Upload
bermas-meirinaldi-arafat
View
180
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
hukum
Citation preview
Makalah Tentang Peran Hakim Ad hoc Dalam Menghadapi Kasus Tindak Pidana Korupsi Di Pengadilan Tipikor
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sesuai dengan pendapat L.A Hart seorang filosuf positivis yang mendoktrinkan bahwa
hukum tidak akan berjalan tanpa perintah karena hakikat hukum itu adalah perintah, dan hukum
tidaklah berarti tanpa adanya suatu otoritas yang karenanya hukum dipatuhi. Akan tetapi apabila
kita melihat doktrin yang bersebrangan yaitu mazhab sejarah, dimana perintah dan otoritas
tidaklah selalu mutlak yang karenanya hukum itu dipatuhi karena hakikat hukum itu adalah jiwa
bangsa yang mencerminkan kepribadian hukum negara tersebut. Sedangkan apabila kita menoleh
pendapat seorang fiosuf sekaligus sosiolog Amerika Lawrence M. Friedman dalam bukunya
Elment of a Legal System yang mengatakan konsepsi pembaharuan hukum pidana sebagai suatu
kebijakan untuk menanggulangi masalah korupsi harus dilakukan sebagai suatu pembaharuan
yang bersifat terhadap legal system yang meliputi baik pembaharuan substansi hukum (legal
substence), struktur hukum (legal structure), maupun budaya hukum (legal culture).[1]
Negara kita tidak perlu kebingungan untuk mengikuti doktrin yang mana, agar
pemberantasan korupsi di negara kita cepat hilang. Karena alangkah lebih baik, kita sebagai
negara berkembang yang sedang terjangkit virus korupsi untuk menggabungkan ketiga doktrin
tersebut, karena teori dan doktrin yang baik harus diambil dan dielaborasikan dengan sistem
yang sedang berjalan di negara kita. Kita sebenarnya telah memiliki institusi yang khusus
bergerak dalam memberantas korupsi yaitu KPK dalam hal ini sebagai otoritas kewenangan dan
legal structure yang juga telah didukung dengan institusi lainnya, Mahkamah Agung,
Kepolisian, dan Kejaksaan sehingga terlaksana dan terjaminnya integritas sistem yang baik.
Sedangkan kita juga telah memiliki pengadilan khusus tipikor yang dalam hal sebagai legal
substence yang melakukan tugasnya sesuai undang-undang dengan penunjang keadilannya
seorang hakim yang dengan mandat janjinya akan melakukan tugas dengan sebaik-baiknya.
Legal culture yang menuntut adanya suatu budaya hukum yang hidup di tengah
masyarakat, haruslah juga hidup di tengah-tengah penegak hukum, apalagi seorang hakim yang
ditangannyalah keadilan itu ditentukan. Seorang hakim khususnya tipikor (yang dalam hal ini
hakim karir dan hakim adhoc) haruslah memiliki nilai integritas dan moral yang tinggi, karena
pada hakikatnya jabatan ini sangatlah sakral yang mereka telah di sumpah untuk melakukan
tugasnya dengan sebaik-baiknya sesuai prosedur hukum yang berlaku. Maka dalam tulisan ini
penulis hendak memaparkan bagaimana sebenarnya seorang hakim bersikap dalam menjalankan
tugasnya dan apa saja kewenangannya khususnya dalam hal menangani tipikor (dalam hal ini
hakim adhoc).
B. Rumusan Masalah
A. Terminologi dan Problematika Korupsi.
B. Prospektifitas Pengadilan Tipikor.
C. Kedudukan Hakim Dalam Kekuasaan Kehakiman Ditinjau Dari Etika Berprofesi.
D. Pengakuan dan Eksistensi Hakim Adhoc Dalam Sistem Pengadilan Tipikor.
C. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penyelesaian makalah ini adalah pendekatan kepustakaan, dengan
mempelajari buku-buku dan karya tulisan lainnya yang berkaitan dengan materi makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Terminologi dan Problematika Korupsi
1. Pengertian Korupsi
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang jika dilihat dari struktrur
bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai makna yang
sama. Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio. Selanjutnya disebutkan bahwa corruption
itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata latin yang lebih tua. Dari bahasa itulah
turun kebanyak bahasa Eropa seperti corruption dan corrupt dalam bahasa Inggris, dan korruptie
dalam bahasa Belanda. Dengan demikian, dari bahasa Belanda inilah kata itu turun ke bahasa
Indonesia yaitu korupsi.[2] Sedangkan Kartono memberi batasan korupsi sebagai tingkah laku
individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeduk keuntungan pribadi,
merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah
urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan
negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan
hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan dalam 13
buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi
dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan
secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketiga
puluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
a. Kerugian keuangan negara
b. Suap-menyuap
c. Penggelapan dalam jabatan
d. Pemerasan
e. Perbuatan curang
f. Benturan kepentingan dalam pengadaan
g. Gratifikasi
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dimiliki
oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau
keluarga, sanak saudara dan teman. Penelusuran terhadap makna korupsi dengan
mengungkapkan ciri-ciri korupsi itu sendiri seperti yang ditulis Syed Hussien Alatas dapat
membantu kita untuk memahami makna konseptual dari korupsi. Syed Hussein Alatas
mengungkapkan beberapa ciri dari korupsi, yaitu:[3]
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang.
b. Korupsi pada umumnya melibatkan keserbarahasiaan, kecuali ia telah begitu merajalela, dan
begitu mendalam berurat berakar, sehingga individu-individu yang berkuasa, atau mereka yang
berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatan mereka.
