28
Ikterus Fisiologis pada Bayi dan Penatalaksanaanya Yono Suhendro, Fitriani, Nevy Olianovi, Carla Octavia Heryanti, Marsha Islia El Japa, Rachmad Kurniawan, Maria Angelika Irene T., Muhammad Muzzamil Bin Zolkanain Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Abstrak: Ikterus adalah pewarnaan kuning yang tampak pada sklera dan kulit yang disebabkan penumpukan bilirubin. Ikterus pada bayi baru lahir pada minggu pertama terjadi 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan). Oleh karenanya harus selalu waspada, khususnya terhadap bilirubin indirek karena sifatnya yang toksik dan merusak jaringan (ensefalopati bilirubin atau kernikterus). Serum bilirubin pada ikterus fisiologis berkisar 5-6 mg/dL (86-103 µmol/L), timbul 48-120 jam setelah bayi lahir, dan pada bayi-bayi Asia atau bayi-bayi dengan usia kehamilan 35-37 minggu, level serum bilirubin tidak meningkat sampai bayi berusia 7 hari. Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi tergolong patologis yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Bayi cukup bulan dengan bilirubin total 25-30 mg/dL (428-513 µml/L) mempunyai risiko tinggi terserang toksisitas bilirubin. Terapi sinar di mana kulit bayi terpapar sinar terbukti aman dan efektif menurunkan toksitas bilirubin dengan cara meningkatkan ekskresi bilirubin. Transfusi tukar ditujukan untuk menghilangkan bilirubin dari sirkulasi, apabila dengan terapi sinar gagal. Beberapa obat-obatan (IVIG = Intra Venous Immuno Globulin, phenobarbital, metalloporphyrins) dipakai untuk menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin serta menghambat pembentukan bilirubin. Kata Kunci : Hiperbilirubinemia, ikterus neonatorum Abstract: Neonatal jaundice is the yellowish discoloration of the skin and/or sclerae of newborn infants caused by tissue deposition of bilirubin. Physiologic jaundice is mild uncojugated (indirect-reacting) bilirubinemia and affects nearly all newborns. The peak level in physiologic jaundice typically is 5 to 6 mg/dL (86 to 1

Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Ikterus Fisiologis pada Bayi dan Penatalaksanaanya

Citation preview

Page 1: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

Ikterus Fisiologis pada Bayi dan Penatalaksanaanya

Yono Suhendro, Fitriani, Nevy Olianovi, Carla Octavia Heryanti, Marsha Islia El Japa, Rachmad Kurniawan, Maria Angelika Irene T., Muhammad

Muzzamil Bin Zolkanain

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Abstrak: Ikterus adalah pewarnaan kuning yang tampak pada sklera dan kulit yang disebabkan penumpukan bilirubin. Ikterus pada bayi baru lahir pada minggu pertama terjadi 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi kurang bulan). Oleh karenanya harus selalu waspada, khususnya terhadap bilirubin indirek karena sifatnya yang toksik dan merusak jaringan (ensefalopati bilirubin atau kernikterus). Serum bilirubin pada ikterus fisiologis berkisar 5-6 mg/dL (86-103 µmol/L), timbul 48-120 jam setelah bayi lahir, dan pada bayi-bayi Asia atau bayi-bayi dengan usia kehamilan 35-37 minggu, level serum bilirubin tidak meningkat sampai bayi berusia 7 hari. Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi tergolong patologis yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Bayi cukup bulan dengan bilirubin total 25-30 mg/dL (428-513 µml/L) mempunyai risiko tinggi terserang toksisitas bilirubin. Terapi sinar di mana kulit bayi terpapar sinar terbukti aman dan efektif menurunkan toksitas bilirubin dengan cara meningkatkan ekskresi bilirubin. Transfusi tukar ditujukan untuk menghilangkan bilirubin dari sirkulasi, apabila dengan terapi sinar gagal. Beberapa obat-obatan (IVIG = Intra Venous Immuno Globulin, phenobarbital, metalloporphyrins) dipakai untuk menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin serta menghambat pembentukan bilirubin. Kata Kunci : Hiperbilirubinemia, ikterus neonatorum

Abstract: Neonatal jaundice is the yellowish discoloration of the skin and/or sclerae of newborn infants caused by tissue deposition of bilirubin. Physiologic jaundice is mild uncojugated (indirect-reacting) bilirubinemia and affects nearly all newborns. The peak level in physiologic jaundice typically is 5 to 6 mg/dL (86 to 103 µmol/L), occurs at 48 to 120 hours of age. The peak may not be reached until seven days of age in Asian infants or infants who are born at 35 to 37 weeks gestation. Higher level of unconjugated hyperbilirubinemia are pathologic and occur in variety of conditions. Unconjugated bilirubin that is not bound to albumin (free bilirubin) can enter the brain and cause focal necrosis of neurons and glia, either acutely (acute bilirubin encephalopathy) or chronically with permanent sequelae (kern icterus). Term infants are at risk for bilirubin toxity when Total Serum Bilirubin (TSB) concentration exceed 25 to 30 mg/dL (428 to 513 µmol/L). Phototherapy contist of exposing the infant’s skin to light. It is a safe and efficient method to reduce the toxicity of bilirubin and increase it’s elimination. Exchange transfusion is used to remove bilirubin from the circulation when intensive phototherapy fails. Pharmacologics agents including IVIG (Intra Venous Immuno Globulin), phenobarbital and mettaloporphyrins can be used to inhibit hemolysis, increase conjugation and excretion of bilirubin, or inhibit the formation of bilirubin. Keywords: Hyperbilirubinemia, neonatal jaundice

1

Page 2: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

Pendahuluan

Ikterus atau jaundice merupakan salah satu kondisi paling umum yang harus mendapat perhatian khusus dari petugas medik pada bayi yang baru saja lahir. Ikterus sendiri didefinisikan sebagai kondisi tubuh bayi yang berwarna kuning, dan umumnya tidak hanya tubuh, pewarnaan kuning juga dapat terjadi pada sklera bayi sebagai hasil dari akumulasi dari bilirubin yang tidak terkonjugasi. Pada sebagian besar bayi, hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi merupakan fenomena transisi yang umum dijumpai namun pada beberapa bayi, bilirubin serum dapat meningkat sangat tinggi dan hal inilah yang perlu diwaspadai dan dibedakan dengan ikterus yang terjadi secara fisiologis, karena pada dasarnya bilirubin tidak terkonjugasi bersifat neurotoksik dan dapat menyebabkan kematian pada bayi yang baru lahir dan dapat pula meninggalkan sequelae neurologik yang menetap seumur hidup pada bayi yang dapat bertahan hidup (kern-icterus). Untuk alasan inilah, maka kehadiran ikterus pada neonatus memerlukan evaluasi diagnostik berulang. Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai ikterus yang terjadi secara fisiologis, metabolisme bilirubin pada neonatus dan juga bagaimana membedakan ikterus yang bersifat fisiologis dengan yang patologis.1

