Upload
main-hope
View
105
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Salah satu faktor penting dalam mendukung ketiga hal tersebut di atas adalah penyediaan nutrisi. Nutrisi dan pemberian pakan memegang peranan penting untuk kelangsungan usaha budidaya hewan akuatik. Penggunaan pakan yang efisien dalam suatu usaha budidaya sangat penting oleh karena pakan merupakan faktor produksi yang paling mahal. Oleh karena itu, upaya perbaikan komposisi nutrisi dan perbaikan efisiensi penggunaan pakan perlu dilakukan guna meningkatan produksi hasil budidaya dan mengurangi biaya pengadaan pakan, serta meminimalkan produksi limbah pada media budidaya. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan pemahanan tentang nutrisi dan kebutuhan nutrien dari kultivan, teknologi pembuatan pakan, serta kemampuan dalam pengelolaan pakan untuk setiap tipe budidaya dari kultivan tertentu.Salah satu prinsip yang perlu diketahui dalam penerapan pakan untuk kepentingan budidaya adalah program pemberian pakan secara efektif (effective feeding program). Hal ini memerlukan pengetahuan tentang kebutuhan nutrien dari kultivan yang akan dipelihara, kebiasan dan tingkah laku makan, serta kemampuan kultivan dalam mencerna dan menggunakan nutrien esensial yang diberikan.
Citation preview
i
i
MANAJEMEN PEMELIHARAAN UDANG VANAME
Oleh :
Abidin Nur
DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA
BALAI BESAR PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR PAYAU JEPARA
Diperbanyak Oleh:
PUSAT PENYULUHAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
BADAN PENGEMBANGAN SDM KELAUTAN DAN PERIKANAN
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
2011
ii
ii
SAMBUTAN
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat-Nya sehingga Materi Pemantauan Kualitas Tanah dan Air ini dapat diselesaikan.
Materi Manajemen Pemeliharaan Udang Vaname ini disusun agar dapat menjadi bahan acuan atau petunjuk untuk masyarakat perikanan khususnya pembudidaya udang vaname yang mempunyai masalah dalam menangani permasalah tentang pemeliharaan dan pembesaran udang yang dapat mempengaruhi produksi perikanan.
Materi ini menguraikan Manajemen Pemeliharaan Udang Vaname. Kami berusaha untuk menampilkan yang terbaik dan berharap bahwa informasi dalam Materi ini dapat bermanfaat bagi pembudidaya ikan dan udang khususnya dan dunia perikanan pada umumnya.
Penghargaan setinggi-tingginya kami sampaikan kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan Materi ini sehingga dapat diselesaikan.
Kami menyadari bahwa Materi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan sumbangan kritik serta saran yang bersifat membangun dari semua pihak demi kemajuan dunia perikanan yang lebih baik.
Jakarta, November 2011
Kepala Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan
.
iii
iii
DAFTAR ISI
SAMBUTAN ………….…………………………..……………………………..…………..
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………………………
DAFTAR TABEL …………………….………………………………………………………
I. PENDAHULUAN
1.1. Pakan dalam Akuakultur ............................................................................. 1.2. Pakan dan Lingkungan ................................................................................. 1.3. Pendekatan Sistem Budidaya yang Berkelanjutan ......................................
II. PENGELOLAAN PAKAN
2.1. Prosentase Pakan ........................................................................................ 2.2. Frekuensi Pemberian Pakan ....................................................................... 2.3. Rasio Konversi Pakan ................................................................................. 2.4. Attraktabilitas dan Palatabilitas .................................................................... 2.5. Penyimpanan Pakan .................................................................................... III. PENGELOLAAN PAKAN DAN LINGKUNGAN
3.1. Akumulasi Nutrien & Bahan Organik di Dasar Tambak ............................... 3.2. Budget Nutrien dan Padatan (solid) di Tambak ........................................... 3.3. Alternatif Solusi Pengelolaan Limbah ............................................................ 3.4. Perbaikan Formulasi dan Pengelolaan Pakan ............................................. 3.5. Perbaikan Proses- N di Tambak .................................................................. 3.6. Perbaikan Desain dan Manajemen Limbah di Tambak ................................. 3.7. Aplikasi Probiotik dan Feed Additive ............................................................ DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................
ii
iii
iv
v
2 4 5
9 11 11 11 12
15 17 26 26 29 31 31 33
iv
iv
DAFTAR GAMBAR
1. Pengelolaan budidaya udang intensif dan interaksi kualitas air ............................... 2. Budget nutrien dan total padatan di tambak ............................................................ 3. Budget nitrogen (N) di tambak ................................................................................. 4. Model ekskresi –N .................................................................................................... 5. Budget posfor di tambak ............................................................................................ 6. Skema aktivasi suspensi di tambak ...........................................................................
14 18 23 25 26 30
v
v
DAFTAR TABEL
1. Persentase pakan yang diberikan berdasarkan berat udang .................................. 2. Estimasi karbon, nitrogen dan posfor ...................................................................... 3. Konsentrasi komponen kimia pada dasar tambak dan kolom air ............................ 4. Komposisi pakan ...................................................................................................... 5. Kebutuhan protein dalam pakan pada berbagai jenis udang .................................... 6. Jumlah nutrien yang terbuang sebagai hasil dari pergantian air tambak ..................
10 16 17 21 22 24
1
I. PENDAHULUAN
Peningkatan produksi perikanan budidaya secara global rata-rata mecapai
8,9% per tahun sejak tahun 1970. Bila dibandingkan dengan sektor perikanan
tangkap dan peternakan dalam kurun waktu yang sama masing-masing hanya
mencapai 1,2 dan 2,8 % per tahun. Namun demikian, dalam lima dekade
mendatang, maka produksi budidaya harus bertumbuh hingga lima kali lipat untuk
mensuplai kebutuhan populasi. Perkembangan ini harus mengatasi tiga hal pokok
(Avnimelech 2009) sebagai berikut :
a. Memproduksi banyak ikan tanpa meningkatkan penggunaan sumberdaya
alam (tanah dan air) secara nyata
b. Membangun sistem budidaya yang berkelanjutan tanpa merusak lingkungan
c. Membangun sistem budidaya dengan rasio cost/benefit secara rasional guna
mendukung kelangsungan budidaya secara ekonomis dan sosial.
Salah satu faktor penting dalam mendukung ketiga hal tersebut di atas adalah
penyediaan nutrisi. Nutrisi dan pemberian pakan memegang peranan penting untuk
kelangsungan usaha budidaya hewan akuatik. Penggunaan pakan yang efisien
dalam suatu usaha budidaya sangat penting oleh karena pakan merupakan faktor
produksi yang paling mahal. Oleh karena itu, upaya perbaikan komposisi nutrisi dan
perbaikan efisiensi penggunaan pakan perlu dilakukan guna meningkatan produksi
hasil budidaya dan mengurangi biaya pengadaan pakan, serta meminimalkan
produksi limbah pada media budidaya. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan
pemahanan tentang nutrisi dan kebutuhan nutrien dari kultivan, teknologi pembuatan
pakan, serta kemampuan dalam pengelolaan pakan untuk setiap tipe budidaya dari
kultivan tertentu.
2
1.1. Pakan dalam Akuakultur
Seperti pada organisme lainnya, hewan akuatik memerlukan nutrien esensial
untuk proses pertumbuhan, pemeliharaan dan penggantian jaringan yang telah
rusak, pengaturan beberapa fungsi tubuh, serta untuk mempertahankan kondisi
kesehatan. Seiring dengan usaha intensifikasi budidaya, maka ketergantungan pada
sediaan pakan alami semakin berkurang dan sebaliknya suplai energi semakin
banyak ditentukan oleh pakan buatan yang diberikan. Dalam hal ini diperlukan pakan
dengan kadar nutrisi yang seimbang serta pemberian yang cukup untuk mendukung
pertumbuhan yang optimal dan pada akhirnya untuk peningkatan pendapatan hasil
usaha budidaya. Sebaliknya penggunaan pakan yang tidak bermutu berdampak
pada respon pertumbuhan yang rendah, mudah terserang penyakit, serta dapat
menyebabkan kematian. Oleh karena itu, perpaduan antara penggunaan pakan
berkualitas tinggi serta tingkat pengelolaan yang lebih baik telah terbukti
memperbaiki efisiensi penggunaan pakan, penurunan biaya pengadaan pakan, serta
mengurangi dampak kerusakan lingkungan.
