Upload
ardiellaputri
View
892
Download
33
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Genetic Engineering
Citation preview
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kloning merupakan teknik terobosan baru untuk mendapatkan sebuah gen yang sangat
dibutuhkan keberadannya bagi kehidupan manusia. Dalam beberapa kasus penyakit yang menimpa
manusia, hewan, dan tumbuhan, pengobatan biasa tidak dapat memberikan hasil kesembuhan yang
maksimal. Setelah dikenalnya teknik kloning, pintu pengobatan penyakit pada mahluk hidup mulai
lebih terbuka. Sekarang ini, teknik kloning sudah dipakai untuk membuat vaksin dan hormon. Kita
sudah bisa, dengan menggabungkan dua jenis sel (seperti sel tikus dan sel kanker manusia) untuk
menghasilkan sejumlah besar antibodi tertentu, lewat sistem kekebalan, untuk memerangi penyakit.
Saat disuntikkan kedalam aliran darah, antibodi klon ini mencari dan menyerang sel penyebab
penyakit dimanapun ditubuh kita. Dengan menempelkan antibodi klon pada unsur pelacak, para
ilmuan dapat menemukan kanker tersembunyi, dan dengan menempelkan obat penghancur kanker,
dosis perawatan dapat dikirim langsung ke sel kanker.
Sumber DNA penyembuh tadi bisa darimana saja, salah satu contohnya adalah dari DNA
Chicken Anemia Virus (CAV) yang memiliki jenis protein VP3 yang disebut dengan Apoptin.
Apoptin adalah protein yang mampu menginduksi kematian sel spesifik pada sel tumor secara
terprogram. Apoptin mengakibatkan terjadinya apoptosis pada sel tumor. Apoptosis adalah
mekanisme biologi yang merupakan salah satu jenis kematian sel yang terprogram. Apoptosis pada
umumnya berlangsung seumur hidup dan bersifat menguntungkan bagi tubuh.
Karena kelebihan yang dimiliki oleh Apoptin dan peluangnya yang besar untuk
menghilangkan sel tumor secara permanen, para peneliti memiliki gagasan untuk
mengembangbiakkan Apoptin ini untuk diproduksi lebih banyak lagi. Dengan menggunakan
teknologi kloning, hal ini sangat mudah dilakukan. Organisme yang dipilih untuk menjadi sel inang
atau host adalah E. Coli. Dalam makalah ini, akan dijelaskan lebih lanjut mengenai strategi –
strategi yang akan dipakai dalam mengkloning apoptin pada E. coli, dimulai dari tahap
pengisolasian apoptin hingga replikasinya, serta kelebihan dan kekurangannya.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini ialah untuk meng-kloning gen apoptin dengan menambahkan 10
histidin pada N-Terminal dan 8 Arginin pada C-Terminal, menggunakan plasmid pUC19 pada
E.coli BL21(DE3).
2
1.3. Strategi Kloning Gen Apoptin
harvesting danpemurnian
reisolasi DNA rekombinan
seleksi untuk memilih sel inang dengan DNA rekombinan yang membawa gen apoptin
sel inang dengan DNA rekoombinan tanpa & dengan gen apoptin
sel inang dengan DNA rekoombinan tanpa
gen apoptin
sel inang dengan plasmid religasi
sel inang utuh (non transforman)
transformasi sel inang (E.coli BL21(DE3)chemnical transformation (Heat shock)
DNA rekombinan yang membawa
gen apoptin
DNA rekombinan tanpa gen apoptin
plasmid sendiri (religasi)
ligasi fragmen-fragmen DNA genomik dengan DNA plasmid
plasmid terpotong
isolasi plasmid pUC19
fragmen yang membawa gen apoptin
fragmen-fragmen DNA dengan berbagai ukuran
pemotongan menggunakan enzim resktr iksi
gen yang akan diklon(gen apoptin)ekstrak DNA
genomik
isolasi DNA genomik
E.coliJM109(Sumber gen apoptin)CAV
Bagan 1. Skema Kloning Gen Apoptin
3
BAB II
STRATEGI KLONING GEN APOPTIN MENGGUNAKAN PLASMID PUC19
DAN SEL INANG E.COLI BL21(DE3)
2.1. Strategi Isolasi Gen Apoptin
Chicken Anemia Virus (CAV)
Apoptin adalah protein yang mampu menginduksi kematian sel spesifik pada sel tumor.
Karena itu banyak usaha untuk mengkulturkan apoptin agar mampu menjadi alternatif untuk obat
sel tumor.
Salah satu metode untuk mengkultur protein apoptin adalah dengan kultur sel yang sudah di
transformasi. Untuk melakukan transformasi sel yang akan di kultur perlu dilakukan isolasi dari gen
yang mengkodekan apoptin untuk disisipkan di sel.
Gen apoptin dikodekan oleh Chicken Anemia Virus (CAV) yang termasuk Famili Gyrovirus.
CAV adalah virus DNA yang menyebabkan anemia dan atropi organ pada ayam. CAV mampu
mengkodekan 3 macam protein virus yaitu : VP1, VP2, dan VP3. Protein VP1 berperan dalam
menyusun kapsid (Lampiran 1). Protein VP1 memiliki massa 51 Kda. Protein VP2 adalah protein
yang memiliki spesifitas terhadap fosfatase dan memiliki masa 30 Kda. Sementara protein VP3
adalah protein apoptin, yang mampu menginduksis apoptosis pada sel limosit pada ayam dan
beberapa jalur sel pada sel tumor. Tetapi tidak menginduksi lisis pada sel normal. Protein apoptin
memiliki massa 13 KDa. Mekanisme spesifitas dari apoptin hingga saat ini belum diketahui.
Untuk mendapatkan gen apoptin bisa didapatkan dari isolasi dari virus CAV yang
menginfeksi ayam atau embrio atau sel yang dikulturkan.
VP3 (Apoptin)
VP3 atau selanjutnya akan disebut dengan nama apoptin adalah protein yang terdiri dari 121
asam amino terdiri terutama dari prolin, serin, threonin dan asam amino dasar lainnya. Apoptin
menganding sinyal Bipartite-type nuclear (atau NLS1 dan NLS2) pada posisi 82-88 dan 111-121
atau pada ujung c-terminalnya. Dan nuclear export signal (NES) yang menunjukkan adanya
potensi perpindahan dari nukleus ke sitoplasma dan sebaliknya.
Apoptin memiliki kemampuan untuk menginduksi terjadinya apoptosis pada sel kanker
manusia namun tidak pada sel normal. Sel memicu apoptosis dengan cara intrinsik mitokondrial
yang memerlukan caspase-3 dan caspase-9. Belum ada mekanisme yang jelas mengapa apoptin
dapat spesifik membunuh lini sel dari sel kanker. Tetapi salah satu sebabnya adalah karena pada sel
4
kanker apoptin berlokalisasi di nukleus sementara pada sel normal umumnya diekspresikan di
sitoplasma.
Bentuk apoptin sangat stabil, multimerik aktif biologis terdiri dari 30-40 monomer dan
nukleoprotein kompleks tingkat tinggi.
Gambar 1. Struktur sekuens asam amino dari apoptin
(Sumber. Los M, S , Paniraghi 2009)
Tahapan purifikasi DNA Chicken anemia virus dari kultur
DNA CAV memiliki ukuran sekitar 2,3 kb. Untuk mendapatkan DNA CAV dan
memisahkannya dari komponen virus yang lain. Yang pertama harus dilakukan adalah mengambil
virus CAV yang ingin di kultur. Virus CAV dapat ditemukan pada hati ayam broiler yang terinfeksi
virus.
Sampel dari jaringan hati kemudian dipanaskan pada suhu 650C selama 20 menit untuk
mengurai jaringan-jaringan yang kompeks. Kemudian menggunakan buffer phenol jenuh dengan
volume yang sama seperti sampel untuk ditambahkan pada sampel dan mengocok sampel selama 3
menit kemudian melakukan sentrifugasi pada 14000 RPM selama 5 menit. Fenol akan berada
dibagian bawah tabung. Kemudian lapisan atas dari lisat dipisahkan dan dicampurkan dengan
kloroform pada volume yang sama dengan sampel. Dan disentrifugasi pada 14000 RPM selama 5
menit. Bagian atas dari hasil sentrifugat dipisahkan.
Metode tersebut dikenal dengan ekstraksi fenol-kloroform. Penambahan fenol berfungsi
untuk memisahkan fasa-fasa pada virus. Fasa organik akan terikat pada fenol dan kloroform. Fasa
organik akan lebih berat dan mengikat protein-protein berat seperti kapsid yang menyusun virus.
Kemudian komponen DNA akan terikat pada fasa cair yang lebih ringan. Fenol dipilih karena
memiliki kelarutan yang buruk sehingga protein yang larut dalam fenol akan terpisah dari cairan.
Metode pemisahan ini lebih baik dibandingkan metode pemisahan dengan kolom adsorpsi
karena meskipun memakan waktu lebih lama, dapat mendapatkan DNA yang lebih murni. Hal ini
5
dikarenakan kemampuan fenol untuk memisahkan fasa lebih baik dibandingkan pengikatan kovalen
pada proses adsorpsi.
Kemudian menambahkan NaAc 3M pada sampel sebanyak 1/10 dari volume sampel. Dan
kemudian menambahkan juga 100% EtOH sebanyak 2 kali volum sampel. Setelah mengocok
sampel selama beberapa detik, sampel didinginkan pada suhu -200C selama 30 menit.
Setelah waktu pendinginan selesai, melakukan sentrifugasi lagi pada 14000 RPM selama 5
menit. Setelah 5 menit jika tidak terbentuk pelet pada sampel lakukan ulang sentrifugasi selama 5
menit.
Kemudian memisahkan pelet dari supernatan dengan pipet secara perlahan-lahan.
Penambahan etanol ditujukan untuk mengendapkan DNA. Karena DNA memiliki sifat yang sangat
polar akibat muatan yang dimiliki struktur fosfatnya. Untuk itu, etanol yang memiliki sifat tidak
polar dapat menyebabkan adanya atraksi elektrik antara gugus fosfat dan ion positif yang ada dalam
larutan sampel sehingga membentuk ikatan ion dan mengendapkan DNA. Ion yang nantinya
berikatan dengan DNA untuk diendapkan adalah ion natrium yang berasal dari Natrium asetat.
Setelah itu pelet dibiarkan kering sehingga tidak ada cairan lagi didalam sampel. Pelet
kemudian disuspensikan didalam air. Sampel tersebut seharusnya mengandung DNA virus CAV
yang murni untuk kemudian dilakukan tahapan berikutnya.
Menentukan posisi gen apoptin
Setelah mendapatkan DNA dari CAV, langkah selanjutnya adalah mencari gen yang
mengkodekan apoptin. Seperti telah dibahas pada bagian sebelumnya, apoptin atau VP3 adalah
protein yang dikodekan oleh 121 basa nitrogen. Sementara pada CAV terdapat 3 macam protein
yang dapat dikodekan dengan DNA CAV memiliki panjang 2,1 KB.
Untuk menggandakan gen apoptin kita akan menggunakan metode PCR (Polymerase Chain
Reaction). Metode PCR dapat mengamplifikasi atau menggandakan bagian tertentu dari suatu
DNA. Agar dapat mengamplifikasi sampel, PCR menggunakan sebuah oligonukleotida yang
dinamakan primer. Primer adalah rantai DNA yang bersifat komplementer dengan fragmen yang
ingin digandakan. Sehingga untuk dapat mengamplifikasi rantai DNA di CAV yang mengkodekan
VP3 perlu diketahui sekuens DNA.
Mengetahui sekuens DNA dilakukan dengan metode sanger atau sekuensing dengan
dideoksi. Metode sanger dipilih dibanding metode lainnya karena metode sanger mudah dilakukan
dan tidak menggunakan bahan yang merusak sampel seperti metode maxam-gilbert (Lampiran 2).
Kemudian setelah dipetakan sekuens dari DNA CAV, kita dapat membuat primer yang sesuai
dengan kode gen yang mengkodekan VP3.
6
Modifikasi gen apoptin dengan penambahan histidin pada ujung N-terminal
Penambahan histidin pada DNA rekombinan umum dilakukan. Hal tersebut bertujuan
memudahkan pada saat panen protein. Hal tersebut karena histidin cenderung bersifat lengket.
Metode ini atau dinamakan Histidine tagging. Memanfaatkan afinitas histidin terhadap
beberapa media yang mengandung logam bermuatan seperti kobalt atau nikel. Protein rekombinan
yang mengandung histidin akan cenderung berinteraksi ionik dengan logam-logam tadi. Sementara
protein yang lain tidak mempunyai afinitas yang sama. Kemudian didalam media tersebut, dibilas
dengan buffer. Misalnya buffer fosfat sehingga protein lain akan terbilas sementara protein
rekombinan yang mengandung histidin akan tetap menempel pada media.
Metode ini biasanya menggunakan minimal 5 buah rantai histidin. Untuk menambahkan
histidin pada DNA rekombinan umumnya dilakukan pada saat mengamplifikasi DNA yang akan
menjadi insert. Hal ini disebabkan cara penambahan yang mudah dilakukan. Karena hal yang perlu
dilakukan adalah melakukan modifikasi pada pemesanan primer DNA yang akan digunakan untuk
PCR.
Histidin akan ditempelkan pada ujung N-Terminal dari apoptin. DNA ditranslasikan dari
ujun 5’ ke ujung 3’. Dimana ujung 5’ berarti mengkodekan ujung N-Terminal dan ujung 3’ tempat
dimana berada C-Terminal.
Tabel 1. Kode Asam Amino
Sumber. Nakamoto, T. 2009
Untuk itu jika ingin menambahkan histidin pada N-Terminal maka penambahan histidin
dilakukan pada ujung 5’ primer. Penambahan histidin dilakukan dengan menambahkan basa
nitrogen yang mengkodekan histidin setelah kodon start pada primer.
7
Berdasarkan tabel diatas, berarti dibutuhkan penambahan 10 kodon CAT atau CAC setelah
kodon AUG sebagai kodon start untuk menambahkan 10 rantai histidin pada N-Terminal apoptin.
Baru kemudian primer yang komplementer dengan gen VP3 yang diketahui melalui sekuensing.
Gambar 2. Desain primer yang telah ditambahkan Histidin
Sehingga hasil DNA yang didapatkan sebagai hasil PCR adalah rantai DNA yang mengkodekan
apoptin beserta 10 rantai histidin pada N-Terminalnya
Modifikasi gen apoptin dengan penambahan arginin pada uajung C-terminal
Menambahkan arginin pada C-Terminal tidak sesederhana seperti menambahkan histidin.
Pada penambahan di N-Terminal, pemanjangan DNA oleh DNA polimerase akan dilakukan dari
arah 5’ ke ujung 3’ dan urutan basa nitrogen di ujung 5’ tidak akan terpengaruh. Sementara pada
modifikasi di ujung 3’ jika dilakukan sebelum terjadi pemanjangan DNA maka ketika pemanjangan
terjadi, basa nitrogen yang tadinya terletak paling ujung tidak akan terletak di ujung 3’ lagi
melainkan ditengah-tengah rantai yang baru mengalami pemanjangan.
Untuk mengatasi hal berikut metode lain selain modifikasi primer perlu dilakukan. Ada 2
pilihan cara untuk menambahkan arginin pada ujung C-terminal. Cara pertama adalah dengan
meligasikan gen yang mengkodekan arginin pada plasmid yang disiapkan sebagai vektor.
Sementara cara kedua adalah melakukan ligasi pada insert hasil PCR yang akan disisipkan.
Cara yang dilakukan adalah cara yang kedua karena gen hasil PCR ada dalam jumlah
banyak dan dapat digandakan dengan mudah. Selain itu panjang dari gen tidak terlalu besar
sehingga lebih mudah dilakukan modifikasi.
Untuk menempelkan dengan cara yang kedua yang perlu disiapkan adalah gen hasil PCR,
enzim ligase, ATP dan kodon yang mengkodekan arginin (AGG atau AGA). Kodon yang
mengkodekan arginin akan menempel pada C-terminal dibandingkan pada N-Terminal karena
gugus OH lebih mudah diserang oleh fosfat yang dibawa oleh ATP.
Setelah proses tersebut selesai akan didapatkan banyak DNA yang mengkodekan apoptin
yang memiliki histidin di ujung N-terminal dan arginin di ujung C-Terminal. Kemudian gen
tersebut siap untuk dimasukkan kedalam vektor untuk proses transformasi.
8
2.2. Strategi Isolasi Plasmid pUC19
Konsep dasar vektor dalam teknik kloning
Seperti yang telah kita ketahui bahwa transformasi sel inang dilakukan menggunakan
perantara vector. Jadi, vektor adalah molekul DNA yang berfungsi sebagai wahana atau kendaraan
yang akan membawa suatu fragmen DNA masuk ke dalam sel inang dan memungkinkan terjadinya
replikasi dan ekspresi fragmen DNA asing tersebut. Vektor yang dapat digunakan pada sel inang
prokariot, khususnya E. coli, adalah plasmid, bakteriofag, kosmid, dan fasmid. Untuk dapat
dikatakan vector yang tergolong baik, maka harus memenuhi beberapa syarat penting sebagai
berikut :
(1) Mempunyai ukuran relative kecil dibandingkan dengan pori dinding sel inang sehingga
dapat dengan mudah melintasinya,
(2) Mempunyai sekurang kurangnya dua gen marker yang dapat menandai masuk tidaknya
plasmid ke dalam sel inang,
(3) Mempunyai tempat pengenalan restriksi sekurang kurangnya didalam salah satu marker
yang dapat digunakan sebagai tempat penyisipan fragmen DNA, dan
(4) Memiliki titik awal replikasi (ori) sehingga dapat melakukan replikasi didalam sel inangnya.
Selain itu terdapat syarat tambahan yang dapat digunakan untuk memperhitungkan vector
mana yang dianggap baik, walaupun syarat ini tidak terlalu penting :
(a) Memiliki ukuran yang cocok.
Faktor ini berpengaruh pada aktivitas pemotongan dan penyambungan. Tempat pemotongan
enzim restriksi yang meliputi 6 nukleotida akan terjadi pada sekali pada setiap 46 bp. Oleh
karena itu, vector yang memiliki ukurang lebih dari 4 kbp mungkin akan memiliki beberapa
lokasi untuk enzim yang diberikan dan pemotongan vector akan menguranginya menjadi
beberapa pieces yang akan memberikan hasil yang tepat pada proses ligasinya. Selain itu,
apabila ukuran terlalu besar maka akan sulit menghandlenya,.
(b) Memiliki penanda untuk insersi DNA
Misalkan, insersi DNA kedalam vector dapat dideteksi dengan inaktivasi gene lacZ.
(c) Memiliki kemampuan tinggi untuk mengcopy
Untuk memaksimalkan hasil plasmid dari transformasi sel, jumlah copy di setiap selnya
sebaiknya setinggi mungkin.
Bagian bagian penting didalam vector beserta fungsi dari bagian tersebut adalah sebagai
berikut :
Origin of replication : merupakan sekuen DNA yang mana replikasi dapat diinsiasi. Untuk
DNAs kecil termasuk plasmid bakteri cukup memiliki satu single origin saja. Tapi lebih
9
besar DNAs memiliki lebih banyak origins dan replikasi DNA diinsiasi pada setiap daerah
tersebut.
Promoter : untuk mengontrol ekspresi gen. Ekspresi vektor memiliki tujuan untuk
mengendalikan ekspresi gen tertentu didalam organsime inang (misalkan E.coli). kontrol
tersebut dapat menjadi sangat penting. Hal ini biasanya dengan memasukkan DNA target
kedalam sebuah tempat dibawah kontrol promoter tertentu. Yang biasa digunakan ialah
promoter T7,dan Iac.
Adaptor : molekul tambahan yang dapat digunakan untuk menyambungkan ujung tumpul
fragment DNA hasil pemotongan enzim restriksi.
Multiple clone site : disebut juga dengan polylinker, merupakan segment pendek dari DNA
yang terdapat beberapa restriction site sampai lebih dari 20 tempat. MCS mengizinkan
untuk insersi DNA kedalam vector yang ditargetkan dan memungkinkan mengarahkan
dalam orientasi yang dipilih.
Pemilihan plasmid pUC19 sebagai vektor dalam teknik kloning gen apoptin
Pada kasus kali ini dipilih vector yang akan digunakan ialah pUC19 (Gambar 3) yang
diambil dari bakteri E.Coli. Pemilihan vektor yang digunakan didasarkan pada pertimbangan
panjang gen yang akan diligasi serta host yang akan digunakan. Dari beberapa laporan penelitian
vektor plasmid puC19 memberikan hasil yang memuaskan pada pembuatan pustaka DNA dengan
panjang gen < 2000bps serta menggunakan host E coli (Hanahan, 1983; Yanisch-Perron et al.,1985;
Liu dan Niu, 2008). Plasmid ini sangat mudah ditransfeksikan kedalam E coli dengan metode yang
sederhana dan relatif murah seperti heat shock serta dapat dengan cepat bereplikasi dan amat mudah
diseleksi dengan metode white/ blue color selection (Yanisch-Perron, 1985; Chung, et al., 1989).
Gambar 3. Vektor pUC 19
(Sumber. http://www.fermentas.com/en/products/all/molecular-cloning/vectors-phage/sd005-puc18-puc19-dna)
10
pUC19 merupakan vektor yang memiki circular double stranded DNA dan mempunyai
2686 pasang basa. puC19 adalah salah satu molekul vektor yang paling banyak digunakan sebagai
rekombinan atau pengenalan DNA asing, dapat dengan mudah dibedakan dari non rekombinannya
berdasarkan perbedaan warna koloni pada media pertumbuhan. pUC18 hampir mirip dengan
pUC19 namun wilayah MCS nya dibalik (Lampiran 3).
Mirip dengan plasmid plasmid yang lain, puC 19 memiliki oriV, gen bla yang terdapat
ampicilin resistance dan memiliki fragmen DNA special dengan beberapa perbedaan recognition
sites untuk restriksi endonuklease. Sekuen Multiple cloning site berada pada bagian 5’ dari lacZ
gene yang mengkodekan untuk amino, bagian N terminal dari beta-galactosidase (LacZ) dari E.coli.
Daerah MCS berada dalam lacZ gene (kodon 6 – 7 lac Z digantikan oleh MCS), dimana bermacam
jenis sisi restriksi untuk beberapa restriksi endonuklease itu ada. Strain bakteri yang cocok untuk
sistem seleksi ini seharusnya memiliki bagian 3’ dari gen lacZ yang menyandikan bagian terminal
carboksi utuh.
Isolasi plasmid pCU19 dari bakteri E.coli JM109
Secara umum, isolasi DNA plasmid menghasilkan DNA plasmid yang diinginkan. Isolasi
DNA plasmid dilakukan dengan cara isolasi DNA plasmid pUC19 yang terdapat dalam E.coli JM
109. Bakteri inang pembawa pUC 19 ini ditumbuhkan dalam kompleks : Luria Bertani sebagai
sumber DNA. Dalam medium LB pada suhu 37oC dengan pengocokan pada kecepatan 150 – 250
r/menit, sel E.coli akan membelah sekali setiap 20 menit sampai kultur mencapai densitas
maksimum kira kira 2 0 3 x 109 sel/ml. E. coli JM109 dipanen, diambil 3 ml dan disentrifugasi pada
kecepatan 5700 x g selama 5 menit. Tujuan dari sentrifugasi ini adalah untuk mengendapkan bakteri
pada dasar tabung karena untuk penyiapan ekstrak sel bakteri harus diperoleh dalam volume yang
sekecil mungkin.
Untuk isolasi dan purifikasi plasmid terdapat 2 metode yang terkenal yaitu denaturasi
dengan alkali atau metode sentrifuge isopiknat. Namun dalam pembahasan kali ini akan digunakan
metoda denaturasi dengan alkali karena metode ini merupakan metode yang popular saat ini. Untuk
isolasi dan purifikasi DNA memiliki 4 bagian penting yang meliputi (1) Pemecahan sel, (2)
Penghilangan protein dan kromosom DNA, (3) Pengambilan plasmid dan (4) Pemurnian lebih
lanjut apabila dibutuhkan
Pada langkah awal isolasi DNA yaitu lisis sel, dimana dapat digunakan buffer P1 dan P2.
Dimana buffer P1 telah ditambah dengan enzim RNAse A dan deterjen Sodium Dodesil Sulfat
(SDS) dan indicator LyseBlue. Kombinasi RNAse dan SDS inilah yang dapat merusak dinding dan
lisis sel. Menurut Birnboim dan Doly (1979) dengan hasil pengamatan terdapat rentang pH 12 -12,5
ikatan hydrogen dari DNA kromosom non supercoiled akan terdenaturasi, heliks ganda terurai dan
11
kedua rantai polipeptida memisah. Pendenaturasian ini perlu dicek apakah telah berhasil atau belum
yaitu dengan penambahan buffer P2 yang dapat memperjelas proses ini. Jika denaturasi telah
terjadi, maka suspense pelet sel akan berwarna biru karena adanya reaksi dengan indicator Lyse
Blue.
Proses renaturasi selanjutnya dilakukan dengan cara mengembalikan DNA pada kondisi
asam dengan penambahan buffer N3 yang mengandung asam asetat. Pemberian asam akan
menyebabkan DNA bakteri yang sebelumnya terdenaturasi mengelompok dalam massa DNA linier
yang kusut. Sentrifugasi selanjutnya pada kecepatan 13000 selama 10 menit akan mengendapkan
massa DNA ini didasar tabung sentrifugasi dan meninggalkan plasmid murni dalam supernatant.
Penambahan RNAse A (ribonuklease) dan SDS di buffer pertama (P1) menyebabkan
sebagian besar protein dan RNA menjadi tidak larut dan dapat dihilangkan pada tahap sentrifugasi
(ikut mengendap bersama massa DNA, dinding serta debris sel lainnya). Karena metode ini
menggunakan metode denaturasi alkali maka keuntungannya ialah tidak diperlukan presipitasi
menggunakan fenol atau pelarut organic seperti kloroform untuk menghilangkan sisa protein.
Supernatan yang berisi plasmid murni kemudian dicuci dua kali menggunakan buffer PB
yang isinya mengandung isopropanol dan buffer PE yang mengandung 96 – 100% ethanol.
Kemudian supernatant plasmid kemudian dipindahkan ke tabung mikrosentrifuge baru dan dielusi
sebanyak 2 kali dengan buffer EB (Elution Buffer) dimana masing masing melewati sentrifugasi
pada 13000 rpm selama satu menit. Hasil elusi inilah DNA plasmid pUC19 yang telah berhasil
diisolasikan dari E.coli JM109
2.3. Startegi Penyisipan Insert Gen Apoptin ke dalam Vektor Plamid pUC19
Penambahan alkalin fosfatase pada larutan vektor penambahan insert penambahan buffer
penambahan air (pelarut) penambahan DNA ligase inkubasi campuran larutan
Penambahan alkaline phosphatase ke dalam larutan vektor
Penambahan alkalin fosfatase pada larutan vektor (sebelum dicampur dengan insert) untuk
menghilangkan gugus P pada 5’P sehingga menjadi 5’OH (defosforilasi) sehingga dapat
meminimalisasi terjadinya kemungkinan vektor menyambung pada vektor itu sendiri atau vektor
menyambung dengan vektor lain (terjadi ligasi antar vektor) (Lampiran 4). Dengan berubahnya 5’P
menjadi 5’OH maka yang diharapkan terjadi yaitu vektor hanya berikatan dengan insert, 3’OH pada
vektor akan menyambung pada 5’P insert, akan tetapi 3’OH insert tidak dapat menyambung ke
vektor karena 5’P vektor telah berubah menjadi 5’OH sehingga terjadi nick atau celah. Meskipun
12
terjadi celah, insert dan vektor tetap berikatan dan dapat ditransformasikan dimana celah ini nanti
akan diperbaiki di dalam sel apabila berhasil ditransformasikan (Gambar 4).
Gambar 4. Mekanisme Efisiensi Ligasi
(Sumber. Anam, Khairul. 2009. Laporan Praktikum Genetika Molekular: DNA Rekombinasi. Sekolah Pascasarjana
Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor)
Penambahan buffer
Fungsi buffer adalah untuk mempertahankan pH pada nilai tertentu agar DNA tidak
terdegradasi dengan penambahan bahan lainnya. Umumnya digunakan buffer yang mengandung
ATP karena sebagian besar enzim restriksi buffer akan bekerja jika dilengkapi dengan ATP. Buffer
biasanya diberikan atau disiapkan sebagai konsentrat 10X yang, setelah pengenceran, konsentrasi
ATP menghasilkan sekitar 0,25-1 mM. Hal ini juga disesuaikan dengan penggunaan pelarut dan
enzim yang akan ditambahkan pada langkah selanjutnya sehingga tercipta kondisi yang sesuai
untuk proses ligasi fragmen DNA (insert) dengan vektor.
Penambahan air (pelarut)
Umumnya pelarut yang digunakan adalah ddH2O (double-distilled water) karena dapat
melarutkan DNA atau RNA dengan baik. ddH2O atau disebut juga aqua bidestillata atau ultrapure
water, adalah air yang sangat murni, lebih murni dari aquadest atau pun air reverse osmosis karena
telah melalui berbagai macam cara pemurnian. Secara umum ddH2O dibuat dengan melewatkan
aquadest ke dalam suatu cartridge berisi resin-resin filter dan deionisasi untuk menghilangkan ion-
ion dari air, hingga diperoleh nilai hantaran listrik yang sangat kecil (sekitar 5.5 × 10−6 S•m−1 atau
18 MΩ cm), terakhir air tersebut dilewatkan melalui filter membran dengan pori-pori 0.22 µl.
Biasanya ddH2O tidak perlu disterilkan lagi menggunakan autoclave.
Penambahan ddH2O adalah untuk pemurnian dan proses vakum. Selain itu penambahan
ddH2O juga memiliki efek positif, yaitu tidak mengandung EDTA seperti pelarut TE Buffer
(campuran antara larutan Tris-HCl dengan EDTA). EDTA merupakan chelating agent yang dapat
13
membentuk senyawaan kompleks dengan ion logam seperti Mg2+ dan menghambat aplikasi
enzimatis. Namun penambahan ddH2O memiliki efek negatif yakni timbul peluang untuk
berubahnya pH. Ini dapat terjadi karena DNA dan RNA memiliki sifat asam lemah. yang dalam
waktu lama dapat menyebabkan degradasi DNA/RNA, apalagi DNase juga bekerja pada pH yang
sedikit asam. Oleh karena itu dilakukan penambahan buffer di awal.
Penambahan DNA Ligase
DNA ligase ditambahkan paling akhir karena kondisi larutan telah disesuaikan terlebih
dahulu agar ligasi dapat berjalan efektif. DNA ligase merupakan enzim yang mengkatalisis
pembentukan ikatan fosfodiester antara ujung 5’-fosfat dan 3’-hidroksil pada DNA yang mengalami
nick. Nick pada DNA dapat terjadi pada saat replikasi DNA, rekombinasi dan kerusakan.
Jenis DNA ligase yang digunakan pada kloning umumnya adalah T4 DNA Ligase yaitu
enzim ligase yang dihasilkan oleh bakteri E. coli yang telah terinfeksi virus T4. Enzim ini akan
meligasi fragmen DNA yang menggantung, memiliki ujung kohesif (lengket) maupun ujung
tumpul. Untuk meligasi fragmen DNA yang memiliki ujung tumpul, diperlukan konsentrasi enzim
yang lebih besar. Kofaktor T4 DNA Ligase adalah ATP sehingga proses ligasi DNA T4
memerlukan larutan penyangga (buffer) yang mengandung ATP dengan konsentrasi 0.25-1 mM
seperti yang telah ditambahkan sebelumnya.
Mekanisme DNA ligase dimulai dari
hidrolisis kofaktor, yaitu ATP. Peristiwa ini
menghasilkan kompleks enzim-adenylate AMP
yang berikatan kovalen dengan grup α-amino
residu lysin pada sisi aktif dengan melepaskan
pyrofosfat inorganik (PPi). Kemudian sebagian
AMP akan berpindah dari sisi aktif lysin ke ujung
bebas 5’-fosfat yang berada pada nick utas DNA.
Pada akhirnya, ikatan fosfodiester akan terbentuk
antara ujung 3’-OH yang berada di ujung nick
dengan 5’-fosfat dan melepaskan AMP dan enzim
adenylate.
Inkubasi campuran larutan
Suhu optimum aktivitas DNA ligase adalah pada suhu 37ºC, tetapi pada suhu tersebut ikatan
hidrogen yang terbentuk di antara ujung lancip (lengket) menjadi tidak stabil dan kerusakan akibat
panas akan terjadi pada tempat ikatan tersebut dan mengakibatkan denaturasi. Maka, alternatif yang
Gambar 5. Mekanisme DNA Ligase
(Sumber. http://id.wikipedia.org/wiki/DNA_ligase)
14
baik dilakukan dalam proses ini adalah inkubasi pada suhu yang diturunkan dengan waktu inkubasi
yang diperpanjang.
Suhu inkubasi optimal untuk T4 DNA ligase 160C. Namun hal ini biasanya dilakukan jika
diinginginkan efisiensi yang tinggi dalam ligasi (contohnya dalam membuat pustaka genom), tetapi
jika ligasi bertujuan untuk kloning umumnya ligasi dilakukan pada suhu 4 °C semalaman, atau pada
suhu ruang selama 30 menit hingga beberapa jam. Pada akhirnya terjadi transformasi dan fragmen
DNA yang diinginkan (insert) dapat disisipkan ke dalam molekul DNA (vektor).
2.4. Strategi Pemasukan Gen Apoptin Rekombinan ke dalam E.coli BL12(DE3)
Pemilihan bakteri Escherichia Coli sebagai sel inang dalam proses kloning gen apoptin
Escherichia coli merupakan bakteri berbentuk batang dengan panjang sekitar 2 micrometer
dan diameter 0.5 micrometer. Bakteri ini umumnya hidup pada rentang 20- 400C, optimum pada
370. E. coli ditemukan pertama kali oleh Theodore Eschetrch pada tahun 1885, dan hingga kini
bakteri ini menjadi salah satu tulang punggung dunia bioteknologi. Hapir semua rekayasa genetika
di dunia bioteknologi selalu melibatkan E.coli, termasuk dalam proses kloning.
Escherichia coli
Kingdom : Bacteria
Phylum : Proteobacteria
Class : Gamma proteobacteria
Order : Enterobacteriales
Family : Enterobactericeae
Genus :
Escherichia coli
Species : Escherichia coli
Gambar 6. Koloni E.coli
(Sumber. http://en.wikipedia.org/e-coli, diakses pada
20 September 2012, pukul 22.08)
15
Pemilihan E.coli sebagai host cell adalah karena bakteri ini memiliki laju pertumbuhan yang
cenderung lebih cepat, dapat dikultivasi pada medium kultur biasa, berbagai gen asing yang
mengkode protein target dapat diterima dan diekspresikan dengan baik oleh E.coli. Namun
penggunaan E.coli sebagai host cell juga memiliki kelemahan, salah satunya adalah sinyal
transkripsi dan translasi spesies lain tidak dikenali dengan baik oleh inang E.coli, sehingga ekspresi
gen-gen heterolog di E.coli lemah. Selain itu, masalah serius pada ekspresi protein rekombinan pada
E.coli, yaitu degradasi protein produk secara cepat dan seringkali protein rekombinan justru
terakumulasi dan membentuk agregat kompak, yang bersifat inaktif tidak larut (sehingga
menghambat proses purifikasi), yang disebut dengan badan inklusi (inclusion bodies). Efek lebih
buruk dari fenomena ini adalah protein dapat menjadi tidak aktif. Hal ini terjadi karena keterbatasan
E.coli dalam membentuk struktur tiga dimensi protein secara benar dalam proses pelipatan pasca
translasi.
Bakteri Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif yang tahan hidup dalam media
yang kekurangan zat gizi. Namun susunan dinding sel bakteri gram negatif lebih kompleks daripada
sel bakteri gram positif. Bakteri gram negatif mengandung sejumlah besar lapisan lipoprotein,
lipopolisakarida, dam lemak (Yalun, 2008) (Lampiran 5). Adanya lapisan-lapisan tersebut
mempengaruhi aktivitas kerja DNA rekombinan saat memasuki sel inangnya, dan memperlambat
waktu proses kloning, serta potensi untuk terjadinya kegagalan proses transformasi lebih besar jika
dibandingkan dengan bakteri gram positif, seperti Bacillus subtillis.
E.coli memiliki banyak strain yang dapat digunakan dalam tahapan rekayasa genetika.
Setiap strain memiliki tingkat efisiensi transformasi yang berbeda-beda dan kemampuan untuk
mengekspresikan gen pengkode yang terdapat pada pUC19.
Tabel 2. Protein Expression Strain Properties
16
(Sumber. Anonim. 2000. Competent Cell Clining and Protein Expression. New England Biolabs Inc.
http://www.neb.com/nebecomm/tech_reference/pdf/brochures/CompetentCell.pdf/. Diakses pada 28 September
2012, pukul 23.12)
Pada proses kloning gen apoptin ini, hots cell yang digunakan adalah E.coli BL21(DE3).
Selain memiliki tingkat efisiensi transformasi yang cenderung lebih tinggi, Strain BL21(DE3)
memiliki gen λDE3 pengkode T7 RNA polimerase yang dapat mengekspresikan gen target pada
vektor ekspresi dengan induksi IPTG (Isopropil thiogalaktosida). Induksi dari T7 RNA polimerase
pada E.coli BL21 (DE3) akan mensintesis mRNA dalam jumlah yang tinggi. Dan pada sebagian
besar penelitian, akumulasi protein heterologus dalam jumlah tinggi juga dapat diperoleh. Strain
tersebut juga memiliki mutasi Ion dan OmpT protease sehingga dapat meminimalisir degradasi
protein rekombinan yang terekspresi.
Selain itu, sel inang yang digunakan dalam hal ini E.coli BL21(DE3), adalah bakteri yang
diperoleh pada tahap logaritmik (log phase) karena pada tahap ini masih ada kesempatan bagi sel
inang untuk membelah dan memperbanyak diri sehingga ada peluang bagi plasmid yang diperoleh
menjadi lebih banyak sebelum disebar pada media (Lampiran 6).
Pembuatan bakteri kompeten
Sebelum dilakukan proses transformasi, terlebih dahulu E.coli BL21(DE3) harus dibuat
kompeten. Keadaan kompeten adalah keadaan dimana bakteri (host cell) siap untuk dimasukin oleh
materi genetik asing. Pembuatan bakteri kompeten dilakukan dengan penambahan larutan CaCl2,
sehingga mengingkatkan kemapuannya untuk mengambil DNA. Larutan CaCl2 dalam keadaan
dingin efektif untuk memperlemah dindig sel dan meningkatkan permeabilitasnya sehingga mudah
mengikat DNA. Dinding sel yang dilindungi oleh lipoprotein dengan plasmid yang sama-sama
bermuatan negatif akan sulit untuk menempel. Penambahan larutan CaCl2 membantu mengubah
sifat permeabilitas sel.
Bakteri yang tadinya terdapat pada bagian pelet kemudian diresuspensi kembali dengan
larutan MgCl2. Mg2+ dapat menurunkan kerapatan membran. Hal ini dikarenakan adanya interaksi
antara mineral tersebut dengan bagian hidrofilik membran. Melalui hasil ini dapat diketahui bahwa
penamabahan MgCl2 berperan dalam mengganggu kestabilan membran sel E.coli BL21(DE3).
Transformasi gen apoptin rekombinan ke dalam E.coli BL21(DE3)
Tahap memasukkan campuran reaksi ligasi ke dalam sel inang ini dinamakan transformasi,
karena sel inang diharapkan akan mengalami perubahan sifat tertentu setelah dimasuki molekul
DNA rekombinan.
17
Teknik transformasi pertama kali dikembangkan pada tahun 1970 oleh M. Mandel dan A.
Higa, yang melakukan transformasi bakteri E.coli. Hal terpenting yang ditemukan oleh Mandel dan
Higa adalah perlakuan kalsium klorid (CaCl2) yang memungkinkan sel-sel E. coli untuk
mengambil DNA dari bakteriofag λ. Pada tahun 1972 S.N. Cohen dan kawan-kawannya
menemukan bahwa sel-sel yang diperlakukan dengan CaCl2 dapat juga mengambil DNA plasmid.
Frekuensi transformasi tertinggi akan diperoleh jika sel bakteri dan DNA dicampur di dalam
larutan CaCl2 pada suhu 0 hingga 5ºC. Perlakuan kejut panas antara 37 dan 45ºC selama lebih
kurang satu menit yang diberikan setelah pencampuran DNA dengan larutan CaCl2 tersebut dapat
meningkatkan frekuensi transformasi tetapi tidak terlalu esensial. Molekul DNA berukuran besar
lebih rendah efisiensi transformasinya daripada molekul DNA kecil.
Mekanisme transformasi belum sepenuhnya dapat dijelaskan. Namun, setidaktidaknya
transformasi melibatkan tahap-tahap berikut ini. Molekul CaCl2 akan menyebabkan sel-sel bakteri
membengkak dan membentuk sferoplas yang kehilangan protein periplasmiknya sehingga dinding
sel menjadi bocor. DNA yang ditambahkan ke dalam campuran ini akan membentuk kompleks
resisten DNase dengan ion-ion Ca2+ yang terikat pada permukaan sel. Kompleks ini kemudian
diambil oleh sel selama perlakuan kejut panas diberikan. Pemberian kerjutan panas (heat shock)
yang diikuti pendinginan akan menjadikan dinding sel kembali seperti semula.
Secara garis besar, sebenarnya ada dua teknik yang dapat digunakan untuk memasukkan
DNA rekombinan ke dalam sel inangnya, yakni chemical transformation, menggunakan metode
heat shock (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya) atau electroporation, menggunakan kejutan
listrik. Dalam teknik kloning gen apoptin menggunakan vektor plamid dan E.coli BL21(DE3)
sebagai host cell, teknik transformasi yang digunakan adalah chemical tranformation. Berikut
adalah protokol yang dilakukan dalam tahapan transformasi gen apoptin rekombinan.
18
Gambar 7. Skema tahapan transformasi
(Sumber. Anonim. 2010. Transformasi, Ekspresi Gen Asing dalam Sel Bakteri. http://sciencebio- tech.net/transformasi-
ekspresi-gen-asing-dalam-sel-bakteri/ diakses pada 28 September 2012, pukul 23.44)
Sebagai perbandingan, selain teknik ‘heat-shock’, sejak tahun 1980 telah digunakan teknik
‘elektroforasi’ yaitu dengan mengejutkan sel bakteri dengan medan listrik berkekuatan tinggi (10-
20 kV/cm). Saking terkejutnya, akan terbentuk lubang-lubang pada dinding sel yang bisa diterobos
DNA pUC19 berukuran besar dan kemudian lubang tersebut akan tertutup dengan sendirinya
(Lampiran 7).
Mengidentifikasi klon yang diinginkan
Pada saat proses transformasi, DNA yang dimasukkan ke dalam sel inang bukan hanya
DNA rekombinan, maka dari itu harus dilakukan seleksi untuk memilih sel inang transforman yang
membawa DNA rekombinan. Selanjutnya, diantara sel-sel transforman yang membawa DNA
rekombinan, kita juga harus melakukan seleksi untuk mendapatkan sel DNA rekombinannya
membawa fragmen sisipan atau gen yang dinginkan, dalam hal ini gen apoptin.
Menurut Muladno (2002) dalam proses transformasi ada tiga kemungkinan yang dapat
terjadi setelah tahapan transformasi dilakukan, antara lain :
a) sel inang tidak dimasuki DNA apa pun atau berarti transformasi yang dilakukan gagal
b) sel inang dimasuki vektor religasi atau berarti ligasi gagal
c) sel inang dimasuki vektor rekombinan dengan atau tanpa fragmen sisipan atau gen apoptin
yang diinginkan.
Untuk membedakan antara kemungkinan pertama dan kedua dilihat perubahan sifat yang
terjadi pada sel inang. Jika sel inang memperlihatkan dua sifat marker vektor, maka dapat
19
dipastikan bahwa kemungkinan kedualah yang terjadi. Selanjutnya, untuk membedakan antara
kemungkinan kedua dan ketiga dilihat pula perubahan sifat yang terjadi pada sel inang. Jika sel
inang hanya memperlihatkan salah satu sifat di antara kedua marker vektor, maka dapat dipastikan
bahwa kemungkinan ketigalah yang terjadi.
Menemukan sel yang mengandung hasil insersi yang diinginkan diantara semua sel
perpustakaan genomik merupakan kerja yang sulit. Proses tersebut melibatkan penelusuran semua
sel rekombinan atau fag yang diperoleh dari transformasi atau transduksi untuk menemukan klon
yang diinginkan. Proses ini dinamakan dengan proses screening. Kemungkinan menemukan
fragmen gen yang diinginkan dalam sebuh perpustakaan gen tertentu bisa diestimasi melalui rumus
berikut ini.
N=ln (1−P)
ln(1−1n )
… (1)
dimana N adalah jumlah rekombinan yang perlu discreening, n adalah rasio ukuran genom
organisme relatif terhadap ukuran fragmen rata-rata dalam perpustakaan gen, P sama dengan
probabilitas (apabila p = 0.95 berarti ada 95% kemungkinan untuk menemukan klon tersebut).
Contoh.
Kelompok kami melakukan proses kloning gen apoptin yang diisolasi dari chicken anemia
virus, menggunakan plasmid sebagai vektornya. Ukuran genom apoptin hasil transformasi adalah
1,4 x 103 kb dan ukuran rata-rata fragmen perpustkaan adalah 2,32 kb. Perpustakaan genomik
dibuat dalam vektor-vektor yang ditransformasi ke dalam sel-sel bakteri E. coli BL21(DE3).
Dengan propabilitas 95%, berapa banyak koloni bakteri rekombinan yang harus discreening untuk
menemukan fragmen gen apoptin tersebut?
Langkah1 : mencari nilai n (rasio ukuran genom organisme relatif terhadap ukuran fragmen
rata-rata dalam perpustakaan gen)
n=1,4 ×103 kb2,32 kb
=6,034 ×102
Kemudian, N (jumlah sel rekombinan yang perlu discreening guna menemukan setidaknya
satu sel yang mengandung gen apoptin) bisa dihitung.
Langkah 2 :
N=ln (1−0,95 )
ln(1− 1
6,034 ×102 )N=
ln (0,05)ln (1−0,00165714 )
20
N=ln(0,05)
ln (0,998434)
N= −2,995832−0,001658517
=1806
Jadi, sekitar 1800 koloni bakteri yang diperoleh dari transformasi yang harus discreening
guna menemukan fragmen gen apoptin dengan tingkat propabilitas yang diharapkan sekitar 95%.
Jika ukuran rata-rata insersi perpustakaan gen lebih besar, maka jumlah yang harus di-screening
akan menurun. Sebaliknya, jika ukuran genom lebih besar, maka semakin banyk koloni yang harus
di-screening guna menperoleh keberhasilan. Rumus ini bisa bekerja sebagai panduan untuk mebuat
estimasi jumlah klon yang harus di-screening.
Metode screening ynag digunakan pada teknik kloning apoptin ini adalah dengan blue-white
screening. Alasan penggunaan metode ini adalah karena vektor yang digunakan adalah plasmid
pUC19 yang memiliki semua elemen terkait metode ini.
Pada awalnya, yang harus dilakukan adalah memastikan apakah di dalam E.coli
BL211(DE3) hasil transformasi benar-benar memiliki hasil rekombinan dari proses transformasi.
Seperti yang kita ketahui, bahwa pada umumnya, bakteri tidak dapat hidup pada media yang
mengandung antibiotik. Untuk itu pada DNA plasmid pUC19 yang ditranformasikan terdapat gen
panyandi antibiotik resisten, yakni gen ampicilin resisten (ampR) agar bakteri host [E.coli
BL21(DE3)] menjadi tahan hidup di media yang mengandung antibiotik. Jadi bakteri yang tidak
disisipi plasmid akan mati dengan sendirinya. Permasalahan berikutnya adalah bagaimana
menentukan host cell yang plasmidnya memiliki gen apoptin atau tidak? Harus selalu diingat bahwa
tahapan ligasi tidak 100% berhasil menyambungkan vektor dan insertnya. Bisa saja vektor tersebut
berligasi sendiri (vector self-ligation), atau justru insert yang berligasi sendiri (insert self-ligation).
Pada kasus ini, gen apoptin (insert) disisipkan di pertengahan gen lacZ yang merupakan
penyandi lacZ-á subunit dari enzim 𝞫-galaktosidase. Enzim ini dapat memecah substrat seperti X-
gal (suatu galaktosa yang dimodifikasi) menjadi galaktosa dan pre-chromophore 5-bromo-4-chloro-
3-hydroxyindole, yang selanjutnya dioksidasi menjadi 5,5’-dibromo-4,4’-dichloro-indigo yang
berwarna biru (Gambar 8).
21
Gambar 8. Mekanisme degradasi X-gal oleh 𝞫-galaktosidase
(Sumber. http://biochem.arizona.edu, diakses pada 29 September 2012, pukul 00.07)
Jika gen LacZ masih utuh, maka koloni bakteri E.coli BL21(DE3) akan berwarna biru akibat
pengaruh zat warna indigo yang dihasilkan. Tetapi jika insert berhasil disisipkan (diligasikan)
dengan vektor, otomatis gen lacZ-nya akan terdisrupsi alias rusak dan ujung-ujungnya tidak mampu
menghasilkan indigo yang berwarna biru, sehingga koloni akan berwarna putih. Jadi hanya koloni
putih yang timbuh pada media yang mengandung antibiotik dan X-Gal saja yang kemungkinan
mengandung gen apoptin yang ditransformasikan. Inilah mengapa proses ini dinamakan blue-white
screening (Gambar 9).
22
Gambar 9. Proses ligasi insert-plasmid
(Sumber. http://biochem.arizona.edu, diakses pada 29 September 2012, pukul 00.12)
Menurut Mangunwardoyo (2002) transforman yang dihasilkan ada yang berwarna biru dan
putih atau putih berubah menjadi biru, adanya warna biru karena senyawa X-gal dalam medium.
Hal ini terjadi karena adanya αα-komplementasi di mana vektor plasmid pUC 19 pada bagian poli-
lingkernya masing-masing mengkode 146 asam amino dari ββ galaktosidase (ββ-gal), sedangkan
inangnya mengkode bagian C-terminal dan merupakan komplemen dari ββ-gal. Jika gen penyandi
amino terminal ββ-gal dari vektor plasmid dirusak dengan adanya fragmen DNA, maka protein ββ-
gal tidak terbentuk, hal ini menyebabkan koloni berwarna putih pada medium yang mengandung X-
gal, sedangkan koloni yang melakukan komplementasi berwarna biru. Davis et al. (1994)
menyebutkan terjadinya perubahan koloni yang berwarna putih menjadi biru kembali, kemungkinan
disebabkan adanya pergeseran kerangka baca (frameshift) dari protein, atau mungkin disebabkan
adanya aktivitas eksonuklease yang memotong fragmen tersebut.
Selain metode blue-white screening terdapat pula metode hibridisasi untuk menseleksi klon
rekombinan yang kita inginkan. Pada dasarnya metode ini menggunakan probe DNA berlabel untuk
menandai klon yang memiliki DNA target (Lampiran 8). Probe ini sebelumnya dibuat melalui
teknik PCR untuk menghasilkan sebuh potongan DNA berantai tunggal yang tersusun atas sekuens
yang komplementer dengan sebagian gen yang dinginkan. Karena metode ini cenderung memakan
waktu lebih lama karena harus melalui teknik PCR terlebih dahulu, maka kelompok kami
menggunakan teknik blue-white screening sebagai strategi pen-seleksian.
2.5. Strategi Panen (Harvest) dan Pemurnian Gen Apoptin Hasil Kloning
Seteleh berhasil menseleksi E.coli BL21(DE3) yang mengandung plasmid rekombinan,
maka dilakukanlah proses harvesting, dimana hasil dari blue-white screening disentrifugasi. Dari
23
hasil sentrigugasi ini, kemudian diambil supernatannya untuk kemudian dimurnikan. Teknik
pemurnian yang digunkan adalah IMAC (Immobilized Metal Affinity Chromatography). Teknik ini
cocok dengan strategi kloning yang sebelumnya digunakan karena teknik ini menggunakan
senyawaa pengkelat yang terikat secara kovalen pada zat padat pendukung kromatografi dan zat
padat ini mengikat ion logam. Prinsip IMAC yaitu interaksi reversible anatara beberapa ranatai
samping asam amino dan immobilized ion metal.
Gen apoptin yang direkayasa sebelumnya mengandung histidin pada ujung N-terminalnya.
Kehadiran His-Tag ini mengafilitasi proses pemurnian protein berdasarkan afinitas selektif protein
dengan polihistinin tersebut terhadap adsorben yang dilengkapi pengkelat metal seperti Ni2+ atau
Co2+. Interaksi anatra residu histidin dengan ion logam ini bersifat reversibel dan protein yang
terikat dapat dielusi dengan imidazole atau dengan merendahkan nilai pH. Karena imidazole
indentik dengan rantai samping histidin, maka pada saat konsentrasi imidazole ditingkatkan,
imidazole akan menggantikan posisi pilihistidin pada resin, dan polihistidin akan terleusi keluar.
Sehingga diperolehlah protein gen apoptin murni.
Gambar 10. Mekanisme permurnian protein dengan IMAC
(Sumber. http://www.rsc.org/ej/AN/2008/b802355g/b802355g-s1.gif, diakses pada 30 September 2012, pukul 22.22)
Sebagai pembanding, teknik lain yang dapat digunakan dalam proses pemurnian adalah ion-
exchange chromatography dengan prinsip ikatan ionik antara asam amino dengan cation/anion
exchange atau gel filtration chromatography dengan prinsip ‘trapping’ molekul protein di dalam
sebuah gel sebagai fase stasioner dari kolom kromatografi.
24
BAB III
KELEBIHAN DAN KELEMAHAN STRATEGI YANG DIGUNAKAN
3.1. Metode Isolasi
Dalam melakukan isolasi apoptin, kami memilih menggunakan metode pemisahan ekstraksi
fenol kloroform. Umumnya fenol-kloroform disiapkan dalam bentuk campuran fenol-kloroform-
isoamil alkohol dengan perbandingan volume 25:24:1. Campuran fenol-kloroform adalah campuran
yang homogen. Fenol-kloroform dan air tidak dapat bersatu sehingga akan terbentuk dua fase yakni
fase air (fase aqueous) dan fase fenol-kloroform.
Air adalah pelarut yang sangat polar, sedangkan fenol bersifat kurang polar dibandingkan
dengan air. DNA adalah molekul polar yang disebabkan oleh adanya gugus-gugus fosfat dalam
kerangkanya. Hal ini membuat DNA sangat larut dalam air dan kurang larut dalam fenol. Ketika
isolat DNA yang larut dalam air dicampurkan dengan fenol, DNA tidak akan larut dalam fenol,
namun tetap berada dalam fase air.
Protein memiliki sifat yang berbeda dari DNA. Protein adalah polimer rantai panjang
polipeptida yang tersusun atas berbagai macam asam amino. Asam amino ada yang bersifat polar
(seperti glutamat, lisin dan histidin) karena memiliki residu yang bermuatan, dan ada juga asam
amino yang non polar (seperti fenilalanin, leusin dan triptofan) akibat residunya yang tak
bermuatan. Dalam lingkungan berpelarut air, rantai polipeptida melipat sedemikian rupa sehingga
residu-residu asam amino yang kurang polar daripada air akan berada di sisi dalam protein (jauh
dari air), sedangkan rantai samping asam amino yang polar akan tertata pada sisi luar protein,
berikatan dengan air. Dengan kata lain residu-residu asam amino yang polar bersifat hidrofilik
(“suka air”), dan yang non polar bersifat hidrofobik (“takut air”). Maka, ketika dicampurkan dengan
fenol, protein terekspos dengan pelarut yang kurang polar, sehingga pola pelipatannya protein
berubah. Pada dasarnya dalam kondisi tersebut residu-residu asam amino dari protein akan bertukar
tempat. Residu yang kurang polar yang tadinya tersembunyi di sisi dalam protein ketika berada
dalam pelarut air, kini mendesak menuju ke sisi luar untuk berinteraksi dengan pelarut fenol.
Sebaliknya, residu-residu asam amino yang polar akan terselip ke sisi dalam protein, berlindung
dari fenol. Dalam waktu singkat, protein mengalami denaturasi akibat perubahan pola pelipatannya.
Residu non polar yang kini berada di sisi luar protein yang terdenaturasi membuat protein tersebut
lebih larut di dalam fenol daripada di dalam air. Hal inilah yang mendasari proses pemisahan DNA
dari protein dalam metode ekstraksi fenol. Protein akan terpisah di fase fenol, sedangkan molekul
DNA yang polar tetap berada pada fase air.
Kelebihan dan kekurangan yang ditawarkan bila dibandingkan dengan metode pemisahan
dengan kolom adsorpsi adalah :
25
Metode Kelebihan Kekurangan
Phenol - chloroformDNA yang didapatkan
lebih murni
Waktu yang dibutuhkan lebih
lama.
Kolom adsorpsiWaktu yang dibutuhkan
lebih cepat
ada kemungkinan hasil isolasi
DNA masih terkontaminasi
(polisakarida dan protein).
3.2. Metode Sekuensing DNA
Dalam melakukan sekuensing atau pemetaan DNA, digunakan metode sanger atau
Sekuensing dengan dideoksi. Metode Sanger pada dasarnya memanfaatkan dua sifat salah satu
subunit enzim DNA polimerase yang disebut fragmen klenow. Kedua sifat tersebut adalah
kemampuannya untuk menyintesis DNA dengan adanya dNTP dan ketidakmampuannya untuk
membedakan dNTP dengan ddNTP. Jika molekul dNTP hanya kehilangan gugus hidroksil (OH)
pada atom C nomor 2 gula pentosa, molekul ddNTP atau dideoksi nukleotida juga mengalami
kehilangan gugus OH pada atom C nomor 3 sehingga tidak dapat membentuk ikatan fosfodiester.