Ikterus atau jaundice seperti yang sudah dideskripsikan sebelumnya, merupakan keadaan yang termanifestasi sebagai pewarnaan kuning pada tubuh dan sklera, dan dapat terjadi tidak hanya pada bayi baru lahir namun dapat pula pada orang dewasa biasanya sebagai salah satu gejala klinis suatu penyakit. Ikterus merupakan salah satu masalah umum neonatus. Sekitar 65% dari bayi baru lahir menunjukkan gejala klinis ikterus dengan level bilirubin mencapai di atas 5 mg/dL selama minggu pertama kehidupan dan mengalami peningkatan bertahap sampai maksimum 8 mg/dL pada hari ke-3 sampai 5 dan kembali normal pada minggu kedua. Bilirubin ini merupakan salah satu antioksidan yang poten dan berfungsi membantu bayi yang sebagian besar mengalami defisiensi substansi antioksidan seperti vitamin E, katalase dan superoksidmutase untuk menghindari toksisitas oksigen pada masa-masa bayi baru dilahirkan ke dunia. Kenaikan level bilirubin yang ekstrim merupakan salah satu masalah bagi bayi, pada beberapa bayi bahkan total serum bilirubin (TSB) dapat sampai di atas 20 mg/dL. Peningkatan level bilirubin yang begitu tinggi ini dapat berakhir pada ensefalopati yang disebut sebagai kernicterus.1-3

Ikterus terutama ditemukan pada 25%-50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan. Pada bayi yang lahir prematur, kadar bilirubin serumnya dapat memuncak pada kadar yang lebih tinggi dan tetap tinggi untuk periode waktu yang lebih lama. Ikterus terutama diamati selama usia minggu pertama pada 60% neonatus cukup bulan dan 80% bayi preterm. Warna kuning ini dapat terjadi umumnya akibat akumulasi dari pigmen bilirubin yang larut lemak, tak terkonjugasi, nonpolar (bereaksi-indirek) yang dibentuk dari hemoglobin oleh kerja enzim heme oksigenase, biliverdin reduktase, dan agen pereduksi nonenzimatik dalam sel retikuloendotelial. Bentuk tidak terkonjugasi dari bilirubin ini bersifat neurotoksik bagi bayi pada kadar tertentu dan pada berbagai keadaan lain. Bilirubin terkonjugasi sebaliknya justru tidak neurotoksik namun menunjukkan kemungkinan gangguan yang serius. Kenaikan bilirubin ringan dapat mempunyai sifat antioksidan.4

Ikterus pada neonatus dapat bersifat fisiologis dan patologis. Ikterus yang bersifat fisiologis didefinisikan sebagai ikterus yang muncul pada hari ke-2 atau hari ke-3 yang tidak

2

Page 3: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi kernicterus dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi, sedangkan ikterus patologis ialah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai tertentu sehingga dapat dikatakan sebagai hiperbilirubinemia. Dasar patologis ini dapat mencakup jenis bilirubin, saat timbul dan menghilangnya ikterus dan penyebabnya. Kedua jenis ikterus ini harus dapat dibedakan mengingat bahayanya bilirubin tidak terkonjugasi bagi sistem saraf pusat bayi. Pengamatan dan penelitian di RSCM Jakarta (Monintja dkk, 1981) menunjukkan bahwa dianggap hiperbilirubinemia, apabila: 5

1. Ikterus terjadi pada 24 jam pertama.2. Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam3. Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada neonatus kurang bulan dan 12,5 mg

% pada neonatus cukup bulan.4. Ikterus yang disertai dengan proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim

G-6-PD dan sepsis).5. Ikterus yang disertai dengan keadaan (a) berat lahir kurang dari 2000 gram (b) masa

gestasi kurang dari 36 minggu (c) asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernapasan (d) infeksi (e) trauma lahir pada kepala (f) hipoglikemia, hiperkarbia (g) hiperosmolalitas darah.

Anamnesis

Anamnesis yang dapat dilakukan untuk bayi dengan ikterus, umumnya ditanyakan langsung kepada ibu, sehingga anamnesis bersifat allo-anamnesis, beberapa hal yang perlu ditanyakan kepada ibu mengenai ikterus pada bayinya, antara lain: 1,5,6

1. Kapan ikterus atau kuning pada tubuh bayi muncul pertama kali? Berapa lama ikterus sudah terjadi? Apakah ikterus bertahan lebih dari 2 minggu? (ikterus fisiologis umumnya muncul pada hari kedua atau hari ketiga sesudah lahir, apabila ikterus muncul selama 24 jam pertama kehidupan, lebih mengarah kepada keadaan non-fisiologis)

2. Apakah masa kehamilan/masa gestasi cukup 36 minggu?3. Bagaimana berat badan bayi lahir? Apakah bayi mengalami BBLR? 4. Apakah ibu selama masa mengandung mengalami infeksi baik infeksi virus maupun

infeksi lainnya?5. Apakah ibu selama masa mengandung ada mengkonsumsi obat-obatan tertentu?6. Apakah proses melahirkan berjalan dengan baik atau justru ada trauma selama proses

kelahiran? Apakah ada penundaan penjepitan tali plasenta?7. Apakah ada anggota keluarga lain yang mengalami ikterus atau ada riwayat keluarga

akan sindroma Gilbert?8. Apakah dalam keluarga ada riwayat kelainan hemolisis? Anemia? Splenektomi? Batu

kandung empedu? Penyakit hati?9. Bagaimana keaktifan anak? Apakah anak cukup menyusu?

Pemeriksaan fisik

3

Page 4: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

Pemeriksaan fisik pada neonatus, terutama terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital mencakup tekanan darah, suhu tubuh, frekuensi nadi dan frekuensi pernapasan bayi untuk mengetahui apakah ada kelainan pada bayi yang baru saja dilahirkan, setelah itu pemeriksaan fisik dilanjutkan dengan pengamatan ikterus pada bayi.1

Pengamatan pada ikterus terkadang agak sulit apabila dilakukan dengan cahaya buatan. Pengamatan akan jauh lebih baik bila dilakukan dengan cahaya matahari dan dengan melakukan sedikit penekanan pada kulit untuk menghilangkan warna karena pengaruh sirkulasi. Ikterus terutama dapat ditemukan pada wajah dan dahi. Identifikasi dilakukan dengan penekanan pada kulit. Ikterus kemudian secara bertahap akan muncul pada batang tubuh dan ekstremitas.1

Tabel 1. Derajat ikterus berdasarkan Kramer7

Derajat ikterus

Daerah ikterusPerkiraan kadar bilirubin

I Kepala dan leher 5,0 mg%

II Sampai badan atas (di atas umbilikus) 9,0 mg%

IIISampai badan bawah (di bawah umbilikus) hingga tungkai atas (di atas lutut)

11,4 mg/dl

IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4 mg/dl

V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0 mg/dl

Pada sebagian besar bayi, warna kuning ialah satu-satunya temuan yang didapatkan pada pemeriksaan fisik. Ikterus yang lebih intens dapat diikuti dengan rasa mengantuk pada bayi. Temuan neurologik yang jelas, seperti perubahan pada tonus otot, kejang (seizure), atau karakteristik tangisan yang berubah dapat menjadi pertanda bahaya dan memerlukan perhatian segera untuk mencegah kernicterus.1

