Upload
andhika-hadi-wirawan
View
261
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
,
Citation preview
MAKALAH
PENATALAKSANAAN EPISTAKSIS DAN OMSK SUSPEK KOMPLIKASI INTRAKRANIAL
Oleh :
Andhika Hadi Wirawan
1102010020
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO
PERIODE 5 Januari 2015 – 9 Februari 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
1. EPISTAKSIS
1.1 Anatomi
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,jaringan ikat
dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka
tulang terdiri dari os nasal, prosesus frontalis os maksila,dan prosesus nasalis os frontalis. Kerangka
tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis
superior,sepasang kartilago nasalis lateralis inferior,tepi anterior kartilago septum.(1,2,3)
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dipisahkan oleh septum nasi di bagian
tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding. Dinding
medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan dan periosteum pada bagian tulang sedangkan di luarnya
dilapisi oleh mukosa hidung.(2,3)
Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu konka inferior,media,superior,dan suprema yang
biasanya rudimenter. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang
disebut meatus.Ada 3 meatus yaitu meatus inferior,media,dan superior. Di meatus nasi bermuara sinus-
sinus paranasalis. Dan yang di inferior bermuara duktus nasolakrimalis Dinding inferior rongga hidung
dibentuk oleh os maksila dan palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh
lamina kribriformis.(3)
Gambar 1 : Dinding Nasi Lateral(2)
1.2 Vaskularisasi Hidung
Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna dan karotis interna.
Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi melalui :
1) Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen
sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral hidung.
2) Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan melalui kanalis
incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum nasi. Sistem karotis interna
melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang mendarahi
septum dan dinding lateral superior. (4)
Gambar 2 : Vaskularisasi hidung(2)
Gambar 3 : Pleksus Kiesselbach(4)
1.3 Innervasi Hidung
Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anteior,
yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus (N. V 1). Rongga
hidung lainnya, sebagian besarnya mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion
sfenopalatina.
Gangglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan
vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari nervus
maksila (N. V2), serabut parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis
dari nerus petrosus profundus. Gangglion sfenopalatina terletak di belakan dan sedikit di atas ujung
posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel- sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
1.4 Fisiologi Hidung
1.4.1 Fungsi Respirasi
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu udara yang melalui
hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas. Partikel debu, virus, bakteri,
dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh : rambut (vibrissae) pada vestibulum
nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar
akan dikeluarkan dengan reflex bersin.(4,5)
1.4.2 Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya mukosa olfaktorius pada
atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah
ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk
membantu indra pencecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam
bahan.(5)
Gambar 4 : Regio mukosa(5)
1.4.3 Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia).
Terdapat 2 jenis rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi akibat kelumpuhan anatomis atau kerusakan
tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering terjadi karena stroke dan rhinolalia oklusa yang terjadi
akibat sumbatan benda cair (ketika pilek) atau padat (polip, tumor, benda asing) yang menyumbat.(5,6)
1.4.4 Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan saluran cerna,
kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan reflex bersin dan napas
berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung, dan pancreas.(6)
1.5 Epistaksis
1.5.1 Definisi
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau
nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang hampir 90 %
dapat berhenti sendiri(1,3). Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat mengganggu dan
dapat mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara
efektif(3).
1.5.2 Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung.
Delapan puluh persen perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus Kiesselbach (area Little). Pleksus
Kiesselbach terletak di septum nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat
pembuluh darah yang kaya anastomosis(4). Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan umum
atau kelainan sistemik:(3,4,5,6).