Salah satu prinsip yang perlu diketahui dalam penerapan pakan untuk
kepentingan budidaya adalah program pemberian pakan secara efektif (effective
feeding program). Hal ini memerlukan pengetahuan tentang kebutuhan nutrien dari
kultivan yang akan dipelihara, kebiasan dan tingkah laku makan, serta kemampuan
kultivan dalam mencerna dan menggunakan nutrien esensial yang diberikan.
Pakan yang diberikan harus mampu menyediakan nutrien yang dibutuhkan
oleh kultivan seperti protein dan asam amino esensial, lemak dan asam lemak,
energi, vitamin, dan mineral. Dengan demikian, kualitas pakan pada akhirnya
ditentukan oleh tingkat nutrien yang tersedia bagi kultivan. Hal ini penting oleh
karena baik ikan maupun udang memerlukan pakan semata hanya untuk memenuhi
3
kebutuhan energi, sehingga nilai energi dari suatu pakan turut menetukan tingkat
efisiensnya.
Kebutuhan nutrien untuk spesies tertentu perlu diketahui. Sebagai contoh,
kebutuhan protein dari ikan omnivor seperti bandeng, atau ikan herbivor seperti pada
tilapia umumnya lebih rendah dibandingkan dengan ikan karnivor seperti pada
kakap, kerapu dan snapper. Setiap ikan juga berbeda mengenai kebutuhan asam
lemak esensial. Bandeng membutuhkan asam lemak dari kelompok n-3, sementara
ikan kakap dan udang windu membutuhkan asam lemak dari kelompok n-3 dan n-6.
Sebaliknya pada ikan tilapia membutuhkan asam lemak n-6. Dengan demikian,
dalam memformulasikan suatu pakan hendaknya didasarkan pada kebutuhan dan
tingkat nutrien esensial yang diperlukan dari kultivan tertentu.
Di bidang pengembangan pakan, upaya perbaikan kualitas bahan baku dan
pengurangan biaya pengadaan pakan, serta perbaikan pengelolaan pakan di tingkat
petani terus dilakukan. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi
penggunaan pakan bagi kultivan yang dipelihara. Selama pembuatan pakan perlu
diperhatikan untuk tetap mempertahankan komposisi nutrien dan sekaligus
mengeleminir zat anti-nutrisi. Pengawasan terhadap kualitas pakan dimulai dari
pemilihan bahan baku hingga proses produksi dan penyimpanan, dan terakhir pada
pengguna di lapangan juga perlu dilakukan.
Disamping itu, pengelolaan pakan harus dilakukan sebaik mungkin dengan
memperhatikan apa, berapa banyak, kapan, berapa kali, dan dimana ikan/udang
diberi pakan. Penerapan feeding regime hendaknya disesuaikan dengan tingkah laku
ikan, serta siklus alat pencernakan guna memaksimalkan penggunaan pakan.
Disamping itu, upaya mengurangi limbah pakan tidak hanya berpengaruh terhadap
biaya produksi tetapi juga berdampak pada terpeliharanya lingkungan budidaya.
4
1.2. Pakan dan Lingkungan
Usaha budidaya berkembang dengan pesat mulai dari sistem ekstensif hingga
sistem intensif. Perkembangan ini telah menimbulkan masalah terutama dalam hal
usaha budidaya yang berkelanjutan. Nutrien yang tersedia dalam pakan, sebagaian
besar dapat menjadi polutan pada lingkungan budidaya, seperti nitrogen, fosfor,
bahan organik, dan hidrogen sulfida. Semakin tinggi padat tebar membawa
konsekuensi pada peningkatan limbah metabolik yang dihasilkan. Di sisi lain limbah
metabolik tersebut akan terakumulasi dalam media budidaya dan pada gilirannya
menjadi zat racun yang menghambat pertumbuhan bahkan dapat mematikan
organisme yang dipelihara.
Limbah hasil budidaya dapat berupa : (a) bahan padatan, terutama berupa
sisa pakan, kotoran ikan (feces), serta koloni bakteri; (b) bahan terlarut, seperti
amoniak, urea, karbondioksida, fosfor dan hidrogen sulfida. Limbah ini akan
meningkat seiring dengan konversi pakan yang rendah. Pada kondisi ini diperlukan
penyesuaian jumlah pakan untuk mencegah terjadinya penumpukan sisa pakan yang
dapat meningkatkan polusi baik pada media budidaya, hamparan sekitar media
peliharaan, dan sekaligus pada daerah perairan pantai (coastal zone).
Penerapan pakan yang ramah lingkungan merupakan suatu keharusan
sebagai upaya untuk berbudidaya yang berkelanjutan. Hal ini dapat ditempuh
dengan memperhatikan beberapa hal sebagai berikut :
Pakan diformulasi dengan komposisi nutrien yang seimbang (well-
balanced diet) seperti ketersediaan asam amino yang cukup, protein : energi
rasio yang seimbang, sehingga -N banyak yang terasimilasi dalam tubuh
dan sedikit -N yang diekskresikan oleh ikan;
5
Total fosfor dalam pakan hendaknya disesuaikan dengan organisme yang
akan dipelihara. Bahan baku yang memiliki ketersediaan fosfor yang tinggi
lebih baik digunakan;
Gunakan bahan yang memiliki kecernaan tinggi guna mengurangi limbah
organik dari pakan;
Perbaikan stabilitas pakan melalui penggunaan binder yang efisien serta
teknologi pembuatan pakan yang baik;
Penggunaan sumber protein alternatif selain tepung ikan perlu pengkajian
lebih lanjut;
Hindari penggunaan bahan baku asing (exotic feedstuff) yang kemungkinan
mengandung zat yang dapat menghambat pertumbuhan, kecuali ada
metode tertentu untuk mendeteksi dan menghilangkan zat tersebut dalam
pakan.
1.3 Pendekatan Sistem Budidaya yang Berkelanjutan
Dalam hal usaha budidaya yang berkelanjutan, maka dari sisi nutrisi dan
teknologi pakan terdapat beberapa issu penting, yaitu :
a. Diperlukan adanya upaya untuk mengurangi biaya pakan
Pakan merupakan faktor produksi terbesar dari suatu usaha budidaya, dan
ketersedian pakan yang ekonomis (cost-effective feed) masih menjadi kendala
utama. Oleh karena itu, formula pakan harus dibuat sedemikian rupa sehingga
menjadi sesuatu yang murah, seperti mengurangi ketergantungan bahan baku
impor dengan memanfaatkan ketersediaan bahan baku lokal.
6
b. Alternatif penggunaan bahan pengganti tepung ikan
Dalam pembuatan pakan, tepung ikan merupakan bahan yang paling banyak
digunakan. Peningkatan produksi hasil budidaya yang diikuti dengan penurunan
produksi tepung ikan, diperlukan adanya alternatif pengganti sumber protein
tersebut. Harga tepung ikan semakin mahal dan ketersediaan semakin langka
sebagai akibat dari kebutuhan tepung ikan meningkat serta kompetisi dengan
produksi sektor pakan lain. Di negara-negara Asia misalnya, kebutuhan produk
perikanan cenderung meningkat seiring dengan peningkatan populasi penduduk
yang pada gilirannya ketersediaan tepung ikan semakin menurun.
Untuk beberapa spesies akuakultur, penggunaan bahan nabati dan limbah hasil
pengolahan (by-product) sebaiknya digunakan untuk menghasilkan pakan yang
murah. Beberapa diantaranya menjadi sumber bahan baku potensial oleh karena
kadar protein yang tinggi serta kandungan abu yang rendah seperti pada tepung
daging. Demikian pula halnya dengan bahan baku berupa biji-bijian dan kacang-
kacangan. Penerapan bioteknologi memungkinkan untuk memperoleh bahan
baku dengan kadar nutrisi yang cukup baik.
c. Penggunaan pakan supplemen
Pakan komersial disamping lebih mahal, juga mengandung nutrien yang melebihi
dari apa yang dibutuhkan oleh ikan. Pakan tersebut diformulasikan tanpa
mempertimbangkan padat tebar serta ketersediaan pakan alami di tambak.