Selain temuan berupa warna kuning pada tubuh dan sklera bayi, dapat pula ditemukan adanya hepatosplenomegali, petekie, dan microcephaly pada bayi-bayi dengan anemia hemolitik, sepsis, dan infeksi kongenital. Neonatal jaundice dapat mengalami eksaserbasi dalam keadaan-keadaan tersebut.1

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratoriumPengukuran bilirubin dapat dilakukan dengan cara-cara berikut1

1. Transcutaneous bilirubinometry, dapat dilakukan dengan perangkat genggam yang menggabungkan algoritma optik canggih. Penggunaan perangkat ini telah mengurangi penggunaan sampel darah bayi dengan ikterus namun perangkat ini tidak bisa digunakan untuk memonitor perkembangan fototerapi. Penggunaan perangkat ini juga ternyata jauh lebih baik dibandingkan pemeriksaan secara visual. Pada bayi dengan ikterus ringan, penggunaan teknik ini mungkin menjadi salah satu pemeriksaan yang diperlukan untuk mengetahui total bilirubin pada batas yang aman. Pada bayi dengan

4

Page 5: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

ikterus sedang, teknik ini mungkin berguna untuk memilih pasien yang membutuhkan flebotomi atau pengambilan sampel darah kapiler untuk pengukuran bilirubin serum. Pada bayi dengan ikterus berat, dapat berguna sebagai alat untuk memantau secara cepat terapi yang bersifat cepat dan agresif.

2. Pengukuran total bilirubin serum mungkin menjadi satu-satunya pemeriksaan yang diperlukan pada bayi dengan ikterus sedang dengan ikterus yang muncul pada hari ke-2 atau hari ke-3 tanpa adaya proses patologis.

3. Pemeriksaan golongan darah dan penentuan Rh pada ibu dan bayi4. Direct antiglobulin test pada bayi (direct Coomb test)5. Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit6. Level albumin serum: berguna untuk mengevaluasi risiko dari toksisitas, karena

albumin mengikat bilirubin dalam rasio 1:1 di lokasi pengikatan primernya dengan afinitas tinggi

7. Hitung retikulosit dan pemeriksaan pulasan darah tepi untuk melihat morfologi eritrosit

8. Level bilirubin terkonjugasi dan pemeriksaan fraksi bilirubin (konjugasi vs tidak terkonjugasi)

9. Liver function test: SGOT dan SGPT yang meningkat pada penyakit hepatoselular. Alkali fosfatase dan GGT umumnya meningkat pada penyakit kolestasis.

10. Analisa gas darah: risiko toksisitas bilirubin pada sistem saraf pusat meningkat pada asidosis, biasanya asidosis respiratorik

11. Pengukuran end-tidal carbon monoxide (ETCO) pada napas untuk mengetahui indeks produksi bilirubin.

Pemeriksaan radiologiPemeriksaan radiologi mencakup pemeriksaan dengan USG, terutama USG dilakukan

pada hati dan saluran empedu untuk bayi dengan gejala klinis mengarah pada penyakit kolestasis. Selain itu, dapat pula dilakukan scanning dengan radionuklida pada hati untuk indikasi bayi yang diduga mengalami atresia saluran empedu ekstrahepatik.1

Diagnosis kerja

Ikterus Fisiologis pada Neonatus (Ikterus Neonatorum)Pada bayi dengan ikterus neonatorum, kadar bilirubin dalam serum talipusat yang

bereaksi-indirek ialah 1-3 mg/dL dan naik dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dL/24 jam dengan demikian makan ikterus dapat dilihat pada hari ke-2 sampai hari ke-3, biasanya berpuncak antara hari ke-2 dan ke-4 dengan kadar 5-6 mg/dL dan menurun sampai di bawah 2 mg/dL antara umur hari ke-5 dan ke-7. Ikterus ini bersifar fisiologis dan diduga terjadi akibat kenaikan produksi bilirubin pasca pemecahan sel darah merah janin dan dikombinasi dengan keterbatasan sementara konjugasi bilirubin oleh hati karena fungsi hati bayi yang masih imatur.3,4

Ikterus fisiologis ini dapat ditemui pada sekitar 60% bayi aterm dan lebih dari 80% bayi prematur. Secara keseluruhan, 6-7% bayi cukup bulan mempunyai kadar bilirubin indirek lebih besar dari 12,9 mg/dL dan kurang dari 3% mempunyai kadar yang lebih besar dari 15 mg/dL. Faktor risiko untuk mengalami hiperbilirubinemia indirek meliputi: diabetes pada ibu, ras, prematuritas, obat-obatan (vitamin K3, novobiosin), tempat yang tinggi,

5

Page 6: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

polisitemia, jenis kelamin laki-laki, trisomi-21, memar kulit, sefalhematom, induksi oksitosin, pemberian ASI, kehilangan berat badan (dehidrasi atau kehabisan kalori), pembentukan tinja lambat, dan ada saudara yang mengalami ikterus fisiologis. Bayi-bayi tanpa variabel ini jarang mempunyai kadar bilirubin indirek di atas 12 mg/dL, sedangkan bayi yang memiliki banyak faktor risiko lebih mungkin memiliki kadar bilirubin yang lebih tinggi. Kadar bilirubin indirek pada bayi cukup bulan menurun sampai menjadi kadar orang dewasa (1mg/dL) pada umur 10-14 hari. 3,4

Pada bayi yang prematur, kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau sedikit lebih lambat daripada kenaikan bilirubin pada bayi cukup bulan dengan jangka waktu yang lebih lama dan biasanya mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya baru dicapai antara hari ke-4 dan ke-7. Diagnosis ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan atau preterm dapat ditegakkan hanya dengan mengesampingkan sebab-sebab ikterus yang diketahui berdasarkan riwayat dan tanda-tanda klinis serta laboratorium. Diagnosis ikterus fisiologis sendiri merupakan diagnosis eksklusi. Perlu diketahui, bahwa ikterus fisiologis ini tidak menibulkan kerusakan pada bayi aterm sehat.3,4

Diagnosis banding

Ikterus PatologisIkterus patologis terutama dapat disebabkan oleh inkompatibilitas ABO, Rh

isoimunisasi, akibat sepsis, ataupun disebabkan oleh adanya defisiensi enzim G-6-PD. Membedakan antara ikterus fisiologis dengan patologis ialah dengan melihat waktu timbulnya ikterus, yaitu sebagai berikut: 4,5

1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertamaIkterus yang segera timbul begitu bayi lahir atau muncul dalam 24 jam pertama

mungkin disebabkan oleh inkompatibilitas darah Rh, ABO, atau golongan darah lain, infeksi intrauterin (virus, bakteri, toksoplasmosis kongenital, rubela, inklusi sitomegali), eritroblastosis fetalis, perdarahan tersembunyi dan kadang oleh karena defisiensi enzim G-6-PD.

2. Ikterus yang timbul 24-72 jam setelah lahirIkterus yang muncul pada hari ke-2 atau hari ke-3 dapat menunjukkan ikterus

yang fisiologis namun dapat pula menunjukkan adanya hiperbilirubinemia oleh karena sindrom Crigler-Najjar yang merupakan ikterus non-hemolitik familial, dapat pula ikterus muncul karena kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, masih memungkinkan juga disebabkan oleh defisiensi enzim G-6-PD, keadaan polisitemia, hemolisis perdarahan tertutup, hipoksia, sferositosis, dehidrasi asidosis, dan defisiensi enzim eritrosit lainnya.