1.5.2.1 Lokal
a) Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan ringan, bersin
atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul,
jatuh atau kecelakaan lalu lintas. Trauma karena sering mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan
perdarahan di mukosa bagian septum anterior. Selain itu epistaksis juga bisa terjadi akibat adanya benda
asing tajam atau trauma pembedahan.(1,2)
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di
tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami
pembengkakan. Bagian anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran
udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan
usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan
erosi membrana mukosa septum dan kemudian perdarahan. (1,2,3)
Benda asing yang berada di hidung dapat menyebabkan trauma local, misalnya pada pipa nasogastrik
dan pipa nasotrakea yang menyebakan trauma pada mukosa hidung.(2)
Trauma hidung dan wajah sering menyebabkan epistaksis. Jika perdarahan disebabkan karena laserasi
minimal dari mukosa biasanya perdarahan yang terjadi sedikit tetapi trauma wajah yang berat dapat
menyebabkan perdarahan yang banyak.(3,4)
b) Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau sinusitis.(4)
Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak mukosa. Inflamasi akan menyebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat sehingga memudahkan terjadinya perdarahan di
hidung.(4,5)
c) Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermiten, kadang-kadang
ditandai dengan mukus yang bernoda darah, Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis
berat. Karena pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan pembuluh darah yang
baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga memudahkan terjadinya perdarahan.(5,6)
d) Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan telangiektasis heriditer
(hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease). Juga sering terjadi pada Von Willendbrand
disease. Telengiectasis hemorrhagic hereditary adalah kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi
pelebaran kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudah kan terjadinya perdarahan.(6)
Jika ada cedara jaringan, terjadi kerusakan pembuluh darah dan akan menyebabkan kebocoran darah
melalui lubang pada dinding pembuluh darah. Pembuluh dapat rusak dekat permukaan seperti saat
terpotong. Atau dapat rusak di bagian dalam tubuh sehingga terjadi memar atau perdarahan dalam. (7)
Jika pembuluh darah terluka, ada empat tahap untuk membentuk bekuan darah yang normal.(7)
Gambar 5a. Pembekuan darah normal Gambar 5b. Pembekuan darah tidak normal
Tahap 1 Pembuluh darah terluka dan mulai mengalami perdarahan.
Tahap 2 Pembuluh darah menyempit untuk memperlambat aliran darah ke daerah yang luka.
Tahap 3 Trombosit melekat dan menyebar pada dinding pembuluh darah yang rusak. Ini disebut adesi
trombosit. Trombosit yang menyebar melepaskan zat yang mengaktifkan trombosit lain
didekatnya sehingga akan menggumpal membentuk sumbat trombosit pada tempat yang
terluka. Ini disebut agregasi trombosit.
Tahap 4 Permukaan trombosit yang teraktivasi menjadi permukaan tempat terjadinya bekuan darah.
Protein pembekuan darah yang beredar dalam darah diaktifkan pada permukaan trombosit
membentuk jaringan bekuan fibrin.
Protein ini (Faktor I, II, V, VII, VIII, IX, X, XI, XII dan XIII dan Faktor Von Willebrand ) bekerja seperti
kartu domino, dalam reaksi berantai. Ini disebut cascade.
Gambar 6a. cascade koagulasi normal(7) Gambar 6b. cascade koagulasi hemophilia(7)
VWD dapat terjadi pada dua tahap terakhir pada proses pembekuan darah.(6,7)
1. Pada tahap ke 3, seseorang dapat berkemungkinan tidak memiliki cukup Faktor Von Willebrand
(VWF) di dalam darahnya atau faktor tersebut tidak berfungsi secara normal. Akibatnya VWF
tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk menyangga trombosit di sekitar daerah pembuluh
darah yang mengalami kerusakan. Trombosit tidak dapat melapisi dinding pembuluh darah.
2. Pada tahap ke 4, VWF membawa Faktor VIII. Faktor VIII adalah salah satu protein yang
dibutuhkan untuk membentuk jaringan yang kuat. Tanpa adanya faktor VIII dalam dalam jumlah
yang normal maka proses pembekuan darah akan memakan waktu yang lebih lama. Akibatnya
VWF tidak dapat bertindak sebagai perekat untuk menyangga trombosit di sekitar daerah
pembuluh darah yang mengalami kerusakan.
e) Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa. Epistaksis sering terjadi pada
udara yang kering dan saat musim dingin yang disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal selain itu
bisa di sebabkan oleh zat-zat kimia yang bersifat korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa
sehingga pembuluh darah gampang pecah.(4,5)
f) Deviasi septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi dari letaknya
yang berada di garis medial tubuh. Selain itu dapat menyebabkan turbulensi udara yang dapat
menyebabkan terbentuknya krusta. Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan oleh trauma yang sangat
ringan seperti mengosok-gosok hidung.(2,3)
1.5.2.2 Sistemik
a) Kelainan darah
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah trombositopenia, hemofilia dan
leukemia.