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi
perbuatannya dengan berlindung di balik pembenaran hukum.
e. Mereka yang terlibat korupsi adalah mereka yang menginginkan keputusan-keputusan yang
tegas, dan mereka yang mampu mempengaruhi keputusan-keputusan tersebut.
f. Setiap tindakan korupsi mengandung penipuan.
g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.
h. Setiap tindakan korupsi melibatkan fungsi ganda yang kontradiktif dari mereka yang melakukan
tindakan itu.
i. Suatu tindakan korupsi melanggar norma-norma tugas dan pertanggungjawaban dalam tatanan
masyarakat.
2. Sebab-sebab Terjadinya Korupsi
Para pakar telah banyak dan merumuskan penyebab-penyebab maraknya tindak pidana
korupsi, diantaranya: Erry R.Hardjapamekas, ia menyebutkan tingginya kasus korupsi di negeri
ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya:
a. Kurang keteladanan dan kepemimpinan elite bangsa,
b. Rendahnya gaji Pegawai Negeri Sipil,
c. Lemahnya komitmen dan konsistensi penegakan hukum dan peraturan perundangan,
d. Rendahnya integritas dan profesionalisme,
e. Mekanisme pengawasan internal di semua lembaga perbankan, keuangan, dan birokrasi belum
mapan,
f. Kondisi lingkungan kerja, tugas jabatan, dan lingkungan masyarakat, dan
g. Lemahnya keimanan, kejujuran, rasa malu, moral dan etika.
Sedangkan menurut Goenawan Wanaradja, Salah satu penyebab yang paling utama dan
sangat mendasar terjadinya Korupsi di kalangan para Birokrat, adalah menyangkut masalah
keimanan, kejujuran, moral, dan etika sang Birokrat itu sendiri. Sementara itu Merican
menyatakan sebab-sebab terjadinya korupsi adalah sebagai berikut :
a. Peninggalan pemerintahan kolonial.
b. Kemiskinan dan ketidaksamaan.
c. Gaji yang rendah.
d. Persepsi yang populer.
e. Pengaturan yang bertele-tele.
f. Pengetahuan yang tidak cukup dari bidangnya.
3. Akibat-akibat Korupsi
Berdasarkan pendapat para ahli, maka kami dapat menyimpulkan akibat-akibat korupsi
adalah sebagai berikut :
1. Tata ekonomi distruktif seperti larinya modal keluar negeri, gangguan terhadap perusahaan,
gangguan penanaman modal.
2. Tata sosial budaya seperti revolusi sosial, ketimpangan sosial.
3. Tata politik seperti pengambil alihan kekuasaan, hilangnya bantuan luar negeri, hilangnya
kewibawaan pemerintah, ketidakstabilan politik.
4. Tata administrasi seperti tidak efisien, kurangnya kemampuan administrasi, Hilangnya keahlian,
hilangnya sumber-sumber negara, keterbatasan kebijaksanaan pemerintah, pengambilan
tindakan-tindakan represif.
Secara umum akibat korupsi adalah merugikan negara dan merusak sendi-sendi
kebersamaan serta memperlambat tercapainya tujuan nasional bersama seperti yang tercantum
dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
4. Langkah-langkah Pemberantasan Korupsi
Korupsi tidak dapat dibiarkan berjalan begitu saja kalau suatu negara ingin mencapai
tujuannya, karena kalau dibiarkan secara terus menerus, maka akan terbiasa dan menjadi subur
dan akan menimbulkan sikap mental pejabat yang selalu mencari jalan pintas yang mudah dan
menghalalkan segala cara (the end justifies the means). Untuk itu, korupsi perlu ditanggulangi
secara tuntas dan bertanggung jawab. Ada beberapa upaya penggulangan korupsi yang
ditawarkan para ahli yang masing-masing memandang dari berbagai segi dan pandangan.
Penulis memberi saran penaggulangan korupsi yaitu agar pengaturan dan prosedur untuk
keputusan-keputusan administratif yang menyangkut orang perorangan dan perusahaan lebih
disederhanakan dan dipertegas, pengadakan pengawasan yang lebih keras, kebijaksanaan pribadi
dalam menjalankan kekuasaan hendaknya dikurangi sejauh mungkin, gaji pegawai yang rendah
harus dinaikkan dan kedudukan sosial ekonominya diperbaiki, lebih terjamin, satuan-satuan
pengamanan termasuk polisi harus diperkuat, hukum pidana dan hukum atas pejabat-pejabat
yang korupsi dapat lebih cepat diambil. Orang-orang yang menyogok pejabat-pejabat harus
ditindak pula. Karni Ilyas pernah mengatakan bahwa dalam menanggulangi korupsi, perlu sanksi
malu bagi koruptor yaitu dengan menayangkan wajah para koruptor di televisi, atau kerja paksa
di area umum, atau di arak dengan dandanan yang memalukan, karena menurutnya masuk
penjara tidak dianggap sebagai hal yang memalukan lagi.