Konsep penggunaan pakan tambahan berarti masih terdapat ketergantungan
terhadap sediaan pakan yang tumbuh secara alami di tambak atau kolam untuk
mensuplai sebagian nutrien yang diperlukan oleh kultivan. Produktivitas alami
dari suatu media budidaya semakin penting, dan pemahaman lebih jauh di bidang
ini dapat membantu terciptanya sistem pemberian pakan yang efisien.
d. Integrasi antara pakan, pengelolaan pakan dan kesadaran lingkungan
7
Sisa pakan dan hasil metabolik lainnya merupakan sumber polutan utama pada
suatu sistem produksi budidaya. Oleh karena itu, pakan yang dibuat hendaknya
ramah lingkungan (environment-friendly). Komposisi nutrisi, keseimbangan
nutrien, tingkat kecernaan, dan kestabilan pakan merupakan faktor yang dapat
berpengaruh terhadap kualitas air media budidaya.
8
II. PENGELOLAAN PAKAN
Pakan merupakan salah satu aspek penting dalam setiap aktivitas budidaya
akuatik. Pakan merupakan faktor produksi terbesar dan mencapa 50% atau lebih
dari total biaya operasional, sehingga perlu dikelola dengan baik agar dapat
digunakan secara efisien bagi kultivan. Program pemberian pakan yang baik sangat
diperlukan untuk memperoleh hasil maksimal dalam kegiatan budidaya udang
maupun ikan.
Beberapa hal penting perlu diperhatikan selama pemberian pakan pada hewan
budidaya, antara lain :
1. Pakan berkualitas merupakan hasil formulasi dengan menyediakan nutrien
sesuai dengan kebutuhan kultivan yang akan dipelihara, diproduksi dengan
kualitas baik dimana nutrien yang ada dapat tercerna secara maksimal;
2. Gunakan pakan yang attraktif, palatabilitas tinggi, serta size/ukuran yang
sesuai dengan hewan yang dipelihara;
3. Pertahankan kualitas pakan melalui penyimpanan dan penangan yang baik
dan benar;
4. Berikan pakan pada kultivan dengan jumlah dan frekuensi yang tepat sesuai
dengan jumlah dan ukuran populasi;
5. Distribusikan pakan secara merata pada media budidaya (tambak, kolam
dsb) sehingga semua udang mempunyai kesempatan yang sama untuk
memperoleh pakan;
6. Lakukan pngaturan pakan berdasarkan kualitas air dan nafsu makan udang.
9
2.1 Prosentase Pakan (Feeding rate)
Pakan yang diberikan selama periode budidaya berlangsung sangat sulit
untuk dikontrol secara tepat baik jumlah maupun waktu. Oleh karena itu pengaturan
jumlah pakan senantiasa dilakukan sesuai dengan tingkat nafsu makan,
pertumbuhan dan mortalitas udang. Jika pakan diberikan terlalu sedikit dapat
berakibat pertumbuhan lambat, bahkan memicu kanibalisme terutama pada
pemeliharaan dengan kepadatan tinggi. Demikian pula sebaliknya, pemberian pakan
berlebih dapat menimbulkan masalah. Selain sebagai limbah, sisa pakan dapat
menyebabkan penurunan mutu air di tambak.
Seberapa besar jumlah pakan yang dikonsumsi oleh udang dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu : jenis pakan, ukuran udang, suhu air, padat tebar, cuaca,
kualitas air dan status kesehatan udang itu sendiri. Faktor-faktor tersebut perlu
diperhatikan guna memaksimalkan penggunaan pakan bagi kultivan.
Suhu misalnya, mempunyai efek nyata terhadap konsumsi pakan dan
pertumbuhan. Pada udang vannamei, konsumsi pakan mencapai optimal pada suhu
27-31 C. Suhu di atas atau di bawah kisaran tersebut menyebabkan konsumsi pakan
menurun. Akiyama dan Chwang (1989) merekomendasikan persentase pakan
berdasarkan berat udang (Tabel 1) sebagai berikut.
10
Tabel 1.
Persentase pakan yang diberikan berdasarkan berat udang.
Ukuran udang (g) Sebagai Pakan Tambahan Sebagai Pakan Lengkap
0-3 10%-4% 15%-8%
3-15 4%-2,5% 8%-4%
15-40 2,5%-2% 4%-2%
Untuk menghitung jumlah pakan harian yang diberikan pada kultivan adalah dengan
mengalikan total biomas udang dengan persentase pakan sesuai dengan berat
udang seperti tercantum pada Tabel di atas.
Total biomas = jumlah populasi udang x berat individu rata-rata
Penentuan berat individu diupayakan seakurat mungkin untuk menghindari
kesalahan dalam penentuan jumlah pakan harian. Hal ini dilakukan dengan
melakukan sampling pertumbuhan tiap 10-14 hari sekali. Jumlah sampel minimal 30
ekor. Tetapi jika variasi ukuran terlalu besar, maka jumlah sampel ditingkatkan dua
kali lipat. Untuk hasil yang lebih baik seharusnya udang ditimbang satu per satu.
Sebagai alat bantu untuk memonitor respon pakan dapat digunakan anco.
Jumlah anco sekitar 4-6 buah yang dipasang pada sisi tambak. Jumlah pakan yang
dimasukkan ke dalam anco sebanyak 1,5-2% dari jumlah pakan yang akan
diberikan. Sejumlah pakan tersebut harus habis dalam waktu 1-1,5 jam (udang
ukuran besar) dan 2 jam untuk udang berukuran kurang dari 4 gram. Jika pakan di
anco habis dalam waktu lebih singkat, maka jumlah pakan berikutnya dapat
ditingkatkan hingga 5%. Demikian pula sebaliknya, jika dalam waktu 1-2 jam pakan
belum habis, maka diputuskan untuk mengurangi jumlah pakan pada pemberian
berikutnya.
11
2.2 Frekuensi Pemberian Pakan
Frekuensi pakan ditentukan berdasarkan tingkat kestabilan pakan dalam air
dan laju konsumsi pakan oleh udang. Pemberian pakan lebih sering dapat
memperbaiki rasio konversi pakan, serta mengurangi jumlah nutrien yang hilang
(leaching). Pada stadia benih, frekuensi pakan lebih sering oleh karena laju
metabolisme pada saat itu sangat tinggi. Idealnya, udang stadia post larva diberi
pakan setiap 2-3 jam sekali (12-8 kali sehari). Seiring dengan pertumbuhan udang di
tambak, maka frekuensi pakan dapat dikurangi dan umumnya maksimum 6 kali
selama 24 jam.
2.3 Rasio Konversi Pakan (FCR)
FCR merupakan salah satu indikator seberapa jauh pakan yang diberikan
dapat dimanfaatkan oleh udang untuk mendukung pertumbuhan dan sintasan. FCR
menggambarkan jumlah pakan yang diperlukan untuk menaikkan 1 kg berat udang.
Semakin rendah nilai FCR, maka pakan digunakan semakin efisien. Umumnya nilai
FCR kurng dari 2 masih dinyatakan baik. FCR yang tinggi kemungkinan disebabkn
oleh beberapa faktor, seperti : over feeding, defisiensi nutrien tertentu, kualitas air
yang buruk. Faktor-faktor tersebut perlu terus dimonitor, sehingga program
pemberian pakan lebih efisien.
