Upload
others
View
20
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Makna Perlengkapan Tri Sandhya Dalam Tradisi Hindu
(Studi Kasus Pura Parahyangan Jagat Guru BSD)
Tugas Akhir
Disusun Oleh:
Aidha Suryani
NIM : 11170321000042
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDIN
UIN SYARIFHIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
Makna Perlengkapan Tri Sandhya Dalam Tradisi Hindu
(Studi Kasus Pura Parahyangan Jagat Guru BSD)
Skripsi ini Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Tugas Akhir
Untuk memperoleh gelar Sarjana Studi Agama-Agama (S.Ag)
Disusun Oleh:
Aidha Suryani
NIM : 11170321000042
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDIN
UIN SYARIFHIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
i
LEMBAR PERNYATAAN
ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
MAKNA PERLENGKAPAN TRI SANDHYA DALAM TRADISI HINDU
(STUDI KASUS PURA PARAHYANGAN JAGAT GURU BSD)
Skiripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Aidha Suryani
NIM: 11170321000042
Pembimbing
NIP: 197103101997031005
PRODI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H / 2021 M
Syaiful Azmi, MA
iii
LEMBAR PENGESAHAN
iv
ABSTRAK
Aidha Suryani
Judul Skripsi: MAKNA PERLENGKAPAN TRI SANDHYA DALAM
TRADISI HINDU (Studi Kasus Pura Parahyangan Jagat Guru BSD)
Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan dan menjelaskan secara detail
mengenai Makna perlengkapan Tri Sandhya dalam tradisi Hindu di Pura
Parahyangan Jagat Guru BSD. Disamping Juga untuk mengetahui bagaimana
proses pelaksanaan dan tata cara peribadatannya.
Untuk menjelaskan tujuan masalah diatas penulis menggunakan jenis
penelitian kualitatif. Dalam hal ini, penulis terlibat secara langsung dalam
pemerolehan data dengan cara observasi, dokumentasi, dan wawancara dengan
pengurus di Pura Parahyangan Jagat Guru BSD yang dilakukan menggunakan
Handphone. Selain itu penelitian ini menggunakan jenis data pustaka seperti, buku,
skripsi, jurnal, artikel, media internet, dan sebagainya yang mencakup penelitian.
Memahami penelitian ini menggunakan pendekatan Antropologi, yaitu mengkaji
tentang makna simbol kebudayaan- kebudayaan produk manusia yang berhubungan
dengan agama atau keyakinan umat Hindu di Pura Parahyangan Jagat Guru BSD
dengan menggunakan teori Clifford Geertz. Penelitian ini bertujuan untuk
menjelaskan makna , simbol sarana.
Hasil dari penelitian ini penulis mengetahui tata cara sembahyang Tri
Sandhya dan juga makna perlengkapan dalam agama Hindu. Secara umum biasanya
perlengkapan dalam suatu persembahyangan hanya dilihat dari estetikanya saja
padahal terlebih dari itu di dalam wujudnya yang unik ataupun bagus terdapat arti,
fungdi dan makna yang berbeda. Terlebih dalam tata cara melaksanakan
persembahyangan harian atau Tri Sandhya memiliki beberapa tahap, persiapan diri
dengan hati yang tulus ikhlas dan pikiran yang bersih dilanjutkan dengan
mempersiapkan sarana-prasarana, dan pelaksanaan kramaning sembah di iringi
mantram Tri sandhya. Umat Hindu di Pura Parahyangan Jagat Guru BSD, mereka
menggunakan perlengkapan sembahyang Tri Sandhya meliputi Dupa (api), Bunga,
Kwangen, Tirtha (air) dan Bija (beras), dari kelima perlengkapan tersebut memiliki
makna yang berbeda.
Kata kunci: Makna Perlengkapan Sembahyang, Tri Sandhya
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdulillahirobbil ‘alamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Skripsi yang berjudul “MAKNA PERLENGKAPAN TRI SANDHYA DALAM
TRADISI HINDU (Studi kasus Pura Parahyangan Jagat Guru BSD)” disusun guna
memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1), Jurusan Studi
Agama-Agama, Fakultas Ushuluddin, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa skripsi yang jauh dari
sempurna ini tidak dapat selesai tanpa adanya dukungan dan banyak pihak baik
secara langsung dan tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan banyak terimakasih kepada pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian skripsi ini, khususnya kepada:
1. Kedua Orang tua tercinta yang selalu memberikan kasih sayang, do’a,
nasihat, motivasi, saran, dukungan dan dorongan moril maupun materil.
Semoga penulis dapat membalas perjuangan orang tua, untuk mama
Nurhasnah dan ayah Udin Bunco selaku orang tua yang selalu mendukung
dan pemberi semangat, juga adik-adikku Indah Septi Hariyanti dan Suci
Rahmadina yang selalu mendoakan.
2. Dr. Yusuf Rahman, MA, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Syaiful Azmi, MA, selaku dosen pembimbing sekaligus Ketua
Program Studi Agama-Agama yang selalu meluangkan waktu untuk
memberikan arahan dan bimbingan serta motivasi sehingga membuka
cakrawala berpikir dan nuansa ilmu yang baru.
4. Bapak Drs. Moh. Nuh HS, M.Ag, selaku dosen pembimbing akademik dan
seluruh dosen FU dan Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang tidak dapat disebut satu persatu tanpa mengurangi rasa hormat
atas ilmu dan pelajaran dalam perkuliahan atau di luar perkuliahan.
vi
5. Seluruh jajaran pimpinan dan staf Fakultas Ushuluddin atas bantuan dalam
persiapan pelaksanaan seminar proposal dan ujian komprehensif.
6. Bapak Pinandita Nyoman Winta, Pamangku Ketut Suarna, beserta staf Pura
Parahyangan Jagat Guru BSD yang telah berkenan memberikan izin
penulis untuk melakukan penelitian sekaligus menjadi narasumber untuk
melengkapi isi skripsi.
7. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga besar H. Bodong
bin H. Gebog dan juga keluarga yang di medan yang telah memberikan
nasihat, do’a, serta dorongan kuat hingga penulis bisa kuliah dan
menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada keluarga besar Padjadjaran Cimande terutama Padjadjaran
Cimande 11 Tangerang yang telah memberikan nasihat, do’a, serta
dorongan kuat hingga penulis bisa kuliah dan menyelesaikan skripsi ini.
9. Teman-teman penulis Febriyanti Eka Lestari A.md, Affely Dwi Iqsani,
Ros Sudarsih, Diah Ayu Marlina, dan Budiman Farandy S.kom yang selalu
ada untuk mendengarkan keluh kesah penulis dan memberikan semangat.
10. Teman seper bimbingan Muria Khusnunisa dan Fien Milenia Agustin yang
selalu bisa bertukar keluh kesah untuk mendengarkan suka duka penulis
dan memberikan semangat. Teman seper skripsian Muhammad Ubaydillah,
Febriah Nopitasari, Faiq Amril, Nurul Bayti, Devita Anggraeni, Amelia
Rahmalia, Nawaliah Nurwakhidah.
11. Seluruh teman-teman Studi Agama-Agama angkatan 2017 terima kasih
kalian sudah memberikan warna kehidupan di Fakultas Ushuluddin.
12. Kepada teman-teman KKN Pasundan 97: Dandy, kak Laila, Fariska,
Gendhys, Arza, Fazar, Malik, Mayang, Dwi, Adesti, Mega, Fadel, Esti,
Yudi, Aini, Sani, Mahmuddin, dan NJ yang telah memberikan doa dan
semangat. Semoga kalian diberikan kelancaran dalam menyelesaikan
urusan dan diberikan kesehatan.
13. Semua pihak yang telah membantu yang belum disebutkan tanpa
mengurangi rasa hormat, Terima kasih.
vii
Sebagai manusia biasa yang tidak pernah luput dari kekurangan dan
keterbatasan, penulis menyadari bahwa penelitian ini mungkin masih banyak
kekurangannya. Oleh sebab itu, penulis menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk menyempurnakan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Penulis mengharapkan penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak
dan dapat memenuhi apa yang diharapkan oleh semua pihak. Semoga Allah SWT
memberikan keberkahan kepada kita semua. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta 17 Juni 2021
Aidha Suryani
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 8
E. Kerangka Teori............................................................................................. 9
F. Metode Penelitian....................................................................................... 11
G. Sistematika Penulisan ................................................................................ 14
BAB II PURA PARAHYANGAN JAGAT GURU BSD ................................. 17
A. Sejarah Berdirinya Pura Parahyangan Jagat Guru BSD ............................ 17
B. Pendiri Pura Parahyangan Jagat Guru BSD ............................................... 18
C. Lokasi Pura Parahyangan Jagat Guru BSD ................................................ 22
D. Struktur Nama Pengurus Pura Parahyangan Jagat Guru BSD ................... 22
E. Aliran Hindu Dalam Pura Parahyangan Jagat Guru BSD .......................... 32
BAB III TATA CARA SEMBAHYANG TRI SANDHYA ............................. 34
A. Pengertian Sembahyang ............................................................................. 34
C. Mantra-mantra Tri Sandhya ....................................................................... 39
D. Kramaning Sembah .................................................................................... 42
E. Sikap Badan, Sikap Batin, Sikap Tangan .................................................. 47
BAB IV MAKNA PERLENGKAPAN SEMBAHYANG TRI SANDYA ...... 50
A. Perlengkapan Dalam Sembahyang Tri Sandya .......................................... 50
1. Dupa ....................................................................................................... 52
2. Bunga ...................................................................................................... 53
3. Kwangen ................................................................................................. 55
vii
4. Tirtha ...................................................................................................... 57
5. Bija ......................................................................................................... 59
B. Makna Perlengkapan Sembahyang Tri Sandya.......................................... 60
C. Doa-doa Metirtha, Mesekar, Mebija .......................................................... 65
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 70
A. Kesimpulan ................................................................................................ 70
B. Saran ........................................................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 72
Lampiran I Pedoman Interview ........................................................................... 76
Lampiran II Hasil Wawancara ........................................................................... 77
Lampiran III Hasil Dokumentasi ........................................................................ 85
Lampiran IV Surat Keterangan Riset ................................................................. 93
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Struktur Bagan Ketua Banjar ............................................................. 21
Gambar 2 :Struktur Mandala Utama ..................................................................... 24
Gambar 3 : Struktur Madya Mandala.................................................................... 26
Gambar 4 : Struktur Nista Mandala ...................................................................... 28
Gambar 5 : Bagan Pura Bali ................................................................................. 29
Gambar 6 : Struktur Pengurus Pura ...................................................................... 30
Gambar 7 : Struktur Pengurus Pura ...................................................................... 31
Gambar 8 : Duduk besila untuk laki-laki .............................................................. 48
Gambar 9 : Duduk bersimpuh untuk perempuan .................................................. 49
Gambar 10 : Dokumentasi dupa ............................................................................ 53
Gambar 11 : Dokumentasi Bunga dan Kwangen. (bunga yang berwarna kuning) 55
Gambar 12 : Dokumentasi Bunga dan Kwangen. (Kwangen yang bentuk kojong)
............................................................................................................................... 57
Gambar 13 : Dokumentasi Tirtha (air) .................................................................. 59
Gambar 14 : Dokumentasi Bija ............................................................................. 60
Gambar 15 : Bangunan yang terdapat di Pura ...................................................... 85
Gambar 16 : Pinandita saat memulai memimpin Sembahyang Tri Sandhya ........ 85
Gambar 17 : Umat Hindu yang melaksankan Tri Sandhya di Pura ...................... 86
Gambar 18 : Melakukan Kramaning Sembah ....................................................... 86
Gambar 19 : Pelaksanaan Metirtha, Mebija .......................................................... 87
Gambar 20 : Foto bersama Pinandita dan umat Hindu ......................................... 87
Gambar 21 : Canang.............................................................................................. 88
Gambar 22: Posisi kaki perempuan melakukan Sembahyang Tri Sandhya .......... 88
Gambar 23 : Posisi kaki laki-laki .......................................................................... 89
Gambar 24 : Proses Metirtha................................................................................. 89
Gambar 25 : Umat Hindu setelah melakukan Tri Sandhya................................... 90
Gambar 26 : Patung Darwapala ............................................................................ 90
Gambar 27 : Pintu Masuk Mandala Utama ........................................................... 91
Gambar 28 : Bunga Teratai ................................................................................... 91
Gambar 29 : Wawancara dengan Bapak Alif selaku ketua masyarakat Pura
Parahyangan Jagat Guru ........................................................................................ 92
ix
Gambar 30 : Wawancara dengan Pinandita Nyoman Wintha ............................... 92
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia lahir dengan dikaruniai akal, pikiran serta kemampuan yg berbeda-
beda. Untuk itu manusia membutuhkan suatu hal untuk dirinya sebagai pondasi
kehidupan seperti beragama contohnya. Dengan beragama manusia dapat
menyelesaikan masalah dengan didorong oleh hal-hal religius dari suatu agama itu
sendiri.
Manusia membutuhkan sesuatu kekuatan spiritual ataupun konsep beribadah.
Hal ini, berlaku pada setiap manusia yang beragama. Ibadah dapat melatih diri
manusia dan akan membentuk akhlak yang baik. Akhlak yang baik merupakan hasil
dari cerminan manusia yang beragama.
Setiap umat beragama memiliki aktivitas Ibadah yang rutin dilakukan. Bagi
umat Islam, Ibadah rutin tersebut adalah menjalankan shalat 5 waktu. Bagi umat
Hindu Ibadah yang dilakukan adalah sembahyang dengan persiapan lahir dan batin.
Bagi umat Buddha biasa disebut dengan puja (pemujaan). Lalu di agama Kristen
dengan cara pergi ke gereja dan melakukan pembacaan ayat al-kitab. Banyak
agama-agama lain yang juga beribadah dengan cara mereka masing-masing.
Kelahiran agama Hindu secara historis, dilatar belakangi oleh akulturasi
kebudayaan antara suku Arya sebagai bangsa pendatang dari Iran dan Dravida
sebagai penduduk asli India. Bangsa Arya masuk ke India kira-kira tahun 1500 SM.
Dengan segala kepercayaan dan kebudayaan yang bersifat primitif (posesif), telah
menjadi thesa (Dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan) di satu pihak, dan
kepercayaan bangsa Dravida yang animis telah menjadi antitesa (tanggapan) di lain
pihak. Dari sinkretisme antara keduanya, maka lahir agama Hindu (Hinduisme)
sebagai synthesa (kesimpulan).1
Kitab suci agama Hindu yaitu Veda/Weda, Weda secara etimologi berasal
dari kata “Vid” (bahasa sansekerta) yang artinya mengetahui atau pengetahuan.
Weda adalah ilmu pengetahuan suci yang maha sempurna dan kekal abadi serta
berasal dari Hyang Widhi Wasa. Kitab suci weda dikenal pula dengan surti, yang
1 Ali Abdullah , Perbandingan Agama, (Bandung: Nuansa Aulia, 2007), h. 159
2
artinya bahwa kitab suci weda adalah wahyu yang diterima melalui pendengaran
suci dengan pemekaran intitusi para maha Resi (para dewa).
Selain itu, bagaimana cara mendekatkan diri kepada Sang Hyang Widhi
dengan melakukan metode yang diajarkan di dalam kitab suci Weda yaitu, empat
jalan yang disebut Catur Marga atau Catur Yoga, yang mana masing-masing dari
jalan tersebut memberi jaminan untuk kesuksesan dalam menuju Tuhan
berdasarkan bakat kemampuan hidup. Catur Marga atau Catur Yoga tersebut
adalah:
a. Karma Yoga Adalah jalan atau usaha yang ditempuh untuk mencapai moksa
dengan melakukan perbuatan baik.
b. Bhakti Yoga Adalah jalan menuju ke jalan Tuhan yang diwujudkan dengan
proses atas cara mempersatukan Atman dengan Brahman dengan
berlandaskan atas cinta kasih yang mendalam kepada Sang Hyang Widhi
melalui sikap berpikir, berkata dan berbuat sebagai rasa sujud
kehadapannya.
c. Yajna Yoga Yoga adalah jalan mendekatkan diri dengan Tuhan melalui
jalan pengetahuan. Ia juga dimaksud mempersatukan Jiwa Atman dengan
Paramatman yang dicapai melalui jalan mempelajari dan mengamalkan
ilmu pengetahuan ketuhanan yang dimiliki di dalam kehidupan sehari-hari.
d. Raja Yoga juga disebut sebagai raja widya yang artinya pengetahuan yang
tertinggi yaitu pengetahuan tentang hakekat Tuhan Yang Maha Esa.
e. Catur Warna Catur Warna adalah bakat keterampilan yang dimiliki antara
satu dengan yang lainnya. Bakat yang dimiliki oleh setiap orang dibedakan
berdasarkan warna sebagai identitas pengabdiannya di masyarakat.2
Dalam konsep penyembahan terhadap Sang Hyang Widhi dalam agama
Hindu tidak terlepas dari Yadnya. Kata Yadnya berasal dari kata “YAJ” dalam
bahasa sanskerta yang berarti Korban, pemujaan. Yadnya berarti upacara korban
suci.
Sebagai suatu pemujaan yang memakai korban suci, maka Yadnya
memerlukan dukungan sikap mental yang suci disamping adanya sarana yang akan
2 Khotimah, Agama Hindu dan Ajaran-ajarannya, (Pekanbaru- Riau: KDT 2013), h. 57
3
dipersembahkan atau dikorbankannya. Sarana yang melengkapi pelaksanaan
Yadnya diistilahkan dengan upakara dan sajen. Secara etimologi upakara
mengandung pengertian pelayanan yang ramah tamah atau kebaikan hati. Yadnya
juga merupakan kebaktian, penghormatan dan pengabdian atas dasar kesadaran dan
cinta kasih yang keluar dari hati sanubari suci dan tulus ikhlas sebagai pengabdian
yang sejati kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).3
Tingkatan Yadnya yang didasarkan atas besar kecilnya upakara yang
dipersembahkan dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Kanista
b. Madya, dan
c. Uttama.4
Adapun Ibadah dalam agama Hindu disebut juga dengan sembahyang,
sembahyang dalam agama Hindu diawali dengan persiapan terlebih dahulu.
Sembahyang ini meliputi persiapan secara lahir dan batin. Secara lahir persiapan
itu dapat meliputi kebersihan badan, sikap duduk yang baik, pengaturan nafas, sikap
tangan dan lain-lain yang merupakan sarana penunjang persiapan ini yaitu pakaian
yang bersih tidak mengganggu ketenangan pikiran, adanya bunga (kembang) dan
dupa. Sedangkan persiapan batin adalah ketenangan dan kesucian pikiran.5
Pada umumnya umat Hindu memerlukan peralatan untuk melakukan
sembahyang harian atau yang disebut juga dengan istilah Tri Sandhya contoh
peralatannya yaitu seperti dupa dan lainnya. Dengan ini saya sebagai penulis
tertarik untuk memperdalam apa saja peralatan di dalam sembahyang dalam agama
hindu, dan ingin menulis judul: Makna Perlengkapan Tri Sandhya Sembahyang
Harian dalam tradisi Hindu (studi kasus Pura Parahyangan Jagat Guru BSD).
Tri Sandhya adalah sembahyang yang wajib dilakukan oleh setiap umat
Hindu tiga kali dalam sehari. Sembahyang rutin ini diamanatkan dalam kitab suci
Weda. sembahyang Pagi hari disaat matahari terbit disebut “Brahma Muhurta”
bertujuan menguatkan “guna Sattvam” menempuh kehidupan dari pagi hingga
siang hari. Siang hari sebelum jam 12 sembahyang bertujuan untuk mengendalikan
3 Khotimah, Agama Hindu dan Ajaran-ajarannya, (Pekanbaru- Riau: KDT 2013), h. 64 4 Khotimah, Agama Hindu dan Ajaran-ajarannya, (Pekanbaru- Riau: KDT 2013) h. 70 5 Khotimah, Agama Hindu dan Ajaran-ajarannya, (Pekanbaru- Riau: KDT 2013) h. 84
4
“guna Rajas” agar tidak menjurus ke hal-hal negatif. Sore hari sebelum matahari
tenggelam sembahyang bertujuan untuk mengendalikan “guna Tamas” yaitu sifat-
sifat bodoh dan malas.