Persoalan korupsi beraneka ragam cara melihatnya, oleh karena itu cara pengkajiannya
pun bermacam-macam pula. Korupsi tidak cukup ditinjau dari segi deduktif saja, melainkan
perlu ditinaju dari segi induktifnya yaitu mulai melihat masalah praktisnya (practical problems),
juga harus dilihat apa yang menyebabkan timbulnya korupsi. Kartono menyarankan
penanggulangan korupsi sebagai berikut :
a. Adanya kesadaran rakyat untuk ikut memikul tanggung jawab guna melakukan partisipasi
politik dan kontrol sosial, dengan bersifat acuh tak acuh.
b. Menanamkan aspirasi nasional yang positif, yaitu mengutamakan kepentingan nasional.
c. Para pemimpin dan pejabat memberikan teladan, memberantas dan menindak korupsi.
d. Adanya sanksi dan kekuatan untuk menindak, memberantas dan menghukum tindak korupsi.
e. Reorganisasi dan rasionalisasi dari organisasi pemerintah, melalui penyederhanaan jumlah
departemen, beserta jabatan dibawahnya.
f. Adanya sistem penerimaan pegawai yang berdasarkan “achievement” dan bukan berdasarkan
sistem “ascription”.
g. Adanya kebutuhan pegawai negeri yang non-politik demi kelancaran administrasi pemerintah.
h. Menciptakan aparatur pemerintah yang jujur.
i. Sistem budget dikelola oleh pejabat-pejabat yang mempunyai tanggung jawab etis tinggi,
dibarengi sistem kontrol yang efisien.
j. Re-registrasi (pencatatan ulang) terhadap kekayaan perorangan yang mencolok dengan
pengenaan pajak yang tinggi.
Berdasarkan pendapat para ahli diatas, maka dapat disimpulkan bahwa upaya
penanggulangan korupsi adalah sebagai berikut :
a. Membangun dan menyebarkan etos pejabat dan pegawai baik di instansi pemerintah maupun
swasta tentang pemisahan yang jelas dan tajam antara milik pribadi dan milik perusahaan atau
milik negara.
b. Mengusahakan perbaikan penghasilan (gaji) bagi pejabat dan pegawai negeri sesuai dengan
kemajuan ekonomi dan kemajuan swasta, agar pejabat dan pegawai saling menegakan wibawa
dan integritas jabatannya dan tidak terbawa oleh godaan dan kesempatan yang diberikan oleh
wewenangnya.
c. Menumbuhkan kebanggaan-kebanggaan dan atribut kehormatan diri setiap jabatan dan
pekerjaan. Kebijakan pejabat dan pegawai bukanlah bahwa mereka kaya dan melimpah, akan
tetapi mereka terhormat karena jasa pelayanannya kepada masyarakat dan negara.
d. Bahwa teladan dan pelaku pimpinan dan atasan lebih efektif dalam memasyarakatkan
pandangan, penilaian dan kebijakan.
e. Menumbuhkan pemahaman dan kebudayaan politik yang terbuka untuk kontrol, koreksi dan
peringatan, sebab wewenang dan kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.
f. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana menumbuhkan “sense of belonging ness”
dikalangan pejabat dan pegawai, sehingga mereka merasa peruasahaan tersebut adalah milik
sendiri dan tidak perlu korupsi, dan selalu berusaha berbuat yang terbaik.
B. Prospektifitas Pengadilan Tipikor
Tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerusakan dalam berbagai sendi kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara. Sehingga memerlukan penanganan yang luar biasa. Selain itu,
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu dilakukan secara terus-
menerus dan berkesinambungan serta perlu didukung dengan berbagai sumber daya, baik sumber
daya manusia maupun sumber daya lainnya seperti peningkatan kapasitas kelembagaan serta
peningkatan penegakan hukum guna menumbuhkan kesadaran dan sikap tindak masyarakat yang
antikorupsi. Salah satu sumber daya lainnya yang sangat esensial keberadaannya demi efektifnya
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah pengadilan tindak pidana
korupsi (Pengadilan Tipikor).
Pada tahun 2002, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (disingkat KPK) yang mana ketentuan Pasal 53 UU No.
30 Tahun 2002 tersebut mangamanatkan pembentukan Pengadilan Tipikor guna mendukung
kinerja KPK. Sejak saat itu, setiap perkara tipikor yang ditangani oleh KPK dilimpahkan proses
peradilaannya ke pengadilan tipikor tersebut. Namun belum empat tahun berkerja, eksistensi
pengadilan tipikor tersebut dibekukan oleh Mahkamah Kostitusi (MK) pada akhir 2006.