3. Ikterus yang muncul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertamaIkterus yang muncul setelah 3 hari memberi gambaran septikemia karena infeksi

lain terutama sifilis, toksoplasmosis, dan penyakit inklusi sitomegalovirus. Selain septikemia, dapat pula ikterus muncul karena dehidrasi asidosis, pengaruh obat, sindrom Criggler Najjar, sindrom Gilbert.

4. Ikterus yang muncul di akhir minggu pertama

6

Page 7: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

Ikterus yang muncul setelah usia satu minggu memberi kesan ikterus karena ASI atau biasa disebut sebagai breastmilk jaundice, septikemia, atresia kongenital saluran empedu, hepatitis, rubela, hepatitis herpes, galaktosemia, hipotiroidisme, anemia hemolitik kongenital, atau kemungkinan kegawatan anemia hemolitik lainnya misalnya karena defisiensi piruvat kinase atau karena obat-obatan.

5. Ikterus yang persisten selama umur 1 bulanIkterus yang terus bertahan selama umur satu bulan akan memberi kesan sindrom

empedu mengental (yang dapat menyertai penyakit hemolitik bayi baru lahir), sifilis, toksoplasmosis, ikterus nonhemolitik familial, kadang ikterus fisiologis dapat memanjang selama beberapa minggu pada keadaan bayi hipotiroidisme atau stenosis pilorus.

Ikterus akibat ASI (breast milk jaundice)Umum dijumpai. Bilirubin tak terkonjugasi. Pemberian ASI tetap harus dilanjutkan.

Akan dieksaserbasi oleh dehidrasi akibat kegagalan untuk memberikan ASI atau pemberian susu yang tidak adekuat. Berlanjut hingga usia diatas 2 minggu pada 15% kasus. Pada sebagian bayi yang mendapat ASI eksklusif, dapat terjadi ikterus yang yang berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor tertentu dalam ASI yang diduga meningkatkan absorbsi bilirubin di usus halus. Bila tidak ditemukan faktor risiko lain, ibu tidak perlu khawatir, ASI tidak perlu dihentikan dan frekuensi ditambah. Apabila keadaan umum bayi baik, aktif, minum kuat, tidak ada tata laksana khusus meskipun ada peningkatan kadar bilirubin.8

SepsisSebagian kecil bayi yang tampak ikterik saat lahir, menderita suatu infeksi kongenital

yang dapat melewati plasenta dan mungkin dapat menyebabkan kerusakan serius pada janin. Infeksi kongenital tersebut adalah toksoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, virus herpes, dan sifilis. Ikterus akibat infeksi kongenital ini biasanya merupakan gabungan bilirubin tak terkonjugasi dan bilirubin terkonjugasi. Bayi memperlihatkan tanda-tanda infeksi lainnya yang abnormal. Bayi-bayi baru lahir sangatlah rentan terhadap sepsis bacterial (infeksi sistemik dengan kultur darah ataupun kultur sentral lainnya yang positif). Sepsis onset-dini (early-onset sepsis, EOS): <72 jam setelah kelahiran. Definisi ini berkisar dari 24 jam sampai 6 hari, namun paling banyak terjadi dalam 72 jam setelah kelahiran. Kondisi ini disebabkan oleh pajanan vertikal ke jumlah bakteri yang tinggi selama kelahiran dan jumlah antibodi pelindung yang sedikit. Sepsis onset-lambat:>72 jam setelah kelahiran. Organisme biasanya didapat melalui transmisi nosokomial dari orang ke orang.9,10

Inkompatibilitas ABO dan penyakit Rhesus.Golongan darah ibu O, golongan darah bayi A atau B. IgG antihemolisin maternal

melewati plasenta dan menyebabkan hemolisis pada bayi, pemeriksaan antibodi direk (DAT atau tes Coombs) positif (namun hasil yang positif merupakan prediktor buruk bahwa bayi akan mengalami ikterus-hanya 10% yang membutuhkan fototerapi), kakak kandungnya mungkin juga terkena, kurang berat dibandingkan penyakit Rhesus, onset setelah kelahiran, hemolisis dengan anemia dapat berkembang selama beberapa minggu pertama kehidupan dan hal ini membutuhkan tindak lanjut untuk pemantauan anemia. Penyakit Rhesus adalah

7

Page 8: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

keadaan bentuk penyakit hemolitik yang paling berat dan berawal in utero. Saat lahir, bayi mungkin mengalami anemia, hidrops, ikterus, dan hepatosplenomegali. Biasanya teridentifikasi pada skrining antenatal, kini keadaan ini tidak umum ditemukan akibat adanya profilaksis, antibodi Duffy dan Kell dan golongan darah lainnya dapat timbul, namun tidak terlalu benar.8

Percepatan destruksi sel darah merah pada janin dan neonatus paling sering disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah Rh dan ABO dengan golongan darah ibu (eritoblastosis fetalis). Konsentrasi bilirubin serum hanya sedikit meningkat di darah tali pusat bayi yang terkena, tetapi dapat meningkat pesat setelah pemisahan plasenta saat persalinan.10

Etiologi

Penyebab ikterus pada bayi yang baru lahir dapat menjadi penyebab tunggal, namun pada beberapa kasus dapat pula bersifat multifaktorial. Metabolisme bilirubin bayi yang baru lahir berada dalam masa transisi dari stadium janin yang mana selama waktu janin tersebut plasenta merupakan satu-satunya jalur eliminasi utama bilirubin yang larut-lemak, ke stadium dewasa, yang mana ketika bayi sudah dewasa maka bentuk bilirubin terkonjugasi yang larut air akan diekskresikan dari sel hati ke dalam sistem biliaris dan kemudian ke saluran pencernaan.4,5

Secara garis besar penyebab ikterus neonatorum dapat dibagi menjadi: 4,5

1. Produksi yang berlebihanProduksi bilirubin yang berlebihan yang tidak diimbangi dengan kemampuan

bayi untuk mengekskresikannya akan membuat akumulasi bilirubin di dalam tubuh bayi, dan dapat terjadi misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup, dan sepsis. Kasus-kasus di atas terutama dapat menambah beban bilirubin untuk dimetabolisasi oleh hati.

2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi heparGangguan ini terutama disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat

untuk proses konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar neonatus, akibat asidosis, hipoksia, dan infeksi atau bahkan di dalam tubuh bayi tidak terdapat enzim glukuronil transferase (sindrom Criggler-Najjar). Keadaan hipoksia, infeksi kemungkinan hipotermia dan defisiensi tiroid dapat mencederai hati atau bahkan mengurangi aktivitas enzim transferase. Penyebab lainnya ialah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperan dalam uptake bilirubin ke sel hepar. Beberapa obat dapat memblokade atau berkompetisi dengan enzim transferase yang selanjutnya akan mengganggu proses konjugasi bilirubin.

3. Gangguan transportasiBilirubin yang ada dalam darah secara fisiologis akan diikat oleh albumin untuk

kemudian dibawa ke hepar. Ikatan albumin-bilirubin ini dapat dipengaruhi oleh berbagai jenis obat, misalnya salisilat, sulfafurazole, sulfisoksazol dan moksalaktam. Defisiensi dari albumin akan lebih banyak menyebabkan terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah dan sewaktu-waktu dapat melekat pada sel otak.

