41
BAB I PENDAHULUAN Banyak kasus keracunan dan pencemaran lingkungan yang sulit terungkap, yang umumnya disebabkan data yang diperlukan tidak cukup untuk dapat membuktikan penyebabnya, seperti kasus Buyat, kasus keracunan di Magelang, kasus kematian aktivis HAM Munir, dan kasus keracunan makanan yang seringkali terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Kurangnya pemahaman mengenai hal- hal apa saja yang diperlukan untuk dapat membuat suatu kesimpulan mengenai kasus terkait keracunan dan pencemaran lingkungan menjadikan strategi pengumpulan data-data yang diperlukan seringkali tidak tepat (1). Adanya pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan, dapat dibagi dalam dua kelompok, yang pertama bertujuan untuk mencari penyebab kematian, misalnya kematian akibat keracunan morfin, sianida, karbon monoksida, keracunan insektisida, dan lain sebagainya, dan kelompok yang kedua adalah untuk mengetahui mengapa 1

makalah toksikologi

Embed Size (px)

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

Banyak kasus keracunan dan pencemaran lingkungan yang sulit terungkap, yang umumnya disebabkan data yang diperlukan tidak cukup untuk dapat membuktikan penyebabnya, seperti kasus Buyat, kasus keracunan di Magelang, kasus kematian aktivis HAM Munir, dan kasus keracunan makanan yang seringkali terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Kurangnya pemahaman mengenai hal-hal apa saja yang diperlukan untuk dapat membuat suatu kesimpulan mengenai kasus terkait keracunan dan pencemaran lingkungan menjadikan strategi pengumpulan data-data yang diperlukan seringkali tidak tepat (1).Adanya pemeriksaan forensik dalam kasus keracunan, dapat dibagi dalam dua kelompok, yang pertama bertujuan untuk mencari penyebab kematian, misalnya kematian akibat keracunan morfin, sianida, karbon monoksida, keracunan insektisida, dan lain sebagainya, dan kelompok yang kedua adalah untuk mengetahui mengapa suatu peristiwa, misalnya peristiwa pembunuhan, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan pesawat udara dan perkosaan dapat terjadi. Dengan demikian, tujuan yang kedua bermaksud untuk membuat suatu rekaan rekonstruksi atas peristiwa yang terjadi (1).Pada ilmu kedokteran kehakiman, keracunan dikenal sebagai salah satu penyebab kematian yang cukup banyak sehingga keberadaannya tidak dapat diabaikan. Jumlah maupun jenis reaksi pun semakin bertambah, apalagi dengan makin banyaknya macam-macam zat pembasmihama. Selain karena faktor murni kecelakaan, racun yang semakin banyak jumlah dan jenisnya ini dapat disalahgunakan untuk tindakan-tindakan kriminal. Walaupun tindakan meracuni seseorang itu dapat dikenakan hukuman, tapi baik di dalam kitab Undang-UndangHukum Pidana maupun di dalam Hukum Acara Pidana (RIB) tidak dijelaskan batasan dari keracunan tersebut, sehingga banyak dipakai batasan-batasan racun menurut beberapa ahli, untuk tindakan kriminal ini, adanya racun harus dibuktikan demi tegaknya hokum (1).

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi dan Peran Toksikologi ForensikToksikologi (berasal dari kata Yunani, toxicos dan logos) merupakan studi mengenai perilaku dan efek yang merugikan dari suatu zat terhadap organisme/mahluk hidup. Toksikologi merupakan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan sumber, karakteristik dan kandungan racun, gejala dan tanda yang disebabkan racun, dosis fatal, periode fatal, dan penatalaksanaan kasus keracunan. Periode fatal merupakan selang waktu antara masuknya racun dalam dosis fatal rata-rata sampai menyebabkan kematian pada rata-rata orang sehat (1).Dalam berbagai kepustakaan, terdapat berbagai pengertian tentang keracunan (poisoning) dan intoksikasi. Beberapa kepustakaan menyatakan pengertian keracunan dan intoksikasi berbeda, dimana keracunan dinyatakan sebagai over dosis yang mempunyai efek sentral sedangkan intoksikasi merupakan over dosis yang bersifat umum baik sentral maupun perifer. Namun kepustakaan lain menyatakan keracunan dan intoksikasi memiliki pengertian yang sama (2).Toksikologi forensik merupakan penerapan toksikologi untuk membantu investigasi medikolegal dalam kasus kematian, keracunan maupun penggunaan obat-obatan. Dalam hal ini, toksikologi mencakup pula disiplin ilmu lain seperti kimia analitik, farmakologi, biokimia dan kimia kedokteran. Seorang ahli toksikologi forensik harus mempertimbangkan keadaan suatu investigasi, khususnya adanya catatan mengenai gejala fisik, dan adanya bukti apapun yang berhasil dikumpulkan dalam lokasi kriminal/kejahatan yang dapat mengerucutkan pencarian, misalnya adanya barang bukti seperti botol obat-obatan, serbuk, residu jejak dan zat toksik (bahan kimia) apapun yang ditemukan (2). Ahli toksikologi forensik harus dapat menentukan senyawa toksik apa yang terdapat dalam sampel, dalam konsentrasi berapa, dan efek yang mungkin terjadi akibat zat toksik tersebut terhadap seseorang (korban). Dalam mengungkap kasus kejahatan lingkungan, toksikologi forensik digunakan untuk memahami perilaku pencemar, mengapa dapat bersifat toksik terhadap biota dan manusia, dan sejauhmana risikonya, serta mengidentifikasi sumber dan waktu pelepasan suatu bahan pencemar (2).