Trombosit adalah fragmen sitoplasma megakariosit yang tidak berinti dan dibentuk di sumsum
tulang. Trombosit berfungsi untuk pembekuan darah bila terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh darah
yang rusak akan melepaskan serotonin dan tromboksan A₂ (prostaglandin), hal ini menyebabkan otot
polos dinding pembuluh darah berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi darah yang hilang.
Kemudian trombosit membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada serabut kolagen dinding
pembuluh darah yang rusak danmembentuk plug trombosit. Trombosit juga akan melepas ADP untuk
mengaktivasi trombosit lain, sehingga mengakibatkan agregasi trombosit untuk memperkuat plug.
Trombositopenia adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/ µl. Trombositopenia
akan memperlama waktu koagulasi dan memperbesar resiko terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah
kecil di seluruh tubuh sehingga dapat terjadi epistaksis pada keadaan trombositopenia. (4,5)
Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan secara X-linked resesif.
Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme hemostasis herediter, dimana terjadi defisiensi atau
defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia
tidak dapat membeku dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan darah berjalan amat lambat.
Hal ini dapat menyebabkan terjadinya epistaksis(4,5,6)
Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih yang diproduksi
oleh .sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang atau bone marrow ini dalam tubuh manusia
memproduksi tiga tipe sel darah diantaranya sel darah putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan
infeksi), sel darah merah (berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit (bagian kecil sel
darah yang membantu proses pembekuan darah). Pada Leukemia terjadi peningkatan pembentukan sel
leukosit sehingga menyebabkan penekanan atau gangguan pembentukan sel-sel darah yang lain di
sumsum tulang termasuk trombosit. Sehingga terjadi keadaan trombositpenia yang menyebabkan
perdarahan mudah terjadi.(4,5,6)
Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula mempredisposisi
epistaksis berulang. Aspirin mempunyai efek antiplatelet yaitu dengan menginhibisi produksi
tromboksan, yang pada keadaan normal akan mengikat molekul-molekul trombosit untuk
membuat suatu sumbatan pada dinding pembuluh darah yang rusak. Aspirin dapat menyebabkan
peoses pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat terjadi perdarahan. Oleh karena
itu,aspirin dapat menyebabkan epistaksis.(3)
b) Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, sirosis hepatis, diabetes melitus
dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan
prognosisnya tidak baik.(3,4,5)
1. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHG dan tekanan
darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis sering terjadi pada tekanan darah tinggi karena
kerapuhan pembuluh darah yang di sebabkan oleh penyakit hipertensi yang kronis terjadilah
kontraksi pembuluh darah terus menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya pembuluh darah
yang tipis.(4,5)
2. Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi keadaan tekanan darah
meningkat, pembuluh darah tidak bisa mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan
rupture dari pembuluh darah.(5)
3. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan koagulasi
darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada
sirosis hepatis fungsi sintesis protein-protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan
darah terganggu sehingga mudah terjadinya perdarahan. Sehingga epistaksis bisa terjadi pada
penderita sirosis hepatis.(6)
4. Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan mikroangiopati dan
makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat menyebabkan sel endotelial pada pembuluh
darah mengambil glukosa lebih dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada
permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal membran semakin menebal dan lemah.
Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah sehingga mudah terjadi perdarahan.