Bagi umat Hindu sembahyang 3 kali sehari tersebut merupakan sembahyang
wajib. Karena itu seyogyanya semua umat Hindu melaksanakan kewajiban ini.
Pada saat bersembahyang yang bersifat wajib ini mereka harus melantunkan puja
Tri Sandhya yang kemudian diikuti dengan kramaning Sembah. Itulah sebabnya
bahwa mereka yang belum paham mengetahui Mataram Tri Sandhya sebaiknya
berusaha untuk menumbuhkan tekad dan kemauan untuk mempelajari dan
menghafalkan Mataram tersebut. Lalu juga untuk mendalami makna atau artinya,
sehingga dapat diperoleh penerangan yang lebih baik dari Tuhan Yang Maha Esa
(Sang Hyang Widi Wasa). 6
Menurut Koentjaraningrat, Mantra merupakan unsur penting di dalam ilmu
gaib atau magic. Mantra berupa kata-kata dan suara-suara yang sering tidak ada
berarti, tetapi dianggap berisi kesaktian atau kekuatan mengutuk. Dzulfikriddin
Menemukan mantra atau jampi adalah kata-kata susastra yang mengandung ilmu,
mistik, rahasia dan suci.7 Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan mantra adalah perkataan, ucapan atau lafal yang dituturkan
dalam bahasa yang berirama dan memiliki kekuatan gaib.8
Dengan melakukan Tri Sandhya ataupun sembahyang ini bisa memberi rasa
ikhlas yang pada hakekatnya dibutuhkan oleh jiwa, dapat mewujudkan rasa aman
dan ketentraman jiwa, dapat mengatasi perbudakan material, yakni bisa memberi
kekuatan untuk memilih tingkat ataupun menilai yang lebih tinggi kedudukannya
dan yang bisa memberi manfaat dalam hidupnya serta manfaat lain yang berguna.9
Dalam melaksanakan persembahyangan, umat Hindu diwajibkan
menggunakan saran tertentu sebagai persembahan, sebagai sujud dan baktinya
6K.M. Suhardana, Pengantar Menuju Pedoman Sembahyang Umat Hindu,
(Surabaya:Paramita, 2004), h. 24 7 Yanti Sariasih , Jurnal: “Makna Mantra Tri Sandhya pada upacara persembahyangan”,
Jurnal Pendidikan, tt. 8 Yanti Sariasih , Jurnal: “Makna Mantra Tri Sandhya pada upacara persembahyangan”,
Jurnal Pendidikan, tt. 9 I Kt. Wiana, Arti Sarana Persembahyangan, Yayasan Wisma Karma, (Jakarta: Yayasan
Wisma Karma, 1999), h. 106
5
dihadapan Sang Hyang Widi Wasa. Ada dua pola utama yang dipakai sebagai dasar
untuk menentukan sarana persembahyangan.
Pertama adalah Bhagavad Gita Bab IX Sloka 26 yang berbunyi :
“patram puspan phalam toyam yo me bhaktya prayacchati
tad aham bhakty-upahtram asnami prayatatmanah.”
Artinya : “Siapapun yang dengan tulus ikhlas mempersembahkan kepada-Ku
daun, bunga, buah-buahan atau air yang disampaikan dengan cinta kasih dan suci,
Aku terima.10
Kedua adalah Manava dharmasastra 1 Sloka 23 yang berbunyi sebagai berikut:
“Agnivayu ravibhayastu trayam brahma sanatanam,
dudoha yajnasiddyartha mrgyajuh samalaksanam.”
Artinya : “Sesungguhnya Tuhan menciptakan ajaran ketiga Veda yang abadi dari
api (Agni), anging (Vayu), dan matahari (Ravi) untuk dijadikan dasar pelaksanaan
Yajna.
Dari kedua pola diketahui bahwa sebagai sarana atau persembahan dalam
persembahyangan dapat dipergunakan bunga, daun, buah, air, dan api. Kemudian
dengan adanya pengaruh seni yang sedemikian tingginya, dengan memperhatikan
nilai-nilai estetika dan keindahan, maka menjadikan bunga, daun, dan buah tersebut
dipersembahkan dalam bentuk sesajen atau banten. Persembahan berupa air
dihanturkan dalam bentuk Tirtha, sedangkan api diwujudkan dalam bentuk dupa
dan diva.11 Sedangkan Beras atau Bija diletakan di dahi. Dengan begitu dari
beberapa perlengkapan tersebut memiliki pengertian dan makna-makna
tersendiri.12
10 K.M. Suhardana, Pengantar Menuju Pedoman Sembahyang Umat Hindu, (Surabaya:
Paramita, 2004), h. 11 11 K.M. Suhardana, Pengantar Menuju Pedoman Sembahyang Umat Hindu, (Surabaya:
Paramita, 2004), h. 12 12 Wawancara dengan Pamangku Nyoman Winta selaku Pinandita di pura Parahyangan
Jagat Guru BSD, Pada tanggal 17 november 2020 pukul 14.00 WIB.
6
Menurut Agama Hindu sembahyang dapat menumbuhkan rasa keikhlasan
diri. Dengan tekun bersembahyang, seseorang sebenarnya telah dengan ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Tuhan. Mereka yang rajin bersembahyang akan
menerima semua cobaan dan ujian secara tulus dan ikhlas. Lalu sembahyang juga
dapat meningkatkan rasa aman dan menumbuhkan ketentraman jiwa. Mereka yang
rajin bersembahyang akan selalu merasa dekat dengan Tuhan. Mereka juga akan
selalu merasa ditolong dan dilindungi oleh-Nya. Karena itu mereka akan selalu
merasa aman dan tentram.
Sembahyang dapat pula memelihara kesehatan seseorang. Dengan
melakukan Asana atau sikap duduk padmasana, dimana tulang punggung, leher dan
kepala harus tegak lurus (tidak membungkuk), kemudian dengan Pranayama atau
pengaturan nafas dengan sikap batin yang hening, tenang dan suci akan menjadikan
tubuh seseorang makin sehat.13
Berbagai model pemujaan dan ritual keagamaan tidak terlepas dengan simbol
etika atau ketentuan moral, karena pemujaan dan ritual keduanya dapat terintegrasi
sesuai dengan simbol moral yang padanya memiliki nilai “kebaikan” dan
“keburukan‟ atau (kejahatan). Kebaikan adalah model simbol moral yang bersifat
dosa. Dalam Sistem kepercayaan agama/pahala disimbolkan dengan Nirwana
(surga) dan dosa disimbolkan dengan neraka (moksa).14 Contoh makna dupa
(api/agni) Dalam tradisi Hindu dalam melakukan penyembahan atau pemujaan
dengan menggunakan beberapa peralatan seperti Dupa (api) sebagai saksi mewakili
awalnya upacara atau penyembahan, dengan dupa umat Hindu percaya pikiran akan
menjadi tenang dan tentram.15
Kebudayaan adalah rangkaian makna-makna, dan manusia adalah binatang
yang terperangkap dalam jaring-jaring yang ia tenun sendiri dari makna simbol itu.
Kebudayaan mengacu pada suatu pola makna-makna yang diwujudkan dalam
simbol-simbol yang diturun alihkan secara historis, suatu sistem gagasan-gagasan
13 K.M. Suhardana, Pengantar Menuju Pedoman Sembahyang Umat Hindu, (Surabaya:
Paramita, 2004), h. 3-4 14 Asyir Janahabhivamsa, Abhidharma Sehari-hari, (Karaniya, 2005), h. 2001
15 Wawancara dengan Pamangku Nyoman Winta selaku Pinandita di pura Parahyangan
Jagat Guru BSD, Pada tanggal 17 november 2020 pukul 14.00 WIB.
7
yang diwarisi yang diungkapkan dalam bentuk simbolik yang dengannya manusia
menyampaikan, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai
sikap dan pendirian mereka terhadap kehidupan.16
Simbol-simbol agama terbentuk atas beberapa Sistem yaitu Sistem kognitif,
Sistem moral, Sistem konstitutif dan Sistem ekspresif. Sistem-sistem itu terstruktur
atas dasar kebutuhan primer manusia yang terdiri dari kebutuhan adaptasi,
pencapaian tujuan, kebutuhan integrasi dan kebutuhan mempertahankan diri dari
pola ajaran keagamaan. Berbeda dengan tanda adalah suatu simbol yang sifatnya
universal, contohnya seperti rambu lalu lintas yang memiliki banyak tanda.
Menurut KBBI tanda adalah pengenal, lambang.17
B. Rumusan Masalah
Apa Makna Perlengkapan dalam pelaksanaan sembahyang Tri Sandhya.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan yang diinginkan oleh penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui apa saja makna dari perlengkapan Sembahyang Tri
Sandhya dalam tradisi agama Hindu di Pura Parahyangan Jagat Guru
BSD
b. Untuk mengenal lebih dalam proses kegiatan dalam sembahyang Tri
Sandhya di Pura Parahyangan Jagat Guru BSD
2. Manfaat Penelitian
a. untuk meningkatkan pemahaman tentang makna perlengkapan
sembahyang harian.
b. Untuk menambah wawasan mengenai agama Hindu khususnya yg ada
di pura Parahyangan Jagat Guru BSD.
c. Diharapkan dapat menumbuhkan sikap toleransi dan kerukunan
beragama.
16 Sugeng Pujileksono, Petualangan antropologi : sebuah pengantar ilmu antropologi
(Malang: UPT. Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang, 2006), h.20-21 17 Tanda, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, diakses melalui
https://kbbi.web.id/tanda
8
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini dilakukan terkait suatu pertimbangan bagaimana kegiatan
beribadah merupakan ajaran pokok dari setiap agama, dan sembahyang dalam
tradisi Hindu. Penelitian dengan judul “ Makna Perlengkapan Sembahyang Tri
Sandhya dalam Tradisi Hindu (Studi Kasus Pura Parahyangan Jagat Guru
BSD)”. Yang di dalamnya peneliti menjelaskan makna dari perlengkapan Tri
Sandhya dan juga bagaimana pelaksanaan kegiatan sembahyang.
Setelah melakukan penelusuran terhadap tema yang diambil penulis
menemukan beberapa tulisan yang terkait dengan Makna dan Tata cara Tri
Sandhya diantaranya:
Pertama, Skripsi yang berjudul Tri Sandya dalam Agama Hindu (Studi
Analisis Tentang Pelaksanaan dan Manfaatnya), Karya Khairul Anwar Bin Mat
Isa Jurusan Program Studi Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri Sultan Kasim, Riau pada tahun 2010. Dengan
perbedaan yang penulis tulis adalah lebih menjelaskan Makna dari
perlengkapan Sembahyang Tri Sandya.
Kedua, Skripsi yang berjudul Makna Simbol-simbol dalam Agama Hindu
(Studi Terhadap Simbol-simbol di Pura Mertasari Rengas Tangerang Selatan)
karya Intan Pertiwi dari jurusan Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin UIN
syarif Hidayatullah Jakarta. Yang membedakannya dengan penulis adalah
penulis lebih memantapkan simbol sembahyang harian Tri Sandya.
Ketiga, Jurnal yang berjudul Pemaknaan dan Transmisi Mantra Tri
Sandhya Pada Remaja Hindu Bali Di Daerah Malang. Karya Khairul Candra,
Luh Putu Ema Noviyanti, Kiki Nurlaily. Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Malang. Yang diterbitkan Ilmu Sastra
Vol. VI No. 1 Juli 2018. Dengan perbedaan penulis menekankan pada makna
perlengkapan Tri Sandhya.
Keempat, Buku yang berjudul Pengantar Menuju Pedoman Sembahyang
Umat Hindu, Karya Drs. K. M. Suhardana. Yang diterbitkan Paramita pada
tahun 2004 di Surabaya.
9
E. Kerangka Teori
1. Makna Simbol
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian simbol
adalah lambang.18 Clifford Geertz mendefinisikan kebudayaan sebagai
suatu ”sistem simbol dari makna-makna. Kebudayaan adalah yang
dengannya kita memahami dan memberi makna pola hidup. Menurutnya,
kebudayaan adalah sesuatu yang semiotik atau bersifat semiotis, yaitu hal-
hal berhubungan dengan simbol yang tersedia di depan umum dan dikenal
serta diberlakukan oleh masyarakat tersebut.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pengertian makna
adalah memperhatikan setiap kata yang terdapat dalam tulisan kuno itu.
Dengan maksud pembicara atau penulis pengertian yang diberikan kepada
suatu bentuk kebahasaan.19 Secara etimologis simbol berasal dari bahasa
Yunani “sym-ballein” yang berarti melemparkan bersama sesuatu (benda,
perbuatan) yang dikaitkan dengan suatu ide.20
Menurut Koentjaraningrat, unsur-unsur universal setiap kebudayaan
di dunia meliputi tujuh macam, yaitu sistem religi dan upacara keagamaan;
sistem dan organisasi kemasyarakatan; sistem pengetahuan; bahasa;
kesenian; sistem mata pencaharian hidup; serta sistem teknologi dan
peralatan.
Simbol adalah ciri khas agama, karena simbol lahir dari sebuah
kepercayaan, dari berbagai ritual dan etika agama. Simbol dimaknai
sebagai sebuah tanda yang dikultuskan dalam berbagai bentuknya sesuai
dengan kultur dan kepercayaan masing-masing agama. Sementara sebagai
sebuah Sistem yang terstruktur, Simbol memiliki logika tersendiri yang
koheren (saling terkait) yang dapat dimaknai secara universal.21
18 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, diakses melalui
https://kbbi.web.id/simbol , pada tanggal 4 Febuari 2021 19 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, di akses melalui
https://kbbi.web.id/makna, pada tanggal 9 Maret 2021 20Intan Rahayu Ni Kadek, “Makna Simbolik Umat Hindu dalam Persembahayangan
Bulan Purnama di Kecamatan Basidondo Kabupaten Tolitoli” (Jurnal Bahasa dan Sastra Volume
5 No 1 (2020) ISSN 2302-2043). 22 Hazrat Khan Inayat, Kesatuan Ideal Agama, (Yogyakarta: Putra Langit), h. 263
10
Sebagai ciri khas agama, fenomena simbol mewujudkan berbagai
model dalam berbagai bentuknya. Dan model-model simbol dimaksud
sangat selaras dengan berbagai kepercayaan (teologis), ritual dan etika
agama. Pada aspek kepercayaan melahirkan model-model simbol yang
dapat memberi interpretative terhadap berbagai wujud Tuhan yang
dipercayai, dipuja atau disembah, baik yang bersifat iman ataupun
transcendent. Misalnya di dalam Islam simbol Tuhan digambarkan dengan
“Allah”, dalam Kristen digambarkan dalam “Patung Yesus”, Hinduisme
“Patung Trimurti” dan budhisme dalam bentuk “Patung Budha”, sebagai
gambaran simbol kebebasan spiritual umatnya.22
Di dalam studi tentang orientasi simbolisme dikenal dengan empat
sistem simbol yang tersusun secara koheren yaitu : sistem kognitif, simbol
moral, Simbol ekspresif, dan simbol konstitutif.23 Simbol kognitif adalah
simbol-simbol yang memiliki koheren dengan ilmu pengetahuan, simbol
moral yang berkaitan dengan berbagai ketentuan normatif. Simbol
ekspresif yang berkaitan dengan karya seni dan simbol konstitutif yang
terkait dengan kepercayaan dan penyembahan sebagai perilaku utama
keagamaan.
2. Ibadah (sembahyang)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan
Ibadah yaitu perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah, yang
didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.24
Beribadah berarti menjalankan ibadah, menunaikan segala kewajiban yang
diperintahkan Allah. Lalu kata peribadahan yaitu tata cara beribadah.
Sedangkan menurut bahasa inggris arti Ibadah yaitu “worship” yang istilah
lainnya adalah menyembah.
Muhammad Quraish Shihab mengatakan, ibadah adalah suatu
bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya sebagai
dampak dari rasa pengagungan yang bersemi dalam lubuk hati seseorang
23 Sumandiyo, Seni Dalam Ritual Agama, (Yogyakarta: pen. Pustaka, 2006), h. 27 24Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, diakses melalui
https://kbbi.web.id/ibadah , pada tanggal 4 Febuari 2021
11
terhadap siapa yang kepadanya ia tunduk. Rasa itu lahir akibat adanya
keyakinan dalam diri yang beribadah bahwa objek yang kepadanya
ditujukan Ibadah itu memiliki kekuasaan yang tidak dapat terjangkau
hakikatnya. Pengertian-pengertian Ibadah dalam ungkapan yang berbeda-
beda sebagaimana yang telah dikutip, pada dasarnya memiliki kesamaan
esensial, yakni masing-masing bermuara pada pengabdian seorang hamba
kepada Allah swt, dengan cara mengagungkan-Nya, taat kepada-Nya,
tunduk kepada-Nya, dan cinta yang sempurna kepada-Nya.25
Dalam istilah Hindu Ibadah yaitu Sembah-Hyang yang berarti
Sembahyang ini meliputi persiapan secara lahir dan batin. Secara lahir
persiapan itu dapat meliputi kebersihan badan, sikap duduk yang baik,
pengaturan nafas, sikap tangan dan lain-lain yang merupakan sarana
penunjang persiapan ini yaitu pakaian yang bersih tidak mengganggu
ketenangan pikiran, adanya bunga (kembang) dan dupa. Sedangkan
persiapan batin adalah ketenangan dan kesucian pikiran.26
F. Metode Penelitian
a. Jenis penelitian
Penelitian yang penulis lakukan adalah adalah penelitian lapangan
field research dengan pendekatan kualitatif. Menurut Denzin dan Lincoln,
kata kualitatif menyiratkan pada proses dan makna yang tidak dikaji secara
ketat dari sisi kuantitas, jumlah, intensitas atau frekuensinya. Maka dengan
metode kualitatif ini peneliti menekankan sifat realitas ketika menyelidiki
suatu fenomena sosial dan masalah manusia di lapangan.27 Yang dimaksud
kualitatif adalah jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan
yang tidak bisa diperoleh dengan menggunakan prosedur-prosedur statistic
atau cara-cara lain dari kuantitatif. Penelitian kualitatif secara umum dapat
25Muhammad Quraish Shihab, Fatwa-fatwa Seputar Ibadah Mahdah Cet. I, (Bandung:
Mizan, 1999). Muhammad Fu’ad ‘Abd. al-Baqy, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Quran al-
Karim (Bairut: Dar al-Fikr, 1992). 26 Khotimah, Agama Hindu dan Ajaran-ajarannya, (Pekanbaru- Riau: KDT 2013), h. 70 27 Juliansyah Noor, Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah
(Jakarta: Kencana, 2012), h. 33-34
12
digunakan untuk penelitian tentang kehidupan masyarakat, sejarah, tingkah
laku, fungsionalisasi organisasi, aktivitas sosial, dan lain-lain.
Pendekatan itu sendiri berasal dari bahasa Inggris yakni history yang
artinya sejarah atau riwayat. Secara terminology pengertian sejarah atau
historis itu sendiri adalah suatu rangkaian peristiwa yang meliputi unsur
tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku yang terdapat dalam
peristiwa itu. sejarah itu merupakan serangkaian cerita manusia yang
terjadi pada masa lampau dengan segala rangkaiannya.
Unsur terpenting dalam sejarah itu adalah sebuah peristiwa. selain
itu penelitian dengan daya kritis dalam sejarah itu tidak kalah pentingnya
karena dengan adanya penelitian tersebut kita bisa mengungkapkan
kebenaran dalam makna yang terkandung dalam sejarah tersebut.
b. Sumber
Peneliti menggunakan sumber penelitian primer dan sumber
penelitian sekunder. Sumber penelitian primer adalah sumber utama yang
mana segala informasinya diperoleh langsung dari pelaku / saksi peristiwa
bersejarah secara langsung. Sumber primer dapat berupa arsip atau naskah.
Sumber penelitian sekunder adalah segala informasi yang berisi
keterangan yang didapatkan dari perantara, namun perantara tersebut
dengan peristiwa sejarah tidak mempunyai keterkaitan secara langsung.