B. Prinsip Dasar dalam Investigasi ToksikologiDalam menentukan jenis zat toksik yang menyebabkan keracunan, seringkali menjadi rumit karena adanya proses yang secara alamiah terjadi dalam tubuh manusia. Jarang sekali suatu bahan kimia bertahan dalam bentuk asalnya di dalam tubuh. Bahan kimia, ketika memasuki tubuh akan mengalami proses ADME, yaitu absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi. Zat toksik juga kemungkinan dapat mengalami pengenceran dengan adanya proses penyebaran ke seluruh tubuh sehingga sulit untuk terdeteksi (3).Walaupun zat racun yang masuk dalam ukuran gram atau miligram, sampel yang diinvestigasi dapat mengandung zat racun atau biomarkernya dalam ukuran mikrogram atau nanogram, bahkan hingga pikogram. Zat toksik dapat berada dalam bentuk fisik (seperti radiasi), kimiawi (seperti arsen, sianida) maupun biologis (bisa ular). Juga terdapat dalam beragam wujud (cair, padat, gas). Beberapa zat toksik mudah diidentifikasi dari gejala yang ditimbulkannya, dan banyak zat toksik cenderung menyamarkan diri (3).Sulit untuk mengkategorisasi suatu bahan kimia sebagai aman atau beracun. Tidak mudah untuk membedakan apakah suatu zat beracun atau tidak. Prinsip kunci dalam toksikologi ialah hubungan dosis-respon/Efek. Kontak zat toksik (paparan) terhadap organisme/tubuh dapat melalui jalur tertelan (ingesti), terhirup (inhalasi) atau terabsorpsi melalui kulit. Zat toksik umumnya memasuki organisme/tubuh dalam dosis tunggal dan besar (akut), atau dosis rendah namun terakumulasi hingga jangka waktu tertentu (kronis) (3).

C. Toksisitas RacunDalam pemeriksaan keracunan harus diperhatikan kondisi-kondisi yang mempengaruhi fatalitas racun pada korban, baik pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan. Banyak substansi yang hanya bersifat toksik dalam jumlah yang besar tetapi ada yang bersifat toksik meskipun jumlahnya kecil. Demikian juga adanya substansi tertentu secara tersendiri tidak bersifat toksik atau toksisitasnya rendah tetapi dengan adanya substansi lain, menyebabkan substansi tersebut menjadi toksik. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemeriksaan korban hidup, antara lain (4): 1) Toksisitas intrinsikIkatan kimia (struktur kimia) suatu zat secara intrinsik membentuk sifat racun zat tersebut, misalnya unsur sodium. Ikatan sodium dengan unsur klorida menjadi NaCl tidak bersifat toksik dan hanya bersifat toksik dalam jumlah yang sangat besar. Sedangkan ikatan sodium dengan sianida menjadi NaCN bersifat toksik meskipun dalam jumlah yang kecil.2) Dosis dan bioavailabilitasFarmakokinetik untuk substansi yang bersifat sistemik sangat tergantung dosis zat yang masuk ke dalam tubuh dan kecepatan metabolisme zat terutama di organ detoksifikasi (hati). Metabolisme zat di dalam hati sebelum beredar ke dalam sirkulasi sistemik (first pass effect) sangat menentukan toksisitas zat yang masuk ke dalam tubuh secara oral.3) KonsentrasiFatalitas beberapa zat tergantung konsentrasi seperti halnya gas karbon monoksida (CO), asam kuat dan basa kuat.4) Frekuensi dan waktu paruhSeringnya kontak, lama kontak (durasi) dan waktu paruh zat yang kontak juga mempengaruhi toksisitas racun seperti akumulasi logam berat (keracunan arsen, timah hitam).5) Cara masuk zat ke dalam tubuhCara masuk zat ke dalam tubuh sangat menentukan kecepatan absorbsi dan beredarnya zat secara sistemik. Penggunaan zat per oral relatif lebih lambat dibandingkan secara injeksi dan inhalasi sebab dipengaruhi oleh berbagai enzim pencernaan dan mengalami metabolisme awal di hati sebelum beredar ke dalam sirkulasi sistemik.