2.4 Attraktabilitas dan Palatabilitas
Formulasi pakan dengan nutrisi seimbang akan sia-sia jika tidak dapat
dikonsumsi oleh udang. Attraktabilitas dan palatabilitas (cita rasa) pakan menjadi
penting untuk setiap pakan yang dihasilkan. Pada saat pakan diberikan, attraktan
(asam amino) dari pakan lepas ke air dan dideteksi oleh kemoreceptor yang
menyebar di seluruh tubuh udang. Udang makan atas dasar penciuman dan bukan
penglihatan, sehingga pakan harus mengandung attraktan yang baik sehingga
12
mudah dikenali oleh udang. Pada saat udang mulai mengambil pakan, palatabilitas
(cita rasa) menjadi penting dan menentukan apakah pakan yang diberikan ditelan
atau tidak. Attraktan umumnya berasal dari bahan-bahan hewani (tepung ikan,
tepung udang, tepung cumi dsb) dan sudah tersedia dalam pakan. Namun dalam
prakteknya, nafsu makan udang sering dipacu dengan menambahkan attraktan dari
luar seperti penggunaan silase ikan, silase biomas artemia dan sebagainya.
2.5 Penyimpanan Pakan
Salah aspek penting dalam pengolaan pakan adalah aspek penyimpanan.
Pakan termasuk produk yang mudah rusak, sehingga perlu disimpan dan ditangani
dengan baik untuk menghindari terjadinya hilangnya nutrien tertentu, terjadinya bau
tengik, dan tumbuhnya jamur. Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama
penyimpanan pakan adalah sebagai berikut :
1. Pakan harus disimpan ditempat yang kering, dingin dan berventilasi
2. Pakan disimpan di atas rak papan dan jangan simpan di atas lantai secara
langsung
3. Pakan harus terhindar dari sinar matahari langsung
4. Pakan jangan disimpan lebih dari tiga bulan
5. Pakan yang sudah rusak jangan digunakan.
13
III. PENGELOLAAN PAKAN DAN LINGKUNGAN
Budidaya udang merupakan salah satu industri besar (Rosenberry, 1999
dalam Burford dan Williams, 2001) dengan tingkat produksi sekitar 30 % dari total
suplai udang dunia (Browdy, 1998). Tingginya produksi tersebut adalah sebagai
konsekuensi dari padat tebar tinggi yang didukung oleh pemberian pakan buatan
dalam pemenuhan kebutuhan energi. Oleh karenanya tidak mengherankan pada
tahun 1990an, 75 % produksi udang dunia menggunakan pakan buatan dan sejak itu
pakan menjadi faktor produksi terbesar. Terlebih lagi dengan kecenderungan
peningkatan produksi udang hasil budidaya, maka kebutuhan pakan pun juga pasti
meningkat. Briggs et. al., (2004) laju pertumbuhan tahunan dari hasil budidaya udang
mencapai 6,8 % antara tahun 1999-2000 dan mengalami penurunan sekitar 0,9%
selama tahun 2002. Hal ini dipicu oleh penurunan mutu lingkungan budidaya dan
terjadinya serangan penyakit.
Terkait dengan lingkungan pemeliharaan, air dan sedimen tambak keduanya
saling berinteraksi secara terus menenus dan mempengaruhi lingkungan budidaya
(Gambar 1). Sedimen tambak selanjutnya dapat dipilah menjadi dua bagian besar
yaitu dasar dan pematang tambak serta akumulasi sedimen (sludge yang terkumpul
selama pemeliharaan). Sedimen ini bersumber dari sisa pakan, feses, aliran air
masuk, plankton yang mati, serta erosi. Komponen tersebut perlu dikelola dengan
baik sehingga tidak menimbulkan residu bahan organik yang berlebihan atau pada
tingkat yang dapat merusak lingkungan budidaya. Avnimelech et al., (2004),
akumulasi bahan organik yang berlebih menjadi pemicu kondisi lingkungan yang
anaerob, tingginya kebutuhan oksigen di sedimen, terjadinya penurunan mutu
lingkungan yang pada akhirnya berdampak pada respon pertumbuhan kultivan yang
rendah.
14
Di Thailand misalnya, sistem budidaya udang intensif pada mulanya dilakukan
dengan padat tebar tinggi (50-100 ekor/m2); produksi tinggi (6-12 ton/ha/MT), FCR
tinggi (1.8->2.0), serta sistem pergantian air yang lebih banyak (5-10% per hari
hingga panen). Pengelolaan air dilakukan dengan cara kombinasi antara
penggantian air baru dan pengelolaan fitoplankton melalui pengamatan warna air.
Bahkan pergantian air sangat sering terutama pada separuh waktu pemeliharaan
terakhir.
Gambar 1.Pengelolaan budidaya udang intensif dan interaksi kualitas air
(Smith dan Briggs, 1998)
Akumulasi sedimen mulai disadari semakin besar pengaruhnya terhadap
aktivitas budidaya, sehingga perlu pengelolaan sebelum siklus berikutnya
berlangsung.. Dari beberapa pengalaman, diketahui bahwa jika sedimen yang
menumpuk tidak dipindahkan atau dihilangkan dari dasar tambak, akan berakibat
fatal pada kualitas air terutama pada awal pemeliharaan. Akan tetapi cara ini tidak
berlangsung lama seiring dengan kenyataan bahwa daerah pantai dan estuarin telah
15
mengalami kerusakan atau penurunan mutu air, sehingga aktivitas budidaya
dilakukan dengan sistem pergantian air yang terbatas atau sedikit. Hal ini dilakukan
dengan alasan bahwa sistem pergantian air secara langsung menjadi pemicu
serangan penyakit. Terbukti bahwa penyakit viral seperti yellowhead melalui
perantaraan air, sedangkan whitespot melalui perantaraan krustase yang masuk
pada saat pergantian air dilakukan.
Terlepas dari keberadaan patogen atau carrier, penciptaan kondisi lingkungan
prima dalam budidaya perlu dilakukan. Faktor-faktor terkait dengan masalah tersebut
perlu diidentifikasi guna pengelolaan lingkungan budidaya yang lebih baik. Salah
satu diantaranya yang sangat penting adalah keberadaan pakan buatan dan
implikasinya bagi media budidaya selama pemeliharaan. Hal ini didasarkan pada
beberapa hal seperti : (1) pakan merupakan faktor produksi yang cukup mahal pada
sistem budidaya semi intensif dan intensif (Posadas, 1988 dalam Millamena dan
Trino, 1997); dan (2) pakan merupakan input terbesar yang dapat mempengaruhi
akumulasi bahan organik di sedimen dan kualitas air tambak (Boyd, 1993) sehingga
potensi sebagai sumber polutan jika tidak dikelolah dengan baik akibat kandungan N
dan P yang tinggi (Jackson et al., 2003).
3.1 Akumulasi Nutrien dan Bahan Organik di Dasar Tambak
Ikan dan udang dapat mengakumulasi nutrien dari pakan yang diberikan
berkisar 5-40% (Tabel 2). Dari data yang ada diketahui bahwa rerata nutrien yang
dapat tertahan dalam tubuh ikan dan udang adalah 13 % carbon, 29 % nitrogen, dan
16 % posfor. Rendahnya jumlah karbon sebagai konsekuensi dari banyaknya fraksi
karbon pakan yang lepas akibat respirasi. Data ini menunjukkan rendahnya retensi
nutrien dalam tubuh kultivan, sehingga sisanya seperti nitrogen (75%) dan posfor
(80%) terakumulasi di dasar tambak.
16
Tabel 2.
Estimasi karbon, nitrogen dan posfor dalam tubuh ikan dan udang yang dinyatakan
dalam persentase total budget nutrien (nutrien yang ditambahkan dalam bentuk
pakan dan pupuk)a. (Avnimelech dan Ritvo, 2003).
a input organik karbon melalui produktivitas primer tidak diperhitungkan
b Kalkulasi didasarkan pada jumlah C, N, dan P pada saat panen (FCR)
c 17% pada padat tebar rendah (1 Pl/m2) dan 34,6% untuk penebaran 30
Pl/m2
Komponen organik pada akumulasi sedimen merupakan campuran antara
kandungan organik tanah dasar dan material berupa detritus. Detritus merupakan
komponen sedimen yang bersumber dari plankton, feses udang dan sisa pakan.