Sehingga epistaksis dapat terjadi pada pasien diabetes mellitus.(3,4)
c) Infeksi akut
Demam berdarah
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain
mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi
sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan
menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan
kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin
di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama iain. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi
trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya
koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan
FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan. Oleh karena
itu epistaksis sering terjadi pada kasus demam berdarah.(3,4,5)
d) Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di pembuluh darah yang
menuju ke semua membran mukosa di tubuh termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa
bengkak dan rapuh dan akhirnya terjadinya epistaksis.(4)
e) Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga menyebabkan terjadinya
sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini menyebabkan terjadinya hipoksia dan kematian sel.
Selain itu hal ini menyebabkan peningkatan tekanan intravascular yang dapat mengakibatkan
pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi epistaksis.(5)
2.5.3 Patofisiologi
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang sukar ditanggulangi.
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari bagian anterior dan posterior.(6)
1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan sumber perdarahan paling
sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat
berhenti sendiri (spontan) dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana(3,5,6).
Gambar 7: Epistaksis anterior(6)
2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid posterior. Perdarahan
cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia,
hipovolemi dan syok. Sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular(3,5,6).
Gambar 8. Epistaksis posterior(6)
1.5.4 Gambaran Klinis dan Pemeriksaan
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung.
Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang
terbanyak mengeluarkan darah(5).
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan oleh mengorek hidung
menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan.
Penting mendapatkan riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol
terperinci harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan. Aspirin
merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan pemanjangan atau perdarahan. Penting
mengenal bahwa efek ini berlangsung beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen
dalam sangat banyak produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang mengubah
fungsi pembekuan secara bermakna(6).
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala, speculum hidung dan alat
penghisap(bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain kassa (6).
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang
memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi
dalam hidung.(6)
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam
hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan
dalam hidung diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung
dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2%
atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan
rasa sakit dan membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk
sementara(3,5,7). Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi(7).
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik
memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas
utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa(5,6):
a) Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior.
Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkha inferior harus
diperiksa dengan cermat.
Gambar 9 : Rhinoskopi Anterior(7)
b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis
berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma(7)
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat
menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.(7)
d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau infeksi.(4,5)
e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan penyakit lainnya.(5)
Gambar 10: Tampilan endoskopi epistaksis posterior(5)
f) Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah
platelet dan waktu perdarahan. (6)
g) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari
epistaksis.(6)
1.5.5 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan perdarahan. Hal-hal yang penting
dicari tahu adalah(1,5,6):
1. Riwayat perdarahan sebelumnya.
2. Lokasi perdarahan.
3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar dari hidung depan
(anterior) bila pasien duduk tegak.
4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya
5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
6. Hipertensi
7. Diabetes melitus
8. Penyakit hati
9. Gangguan koagulasi
10. Trauma hidung yang belum lama
11. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu : menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu kedaan umum pasien (6).
Tindakan yang dapat dilakukan antara lain:(3,6,7)
a) Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita
sangat lemah atau keadaaan syok.
b) Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan cara
duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping hidung ditekan ke arah septum selama
beberapa menit (metode Trotter).(7)
‘;
Gambar 11. Metode Trotter(7)
c) Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan
adrenalin dan pantokain/ lidokain, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan
darah. (3,4,5)
d) Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik
dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter.
Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih dahulu.(4)
e) Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon
anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat
antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita
dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga
hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan
selama 1-2 hari. (5,6)
Gambar 12 :Tampon anterior(6)
f) Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq, dibuat
dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu
sisi dan sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior).
Setiap pasien dengan tampon Bellocque harus dirawat.(6,7)
Gambar 17: Tampon Bellocque(7)
g) Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan balon. Balon diletakkan di
nasofaring dan dikembangkan dengan air. (7)
Gambar 18. Tampon posterior dengan Kateter Foley(7)
h) Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat hemostatik. Akan tetapi ada yang
berpendapat obat-obat ini sedikit sekali manfaatnya. (7)
i) Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan
pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah sakit.(7)
1.5.6 Komplikasi
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya. Akibat
pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis (karena ostium sinus tersumbat), air mata yang
berdarah (bloody tears) karena darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan
septikemia. Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media, haemotympanum, serta
laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.(1,2,3)
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan darah yang turun
mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi koroner dan infark miokard dan akhirnya
kematian. Harus segera dilakukan pemberian infus atau transfusi darah(6).