Berdasarkan Putusan Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006, tanggal 19 Desember 2006, MK
menyatakan keberadaan pengadilan tipikor – yang dasar pembentukannya ditentukan dalam
pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 – dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, sehinggga perlu diatur kembali Pengadilan Tipikor dengan
Undang-Undang yang baru.
MK membubarkan pengadilan tipikor dengan membatalkan pasal 53 UU No. 30 Tahun
2002 tentang KPK. Pasal itu sendiri mengatur tentang pembentukan pengadilan tipikor yang
bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara korupsi yang penuntutannya diajukan
oleh KPK. Alasannya, “kekhususan” pengadilan tipikor menyebabkan dualisme pengadilan
dalam satu lingkup peradilan, sehingga memberi legitimasi standar ganda dalam pemberantasan
korupsi. Mahkamah Konstitusi memberikan tenggang waktu 3 tahun untuk merubah pengadilan
tipikor yang berstandar ganda tersebut.[4] Putusan MK tersebut pada prinsipnya sejalan dengan
ketentuan pasal 24A ayat (5) UUD 1945 dan pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa pengadilan khusus hanya dapat
dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan umum yang dibentuk dengan Undang-Undang
tersendiri.
Pascaputusan MK tersebut, keberadaan undang-undang khusu tentang pengadilan tipikor
menjadi sebuah keniscayaan. Untungnya, putusan MK itu tidak berlaku serta merta. MK
memberi tenggang waktu 3 tahun kepada pemerintah RI dan DPR RI untuk membuat sebuah
undang-undang yang mengatur tentang pengadilan tindak pidana korupsi tersebut. Jika sampai
2009 pengadilan tipikor tidak terbentuk, konsekuensinya perkara-perkara tipikor akan kembali
diperiksa dipengadilan negeri. Rupanya batas waktu tiga tahun yang ditetapkan MK berhasil
dipenuhi penyelenggara negara, yang ditandai oleh pengesahan Undang-Undang Nomor 46
Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi oleh presiden Susilo Bambang
Yudhoyono di Jakarta pada 29 oktober 2009. Banyak hal krusial yang terdapat didalamnya, yaitu
antara lain tentang hakim pengadilan tipikor, hukum acara pengadilan tipikor, kedudukan
pengadilan tipikor, dan ruang ligkup wewenang pengadilan tipikor.[5] Akan tetapi penulis hanya
akan membahas perihal hakim pengadilan tipikor dan kedudukan pengadilan tipikor.
Sesuai dengan Pasal 2, 3, dan 4 Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi:
Pasal 2
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan
Peradilan Umum.
Pasal 3
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah
hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.
Pasal 4
Khusus untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
berkedudukan di setiap kotamadya yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan
negeri yang bersangkutan.
Pengadilan Tindak Pidana korupsi adalah sah kedudukannya sebagai pengadilan khusus
yang berada di bawah lingkungan peradilan umum, sedangkan dalam bagian penjelasan umum
UU No. 46 Tahun 2009 dinyatakan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi akan dibentuk di setiap
Ibu Kota kabupaten/Kota yang akan dilaksanakan secara bertahap mengingat ketersediaan sarana
dan prasarana. Namun untuk pertama kali, berdasarkan undang-undang ini pembentukan
pengadilan tipikor dilakukan pada setiap Ibu Koota Provinsi. Legalitas kekhususan pengadilan
yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tindak pidana korupsi
telah tertulis dan diperkuat dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 27 Ayat 1 dan 2
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi:
1. Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di
bawah Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
2. Ketentuan mengenai pembentukan pengadilan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam undang-undang.
Pengadilan Tipikor juga memiliki kekhususan yang terletak pada hukum acaranya yang
juga memiliki kekhususan tersendiri. Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan pada dasarnya dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam Pasal 25 UU No. 46 Tahun 2009. Dalam bagain penjelasan disebutkan
yang dimaksud dengan hukum acara pidana yang berlaku adalah UU No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 14 Tahun 1985 jo. UU No. 3 Tahun 2009
tentang Mahkamah Agung. Akan tetapi mengenai mekanisme pengadilan tipikor tetap sesuai
dengan apa yang tertera di KUHAP, yaitu meliputi pemeriksaan pendahuluan, penuntutan, dan
pemerikasaan akhir. Sedangkan mengenai prisip umum pengadilan tipikor relatif sama dengan
yang diatur dalam KUHAP, yakni independen dan tidak memihak, sederhana dan cepat,
transparan dan akuntabel.[6]
C. Kedudukan Hakim Dalam Kekuasaan Kehakiman Ditinjau Dari Etika Berprofesi
Undang-Undang Dasar Negara Repubilik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa
kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Ditegaskan
pula bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi dari ketentuan yang tercantum
dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah segala bentuk yang berkaitan dengan menjalankan
tujuan negara Indonesia harus berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu, untuk mewujudkan
tujuan negara sebagai negara hukum, maka dalam mencapai sasarannya, perlu dibentuk sebuah
lembaga peradilan yang mempunyai tugas menegakkan hukum di bumi Nusantara ini. Dalam
perkembangan ketatanegaraan kita, Undang-Undang yang mengatur mengenai Kekuasaan
Kehakiman telah mengalami beberapa kali perubahan yakni Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan diubah dengan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 mengenai Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Sejalan dengan perubahan tersebut, Indonesia telah resmi memiliki Mahkamah Konstitusi
yaitu dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagai pelaksana terhadap
Undang-Undang Dasar Pasal 24 Ayat (2) Yang berbunyi: Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Sebenarnya apabila kita melihat dan membaca dengan seksama Undang-Undang Dasar
Pasal 24 mengenai Kekuasaan Kehakiman, jelas terlihat adanya tumpang tindih kewenangan
antara Mahkamah Agung dan Mahkmah Konsitusi yakni terhadap Pasal 24A Ayat (1) dan Pasal
24C Ayat (1). Dimana sebenarnya awal dari maksud pembentukan Mahkamah Konsititusi adalah
untuk melindungi produk hukum yakni undang-undang dan peraturan perundang-undangan
dibawahnya yang dihasilkan DPR agar tidak berbenturan dengan konstitusi kita dengan dapat
mengujinya. Akan tetapi disisi lain Mahkamah Agung masih memiliki kewenangan untuk hal itu
yakni menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang,
yang seharusnya hal ini menjadi kewenangan mutlak dari Mahkamah Konstitusi. Maka untuk
kedepannya, khususnya ketiga hendak diadakan amandemen kelima Pasal yang mengatur
mengenai Kekuasaan Kehakiman harap ditinjau kembali agar jelas kedudukan kewenangan
antara dua lembaga tinggi ini, agar terciptanya check and balancies yang baik diantar keduanya.
Akan tetapi terlepas akan hal itu, disisi lain kita dapat melihat bagaimana seharusnya
kriteria seorang hakim agung dan hakim konstitusi, yang menurut Undang-Undang Dasar Pasal
24A Ayat (2): Hakim Agung harus memiliki intregitas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
professional. Dan berpengalaman di bidang hukum. Dan juga Undang-Undang Dasar Pasal 24C
Ayat (5): Hakim Konstitusi harus memiliki Intregitas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai
pejabat negara. Sehingga dengan berpedoman terhadap kedua pasal tersebut, jelas bahwa
seorang hakim agung dan hakim konstitusi haruslah memenuhi kriteria-kriteria tersebut bukan
hanya ketika diadakan seleksi didepan panitia seleksi dan ketika diadakannya wawancara tes
kemampuan di depan anggota DPR, akan tetapi jauh dari itu mereka harus menjaga kriteria
tersebut dan konsisten selama mereka memangku jabatan tersebut sehingga jangan sampai
terulang lagi kasus yang menimpa hakim agung yang menerima suap terulang kembali, yang
mana hal ini tentu saja mencoreng nama baik institusi kehakiman, mengikis kepercayaan
masyarakat para pencari keadilan dan telah melanggar janji suci seorang hakim agung dan hakim
konstitusi.
Kita sebagai pencari keadilan menginginkan akan kemerdekaan dan strelilnya lembaga
Mahkmah Agung ini, karena sesungguhnya ketika kemerdekaan dan strelilnya institusi ini
dipertanyakan maka hal ini juga pastinya akan berdampak sistemik terhadap jajaran lembaga
peradilannya dibawahnya, karena sesungguhnya Mahkamah Agung adalah benteng terakhir bagi
mereka pencari keadilan. Dengan demikian hakim agung dalam melaksanakn tugasnya harus
sesuai prosedur dan rambu-rambu kewenangan yang telah diatur oleh Undang-Undang, karena
bila melanggar maka seorang hakim agung dapat diberhentikan secara tidak hormat, sesuai
dengan apa yang diatur dalam Pasal 12 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
yang berbunyi: Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung
diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh presiden selaku Kepala Negara atas
usul Mahkamah Agung dengan alasan: (a) dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan;
(b) melakukan perbuatan tercela; (c) terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan
tugas kerjanya; (d) melanggar sumpah janji jabatan; (e) melanggar larangan yang dimaksud
Pasal (10).
Sedangkan mengenai lembaga peradilan dibawahnya, jelas dengan demikian para hakim
diluar hakim agung juga tidak jauh beda mengenai kode etik yang harus mereka jalankan, yakni
dalam menjalankan tugasnya harus sesuai dengan prosedur dan rambu-rambu kewenangan yang
diatur dalam Undang-Undang. Dimana mereka harus menepati janji suci mereka sebagai seorang
hakim, bertanggung jawab atas tugasnya terhadap Negara dan Tuhan yang Maha Esa, dan
menjalankan amanat mandat ini dengan sebaik-baiknya dan seksama, dan harus bebas dari
campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktif dan
rekomendasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh
undang-undang. Dengan demikian, jelas bahwa seorang hakim dalam menjalankan tugasnya
harus bebas dan merdeka namun tetap berada dalam rambu-rambu kewenangannya. Sedangkan
mengenai kewenangnan dalam menjatuhkan putusan tidaklah mutlak sifatnya harus sesuai
undang-undang, karena hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat berdasarkan Pancasila dengan
jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas-asas yang menjadi landasannya
melalui perkara-perkara yang dihadapinya, sehingga putusannya mencerminkan perasaan
keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.