Dengan demikian, karakter dari akumulasi sedimen sangat ditentukan oleh intensitas
budidaya yang diterapkan, kandungan organik tanah dasar, dan penerapan sistem
pergantian air.
Secara umum, masalah yang dihadapi pada tanah dasar dan akumulasi
sedimen tambak adalah akumulasi bahan organik yang berlebih dan pada akhirnya
17
akan melepaskan amoniak dan senyawa sulfur organik. Bahkan pada kondisi bahan
organik sangat tinggi dan tanah asam dapat berupa hidrogen sulfida. Dengan
demikian, untuk siklus pemeliharaan berikutnya (terutama sistem semi intensif dan
intensif), pembersihan sedimen sangat diperlukan. Jika tidak, maka sedimen ini akan
melepaskan bahan organik yang cenderung menstimulasi perkembangan
fitoplankton secara pesat terutama pada bulan pertama pemeliharaan. Avnimelech
dan Ritvo (2003) menyatakan bahwa jumlah nutrien untuk setiap 1 cm lapisan dasar
tambak setara dengan 10 kali lipat atau lebih untuk kedalaman tambak 1 meter
(Tabel 3).
Tabel 3.
Konsentrasi komponen kimia pada dasar tambak dan kolom air (Avnimelech dan
Ritvo, 2003).
Komponen Unit Kisaran konsentrasi
Air tambak Dasar tambak
Berat Kering % 10-3-10-1 20-80
Bahan organik Mg/kg 10-100 10.000-200.000
Total N Mg/kg 1-10 1000-20.000
Total N-amonia Ppm 0.1-10 1-1000
Total P Ppm 0.01-1 1000-20.000
3.2 Budget Nutrien dan Padatan (solid) di Tambak
Sebuah contoh kasus tentang budget nutrien dan padatan di tambak melalui
studi yang telah dilakukan oleh Briggs dan Smith (1994 dalam Smith dan Briggs,
1998) pada tambak dengan tekstur liat. Budget ditentukan berdasarkan bahan
padatan, partikel bahan organik, nitrogen dan posfor (Gambar 2). Dalam studinya,
digunakan tiga jenis tambak yaitu : tambak umur satu tahun, dua tahun dengan
18
kepadatan tebar berkisar 50-60ekor/m2, serta tambak umur satu tahun dengan padat
tebar tinggi (80-100 ekor/m2).
Hal mendasar yang penting dipahami dari Gambar 2 di bawah ini adalah nilai
prosentase yang ditampilkan bukan menjadi ukuran akan tetapi yang tidak kalah
pentingnya adalah proporsi jumlah dari setiap fungsi (aliran air masuk, pupuk, kapur,
pakan dsb). Kondisi demikian dapat menjadi acuan dalam pengelolaan lingkungan
budidaya udang.
Gambar 2. Budget nutrien dan total padatan di tambak (Smith dan Briggs,
1998).
Pada Gambar 2 diketahui bahwa erosi tambak merupakan sumber terbesar
baik bahan padatan (88-93%) maupun bahan organik (40-60%) di tambak. Demikian
pula halnya dengan komponen pakan memberikan kontribusi bahan organik yang
cukup signifikan (31-50%) meskipun kontribusi padatan relatif kecil (4-7%) terhadap
19
lingkungan budidaya. Ini penting oleh karena pakan juga menjadi indikator tentang
kontribusi kotoran yang dihasilkan oleh udang.
Pada tambak sistem ekstensif, aliran air masuk (influent water) merupakan
sumber sedimen terbesar, namun demikian pada sistem intensif kontribusinya hanya
berkisar 2-3 %. Sedangkan kontribusi bahan organik dari aliran air masuk cukup
signifikan (7-13%), tetapi tetap lebih rendah bila dibandingkan dengan komponen
pakan dan erosi tambak.
Tambak merupakan media sedimentasi yang cukup efektif sehingga
akumulasi sedimen di tambak dapat mencapai 91-94%. Sekitar 58-70% dari
sedimen tersebut akan mengendap sebagai bahan organik di dasar tambak.
Pergantian air secara rutin akan menghasilkan 4% bahan padatan yang terbuang
dan 3 % pada saat panen. Bahan padatan yang terbuang tersebut mengandung
bahan organik masing-masing 13 dan 9%. Sebaliknya pada udang itu sendiri,
kontribusi padatan dan bahan organik sangat sedikit yaitu masing-masing sebesar
0.7% dan 6.1%.
Data tersebut di atas menunjukkan bahwa faktor penting dalam budget nutrien
dan padatan pada suatu tambak adalah karakter tanah tambak. Pada tanah
mangrove, kandungan organik dapat mencapai 2-3 kali lipat dari tanah liat (contoh :
tanah sawah). Sebaliknya, pada tanah berpasir kandungan organiknya sangat
sedikit. Tanah yang demikian, seringkali dijumpai bahwa penumbuhan awal
fitoplankton sangat sulit bahkan seringkali dijumpai adanya kematian massal. Pada
tanah berpasir, kondisi terberat adalah rembesan yang tinggi menyebabkan bahan
organik akan masuk ke dalam matrix tanah dimana dekomposisi anaerob dapat
terjadi. Setelah satu atau dua siklus musim tanam, gagal produksi dapat terjadi
sebagai akibat dari kemunduran mutu dasar tambak.
Seperti diketahui bahwa pakan merupakan sumber organik terbesar kedua
setelah erosi dasar tambak. Pakan tersebut sangat potensial untuk menimbulkan
20
masalah jika tidak dikelolah dengan baik. Hal ini disebabkan oleh karena aktivitas
budidaya banyak bergantung pada ketersediaan pakan tambahan. Namun ironisnya,
jumlah pakan yang diberikan untuk mendukung petumbuhan kultivan hanya sedikit
yang terasimilasikan (Tabel 4). Dari sejumlah pakan yang diberikan, hanya 18-27%
nitrogen dan 6-11% carbon yang dapat diasimilasikan dalam tubuh udang. Artinya,
terdapat sejumlah nitrogen dan carbon yang dapat menjadi limbah nutrien. Sebagian
dari padanya dapat dikonversi menjadi biomas plankton, menguap ke udara atau
tertahan di sedimen.
Nitrogen tersedia dalam pakan dalam jumlah yang cukup tinggi, oleh karena
kebutuhan protein bagi udang cukup tinggi yaitu sekitar 27-60% (Tabel 5). Namun
demikian, sebagian besar (78 %) hanya terbuang ke tambak atau sedikit yang
terasimilasi dalam tubuh udang (Gambar 3) sehingga menjadi bahan pupuk yang
sangat mahal untuk menstimulasi pertumbuhan plankton dan berbagai komunitas
mikrobial. Burford dan Williams (2001), rendahnya retensi nitrogen dalam bentuk
biomass udang dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : formulasi
kurang optimal dan kualitas bahan baku, kelebihan pakan, serta rendahnya stabilitas
pakan di air.
21
Tabel 4.
Komposisi pakan, assimilasi nutrien dan jumlah yang hilang ke lingkungan (Smith
dan Stewart, 1996 dalam Smith dan Briggs, 1998).
Nutrien Proksimat analisis (%BK) Komposisi
(g/kg BK)
Assimilasi pada FCR
1.65-2.40a
Pakan Udang (g/kg
assimilasi)
% non-
Assimilasi
Protein
Lemak
Abu
Serat
Karbohidrat
Berat
kering
Nitrogen
Posfor
Carbon
45,4±2,6
6,1±0,5
12,8±0,8
3,1±0,4
23,0±2,4
90,3±1,1
7,08±0,59
1,34±0,20
43,16±1,71
54,2±2,5
4,9±0,5
19,3±0,8
2,3±0,2
19,3±1,5
24,6±1,2
11,50±0,18
1,19±0,15
41,2±1,3
454
61
128
31
23
-
70,8
13,4
43,16
61,2-89,4
5,5-8,1
21,8-31,9
2,6-3,8
21,8-31,9
-
13,0-19,0
1,3-2,0
46,5-67,9
80,3-86,5
86,7-90,9
75,1-83,0
87,8-91,6
86,2-90,5
-
73,2-81,6
85,3-90,0
84,3-89,2
a(1 kg pakan kering pada FCR 1,65-2,40 menghasilkan 113-165 g kering udang)
22
Tabel 5.
