11
Makalah Tentang Bughat BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hukum Islam berintikan aturan-aturan yang bernuansakan sebuah hiasan hidup yang ditetapkan Allah sebagai suatu bentuk cinta dan kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya, agar tercipta hidup yang penuh keindahan, kadamaian, dan ketentraman bagi manusia, sebagai khalifah di muka bumi yang harus senantiasa menjaga, memelihara, dan menghindari segala bentuk perbuatan jahat yang berdampak pada kerusakan. Dalam hal ini, diantara aturan-aturan itu adalah terkait hukuman bagi segala macam pelanggaran, lebih khususnya adalah tentang tindak pelanggaran yang berupa pemberontakan (bughat), dengan beberapa pembahasan yang mungkin belum banyak diketahui ataupun dipahami oleh karenanya, dirasa begitu penting dibahas, guna menjadi bagian dari usaha memberikan kajian ilmu pengetahuan agama bagi mereka yang membutuhkan. 1.2. Rumusan Masalah 1. Apa Pengertian Bughat? 2. Apa Saja Unsur-unsur Bughat? 3. Apa Dasar Hukum Bughat? 4. Bagaimana Perlakuan Terhadap pelaku Bughat? 5. Bagaimana Pertanggungjawaban Tindak Pidana Bughat? 6. Apa Tujuan Hukuman Bughat? 1.3. Tujuan Makalah 1. Mengetahui Pengertian Bughat. 2. Mengetahui Unsur-unsur Bughat. 3. Mengetahui Dasar Hukum Bughat. 4. Mengetahui Perlakuan Terhadap pelaku Bughat.

Makalah Tentang Bughat

  • Upload
    la-zeki

  • View
    280

  • Download
    25

Embed Size (px)

DESCRIPTION

homework

Citation preview

Page 1: Makalah Tentang Bughat

Makalah Tentang Bughat

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Hukum Islam berintikan aturan-aturan yang bernuansakan sebuah hiasan hidup yang

ditetapkan Allah sebagai suatu bentuk cinta dan kasih sayang-Nya kepada hamba-hamba-Nya,

agar tercipta hidup yang penuh keindahan, kadamaian, dan ketentraman bagi manusia, sebagai

khalifah di muka bumi yang harus senantiasa menjaga, memelihara, dan menghindari segala

bentuk perbuatan jahat yang berdampak pada kerusakan. Dalam hal ini, diantara aturan-aturan itu

adalah terkait hukuman bagi segala macam pelanggaran, lebih khususnya adalah tentang tindak

pelanggaran yang berupa pemberontakan (bughat), dengan beberapa pembahasan yang mungkin

belum banyak diketahui ataupun dipahami oleh karenanya, dirasa begitu penting dibahas, guna

menjadi bagian dari usaha memberikan kajian ilmu pengetahuan agama bagi mereka yang

membutuhkan.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Bughat?

2. Apa Saja Unsur-unsur Bughat?

3. Apa Dasar Hukum Bughat?

4. Bagaimana Perlakuan Terhadap pelaku Bughat?

5. Bagaimana Pertanggungjawaban Tindak Pidana Bughat?

6. Apa Tujuan Hukuman Bughat?

1.3. Tujuan Makalah

1. Mengetahui Pengertian Bughat.

2. Mengetahui Unsur-unsur Bughat.

3. Mengetahui Dasar Hukum Bughat.

4. Mengetahui Perlakuan Terhadap pelaku Bughat.

Page 2: Makalah Tentang Bughat

5. Mengetahui Pertanggungjawaban Tindak Pidana Bughat.

6. Mengetahui Tujuan Hukuman Bughat.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Bughat

Al-Baghyu secara etimologis berarti mencari, mengusahakan, atau memilih. Pengertian

tersebut dapat kita ambil dari beberapa ayat Al-Qur`an seperti dibawah ini:

Artinya: “ Barang siapa yang mencari (memilih atau mengusahakan) selain yang demikian itu,

maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S. Al-Mu`minun: 7)

