Upload
fina-ina-hamidah
View
22
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
hjhhfju
Citation preview
Makalah Presentasi Kasus Persiapan
Tinea Kruris
Disusun Oleh:
Herliani Dwi Putri Halim 0906487820
Jeane Andini 0906487846
Lutfie 0906487871
Mellisya Ramadhany 0906487884
Kelompok:
A Rombongan E
Modul Praktik Klinik Ilmu Kesehatan Kulit Dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta 2013
1
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki iklim tropis sehingga memudahkan sebagian penduduk menderita
dermatomikosis. Dermatomikosis atau dikenal pula sebagai mikosis superfisialis merupakan
kelainan kulit akibat infeksi jamur. Pendapat lain menyebutkan bahwa dermatomikosis
merupakan istilah umum, sehingga digunakan istilah dermatofitosis. Dermatofitosis sendiri
menggambarkan golongan jamur penyebab penyakit ini yaitu golongan dermatofita.
Golongan jamur ini memiliki sifat memakan keratin pada kulit, rambut, dan kuku. Golongan
jamur ini dibagi menjadi tiga genus yaitu Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton.1,2
Lain halnya dengan mikosis profunda yang jarang ditemui, dermatofitosis cukup banyak
dengan angka insidens yang kurang lebih sama di kota-kota besar di Indonesia. Di Denpasar,
penyakit ini menduduki posisi kedua setelah dermatitis. Selain itu, penyakit ini mengenai
semua golongan usia. Meskipun belum tersedia angka insidens dermatofitosis di Indonesia,
penelitian yang dilakukan di rumah sakit pendidikan kedokteran di Indonesia (1997-1998)
menunjukkan rentang usia penderita 25-64 tahun. Hal ini berkaitan dengan tingkat aktivitas
yang mengeluarkan banyak keringat, trauma, dan lama pajanan terhadap jamur.1 Makalah ini
akan membahas mengenai salah satu dermatofitosis yaitu tinea kruris.
Oleh karena tergolong penyakit infeksi, penyakit ini tidak terlepas dari tiga faktor yang
saling memengaruhi yaitu host, agent, dan environment. Beberapa faktor yang memegang
peranan penting tersebut adalah hygiene yang kurang baik, penyakit kronis dan penyakit
sistemik lainnya yang menurunkan sistem imun, dan penggunaan antibiotik, steroid, serta
sitostatika yang meningkat.1 Untuk itu, dalam mencegah dan mengobati pasien dengan
dermatofitosis harus dilakukan pendekatan terhadap ketiga faktor tersebut baik melalui terapi
non-medikamentosa maupun medikamentosa.
2
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS
Nama : Ny.A
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat/tanggal lahir: Jakarta, 20 November 1955
Status perkawinan : Kawin
Alamat : Ciputat
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : Tamat SMA
Pekerjaan : Guru honorer
ANAMNESIS (2 MEI 2013)
Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan gatal di selangkangan dan bibir besar kemaluan sejak 1
minggu sebelum datang ke rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan gatal yang hilang timbul disertai kemerahan di selangkangan dan bibir
besar kemaluan sejak 1 minggu sebelum datang ke rumah sakit. Awalnya, rasa gatal
dirasakan pada selangkangan kiri kemudian melebar hingga ke selangkangan kanan dan bibir
besar kemaluan.Oleh karena gatal, pasien menggaruk hingga warna kulit menjadi kehitaman.
Duh yang keluar dari kemaluan disangkal. Pasien mandi satu kali sehari dengan sabun sirih
dan air biasa. Pasien mengganti celana dalam 2-3 x sehari karena basah sehabis buang air
kecil. Tidak ada penggunaan pakaian secara bergantian. Pasien menyangkal rasa lembab di
selangkangan. Keluhan ini baru pertama kali dirasakan oleh pasien. Pasien belum ada berobat
ke dokter. Pasien sempat mengoleskan minyak kelapa dan gentian violet sebanyak satu kali,
tetapi tidak ada perbaikan. Pasien tidak ada mengonsumsi obat-obatan saat ini. Pasien
memelihara kucing di rumah.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit ginjal, alergi obat dan makanan disangkal.
Pasien mengalami asma tetap tidak pernah kambuh sejak berusia 12 tahun.
3
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan yang sama pada anggota keluarga disangkal. Riwayat hipertensi, diabetes mellitus,
dan penyakit jantung di keluarga disangkal.
Status Generalis
Keadaan umum: Tampak tidak sakit, composmentis.
Tekanan darah: 170/100 mmHg
Frekuensi nadi: 123x/menit
Frekuensi pernapasan: 18x/menit
Suhu: 37,30C.
Keadaan gizi: Atletikus, berat badan: 51 kg, tinggi badan: 148 cm
Jantung: S1-S2 normal, tidak ada murmur, tidak ada gallop
Paru: Vesikuler +/+, tidak ada ronki, tidak ada wheezing
Abdomen: Tidak diperiksa
Ekstremitas: Akral hangat, edema -/-
Kelenjar getah bening: Tidak ada pembesaran
Status Dermatologikus
Pada inguinal bilateral dan labia mayor tampak plak sebagian eritematosa dan sebagian
hiperpigmentasi berbentuk ireguler dengan bagian tepi yang lebih aktif berukuran plakat
berbatas tegas dengan skuama kasar kering putih dan ekskoriasi di atasnya.
Pemeriksaan Laboratorium/Penunjang
Kerokan kulit dengan pemeriksaan KOH 20% dengan hasil ditemukan hifa panjang dan
artrospora.