Seorang hakim sesungguhnya dalam menjalankan tugasnya dalam keseharian sudah
diawasi oleh lambang kedinasaan yang tertera di setiap dada sebelah kiri seorang hakim.
Lambang atau logo tersebut terpampang dalam sebuah lencana yang berbentuk lonjong yang di
dalamnya terdapat simbol-simbol yang memiliki makna masing-masing. Untuk lebih
memaknainya, akan diuraikan secara tuntas sebagai berikut:[7]
1. KARTIKA (Bintang yang melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa) : bahwa seorang hakim
harus Percaya dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan
kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
2. CAKRA (Senjata ampuh dari dewi keadilan yang mampu memusnahkan segala kebatilan,
kezaliman, dan ketidakadilan) : bahwa seorang hakim harus Adil, dalam kedinasan seorang
hakim harus adil, tidak berprasangka atau berat sebelah (memihak), bersungguh-sungguh
mencari kebenaran dan keadilan, memutus berdasarkan keyakinan hati nurani, sanggup
mempertanggungjawabkan kepada Tuhan. Sedangkan diluar kedinasan seorang hakim harus
saling menghargai, berprilalu baik, tertib, dan lugas, dan berpandangan luas dan saling
pengertian.
3. CANDRA (Bulan menerangi segala tempat yang gelap, sinar penerangan dalam kegelapan):
bahwa seorang hakim harus Bijaksana/Berwibawa, dalam kedinasan seorang hakim harus
berkepribadian baik, bijaksana, berilmu, sabar, tegas, disiplin, dan penuh pengabdian terhadap
pekerjaan. Sedangkan diluar kedinasan seorang hakim dituntut untuk dapat dipercaya, penuh rasa
tanggung jawab, menumbuhkan rasa hormat, dan anggun dan berwibawa.
4. SARI (Bunga yang merebak wangi mengharumkan kehidupan masyarakat): bahwa seorang
hakim harus Berbudi Luhur/Berkelakuan Tidak Tercela, dalam kedinasan seorang hakim
harus tawakkal, sopan, ingin meningkatkan pengabdian dalam tugas, bersemangat ingin maju
meningkatkan nilai peradilan, dan tenggang rasa.
5. TIRTA (Air yang membersihkan segala kotoran di dunia) : bahwa seorang hakim harus Jujur,
dalam kedinasaan dia harus jujur, merdeka (tidak berpihak dan dan berdiri netral sesuai
kepentingan semua pihak), bebas dari pengaruh siapa pun juga. Sedangkan diluar kedinasan
seorang hakim harus jujur dalam berprilaku dan tidak boleh menyalahgunakan kepercayaan dan
kedudukan.
Dengan tetap berpedoman kepada aturan hukum yang berlaku, paling tidak seorang
hakim harus memiliki sikap yang luhur dan baik terhadap sesama rekan, atasan,
bawahan/pegawai, institusi lain, keluarga, dan masyarakat tentunya. Senada akan hal itu, seorang
hakim harus memiliki peran yang diwarnai oleh tiga syarat, yaitu:[8]
1. Tangguh, tangguh menghadapi keadaan dan kuat mental.
2. Terampil, artinya mengetahui dan menguasai segala peraturan perundang-undangan yang sudah
ada dan masih berlaku yang terkait.
3. Tanggap, artinya penyelesaian pemeriksaan perkara harus dilakukan dengan cepat, benar, serta
menyesuaikan diri dengan kehendak masyarakat.
D. Pengakuan dan Eksistensi Hakim Adhoc Dalam Sistem Peradilan Tipikor
Berbicara mengenai tindak pidana korupsi (selanjutnya disebut Tipikor) untuk sekarang
ini adalah perihal yang sedang hangat dibicarakan, apalagi ketika jilid ketiga KPK bergulir
dengan segala sepak terjangnya telah memasukkan sedikit demi sedikit para penjahat white
collar crime ke dalam jeruji besi, sebut saja seperti Nazaruddin eks Bendahara Umum DPP
Demokrat, Gayus Tambunan eks pegawai pajak, Angelina Sondakh eks Anggota DPR dan lain
sebagainya. Giatnya KPK dalam memberantas korupsi tidaklah segampang membalikan telapak
tangan, tinjauan dan respon publik yang beraneka ragam dari yang itu bersifat masukan, kritikan,
hingga hinaan tidaklah mengurangi semangat lembaga ini dalam memberantas korupsi, akan
tetapi hal-hal tersebut seakan menjadi cambukan keras bagi mereka untuk selalu memberikan
yang terbaik untuk Negeri yang dicintainya.