6) Ko-medikasiAdanya zat lain (ko-medikasi) dapat meningkatkan toksisitas zat dengan toksisitas rendah atau mengubah zat yang tidak toksik menjadi toksik. Alkohol merupakan ko-medikasi yang paling sering digunakan, yang dapat meningkatkan efek depresan dari obat-obat yang menekan sistem saraf pusat. Penggunaan kombinasi dari obat-obat terlarang merupakan ko-medikasi yang sering menimbulkan bahaya.7) Kondisi pemakaiKondisi korban harus diperiksa dengan teliti terhadap adanya penyakit-penyakit yang melibatkan sistem metabolisme dan detoksifikasi, dimana penyakit tersebut dapat meningkatkan toksisitas suatu zat. Demikian juga halnya faktor umur, jenis kelamin, status gizi, reaksi alergi, dan idiosinkrasi.

D. Bentuk Keracunan Berdasarkan MotifSalah satu tujuan pelayanan forensik klinik adalah memberikan informasi atau fakta-fakta yang membuat terang kasus keracunan yang mencurigakan termasuk motif yang melatarbelakangi kasus tersebut. Dalam kasus tindak pidana harus dibuktikan adanya perbuatan yang salah (actua rheus) dan situasi batin yang melatarbelakangi tindakan tersebut (men rhea). Motif keracunan harus ditentukan sebagai unsur men rhea, apakah timbul akibat kecerobohan (recklessness), kealpaan (negligence) atau kesengajaan (intentional) (4).Secara umum, motif keracunan dapat dibedakan menjadi dua bentuk (tipe) berdasarkan korban keracunan, yaitu (4):

1) Tipe S (spesific target) Menunjukkan bahwa korban keracunan hanya orang tertentu dan biasanya antara pelaku dan korban sudah saling kenal. Motivasi yang biasanya melatarbelakangi, antara lain: uang, membunuh, pembunuhan lawan politik dan balas dendam. Keracunan tipe S berdasarkan terjadinya dibagi ke dalam dua sub grup yaitu: a. Sub grup S tipe S/S (spesific/slow) dimana keracunan terjadi secara perlahan dan direncanakan oleh pelaku.b. Sub grup Q tipe S/Q (spesific/quick) dimana keracunan terjadi secara mendadak dan tanpa perencanaan sebelumnya.2) Tipe R (random target) Terjadi pada korban yang acak. Motivasi bentuk keracunan ini biasanya ego, sadistik, dan teror. Berdasarkan kejadiannya keracunan tipe R dibagi:a. Sub grup S tipe R/S (random/slow), terorisme merupakan salah satu benuk keracunan tipe ini bila racun yang dipakai sebagai alat untuk menjalankan teror. b. Sub tipe Q tipe R/Q

E. Kriteria Diagnosis Kasus KeracunanPemeriksaan korban keracunan pada prinsipnya sama secara medis maupun secara forensik klinis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan. Perbedaan yang ada adalah pada hasil akhir pemeriksaan, berupa sertifikasi yang memberi batuan pembuktian hukum terhadap korban. Sertifkasi yang dimaksud adalah diterbitkannya visum et repertum peracunan (5).1) Anamnesa yang menyatakan bahwa korban benar-benar kontak dengan racun (secara injeksi, inhalasi, ingesti, absorbsi, melalui kulit atau mukosa).Pada umumnya anamnesa tidak dapat dijadikan pegangan sepenuhnya sebagai kriteria diagnostik, misalnya pada kasus bunuh diri keluarga korban tentunya tidak akan memberikan keterangan yang benar, bahkan malah cenderung untuk menyembunyikannya, karena kejadian tersebut merupakan aib bagi pihak keluarga korban (5).Dalam pemeriksaan forensik klinis, anamnesis dapat bersifat autoanamnesis bila korban kooperatif atau alloanamnesis baik terhadap keluarga korban atau penyidik. Beberapa hal yang perlu ditekankan dalam anamnesis meliputi (5): Jenis racun Cara masuk racun (route of administration) Data tentang kebiasaan dan kepribadian korban Keadaan psikiatri korban Keadaan kesehatan fisik korban Faktor yang menigkatkan efek letal zat yang digunakan seperti penyakit, riwayat alergi atau idiosinkrasi atau penggunaan zat-zat lain (ko-medikasi)2) Tanda dan gejala-gejala yang sesuai dengan tanda / gejala keracunan zat yang diduga.Adanya tanda/gejala klinis biasanya hanya terdapat pada kasus yang bersifat darurat dan pada prakteknya lebih sering kita terima kasus-kasus tanpa disertai dengan data-data klinis tentang kemungkinan kematian karena kematian sehingga harus dipikirkan terutama pada kasus yang mati mendadak, non traumatik yang sebelumnya dalam keadaan sehat (5).Tabel 1. Contoh zat-zat toksik dan gejalanya.Zat ToksikGejala

Asam (nitrat, hidroklorat, sulfat)

Anilin ArsenAtropin Basa (kalium, hidroksida)

Asam karbolat (atau fenol lainnya) Karbon monoksida Sianida Keracunan makanan Senyawa logam Nikotin Asam oksalat Natrium fluoridaStrikninLuka bakar pada kulit, mulut, hidung, membran mukosa