4. Gangguan dalam ekskresi

8

Page 9: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

Gangguan ini terutama didapati pada bayi dengan obstruksi di dalam hepar atau bahkan di luar hepar. Kelainan di luar hepar umumnya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar dapat terjadi akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh sebab lain.

5. Etiologi lainRisiko pengaruh toksik dari meningkatnya bilirubin tak terkonjugasi dalam serum

menjadi bertambah dengan faktor-faktor yang mengurangi retensi biirubin dalam sirkulasi misal pada keadaan hipoproteinemia, asidosis, kenaikan sekunder asam lemak bebas akibat hipoglikemia, kelaparan atau hipotermia atau dapat juga oleh faktor-faktor yang meningkatkan permeabilitas sawar-darah otak atau membran sel saraf terhadap bilirubin atau kerentanan sel otak terhadap toksisistasnya seperti pada keadaan asfiksia, prematuritas, hiperosmolalitas, dan infeksi. Pemberian makan yang awal dapat menurunkan kadar bilirubin serum, sedangkan ASI dan dehidrasi menaikkan kadar bilirubin serum. Mekonium mengandung 1 mg bilirubin/dL dan daoat berperan menyebabkan ikterus melalui sirkulasi enterohepatik pasca-dekonjugasi oleh glukuronidase usus. Obat-obatan seperti oksitosin dan bahan kimia yang diberikan dalam ruang perawatan seperti deterjen fenol dapat pula menimbulkan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi.

Epidemiologi

Insidensi ikterus pada neonatus bervariasi sesuai dengan etnis dan geografik. Insiden paling tinggi didapatkan di Asia Timur dan Indian Amerika dan insidens lebih rendah pada orang kulit hitam. Orang Yunani yang tinggal di Yunani memiliki insidensi lebih tinggi dibanding keturunan Yunani yang tinggal di luar Yunani. 1

Insidens lebih tinggi pada populasi yang hidup di dataran tinggi. Tahun 1984, Moore et all melaporkan 32,7% bayi dengan kadar serum bilirubin lebih dari 12 mg/dL berada pada ketinggian 3100 m dari permukaan laut. 1

Sebuah studi di Turki melaporkan adanya ikterus yang lebih jelas pada 10,5% bayi cukup bulan dan 25,3% pada bayi yang mendekati cukup bulan. Ikterus yang lebih signifikan ini terkait dengan masa gestasi dan umur postnatal, dengan puncak tertinggi 14 mg/dL pada hari ke-4 untuk bayi prematur, dan 17 mg/dL pada bayi cukup bulan. 1

Beberapa studi juga menunjukkan bahwa adanya variasi etnis/suku yang berpengaruh pada insidens dan tingkat keparahan ikterus neonatus ini, dan hal ini diduga berkaitan dengan perbedaan distribusi varian genetik dalam memetabolisme bilirubin.1

Insidens dari ikterus neonatus ini meningkat pada bayi Asia Timur, Indian Amerika dan keturunan Yunani, walaupun pada akhirnya bayi yang lahir di Yunani lebih dipengaruhi oleh lingkungan dibandingkan oleh ras aslinya. Bayi berkulit gelap memiliki insidens ikterus lebih rendah dibanding bayi berkulit putih. Pada tahun 1985, Linn et al melaporkan bahwa pada 49% bayi Asia Timur, 20% bayi berkulit putih dan 12% bayi berkulit gelap memiliki kadar bilirubin serum di atas 10 mg/dL. Bayi-bayi Asia lebih cenderung untuk memiliki kadar bilirubin di atas 12 mg/dL dan hal ini dikaitkan dengan polimorfisme genetik yang mempengaruhi gene UDPGT atau defisiensi G-6-PD.1,2

9

Page 10: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

Bayi laki-laki memiliki insidens ikterus lebih tinggi dibanding bayi berjenis kelamin perempuan. Hal ini tidak berkaitan dengan faktor rata-rata produksi bilirubin, karena faktor produksi ini sama untuk kedua jenis kelamin.1,2

Risiko ikterus yang signifikan berbanding terbalik dengan masa gestasi proporsional. Bayi-bayi prematur biasanya lenih sering mengalami kondisi intake enteral yang buruk, BAB yang terlambat/tertunda, dan sirkulasi enterohepatik yang meningkat. Bahkan, pada usia gestasi 37 minggu, kelompok ini 4x lebih mungkin memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dL dibandingkan dengan kelompok bayi dengan masa gestasi 40 minggu.1,2

Patofisiologi

Penyakit hemolitik bayi baru lahir merupakan penyebab umum ikterus neonatus. Meskipun demikian, karena imaturitas metabolisme bilirubin, banyak bayi baru lahir menjadi ikterus tanpa adanya hemolisis. Bilirubin dihasilkan pada katabolisme hemoglobin dalam sistem retikuloendotelial. Cincin tetrapirol heme dipecah oleh heme oksigenase membentuk biliverdin dan karbon monoksida dengan jumlah yang sama. Karena tidak ada sumber biologis lain untuk karbon monoksida, ekskresi gas ini secara stoikiometrik identik dengan produksi bilirubin oleh biliverdin reduktase. Satu gram hemoglobin menghasilkan 35 mg bilirubin. Sumber bilirubin selain dari hemoglobin dalam sirkulasi mewakili 20% produksi bilirubin; sumber ini meliputi produksi hemoglobin inefisien dan lisis sel prekursor dalam sumsum tulang. Dibandingkan dengan dewasa, bayi baru lahir mempunyai kecepatan produksi bilirubin dua sampai tiga kali lebih besar. Ini sebagian disebabkan oleh peningkatan massa eritrosit (hematokrit lebih tinggi) dan pemendekan rentang usia eritrosit 70-90 hari, dibandingkan dengan 120 hari rentang usia eritrosit dewasa.11

Metabolisme Bilirubin pada Janin dan Neonatus

Produksi

10

Gambar 1. Metabolisme bilirubin pada neonatus5

Page 11: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

Bilirubin sebagian besar dibentuk sebagai akibat dari penghancuran hemoglobin pada sistem retikuloendotelial dengan reaksi oksidasi-reduksi. Tahap pertama ialah dengan oksidasi heme yang akan menghasilkan biliverdin oleh heme oksigenase yang akan melepas besi yang akan disimpan untuk dipakai kembali dan karbon monoksida yang dilepaskan melalu paru-paru, karbon monoksida ini dapat diukur pada napas pasien untuk memperkirakan seberapa besar produksi bilirubin. Kemudian biliverdin yang larut air akan menjadi bilirubin oleh enzim bilirubin reduktase. Tingkat penghancuran heme lebih tinggi pada bayi dibanding pada orang tua. Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan sekitar 35 mg bilirubin indirek ketika mengalami degradasi. Bilirubin indirek ini ialah bilirubin yang tidak larut dalam air namun larut dalam lemak. Peningkatan produksi bilirubin pada neonatus disebabkan oleh karena adanya peningkatan penghancuran eritrosit fetus dan sebagai hasil dari umur eritrosit fetal yang memendek serta dikarenakan massa eritrosit yang lebih tinggi pada neonatus.5