Demikian halnya ketika mereka menjadi pihak JPU KPK (Jaksa Penuntut Umum KPK)
yang mana selalu dipandang oleh publik selalu terkesan setingan Pengadilan Tipikor dengan
Mejelis Hakim sehingga publik memandang tidak merdeka dan bebasnya seorang Hakim
Pengadilan Tipikor. Sehingga terkesan para tersangka selalu sudah dianggap sebagai terpidana,
karena kemenangan selalu berpihak pada JPU KPK. Untuk mendapatkan Kondisi yang lebih
objektif tersebut, maka memerlukan penanganan secara khusus yaitu bantuan tenaga hakim
adhoc (non-karir) disamping hakim karir. Diharapkan dengan keberadaan hakim adhoc,
pengadilan tipikor dapat menyelesaikan perkara tipikor yang melibatkan penyelenggara Negara
dan diharapkan dapat mengikis dan menghilangkan kecurigaan bahwa dalam perkara tipikor
Majelis Hakim kurang objektif dan selalu memenangkan pihak JPU KPK dan merugikan
kepentingan terdakwa. Disamping keberadaan hakim adhoc untuk menciptakan sistem peradilan
tipikor yang merdeka dan bebas serta untuk menghilangkan kondisi penilaian objektif
berlebihan, keberadaannya sangatlah diperlukan mengingat maraknya tipikor yang memiskinkan
negara, sehingga diperlukan jabatan hakim yang lebih banyak dan memiliki kredibilitas baik
dimasyarakat untuk menyeimbangkan perluasan kewenganan pengadian tipikor di daerah-daerah
luar Jabodetabek.
Sebelum melangkah lebih jauh, hendaknya kita dapat memahami apa perbedaan antara
hakim karir dan hakim adhoc. Dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pasal 1 Ayat 1-3 dijelaskan mengenai definisi Hakim yang
berbunyi:
1. Hakim adalah Hakim Karir dan Hakim Adhoc.
2. Hakim Karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung
yang ditetapkan sebagai hakim tindak pidana korupsi.
3. Hakim ad hoc adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam
Undang-Undang ini sebagai hakim tindak pidana korupsi.
Sedangkan mengenai pengangkatan, masa jabatan dan syarat-syarat menjadi Hakim
Pengadilan Tipikor, telah dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pasal 10-11 yang berbunyi:
1. Dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung terdiri atas Hakim Karier dan Hakim
ad hoc.
2. Hakim Karier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua
Mahkamah Agung.
3. Hakim Karier yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama menangani perkara
tindak pidana korupsi dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara lain.
4. Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pengadilan tinggi, dan pada
Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.
5. Hakim ad hoc sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diangkat untuk masa jabatan selama 5
(lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
Dan bunyi Pasal 11 adalah sebagai berikut:
Untuk dapat ditetapkan sebagai Hakim Karier, calon harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. Berpengalaman menjadi Hakim sekurang-kurangnya selama 10 (sepuluh) tahun;
b. Berpengalaman menangani perkara pidana;
c. Jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik selama
menjalankan tugas;
d. Tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin dan/atau terlibat dalam perkara pidana;
e. Memiliki sertifikasi khusus sebagai Hakim tindak pidana korupsi yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung; dan
f. Telah melaporkan harta kekayaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan bunyi Pasal 12 adalah sebagai berikut:
Untuk dapat diangkat sebagai Hakim ad hoc, calon harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
a. Warga negara Republik Indonesia;
b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. Sehat jasmani dan rohani;
d. Berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain dan berpengalaman di bidang hukum sekurang-
kurangnya selama 15 (lima belas) tahun untuk Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi dan pengadilan tinggi, dan 20 (dua puluh) tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah
Agung;
e. Berumur sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat proses pemilihan untuk Hakim
ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan pengadilan tinggi, dan 50 (lima puluh)
tahun untuk Hakim ad hoc pada Mahkamah Agung;
f. Tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
g. Jujur, adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik;
h. Tidak menjadi pengurus dan anggota partai politik;
i. Melaporkan harta kekayaannya;
j. Bersedia mengikuti pelatihan sebagai Hakim tindak pidana korupsi; dan
k. Bersedia melepaskan jabatan struktural dan/atau jabatan lain selama menjadi Hakim ad hoc
tindak pidana korupsi.
Dengan memperhatikan bunyi-bunyi pasal diatas, jelas kita dapat memahami bahwa tidak
terdapat perbedaan yang principal antara syarat-syarat hakim karir dan hakim adhoc. Karena
pada hakekatnya, keberadaan hakim adhoc sangatlah diperlukan mengingat kompleksitas perkara
tipikor, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun luasnya cakupan tipikor
antara lain di bidang keuangan dan perbankan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa
pemerintah.[9] Sehingga demikian, Panitia Seleksi Mahkamah Agung dalam penyeleksian hakim
adhoc lebih menitik beratkan pada mereka yang tidak hanya berpendidikan hukum pidana,
namun lebih dari itu kepada mereka yang berpengalaman dalam bidang hukum perekonomian,
pembuktian, hukum adminsitrasi Negara, dan hukum pajak. Hakim adhoc sangatlah dibutuhkan
karena kurangnya pengalaman hakim-hakim karir apabila menghadapi kasus yang terlalu
kompleks, sehingga membutuhkan pengetahuan yang ekstra diluar ilmu hukum.