Kulit muka dan leher menghitam (gelap) Diare parahPelebaran pupil mata Luka bakar pada kulit, mulut, hidung, membran mukosaBau desinfektan Kulit berwarna merah terang Kematian cepat, kulit memerahMuntah, nyeri perutDiare, muntah, nyeri perut KejangBau bawang putih KejangKejang, muka dan leher menghitam (gelap)

3) Secara analisa kimia dapat dibuktikan adanya racun di dalam sisa makanan / obat / zat yang masuk ke dalam tubuh korban.Kita selamanya tidak boleh percaya bahwa sisa sewaktu zat yang digunakan korban itu adalah racun (walaupun ada etiketnya) sebelum dapat dibuktikan secara analisa kimia, kemungkinan-kemungkinan seperti tertukar atau disembunyikannya barang bukti, atau si korban menelan semua racun, kriteria ini tentunya tidak dapat dipakai (5).4) Ditemukannya kelainan-kelainan pada tubuh korban, baik secara makroskopik atau mikroskopik yang sesuai dengan kelainan yang diakibatkan oleh racun yang bersangkutan.Bedah mayat (otopsi) mutlak harus dilakukan pada setiap kasus keracunan, selain untuk menentukan jenis-jenis racun penyebab kematian, juga penting untuk menyingkirkan kemungkinan lain sebagai penyebab kematian. Otopsi menjadi lebih penting pada kasus yang telah mendapat perawatan sebelumnya, dimana pada kasus-kasus seperti ini kita tidak akan menemukan racun atau metabolitnya, tetapi yang dapat ditemukan adalah kelainan-kelainan pada organ yang bersangkutan (5).5) Secara analisa kimia dapat ditemukan adanya racun atau metabolitnya di dalam tubuh / jaringan / cairan tubuh korban secara sistemik.Pemeriksaan toksikologi (analisa kimia) mutlak harus dilakukan. Tanpa pemeriksaan tersebut, visum et repertum yang dibuat dapat dikatakan tidak memiliki arti dalam hal penentuan sebab kematian. Sehubungan dengan pemeriksaan toksikologis ini, kita tidak boleh terpaku pada dosis letal sesuatu zat, mengingat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kerja racun. Penentuan ada tidaknya racun harus dibuktikan secara sistematik, diagnosa kematian karena racun tidak dapat ditegakkan misalnya hanya berdasar pada ditemukannya racun dalam lambung korban (5).Dari kelima kriteria diagnostik dalam menentukan sebab kematian pada kasus-kasus keracunan seperti tersebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima merupakan kriteria yang terpenting dan tidak boleh dilupakan (5).

F. Pemeriksaan Forensik Kasus Keracunan terhadap Koban yang Sudah MeninggalBeberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan pada pemeriksaan keracunan pada korban yang sudah meninggal antara lain (6):1) Pemeriksaan post mortem a. Pemeriksaan luarPada pemeriksaan luar untuk kasus keracunan, kemungkinan didapatkan: Racun jenis tertentu mengeluarkan bau aroma yang khas, misalnya asam hidrosianida, asam karbonat, kloroform, alkohol, dll. Untuk menjaga keutuhan jenazah tidak boleh menggunakan cairan desinfektan yang mempunyai bau (aroma). Pada permukaan tubuh jenazah mungkin ditemukan bercak-bercak yang berasal dari muntahan, feses dan kadang-kadang jenis racun itu sendiri. Perubahan warna kulit, misalnya menjadi kuning pada keracunan fosfor dan keracunan akut akibat unsur tembaga sulfat. Keadaan pupil mata dan jari tangan yang lemas atau mengepal. Pemeriksaan lubang pada tubuh jenazah untuk melihat adanya tanda-tanda bekas zat korosif atau benda asing. Livor mortis yang khas, merah terang, cherry red atau merah coklat (bila racunnya menyebabkan perubahan warna darah sehingga warna lebam jenazah mengalami perubahan.b. Pemeriksaan dalamPada umumnya tanda-tanda keracunan tampak pada traktus gastrointestinal, terutama jika keracunan akibat zat korosif atau iritan. Perubahan yang terjadi adalah (6): HiperemiaWarna kemerahan pada membran mukosa paling jelas terlihat pada bagian kardiak lambung dan pada bagian kurvatura mayor. Warnanya adalah merah gelap dan hiperemia ini bentuknya bisa merata atau bercak, misalnya pada keracunan arsen hiperemia adalah merah merata. Perubahan warna juga bisa muncul karena berbagai unsur lainnya seperti sari buah. Asam nitrat menyebabkan warna kuning pada usus. Hiperemia harus dibedakan dengan kongesti vena secara menyeluruh yang terjadi pda kematian akibat asfiksia. Gambaran yang membedakan dengan hiperemia yang disebabkan oleh penyakit adalah pada hiperemia karena penyakit sifatnya merata dan terdapat pada seluruh permukaan serta tidak berupa bercak, selain itu gambaran membran mukosa lebih banyak terkena pada kasus keracunan. PerlunakanKeadaan ini terjadi pada keracunan korosif, lebih sering terlihat pada kardiak lambung, kurvatura mayor, mulut, tenggorokan dan esofagus. Jika disebabkan karena penyakit, gambaran ini hanya tampak pada lambung. Juga harus dibedakan dengan perlunakan post mortem yang terdapat pada bagian yang lebih rendah dan mengenai seluruh lapisan dinding lambung. Pada bagian yang mengalami perlunakan tidak ada tanda-tanda inflamasi. Ulserasi Paling sering ditemukan ditemukan pada kurvatura mayor lambung dan harus dibedakan dengan tukak peptik yang paling sering terdapat di kurvatura minor lambung dan ditandai dengan adanya hiperemia di sekitar tukak tersebut. Perforasi Sangat jarang terjadi, kecuali pada kasus keracunan asam sulfat. Perforasi juga bisa terjadi akibat tukak kronis, tetapi bentuk perforasi pada kasus ini biasannya lonjong atau bulat, pinggirnya melekuk ke arah luar dan lambung menunjukkan tanda-tanda perlekatan dengan jaringan sekitar.2) Pemeriksaan kimia/toksikologi pada organ tubuh bagian dalamDitemukannya jenis racun pada darah, feses, urin atau dalam organ tubuh merupakan bukti yang memastikan bahwa telah terjadi keracunan. Racun bisa ditemukan dalam lambung, usus halus, dan kadang-kadang pada hati, limpa dan ginjal. Organ tubuh dan bahan yang diperiksa antara lain (3): Urin dan feses Darah Lambung dan isinya Bagian dari usus halus (duodenum dan jejunum) Hati Setengah bagian dari masing-masing ginjal Otak dan korda spinalis, terutama pada keracunan striknin Uterus dan organ-organ yang berkaitan dengan uterus, jika ada kecurigaanabortus kriminalis Paru-paru terutama pada keracunan kloroform Tulang, rambut, gigi dan kuku Organ tubuh lainnya yang dicurigai mengandung racun.3) Pengumpulan bukti-bukti dari sekitar tempat kejadian

