan yang luas sangat dibutuhkan para guru
sebagai bekal mereka untuk dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Ada
banyak cara yang dilakukan kepala sekolah dalam mengembangkan
wawasan dan pengetahuan para guru, yaitu seperti mengadakan suatu
pertemuan kepada para guru, kemudian kepala sekolah memberikan suatu
informasi terbaru terkait dengan hal-hal yang dibutuhkan, kepala sekolah
juga selalu memberikan arahan kepada para guru terkait dengan hal-hal yang
belum mereka ketahui terutama arahan dalam mengimplementasikan
kurikulum. Selain itu kepala sekolah juga memberikan fasilitas berupa buku
bacaan yang dijadikan sebagai buku pegangan para guru untuk bahan
mengajar. Dan berupa jaringan internet seperti Wifi untuk memudahkan para
guru dalam mencari data-data atau informasi-informasi terbaru terkait
dengan pengajaran dan informasi umum lainnya.
4. Mengembangkan Pemahaman Mengenai Peserta Didik
Tugas seorang guru tentunya tidak hanya sebatas pada mengajar saja,
namun seorang guru tentu perlu memahami karakteristik masing-masing
peserta didik agar dalam proses pembelajaran dapat memudahkan guru
dalam menyesuaikan materi yang akan diajarkan kepada siswa sesuai
karakteristik masing-masing siswa. Dalam mengembangkan pemahaman
guru terhadap peserta didik kepala sekolah hanya memberi arahan saja untuk
lebih memahami karakteristik peserta didik, selebihnya kami para guru
melakukan sharing terkait dengan permasalahan yang dihadapi para guru
dalam menghadapi berbagai karakter siswa. Kepala sekolah juga
mengadakan suatu pertemuan seperti diskusi intern untuk memberi arahan
kepada guru agar lebih memahami karakteristik siswa. Namun arahan yang
diberikan kepala sekolah pada dasarnya secara umum saja. Dalam diskusi
tersebut lebih kepada sharing antar guru terkait dengan permasalahan yang
dihadapi para guru dalam menghadapi berbagai karakter siswa. Kemudian
kami para guru mencari solusi terbaik dari permasalahan tersebut. Kegiatan
yang dilakukan dalam mengembangkan pemahaman guru mengenai peserta
didik yaitu melalui kegiatan diskusi, guru diberikan arahan agar memahami
karakteristik siswa yang berbeda-beda. Kemudian sesama guru juga saling
berbagi informasi dalam menghadapi berbagai macam karakteristik siswa.
Dalam mengembangkan pemahaman guru mengenai peserta didik
kepala sekolah mengadakan suatu kegiatan yaitu melalui diskusi dengan
agenda membahas serta memberi arahan kepada para guru dalam memahami
siswa dan berbagi pengalaman antar guru mengenai permasalahannya dalam
menghadapi karakteristik siswa. Melalui kegiatantersebut guru mendapatkan
berbagai informasi serta pengalaman baru dalam memahami karakteristik
siswa sehingga lebih memudahkan para guru dalam melaksanakan
pembelajaran sesuai dengan karakteristik siswa. Kegiatan tersebut juga
menjadi salah satu upayaagar guru bisa menjadi pendidik yang profesional
yaitu dengan berbagi informasi dan mencari solusi terbaik dalam
mengahadapi berbagai karateristik dan kemampuan siswa. Hal ini sejalan
dengan pernyataan Soedijarto yang dikutip oleh Permadi dan Arifin (2013)
bahwa untuk menjadi guru profesional seorang guru harus Memahami
peserta didik dengan latar belakang dan kemampuannya.
5. Mengembangkan Kemampuan Dalam Merencanakan Proses Pembelajaran
Dalam melaksanakan proses pembelajaran, tentunya guru perlu
mempersiapkan perencanaan yang matang sehingga ketika proses
pembelajaran berlangsung guru sudah memiliki kesiapan untuk mengajar.
Proses pembelajaran perlu di rencanakan agar nantinya guru paham betul
setiap langkah-langkah yang akan dijalaninya ketika proses pembelajaran
berlangsung. Dalam membuat perencanaan pembelajaran tentunya guru
perlu mendapat arahan dan bimbingan dari kepala sekolah. dalam hal ini
kepala sekolah mengadakan suatu pertemuan khusus untuk membuat
perencanaan terkait dengan pembelajaran yang di dalamnya terdapat RPP,
silabus, program semester dan program tahunan. Kegiatan tersebut biasanya
diadakan setiap memasuki awal tahun ajaran.
Pembuatan perencanaan pembelajaran selalu mendapatkan arahan dari
kepala sekolah kepada, dan arahan tersebut dilakukan dalam bentuk
pertemuan yang diadakan setiap awal tahun ajaran untuk membahas
pembuatan perencanaan pembelajaran kemudian jika ada hal-hal yang belum
dipahami oleh para guru maka kepala sekolah memberikan masukan serta
arahan terkait dengan hal-hal yang dibutuhkan.
6. Mengembangkan Kemampuan Guru dalam Menggunakan Metode
Pembelajaran yang Sesuai dengan Materi Pembelajaran
Metode pembelajaran sangat dibutuhkan dalam proses kegiatan belajar
mengajar. Dengan menggunakan metode dalam proses pembelajaran
memudahkan para guru dalam menyampaikan materi yang akan dipelajari.
Oleh karena itu, untuk dapat memahami berbagai metode pembelajaran
tentunya seorang guru perlu mendapat arahan dan bimbingan dari kepala
sekolah dalam menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan
materi pembelajaran. kegiatan yang dilakukan kepala sekolah untuk
mengembangkan kemampuan guru dalam menggunakan metode
pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran yaitu melalui kegiatan
diskusi internal pada saat awal tahun ajaran ketika membuat rencana
pembelajaran. Kepala sekolah memberi arahan secara umum saja namun
untuk pembuatan secara detailnya diserahkan kepada masing-masing guru.
selain melalui diskusi internal, kepala sekolah juga mengadakan seminar
terkait dengan penggunaan metode pembelajaran dengan mendatangkan
narasumber yang kompeten.
Pentingnya mengembangkan kemampuan guru dalam menggunakan
metode pembelajaran agar dalam proses pembelajaran guru mempunyai
bekal serta pengetahuannya terkait dengan penggunaan metode
pembelajaran, supaya memudahkan para guru dalam menggunakan metode
pembelajaran yang sesuai dengan materi pembelajaran.
7. Mengembangkan Pemahaman Guru dalam Melaksanakan Evaluasi Hasil
Belajar Siswa
Evaluasi pembelajaran adalah tahap penilaian dari proses pembelajaran
yang dilakukan oleh guru untuk melihat sejauhmana kemampuan dan
pemahaman yang didapat siswa setelah mengikuti proses pembelajaran
tersebut.
Dalam mengembangkan pemahaman guru dalam melaksanakan evaluasi
hasil belajar siswa tentunya kepala sekolah selalu memberi arahan kepada
guru untuk melaksanakan evaluasi hasil belajar siswa karena evaluasi
tersebut sangat penting dilakukan untuk melihat sejauhmana pemahaman
yang didapat siswa dalam mengikuti prose pembelajaran. Kepala sekolah
memberi arahan secara umum kepada guru dalam melaksanakan evaluasi
belajar siswa. Kepala sekolah juga mewajibkan guru untuk menggunakan tes
lisan dan tulisan terhadap siswa setelah materi pembelajaran selesai
disampaikan.
Dalam mengembangkan pemahaman guru dalam melaksanakan evaluasi
hasil belajar siswa kegiatan yang dilakukan yaitu hampir sama dengan
kegiatan yang lain, yaitu melalui diskusi dengan memberi arahan secara
umum dan mewajibkan para guru untuk menggunakan tes lisan dan tulisan
kepada siswa setelah materi pembelajaran selesai disampaikan. Supaya dapat
mengetahui sampai dimana pemahaman siswa terhadap materi yang telah
disampaikan.
Dapat disimpulkan bahwa, pentingnya evaluasi hasil belajar siswa
dilakukan agar memudahkan guru untuk mengetahui sejauhmana
keberhasilan guru dalam menyampaikan materi pembelajaran, dan
mengetahui sejauhmana pemahaman siswa terhadap materi yang telah
disampaikan guru.
D. PERENCANAAN PROGRAM
Dalam perencanaan ada yang bertanggung jawab membuat perencanaan
program pengembangan kompetensi pedagogik. Setiap kegiatan tentunya
memerlukan suatu perencanaan yang matang agar kegiatan tersebut berjalan
dengan lancar dan sesuai dengan yang telah di rencanakan. Begitupun halnya
dengan SMK Islamiyah Ciputat ketika mengadakan program pengembangan
kompetensi pedagogik sekolah ini selalu membuat perencanaan yang matang.
Dalam membuat perencanaan tentunya ada pihak-pihak yang bertanggung
jawab secara penuh terhadap perencanaan tersebut dan ada pula pihak yang
terlibat di dalamnya agar nantinya program tersebut berjalan dengan lancar.
Kepala sekolah dan wakil bertanggung jawab membuat perencanaan terkait
dengan program pengembangan kompetensi pedagogik bersama orang-orang
yang terlibat dalam membuat perencanaan tersebut yaitu pihak yayasan
Islamiyah dan juga pihak luar jika memang ada keterkaitan dengan program
tersebut. Ketika membuat perencanaan biasanya kepala sekolah dan wakil
kepala sekolah berdiskusi hal-hal yang terkait dengan program yang akan
dilaksanakan. Namun dalam membuat perencanaan, tidak dibuat dalam bentuk
draft karena pelaksanaan program pengembangan yang dilaksanakan di SMK
Islamiyah ini sesuai kebutuhan saja. Jika memang anggarannya mendukung dan
program tersebut dibutuhkan, sekolah tentunya akan melaksanakan program
tersebut. Namun dalam membuat perencanaan kita juga melibatkan kepala
bidang keahlian atau kepala jurusan.
Ketika mengadakan suatu program terutama program pengembangan
komepetensi pedagogik SMK Islamiyah selalu membuat perencanaan yang
matang sehingga program tersebut berjalan dengan lancar sesuai dengan yang
telah direncanakan. Selain itu, dalam membuat perencanaan adanya kerjasama
yang baik antara kepala sekolah dengan wakil kepala sekolah bidang kurikulum
dan juga pihak-pihak yang memang terkait dengan program pengembangan
kompetensi pedagogik tersebut.
E. PELAKSANAAN PROGRAM
Program pengembangan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh
suatu lembaga untuk mencapai tujuan dalam rangka mengembangkan atau
meningkatkan mutu tenaga pendidik didalam lembaga tersebut. Program
pengembangan di SMK Islamiyah Ciputat khususnya pengembangan
kompetensi pedagogik telah dilaksanakan dengan baik dan tentunya mencapai
tujuan yang telah diharapkan. Terdapat dua jenis pengembangan di sekolah
SMK Islamiyah Ciputat yaitu:
1. Pengembangan Secara Informal
Tenaga pendidik di SMK Islamiyah Ciputat selalu mengembangkan dan
meningkatkan kompetensinya dengan mempelajari berbagai macam sumber
buku untuk menambah pengetahuannya. Selain mengikuti berbagai macam
pelatihan upaya yang dilakukannya dalam mengembangkan kompetensi
yang dimilikinya yaitu membeli buku-buku untuk menambah wawasan dan
pengetahuan. Selain itu, mencari informasi tidak hanya dari satu sumber tapi
dari buku-buku lain. Termasuk mengikuti perkembangan yang ada, serta
mempelajari ilmu-ilmu yang baru. Dan selain itu juga mencari buku-buku
untuk materi yang akan diajarkan.
2. Pengembangan Secara Formal
Kepala sekolah tentunya selalu berperan aktif dan mendukung penuh
dalam mengembangkan kompetensi tenaga pendidiknya. Hal ini terlihat
bahwa kepala sekolah SMK Islamiyah Ciputat selalu memberikan
kesempatan kepada tenaga pendidik untuk mengembangkan kompetensi
yang dimiliki melalui program pengembangan kompetensi guru baik yang
diadakan di sekolah maupun di luar sekolah. Selain itu kepala sekolah juga
selalu mengikutsertakan guru-guru untuk mengikuti kegiatan yang terkait
dengan pengembangan dirinya, seperti pengembangan kompetensi pedagoik
yang diadakan oleh institusi lain. Ada beberapa bentuk pendidikan dan
pelatihan yang diikuti oleh para guru SMK Islamiyah Ciputat baik yang
diadakan di sekolah maupun yang diadakan oleh isntitusi lain di luar
sekolah, diantaranya:
a. MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran)yang terdiri dari guru mata
pelajaran diantaranya, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, Matematika,
kewirausahaan dan lain-lain. Kegiatan MGMP ini diadakan satu bulan
sekali dengan tempat atau lokasi yang berbeda beda.
b. Diskusi intern antara guru dengan kepala sekolah, diskusi ini belum
terjadwal sehingga sifatnya kondisional jika memang merasa dibutuhkan
diskusi ini dilaksanakan.
c. Seminar dengan mendatangkan nara sumber yang berkompeten di
bidangnya.
d. Workshop dengan mendatangkan nara sumber yang ahli di bidangnya.
Seperti workshop kurikulum 2013 mendatangkan nara sumber dari
DIKNAS. Dan berbagai macam workshop terkait dengan kegiatan
pembelajaran lainnya.
e. Pelatihan-pelatihan seperti: Pelatihan penyusunan pembuatan RPP,
Pelatihan cara pembuatan media pembelajaran, Pelatihan kurikulum
2013, Pelatihan mengoperasikan aplikasi komputer akuntansi MYOB.
Pelaksanaan program pengembangan kompetensi pedagogik dilakukan
karena ingin merealisasikan tujuan sekolah dalam rangka menambah
kemampuan serta keterampilan guru terutama dalam kegiatan belajar
mengajar. Pelaksanaan program pengembangan kompetensi pedagogik
memang sangat penting untuk dilaksanakan karena kebutuhan sekolah akan
sumber daya manusia yang kompeten sangat diperlukan mengingat kualiatas
sekolah-sekolah yang semakin bagus dan semakin bersaing untuk
meningkatkan mutunya terutama mutu tenaga pendidik. Melalui program
pengembangan kompetensi pedagogik, guru mendapatkan pengalaman serta
pengetahuan terbaru terkait dengan proses pembelajaran di dalam kelas baik
cara mengelola siswa, maupun cara membuat rancangan pembelajaran. selain
itu melalui pengembangan tersebut, guru dapat meningkatkan kualitas serta
kemampuan dirinya terutama dalam mengelola pembelajaran didalam kelas.
F. KENDALA DALAM PELAKSANAAN PROGRAM
Setiap melaksanakan suatu kegiatan tentunya ada beberapa kendala yang
akan dihadapi ketika melaksanakan kegiatan tersebut, baik kendala dari internal
maupun kendala dari eksternal. Sama halnya dengan pelaksanaan program
pengembangan kompetensi pedagogik. Tentunya dalam pelaksanaan tersebut
orang-orang yang terlibat didalamnya pernah mengalami berbagai macam
kendala. Pada umumnya kendala tersebut muncul dari segi dana atau biaya.
Tentunya pelaksanaan program pengembangan kompetensi memerlukan biaya
yang cukup banyak mengingat program tersebut tidak hanya dilaksanakan di
sekolah tetapi sering kali program tersebut diadakan di luar sekolah.
Ada beberapa faktor yang menjadi kendala ketika melaksanakan program
pengembangan kompetensi pedagogik guru yaitu: Pertama adalah faktor biaya,
karena biaya yang dikeluarkan ditanggung oleh sekolah mengingat sekolah
berstatus swasta. Kedua yaitu faktor waktu, karena pihak guru yang
melaksanakan program tersebut tidak seluruh guru bisa hadir di sekolah
mengingat mereka harus mengajar di tempat lain. Ketiga adalah faktor fasilitas,
karena fasilitas sekolah yang kurang mendukung membuat sekolah merasa sulit
melaksanakan program pengembangan kompetensi guru. Keempat adalah faktor
SDM (Sumber daya manusia) yang membantu didalam pelaksanaan tersebut.
G. PENGAWASAN PROGRAM
Pengawasan dalam pelaksanaan program pengembangan kompetensi
pedagogik sangat dibutuhkan sebagai evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan
program pengembangan tersebut. Reward dan punishment pun sangat diperlukan
untuk dijadikan sebagai alat kontrol bagi terlaksananya pengawasan terhadap
kegiatan program pengembangan kompetensi pedagogik agar program tersebut
berjalan dengan lancar. Dengan adanya aturan tersebut seluruh stakeholder dan
anggota yang terkait dengan kegiatan prtogram pengembangan tersebut
memiliki standar pelaksanaan dan mengetahui tugas, hak serta kewajiban
masing-masing. Adapun bentuk pengawasan yang dilakukan sekolah dalam
kegiatan program pengembangan kompetensi pedagogik yaitu dalam bentuk
supervisi. Kepala sekolah dan wakil kepala sekolah terutama bidang kurikulum
melakukan pengawasan dalam bentuk supervisi dan sudah terjadwal yang
diawasi oleh pengawas eksternal pengawasan ini dilakukan untuk mengukur
keberhasilan dalam kegiatan program pengembangan guru terutama guru-guru
yang sudah dikirim atau diikutsertakan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan,
dan biasanya supervisi tersebut dilakukan dua kali dalam setahun.
Pengawasan sangat penting untuk dilaksanakan agar sebuah kegiatan
berjalan dengan lancar. Selain itu diperlukannya kerjasama yang baik antara
stakeholder untuk memastikan program yang telah dilakukan, kemudian
mengoreksi pekerjaan yang telah dilakukan agar dapat berjalan sesuai dengan
yang direncanakan dan ditetapkan. Ada dua bentuk pengawasan yang
dilakukan kepala sekolah dalam memonitoring program pengembangan
kompetensi pedagogik guru diantaranya: Pertama, melalui supervisi yang sudah
terjadwal yang dilakukan dua kali dalam setahun. Dan kedua, melalui
pemantauan berdasarkan hasil daftar hadir guru yang mengikuti kegiatan
pengembangan.
H. MANFAAT BAGI GURU
Ketika mengikuti suatu kegiatan tentunya memiliki nilai positif dan nilai
manfaat dari kegiatan yang telah ikutinya, begitupun halnya dengan para guru
SMK Islamiyah. Setelah mengikuti berbagai kegiatan dalam rangka
mengembangkan kompetensi pedagogiknya mereka mendapatkan banyak
manfaat diantaranya bisa mengetahui bagaimana metode mengajar yang baik,
cara pembuatan RPP, dan penerapan ke siswa, selain itu saya bisa mengetahui
model-model lain dari media pembelajaran. Disamping itu, guru dapat point-
point tersendiri dari pengetahuan yang biasanya tidak didapatkan di sekolah
terutama terkait pengetahuan terhadap kurikulum yang mencakup metode
pembelajarannya, update terbaru mengenai kurikulum atau hal-hal yang
berkaitan dengan pengajaran, penguasaan materi untuk pembelajaran dikelas,
dan metode pembelajaran ya sangat bermanfaat untuk penerapannya ke siswa.
I. KENDALA BAGI GURU
Setiap mengikuti kegiatan tentunya ada faktor-faktor yang menjadi
pendukung maupun penghambat terhadap jalannya kegiatan tersebut.
Begitupun halnya dalam mengikuti kegiatan program pengembangan
kompetensi pedagogik tentunya setiap guru yang mengikuti kegiatan tersebut
menemukan berbagai macam kendala, baik kendala dari internal maupun
kendala dari eksternal. Kendala utama yang dihadapi para guru ketika
mengikuti kegiatan pengembangan kompetensi guru yaitu narasumber yang
kurang berkompeten. Kendala inilah yang membuat para guru merasa kurang
puas mengikuti program pengembangan kompetensi, karena para guru merasa
tidak ada hal penting yang didapatkan setelah mengikuti program tersebut.
Selain itu ada faktor lain yang menjadi kendala dalam mengikuti kegiatan
pengembangan yaitu jadwal mengajar yang bersamaan dengan kegiatan
pengembangan tersebut sehingga kepala sekolah merasa kesulitan ketika
melaksanakan ataupun mengikutsertakan para guru dalam kegiatan
pengembangan terutama ketika kegiatan pengembangan diluar sekolah, karena
para guru merasa intensitas mereka keluar sekolah seperti mengikuti pelatihan
terlalu banyak sehingga mengganggu proses pembelajaran di dalam kelas.
J. EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM
Evaluasi merupakan penilaian yang perlu dilaksanakan untuk mengukur
tingkat keberhasilan suatu kegiatan. Berhasil tidaknya suatu kegiatan dapat
terlihat melalui evaluasi. Dalam kegiatan pengembangan kompetensi
pedagogik, kepala sekolah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan program
pengembangan guru untuk melihat tingkat keberhasilan program tersebut.
Evaluasi yang dilakukan kepala sekolah terhadap kegiatan program
pengembangan kompetensi pedagogik secara umum yaitu dilakukan melalui
supervisi yang diadakan 1-2 kali dalam setahun dan supervisi tersebut
dilakukan untuk melihat pengimplementasian hasil dari kegiatan
pengembangan kompetensi pedagogik mulai dari mensupervisi cara pengajaran
guru di kelas maupun penggunaan media serta metode pembelajaran di kelas.
Selain melalui supervisi, evaluasi juga dilakukan melalui pemanggilan guru
yang bersangkutan yang tidak hadir pada saat mengikuti kegiatan
pengembangan kompetensi pedagogik. Selain itu, evaluasi dilakukan juga
melalui angket kecil yang diberikan kepada siswa tentang guru terkait dengan
kedatangan tepat waktu, sistem mengajar, dan penggunaan metode
pembelajaran guru dikelas. Melalui angket tersebut memudahkan kepala
sekolah dan wakil kepala sekolah dalam mengevaluasi para guru.
K. PENUTUP
Dari uraian hasil penelitian yang telah peneliti lakukan tentang program
pengembangan kompetensi pedagogik di SMK Islamiyah Ciputat, dapat
disimpulkan bahwa Kegiatan pengembangan kompetensi pedagogik yang
sudah dijalankan SMK Islamiyah Ciputat sudah berjalan efektif, adapun
kegiatan tersebut meliputi: mengembangkan wawasan dan kependidikan guru,
mengembangkan pemahaman guru dalam memahami karakteristik siswa,
mengembangkan kemampuan dalam merencanakan proses pembelajaran,
mengembangkan kemampuan guru dalam menggunakan metode pembelajaran
yang sesuai dengan materi pembelajaran, dan mengembangkan pemahaman
guru dalam melaksanakan evaluasi hasil belajar siswa.
SMK Islamiyah mempunyai beberapa strategi dalam mengembangkan
kompetensi pedagogik guru, diantaranya yaitu mengadakan berbagai macam
pelatihan, seminar, dan workshop terkait dengan pendidikan. kemudian
mengikuti MGMP antar guru mata pelajaran, dan melakukan kegiatan diskusi
intern yang membahas tentang rancangan pembelajaran RPP dan Silabus. Selain
itu kepala sekolah juga mengirim guru-guru untuk mengikuti berbagai macam
kegiatan pengembangan seperti pelatihan atau workshop yang diadakan oleh
lembaga/ instansi lain. Belum ada program secara tertulis sehingga terkadang
jadwal pengembangan bersamaan dengan jadwal mengajar guru di sekolah lain.
Referensi
Edupost.ID, R. (2016, Agustus 20). Kompetensi Guru Indonesia Masih Memprihatinkan.
Diambil 4 Desember 2017, dari http://edupost.id/berita-
pendidikan/kompetensi-guru-indonesia-masih-memprihatinkan/
Fathurrohman, P., & Suryana, A. (2012). Guru profesional. Bandung: Refika Aditama.
Gilang, N. (27 Januari).
Indonesia, R. (2005). Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Sekretariat Negara. Jakarta.
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1992). Analisis data kualitatif. Jakarta: UI press.
Mulyasa, E., & Mukhlis. (2007). Standar kompetensi dan sertifikasi guru. Remaja Rosdakarya.
Permadi, D., & Arifin, D. (2013). Panduan menjadi Guru Professional: Reformasi Motivasi dan Sikap Guru dalam Mengajar. Bandung: Nuansa Aulia.
Sanjaya, W. (2008). Perencanaan dan desain sistem pembelajaran. Jakarta: kencana.
Sudarmanto. (2009). Kinerja dan Pengembangan Kompetensi SDM Teori, Dimensi Pengukuran, dan Implemetasi dalam Organisasi. Pustaka Pelajar.
Undang-Undang, R. I. (2003). No. 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional, 9.
IMPLEMENTASI BANTUAN OPERASIONAL SEKOLAH (BOS)
DI SMA NEGERI 37 JAKARTA
Oleh :
JEJEN MUSFAH
Dosen FITK UIN Jakarta, [email protected]
WIDYA NINGSIH
Mahasiswi FITK UIN Jakarta
Pendahuluan ♦ Komponen Penggunaan ♦ Pencairan dan Keterlibatan Stakeholders ♦
Pembahasan ♦ Penutup
A. PENDAHULUAN
Sejak tahun 2005 program dana BOS secara resmi mulai digulirkan. Dana
tersebut merupakan hasil dari pengurangan subsidi BBM yang dilakukan oleh
pemerintah, direlokasikan untuk biaya pendidikan dasar melalui program BOS
(Suryanto, 2008: 2).
Biaya satuan BOS telah dinaikkan secara signifikan, yaitu jika sekolah
dengan jumlah peserta didik minimal 60 mendapat bantuan untuk jenjang
SD/SDLB sebesar Rp. 800.000,-/peserta didik/tahun dan
SMP/SMPLB/SMPT/Satap sebesar Rp. 1.000.000,-/peserta didik/tahun
(Lampiran I, 2015: 3-4).
Besar dana yang diterima sekolah dihitung berdasarkan jumlah siswa
persekolah. Satuan biaya nasional (unit cost) program BOS SMA sebesar
Rp.1.200.000/siswa/tahun. Sehingga total anggaran program BOS SMA tahun
anggaran 2015 sebesar Rp. 5.347.291.800.000 dengan sasaran program seluruh
SMA di Indonesia (Petunjuk Teknis, 2015: 4). Dengan demikian program BOS
menjadi pilar utama untuk mewujudkan pendidikan gratis pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah.
Selain meningkatkan biaya satuan BOS, pemerintah juga telah
mengeluarkan surat edaran Nomor: 23/MPN/KU/2009 perihal Kebijakan
Sekolah Gratis bagi Pendidikan Dasar yang ditujukan kepada Gubernur/
Bupati/ Walikota seluruh Indonesia agar diterbitkan perda/keputusan
Gubernur/ Bupati/ Walikota terkait dengan pelaksanaan kebijakan pendidikan
gratis. Kebijakan pendidikan gratis ini kemudian direspon oleh pemerintah
daerah dengan menerbitkan aturan atau larangan kepada sekolah untuk
memungut biaya pendidikan kepada orangtua siswa. Bahkan di beberapa
Kabupaten/ Kota aturan tersebut diberlakukan secara ketat dengan sanksi
pencopotan jabatan kepala sekolah.
Dengan adanya BOS, Angka Partisipasi Kasar (APK) SD pada tahun 2005
mencapai 115%, sedangkan SMP pada tahun 2009 telah mencapai 98,11%
sehingga program wajar 9 tahun telah tuntas 7 tahun lebih awal dari target
deklarasi Education for All (EFA) di Dakar (Lampiran I, 2015: 1-2).
Hasil penelitian Sinta Dwi Permata (2011) menyimpulkan, BOS membantu
meringankan biaya pendidikan di sekolah, karena dialokasikan pada pos-pos
yang tepat sesuai dengan RAPBS yang telah dirapatkan oleh pihak-pihak yang
terkait, yaitu dengan orang tua siswa, guru-guru, dan komite sekolah.
Pengalokasian tersebut antara lain untuk pengadaan buku LKS, kegiatan mid
dan ujian semester serta uang SPP bulanan bagi yatim dan dhuafa.
Kecuali manfaat tersebut, BOS juga memiliki beberapa kelemahan, seperti
sekolah tidak sepenuhnya bebas biaya, waktu pencairan, dan keterlibatan
komite sekolah. Penelitian Abdul Majid (2013) menyimpulkan, BOS berperan
meningkatkan minat menyekolahkan anak melalui peringanan SPP atau iuran
bulanan siswa. Peran BOS untuk menyelenggarakan pendidikan gratis secara
total, belum dapat dilaksanakan karena sebagian besar dana digunakan untuk
mencukupi honor guru swasta dan biaya operasional lain.
B. KOMPONEN PENGGUNAAN
Sebagai acuan dalam penggunaan dana BOS pihak sekolah terlebih dahulu
membuat Rencana Anggaran Kegiatan Sekolah (RKAS) untuk mempermudah
dalam pengaplikasiannya. Dana BOS yang diberikan oleh pemerintah
digunakan untuk memenuhi kebutuhan operasional non personal yang
berkaitan dengan kebutuhan siswa serta pengembangan mutu tenaga
pendidikan dan kependidikan.
Jumlah dana BOS yang diterima oleh SMA Negeri 37 Jakarta pada tahap I
periode Januari sampai dengan Juni 2015 sebesar Rp 496.200.000,00. Pada pos
pembelanjaan dana BOS tahap 1 periode Januari sampai Juni 2015 dialokasikan
untuk pengadaan alat tulis sekolah sebesar Rp 3.920.000,00., seperti pulpen,
pensil, tinta spidol, tinta printer, dan kertas.
Pengadaan Buku Pelajaran/ Buku Penunjang/ Buku Referensi sebesar Rp
151.863.800,00. Jenis buku yang dibeli yaitu buku untuk koleksi perpustakaan,
buku pelajaran untuk siswa dan buku untuk guru, sehingga mempermudah
dalam proses pembelajaran.
Biaya yang digunakan untuk pemeliharaan dan perbaikan ringan
sarana/prasarana sekolah sebesar Rp 48.624.050,00., seperti untuk perbaikan
toilet siswa, baik laki-laki maupun perempuan, atap kelas yang bocor dan
perbaikan lantai kelas yang retak serta lantai koridor.
Langganan daya dan jasa lainnya sebesar Rp 9.929.780,00. Untuk jenis
pembayaran pos ini juga dibantu melalui dana BOP (Bantuan Operasional
Pendidikan) yang berasal dari subsidi pemerintah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, seperti listrik, telepon, dan internet (wifi).
Penyelenggaraan evaluasi pembelajaran sebesar Rp 106.575.000,00, untuk
kegiatan UAS, UTS, pembelian ATK, serta konsumsi pengawas ujian.
Kegiatan pembinaan siswa/ ekstrakurikuler dan intrakurikuler sebesar Rp
121.910.870,00. Terdapat empat jenis ekstrakurikuler, yaitu bidang olahraga,
bidang kesenian, bidang organisasi, dan bidang bahasa. Dari bidang olahraga,
yaitu bola basket, bola volley, futsal, pencak silat, bulan sabit, taekwondo,
paskibra dan bulu tangkis. Pada bidang kesenian terdapat ekstrakurikuler
paduan suara, marawis, band, tari saman, kadabras dan sinematografi.
Sementara di bidang organisasi terdapat Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS)/
Majelis Perwakilan Kelas (MPK), Paskibra, Palang Merah Remaja (PMR), Rohis
dan Rohkris. Bidang terakhir yaitu bahasa, hanya terdapat dua jenis
ekstrakurikuler bahasa yakni Japanese Club dan English Club (Dokumen
Profile, 2015).
Untuk kegiatan penerimaan siswa baru dana yang digunakan sebesar Rp
23.922.500,00. Dana tersebut digunakan untuk biaya layanan on-line PPDB,
Masa Orientasi Peserta Didik Baru (MOPDB), biaya fotocopy dokumen,
konsumsi untuk panitia dan petugas PPDB, dan transportasi panitia.
Pengembangan profesi guru dan tenaga kependidikan sebesar Rp
22.875.000,00., untuk kegiatan seperti MGMP, IHT, Diklat, Workshop dan
pemberian trasportasi jika ada tugas ke luar sekolah. Perbaikan desain dan
tampilan website sekolah agar terlihat lebih menarik serta memudahkan
pengguna dalam mengakses informasi yang dibutuhkan membutuhkan dana
sebesar Rp. 4.500.000,00.
Penyusunan dan pelaporan penggunaan dana BOS sebesar Rp. 2.079.000.
Biaya tersebut digunakan untuk menyusun dan mengirim laporan sekolah
kepada pihak yang berwenang, seperti biaya fotocopy, penjilidan, konsumsi,
transportasi, honor dan penyusunan laporan BOS.
Berdasarkan penjelasan di atas, pada tahap pertama, penggunaan dana BOS
terbesar dialokasikan untuk pengadaan buku pelajaran sebesar 31%, diurutan
kedua untuk pembiayaan ekstrakurikuler dan intrakurikuler sebesar 24%, ketiga
untuk penyelenggaraan evaluasi pembelajaran sebesar 21%, keempat untuk
pemeliharaan dan perbaikan sarana/ prasarana sekolah sebesar 10%, kelima
untuk kegiatan penerimaan siswa baru sebesar 5%, keenam untuk
pengembangan profesi guru dan tenaga kependidikan sebesar 5%, ketujuh
untuk langganan daya dan jasa sebesar 2%, kedelapan untuk pengembangan
website sekolah sebesar 1%, dan kesembilan untuk pengadaan alat tulis sekolah
sebesar 1%.