Sumber sekunder dapat berupa buku, jurnal, artikel, atau website yang
berkaitan dengan Makna perlengkapan dan Tata cara sembahyang Tri
Sandhya .
c. Pendekatan Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menggunakan jenis pendekatan
disiplin ilmu pengetahuan, yaitu pendekatan antropologi. Dalam
pendekatan antropologi ini yaitu berupaya memahami kebudayaan-
kebudayaan manusia yang berhubungan dengan agama. Sejauh mana
agama memberi pengaruh terhadap budaya dan juga sebaliknya sejauh
13
mana kebudayaan suatu kelompok masyarakat memberi pengaruh terhadap
agama.28
Clifford Geertz mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu ”system
symbol” dari makna-makna. Kebudayaan adalah yang dengannya kita
memahami dan memberi makna pola hidup. Menurutnya, kebudayaan
adalah sesuatu yang semiotik atau bersifat semiotis, yaitu hal-hal
berhubungan dengan simbol yang tersedia di depan umum dan dikenal serta
diberlakukan oleh masyarakat tersebut.29
Simbol-simbol agama terbentuk atas beberapa Sistem yaitu Sistem
kognitif, Sistem moral, Sistem konstitutif dan Sistem ekspresif. Sistem-
sistem itu terstruktur atas dasar kebutuhan primer manusia yang terdiri dari
kebutuhan adaptasi, pencapaian tujuan, kebutuhan integrasi dan kebutuhan
mempertahankan diri dari pola ajaran keagamaan.
d. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data penulis melakukan beberapa cara yaitu
dengan studi kepustakaan, wawancara observasi dan juga dokumentasi.
1. Studi Pustaka : Yaitu mengumpulkan data sumber relevan dari buku,
ebook, jurnal, artikel, dsb.
2. Wawancara : Metode wawancara adalah metode pertanyaan yang
diajukan secara lisan (pengumpulan data bertatap muka langsung
dengan responden). Pada penelitian skripsi kali ini, penulis akan
melakukan proses wawancara semi terstruktur (Semi structured
Interview).
3. Observasi : Observasi adalah melihat dan mendengarkan peristiwa atau
tindakan yang dilakukan orang-orang yang diamati, kemudian merekam
hasil pengamatannya dengan catatan atau alat bantu lainya. Penulis
mengunjungi Pura Parahyangan Jagat Guru BSD yang berada di BSD
Tangerang. Dengan melihat apa saja peralatan sembahyang yang
digunakan dan mewawancarai Pinandita serta beberapa pengurus.
28Media zainul bahri, Wajah Studi Agama-agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h.
47-48 29 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius Press, 1992)
14
4. Dokumentasi : Metode pengumpulan data kualitatif, dengan
menganalisis dokumen-dokumen berupa gambar atau audio.
e. Analisis Data
Teknik analisis data adalah sebuah proses untuk memeriksa,
membersihkan, mengubah, dan membuat pemodelan data dengan maksud
untuk menemukan informasi yang bermanfaat sehingga dapat memberikan
petunjuk bagi peneliti untuk mengambil keputusan terhadap penelitian.
Teknik analisis data yang digunakan penulis adalah dengan metode
kualitatif yaitu fokus masalah penelitian menuntut peneliti melakukan
analisis pengkajian secara sistematis, mendalam, dan bermakna
sebagaimana ditegaskan oleh Burgess yaitu dalam penelitian kualitatif,
semua investigator atau peneliti memfokuskan diri pada permasalahan
yang dikaji, dengan dipandu oleh kerangka konseptual atau teoritis.30
G. Sistematika Penulisan
Penulisan Skripsi ini terbagi menjadi beberapa bab dan sub bab
yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab Pendahuluan merupakan bab yang terdiri dari sub-sub
bab, yang berisi : Latar belakang masalah, Rumusan
masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka,
Kerangka Teori, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.
BAB II : GAMBARAN UMUM PURA PARAHYANGAN
JAGAT GURU BSD
Bab ini menjelaskan tentang sejarah dan perkembangan pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, serta aktivitas sosial
keagamaan yang ada di pura tersebut.
BAB III : TATA CARA SEMBAHYANG TRI SANDYA DI
PURA PARAHYANGAN JAGAT GURU BSD
30 Sudarwan Danim dan Darwis, (2003), h. 262
15
Bab ini menjelaskan tentang pelaksanaan Sembahyang
harian (Tri sandya), mulai dari waktu pelaksanaan, gerakan,
tata cara,mantra-mantra dan lainnya.
BAB IV : MAKNA PERLENGKAPAN SEMBAHYANG TRI
SANDYA DI PURA PARAHYANGAN JAGAT GURU
BSD
Bab ini menjelaskan tentang apa saja perlengkapan untuk
melaksanakan sembahyang harian Tri Sandya, dan juga
menjelaskan apa arti dan makna-makna dari perlengkapan
sembahyang Trisandya.
BAB V : PENUTUP
Bab ini berisi Kesimpulan dari semua yang telah dipaparkan
oleh penulis dan Saran-saran dari penulis.
BAB II
PURA PARAHYANGAN JAGAT GURU BSD
A. Sejarah Berdirinya Pura Parahyangan Jagat Guru BSD
Pura Parahyangan Jagat Guru, pura ini dibangun karena mendapat
dukungan penuh dari para tokoh Hindu dan Parisada Provinsi Banten, serta
perjuangan selama 3 tahun akhirnya lahan ini bisa dikelola oleh umat Hindu. Pura
ini diprakarsai oleh umat Hindu di seputaran BSD City, Gading Serpong, Melati
Mas, Cisauk, Pamulang, Bintaro, Sarua, Rempoa, Serpong, dan sekitarnya. Lahan
fasilitas umum seluas sekitar 2.200 m dan IMB dari Pemda Tangerang. Awalnya,
lokasi yang ditawarkan sebagai tempat pembangunan pura oleh Pemda Tangerang.1
Tokoh Agama Pinandita nyoman Wintha mengatakan, Sebelumnya sudah
berdiri Pura Mertasari rempoa, karena sebagian umat itu tinggal di daerah yang
berbeda seperti di cinere, rempoa, tangerang, maka dari itu berkelompok di Pura
Tangerang, lalu diajukan ke Pemda, bupati dan lainya. Ketika mengajukan banyak
lika-liku permasalahan saat akan melakukan pembangunan Pura Parahyangan Jagat
Guru BSD ini. Dan sekitar 250 kartu keluarga (KK) yang bertempat tinggal di
daerah ciputat, pamulang, serpong dan lainnya membuat pembangunan ini bisa
dilakukan dengan juga perizinan pemda setempat.2 Peletakan batu pertama Pura
Parahyangan Jagat Guru BSD yang berada di kota Tangerang Selatan pada tanggal
10 Oktober 2010 pada pukul 10.00 pagi. Lalu diresmikan pada tanggal 21 Oktober
2014, oleh walikota tangerang selatan yaitu, Hj. Airin Rachmi Diany S.H M.H.3
Dalam surat tertulis Pura ini mengadakan Upacara Ngenteg Linggih dan
peresmian, Upacara Ngenteg Linggih diadakan pada tanggal 19 Oktober 2014.
Pura Parahyangan Jagat Guru BSD berjarak kurang lebih 3 km dari
kecamatan Serpong, kurang lebih 5 km dari Kota Tangerang Selatan, dan (3 km)
dari provinsi Banten. Di sekitar Pura penulis melihat ada beberapa rumah Ibadah
lainnya seperti, Gereja dan Masjid. Ada pula Pesantren yang bernama Jagat Ar’sy
yang berdekatan dengan lokasi Pura Parahyangan Jagat Guru ini. Karena
1 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku kepala sekolah di pasraman pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 01 Maret 2021 pukul 13.00 WIB. 2 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku kepala sekolah di pasraman pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 01 Maret 2021 pukul 13.00 WIB. 3 Profil Pura Parahyangan Jagat Guru BSD
18
keberagaman agama yang ada penulis melihat daerah ini masyarakatnya hidup
dengan damai, saling menghargai dan toleransi.
Pura Parahyangan Jagat Guru BSD memiliki visi dan misi sebagai berikut:
Visi
Menjadi wadah Umat Hindu terdepan, dalam pelayanan Umat guna meningkatkan
Sradha dan Bhakti serta kemandirian anggotanya melalui pemahaman Tattwa,
Susila dan Upakara berdasarkan nilai-nilai luhur Kitab Suci Weda.
Misi
1. Meningkatkan budaya Simakrama & pengabdian anggota kepada
masyarakat dalam bidang Keagamaan, Pendidikan, Sosial, Ekonomi dan
Budaya.
2. Meningkatkan persaudaraan serta kerukunan diantara para anggota.
3. Mengelola tempat suci dan pusat pembinaan Umat Hindu secara
komprehensif yang mencakup Tattwa, Susila dan Ritual.
4. Mewujudkan SDHD Banjar Tangsel sebagai mitra dengan organisasi sosial
dan keagamaan lainnya dalam meningkatkan pelaksanaan Tri Hita Karana.
5. Mengembangkan dan melaksanakan program Pendidikan, penghayatan &
pengamalan ajaran Kitab Suci Weda.4
Visi dan Misi tersebut sudah dijalankan dan diamalkan oleh umat Hindu di
Pura Parahyangan Jagat Guru.
B. Pendiri Pura Parahyangan Jagat Guru BSD
Pamangku Ketut Suarna mengatakan, dengan banyak lika-liku
permasalahan saat proses perizinan dan juga pembangunan Pura Parahyangan Jagat
Guru BSD ini akhirnya diserahkan oleh Bupati Tangerang yaitu Bapak Drs. H.
Ismet Iskandar kepada Yayasan Swadharma krama serpong.5 Dalam Pura
Parahyangan Jagat Guru terdapat Pasraman (Sekolah Minggu), dengan berbagai
fungsi, Sebagai sarana untuk menanamkan ajaran-ajaran Hindu dan menjadi
pedoman dalam mencapai kebahagiaan Hidup, Mengajarkan ilmu pengetahuan
4 Profil Pura Parahyangan Jagat Guru BSD 5 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku kepala sekolah di pasraman pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 01 Maret 2021 pukul 13.00 WIB.
19
keagamaan secara umum, Untuk mengajarkan anak-anak umat Hindu yang tidak
dapat materi dalam sekolah umum.
Kt. Wiana menyatakan bahwa isi pokok pembelajaran agama Hindu adalah
Panca Sradha yang dikemas menurut konsep tiga kerangka dasar yakni : tattwa,
susila, ritual. Dalam peraturan akademik terkait dengan pelaksanaan kurikulum
tingkat satuan pendidikan terutama yang menyangkut standar isi, standar proses
maupun standar penilaian dikatakan bahwa pendidikan agama termasuk di
dalamnya pendidikan agama Hindu sebagai kelompok mata pelajaran akhlak mulia
dan kewarganegaraan senantiasa mendasar tiga ranah dalam pembelajaran yakni :
ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotor titib kecerdasan, tetapi juga pada
sikap dan kepribadian peserta didik.
Penulis melihat di dalam Pura Parahyangan Jagat Guru ini memiliki ciri
khas yang unik dimana dalam menjamu tamu non-Hindu pengurus setempat akan
Mengajak tamu berkeliling Pura dalam yang mana tamu harus menggunakan kain
selendang (senteng), yaitu kain berwarna putih/kuning yang disediakan di setiap
pura untuk syarat memasuki Pura dalam. Kain selendang tersebut akan di ikatkan
di pinggang sejajar dengan pusar, dengan arti pemisah antara tubuh bagian atas
yang lebih suci dengan tubuh bagian bawah. Sama halnya dengan Islam, dalam
Hindu juga tidak memperbolehkan wanita yang sedang haid untuk masuk ke dalam
Pura.
Adapun fungsi-fungsi Pura Parahyangan Jagat Guru adalah :
1. Fungsi Pendidikan, sebagai pasraman swadarma serpong, sebagai pasraman
dharma pamulang, dan perpustakaan untuk para umat Hindu yang berada di
daerah tersebut. Saat melakukan observasi penelitian penulis melihat
perpustakaan di Pura Parahyangan Jagat Guru ini cukup besar juga, banyak
terdapat buku juga kitab-kitab. Kondisi perpustakaan juga terlihat rapi,
bersih dan nyaman.
2. Fungsi Seni dan Budaya, sebagai tempat belajar gamelan, Sekeha gong bagi
bapak-bapak dan ibu-ibu, (2 Sekeha) dan anak-anak. Tempat belajar tarian
untuk ibu-ibu, remaja dan anak-anak. Penulis melihat saat melakukan
observasi ada bapak-bapak yang sedang memainkan gamelan dan juga ada
beberapa anak muda yang ikut serta belajar bermain gamelan.
20
3. Fungsi Sosial Kemasyarakatan, sebagai tuan rumah saat kegiatan donor
darah, mengadakan bantuan sosial ke masyarakat sekitar pura, mengadakan
Beasiswa untuk siswa kurang/tidak mampu, sebagai dana punia ke
Pinandita.
4. Fungsi Ekonomi, bekerja sama dengan PT. Paramartha Jagat Guru BSD
dengan menyediakan gedung graha Pura Parahyangan Jagat Guru, dan juga
mempunyai kegiatan usaha yaitu alfamart pura Parahyangan Jagat Guru.
Bekerja sama dengan koperasi Paramitha Jagat Guru Puradengan jenis
koperasi, kegiatan usaha, simpan pinjam dan juga dagang.6
6 Profil Pura Parahyangan Jagat Guru BSD
21
Gambar 1 : Struktur Bagan Ketua Banjar
Ada yang dinamakan Ketua Banjar yaitu ketua Pura sebagai penanggung
jawab semua kegiatan yang ada di dalam Pura. Berikut adalah struktur bagan
Ketua Banjar.
22
C. Lokasi Pura Parahyangan Jagat Guru BSD
Pura Parahyangan Jagat guru berlokasi di alamat, Nusa Loka, BSD City,
Serpong, Sektor 14 – 6, Mekar Jaya, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan,
Banten, 15310. Lebih tepatnya di jalan ambon no.1 Nusa Loka.7 Dengan dipilihnya
lokasi ini karena bertepatan juga dengan lahan fasos fasum atau permukiman yang
nyaman dan menarik untuk ditinggali, juga dapat diciptakan melalui penyediaan
fasilitas sosial (fasos), dan fasilitas umum (fasum) yang lengkap dan memadai.
Fasos dan fasum merupakan fasilitas yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat di suatu area permukiman. Fasilitas tersebut dapat berupa fasilitas
pendidikan, kesehatan, perbelanjaan, peribadatan, rekreasi dan budaya, olahraga,
dan lain-lain. Di dalam Pura Parahyangan Jagat Guru BSD terdapat sekolah minggu
(pasraman), untuk anak-anak yang di sekolahnya tidak mendapatkan pelajaran
agama Hindu.8 Karena situasi kondisi pandemi saat ini, anak-anak tetap
mendapatkan pembelajaran jarak jauh atau PJJ.
D. Struktur nama pengurus Pura Parahyangan Jagat Guru BSD
Pura Parahyangan Jagat Guru BSD adalah Pura Bali, pada umumnya
struktur Pura atau denah dibagi atas tiga bagian yaitu :
1. Jaba Pura atau Jaba Pisan ( halaman luar),
2. Jaba Tengah atau halaman tengah, dan
3. Jeroan atau halaman dalam.
Terlebih dari itu ada juga pura yang terdiri dari dua halaman, yaitu :
1. Jaba Pisan atau halaman luar, dan
2. Jeroan atau halaman dalam.
Pembagian halaman Pura yang pada umumnya menjadi tiga bagian adalah
pembagian horizontal sedang (loka) pada Palinggih-palinggih adalah
pembagian yang vertikal.
7 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku kepala sekolah di pasraman pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 01 Maret 2021 pukul 13.00 WIB. 8 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku kepala sekolah di pasraman pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 01 Maret 2021 pukul 13.00 WIB.
23
Pembagian horizontal melambangkan “Praktri” (unsur materi alam
semesta). Lalu pembagian yang vertikal adalah simbolis “Purusa” (unsur
kewajiban atau spiritual alam semesta).19
Dalam kompleks bangunan pura merupakan refleksi atau bentuk
mini dari Bhyana Agung (alam jagat raya). Hal ini karena manusia berusaha
mewujudkan alam jagat raya dalam bentuk mini sehingga mudah
berhubungan dengan Sang Hyang Widi Wasa. Juga diperlukan tempat yang
memungkinkan mereka untuk bisa berhubungan dengan Sang Hyang Widi
Wasa. Maka tempat itu yang disebut Pura (tempat sembahyang umat
hindu).10
Berikut adalah bagan bangunan-bangunan Pura Parahyangan Jagat
Guru BSD.
a. Mandala utama (bangunan utama) adalah sebagai tempat Ibadah
dan kegiatan ritual. Juga tempat yang paling utama untuk
melakukan pemujaan terhadap Ista Dewata/manifestasi Sang
Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa). Di Utama Mandala
ini dapat mendengarkan lagu pemujaan dari Pemangku dalam
memimpin umat melakukan persembahyangan ke hadapan Ista
Dewata, dan ucapan Japa Veda dari Sulinggih yang diiringi
dengan suara Bajra, dan suara Kidung yang mengalun merdu
seolah-olah mengantarkan doa.
9 I Wayan Punia, Mengapa? Tradisi dan upacara Hindu, (Denpasar. 2 Paramita) h. 101 10 K.M Suhardana, Dasar-Dasar Kepemangkuan: suatu pengantar dan Bahan Kajian
Bagi Generasi Mendatang, (Surabaya: Paramita, 2006), h. 116
24
Gambar 2 :Struktur Mandala Utama
1). Padmasana Secara etimologi kata Padmasana berasal dari bahasa
Sansekerta. Padma berarti bunga teratai, dan Asana mempunyai makna
sikap duduk.“Bunga teratai dipilih sebagai lambang untuk menggambarkan
kesucian, kemuliaan, dan keagungan Sang Hyang Widhi Wasa,/ Tuhan
Yang Maha Esa. atau Padmasana adalah bangunan utama atau pelinggih
utama sebagai stana Sang Hyang Widhi / Tuhan Yang Maha Esa.
Padmasana adalah bangunan berbahan dari batu yang disucikan atau
disakralkan sebagai simbol untuk memusatkan pikiran saat umat Hindu
melakukan persembahyangan.11 Padmasana merupakan tempat untuk
bersembahyang dan menaruh sesajen.
2). Bale Pawedan adalah tempat Pandita (Orang suci atau Rohaniawan
Hindu) saat memimpin upacara keagamaan, tempat atau balai ini khusus
untuk Pandita memimpin doa saat upacara agama dan tidak boleh diduduki
oleh umat biasa selain Pandita.12 Bale Pawedan tempat pendeta (sulinggih)
memanjatkan weda / mantra saat upacara Yadnya berlangsung di sebuah
11 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku kepala sekolah di pasraman pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 01 Juni 2021 pukul 09.00 WIB. 12 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku kepala sekolah di pasraman pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 01 Juni 2021 pukul 09.00 WIB.
25
pura. Bentuk dan tata letak Bale pawedan ini dalam arsitektur pura
disebutkan merupakan bangunan sekepat atau bangunan yang lebih besar
dan terletak berhadapan dengan pelinggih pemujaan.
3). Bale Pepelik adalah suatu bangunan pelengkap bangunan utama
yang dipergunakan untuk menyimpan arca – arca peninggalan atau alat -alat
upacara keagamaan.
4). Ratu Ngerurah adalah suatu bangunan pendamping bangunan
utama ( Padmasana ) dimana kita puja atau kita stanakan kekuatan Hyang
Widhi sebagai Tuhan Yang Maha Esa sebagai pelindung atau penjaga
lingkungan mandala utama.13 Dalam sanggah atau merajan alit, semeton
bali diwajibkan membangung panglurah agung. dimana palingih ini berupa
bangunan bebatuan seperti tugu dengan batu paras, batu cadas atau batu
bata. Karena Pura Parahyangan Jagat Guru adalah Pura bali. Bangunan Ratu
Ngurah yang bertugas sebagai pecalang atau penjaga sanggah pamerajan.
5). Taman Sari Adalah suatu bangunan atau disebut pelinggih
pelengkap dan pendamping bangunan Padmasana, digunakan untuk
memohon tirta atau air suci, jadi ciri utamanya terdapat kolam dan
pancuran.14 Penulis melihat Taman sari di Pura Parahyangan Jagat Guru
BSD cukup luas dan terletak di bagian belakang dekat sumber air.