TransportasiBilirubin indirek yang tidak larut air ini kemudian akan diangkut oleh albumin. Sel

parenkima hepar mempunyai cara yang selektif dan efektif dalam mengambil bilirubin dari plasma, untuk kemudian bilirubin ini akan ditransfer ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Di dalam sel, bilirubin akan terikat pada ligandin (protein Y, glutation S-transferase B) dan sebagian kecil lagi pada protein Z. Bilirubin yang masuk hepatosit selanjutnya akan mengalami konjugasi dan diekskresi ke dalam empedu. Dengan adanya sitosol hepar, ligandin mengikat bilirubin sedangkan albumin tidak. Pada neonatus, terdapat konsentrasi rendah ligandin dan juga aktivitas enzim transferase yang rendah, sehingga hal ini mendasari banyaknya bilirubin indirek bebas dalam darah. Uptake bilirubin yang masuk ke dalam hepatosit berbanding lurus dengan konsentrasi ligandin.5

KonjugasiSelanjutnya dalam sel hepar, bilirubin akan dikonjugasikan dengan asam glukuronat

menjadi bilirubin diglukuronide walaupun sebagian kecil juga ada dalam bentuk bilirubin monoglukuronide. Bilirubin monoglukuronide ini akan diubah menjadi bilirubin diglukuronide oleh enzim glukuronil transferase. Ada 2 macam enzim yang terlibat dalam sinsesis bilirubin diglukuronide, yaitu enzim UDPGT (uridin difosfat glukuronide transferase) yang mengkatalisasi pembentukan bilirubin monoglukuronide.5

EkskresiSesudah proses konjugasi maka bilirubin ini akan menjadi bilirubin direk yang larut

dalam air dan dapat diekskresikan dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus, dalam usus bilirubin direk ini tidak diabsorpsi dan akan dirubah menjadi tetrapirol yang tidak berwarna/sterkobilin oleh mikroba kolon dan dilepas bersama tinja. Sebagian kecil dari bilirubin direk ini akan dihidrolisis atau didekonjugasi di usus kecil proksimal menjadi bilirubin indirek oleh B-glukuronidase yang ada di brush border dan direabsorpsi sehingga akan meningkatkan total bilirubin plasma. Siklus ini disebut siklus enterohepatik. Pada neonatus dikarenakan aktivitas enzim B-glukuronidase yang meningkat, bilirubin direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin justru didekonjugasi menjadi bilirubin indirek sehingga jumlah bilirubin yanng terhidrolisa menjadi bilirubin indirek akan meningkat dan

11

Page 12: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

direabsorpsi sehingga siklus enterohepatik meningkat. Intake makanan oleh neonatus pada hari-hari pertama kehidupan yang terbatas akan membuat waktu transit usus lebih panjang sehingga akan berdampak pada siklus enterohepatik yang meningkat. Siklus ini juga meningkat pada bayi yang kurang mendapat asupan cairan dan nutrisi.5

Pada neonatus dan fetus, produksi bilirubin diduga sama besarnya tetapi faktor kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas demikian pula kesanggupan untuk mengkonjugasi, sehingga hampir semua bilirubin janin dalam bentuk bilirubin indirek dengan mudah melalui plasenta masuk ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibu. Dalam keadaan fisiologis, dapat terjadi adanya akumulasi bilirubin indirek pada neonatus sampai 2 mg%. Hal inilah yang membedakan antara metabolisme bilirubin oleh fetus dan neonatus, pada fetus masalah metabolisme dapat terselesaikan dengan bantuan metabolisme ibu sedangkan pada neonatus akan terjadi penumpukkan bilirubin dan timbul ikterus. Pada neonatus, hal ini disebabkan oleh karena belum sempurnanya fungsi hepar diikuti dengan keadaan hipoksia, asidosis, atau adanya kekurangan enzim glukuronil transferase maka kadar bilirubin indirek darah akan meningkat. Pada bayi kurang bulan, kadar albumin serum rendah dan ini menyebabkan adanya bilirubin indirek bebas dan sangat berbahaya karena dapat melekat pada sel otak. Oleh karena itu, perlu diberikan albumin atau plasma untuk mencegah bilirubin indirek bebas ini meninggi kadarnya. Ikterus pada bayi juga disebabkan oleh karena keadaan kolon bayi yang masih steril tanpa keberadaan flora normal sehingga bilirubin terkonjugasi akan tetap diam di lumen usus dan dengan enzim B-glukuronidase maka bilirubin terkonjugasi akan didekonjugasi menjadi bilirubin tidak terkonjugasi kembali. Pada mukosa usus neonatus terdapat konsentrasi enzim B-glukuronidase yang lebih tinggi dibanding pada orang dewasa.5

Penatalaksanaan

Pemberian obat umumnya tidak dilakukan pada bayi dengan ikterus yang fisiologis, namun pada beberapa kondisi dapat diberikan fenobarbital untuk menginduksi kerja metabolisme bilirubin oleh hati dan pada beberapa studi, fenobarbital dikatakan efektif untuk menurunkan rata-rata kadar bilirubin serum selama minggu pertama kehidupan. Fenobarbital dapat diberikan sebelum melahirkan pada ibu ataupun setelah melahirkan pada bayi.1-3,5

Penggunaan fenobarbital terutama diberikan untuk populasi dengan insidens ikterus yang signifikan, obat-obatan yang dapat menginduksi meabolisme bilirubin selain fenobarbital juga tersedia namun masih terdapat kekurangan data lapangan yang kuat mengenai keamanan obat-obatan ini. Selain itu, dapat pula diberikan immunoglobulin secara intravena 500 mg/kg yang ternyata telah menunjukkan penurunan berarti kebutuhan untuk melalukan transfusi gamti pada bayi dengan penyakit hemolisis iso-imun. Mekanismenya belum jelas, namun diduga berkaitan dengan sistem imun yang menjaga sel darah merah yang telah diselimuti antibodi.1-3,5

FarmakologiFenobarbital

Fenobarbital dapat digunakan untuk kasus ikterus, dikarenakan sifat dari fenobarbital sebagai enzyme-inducer, yang dapat meningkatkan kinerja enzim transferase dan

12

Page 13: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

mempertinggi konsentrasi ligandin sehingga dapat memberi tempat pengikatan yang lebih banyak untuk bilirubin.2

Obat Pengikat BilirubinPemberian oral arang aktif atau agar menurunkan secara bermakna kadar bilirubin

rata-rata selama 5 hari pertama setelah lahir pada bayi sehat, tetapi potensi terapeutik nodalitas ini belum diteliti secara ekstensif.3

Pem-blokade Perubahan Heme Menjadi BilirubinModalitas terapi ini ialah dengan mencegah pembentukan bilirubin dengan cara

menghambat secara kompetitif heme oksigenase yang akan menghambat penguraian hem. Dapat digunakan metaloporfirin sintetik seperti protoporfirin timah dan yang terbukti dapat menghambat heme oksigenase, mengurangi kadar bilirubin serum dan meningkatkan ekskresi heme yang tidak dimetabolisasi melalui empedu. Karena potensi toksisitas dari modalitas terapi ini belum diketahui secara pasti, maka jenis obat ini belum diterapkan secara klinis pada anak. Selain protoporfirin timah, tersedia juga protoporfirin seng atau mesoporfirin1-3,5