G. Analisis Toksikologi Analisis toksikologi merupakan pemeriksaan laboratorium yang berfungsi untuk (4):1. Analisa tentang adanya logam berat yang berbahaya.2. Analisa tentang adanya racun.3. Analisa tentang adanya asam sianida, fosfor dan arsen.4. Analisa tentang adanya pestisida baik golongan organochlorin maupun organophospat.5. Analisa tentang adanya obat-obatan misalnya: transquilizer, barbiturate, narkotika, ganja, dan lain sebagainya.Analisis toksikologi meliputi isolasi, deteksi, dan penentuan jumlah zat yang bukan merupakan komponen normal dalam material biologis yang didapatkan dalam otopsi. Terkadang material didapatkan dari pasien yang masih hidup, misalnya darah, rambut, potongan kuku atau jaringan hasil biopsi. Hasil toksikologi disini membantu dalam menentukan kasus-kasus yang diduga keracunan. Jaringan tubuh masing-masing memiliki afinitas yang berbeda terhadap racun-racun tertentu, misalnya (4): Hepar dan ginjal adalah material yang paling baik untuk menentukan keracunan logam berat yang akut. Darah, tulang, kuku, dan rambut merupakan material yang baik untuk pemeriksaan keracunan logam yang bersifat kronis. Darah dan urin adalah material yang paling baik untuk analisa zat organik non volatile, misalnya obat sulfa, barbiturate, salisilat dan morfin. Jaringan otak adalah material yang paling baik untuk pemeriksaan racun-racun organis, baik yang mudah menguap maupun yang tidak mudah menguap.Pada racun yang efeknya sistemik, harus dapat ditemukan dalam darah atau organ parenkim ataupun urin. Bila hanya ditemukan dalam lambung saja maka belum cukup untuk menentukan keracunan zat tersebut. Penemuan racun-racun yang efeknya sistemik dalam lambung hanyalah merupakan penuntun bagi seorang analis toksikologi untuk memeriksa darah, organ, dan urin ke arah racun yang dijumpai dalam lambung tadi. Untuk racun-racun yang efeknya lokal, maka penentuan dalam lambung sudah cukup untuk dapat dibuat diagnosa (4).Secara umum tugas analisis toksikolog forensik (klinik) dalam melakukan analisis dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu: 1) penyiapan sampel sample preparation, 2) analisis meliputi uji penapisan screening test atau dikenal juga dengan general unknown test dan uji konfirmasi yang meliputi uji identifikasi dan kuantifikasi, 3) langkah terakhir adalah interpretasi temuan analisis dan penulisan laporan analisis. Berbeda dengan kimia analisis lainnya (seperti: analisis senyawa obat dan makanan, analisis kimia klinis) pada analisis toksikologi forensik pada umumnya analit (racun) yang menjadi target analisis, tidak diketahui dengan pasti sebelum dilakukan analisis. Tidak sering hal ini menjadi hambatan dalam penyelenggaraan analisis toksikologi forensik, karena seperti diketahui saat ini terdapat ribuan atau bahkan jutaan senyawa kimia yang mungkin menjadi target analisis. Untuk mempersempit peluang dari target analisis, biasanya target dapat digali dari informasi penyebab kasus forensik (keracunan, kematian tidak wajar akibat keracunan, tindak kekerasan dibawah pengaruh obat-obatan), yang dapat diperoleh dari laporan pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP), atau dari berita acara penyidikan oleh polisi penyidik (4).Analisis toksikologi forensik tidak diketemukan senyawa induk, melainkan metabolitnya. Sehingga dalam melakukan analisis toksikologi forensik, senyawa metabolit juga merupakan target analisis. Sampel dari toksikologi forensik pada umumnya adalah spesimen biologi seperti: cairan biologis (darah, urin, air ludah), jaringan biologis atau organ tubuh. Preparasi sampel adalah salah satu faktor penentu keberhasilan analisis toksikologi forensik disamping kehadalan penguasaan metode analisis instrumentasi. Berbeda dengan analisis kimia lainnya, hasil indentifikasi dan kuantifikasi dari analit bukan merupakan tujuan akhir dari analisis toksikologi forensik. Seorang toksikolog forensik dituntut harus mampu menerjemahkan apakah analit (toksikan) yang diketemukan dengan kadar tertentu dapat dikatakan sebagai penyebab keracunan (pada kasus kematian) (4).H. Kunci Pembuktian Kasus KeracunanDalam pembuktian kasus keracunan sebagai tindak pidana, banyak hal yang harus dibuktikan dan dalam pembuktiannya banyakmelibatkan dokter forensik klinis. Hal yang dibuktikan antara lain (3):1) Bukti hukum (legally proving): bukti hukum yang dapat diterima di pengadilan (adminissible) sangat tergantung dari keaslian bukti tersebut sehingga penatalaksanaan terhadap bukti-bukti pada korban sangat diperlukan. Terlebih lagi pada kasus tindak pidana yang memerlukan standar pembuktian dengan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi yaitu sampai tidak ada keraguan yang beralasan.2) Pembuktian motif keracunan3) Kondisi yang memungkinkan dapat diperolehnya racun seperti adanya resep, toko obat atau toko yang menyediakan substansi yang digunakan.4) Bukti-bukti pada korban seperti kebiasaan korban, gangguan kepribadian, kondisi kesehatan, dan penyakit serta kesempatan dilibatkannya racun.5) Bukti kesengajaan (intentional)6) Bila korban meninggal harus ditentukan sebab kematian korban adalah racun dengan menyingkirkan sebab kematian yang lainnya.7) Bukti peracunan adalah homicide.Dari 7 bukti pembuktian kasus keracunan, tampak bantuan dokter sangat diperlukan dalam beberapa langkah terutama (3): Pengumpulan, pencatatan dan interpretasi bukti keracunan medis dalam upaya memberikan pembuktian hukum Menemukan bukti-bukti pada korban seperti kebiasaan, kondisi fisik dan keadaan psikiatri korban Penentuan sebab kematian bila korban dengan mengeklusi penyebab kematian lainnya.