1.5.7 Diagnosis Banding
Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir keluar dari hidung
seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah, perdarahan di basis cranii yang kemudian darah
mengalir melalui sinus sphenoid ataupun tuba eustachius.(2,3)
1.5.8 Pencegahan
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya epistaksis antara lain :(3)
a. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat dibeli, pada kedua lubang
hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk membuat tetes larutan ini dapat mencampur 1 sendok the
garam ke dalam secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai hangat kuku.
b. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
c. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan masukkan cotton bud
melebihi 0,5 – 0,6cm ke dalam hidung.
d. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
e. Bersin melalui mulut.
f. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
g. Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti aspirin atau ibuprofen.
h. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi biasa.
i. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan menyebabkan iritasi. Saat
pertama kali datang, pasien mungkin tidak dalam keadaan perdarahan aktif, namun mempunyai
riwayat epistaksis berulang dalam beberapa minggu terakhir.
j. Biasanya berupa serangan epistaksis ringan yang berulang beberapa kali.Pemeriksaan hidung dalam
keadaan ini dapat mengungkap adanya pembuluh-pembuluh yang menonjol melewati septum
anterior, dengan sedikit bekuan darah. Pembuluh tersebut dapat dikauterisasi secara kimia atau listrik.
k. Penggunaan anestetik topical dan agen vasokonstriktor, misalnya larutan kokain 4% atau Xilokain
dengan epinefrin, selanjutkan lakukan kauterisasi, misalnya dengan larutan asam trikloroasetat 50%
pada pembuluh tersebut.
l. Perdarahan berulang dari suatu pembuluh darah septum dapat diatasi dengan meninggikan mukosa
setempat dan kemudian membiarkan jaringan menata dirinya sendiri, atau dengan merekonstruksi
deformitas septum dasar, untuk menghilangkan daerah-daerah atrofi setempat dan lokasi tegangan
mukosa.
m. Pada perdarahan hidung ringan yang berulang dengan asal yang tidak diketahui, dokter harus
menyingkirkan tumor nasofaring atau sinus paranasalis yang mengikis pembuluh darah. Sinusitis
kronik merupakan penyebab lain yang mungkin. Akhirnya pemeriksa harus mencari gangguan
patologik yang terletak jauh seperti penyakit ginjal dan uremia, atau penyakit sistemik seperti
gangguan koagulasi. Agar epistaksis tidak berulang, haruslah dicari dan diatasi etiologi dari
epistaksis.
1.5.9 Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri. Pada pasien hipertensi
dengan/tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk(6)
KESIMPULAN
Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu penyakit, yang
disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan tertentu. Epistaksis bisa bersifat ringan
sampai berat yang dapat berakibat fatal. Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua
kelompok besar yaitu sebab lokal dan sebab sistemik. Epistaksis dibedakan menjadi dua berdasarkan
lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Dalam memeriksa pasien dengan epistaksis
harus dengan alat yang tepat dan dalam posisi yang memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya
sendiri
Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan
mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk memeriksa pasien dengan
epistaksis antara lain dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen
sinus atau dengan CT-Scan atau MRI, endoskopi, skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat penyakit
pasien. Tindakan-tindakan yang dilakukan pada epistaksis adalah:
1. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk kecuali bila penderita
sangat lemah atau keadaaan syok.
2. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat dihentikan dengan metode
Trotter
3. Tentukan sumber perdarahan
4. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan analgesia topikal terlebih dahulu
5. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika.
6. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq7. Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat hemostatik. Akan tetapi ada yang
berpendapat obat-obat ini sedikit sekali manfaatnya. (7)
8. Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan
pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus dirujuk ke rumah sakit.(7)