Pada tahap II periode Juli sampai Desember 2015 jumlah dana BOS yang
diterima sebesar Rp 453.600.000,00. Jumlah dana penggunaan/ pembelanjaan
BOS mencapai Rp. 456.600.000,00. Terdapat selisih Rp. 3.000.000,00. Menurut
bendahara, terdapat kekeliruan dalam perhitungan. Adapun perinciannya
sebagai berikut.
Pengadaan alat habis pakai sebesar Rp. 39.647.000,00., untuk pembelian
peralatan praktikum IPA, IPS, Bahasa, suku cadang komputer, peralatan praktik
olahraga, kesenian, peralatan kebersihan, kesehatan dan keselamatan serta CD
multimedia pembelajaran (PT, 2015: 10).
Pengadaan bahan habis pakai sebesar Rp. 537.300,00., untuk pembelian
bahan praktikum IPA seperti HCI, formalin, air aqu dan sebagainya, bahan
praktikum IPS seperti format chart, bahan praktikum olahraga seperti
shuttlecock, bahan praktik kesehatan seperti perlengkapan P3K (PT, 2015: 11).
Pengelolaan dana individual sekolah berbasis TIK melalui aplikasi
Dapodikmen, yaitu biaya entri data individual sekolah meliputi identitas
sekolah, peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana prasarana
melalui aplikasi Dapodikmen. Pembiayaan jasa entri per record untuk data
peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan di aplikasi Dapodikmen 2015
dengan ketentuan sebagai berikut : (a) biaya entri per peserta didik sebesar Rp.
2.500,00. (b) biaya entri per pendidik dan tenaga kependidikan sebesar Rp.
20.000,00 (PT, 2015: 13). Biaya yang dibutuhkan untuk pos ini sebesar Rp.
3.579.370,00.
Biaya lainnya yaitu, pengadaan buku pelajaran/ buku penunjang/ buku
referensi sebesar Rp 50.305.000,00, pemeliharaan dan perbaikan ringan sarana/
prasarana sekolah sebesar Rp 60.000.000,00, langganan daya dan jasa lainnya
sebesar Rp 2.500.000,00, penyelenggaraan evaluasi pembelajaran sebesar Rp
125.368.150,00, penyelenggaraan kegiatan pembinaan siswa/ekstrakurikuler dan
intrakurikuler sebesar Rp 135.790.000,00, pengembangan profesi guru dan
tenaga kependidikan sebesar Rp 33.873.180,00, pengembangan website sekolah
sebesar Rp 2.000.000,00, dan penyusunan dan pelaporan dana BOS sebesar Rp
3.000.000,00.
Berdasarkan penjelasan di atas, pada tahap kedua, penggunaan dana BOS
paling besar dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan kegiatan
pembinaan siswa/ ekstrakurikuler dan interakurikuler sebesar 30%,
penyelenggaraan evaluasi pembelajaran sebesar 27%, pemeliharaan dan
perbaikan ringan sarana/ prasarana sekolah sebesar 13%, pengadaan buku
pelajaran/ buku penunjang/ buku referensi sebesar 11%, pengadaan alat habis
pakai sebesar 9%, pengembangan profesi guru dan tenaga kependidikan sebesar
7%, pengelolaan dana individual sekolah berbasis TIK melalui aplikasi
Dapodikmen sebesar 1%, sementara pengembangan website sekolah dan
penggunaan bahan habis pakai sekitar 0,12%.
Dana BOS yang diterima oleh sekolah cukup besar. Namun, menurut
Kepala Sekolah SMA Negeri 37 Jakarta Bapak RT, dana BOS yang diterima
belum mencukupi. “Jika digabungkan bantuan dana yang diberikan oleh
pemerintah pusat dan daerah nominalnya masih dibawah saat sekolah masih
memungut biaya dari orang tua siswa. Namun, untuk mensiasati agar dana
yang diberikan mencukupi kebutuhan, maka sekolah memilah-milah jenis
kegiatan yang menjadi prioritas atau mendukung bagi peserta didik.”
Menurut kepala sekolah, setiap sekolah memiliki jenis kebutuhan yang
berbeda-beda sesuai dengan RKAS yang dibuat oleh sekolah masing-masing.
Sementara pemerintah hanya menghitung jumlah pengeluaran siswa yang
dihitung berdasarkan rata-rata kebutuhan siswa secara nasional.
C. PENCAIRAN DAN KETERLIBATAN STAKEHOLDERS
Pencairan dana BOS dilakukan setiap enam bulan sekali, tepatnya pada
Maret dan Agustus, padahal setiap bulan sekolah memerlukan dana untuk
biaya operasional sekolah. Awal sekolah dimulai Juli, seharusnya dana BOS cair
pada Juni dan/ atau setiap bulan. Dana BOP dan dana guru digunakan sekolah
untuk menutupi keterlambatan dana BOS, karena sekolah tidak memiliki uang
kas lainnya.
Penggunaan dana BOS setiap semester direncanakan dalam RAPBS melalui
rapat yang dihadiri oleh kepala sekolah, bendahara, tata usaha, dan tim
manajemen BOS. Komite sekolah dan sebagian besar guru tidak diundang rapat.
Pengeluaran dana BOS secara global ditempel di mading sekolah, dan bagi yang
ingin mengetahui lebih detil bisa menanyakannya langsung ke bendahara.
Sejak ada BOS, dan tidak ada kewajiban orang tua membayar iuran bulanan
ke sekolah, perhatian orang tua dan/ atau komite sekolah terhadap
perkembangan anak dirasa berkurang. Sekolah sangat hati-hati dalam menerima
dana dari wali murid karena khawatir melanggar aturan pemerintah daerah.
Padahal, dalam hal-hal tertentu bisa jadi positif dan wali murid tidak merasa
keberatan.
D. PEMBAHASAN
Pertama, penerimaan dana BOS dari pemerintah pusat tidak memenuhi
kebutuhan sekolah secara ideal. Maka, peran masyarakat masih diperlukan.
Menurut Musfah (2005: 220), lembaga pendidikan yang bagus ditopang oleh
biaya yang memadai. Setiap lembaga pendidikan membutuhkan dana untuk
menopang proses pendidikan, mulai dari biaya rutin, biaya kegiatan, hingga
biaya perawatan atau perbaikan. Kebutuhan sekolah di setiap daerah berbeda-
beda, tetapi dana BOS disamakan, tanpa pertimbangan sekolah negeri atau
swasta, sekolah terakreditasi A atau C, sekolah di daerah kota atau desa.
Peran orangtua siswa dalam pembiayaan sekolah perlu, tetapi khusus bagi
yang mampu. Orangtua miskin dibebaskan dari segala pembiayaan sekolah
anak mereka. Nandika (2007: 7) menjelaskan, meskipun SPP secara resmi telah
dihapuskan oleh pemerintah, kenyataannya pengeluaran pembelian buku, alat
tulis, seragam, uang transport, dan uang saku menjadi faktor penghambat bagi
masyarakat miskin untuk menyekolahkan anaknya.
Kedua, pencairan dana BOS setiap bulan lebih sesuai dengan kebutuhan
sekolah. Pencairan bulanan akan lebih baik bagi sekolah, karena tidak akan
memakai dana BOP dan guru untuk keperluan operasional sekolah. Menurut
Irianto (2012: 41), tolok ukur keberhasilan suatu kebijakan adalah pada tahap
implementasi. Implementasi kebijakan lebih bersifat kegiatan praktis, termasuk
mengeksekusi dan mengarahkan.
Hal ini bukan mustahil bisa diwujudkan sepanjang ada kemauan dari
banyak pihak, khususnya pemerintah. Dalam implementasi kebijakan yang
perlu diperhatikan adalah bagaimana pra kondisi untuk keberhasilan
pelaksanaan kebijakan, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi atau sikap dan
struktur birokrasi (Syafaruddin, 2008: 87).
Ketiga, pelibatan komite sekolah dalam penyusunan RAPBS sangat penting
sehingga pengembangan sekolah tidak hanya tanggung jawab guru, melainkan
banyak pihak. Jika komite mengetahui dengan baik keuangan sekolah, maka
akan mudah meminta dukungan finansial dari mereka. Orang tua sudah banyak
yang sadar pentingnya mutu sekolah, sehingga mereka tidak segan membantu
secara finansial. Hasbullah (2015: 155) menyatakan, meskipun tujuan utama
program BOS adalah untuk pemerataan dan perluasan akses, program BOS juga
merupakan program untuk peningkatan mutu, relevansi dan daya saing serta
untuk tata kelola, akuntabilitan dan pencitraan publik.
Pelibatan komite juga menunjukkan manajemen terbuka dan transparansi
pengelolaan keuangan sekolah. Sudah seharusnya dana BOS dikelola dengan
baik dan transparan. Karena itu tidak boleh ada lagi pemotongan dan
keterlambatan dalam pencairannya. Mekanisme juga harus tepat agar dana
tersalurkan kepada yang berhak (Udiutomo, dkk., 2015: 164).
Penggunaan dana BOS perlu dikontrol agar sesuai dengan yang dilaporkan.
Misalnya, tertulis bahwa ada dana digunakan untuk perbaikan sapras, tetapi
terdapat dua pintu toilet siswi yang tidak bisa ditutup. Mulyono (2010: 18)
menulis, mulai tahun 2009, pengawasan terhadap pengelolaan BOS makin
diperketat. Ini karena pemakaian dana BOS secara benar dijadikan salah satu
garansi untuk mendapatkan pinjaman dari Bank Dunia. Komite bisa menjadi
alat kontrol dari dalam terkait pelaksanaan BOS. Sebelum ada program itu,
komite sekolah selalu dilibatkan dalam rapat keuangan sekolah. Sejak ada BOS,
peran komite berkurang signifikan, khususnya terkait perencanaan,
penyusunan, dan pelaporan keuangan sekolah.
E. PENUTUP
Peran finansial dari orang tua siswa yang mampu tetap diperlukan
meskipun pemerintah memberikan dana BOS. 2) Pencairan dana BOS sebaiknya
dilakukan sebulan sekali ke rekening sekolah karena sesuai dengan kebutuhan
sekolah. 3) Pelibatan komite sekolah dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi BOS sangat perlu sehingga kerjasama antara sekolah dan komite
berjalan baik, tidak hanya terkait keuangan tetapi aspek-aspek lainnya seperti
perkembangan perilaku dan bakat siswa.
Referensi
Dokumen Profile SMA Negeri 37 Jakarta.
Dokumen Rencana Anggaran Kegiatan Sekolah (RKAS) Laporan Penggunaan dana Program BOS Periode Juli s/d Desember 2015.
Hasbullah, M. (2015). Kebijakan Pendidikan: Dalam persepektif Teori, Aplikasi dan Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.
Lampiran I Permen Dikbud RI Nomor 161Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dana Bantuan Operasional Sekolah Tahun Anggaran 2015.
Laporan BOS SMA Negeri 37 Jakarta Tahap I Januari-Juni 2015.
Majid, A. (2003). “Peran Bantuan Operasional Sekolah dalam Meningkatkan Minat Menyekolahkan Anak”, Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Mulyono, (2010). Konsep Pembiayaan Pendidikan, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Musfah, J. (2015). Manajemen Pendidikan Teori; Kebijakan dan Praktik, Jakarta: Prenadamedia Group.
Nandika, D. (2007). Pendidikan di Tengah Gelombang Perubahan, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.
Permata, S.D. (2011). “Study Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah dalam Menyukseskan Wajib Belajar Sembilan Tahun di MTs Unwaanunnajah Pondok Aren Tanggerang Selatan”, Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Sekolah Menengah Atas Tahun 2015.
Rencana Anggaran Kegiatan Sekolah (RKAS) Laporan Penggunaan Dana Program BOS SMA Periode Juli-Desember 2015.
Suryanto, J., dkk. (2008). Efesiensi Penggunaan APBN di Daerah Tinjauan Terhadap Pelaksanaan BOS, Jakarta: Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Daerah.
Syafaruddin, (2008). Evektivitas Kebijakan Pendidikan: Konsep, Strategi dan Aplikasi Kebijakan Menuju Organisasi Sekolah Efektif, Jakarta: Rineka Cipta.
Udiutomo, P., Syafi’ie, M., Sari, D.P. (2015). Bagai Pungguk Merindukan Pendidikan Gratis, Bogor: Dompet Dhuafa – Makmal Pendidikan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Yoyon Bahtiar Irianto, Y.B. (2012). Kebijakan Pembaruan Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers.
PENGEMBANGAN KURIKULUM
DI KOMUNITAS HOMESCHOOLING KAK SETO PUSAT
Oleh :
JEJEN MUSFAH
Dosen FITK UIN Jakarta, [email protected]
NURFITRIYANI
Mahasiswi FITK UIN Jakarta
Pendahuluan ♦ Profil ♦ Program Pembelajaran ♦ Pelaksanaan Muatan Lokal ♦
Pelaksanaan Penjurusan ♦ Kalender Akademik ♦ Aktivitas Pengembangan Diri ♦
Pelatihan Tutor ♦ Penggunaan Sumber Belajar Siswa (Modul) ♦ Pengaturan Beban
Belajar Siswa ♦ Pelaksanaan Ketuntasan Belajar, Kenaikan Kelas, dan Kelulusan ♦
Penutup
A. PENDAHULUAN
Di Indonesia pendidikan terbagi menjadi 3 jalur, yaitu jalur pendidikan
formal, jalur pendidikan non-formal dan jalur pendidikan informal(Undang-
Undang, 2003). Keberhasilan dalam penyelenggaraan lembaga pendidikan baik
formal, non-formal, maupun informal akan sangat bergantung kepada
komponen-komponen pendukung pelaksanaan kegiatan. Salah satu komponen
yang krusial tersebut adalah kurikulum. kurikulum adalah seperangkat alat
yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Walaupun pemerintah
sudah memberikan pedoman tentang kurikulum mulai dari perencanaan,
pelaksanaan sampai evaluasi, namum dalam pelaksanaannya di setiap lembaga
pendidikan pasti berbeda-beda. Ada yang perlu dikembangkan lagi dari
pedoman tersebut agar sesuai dengan kondisi satuan pendidikan di masing-
masing daerah.
Dari pembahasan 3 jalur pendidikan tersebut di Indonesia ada salah satu
pendidikan alternatif yang sedang berkembang saat ini yaitu homeschooling.
Homeschooling bisa dikatakan sebagai alternatif pilihan bagi orang tua yang tidak
puas dengan pendidikan sekolah formal mulai dari guru yang kurang
memperhatikan keadaan psikologis siswa karena jumlah siswa dalam 1 kelas
yang terlampau banyak, fasilitas di sekolah yang kurang memadai, guru kurang
menguasai materi pelajaran hingga metode pembelajaran yang monoton dari
tahun ke tahun.
Di Indonesia, belum ada catatan statistik jumlah praktisi homeschooling.
Tetapi, seminar mengenai homeschooling selalu dipenuhi oleh para peserta
(Asmani, 2012). Homeschooling berkembang melalui berbagai media, baik dari
internet, seminar, media cetak, dan sebagainya.
Ada tiga macam jenis homeschooling yaitu homeschooling tunggal,
majemuk dan komunitas(Mulyadi, 2007). Pertama homeschooling tunggal
dilaksanakan oleh satu keluarga saja. Kedua homeschooling majemuk
dilaksanakan oleh beberapa keluarga dengan kegiatan tertentu, dan
homeschooling komunitas adalah gabungan beberapa homeschooling majemuk
yang menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok
(olahraga,musik/seni, dan bahasa), sarana/prasarana, dan jadwal pembelajaran.
Dari tiga macam jenis homeschooling orang tua bisa memilih pendidikan
yang tepat bagi anak-anaknya sesuai dengan kebutuhan. Jika anaknya
berkebutuhan khusus, cara menanganinya adalah dengan terapi-terapi yang
sesuai dengan kebutuhan anaknya. tidak bisa dipaksakan untuk menyekolahkan
anaknya di sekolah formal hanya akan menyiksa anak. akan ada ejekan,
tertawaan bahkan hinaan, Karena anak berkebutuhan khusus (ABK)
membutuhkan penanganan yang khusus pula. Homeschooling bisa menjadi
alternatif terbaik. Anak berkesempatan mendapatkan pendidikan yang lebih
baik. Selain anak berkebutuhan khusus ada pula anak yang mempunyai bakat
khusus. Sekarang artis muda dan para atlet pun mengambil alternatif
pendidikan homeschooling karena jadwal mereka yang padat dan waktu belajar
di sekolah formal yang tidak fleksibel. Mereka memilih homeschooling karena
bisa memilih waktu belajar tanpa harus meninggalkan dunia artis maupun
dunia atletnya. Ini cukup menjadi pilihan yang tepat disamping bisa
mengembangkan bakat mereka tidak lupa akan kewajibannya untuk belajar.
Namun disamping keunggulan di atas, terdapat juga kelemahan
homeschooling, yaitu anak-anak yang belajar di homeschooling kurang berinteraksi
dengan teman sebayanya dari berbagai status sosial yang dapat memberikan
pengalaman berharga untuk belajar hidup di masyarakat dan perlindungan
berlebihan dari orang tua dapat menyebabkan anak tidak mampu mengatasi
masalah atau situasi yang terjadi di dunia nyata.
Lembaga homeschooling sudah mulai banyak bermunculan di Indonesia,
lembaga homeschooling di Jakarta pun mudah ditemui karena daerah dan
tempatnya yang strategis mudah untuk dijangkau oleh para homeschooler,
lembaga homeschooling yang ada di Indonesia yaitu homeschooling Primagama,
Morning Star Academy (MSA), Homeschooling Kak Seto (HSKS) yang pusatnya
berada di Pondok Aren Tangerang Selatan, Homeschooling Mandiri, Deka
Homeschooling, Kamyabi Homeschooling, Homeschooling BERKEMAS (berbasis
keluarga dan masyarakat) dan lain-lain. Komunitas homeschooling Kak Seto pusat
(HSKS) berdiri cukup lama dari tahun 2007, pendirinya pun merupakan salah
satu tokoh pendidikan di Indonesia yaitu Seto Mulyadi atau biasa di panggil
dengan kak Seto.
Sebelum mendirikan homeschooling, kak Seto dan rekan-rekan yang peduli
terhadap pendidikan mulai mempromosikan tentang pendidikan alternatif
melalui komunitas ASAH PENA (asosiasi sekolah rumah dan pendidikan
alternatif) di komunitas ASAH PENA ini kak Seto menjabat sebagai ketua
umum. ASAH PENA berdiri sejak 4 Mei 2006 (Kembara, 2007). Tujuan ASAH
PENA sendiri adalah“untuk mengorganisir dan melayani keluarga-keluarga
penggiat pendidikan alternatif, serta menjembatani antara keluarga pesekolah
rumah, dan pendidikan-pendidikan alternatif pada umumnya dengan
pemerintah”. Dengan kata lain ASAH PENA didirikan untuk mewadahi
penyelenggaraan homeschooling dan pendidikan alternatif di Indonesia. setelah
itu pada tahun 2007, ASAH PENA menandatangani nota kesepahaman (MOU)
bersama Depdiknas berisi pengakuan komunitas sekolahrumah sebagai salah
satu “satuan pendidikan non-formal” yang diakui negara (Asmani, 2012).
Ketika melakukan wawancara awal dengan bagian humas dan beberapa
siswa HSKS tingkat SMA siswa yang pindah dari sekolah formal ke HSKS
karena berbagai macam alasan diantaranya adalah: jam belajar dan mata
pelajaran di sekolah formal yang padat, adanya keterbatasan fisik dan mental
yang mengakibatkan bullying, dan orang tua yang di tugaskan bekerja pindah-
pindah kota. Serta waktu belajar di homeschooling yang relatif singkat hanya 3
kali pertemuan dalam seminggu di sisa harinya bisa mereka gunakan untuk
bekerja maupun mengembangkan minat dan bakat dibidang lain.
Jenjang pendidikan di homeschooling kak Seto pusat mulai dari tingkat SD,
SMP, dan SMA. Pada tingkat SD terdiri dari kelas I sampai kelas VI, pada
tingkat SMP terdiri dari kelas VII sampai kelas IX, sedangkan pada tingkat SMA
terdiri dari kelas X sampai kelas XII. program pembelajaran di HSKS pusat yaitu
komunitas dan distance learning. Penulis hanya fokus di tingkat SMA dan
program komunitas. Selain itu di HSKS Pusat tidak hanya menerima anak-anak
normal saja tetapi menerima juga anak berkebutuhan khusus (ABK).
Tidak hanya di sekolah formal di homeschooling pun membutuhkan
kurikulum sebagai pedoman dasar penyelenggaraan pembelajaran. Dari studi
awal yang telah dilakukan ditemukan bahwa kurikulum di homeschooling kak
Seto Pusat masih mengacu pada peraturan menteri pendidikan nasional No. 23
tahun 2006 tentang standar kompetensi lulusan (SKL) kurikulum tingkat satuan
pendidikan (KTSP). Hanya saja ada yang dimodifikasi dari kurikulumnya
tersebut dan dikembangkan kembali sesuai dengan kebutuhan, minat dan bakat
anak. untuk itu pengembangan kurikulum tidak sepenuhnya dikembangkan
lagi oleh pemerintah, tetapi homeschooling juga diberikan ruang untuk
mengembangkan kurikulumnya sesuai dengan kebutuhan, minat dan bakat
anak. Tanpa adanya kurikulum suatu lembaga pendidikan termasuk
homeschooling tidak akan mempunyai arah, karena tidak mempunyai rencana
kemana peserta didiknya akan diarahkan. Karena di HSKS Pusat anak
berkebutuhan khusus dan anak normal kelasnya disatukan ini menjadi
hambatan sekaligus tantangan tersendiri untuk para tutornya bagaimana
mereka menangani berbagai macam karakter siswa yang berbeda-beda satu
sama lain pada saat mengajar. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan
masukan bagi lembaga homeschooling dan pihak-pihak yang terkait dalam
implementasi kurikulum di lembaga homeschooling untuk meningkatkan
kualitas, terutama dalam mengembangkan kurikulumnya, menambah
pengetahuan bagi pembaca mengenai implementasi pengembangan kurikulum
di lembaga homeschooling.
B. PROFIL HOMESCHOOLING KAK SETO
Setiap anak mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan.
Dan, setiap anak sedapat mungkin memperoleh pendidikan yang layak bagi
dirinya.Namun, dalam pengalaman di lapangan menunjukkan bahwasannya
banyak anak mendapatkan pengalaman kurang menyenangkan selama
bersekolah.Sebut saja kasus bullying, bentakan, dan kekerasan dari guru, bahkan
pemasungan kreativitas anak.pengalaman-pengalaman yang kurang berkesan
tersebut menimbulkan phobia terhadap sekolah (School Phobia) bagi anak dan
orang tua.
Kemudian, upaya penyeragaman kemampuan dan keterampilan anak di
segala bidang turut mematikan minat dan bakat anak yang tentunya berbeda-
beda, karena setiap anak adalah unik.Lebih jauh lagi, kurikulum yang padat dan
tugas-tugas rumah yang menumpuk membuat kegiatan belajar menjadi suatu
beban bagi sebagian anak.anak yang kurang cocok dengan sistem pendidikan
formal. salah satu bentuknya adalah kegiatan homeschooling (sekolah rumah),
berdasarkan alasan inilah maka kak Seto sebagai tokoh pendidikan anak beserta
tim, membangun komunitas sekolah rumah yang disebut dengan “homeschooling
kak Seto” (HSKS), sebagai sebuah institusi pendidikan alternatif yang senantiasa
memerhatikan hak anak atas pendidikan.
Homeschooling adalah sebuah sistem pendidikan atau pembelajaran yang
diselenggarakan di rumah. “Homeschooling Kak Seto” adalah sebuah alternatif
yang menempatkan anak-anak sebagai subjek dengan pendekatan secara at
home atau di rumah. Dengan pendekatan “at home” inilah anak-anak merasa
nyaman belajar karena mereka dapat belajar apapun sesuai dengan
keinginannya, kapan saja dan dimana saja seperti ia tengah berada di rumahnya.
Jadi, meski disebut homeschooling, tidak berarti anak akan terus menerus belajar
di rumah, tapi anak-anak dapat belajar dimana saja dan kapan saja asal situasi
dan kondisinya benar-benar nyaman dan menyenangkan seperti “at home”.
Maka dalam sistem homeschooling, jam pelajaran bersifat fleksibel mulai dari
bangun tidur sampai berangkat tidur kembali.
Jenjang pendidikan pada homeschooling Kak Seto Pusat mulai dari tingkat
SD, SMP dan SMA. Pada tingkat SD terdiri dari kelas I sampai kelas VI, Pada
tingkat SMP terdiri dari kelas VII sampai kelas IX, dan pada tingkat SMA terdiri
dari kelas X sampai kelas XII. Homeschooling Kak Seto secara resmi berdiri pada
tanggal 4 April 2007.Kantor Pusat “HOMESCHOOLING KAK SETO” beralamat
di Jl. Taman Makam Bahagia ABRI No. 3A Parigi Lama- Pondok Aren Bintaro
sektor 9, Tangerang selatan, 15400.
Homeschooling Kak Seto diakui dan dilindungi UU No 20 tahun 2003
tentang sistem pendidikan nasional sesuai dengan pasal 4 dan pasal 27 sebagai
jalur pendidikan informal, yaitu pendidikan mandiri oleh keluarga dan
lingkungan. Antara jalur pendidikan formal (sekolah biasa), nonformal (PKBM)
dan informal (Homeschooling) dapat saling pindah jalur dengan berkelanjutan
dan melengkapi.
C. PROGRAM PEMBELAJARAN KOMUNITAS HOMESCHOOLING KAK
SETO
Program pembelajaran di homeschooling kak seto (HSKS) Pusat ada 2 yaitu
program komunitas dan distance learning tetapi fokus penelitian penulis hanya
program komunitas saja Program komunitas sama seperti sekolah formal siswa
datang ke HSKS untuk belajar di kelas bersama tutor atau jika di sekolah formal
sama seperti guru. Selain syarat administratif sebelum masuk komunitas ada
beberapa persyaratan lain yang harus dipenuhi.
Sebelum masuk komunitas tahapannya siswa placement test kemudian di
assessment terlebih dahulu untuk mengetahui siswa tersebut memerlukan
penanganan khusus atau tidak kemudian ada wawancara dengan konselor.
Siswa di HSKS bisa memilih program pembelajaran yang paling cocok
sesuai dengan kondisi masing-masing siswa, namun HSKS lebih mengarahkan
ke komunitas terlebih dahulu agar anak-anak bisa bersosialisasi dengan teman-
teman sebayanya. Misalnya jika siswa tersebut ternyata anak berkebutuhan
khusus (ABK) yang tidak bisa mengikuti proses pembelajaran biasanya memilih
program distance learning dan mengikuti kelas therapi. Proses masuk ke
komunitas HSKS siswa melakukan placement test untuk mengetahui kemampuan
akademiknya kemudian di assessment untuk mengetahui sejauh mana potensi
dan kekurangan atau hambatan yang dimiliki siswa, terakhir wawancara
dengan konselor. Di HSKS tidak hanya ada pembelajaran akademik saja tetapi
ada pembelajaran non akademik atau kegiatan pengembangan diri. HSKS tidak
hanya belajar akademik saja tetapi ada pembelajaran non akademiknya juga, ini
menjadi salah satu keunggulan homeschooling dibandingkan dengan sekolah
formal yang lebih mengutamakan akademiknya saja padahal tidak semua siswa
berbakat di bidang akademik.
Mata pelajaran yang diajarkan di komunitas HSKS yaitu bahasa inggris,
bahasa Indonesia, PKN, Matematika, Biologi, Fisika, Kimia, Geografi, Sosiologi,
Ekonomi. Mata pelajaran tersebut di ajarkan di kelas bersama tutor per mata
pelajaran (mapel). Dalam komunitas jadwal belajar ditentukan oleh HSKS. Agar
lebih jelasnya berikut tabel jadwal pembelajaran HSKS Pusat.
Mata pelajaran (Mapel) di HSKS untuk kelas X sama tetapi waktu naik
kelas XI dan kelas XII mata pelajarannya sudah fokus dengan jurusan IPA atau
IPS. hari belajar antara kelas X dan kelas XI sama tetapi untuk kelas XII harinya
berbeda agar mereka lebih fokus belajar untuk persiapan UNPK, tetapi waktu
belajar sama durasinya. Sementara untuk kegiatan non-akademik hari jumat
tempat pembelajaran menyesuaikan dengan tema yang telah ditentukan. Jumlah
siswa perkelas maksimal 10 siswa. Jumlah 1 kelas di komunitas HSKS Pusat
maksimal 10 orang. Misalnya jika kelas X ada 1 kelas jumlahnya 10 orang dan
ada 2 siswa baru masuk maka kelasnya di pecah jadi 2. Dari jumlah siswa dalam
1 kelas ini cukup efektif karena tutor dapat dengan mudah memahami
karakteristik siswa dibandingkan dengan jumlah siswa dalam 1 kelas yang
banyak. Jumlah siswa yang sedikit itu membuat belajar siswa jadi fokus dan
hubungan antara tutor dan siswa bisa lebih akrab agar proses pembelajaran di
kelas tidak kaku. HSKS tidak membuat Standar kompetensi dan kompetensi
dasar (SK/KD) tetapi hanya menyusun ulang saja. Standar kompetensi lulusan
(SKL) HSKS pun tidak menyusun ulang tetapi mengacu ke peraturan
pemerintah. Jadi SKL di HSKS merujuk ke peraturan menteri pendidikan
nasional nomor 23 tahun 2006 tentang SKL sesuai jenjang pendidikan yang
sedang ditempuh (SD, SMP, SMA).
HSKS membuat silabus pada tahun 2014, tahun selanjutnya tinggal di
modifikasi jika ada pembaharuan dari SK/KD nya. Yang membuat silabus itu
staf ahli dan tutor sementara bagian kurikulum hanya menyelenggarakan dan
memantau proses pembuatan silabus. Untuk RPP pun HSKS baru
menerapkannya sekitar 3 tahun yang lalu. HSKS membuat RPP berdasarkan
SK/KD yang sudah adadari pemerintah selanjutnya tutor tinggal
mengembangkan RPP di indikatornya menyesuaikan dengan waktu belajar
yang hanya 3 kali dalam seminggu. dan RPP dibuat seminggu sebelum tutor
mengajar di kelas. RPP yang dibuat oleh tutor masih menggunakan format RPP
KTSP. Proses pembelajaran di HSKS layaknya sekolah formal pada umunya
siswa datang ke HSKS lalu belajar dalam ruang kelas yang nyaman dan fasilitas
yang mendukung. Cuma yang membedakan dari persiapan mengajar, Sebelum
mulai mengajar tutor melakukan briefing dengan kepala akademik serta tutor
yang akan mengajar hari itu.
Sebelum tutor mengajar di kelas, paginya ada briefing bersama kepala
akademik dan tutor yang mengajar pada hari itu yang intinya menceritakan
kegiatan apa saja yang akan dilakukan di kelas nanti. Setelah briefing sore hari
setelah mengajar di kelas tutor mengadakan evaluasi yang intinya bagaimana
keadaan di kelas tadi apakah ada kendala lalu RPP yang dibuat sebelum
mengajar apakah sudah sesuai atau belum, jika ada yang berubah misalnya dari
metode pembelajarannya bisa di edit lagi disesuaikan dengan keadaan di kelas
tadi. Manfaat briefing dan evaluasi ini setiap tutor jadi mengetahui metode atau
pendekatan apa yang harus dipakai jika masuk ke kelas A, B dan C.
Sebelum mengajar, tutor melakukan persiapan yaitu RPP, materi yang
akan diajarkan, media pembelajaran yang akan digunakan, metode
pembelajaran karena tidak semua kelas tutor bisa menggunakan metode yang
sama. Dan terakhir penampilan tutor yang segar, rapi, bersih, dan wangi. Untuk
penggunaan media pembelajaran setiap tutor berbeda-beda karena disesuaikan
dengan materi pelajaran pada hari itu. Media yang digunakan seperti biasa
power point dengan alat bantu laptop dan infokus. Tetapi penggunaan power
point tidak selalu dipakai setiap kali pertemuan agar tidak menimbulkan
kejenuhan dalam belajar dan media pembelajaran yang digunakan disesuaikan
dengan materi pelajaran. Tutor menggunakan metode ceramah dan diskusi
terkait tema yang telah ditentukan setelah itu siswa/i diberi tugas untuk melihat
profesi yang sesuai dengan tema public speaking kemudian menebak nama
profesi tersebut di kertas yang telah dibagikan. Karena di HSKS untuk tingkat
SMA nya anak berkebutuhan khusus (ABK) dan anak normal kelasnya
disatukan pasti penanganannya berbeda berikut hasil wawancara penulis
dengan kak Linda mengenai cara tutor menangani ABKTutor tetap memberi
kesempatan kepada ABK untuk bertanya dan membuat mereka nyaman di kelas
jika ada anak lain yang mengganggu siswa tersebut akan di tegur halus oleh
tutor. Disini ditemukan maksud dari belajar yang ramah anak itu tutor
memperhatikan kenyamanan anak ABK jangan sampai tutor mengeluarkan kata
ABK dan memberikan kesempatan anak ABK untuk bertanya. Anak ABK SMA
di HSKS masih bisa diarahkan karena sebelum masuk komunitas sudah melalui
assessment bahwa anak ABK ini bisa mengikuti kelas komunitas hal ini sesuai
wawancara dengan kak Ambi diuraikan sebagai berikut:
Dalam kegiatan pembelajaran di komunitas HSKS, terdiri dari 3 kegiatan
yaitu kegiatan pendahuluan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Waktu
Pelaksanaan proses pembelajaran di HSKS disesuaikan dengan kemampuan
peserta didik. Hal tersebut disebabkan karena setiap kelas komunitas tingkat
SMA anak berkebutuhan khusus (ABK) dan anak normal kelasnya disatukan
dengan catatan jumlah siswa normal lebih banyak daripada ABK nya.