6). Bale Gita adalah Sebuah bangunan berbentuk bale yang
digunakan untuk melantunkan kidung-kidung suci saat upacara keagamaan.
b. Madya Mandala adalah sebagai tempat interaksi umat dan
kegiatan sosial kemasyarakatan. Juga tempat yang berada di
tengah setelah Nista Mandala dan sebelum Utama Mandala,
Yajña, seperti tari Rejang Dewa, Baris Gede, Wayang Lemah,
Topeng Sidhakarya, bermanfaat untuk Wali Yajña, dan
hiburan.15
13 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku kepala sekolah di pasraman pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 01 Juni 2021 pukul 09.00 WIB. 14 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku kepala sekolah di pasraman pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 01 Juni 2021 pukul 09.00 WIB. 15 I Ketut. Duwijo dan Darta, Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas V,
(Jakarta: Pusat, Kurikulum dan Perbukuan, 2014), h. 73
26
Gambar 3 : Struktur Madya Mandala
1). Kuri Agung (Pemedal) merupakan pintu utama pada area Pura.
Kori Agung di area Pura, terletak di bagian depan areal jeroan (dalam) Pura
dan memisahkan antara areal jeroan (dalam) dengan areal jabaan (luar)
Pura. Bangunan Kori Agung, adalah merupakan wujud material, maka itu
harus disucikan. Ruang (pintu) tempat masuk sengaja dibuat kecil, hanya
cukup untuk satu orang agar masuk satu-persatu.
2). Apit Lawang adalah sebuah bangunan pelinggih yang mengapit
berada di kanan kiri pintu masuk utama (kori agung). Ataupun sebagai
penjaga kuri agung biasa disebut Candi Bentar yang berfungsi sebagai
penjaga lawang, candi bentar juga sebagai lambang dari Ardha Candra.
3). Bale Pasendekan (Bale Gong) merupakan tempat istirahat
sebentar jika umat mau sembahyang di mandala utama, kalo ada upacara
agama biasanya dipakai tempat gong atau karawitan untuk mengiringi
27
kegiatan upacara keagamaan.16 Bangunan ini juga sebagai tempat
penyimpanan gong yang mana akan di keluarkan dan dimainkan jika adanya
latihan untuk hari raya. Bisa juga dijadikan tempat latihan menabuh dan
menari.
4). Bale Perantenan (dapur suci) adalah dapur yang berbeda dengan
dapur umum biasa karena hanya sebuah simbol untuk kegiatan jika ada
kegiatan upacara Agama. Misalnya kegiatan hari raya Galungan dan
lainnya.
5). Bale Kulkul yaitu sebuah bangunan yang khusus untuk menaruh
kentongan besar yang dipakai atau dibunyikan hanya saat ada upacara
agama. Kentongan besar yang di simpan di bale kulkul agar bisa terjaga dan
tidak cepat rusak.
c. Nista Mandala adalah sebagai tempat pengembangan ekonomi
dan usaha. Nista atau Kanista Mandala sebagai tempat
melakukan Upacara Bhuta Yajña (pecaruan) yang
dipersembahkan kepada Bhuta Kala. Di Nista Mandala juga
terdapat bangunan Bale Kulkul dan Wantilan.17
16 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku kepala sekolah di pasraman pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 01 Juni 2021 pukul 09.00 WIB. 17 I Ketut. Duwijo dan Darta, Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas V,
(Jakarta: Pusat, Kurikulum dan Perbukuan, 2014), h. 73
28
Gambar 4 : Struktur Nista Mandala
1). Wantilan adalah sebuah bangunan besar atau Gedung
serba guna biasanya untuk sima krama, menyiapkan keperluan
upacara atau tempat kegiatan keumatan lainnya, di lantai dua
sebagai Pasraman atau sekolah minggu.18 Wantilan di Pura
Parahyangan Jagat Guru BSD yang terletak di lantai dua dengan
areanya yang cukup luas serta selalu terjaga kebersihannya.
2). Pasraman adalah sekolah minggu yang menempati lantai
dua Gedung serba guna atau wantilan. Pasraman tempat umat Hindu
belajar biasanya anak-anak yang belum mendapatkan pendidikan
agama Hindu di sekolahannya akan mengikuti pasraman di pura.
3). Perpustakaan tempat menyimpan buku – buku agama dan
umum dan sebagai tempat melatih agar anak- anak gemar membaca
baik pengetahuan agama maupun umum. Perpustakaan Pura
Parahyangan Jagat Guru ini cukup luas dan banyak sekali buku yang
tertata rapi.
18 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku kepala sekolah di pasraman pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 01 Juni 2021 pukul 09.00 WIB.
29
Gambar 5 : Bagan Pura Bali
Struktur dan Nama Pengurus Pura Parahyangan Jagat Guru BSD periode
tahun 2021-2024 seperti berikut:
30
Gambar 6 : Struktur Pengurus Pura
31
Gambar 7 : Struktur Pengurus Pura
32
E. Aliran Hindu dalam Pura Parahyangan Jagat Guru BSD
Ada beberapa Aliran Hindu di indonesia, di dalam pura Parahyangan Jagat
Guru BSD itu menganut aliran Siwa Siddhanta.19 Saiwa Siddhanta merupakan
bagian atau sekte dalam agama Hindu.
Sebagai salah satu sistem kepercayaan, Saiwa Siddhanta sudah ada sejak
zaman prasejarah (lebih dari 6000 tahun yang lampau) menurut Dr. R. E. M.
Wheeker dengan bukti ditemukannya peninggalan pada penggalian kota
Mohenjodaro dan Harappa di India berupa Siwa Linggam dari tanah liat.20 Siwa
bermakna yang berkaitan (berhubungan dengan Siwa). Siwa dimaknai sebagai
mulia, suci, Siddha sukses, berhasil, Anta akhir, simpulan, inti.
Pertemuan Hindu (Siwa) dengan kepercayaan atau agama asli Indonesia
atau Nusantara maupun Bali, maka muncul banyak sekte di Bali, Semua sekte yang
berkembang di Bali kemudian berhasil disatukan oleh Mpu Kuturan dengan
pemujaan kepada Dewa Tri Murti, dan Danghyang Nirartha (Danghyang
Dwijendra) merintis pemujaan kepada Siwa melalui bangunan suci Padmasana.
Penyatuan sekte-sekte yang ada di Indonesia dan Bali telah demikian kuat (luluh)
yang tampak sangat menyatu seperti tampak dalam pemujaan kramaning sembah
maupun puja Tri Sandhya beserta mantra-mantra para Pandita (Sulinggih) semua
Dewa manifestasi Tuhan dipuja.
Ajaran (konsep) Siwa Siddhanta memposisikan Tuhan atau Brahman
sebagai Siwa. Siwa adalah Sanghyang Widhi sebagai wujud yang paling utama dan
mulia atau paling tinggi. Konsep Siwa Siddhanta yang dianut di Indonesia sebagai
berikut.
1. Keyakinan lokal (kepercayaan asli dari nenek moyang orang asli Indonesia).
2. Adat istiadat lokal.
3. Ajaran Tantra, ajaran Kediatmikan, dunia, niskala.
4. Ajaran Bhairawa, ajaran atau paham sekte yang pernah ada di Indonesia.
5. Inspirasi dari renungan dan hasil pemikiran para maha Rsi di Indonesia.21
19 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku kepala sekolah di pasraman pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 01 Maret 2021 pukul 13.00 WIB. 20 I Nyoman Kardika, Tattwa Siwa Siddhanta Indonesia In Theology Of Hindu, (Jurnal
SPHATIKA VOLUME X No. 1 2019). 21 I Nyoman Kardika, Tattwa Siwa Siddhanta Indonesia In Theology Of Hindu, (Jurnal
SPHATIKA VOLUME X No. 1 2019).
33
Konsep ajaran Saiwa Siddhanta yang terdapat di dalam Pura Parahyangan
Jagat Guru BSD adalah:
1. Siwa merupakan realitas tertinggi, atau realitas tertinggi disebut Siwa.
2. Jiwa atau roh pribadi adalah intisari identik dengan Siwa tapi tidak sama.
3. Ciri-ciri Siwa ; kesadaran tak terbatas, tanpa wujud, Maha ada, Maha Esa,
tanpa penyebab, tanpa noda, selalu murni dan sempurna, kekal abadi tak
terikat oleh waktu, kecerdasan tak terbatas, sumber dari segala yang ada,
maha mengetahui, kasih dan karunia yang tak terbatas, tujuan segala yang
ada, wujud kebahagiaan abadi.22
22 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku Kepala Sekolah Pasraman di pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 23 Januari 2021 pukul 13.00 WIB.
BAB III
TATA CARA SEMBAHYANG TRI SANDHYA
A. Pengertian Sembahyang
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan arti kata
sembahyang adalah memohon kepada Tuhan.1 Persembahyangan salah satu dari
pengamalan ajaran Agama Hindu yang paling menonjol dilakukan umat Hindu
pada umumnya. Sembahyang adalah puncak dari yajna dan karma. Artinya, upaya
untuk mendalami ilmu pengetahuan suci atau yajna.2 Kata sembahyang berasal dari
bahasa Jawa Kuno yang terdiri dari dua kata yaitu “sembah” artinya menghormat,
takluk, menghamba, sedangkan kata “hyang” artinya Dewa atau sosok yang
mahasuci.
Sembahyang itu adalah suatu upaya spiritual untuk menguatkan upaya
mencari ilmu pengetahuan suci atau yajna dan melakukan perbuatan baik yang
disebut Subha Karma, dengan artinya sembahyang itu untuk menguatkan upaya
mencari ilmu pengetahuan suci dan memotivasi umat untuk bekerja secara nyata
mewujudkan Dharma dari ajaran kitab Weda.3 Persembahyangan tidak hanya
dilakukan karena adanya hari raya atau upacara tertentu. Dalam kitab Chandogya
Upanisad ada dinyatakan bahwa sembahyang harian itu dapat dilakukan tiga kali
sehari dengan melakukan sembahyang harian akan mendapat berkah.4
Sebagai umat manusia yang beragama, yang menjunjung tinggi keagamaan
dan kemahakuasaan Tuhan, sepantasnya manusia menyadari bahwa sesungguhnya
didalam diri manusia terdapat Atman atau jiwa yang merupakan percikan sinar dari
Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan yang maha Esa). Tanpa adanya Atman dalam diri ,
pastilah manusia tidak bisa hidup. Dengan bersembahyang umat manusia akan lebih
tenang, lebih tentram bahkan merasa damai di hati.5 Umat Hindu percaya bahwa
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, diakses melalui
https://kbbi.web.id/sembahyang , pada tanggal 10 Febuari 2021 2 I Kt. Wiana, Arti Sarana Persembahyangan, Yayasan Wisma Karma, (Jakarta: Yayasan
Wisma Karma, 1999), h. Sambutan iii 3 I Kt. Wiana, Arti Sarana Persembahyangan, Yayasan Wisma Karma, (Jakarta: Yayasan
Wisma Karma, 1999), h. Sambutan iii 4 I Kt. Wiana, Arti Sarana Persembahyangan, Yayasan Wisma Karma, (Jakarta: Yayasan
Wisma Karma, 1999), h. Sambutan iii 5 K. M. Suhardana, Pengantar Menuju Pedoman Sembahyang Umat Hindu, (Surabaya:
Paramita, 2004), h. 1-2
35
dengan melakukan sembah dengan tulus dan ikhlas maka akan mendapat
pertolongan dan perlindungan dari Sang Hyang Widi Wasa.
Hubungan manusia Atman- Brahman ( Sang Hyang Widi Wasa) sebagai
sumber Atman tersebut). Atman yaitu percikan terkecil dari Sang Hyang Widi Wasa
atau Paramatman. Paramatman yaitu asal dan sumber dari Atman. Sang Hyang Widi
Wasa sebagai asal dari Atman adalah Maha Kuasa, Maha Pengasih, Maha
Penyayang, Maha Suci dan Maha segalanya. Di dalam Hindu setiap Atman atau
jiwa-jiwa yang ada di setiap manusia atau makhluk hidup di dunia ini berasal dari
Sang Hyang Widi Wasa dan juga berakhir dan kembali kepada-Nya.6
Dalam kesempatan wawancara kali ini Penulis melihat umat Hindu dalam
Pura Parahyangan Jagat Guru untuk melaksanakan sembahyang Tri Sandhya
dengan bertahap mulai dari persiapan Upakara, pakaian dan juga cara masuk ke
pura. Mulai dari mengawali pintu masuk pura yang berbeda juga dengan pintu
keluar, di perlihatkan bagaimana cara pelaksanaan sembahyang harian, apa saja
upakara yang harus disediakan untuk melaksanakan sembahyang harian.
Ketika manusia yang senantiasa merasa dirinya dekat dengan Tuhan akan
memberi pengaruh kesucian pada dirinya, karena Tuhan bersifat Maha suci. Seperti
bakti, bakti adalah penyerahan diri kepada Tuhan dengan tulus ikhlas tanpa ikatan.
Sri Krsna pernah bersabda kepada Arjuna (Bhagawad Gita, IX.34):
Manmana bhava madbhakto madyaji mam namaskuru mam evaisyai
yuktvaivam atmanam matparayanah
Artinya : Pusatkanlah pikiranmu kepadaKu, berbaktilah kepadaKu,
sembahlah Aku, sujudlah padaKu. Setelah melakukan disiplin pada dirimu sendiri
dan Aku sebagai tujuan engkau akan datang (mendekat) padaKu.
Para Rsi mengatakan bahwa orang yang sepanjang hidupnya menjalankan
Sandhya tiga kali sehari dengan tekun ia akan menjadi manusia utama. la selalu
berjaya. Seakan mencapai kebebasan semasih hidup. Seakan mencapai Jivan Mukti.
“Dia yang mengabdi kepada- Ku sujud dengan kebaktian yoga, ia naik ke atas
melampaui guna, ia wajar bersatu dengan Brahman . Begitu sabda
Krishna kepada Arjuna dalam BG. XIV. 26.
6 I.N.K. Saputra, Penuntun Dasar dan Praktis Sembahyang, (Denpasar: CV. Kayumas
Agung, 2007), h. 3
36
B. Waktu Pelaksanaan Sembahyang Harian (Tri Sandhya)
Trisandya terdiri dari dua kata, yaitu “Tri” artinya tiga, “Sandya” artinya
sabda, ucapan, pikiran.7 Puja Trisandya disusun di Bali pasca G-30-S (1967) oleh
beberapa tokoh/ pemuka agama antara lain:
1. I Gst Bagus Sugriwa (alm)
2. Prof. Dr. Ida Bagus Mantra (alm)
3. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus (alm)
4. I Ketut Bangbang Gde Rawi (alm)
Dengan mengambil sumber dari: Gayatri Mantram (bait 1), Narayana
Upanisad (bait 2), Weda Parikrama (bait 3,4), dan Lontar Siwa Tattwa Purana (bait
5,6). Oleh karena berbentuk campuran antara beberapa Oleh karena berbentuk
campuran antara beberapa mantram Weda dan Wedangga, maka disebut ram Weda
dan Wedangga, maka disebut “Puja”.
Puja Trisandya diajarkan ke masyarakat untuk meningkatkan sradha yang
ketika itu sedang kacau balau oleh gerakan komunis. Maka mulailah didengungkan
kesekolah-sekolah, Pura, dll. Kini sudah memasyarakat.Sembahyang harian atau
Tri sandhya adalah sembahyang dalam umat Hindu juga biasa disebut Puja Tri
Sandhya yang dilaksanakan pada tiga waktu. Pagi hari jam 05.00-07.008, Puja Tri
Sandhya dilakukan pada waktu ini karena manusia berada dalam keadaan satwam
yaitu diri berada dalam tenang.
Siang hari jam 12.00-13.009, puja Tri Sandhya dilakukan pada waktu ini
karena ingin mengelakkan sifat rajas menguasai diri, yaitu melahirkan sifat yang
terlalu bersemangat dan banyak keinginan yang bisa menjadikan seseorang itu
sombong, egois dan pemarah.10
Dan sore hari jam 18.00-19.0011, Tri Sandhya dilakukan pada waktu ini
karena ingin mengelakkan diselimuti sifat tamas, yaitu sifat seperti malas,
7 I Made Surada, Kamus Sanskerta Indonesia, (Denpasar: Widya Dharma, 2007), h. 297. 8 KAKI TANAGel, Panca Sembah dan Kidung, (Denpasar: PT. Empat Warna
Komunikasi, 2006), h. 5 9 KAKI TANAGel, Panca Sembah dan Kidung, (Denpasar: PT. Empat Warna
Komunikasi, 2006), h. 5 10 Wawancara dengan Nyoman Winta selaku Pinandita pura Parahyangan Jagat Guru
BSD, Pada tanggal 01 Maret 2021 11 KAKI TANAGel, Panca Sembah dan Kidung, (Denpasar: PT. Empat Warna
Komunikasi, 2006), h. 5
37
mengantuk dan susah berpikir. Sembahyang pagi saat Raditya Dina dilakukan
untuk memperkuat Guna Sattwam.12 Sembahyang siang hari saat dalam keadaan
Madya Dina sembahyang yang dilaksanakan untuk mengendalikan Guna Rajah.
Lalu sembahyang sore saat Sandhya Dina sembahyang untuk mengendalikan Guna
Thamas.
Puja Tri sandhya baru dikenal sekitar tahun 1950-an. Pada waktu itu Prof.
Pandit Shastri menerbitkan buku Puja Tri Sandhya, sebuah buku yang dicetak
dengan huruf Bali dan huruf Latin yang sangat bagus pada jamannya. Puja Tri
Sandhya yang terdiri dari enam bait bersumber dari berbagai sumber sebagai
berikut:
1. Bait pertama, bersumber dari salah satu Mantram Gāyatrī yang terdapat
dalam kitab Rg Veda, III.62.10. Pada bait mantram dalam kitab Rg Veda
kata bhur bhuvah svah tidak ada. Tambahan kata bhur bhuvah svah itu
terdapat dalam kitab Yajur Veda Putih, 36.3.13
Mantra Gayatri atau Gayatri Mantram adalah mantram yang paling utama
dan paling mulia diantara semua mantra. Ia adalah ibu mantram yang dinyanyikan
oleh semua orang Hindu waktu sembahyang.
2. Bait kedua, bersumber dari salah satu dari suatu rangkaian mantram yang
panjang disebut Catur Veda Sirah (Empat Veda Kepala). Catur Veda Sirah
adalah salinan dari kitab Narayana Upanisad sebuah Upanisad minor
(kecil). Pada mantra ini pemuja memuja Tuhan sebagai Narayana, Tuhan
yang suci tanpa noda, Ia hanya tunggal tiada yang kedua.
3. Bait ketiga, bersumber dari Siwa Astawa, puja kedua, yaitu mantram
pemujaan kepada Dewa Siwa sebagai sebutan Tuhan dalam berbagai-bagai
sebutan. Oleh pemujanya Tuhan yang Tunggal disebut dengan banyak
nama. Ia disebut Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu,
Rudra dan Purusa. Masih banyak lagi sebutan yang lain. Namun bait ketiga
dari Puja Tri Sandhyā dengan puja kedua dari Siwa Astawa ada perbedaan
terutama pada baris terakhir. Bait ketiga baris terakhir pada Puja Tri
Sandhya berbunyi, “purusah parikīrtitah,” (parikirtitah artinya dipanggil),
12 Nengah Maharta, dan Wayan Seruni, Kumpulan Naskah Dharmawacana, (Lampung:
Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Dharma Nusantara Kampus Lampung, 2005), h. 86-87. 13 https://vaprakeswara.wordpress.com/tri-sandhya/ di akses pada tanggal 24 April 2021
38
sedangkan pada puja kedua baris terakhir dari Siwa Astawa berbunyi,
“purusah prakŗtis tatha,” (prakrti artinya prakrti).
4. Bait keempat, kelima dan keenam bersumber dari kumpulan mantra yang
sama yaitu Ksamamahadevastuti 2-5 tersebar dalam Weda Sanggraha.
Dimana bait keempat adalah sebagai pengakuan bahwa diri serba hina dan
memohon agar Tuhan melindungi dan membersihkan dari segala noda.
5. Bait kelima, pemuja memohon ampun dan memohon agar dibebaskan dari
semua papa, semua kehinaan dan dosa. Pemuja mohon untuk dijaga karena
Ialah penjaga semua makhluk dan penguasa tertinggi atas segala yang ada.
6. Bait keenam, pemuja memohon ampun atas segala dosa dari anggota badan,
kata-kata dan pikiran.14
Pelaksanaan Tri Sandhya sama dengan ilmu yoga. Seperti yang diketahui
yoga adalah sebuah ilmu yang menjelaskan kaitan antara rohani dan jasmani
manusia untuk mencapai kesehatan yang menyeluruh.15 Yoga dari bahasa Sanskerta
yang berarti union (persatuan) ini terbentuk dari kebudayaan India kuno sejak 5.000
tahun lalu dan bertujuan menyatukan Atman (diri) dengan Brahman (Sang
pencipta).16
Pelaksanaan Tri Sandhya juga bisa menambahkan kekuatan, kecerdasan dan
kesejahteraan bagi menempuh kehidupan seharian. terdapat dalam Kitab Suci Reg
Veda III. 62. 89.10, seperti berikut:
“Om o mom
Bhur bhuvah svah
Tat savitur varenyam
Bhargo devasya dhimahi
Dhiyo yo nah pracodaya”
14 https://vaprakeswara.wordpress.com/tri-sandhya/ di akses pada tanggal 24 April 2021 15 Pujiastuti Sindhu, Yoga untuk Kesehamilan, (Bandung: Qanita, 2009), h. 20. 16 Pujiastuti Sindhu, Yoga untuk Kesehamilan, (Bandung: Qanita, 2009), h. 20.
39
Artinya: Om Sang Hyang Widhi, kami menyembah Kecemerlangan dan kemaha
muliaan Sang Hyang Widhi yang menguasai bumi, langit dan surga, Semoga Sang
Hyang Widhi menganugerahkan Kecerdasan dan semangat pada pikiran kami.17
Ketut Suarna mengatakan Puja Tri Sandhya tidak ada disemua agama Hindu
baik di India dan di dunia, Puja Tri Sandhya disusun di Indonesia oleh Parisada
Hindu Bali sebelum menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia semenjak Agama
Hindu resmi diakui di Indonesia pada 01 Januari 1959. Puja Tri Sandhya hanya
dikumandangkan oleh penganut Hindu di Nusantara sebagai Puja wajib yang
dilaksanakan tiga kali sehari.
C. Mantra-mantra Tri Sandhya
Pengertian Mantra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah, perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (misalnya dapat
menyembuhkan, mendatangkan celaka, dan sebagainya).18 Kata Mantra berasal dari
bahasa Sansekerta “Manas dan Yantra”. Manas artinya, pikiran. Yantra artinya,
alat. Mantra, tidak seperti yang dikenal orang sebagai jampi-jampi, mempunyai arti
"alat untuk menenangkan pikiran". Kata-kata apa pun yang bisa menenangkan
pikiran manusia dapat dikategorikan sebagai Mantra.19
Dalam umat Hindu percaya bahwa kehidupan ini diliputi dan diserapi oleh
Mantra. Arti dan makna Mantra adalah untuk mengembangkan kekuatan supra pada
diri manusia “pikiran yang luar biasa dapat muncul dari kelahiran, obat-obatan,
mantra-mantra, pertapaan dan kontemplasi kedewataan. Maka mantra adalah suatu
ucapan yang luar biasa yang dapat mengikat pikiran.
Adapun makna atau maksud pengucapan mantra, adalah sebagai berikut
menurut Majumdar:
1. Untuk mencapai kebebasan.
2. Memuja manifestasi Tuhan Yang Maha Esa.
3. Memuja para Devata (dewa) dan roh-roh.
17 I Made Titib, Tri Sandhya, Sembahyang, dan Berdoa, (Surabaya: Paramita, 2003),
h.38. 18 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, diakses melalui
https://kbbi.web.id/mantra, pada tanggal 23 Maret 2021 19 http://sungging. com/2009/02/bahasa-sansekertabahasa-dewa.html diakses pada tanggal
23 Maret 2021, pukul 19.00
40
4. Berkomunikasi dengan para dewa.
5. Memperoleh tenaga dari manusia super (purusottama).
6. Menyampaikan persembahan kepada Roh leluhur dan para Devata.
7. Berkomunikasi dengan roh-roh dan hantu-hantu.
8. Mencegah pengaruh negatif.
9. Mengusir roh-roh jahat.
10. Mengobati penyakit.
11. Mempersiapkan air yang dapat menyembuhkan (air suci).
12. Menghancurkan tumbuh-tumbuhan, binatang-binatang dan manusia.
13. Menetralkan pengaruh bisa atau racun dalam tubuh manusia.
14. Memberi pengaruh lain terhadap pikiran dan perbuatan.
15. Mengontrol manusia, binatang-binatang buas, dewa-dewa dan roh-roh jahat.
16. Menyucikan badan manusia .20
Seperti telah dijelaskan diatas, sejalan dengan karakter seseorang, maka
mantra dapat bersifat Sattvam (Sattvika Mantra) bila digunakan untuk kebaikan
semua makhluk, menjadi Rajisikamantra dan Tamasika Mantra bila digunakan
untuk kepentingan menghancurkan orang-orang budiman, kebajikan, seseorang
atau masyarakat.
Mantra adalah weda, sehingga kitab catur weda disebut kitab mantra karena
ia tersusun dalam bentuk syair-syair pujaan. Mantra yang ditujukan kepada Tuhan
dalam salah satu manifestasi disebut “satwa”, misalnya Siwasatwa, Barunasatwa,
Wisnusatwa, Durghasatwa dan lainnya. Mantra pada umumnya memakai irama
atau lagu, sehingga mantra disebut “stora”.21
Berikut adalah mantra yang dibacakan oleh Pinandita Nyoman Winta dalam
melaksanakan sembahyang harian yang dilakukan siang hari bertepatan pukul
13.30 dan juga dengan dilaksanakan praktik ibadah agar penulis dapat melihat dan
mendengarkan bagaimana proses umat Hindu dalam melaksanakan sembahyang
harian (Tri Sandhya).
20 I Wayan Punia, Mengapa? Tradisi dan upacara Hindu, (Denpasar. 2 Paramita) h. 464-
465. 21 I Kt. Wiana, Arti Sarana Persembahyangan, Yayasan Wisma Karma, (Jakarta:
Yayasan Wisma Karma, 1999), h. 119
41
Mantra Tri Sandhya sebagai Berikut:
“Om bhur bhuvah svah, tat savitur varenyam,bhargo devasya dhi mahi, dhiyo yo
nah pracodayat
Om Narayana evedam sarvam, yat bhutam yac ca bhavyam, niskalankoniranjano
nirvikalpo, nirakhyatah suddo deva eko, Narayana na dvityo ‘sti kascit
Om tvam sivah tvam mahadevah, isravah parames’varah, brahma visnus ca
rudrasca, purusah parikirtitah
Om papo ham papakramaham, papatma papasamhavah, trahi mam
pundarikaksah, sabahyabhyantarah sucih
Om ksamasva mam mahadevah, sarvaprani hitankarah, mam moca sarvah
papebyah, palayasva sadasiva
Om ksantavyah kayiko dosah, ksantavyo vaciko mama, ksantavyo manaso dosah,
tat pramadat ksamasva mam
Om Santih Santih Santih Om”
Artinya :
Om adalah bhur svah. manusia memusatkan pikiran pada kecemerlangan dan
kemuliaan Sang Hyang Widi Wasa, Semoga Ia berikan semangat pikiran diri ini.
Om Narayana adalah semua ini, apa yang telah ada dan apa yang akan ada, bebas
dari noda, bebas dari kotoran, bebas dari perubahan tak dapat digambarkan, sucilah
dewa Narayana, Ia hanya satu tidak ada yang kedua.
Om Engkau dipanggil Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma, Wisnu,
Rudra, dan Purusa.
Om hamba ini papa, perbuatan hamba papa, diri ini papa, kelahiran hamba papa,
lindungilah hamba Sang Hyang Widi Wasa, sucikanlah jiwa dan raga hamba.
42
Om ampunilah hamba Sang Hyang Widi Wasa, yang memberikan keselamatan
kepada semua makhluk, bebaskanlah hamba dari segala dosa, lindungilah oh Sang
Hyang Widi.
Om ampunilah dosa anggota badan hamba, ampunilah dosa hamba, ampunilah dosa
pikiran hamba ampunilah hamba dari kelahiran hamba.
Om, damai, damai, damai , Om22
Puja Tri Sandhya merupakan rangkuman dari enam bait Mantra yang
dipetik dari kitab-kitab mantra, yaitu Kitab Catur Weda Samhita, Kitab Catur Weda
Sirah dan Kitab Wedaparikrama.
Bait demi bait dari mantram Puja Tri Sandhya merupakan himpunan mantra,
sebagai nyanyian pujaan. Setiap nyanyian pujaan pada umumnya mengandung tiga
komponen yaitu : pujian, pengakuan, permohonan. Namun di beberapa bait mantra
komponen kedua yaitu pengakuan kadang-kadang tidak ada. Pada mantram Puja
Tri Sandhya ketiga komponen itu ada dan terstruktur secara serasi, yaitu bait
pertama, kedua dan ketiga adalah pujian, bait keempat adalah pengakuan serta bait
kelima dan keenam adalah permohonan.
Bahasa mantram Puja Tri Sandhya adalah bahasa Sansekerta. Ada tiga jenis
bahasa Sansekerta yaitu, Sansekerta Veda, Sansekerta Klasik dan Sansekerta
Kepulauan (Hibrida). Sansekerta Veda adalah bahasanya kitab Catur Veda
Samhita, Sansekerta Klasik adalah bahasanya kitab-kitab Itihasa dan Purana, dan
Sansekerta Kepulauan atau Hibrida adalah bahasa Sansekerta yang didapati di Jawa
dan Bali terutama dalam lontar-lontar puja. bait pertama dari Puja Tri Sandya
memakai bahasa Sansekerta Veda, bait kedua memakai bahasa Sansekerta Klasik,
bait ketiga sampai dengan keenam memakai bahasa Sansekerta Kepulauan atau
Hibrida.23
D. Kramaning Sembah
22 I Kt. Wiana, Arti Sarana Persembahyangan, Yayasan Wisma Karma, (Jakarta:
Yayasan Wisma Karma, 1999), h. 121 23 https://vaprakeswara.wordpress.com/tri-sandhya/ di akses pada tanggal 24 April 2021
43
Persembahyangan atau pemujaan yang dilakukan sebagai kegiatan suci
harus dipersiapkan secara lahir dan batin dengan menenangkan pikiran, perkataan,
dan perbuatan. Juga dengan melakukan pembersihan badan dan mengenakan
pakaian yang bersih dan rapi. Kramaning Sembah (panca sembah) adalah tata cara
Menyembah Sang Hyang Widi Wasa. Karena itulah memerlukan beberapa
persiapan sebelum melaksanakan Kramaning sembah.
Dalam kesempatan wawancara kali ini penulis di perlihatkan dan di
paparkan apa saja yang harus dilakukan dan apa saja sarana-prasarana untuk
melakukan kramaning sembah.
1. Persiapan kramaning sembah.
Persembahyangan atau pemujaan yang dilakukan sebagai kegiatan suci
harus dipersiapkan secara lahir dan batin dengan menenangkan pikiran, perkataan,
dan perbuatan. Juga dengan melakukan pembersihan badan dan mengenakan
pakaian yang bersih dan rapi. Kramaning Sembah (panca sembah) adalah tata cara
Menyembah Sang Hyang Widi Wasa. Persiapan itu meliputi:
a. Asuci laksana, yaitu melakukan pembersihan badan dengan mandi.
Badan yang bersih dan sejuk akan membuat kenyamanan dan
ketenangan dalam melakukan pemujaan. Dengan memusatkan pikiran
kehadapan Sang Hyang Widi Wasa.
b. Pakaian, pakaian yang digunakan dalam pemujaan kehadapan Sang
Hyang Widi Wasa harus diupayakan sederhana atau secukupnya dalam
melakukan pemujaan. Pakaian harus bersih dan tidak mengganggu
konsentrasi.
Pakaian sembahyang sebaiknya adalah pakaian yang umum digunakan
umat untuk bersembahyang adalah, bagi laki-laki menggunakan kemben
atau kain mekancut, menggunakan baju putih dengan saput kuning
diikat dengan umpal, dan juga mengenakan udeng. Sedangkan untuk
perempuan mengenakan kain, baju yang sesuai dan tidak terlalu tipis
agar tidak memperlihatkan aurat tubuh, menggunakan ubet-ubet atau
44
senteng, selendang. Rambut diikat atau pusung. Konjer (kuncir) untuk
gadis dan pusung sanggul untuk yang sudah menikah.24
c. Sarana sembahyang, Sebelum melakukan persembahyangan hendaknya
mempersiapkan sarana untuk pemujaan meliputi: canang sari atau
bunga, kwangen, dupa sesari,thirta, dan alat yang dibutuhkan.25
d. Menuju tempat persembahyangan, perjalanan menuju ke tempat suci
pura atau tempat sembahyang harus dengan hati tenang dan
mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Widi Wasa.
e. Tempat duduk, saat sudah sampai tempat pemujaan cari tempat yang
layak, bersih dan juga harus konsentrasi.26
2. Menurut, “Keputusan Mahasabha ke VI tahun 1991.”
a. Asana, berasal dari urat kata ,”as,” artinya duduk atau sikap. Jadi asana
artinya sikap yaitu sikap sembahyang yang meliputi sikap tangan dan
sikap badan. Ketika melaksanakan Puja Tri Sandhya sikap tangan
adalah, Amustikarana (musti artinya ibu jari) yaitu sikap dengan
mempertemukan ibu jari tangan kanan dan tangan kiri dengan posisi
tangan kanan berada dalam genggaman tangan kiri. Selanjutnya Puja Tri
Sandhyā dapat dilakukan dengan sikap berdiri (Padasana) atau dengan
duduk (Padmasana bagi laki-laki dan Bajrasana bagi perempuan), sesuai
tempat dan situasi yang tersedia.
b. Pranayama, artinya mengatur jalannya nafas. (Prana artinya tenaga
hidup/nafas, ayama artinya pengendalian/pengaturan). Gunanya untuk
menenangkan pikiran dan mendiamkan badan untuk mengikuti jalannya
pikiran. Bila pikiran dan badan sudah tenang barulah mulai
sembahyang.
Prānāyāma dilakukan dengan cara :
Menarik nafas dengan ucapan mantram dalam hati, “Om Ang namah.”
Menahan nafas dengan ucapan mantram dalam hati, “Om Ung namah.”
24 Wawancara dengan Nyoman Winta selaku Pinandita pura Parahyangan Jagat Guru
BSD, Pada tanggal 01 Maret 2021 25 Wawancara dengan Nyoman Winta selaku Pinandita pura Parahyangan Jagat Guru
BSD, Pada tanggal 01 Maret 2021 26 I.N.K. Saputra, Penuntun Dasar dan Praktis Sembahyang, (Denpasar: CV. Kayumas
Agung, 2007), h. 55-58
45
Mengeluarkan nafas dengan ucapan mantram dalam hati, Om Mang namah.”
c. Karasoddhana, yaitu pembersihan dan penyucian badan melalui tangan
dengan lafalan mantram :
Penyucian tangan kanan, matramnya, “Om suddha mām svāhā.”
Artinya : (Om bersihkanlah hamba).
Penyucian tangan kiri, mantramnya, “Om ati suddha mām svāhā.”
Artinya: ( Om lebih bersihlah hamba).
3. Kramaning sembah (panca sembah) , adalah urutan yang akan dipandu oleh
pemangku atau pinandita yang ada dalam pemujaan.
a. Sembah puyung (tangan kosong), dengan melakukan cakupan tangan
kosong dan pusatkan pikiran dengan mantram di bawah.
Om atm tattawama suddha man swaha
Artinya: “Ya Tuhan, Atmma atau jiwa dan kebenaran, bersihkanlah
hamba.”
b. Sembah dengan bunga, sembah ini di tujukan kepada Sang Hyang Widi
Wasa dalam wujudnya sebagai Hyang Surya atau Siwa Aditya. Ucapkan
Mantam di bawah ini.
Om Adityasya par jyoti
Rakta tejo mamo stute
Sweta pankaja madhyastha
Bhaskaraya namo stute
Artinya : “Ya Tuhan, sinar Hyang Surya Yang Maha Hebat. Engkau
bersinar merah, hamba memuja Engkau. Hyang Surya yang beristana di
tengah-tengah teratai putih. Hamba memuja engkau yang menciptakan
sinar matahari berkilauan.”
c. Sembahyang dengan Kwangen, jika tidak ada kwangen bisa
menggunakan bunga. Sembahyang ini ditujukan kepada Istadewata
pada hari dan tempat persembahyangan itu. Ista Dewata ini adalah
Dewata yang diinginkan kehadiran-Nya pada waktu memuja.
46
Istadewata adalah wujud Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai wujud-
Nya. Ucapkan mantam di bawah.
Om nama dewa adhistanaya
Sarwawya pine siwaya
Padmasana ekaprathistaya
Ardhanareswari ya namo namah swaha
Artinya: ”Om Hyang Widhi, hamba memujamu sebagai dewa
sumber sinar yang berstana paling utama. Hamba memujamu sebagai
Siwa penguasa semua makhluk, hamba memujamu sebagai satu-satunya
penegak segalanya, yang bersemayam pada padmasana. Hamba
menunjukkan pemujaan hamba padamu Siwa Raditya, dan hamba puja
Sang Hyang Widi Wasa sebagai wujud Ardanareswari (perwujudan
tunggal dari laki-laki dan perempuan).”27
d. Sembah dengan Bunga atau Kwangen, untuk memohon waranugraha.
Martamnya sebagai berikut :
“Om anugrah manoharam
Dewa datta nugrahaka
Arcanam sarwa pujanam
Namah sarwa nugrahaka
Dewa-dewi mahasiddhi
Yajnanya nirmalatmaka
Laksmi siddhisca dirgahayuh
nirwighna sukha wrddisca”
Artinya : Ya Tuhan, Engkau yang menarik hati pemberi anugrah,
pemberi dewata, pujaan segala pujaan, hamba memujaMu sebagai
segala anugrah. Kemahasiddhian Dewa dan Dewi berwujud yadjna suci.
Kebahagiaan, panjang umur, bebas dari rintangan dan kesehatan
jasmani rohani. 28
27 Redaksi Pustaka Manikgeni, Doa Sehari-hari Menurut Hindu, Edisi 2011, h. 13-18 28 Redaksi Pustaka Manikgeni, Doa Sehari-hari Menurut Hindu, Edisi 2011, h. 13-18
47
e. Sembahyang dengan cakupan tangan kosong sama seperti yang pertama.
Hanya saja sebagai penutup. Dengan matram sebagai berikut :
“Om Dewa suksma parama cintyaya nama swaha
Om Santih, Santih, Santih, Om”
Artinya: Ya Tuhan, hamba memuja engkau Dewata yang tidak
terpikirkan, maha tinggi dan maha gaib. Ya Tuhan anugerahkanlah
hamba kedamaian, damai, damai, Ya Tuhan.
Mantram ini dipakai untuk sembahyang muspa, untuk memuja di Pura
atau tempat suci lain bisa menggunakan mantram yang disesuaikan
baitnya.29
E. Sikap Badan, Sikap Batin, Sikap Tangan
Dalam agama Hindu Sembahyang dapat memelihara kesehatan seseorang
dengan melakukan Asana atau sikap duduk Padmasana dimana tulang punggung,
leher dan kepala harus tegak lurus (tidak membungkuk), kemudian dengan
Pranayama atau pengaturan nafas dengan sikap batin yang hening, tenang dan suci
akan menjadi tubuh yang sehat.30 Maka dari itu ada sebutan Sikap Badan, sikap
Batin dan Sikap Tangan.