Kebutuhan protein dalam pakan pada berbagai jenis udang (Lim and Akiyama, 1995,
Guillaume 1997 dalam Tacon 2002).
Species Kebutuhan protein (%)
Penaeus japonicus
P. brasiliensis
P. monodon
P. aztecus
P. merguensis
P. indicus
P. setiferus
P. stylirostris
P. penicillatus
P. cailorniensis
P. kerathurus
P. vannamei
P. duorarum
Metapeneus monoceros
M. macleayi
40-60
45-55
35-50
29-51
34-50
40-43
28-32
30-35
22-27
>44
>40
>30
30
55
27
Lingkungan pemeliharaan (seperti salinitas) juga merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap efisiensi penggunaan pakan. Shiau (1998) melaporkan
bahwa udang windu yang dipelihara pada salinitas yang lebih rendah menunjukan
eksresi amoniak yang lebih besar dari pada yang dipelihara pada salinitas yang lebih
tinggi. Hal ini mengindikasikan adanya penggunaan protein sebagai sumber energi-
23
bukan lemak pada media pemeliharaan berkadar garam rendah. Sedangkan
nitrogen yang dihasilkan dari erosi tambak (konstributor bahan padatan terbesar di
tambak) hanya sekitar 16%. Sumber -N lainnya adalah dari aliran air masuk (4%)
dan pemupukan, curah hujan, post larvae sejumlah sejumlah 2%. Jumlah N yang
mengendap di dasar tambak (24%), udang yang dipanen (18%), dan air buangan
(27%). Selebihnya (30% N) diasumsikan lepas ke atmosfir sebagai N2 atau amonia.
Tingginya kandungan N hasil buangan akan berdampak pada badan air lainnya
(receiving water). Hal ini akan berlangsung secara cepat seiring dengan
meningkatnya jumlah buangan limbah ke lingkungan dan mengakibatkan terjadinya
penurunan mutu air (Martin et al., 1998).
Gambar 3. Budget nitrogen (N) di tambak (Smith dan Briggs, 1998).
Pada budidaya dengan sistem terbuka (open system), pergantian air tidak
menghasilkan buangan –N yang signifikan (17%) (Tabel 12). Artinya, unsur N tetap
tersedia dan terakumulasi seiring dengan meningkatnya jumlah pakan yang
diberikan. Keterlambatan dalam pergantian air akan menimbulkan masalah seperti
blooming fitoplankton dan pada akhirnya mengakibatkan stres pada udang.
24
Tabel 6.
Jumlah nutrien yang terbuang sebagai hasil dari pergantian air tambak (Smith dan
Briggs, 1998).
Adapun bentuk –N dari suatu proses budidaya dengan pemberian pakan
buatan dapat dilihat pada Gambar 4. Pada dasarnya ada tiga sumber–N terlarut
sebagai hasil dari proses pemberian pakan, yaitu : ekskresi insang, leaching dari
pakan, dan leaching dari feses. Bentuk –N dari pakan berupa amina-amina primer
terlarut (dissolved primary amines, DPA, 23%), sedang –N yang dihasilkan dari
proses leaching pada feces terdapat dalam bentuk urea.
25
Gambar 4. Model ekskresi –N (mmol m-2 d-1) dari insang, pakan, dan feses
udang dalam kolom air tambak (assumsi biomass 500 g/m2, pemberian pakan
4 x sehari, suhu air 28 C, dan asumsi sisa pakan 10%; Burford dan Williams,
2001).
Urea ini dapat digunakan oleh komunitas mikroba tambak secara cepat,
sedangkan organik –N terlarut yang dihasilkan dari proses leaching pakan kurang
efektif dimanfaatkan oleh bakteria dan hanya terakumulasi di dasar tambak.Baik
pakan maupun feses keduanya secara signifikan berpengaruh terhadap kualitas air
tambak khususnya dalam mengakumulasi DON (Dissolved organik N) dan stimulasi
pertumbuhan mikrobia. Oleh karenanya, sebagai upaya untuk mengurangi buangan
limbah dari tambak perlu dihindari adanya over feeding dan berupaya meningkatkan
retensi nutrien dalam tubuh ikan dan udang. Selain kandungan –N, pakan
merupakan sumber posfor terbesar di tambak (Gambar 5). Dari gambar tersebut
diketahui bahwa kebanyakan posfor terakumulasi di tambak, sehingga sekali lagi
sangat penting untuk mengolah limbah dasar tambak baik selama pemeliharaan
maupun setelah pemeliharaan berlangsung.
26
3.3 Alternatif Solusi Pengelolaan Limbah pada Sedimen Tambak
Burford et al., (2001) dalam Jackson et al., (2003) menjelaskan bahwa ada tiga
faktor yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan pengelolaan limbah nitrogen
di tambak, yaitu :
1. Perbaikan formulasi dan pengelolaan pakan
2. Perbaikan proses nitrogen di tambak
3. Perbaikan sistem desain dan manajemen limbah di tambak
Gambar 5. Budget posfor di tambak (Smith dan Briggs, 1998).
3.4 Perbaikan Formulasi dan Pengelolaan Pakan
Formulasi pakan dibuat melalui penggunaan berbagai bahan baku guna
menghasilkan nutrien dan energi yang sesuai bagi kultivan yang dipelihara. Jumlah
dan jenis bahan yang digunakan disesuaikan dengan jumlah nutrien yang
dikandungnya. Namun demikian faktor berupa kecernaan bahan dan harga turut
menentukan dalam pembuatan suatu ransum atau formula pakan. Pakan udang
khususnya, memerlukan protein yang cukup tinggi dalam pakannya. Hal ini berarti
bahwa kandungan N dalam pakan cukup tinggi seperti dijelaskan sebelumnya.
Peningkatan kecernaan pakan dan retensi/asimilasi dalam tubuh udang perlu
dilakukan. Jika tidak, sumber N tersebut akan lepas ke lingkungan dan pada
27
akhirnya berpegaruh terhadap mutu air tambak. Oleh karenanya, sebelum membuat
suatu formulasi, faktor kandungan nutrien dan tingkat kecernaan bahan sangat
diperlukan. Pada kenyataannya, bahan hewani memiliki tingkat kecernaan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan bahan nabati. Tidak mengherankan jika dalam
pembuatan pakan udang penggunaan bahan hewani banyak digunakan seperti
tepung ikan, tepung kepala udang, tepung cumi, dsb. Disamping itu, faktor lain
adalah bahan hewani memiliki profil asam amino yang lengkap serta mengandung
zat attraktan (Tacon, 1993).
Ketergantungan terhadap penggunaan tepung ikan dalam suatu formulasi
pakan cukup tinggi (Lim, 1994), bahkan sebagai sumber protein hewani, kontribusi
protein lebih dominan yaitu sekitar 60% (Goddard, 1996). Hal ini menyebabkan
penggunaan tepung ikan menjadi issu penting saat ini oleh karena kelangkaan
sumberdaya serta kompetisi penggunaan dengan sektor lain seperti peternakan.
Terkait dengan masalah tersebut, kajian formulasi untuk beberapa species diarahkan
pada pencarian bahan baku pengganti tepung ikan. Upaya ini tidak hanya
dimaksudkan untuk mengatasi kelangkaan sumberdaya, tetapi sekaligus
menciptakan pakan dengan harga murah (sumber protein cukup mahal) serta ramah
lingkungan.
Penggunaan growth enhancer (GE) dalam pakan banyak diaplikasikan
dengan tujuan meningkatkan asimilasi nutrien dalam tubuh ikan maupun udang.
Sebagai contoh adalah penggunaan cumi-cumi, hidrolisis udang kecil (krill) dan
beberapa jenis ikan. Hasil percobaan (Cordova-Murueta, et al., 2003) menunjukkan
bahwa penggunaan ketiga sumber GH tersebut dalam pakan udang menunjukkan
respon pertumbuhan yang baik meskipun dalam jumlah relatif sedikit.
Aspek lain adalah pengelolaan pakan secara umum terutama yang terkait
dengan jumlah dan frekuensi pemberian. Jumlah pakan harian yang diberikan
meningkat seiring dengan bertambahnya lama pemeliharaan. Faktor terpenting
28
dalam hal ini adalah estimasi biomass harian dan laju pertumbuhan (SGR) seperti
ditunjukkan pada formula berikut ini :
Wt = Wo x (1 + SGR/100)t .................... (1)
SGR = ln(Wt/Wo)/t x 100 .................... (2)
JPt = Wt x F ...................................... (3)
dimana :
Wt = Biomass pada hari ke-t (g)
Wo = Biomass awal (hari ke-0; g)
SGR = Laju pertumbuhan spesifik (%/h)
JPt = Jumlah pakan pada hari ke-t (g)
F = Prosentase pemberian pakan (%)
t = Lama pemeliharaan (hari)
Nilai SGR dapat diketahui melalui pertumbuhan udang secara normal yang
diamati secara periodik. Setelah penentuan jumlah pakan harian, masalah berikut
adalah berapa kali pakan diaplikasikan. Frekuensi pemberian pakan dimaksudkan
untuk mengoptimalkan penggunaan pakan bagi udang. Pakan memiliki kestabilan
yang terbatas dalam air, sehingga dalam waktu relatif singkat diharapkan dikonsumsi
oleh udang. Pakan yang terlalu lama di dasar tambak, selain dapat melepaskan
nutrien tertentu (leaching), juga mudah hancur sehingga sulit untuk ditangkap oleh
udang. Suatu percobaan telah dilakukan oleh Smith et. al., (2002) dengan simulasi
pemeliharaan udang (berat awal 5,6 g/ekor) di bak kapasitas 2500 liter. Ada empat
perlakuan frekuensi pemberian pakan, yaitu : 3; 4; 5; dan 6 kali sehari. Dari hasil
percobaan dilaporkan bahwa frekuensi pemberian pakan lebih dari 3 kali sehari tidak
menguntungkan selama pakan itu memiliki kandungan nutrisi yang cukup serta
kestabilan dalam air yang tinggi. Dalam percobaan ini, lama pakan dalam air untuk
29
semua perlakuan adalah sama yaitu 12 jam. Kajian ini perlu verifikasi di lapangan,
mengingat aplikasi pakan di tambak seringkali diberikan dengan frekuensi lebih dari
tiga kali sehari.
3.5 Perbaikan Proses- N di Tambak
Penggunaan bakteri remedian sudah umum digunakan guna mengurangi
kadar amonia, bahan organik dan selanjutnya memperbaiki akumulasi sedimen di
tambak. Disamping itu, penambahan sumber karbon (gula, molases, dsb) umum
digunakan dengan maksud untuk merubah komoditas bakteri di tambak sehingga
meningkatkan aktivitas bakteri heterotropik yang berperan untuk mereduksi amoniak.
Namun demikian, yang menjadi masalah adalah dalam bentuk apa amonia direduksi
dan apakah berlangsung lama? (Smith dan Briggs, 1998). Liu dan Han (2004) telah
melakukan kajian pengolahan limbah hasil pemeliharaan larva udang. Dari hasil
percobaan diketahui bahwa penambahan bakteri remedian (Bacillus subtilis) dan
nutrin berupa glukosa dan atau posfat sangat signifikan terhadap penurunan kadar
bahan organik terlarut (DOM) dan total amonia nitrogen (TAN).
Strategi lain yang dapat dilakukan guna mengurangi inorganik N di tambak
adalah dengan cara manipulasi C/N rasio melalui penambahan materi yang
mengandung carbon (carbonaceus material). Pada prinsipnya, penambahan sumber
karbon di sedimen adalah sebagai sumber makanan bakteri guna menghasilkan
energi bagi pertumbuhannya. Selama proses pertumbuhan, berarti terjadi
pembentukan sel-sel baru dalam bentuk protein seperti ditunjukkan dalam diagram
berikut (Avnimelech, 1999) :
Aktivasi suspensi di tambak (Gambar 6) merupakan salah satu alternatif untuk
menjadi biofilter. Hal ini telah berkembang pada budidaya ikan nila. Prinsip yang
sama digunakan pada budidaya udang intensif di Belize. Metode ini didasarkan pada
kenyataan bahwa pada budidaya sistem intensif aerasi dan pencampuran air terjadi
30
terus menerus, sebagai bagian integral dari operasional budidaya. Proses
pencampuran dan pengaerasian merupakan wujud sebagaian besar dari sistem
produksi berbasis bioteknologi. Dengan aktivasi suspensi ini terjadi populasi bakteri
yang sangat padat pada kondisi optimal, dan selanjutnya digunakan untuk mengolah
limbah dan menjamin terciptanya kondisi budidaya yang aman bagi ikan, skaligus
mendaur ulang pakan dalam sistem budidaya.
Gambar 6. Skema aktivasi suspensi di tambak. Pemeliharan dan pengelolaan
limbah berlangsung dalam wadah yang sama (Avnimelech, 2000).
Organik C CO 2 energi assimilasi C dalam sel-sel mikrobial
Untuk sistesa protoplasma mikrobial secara optimal memerlukan C/N rasio
sebesar 10 : 1 (Worne, 1992). Rasio ini terkait erat dengan komposisi karbon dan
nitrogen masing-masing sebesar 50% dan 10 % berat kering dengan efisiensi
assimilasi karbon sekitar 5-10% (Boyd,1995). Hari et al., (2004) telah melakukan
percobaan pembesaran udang (P. monodon) skala laboratoris dan skala massal di
31
tambak tentang pengaruh penambahan sumber karbon. Hasil percobaan
menunjukkan bahwa penambahan karbohidrat (tepung tapioka) secara signifikan
menurunkan TAN dan meningkatkan populasi bakteri heterotropik baik di kolom air
maupun di sedimen. Kajian selanjutnya (Avnimelech, 1999) memformulasikan secara
detail bahwa untuk mengimmobilisasi 1 kg TAN diperlukan 20 kg karbon.
3.6 Perbaikan Desain dan Manajemen Limbah di Tambak
Baik teori, eksperimen secara laboratoris dan data lapangan menunjukkan
bahwa kondisi dasar tambak sangat penting dalam mendukung keberhasilan
produksi udang. Hal mendasar dalam hal ini adalah bagaimana meminimalkan
penutupan dasar tambak oleh sludge. Ada dua cara secara simultan untuk
mengontrol sedimen di tambak, yaitu : (1) aerator: yang mengarahkan limbah organik
pada daerah atau zona tertentu di dasar tambak sehingga bagian tambak lainnya
tetap bersih dari akumulasi sedimen; dan (2) adanya daerah untuk menangkap
sediment di dasar tambak. Terlepas dari cara tersebut, (Avnimelech dan Ritvo, 2003)
menjelaskan bahwa hal penting dan umum dilakukan unuk perbaikan kondisi dasar
tambak adalah melalui perlakuan tanah dasar antar siklus pemeliharaan, baik
dengan pengeringan atau dengan mengangkat lapisan sedimen. Lebih lanjut Boyd
dan Pippopinyo (1994), kadar air dan pH optimum untuk proses respirasi dasar
tambak adalah masing-masing 12-20% dan 7,5-8,0.
3.7 Aplikasi Probiotik dan Feed Additive
Alasan penggunaan probiotik (Poernomo, 2004) adalah sebagai berikut :
Dalam budidaya udang intensif ( kepadatan tebar ( 30 - 40 PL/m2 untuk udang
windu atau 80-100 PL/m2 udang vanamei, penimbunan kotoran (faeces udang,
sisa pakan dan bangkai plankton) didasar cukup cepat selama pembesaran
udang ( 2,5 - >3,0 kg TS/kg udang) .
32
Kotoran ini walaupun di bersihkan setiap hari masih banyak tertimbun didalam
tambak.