HSKS Pusat SMA ada program inklusi dimana anak yang normal kelasnya
disatukan dengan ABK. sejauh dari hasil observasi penulis di kelas anak ABK
tidak mengganggu anak normal justru sebaliknya walaupun sedikit ada
interaksi antara anak ABK dan anak normal di kelas. Untuk tutornya mungkin
ada sedikit hambatan karena anak ABK yang di kelas itu tergolong slow learner
atau sulit memahami pelajaran dengan siswa pada umumnya. Sehingga bisa jadi
pelaksanan pembelajaran tidak sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat.
D. PELAKSANAAN MUATAN LOKAL
Di HSKS ada mata pelajaran muatan lokal nya yaitu seni budaya, TIK,
Penjaskes, agama, dan sejarah. Mapel tersebut dipelajari di rumah dalam bentuk
tugas mandiri dan dikumpulkan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
Tidak hanya tugas mandiri berbentuk makalah saja, tetapi ada praktiknya juga
misalnya agama tadi praktik wudhu, shalat atau memandikan jenazah.
Portofolio di HSKS sama seperti muatan lokal di sekolah formal dalam bentuk
tugas mandiri. Pembelajarannya tidak tatap muka tetapi belajar di rumah,
nantinya tugas mandiri tersebut dikumpulkan 1 bulan sekali dan maksimal 3
bulan ke wali kelas.
E. PELAKSANAAN PENJURUSAN
Homeschooling kak Seto (HSKS) tingkat SMA hanya menetapkan dua
jurusan yang di programkan yaitu jurusan ilmu pengetahuan alam (IPA) dan
ilmu pengetahuan sosial (IPS) yang ditentukan pada akhir semester genap kelas
X dan dilaksanakan pada semester ganjil kelas XI. Kriteria penjurusan
berdasarkan minat siswa/i, hasil psikotes, dan nilai akademik. Untuk masuk
jurusan IPA dan IPS nilai akademik terutama untuk jurusan IPA nilai mata
pelajaran IPA harus melampaui KKM yang telah ditetapkan dan hasil psikotes
menunjukan kalau siswa/i tersebut masuk jurusan IPA sementara ketika ada
kondisi nilai IPA di kelas X kurang bagus tetapi minat nya ingin masuk IPA itu
tetap tidak bisa.
F. KALENDER AKADEMIK HOMESCHOOLING KAK SETO PUSAT
Kalender akademik antara jenjang SD-SMA di gabung tetapi dibuat oleh
masing-masing kepala akademik SD-SMA karena masih 1 lingkungan jadi setiap
jenjang harus mengetahui kegiatan apa saja yang ada pada hari itu agar jadwal
kegiatan dan ruangan yang dipakai tidak terbentur. Kalender akademik dibagi
jadi 2 kalender akademik ganjil dan kalender akademik genap. Jadi, patokan
untuk membuat kalender akademik itu dilihat dari jadwal UNPK yang
ditetapkan oleh Diknas. Kemudian untuk yang kelas 3 kegiatannya agak
dipadatkan karena materi pembelajarannya dipercepat selesai sebelum UNPK
dan ada tambahan kelas pemantapan maupun try out.
G. AKTIVITAS PENGEMBANGAN DIRI
Selain kegiatan tatap muka di kelas ada juga kegiatan pengembangan diri
di HSKS diantaranya adalah Outing, Friday class dan Project class.yang masing-
masing akan diuraikan sebagai berikut.
Outing, merupakan proses pembelajaran dimana siswa komunitas belajar
di luar kelas. Baik kunjungan di indoor maupun outdoor.Untuk tingkatan SMA
outing biasanya diadakan 2 bulan sekali mengunjungi tempat-tempat edukasi
yang baik. outing merupakan bagian dari proses pembelajaran di luar kelas.
Untuk Outing kelas XI temanya masih berhubungan dengan pembelajaran
sementara outing kelas XII sudah berhubungan dengan dunia kampus dan kerja.
Friday class, merupakan pembelajaran non akademik yang dilaksanakan
setiap hari jumat untuk yang SMA waktu belajarnya siang dari jam 13.30 sampai
jam 16.00. Friday class setiap hari jumat ini berbeda-beda tema-temanya.
Pada Friday class ini tutor tidak membuat RPP tetapi membuat semacam
rencana kegiatan Friday class yang di dalamnya terdapat nama kegiatan, tema,
tujuan, susunan kepanitian, susunan acara dan deskripsi tugas untuk lebih
jelasnya rencana kegiatan Friday class terdapat pada lampiran. Adanya Friday
class ini bisa mengembangkan kreativitasnya di bidang non akademik sehingga
dapat menyeimbangkan otak kiri dan otak kanan siswa.
Selain outing dan Friday class ada project class. Project class merupakan
gabungan dari kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler.Project class ini
mengarahkan minat dan bakat siswa melalui 3 kelas yaitu Entrepreneurship,
Charity, dan media. Entrepreneurship menciptakan siswa yang berjiwa wirausaha
muda, siswa akan diajarkan untuk mengelola sebuah usaha yang dibangun
bersama teman temannya. Charity menumbuhkan jiwa kepedulian dan inisiatif
siswa dalam bidang sosial.Yang terakhir media mencetak siswa yang handal
dalam bidang jurnalis dan komunikasi.
Kegiatan study refresh, Kegiatan yang ditujukan untuk siswa/i komunitas
sebagai penyegaran diri siswa baik sebelum atau sesudah pelaksanaan UAS.
Dilakukan 1 kali di akhir semester untuk masing-masing tingkatan.Kegiatan
study refresh per tingkatan berbeda-beda, untuk tingkat SMA kegiatan nonton
bareng sudah tidak efektif, jadi diganti dengan kegiatan yang bersifat edu-fan
seperti bermain paintball untuk melatih siswa mengembangkan kemampuan
kepemimpinan, komunikasi tim, membuat perencanaan, melatih membuat
strategi, membangun kedisiplinan, keberanian dan teamwork. data yang penulis
peroleh kegiatan study refresh pada tahun 2016/2017 dilaksanakan sebelum UAS.
H. PELATIHAN TUTOR DI HSKS
Karena peran tutor dalam implementasi kurikulum sangat besar,
oleh karena itu HSKS Pusat membekali tutor dengan pelatihan-pelatihan yang
sesuai dengan tagline HSKS Pusat yaitu cerdas, kreatif dan ceria. Tutor di HSKS
pun selain mengajar siswa mengikuti pelatihan yang di fasilitasi oleh HSKS
untuk mengupgrade ilmu mereka mulai dari penguasaan materi pelajaran,
manajemen kelas hingga sikap tutor dalam mengajar, pelatihan ini berguna bagi
tutor mengingat karakteristik siswa yang bermacam-macam. pelatihan cerdas,
kreatif dan ceria dilaksanakan 2 bulan sekali sesuai dengan tema yang akan di
bahas. Hal ini sesuai dengan kutipan wawancara dengan kak Lilis tutor bahasa
Indonesia.
I. PENGGUNAAN SUMBER BELAJAR SISWA (MODUL) DI HSKS
Di HSKS tidak perlu membeli buku paket untuk proses pembelajaran
siswa diwajibkan membeli modul yang telah dibuat oleh tim HSKS. Modul yang
sekarang digunakan oleh tutor setiap tahun ajaran tahapannya sudah tidak
membuat modul lagi namun merevisi modul jika ada penambahan materi,
pengurangan materi atau urutan materi yang seharusnya dipelajari lebih awal
tetapi di pelajari di bab terakhir. Untuk itu HSKS menyediakan form revisi
modul yang diisi oleh tutor.Tutor merevisi modul setiap akhir tahun ajaran baru
yang bertujuan agar isi modul mudah dipahami homeschooler dan tutor sehingga
jika isi modul jelas dan menarik homeschooler tidak akan jenuh membaca
modulnya. Hasil studi dokumentasi penulis pada modul matematika kelas XII
IPS komponen-komponen modul HSKS terdiri dari standar kompetensi dan
kompetensi dasar SK/KD, penjelasan materi, contoh soal, latihan soal dan
lembar kerja siswa (LK). Lembar kerja siswa ini nantinya akan dikumpulkan dan
di nilai hal ini sesuai penjelasan kak Linda yaitu: setiap semester itu kita
mengumpulkan LK nih anak-anak gitu buat kita nilai gitu”. LK di kumpulkan
setiap semester nantinya nilai LK akan masuk ke rapor siswa/i. Pembuatan
modul yang menarik dengan bahasa yang mudah di mengerti serta materi
pelajaran yang di pelajari inti-inti nya saja merupakan salah satu pengembangan
kurikulum yang ramah anak, pendidikan ramah anak ini yang di canangkan di
HSKS Pusat.
J. PENGATURAN BEBAN BELAJAR SISWA/I SMA KOMUNITAS HSKS
Sesuai dengan penjelasan sebelumnya di HSKS untuk tingkat SMA
belajarnya hanya 3 kali dalam seminggu, 1 hari 1 mata pelajaran 3 jam
(jam13.00-16.00) berarti jika pertemuan dalam seminggu 3 kali 3 jam dalam 1
minggu ada 9 jam tatap muka. untuk pengaturan beban belajar HSKS masih di
tengah-tengah antara pendidikan formal dan nonformal.
Beban belajar dirumuskan dalam bentuk satuan waktu yang dibutuhkan
oleh peserta didik untuk mengikuti program pembelajaran melalui sistem tatap
muka di kelas dan kegiatan mandiri. Tugas mandiri di kumpulkan 1 bulan
sekali jadi 1 bulan ada 5 tugas mata pelajaran yang dikumpulkan mata pelajaran
tersebut yang tidak dipelajari pada kegiatan belajar di kelas yaitu seni budaya,
TIK, Penjaskes, sejarah dan agama. Penyelesaian program pendidikan di HSKS
sama seperti di sekolah formal yakni 3 tahun pembelajaran. Tetapi jika ada
Siswa/i yang ingin selesai kurang dari 3 tahun syarat nya cukup berat siswa/i
harus menyelsaikan tugas yang diberikan sekolah setara dengan 3 tahun.
Terdapat program akselerasi tetapi siswa tersebut harus memenuhi syarat
yang telah ditentukan oleh HSKS, syarat yang telah ditentukan ini cukup sulit
salah satu nya IQ siswa/i tersebut minimal 130 dengan kategori sangat cerdas
jadi, jarang ada homeschooler yang ikut kelas akselerasi ini. Program yang sering
diselenggarakan oleh HSKS yaitu jalur double semester atau jalur khusus.
Siswa/i yang baru masuk HSKS dari sekolah formal bisa mengikuti kelas yang
sama seperti di sekolah formal misalnya siswa/i tersebut sakit tidak masuk 2
bulan sampai UTS akhirnya di keluarkan di sekolahnya, nanti waktu masuk di
HSKS bisa masuk ke kelas yang sama seperti dia di sekolah formal dengan
catatan siswa/i tersebut harus menyelesaikan tugas yang diberikan tutor agar
mendapat nilai.
Alokasi waktu atau pertemuan di HSKS untuk menguasai masing-masing
kompetensi dasar dalam pembelajaran efektif yang ditetapkan sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan sekolah untuk setiap tahun ajaran di HSKS pertemuan
terbagi menjadi dua yaitu tatap muka (pembelajaran di kelas), dan mandiri di
sekolah formal seperti muatan lokal tetapi di HSKS menyebutnya tugas
mandiri/ portofolio.
Jenis pertemuan di komunitas HSKS ada 2 pertemuan tatap muka dan
mandiri. Pertemuan tatap muka seperti KBM di kelas dan tutor visit, tutor
datang ke rumah homeschooler sesuai jadwal yang telah ditetapkan untuk belajar
mata pelajaran yang dirasa siswa/i belum mengerti atau paham ketika di
pelajari di komunitas. Tutor visit ini sangat membantu siswa yang belum paham
mata pelajaran atau butuh waktu lama untuk memahami materi pelajaran
tertentu. Pertemuan mandiri homeschoolermengerjakan tugas di rumah yang
nantinya akan dikumpulkan per-3 bulan sekali.
K. PELAKSANAAN KETUNTASAN BELAJAR, KENAIKAN KELAS DAN
KELULUSAN
Di HSKS ada UTS dan UAS untuk ulangan harian tergantung dari
kebijakan tutor sendiri tetapi biasanya hanya mengerjakan soal dan LK saja.
Untukkelas XII baik jurusan IPA dan IPS selain UTS dan UAS ada try out dan
UPK (ujian paket kesetaraan) yang di selenggarakan oleh HSKS sendiri berupa
tes tulis dan praktik. Hal ini agar siswa lebih siap untuk menghadapi ujian
nasional paket kesetaraan (UNPK). Program kelas X, XI dan kelas XII sudah
berbeda karena kelas XII akan menghadapi UNPK jadi programnya lebih
akademik outingnya pun sudah berhubungan dengan dunia kampus. Sementara
kelas X dan XI masih pada proses pembelajaran. Hasil wawancara dengan kak
Nina ada kelas tambahan untuk kelas X, XI dan kelas XII semester ganjil kelas
tambahan ini berguna ketika materi pada mata pelajaran tertentu belum selesai
atau materi yang membutuhkan waktu banyak untuk diajarkan tutor dan siswa
merasa kesulitan memahami materi pelajaran tersebut itu akan dibuka kelas
tambahan di hari lain. selain itu kelas XII ada program pemantapan atau
pengayaan khusus untuk drilling soal UNPK.
Pembelajaran tuntas (mastery learning) dalam KTSP adalah pendekatan
pembelajaran yang mensyaratkan siswa menguasai secara tuntas seluruh
standar kompetensi dan kompetensi dasar (SK/KD) setiap mata
pelajaran.Dalam pelaksanaan pembelajaran tuntas ada program perbaikan atau
program remedial, yakni jika siswa belum mencapai ketuntasan yang ditetapkan
maka siswa diberi prorgam perbaikan sampai tuntas. Di HSKS ada program
remedial bagi siswa yang nilainya di bawah KKM. Karena siswa di HSKS
beraneka ragam karakter, untuk remedial anak berkebutuhan khusus (ABK) di
HSKS masih bisa di luluskan Program remedial bagi siswa yang nilainya belum
mencukupi. Pelaksanaan remedial di kolektif oleh wali kelas sesuai tugas yang
diberikan oleh tutor mata pelajaran. Siswa/i yang remedial tersebut
dikarenakan nilainya kurang dari kriteria yang telah ditetapkan di HSKS atau
biasa disebut dengan istilah KKM (kriteria ketuntasan minimal).
Dari penjelasan tersebut pelaksanaan remedial merupakan hal yang paling
akhir ditempuh siswa jika nilai akademiknya tidak mencukupi karena di HSKS
penilaian tidak hanya akademiknya saja tetapi ada penilaian non akademiknya
seperti kegiatan outing, Friday class, dan project class. Jika anak tersebut aktif
dalam kegiatan non akademiknya otomatis nilainya akan terbantu dan tidak
perlu mengikuti remedial. Penetapan KKM di HSKS berdasarkan pada hasil
rapat antara kepala akademik dan pengajar karena mereka yang terlibat
langsung dalam proses pelaksanaan pembelajaran di kelas.
Nilai KKM di HSKS berbeda dengan sekolah formal yang menetapkan
KKM tinggi yang terkadang memberatkan siswa. Di HSKS nilai KKM tidak
terlalu tinggi karena di HSKS tidak mengejar nilai akademik tetapi lebih kepada
memberi keterampilan-keterampilan pada kegiatan pengembangan diri.Nilai
KKM yang paling rendah 65 dan paling tinggi 70. Proses penetapan KKM ini
disesuaikan dengan nilai siswa per mata pelajaran kemudian di rata-ratakan
berapa nilai KKM untuk mata pelajaran tersebut. Standar nilai KKM yang sudah
dibuat bisa dirubah jika dalam satu tahun ajaran salah satu mata pelajaran
nilainya dibawah rata-rata KKM. Selanjutnya Kriteria kenaikan kelas siswa kelas
X HSKS Pusat yaitu: a) mata pelajaran mencapai kriteria ketuntasan minimal
(KKM) belajar, b) untuk jurusan IPA semua mata pelajaran yang menjadi ciri
khas IPA (Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi) mencapai KKM, c) Untuk
jurusan IPS semua mata pelajaran yang menjadi ciri khas IPS (Ekonomi,
Geografi, Sejarah dan Sosiologi) mencapai KKM. Data di atas menunjukan KKM
berpengaruh terhadap keputusan siswa/i dapat naik ke kelas selanjutnya dan
berpengaruh terhadap jurusan yang akan mereka jalankan nantinya.
Kegiatan Friday class dan outing pun ada penilaiannya, sementara UTS dan
UAS nilainya mengacu pada KKM yang telah ditetapkan. Hasil observasi
penulis pada kegiatan Friday class tanggal 11 November 2016 dengan tema hasta
karya membuat kolase dari biji-bijian yang di nilai oleh kakak tutor yaitu
kerapihan dan kesesuaian tema/warna nantinya nilai Friday classakan masuk ke
rapor siswa. Nilai-nilai yang sudah ada tadi di buat grafik perkembangan siswa
per 3 bulan grafik perkembangan siswa ini bertujuan agar orang tua mengetahui
perkembangan siswa/i nya selama belajar. Jadi, penilaian di HSKS ada penilaian
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Penilaian kognitif berkaitan dengan
pengetahuan sehabis tutor menjelaskan materi siswa/i mengerjakan soal yang
di buat tutor atau mengerjakan soal atau LK (lembar kerja) yang ada di modul
siswa.
Perhitungan nilai akhir belajar siswa komponennya ada nilai proses 15%,
nilai lifeskill (pengembangan diri) 25%, nilai LK (lembar kerja), 10%, nilai UTS
20% dan nilai UAS 30%. Semua nilai tersebut akan masuk pada nilai rapor.
Aspek yang dinilai pada nilai proses ada di lembar penilaian tutor yaitu latihan,
absensi, dan sikap semuanya 15%. Nilai lifeskill atau kegiatan pengembangan
diri siswa memuat Friday class, project class dan outing semuanya 25%. Nilai
LK (lembar kerja) merupakan tugas yang ada di dalam modul yang wajib
dikumpulkan siswa/i sebelum uts dan sebelum uas nilainya 10%.Yang terakhir
nilai evaluasi UTS dan UAS masing-masing 20% dan 30%. Setelah semua nilai di
hitung akan dimasukan ke nilai rapor. Hasilnya, 9 orang siswa masih mendapat
nilai di bawah KKM dan 1 orang mendapat nilai 70 dengan KKM 65.
Pembagian rapor atau di HSKS biasa menyebutnya dengan istilah parents
meeting. Parents meeting merupakan kesempatan para orang tua homeschooler
datang ke HSKS untuk mengetahui perkembangan anaknya dan bisa berdiskusi
langsung dengan kak Seto terkait perkembangan kepribadian anak dan
mengambil laporan hasil belajar siswa.namun sayangnya keterlibatan orang tua
di HSKS masih sebatas pada pertemuan parents meeting saja dan konsultasi
dengan psikolog dikarenakan orang tua bekerja dan anak nya sudah SMA
dianggap sudah dewasa bisa membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk. Rapor HSKS berbentuk lembaran yang nantinya disatukan dalam map.
Rapor HSKS terdiri dari mata pelajaran kelompok A dan mata pelajaran
kelompok B. Rapor bagian B berisi laporan pengembangan diri siswa (Friday
class, study refresh dan outing). Isi rapor ini selain ada penilaian berbentuk angka
dan predikat juga ada deskripsi mengenai kegiatan pengembangan diri yang
siswa/i lakukan selama semester ganjil atau genap. Siswa/i yang telah
menyelesaikan program pembelajaran dari semester 1-6 kemudian lulus ujian
sekolah nanti nilainya akan di akumulasi dengan nilai UN. Setiap tahun syarat
UNPK berbeda tergantung dari menteri dan Diknas untuk tahun kemarin
syaratnya seperti hasil wawancara di atas dan sekarang nilai UN tidak 100%
menentukan siswa lulus atau tidak nilai rata-rata yang ditetapkan. Syarat nilai
UN dan hasil belajar tidak boleh kurang dari 5,5.
Implementasi kurikulum homeschooling HSKS pada prinsip berjalan
sesuai dengan amanah homeschooling yang sejatinya adalah model sekolah
yang menjadikan rumah sebagai basis, sebagaiman dikemukan oleh
(Sumardiono, 2007) bahwa homeschooling adalah model pendidikan di mana
sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan
anak-anaknya dan mendidik anaknya dengan menggunakan rumah sebagai
basis pendidikannya.
Dari hasil penelitian yang diperoleh penulis ada keunggulan dan
kelemahan yang ditemukan dalam implementasi pengembangan kurikulum di
homeschooling kak Seto pusat (HSKS) yaitu sebagai berikut:
Pertama, pelaksanaan kurikulum ramah anak sudah diterapkan dan
dilaksanakan dengan cukup baik diantaranya adalah: program inklusi,
pembelajaran 2 arah, tutor mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan
siswa, tutor menguasai kelas dan materi pembelajarandan tutor menghargai
setiap kemampuan anak yang berbeda-beda.
Kedua, karakteristik anak dan mood belajar anak yang berbeda-beda
membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) terkadang tidak sesuai
dengan yang telah dibuat seperti metode yang di rubah atau materi yang tidak
selesai pada hari itu otomatis tutor memperbarui RPP nya kembali.
Ketiga, dari data hasil wawancara yang penulis temukan masih ada tutor
yang sulit menangani anak ABK karena latar belakang pendidikan tutor yang
bukan dari jurusan sekolah luar biasa dan materi psikologi pendidikan yang di
dapat selama kuliah hanya 3 SKS saja, jadi pendekatan tutor selama proses
pembelajaran di kelas ke anak ABK lebih ke pendekatan individual dan
emosional. tetapi di HSKS sudah ada psikolog yang bisa membantu tutor untuk
menghadapi anak berkebutuhan khusus.
Keempat, design modul yang dibuat sudah cukup bagus, materi pelajaran
pun jelas, namun pada modul matematika kelas XII IPS antara contoh soal dan
soal latihannya tidak seimbang dalam artian soal yang diberikan ada yang tidak
ada contoh pengerjaannya hal ini bisa menyulitkan siswa/i ketika belajar di
rumah.
Implementasi kurikulum HSKS ditujukan dalam rangka pembinaan
karakter, hal ini sejalan dengan temuan (Vibriyanthy & Fauziah, 2014) bahwa
implementasi pendidikan karakter dilakukan secara terpadu pada mata
pelajaran, manajemen sekolah, dan ekstrakurikuler. Meskipun hasilnya
pembinaan tersebut sangat bervariasi dan heterogen sesuai dengan faktor
psikogis anak, berupa pendidikan dan pola asuh (Istiani, 2008). Sehingga
metode pembelajarannya pun bersifat mentasori yang mendorong penyiapan
lingkungan pendukung yang nyata dan alami, mengamatis proses interaksi
anak-anak di lingkungan, serta terus menumbuhkan lingkungan sehingga anak-
anak dapat mengembagkan potensi, baik fisik, mental, maupun spritual (Aryani
& others, n.d.). Sedangkan untuk pengembangan kreatifitas dan pemahaman
siswa diterapkan program outing, Friday class, project class, dan refresh class, ini
sejalan dengan temuan Dwi Cahyo Kurniawan. Metode yang digunakan di
homeschooling pada umumnya berbeda dengan metode yang digunakan di
sekolah formal. Dalam pembelajaran homeschooling kebutuhan setiap individu
sangat diperhatikan meskipun Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dilakukan
secara klasika, peserta didik homeschooling akan diperlakukan berbeda antar
individu (Bintang Wahyudi Akbar, manajemen kurikulum pendidikan HS)
dilakukan oleh guru tidak sia-sia. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan
(Sumardiono, 2007) “faktor yang dapat menunjang ketercapaian keberhasilan
pelaksanaan kurikulum adanya korelasi antara pendekatan dalam
pengorganisasian pada berbagai disiplin ilmu dengan adanya pendekatan yang
berpusat kepada anak didik untuk memperoleh kesempatan, hal tersebut
diperoleh pendidikan dengan kesatuan secara utuh dalam pelaksanaan sekolah
dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing sekolah.”
Kelemahan HSKS adalah orang tua belum terlibat aktif di lembaga HSKS
seperti adanya komite orang tua di sekolah formal karena pada dasarnya
homeschoolingorang tua berperan lebih besar daripada tutor mungkin karena
sudah SMA dan dianggap dewasa jadi orang tua pun percaya dan
membebaskan anaknya. Temuan Brury (2015) kedua orang tua dalam proses
pendampingan homeschooling bertindak sebagai fasilitator yang bertugas
memfasilitasi segala aktifitas homeschooling anak dari tahap persiapan,
pelaksanaan dan evaluasi. Pada tahap persiapan orang tua berperan
menyiapkan sarana, menentukan metode dan kurikulum. Peran orang tua pada
tahap pelaksanaan yaitu mendampingi berbagai aktifitas anak, membantu anak
dalam penentuan jadwal dan memberi rangsangan belajar. Sedangkan pada
tahap evaluasi orang tua berperan menilai anak secara lisan, tertulis maupun
perbuatan sesuai dengan konteks belajar. Orang tua selain menjadi guru juga
sebagai motivator yang bertugas membangun kemauan belajar anak. Kedua
keluarga menerapkan metode diskusi kepada anak dalam segala aktifitas
homeschooling. Orang tua juga berperan mengkondisikan lingkungan keluarga
sebaik mungkin untuk menunjang pendidikan anak, hal ini dibuktikan dengan
diputarkan ayat-ayat Al-qur’an setiap malam, orang tua selalu meluangkan
waktu untuk anak, dan komunikasi yang baik dalam keluarga. Selanjutnya
adanya komitmen dan peran aktif orang tua dalam pelaksanaanhomeschooling
anak usia dini juga memiliki dampak positif untuk kemampuan akademik
maupun non akademik anak (Qurrota A’yun (2015)
L. PENUTUP
Implementasi pengembangan kurikulum di pusat kegiatan belajar
masyarakat (PKBM) homeschooling kak Seto pusat (HSKS) sudah berjalan cukup
efektif hal ini terlihat dari konsep yang dibuat oleh HSKS sudah terlihat
pelaksanaannya seperti kurikulum cerdas kreatif dan ceria serta pendidikan
ramah anak, hal ini ditujukan untuk pembentukan karakter anak. Kurikulum
HSKS sebagian besar masih menggunakan KTSP sebagai panduannya karena
pada kurikulum KTSP lembaga pendidikan seperti homeschooling bisa
mengembangkan kurikulumnya sesuai dengan kebutuhan, minat dan bakat
anak. SKL, SK/KD merujuk pada peraturan pemerintah No 23 tahun 2006 hanya
saja ada yang di modifikasi dari SK/KD nya.
Program pembelajaran komunitas masih relatif sama seperti di sekolah
formal yang membedakan pembelajaran di homeschooling lebih fleksibel dan
waktu belajar yang relatif singkat hanya 3 kali dalam seminggu 1 mata pelajaran
perhari selama 3 jam. Mata pelajaran akademik yang diajarkan hanya yang akan
di ujikan pada ujian nasional pendidikan kesetaraan (UNPK) serta ada
penambahan kegiatan pengembangan diri siswa. Sebelum mengajar di kelas
tutor pun membuat RPP tetapi karena berbagai macam karakteristik yang sudah
dijelaskan sebelumnya membuat rencana RPP terkadang tidak sesuai dengan
yang sudah dibuat otomatis tutor pun memperbarui RPP nya kembali.
Beberapa keunggulan lainnya di PKBM HSKS yaitu jumlah siswa perkelas
maksimal hanya 10 siswa, HSKS menyediakan modul belajar siswa dan adanya
seminar atau pelatihan untuk tutor (pelatihan cerdas, kreatif dan ceria), adanya
fasilitas tutor visit, dan terakhir HSKS menyediakan konselor dan psikolog
untuk homescholer.
Referensi
Aryani, S., & others. (n.d.). Implementasi Model Homeschooling Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Anak di Komunitas Belajar Imam An-Nawawi Depok. Retrieved from http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/1 23456789/30437
Asmani, J. M. (2012). Buku Pintar Homeschooling: Menjadikan Kegiatan Belajar Lebih Nyaman dan Mengena. Jogjakarta: Flashbooks.
Istiani, Z. (2008). Penerapan Jenis Homeschooling Dalam Pembentukan Kemandirian Anak: Studi Kasus Pada Asosiasi Homeschooling Pendidikan Alternatif Asah Pena dan Keluarga Homeschooler di Kota Malang. Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Retrieved from http://etheses.uin-malang.ac.id/id/eprint/4338
Kembara, M. D. (2007). Panduan Lengkap Home Schooling. Progressio.
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1992). Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI press.
Mulyadi, S. (2007). Home Schooling Keluarga Kak-Seto: Mudah, Murah, Meriah, Dan Direstui Pemerintah. Kaifa. Retrieved from https://www.google.com/books?hl=id&lr=& id=OsmAFNwxWKAC&oi
Sumardiono. (2007). Homeschooling: Lompatan Cara Belajar. Jakarta: Alex Media Komputindo.
Undang-Undang, R. I. (2003). No. 20 Tahun 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional, 9.
Usman, H., & Akbar, P. S. (2008). Metodologi Penelitian Sosial. Bumi Aksara. Retrieved from http://difarepositories.uin-suka.ac.id/152/
Vibriyanthy, R., & Fauziah, P. Y. (2014). Implementasi Pendidikan Karakter di Homeschooling Kak Seto Yogyakarta. Jurnal Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat, 1(1), 75–85.
PESANTREN PENDIDIK PEREMPUAN:
Perguruan Diniyyah Putri Lampung
Oleh :
JEJEN MUSFAH
Dosen FITK UIN Jakarta, [email protected]
A MUSTHOFA ASRORI
Sekretariat Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, [email protected]
Pendahuluan ♦ Profil Madrasah ♦ Diniyyah Putri Padang Panjang, Inspirator DPL ♦
Kekhasan Madrasah (Cetak Generasi Pendidik Multitalenta, Ekstrakurikuler,
Wawasan Global, Kekuatan dan Kendala) ♦ Pembahasan (Ibu Pendidik, Kecerdasan
Jamak dan Kecakapan Hidup) ♦ Penutup
A. PENDAHULUAN
Ide mendirikan lembaga pendidikan khusus putri dengan tujuan
melahirkan ibu pendidik yang terampil dan pandai berwirausaha sangat relevan
dari dulu hingga sekarang. Hal ini karena kesenjangan gender antara laki-laki
dan perempuan sangat besar, tidak saja dalam bidang pendidikan, ekonomi,
pemerintahan, tetapi juga dalam politik. Widodo (2006: 127) menjelaskan, semua
indikator pendidikan yang terdapat pada akses dan pemerataan pendidikan,
mutu dan relevansi pendidikan dan manajemen pendidikan menunjukkan
bahwa terjadi ketidaksetaraan atau kesenjangan gender di pihak perempuan.
Sehingga dalam bidang pendidikan, perempuan masih menjadi pihak yang
masih perlu dioptimalkan keikutsertaannya.
Akibat dari modernitas, perempuan mengalami marginalisasi dalam sektor
pekerjaan yang berakibat pada kecenderungan perempuan untuk melakukan
pekerjaan informal yang kurang memberikan perlindungan hukum dan upah
yang rendah. Di samping itu, faktor subordinat perempuan dalam sosial
maupun kultural, stereotipe terhadap perempuan serta pendidikan yang rendah
juga turut mempengaruhi diskriminasi perempuan dalam pekerjaan (Khotimah,
2009: 179).
Data menunjukkan misalnya, ketimpangan gender yang terjadi di
Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor dapat dikatakan tinggi. Hal ini terbukti dari
perbandingan jumlah siswa laki-laki dan perempuan dari tingkat SMP menuju
SMA. Siswa perempuan semakin berkurang seiring dengan meningkatnya
jenjang pendidikan (Gayatri, 2008).
Padahal, secara umum prestasi akademik perempuan lebih baik
dibandingkan dengan laki-laki. Indikasi temuan ini sebenarnya sudah ada sejak
dasawarsa tujuh puluhan. Mereka ini lebih tekun, lebih teliti (terutama untuk
bidang ajar Matematika), dan bersedia mendengarkan dengan baik. Sikap
emosionalnya yang lebih dominan dibanding pada kemampuan fisiknya telah
menempatkan perempuan pada posisi yang sangat baik. Akibatnya, banyak
sekali dijumpai kenyataan bahwa perempuan menempati sebagian besar dari
urutan 10 terbesar di setiap sekolah. Kenyataan ini berlaku sejak pendidikan di
tingkat primer (SD) hingga perguruan tinggi. Suatu contoh yang dapat diambil
dari Harian Kedaulatan Rakyat menunjukkan nilai tertinggi lulusan SD se-DIY
diraih oleh Sofia Imaculata dengan NEM 48,10 (KR, 29/5/1999). Nilai tertinggi
SLTP 8 Yogyakarta diraih oleh Lia Nurlela dengan NEM 51,69 (KR, 14/6/1999)
dan nilai tertinggi dari SMU 8 Yogyakarta diraih oleh Bety Sulistyorini dengan
NEM 55,88 (KR, 28/5/99) (Nuryoto, 1998: 23).
Kesenjangan gender terjadi karena budaya patriarki, sistem yang dipakai
dalam masyarakat modern dalam pekerjaan (Khotimah, 2009: 179), dan
pemikiran yang ortodoks dan parsial (Natasha, 2013: 61). Pemahaman patriarkat
yang tertanam di kalangan masyarakat kita bahwa wanita hanya bisa mengurus
rumah saja menyebabkan keengganan bagi kaum perempuan untuk
melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, Gayatri, 2008, persepsi orang
tua dan persepsi anak terhadap pendidikan perempuan.
Sementara Pawitasari (2015: 268) menjelaskan, pendidikan yang
menyamakan kurikulum laki-laki dan perempuan telah menyebabkan efek
negatif dalam masyarakat, yakni terjadinya perebutan dalam kehidupan non-
domestik serta kekosongan SDM berkualitas dalam kehidupan domestik.
Pendidikan berorientasi karir non-domestik cenderung menjauhkan perempuan
dari keinginan berumah tangga dan memiliki anak. Semakin tinggi pendidikan
yang ia raih, semakin ia dihadapkan pada pilihan sulit antara karir dan rumah
tangga; antara ijazah dan fitrah. Inilah hasil pendidikan yang merusak potensi
manusia, terutama kaum perempuan.
Ketimpangan gender dalam pendidikan menyebabkan dampak negatif
terhadap kehidupan perempuan, baik bagi kehidupan individu perempuan itu
sendiri, kehidupan perempuan dalam keluarga, dan kehidupan perempuan
dalam masyarakat (Gayatri, 2008). Oleh karena itu, berbagai upaya harus
dilakukan oleh banyak pihak agar hal ini tidak makin buruk.
Menurut Natasha (2013: 61), hendaknya para orang tua mempunyai
pengetahuan dan mengubah pola pikir terhadap kesetaraan gender di antara
anak perempuan dan anak laki- laki. Memberikan kesempatan yang sama
kepada anak-anak mereka, sehingga tidak ada perasaan yang berbeda pada diri
anak perempuan. Bahwa anak perempuan dan anak laki-laki adalah manusia
yang sama-sama memiliki kemampuan mengaktualisasikan diri.
Sementara dalam pandangan Mawardi (2008: 251), tidak ada diskriminasi
antara laki-laki dan perempuan dalam pendidikan di lingkungan NU. Misal,
Madrasah Banat didirikan selain dijiwai oleh pandangan Fiqh tentang
perempuan, juga untuk membentuk perempuan-perempuan yang berkualitas
(al-mar’atu as-shalihah). Perempuan-perempuan berkualitas inilah yang
diharapkan untuk dapat memberikan pendidikan yang baik bagi generasi
berikutnya.
Demikian pula dengan pesantren Is. Komitmen pada kesetaraan gender
sudah terbangun sejak awal berdirinya pesantren is, yang bertekad
memberdayakan perempuan dengan memberikan pendidikan kepada remaja
putri. Nyai has muda dan suami sebagai pendiri belum mengenal istilah gender,
kesetaraan gender, gerakan feminis, dan lainnya (Towaf, 2008: 147).
Pawitasari (2015: 268) menjelaskan, pendidikan khusus perempuan sangat
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dan karakter perempuan yang unik
dari laki-laki, memberikan kesempatan bagi perempuan memaksimalkan
potensi keperempuanannya. Sementara menurut Zaduqisti (2009: 81), guru,
orang tua, bahkan pemerintah dalam menentukan kebijakan-kebijakannya,
harus terstrukturkan dalam kerangka yang sepadan, terarah kepada pencapaian
pendidikan yang adil gender, dan jauh dari bias gender.
Khotimah (2008: 8) memaparkan, untuk melaksanakan usaha
pengembangan kurikulum gender dapat diaplikasikan secara hidden curriculum
dan overt curriculum. Namun demikian, agar permasalahan gender dapat
diungkap secara jelas, maka kurikulum gender sebaiknya diterapkan secara
eksplisit. Dalam strategi dan kinerja kurikulum gender tersebut, seorang
pendidik harus memiliki prinsip pendidikan yang mengarah pada
pemberdayaan dan kesetaraan, di mana peserta didik diposisikan sebagai orang
yang memiliki kemandirian dalam mengikuti proses pendidikan, dan pendidik
harus memosisikan antara perempuan dan laki-laki dengan setara.
Menurut Bakar (20016: 73), wanita perlu bekerja untuk mencapai keperluan
ekonomi keluarga. Pekerjaan yang sesuai dilakukan oleh wanita seperti sebagai
pendidik, doktor, kerani, juru rawat, dan tukang jahit. Pekerjaan yang
disenaraikan bagi wanita didapati memerlukan pendidikan formal dan juga
latihan yang berbentuk khusus. Bimbingan vokasional khususnya di peringkat
menengah harus dilaksanakan dengan baik untuk mencapai kesamaan
pemilihan pekerjaan mengikut gender.
Demikianlah, perempuan memiliki peran yang tidak kalah penting
dibanding laki-laki dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Oleh
karena itu, perempuan harus berpendidikan dan memiliki keterampilan.
Dengan demikian, ia bisa menjalankan peranannya sebagai ibu atau pendidik
masyarakat dengan baik.
B. PROFIL MADRASAH
Diniyyah Putri Lampung atau kerap disebut akronimnya saja, DPL, ini
memang unik dan menarik. Sejarah berdirinya DPL dilatarbelakangi kehidupan
beragama yang sudah mulai marak di kawasan Lampung sejak tahun 1960. Hal
itu dibuktikan dengan tingginya minat orang tua untuk menyekolah anak-
anaknya ke lembaga pendidikan Islam atau pesantren. Dengan pecahnya
pemberontakan G/30s/PKI pada 1965 kehidupan beragama yang kondusif
berubah menjadi labil. Bahkan misi zending pun turut memperkeruh suasana di
kalangan umat Islam dengan semakin meningkatnya aktivitas kristenisasi yang
ditujukan kepada umat Islam.
Sebagai salah satu bentuk kewaspadaan para orang tua terhadap keimanan
dan pendidikan anak-anak perempuannya, mereka mengirimkan anak-anak
perempuannya untuk bersekolah dan belajar keluar Lampung yaitu ke sebuah
pondok pesantren khusus putri yang berada di Kota Padang Panjang, Provinsi
Sumatera Barat. Pesantren itu adalah Perguruan Diniyyah Putri Padang Panjang
yang berdiri pada 1 November 1923. Perguruan khusus putri ini didirikan oleh
Ibu Rahmah el-Yunusiyyah. Beliau adalah seorang pendidik wanita yang
mempunyai cita-cita mulia mencerdaskan kaum perempuan. Dalam hadisnya,
Rasulullah bersabda: “Wanita adalah tiang negara. Apabila wanitanya baik, maka
baiklah negaranya. Apabila wanitanya rusak, maka rusak pula negaranya.”
Sinyalemen ini dipahami dengan sangat mendalam oleh para tokoh Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Gerakan Mubaligh Islam (GMI).
Kondisi ini membuat tokoh-tokoh lslam tersebut menjadi resah. Mereka tidak
rela jika umat Islam lampung menjadi objek misi kristenisasi dan pemurtadan
dari kelompok lainnya.
Sehingga muncullah gagasan untuk mendirikan Perguruan Diniyyah Putri
di Lampung. Gagasan ini dimotori oleh bapak Rafi’un Rafdi yang kala itu
menjabat sebagai Ketua GMI sekaligus pengurus DDII perwakilan Lampung.
Sebagai realisasi awal gagasan itu, dikirimlah tiga orang calon pelajar putri ke
Perguruan Diniyyah Putri Padang Panjang, yaitu Ibu Halimah binti Abdul
Syukur Thoyyib, Ibu Rokayah binti Harun Jaurin, dan Ibu Ernawati binti
Mukhtar Malin. Ketika tiba saatnya berangkat, Ernawati batal karena sudah
mendaftar di sebuah sekolah di Tanjung Karang.
Pada tahun 1964, Halimah Syukur dan Rokayah Harun berangkat ke
Sumatera Barat diantar Abdul Syukur Thoyyib melalui Pelabuhan Tanjung
Priok Jakarta, setelah sebelumnya sempat menunggu selama 15 hari di
pelabuhan tersebut (keberangkatan kapal lima belas hari sekali). Dengan
menggunakan kapal laut dari Tanjung Priok Jakarta menuju Pelabuhan Teluk
Bayur Sumatera Barat, keduanya memulai sebuah perjuangan panjang.
Perjalanan yang cukup melelahkan selama dua hari dua malam dipermainkan
ombak, tidak menyurutkan langkah keduanya untuk menuntut ilmu di rantau
orang.
Pada 1969, Abdul Syukur Thoyyib mewakafkan tanah miliknya seluas 2 ha
yang terletak di Desa Negeri Sakti, Kecamatan Gedong Tataan, Kabupaten
Lampung Selatan (kini menjadi Kabupaten Pesawaran), kepada GMI agar bisa
mewujudkan cita-citanya mendirikan pesantren putri di Lampung.
Bersebelahan dengan tanah wakaf tersebut, sejak 1957 berdiri pula Madrasah
Ibtidaiyyah Al-Khairiyah Cabang Citangkil yang dibina Ustad M. Sanusi Hasan.
Madrasah ini memiliki bangunan sekolah yang terdiri dari tiga ruang kelas semi
permanen dan sebuah kantor guru sebagai hasil swadaya murni masyarakat
sekitar Negeri Sakti dengan ukuran 8 x 7 meter serta murid sebanyak 60 orang.
Berdasarkan kesepakatan antara pengurus madrasah, lokal dan seluruh fasilitas
belajar yang ada diwakafkan kepada GMI. Dengan adanya wakaf tersebut
menambah sarana dan prasarana cikal bakal Diniyyah Putri Lampung.
Pada tahun 1971 setamat dari KMI, Halimah Syukur kembali ke Lampung,
dan mengajar di MTs Islamiyah. Lebih kurang enam bulan mengajar di MTs
tersebut, Halimah harus meninggalkan anak didiknya lantaran tuntutan tugas
dan amanah yang dibebankan ke pundaknya untuk memimpin Perguruan
Diniyyah Putri yang sedang dipersiapkan oleh pengurus GMI. Kondisi ini
memaksa dirinya untuk kembali meneruskan pembelajaran di Diniyyah Putri
Padang Panjang.
Agustus 1972, Halimah kembali ke Padang Panjang untuk meneruskan
pendidikan di FDI (Fakultas Dirasat Islamiyah) Diniyyah Putri Padang Panjang.
Pada masa-masa inilah ia mendapatkan pembinaan dan penggemblengan yang
sangat kuat dari Ibu Dra Hj Isnaniyah Saleh selaku Pimpinan Diniyyah Putri
Padang Panjang dan Bapak Yunas Saleh. Putri pertama Abdul Syukur ini betul-
betul dipersiapkan, dibimbing, dan dilatih agar kelak mampu memimpin
Perguruan Diniyyah Putri Lampung yang sedang dipersiapkan oleh para
pengurus GMI tersebut.
Pada tahun 1972 itu pulalah GMI Lampung mulai memanfaatkan tanah
wakaf dari Abdul Syukur Thoyyib tersebut dengan membuat pondasi lokal
belajar sebanyak lima kelas dengan ukuran 8 x 40 m, dan membuat kolam
pembibitan ikan berukuran 10 x 4 m sebanyak empat buah. Kolam ini dibuat
selain untuk keindahan lingkungan juga untuk membudidayakan ikan kolam.
Selama dua tahun, GMI mempersiapkan cikal bakal Perguruan Diniyyah
Putri Lampung. Pengurus GMI lalu berangkat ke Padang Panjang untuk
mengurus perizinan digunakannya konsep dan pola pendidikan yang sama
dengan Diniyyah Putri Padang Panjang sekaligus minta dukungan dan bantuan
tenaga guru. Hal ini disambut baik dan sangat terbuka oleh Pimpinan Diniyyah
Putri Padang Panjang yang kala itu dijabat oleh lbu Dra Hj Isnaniyah Saleh.
Setelah menyelesaikan perkuliahan tingkat sarjana muda pada Desember
1973, Halimah Syukur pulang ke Lampung dan diserahi tanggung jawab
memimpin Perguruan Diniyyah Putri yang baru lahir. Saat itu ia berusia 23
tahun. Mulai 1 Desember 1973 hingga awal Januari 1974 dimulailah masa
pendaftaran dan penerimaan siswi baru. Pada 6 Januari 1974 dengan fasilitas
yang ada dimulailah penyelenggaraan pendidikan tahun ajaran baru untuk
pertama kalinya di Perguruan Diniyyah Putri.
Tekad keras dan semangat membaja mendorong dirintisnya pendidikan
modern bagi putri pertama di Lampung. Memang tak mudah ketika memulai.
Diniyyah Putri yang baru lahir membutuhkan waktu panjang untuk
memperkenalkan diri kepada masyarakat Lampung. Terlebih ada beberapa
persyaratan yang ditetapkan oleh perguruan yang belum pernah ada pada
lembaga pendidikan lainnya. Seperti persyaratan harus tinggal di asrama,
memakai baju kurung panjang yang ketika itu dianggap identik dengan baju
orang yang sudah tua, kewajiban menutup aurat, dan lain sebagainya. Hal
tersebut tidak mudah disosialisasikan kepada masyarakat. Namun tantangan-
tantangan yang dihadapi oleh perguruan tidak mematahkan cita-cita untuk
terus melaksanakan pendidikan dan pengajaran dalam rangka li i'laa'i
kalimatillah. Justru hal itu menjadi penyemangat segenap pengurus dan guru
perguruan DPL.
Berdirinya perguruan DPL ini sebagai realisasi program kerja ke III Yayasan
Gerakan Muballigh Islam (GMI) Lampung, yaitu sebagai pelaksana proyek
kaderisasi dakwah Islam yang pelaksanaannya diwujudkan dengan pendidikan
khusus untuk putri yang diberi nama Lembaga Perguruan Diniyyah Putri,
berada di bawah naungan GMI Lampung.
GMI sendiri sebenarnya berdiri sejak 6 Februari 1960. Diketuai oleh
Baidhawi Mursyid dan Rafi’un Rafdi sebagai sekretaris-nya. GMI ini merupakan
organisasi dakwah tingkat regional Provinsi Lampung yang masa awal
berdirinya beralamatkan di Jalan Raden Intan, Tanjung Karang, Lampung.
Organisasi ini bertujuan untuk melestarikan Dakwah Islamiyah, sehingga tugas
pokok GMI di antaranya mengkoordinir mubaligh/da’i untuk memberikan
pelayanan kepada kaum muslimin.
Tentang “perguruan”, sebetulnya kata ini digunakan untuk menyebut
sekolah agama di Sumatera Barat pada masa kolonial. Istilah ini maknanya sama
dengan pondok pesantren. Pada 1976, Menteri Agama Mukti Ali menerapkan
istilah pondok pesantren yang akhirnya digunakan secara luas dan resmi.
Keputusan untuk mendirikan lembaga perguruan DPL ini dilatarbelakangi
setidaknya tiga hal. Pertama, dengan dilarangnya paham atheisme-komunisme
dan leninisme di Indonesia, maka Lampung sebagai daerah perkebunan dan
daerah transmigrasi tingkat nasional, sejak lama dicekoki oleh paham
komunisme dan leninisme serta dangkalnya pengetahuan agama bagi kaum
muslimin.
Kedua, pembubaran PKI dan ormas-ormas pendukungnya di daerah
Lampung, banyak anggota dan pendukungnya berpindah atau masuk Kristen,
sehingga sangat terasa kuatnya misi zending Kristen dan upaya pemurtadan
umat Islam. Ketiga, di daerah Lampung belum ada satupun lembaga
pendidikan Islam khusus putri. Dampaknya, remaja putri Islam di Lampung
terpaksa keluar daerah untuk belajar agama, di antaranya ke Jawa, Sumatera
Selatan, dan Sumatera Barat.
Untuk angkatan pertama tahun 1974, terdaftarlah sebanyak 70 siswi dari
berbagai daerah dengan guru sebanyak tujuh orang, yaitu Halimah Syukur B.A.,
tiga guru yang didatangkan dari Padang Panjang (Isnawati Jar, Nurlela Kabra,
Martini Jalil), Sa’diyah Daud (alumnus Diniyyah Putri Padang Panjang),
Muhammad Sanusi Hasan, dan Irsyad.
Pada 24 Februari 1974, perguruan DPL diresmikan oleh Gubernur Lampung
pada masa itu, R. Sutiyoso. Awalnya, peresmian tersebut sedianya diadakan
pada 17 Februari 1974. Akan tetapi rencana itu tidak dapat dilaksanakan karena
pejabat yang diundang sedang berada di luar kota, sehingga pelaksanaannya
diundur. Pada hari tersebut dilaksanakan juga peresmian gedung sekolah dan
asrama. Akhirnya, 24 Februari ditetapkan sebagai tanggal lahir Perguruan
Diniyyah Putri Lampung.
C. DINIYYAH PUTRI PADANG PANJANG, INSPIRATOR DPL
Perguruan Diniyyah Puteri Padang Panjang merupakan pesantren modern
khusus puteri yang terletak di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. Didirikan
pada zaman Hindia Belanda oleh Ibu Rahmah El-Yunusiyyah, persisnya pada 1
November 1923. Ia mendirikan Perguruan Diniyyah Puteri pada saat usianya
belum genap 23 tahun, setelah mendapat inspirasi ketika mengikuti pendidikan
pada Diniyyah School yang didirikan kakak kandungnya, Zainuddin Labay el-
Yunusy pada 1915.
Nama Rahmah el-Yunusiyyah merupakan sebuah goresan sejarah yang
indah. Melukiskan ketegaran seorang muslimah pejuang dan pendidik. Ia hadir
di saat kaumnya belum mendapatkan pendidikan yang layak. Dengan cita-cita
luhur agar kaum perempuan juga mendapatkan kesempatan untuk menuntut
ilmu, maka Rahmah mendirikan Perguruan Diniyyah Puteri. Di balik
kelembutannya sebagai seorang pendidik, ia juga pejuang yang tangguh. Bunda
Rahmah, sapaan akrabnya, mendirikan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) serta
Pasukan Sabilillah menghadapi agresi Belanda di saat tidak ada kaum pria yang
berani mengambil posisi itu. Sungguh panjang perjalanan muslimah pejuang ini
demi bangsanya.
Nama lengkapnya, Syaikhah Hj Rahmah el-Yunusiyyah. Lahir di
Kanagarian, Bukit Surungan, Padang Panjang, Jumat, 1 Rajab 1318 H (20
Desember 1900 M) wafat di Padang Panjang, 9 Zulhijjah 1388 h (26 Februari
1969) dalam usia 68 tahun. Ibunya bernama Rafi'ah, ayahnya bernama Syekh
Muhammad Yunus, seorang ahli Ilmu Falak dan menjabat sebagai kadhi nagari
pandai sikek. Kakeknya bernama Imanuddin, Pemimpin Tarekat
Naqsyabandiyah. Kakek buyutnya bernama Hafazhah, keturunan Haji Miskin
yang juga salah seorang dari “Harimau Nan Salapan” Tokoh Perang Paderi.
Rahmah el-Yunusiyyah merupakan anak bungsu dari lima bersaudara:
Zainuddin, Labay el-Yunusy, Mariah, Muhammad Rasyad, dan Rihanah.
Rahmah menikah dengan Haji Bahaudin Latif, putra Haji Syekh Abdul Latif,
seorang ulama Tarekat Naqsyabandiyah di Nagari Sumpur pada 15 Mei 1916.
Pernikahan ini tidak dikaruniai keturunan. Rahmah tak pernah mendapat
pendidikan formal untuk belajar menulis dan membaca tulisan Arab dan Latin.
Pada masa kecilnya, Rahmah terkenal sebagai anak yang keras hati, berkemauan
keras dan bercita-cita tinggi.
Ketika Zainuddin mendirikan Diniyyah School, sekolah Islam dengan
sistem modern pada tahun 1915, Rahmah ikut belajar di sana. Tidak cukup
hanya belajar di Diniyyah School di pagi hari, Rahmah juga berguru kepada
Syaikh Abdul Karim Amrullah, ayah Buya Hamka pada sore harinya. Ia juga
berguru kepada Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Syekh Muhammad Djamil
Djambek, Syekh Daud Rasyidi dan kursus kebidanan di RS. Kayu Tanam pada
1931-1935 dan mendapat izin praktek bidan. Teman belajar Rahmah antara lain
Rasuna Said, Nanisah, dan Djawana Basyir.
Rahmah memiliki impian agar anak-anak perempuan mendapatkan
kesempatan yang lebih luas untuk maju dan dapat menyerap ilmu agama lebih
banyak dan intensif. Ia risau, haruskah perempuan menerima fungsinya sebagai
istri bagi suami dan ibu bagi anak-anaknya meskipun tanpa pendidikan yang
memadai. Kerisauan dan apa yang menjadi impiannya ini disampaikan kepada
kakaknya, Zainuddin, yang sangat antusias mendukung cita-cita ini.
Dalam salah satu catatan hariannya, Rahmah menuliskan doa yang ia
panjatkan dalam sholat-sholat wajib dan sholat malamnya. “Ya Allah ya Rabbi,
bila dalam ilmu-mu apa yang menjadi cita-citaku ini untuk mencerdaskan anak
bangsaku terutama anak-anak perempuan yang masih jauh tercecer dalam bidang
pendidikan dan pengetahuan ada baiknya engkau ridhai, maka mudahkanlah ya allah
jalan menuju cita-citaku ini.”
Setelah banyak berdiskusi dengan Zainuddin, kakaknya dan rekan-
rekannya di Persatuan Murid-murid Diniyyah School (PMDS) di mana Rahmah
aktif sebagai pengurus, maka pada 1 November 1923 berdirilah Sekolah Agama
Putri al-Madrasatul Diniyyah/ Meisjes Diniyyah School di sebuah daerah nan
sejuk di antara gunung merapi dan singgalang, diapit Gunung Tandikat dan
Bukit Tui Kota Padang Panjang.
Pada awal berdirinya, Diniyyah Putri menggunakan sebuah ruang di Masjid
Pasar Usang. Dari sanalah 71 orang murid yang terdiri dari ibu-ibu rumah
tangga dan remaja mengawali sebuah sejarah baru bagi perempuan Indonesia.
Tanpa kursi dan bangku, tanpa papan tulis dan kapur, murid-murid duduk
bersila di hadapan seorang guru dengan meja kecil di depannya. Kitab-kitab
berbahasa Arab disampaikan oleh guru dalam bahasa Indonesia. Sekolah
berlangsung selama tiga jam dimulai pukul 08.00 hingga 10.30. Mata pelajaran
yang diajarkan adalah Bahasa Arab dan pengetahuan agama. Gagasan demi
gagasan lahir dari kerisauan Rahmah. Maka ia pun mendirikan sekolah dalam
upayanya mengentaskan buta huruf di kalangan wanita-wanita rumah tangga.
D. KEKHASAN MADRASAH
Madrasah atau Perguruan Diniyyah Putri Lampung (DPL) ini memiliki
sejumlah kekhasan. Antara lain, mendidik generasi multi talenta melalui
kegiatan ekstrakurikuler.
1. Cetak Generasi Pendidik Multitalenta
Salah satu putra pendiri perguruan Diniyyah Putri Lampung (DPL) KH
Iskandar Syukur mengatakan, pesantren yang didirikan orang tuanya hendak
melahirkan pendidik multi talenta. “Mau jadi apapun, yang penting para
santri putri ini tidak melupakan peran sentralnya, yaitu jadi pendidik.
Minimal mendidik anak-anaknya,” ujar Iskandar.
Pihaknya hanya berkewajiban memberi ruang seluas-luasnya kepada
para santri untuk terus tumbuh dalam kemandirian dan penuh kreativitas.
Bagi dia dan para guru pesantren, kemampuan seorang ibu menjadi pendidik
harus ditopang dan didukung berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan.
Untuk mendukung kemampuan sebagai pendidik, seluruh santri Diniyyah
Putri Lampung dibekali berbagai keterampilan melalui kegiatan kurikuler,
kokurikuler, dan ekstrakurikuler.
2. Ekstrakurikuler
Kegiatan ekstrakurikuler di diniyyah putri berada di bawah pengawasan
dan pembinaan wakil kepala kesiswaan dan dikelola oleh organisasi siswi
yang bernama Persatuan Kulliyatul Mu’allimat El-Islamaiyyah (PKM).
Adapun jenis kegiatannya adalah sebagai berikut: 1) bidang olahraga, 2)
bidang seni budaya, 3) seni keterampilan, 4) bidang karya ilmiah/
jurnalistik/ literasi, 5) dakwah dan muhadharah, 6) bidang bahasa, 7) bidang
pengembangan diri, 8) bidang kesehatan, 9) bidang kewirausahaan, 10)
bidang perfilman, dan 11) bidang olimpiade. Dari sebelas (11) bidang ekskul
ini setidaknya ada 47 kegiatan ekskul yang dijalankan oleh siswi sesuai minat
dan bakat mereka masing-masing. Berikut gambaran singkat kegiatan
beberapa ekskul tersebut.
Pertama, bidang olahraga, yaitu: basket, badminton, voli, karate, silat,
catur, senam, dan tenis meja. Silat paling banyak meraih prestasi dari level
kabupaten/ kota hingga nasional. Kedua, bidang seni budaya, yaitu: tari
daerah, paduan suara, dan hadroh. Tari daerah dan paduan suara diniyyah
putri terbiasa diminta tampil di level kabupaten maupun provinsi. Ketiga, seni
keterampilan, yaitu: kaligrafi naskah, kaligrafi kontemporer, lukis, komik,
letter, dan keterampilan tangan. Siswi membuat kotak tisu, boneka, dan
bunga dari manik-manik, wadah tisu dari CD bekas, dan membuat wadah
hantaran.
Menurut Wakil Kepala Madrasah Bidang Kesiswaan, Hidayati Rusydi,
ada kegiatan para santri yang tak kalah menarik. Yakni, pengolahan barang
bekas. Mereka mengolah barang-barang bekas, misalnya drum bekas, ban
bekas, dan kayu-kayu sisa, menjadi barang bermanfaat misalnya tempat
duduk, bangku, dan ornamen cantik lainnya. Hebatnya lagi, itu mereka olah
dengan tangannya sendiri. Mereka bekerja profesional seperti layaknya
tukang berpengalaman.
Hidayati mengaku awalnya sempat ragu atas niat awal mereka mengajak
dirinya membuat daur ulang barang yang ada di gudang. Herannya, kenapa
ia memilih bongkahan kayu bekas lemari tanpa ia pikirkan cara mereka
menggergaji kayu-kayu tersebut. Semua terjadi di luar dugaannya. Mereka
otodidak belajar nyongkel paku dari lemari bekas pakai. Dipilihnya kayu
yang masih kuat. Mereka lalu pun mulai beraksi. Menggergaji dan
memukulkan palu ke paku pun mereka belajar sendiri.
Bahkan, sang tukang kayu yang ia suruh mengecek sampai terheran-
heran, kok bisa anak-anak gadis berjilbab menggergaji kayu. Pak tukang
menyebut hasil menggergaji para santri putri terlihat rapi. Hida mengaku
untuk menggergaji ia tak pernah mengajari. Bahkan ia sendiri masih
kerepotan memegang gergaji.
Wal hasil, kursi dari kayu bekas pakai pun nampak lebih cantik. Ia
berharap mudah-mudahan Allah memperlancar hajat mereka untuk go green
pondok tercinta. Inilah kesibukan dan hiburan kami yang tanpa gawai dan
televisi. Meski demikian, mereka tetap berkembang dan berkarya jauh dan
ingin lebih jauh dari dunia luar. Hidayati mengaku kagum sekaligus bangga
dan geleng-geleng kepala dengan kreativitas dan kemauan anak-anak.
Keempat, bidang karya ilmiah/jurnalistik/literasi, yaitu: membuat karya
ilmiah, menerbitkan majalah TUNAS, kunjungan ke media, pelatihan
jurnalistik, pelatihan presenter, dan pelatihan wawancara narasumber. Dalam
bidang literasi siswi membentuk Komunitas Penulis Muda, pelatihan
kepenulisan setiap Senin sore, mengikuti lomba kepenulisan, mengikuti
pelatihan kepenulisan dan temu penulis, mengadakan lomba menulis cerpen
islami, dan membukukan karya siswi, baik cerpen maupun puisi. Di antara
buku tersebut adalah: 1) Shela Aprilia Hanada dan Miceleh Claudia, Kenangan
Masa Kecil yang Membekas di Hati, 2) Shela Aprilia Hanada, Dongeng dari Masa
ke Masa, 3) Terima Kasih Guruku (kumpulan puisi siswi kelas X dan XI), 4)
Tamara Nur Imaniah, Hold the Moon, 5) Deru di Lorong Keikhlasan (kumpulan
puisi santri DPL), 6) Shela Aprilia Hanada, Kado Terindah Masa Sekolah, dan 7)
Aulia Salsabila, Love in The Silence.
Kelima, bidang dakwah dan muhadharah, yaitu: membentuk klub-klub
muhadharah (pidato), latihan pidato, latihan pembawa acara (MC)/ public
speaking, latihan penyarahan (ayat Quran), membentuk Komunitas Dai
Muda, pelatihan hafalan Quran, pelatihan tilawatil Quran, dan pelatihan
tartilil Quran. Bidang ini sudah mendapatkan banyak prestasi. Prestasi
tertinggi pidato siswi diniyyah adalah juara III tingkat nasional Akademi
Sahur Indonesia (Aksi) Indosiar.
Keenam, bidang bahasa Arab dan Inggris, yaitu: muhadasah/ conversation,
pidato bahasa Arab/ Inggris, MC bahasa Arab/ Inggris, dan scrabble
(permainan kata). Wakil kepala madrasah, Hidayati Rusydi, mengatakan
Persatuan Kullliyatul Muallimat (PKM) sebagai ORGANISASI SISWA INTRA
SEKOLAH (OSIS) di Diniyyah Putri Lampung, diakuinya menjadi penggerak
seluruh kegiatan siswa di pesantren dan madrasah ini. “Jika PKM mogok,
Diniyyah mati. Sebab, hampir semua urusan terkait santri mulai sakit,
kebersihan, bangun, tidur, olahraga, seni, budaya, kedisiplinan, mereka lah
yang jadi penggerak,” kata Hidayati.
Pengurus PKM, bagi dia, pada titik tertentu telah menjadi asisten utama
bagi para guru. Jadi, tanggung jawab mereka besar. Hebatnya, anak-anak ini
mampu. Padahal belajarnya otodidak. Pokoknya, segala urusan teknis terkait
santri beres di tangan mereka. “Saya kira layak jadi pemimpin. Mereka
mampu menangani hal yang tidak bisa dilakukan guru, seperti
membangunkan santri untuk salat Subuh,” ujarnya.
Seperti disampaikan Sekretaris PKM, Putri Nurmala Suci, para santri
harus sudah bangun pada jam 04.00 dini hari. PKM dan PMDM, Osis-nya
MTs, selalu bekerja sama untuk urusan yang satu ini. Memang, sebagian
besar ditangani oleh PKM. Untuk bangun di pagi buta, mereka harus bangun
sebelum para santri. Semua kompak meski kegiatan sampai jam 22.00 WIB
malam.
Terkait peningkatan kemampuan bahasa asing, ada sejumlah kegiatan
yang menunjang. Pertama, pidato. Kegiatan ini dilaksanakan sekali dalam
sepekan, persisnya pada Kamis malam Jumat. Kegiatan untuk mengasah
kemampuan berbicara di depan umum yang akrab disebut muhadharah ini
wajib diikuti seluruh santri. Di DPL memiliki komunitas dai muda. Di
dalamnya ada para koordinator yang mengoordinir 40 santri.
Ketua PKM Fanisa Kurnia Putri menambahkan, dari kegiatan yang
diadakan tiap malam Jumat tersebut sudah melahirkan banyak santri yang
juara lomba pidato baik level kabupaten, provinsi, maupun nasional. Dalam
kegiatan muhadharah, selain latihan pidato yang disampaikan dalam tiga
bahasa, juga belajar menjadi pembawa acara (MC), tilawah, dan sari tilawah.
“Kami memiliki 10-12 klub. Temanya ditentukan oleh siswi. Dihafal.
Dikoreksi oleh PKM. Siswi baru ditoleransi tidak menghafal. Setiap santri
bisa dua kali tampil dalam forum muhadharah tersebut. Setiap setahun ada
lomba muhadarah. Soal tema, kami tidak hanya membahas persoalan
keagamaan semata, tetapi mengikuti perkembangan kekinian. Pada saat lagi
ramai-ramainya LGBT, ada juga santri yang berpidato tentang tema ini,
hebatnya lagi dengan teks Bahasa Inggris,” ujarnya bangga.
Kedua, percakapan dalam Bahasa Arab dan Inggris. Semua santri
berkewajiban mempraktikkan percakapan dalam dua bahasa internasional
tersebut. Sudah tentu, jika tidak melakukannya dianggap telah melanggar
peraturan. Oleh karena itu, hukuman pun siap menanti. Hukuman untuk
level pertama, biasanya membaca istighfar seratus kali secara bersama-sama
di lapangan. Untuk pelanggaran level kedua dan seterusnya diberlakukan
hukuman yang berbeda-beda.
Untuk meningkatkan kemampuan percakapan tersebut, PKM
memberikan dua kosakata setiap selesai jamaah salat Subuh. Dengan
demikian, para santri dalam sebulan memiliki 60 kosakata baru. Agar efektif,
pelaksanaan kegiatan ini dibagi dua. Yakni, dua minggu berbahasa Arab, dua
minggu berikutnya berbahasa Inggris. Di lingkungan pesantren dibagi 11
asrama. Tiap asrama terdapat 11 kelompok yang dipimpin satu orang tutor.
“Kami biasanya menuliskan kosakata baru di white board dalam bahasa
Arab atau Inggris. Lalu kami taruh di taman, di kelas, di kantin, hingga kami
gantung di dekat lapangan dan tempat umum lainnya. Ada bagian bahasa.
Pelanggaran sekali membaca istigfar; dua kali menghafal mufrodat.
Pelanggaran lebih dari dua kali memakai seragam yang berbeda atau
memakai kalung bertuliskan: “I HAVE SPOKEN INDONESIA” atau
“KHOOLAFTU AN-NIDZAAM”.
Ketiga, belajar ke “Kampung Inggris” di Pare, Kediri. Menurut wakil
kepala bidang kurikulum, Nazaruddin, program belajar Bahasa Inggris ke
Pare ini diawali dua isu utama, Ujian Nasional (UN) dan Rancangan Sekolah
Berstandar Internasional (RSBI). Ketatnya soal-soal di UN hingga kecemasan
tentang kelulusan terutama untuk mata pelajaran Bahasa Inggris dan rencana
pemerintah melalui Kemenag mendirikan RSBI membuat para guru di
perguruan DPL berpikir keras.
“Dua tantangan itu menyita pikiran kami, khususnya saat mau UN.
Pesantren sejak awal bertaraf internasional karena memiliki santri dari luar
negeri, yakni Thailand. Anak-anak setuju belajar ke Pare Jawa Timur. Anak
kelas III MTs berangkatnya selesai UN,” kata Nazaruddin.
Menurut dia, dengan berangkat ke Pare, bisa mencakup tiga kegiatan.
Yakni belajar, budaya, dan wisata. Pada 2017 program ke Pare hanya
ditempuh selama 30 hari karena bersamaan datangnya bulan Ramadhan dan
Lebaran. Pesertanya 91 siswi dari MTs. “Program ini mutlak kehendak anak.
Setiap periode anak-anak selalu tanya kepada kami kapan berangkat ke Pare.
Pertanyaan itu lalu kami kembalikan ke mereka. Apa betul mereka siap. Lalu
kami pun mendiskusikannya dengan wali santri,” ungkapnya.
Program belajar Bahasa Inggris ini, kata Nazaruddin, sudah dilaksanakan
selama enam kali. Tiap keberangkatan biasanya diikuti dua hingga tiga
pembimbing. Selain bertugas memonitor siswi, pembimbing juga ikut belajar.
Ya, guru yang menemani para santri ini menjadi pamong sekaligus pelajar.
“Dalam pelaksanaan penguasaan bahasa (tarqiyah al-lughah) para santri yang
ke Pare mulai 2015. Di sana mereka belajar bahasa selama dua bulan,”
tandasnya.
Sementara itu, saat pengayaan kosakata, ketua PKM Fanisa Kurnia Putri
menyebut para santri pada pukul 5.30 pagi sudah keluar dari asrama menuju
lokasi kursus bahasa. Selama 15 menit mereka mempraktikkan conversation
(dialog) dan grammar (tata bahasa), di pinggir sawah. Saat ditanyakan
bagaimana perasaannya setelah mengikuti program bahasa asing di Pare,
tentu lebih menyenangkan. Tutornya juga beda cara belajarnya.
“Kami merasa lebih pede alias percaya diri. Tidak nervous lagi.
Pengetahuan budaya bahasa naik. Kami juga merasa mampu dan mumpuni
untuk mengajar bahasa Inggris. Nah, di kelas kami saat KBM juga bilingual.
Bukan untuk bahasa Inggris saja, namun juga untuk mata pelajaran lainnya,
misal IPA,” tutur Fanisa.
Pada saat praktik mengajar, para santri kelas III KMI atau aliyah juga
menyampaikan pelajaran ilmu jiwa, psikologi, ilmu pendidikan. Kelas III
sejak semester awal praktik mengajar, membuat RPP, latihan mengajar, dan
membimbing cara mengajar.
Ketujuh, bidang pengembangan diri, yaitu: tataboga, tatabusana, dan
administrasi perkantoran. Kecuali kemampuan bahasa, siswi diniyyah putri
juga dibekali dengan keterampilan memasak melalui kurikuler maupun
ekstrakurikuler. Pertama, pada muatan lokal yaitu pelajaran PKK siswi kelas
VII hingga kelas XII belajar memasak setiap dua minggu sekali dibimbing
seorang guru. Guru pembimbing melatih mereka memasak setelah
sebelumnya belajar teori di kelas. Siswi belajar membuat gorengan, es, cilok,
cireng, tahu isi, dan lainnya.
Kedua, pada ekstrakurikuler kemampuan memasak siswi diniyyah putri
juga diasah dan dilatih melalui ekskul tataboga. Siswi membayar 650 ribu
rupiah untuk ekskul ini selama setahun yang dibayarkan pada awal tahun.
Setiap dua minggu sekali siswi di ekskul ini belajar membuat beragam
makanan tradisional dan modern, kue-kue, dan minuman, seperti ketpoprak.
Pada tataboga ini siswi juga belajar table manner. Mereka akan mendapatkan
sertifikat dari Disnaker. Putri Nurmala (16) siswi kelas XI menyatakan, “Saya
ikut tataboga karena hobi, dan sebagai pondasi pada pelajaran PKK.”
Selain memasak, pengembangan diri siswi diniyyah putri juga dilakukan
melalui ekskul tatabusana dan manajemen perkantoran. Dalam satu kelas ada
21 orang. Yayasan mendapatkan bantuan gedung, peralatan, pelatihan
instruktur menjahit selama dua bulan, dan guru PNS. “Pada tahun 1990
samppai 1998 saya mengembangkan tatabusana,” kata Sri. Pada tahun 1999
datang bantuan guru dan dana operasional. Mesin-mesin jahit tenaga listrik
itu tidak berfungsi lagi karena daya listrik yang dibutuhkan sangat tinggi.
Berbeda dengan tataboga dan memasak, keterampilan menjahit ini hanya
untuk siswi saja. “Tidak ada waktu untuk pengembangan karena mereka
harus belajar,” tutur Sri. Beberapa alumni menjadi penjahit di rumahnya, ada
juga yang sukses menjadi pengusaha besar. Di antaranya Uni Lili sebagai
pengusaha kerajin Tapis khas Lampung yang cukup terkenal.
Kecuali itu, kegiatan memasak juga dilakukan siswi pada saat ujian
memasak pada matapelajaran PKK. Ujian memasak di kelas masing-masing
dilakukan dua bulan sekali, sedangkan ujian massal dilakukan setiap tahun
sekali. Setiap setahun sekali siswi semua kelas memasak dalam jumlah besar
selama tiga hari berturut-turut. Mereka dibagi kelompok memasak di hari
pertama, kedua, dan ketiga, juga dengan jenis masakan yang berbeda-beda.
Untuk merasakan hasil masakan siswi, yang diundang pada hari pertama
adalah dari keluarga besar pondok, hari kedua dari keluarga besar guru, dan
hari ketiga dari keluarga karyawan. “Saya biasa menjadi juru foto di kegiatan
memasak santri, sehingga bisa setiap hari makan walaupun tidak membawa
undangan,” canda Supriyadi (36) wakil kepala hubungan masyarakat.
Kedelapan, bidang kesehatan, yaitu: membawa siswi yang sakit ke Klinik
madrasah, penyuluhan kesehatan lingkungan, penyuluhan kesehatan
reproduksi, penyuluhan kesehatan tubuh, pemeriksaan golongan darah
secara berkala kerjasama dengan Poltekes Bandar Lampung.
Kesembilan, bidang kewirausahaan, yaitu: menanam sayur dengan
hidroponik, wirausaha bisnis sayur hidroponik, dan mengelola keuangan
hasil tanaman itu. Di perguruan Diniyyah Putri Lampung, terdapat berbagai
keterampilan yang dikembangkan. Salah satunya, menanam hidroponik.
Menurut wakil kepala bidang kesiswaan Hidayati Rusydi, kegiatan ini
merupakan bagian dari program kerja seksi kewirausahaan. “Ini seksi atau
bagian baru dalam struktur PKM. Baru dimulai tahun 2017 ini,” ujar
Hidayati.
Para santri, lanjut dia, dilatih dan dibimbing oleh Komunitas Petani
Muda Lampung. Mereka ini para mahasiswa Universitas Lampung (UNILA)
yang memiliki hobi hidroponik. Saat ditanya dari mana idenya, Hida, sapaan
akrab guru muda yang juga alumnus DPL ini mengatakan, dirinya lah yang
pertama kali melontarkan gagasan tersebut kepada para santri.
“Ide menanam hidroponik ini awalnya saya usulkan kepada anak-anak.
Ternyata mendapat sambutan positif. Saya ingin, para santri punya
keberanian mencoba sesuatu yang baru. Setiap minggu pelatih datang dan
membimbing mereka dari dasar,” ungkapnya. Hida menambahkan, akhirnya
hasil menanam hidroponik ini pun menuai hasil. Sayurnya sudah dua kali
panen. Pertama tanaman pakcoy, kedua selada. “Alhamdulillah tanaman
mereka tumbuh subur dan bagus,” ujarnya bangga.
Menurut dia, para santri tekun sekali merawat tanamannya itu. Tak lupa
mereka menambahkan nutrisi dan membersihkannya dari rumput dan hama
lainnya. Hasilnya dijual kepada para guru dan wali santri yang datang
menjenguk. “Sehari sebelum panen, saya promosikan hasil karya anak-anak
di grup WA guru. Oleh mereka, sayuran di-packing cantik. Dagangan mereka
selalu habis dalam waktu tiga hari,” paparnya.
Sebagai Wakasis, Hidayati tak hanya mengajarkan untuk sesuatu yang
baru seperti menanam. Namun juga mengelola hasilnya. “Keuangan
sepenuhnya saya percayakan kepada anak-anak agar mereka belajar jujur dan
bertanggung jawab. Namun tetap saya pantau. Ternyata, mereka senang
dengan kegiatan hidroponik ini. Untuk peserta pelatihan, selain pengurus
kewirausahaan empat orang. Ditambah utusan setiap asrama tiga orang,”
ujarnya.
Hida, sapaan akrabnya, punya rencana jika tanaman dan pelatihan
pertama ini berhasil, setiap asrama kelak bisa memiliki kebun sayur di setiap
halaman asramanya. Ia melihat ini lebih bermanfaat daripada sekedar hanya
menanam bunga. “Peralatannya antara lain instalasi, 1 unit dibeli dari
keuangan PKM atau OSIS. 1 unit lagi sumbangan seorang alumni,”
ungkapnya.
Tidak sampai di situ, selain terampil memasak dan membuat kue, siswi di
diniyyah putri dilatih wirausaha. Setiap kamis malam Jumat siswi memasak
makanan dan membuat minuman berdasarkan keinginan siswi lainnya. Pada
malam itu siswi latihan muhadHarah/ pidato dan besoknya libur sekolah.
Wakil kepala bagian kurikulum Nazarudin (43) menyatakan, “Siswi membuat
apa nanti dilakukan dengan membaca pasar yaitu dengan sistem komunikasi
kepada para siswi.”
Meski memiliki uang kas, siswi juga tidak jarang berhutang ke kantin
yayasan. “Mereka ngebon ke kantin untuk membeli bahan-bahan, dan
membayarnya setelah jualannya laku,” kata Sri Baniyah kepala MTs. Setiap
malam Jumat dan Jumat siswi berjualan hasil masakannya. “Dengan modal
200 ribu bisa dapat 500 ribu dalam setengah hari,” kata Almira (17) siswi
kelas XI.
Keuntungan hasil berjualan siswi itu bisa mencapai 30 juta rupiah dalam
setahun di tingkat MTs dan Aliyah. Pada saat kelulusan uang itu diberikan ke
yayasan sebagai sumbangan dalam bentuk barang-barang yang akan
digunakan di pesantren, asrama, kelas, atau kantor. Para siswi yang
menentukan mereka akan membeli apa dari uang tersebut. Uang tersebut
sepenuhnya milik siswi sehingga mereka berhak menentukan untuk apa dan
dibelikan apa.
“Agar mereka punya kenangan saat kembali ke madrasah. Oh ini dulu
angkatan kami yang menyumbangkan,” kata Iskandar Syukur, Kepala Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Bagian Pendidikan dan Pengajaran. Kegiatan
memasak dan menjual itu cukup mendidik siswi diniyyah putri belajar
kewirausahaan. Selebihnya mereka fokus ke belajar akademik karena tujuan
awal mereka jelas mencari ilmu yang luas.
Kesepuluh, bidang perfilman, yaitu membuat film pendek. Produksi
perdana pada April 2017 berjudul Harus Gitu Ya? telah berhasil meraih juara I
dalam ajang festival film pendek se-Lampung. Hidayati rusydi juga
menceritakan soal film pendek yang digarap para santri. “Untuk film pendek,
awalnya saya nantang anak-anak. Berani nggak melakukan kegiatan baru.
Ada lomba film pendek di kampus teknokrat. Ternyata mereka juga
merespon positif,” kenangnya.
Ia mengisahkan, dalam waktu tiga hari, terbentuklah team film.
Kemudian mereka membuat skenario. “Lalu saya carikan pelatih dari
komunitas film mahasiswa. Akhirnya dapat pelatih yang sesuai. Dari arahan
sang pelatih, seminggu film pendeknya jadi. Untuk seleksi pemain, Hida
meminta bantuan alumni yang aktif di teater dan drama. Alhamdulillah, film
garapan anak-anak dapat juara 1 se-Lampung,” papar Hida.
Kesebelas, bidang olimpiade, yaitu Matematika, Biologi, dan Fisika, di
tingkat DMP/ MTs, Kimia, Matematika, dan Biologi, di tingkat KMI/ MA.
Semua kegiatan ekskul itu dibimbing oleh satu sampai dua kakak kelas
yang tergabung dalam Osis. Mereka sangat berperan dalam pengembangan
keterampilan murid sesuai bidangnya masing-masing. Pola ini sangat bagus
tidak hanya pembentukan jiwa kepemimpinan kakak pembimbing tetapi juga
mendekatkan hubungan antara senior-yunior di Diniyyah Putri. Dengan
demikian kebersamaan itu berdampak positif bukan sebaliknya. Prestasi yang
dicapai murid DP juga merupakan keberhasilan pembimbingnya yaitu kakak
kelas mereka.
Prestasi siswi diniyyah putri sangat membanggakan karena banyak
meraih juara dalam setiap perlombaan. Karena banyaknya prestasi itu, di sini
hanya akan disebutkan yang telah berhasil mendapatkan juara satu (I) saja, di
antaranya: Cabang Biologi KSM Tingkat MA se-Kabupaten Pesawaran 2014,
Kaligrafi Teknokrat Festival Pentas Seni Islami 7 2014, MTQ Putri SMP Se-
Lampung (Porseni) 2014, Ajang Kompetisi Seni dan Olahraga Madrasah
(Aksioma) Pesawaran Cabang Bulutangkis 2015, Aksioma Cabang Kaligrafi
Putri MA 2015, Komik Al-Banna Fair Polinela 2015, Analisa Musik Melodi
Non Brass UNILA Marching Band Competition2016, Pencak Silat Dispora
Pesawaran 2016, Pencak Silat Internasional di Padang 2016, Basket Lampung
Kobalam U-14 2016, Kaligrafi Kontemporer Festival Pesantren IAIN Lampung
2016, Pencak Silat Bupati Cup Pesawaran 2016, Pencak Silat IKPM Gontor
2017, Muley Hijab Kampung Nasyid Povinsi Lampung 2017, Dai Pentas
Islami X Universitas Teknokrat 2017, Tilawah IBI Darmajaya Bandar
Lampung 2017, Fahmil Quran Ponpes Jabal Nur 2017, Kaligrafi Ponpes Jabal
Nur 2017, Pidato tingkat SMP Balai Bahasa se-Provinsi Lampung. Data ini
menunjukkan variasi prestasi siswi diniyyah putri yang sangat beragam. Hal
ini menunjukkan keragaman bakat siswi yang berhasil dikembangkan oleh
diniyyah putri.
3. Wawasan Global
Pramuka di Diniyyah Putri tidak sekedar kegiatan kedisiplinan dan
kepemimpinan biasa. Ia telah menorehkan prestasi yang membanggakan
tidak hanya bagi madrasah tetapi bagi provinsi Lampung dan bangsa
Indonesia. Siswi madrasah diniyyah putri tidak hanya berprestasi di level
kabupaten/ kota, provinsi, dan nasional, tetapi berprestai juga di level
internasional, yaitu dalam pramuka. Anggota pramuka DPL tidak hanya
berpartisipasi dalam kegiatan pramuka di luar negeri, mereka bahkan meraih
sejumlah prestasi.
Pengalaman internasional lainnya adalah pertukaran pelajar ke Thailand
selama 20 hari. Sejak 9 Oktober 2012 yayasan telah menandatangani
perjanjian kerjasama dengan Ma’had Tarbiyah Islamiyah Thailand dan
Thayaiwitaya School Hatyai Thailand. Program ini lahir atas jaringan yang
telah dimiliki oleh yayasan dengan lembaga kursus FEE Center di Pare yang
dipimpin oleh Malik. Malik mengenalkan madrasah diniyyah putri ke Abdul
Aziz pemilik sekolah di Tailand. “Ada pondok khusus wanita yang bagus di
Lampung,” demikian Nazarudin menirukan ucapan Malik.
Pada 2012 Abdul Aziz datang ke Lampung. Kemudian disepakati
pertukaran pelajar. Sudah dikirim dua angkatan pada 2014 dan 2016. Di sana
siswi belajar bahasa, kegiatan sekolah, budaya. Demikian pula siswi Thailand
selama di diniyyah putri. “Mereka bergabung dengan kegiatan Osis, dan
kami ajak mereka ke sentra-sentra industri di Lampung,” kata Maimun.
Untuk bisa mengikuti program pertukaran pelajar tersebut siswi kelas IX
harus lulus tes bahasa dan akhlak. Tes ini hanya akan memilih 20 siswi. Siswi
dan dua orang pembina yang berangkat akan tinggal di Phanga 10 hari dan di
Hatyai 10 hari. Target lain ke depan dari kerjasama dengan Thailand ini
adalah pertukaran guru atau pertukaran alumni untuk mengajar. Dengan
harapan mereka bisa kuliah di sana.
Berikutnya tidak hanya pertukaran pelajaran. Muslimah Thailand juga
bersekolah di diniyyah putri. Satu orang sudah lulus. Sedangkan yang masih
sekolah ada 6 yaitu kelas VII dua orang dan kelas IX ada 4 orang. Siswi asal
Thailand Issara dan Assama, anak kembar, tidak mengalami kesulitan belajar
di diniyyah putri Lampung Indonesia. Kedua siswi kelas VII MTs yang
berbadan tinggi ini sudah pandai berbahasa Indonesia. Issara yang hobi
basket dan suka bahasa Inggris ini bercita-cita jadi dokter, sedangkan Assama
bercita-cita jadi guru. Menurut mereka, makanan di Indonesia enak dan tidak
masalah dengan selera mereka. Tetapi jika dibandingkan dengan makanan di
Thailand lebih enak makanan Tailand. “Masakan di Indonesia kurang
bumbunya,” kata Issara sambil tersenyum. Tidak hanya dengan Thailand,
kerjasama dengan negara mitoritas muslim Laos dan Myanmar sedang dalam
proses.
Mutu alumni Diniyyah Putri tahun 2015, 2016, dan 2017 dapat
dibanggakan setidaknya dilihat dari kampus mereka belajar saat ini, di
antaranya UIN Raden Intan Lampung, UIN Walisongo Semarang, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Arraniri Banda
Aceh, Universitas Negeri Semarang, UNILA, IAIN Metro, Universitas Ahmad
Dahlan Yogyakarta, Jerman (Windi Wahyuni, Dini Devika Yani, dan Suci Eka
Putri), Sepolwan,Pendidikan Bahasa Inggris di Pare, Universitas Tulang
Bawang Lampung, Universitas Muhammadiyah Semarang, UIN Raden Fatah
Palembang, Penerbangan, IAIN Bengkulu, IAIN Sultan Hasanuddin Banten,
Universitas Muhammadiyah Surakarta, STEI Tadzkiya Bogor, dan UPI
Bandung. Dari data di atas terbaca bahwa tiga alumni dinyyah kuliah S1 di
Jerman setelah lulus seleksi. Sebelumnya, mereka kursus intensif bahasa
Jerman di Lampung.
4. Kekuatan dan Kendala
Kekuatan Diniyyah Putri bertahan dan maju di usianya yang ke-43 ini
adalah: Pertama, keikhlasan pendiri, keluarga besarnya, dan guru. Seluruh
tanah di pesantren ini berstatus wakaf, sehingga anak cucu pendiri yang saat
ini bekerja di pesantren ataupun yang tidak, tidak ada yang mewarisi tanah
pesantren. “Tanah dan bangunan milik pondok semua, bukan milik kami
anak-cucu pendiri,” kata Iskandar.
Kepada santri Nyai Halimah selalu menekankan pentingnya ikhlas dalam
belajar sehingga akan terasa ringan dalam belajar meski jauh dari orang tua.
Demikian juga kepada para guru, Nyai senantiasa menekankan keikhlasan
dalam mengajar. Mengajar akan ringan. “Guru kami pernah terlambat
gajihan hingga tiga bulan,” kata Nyai Halimah. Selain dengan uang, dulu
siswi membayar pondok dan sekolah dengan beras sebanyak 17 kilogram. 15
kilo untuk santri, 2 kilo untuk guru. “Tetapi beras yang dikasih ke kami
kualitasnya buruk sehingga santri pun malas memakannya. Maka sekarang
dalam bentuk uang semua,” kata Nyai Halimah.
Kedua, membangun sistem yang baik. Iskandar menjelaskan, “Kami
membangun sistem sehingga orang—siapa pun—yang ingin uang harus
bekerja, entah mengajar atau sebagai pimpinan di madrasah atau di asrama.”
Adapun kendala yang dirasakan pendidik di Diniyyah Putri adalah
pertama, yang berasal dari murid sendiri. Wanita jelas berbeda dengan laki-
laki. “Mengurus perempuan sepuluh kali lebih sulit dibanding laki-
laki. Contoh, di kelas tidak bisa menyuruh mereka mengangkat yang berat-
berat. Harus melibatkan laki-laki dari bagian kepengasuhan,” kata Iskandar.
Contoh lain soal penegakan kedisiplinan dan karakter jujur. Ketika waktu
shalat tiba, mereka tidak berangkat ke masjid dengan alasan sedang haid.
“Kita tidak tahu apakah mereka jujur atau berbohong,” tuturnya.
Kedua, yang datang dari orang tua murid. Kendala yang dihadapi guru
dan pembina adalah wali murid tidak memahami tujuan diniyyah putri.
“Mereka mengajak anak pulang semaunya. Berlama-lama di rumah,” kata
Nyai Halimah.
E. PEMBAHASAN
1. Ibu Pendidik
Keluarga adalah lembaga yang utama dan pertama bagi proses awal
pendidikan anak-anak untuk mengembangkan potensi yang dimiliki seorang
anak ke arah pengembangan kepribadian diri yang positif dan baik. Fungsi-
fungsi dan peran orang tua tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan fisik
anak berupa kebutuhan makan dan minum, pakaian, tempat tinggal tapi juga
tanggung jawab orang tua jauh lebih penting dari itu adalah memberi
perhatian, bimbingan, arahan, motivasi, dan pendidikan, serta penanaman
nilai (Jailani, 2014: 259-260).
Perguruan Diniyyah Putri Lampung (DPL) merupakan satu-satunya
pesantren khusus putri dan tertua di Provinsi Lampung. Sebagai pesantren
tertua dan berciri khas sendiri, diniyyah putri memiliki perbedaan yang
sangat mendasar dengan pesantren serupa yang lahir belakangan. Banyak
kekhususan sebagai jati diri diniyyah putri yang tidak dimiliki oleh sekolah
atau pesantren lain. Hingga kini kekhususan itu dipertahankan secara turun
temurun.
Salah satunya, ilmu mendidik. Pasalnya, sejak awal berdiri, pelajaran
ilmu pendidikan disebut ilmu mendidik. Meski demikian, di papan jadwal
sekolah kini tertulis ilmu pendidikan. Keberadaan pelajaran ini, menurut
Hidayati Rusydi, salah seorang alumni yang kini menjadi pengajar di
pesantren ini, merupakan tujuan pendidikan diniyyah putri, yakni lahirnya
para putri berjiwa Islam dan ibu pendidik yang cakap serta aktif. Ini
merupakan salah satu tujuan utama didirikannya diniyyah putri.
Tidak heran jika akhirnya sebagian besar alumni diniyyah putri
berprofesi sebagai guru, dosen, da’i ketika mereka sudah terjun di tengah
masyarakat. Uniknya, kalaupun mereka tidak menjadi guru atau dosen, tapi
mereka tetap mampu “mengajar” berkat ilmu mendidik yang pernah
dipelajari selama tiga tahun di bangku Kulliyatul Muallimat al-Islamiyyah
(KMI).
Bahkan, ibu pimpinan pesantren dalam setiap sambutannya selalu
menyampaikan bahwa kaum perempuan, jika kelak tidak menjadi guru di
sekolah, maka yang pasti dia akan menjadi guru dalam rumah tangganya,
yaitu mendidik anak-anaknya. Ya, ibu merupakan madrasah pertama (al-
madrasah al-ula) bagi putra-putrinya. Menjadi pendidik dan pendakwah di
manapun.
Dai itu jangan di level seperti da’i tivi, da’i MAJLIS TA’lim, dan da’i masjid.
Dakwah itu umumnya majlis ta’lim, khutbah, dan lainnya. Inti dakwah adalah
pendidikan keluarga. Maka perempuan harus kuat. Contoh, siswi harus
mencuci pakaiannya sendiri, memasak, menyapu, dan merapihkan kamarnya
sendiri. “Satu orang wanita mendidik satu keluarga. Istri harus pandai
menjahit, mencuci, menyapu, dan memasak agar disayang suami,” kata Nyai
Halimah (67). “Madrasah adalah tempat menyemai pendidik perempuan,”
kata Iskandar.
Baik-buruknya akhlak, perangai, perilaku atau pribadi sang-anak dan
keluarga, banyak ditentukan oleh pola pembinaan, latihan dan pendidikan
yang diberikan oleh orang tua. Anak yang sudah mendapatkan pengenalan,
pengalaman dan pendidikan, terutama pendidikan moral spiritual, akan
dapat mempertahankan eksistensi kepribadian (potensinya) dari pengaruh-
pengaruh sosial dan lingkungan yang kurang bersahabat (Sukaimi, 2013: 89).
Kegagalan ibu bapa untuk berperanan sebaGAI PENDIDIK AKAN
MENGUNDANG PELbagai gejala sosial yang boleh memudaratkan
masyarakat dan negara. Sebagai ibu bapa Muslim, kita perlu menghayati
ajaran agama Islam sepenuhnya kerana itulah satu-satunya jalan untuk
mencapai kesejahteraan dalam kehidupan manusia. Melalui tiga kaedah
pendidikan asas iaitu pendidikan melalui teladan, pendidikan yang
menekankan aspek kerohanian dan pendidikan tentang kedudukan dan
kelangsungan bangsa, ibu bapa mampu menyumbang ke arah pembentukan
sebuah tamadun bangsa (Razak dan Hussain, 2007: 81).
Integriti merupakan suatu paket nilai-nilai murni yang mulia yang
terhasil dari kredibiliti dan kemuliaan kedua ibu bapa untuk menjamin
kekuatan sesebuah institusi keluarga. Institusi keluarga yang dipimpin oleh
ibu bapa mempunyai integriti yang tinggi sebagai asas pembentukan sebuah
masyarakat. Masyarakat yang memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan
dan akhlak yang mulia merupakan eleman penting untuk membentuk sebuah
tamadun bangsa (Razak dan Hussain, 2007: 81).
2. Kecerdasan Jamak dan Kecakapan Hidup
Diniyyah Putri Lampung tidak hanya fokus mengajarkan ilmu mendidik
dan kemandirian santri. Santri dibekali dengan sejumlah keterampilan
melalui kokurikuler dan ekstrakurikuler. “Seorang pendidik harus bisa
terampil usaha untuk mendukung kerja mendidiknya. Wirausaha untuk
mendukung visi, yaitu pendidik,” kata Iskandar (51). Menurutnya, jiwa
wirausaha itu tertanam pada alumni. Tidak sedikit alumni dari keluarga
miskin kuliah dengan uang hasil kerja sendiri.
Hal ini juga terlihat dari pilihan Prodi yang dipilih DPL pada saat
membuka perguruan tinggi—masih dalam proses perizinan. “Saya ingin ada
perguruan tinggi di sini. Politeknik dipilih karena masih jarang untuk tidak
mengatakan tidak ada di sini. Prodi agama sudah banyak yang mendirikan.
Harus ada yang memikirkan politeknik. Memikirkan yang belum digarap.
Saya ingin ada tata boga tapi mungkin belum saatnya,” kata Halimah.
Gardner (1998: 25) menulis, “agar seorang siswa berhasil dalam studi dan
hidupnya kelak, maka pendidikan sebaiknya dilakukan dengan pendekatan
pribadi dengan mempertimbangkan kecerdasan yang dimiliki siswa.”
Applications of the new technologies should provide ways for a variety of minds to
gain access to knowledge,” (Veenema and Gardner, 1996: 70).
kecerdasan santri yang beragam jelas terwadahi di DPL, sehingga kelak
mereka bisa mengembangkannya lebih lanjut saat hidup di masyarakat.
Artinya, santri diharapkan bisa hidup dengan baik karena sudah dibekali life
skills melalui kehidupan pondok maupun madrasah. Adapun definisi life
skills menurut WHO adalah abilities that help us to adapt and behave positively so
that can deal effectively with the challenges of everyday life (Hanbury, 2008: 9).
Ada lima area dasar life skills yang relevan diterapkan dalam budaya
mana pun (WHO, 1999: 1): a) Decision-making and problem-solving; b) Creative
thinking and critical thinking; c) Communication and interpersonal skills; d) Self-
awareness and empathy; dan e) Coping with emotion and coping with stress.
Keluaran dari orang yang memiliki life skills adalah teamwork, self-esteem,
learning from each other, confidence, etc (hanbury, 2008: 10). Kelima ciri di atas,
juga kemampuan bekerja tim, rasa nyaman, jiwa pembelajar, dan pecaya diri
diperoleh santri melalui kehidupan di asrama, kegiatan OSIS, dan
keikutsertaan mereka dalam ekstrakurikuler. Life skills are generic skills,
relevant to many diverse experiences throughout life (WHO, 1999: 5).
Kecerdasan harus digunakan untuk hal yang positif dan kebaikan bagi
manusia lainnya,” sebagaimana ditulis gardner (2011: 10): … as scholars, we
had a responsibility not only to put forth ideas but also to monitor how they were used
and, when necessary, to speak up about their misuse. … and yet at the end of the day,
we do not need more people of high intelligence or of multiple intelligence, however
measured or labeled; we need individuals who will use their intelligences for positive
ends.
Demikianlah, Diniyyah Putri Lampung merupakan lembaga pendidikan
khusus perempuan yang menyiapkan generasi pendidik, sehingga
perempuan bermanfaat bagi lingkungannya. Perempuan harus belajar
banyak hal agar memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi keluarga bahkan
lingkungannya. Selain harus cerdas, perempuan harus terampil dalam bidang
tertentu. Keterampilan itu kemudian harus ditekuni dan dikembangkan
sampai maksimal sehingga kerja kependidikannya berjalan dengan baik.
Peran DPL bagi pendidikan khususnya perempuan sangat penting bagi
Indonesia. Meski Kementerian Agama belum optimal dalam melayani
penyelenggaraan pendidikan madrasah (Nuruddin, 2017), DPL masih eksis
dan berkembang terus memajukan pendidikan perempuan dengan
pengelolaan dana masyarakat yang tidak terlalu besar. hal ini bisa berhasil
karena pimpinan, pengasuh, dan guru memiliki sikap ikhlas dalam mendidik
santri berjumlah kurang lebih 750 itu. Tanpa keikhlasan, santri DPL tidak
mungkin mencapai prestasi gemilang seperti sekarang, karena prestasi
merupakan buah dari kesungguhan berlatih santri dan kesabaran pelatih.
Dengan membayar “sedikit”, santri DPL telah mendapatkan pendidikan yang
baik. Pendidikan yang menyediakan wahana pelatihan bagi beragam
kecerdasan dan keterampilan yang dimiliki santri dari berbagai provinsi di
Indonesia.
Dalam konstruksi resistensi identitas, DPL tidak hanya mencari pembeda
dari (differ from) dan bentuk perlawanan (oppose to), tetapi terjadi juga proses
pencarian legitimasi-legitimasi baru dalam penguatan identitas (Murtadho,
2017). DPL mengajarkan santri beragam keterampilan dan mengajak mereka
melihat dunia melalui kegiatan penguatan bahasa di Pare, pramuka dan studi
banding ke luar negeri, dan pertukaran pelajar ke Thailand.
F. PENUTUP
1. Simpulan
Madrasah Diniyyah Putri Lampung menyiapkan calon ibu pendidik
melalui sistem pendidikan asrama dan pendidikan madrasah. Sistem
pendidikan madrasah diniyyah berbasis kecerdasan jamak, yaitu siswi
dibekali beragam keterampilan sesuai minat dan bakat mereka, mulai dari
bahasa, muhadharah, memasak, hingga wirausaha. Ibu pendidik bisa berarti
beragam, mulai dari sebagai ibu bagi anak-anak, guru, pengajar majlis taklim,
dan daiyah. Apa pun profesi alumni diniyyah kelak harus peduli kepada
pendidikan agama lingkungannya. Keterampilan yang dipelajari di madrasah
supaya alumni tidak bergantung sepenuhnya dari profesi pendidik. Seorang
ibu harus cakap menghasilkan uang agar pekerjaan mendidiknya tidak
terganggu.
2. Rekomendasi
Setelah melakukan penelitian terhadap kekhususan madrasah ini, kami
memberikan saran, masukan dan rekomendasi kepada:
A. Kepada yayasan dan madrasah agar mempertahankan kekhasan dan
keunggulan program, memperbaiki layout (tata letak) Majalah TUNAS,
menambah kuota pertukaran pelajar, menjajaki pengiriman siswi ke
perguruan tinggi luar negeri.
B. Pemerintah, khususnya pemda bandar lampung memperhatikan
pesantren dengan cara mengalokasikan anggaran dari dinas pendidikan
untuk pembinaan keterampilan (life skill).
C. Kementerian agama, dalam hal ini direktorat pendidikan diniyah dan
pondok pesantren (pd pontren) ditjen pendis mencermati pesantren yang
memiliki kekhususan. Dalam hal ini diniyyah putri lampung dalam
mendidik santri putri.
D. Puslitbang pendidikan agama dan keagamaan balitbang diklat kemenag
memperluas area riset hingga kabupaten. Jadi, tidak hanya di ibukota
provinsi saja. Pasalnya, bukan tidak mungkin madrasah atau pesantren
yang memiliki kekhususan sebagaimana di dpl ini masih banyak. Dengan
memperluas area atau jangkauan riset ini diharapkan banyak juga model
yang bisa direplikasi di madrasah atau pesantren lainnya.
Referensi
Bakar, Noor Rahamah Abu. Pendidikan dan Segregasi Pekerjaan Mengikut Gender. Akademika, 67, Januari, 2006. H. 53-75.
Department of Mental Health Who. (1999). Mental Health Promotion; Partners In Life Skills Educaion. Geneva: World Health Organization.
Gardner, H. (1998). Multiple Intelligences. New York: Basicbooks.
Gardner, H. (2011). The Theory Of Multiple Intelligences: As Psychology, As Education, As Social Science.
Gayatri, Fitri. 2008. Faktor dan Dampak Ketimpangan Pendidikan; Pendidikan dalam Kehidupan Perempuan. Skripsi. Prodi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian IPB.
Hanbury, C. (2008). The Life Skills Hanbook; An Active Learning Handbook for Working With Children and Young People. Www.Lifeskillshandbooks.Com. Diunduh Pada Mei 2014.
Jailani, M. Syahran, Teori Pendidikan Keluarga dan Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pendidikan Anak Usia Dini. Nadwa: Jurnal Pendidikan Islam, vol. 8, nomor 2, Oktober 2014. H. 245-260.
Khotimah, Khusnul. Diskriminasi Gender Terhadap Perempuan dalam Sektor Pekerjaan. Jurnal Studi Gender dan Anak, Volume 4, No. 1, Januari-Juni 2008. H. 158-180.
Khotimah, Khusnul. Urgensi Kurikulum Gender dalam Pendidikan. Insania, Vo. 13, September-Desember, 2008. H. 420-533.
Mawardi, Kholid. Madrasah Banat: Potret Pendidikan Anak Perempuan NU Masa Kolonial Belanda. Jurnal Studi Gender dan Anak, Volume 3, No. 2, Juli-Desember 2008. H. 239-254.
Murtadho, Muhamad. 2017. Madrasah dan Globalisasi Pendidikan. Puslitbang Penda Kemenag RI.
Natasha, Harum. Ketidakutamaan Gender Bidang Pendidikan: Faktor Penyebab, Dampak, dan Solusi. Marwah, Vol. XII, No. 1, Juni, 2013. H. 53-64.
Nurudin. 2017. Madrasah dan Otonomi Pendidikan; Analisis Kebijakan Pendidikan. Puslitbang Penda Kemenag RI.
Nuryoto, Sartini. Perbedaan Prestasi Akademik Antara Laki-Laki dan Perempuan. Jurnal Psikologi, No. 2, 1998. H. 16-24.
Pawitasari, Erma. Pendidikan Khusus Perempuan; Antara Kesetaraan Gender dan Islam. Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam, Vol. II, No. 2, November 2015, 249-272.
Razak, Ratna Roshida Abd., dan Hussain, Nik Haslinda Nik, Peranan Institusi Keluarga dalam Penjanaan Bangsa Bertamadun. Jurnal Kemanusiaan, bil. 9, Jun 2007. H. 73-82.
Sukaimi, Syafi’ah, Peran Orang Tua dalam Pembentukan Kepribadian Anak: Tinjauan Psikologi Perkembangan Islam. Marwah, vol. XII, No. 1 Juni Th. 2013. H. 81-90.
Towaf, Siti Malikhah. Peran Perempuan, Wawasan Gender dan Implikasinya Terhadap Pendidikan Di Pesantren. Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 15, Nomor 3, Oktober 2008. H. 140-149.
Veenema, S. And Gardner, H. Multimedia And Multiple Intelligences. The American Prospect, November-December, 1996.
Widodo, Wahyu. Analisis Situasi Pendidikan Berwawasan Gender di Provinsi Jawa Timur. Jurnal Humanity, Volume I, Nomor 2, Maret 2006. 122-128.
Zaduqisti, Esti. Stereotype Peran Gender bagi Pendidikan Anak. Muwazah, Vol. I, Januari-Juni, 2009. H. 73-82.
BAGIAN III
MANAJEMEN PERGURUAN TINGGI
PROBLEM DAN SOLUSI
PROGRAM PENGALAMAN LAPANGAN (PPL)
MAHASISWA LEMBAGA PENDIDIKAN TENAGA KEGURUAN (LPTK)
Pendahuluan ♦ Kompetensi Mahasiswa ♦ Komitmen Mahasiswa ♦ Kompetensi
Dosen Pembimbing ♦ Guru Pamong ♦ Karakter Siswa ♦ Lingkungan dan Fasilitas
Sekolah ♦ Kurikulum LPTK ♦ Respon Sekolah ♦ Solusi ♦ Penutup
A. PENDAHULUAN
Tidak mudah melahirkan calon guru kompeten. Selain faktor mutu
masukan mahasiswa LPTK, mutu proses pembelajaran teori dan praktik di
kampus dan PPL sangat penting bagi pembentukan calon guru kompeten.
Dalam perspektif kebijakan nasional, pemerintah telah merumuskan empat jenis
kompetensi guru, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Peraturan
Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, yaitu:
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional.
Menurut Musfah (2012: 27), “Kompetensi terkait dengan kemampuan
beradaptasi terhadap lingkungan kerja baru, di mana seseorang dapat
menjalankan tugasnya dengan baik berdasarkan kemampuan yang
dimilikinya.” Debling (1995: 80) menulis, “Competence is a broad concept which
embodies the ability to transfer skills and knowledge to new situations within the
occupational area”.
Kompetensi terkait erat dengan standar. Seseorang disebut kompeten
dalam bidangnya jika pengetahuan, keterampilan, dan sikapnya, serta hasil
kerjanya sesuai standar (ukuran) yang ditetapkan dan atau diakui oleh
lembaganya/ pemerintah. Wolf (1995: 40) menegaskan, “Competence is the ability
to perform: in this case, to perform at the standards expected of employees”.
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan dalam pengelolaan peserta
didik (BSNP, 2006: 88). Lang dan Evans (2006: 1) menulis tentang kriteria guru
efektif, adalah “Pembicara yang baik, yang memahami peserta didiknya,
menghargai perbedaan, dan menggunakan beragam variasi pengajaran dan
aktivitas. Kelas mereka menarik dan menantang serta penilaian dilakukan secara
adil, karena terdapat beragam cara yang dapat siswa tunjukkan terhadap apa
yang telah mereka pelajari”.
Horowitz, et al. (Darling-Hammond dan Bransford, 2005: 88) dalam
Educating Teachers for Developmentally Appropriate Practice, menjelaskan tentang
kriteria guru yang baik dan efektif: Guru yang baik memahami bahwa mengajar
bukan sekedar berbicara, dan belajar bukan sekedar mendengarkan. Guru yang
efektif mampu menunjukkan bukan hanya apa yang ingin mereka ajarkan,
namun juga bagaimana siswa dapat memahami dan menggunakan pengetahuan
dan keterampilan baru.
Kompetensi kepribadian, yaitu “Kemampuan kepribadian yang: (a)
mantap; (b) stabil; (c) dewasa; (d) arif dan bijaksana; (e) berwibawa; (f) berakhlak
mulia; (g) menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat; h) mengevaluasi
kinerja sendiri; dan (i) mengembangkan diri secara berkelanjutan,” (BSNP, 2006:
88). Menurut Musfah (2012: 43), “Esensi pembelajaran adalah perubahan
perilaku. Guru akan mampu mengubah perilaku peserta didik jika dirinya telah
menjadi manusia yang baik”.
Kompetensi sosial merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari
masyarakat untuk: (a) berkomunikasi lisan dan tulisan; (b) menggunakan
teknologi komunikasi dan informasi secara fungsional; (c) bergaul secara efektif
dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali
peserta didik; dan (d) bergaul secara santun dengan masyarakat sekitar, (BSNP,
2006: 88).
Seorang guru—sama seperti manusia lainnya—adalah makhluk sosial,
yang dalam hidupnya berdampingan dengan manusia lainnya. Guru
diharapkan memberikan contoh baik terhadap lingkungannya, dengan
menjalankan hak dan kewajibannya sebagai bagian dari masyarakat sekitarnya.
Guru harus berjiwa sosial tinggi, mudah bergaul, dan suka menolong, bukan
sebaliknya, yaitu individu yang tertutup dan tidak memerdulikan orang-orang
di sekitarnya (Musfah, 2012: 52).
Musfah menulis (2012: 54), “Tugas guru adalah mengajarkan pengetahuan
kepada murid. Guru tidak sekedar mengetahui materi-materi yang akan
diajarkannya, tetapi memahaminya secara luas dan mendalam. Oleh karena itu,
murid harus selalu belajar untuk memperdalam pengetahuannya terkait mata
pelajaran yang diampunya”.
Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang meliputi: (a) konsep, struktur,
dan metoda keilmuan/ teknologi/ seni yang menaungi/ koheren dengan materi
ajar; (b) materi ajar yang ada dalam kurikulum sekolah; (c) hubungan konsep
antar mata pelajaran terkait; (d) penerapan konsep-konsep keilmuan dalam
kehidupan sehari-hari; dan (e) kompetisi secara profesional dalam konteks
global dengan tetap melestarikan nilai dan budaya nasional (BSNP, 2006: 88).
Boix-Mansilla dan Gardner menjelaskan, “Seorang guru harus memahami
pengetahuan tentang ilmu, tujuan, metode, dan bentuk-bentuk materi yang
diajarkannya,” (Darling-Hammond dan Bransford, 2005: 387).
Kurikulum LPTK disusun untuk melahirkan calon guru yang minimal
memiliki empat kompetensi tersebut. Meski modelnya beragam, setiap LPTK
mewajibkan mahasiswa melakukan PPL, yaitu praktik mengajar di sekolah. PPL
dilakukan di akhir semester, dengan asumsi mereka sudah menguasai teori
mengajar dan sudah lulus matakuliah mikro-teaching.
PPL keguruan adalah satu cara yang harus ditempuh oleh mahasiswa
calon guru agar menjadi guru profesional. Model PPL di setiap LPTK sangat
beragam, baik dari sisi lama waktu maupun ruang lingkup PPL. Dari segi waktu
ada yang empat bulan di sekolah dan ada juga yang dua bulan. Sedangkan dari
segi ruang lingkup, ada yang hanya memfokuskan mahasiswa pada pengajaran
di kelas, dan ada pula yang selain pengajaran, juga pengadministrasian (tata
usaha) dan penelitian, seperti di FITK UIN Jakarta dengan nama Praktik Profesi
Keguruan Terpadu (PPKT). Di FITK UIN Yogyakarta, keterampilan dalam
proses pembelajaran diberikan dalam mata kuliah keahlian PPL yang meliputi
PPL I dan PPL-KKN Integratif. Inti dari PPL adalah kompetensi mahasiswa
dalam membuat perangkat pembelajaran dan praktik mengajar di kelas.
Kelulusan mahasiswa dalam PPL yang hampir atau bahkan 100 persen
(Solihatun, 2012; Ilmi, 2013), belum tentu menunjukkan kompetensi mengajar
mahasiswa sudah bagus. Efektivitas PPL tidak bisa hanya dilihat dari nilai akhir
atau jumlah lulusan, tetapi bagaimana proses PPL di setiap sekolah. Kelulusan
mahasiswa PPL sering bukan karena kompetensi mengajar mahasiswa sudah
bagus, tetapi karena kebijakan guru pamong dan dosen pembimbing. Standar
kelulusan ada di guru pamong dan dosen pembimbing yang harus objektif,
meski kadang subjektif.
Sebagai calon guru, mahasiswa dituntut menguasai keterampilan membuat
analisis SK-KD, Silabus, RPP, dan KKM. Kecuali memerlukan penguasaan teori,
perangkat pembelajaran tersebut bisa dikuasai mahasiswa setelah latihan 2
hingga 3 kali, dan dilatih oleh dosen yang ahli.
Efektifitas PPL sangat ditentukan oleh faktor mahasiswa, dosen
pembimbing, guru pamong, karakter siswa, dan fasilitas sekolah (Solihatun,
2012). Mutu Prodi dan pengajaran di kampus mahasiswa juga sangat
berpengaruh—secara tidak langsung—terhadap efektivitas PPL.
Dari hasil beberapa penelitian tentang PPL, dan pengalaman penulis
sebagai dosen pembimbing PPL, berikut dijelaskan problem-problem PPL yang
perlu mendapat perhatian LPTK.
B. KOMPETENSI MAHASISWA
Kompetensi mahasiswa sebelum datang ke sekolah sangat berpengaruh
terhadap performanya menyusun perangkat pembelajaran dan mengajar di
kelas. Sebelum ke sekolah, mahasiswa sudah memiliki kompetensi mengajar
yang diperolehnya selama belajar di fakultas keguruan. Hal ini sangat
tergantung pada mutu fakultas dan Prodi, di samping kecerdasan mahasiswa
sendiri. Meski kuliah di satu fakultas yang sama, kompetensi setiap mahasiswa
pasti berbeda-beda.
Penelitian Solihatun (2012) dan Sukoco (2013) menyimpulkan, mahasiswa
kurang menguasai materi pembelajaran sesuai dengan silabus. Menurut Tim
Revisi PPKT (2010: 2), “Rendahnya kompetensi profesional mahasiswa FITK
menunjukkan kurangnya bekal pengalaman yang diberikan kepada mereka.”
Sedangkan penelitian Huda (2011) menyebutkan, “Metode pengajaran
yang digunakan dalam PPL tidak active learning. Minimnya pengalaman atau
jam terbang mahasiswa dalam kegiatan pembelajaran, sehingga mereka belum
terbiasa menghadapi masalah-masalah terkait dengan praktik pembelajaran”.
Hasil penelitian Sukoco (2013) menunjukkan kompetensi profesional guru
PPL paling rendah dibanding tiga kompetensi lainnya. “Persepsi siswa terhadap
kompetensi guru PPL Pendidikan Jasmani untuk aspek pedagogik adalah 77%,
kepribadian 81%, sosial 69%, profesional 60%. Kompetensi guru PPL Penjaskes
di SMPN 5 Malang untuk aspek pedagogik adalah 69%, kepribadian 74%, sosial
66%, profesional 57%. SMPN 9 Malang untuk aspek pedagogik adalah 83%,
kepribadian 84%, sosial 74%, profesional 67%. SMPN 19 Malang untuk aspek
pedagogik adalah 78%, kepribadian 83%, sosial 66%, profesional 57%. SMPN 5,
SMPN 9, SMPN 19 untuk aspek pedagogik adalah 70%, 83%, 78%, kepribadian
74%, 84%, 83%, sosial 57%, 64%, 57%, profesional 49%, 57%, 49%”.
Yang menarik adalah hasil penelitian Izzah (2009) bahwa, “Sebagian
mahasiswa pendidikan Matematika sudah mampu membuka pelajaran dengan
baik, akan tetapi aspek yang paling essensial dalam kegiatan awal, yaitu
menyampaikan tujuan pembelajaran hanya dilakukan seorang responden saja.
Oleh karena itu mahasiswa belum mampu mengawali kegiatan pembelajaran
dengan baik. b) Kegiatan Inti. Semua mahasiswa dapat menerapkan
keterampilan bertanya, keterampilan memberi penguatan, dan keterampilan
pengelolaan kelas pada kegiatan inti selama pembelajaran berlangsung. c)
Kegiatan Akhir/ Penutup. Sebagian mahasiswa sudah mampu menutup
pelajaran dengan baik dengan penyusunan rangkuman materi bersama
merangkum dan melakukan tindak lanjut kepada siswa. Sebagian mahasiswa
sudah mampu melaksanakan penilaian berupa tes kecil/ kuis, portofolio untuk
mengukur aspek afektif dan psikomotor berupa LKS, dan buku latihan siswa.
pelaksanaan penilaian yang dilakukan belum kontinyu secara konsisten,
sistematik, dan terprogram, karena waktu yang diberikan dalam pelaksanaan
PPL terbatas”.
Sementara penelitian Maharani (2006) menunjukkan bahwa kinerja PPL
Pendidikan Jasmani semester ganjil tahun 2006-2007 Mahasiswa Jurusan Ilmu
Keolahragaan Universitas Negeri Malang dalam proses belajar mengajar sudah
baik, hanya kekurangannya pada proses pembelajaran pada tahap penutup
yang masuk dalam kategori cukup.
Sedikit mahasiswa yang siap dikirim ke sekolah yang bagus karena merasa
kompetensinya lemah, misalnya dalam Bahasa Inggris. Mereka lebih siap
dikirim ke sekolah yang mutunya sedang.
Dari penjelasan di atas, disimpulkan bahwa kelemahan mahasiswa PPL
adalah sebagai berikut: penguasaan materi, metode, media, membuka, dan
menutup pelajaran.
C. KOMITMEN MAHASISWA
Beberapa mahasiswa tidak memanfaatkan PPL untuk belajar kepada
guru-guru di sekolah. Mereka pasif di sekolah; hanya menunggu perintah guru
pamong. Mahasiswa aktif adalah mereka yang selalu bertanya dan menjadikan
guru sebagai sumber ilmu tentang pembelajaran, baik teori maupun praktik.
Kehadiran mahasiswa di sekolah sesuai jadwal merupakan bukti komitmen
mereka terhadap PPL. Sedikit mahasiswa sering mencari alasan untuk
meninggalkan sekolah.
D. KOMPETENSI DOSEN PEMBIMBING
Kompetensi dosen pembimbing berpengaruh terhadap efektivitas PPL
(Khumaidi, 2012), namun intensitas bimbingan dan kunjungan ke sekolah
masing-masing dosen sangat beragam. Kendalanya sering bukan pada seberapa
baik kompetensi dosen, tetapi minimnya waktu bimbingan dan kunjungan
dosen ke sekolah. Komitmen dosen untuk melakukan bimbingan terhadap
mahasiswa PPL harus ditingkatkan.
E. GURU PAMONG
Peran guru pamong sangat penting dalam sukses PPL (Khumaidi, 2012).
Guru pamong adalah guru yang ditugaskan oleh sekolah untuk membimbing
mahasiswa selama PPL di sekolah agar mahasiswa menguasai perangkat
pembelajaran dan siap mengajar di kelas. Komunikasi antar keduanya sangat
penting agar tujuan dimaksud bisa tercapai dengan baik. Sebagai guru senior
diharapkan mereka bisa menyampaikan pengalaman mengajar kepada
mahasiswa, mulai dari penyusunan perangkat pembelajaran hingga praktik
mengajar di kelas. Hal ini penting karena mahasiswa hanya mengenal teori
(sedikit praktik) di kampus. Praktik pengajaran di sekolah sering lebih rumit
dan kompleks daripada sekedar membaca teori dan diskusi di ruang kuliah.
Masalahnya, tidak semua guru pamong merespon dengan sangat baik terhadap
program PPL. Ada guru yang merasa terbantu, tapi juga ada yang merasa
terbebani.
F. KARAKTER SISWA
Motivasi belajar siswa sangat dipengaruhi oleh siapa yang mengajar
mereka di kelas. Mereka antusias belajar saat diajar oleh guru tetapi malas dan
tidak serius saat diajar oleh praktikan (mahasiswa yang sedang PPL). Tidak
semua mahasiswa mampu menghadapi situasi semacam ini dengan baik.
Karakter siswa di setiap sekolah berbeda-beda. Mahasiswa kesulitan
menghadapi karakter siswa yang tidak menghargai mahasiwa PPL. Namun
banyak juga siswa yang menerima dengan baik dan antusias kehadiran
mahasiswa PPL. Hasil penelitian Huda (2011) menyimpulkan, “Kurangnya
penghormatan atau rasa hormat siswa kepada mahasiswa praktikan selama
praktikan melaksanakan praktik pembelajaran, menyepelekan mata pelajaran
ketika proses belajar-mengajar, dan tidur ketika proses kegiatan belajar-
mengajar berlangsung.”
G. LINGKUNGAN DAN FASILITAS SEKOLAH
Tidak semua sekolah tempat mahasiswa PPL merupakan sekolah yang
bagus. Bahkan hanya sedikit yang bagus, sisanya adalah sekolah-sekolah yang
biasa. Artinya mayoritas mahasiswa praktik mengajar di sekolah-sekolah yang
kualitasnya sedang bahkan buruk. Misalnya, fasilitas sekolah sangat minim,
sehingga kegiatan dan kenyamanan mahasiswa terganggu. Perpustakaan, ruang
kelas, infokus, dan ruangan khusus untuk mahasiswa adalah fasilitas sekolah
dengan mutu yang baik.
H. KURIKULUM LPTK
Kurikulum LPTK seharusnya tidak hanya menekankan teori pendidikan
tetapi juga kaya dengan praktik (Safita, 2012), seperti analisis SK-KD,
penyusunan Silabus, RPP, dan KKM. Mata kuliah Media Pembelajaran harus
lebih dominan praktik daripada teori. Mikro-teaching harus bagus, dalam arti
ruangan mikro-teaching memiliki fasilitas yang standar dan canggih.
Mikro-teaching adalah kegiatan perkuliahan praktik mengajar kelas kecil
yang bertujuan sebagai ajang latihan mengajar bagi mahasiswa calon guru
sebelum betul-betul terjun di sekolah tempat mahasiswa melakukan praktik
mengajar. Mahasiswa yang baik dalam mikro-teaching lebih terampil dalam
PPL daripada yang tidak mengikuti mikro-teaching; mahasiswa yang
memperoleh nilai tinggi dalam mikroteaching maka memperoleh nilai yang
tinggi pula dalam PPL. Namun, berdasarkan hasil penelitian (Riyadi, 2006),
tidak terdapat korelasi yang signifikan antara kegiatan mikro-teaching dengan
keberhasilan praktik mengajar mahasiswa jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan.
Kecuali Mikro-teaching, LPTK juga harus memberikan praktik
pembelajaran menggunakan beragam pendekatan dan metode, seperti
pembelajaran berbasis lesson study. Lesson study merupakan model pembinaan
profesi pendidik melalui pengkajian pembelajaran secara kolaboratif dan
berkesinambungan berlandaskan prinsip-prinsip kolegilitas dan mutual learning
untuk membangun komunitas belajar (Susilo, dalam Rokhmawati, 2011).
LPTK juga bisa mengadakan program asistensi dalam menyiapkan
mahasiswa melaksanakan PPL seperti yang dilakukan di Fakultas Teknik
Universitas Negeri Malang (UNM). Hasil penelitian Arsan (2007) menunjukkan
bahwa Efektivitas Program Asistensi dalam Menyiapkan Mahasiswa
Melaksanakan PPL Program Studi Pendidikan Teknik Mesin UNM dalam
penyusunan program pembelajaran dikategorikan efektif karena dilihat dari
kategori efektif sebesar (64,648%) dan cukup efektif (31,817%), dalam
pelaksanaan kegiatan pembelajaran dikategorikan efektif karena dilihat dari
kategori efektif (48,093%) dan kategori cukup efektif (41,349%), sedangkan
dalam evaluasi proses dan hasil pembelajaran dikategorikan efektif karena
dilihat dari kategori efektif (56,644%) dan kategori cukup efektif (37,374%).
Berdasarkan hasil penelitian dapat disarankan bahwa: dosen matakuliah
kependidikan hendaknya lebih meningkatkan kualitas pembelajaran dan
pembelajaran terhadap mahasiswa.
I. RESPON SEKOLAH
Kehadiran mahasiswa PPL di sekolah tidak selalu mendapat respon yang
positif. Umumnya sekolah menerima dengan baik program PPL, dan sedikit
yang keberatan. Respon sekolah terhadap PPL sangat beragam, seperti:
menerima mahasiswa pada setiap semester (ganjil dan genap), hanya menerima
pada satu semester (genap atau ganjil), atau menolak dengan tegas.
Dari penjelasan sebelumnya, disimpulkan problem PPL pada tabel 1 berikut.
Tabel 1
Problem Internal dan Eksternal Efektivitas PPL
Problem internal 1) Komitmen mahasiswa, 2) kompetensi mahasiswa
[membuka dan menutup pembelajaran, metode, materi,
dan media]
Problem
eksternal
3) Dosen pembimbing, 4) guru pamong, 5) karakter siswa
[kurang rasa hormat, menyepelekan matapelajaran], 6)
mutu sekolah (lingkungan dan fasilitas sekolah), 7)
kurikulum LPTK
J. SOLUSI
Solusi dari 7 problem tersebut yaitu: Pertama, komitmen mahasiswa. Dosen
pembimbing dan guru pamong harus memantau mahasiswa selama PPL.
Mereka harus memiliki buku catatan perkembangan mahasiswa. Jika ditemukan
mahasiswa yang komitmennya lemah, mereka harus segera menanganinya.
Arahan yang tepat dari dosen dan guru akan membangkitkan motivasi
mahasiswa.
Kedua, kompetensi mahasiswa. LPTK harus segera mereview dan
mengevaluasi kinerja dosen. Hasil review dan evaluasi harus ditindaklanjuti
dengan kegiatan perbaikan, seperti pelatihan dosen dan penyediaan fasilitas
belajar yang unggul, misalnya perpustakaan dan laboratorium micro-teaching.
Ketiga, dosen pembimbing dan guru pamong. Guru dan dosen perlu
dievaluasi dengan melakukan rapat evaluasi di saat PPL berlangsung—bukan
setelah PPL selesai. Tujuan rapat tersebut terutama menegaskan komitmen
dosen dan guru dalam mendampingi dan membimbing mahasiswa.
Keempat, karakter siswa. Tanggung jawab kepala sekolah dan guru adalah
menjelaskan kepada murid bahwa mereka harus respek terhadap praktikan dan
mengikuti belajar-mengajar dengan baik.
Kelima, mutu sekolah. Kriteria sekolah untuk PPL harus yang bagus,
sehingga praktikan banyak belajar dari sekolah dan guru-guru. Mahasiswa tidak
hanya praktik mengajar, tetapi belajar banyak hal dari guru, staf, murid,
lingkungan, dan budaya sekolah.
Kecuali mengatasi problem-problem PPL, LPTK harus mengubah sistem
seleksi calon mahasiswa. Misalnya, melakukan wawancara mendalam untuk
menggali minat dan kompetensi mereka terkait profesi guru. Di FITK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta misalnya, tidak ada seleksi melalui wawancara. Mencetak
guru professional tidak cukup dengan PPL dan kuliah di kelas 7 semester, tetapi
bagaimana mutu masukan mahasiswa LPTK. Tabel 2 menggambarkan konsep
pengembangan calon guru professional.
Akhirnya, PPL sendiri tidak akan berpengaruh signifikan dalam
membentuk calon guru profesional. Guru professional akan lahir dari input
mahasiswa yang selektif dari aspek minat, kemampuan akademik, dan
tersedianya beasiswa. Kurikulum LPTK seharusnya tidak hanya terkait
pembelajaran, tetapi juga penguatan Bahasa asing, menulis, dan meneliti. Ini
agar alumni bisa diterima di sekolah yang unggul.
Tabel 2
Kerangka Konsep Pengembangan Calon Guru Profesional
Input Proses Proses Output
1 → 2 → 3 → 4
LPTK:
SMA/MA
Proses seleksi:
minat menjadi
guru,
kemampuan
akademik (materi
dan Bahasa
asing), dan
beasiswa.
LPTK:
Teori dan praktik
MK Universitas
MK Fakultas
MK Prodi
Laboratorium micro-
teaching
Penguatan Bahasa
asing
Menulis
Meneliti.
Sekolah:
PPL
Komitmen
mahasiswa,
kompetensi
mahasiswa (materi,
metode, media), dosen
pembimbing, guru
pamong, karakter
siswa, dan mutu
sekolah (lingkungan
dan fasilitas).
Calon
guru
profesional
K. PENUTUP
Pelaksanaan PPL masih memerlukan perbaikan, mulai dari kurikulum
LPTK, dosen, guru, murid, hingga sekolah. Kerjasama LPTK dengan sekolah
tidak hanya sebatas pengiriman mahasiswa ke sekolah, tetapi menjawab
problem-problem PPL yang selama ini muncul. Efektivitas PPL sangat
tergantung pada kompetensi mahasiswa, komitmen guru pamong dan dosen
pembimbing, dan mutu sekolah. Kompetensi mahasiswa sangat tergantung
pada mutu masukan LPTK dan mutu proses pembelajaran di kampus.
Referensi
Arsan, H.W. (2007). “Efektivitas Program Asistensi dalam Menyiapkan Mahasiswa Melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Program Studi Pendidikan Teknik Mesin Universitas Negeri Malang.” Skripsi. Jurusan Pendidikan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Negeri Malang.
Darling-Hammond, L. dan Bransford, J. (Eds). (2005). Preparing Teacher for A Changing World: What Teacher Should Learn and Be Able To Do. San Francisco: Jossey-Bass.
Debling, G. “The Employment Department/Training Agency Standards Program and NVQs: Implications for Education”, dalam Burke, J.W. (Ed.). (1995). Competency Based Education and Training. London-New York-Philadelphia: The Falmer Press. H. 77-94.
Horowitz, et al. “Educating Teachers for Developmentally Appropriate Practice,” dalam Darling-Hammond, L. dan Bransford, J. (Eds). (2005). Preparing Teacher for A Changing World: What Teacher Should Learn and Be Able To Do. San Francisco: Jossey-Bass. H. 88-125.
Huda, S. (2011). “Problematika Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Jurusan PBA dalam Praktik Pembelajaran Bahasa Arab di MAN Yogyakarta I Tahun Ajaran 2009-2010.” Skripsi. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Ilmi, H. (2013). “Efektifitas PPL-KKN Integratif dalam Pembentukan Calon Guru bahasa Arab Profesional di MTsN Piyungan Bantul Yogyakarta.” Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga.
Izzah, N. (2009). “Analisis Kemampuan Mengajar Mahasiswa Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret pada Pelaksanaan Program Pengalaman Lapangan (PPL) Tahun Akademik 2009/2010.” Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Khumaidi, A. (2012). “Pengaruh Peran Dosen Pembimbing Lapangan dan Peran Guru Pamong Terhadap Prestasi Mahasiswa PPL (Studi Kasus Pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang Angkatan 2008).” Skripsi. Jurusan Pendidikan Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Malang.
Lang, H.R. dan Evans, D.N. (2006). Models, Strategies, and Methods for Effective Teaching. USA: Pearson Education.
Maharani, D.A. (2006). “Kinerja guru PPL Pendidikan Jasmani Semester Ganjil Tahun 2006-2007Mahasiswa Jurusan Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Malang.” Skripsi. Jurusan Ilmu Keolahragaan Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Malang.
Musfah, J. (2012). Peningkatan Kompetensi Guru Melalui Pelatihan dan Sumber Belajar. Jakarta: Prenada. Cetakan Kedua.
Nugraha, S.A. (2013). “Penguasaan Kompetensi Pedagogik Mahasiswa Calon Guru Dalam Pelaksanaan Program Pengalaman Lapangan (PPL) : Studi Deskriptif pada Mahasiswa Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Konsentrasi Pendidikan Guru TIK.” Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia.
Riyadi, S. (2006). “Studi korelasi antara kegiatan mikroteaching dengan keberhasilan praktik mengajar (PPL) Mahasiswa Jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan.” Skripsi. STAIN Pekalongan.
Rokhmawati, A. (2011). “Implementasi Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) Berbasis Lesson Study untuk Meningkatkan Keterampilan Mahasiswa Pendidikan Biologi FMIPA UM dalam Memanfaatkan Media Pembelajaran dan Hasil Belajar Biologi Siswa SMA Negeri 9 Malang.” Skripsi. Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan Biologi, Universitas Negeri Malang.
Safita, R. Pelatihan Keterampilan Mengembangan Media Pembelajaran Biologi oleh Mahasiswa Tadris Biologi Fakultas Tarbiyah IAIN STS Jambi (Studi Kasus Mata Kuliah Media Pembelajaran Biologi) - http://www.iainjambi.ac.id/e-journal - Vol 3 2012 .
Solihatun, S. (2012). “Profesionalitas Mahasiswa dalam Pelaksanaan PPL Jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan Angkatan 2007.” Skripsi. STAIN Pekalongan.
Tim Revisi Panduan PPKT. (2010). Panduan Praktik Profesi Keguruan Terpadu (PPTK). Jakarta: Laboratorium Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Cet. 3.
Wolf, A. “Can Competence and Knowledge Mix?”, dalam Burke, J.W. (Ed.). (1995). Competency Based Education and Training. London-New York-Philadelphia: The Falmer Press. H. 39-53.
PENELITIAN ILMIAH
(Studi Kasus Dosen Magister PAI FITK UIN Jakarta)
Pendahuluan ♦ Pembahasan (Agenda Penelitian; Pelaksanaan dan Manajemen
Penelitian; Kode Etik dan Metode Penelitian; Pendanaan Penelitian; Sarana dan
Prasarana Pendukung Penelitian; Output dan Outcome Penelitian) ♦ Penutup
A. PENDAHULUAN
Penelitian ilmiah adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan
metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan
keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau
ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (UU Nomor 18 Tahun 2002).
Sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 18 Tahun 2002, PT merupakan
salah satu lembaga yang berfungsi membentuk sumber daya manusia, ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta bertanggung jawab meningkatkan
kemampuan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengembangan, serta
pengabdian pada masyarakat sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Selain karena diwajibkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
setidaknya ada tiga alasan mengapa dosen pada PT harus melakukan penelitian.
Dalam melaksanakan perkuliahan, dosen dapat mengajarkan materi yang
mereka kembangkan sendiri, hingga perkuliahan menjadi lebih menarik dan
bermakna. Dosen juga dapat melatih mahasiswa kemampuan pemecahan
masalah dan learning how to learn dengan fasih, karena mereka telah
mengalaminya. Selain itu, dosen dapat menumbuhkan keingintahuan dan
apresiasi mahasiswa terhadap ilmu pengetahuan, karena mereka tahu betapa
menariknya ilmu pengetahuan tersebut (Tim Depdiknas, 2008: 186).
Menurut data LPM UIN Jakarta, dari tahun 2008-2012, UIN Jakarta baru
menghasilkan 38 artikel yang dipublikasikan di jurnal nasional terakreditasi
DIKTI dan 84 artikel yang dipublikasikan di jurnal internasional. Angka ini
masih jauh dari target Renstra UIN untuk menghasilkan publikasi 100 artikel di
jurnal nasional terakreditasi dan 60 artikel di jurnal internasional pada tahun
2016 (Tim Puslitpen, 2015: 3). Diantara indikator PT kelas dunia adalah kuantitas
dan kualitas penelitian yang dilakukan dosen. Karena itu, PT harus mendesain
program yang mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas penelitian dosen,
sehingga bisa diakui secara nasional dan internasional.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah hasil penelitian dosen
pada rentang 2011, 2012, hingga 2013, sesuai data borang akreditasi. Minimnya
data yang ada di borang menunjukkan: dosen tidak melakukan penelitian, dan
dosen tidak melaporkan penelitiannya ke Prodi. Beberapa dosen menulis buku
dan makalah yang dipresentasikan dalam seminar nasional maupun
internasional.
B. PEMBAHASAN
Prodi Magister PAI FITK UIN Jakarta berdiri sejak 2011. Jumlah dosen
tetapnya adalah 12 (6 guru besar dan 6 doktor), dan dosen tidak tetap 4 (1 guru
besar dan 3 doktor). Penetapan dosen tetap dan tidak tetap tersebut, masih
tumpang tindih dengan dosen tetap S-1, baik Prodi PAI maupun Prodi lainnya.
Artinya, nama-nama dosen yang sama berada di Prodi S-2 PAI dan Prodi S-1
PAI, Manajemen Pendidikan, Pendidikan IPS, dan Bahasa Arab.
Dari sisi kuantitas, jumlah dosen PAI bergelar guru besar dan doktor
sesungguhnya sudah memadai, namun fakultas tidak mengelolanya dengan
baik. Kecuali itu, Ketua Prodi S-1 PAI khawatir kehilangan dosen berstatus guru
besar, karena akan memengaruhi penilaian Prodi pada saat akreditasi. Untuk
Prodi di luar PAI, seperti PBI dan PBA, pemisahan dosen tetap S-1 dan S-2
mengalami kendala karena secara kuantitas kurang.
Sub-judul berikut menggunakan komponen standar penelitian untuk
memotret kinerja penelitian yang dilakukan oleh dosen magister PAI
khususnya, dan dosen UIN Jakarta pada umumnya.
1. Agenda penelitian
Agenda penelitian berisi antara lain area penelitian yang akan digarap,
tujuan, dan dapat pula disertai dengan roadmap dan target capaiannya, yang
menjadi pemandu bagi unit-unit akademik yang melaksanakan penelitian,
yakni fakultas, jurusan, dan pusat, serta dosen di PT (Tim Depdiknas, 2008:
188).
a. Tema utama
Pada 2015, Pusat Penelitian dan Penerbitan LP2M UIN Jakarta
menetapkan beberapa tema, Agama dan Perubahan Masyarakat Dunia,
Kesehatan dan Kesejahteraan Masyarakat, Lingkungan, Energi, Bioteknologi, dan
Keberlanjutan Pembangunan, dan Teknologi, Informasi, dan Manajemen (Tim
Puslitpen, 2015: 3). Akan tetapi, tema tersebut tidak dijadikan rujukan
dosen saat menyusun proposal, dan LP2M tidak menjadikannya sebagai
aspek penilaian dalam menerima atau menolak proposal penelitian dosen.
Hal tersebut memungkinkan terjadinya pertama, pengulangan tema
atau topik penelitian yang dilakukan oleh dosen. Tidak pernah ada
evaluasi atau seleksi proposal yang fokus pada kemungkinan pengulangan
tema penelitian dengan penelitian sebelumnya. Kedua, hasil penelitian
dipublikasikan secara terpisah-pisah. Padahal, jika satu grand theme, bisa
saja dikumpulkan menjadi satu penerbitan khusus. Di magister PAI, tidak
pernah dilakukan roadmap area penelitian karena tidak pernah dimulai. Di
S-1 PAI pernah disepakati fokus penelitian tentang radikalisme, tetapi
tidak berjalan, karena dosen tidak siap dengan tema tersebut.
b. Tema terbaru
Dari sisi kebaruan tema, penelitian PAI tidak mengikuti topik-topik
yang sedang hangat di seputar PAI, seperti isu radikalisme yang dikaitkan
dengan guru agama atau materi dalam buku pelajaran PAI. Penelitian
yang mengangkat isu hangat dan menjadi perhatian publik diharapkan
memberikan perspektif, menemukan akar masalah, bahkan solusi terhadap
masalah-masalah yang terjadi di masyarakat. Lawrence Stehhouse
(Mockler, 2007: 92) menulis, “What seems to me most important is that research
becomes part of a community of critical discourse…”
c. Peran senat, LPM, Puslitpen, dan dosen
Agenda penelitian belum digarap serius oleh dosen-dosen Prodi—
termasuk PAI, juga di level fakultas dan universitas. Konsorsium dosen
Prodi yang diharapkan bisa melahirkan peta tema penelitian tidak
berfungsi dengan baik. Sangat sulit mengumpulkan dosen PAI dalam
sebuah forum diskusi dan workshop untuk pengembangan kurikulum,
isu-isu pendidikan, atau tema penelitian. Selain sibuk di luar kampus,
komitmen dosen sangat rendah dalam pengembangan keilmuan di
kampus.
Peran lembaga penjaminan mutu (LPM) dan lembaga penelitian
kampus (Puslitpen) serta senat universitas dianggap kurang karena hampir
tidak menyentuh hal ini. Karena itu, tema penelitian dosen berasal dari
masing-masing dosen Prodi, yang tidak terkait satu sama lainnya. Yang
menyatukan atau menyamakan tema kajian penelitian adalah kefakultasan
atau keprodian dosen, tidak pada membahas satu tema tertentu dengan
sudut pandang berbeda atau objek penelitian yang beragam.
2. Pelaksanaan dan manajemen penelitian
PT mengelola, mengkoordinasikan, memfasilitasi, memantau, dan
mengevaluasi kegiatan penelitian yang dilakukan oleh para dosennya (Tim
Depdiknas, 2008: 188). Jumlah minimal penelitian yang harus dilakukan oleh
dosen dalam kurun waktu tertentu, jenis penelitian seperti penelitian
individual atau kelompok, penelitian yang mono-disipliner atau yang multi-
disipliner (Tim Depdiknas, 2008: 188).
Aspek ini cukup bagus dikelola oleh Puslitpen, yaitu mengumpulkan
proposal, menyeleksi, menyediakan pendamping ahli, menyediakan buku
kontrol proses penelitian, dan menerbitkan hasil penelitian (dalam jumlah
terbatas). Pengumuman penerimaan proposal, hasil seleksi, dan informasi
lainnya disampaikan melalui website, pamplet, spanduk, baliho, dan surat
undangan tertulis yang disampaikan ke Prodi melalui fakultas.
a. Transparansi seleksi
Transparansi seleksi proposal penting agar dosen merasa nyaman dan
terdorong terlibat dalam penelitian. Ada dosen yang proposalnya tidak
pernah diterima di satu sisi, dan ada dosen yang diterima setiap tahun di
sisi lain. Hal ini menunjukkan pentingnya transparansi kriteria seleksi
proposal, juga konsistensi dalam pelaksanaannya.
b. Waktu sempit
Rentang waktu penelitian terlalu sempit, yaitu Mei hingga November,
karena menyesuaikan dengan ketersediaan dana di bagian keuangan
universitas. Menurut rencana, pada 2016, seleksi proposal akan dilakukan
pada Oktober dan November 2015. Dengan demikian, dosen memiliki
banyak waktu untuk melakukan penelitian. Waktu yang cukup
berpengaruh terhadap kualitas penelitian. Masalahnya, apakah sistem
keuangan memungkinkan ketersediaan dana di awal tahun? Belum
diketahui, apakah skema keuangan semacam ini bisa terlaksana.
c. Pelibatan mahasiswa
Tidak ada dosen yang melibatkan mahasiswa dalam penelitiannya.
Dalam ketentuan syarat penelitian pun (LP2M), tidak ada keharusan
melibatkan mahasiswa. Akan tetapi, dalam ketentuan akreditasi BAN PT,
ada ketentuan bahwa penelitian dosen yang baik melibatkan mahasiswa.
Hal ini terjadi karena logika keuangan tidak sesuai dengan logika
akademik. Kecuali itu, di Prodi PAI, belum terbiasa melibatkan mahasiswa
dalam penelitian dalam arti yang sesungguhnya. Artinya, pelibatan
mahasiswa terjadi tapi tidak intens alias ala kadarnya saja, seperti
pengetikan data, sehingga namanya tidak muncul sebagai tim (anggota)
peneliti.
d. Jenis penelitian
Dosen terbiasa dengan penelitian individu dan kelompok, juga mono-
disipliner, tetapi tidak terbiasa dengan penelitian multi-disipliner.
Kendalanya adalah komunikasi antar dosen, kenyamanan, dan tidak
terbiasa. Masalah dalam penelitian kelompok dan mono-disipliner adalah
ketika kemampuan para peneliti sangat berbeda tajam, dan kontribusi
kinerja mereka sangat tidak berimbang. Masalah pertama mengakibatkan
tidak adanya diskusi yang bagus antar mereka terkait penelitian.
Sedangkan masalah kedua menyebabkan hasil penelitian tidak maksimal
dan tidak bagus.
3. Kode etik dan metode penelitian
Penyelenggaraan penelitian yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa
benar-benar berjalan sesuai dengan kode etik dan metode penelitian. Ketaatan
peneliti terhadap kode etik penelitian sangat penting oleh karena hal ini
wujud dari integritas ilmiah peneliti dan PT. Kemudian, agar setiap penelitian
terjamin validitasnya, maka harus dilakukan dengan menggunakan metode
penelitian sesuai dengan kaidah masing-masing disiplin ilmu (Tim
Depdiknas, 2008: 188-189).
a. Plagiasi
Menurut Murray (2002: 122), “There is no grey area: if you use someone
else’s writing, word-for-word in your own text, then that is plagiarism, whether
you reference the writer or not.” Pada 2015 ini, plagiasi dilakukan oleh dosen
(bukan PAI) dengan cara mengajukan proposal penelitian dari skripsi
mahasiswa. Plagiasi diketahui karena masih ada kata-kata yang terkait
langsung maupun tak langsung dengan skripsi (kasat mata), sehingga bisa
langsung diambil kesimpulan. Akan tetapi, plagiasi yang terkait dengan
pengambilan paragraf atau tulisan orang lain tanpa mencantumkan
sumber sepertinya belum bisa dilakukan oleh Puslitpen maupun oleh tim
penilai proposal. Di samping akan memakan waktu, penelurusan plagiasi
seperti ini juga membutuhkan keterampilan, ketekunan, bahkan mungkin
alat tertentu.
Tidak ada sanksi lain yang diberikan oleh universitas kepada dosen-
dosen tersebut, kecuali penolakan proposal. Sebelum 2015, tidak pernah
terungkap apakah ada plagiasi dalam proposal penelitian dosen. Idealnya,
deteksi plagiasi bukan saja pada proposal penelitian, tetapi juga pada hasil
laporan penelitian. Mengharapkan dosen sadar sendiri untuk tidak
melakukan plagiasi bukanlah cara yang tepat.
Idealnya, salah satu di antara senat, LPM, dan Puslitpen, atau
gabungan unsur ketiganya, ada komite etik. Gorman (2007: 23) menulis, “If
we accept that good research benefits society, then it follows that the work of ethics
committees also benefits society and researchers.” Di antara tugas komite etik
adalah mencegah dan meminimalisir plagiasi di kalangan dosen. Di
universitas dan fakultas, tidak ada komite etik, atau lembaga yang
berfungsi khusus menangani etika penelitian.
b. Metode
Menurut Denscombe (2007: 3), “Approaches are selected because they
are appropriate for specific types of investigation and specific kinds of
problems. ‘Strategic’ decisions aim at putting the social researcher in the
best possible position to gain the best outcome from the research.”
Penelitian dosen PAI menggunakan pendekatan kualitatif, hampir
tidak ada yang kuantitatif. Jenis penelitiannya adalah penelitian pustaka,
studi kasus, dan tidak ada yang eksperimen. Hal ini terjadi karena jenis
penelitian eksperimen membutuhkan dana besar, waktu panjang, dan
kemampuan yang memadai. Dari sisi kemampuan metodologi, dosen PAI
lebih banyak menggunakan kualitatif daripada kuantitatif. Akan tetapi,
menilai apakah prosedur kualitatifnya dijalankan secara baik dan
sungguh-sungguh membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Penelitian yang bagus setidaknya memiliki tiga indikator. 1. That the
research was technically good; 2. that the research made a contribution to
knowledge; 3. That the research achieved something that mattered – either
universally, or specifically to the person giving the example (Yates, 2004: 16-17;
Denscombe, 2010: 197).
c. Pengaturan waktu
Di samping kompetensi, komitmen dosen sangat penting dalam
melakukan penelitian. Ketika ia menerima dana hibah penelitian, mulai
saat itu ia harus mengatur waktu sedemikian rupa antara meneliti,
mengajar, membimbing karya ilmiah, dan mengabdi kepada masyarakat.
Pengaturan waktu yang tepat akan berpengaruh terhadap kualitas proses
menyusun instrumen, pengambilan data, penulisan, penyajian data, dan
penyelesaian penelitian.
Meski dosen PAI bisa menyelesaikan penelitian sesuai waktu yang
ditentukan, tetapi kualitas penelitiannya masih bisa dipertanyakan. Di
level universitas, pada 2014, terdapat dosen tidak dapat menyelesaikan
penelitiannya hingga batas waktu yang ditentukan, sehingga harus
mengembalikan uang. Dosen tidak fokus pada penelitian, karena tugas
lainnya seperti mengajar dan mengabdi kepada masyarakat.
Gorman (2007: 10) menulis, “Similarly, when researchers take the easy way
of blaming ethics committees for delays to their own research rather than accepting
responsibility or attempting to engage in dialogue, they miss an opportunity for
improving their own research and assuring society that they seriously their
obligation to act ethically.”
Dosen harus menyelesaikan penelitian tepat waktu dan melahirkan
penelitian yang bagus, “Even when researchers are privately funded, they are
still required to abide by societal expectations and legislative requirements,”
(Gorman, 2007: 11). Menurut Doyle (2007: 85), “…, but the only problems
identified for the researchers were dilemmas in acquiring data and the danger that
the research could not be completed.”
Dosen dengan tugas tambahan semisal Dekan, Wadek, Kaprodi, atau
Sekprodi mengalami kesulitan tersendiri dalam pengaturan waktu untuk
menulis, karena sebagian besar waktunya digunakan untuk melayani
dosen dan mahasiswa, serta tugas-tugas administratif lainnya. Meski
kompetensinya dalam penelitian tidak bisa diragukan misalnya, dosen
dengan jabatan di kampus tidak maksimal dalam proses dan hasil
penelitian.
Keterlibatan penuh dosen dalam proses penelitian sangat penting
sebagaimana dinyatakan Doyle (2007: 85) berikut ini. “Because research is a
process and not simply a product, such as a report or a text that forms a
dissertation, the research process can, and probably should, give the researchers the
opportunity to reflect on their practice and improve it as well as present the
opportunity to generate and share new knowledge—ends that are worth working
towards.” Komitmen peneliti juga sangat penting seperti dijelaskan Doyle
(2007: 85) berikut ini. “A lot of time, effort and commitment are needed for
practicing teachers to succcesfully complete a … master’s or doctorate, so the
threat to that success cannot be underestimated given the rigours faced in
completing.”
4. Pendanaan penelitian
Seberapa serius PT dalam melaksanakan dharma penelitiannya tampak
dari besarnya anggaran yang dialokasikan oleh PT tersebut untuk kegiatan
penelitiannya (Tim Depdiknas, 2008: 189). Pendanaan mencakup aturan,
dan/atau prosedur pengajuan dana atau anggaran penelitian, pencairan
dana, penggunaan serta pelaporan penggunaan dana penelitian. Hal ini
berlaku sekalipun dana penelitian berasal dari sumber internal PT itu sendiri,
sebab tanpa adanya standar yang mengatur tentang hal-hal yang sifatnya
administratif keuangan ini, maka bukan mustahil justru akan membuat
kegiatan penelitian tersendat-sendat (Tim Depdiknas, 2008: 189).
a. Kompetitif
Pendanaan penelitian di UIN Jakarta cukup bagus, meski tidak bisa
membiayai seluruh dosen. Hibah dana penelitian dilakukan kompetitif.
Pendanaan penelitian ditentukan berdasarkan jenis penelitian seperti
dalam tabel berikut. Sumber dana penelitian berasal dari BOPTN dan BLU
UIN Jakarta. Total alokasi dana penelitian pada tahun anggaran 2015
adalah Rp. 7.050.000.000; (terbilang: tujuh milyar lima puluh juta rupiah).
Tabel 1
Dana Penelitian Dosen Magister PAI
No Jenis penelitian Jumlah
peneliti Dana Jumlah
1 Dasar 1 – 3 10 Juta 315
2 Institusional 2 – 4 50 Juta 10
3 Berbasis publikasi nasional
terakreditasi 1 – 4 50 Juta 40
4 Berbasis publikasi internasional
2 – 5 100
Juta 10
5 Unggulan
2 – 5 200
Juta 2
Jumlah 377
Dosen PAI memperoleh dana penelitian dari Lemlit UIN Jakarta,
Kemendikbud, Kemenag, Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Agama RI, dan Eropa, yang disalurkan melalui Kemenag dan
Kemendikbud.
b. Kesenjangan pembiayaan
Dari tabel di atas, terlihat kesenjangan pembiayaan antara jenis
penelitian satu dengan lainnya. Untuk kasus dasar misalnya, meski
lingkup penelitiannya tidak seluas berbasis publikasi nasional
terakreditasi, mungkin bisa di angka Rp 25.000.000. Hal ini untuk
mendorong kualitas penelitian dasar, sehingga bisa ditargetkan juga untuk
publikasi nasional terakreditasi.
c. Sistem pelaporan dana
Sejak 2014, terjadi perubahan sistem pelaporan dana penelitian dari
bersifat glondongan ke at cost. Sistem sebelumnya tidak merepotkan dosen
dengan urusan administrasi pengeluaran dana, untuk apa, siapa, dan
berapa, serta apa buktinya. Sistem kedua, selain dosen bertanggung jawab
terhadap proses dan hasil penelitian, ia juga diminta mengumpulkan
dokumen bukti-bukti pengeluaran dana penelitian.
Pada sistem pertama, ada fleksibilitas penggunaan dana, sedangkan
pada sistem kedua, alokasi besaran persentase dana sudah ditentukan oleh
pemberi dana. Bagi sebagian dosen, sistem kedua dinilai memberatkan,
karena sudah terbiasa dengan sistem yang pertama. Seiring waktu, dosen
akan beradaptasi dan terampil dalam pelaporan keuangan sistem at cost.
5. Sarana dan prasarana pendukung penelitian
Pelaksanaan penelitian perlu didukung oleh sarana dan prasarana yang
memadai, seperti perpustakaan (buku referensi dan jurnal ilmiah) dan
laboratorium (akses internet) (Tim Depdiknas, 2008: 189).
UIN Jakarta memiliki perpustakaan Prodi, perpustakaan fakultas, dan
perpustakaan utama. Jumlah koleksi buku perpustakaan fakultas sebanyak
6.151 judul buku, dengan 17.771 eksemplar buku dalam berbagai Bahasa,
yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Bahasa Arab. Layanan
perpustakaan dimulai pukul 08.00 s.d 18.00 WIB. Selain sarana buku yang
tersedia, di Perpustakaan Fakultas juga disediakan sarana multimedia dan
jaringan internet untuk mengakses jurnal-jurnal nasional dan internasional
yang tersedia secara gratis.
Di masing-masing Prodi juga ada perpustakaan. Perpustakaan Utama
dikelola oleh universitas dengan jumlah buku 44.594 eksemplar/koleksi buku
dan koleksi non buku sebanyak 8.071 eksemplar dalam berbagai bahasa.
Fasilitas yang tersedia adalah: Ruang Baca, Internet, dan Corner: Saudi Arabia
Corner, Amarican Corner, Canadian Resource Center, dan Munawir corner.
Buku-buku yang ada di perpustakaan utama, fakultas, dan Prodi
merupakan koleksi lama. Jika memakai standar buku mutakhir seperti 10
tahun ke belakang (2015), maka sangat sedikit yang memenuhi kriteria
tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan dosen terhadap sumber e-journal dan e-
books, universitas berlangganan e-journal seperti: Gale (Cengage Learning),
Springer, DOAJ (Directory of Open Access Journals), Wolters Kluwer Health,
J Stor, dan Cambridge University Press.
a. Teknologi
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, merambah dunia
buku dan jurnal, dari buku ke e-books dan dari jurnal ke e-journal. Jika buku
cetak di perpustakaan sudah tidak memadai, maka kehadiran e-books dan e-
journal yang sudah dilanggan oleh perpustakaan utama UIN Jakarta
merupakan solusi. Akan tetapi, jumlah dosen yang memanfaatkan e-journal
masih sedikit, sehingga dana yang dikeluarkan oleh universitas tidak
dimanfaatkan dengan maksimal oleh dosen maupun mahasiswa. Hal ini
terjadi karena lemahnya keingintahuan, budaya membaca, dan bahasa
asing dosen dan mahasiswa.
Menghadapi banyaknya sumber bacaan elektronik tersebut, dosen
dituntut mampu menggunakan dan memanfaatkannya dengan sebaik-
baiknya. Groundwater-Smith & Campbell (2007: 178) menulis, “Another
aspect of dealing with the digital world is its capacity to yield up information at
any time and in any place, providing of course that one has access to the
technology and the capacity to use it.”
b. Ruang menulis di kampus
Tidak ada ruang menulis yang memadai bagi dosen, baik di
perpustakaan maupun di Prodi. Sebagian besar dosen memilih menulis di
rumah mereka masing-masing. Perpustakaan lebih sering dikunjungi
mahasiswa, sedangkan dosen hampir tidak pernah karena tidak ada
fasilitas yang memadai. Keberadaan ruang menulis bagi dosen yang
sedang menulis bukan saja akan mendorong minat dosen ke perpustakaan,
tapi juga akan menumbuhkan minat baca dan menulis dosen. Pada
akhirnya, ruang menulis yang memadai akan memengaruhi kualitas hasil
penelitian dosen.
6. Ouput dan outcome penelitian
Output penelitian dapat berupa publikasi, prototipe, karya, paten
dan/atau HaKi; sedangkan outcome dapat berupa situasi, produk baru (yang
diindustrikan), penghargaan, atau implikasi kebijakan. Dampak penelitian
pada mutu pendidikan di PT yang bersangkutan juga merupakan isu penting.
Mutu output dan outcome penelitian yang diharapkan oleh PT dari para
dosennya tentunya perlu ditetapkan dan ditingkatkan dari waktu ke waktu
(Tim Depdiknas, 2008: 190).
a. Publikasi ilmiah
Mutu kuantitas dan kualitas output penelitian dosen PAI tidak bagus.
Sedikit sekali hasil penelitian dosen yang diterbitkan dalam jurnal nasional
terakreditasi. Sedikit juga karya dosen yang dijadikan rujukan oleh para
akademisi dalam bidangnya. Tidak ada hasil penelitian dosen PAI yang
diterbitkan di jurnal internasional.
Artikel yang dimuat di jurnal internasional harus memenuhi kriteria
penelitian yang bagus, di antaranya ada proof. Denscombe (2010: 2011-212)
menulis, “The notion of ‘proof’ has some distinct connotations when used by
social researchers. First, it refers to something that is achieved rather than
something that is ‘given’. ... Proof is always the product of enquiry. Second, proof
for social researchers cannot rely on the logic and rationale of an argument unless
this is corroborated by empirical evidence. Third, proof relies on evidence that has
some calculable qualities. Fourth, as far as social research is concerned, the idea of
proof presumes that evidence has been collected in a rigorous, systematic and
accountable fashion.” Menurut Denscombe (2010: 213), “Proof requires that the
ideas and explanations put forward by researchers need to be supported with
reference to empirical evidence.”
Belum ada data berapa hasil penelitian berbasis jurnal terakreditasi
dan internasional yang benar-benar sudah diterima dan/atau sudah terbit?
Jika dosen tidak mampu mempublikasikan penelitiannya di jurnal
terakreditasi atau internasional, padahal dana yang diberikan berbasis
publikasi, maka diperlukan langkah-langkah evaluasi untuk perbaikan.
Kelangkaan tersebut dikarenakan mutu artikel yang rendah, juga
minimnya jurnal terakreditasi di Indonesia dalam bidang PAI. Kecuali itu,
dosen tidak terbiasa dan terampil menulis dalam bahasa asing, seperti
Arab dan Inggris. Mayoritas dosen tidak mengetahui prosedur pengajuan
artikel ilmiah ke jurnal internasional karena tidak memiliki pengalaman
alias tidak pernah mengajukan artikelnya.
Langkanya jurnal terakreditasi di Indonesia mengakibatkan persaingan
sangat ketat, masa tunggu yang lama, dan besarnya dana penerbitan yang
dibebankan kepada penulis. Dua hal pertama inilah yang dihadapi oleh
peneliti, sehingga informasi akurat tentang status hasil penelitian berupa
jurnal belum diperoleh oleh LP2M UIN Jakarta.
Permendikbud Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional
Pendidikan Tinggi, pasal 52, menyebutkan bahwa PT wajib membiayai
peningkatan kapasitas peneliti, di antaranya insentif publikasi ilmiah. UIN
Jakarta menyediakan pelatihan penulisan karya ilmiah di jurnal
internasional dan memberikan insentif bagi dosen yang artikelnya dimuat
di jurnal internasional.
b. Dampak
Dari 12 dosen tetap Prodi dan 4 dosen tidak tetap, tidak satu pun yang
memiliki HaKi. Dari 173 dosen FITK, yang terdiri dari 12 Prodi S-1 dan 3
Prodi Magister, hanya ada 1 HaKi, yaitu program TOAFL (Test of Arabic as
Foreign Language). Hasil penelitian dosen semakin langka jika dilihat dari
outcome. Tidak ada hasil penelitian dosen yang menjadi (dasar) kebijakan
lokal atau nasional, mendapat penghargaan, maupun yang dijadikan
produk secara massal. Bisa jadi, kelemahan publikasi atau rendahnya
tingkat keterbacaan hasil penelitian dosen menjadi sebab minusnya
dampak hasil penelitian dosen. Demikian juga, tidak terlihat manfaat
penelitian dosen PAI terhadap IPTEK dan masyarakat.
Menurut Donovan (2003: 19), “Replication of research findings is a canon of
good science. But without a research infrastructure to ensure that it is a priority, it
can be easily overlooked.” Kecuali kelemahan fasilitas penelitian, hasil
penelitian dosen juga bukan model yang siap diterapkan dalam
pembelajaran. “Sometimes research stalls at the identification of important
principles of learning and teaching that are not made specific enough for practice,”
(Donovan, 2003: 17).
Dari penjelasan sebelumnya, dapat dibuat tabel masalah yang terkait
standar penelitian dosen magister PAI berikut.
Tabel 2
Masalah Standar Penelitian Dosen Magister PAI
No Aspek Masalah No Aspek Masalah
1 Agenda Tema utama
Tema terbaru
Peran senat,
LPM, dan
dosen
4 Pendanaan Kompetitif
Kesenjangan
pembiayaan
Sistem pelaporan dana
2 Pelaksanaan
dan
manajemen
Transparansi
seleksi
Waktu
sempit
Pelibatan
mahasiswa
5 Sarana
dan
prasarana
Teknologi (dari buku
ke e-books, dari jurnal
ke e-journal)
Tradisi membaca
Ruang menulis di
kampus
3 Kode etik Plagiasi 6 Output Publikasi ilmiah (Jurnal
dan metode Metode
(minim
eksperimen)
Pengaturan
waktu
dan
Outcome
nasional terakreditasi,
Jurnal internasional)
HaKi
Dampak (kebijakan
nasional, produksi
massal, dan manfaat
IPTEK dan masyarakat)
C. PENUTUP
Kinerja penelitian dosen magister PAI tidak memuaskan. Perbaikan perlu
dilakukan terhadap enam aspek penelitian, yaitu: agenda, pelaksanaan dan
manajemen, kode etik dan metode, pendanaan, sarana dan prasarana, output,
dan outcome. Kelemahan penelitian dosen di antaranya: waktu yang sempit,
tidak ada peta tema penelitian, tidak melibatkan mahasiswa, tidak ada ruang
menulis, minim publikasi di jurnal terakreditasi dan jurnal internasional, tidak
ada HaKi, dan hasil penelitian tidak berdampak positif bagi kemajuan IPTEK
dan masyarakat. Karena itu, diperlukan langkah-langkah berikut: optimalisasi
fungsi konsorsium seperti diskusi rutin dan merencanakan dan mengurus HaKi,
optimalisasi asosiasi Prodi untuk menerbitkan jurnal, optimalisasi pendamping
peneliti, penelitian dimulai Januari, dan peningkatan kompetensi dan komitmen
dosen melalui pelatihan metodologi penelitian dan academic writing skills.
Referensi
Campbell, A. & Groundwater-Smith, S. (Eds). 2007. An Ethical Approach to Practitioner Research. London and New York: Routledge.
Denscombe, M. 2007. The Good Research Guide for Small-Scale Social Research Projects. Third Edition. England: Mc Graw Hill & Open University Press.
Denscombe, M. 2010. Ground Rules for Social Research; Guidelines for Good Research. England: Mc Graw Hill & Open University Press.
Donovan, M.S., Wigdor, A.K., Snow, C.E., (Eds). 2003. Strategic Education Research Partnership. Washington, D.C.: The National Academic Press.
Doyle, D. “Transdisciplinary Enquiry; Researching With Rather Than On.” h. 75-87, dalam Campbell, A. & Groundwater-Smith, S. (Eds). 2007. An Ethical Approach to Practitioner Research. London and New York: Routledge.
Gorman, S. “Managing Research Ethics; A head-on Collision?” h. 8-23, dalam Campbell, A. & Groundwater-Smith, S. (Eds). 2007. An Ethical Approach to Practitioner Research. London and New York: Routledge.
Mockler, N. “Ethics in Practitioner Research; Dilemmas from The Field.” h. 88-98, dalam Campbell, A. & Groundwater-Smith, S. (Eds). 2007. An Ethical Approach to Practitioner Research. London and New York: Routledge.
Murray, R. 2002. How to Write a Thesis. Second Edition. England: Open University Press.
Permendikbud Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
Tim Penyusun. 2008. Sistem Penjaminan Mutu Perguruan Tinggi (SMP-PT). Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Tim Penyusun. 2015. Panduan Pelaksanaan Hibah Penelitian Tahun Anggaran 2015. Jakarta: Puslitpen, LP2M, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
UU Nomor 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Yates, L. 2004. What Does Good Educational Research Look Like; Situating a Field and Its Practices. England: Open University Press.