Artinya: “ Barang siapa yang memilih (agama) selain Islam, maka tidaklah akan diterima

darinya. “ (Q.S. Ali-Imran: 85)

Artinya: “ Dan berkata Musa, itulah (tempat) yang kita cari ” (Q.S. Al-Kahfi: 64)

Pengertian secara terminologis, al-baghyu adalah usaha melawan suatu pemerintahan

yang sah secara nyata, baik dengan mengangkat senjata atau tidak mengindahkan ketentuan yang

digariskan pemerintah. Asy- Syafi`I, seperti dikutip H.A. Dzajuli, mengatakan, pemberontak

adalah orang muslim yang menyalahi imam, menolak kewajiban, yang memiliki kekuatan,

argumentasi dan pimpinan. 1[1]

2.2. Unsur-unsur Bughat

Dari rangkuman definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat diketahui bahwa unsur-

unsur jarimah pemberontakan itu ada tiga, yaitu:

Page 3: Makalah Tentang Bughat

1). Pembangkangan terhadap kepala Negara (imam).

2). Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan.

3). Adanya niat yang melawan hukum (Al-Qasd Al-Jinaiy).2[2]

2.3. Dasar Hukumn Bughat

Dasar hukum yang menjadi acuan sanksi hukum bughah dalam Al-Qur`an sebagai

berikut:

Artinya: “ Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang

hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian

terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut

kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut

keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang

Berlaku adil. Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu damaikanlah

(perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu

mendapat rahmat.” (Q.S. Al- Hujarat: 9-10)

Rasulullah bersabda: “ Barang siapa yang mendatangimu- sedang urusanmu berdada di

tangan mereka (pemimpin mereka)- dan mereka ingin merusak kekuasaanmu serta akan

memorak-porandakan jamaahmu, maka bunuhlah mereka”. (H.R. Muslim)3[3]

Ayat diatas menetapkan, jika orang-orang mu`min saling bermusuhan, maka jamaah yang

memiliki kebijaksanaan wajib segera campur tangan untuk mendamaikan. Sekiranya salah satu

Page 4: Makalah Tentang Bughat

golongan membangkang, tak mau berdamai serta tak memenuhi ajakan damai, pada saat itu

semua kaum muslimin berkewajiban bersatu padu untuk memerangi golongan yang

membangkang.

Imam Ali r.a. perenah memerangi kelompok pembangkang. Demikian juga Abu Bakar

ash- Shiddiq pernah memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat.

Para ahli fiqih sepakat bahwa mereka yang membangkang ini belum keluar dari Islam

karena pembangkangannya (bughah), mengingat Al-Qur`an menyatakan, “Dua golongan orang-

orang mu`min.”4[4]

2.4. Perlakuan terhadap Pelaku Bughat

1).Jika ada sekelompok kaum muslimin yang membelot dari imam maka imam harus berdialog

dengan mereka, menanyakan apa yang membuat mereka membelot. Jika ada kedzaliman maka

imam menyingkirkannya, jika ada syubhat maka imam menjelaskannya.

2).Mereka harus kembali kepada ketaatan, jika tidak maka imam menasehati dan menakut-nakuti

mereka dengan peperangan. Jika tetap bersikukuh maka imam boleh memerangi mereka dan

rakyat harus membantu pemimpin mereka sehinnga kerusakan dan fitnah yang menimpa mereka

bisa ditepis dan dipadamkan.

3).Jika imam memerangi mereka maka dia tidak boleh memerangi mereka dengan senjata

pemusnah masal seperti bom, tidak boleh membunuh anak-anak mereka, yang lari, yang luka di

antara mereka maupun yang tidak ikut berperang.

4).Yang tertawan diantara mereka ditahan sampai fitnah mereka dipadamkan.

5).Harta mereka tidak dijadikan sebagai harta rampasan perang dan anak-anak mereka tidak

ditawan.

6).Setelah perang usai dan fitnah dipadamkan, tidak ada ganti rugi terhadap harta mereka yang

hancur karena perang.