1. Sikap Badan
Sebelum melakukan sembahyang, umat Hindu akan bersikap Asuci
Laksana, yaitu mensucikan diri dengan pikiran yang baik, pikiran dan
jiwa harus benar-benar suci, bersih dan hening. Dengan membasuh tubuh
dengan air dan memakai pakaian yang bersih.31
Sikap badan atau asana pada waktu bersembahyang adalah sebagai
berikut:
a. Padmasana adalah cara duduk bersila untuk laki-laki.
b. Bajrasana adalah cara duduk bersimpuh untuk perempuan.
29 Redaksi Pustaka Manikgeni, Doa Sehari-hari Menurut Hindu, Edisi 2011, h. 13-18 30 K. M. Suhardana, Pengantar Menuju Pedoman Sembahyang Umat Hindu, (Surabaya:
Paramita, 2004), h. 4 31 Wawancara dengan Nyoman Winta selaku Pinandita pura Parahyangan Jagat Guru
BSD, Pada tanggal 01 Maret 2021
48
c. Padasana adalah cara berdiri dengan memperhatikan situasi dan
kondisi setempat.32
Gambar 8 : Duduk Bersila untuk Laki-Laki
32 K. M. Suhardana, Pengantar Menuju Pedoman Sembahyang Umat Hindu, (Surabaya:
Paramita, 2004), h. 4-6
49
Gambar 9 : Duduk Bersimpuh untuk Perempuan
2. Sikap Batin
Umat Hindu dalam bersembahyang akan selalu berusaha untuk menjaga
sikap batin sebagai berikut:
a. Bersikap tenang dengan hati yang suci.
b. Percaya sepenuhnya akan Tuhan.
c. Penyerahan diri secara total dan tulus ikhlas kepada-Nya.
d. Sembahyang hendaknya tidak mempunyai tujuan untuk memperoleh
mukjizat dan kesaktian.
3. Sikap Tangan
Dalam melakukan persembahyangan dalam agama Hindu, maka sikap
tangan adalah sebagai berikut:
a. Bersembahyang kepada Tuhan Yang Maha Esa, kedua tangan
dicakupkan atau diletakan diatas dahi, sehingga ujung jari berada
diatas ubun-ubun.
b. Bersembahyang kepada Dewa (Dewata), cakupan jari tangan
ditempatkan di tengah-tengah dahi dan ujung kedua ibu jari tangan
berada diantara kedua kening.
50
c. Bersembahyang ke hadapan Pitara, dengan mencakupkan jari tangan
ditempatkan di ujung hidung, dengan kedua ujung ibu jari tangan
menyentuh hidung.
d. Bersembahyang ke hadapan Bhuta, cakupkan tangan di ulu hati,
dengan ujung jari tangan mengarah ke bawah.33
Setelah penulis melihat umat Hindu selesai bersembahyang pasti ada
perlengkapan sarana sembahyang seperti tirtha, bija dan lainnya. Mengikuti proses
persembahyangan metirtha, mebija, mesekar memiliki makna yang penting untuk
melaksanakan persembahayangan umat Hindu.34
33 K.M. Suhardana, Pengantar Menuju Pedoman Sembahyang Umat Hindu, (Surabaya:
Paramita, 2004), h. 8-10 34 diakses pada tanggal 24 Mei 2021 https://kb.alitmd.com/%E2%80%8Bmakna-sarana-
persembahayangan-hindu/
BAB IV
MAKNA PERLENGKAPAN SEMBAHYANG TRI SANDYA
A. Perlengkapan Dalam Sembahyang Tri Sandya
Dalam melaksanakan persembahyangan umumnya umat Hindu
menggunakan beberapa sarana untuk memantapkan hati dalam melakukan
persembahyangan. Sarana (perlengkapan) tersebut adalah seperti Dupa, Buah,
Bunga, Kwangen, Kalpika, Tirtha dan Bija. Lalu juga disamping itu pengucapan
mantra dengan sikap badan tertentu juga tergolong dalam sarana. Sama seperti
dalam agama Islam menggunakan perlengkapan seperti sajadah, baju bersih peci
dan sarung untuk laki-laki dan mukena untuk perempuan.
Dalam sembahyang harian (Tri Sandhya) hanya menggunakan sarana
(Upakara) Upakara adalah salah satu alat untuk menghubungkan diri kehadapan Ida
Sang Hyang Widhi Wasa dalam bentuk yang nyata, seperti yang tertuang dalam
Kitab Bhagavadgītā, IV.11 berbunyi :
Ye yathā māṁ prapadyante
tāṁ s tthaiva bhajāmy aham
mama vartmānuvartante
manu ṣyāḥ pārtha sarvaśaḥ
Artinya : “Dengan jalan manapun (beryajña) ditempuh manusia kepada-Ku,
semuanya Ku-terima, semua orang menempuh jalan-Ku dalam segala hal, Oh
Partha.1
Secara etimologinya, kata upakara terdiri dari dua suku kata, yaitu upa dan
kara. Kata upa artinya “berhubungan” dan kara artinya “tangan”. Jadi,
upakara berarti segala sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan, pekerjaan dan
tangan. Kamus Jawa Kuno Indonesia, juga terdapat penjelasan kata upakara, yang
berarti “Pertolongan, bantuan, sumbangan, pemberian, hadiah, anugrah. Juga
diartikan, perbuatan salah, penghinaan atau celaan”. Pada Kamus Bali Indonesia,
disebutkan arti kata Upakara berarti sajen, Sedangkan di dalam buku Memelihara
Tradisi Weda dijelaskan “upakara artinya melayani dengan ramah tamah” dalam
1 Kadek Joni Purnawan, Upakara “pendidikan Agama Hindu”, Universitas Pendidikan
Ganesha.
51
terjemahan disebut juga upacara. Upakara yang dibuat dan telah memiliki bentuk
sehingga dapat digunakan, lalu sebuah upakara dikatakan berfungsi. Menurut buku
Upakara Yajna, fungsi Upakara adalah sebagai sarana persembahan atau korban
suci, artinya upakara yang dibuat digunakan sebagai persembahan kepada Tuhan,
karena Tuhanlah yang menciptakan segala isi dunia ini. Maka umat manusia
berkewajiban mempersembahkan kembali kepada Tuhan dalam bentuk upakara.
Dalam buku Tetandingan Lan Sorohan Bebanten, fungsi upakara
disebutkan berdasarkan atas pengelompokan/sorohan bebanten, yaitu:
1. Kelompok upakara sebagai pembersih/penyucian dimana kelompok ini
meliputi, banten beakala, tetebasan durmangala, prayascita, lis bale
gading, banten pedudusan.
2. Kelompok upakara sebagai wujud pralingga atau sthana Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. Bebanten yang termasuk kelompok ini seperti daksina dan
sesayut.
3. Kelompok ketiga yakni kelompok upakara sebagai persembahan,
diantaranya, banten caru, banten gelar sanga, banten tawur dan
sejenisnya.
Implementasi setiap perlengkapan sembahyang oleh umat beragama Hindu
sangat beragam tergantung Yajna dan cara memaknai jenis perlengkapan tersebut,
misalnya agni (api) dilambangkan dengan dupa sebagai saksi dalam setiap gerak
Langkah dalam hidup manusia bahwa apapun yg kita lakukan baik dan buruk saksi
Tuhan atau alam semesta pasti mengetahuinya. Bunga atau kembang sebagai
perlambang kesucian dan keindahan agar manusia hidup menjaga kesucian pikiran
perkataan dan perbuatannya dan mengembangkan cinta kasih kepada semua ciptaan
Tuhan.
Dari penjelasan di atas, yang menjelaskan fungsi upakara , maka dapat
dipahami bahwa fungsi dari sebuah upakara tergantung pada bentuk upakara dan
difungsikan sesuai dengan jenis yajna yang dilaksanakan.2 Sarana untuk
melaksanakan Sembahyang Tri Sandhya yaitu, Dupa, Bunga, Kwangen, Tirtha, dan
juga Bija. Yang mana dari beberapa sarana di atas memiliki makna. Berikut arti dan
2 Wijayananda, (2003), h. 13
52
fungsi dari sarana sembahyang Tri Sandhya yang penulis dapatkan dari wawancara
dan juga sumber teks lainnya.
1. Dupa
Dupa memiliki banyak sebutan seperti, Agni, Api. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia Dupa adalah kemenyan, setanggi, dan sebagainya
yang apabila dibakar asapnya berbau harum.3 Dalam tradisi Hindu untuk
membuat dupa harus dari bahan pilihan, seperti kayu cendana yang
mengeluarkan bau harum agar membuat pikiran tentram dan juga tenang.
Api memiliki peran penting dalam upacara-upacara agama Hindu,
sertiap upacara yang dilakukan didahulukan dengan menyalakan api/dupa.
Melalui kesempatan saat melakukan wawancara penulis melihat Pinandita
yang akan menyalakan api/dupa saat akan melakukan persembahyangan.
Tidak lupa sebelumnya sudah didoakan oleh Pinandita yang ada di Pura.
Ciri khas juga menjadi unggul karna dupa setiap umat Hindu
bersembahyang menggunakan sarana api/dupa.
Fungsi dari dupa adalah sebagai pemimpin upacara atau
sembahyang. Dan juga pembasmi dari segala kotoran, pengusir roh jahat,
dan sebagai saksi upacara.4 Cara menggunakan dupa dengan mengasapi
benda atau seserahan.5
Selain Dupa ada beberapa api yang digunakan dalam kegiatan
persembahyangan dan memiliki beberapa wujud sebagai berikut :
a. Dipa : api dengan nyala yang memancarkan sinar cahaya yang
terang benderang. Misalnya, api dari lilin, lampu, lampu listrik dan
sejenisnya.
3 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, diakses melalui
https://kbbi.web.id/dupa, pada tanggal 9 Maret 2021 4 I Nyoman Putu Sutirta, Sarana Persembahayangan dan Cara Pembuatannya, (Yayasan
Ghandi Putri : Denpasar, 2020), h. 6 5 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku Kepala Sekolah Pasraman di pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 23 Januari 2021 pukul 13.00 WIB.
53
b. Obor : api dengan nyala yang besar berkobar-kobar. Termasuk jenis
ini adalah obor, dari perakpak, tombrog (obor dari bambu), dan
sebagainya.6
Gambar 10 : Dokumentasi Dupa
2. Bunga
Bagi Umat Hindu, bunga dalam sesaji sebagai lambang dari
kesucian hati dalam memuja Sang Hyang Widi Wasa serta sinar-sinar suci-
6 I Nyoman Putu Sutirta, Sarana Persembahayangan dan Cara Pembuatannya, (Yayasan
Ghandi Putri : Denpasar, 2020), h. 6
54
Nya, para leluhur dan para Rsi. Bunga tidak hanya dipakai untuk
sembahyang saja, tetapi juga dipakai untuk persembahan-persembahan lain.
Karena itulah Seyogyanya dipersembahkan bunga yang baru mekar,
harum dan tidak boleh menggunakan bunga yang telah jatuh ke tanah.7
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Arti bunga adalah bagian
tumbuhan yang akan menjadi buah, biasanya elok warnanya dan harum
baunya.8 Dalam kitab Agastya Parwa disebutkan ada beberapa bunga yang
tidak baik dipersembahkan atau dipakai sebagai sarana persembahyangan.
“Nihan ikang kembang tan yogya pujakena ring bhatara : kembang
uleren, kembang ruru tan inuduh, kembang laywan, laywan ngaranya
alewas mekar, kembang munggah ring sema, nahan ta lwir ning kembang
tan yogya pujakena de nika sang satwika.”
Artinya : Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada
Bhatara, bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa diguncang, bunga
yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang lewat masa mekarnya,
bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut
dipersembahkan oleh orang baik-baik.9
Fungsi dari bunga yaitu sebagai simbol Sang Hyang Widi Wasa
(Siwa).10 Juga sebagai simbol menghantarkan rasa kasih dan cinta.11 Bunga
sebagai simbol Tuhan diletakkan di ujung cakupan tangan pada saat
menyembah dan sesudahnya bunga tersebut diletakkan di atas kepala atau
disumpingkan di telinga. Sedangkan bunga sebagai sarana persembahan
maka bunga dipakai mengisi sesajen.12
Tidak setiap bunga bisa dipakai sebagai sarana persembahyangan.
Untuk bunga yang paling baik menurut ajaran agama dan serba guna adalah
7 I Wayan Suraba, Cara Praktis Untuk Memahami Agama Hindu Melalui Kumpulan
Dharmawacana, (Paramita : Surabaya, 2013), h.152 8 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, diakses melalui
https://kbbi.web.id/bunga, Pada tanggal 10 Maret 2021 9 https://vaprakeswara.wordpress.com/tri-sandhya/ di akses pada tanggal 24 April 2021 10 I Wayan Suraba, Cara Praktis Untuk Memahami Agama Hindu Melalui Kumpulan
Dharmawacana, (Paramita : Surabaya, 2013), h.151 11 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku Kepala Sekolah Pasraman di pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 23 Januari 2021 pukul 13.00 WIB. 12 I Nyoman Putu Sutirta, Sarana Persembahayangan dan Cara Pembuatannya,
(Yayasan Ghandi Putri : Denpasar, 2020), h. 6
55
bunga teratai. Bunga ini akarnya di lumpur, daunnya di air, dan bunganya
membujur di udara. Bunga yang terbaik adalah bunga teratai untuk
digunakan sebagai persembahan.13
Gambar 11 : Dokumentasi Bunga Dan Kwangen. (Bunga Yang Berwarna Kuning)
3. Kwangen
13 I Nyoman Putu Sutirta, Sarana Persembahayangan dan Cara Pembuatannya,
(Yayasan Ghandi Putri : Denpasar, 2020), h. 6
56
Kwangen berasal dari bahasa jawa kuno yaitu “Wangi” yang artinya
harum.14 Bagi umat Hindu Kwangen merupakan hal yang sangat penting.
Kwangen dipakai untuk memuja Sang Hyang Widi Wasa dalam wujud
purusa pradana (Arda Nareswari) dan sebagai pemberi anugrah.15
Kwangen dibuat dari daun pisang yang berbentuk lonjong dan juga
berbentuk segitiga lancip karena memiliki lambang dari Ardhacandra. Yang
dilengkapi dengan daun-daunan plawa, dan hiasan puncaknya digunakan
janur yang berbentuk cili, disertai bunga.16 Di dalamnya diisi perlengkapan
hiasan dari janur yang disebut bunga, uang kepeng dan porosan silih asih.
Adapun yang dimaksud porosan silih asih adalah dua potong daun sirih yang
diisi kapur dan pinang, diatur sedemikian rupa sehingga jika digulung
tampak bolak-balik, yaitu yang satu tampak bagian perutnya dan yang satu
lagi tampak punggungnya.
Fungsi dari kwangen yaitu sebagai Ista Dewata yang artinya adalah
Dewata yang diinginkan dan dimohon kehadirannya pada waktu
bersembahyang, misalnya sebagai Batara Brahma, Batara Siwa dan lainnya.
Jika tidak ada kwangen maka sebagai gantinya dapat dipergunakan bunga.17
Kwangen juga menyimbolkan sesari dan berfungsi sebagai penebus
segala kekurangan yang ada. Kemudian bunga, bunga yang digunakan
adalah bunga yang berbau harum dan tidak layu bunga merupakan simbol
dari ketulus ikhlasan dan kesucian hati.18 Dalam sembahyang kwangen
simbol Omkara/Ongkara.
Omkara adalah aksara suci Sanghyang Widhi. Dengan demikian
kwangen adalah simbol Sanghyang Widhi. Oleh karena itu pada waktu
sembahyang memakai sarana kwangen hendaknya sedemikian rupa
14 I.N.K. Saputra, Penuntun Dasar dan Praktis Sembahyang, (Denpasar: CV. Kayumas
Agung, 2007), h. 42 15 I Wayan Suraba, Cara Praktis Untuk Memahami Agama Hindu Melalui Kumpulan
Dharmawacana, (Paramita : Surabaya, 2013), h.152 16 I.N.K. Saputra, Penuntun Dasar dan Praktis Sembahyang, (Denpasar: CV. Kayumas
Agung, 2007), h. 42 17 K. M. Suhardana, Pengantar Menuju Pedoman Sembahyang Umat Hindu, (Surabaya:
Paramita, 2004), h. 15 18 Ni Kadek Intan Rahayu, Makna Simbolik Umat Hindu dalam Persembahayangan
Bulan Purnama di Kecamatan Basidondo Kabupaten Tolitoli, (Jurnal Bahasa dan Sastra Volume 5
No 1 (2020) ISSN 2302-2043).
57
sehingga muka kwangen berhadap-hadapan dengan muka penyembahnya.
Hal ini dimaksudkan agar penyembah dengan yang disembah berhadap-
hadapan.
Gambar 12 : Dokumentasi Bunga Dan Kwangen. (Kwangen Yang Bentuk
Kojong)
4. Tirtha
Tirtha atau air sangatlah penting dalam persembahayangan, karena
keagungan air sebagai pembersih atau sarana penyucian, dan pemberi
kehidupan.19 Kata tirtha berasal dari bahasa sansekerta, menurut para ahli
Max Muller, Sir Monier William menyebutkan arti kata Tirtha adalah
pemanidan atau sungai, kesucian atau setitik air, sungai yang suci, jika
disimpulkan tirtha itu bermakna, penyucian atau membersihkan.20
Semua peralatan dan bangunan-bangunan yang ada di Pura harus
dipercikkan air sebelum upacara dimulai. Selanjutnya percikkan air suci
kepada orang dalam upacara itu untuk mendapatkan kesehatan, ketentraman
(damai di hati).
19 I.N.K. Saputra, Penuntun Dasar dan Praktis Sembahyang, (Denpasar: CV. Kayumas
Agung, 2007), h. 50 20 I Kt. Wiana, Arti Sarana Persembahyangan, Yayasan Wisma Karma, (Jakarta:
Yayasan Wisma Karma, 1999), h. 106
58
Air dianggap mempunyai kekuatan untuk melenyapkan pengaruh
jahat. Maka itulah pentingnya air dalam kehidupan beragama sehingga
semua upacara keberagamaan tidak lepas dari sarana air.21 Tirtha atau air
suci untuk persembahyangan ada dua macam, yaitu tirtha pembersih dan
Tirtha wangsuhpada. Dalam persembahayangan tirtha berfungsi sebagai
pembuka dan penutup persembahayangan.
Tirtha pembersih berfungsi untuk menyucikan upakara atau sarana
sembahyang dan juga di pakai untuk menyucikan diri dari segala kotoran.
Tirtha inidigunakan sebelum di mulainya persembahayangan.22 Tirtha
wangsuhpada adalah tirtha yang dimohon pada waktu persembahyangan
sebagai simbol waranugraha atau sebagai berkah.23
Didalam ajaran Agama Hindu, ada ketentuan yang menetapkan
bahwa yang boleh membuat tirtha hanyalah sulinggih yang sudah
melakukan dwijati, seperti: Peranda, Rsi, Pandita MPU dan sebagainya.
sedangkan mereka yang belum didiksa dan belum melakukan loka
Phalacraya, misalkan Pamangku dan sejenisnya belum dibolehkan membuat
air suci" tirtha.
Karena itulah dalam persembahyangan para pinandita yang belum
medwijati hanya bisa memohon (nunas) tirtha. Ketentuannya adalah
pemangku, pemohon atau siapapun dia, bisa saja kepala keluarga kalau
untuk kepentingan keluarga harus sudah bersih lahir batin. Berpakaian yang
semestinya dilakukan dalam bersembahyang,menghadap ke Pura atau
Sanggah atau Padmasana atau pelangkiran, tergantung sarana yang ada.
Kedua tangan diangkat sampai diatas kepala dengan memegang suatu
wadah khusus untuk air suci, berisi bunga didalam air, sambil memegang
dupa yang telah dinyalakan.
21 G. Pudja, Wedaparikrama, (Jakarta : Departemen Agama RI, 1971), hlm. 53. 22 I.N.K. Saputra, Penuntun Dasar dan Praktis Sembahyang, (Denpasar: CV. Kayumas
Agung, 2007), h. 51 23 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku Kepala Sekolah Pasraman di pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 23 Januari 2021 pukul 13.00 WIB.
59
Gambar 13 : Dokumentasi Tirtha (Air)
5. Bija
Bija atau biji beras yang dicuci dengan air atau air cendana.
Terkadang juga dicampur dengan kunyit sehingga berwarna kuning.24 Beras
untuk bija diupayakan harus beras yang galih, atau beras utuh yang tidak
patah.25 Bija dibuat dari biji beras yang dicuci dengan air bersih lalu
direndam dengan air cendana. Penggunaan Bija bertujuan untuk
mensucikan pikiran, perbuatan, dan perkataan. Bija diletakan di antara dua
kening, di dada, dan ditelan.
Fungsi bija adalah sebagai lambang kumara yaitu putra Dewa Siwa.
Yang dimaksud kumara adalah benih kesiwaan yang bersemayam di dalam
diri setiap manusia. Simbol bija sebagai lambang kesucian yaitu 3 bija
diletakan di dahi, ditelan 3 biji, dan ditaruh di dada atau di pangkal
tenggorokan.26 Juga sebagai simbol untuk menemukan kesucian rohani
dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan hidup.
24 I.N.K. Saputra, Penuntun Dasar dan Praktis Sembahyang, (Denpasar: CV. Kayumas
Agung, 2007), h. 54 25 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku Kepala Sekolah Pasraman di pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 23 Januari 2021 pukul 13.00 WIB. 26 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku Kepala Sekolah Pasraman di pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 23 Januari 2021 pukul 13.00 WIB.
60
Gambar 14 : Dokumentasi Bija
B. Makna Perlengkapan Sembahyang Tri Sandya
Melakukan persembahyangan umumnya umat Hindu menggunakan
beberapa sarana untuk memantapkan hati dalam melakukan persembahyangan.
Sarana persebahyangan tidak hanya memiliki arti dan fungsi saja, tetapi sarana-
sarana yang dipergunakan untuk persembahayangan umat Hindu juga memiliki
makna yang masih jarang diketahui banyak orang.
Dalam Dharma wacana makna perlengkapan Sembahyang harian Tri
Sandhya. Dalam ilmu pengetahuan suci yang diajarkan oleh para Maharsi kepada
umat sedharma.
1. Api (dupa)
Makna Api sebagai pemimpin upacara di jelaskan dalam kitab Isa Upanisad
Mantra : 18.
Yang artinya: “O Tuhan kuat laksana api, mahakuasa, tuntunlah kami, semua
segala tingkahlaku, menuju kepadamu yang bijaksana, jauhkan dari jalan
tercela yang jauh darimu, baik penghormatan maupun kata-kata yang hamba
lakukan.”
61
Dalam syair upanisad tersebut ada kata ”agni naya” yang artinya api penuntun
atau api pemimpin.27 Selain itu Makna Dupa sebagai pembasmi segala kotoran
tampak jelas pada persembahyangan sehari-hari dimana melalui mantram.
Ong Ang Dupa Dipastraya namah swaha
Artinya : ”Mohon disucikan diri atas sinar suci Ida Sanghyang Widhi”.
Api juga sebagai saksi upacara dalam kehidupan. Dalam persembahyangan
dupa sebagai saksi dan asapnya sebagai lambang gerakan rohani keangkasa sebagai
stana para Dewa.28
Makna Dupa 1 batang yaitu, perlambang Tuhan itu Satu dalam
manifestasinya sebagai surya Raditya.
2. Bunga
Makna bunga, tidak hanya dipakai untuk melengkapi persembahan-
persembahan lain. Oleh karena itu hendaknya dipergunakan bunga yang baru
mekar, berbau wangi, dan belum dihinggapi serangga. Dan juga sebaiknya
tidak mempergunakan yang tidak mempunyai kelopak bunga, misal sari konta.
Bunga berwarna kuning, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan
Mahadewa yang memiliki kekuatan seperti nagapasa,memancarkan sinar
berwarna kuning. Persembahyangan dengan bunga berwarna kuning biasanya
digabungkan dengan kwangen yang dilengkapi dengan bunga berwarna
kuning.
Bunga berwarna putih, untuk memuja Hyang Widhi dengan sebutan Iswara,
memiliki kekuatan seperti badjra, memancarkan sinar berwarna putih(netral).
Berikut adalah makna dari bunga:
a. Bunga memiliki fungsi sebagai simbol dari Sang Hyang Widi Wasa
(siwa), sebagai lambang cinta kasih.
b. Bunga juga sebagai lambang restu bakthi terhadap-Nya
27 I.N.K. Saputra, Penuntun Dasar dan Praktis Sembahyang, (Denpasar: CV. Kayumas
Agung, 2007), h. 44 28 I Nyoman Putu Sutirta, Sarana Persembahayangan dan Cara Pembuatannya,
(Yayasan Ghandi Putri : Denpasar, 2020), h. 6
62
c. Bunga sebagai lambang peleburan dosa dan saksi kebenaran.29
Selain itu dalam agama Hindu terdapat satu bunga yang diistimewakan
yaitu bunga Teratai. Bunga teratai merupakan salah satu bunga yang sangat
dihormati, karena mereka memahami bahwa para dewa dan dewi bersemayam
diatas bunga teratai. Mereka juga percaya bahwa warna merah yang terdapat
pada bunga teratai itu merupakan suatu kesucian dan keberuntungan.30
Bunga teratai mempunyai tiga bagian yang ketiganya seolah-olah hidup di
tiga alam yang berbeda. Ketiga bagian tersebut ialah akar, tangkai dan bunga.
Akar bunga teratai tertanam di tanah, lalu tangkainya hidup di air, kemudian
bunganya mekar di udara.31
Namun bunga ini tidak menjadi sarana persembahyangan harian (Tri
Sandhya) karena tidak umum dipakai dan susah juga mencarinnya, jadi bunga
teratai dipakai untuk perlengkapan ritual karena memiliki nilai filosofi yang
tinggi. Dimana bunga teratai hidup di tiga alam, yaitu tanah/lumpur, air dan di
darat. Penulis melihat beberapa bunga teratai ada di dalam Taman sari.
Berikut adalah semua sarana persembahyangan terlepas dari sembahyang
Tri Sandhya juga memiliki arti dan makna yang dalam dan merupakan
perwujudan dari Tatwa Agama Hindu. Arti dari masing-masing sarana tersebut
yaitu: contoh Canang, merupakan upakara yang akan dipakai sarana
persembahan kepada Sang Hyang Widhi Wasa atau Bhatara Bhatari leluhur.
Unsur - unsur pokok daripada canang tersebut adalah:
a. Porosan terdiri dari : pinang, kapur dibungkus dengan sirih. Dalam
lontar Yadnya Prakerti disebutkan : pinang, kapur dan sirih adalah
lambang pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam
manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti.
29 I Wayan Suraba, Cara Praktis Untuk Memahami Agama Hindu Melalui Kumpulan
Dharmawacana, (Paramita : Surabaya, 2013), h. 154 30 I Wayan Punia, Mengapa? Tradisi dan Upaca Hindu (Surabaya: PT. Kisanlal Sharma-
PARAMITA, 2007), h. 72-76. 31 I Ketut Wiana, Arti dan Fungsi sarana Persembahyangan (Surabaya: PARAMITA,
2000), h. 37-38
63
b. Plawa yaitu daun-daunan yang merupakan lambang tumbuhan
tumbuhnya pikiran yang hening dan suci, ya pikiran yang hening dan
suci, seperti yang disebutkan dalam lontar Yadnya Prakerti.
c. Jejahitan, reringgitan dan tetuasan adalah lambang ketetapan dan
kelanggengan pikiran.
d. Urassari yaitu berbentuk garis silang yang menyerupai tampak dara
yaitu bentuk sederhana dari pada hiasan Swastika, sehingga menjadi
bentuk lingkaran Cakra setelah dihiasi.
3. Kwangen
Dikaitkan dengan aksara suci, Kwangen merupakan sejenis upakara
sebagai simbol Tuhan atau "om kara", yaitu : kojong merupakan simbol
angka tiga, potongan bagian atas yang lonjong merupakan simbol
“Ardhacandra”, uang yang bentuknya bulat adalah simbol “vindu”,
sedangkan cili atau bunga beserta daun-daunnya adalah simbol
“nada”.32 Kwangen ini adalah tanda atau isyarat agar umat atau bhakta
syang akan mengingat, mengucapkan, dan mengharumkan nama suci
Tuhan.
Keberadaan Kwangen sangat penting dalam upacara
persembahyangan karena memiliki makna simbolik yang dipuja yaitu
Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa). Dalam lontar Siwagama
disebutkan bentuk kwangen sebagai simbol "om kara" dalam bentuk
upakara, Kwangen memiliki bentuk yang kecil, yaitu bagian bawah lancip
dan bagian atas mekar seperti bunga yang sedang kembang.33 Dapat
dimaknai bahwa Tuhan (Sang Hyang Widhi Wasa) adalah indah, harum,
dan suci sehingga menarik untuk dipuja dan dimuliakan.
Cara penggunaan Kwangen yaitu dijepit (dipegang) pada cakupan
kedua telapak tangan tepat sejajar dengan ubun-ubun dan menghadap pada
diri kita.
4. Tirtha
32 I Made Titib, Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu, (Denpasar: Paramita
2009), h. 136 33 http://mudiartana.wordpress.com/2011/05/13/filosofis-canang-dan-kwangen/ di akses
pada tanggal 21 Maret 2021, pukul 15.00
64
Makna Tirtha, tirtha adalah air yang telah disucikan, kesuciannya
diperoleh dengan jalan dimantrai oleh orang yang berwewenang seperti
pemangku, pinandita, pemande, pandita dan sri mpu.34 Ada beberapa
jenis tirtha dan juga manfaatnya :
a. Tirtha yang dimanfaatkan sebagai penyucian terhadap bangunan,
terhadap alat-alat upacara ataupun terhadap diri sendiri, tirtha ini
adalah jenis tirtha penglukatan, tirtha pembersihan, tirtha prayascita.
b. Tirtha yang dimanfaatkan sebagai penyelesaian upacara upacara
dalam persembahyangan, tirtha ini biasanya di mohon di suatu
pelinggih utama pura yang disebut titha wansuhpada.
c. Tirtha yang dipakai untuk penyelesaian upacara kematian,
contohnya tirtha penembak, tirtha pemanah dan tirtha pengentas.
Tirtha ini berasal dari Sang Dwijati Sulinggih.35
Di dalam weda parikrama dan surya sevana dijelaskan, maksud dari
pemakaian tirtha itu adalah sebagai penyucian secara lahiriah dan
rohaniah (lahir dibersihkan dengan air, rohani di bersihkan dengan
kesucian tirta.36
5. Bija
Dalam tradisi Hindu, dengan menaburkan benih beras di bangunan
tempat yang dipergunakan dalam suatu upacara sebagai simbol penaburan
benih yang suci.37 Berikut ini adalah makna bija dalam persembahyangan
umat Hindu.
a. Bija yang di tempelkan di kening dan di antara dua alis, bermakna
agar diharapkan mampu menumbuhkan pikiran yang suci (Anja
Cakra).
b. Bija yang diletakan di dada dekat leher , bermakna agar di harapkan
mampu memberikan kebahagiaan (Wisuda Cakra).
34 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku Kepala Sekolah Pasraman di pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 23 Januari 2021 pukul 13.00 WIB 35 I Wayan Suraba, Cara Praktis Untuk Memahami Agama Hindu Melalui Kumpulan
Dharmawacana, (Paramita : Surabaya, 2013), h. 149 36 Putu Setia, Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, (Redaksi Pustaka) 37 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku Kepala Sekolah Pasraman di pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 23 Januari 2021 pukul 13.00 WIB
65
c. Beras/ bija yang ditelan sebagai simbol untuk menumbuhkan bibit
kesucian rohani dengan harapan agar memperoleh kesempurnaan
hidup.38
Ada pula penempatan bija diletakkan pada titik-titik yang peka
terhadap sifat dari kedewataan (ke-Siwaan). Dan titik-titik dalam tubuh
tersebut ada lima yang disebut Panca Adisesa, yaitu sebagai berikut.
1. Diletakkan di pusar atau disebut titik manipura cakra.
2. Di ulu hati (padma hrdaya) zat ketuhanan diyakini paling
terkonsentrasi di dalam bagian padma hrdaya ini (hati berbentuk
bunga tunjung atau padma). Titik kedewataan ini disebut Hana hatta
cakra.
3. Di leher, diluar kerongkongan atau tenggorokan yang disebut
wisuda cakra.
4. Di dalam mulut atau langit-langit rongga mulut.
5. Di antara dua alis mata yang disebut anjacakra.sebenarnya letaknya
yang lebih tepat, sedikit diatas, diantara dua alis mata itu.39
Menurut kitab Bhagawad Gita bahwa dalam diri manusia terdapat sifat
kedewataan daiwi sampad dan sifat keraksasaan asuri sampad.
Menumbuhkembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuhkembangkan sifat
kedewataan agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat tersebut
bersemayam di dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan
berkembangnya benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dan lubuk hati maka
disimbolkan dengan menempelkan bija tersebut di tengah kedua kening serta
menelannya.
C. Doa-doa Metirtha, Mesekar, Mebija
Dalam melakukan aktivitas dalam umat Hindu di iringi doa-doa atau
mantram sebagai bentuk rasa syukur dan juga meminta anugerah dari Sang
38 I Wayan Suraba, Cara Praktis Untuk Memahami Agama Hindu Melalui Kumpulan
Dharmawacana, (Paramita : Surabaya, 2013), h. 154 39 “Makna Penempatan Bija” https://inputbali.com/budaya-bali/makna-dan-penempatan-
bija-dalam- persembahyanganhindu-bali diakses pada tanggal 13 april 2021
66
Hyang Widi Wasa.40 Terlepas dari itu setelah bersembahyang biasanya umat
Hindu akan menerima tirtha sebagai waranugraha atau anugrah. Berikut adalah
doa-doa ketika melakukan Metirtha, Mebija dan Mesekar :
Doa ketika Metirtha
“Om Ang Brahma amrta ya namah
Om Ung Wisnu ya namah
Om Mang Iswara ya namah”
Artinya: Ya Tuhan dalam Wujud Brahma, Ya Tuhan dalam wujud Wisnu,
Ya Tuhan dalam wujud Iswara, Anugerahkanlah hamba air suci.40
Doa meminum Tirtha (dilakukan saat akan meminum)
“Om Om sarira ya namah
Om Om sada Siwa ya namah
OmOm paramasiwa ya namah”
Artinya : Ya Tuhan sebagai Ciwa Sadha Ciwa dan parama Ciwa
Anugrahilah badan dan rohani ini air suci.
Doa ketika meraup tirtha
“Om Om sarira ya namah
Ang Ung Mang Gangga amrta ya namah
Om Ang sama sampurna ya namah”
Artinya : Ya Tuhan sempurnakanlah badan ini, Ya Tuhan sebagai
perwujudan Gangga amertha, anugrahilah diri kami dari kesucian, sinar
yang maha suci, yang maha sempurna.
Doa ketika metirtha ke badan (dilakukan hanya sekali)
“Om atma raga sarira pari suddha ya namah”
40 Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku Kepala Sekolah Pasraman di pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 23 Januari 2021 pukul 13.00 WIB.
67
Artinya : Ya Tuhan sebagai badan atma yang suci, sucikanlah badan ini.
Doa Mesekar
Mesumpang/mecunduk di Ciwadrawa (ubun-ubun) dengan puja berikut :
“Om Siwa Raditya ya nama swaha”
Yang mempunyai arti simbolis, agar kita tetap dan percaya terhadap Sang
Hyang Widi Wasa.
Mesekar pada dua telinga dengan puja berikut:
“Om Dewa Sri Dwei ya nama swaha”
Bunga di bagi dua, tangan melipat (bersilang) dengan tangan kanan
membungai telinga kiri dan tangan kiri membungai telinga kanan.
Doa Mebija
Bija atau beras diletakan di dahi di tengah-tengah antara kening kanan dan
kiri, dengan doa sebagai berikut:
“Om criyam bhawantu”
Artinya : semoga kebahagiaan meliputi hamba.
Bija yang diletakan pada pangkal tenggorokan dengan doa sebagai berikut
:
“Om aukham bhawantu”
Artinya : semoga kesenangan selalu datang pada hamba.
Bija yang ditelan tanpa dikunyah, doanya sebagai berikut:
“Om prnam bhawantu
Om ksama sampurna ya namah swaha”
Artinya : semoga segala kesempurnaan menjadi bertambah sempurna.41
41 Pustaka Manikgeni, Doa Metirtha, Mesekar, Mebija, Edisi revisi, h. 7-9
68
Sebelum para umat diberikan Bija untuk diletakan di dahi, leher dan
dimakan. Penulis melihat Pinandita membacakan Mantra/ doa untuk meminta
kepada Sang Hyang Widi Wasa, begitupun sama dengan air (tirtha).
Tri Sandhya adalah kewajiban umat Hindu Nusantara untuk
melaksanakannya karena sebagai wujud Sradha dan bakti kehadapan Tuhan,
dilaksanakan Pagi, Siang dan sore hari.bisa dilaksanakan dirumah dan ditempat
Ibadah / Pura dan tidak harus memakai perlengkapan.
Umat Hindu yang bekerja dan tidak bisa menggunakan sarana-prasarana
atau upakara untuk melakukan sembahyang Tri Sandhya, bisa dengan berdoa dan
mengucapkan mantra puja Tri Sandhya saja tanpa diikuti dengan kramaning
sembah. Karena takut mengganggu aktivitas orang lain yang tidak biasa dengan
bau dari perlengkapan sembahyang. Contohnya, dengan umat Hindu yang bekerja
kantoran cukup melaksanakan sembahyang harian dengan membaca doa dan
mantra puja Tri Sandhya saja. Saat melaksanakan di kantor bisa dengan mencari
tempat yang tenang. Sedang di perjalanan, sikap duduk biasa, ucapkan dalam hati
tidak apa-apa tanpa dupa, karena kramaning sembah hanya bisa dilakukan jika
keadaan memungkinkan, misalnya ada tempat pemujaan seperti, Pura, Candi,
kamar suci atau tempat yang biasa dipakai untuk melakukan pemujaan.
Perlengkapan disetiap Pura, menurut Pamangku Ketut suarna Perlengkapan
persembahyangan hampir sama disetiap Pura terlebih ada perayaan ritual pada hari
hari tertentu. Perlengkapan sembahyang Tri Sandhya pada hakikatnya sama
disetiap Pura yang membedakannya ketika melakukan sembahyang diluar Pura
biasanya hanya menggunakan dupa dan bunga saja atau dengam mengucapkan
mantra sudah bisa bersembahyang, terlebih dengan adanya upacara hari raya
biasanya berbeda perlengkapannya dengan bersembahyang harian.
Ni Made Dwi Yanti selaku warga Bali asli mengatakan masyarakat Bali
yang beragama Hindu biasanya melaksanakan Tri Sandhya bisa dirumah, di pura
juga bisa saat adanya upacara Agama, bisa juga melakukannya sendiri, karena
biasanya di kantor ada Padmasana untuk membanten dan sembahyang. Hampir di
setiap kantor di Bali mempunyai Padmasana. Tidak harus di ke tempat suci atau ke
pura untuk melaksanakan sembahyang harian ini, bisa dimana saja asal tempatnya
69
bersih dan pakaian yang dipakai juga rapi cocok untuk bersembahyang. Selain itu
Ni Made Dwi mengatakan sembahyang tanpa sarana diperbolehkan yang terpenting
berdoa dengan tulus dan ikhlas.42
Selain itu, wanita yang sedang menstruasi atau datang bulan juga tetap bisa
melakukan Tri Sandhya di dalam kamar. Ketika datang bulan itu menurut umat
Hindu yang tidak diperbolehkan adalah masuk ke tempat suci, bukan tidak boleh
memuja Tuhan. Umat Hindu mempercayai Tuhan ada di mana-mana
jadi, melaksanakan Tri Sandhya di dalam kamar pun tidak masalah selagi tempat
bersih. Maka dari itu hubungan dengan Sang Hyang Widi Wasa tidak akan terputus
walaupun melakukan di mana saja.
Berbeda dengan Islam saat perempuan haid tidak boleh melaksanakan
shalat. "Apabila haid datang, tinggalkanlah shalat," (HR Bukhari dan Muslim).
Ketika dalam masa haid, berarti seorang perempuan sedang dalam keadaan tidak
suci atau kotor, sehingga larangan saat haid ini tidak boleh dilanggar dan
perempuan akan bisa melaksanakan shalat ketika sudah selesai haid dan juga
melaksanakan mandi wajib.
Ajaran Tattwa agama Hindu mengajarkan agar setiap manusia berusaha
untuk mengharmoniskan kehidupannya dengan gerak dinamis dari alam tempat
hidup dan mengembangkan kehidupannya dengan sembahyang sendiri pada
hakikatnya suatu upaya untuk mengharmonisasikan seluruh potensi diri. Jika
seluruh potensi diri dapat diharmoniskan dan merealisasikan kesucian Sang Hyang
Atma dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mewujudkan keharmonisan dalam diri
harus adanya gerak diri untuk menyesuaikan dengan dinamika alam semesta. Hal
ini dapat dilakukan dengan melakukan sembahyang harian Tri sandhya.43
Kenapa perempuan yang haid dalam ajaran umat Hindu boleh sembahyang
di rumah asalkan tidak di tempat suci seperti Pura, dan juga orang yang bekerja bisa
42 Wawancara dengan Ni Made Dwi Yanti selaku PNS di Bali, Pada tanggal 28 Mei 2021
pukul 19.00 WIB.
43 I Kt. Wiana, Sembahyang Menurut Hindu, (Surabaya: Paramita, 2006), h. 8
70
melaksanakan tanpa upakara atau perlengkapan, karena bagi umat Hindu
melaksankan Sembahyang Tri Sandhya memiliki banyak manfaat seperti:
a. Sembahyang dapat menumbuhkan rasa keikhlasan diri. Dengan tekun
Sembahyang umat Hindu mempercayai seseorang sebenarnya telah dengan
ikhlas menyerahkan dirinya kepada Sang Hyang Widi Wasa. Ketika mereka
yang rajin bersembahyang dan mendapatkan cobaan maka mereka akan
menerimanya dengan tulus dan ikhlas.
b. Sembahyang bisa meningkatkan rasa aman dan menumbuhkan ketentraman
jiwa, bagi umat Hindu mereka yang rajin bersembahyang akan selalu
merasa dekat dengan sang pencipta, dan juga akan merasa ditolong,
dilindungi oleh-Nya.
c. Dengan bersembahyang maka diri tidak akan diperbudak oleh materi atau
harta benda. Karena ketika bersembahyang bisa lebih mudah untuk
memilah-memilih mana benda yang bermanfaat dan mana yang tidak
berguna.
d. Dengan bersembahyang juga bisa menumbuhkan rasa cinta terdahap diri
sendiri. Jika sudah sayang dan cinta diri sendiri maka akan sayang dan cinta
juga terhadap yang lain misalnya, keluarga dan orang lain.
e. Tanpa di sadari dengan Bersembahyang alam ini akan lebih lestari,
sembahyang memerlukan sarana seperti bunga, daun-daunan dan lainnya
akan menimbulkan rasa tertarik untuk menanam dan memelihara
pepohonan sehingga menjadi alam yang terpelihara.41
Maka dari itu umat Hindu memperbolehkan perempuan yang sedang haid
bersembahyang di rumah, dan orang yang bekerja kantoran bisa dengan hanya
membaca mantra dan juga berdoa, agar manfaat tetap di dapat oleh umat Hindu dan
tetap berhubungan kepada Sang Hyang Widi Wasa.
Umat Hindu diwajibkan memahami setiap doa yang ada dalam bait-bait
Puja Tri Sandya sehingga menambah keyakinan dan keheningan dalam
pelaksanaannya. dengan memahami apa yang kita akan lakukan sehingga jelas
41 K. M. Suhardana, Pengantar Menuju Pedoman Sembahyang Umat Hindu, (Surabaya:
Paramita, 2004), h.. 3-4
71
tujuan dan arahnya sehingga menjadikan kita selalu ingin mendekatkan diri kepada
Tuhan. Nyoman Wintha selaku Pinandita di pura PJG mengatakan, setiap Umat
Hindu akan di ajari Tri sandhya mulai dari sekolah dasar guna agar masyarakat
Hindu mengerti makna dari sembahyang harian (Tri Sandhya).
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian, penulis dapat menyimpulkan bahwa makna
perlengkapan pelaksanaan sembahyang Tri sandhya dalam tradisi Hindu ada lima
yaitu Dupa, Bunga, Kwangen, Tirtha, dan Bija. Dari lima macam perlengkapan
tersebut memiliki makna yang berbeda.
1. Dupa (api) sebagai pemimpin upacara, pembasmi segala kekotoran dan
pengusir roh jahat.
2. Bunga sebagai simbol menghanturkan rasa cinta kasih.
3. Kwangen sebagai simbolik Tuhan yang dipuja dan pemberi anugrah.
4. Tirtha (air) sebagai simbol penyucian ada air yang menjadi waranugraha
atau pembawa berkah, pelebur dosa.
5. Bija (beras) sebagai simbol kesucian rohani dengan harapan memperoleh
kesempurnaan hidup.
Pelaksanakan Sembahyang Tri Sandhya mempunyai tata cara seperti
dengan mempersiapkan perlengkapan lalu melakukan pembacaan mantra diikuti
kramaning sembah. Waktu dilaksanakan Tri Sandhya yaitu pagi, siang dan sore
menjelang malam. Dalam menjalankan tiga waktu ini diwajibkan dalam Hindu, bisa
dilakukan di tempat-tempat tertentu seperti, Pura, rumah dan lainnya. Dengan tata
cara tertentu, seperti di Agama Islam yang mewajibkan menjalankan Shalat lima
waktu dengan waktu tertentu.
Dalam melaksanakan sembahyang dalam Agama manapun memiliki tata
cara tertentu, seperti dalam Agama Hindu di Pura Parahyangan Jagat Guru BSD ini
dalam Persembahyangan atau pemujaan yang dilakukan sebagai kegiatan suci harus
dipersiapkan secara lahir dan batin dengan menenangkan pikiran, perkataan, dan
perbuatan. Juga dengan melakukan pembersihan badan dan mengenakan pakaian
yang bersih dan rapi. Di setiap melakukan aktivitas dalam umat Hindu di iringi doa-
doa atau matram sebagai bentuk rasa syukur dan juga meminta anugerah dari Sang
Hyang Widi Wasa. Terlepas dari itu setelah bersembahyang biasanya umat Hindu
akan menerima tirtha sebagai waranugraha atau anugrah.
71
B. Saran
Terkait penelitian penulis sangat menyadari masih banyak kekurangan,
karena itu penulis mengharapkan agar mengadakan penelitian lebih lanjut dengan
aspek yang tentunya berbeda, dalam jurusan Studi Agama-agama penelitian ini
bukanlah sebagai kesimpulan akhir.
Penulis juga berharap dengan adanya penelitian ini agar mahasiswa
khususnya di Fakultas Ushuludin dapat menjadikan penelitian ini sebagai referensi
dalam pembelajaran. Selain itu penulis juga mengharapkan kepada pihak terkait di
Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
agar lebih memperbanyak referensi buku bacaan tentang Sejarah keagamaan Hindu
di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU/EBOOK
Abdullah, Ali. Perbandingan Agama, Bandung: Nuansa Aulia, 2007.
Asyir, Janahabhivamsa. Abhidharma Sehari-hari, Karaniya, 2005.
Azwar, Saifuddin. Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
Bahri, Zainul Media. Wajah Studi Agama-agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015.
Duwijo dan Darta. I Ketut, Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas V,
Jakarta: Pusat, Kurikulum dan Perbukuan, 2014
G. Pudja. Wedaparikrama, Jakarta : Departemen Agama RI, 1971.
Geertz, Clifford. Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius Press, 1992.
Inayat, Hazrat Khan. Kesatuan Ideal Agama, Yogyakarta: Putra Langit
Khotimah. Agama Hindu dan Ajaran-ajarannya, Pekanbaru- Riau: KDT 2013
Koentjaraningrat. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004
Noor, Juliansyah. Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya
Ilmiah, Jakarta: Kencana, 2012.
Profil Pura Parahyangan Jagat Guru BSD
Pujileksono, Sugeng. Petualangan antropologi : sebuah pengantar ilmu
antropologi, Malang: UMT 2006.
Punia, I Wayan. Mengapa? Tradisi dan upacara Hindu, Denpasar. 2 Paramita.
Pustaka Manikgeni. Doa Metirtha, Mesekar, Mebija, Edisi revisi
Redaksi Pustaka Manikgeni. Doa Sehari-hari Menurut Hindu, Edisi 2011.
Saputra, I.N.K. Penuntun Dasar dan Praktis Sembahyang, Denpasar: CV. Kayumas
Agung, 2007.
Setia, Putu. Doa Metirtha, Mesekar dan Mebija, Redaksi Pustaka
Shihab, Quraish Muhammad. Fatwa-fatwa Seputar Ibadah Mahdah (Cet. I;
Bandung: Mizan, 1999). Muhammad Fu’ad ‘Abd. al-Baqy, al-Mu’jam al-
Mufahras li Alfazh al-Quran al-Karim (Bairut: Dar al-Fikr, 1992).
Sindhu, Pujiastuti, Yoga untuk Kesehamilan, Bandung: Qanita, 2009.
73
Suhardana, K. M. Pengantar Menuju Pedoman Sembahyang Umat Hindu,
Surabaya: Paramita, 2004.
Sumandiyo. Seni Dalam Ritual Agama, Yogyakarta: pen. Pustaka, 2006.
Suraba, I Wayan. Cara Praktis Untuk Memahami Agama Hindu Melalui Kumpulan
Dharmawacana, Paramita : Surabaya, 2013.
Surada, I Made. Kamus Sanskerta Indonesia, Denpasar: Widya Dharma, 2007.
Sutirta, I Nyoman Putu. Sarana Persembahayangan dan Cara Pembuatannya,
Yayasan Ghandi Putri : Denpasar, 2020.
TANAGel, KAKI. Panca Sembah dan Kidung, Denpasar: PT. Empat Warna
Komunikasi, 2006.
Titib, I Made. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu, Denpasar: Paramita
2009.
Titib, I Made. Tri Sandhya, Sembahyang, dan Berdoa, Surabaya: Paramita, 2003.
Wiana, I Ketut. Makna Upacara Yajna dalam Agam Hindu, Surabaya: Paramitra
2001.
Wiana, I Kt. Arti Sarana Persembahyangan, Yayasan Wisma Karma, Jakarta:
Yayasan Wisma Karma, 1999.
JURNAL
Kardika I Nyoman, “Jurnal Sphatika” ,Tattwa Siwa Siddhanta Indonesia In
Theology Of Hindu, VOLUME X No. 1 2019.
Candra Khairul, Luh Putu Ema Noviyanti, Kiki Nurlaily, Pemaknaan dan
Transmisi, “Jurnal Poetika” ,Mantra Tri Sandhya Pada Remaja Hindu Bali
Di Daerah Malang, Vol. VI No.1 Juli 2018.
Maharta Nengah, dan Wayan Seruni, “Kumpulan Naskah Dharmawacana”,
(Lampung: Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Dharma Nusantara
Kampus Lampung, 2005.
Rahayu Ni Kadek Intan, “Jurnal Bahasa dan Sastra”, Makna Simbolik Umat Hindu
dalam Persembahayangan Bulan Purnama di Kecamatan Basidondo
Kabupaten Tolitoli, Volume 5 No 1 (2020) ISSN 2302-2043.
Sariasih Yanti, “Makna Mantra Tri Sandya pada Upacara Persembahyangan”,
Jurnal Pendidikan. tt.
74
INTERNET
Di akses pada tanggal 24 Mei 2021 https://kb.alitmd.com/%E2%80%8Bmakna-
sarana-persembahayangan-hindu/
“Makna Penempatan Bija” https://inputbali.com/budaya-bali/makna-dan-
penempatan-bija-dalam- persembahyanganhindu-bali diakses pada tanggal
13 april 2021
Bunga, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, diakses melalui
https://kbbi.web.id/bunga, Pada tanggal 10 Maret 2021
Dupa, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, diakses melalui
https://kbbi.web.id/dupa, pada tanggal 9 Maret 2021
http://mudiartana.wordpress.com/2011/05/13/filosofis-canang-dan-kwangen/ di
akses pada tanggal 21 Maret 2021, pukul 15.00
http://sungging.com/2009/02/bahasa-sansekertabahasa-dewa.html diakses pada
tanggal 23 Maret 2021, pukul 19.00
https://vaprakeswara.wordpress.com/tri-sandhya/ di akses pada tanggal 24 April
2021
Ibadah, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, diakses melalui
https://kbbi.web.id/ibadah , pada tanggal 4 Febuari 2021
Makna, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, di akses melalui
https://kbbi.web.id/makna, pada tanggal 9 Maret 2021
Sembahyang, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, diakses
melalui https://kbbi.web.id/sembahyang , pada tanggal 10 Febuari 2021
Simbol , dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, diakses melalui
https://kbbi.web.id/simbol , pada tanggal 4 Febuari 2021
Tanda, Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online, diakses melalui
https://kbbi.web.id/tanda
75
WAWANCARA
Wawancara dengan Ni Made Dwi Yanti selaku PNS di Bali, Pada tanggal 28 Mei
2021 pukul 19.00 WIB.
Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku kepala sekolah di pasraman
pura Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 01 Maret 2021 pukul
13.00 WIB.
Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku kepala sekolah di pasraman
pura Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 01 Juni 2021 pukul 09.00
WIB.
Wawancara dengan Pamangku Ketut Suarna selaku Kepala Sekolah Pasraman di
pura Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 23 Januari 2021 pukul
13.00 WIB.
Wawancara dengan Pamangku Nyoman Winta selaku Pinandita di pura
Parahyangan Jagat Guru BSD, Pada tanggal 17 november 2020 pukul 14.00
WIB.
76
Lampiran I Pedoman Interview
A. Profil Pura Parahyangan Jagat Guru BSD
1. Kapan Pura ini mulai didirikan?
2. Kenapa didirikan di sini (BSD)?
3. Apa Tujuan dibangunya Pura Parahyangan Jagat Guru BSD?
4. Siapa saja yang terlibat dalam pembangunan Pura ini?
5. Mengapa di ambil lokasi ini sebagai pembangunan Pura?
6. Aliran apa yang terdapat di Pura ini?
7. Apa saja makna dari perlengkapan Tri Sandhya ?
8. Bagaimana tata cara melakukan sembahyang Tri Sandhya?
9. Apa saja kegiatan yang ada di Pura Parahyangan Jagat Guru BSD?
B. Makna Perlengkapan dan Tata cara Sembahyang Tri Sandhya
1. Ada berapakah perlengkapan Sembahyang Tri Sandhya
2. Apa saja makna, arti dan fungsi dari perlengkapan itu?
3. Bagaimana tata cara melaksankan sembahyang Tri Sandhya di Pura
Parahyangan Jagat Guru BSD?
4. Bagaimana cara Metirtha, Mesekar dan Mebija?
5. Bagaimana dengan umat Hindu yang bekerja kantoran melaksanakan Tri
Sandhya?
77
Lampiran II Hasil Wawancara
HASIL WAWANCARA
Nama : Nyoman Winta
Alamat : Sarwa Permai C.8 no.21 Pamulang, Tangerang Selatan
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Hindu
Jabatan : Pinandita
Jadwal wawancara : 17 November 2020
Sekilas Tentang Profil Dan Kegitan Pura Parahyangan Jagat Guru BSD
Dalam struktur pembangunan sebuah pura
utamanya Pura Parahyangan Jagat Guru BSD ini pasti ada
yang namanya Pengempon atau bisa juga di sebut ketua
Banjar artinya ketua pura yang memberi tugas untuk
melakukan upacara tetap dan pembinaan pura umat Hindu,
juga sebagai penanggung jawab dalam semua kegiatan.
Ketua Banjar memiliki wakil bertugas untuk membantu
ketua Banjar dalam menjalankan tugasnya. Ada juga
sekretaris yang bertugas mencatat kegiatan dan merapikan
arsip kegiatan yang dilakukan di pura Parahyangan Jagat
Guru. Sebagamana layaknya didirikan tempat Ibadah akan
78
selalu ada suka-duka dan lika-liku perjalanan bagaimana
Pura Parahyangan jagat Guru BSD didirikan.
HASIL WAWANCARA
Nama : Ketut Suarna
Alamat : BSD sektor 14 Jalan Pinca, blok G3 no.47
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Hindu
Jabatan : Pamangku
Jadwal wawancara : 23 Januari 2021
a. Apa saja perlengkapan saat melakukan Tri Sandhya
b. Apa saja makna dari perlengkapan itu
Jawaban : Dalam melaksankan sembahyang harian atau Tri
Sandhya umat Hindu di Pura Parahyangan Jagat Guru biasanya
akan menyiapkan beberapa perlengkapan atau sarana-prasarana
yaitu Dupa (api), Bunga, Kwangen, tirtha (air), dan Bija (beras).
Biasanya dupa yang ada di pura di buat sendiri oleh pengurus,
terkadang juga membelinya, bunga yang di pakai tidak boleh
bunga yang layu dan sudah jatuh ke tanah, melainkan bunga
yang bagus dan segar, kwangen juga di buat sendiri oleh
pengrus, tirtha atau air yg sudah di doakan oleh pinandita dan
juga bija atau beras yang sudah di rendam air juga di doakan
oleh pinandita.
79
Dari semua perlengakapan itu memiliki arti,fungsi dan makna
yang berbeda. Dupa sebagai pemimpin upacara , sebagai
perantara antara umat dan Sang Hyang Widi Wasa. Bunga
sebagai simbol menghanturkan rasa cinta kasih tergadap Sang
Hyang Widi Wasa, Kwangen sebagai simbolik yang di puja
yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa). Tirtha
atau air di bagi menjadi 3 manfaat yaitu pemebersihan sarana,
mendapat berkah dan juga sebagai penyucian. Bija atau beras
sebagai simbol kesucian yang akan di letakan di dahi dan juga
di leher.
80
HASIL WAWANCARA
Nama : Ni Made Dwi Yanti
Alamat : Gianyar Bali
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Hindu
Jabatan : Umat Hindu
Jadwal wawancara : 28 Mei 2021
a. Umat Hindu biasa melakukan sembahyang Tri
Sandhya dimana?
b. Bagaimana dengan orang yang bekerja kantoran untuk
melaksanakan Tri Sandhya karna dalam melaksanakan
Tri Sandhya kan memerlukan Perlengkapan seperti
Dupa dan lainnya?
Jawaban: Umat Hindu di bali biasa melakukan sembahyang tri
Sandhya bisa dirumah juga bisa di pura saat ada upacara agama
kalaupun tidak ada biasanya umat Hindu akan
melaksanakannya sendiri.
Jika umat Hindu yang sedang bekerja biasanya di bali ada
padmasana di setiap kantor jadi tidak akan tertinggal dalam
melaksanakan Tri Sandhya, tetapi umat Hindu yang bekerja
biasanya melaksanakan Tri Sandhya hanya dengan berdoa yang
tulus dan membaca mantra. Biasanya juga hanya dengan
81
perlengkapan bunga dan canang saja.
82
83
84
85
Lampiran III Hasil Dokumentasi
Gambar 15 : Bangunan Yang Terdapat di Pura
Gambar 16 : Pinandita Saat Memulai Memimpin Sembahyang Tri Sandhya
86
Gambar 17 : Umat Hindu Yang Melaksankan Tri Sandhya Di Pura
Gambar 18 : Melakukan Kramaning Sembah
87
Gambar 19 : Pelaksanaan Metirtha, Mebija
Gambar 20 : Foto Bersama Pinandita Dan Umat Hindu
88
Gambar 21 : Canang
Gambar 22: Posisi Kaki Perempuan Melakukan Sembahyang Tri Sandhya
89
Gambar 23 : Posisi Kaki Laki-Laki
Gambar 24 : Proses Metirtha
90
Gambar 25 : Umat Hindu Setelah Melakukan Tri Sandhya
Gambar 26 : Patung Darwapala
91
Gambar 27 : Pintu Masuk Mandala Utama
Gambar 28 : Bunga Teratai
92
Gambar 29 : Wawancara Dengan Bapak Alif Selaku Ketua Masyarakat Pura
Parahyangan Jagat Guru
Gambar 30 : Wawancara Dengan Pinandita Nyoman Wintha
93
Lampiran IV Surat Keterangan Riset