Non-farmakologi Fototerapi

Fototerapi saat ini masih menjadi modalitas terapeutik yang umum dilakukan pada bayi dengan ikterus dan merupakan terapi primer pada neonatus dengan hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi.1

Bilirubin yang bersifat fotolabil, akan mengalami beberapa fotoreaksi apabila terpajan ke sinar dalam rentang cahaya tampak, terutama sinar biru (panjang gelombang 420 nm - 470 nm) dan hal ini akan menyebabkan fotoisomerasi bilirubin. Turunan bilirubin yang dibentuk oleh sinar bersifat polar oleh karena itu akan larut dalam air dan akan lebih mudah diekskresikan melalui urine. Bilirubin dalam jumlah yang sangat kecil juga akan dipecah oleh oksigen yang sangat reaktif secara irreversibel yang diaktifkan oleh sinar. Produk foto-oksidasi ini juga akan ikut diekskresikan melalui urine dan empedu. Fototerapi kurang efektif diterapkan pada bayi dengan penyakit hemolitik, tetapi mungkin dapat berguna untuk mengurangi laju akumulasi pigmen setelah melakukan transfusi tukar. Beberapa penelitian menemukan bahwa seperti yang telah dikatakan sebelumnya, bahwa terapi sinar mengubah senyawaan tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air. Namun, teori tersebut belum sepenuhnya benar dikarenakan adanya temuan bahwa penurunan kadar bilirubin darah yang tidak sebanding dengan jumlah dipirol yang terjadi, di samping itu pada terapi sinar juga ditemukan peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum. McDonagh dkk (1981) menemukan fakta bahwa secara in vitro maupun in vivo terjadi isomerisasi bilirubin pada bayi dengan terapi sinar, fotobilirubin inilah yang menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus.1-3,5

Fototerapi terutama harus dilakukan sebelum bilirubin mencapai konsentrasi kritis, penurunan konsentrasi mungkin belum tampak pada 12-24 jam, dan harus terus dilanjutkan sampai konsentrasi bilirubin serum tetap di bawah 10 mg/dL. Walaupun

13

Page 14: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

telah digunakan secara luas, terapi sinar masih belum dapat menggantikan transfusi tukar untuk kasus hiperbilirubinemia yang memiliki risiko kernicterus. Oleh karena itu, bagian IKA FKUI-RSCM, menyatakan beberapa kondisi terapi sinar dapat dilakukan, antara lain pada (a) setiap saat apabila bilirubin indirek lebih dari 10 mg%, (b) pra-transfusi tukar, (c) pasca-transfusi tukar, (d) terdapat ikterus di hari pertama yang disertai proses hemolisis. Melihat beberapa keadaan itu, dapat disimpulkan bahwa terapi sinar terutama dilakukan untuk mencegah hiperbilirubinemia agar tidak mencapai tingkat yang mengharuskannya dilakukan transfusi tukar.1-3,5

Efektivitas terapi sinar terutama dipengaruhi oleh seberapa luas bagian kulit bayi yang terpapar oleh sinar dikarenakan proses isomerisasi terbanyak terjadi pada bagian perifer yaitu di kulit atau kapiler jaringan subkutan, jumlah energi cahaya yang menyinari kulit bayi, pengubahan posisi bayi secara berkala, jarak antara sumber cahaya dengan bayi diatur agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (tidak boleh melebihi 50 cm dan kurang dari 10 cm). Energi cahaya yang optimal bisa didapatkan dari lampu neon 20 Watt yang ada di pasaran dengan panjang gelombang sinar antara 350-470 nm. Selain penggunaan lampu neon, dibutuhkan pula pleksiglas untuk memblokade sinar ultraviolet, dan filter biru untuk memperbesar energi cahaya yang sampai pada bayi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama berlangsung terapi sinar ini ialah:1-3,5

a. Diusahakan agar tubuh bayi terpapar sinar seluas mungkin, bila perlu bukalah pakaian bayi.

b. Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang memantulkan cahaya untuk melingungi sel-sel retina dan mencegah gangguan maturasi seksual.

c. Bayi diletakkkan 8 inci di bawah sinar lampu, jarak ini ialah jarak terbaik untuk mendapat energi cahaya yang optimal.

d. Posisi bayi diubah setiap 18 jam agar seluruh badan terpapar sinar.e. Pengukuran suhu bayi setiap 4-6 jam/kali.f. Kadar bilirubin diukur setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya sekali dalam 24

jam.g. Perhatikan hidrasi bayi, bila perlu tingkatkan konsumsi cairan bayi.h. Lama terapi sinar dicatat.

Bila terapi sinar tidak menunjukkan ada penurunan kadar bilirubin serum yang berarti, dapat diduga kemungkinan lampu yang tidak efektif atau adanya komplikasi pada bayi berupa dehidrasi, hipoksia, infeksi atau gangguan metabolisme yang harus diperbaiki.1-3,5

Beberapa efek samping yang dapat terjadi pada bayi dengan terapi sinar, antara lain peningkatan insensible water loss pada bayi sehingga perlu diberikan pemberian cairan yang lebih diperhatikan, frekuensi defekasi bayi meningkat akibat peningkatan peristatltik usus, dapat terjadi diskolorasi gelap di kulit (bronze baby) akibat penimbunan fotoderivatif bilirubin yang kecoklatan dalam darah, kerusakan retina yang dilaporkan pada hewan percobaan bersamaan dengan meningkatnya risiko retinopati pada bayi oleh karena itu perlindungan mata bayi sangatlah penting, hipokalsemia yang lebih umum nampak pada bayi prematur, kenaikan suhu bayi yang berlebihan. Walau begitu, terapi sinar masih dianggap sebagai terapi yang sangat aman dan tidak memiliki

14

Page 15: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

efek samping serius yang berkelanjutan, efek samping akan hilang ketika terapi dihentikan segera.1-3,5

Gambar 2. Terapi sinar12

Transfusi TukarPada umumnya, transfusi tukar dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:1

a. Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek > 20 mg%b. Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jamc. Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantungd. Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat <14 mg% dan uji Coombs direk positif

Transfusi tukar dilakukan dengan indikasi untuk menghindari efek toksisitas bilirubin ketika semua modalitas terapeutik telah gagal atau tidak mencukupi. Sebagai tambahan, prosedur ini dilakukan dengan bayi yang memiliki indikasi eritroblastosis dengan anemia hebat, hidrops, atau bahkan keduanya bahkan ketika tidak adanya kadar bilirubin serum yang tinggi.2

Transfusi tukar terutama direkomendasikan ketika terapi sinar tidak berhasil dan ketika bayi mengalami ikterus akibat Rh isoimunisasi dan inkompatibilitas ABO sehingga jenis ikterusnya dapat dikatakan sebagai ikterus hemolitik dan memiliki risiko neurotoksisitas yang lebih tinggi dibanding ikterus non-hemolitik. Prosedur ini dilakukan dengan mengurangi kadar bilirubin hingga hampir 50% dan juga menghilangkan sekitar 80% sel darah merah abnormal yang telah tersensitisasi serta melawan antibodi agar proses hemolisis tidak terjadi.3