4
Resume
Wanita,48 tahun, datang dengan keluhan gatal disertai kemerahan di genitokrural bilateral
yang semakin melebar sejak 1 minggu sebelum datang ke rumah sakit. Tidak ada sekret yang
mengalir dari genital. Dari segi hygiene, pasien mandi satu kali sehari, mengganti pakaian
dalam 2-3x/hari karena basah, dan tidak ada penggunaan pakaian bersama. Pasien juga
memelihara kucing di rumah. Keluhan baru pertama kali dan baru dioles dengan minyak
kelapa dan gentian violet sebanyak satu kali, tetapi tidak membaik. Keluhan yang sama pada
anggota keluarga disangkal. Dari status generalis, ditemukan tekanan darah yang tinggi yaitu
170/100 mmHg dengan yang lainnya dalam batas normal. Dari status dermatogikus, pada
inguinal bilateral dan labia mayor tampak plak sebagian eritematosa dan sebagian
hiperpigmentasi berbentuk ireguler dengan bagian tepi yang lebih aktif berukuran plakat
berbatas tegas dengan ekskoriasi di atasnya. Kemudian, dilakukan kerokan kulit dengan
pemeriksaan KOH 20% dan ditemukan hifa panjang dan artrospora.
Diagnosis Kerja
1.Tinea kruris
2.Hipertensi grade II
Diagnosis Banding
1. Dermatitis seboroik
2. Kandidosis kutis
Pengobatan
1.Tinea kruris
Non-medikamentosa (umum):
-Jaga hygiene dengan meningkatkan frekuensi mandi dan mengeringkan area kemaluan
setelah buang air kecil.
-Hindari penggunaan pakaian secara bergantian dan rutin cuci pakaian serta seprai.
-Menjemur pakaian pada tempat yang panas agar tidak lembab.
Medikamentosa:
-Ketokonazol 1x200 mg diminum dengan air asam (malam hari)
-Kontrol ke poli 2 minggu kemudian
2.Hipertensi grade II
-Konsul ke departemen penyakit dalam.
5
TINJAUAN PUSTAKA
TINEA KRURIS
Definisi
Tinea kruris merupakan salah satu bentuk mikosis superfisialis yang tergolong ke dalam
kelompok dermatofitosis. Istilah dermatofitosis didefinisikan sebagai sebuah penyakit pada
jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis
(epidermomikosis), rambut (trikomikosis), serta kuku (onikomikosis).3,4,5
Secara sederhana, dermatofitosis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya, yaitu sebagai
tinea kapitis, tinea barbe, tinea kruris, tinea pedis, tinea manum, tinea unguium, tinea
korporis, dan lain-lain.3 Tinea kruris sendiri merupakan jenis dermatofitosis yang terjadi pada
daerah inguinal / lipat paha, yang dapat meluas hingga pada suprapubis, daerah perineum,
dan sekitar anus.4
Epidemiologi
Secara epidemiologis, tinea kruris merupakan penyakit dengan onset usia dewasa dengan
laki–laki lebih banyak menderitanya dibandingkan perempuan apabila dilihat dari jenis
kelaminnya. Secara demografis, jamur penyebab umumnya dapat ditemukan pada seluruh
belahan dunia. Pada negara berkembang, umumnya dermatofitosis disebabkan oleh
T.rubrum, yang terutama ditemukan pada wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Afrika
Barat.5
Etiologi
Seperti namanya, agen penyebab dermatofitosis adalah golongan jamur dermatofita yang
tergabung ke dalam kelas Fungi imperfecti, yang terbagi ke dalam tiga genus, yaitu
Mycrosporum (17 spesies), Tricophyton (21 spesies), dan Epidermophyton (2 spesies).
Golongan jamur ini bersifat mencernakan keratin.3
Transmisi dermatofita dapat terjadi melalui tiga sumber, yaitu:
Antropofilik, yaitu antar manusia melalui pemakaian barang bersamaan atau kontak
langsung walaupun jarang, yaitu T. rubrum, T.mentagrophytes, T.schoenleini,
T.tonsurans, T.violaceum, Microsporum audouinii, dan Epidermophyton floccosum.
7
Tabel 1. Dermatofita Antropofilik.7
Zoofilik, umumnya melalui kontak dengan kucing, anjing, maupun tikus, yaitu
T.equinum, T.mentagrophytes, T.verrucosum, M.canis.5,6
Geofilik, yaitu melalui lingkungan terutama tanah, yaitu M.gypseum, M.nanum. 5
Tabel 2. Dermatofita Zoofilik dan Geofilik.6
Pada tinea kruris, etiologi utamanya adalah T.rubrum dan T.mentagropyhtes.5 Faktor
predisposisi yang berperan pada dermatofitosis adalah faktor kerentanan genetik terkait
keratin yang dimiliki, kondisi pejamu, berupa atopi, imunospuresi serta konsumsi
glukokortikoid topikal dan sistemik berkepanjangan, ichtyosis dimana terjadi defek pada
sawar kulit, dan penyakit kolagen vaskular.5,6 Di samping itu, terdapat pula faktor lokal yang
memudahkan terjadinya infeksi, yaitu keringat, pajanan okupasional khusus, gaya hidup,
8
lokasi geografis, dan kelembaban tinggi, terutama pada negara dengan iklim tropis atau
semitropis. 5
Patogenesis
Infeksi dermatofita diawali dengan adhesi artrokonidia ke keratinosit, umumnya berlangsung
dalam 2 jam pasca kontak, kemudian diikuti dengan penetrasi.7 Dermatofita menghasilkan
keratinase yang memungkinkannya untuk mencerna keratin dan mempertahankan diri pada
struktur berkeratin. Sebagai respons terhadap keberadaan jamur, tubuh akan menghasilkan
imunitas seluler dan aktivitas anti mikrobial dari leukosit polimorfonuklear.5 Fungsi ini
terutama juga didukung oleh transferin tak jenuh serta asam lemak dari kelenjar sebasea yang
dapat menghambat pertumbuhan jamur.7
Adapun patogenesis yang mendasari temuan klinis pada dermatofitosis bergantung pada
struktur yang dikenainya. Pada epidermomikosis, dermatofita berada pada stratum korneum.