Lampiran
Tabel Penelitian Dosen Magister PAI
Keterangan:
1. Dede Rosyada, 2. Salman Harun, 3. Abuddin Nata, 4. Rif'at Syauqi Nawawi, 5.
Armai Arif, 6. Suwito, 7. Nurlena Rifai, 8. Muhammad Zuhdi, 9. Abdul Majid Khon,
10. Ansori, 11. Didin Syafruddin, 12. Jejen Musfah.
No
Judul Penelitian
2013 2012 2011
1 - - -
2
Tafsir Tarbawi
-
Epistimologi Tafsir Al-
Qur’an; Kaidah-kaidah
Penafsiran Al-Qur’an
(buku)
3
Pengembangan
Desain Model
Pembelajaran PAI
Berbasis Karakter
Mulia
Sejarah Sosial Intelektual
Islam (buku)
Sejarah Pendidikan Islam
(buku)
Studi Islam
Komprehensif (buku)
4 - - Kepribadian Quran (buku)
5 - - -
6 - - -
7
Model Pelatihan
Guru dalam
Kurikulum 2013
Budaya Keagamaan di
Sekolah -
8
Dualisme Kurikulum
dalam Pendidikan
Indonesia di Era
Orba
- -
9 Pendidikan dalam Hadis Tarbawi (buku) Pemikiran Modern
Perspektif Hadits;
Kajian tematik dalam
Bulughul Maram
Paham Ingkar Sunah di
Indonesia (jurnal
terakreditasi)
dalam Sunah;
Pendekatan Ilmu Hadis
(buku)
Metodologi Penelitian
Hadis (Artikel jurnal)
10 - - -
11 Study on Religious
Education in Schools
Pendidikan Agama
Islam di SMP dan SMA
(buku)
In Search on a
Citizenship Education
Model for a Democratic
Multi Religious
Indonesia (International
conference)
-
12
Model Pelatihan
Guru dalam
Kurikulum 2013
Budaya
Sekolah/Madrasah;
Studi Best Practice di
SMU Labschool dan
SMU Dwi Warna Bogor
Studi Kelayakan Alih
Fungsi Madrasah
Aliyah Menjadi MAK
(MAN 15 dan MAN 8
Jakarta Timur)
Madrasah Unggul
Kajian Pengembangan
PTAI Program Studi
Agama Unggulan
STAIN Tulungagung
KONTINUITAS DAKWAH WALI SONGO:
Fakultas Keagamaan UIN
Pendahuluan ♦ Temuan dan Pembahasan ♦ Penutup
A. PENDAHULUAN
Jumlah pemeluk Islam terus menurun di Indonesia. Pada 80-an muslim
sekitar 90 persen, pada 2000 berkisar 88,2 persen, dan pada 2010 berjumlah 85,1
persen (nu.or.id, 2016; republika.co.id, 2016). Jika secara kualitas pemeluk Islam
menurun, bagaimana dengan kualitasnya? Artinya, bagaimana dengan
pemahaman keagamaan pemeluk Islam? Lebih tegas lagi, bagaimana jumlah
ulama Indonesia?
Terkait pertanyaan di atas, menarik membaca data peminat fakultas
keagamaan di UIN. Peminat program studi keagamaan di UIN jauh lebih
rendah dibandingkan dengan Prodi-Prodi umum (Republika.co.id, 10/02/2016).
Padahal, Prodi keagamaan adalah tempat untuk melahirkan para ahli agama
atau ulama.
Penurunan jumlah umat muslim dan sepinya peminat Prodi keagamaan
merupakan ironi bagi UIN yang sebagiannya memakai nama Walisongo.
Dakwah Walisongo jelas bertujuan islamisasi tanah Jawa, mencetak kader
ulama, dan menghiasi masyarakat dengan karakter islami. Fakultas-fakultas
keagamaan di UIN yang merupakan kontinuitas perjuangan dakwah Walisongo
menghadapi tantangan berat saat ini.
Civitas akademik UIN harus mulai menengok kembali ke sejarah
perjuangan Walisongo untuk belajar dan menerapkan nilai-nilai yang relevan
dengan perjuangan menghidupkan fakultas-fakultas keagamaan yang makin
sepi peminat. Anita (2014: 264) menjelaskan, “Sejarah Walisongo hampir lenyap
di balik legenda beraneka warna. Padahal banyak pelajaran dan hikmah yang
dapat dipetik dari kiprah dakwah mereka”.
B. TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Tokoh-tokoh Walisongo yang dikenal luas oleh masyarakat Jawa, yaitu:
Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat (Sunan Ampel), Makdum Ibrahim
(Sunan Bonang), Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri), Raden Qosim (Sunan Drajat),
Raden Syahid (Sunan Kalijogo), Raden Umar Said (Sunan Muria), Ja'far Shodiq
(Sunan Kudus), dan Syeh Nurullah (Sunan Gunung Jati) (Ashadi, 2013: 3).
Sedangkan nama-nama UIN yang sebagiannya mengambil nama Walisongo,
yaitu: 1) UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (2002), 2) UIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta (2004), 3) UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang (2004), 4) UIN Sunan
Gunung Djati, Bandung (2005), 5) UIN Alauddin, Makassar (2005), 6) UIN Sultan
Syarif Kasim, Pekanbaru (2005), 7) UIN Ar-Raniri, Banda Aceh (2013), 8) UIN
Sunan Ampel, Surabaya (2013), 9) UIN Raden Fatah, Palembang (2014), 10) UIN
Sumatera Utara, Medan (2014), 11) UIN Walisongo, Semarang (2014), 12) UIN
Antasari, Banjarmasin (2017), 13) UIN Raden Intan, Bandar Lampung (2017), 14)
UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Serang (2017).
Penyebaran Islam di Jawa oleh Walisongo tidak bisa lepas dari materi apa
saja yang mereka ajarkan. Ajaran yang terdapat dalam primbon Sunan Bonang,
misalnya mengajarkan ilmu fiqih, tauhid, dan tasawuf (Syamsu AS, 1999: 37-38).
Hal ini sejalan dengan tujuan dakwah Islam, yaitu: menanamkan akidah,
hukum, dan akhlak (Amin, 1980: 22-26).
Sementara Sultoni (2016: 377) menjelaskan ajaran tasawuf yang diajarkan
Walisongo, meliputi tasawuf akhlaqi dan tasawuf falsafi. Cara pengajarannya
melalui: 1) Berdakwah dengan Pendidikan, kelembagaan, dan Ilmu Hikmah; 2)
Menggunakan kebijaksanaan dan melakukan akulturasi ajaran Islam dengan
kebudayaan setempat; 3) Mengakulturasi kesenian dengan ajaran tasawuf.
Metode yang mereka gunakan yaitu, pertama, metode pembentukan dan
penanaman kader, serta penyebaran juru dakwah ke berbagai daerah. Kedua,
dakwah melalui jalur keluarga/ perkawinan. Ketiga, mengembangkan
pendidikan pesantren yang mula-mula dirintis oleh Syekh Maulana Malik
Ibrahim adalah suatu model pendidikan Islam yang mengambil bentuk
pendidikan biara dan asrama yang dipakai oleh pendeta dan biksu dalam
mengajar dan belajar.
Keempat, dengan mengembangkan kebudayaan Jawa. Dalam kebudayaan
Jawa Walisongo memberikan andil yang sangat besar. Kelima, metode dakwah
melalui sarana dan prasarana yang berkait dengan masalah perekonomian
rakyat. Keenam, dalam mengembangkan dakwa Islamiyah di tanah Jawa para
wali menggunakan sarana politik untuk mencapai tujuannya (Hatmansyah,
2015:16).
Sementara Ashadi (2013: 9) menjelaskan sisi lain tentang dakwah Walisongo.
“Dakwah Walisongo menekankan aspek akidah dan syariat tidak berpengaruh
langsung terhadap pembangunan sarana ibadahnya yakni bangunan mesjid.
Sunan Ampel yang menganut paham kemurnian agama (paham putihan) harus
berkompromi dengan bentuk-bentuk bangunan lama. Dalam perkembangan
selanjutnya, metode kompromi inilah yang kemudian dilanjutkan oleh
masyarakat Islam Jawa di kemudian hari.”
Penjelasan aspek materi dan metode dakwah Walisongo di atas
menggambarkan upaya penyebaran dan pembentukan kader ulama pada masa
itu. Tauhid, Fiqih, Tasawuf, dan Akhlak adalah ilmu-ilmu agama yang diajarkan
Walisongo, yang dalam konteks UIN mewujud dalam Fakultas dan Prodi.
Fakultas dan Prodi itu seperti Fakultas Ushuludin yang memiliki Prodi
Perbandingan Agama, Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Ilmu Hadis, Akidah dan
Filsafat Islam, dan Ilmu Tasawuf; Fakultas Syariah dan Hukum yang memiliki
Prodi Hukum Keluarga, Perbandingan Mazhab, Hukum Pidana Islam, Hukum
Ekonomi Islam, Ilmu Hukum; Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang
memiliki Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Bimbingan dan Penyuluhan
Islam, Manajemen Dakwah, Pengembangan Masyarakat Islam; dan Fakultas
Adab yang memiliki Prodi Bahasa dan Sastra Arab, Sejarah dan Kebudayaan
Islam, dan Tarjamah.
Fakta menunjukkan penurunan jumlah mahasiswa yang mendaftar ke
fakultas-fakultas keagamaan setelah IAIN berubah menjadi UIN, bahkan
sebelum perubahan itu terjadi. Pendaftar UM-PTKIN 2010 sekitar 8.845 menjadi
53.637 pada tahun 2012. Peminat ini terus meningkat pada tahun 2013 hingga
mencapai 57.448. Tahun 2015, peminat PTKIN mencapai 79.643 pendaftar SPAN
dan UMPTKIN. Sedang pada tahun 2016, jumlah pendaftar SPAN menembus
129.327, dan UM PTKIN sejumlah 79.768. Dari jumlah tersebut, mahasiswa yang
diterima melalui jalur SPAN berjumlah 63.601 dan UMPTKIN berjumlah 41.209
orang. Sayangnya, peningkatan minat masuk PTKIN ini tidak diikuti dengan
minat masuk Prodi agama. Menag mengaku sedih mendengar informasi bahwa
program studi Filsafat Agama, Ilmu Hadis, dan Perbandingan Agama menjadi
Prodi menempati posisi terendah (Khoiron, 2017: 4-5).
Pada 2016 UIN Alauddin Makassar menerima 7.908 pendaftar pada jalur
Ujian Masuk Mandiri (UMM). Prodi keagamaan tidak diminati calon mahasiswa
baru, yakni Perbandingan Agama, Filsafat Agama, Perbandingan Mazhab, dan
Ilmu Aqidah. Dari 7.908 pendaftar hanya ada 11 orang yang memilih prodi
Perbandingan Agama, Prodi Filsafat Agama juga bernasib sama hanya dipilih 11
orang. Prodi Perbandingan Mazhab juga termasuk kurang peminat hanya ada 23
orang. Selanjutnya, Prodi yang kurang diminati adalah Prodi Ilmu Akidah
hanya dipilih 24 orang dan Prodi Pengembangan Masyarakat hanya dipilih 30
orang. Prodi keagamaan tersebut berbanding terbalik dengan prodi
umum/kesehatan seperti Prodi Farmasi yang dipilih oleh 1.869 orang dan
menjadikan prodi Farmasi paling favorit di jalur UMM tahun 2016 (Hasrul,
2016).
Menurunnya minat masyarakat terhadap fakultas keagamaan dikarenakan
beberapa faktor. Pertama, bertambahnya fakultas umum. Pilihan fakultas umum
yang sebelumnya hanya ada di perguruan tinggi umum kini tersedia di
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), tepatnya UIN yang
berjumlah 14, dan relatif tersebar di seluruh provinsi. Kehadiran UIN
menjadikan jarak semakin dekat antara para alumni pesantren dan madrasah
dengan fakultas umum, yang sebelumnya bisa jadi jauh.
Kedua, integrasi keilmuan umum dan agama di UIN. Keberadaan fakultas
umum di UIN menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat muslim karena
bisa mendapatkan ilmu umum pada satu sisi, dan ilmu agama pada sisi yang
lain. Matakuliah keagamaan, pendekatan, dan atmosfer keagamamaan di UIN
merupakan distingsi fakultas umum yang berada di UIN dengan yang ada di
Perguruan Tinggi Umum (PTU). Sebagian masyarakat mengharapkan anak
mereka menguasai ilmu umum sekaligus memahami ilmu agama (minimal tata
cara ibadah, dan membaca Al-Quran). Kecuali itu, mahasiswa UIN bisa
mengamalkan ajaran-ajaran agama melalui kebijakan, lingkungan, dan
pembiasaan, meskipun berada di fakultas umum, seperti salat berjamaah, wajib
berjilbab, dan cara berpakaian.
Ketiga, berkembangnya pragmatisme dan materialisme di kalangan
masyarakat. Kuliah di fakultas keagamaan belum jelas profesi yang disandang
setelah lulus, atau sedikit peluang kerja bagi para alumninya, atau meskipun
mendapatkan pekerjaan, gajinya kecil. Sementara lulusan fakultas umum
menjanjikan kesempatan bekerja sekaligus gaji yang lebih besar. Kepastian
profesi bagi lulusan fakultas umum inilah yang menjadikan masyarakat saat ini
lebih memilih fakultas umum daripada fakultas keagamaan.
Tentu saja pemerintah tidak diam menyikapi menurunya mahasiswa
fakultas keagamaan tersebut. Program beasiswa diberikan kepada mereka yang
mendaftar di fakultas keagamaan. Alasannya jelas, karena fakultas ini adalah
tempat melahirkan kader-kader ulama. Anehnya, pemberian beasiswa tidak
signifikan menaikan minat masyarakat kuliah di fakultas keagamaan. Meski
disediakan beasiswa peminatnya masih lebih tinggi fakultas umum.
Selain beasiswa, perlu dipikirkan program lainnya yang bisa mengatasi
kecenderungan penurunan minat fakultas keagamaan tersebut. Pesantren dan
madrasah yang merupakan lembaga penyuplai mahasiswa fakultas keagamaan
perlu diajak kerjasama. Pemerintah membuka peluang kerja bagi alumni
fakultas keagamaan, dan melakukan sosialisasi yang ke masyarakat. Fakultas
keagamaan menyusun profesi bagi lulusan Prodi masing-masing, dan
mensosialisasikannya ke masyarakat.
C. PENUTUP
Eksistensi fakultas keagamaan di UIN sejalan dengan tujuan dakwah
Walisongo yaitu penyebaran Islam melalui lembaga pendidikan. Entitas fakultas
keagamaan bisa dikatakan kelanjutan dari perjuangan dakwah Walisongo yang
tersebar ke dalam empat fakultas, Adab, Ushuludin, Syariah, dan Dakwah.
Khusus UIN Jakarta, terdapat fakultas Dirasat Islamiyah yang bekerjasama
dengan Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Fakultas keagamaan mengalami
masa kejayaan pada masa IAIN, tetapi mengalami kemunduran pada masa UIN.
Kemunduran itu dinilai dari indikator jumlah mahasiswa yang menurun,
apalagi dibanding jumlah mahasiswa yang mendaftar ke fakultas umum di UIN.
Karena itu, pimpinan UIN harus memikirkan langkah-langkah strategis untuk
menarik minat mahasiswa ke fakultas atau Prodi keagamaan. Program beasiswa
dari pemerintah terbukti belum bisa efektif menarik minat mahasiswa.
Pimpinan UIN punya tanggung jawab mengembalikan kejayaan fakultas
keagamaan dengan menaikan jumlah mahasiswa, terutama kualitas lulusannya.
Referensi
Anita, Dewi Evi, “Walisongo: Mengislamkan Tanah Jawa: Suatu Kajian Pustaka”. Jurnal Wahana Akademika, Vol. 1, No. 2, Oktober 2014, h. 243-266.
Amin, M. Mansyur, 1980, Metode Dakwah Islam dan Beberapa Keputusan Pemerintah tentang Aktivitas Keagamaan.Yogyakarta: Sumbangsih.
Ashadi, “Dakwah Wali Songo: Pengaruhnya terhadap Perkembangan Perubahan Bentuk Arsitektur Mesjid di Jawa”, Jurnal Arsitektur NALARs, Volume 12, No. 2, Juli 2013.
Hamid, Abdullah. “Mengapa Jumlah Umat Islam di Indonesia Menurun?”, www.nu.or.id, 08/12/2016.
Hatmansyah, “Strategi dan Metode Dakwah Walisongo”, Jurnal Al-Hiwar, Vol. 03, No. 05, Januari-Juni, 2015.
Hasrul, “Prodi Keagamaan Kurang Diminati Calon Maba di UIN Alauddin”, http://makassar.tribunnews.com, 02/08/2016.
Khoiron, “Minat Prodi Agama Turun, Menag: PTKIN Harus Berinovasi”, https://kemenag.go.id, 01/02/2017.
Moleong, Lexy J., 1990, Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Muhadjir, Noeng, 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin.
Putra, Erik Purnama. “Persentase Umat Islam di Indonesia Jadi 85 Persen”. Republika.co.id, 09/01/2016.
Syamsu AS, Muhammad, 1999, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Jakarta: PT. Lentera Basritama.
Sultoni, “Nilai-nilai Ajaran Tasawuf Walisongo dan Perkembangannya di Nusantara”. Kabilah, jurnal of social community, Vol. 1, No. 2, Desember 2016, h. 357-378.
SUMBER NASKAH
Musfah, Jejen (2014). Madrasah Unggul: Studi Kasus MAN Yogyakarta I. Jurnal
Pendidikan Islam, Vol. 1, No. 2, Desember 2014.
Musfah, Jejen, dan Mariatul Kiftiyah (2014). Pembentukan Budaya Disiplin di SMK
Negeri 18 Jakarta. Prosiding Musyawarah Kerja APMAPI dan Temu Ilmiah
Nasional Manajemen Pendidikan 2014. Gorontalo: UNG Press, h. 91-99.
Musfah, Jejen, dan Sri Pruwanti (2017). Pengembangan Kompetensi Pedagogik Guru
Sekolah Menengah Kejuruan. Indonesian Journal of Educational Research (IJER), 2
(2), 2017, 89-98.
Musfah, Jejen, dan Widya Ningsih (2016). The Implementation of BOS in SMAN 37
Jakarta (Terj. Implementasi Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di SMAN 37
Jakarta). Proceedings International Conference on Educational Management and
Administration & 4th Congress of ISMAPI . Makassar: Badan Penerbit UNM. First
Edition, h. 75-80.
Musfah, Jejen, dan Nurfitriyani (2017). Pengembangan Kurikulum di Komunitas
Homeschooling Kak Seto Pusat. Indonesian Journal of Educational Research (IJER), 2
(1), 2017, 62 -71.
Musfah, Jejen, dan A. Musthofa Asrori (2017). Pesantren Pendidik Perempuan;
Perguruan Diniyyah Putri Lampung. Jurnal Edukasi: Jurnal Penelitian Pendidikan
Agama dan Keagamaan, Vol. 15, No. 12, 1-21
Musfah, Jejen (2014). Problem dan Solusi PPL Mahasiswa LPTK. Proceedings
International Conference on Education in Muslim Society, UIN Jakarta, 29-31
Oktober 2014.
Musfah, Jejen (2016). Penelitian Ilmiah: Studi Kasus Dosen Program Magister FITK
UIN Jakarta. Proceeding International Society for Teacher Education (ISFTE), Asia
Pasific Regional Conference, Global Citizenship Education, Malaysia, 21-22
November 2016.
Musfah, Jejen (2017). Kontiunitas Dakwah Walisongo: Fakultas Keagamaan UIN.
Jurnal Hikmatuna, Vol. 3, No. 2, Desember 2017.
BIODATA PENULIS
Jejen Musfah, lahir di Serang, 02 Juni 1977. Dosen Manajemen Pendidikan
Islam FITK UIN Syarif Hi dayatullah Jakarta sejak 2005-sekarang. Meraih gelar
Sarjana bidang Pendidikan Bahasa Arab di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta (lulus
tahun 2000). Kemudian menyelesaikan studi S2 bidang Pendidikan Agama Islam di
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Jakarta (lulus tahun 2004). Selain itu, ia
juga menempuh pendidikan Diploma Pendidikan Bahasa Arab di LIPIA Jakarta
(lulus tahun 2007). Gelar doktor diraihnya pada tahun 2011, bidang Ilmu
Pendidikan/ Manajemen Pendidikan di UNINUS Bandung.
Berbagai prestasi berhasil diraihnya, antara lain: Juara 2 Lomba Opini
Pendidikan Tingkat Nasional, Kemendikbud RI (2013), Juara Harapan Lomba Opini
Pendidikan Keluarga, Kemendikbud RI (2016), dan Dosen teladan FITK UIN Jakarta
(2017).
Beliau akrab dikenal sebagai penulis dan pengamat bidang pendidikan.
Namun karena keaktifan dan komitmennya ia dipercaya memegang beberapa
jabatan penting, baik di luar maupun di dalam kampus. Pertama, Jabatan bidang
Jurnalistik meliputi Pemimpin Redaksi, Jurnal Dirasat IAI Al-Aqidah Jakarta (2006-
2007), Redaktur Pelaksana, Jurnal Didaktika Islamika FITK UIN Jakarta (2009-2010),
Dewan Redaksi, Suara madrasah CTLD UIN Jakarta (2013-2014), Pemimpin Redaksi,
Majalah Suara Guru Pengurus Besar PGRI Jakarta (2016-sekarang), dan Wakil Ketua
Penyunting Jurnal Ilmiah Mimbar Pendidikan Indonesia PGRI (2016-sekarang).
Kedua, Jabatan struktural antara lain sebagai Sekretaris Program Magister
Manajemen Pendidikan Islam FITK UIN Jakarta (2012-2016), dan Ketua Program
Magister Manajemen Pendidikan Islam (2016-Sekarang).
Selain itu, ia juga aktif sebagai narasumber di berbagai kegiatan seperti
seminar, pelatihan, kuliah umum, talkshow, dan lain sebagainya. Penyelenggaranya,
antara lain: Kementerian Agama Pusat RI, Puslitbang Penda Kemenag RI Jakarta,
Pusdiklat Kementerian Agama RI Jakarta, Balai Diklat Keagamaan Makassar, Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI, Metro TV, Berita Satu TV, UIN SU Medan, UIN Serang, UIN
Makassar, IAIN Pekalongan, Madrasah Aliyah Pembangunan UIN Jakarta, Sekolah
Guru Indonesia (SGI) Dompet Duafa Bogor, Universitas Negeri Gorontalo (UNG),
Universitas Indonesia Timur (UIT) Makassar, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan
STAI Fatahillah Serpong.
Dalam aktivitasnya yang sangat tinggi, ia tetap aktif menulis dan melakukan
berbagai riset. Dalam karya tulis, tidak sedikit yang dimuat di media cetak.
Beberapa penelitiannya, antara lain: PPG PAI di FITK UIN Jakarta (2015), Lemlit UIN
Jakarta; Kompetensi Dosen Program Magister FITK (2015), FITK UIN Jakarta;
Pengelolaan Guru Madrasah Nusa Tenggara Barat (2016), Puslitbang Penda; Evaluasi
Kurikulum 2013 Mata Pelajaran PAI, Jambi (2016), Puslitbang Penda; Indek Pendidkan
Agama di SMA/SMK, Sulawesi Selatan (2016), Puslitbang Penda; Model Integrasi
Kurikulum Sekolah Berbasis Pesantren (2017), UIN Jakarta; Tracer Studi Alumni PAI UIN
Jakarta (2017), Puslitbang Penda; dan Madrasah Khas Diniyah Putri Lampung (2017),
Puslitbang Penda.
Karya buku yang ditulisnya antara lain: Doa Ajaran Ilahi, bersama A. Masykur,
Hikmah: 2000; Risalah Puasa, Risalah: 2002; Bahkan Tuhan pun Bersyukur, Hikmah:
2003; Rindu Kematian, Hikmah: 2003; Doa Harian Ajaran Rasulullah, Risalah: 2004; Doa
Ajaran Sahabat Rasulullah, Hikmah: 2005; Meraih Makrifat (Tesis), Mizan: 2006; Indeks
Al-Quran Praktis, Hikmah: 2007; Peningkatan Kompetensi Guru melalui Pelatihan dan
Sumber Belajar (Disertasi), Kencana: 2011. Cetakan Ketiga; Manajemen Pendidikan;
Teori, Kebijakan, dan Praktik, Kencana: 2015; Analisis Kebijakan Pendidikan: Pendidikan
Nirkreasi, Prenada: 2016; dan Tips Menulis Karya Ilmiah, Prenada: 2016. Sedangkan
karya tulis lainnya berbentuk terjemahan, yaitu: Tuhan Tak Pernah Memaksa/ Shifât
Al-Âmir bi Al-Ma’rûf wa Al-Nâhi bi Al-Munkar, Hikmah: 2004; dan Qishash Al-Thair wa
Al-Hayawânat fî Al-Qurân Al-Karîm, Mizan: 2009.
Selain itu, ia juga aktif sebagai tim penulis pedoman bidang pendidikan yang
diselenggarakan oleh berbagai pihak, seperti: Pedoman Integrasi Kultur Pesantren di
Sekolah Berbasis Pesantren, Kemenag & Kemendikbud RI, 2012; Pedoman Penguatan
PAI di MTs, Puslitbang Kemenag RI, 2012; Pedoman Riset Agama dan Keagamaan di
Wilayah Terdepan, Puslitbang Penda Kemenag RI, 2017; dan Panduan Model Penguatan
Karakter Kepesantrenan pada Sekolah Berbasis Pesantren, 2017.
Sebagai editor juga kerap dilakukannya di luar aktivitas menulisnya,
diantaranya: Suwito, Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, Belukar Budaya, 2003; Didin
Hafiduddin, Membentuk Pribadi Qurani, Hikmah, 2004; Deden Ridwan, Neo-
Modernisme Cak Nur, Belukar Budaya, 2005; Pendidikan Holistik: Pendekatan Lintas
Perspektif, Prenada, 2011; Tokoh Agama Nusantara, Puslitbang Lektur Kemenag, 2013;
Redesain Pendidikan Guru, Prenada, 2013; Pendidikan Islam: Memajukan Umat dan
Memperkuat Kesadaran Bela Negara, Prenada, 2016; Pendidikan Guru Indonesia, FITK
2017; dan Pendidikan Islam: Isu dan Inovasi, FITK 2017.
Kontribusinya dalam dunia pendidikan tidak hanya terbatas pada penelitian,
penulisan, dan editor buku. Banyak makalah, artikel dan opini dalam buku, jurnal,
prosiding, ataupun media massa (koran). Beberapa artikel yang dimuat di buku
antara lain: Membumikan Pendidikan Holistik, dalam Pendidikan Holistik; Pendekatan
Lintas Perspektif, Kencana: 2012, h. 2-20; Kepemimpinan Transformatif dan Mutu
LPTK, dalam Redesain LPTK: Teori, Kebijakan, dan Praktik, Kencana: 2015, h. 119-131;
Memelihara Keunggulan Lembaga Pendidikan Islam, dalam Pendidikan Islam:
Memajukan Umat dan Memperkuat Kesadaran Bela Negara, Prenada, 2016, h. XI-XV;
Peran Madrasah Negeri Model, dalam Pendidikan Islam: Memajukan Umat dan
Memperkuat Kesadaran Bela Negara, Prenada, 2016, h. 63-67; Raibnya Mahkota Anak,
dalam Hasil Karya Pemenang Lomba Jurnalistik, Kemdikbud 2017, h. 127-132;
Keharusan Disrupsi Tarbiyah UIN Ciputat, dalam Pendidikan Guru Indonesia, FITK
2017, h. V-VII; dan Kematian Jurnal Ilmiah, dalam Pendidikan Guru Indonesia, FITK
2017, h. 16-19. Sedangkan beberapa artikel dalam jurnal, dinataranya: Kecerdasan
Akal Menurut Hadis, Jurnal Kordinat, Vol. VI, No. 2, Oktober, 2005, h. 17-36; Metode
Pendidikan Hati, Jurnal Dirasat, Vol. 02, No. 01, 2007, h. 34-43; Manajemen
Pengembangan Kompetensi Guru, Jurnal Mimbar Agama, Vol. 26, No. 2, 2009, h. 256-
278; Metode Pendidikan dalam Perspektif Islam, Jurnal Tahdzib, Vol. III, No. 1,
Januari, 2009, h. 106-121; Kepemimpinan Kepala Sekolah, Jurnal Media Pendidikan,
Vol. XXV, No. 3, 2010, h. 405-412; Kompetensi Pedagogik Guru, Jurnal Didaktika
Islamika, Vol. XI, No. 2, Desember, 2010, h. 261-275; Pembentukan Budaya Sekolah,
Jurnal Mimbar Agama, Vol. 28 No. 1, 2011, h. 111-120; Al-madrasah al-mutafawwiqah:
dirasah halah ‘an mumayyizatil madrasah ats-tsanawiyah al-ula MAN 1 bi
Yogyakarta, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1, No. 1, 2014, h. 263-280. Pengembangan
Kurikulum di Komunitas Homeschooling Ka Seto Pusat, Indonesian Journal of
Educational Research, UIN Jambi, 2017, Vol 2, No. 1; Perguruan Diniyyah Putri
Lampung, Pesantren Pendidik Perempuan, dalam Jurnal Edukasi Puslitbang Penda,
2017.
Adapun makalah Prosiding/ Seminar, antara lain: The Problems and
Solutions in Teaching Practice for Preservice-Teacher Students, p. 427-440, Oct, 29-31
2014, ICEMS, UIN Jakarta; Pembentukan Budaya Disiplin di SMK Negeri 18 Jakarta,
h. 91-99, 28-30 Nov 2014, Musyawarah Kerja APMAPI dan Temu Ilmiah Nasional
Manajemen Pendidikan, Universitas Negeri Gorontalo; Scientific Research; Case Study of
Islamic Studies Master Degree Lectures Faculty of Tarbiya and Teachers”, p. 74-84,
Sept, 09th - 11st 2015, FIP-JIP, Universitas Negeri Gorontalo; The Implementation of
BOS in SMA Negeri 37 Jakarta”, p.?, 15th – 17th April 2016, International Conference
on Educational Management and Administration & Congress of ISMAPI, Universitas
Negeri Makassar. Profesional Teacher Education (PPG) of Islamic Religious Education
(PAI) Teachers in Indonesia, The 6th International Conference on Educational,
Management, Administration and Leadership (6th ICEMAL 2016) will be held on August
28, 2016 in Bandung, Indonesia; dan Makalah, “The Continuity of Walisongo’s Islamic
Propagation (Da’wah): Religious Faculties at the State Islamic Universities (UIN) in
Indonesia”, AICIS, 20 – 23 November, BSD Banten.
Opini pendidikan yang ditulisnya telah dimuat di berbagai media massa
(koran), seperti: Republika, SINDO, Media Indonesia, Jawa Pos, Radar Bogor,
Amanah, Majalah Suara Guru PB PGRI, Majalah Pinisi Balai Diklat Makassar, dan
Majalah Adiluhung Kemendikbud.
Email/ Website/ Hp/ Alamat
[email protected]/ jejen.lec.uinjkt.ac.id/ 081 222 380 111
Komplek UT Blok J No. 3 Jabon Mekar Parung Bogor
BIODATA EDITOR
Hidayatus Syarifah, lahir di Bojonegoro, 02 Mei 1992. Meraih gelar Sarjana
(S1), bidang Pendidikan Agama Islam di FITK UIN Jakarta (lulus tahun 2015).
Melanjutkan pendidikan di Program Magister Pendidikan Agama Islam, FITK UIN
Jakarta (lulus tahun 2017) dengan tesis Pendidikan Agama Islam bagi Mualaf di
Pesantren Pembinaan Muallaf Yayasan an-Naba Center Indonesia.
Beberapa prestasi yang didapatkan antara lain: Juara I Artikel Pendidikan
berjudul “Koalisi Pendidikan dan Pengembangan Bakat di Era Globalisasi” dalam
kegiatan Blog Competition Pekan Seni Budaya dan Pendidikan BEM FITK UIN Jakarta
(2014); dan The Winner of Desain Blog Favorite Pekan Seni Budaya dan Pendidikan
BEM FITK UIN Jakarta (2014).
Profesi yang digeluti adalah guru di beberapa jenjang pendidikan seperti:
SMA Madania Indonesian School with World Class Standard, Bogor (PPKT, 2013), SDIT
al-Hikmah, Cilandak, Jakarta Selatan (2014-2016), dan MTs. Manaratul Islam,
Gandaria, Jakarta Selatan (2016-2017). Selain itu, ia pernah menjabat sebagai Ketua
Umum Forum Komunikasi dan Kajian Mahasiswa PAI (2012-2014).
Aktivitas lainnya seperti menjadi tim penulis, tim borang Akreditasi Program
Magister Manajemen Pendidikan Islam (MPI) UIN Jakarta dan narasumber di
kegiatan kajian dan pelatihan. Beberapa tulisan sebagai tim penulis, antara lain:
Pedoman Riset Agama dan Keagamaan di Wilayah Terdepan, Puslitbang Penda Kemenag
RI, 2017; dan Panduan Model Penguatan Karakter Kepesantrenan pada Sekolah Berbasis
Pesantren, 2017. Selain itu, menulis resensi film “Hafalan Shalat Delisa” di Buletin
Bulanan FK2i News, Edisi 1, Desember 2012.
Adapun aktivitas kegiatan sebagai narasumber antara lain: Pelatihan
Kebendaharaan dalam Upgrading dan Reshuffle Pengurus HMJ PAI UIN Jakarta
(2014), Menulis Makalah dan Skripsi dalam Pelatihan Organisasi FK2i UIN Jakarta
(2015), Menulis Karya Tulis Ilmiah dalam Trader ECE’S (Training Leadership Early
Childood Education Students) PGRA UIN Jakarta (2016), dan Kajian tentang PTN-BH
Sudah Siapkah Kita dalam Tarbiyah Discussion Forum DEMA FITK UIN Jakarta
(2017).