Prosedur ini bersifat invasif dan bukan prosedur yang bebas risiko, karena prosedur ini memiliki risiko mortalitas sebesar 1-5%, dapat pula berkomplikasi menjadi necrotizing enterocolitis (NEC), infeksi, gangguan elektrolit, ataupun trombositopenia sehingga prosedur ini harus dilakukan secara hati-hati. Sebelum dilakukan transfusi dapat diberikan albumin 1,0 g/kg untuk mempercepat keluarnya bilirubin ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya akan lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar, lalu kemudian diberikan IVIG 0,5-1 g/kg untuk kasus hemolisis yang diperantarai oleh antibodi.1-3,5

15

Tabel 2. Pedoman pengelolaan ikterus menurut waktu timbul dan kadar bilirubin5

Page 16: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

16

Page 17: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

Komplikasi

Komplikasi yang sampai saat ini masih ditakutkan pada kondisi ikterus ialah kernicterus, dimana terjadi hiperbilirunemia tidak terkonjugasi dan bilirubin bebas ini mengalami perlengketan pada sel otak.

KernicterusIstilah kernicterus berarti yellow kern, dengan istilah kern mengindikasikan bahwa

bagian yang terutama terkena ialah regio otak. Kernicterus atau ensefalopati bilirubin itu sendiri, didefinisikan sebagai suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus hipokampus, nukleus merah, dan nukleus di dasar ventrikel IV. Secara patologis, kondisi ini ditandai dengan pewarnaan bilirubin dan nekrosi neuron di ganglia basal, korteks hipokampus, dan nukleus subtalamikus di otak. Keadaan ensefalopati bilirubin paling besar kemungkinannya pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah lahir tetapi dapat juga oleh karena sindrom Crigler-Najjar tipe 1. Kernicterus pernah dilaporkan terjadi pada bayi dengan kadar biirubin serendah 9 mg/dL pada bayi prematur dengan asidosis, asfiksia, sindrom distres pernapasan, hipoglikemia, sepsis, atau hipotermia.

Gejala klinis pada awalnya tidak terlalu jelas namun umumnya didapati adanya mata yang berputar, letargi, tidak nafsu makan, tangisan bernada tinggi, demam, kejang, tak mau menghisap, tonus otot yang meninggi, leher kaku, dan akhirnya opistotonus. Pada umum yang lebih lanjut bila bayi ini masih hidup dapat ditemukan terjadinya spasme otot, opistotonus, kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot. Ketulian pada nada tinggi dapat ditemukan, bersamaan dengan ditemukanya gangguan bicara dan retardasi mental. Pasien yang selamat umumnya menderita serebral palsi tipe koreoatetoid, dengan gejala sisa berupa defek neurologis lainnya dengan penurunan fungsi kognitif.1,3,5,7

Pencegahan

Bentuk-bentuk pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari kemungkinan hiperbilirubinemia pada bayi, antara lain:5

Pengawasan antenatal yang baik Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa gestasi dan

kelahiran, seperti sulfafurazole, novobiosin, oksitosin, dan lain-lain.

17

Page 18: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus. Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus. Fenobarbital berperan

sebagai enzyme-inducer yang dapat mempercepat konjugasi walaupun tidak begitu efektif dan setelah 48 jam baru terjadi penurunan bilirubin yang berarti.

Mungkin akan lebih efektif untuk ibu yang diperkirakan dalam 2 hari ke depan akan melahirkan.

Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir. Pemberian makanan dini. Pencegahan infeksi, bahkan jauh sebelum masa kehamilan.

Prognosis

Prognosis umumnya baik apabila pasien mendapatkan perawatan sesuai dengan alur tatalaksana yang telah disetujui bersama. Kerusakan otak oleh karena kernicterus masih menjadi risiko berat dan insidens kernicterus yang meningkat di tahun-tahun terakhir ini disebabkan karena adanya miskonsepsi bahwa ikterus pada bayi sehat cukup bulan tidak berbahaya dan tidak perlu dievaluasi sehingga kadang pertanda dini hiperbilirubinemia tidak dikenali. Sejatinya, harus tetap dipantau.7

Kesimpulan

Dari skenario kita tahu bahwa bayi berusia 5 hari tersebut dibawa ke dokter oleh ibunya dikarenakan bayinya mulai tampak kuning pada usia 25 jam. Bayi dilahirkan secara normal per vaginam pada usia kehamilan 39 minggu. Bayi masih aktif, menangis kuat, dan menyusu dengan baik. Dari pemeriksaan fisik di dapatkan (+) kedua sklera ikterik (+) kuning pada wajah dan badan, TTV dalam batas normal. Dan dari hasil anamnesis serta pemeriksaan fisik yang didapat maka dapat ditarik kesimpulan bahwa anak tersebut mengalami ikterus fisiologis yang dikarenakan jaundice muncul ketika bayi berusia 25 jam dan ikterus fisiologis ini normal adanya dan terjadi pada 60% bayi lahir aterm, dan akan hilang dengan sendirinya tanpa pengobatan, namun jika bayi tersebut mengalami ikterus berlanjut hingga 14 hari dapat mengarah ke ikterus patologis yang harus ditangani dengan penatalaksanaan yang cepat dan tepat yang bertujuan untuk mencegah keracunan oleh bilirubin.

Daftar Pustaka

1. Hansen TWR. Neonatal jaundice. Medscape 2012 Jun 21. Available from URL:http://emedicine.medscape.com/article/974786-overview#a0101

2. Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, et al. Current pediatric diagnosis & treatment. 18th edition. United States of America: McGraw-Hill Companies;2007.p.11-7.

18

Page 19: Makalah Pleno Blok 17 Skenario 1

3. Wahab AS, Sugiarto, alih bahasa. Buku ajar pediatri rudolph. Ed ke-20, volume 2. Jakarta: EGC;2007.h.1249-52.

4. Wahab AS, editor edisi bahasa indonesia. Ilmu kesehatan anak nelson. Ed ke-15, vol 1. Jakarta: EGC;2004.h.610-6.

5. Hassan R, Alatas H, penyunting. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Jakarta: Indomedika;2007.h.1101-14.

6. Taeusch HW, Ballard RA, Gleason CA, Avery’s disease of the newborn. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005.p. 1226-30.

7. Hidayat AAA. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Salemba Medika; 2008.8. Lissauer T, Fanaroff AA. At a Glance Neonatologi. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2008.9. Yusna d, hartanto h, editors. Dasar-dasar pediatri. edisi ke-3. Jakarta: EGC; 2008.10. Appleton, Lange. Rudolph’s pediatrics. 20th ed. Jakarta: EGC; 2007.11. Hassan R, Alatas H. Editors. Ilmu kesehatan anak. Jilid ke-2. Jakarta: fakultas

kedokteran UI; 2007.12. Terapi sinar di unduh dari

http://s349.photobucket.com/user/heavensinhands/media/Bili_light_with_newborn.jpg.html 21 Juni 2015.

13. Springer SC. Kernicterus. 2012 Apr 26. Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/975276-overview

19