7).Siapa yang terbunuh tidak ada diyat baginya dan mereka juga tidak memikul ganti rugi terhadap

nyawa dan harta yang binasa pada waktu perang.5[5]

Page 5: Makalah Tentang Bughat

8).Jika terdapat dari kalangan mereka yang terbunuh, maka wajib dimandikan, dikafankan, dan

dishalatkan. Jika si terbunuh dari golongan `adil ia menjadi syahid,tidak perlu dimandikan dan

dishalatkan karena ia gugur di dalam menegakkan perintah Allah, tidak ubahnya dengan syahid

yang gugur pada waktu memerangi orang-orang kafir. Hal ini jika pembangkang untuk keuar

dari imam yang disepakati oleh jamaah muslimin di berbagai penjuru, dengan keengganan

menunaikan kewajiban yang telah ditetapkan demi kemaslahatan jamaah atau individu-individu

dan pembangkang ini bertujuan untuk menggulingkan imam. 6[6]

Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan pertengkaran yang

mengakibatkan perkelahian dengan menggunakan alas kaki, antara kelompok Aus dan Khazraj.

Itu dimulai ketika Rasul saw, mengendarai keledai melalui jalan di mana `Abdullah Ibn Salul

sedang duduk dan berkumpul dengan rekan-rekannya. Saat itu keledai Rasul buang air, lalu

Abdullah yang merupakan tokoh kaum munafikin itu berkata: “Lepaskan keledaimu karena

baunya mengganggu kami”. Sahabat Nabi saw., Abdullah Ibn Rawahah ra. menegur Abdullah

sambil berkata: “Demi Allah, bau air seni keledai Rasul lebih wangi daei minyak wangimu”. Dan

terjadilah pertengkarqan yang mengundang kehadiran kaum masing-masing (HR. Bukhari dan

Muslim melalui Anas Ibn Malik). Riwayat ini tidak berarti bahwa peristiwa itulah yang

dikomentari atau mengakibatkan turunnya ayat di atas. Ini ditegaskan oleh riwayat lain yang juga

disebut dalam Shahih Bukhari. Kasus di atas disebut sebagai sabab nuzul, dalam arti kejadian di

atas termasuk salah satu contoh yang dicakup pengertiannya oleh ayat di atas. Memang, kasus di

atas menurut riwayat terjadi pada awal masa kehadiran Rasul saw. di Madinah, sedang surah ini

turun pada tahun IX Hijrah. Riwayat lain menyatakan bahwa perkelahian terjadi disebabkan

percekcokan antara dua pasang suami istri yang kemudian melibatkan kaum masing-masing,

yang kemudian didamaikan oleh Rasul saw.

Di sisi lain, dengan menyatakan bahwa ayat di atas bukan merupakan komentar atas

kasus Abdullah Ibn Ubay,maka tertampiklah pandangan yang boleh jadi menduga bahwa

Abdullah adalah salah seorang mukmin, atas dasar bahwa ayat di atas menyebut kelompok yang

bertikai itu adalah kelompok orang-orang mukmin. Di tempat lain Allah menilai Abdullah Ibn

Ubay Ibn Salul sebagai orang munafik yang kemunafikannya sangat mantap sehinnga dinilai

kafir dan Nabi dilarang menshalatkannya ketika ia mati.

Page 6: Makalah Tentang Bughat

Ayat di atas juga mengisyaratkan dengan sangat jelas bahwa persatuan dan kesatuan,

serta hubungan harmonis antar anggota masyarakat kecil atau besar, akan melahirkan limpahan

rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan dan keretakan hubungan mengundang

lahirnya bencana buat mereka, yang pada puncaknya dapat melahirkan pertumpahan darah dan

perang saudara sebagaimana dipahami dari kata qital yang puncaknya adalah peperangan.7[7]

2.5. Pertanggungjawaban Tindak Pidana Bughat

1. Pertanggungjawaban Sebelum Mughalabah dan Sesudahnya

Orang yang melakukan pemberontakan dibebani pertanggungjawaban atas semua tindak

pidana yang dilakukannya sebelum mughalabah (pertempuran), baik perdata maupun pidana,

sebagai pelaku jarimah biasa. Demikian pula halnya jarimah yang terjadi setelah selesainya

mughalabah (pertempuran). Apabila sebelum terjadinya pemberontakan itu ia membunuh orang,

ia dikenakan hukuman qishas. Jika ia melakukan pencurian maka ia dihukum sebagai pencuri,

yaitu potong tangan apabila syarat-syaratnya terpenuhi. Apabila ia merampas harta milik orang

lain maka ia diwajibkan mengganti kerugian. Jadi, dalam hal ini ia tidakdihukum sebagai

pemberontak, meskipun tujuan akhirnya pemberontakan.

2. Pertanggungjawaban Atas Perbuatan pada Saat Mughalabah

Tindak pidana yang terjadi pada saat-saat terjadinya pemberontakan dan pertempuran ada

dua macam, yaitu:

a. Yang Berkaitan Langsung dengan Pemberontakan

Tindak pidana yang berkaitan langsung dengan pemberontakan, seperti merusak

jembatan, membom gudang amunisi, gedung-gedung pemerintahan, membunuh para pejabat atau

menawannya, semuanya itu tidak dihukum dengan hukuman untuk jarimah biasa, melainkan

dengan hukuman untuk jarimah pemberontakan, yaitu hukuman mati apabila tidak ada

pengampunan (amnesti). Caranya dengan melakukan penumpasan yang bertujuan untuk

menghentikan pemberontakannya dan melumpuhkannya. Apabila mereka telah menyerah dan

meletakkan senjatanya, pwnumpasan harus dihentikan dan mereka dijamin keselamatan jiwa dan

hartanya. Tindakan selanjutnya, pemerintah (ulil amri) boleh mengampuni mereka atau

menghukum mereka dengan hukuman ta`zir atas tindakan pemberontakan mereka, bukan karena

Page 7: Makalah Tentang Bughat

jarimah atau perbuatan yang mereka lakukan pada saat terjadinnya pemberontakan. Dengan

demikian, hukuman yang dijatuhkan atas para pemberontak setelah mereka dilimpuhkan dan

ditangkap adalah hukuman ta`zir.

Hukuman untuk tindak pidana pemberontakan dalam situasi perang adalah diperangi atau

ditumpas, dengan segala akibat yang timbul, seperti pembunuhan, pelukaan, dan pemotongan

anggota badan. Hanya saja dalam kenyataan, perang atau penumpasan tidak bisa dianggap

sebagai hukuman, melainkan suatu upaya represif guna mencegah dan menindas pemberontak,

serta mengembalikannya kepada sikap taat dan patuh kepada pemerintah yang sah. Andaikata

memerangi itu merupakan hukuman maka tentunya dibolehkan membunuh pemberontak setelah

mereka dikalahkan dalam pertempuran, karena hukuman merupakan balasan atas apa yang

dilakukan oleh mereka. Akan tetapi, ulama telah sepakat bahwa apabila situasi perang telah

selesai maka pertempuran dan pembunuhan harus dihentikan dan pemberontakan harus dijamin

keselamatannya, karena pemberontakan itulah yang menyebabkan ia kehilangan jaminan

keselamatannya.

b. Yang Tidak Berkaitan dengan Pemberontakan

Adapun Tindak pidana yang terjadi pada saat berkecamuknya pertempuran tetapi tidak

berkaitan dengan pemberontakan, seprti minum minuman keras, zina atau perkosaan, dianggap

sebagai jarimah biasa, dan pelaku perbuatan tersebut dihukum dengan hukuman hudud sesuai

dengan jarimah yang dilakukannya. Dengan demikian, apabila pada saat berkecamuknya

pertempuran seorang anggota pemberontakan memperkosa seorang gadis dan ia ghairu muhshan

maka ia dikenakan hukuman jilid (dera) seratus kali ditambah dengan pengasingan.

Adapun pertanggungjawaban perdata bagi para pemberontak tidak ada jika mereka

merusak dan menghancurkan asset-aset negara yang dianggap oleh mereka perlu dihancurkan,

demi kelancaran serangan dan upaya pemberontakan, misalnya harta kekayaan individu maka

mereka tetap dibebani pertanggungjawaban perdata. Dengan demikian, barang yang diambil

harus dikembalikan dan yang dihancurkan harus diganti. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam

Abu Hanifah, dan pendapat yang shahih dikalangan madzhab Syafi`i. Namun di kalangan

madzhab Syafi`i ada yang berpendapat bahwa pemberontakan harus bertanggung jawab atas

semua barang yang dihancurkan, baik ada kaitannya dengan pemberontakn atau tidak, karena hal

itu mereka lakukan dengan melawan hukum.

Page 8: Makalah Tentang Bughat

Apabila para pemberontak itu meminta bantuan kepada orang kafir dzimmi maka orang

kafir dzimmi itu dikategorikan sebagai pemberontak dan hukumannya pun sama. Hanya saja

menurut Imam Abu Hanifah, kafir dzimmi yang turut serta di dalam pemberontakan perjanjian

(akad) dzimmahnya tidak rusak (batal). Akan tetapi, dikalangan madzhab Syafi`i dan Hanbali

berkembang dua pendapat. Pendapat pertama sama dengan pendapat Imam Abu Hanifah,

sedangkan menurut pendapat yang kedua, keikutsertaan mereka dalam pemberontakan

menyebabkan rusaknya (batalnya) akad dzimmah mereka.

Apabila para pemberontak itu meminta bantuan kepada kafir harbi maka jika ia

musta`man, batallah perjanjian keamanannya dan statusnya kembali seprti semula sebagai kafir

harbi, kecuali keikutsertaannya itu dipaksa. Apabila kafir harbi tersebut murni, bukan musta`man

maka status hukumnya sesuai dengan status hukum asalnya sebagai kafir harbi yang setiap saat

boleh dialirkan darahnya atau dirampas hartanya, karena mereka itu tidak memiliki perjanjian

keamanan.8[8]

Penerapan hukum dimaksud akan dilaksanakan bila memenuhi persyaratan sebagai

berikut:

1). Pemegang kekuasaan yang sah bersikap adil dalam menetapkan kebijakan.

2).Pemberontak merupakan suatu kelompok yang memiliki kekuatan, sehingga pemerintah untuk

mengatasi gerakan tersebut harus bekerja keras. Jika gerakan tersebut hanya dilakukan segelintir

orang yang mudah diatasi dan dikontrol, tidak termasuk bughah.

3).Dari gerakan tersebut diperoleh bukti-bukti kuat yang menunjukkan sebagai gerakan untuk

memberontak guna menggulingkan pemerintahan yang sah. Jika tidak, gerakan tersebut

dikategorikan sebagai pengacau keamanan atau perampok.

4).Gerakan tersebut mempunyai sistem kepemimpinan, karena tanpa ada seorang pemimpin tidak

mungkin kekuatan akan terwujud.9[9]

Demikianlah tentang bughat dan hukum Allah yang berkaitan dengannya.Jika

peperangan bermotif duniawi dan untuk dapat merebut pimpinan dan melawan waliul amri,

maka hal ini dianggap sebagai muharib yang diatur dengan undang-undang tersendiri, berbeda

dengan undang-undang bughat.

Page 9: Makalah Tentang Bughat

Allah berfirman,

Artinya: “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-

Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau

dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat

kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di

akhirat mereka beroleh siksaan yang besar kecuali orang-orang yang taubat (di antara mereka)

sebelum kamu dapat menguasai (menangkap) mereka. Maka ketahuilah bahwasanya Allah

Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Para muharib-lah yang mendapat balasan bunuh atau salib atau potong tangan dan kaki

secara silang atau diasingkan ke negeri lain sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah (hakim) dan

perbuatan yang mereka lakukan. Mereka yang tewas tempatnya di neraka. Mereka yang gugur

dalam memerangi mereka ini gugur sebagai syahid.

Jika peperangan bersumber dari kedua golongan karena fanatisme kedaerahan atau

karena berebut kursi kepemimpinan, maka kedua golongan ini termasuk kategori bughat, dan

berlaku kepada mereka hukum bughat.10[10]

2.5. Tujuan hukuman Bughat

Hukum yang diberlakukan, seperti yang dikemukakan pada ayat Al-Qur`an di atas,

bertujuan untuk menciptakan sistem kemasyarakatan dan kewibawaan pemerintahan. Seperti

diketahui bahwa manusia membutuhkan teman. Pergaulan antara seorang dengan yang lain

Page 10: Makalah Tentang Bughat

semakin lama semakin luas untuk menjalin hubungan antara satu pihak dengan pihak yang lain

sehingga diperlukan seorang pemimpin, berikut sistem aturan menjadi pedoman dalam hidup

bermasyarakat. Sistem peraturan yang disepakati akan berjalan dengan baik bila semua pihak

mematuhi peraturan tersebut. Pemberontakan dalam arti upaya menggulingkan pemerintah yang

sah itu dapat disejajarkan dengan pengkhianat.11[11]

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

al-baghyu adalah usaha melawan suatu pemerintahan yang sah secara nyata, baik dengan

mengangkat senjata atau tidak mengindahkan ketentuan yang digariskan pemerintah. Adapun

unsur-unsur jarimah pemberontakan itu ada tiga, yaitu:

1). Pembangkangan terhadap kepala Negara (imam).

2). Pembangkangan dilakukan dengan menggunakan kekuatan.

3). Adanya niat yang melawan hukum (Al-Qasd Al-Jinaiy).

Page 11: Makalah Tentang Bughat

Ketentuan hukumnya seperti yang tersirat dalam (Q.S. Al- Hujarat: 9-10) yaitu, jika

orang-orang mu`min saling bermusuhan, maka jamaah yang memiliki kebijaksanaan wajib

segera campur tangan untuk mendamaikan. Sekiranya salah satu golongan membangkang, tak

mau berdamai serta tak memenuhi ajakan damai, pada saat itu semua kaum muslimin

berkewajiban bersatu padu untuk memerangi golongan yang membangkang. Dengan beberapa

ketentuan yang harus diberlakukan kepada mereka yang melakukan pemberontakan. Disamping

itu terdapat pula perlakuan yang harus diterima mereka sebagai suatu pertanggungjawaban atas

tindak kejahatan yang telah mereka perbuat. Dengan beberapa ketentuan yaitu:

Pertanggungjawaban Sebelum Mughalabah dan sesudahnya, Pertanggungjawaban atas

perbuatan pada saat Mughalabah.

Hukum yang diberlakukan, bertujuan untuk menciptakan sistem kemasyarakatan dan

kewibawaan pemerintahan berikut sistem aturan menjadi pedoman dalam hidup bermasyarakat

yang harus dijaga dengan baik.

3.2. Saran

Kami sebagai penulis makalah sepenuhnya sadar akan kekurangan dan kesalahan

yang mungkin ada dari setiap penjelasan yang sudah kami sajikan sebelumnya. Dan mungkin

tidak ada cara lain, selain menunggu uluran tangan berupa kritik dan saran dari para pembaca

makalah ini, dengan sebuah harapan yang begitu besar dengan uluran tangan para pembaca

membuat kami bangkit dan bersemangat menciptakan karya ilmiah yang lebih baik lagi

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.

At-Tuwaijiri, Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah. Enslikopedi Islam Kaffah.

Surabaya: Pustaka Yassir, 2012.

Hakim, Rahmat. Hukum Pidana Islam. Bandung; Pustaka Setia, 2010.

Muchlich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006.

Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah. Jakarta; Lentera Hati, 2003.