I. Jenis-Jenis Keracunan1) Keracunan Karbon Monoksida (CO)Karbon monoksida (CO) adalah racun yang tertua dalam sejarah manusia. Sejak dikenal cara membuat api, manusia senantiasa terancam oleh asap yang mengandung CO. Gas CO adalah gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan tidak meransang selaput lendir, sedikit lebih ringan dari udara sehingga mudah menyebar (7).Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan CODiagnosis keracunan CO pada korban hidup biasanya berdasarkan anamnesis adanya kontak dan di temukannya gejala keracunan CO. Pada korban yang mati tidak lama setelah keracunan CO, ditemukan lebam mayat berwarna merah terang (cherry pink colour) yang tampak jelas bila kadar COHb mencapai 30% atau lebih. Warna lebam mayat seperti itu juga dapat ditemukan pada mayat yang di dinginkan, pada korban keracunan sianida dan pada orang yang mati akibat infeksi oleh jasad renik yang mampu membentuk nitrit, sehingga dalam darahnya terbentuk nitroksi hemoglobin. Meskipun demikian masih dapat di bedakan dengan pemeriksaan sederhana (7).

Gambar 1. Cherry pink colour

Pada mayat yang didinginkan dan pada keracunan CN, penampang ototnya berwarna biasa, tidak merah terang. Juga pada mayat yang di dinginkan warna merah terang lebam mayatnya tidak merata selalu masih ditemukan daerah yang keunguan (livid). Sedangkan pada keracunan CO, jaringan otot, visera dan darah juga berwarna merah terang. Selanjutnya tidak ditemukan tanda khas lain (6). Kadang-kadang dapat ditemukan tanda asfiksia dan hiperemia visera. Pada otak besar dapat ditemukan petekiae di substansia alba bila korban dapat bertahan hidup lebih dari jam. Pada analisa toksikologi darah akan di temukan adanya COHb pada korban keracunan CO yang tertunda kematiannya sampai 72 jam maka seluruh CO telak di eksresi dan darah tidak mengandung COHb lagi, sehingga ditemukan lebam mayat berwarna livid seperti biasa demikian juga jaringan otot, visera dan darah (7). Kelainan yang dapat di temukan adalah kelainan akibat hipoksemia dan komplikasi yang timbul selama penderita di rawat. Otak, pada substansia alba dan korteks kedua belah otak, globus palidus dapat di temukan petekie. Kelainan ini tidak patognomonik untuk keracunan CO, karena setiap keadaan hipoksia otak yang cukup lama dapat menimbulkan petekiae. Pemeriksaan mikroskopik pada otak memberi gambaran (7): Pembuluh-pembuluh halus yang mengandung trombihialin Nekrosis halus dengan di tengahnya terdapat pembuluh darah yang mengandung trombihialin dengan pendarahan di sekitarnya, lazimnya disebut ring hemorrage Nekrosis halus yang di kelilingi oleh pembuluh-pembuluh darah yang mengandung trombi Ball hemorrgae yang terjadi karena dinding arterior menjadi nekrotik akibat hipoksia dan memecah. Pada miokardium di temukan perdarahan dan nekrosis, paling sering di muskulus papilaris ventrikal kiri. Pada penampang memanjangnya, tampak bagian ujung muskulus papilaris berbercak-bercak perdarahan atau bergaris-garis seperti kipas berjalan dari tempat insersio tendinosa ke dalam otak. Ditemukan eritema dan vesikal / bula pada kulit dada, perut, luka, atau anggota gerak badan, baik di tempat yang tertekan maupun yang tidak tertekan. Kelainan tersebut di sebabkan oleh hipoksia pada kapiler-kapiler bawah kulit. Pneunomonia hipostatik paru mudah terjadi karena gangguan peredaran darah. Dapat terjadi trombosis arteri pulmonalis.

2) Keracunan SianidaSianida (CN) merupakan racun yang sangat toksik, karena garam sianida dalam takaran kecil sudah cukup untuk menimbulkan kematian pada seseorang dengan cepat. Kematian akibat keracunan CN umumnya terjadi pada kasus bunuh diri dan pembunuhan. Tetapi mungkin pula terjadi akibat kecelakaan di laboratorium, pada penyemprotan (fumigasi) dalam pertanian dan penyemprotan di gudang-gudang kapal (7).Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan SianidaPada pemeriksaan korban mati, pada pemeriksaan bagian luar jenazah, dapat tercium bau amandel yang patognomonig untuk keracunan CN, dapat tercium dengan cara menekan dada mayat sehingga akan keluar gas dari mulut dan hidung. Bau tersebut harus cepat dapat ditentukan karena indra pencium kita cepat teradaptasi sehingga tidak dapat membaui bau khas tersebut. Harus dingat bahwa tidak semua orang dapat mencium bau sianida karena kemampuan untuk mencium bau khas tersebut bersifat genetik sex-linked trait (7).Sianosis pada wajah dan bibir, busa keluar dari mulut, dan lebam mayat berwarna terang, karena darah vena kaya akan oksi-Hb. Tetapi ada pula yang mengatakan karena terdapat Cyanmet-Hb. Pada pemeriksaan bedah jenazah dapat tercium bau amandel yang khas pada waktu membuka rongga dada, perutdan otak serta lambung (bila racun melalui mulut) darah, otot dan penampang tubuh dapat berwarna merah terang. Selanjutnya hanya ditemukan tanda-tanda asfiksia pada organ tubuh (7).Pada korban yang menelan garam alkalisianida, dapat ditemukan kelainan pada mukosa lambung berupa korosi dan berwarna merah kecoklatan karena terbentuk hematin alkali dan pada perabaan mukosa licin seperti sabun. Korosi dapat mengakibatkan perforasi lambung yang dapat terjadi antemortal atau posmortal (7).

3) Keracunan Arsen (As)Senyawa arsen dahulu sering mengunakan sebagai racun untuk membunuh orang lain, dan tidaklah mustahil dapat ditemukan kasus keracunan dengan arsen dimasa sekarang ini. Disamping itu keracunan arsen kadang-kadang dapat terjadi karena kecelakaan dalam industri dan pertanian akibat memakan/meminum makanan/minuman yang terkontaminasi dengan arsen. Kematian akibat keracunan arsen sering tidak menimbulkan kecurigaan karena gejala keracunan akutnya menyerupai gejala gangguan gastrointestinal yang hebat sehingga dapat didiagnosa sebagai suatu penyakit (7). Pemeriksaan Kedokteran Forensik AsKorban mati keracunan akut. Pada pemeriksaan luar ditemukan tanda-tanda dehidrasi. Pada pembedahan jenazah ditemukan tanda-tanda iritasi lambung, mukosa berwarna merah, kadang-kadang dengan perdarahan (flea bitten appearance). Iritasi lambung dapat menyebabkan produksi musin yang menutupi mukosa dengan akibat partikel-partikel As berwarna kuning sedangkan As2O3 tampak sebagai partikel berwarna putih (7).Pada jantung ditemukan perdarahan sub-endokard pada septum. Histologik jantung menunjukkan infiltrasi sel-sel radang bulat pada miokard. Sedangkan organ lain parenkimnya berwarna putih. Korban mati akibat keracunan arsin. Bila korban cepat meninggal setelah menghirup arsen, akan terlihat tanda-tanda kegagalan kardiorespirasi akut. Bila meninggalnya lambat, dapat ditemukan ikterus dengan anemia hemolitik, tanda-tanda kerusakan ginjal berupa degenerasi lemak dengan nekrosis fokal serta nekrosis tubuli. Korban mati akibat keracunan kronik. Pada pemeriksaan luar tampak keadaan gizi buruk. Pada kulit terdapat pigmentasi coklat (melanosis arsenik) (7).

Gambar 2. Melanosis arsenik

4) Keracunan AlkoholAlkohol banyak terdapat dalam berbagai minuman dan sering menimbulkan keracunan. Keracunan alkohol menyebabkan penurunan daya reaksi atau kecepatan, kemampuan untuk menduga jarak dan ketrampilan mengemudi sehingga cenderung menimbulkan kecelakaan lalu-lintas di jalan, pabrik dan sebagainya. Penurunan kemampuan untuk mengontrol diri dan hilangnya kapasitas untuk berfikir kritis mungkin menimbulkan tindakan yang melanggarhukum seperti perkosaan, penganiayaan, dan kejahatan lain ataupun tindakan bunuh diri (7).

Pemeriksaan Kedokteran Forensik Keracunan AlkoholPada orang hidup, bau alkohol yang keluar dari udara pernapasan merupakan petunjuk awal. Petunjuk ini harus dibuktikan dengan pemeriksaan kadar alkohol darah, baik melalui pemeriksaan udara pernapasan atau urin, maupun langsung dari darah vena. Kelainan yang ditemukan pada korban mati tidak khas, Mungkin ditemukan gejala-gejala yang sesuai dengan asfiksia. Seluruh organ menunjukkan tanda perbendungan, darah lebih encer, berwarna merah gelap. Mukosa lambung menunjukkan tanda perbendungan, kemerahan dan tanda inflamasi tapi kadang-kadang tidak ada kelainan (7).Organ-organ termasuk otak dan darah berbau alkohol. Pada pemeriksaan histopatologik dapat dijumpai edema dan pelebaran pembuluh darah otak dan selaput otak, degenerasi bengkak keruh pada bagian parenkim organ dan inflamasi mukosa saluran cerna. Pada kasus keracunan kronik yang, meninggal, jantung dapat memperlihatkan fibrosis interstisial, hipertrofi serabut otot jantung, sel-sel radang kronik pada beberapa tempat, gambaran seran lintang otot jantung menghilang, hialinisasi, edema dan vakuolisasi serabut otot jantung. Schneider melaporkan miopati alhokolik akut dengan miohemoglobinuri yang disebabkan oleh nekrosis tubuli ginjal dan kerusakan miokardium (7).

BAB IIIKESIMPULAN

Toksikologi adalah studi mengenai perilaku dan efek yang merugikan dari suatu zat terhadap organisme/mahluk hidup. Dalam toksikologi, dipelajari mengenai gejala, mekanisme, cara detoksifikasi serta deteksi keracunan pada sistim biologis makhluk hidup. Toksikologi sangat bermanfaat untuk memprediksi atau mengkaji akibat yang berkaitan dengan bahaya toksik dari suatu zat terhadap manusia dan lingkungannya.Toksikologi forensik merupakan ilmu terapan yang dalam praktisnya sangat didukung oleh berbagai bidang ilmu dasar lainnya, seperti kimia analisis, biokimia, kimia instrumentasi, farmakologi toksikologi, farmakokinetik, dan biotransformasi.Adanya penerapan toksikologi forensik ini untuk membantu investigasi medikolegal dalam kasus kematian, keracunan maupun penggunaan obat-obatan. Dalam hal ini, toksikologi mencakup pula disiplin ilmu lain seperti kimia analitik, farmakologi, biokimia dan kimia kedokteran.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adiwisastra, A., 1985, Keracunan, Sumber, Bahaya serta Penanggulangannya, Angkasa, Bandung.

2. Bell, S. Forensic Chemistry. Pearson Education Inc., 2006.

3. Budiawan. Peran Toksikologi Forensik dalam Mengungkap Kasus Keracunan

4. Casarett, L.J. and Doull, J. Toxicology, the Basic Science of Poisons. McGraw-Hill Companies, Inc., New York, 1991

5. Hadikusumo, Nawawi, 1997, Ilmu Kedokteran Forensik, IKF III, FK Universitas Gajah Mada.

6. Idries, A.M., dkk, 1985, Ilmu Kedokteran Kehakiman, PT. Gunung Agung, Jakarta.

7. Thienes, Clinton H., 1972, Clinical Toxicology, Heurg kimpton Publishers, London, Great Britain.

1