Artinya, jika ddNTP disambungkan oleh fragmen klenow dengan suatu molekul DNA, maka
polimerisasi lebih lanjut tidak akan terjadi atau terhenti. Basa yang terdapat pada ujung molekul
DNA ini dengan sendirinya adalah basa yang dibawa oleh molekul ddNTP.
Selain metode Sanger, dikenal juga metode Maxim Gilbert. Pada metode ini fragmen-
fragmen DNA yang akan disekuens harus dilabeli pada salah satu ujungnya, biasanya menggunakan
fosfat radioaktif atau suatu nukleotida pada ujung 3’. Metode Maxam-Gilbert dapat diterapkan baik
untuk DNA untai ganda maupun DNA untai tunggal dan melibatkan pemotongan basa spesifik yang
dilakukan dalam dua tahap.
Kelebihan metode Sanger bila dibandingkan dengan teknik sekuensing DNA Maxim –
Gilbert adalah :
Metode Kelebihan Kekurangan
Metode Sanger
Mudah dilakukan
Tidak menggunakan bahan
yang mudah merusak sampel
hanya efektif diterapkan pada DNA
rantai tunggal.
Metode Maxim –
Gilbert
Dapat diterapkan pada DNA
rantai tunggal maupun rantai
ganda.
Menggunakan reagen kimia dalam
menentukan pembelah spesifik DNA.
26
3.3. Metode Isolasi Plasmid
Untuk mengisolasi plasmid, digunakan metode denaturasi dengan alkali. Secara singkatnya,
sel yang akan diambil bagian plasmidnya diambil dengan mengguanakan sentrifugasi, diinkubasi
dengan menggunakan lysosim buffer, dan diperlakukan dengan menggunakan alcaline
detergent. Protein yang terlarut dan membran dipresipitasi dengan menggunakan
presipitate lysat dibersihkan dengan filtrasi dari presipitat melalui cheesecloth dan kemudian
disentrifugasi. Dengan menggunakan metode denaturasi alkali, bakteri akan melisis sehingga dapat
diambil plasmidnya, dan tidak diperlukannya pemurnian lanjutan.
3.4. Transformasi Unit
Untuk transformasi unit, digunakan metode heat shock. Transformasi unit adalah ekspresi
materi genetik asing yang masuk melalui dinding sel. Pada dasarnya dinding sel berfungsi
melindungi sel dari masuknya benda-benda asing termasuk DNA, tapi dalam kondisi tertentu,
dinding sel ini bisa memiliki semacam celah atau lubang yang bisa dimasuki DNA. Sebetulnya ada
lebih dari 1% spesies bakteri mampu melakukan transformasi secara alami. Dimana mereka
memproduksi protein-protein tertentu yang dapat membawa DNA menyeberangi dinding
sel. Dengan melakukan teknik ‘heat-shock‘ — mendinginkan, memanaskan dan mendinginkan
kembali– bakteri, maka DNA dapat masuk ke dalam sel. Melakukan metode dikejutpanaskan (heat
shock) pada suhu 42°C selama 45 detik akan membuat membran sel akan tertutup kembali karena
terjadi perubahan suhu yang mendadak dari suhu rendah ke suhu tinggi. Dengan metode ini,
kesterilan kerja dan kontaminasi sel akan terminimalisir.
3.5. Seleksi Klon Rekombinan
Untuk seleksi klon rekombinan, digunakan metode blue – white screening. Blue – white
screening adalah teknik untuk mendeteksi ligasi yang sukses dilakukan dalam vektor gen kloning.
Vektor tersebut nantinya ditransformasi dalam sel kompeten, pada kasus ini yaitu bakteri. Sel yang
kompeten tadi nantinya ditempatkan pada X - gal. bila ligasi yang dihasilkan sukses, koloni bakteri
akan berwarna putih dan bila tidak berhasil akan berwarna biru. Kelebihan yang ditawarkan oleh
teknik ini adalah metodenya mudah dilakukan dan cepat. Dalam kasus ini digunakan metode blue –
white screening karena plasmid pUC 19 yang memiliki gen lacZ.
27
DAFTAR PUSTAKA
Anam, Khairul. 2009. Laporan Praktikum Genetika Molekular: DNA Rekombinasi. Sekolah
Pascasarjana Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
Anonim.pUC 18 dan pUC 19.http://www.fermentas.com/en/products/all/molecular-cloning/vectors-
phage/sd005-puc18-puc19-dna. diakses pada tanggal 29 September 2012 pukul 10.00 WIB
Anonim.CMV Expression Plasmid with the pUC19 MCS - pSF-CMV-pUC19
MCS.http://www.oxfordgenetics.co.uk/polylinkers/psf-cmv-puc19mcs-detail.diakses pada
tanggal 29 September 2012 pukul 17.00 WIB
Anonim. Plasmid DNA purification.http://www.taq-dna.com/plasmid-dna-purification-_400.html.
diakses pada tanggal 29 September 2012 pukul 17.00 WIB
Anonim. DNA purification. http://www.promega.com/~/media/files/resources/paguide/letter/
chap9.pdf?la=en. Diakses pada tanggal 29 september pukul 10.00 WIB.
Anonim. Section G Gene Manipulation. Southwest University.
Gaffar S. 2007. Buku Ajar Bioteknologi Molekul. Bandung : Universitas Padjajaran.
Jusuf M. 2001. Genetika I Struktur dan Ekspresi Gen. Bogor : Sagung Seto.
Meng-Shiou Lee, F.-C. S.-H.-Y.-H.-H.-S.-J.-Y. (2012). Efficient Production of an Engineered
Apoptin from Chicken Anemia Virus in a Recombinant E. coli for Tumor Therapeutic
Applications. BMC Biotecnology, 1472-1486.
Muladno. 2002. Seputar Teknologi Rekayasa Genetika. Bogor : Pustaka Wirausaha Muda. 123 pp.
Muslih. Laporan praktikum Biologi Molekuler. http://muslih.edublogs.org/files/2010/03/praktikum
-biomol_muslih.pdf
NextGen Sciences. (2005). Guide to hight efficiency transformation. http://wolfson.huji.ac.il
/expression/procedures/bacterial/competent_cells%20_guide_v3.pdf. Diakses pada 20
September 2012, pukul 23.22.
Schaum. 2010. Genetika, Edisi Keempat. Jakarta : Erlangga.
Stansfield WD, Colome JS, Cano RJ. 2003. Theory and Problems of Molecular and Cell Biology.
New York: McGraw-Hill Companies.
Yalun. (2008). Mengenal bakteri Escherichia coli. http://yalun.wordpress/2008/10/07/_mengenal-
bakteri-escherichia-coli/. Diakses pada 20 September 2012, pukul 22.01.
http://silfiadahnia.blogspot.com/2011/12/enzim-ligase.html
http://www.neb.com/nebecomm/products/productb0202.asp
http://sciencebiotech.net/te-buffer-vs-ddh2o/
28
http://www.neb.com/nebecomm/products_intl/protocol658.asp
29
LAMPIRAN
Lampiran 1. Kapsid Chicken Anemia Virus
(Sumber. ictvdb.bio-mirror.cn)
Lampiran 2. Metode Sanger
(Sumber. scq.ubc.ca)
30
Lampiran 3. Perbedaan MCS pUC 18 dan pUC 19
(Sumber. http://www.fermentas.com/en/products/all/molecular-cloning/vectors-phage/sd005-puc18-puc19-dna)
Lampiran 4. Penggunaan alkaline phosphatase untuk menghindari religasi pada molekul vektor
(Sumber. Anonim. Section G Gene Manipulation. Southwest University)
31
Lampiran 5. Perbedaan dinding sel bakteri Gram negatif dan Gram positif
(Sumber. http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Escherichia_coli, diakses pada 28 September 2012, pukul 23.02)
Lampiran 6. Kurva yang menggambarkan fase‐fase pertumbuhan bakteri; lag phase, log phase,
stationary phase dan death phase
(Sumber. Anam, Khairul. 2010. http://khairulanam.files.wordpress.com/2010/08/laporan-3-rekgen. pdf diakses pada 28
September 2012, pukul 23.17)
32
Lampiran 7. Skema proses transformasi dengan menggunakan metode elektroforasi
(Sumber. Anonim. 2010. Transformasi, Ekspresi Gen Asing dalam Sel Bakteri. http://sciencebio- tech.net/transformasi-
ekspresi-gen-asing-dalam-sel-bakteri/ diakses pada 28 September 2012, pukul 23.44)
Lampiran 8. Teknik hibridisasi kloni
(Sumber. Schaum. 2010. Genetika, Edisi Keempat. Jakarta : Erlangga.)