Sambil memakan keratin kulit yang nampak sebagai skuama, terjadi pula respons inflamasi
yang bermanifestasi sebagai eritema, papul, dan bahkan vesikel.
Pada trikomikosis, keterlibatan pada sarung rambut dapat mengakibatkan destruksi dan
kerontokan rambut. Apabila infeksi jamur meluas jauh hingga ke dalam folikel rambut, dapat
terjadi respons inflamasi yang ditunjukkan sebagai nodul inflamatorik, pustulasi folikular,
hingga formasi abses.5
Gambar 1. Patogenesis Dermatofitosis. 5
Sebagai akibat dari infeksi jamur ini, dapat terjadi perubahan histopatologik pada kulit,
berupa hiperkeratosis, hiper/hipogranulosis, spongiosis, invasi mononuklear, serta akantosis.
Presentasi klinis yang terjadi bergantung pada beragam faktor, yaitu situs infeksi, respon
9
imun pejamu, serta spesies jamur. T.rubrum umumnya memicu respons inflamasi ringan
sehingga infeksi cenderung terjadi secara kronik sedangkan M.canis umumnya memicu
infeksi dengan sifat akut berat namun diikuti penyembuhan spontan.7
Gejala Klinis
Berdasarkan anamnesis, tinea kruris umumnya ditandai dengan adanya keluhan gatal. Sifat
keluhan dapat terjadi secara akut, namun umumnya subakut atau menahun, bahkan dapat
merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup.3
Berdasarkan pemeriksaan fisik, kelainan yang ditemui memiliki batas yang tegas dan terdiri
atas bermacam-macam efloresensi kulit / polimorfik. Lesi awal dapat berupa lesi eritematosa
kecil beserta vesikel dan skuama yang menyebar hingga umumnya berupa plak eritematosa /
hiperpigmentasi / kecoklatan berukuran besar, berbatas tegas, disertai skuama.5 Predileksi
awal adalah pada paha bagian atas sisi dalam kemudian mennyebar ke paha bagian bawah,
perineum, serta anus, namun jarang untuk mengenai skrotum.6
Di samping itu, ditemukan pula gambaran central healing, dengan bagian tepi lesi cenderung
akan lebih aktif dibandingkan bagian tengahnya, yaitu dalam bentuk tanda peradangan yang
lebih jelas ataupun papul dan pustul. Bila penyakit terjadi secara menahun, dapat ditemukan
gambaran bercak hitam disertai skuama. Apabila lesi digaruk, dapat pula muncul temuan
erosi diikuti pengeluaran cairan dan apabila terjadi secara kronik dapat terjadi perubahan ke
arah liken simpleks kronikus. 3
Gambar 2. Gambaran Klinis Tinea Kruris.5
10
Pemeriksaan Penunjang
Untuk menunjang diagnosis, dikerjakan pemeriksaan mikologik berupa pemeriksaan
langsung sediaan basah dan biakan. 3
Pada kecurigaan tinea kruris, spesimen yang digunakan adalah kerokan kulit. Pengambilan
pada kulit yang tidak berambut / glabrous dilakukan dari bagian tepi kelainan hingga
mencapai sedikit di luar kelainan sisik kulit dan kulit dikerok menggunakan pisau tumpul
steril. Untuk pengambilan spesimen dari kulit yang berambut, rambut terlebih dahulu dicabut,
kemudian kulit dikerok untuk memperoleh sisik.3 Pemakaian agen antifungal dalam waktu
dekat terkadang dapat menyulitkan identifikasi.5
Sediaan basah dibuat dengan cara meletakkan bahan di atas object glass, kemudian ditambah
1 – 2 tetes larutan KOH dengan konsentrasi 20%. Setelah menunggu sekitar 15 – 20 menit
untuk melarutkan jaringan, dapat ditambahkan zat warna tertentu, misalnya tinta Parker
superchroom blue black dengan tujuan melihat elemen jamur secara lebih nyata. Adapun
waktu ini dapat diperpendek dengan melakukan pemanasan di atas api kecil.3
Pemeriksaan langsung sediaan basah dikerjakan dengan mikroskop, umumnya cukup dengan
menggunakan pembesaran 10 x 10 dan 10 x 45. Gambaran yang sesuai untuk dermatofitosis
pada kulit adalah ditemukannya hifa, yang nampak sebagai dua garis sejajar dengan sekat dan
cabang, atau spora berderet / artospora pada kelainan kulit yang lama dan / atau sudah
diobati. 3
Gambar 3. Gambaran Dermatofita pada Sediaan Basah KOH.5
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menentukan spesies jamur dalam upaya
menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah. Pemeriksaan dilakukan dengan
menanamkan bahan klinis ke dalam media buatan, yaitu medium agar dekstrosa Saboraud
11
yang telah ditambahkan dengan antibiotik maupun klorheksimid untuk menghambat
pertumbuhan bakteri dan jamur lain.3 Kultur dilakukan pada suhu 280 C selama 1-4 minggu.4
Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang perlu dipikirkan dengan predileksi serupa dengan tinea kruris
terutama adalah dermatitis seboroik, psoriasis, eritrasma, serta kandidosis.3
Dermatitis seboroik pada sela paha umumnya akan sulit untuk dibedakan dengan tinea kruris
maupun korporis, akan tetapi keberadaan lesi pada tempat predileksi lain, terutama aksila dan
dada umumnya dapat dijadikan pedoman penegakan diagnosis. 3
Psoriasis pada sela paha dapat saja terjadi, akan tetapi umumnya memiliki gambaran lesi
yang lebih merah, skuama yang lebih banyak dan lebih lamelar. Keberadaan lesi pada tempat
predileksi dalam hal ini juga menjadi poin penting dalam menyokong diagnosis. 3
Kandidosis pada daerah lipat paha umumnya memiliki konfigurasi hen and chicken,
umumnya basah, berkrusta, serta disertai dengan fluor albus yang khas. Penyakit ini juga
akan lebih sering dijumpai pada penderita dengan riwayat diabetes melitus.3 Pada kandidiasis,
umumnya ditemukan pseudohifa tanpa septa yang jelas pada preparat KOH.
Eritrasma memiliki gambaran efloresensi eritema dan skuama yang sama pada seluruh lesi
dan seringkali berlokalisasi di sela paha. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood, dapat
ditemukan fluoresensi merah (coral red). 3
Tatalaksana
Tatalaksana pada pasien dengan tinea kruris dilakukan secara medikamentosa maupun non
medikamentosa.
Tatalaksana non medikamentosa terutama diarahkan untuk tetap menjaga higiene /
kebersihan diri melalui mandi dan mengganti pakaian, menjaga tubuh agar tidak terlalu
berkeringat, tidak menggunakan handuk / barang pribadi lain secara bergantian, menghindari
kontak langsung dengan hewan yang disangka menularkan jamur, serta kepatuhan berobat.6,7
Berdasarkan pedoman PERDOSKI tahun 2011, secara medikamentosa dapat diberikan
administrasi obat topikal dan sistemik.4
12
Obat topikal terpilih berasal dari golongan alilamin, diberikan sekali sehari selama 1-2
minggu. Sebagai alternatifnya, dapat diberikan golongan azol, siklopiroksolamin, asam
undesilinat, dan tonafal 1-2 kali sehari selama 2-4 minggu.4
Obat sistemik diberikan apabila lesi terjadi secara kronik, terjadi lesi luas / ekstensif, atau
gagal respons dengan pengobatan topikal. Pilihan obatnya adalah griseofulvin oral 10-25
mg/kg BB/hari, ketokonazol 200 mg/hari, itrakonazol 2 x 100 mg/hari, serta terbinafin oral 1
x 250 mg/hari.4
Griseofulvin adalah golongan obat dengan sifat kerja fungistatik dengan dosis umumnya 0,5-
1 gram untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 gram untuk anak melalui pemberian dosis terbagi.
Obat umumnya akan diabsorbsi lebih baik dalam usus bila dimakan bersama dengan
makanan yang banyak mengandung lemak. Obat ini dapat memberikan efek samping sefalgia
pada 15% penderita, serta fotosensitif, gangguan fungsi hati, keluhan gangguan traktus
digestivus berupa nausea, vomitus, dan diare.3
Ketokonazol juga bersifat fungistatik dan dapat menjadi alternatif pilihan bila terjadi
resistensi pada griseofulvin. Pemberian dilakukan selama 10 hari – 2 minggu pada pagi hari
setelah makan. Obat ini bersifat hepatotoksik sehingga tidak boleh diberikan pada pasien
dengan kelainan hepar.3
Pilihan obat lain yang cenderung kurang hepatotoksik adalah itrakonazol, akan tetapi terdapat
potensi interaksi yang cukup luas sehingga konsumsi obat lain pada pasien juga harus
dipertimbangkan. 3
Terbinafin adalah obat dengan sifat kerja fungisidal dan dapat diberikan sebagai pengganti
griseofulvin. Obat ini diberikan selama 2 – 3 minggu dengan dosis 62,5 mg – 250 mg sehari
bergantung pada berat badan pasien. Efek samping yang dapat terjadi adalah gangguan
gastrointestinal berupa nausea, vomitus, nyeri lambung, diare, dan konstipasi. Di samping itu,
dapat pula terjadi gangguan pengecapan maupun gangguan fungsi hepar.3
Lamanya pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, serta keadaan
imunitas penderita. Pemberian obat dilakukan hingga secara klinis ditemukan perbaikan
diikuti dengan hasil negatif pada pemeriksaan laboratorium.4 Agar tidak residif, pengobatan
dilanjutkan selama 2 minggu setelah terjadi kesembuhan secara klinis.3 Secara umum,
prognosis penyakit ini baik.7
13
DERMATITIS SEBOROIK
Definisi
Dermatitis seboroik merupakan isitilah yang dipakai untuk segolongan kelainan kulit yang
didasari oleh faktor konstitusi dan bertempat predileksi di tempat-tempat seboroik. Dermatitis
seboroik termasuk dalam golongan chronic papulosquamous dermatosis yang dapat dengan
mudah dikenali. Bisa ditemukan pada usia bayi dan dewasa, sering dikaitkan dengan
peningkatan produksi sebum (seborrhea) pada kulit kepala dan folikel sebasea pada wajah
dan tubuh.8,9
Etiopatogenesis
Penyebabnya belum diketahui pasti. Faktor predisposisi dari dermatitis seboroik ini adalah
kelainan konstitusi berupa status seboroik (seborrhoeic state) yang rupanya diturunkan,
namun bagaimana cara penurunannya belum dapat dipastikan. Banyak percobaan yang telah
dilakukan untuk menghubungkan penyakit ini dengan infeksi oleh bakteri atau Pityrosporum
ovale yang merupakan flora normal kulit manusia. Pertumbuhan P. ovale yang berlebihan
dapat mengakibatkan reaksi inflamasi, baik akibat produk metabolitnya yang masuk ke dalam
epidermis, maupun karena sel jamur itu sendiri, melalui aktivasi sel limfosit T dan sel
Langerhans. Pasien dengan dermatitis seboroik dapat memperlihatkan tidak adanya regulasi
dari interferon (INF)-gamma, ekspresi interleukin(IL)-6, ekspresi IL-1β, dan IL-4. Ekspresi
ligan yang mengaktivasi sitotoksik (citotoxicity-activating ligands) dan rekrutmen sel NK
juga ditemukan. Status seboroik sering berasosiasi dengan meningginya suseptibilitas
terhadap infeksi piogenik, tetapi tidak terbukti bahwa mikroorganisme inilah yang
menyebabkan dermatitis seboroik.9,10
Dermatitis seboroik berhubungan erat dengan keaktifan glandula sebasea. Glandula tersebut
aktif pada bayi yang baru lahir, kemudian menjadi tidak atif selama 9-12 tahun akibat
stimulasi hormon androgen dari ibu berhenti. Dermatitis seboroik pada bayi terjadi pada
umur bulan-bulan pertama, kemudian jarang pada usia sebelum akil balik dan insidensnya
mencapai puncaknya pada umur 18-40 tahun, kadang-kadang pada umur tua. Dermatitis
seborok lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.9
Meskipun kematangan kelenjar sebasea rupanya merupakan faktor timbulnya dermatitis
seboroik, tetapi tidak ada hubungan langsung secara kuantitatif antara keaktifan kelenjar
tersebut dengan suseptibilitas untuk memperoleh dermatitis seboroik. Dermatitis seboroik
14
dapat disebabkan oleh karena proliferasi epidermis yang meningkat seperti yang terjadi pada
psoriasis. Pada orang-orang yang memiliki faktor predisposisi dermatitis seboroik, timbulnya
kelainan ini dapat disebabkan oleh faktor kelelahan, stres emosional, infeksi atau defisiensi
imun.9
Gejala Klinis
Dermatitis seboroik merupakan penyakit kulit yang umum, terjadi pada sekitar 2%-5%
populasi. Dermatitis seboroik merupakan penyakit kronik, superfsial, inflamasi yang tempat
predileksinya adalah kulit kepala, alis, bulu mata, sulcus nasolabialis, bibir, telinga, area
sternum, aksila, lekukan submandibula, umbilikus, lipatan paha dan sulcus gluteus. Kelainan
kulit yang ditemukan pada dermatitis seboroik terdiri atas eritema dan skuama yang
berminyak dan agak kekuningan, batasnya agak kurang tegas. Dermatitis seboroik yang
ringan hanya mengenai kulit kepala berupa skuama-skuama yang halus, muali sebagai bercak
kecil yang kemudian mengenai seluruh kulit kepala dengan skuama-skuama yang halus dan
kasar. Kelainan tersebut disebut pitiriasis sika
(ketombe, dandruff). Bentuk yang berminyak
disebut pitirasis steatoides yang dapat disertai
dengan eritema dan krusta-krusta tebal. Rambut di
bagian tersebut mempunyai kecendrungan untuk
rontok, mulai di bagian verteks dan frontal. Bentuk
yang berat ditandai dengan adanya bercak-bercak
yang berskuama dan berminyak disertai eksudasi
dan krusta tebal. Sering meluas ke dahi, glabela,
telinga posaurikular dan leher. Pada daerah dahi
tersebut batasnya sering cembung. Pad abentuk
yang lebih berat lagi, seluruh kepala tertutup oleh
krusta-krusta yang kotor dan berbau tidak sedap.
Pada bayi, skuama-skuama yang kekuningan dan
kumpulan debris-debris epitel yang lekat pada kulit
kepala disebut cradle cap.9,10
Pada daerah supraorbital, skuama-skuama halus dapat terlihat di alis mata, kulit di bawahnya
eritematosa dan gatal, disertai bercak-bercak skuama kekuningan, dapat pula terjadi blefaritis,
yakni pinggir kelopak mata merah disertai dengan skuama-skuama halus. Dermatitis seboroik
15
Gambar 4. Dermatitis Seboroik10
juga umum terjadi pada daerah lipat paha dan sulcus gluteus, dimana gambarannya sangat
mirip dengan tinea kruris atau kandidiasis.9,10
KANDIDOSIS
Definisi
Kandidosis merupakan penyakit yang bersifat akut atau subakut yang umumnya disebabkan
oleh jamur Candida albicans. Jamur ini dapat menyerang kulit, kuku, mukosa mulu atau
vagina, paru-paru, jantung.11
Epidemiologi
Penyakit ini menyerang semua usia, terutama pada anak dan orang tua. Rasio laki-laki dan
perempuan seimbang. Jamur Candida albicans merupakan bakteri komensal pada individu
sehat. Jamur ini kemudian dapat bersifat patologis oportunis pada individu dengan gangguan
imunitas, baik transient atau dalam jangka waktu lama hingga menimbulkan penyakit. Oleh
karena itu gambaran klinisnya bermacam-macam.11
Etiologi
Penyebab tersering kandidosis adalah Candida albicans yang dapat diisolasi dari kulit, mulut,
selaput mukosa vagina, dan feses individu normal. Merupakan sel ragi diploid oval, dengan
tampilan yang dapat bervariasi (polimorfisme) berupa sel ragi, budding yeast, pseudohifa,
dan hifa sejati. Hifa sejati adalah sel yang panjang dan berkutub dengan sisi yang pararel
tanpa ada batas yang jelas. Pseudohifa adalah sel khamir berbentuk elipsoida yang tetap
menempel satu sama lain dan dibatasi oleh septa. Perbedaan antara hifa sejati dan pseudohifa
adalah hifa sejati terbentuk dari blastospora dan cabang dari hifa sejati.Adapun pseudohifa
terbentuk dari blastospora atau pertunasan dari hifa dimana sel baru tersebut tetap menempel
pada sel induknya dan tetap memanjang.
16
Gambar 5. Morfogenesis Candida albicans12
Candida albicans pada individu sehat merupakan flora normal kulit. Koloni dapat ditemukan
di daerah anogenital, oral, atau kulit. Spesies lain seperti C. parapsilosis dapat menyebabkan
kandidosis endokarditis, dan C. tropicalis mampu menyebabkan septikemia.11-13
Gambar 6. Candida albicans dalam bentuk budding yeast dan pseudohifa dengan gambaran
sausage-like dalam preparat KOH.13
Patogenesis
Infeksi kandida terjadi akibat adanya faktor predisposisi endogen maupun eksogen. 11
17
Faktor endogen11
1. Perubahan fisiologis
a. Kehamilan, menyebabkan perubahan pH vagina
b. Kegemukan sehingga keringat menjadi lebih banyak
c. Debilitas
d. Iatrogenik
e. Endokrinopati seperti pada gangguan gula darah
f. Penyakit kronik, misalnya tuberkulosis, lupus eritematosus dengan keadaan
umum yang buruk
2. Umur : orang tua dan bayi lebih mudah terkena infeksi karena status imunologisnya
tidak sempurna 11,13
3. Imunologik 13
a. Penurunan imunitas seluler
b. Penurunan IgA anti-Candida spesifik pada saliva
c. Defek fungsional netrofil atau makrofag
Faktor eksogen11
1. Iklim panas dan lembab sehingga perspirasi meningkat
2. Kebersihan kulit
3. Kebiasaan berendam kaki dalam air yang terlalu lama hingga timbul maserasi
4. Kontak dengan penderita, misal pada kandidosis oral, balanospostitis
Klasifikasi dan Gejala Klinis
Klasifikasi kandidosis dibagi berdasarkan lokasi lesi. Oleh CONANT et.al. pembagian
lokasinya adalah sebagai berikut11 :
1. Kandidosis selaput lendir
a. Kandidosis oral (thrush).
Umumnya mengenai bayi, pada regio lidah, palatum mole, pipi bagian dalam.
Lesi berupa pseudomembran pada lokasi tersebut, tampak terpisah-pisah, dan
seperti kepala susu pada rongga mulut.Jika pseudomembran lepas, akan
tampak dasar basah dan kemerahan.
b. Perléche
Lesi berupa fisura pada sudut mulut; timbul maserasi, erosi, basah, dengan
dasar kemerahan. Faktor predisposisi ialah defisiensi riboflavin.
18
c. Vulvovaginitis
Umumnya ditemukan pada pasien DM dengan glukosadarah dan urin yang
tinggi, juga pada wanita hamil akibat penimbunan glikogen dalam epitel
vagina. Keluhan utama berupa gatal di daerah vulva. Rasa panas, nyeri setelah
miksi, dan dispareunia dapat muncul pada kondisi yang lebih berat. Pada
pemeriksaan fisik akan ditemukan hiperemia dan edema pada labia minora,
introitus vagia, dan vagia 1/3 bawah, diikuti bercak putih kekuningan (flour
albus) yang bergumpal.
d. Balanitis atau balanopostitis
Lesi erosi dan pustula pada glans penis dan sulkus koronarius glandis akibat
infeksi kontak dengan wanita yang menderita vulvovaginitis.
e. Kandidosus mukokutan kronik
Penyakit akibat defisiensi fungsi leukosit atau sistem hormonal, ditemukan
pada pasien dengan macam-macam defisiensi hormonal genetik.
f. Kandidosus bronkopulmonar dan paru
Ditemukan pada pasien imunokompromis.
2. Kandidosis kutis
a. Lokalisata : daerah intertriginosa, daerah perianal
Lesi ditemukan di lipatan kulit ketiak, lipat paha, intergluteal, lipat payudara,
antara jari tangan atau kaki, glans penis, dan umbilikus. Lesi dapat berupa
bercak batas tegas, bersisik, basah, dan eritematosa. Lesi dikelilingi oleh
vesikel, pustul, atau bula yang tampak seperti lesi satelit. Jika pecah, akan
meninggalkan daerah erosif dengan pinggir kasar. 11,13
Kandidosis kutis intertriginosa diakibatkan oleh kelembaban abnormal pada
daerah lipatan kulit akibat keringat, higien yang buruk, atau kondisi penurunan
imunitas (DM, tumor, atau kondisi imunodefisiensi lainnya). Gejala awal
dapat berupa eritema dan sedikit eksudat pada area lipatan, kadang terasa
gatal, dan kemudian menyebar pada area yang berkontak dengan lesi. Spesies
Candida dapat ditemukan melalui swab atau kerok lesi dan menemukan tanda
proliferasi dibawah mikroskop. Kultur tidak dapat dijadikan patokan untuk
diagnosis, karena jamur tersebut termasuk flora normal. 12,13
Sementara pada kandidosis perianal, lesi tampak maserasi seperti infeksi
dermatofit tipe basah sehingga menimbulkan pruritus ani.12
19
Gambar 7. Kandidosis intertriginosa pada daerah inguinal bilateral. Tampak plak
eritematosa berbatas tegas dan dikelilingi papul. 15
Gambar 8. Kandidosis kutis intertriginosa. Tampak papul eritematosa, multipel, batas tegas,
dengan persebaran konfluens. Tampak pula pustul. 13
b. Generalisata
Lesi ditemukan pada kulit glabrosa, lipat payudara, intergluteal, dan
umbilikus. Bentuk ekzematoid, dengan vesikal dan pustul. Lebih sering pada
20
bayi, mungkin distransmisikan dari ibu dengan kandidosis vagina atau akibat
gangguan imunologis.
c. Paronikia dan onikomikosis
Lesi berupa kemerahan dan pembengkakan tanpa nanah pada kuku yang
disertai penebalan dan pengerasan. Dihubungkan dengan pekerjaan yang
sering terpapar dengan air.
d. Kandidosis kutis granulomatosa
Lesi berbentuk papul kemerahan tertutup krusta tebal, berwarna kuning
kecoklatan. Lebih sering menyerang anak-anak, dengan predileksi pada muka,
kepala, kuku, badan, tungkai, dan farings.
3. Kandidosis sistemik
a. Endokarditis
Ditemukan pada pasien penyalahgunaan morfin akibat komplikasi
penyuntikan sendiri atau pasien pasca operasi jantung.
b. Meningitis
Akibat persebaran hematogen jamur. Gejala serupa dengan meningitis TB atau
bakterial.
c. Pielonefritis
d. Septikemia
4. Reaksi id (kandidid)
Muncul akibat metabolit kandida. Lesi berupa vesikel bergerombol, pada sela jari
tangan atau bagian badan yang lain, mirip dermatofitid, namun tanpa elemen jamur
pada lokasi lesi. Jika lesi kandidosis diobati, kandidid akan sembuh. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan adalah uji dengan antigen kandida, kandidin.
21
PEMBAHASAN
TINEA KRURIS
Anamnesis
Pasien perempuan, berusia 57 tahun, datang dengan keluhan utama gatal di selangkangan dan
bibir besar kemaluan sejak 1 minggu sebelum datang ke rumah sakit. Rasa gatal awalnya
dirasakan pada selangkangan kiri kemudian melebar ke kanan dan bibir besar kemaluan.
Pasien memiliki kebiasaan mandi sekali sehari dengan sabun sirih dan air biasa, serta
mengganti celana dalam 2-3 kali sehari karena basah setelah buang air kecil. Pasien
memelihara kucing di rumah.
Temuan data berdasarkan anamnesis di atas menjadi salah satu dasar penegakan diagnosis
untuk terjadinya infeksi jamur. Pasalnya, jamur cenderung membutuhkan kelembaban untuk
dapat tumbuh. Adapun infeksi dengan predileksi pada daerah inguinal dipikirkan ke arah
dermatofita, yaitu tinea kruris.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada onset dewasa dan sesuai dengan kasus pasien, dimana
keluhan baru muncul pada usia 57 tahun. Pasien hanya mandi sekali sehingga higienitas
tubuh dalam hal ini berkurang. Kebiasaan buang air kecil pasien seringkali menyebabkan
celana dalamnya basah dan kondisi ini cukup mendukung pertumbuhan jamur. Transmisi
agen penyebab dapat pula terjadi akibat kontak dengan hewan peliharaannya, yaitu kucing,
mengingat salah satu jenis jamur bersifaat zoofilik.
Oleh karena itu, ditanyakan faktor predisposisi lain yang mengarahkan kepada tinea kruris,
yaitu penggunaan pakaian secara bergantian, salah satu cara transmisi jamur antropofilik,
ataupun diabetes yang menjadi faktor predisposisi, namun disangkal oleh pasien.
Pemeriksaan Fisik
Berdasarkan pemeriksaan fisik, ditemukan plak eritematosa – hiperpigmentasi berukuran
plakat, berbentuk ireguler, dengan tepi lebih aktif dan batas tegas. Gambaran ini cukup khas
untuk infeksi jamur, dalam hal ini tinea kruris. Lesi umumnya menunjukkan gambaran tepi
lebih aktif dan batas tegas karena mengikuti pergerakan dermatofita dalam mencerna keratin.
Di samping itu, ditemukan pula efloresensi sekunder berupa skuama dan eskoriasi. Skuama
dalam hal ini terkait dengan sisa keratin yang dicerna oleh jamur sedangkan eskoriasi
22
menandakan lesi akibat garukan sebagai respons pasien terhadap gatal yang dialami
sebagaimana diungkapkan pula pada anamnesis.
Pemeriksaan Penunjang
Untuk penegakan diagnosis secara definitif, dilakukan kerokan kulit dilanjutkan pemeriksaan
KOH 20%. Temuan hifa panjang dan artrospora merupakan bukti konkrit keterliatan
dermatofita dalam proses lesi yang terjadi, sehingga dengan demikian dapat ditegakkan
diagnosis tinea kruris.
Tatalaksana
Tatalaksana yang dilakukan pada kasus ini dilakukan secara medikamentosa dan non
medikamentosa.
Secara non medikamentosa, pasien diberikan edukasi mengenai penyakitnya serta faktor yang
memudahkan terjadinya penyakit. Pada pasien ini, ditekankan mengenai pentingnya menjaga
kebersihan diri / hygiene, terutama dengan peningkatan frekuensi mandi serta mengeringkan
area kemaluan setelah buang air kecil. Hal ini penting untuk dilakukan untuk mencegah
suasana lembab yang mendukung pertumbuhan jamur.
Di samping itu, diedukasikan pula terkait menghindari penggunaan pakaian secara
bergantian, mencuci pakaian serta seprai secara rutin, serta menjemur pakaian pada tempat
yang panas. Terkait faktor risiko kontak dengan hewan, pasien juga disarankan untuk
memeriksakan kucing peliharaannya serta menghindari kontak saat ini.
Secara medikamentosa, pasien sebelumnya telah menggunakan terapi menggunakan gentian
violet yang memiliki efek anti jamur, akan tetapi tidak ditemukan perbaikan. Dalam hal ini,
terdapat pengaruh dari faktor spesies jamur maupun pemilihan terapi yang dapat saja belum
adekuat atau kegagalan respons.
Oleh karena itu, pada pasien diberikan terapi antifungal, yaitu ketokonazol 1x200 mg. Karena
obat ini bekerja baik pada suasana asam, disarankan untuk meminum obat bersamaan dengan
air asam atau secara lebih sederhana setelah makan. Pemberian obat sistemik dipilih karena
sebelumnya pasien telah menggunakan preparat topikal yang telah memiliki sifat anti fungal
akan tetapi tidak terdapat perbaikan. Pemberian dilakukan selama 10-14 hari dan pasien
diminta untuk datang kembali untuk kontrol dalam 2 minggu ke depan untuk evaluasi secara
klinis dan laboratorium.
23
Prognosis
Secara umum, prognosis pada pasien ini adalah bonam, baik untuk ad vitam, ad functionam,
maupun ad sanationam.
DERMATITIS SEBOROIK
Berdasarkan hasil dari anamnesis didapatkan bahwa keluhan gatal terdapat pada daerah
selangkangan dan bibir besar kemaluan. Berdasarkan dari lokasi gatalnya, yaitu pada daerah
selangkangan atau lipatan paha dapat mengarahkan adanya suatu peradangan pada kulit atau
dermatitis, dalam hal ini adalah dermatitis seboroik. Predileksi dermatitis terletak pada daerah
yang menghasilkan sebum (seborrhea), salah satunya adalah lipatan paha. Tidak adanya
riwayat keluar cairan dari vagina juga dapat menunjang bahwa kelainan terdapat di kulit luar
sekitar kemaluan dan tidak sampai melibatkan organ dalam genitalia.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan gambaran plak hiperpigmentasi dengan skuama kasar
berwarna putih di atasnya. Skuama pada dermatitis biasanya berwarna kuning dan berminyak
karena peningkatan dari produksi sebum. Hasil pemeriksaan fisik lain yaitu tepi lesi yang
aktif tidak cocok dengan gambaran dermatitis seboroik. Lesi dengan tepi yang aktif lebih
mengindikasikan ke arah infeksi jamur, sehingga diagnosis banding dermatitis seboroik dapat
disingkirkan.
KANDIDOSIS
Berdasarkan anamnesis riwayat penyakit serta kebiasaan, kandidosis dapat menjadi diagnosis
banding pasien ini. Keluhan berupa kulit merah dan gatal pada daerah selangkangan serta
bibir kemaluan, juga higien yang kurang baik bisa menjadi predisposisi eksogen infeksi
oportunistik Candida. Berdasarkan lokasi lesi, yaitu daerah lipat inguinal, diagnosis banding
yang dipikirkan adalah kandidosis kutis intertriginosa. Tidak adanya riwayat keputihan
menyingkirkan dugaan kandidosis vulvovaginalis.
Pada pemeriksaan status dermatologikus ditemukan gambaran yang dapat menguatkan
kecurigaan kandidosis kutis intertriginosa, yaitu plak eritematosa inguinal pada bilateral dan
labia mayor, dengan batas tegas . Adanya ekskoriasi dan area plak hiperpigmentasi seerta
skuama putih halus diatasnya mungkin lesi sekunder akibat penggarukan. Adapun tampilan
tepi lesi aktif yang tidak khas untuk lesi akibat Candida, belum dapat menyingkirkan
diagnosis.
24
Namun, pada pemeriksaan KOH 20% ditemukan gambaran hifa panjang dan artrospora.
Salah satu bentuk C. albicans adalah hifa sejati, namun bentuk artrospora bukanlah bagian
dari polimorfisme ragi ini. Dapat dikatakan, bahwa temuan laboratoris dari kerokan lesi tidak
menunjukan adanya koloni C.albicans, melainkan spesies fungi jenis lain. Dengan demikian,
diagnosis banding kandidosis kutis intertriginosa dalam hal ini dapat disingkirkan.
25
DAFTAR PUSTAKA
1Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S. Dermatomikosis
Superfisial. Kelompok Studi Dermatomikosis Indonesia. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2004.hal.1-6.2Budimulja U. Mikosis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.hal.89-92.3Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi kelima. Jakarta: FKUI; 2007.hal.92-100.4Sugito TL, Hakim L, Suseno LS, Suriadiredja A, Toruan TL, Alam TN, editor. Panduan
Pelayanan Medis Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin PERDOSKI. Jakarta: PP PERDOSKI;
2011.hal.96-9.5Wolff K, Johnson RA, Suurmond D. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synopsis of Clinical
Dermatology.[e-book]. Fifth Edition. Philadelphia: McGraw-Hill Companies; 2007.Chapter
23: Cutaneous Fungal Infection.6James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews’ Diseases of the Skin Clinical Dermatology.
Eleventh Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.p.287-8,299.7Hay RJ, Moore MK. Mycology. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Grifftths C, editors.
Rook’s textbook of Dermatology. [e-book] Seventh Edition. Massachussets: Blackwell
Science; 2004.8Ervianti E. Dermatitis Seboroik dan Dandruff - Pengobatan dengan Ketoconazole. Available
from: http://penelitian.unair.ac.id/artikel/0840d8e9c8dca575ff755683202e0b1e_Unair.pdf.
[cited on May 2, 2013]. 9Djuanda A. Dermatosis Eritroskuamosa. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2009.hal.200-1.10James WD, Berger TG, Elston DM. Andrews’ Diseases of the Skin Clinical Dermatology.
Eleventh Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.p.188-9. 11Kuswadji. Kandidosis dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed 5. Jakarta; Balai
Penerbit FKUI. 2009. hal.106-9.12Rihansyah HP. Aktivitas Anticendawan Ekstrak Etanol Kayu Siwak (Salvadora persica)
Dan Larutan Kumur Komersial Terhadap Candida Albicans Secara In Vitro. [Skripsi] 2011.
Diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46899/BAB%20II
%20Tinjauan%20Pustaka_%20B11hpr.pdf?sequence=5. Diakses pada 2 Mei 2013.
26
13Wolff, Johnson, Surmond. Candidiasis in Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 5th ed. [ebook] McGraw-Hill. 2007.14Shimizu H. Fungal Disease in: Shimizu’s textbook of dermatology. [ebook] Nakayama
Shoten Publisher and Hokkaido University Press. 2007.15Hay RJ, Moore MK. Mycology in: Rook’s Textbook of dermatology. 7th ed. [ebook].
Blackwell Publishing. 2004.
27