Dalam waktu pembesaran udang selama minimum 4 bulan terjadi proses
pembusukan terutama dalam kondisi anaerob yang menghasilkan gas beracun (
H2S, NH3, NO2, dll ) yang sangat bahaya bagi udang yang dipelihara. Udang
bisa stress dan lebih peka terhadap penyakit dengan dampak akhir kegagalan
budidaya.
Air sumber banyak terkontaminasi dengan virus dan bakteri pathogen.
Pengaruh negatif dari hasil pembusukan kotoran ( bahan organik ) tersebut dapat
diantisipasi dengan penggunaan ProBiotik secara tepat ( jenis dan cara aplikasi ).
Penggunaan ProBiotik dapat meningkatkan mutu dan kesehatan lingkungan dan
bahan pangan.
Salah satu faktor kunci dalam memilih jenis probiotik yang digunakan adalah
probiotik tersebut sudah mendapatkan legalitas melalui pengujian secara saintifik.
Hal ini penting oleh karena sekarang ini jenis probiotik yang beredar di pasaran
sangat banyak sehingga selektifitas sangat diperlukan untuk efisiensi faktor produksi.
Hal yang sama juga berlaku pada aplikasi jenis dan jumlah feed additive.
Perlu disadari bahwa udang memiliki pola makan yang berbeda dibandingkan
dengan ikan. Sistem makan dengan menggigit makanan secara sedikit demi sedikit
memungkinkan adanya pelepasan nutrien (termasuk feed additive yang
ditambahkan) ke dalam media budidaya. Dengan demikian karakteristik bahan
additive harus diketahui.
33
DAFTAR PUSTAKA
Avnimelech, Y., 1999. Carbon/nitrogen ratio as a control element in aquaculture systems. Aquaculture 176, 227-235.
Avnimelech, Y., 2000. Nitrogen control and protein recycling : Activated suspension ponds. Global Aquaculture Advocate, April :23-24
Avnimelech, Y ., and G. Ritvo., 2003. Shrimp and fish pond soiln: processes and management. Aquaculture 220,549-567.
Avnimelech, Y., G. Ritvo., and M. Kocha., 2004. Evaluating the active redox and organic fractions in pond bottom soils: EOM, easily oxidized material. Aquaculture xx,xxx-xxx
Borlongan, I.G, and Coloso, R.M. 1993. Requirements of Milkfish ( Chanos chanos Forsskal ) Juveniles for Essential Amino Acids. J. Nutr.123:125-132.
Boyd, C.E., 1993. Shrimp pond bottom soil and sediment management. Proceeding of the special session on shrimp farming. Wyban, J (ed). World Aquac. Soc.43-58.
Boyd, C. E., S. Pippopinto., 1994. Factors affecting respiration in dry pond soils. Aquaculture 120,283-293
Boyd, C. E., 1995. Bottom soils, sediment, and pond aquaculture. Chapman & Hall.
Briggs, M., Funge-Smith, S., Subasinghe, R., Phillips, M. 2004. Introduction and movement of Penaeus vannamei and P. stilyrostris in Asia and Pasific. FAO, RAP Publication 2004/10. Regional officer for Asia and Pasific, Bangkok.
Browdy, 1998. Recent developments in penaeid broodstock and seed production technologies: improving the outlook for superior captive stocks. Aquaculture 164,3-21.
Burford, M. A., K.C. Williams, 2001. The fate of nitrogenous waste from shrimp feeding. Aquaculture 198, 79-93.
Coloso, R.M., Murrillo-Gurrea, D.N., Borlongan, I.G, and Catacutan, M.R. 1999. Sulphur Amino Acid Requirement of Juvenile Asian seabass Lates calcarifer. J. Appl. Icthyol.15(2)54-58.
Cordova-Murueta, J.H., F.L.,G-Carreno., 2002. Nutrive value of squid and hyrolyzed protein supplement in shrimp feed. Aquaculture 210, 371-384.
34
Cuzon, G., A. Lawrence., G. Gaxiola., C. Rosas., J. Guillaume. 2004. Nutrition of Litopenaeus vannamei reared in tanks or in ponds. Aquaculture 235 : 513-551.
Goddard, S., 1996. Feed management in intensive aquaculture. Chapman and Hall, New York.
Feed Development Section. 1994. Feeds and Feeding of Milkfish, Nile Tilapia, Asian Seabass, and Tiger Shrimp. SEAFDEC Aquaculture Department, Tigbauan Iloilo Philippines.97 p.
Gonzales-Felix, M., and M. Perez-Valazquez, 2002. Current status of lipid nutrition of Pacific white shrimp Litopenaeus vannamei. In : Cruz-Suarez, L.E., Ricque-Marie, D., Tapia-Salazar, M., Gaxiola-Cortes, M.G., Simoes, N (eds). Advances en Nutricion Acuicola VI. Memorias del VI Simposium Internacional de Nutricion Acuicola. 3 al 6 de Septiembre del 2002. Cancun, Quintana Roo, Mexoco.
Hari , B., B. M. Kurup., J. T. Varghese., J. W. Schrama, M.C.J. Verdegem, 2004. Effects of carbohydrate addition on production in extensive shrimp culture systems. Aquaculture, 241:179-194.
Jackson, C., N. Preston., P. J. Thompson., and M. Burford., 2003. Nitrogen budget and effluent nitrogen components at an intensive shrimp farm. Aquaculture 218, 397-411.
Kureshy, N and D.A. Davis. 2002. Protein requirement for maintanance and maximum weight gain for the Pacific white shrimp, Litopenaeus vannamei. Aquaculture 204 : 125-143.
Lim, C., 1994. Future considerations in fish nutrition research. In: Feed for small-scale aquaculture (Santiago et al., eds.). SEAFDEC-aQD, Iloilo, Philippines.
Liu, F., W. Han., 2004. Reuse strategy of wastewater in prawn nursery by microbial remediation. Aquaculture 230, 281-296.
Martin, J.L.M., Y. Veran., O. Guelorget., and D. Pham., 1998. Shrimp rearing : stocking density, growth, impact on sediment, waste output and their relationships in rearing ponds. Aquaculture 164, 135-149.
Millamena, O.M., Bautista-Teruel M.N., and Kanazawa, A. 1996. Valine Requirements of Juvenile Marine Shrimp, Penaeus monodon Fabricius). Aquac. Nutr (2)3:129-132.
35
Millamena, O. M., A. T. Trino., 1997. Low-cost feed for Penaeus monodon reared in tanks, under semi-intensive and intensive conditions in brackishwater pond. Aquaculture 154, 69-78.
National Research Council.1983. Nutrient Requirements of Warmwater Fishes and Shellfishes. Washington DC. Academy Press.102 p.
Santiago, C.B.,and Lovell, R.T.1988. Amino Acid Requirements for Growth of Nile Tilapia. J. Nutr 118:1540-1546.
Shiau, S.Y., 1998. Nutrient requirement of penaeid shrimps. Aquaculture 164, 77-93.
Smith, S. J. F., and M. R. P. Briggs, 1998. Nutrient budget in intensive shrimp ponds: implications for sustainability. Aquaculture 164, 117-133.
Smith, D. M., M. A. Burford., S. J. Tabrett., S. J. Irvin., and L. Ward., 2002. The effect of feeding frequency on water quality and growth of the black tiger shrimp (Penaeus monodon). Aquaculture 207, 125-136.
Tacon, A.G.J., 1993. Feed ingredient for warmwater fish : Fish meal and processed feedstuffs. FO-UN, Rome.
Tacon, A. G. J., 2002. Thematic Review of Feed and Feed management Practices in Shrimp Aquaculture. Report prepared under the World Bank, NACA, WWF and FAO Consortium Program on Shrimp Farming and the Environment. Work in Progress for Public Discussion. Publised by the Consortium.
Thakur, D.P., C. K. Lin, 2003. Water quality and budget nutrient in closed shrimp (Penaeus monodon) culture systems. Aqua. Engeneering, 27:159-176.
Worne, H., 1992. Introduction to microbial biotechnology including hazardous waste treatment. Hazardous Materials Control Resources Institute, USA.