Dengan demikian Ketua Pengadilan akan memilih hakim adhoc berdasarkan daftar nama
hakim adhoc yang disesuaikan dengan keahlian hakim adhoc tersebut. Jadi ada daftar registrasi
hakim adhoc spesialisasi yang ditentukan berdasarkan keahliannya, misalnya perkara tindak
pidana korupsi yang berkaitan dengan perpajakan, maka Ketua Pengadilan akan menetapkan
hakim adhoc spesialisasi dari daftar hakim adhoc yang ahli perpajakan, dan seterusnya.[10]
Yang juga menjadi isu pokok pembahasan, adalah mengenai komposisi Majelis Hakim dalam
persidangan, yang seharusnya menurut penulis akan lebih baik apabila Ketua Pengadilan dalam
menentukannya harus sesuai prosedur yang proporsional dan komposisinya sesuai dengan
kepentingan pemeriksaan perkara untuk menghindari dikotomi proses dan integritas antara
hakim karir dan hakim adhoc. Sedangakan mengenai kewenangan hakim adhoc tidaklah beda
dengan hakim karir, karena pada dasarnya dalam Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang dimaksud dengan hakim adalah hakim karir dan
hakim adhoc sehingga keduanya tidak memiliki kewenangan yang berbeda, hal ini dipertegas
dalam kewenangannya dalam memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana korupsi dalam
pasal 6 yang berbunyi: Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara:
a. Tindak pidana korupsi;
b. Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi;
dan/atau
c. Tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana
korupsi.
Dan pasal 7 yang berbunyi:
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar wilayah negara Republik
Indonesia.
Selain memiliki kewenangan memerikasa, mengadili, dan memutus perkara tidak pidana
korupsi, hakim adhoc juga memiliki kewenangan memeriksa perkara tidak pidana pencucian
uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi. Jadi disini korupsi sebagai tindak
pidana asal yang sering disebut sebagai predicate crimes. Tak kalah pentingnya bahwa peran dan
kewenangan hakim adhoc spesialisasi dalam kaitan pasal 6 huruf c kewenanan pengadilan tipikor
untuk menangani tindak yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak
pidana korupsi. Mengingat peran hakim karir yang cukup besar dan hakim adhoc merupakan
penunjang peran pengadilan tipikor, karenanya hakim adhoc diwajibkan mengikuti pendidikan
khusus tipikor sebagai hakim adhoc yang bersertifikasi. Mahkamah Agung sudang memberikan
jawaban antisipasinya berupa keberadaan hakim karir bersertifikasi dengan mengadakan
pendidikan tindak pidana korupsi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
keberadaan hakim adhoc adalah untuk menciptakan sistem peradilan tipikor yang
merdeka dan bebas serta untuk menghilangkan kondisi penilaian objektif berlebihan,
keberadaannya sangatlah diperlukan mengingat maraknya tipikor yang memiskinkan negara,
sehingga diperlukan jabatan hakim yang lebih banyak dan memiliki kredibilitas baik
dimasyarakat untuk menyeimbangkan perluasan kewenganan pengadian tipikor di daerah-daerah
luar Jabodetabek. Dengan demikan keberadaan hakim adhoc sangatlah diperlukan mengingat
kompleksitas perkara tipikor, baik yang menyangkut modus operandi, pembuktian, maupun
luasnya cakupan tipikor antara lain di bidang keuangan dan perbankan, pasar modal, pengadaan
barang dan jasa pemerintah.
Dan berkaitan dengan kompleksitas tipikor, dapat kita simpulkan bahwa penyebab-
penyebab terjadinya wabah penyakit mental (korupsi) tersebut adalah:
1. Gaji yang rendah, kurang sempurnanya peraturan perundang-undangan,
2. administrasi yang lamban dan sebagainya.
3. Warisan pemerintahan kolonial yang buruk
4. Sikap mental pegawai yang ingin cepat kaya dengan cara yang tidak halal, tidak
5. Tidak ada kesadaran bernegara, tidak ada pengetahuan pada bidang pekerjaan yang
6. dilakukan oleh pejabat pemerintah.
7. Kemiskinan dan tidak meratanya kesejahteraan.
8. Melemahnya keimanan, moralitas dan rasa malu.
9. Tidak berani berkata jujur, dan lebih memilih diam.
Yang kesemuanya itu dapat terjadi dengan kita, maka ini bukan hanya tugas seorang
penegak hukum atau institusi penegak hukum, namun ini adalah tugas kita bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Alatas, Syed Husein, Sosiologi Korupsi: Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer,
Jakarta: LP3ES, 1983
Adji, Idriyanto Seni, Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Diadit Media, 2009
Danil, elwi, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Jakarta: Rajawali
Press, 2011
Friedman, Lawrence M., Element Of a Legal System, New York London: W.W Norton &
Company, 1984
Syamsudiin, Aziz, Tindak PIdana Khusus, Jakarta: Sinar Grafika, 2009
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Undang-Undang
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman