Upload
others
View
36
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
SEMINAR NASIONAL HISKI JAKARTA UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA 30 November 2018 di Universitas Negeri Jakarta
MAKALAH PEMBICARA KUNCI MEDIASI 2018: SASTRA, TRADISI, DAN BUDAYA POP
TRADISI LISAN GAMBANG RANCAG SISTEM PEWARISAN PADA MASYARAKAT BETAWI
Siti Gomo Attas Fakultas Fakultas UniversitasNegeri Jakarta (UNJ)
Email: [email protected] HP: 08179139960/081214632506
Abstrak Tujuan penelitian ini untuk mengetahui struktur, fungsi dan sistem pewarisan tradisi lisan gambang rancag di masyarakat Betawi. Gambang rancag memiliki keunikan dalam proses pertunjukannya, yaitu cerita tokoh atau kejadian berbentuk pantun dan syair yang dituturkan di hadapan penonton dengan iringan musik gambang kromong. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah DKI Jakarta, yaitu, Jakarta Pusat di Taman Ismail Marzuki, BLK Jakarta Timur, dan Rumah perancag di gandaria pasar Rebo Jakarta Timur, dan. Pengumpulan data dengan observasi, yaitu merekam pementasan gambang rancag dan wawancara informan ambang rancag, yaitu Firman (38 tahun) dan Jafar (53 tahun). Analisis data dengan pendekatan interdisiplin, teori struktur dalam Puitika Melayu Abrams dan G.L. Koster, teori struktur teks dengan formula oleh Milman Pary-Lord, dan Fungsi oleh A. Teeuw. Hasil penelitian sebagai berikut. Pertama, struktur teks lisan meliputi (1) skema alur dilakukan dengan mengingat alur cerita menggunakan formula (2) tema cerita dengan mengingat ulangan kecil dalam cerita (3) skema lakuan tokoh, yaitu mengingat lakuan tokoh cerita. Kedua fungsi tradisi lisan gambang rancag, yaitu (1) fungsi afirmasi untuk menanamkan moral masyarakat, (2) fungsi negasi untuk menunjukan ada perlawanan norma baik dan buruk, dan (3) fungsi restorasi pengungkap kerinduan dan semangat. Ketiga, sistem pewarisan, meliputi: (1) pendidikan formal melalui pengajaran gambang rancag di sekolah, (2) lembaga informal, melalui pembelajaran di sanggar-sanggar dan Balai Latihan Kesenian (BLK) dan (3) melalui keluarga gambang rancag telah diajarkan pada keluarga Rojali pada tiga generasi.
Kata–kata kunci: Tradisi lisan, gambang rancag, struktur, fungsi, pewarisan, masyarakat Betawi Pendahuluan Tradisi lisan sebagai salah satu warisan budaya tak benda (WBTB) telah mengalami penurunan fungsi dan peran sebagai sarana pembentukan komunitas dan identitas bangsa. Dengan demikian keberadaan tradisi lisan juga menjadi terancam . Berbagai sebab internal seperti tidak adanya lagi penerus tradisi lisan dan sebab eksternal , misalnya berbagai kebijakan dalam bentuk Peraturan daerah (PERDA), menguatkanya peran media social dan globalisasimenjadi sebab mlai berkurangnya keberadaan tradisi lisan di tengah pemiliknya. Hilangnya tradisi lisan tersebut di atas juga diperparah dengan hilangnya dana tau rusaknya sumber-sumber penciptaannya, yaitu alam semesta, mantra, nyanyian tradisional , berbagai upacara dan cerita akan pupus sedikit demi sedikit bila habitat keberadaanya sudah tidak ada.
Hilangnya berbagai pohon, berkurangnyakeragaman, tumbuh-tumbuhan dan aneka satwa akan berpengaruh besar pula pada hilangnya berbagai cerita dan ungkapan mengenai hal tersebut. Keanekargaman tradisi sangat ditopang keberadaannya oleh keanekaragaman hayati, alam lingkungan dan komunitasnya. Dalam rangka mengatasi hal di atas, maka perlu mengangkat kembali batang terendam dalam istilah orang Melayu. Berbagai hal misalnya melakukan inventarisasi tardisi lisan yang ada di masyarakat, terutama masyarakat yang mengalami pembangunan kota yang luar biasa , mencerabut akar-akar tradisi yang sudah hidup puluhan tahun. Selanjutnya dari inventarisasi tersebut kita melakukan deskripsi terhadap tradisi lisan yang ada. Bentuk dari tradisi harus di rekam diawetkan dengan berbagai bentuk metode. Selanjutnya setelah struktur teks tradisi lisan di analisis juga harus melihat fungsinya apakah sudah mengalami perubahan. Selanjutny akan diketahui nilai kearifan local dari tradsisi ini , termasuk fungsi dan bagaimana merevitalisasi sebuah tradisi yang hampir sama.
METODE
Metode penelitian ini adalah etnografi. Pengumpulan data dimulai dengan observasi
dengan cara merekam pemetasan gambang rancag si Pitung di Taman Ismail Marzuki dan
melakukan wawancara dengan Informan Firman (38 tahun) dan Jafar (52 tahun). Selanjutnya
ditranskripsi dengan deskripsi, setelah itu data dikatagorikan, dan dianalisis struktur teks rancag
dengan pendekatan puitika Melayu oleh teori M.H. Abrams yang dimodifikasi oleh G.L.Koster,
Lord, dan Sweeney. Teori Struktur tradisi lisan dari teks ditandai melalui skema alur dengan
menandai tuturan perancag yang dimulai dari pembuakaan, isi, dan penutup rancag, skema tema
dengan mencatat tuturan yang sering berulang dikemukakan oleh perancag, dan skema lakuan
tokoh, yaitu dengan menandai bagaimana lakuan/karakter tokoh cerita diceritakan. Sementara
untuk analisis fungsi seperti yang dikemukan oleh Teeuw, melalui tiga bagian, (1) fungsi afirmasi
sebagai norma nilai pendidikan yang ada pada gambang rancag, (2) fungsi restorasi, yaitu teks
cerita sebagai pengungkap kerinduan dan semanagat yang coba dibangkitkan kemabali, dan (3)
fungsi negasi, yaitu untuk membalikan nilai baik dan buruk dalam cerita rancag. Sementara
untuk sistem pewarisan menurut Lord dan Vansina dengan cara memperhatikan model,
mencontoh model, dan mempertunjukan model dalam pertunjukan. Khusus dalam penelitian
system pewarisan Lord ini dapat dilakukan melalui (1) pendidikan formal, yaitu mewariskan
dengan cara meenjadikan materi ajar gambang rancag di sekolah, (2) informal, yaitu
mewariskan gambang rancag di sanggar-sanggar berupa pelatiahan gambang rancag dan (3)
pewarisan melalui keluarga, yaitu mengajak keluarga untuk belajar gambang rancag seperti yang
masih dilakukan oleh keluarga Rojali (83 tahun) sebagai pemilik Sanggar Puja yang masih bisa
memainkan gambang rancag di Jalan Gandaria Pasar Rebo Jakarta Timur dan telah berhasil
mewariskan gambang rancag dalam tiga generasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Teks dalam pengertian tradisi lisan gambang rancag tidak hanya terbatas pada lakon
atau cerita yang disampaikan oleh penutur. Struktur teks dapat melingkupi unsur penyampaian
bunyi suara dari pencerita, termasuk musik yang mengiringi penyampaiannya, gerak-geriknya,
dan peralatan. Semua unsur itu memberi unsur sumbangan kepada makna penyampaian sebagai
“gesamkunstwerk” atau hasil penggabungan beberapa bentuk seni dan bukan hasil kata saja.
Perancag atau pencipta tidak menghafal dalam menghasilkan teks lisan tanpa ada konsep atau
wujud tulisan untuk dibaca sebagai sebuah keahlian untuk menyiapkan bahan-bahan yang siap
dirajut dalam sebuah tuturan teks lisan. Teks lisan memiliki struktur, yaitu skema-skema atau
pola-pola yang sudah diakrabinya. Skema-skema dalam mengingat teks lisan meliputi skema
alur, tema dan karakter.
Untuk skema alur dalam gambang rancag si Pitung umumnya dimulai dengan musk
pengiring dibunyikan, yaitu lagu phobin, lagu sayur dan lagu rancag. Lagu phobin umumnya
dalah music intrumentalia, selain untuk memanggil dan menunggu penonton yang sedang
menuju tempat pertunjukan, juga diringi lagu sayur seperti lagu Siri Kuning. Umumnya dalam
membawakan lagu pembuka sebagai bentuk untuk memanggil penonton, biasanya disertai
dengan improvisasi dengan menambah nama tempat pertunjukan atau menyebut siapa yang
mengundang hajatan atau menanggap gambang rancag. Selanjutnya masuk pada acara inti yaitu
lagu rancag. Perancag harus mengoptimalkan ingatan pola alur yang sudah tetap, seperti yang
dilakukan oleh perancag Firman (2015) ketika menuturkan rancag Si Pitung, cerita rancag
diawali dengan membuka rancag dengan menuturkan bahwa rancag akan dibawakan , yaitu
rancag Abang Pitung: Kalau kue sumping kenapa dibilang makanan orang/Kue sumping makanan
orang bu pasang pelita terang-terang/emang……….emang……….emang/Pasang kuping enyak babeh,
malam ini yang terang-terang/Pasang kuping bareng kita biar terang/Saya mau cerita riwayat dulu/Pahlawan betawi nama bang Pitung (RSP, Firman (38 tahun) dan Jafar (53 Tahun), No 1).
Pola rancag si Pitung umumnya sudah tetap, perancag ketika membuka rancag harus
melakukan penghormatan dan informasi kepada penonton bahwa cerita yang akan dibawakan
adalah rancag Bang Pitung. Untuk bisa “ngerancag” seorang pencerita atau perancag harus bisa
mencipta kembali ceritanya ketika ceritah itu dipersembahkan, harus bisa “ngaleter”, yaitu
membuat pantun bebas Betawi secara improvisasi ketika sedang merancag di pentas, caranya apa
yang diingat mula-mula “kita tuturin” di belakang lalu dicari pasangan katanya.
Perancag menciptakan rancag-nya dimulai dengan mengingat cerita si Pitung yang
diawali dari mengingat alur cerita bahwa cerita dimulai dari informasi bahwa cerita yang
dibawakan yaitu rancag Bang Pitung, ngerampok di Wetan Marunde, di rumah Haji
Syamsuddin, ngondol barang, mas inten, batik semua dibawa Pitung, tongtong titir bunyi rame
sekali, tuan demang datang, bang Pitung uda lari, Pitung kena tangkep masuk buy mester, pitung
dijaga, Pitung lari dari bui, Dia kena tembak tiga lubang oleh Schout Hena, kuburan pitung
digadangin, orang pada pesta, cerita ditambah oleh perancag dengan nasehat kepada penonton
agar tidak coba-coba masuk bui, menderita,auh dari anak istri maka jangan tiru si Pitung cerita
sudah tamat
Lakon cerita di atas adalah skema alur yang harus diingat oleh pencerita, misalnya kata
dengar biar terang bahwa lakon yang akan dibawakan adalah abang Pitung. Kata terang dan
abang Pitung harus diingat dalam skema cerita selanjutnya si perancag meneruskan dengan
mencari padanan rima kata terang dan kata Pitung. Maka perancag langsung memulai isi
rancagnya dengan mengisi skema alur cerita dengan mencari pasangan kata untuk sampiran pada
pantun.
Selanjutnya cerita dilanjutkan oleh perancag kedua juga harus mengingat skema alur
cerita yang telah dituturkan oleh si perancag I bahwa informasi cerita harus diingat, ketrampilan
mengingat skema alur juga disertai dengan ketrampilan perancag II untuk mengingat formula apa
yang harus diulang sesuai dengan konsep pantun berkait bahwa apa yang dituturkan pada bait
perancag I harus diulang pada bait berikutnya oleh perancag II hal itu dapat terlihat dalam
tuturan rancag bahwa terjadi pengulangan teks pantun tujuannya untuk menyelaraskan irama
lagu yang diiringi musik.
Dalam skema alur pada umumnya cerita berakhir dengan bahagia (happy Endding),
namun dalam cerita si Pitung tokoh utama berakhir tragis sebuah nyawa tokoh utama mati
diujung senapan Scout Hena oleh tiga peluru emas. Ada unsur hero dan mitos dalam teks lisan
yang disampaikan oleh perancag ketika menuturkan rancag si Pitung.Penyusunan teks rancag
tidak hanya mengingat skema alur cerita si Pitung tapi perancag harus mengingat formula dari
konsep pantun, yaitu pengulangan sebagian atau seluruh kata, frase, atau klausa dari dari teks
sebelumnya. Ketrampilan ini terus diingat oleh perancag dalam menyusun tuturan teks yang
dinyanyikan dengan menggunakan ingatan skema alur dan bantuan formula untuk menyusun
system formulaik teks sehingga cerita teks dapat diselesaikan dengan baik.
Jadi dalam menghadirkan teks lisan rancag si Pitung tidak hanya mengingat skema alur
sebagai media yang dipakai oleh penutur rancag tetapi konsep pantun berkait atau syair yang
juga harus disesuaikan dengan musik pengiring agar iramanya sesuai. Selain itu dalam
menghadirkan teks rencag si Pitung pencerita atau perancag juga harus mampu membuat
inprovisasi yang dapat berguna dalam sebuah sastra lisan yang disampaikan. Humor yang
diciptakan perancag dalam teks rancag adalah ciri karakter orang Betawi, bahwa semua kesenian
ada bentuk humornya. Bentuk humor ini dalam teks lisan gambang rancag berulang
dipertunjukan baik verbal maupun nonverbal. Bentuk humor dalam skema alur juga dikaitkan
dengan gerak-gerik perancag dalam membawakan tari si perancag harus mengatur dan menjaga
hubungan dengan pasangan rancagnya termasuk dengan penonton serta menyesuaikan skema
alur dengan irama lagu rancag dan music yang mengiringi pertunjukan gambang rancag.
Fungsi Teks Tradisi Lisan Gambang Rancag
Fungsi Afirmasi
Fungsi afirmasi pada teks gambang rancag untuk menetapkan norma-norma sosial
budaya yang ada pada waktu tertentu. Pengertian fungsi tersebut dapat digambarkan dalam teks
pertunjukan gambang rancag, misalnya ketika perancag menuturkan lagu rancag si Pitung
mengenai nilai-nilai untuk menolong orang lemah, tanpak dalam teks rancag yang dinyanyikan
dalam pertunjukan gambang rancag, bahwa Pitung dijadikan pahlawan karena Pitung banyak
menolong orang susah. Dalam cerita legenda lain, pengungkapan rancag si Pitung yang lahir dari
cerita rakyat yang masih hidup di masyarakat Betawi, sejak kecil Pitung belajar mengaji di
langgar (mushala) di kampong Rawa belong, dia menurut istilah Betawi, ‘orang denger kate’.
Dia juga terang hati’, cakep menangkep pelajaran agama yang diberikan ustadnya, sampai
mampu membaca (tilawat) alquran. Selain belajar agama, dengan Haji Naipin, Pitung—seperti
warga Betawi lainnya, juga belajar ilmu silat. Haji Naipin, juga tarekat ahli maen pukulan.
Berdasarkan gambaran cerita tersebut sifat dan karakter si dapat dijadikan sebagai contoh
penanaman nilai norama yang harus ditanamkan pada generasi muda masyarakat Betawi, bahwa
selain belajar ilmu dunia juga harus belajar ilmu agama sebagai bekal dalam kehidupan yang
lebih baik di masa kan datang
Fungsi Negasi
Fungsi negasi pada teks gambang rancag untuk menunjukkan perlawanan atau
memberontak atau mengubah norma yang berlaku dalam teks rancag si Angkri bahwa tokoh
jagoan seharusnya merepresentasikan tokoh yang dapat memberi nilai-nilai norma yang baik,
namun istilah jagoan yang terdapat dalam teks rancag si Angkri bertolak belakang dari teks
rancag si Pitung. Pada teks rancag si Pitung Istilah jagoan yang dilekatkan pada tokohnya
mengacu pada tokoh pahlawan. Sedangkan istilah jagoan yang dilekatkan pada tokoh jagoan si
Conat adalah seorang tokoh yang melakukan kejahatan mulai ketika Angkri digambarkan
terbiasa melakukan kejahatan, mulai dari mencuri, termasuk bagian dari kelompok jagoan yang
sering melakukan pencurian di di daerah pasar ikan dan sekitarnya. Dari kedua teks tersebut ada
yang berfungsi sebagi negasi bagi masyarakatnya tetapi ada juga teks yang digunakan sebagai
afirmasi bagi masyarakatnya. Teks rancag si Angkri juga dapat dijadikan negasi bagi
masyarakatnya. Teks Si Angkri dituturkan melakukan operasi kejahatan di daerah Tanjung
Priok. Jika keinginannnya tidak dikabulkan, tokoh Angri dan kelompoknya tidak segan
menghabisi nyawa lawannya.
Teks rancag siPitung adalah jenis teks rancag yang juga berfungsi sebagi negasi bagi
masyarakatnya bahwa gambaran kehidupan centeng adalah kehidupan jagoan yang juga
mengarah pada istilah jagoan yang yang sering berbuat kejahatan untukmenunjukan keangkeran
diri centeng dengan cara menggunakan symbol-simbol yang angker. Menggunakan pakaian serba
hitam, golok tajam, gelang bahar yang besar, dan kumis tebal yang membawa keangkeran bagi
siap saja yang melihat.
Fungsi Restorasi
Fungsi restorasi pada teks gambang rancag untuk mengunkapkan keinginan, kerinduan
pada norma yang sudah lama hilang atau tidak berlaku lagi. Teks rancag yang berfungsi sebagai
restorasi adalah teks rancag yang sering dipertunjukan. Berdasarkan pengamatan peneliti sejak
2010 s.d. 2015, bahwa teks rancag yang sering dipertunjukan adalah teks rancag si Pitung. Teks
gambang rancag si Pitung adalah teks rancag yang selalu dipesan jika ada tanggapan dalm
pergelaran gambang rancag. Selain teks rancag si pitung yang sampai sekarang masih
dipertunjukkan adalah teks rancag si Angkri. Terakhir teks rancag si angkri ini dipertunjukan
pada acara Pameran Sastra Pecenongan pad atanggal 18 Juli 2013. Selebihnya permintaan rancag
yang diminta adalah teks rancag si Pitung.
Fungsi restorasi dalam teks rancag si Pitung disebabkan oleh adanya keinginan
masyarakat untuk sekedar mengingat kembali keberadaan para jagoan masa lalu yang turut
memberi semangat heroic bagi masyarakatnya. Fungsi restorasi dalam teks rancag sebagai
sebuah pertunjukan berhubungan dengan tegangan antara norma sastra dengan norma sosial
budaya, bahwa sebuah bentuk sastra yang tidak lagi dipertunjukan, tiba suatu ketika
dipertunjukan, maka penonton merasakan kerinduan untuk terus dan terus menyaksikan
pertunjukan tersebut. Justru di situlah kekuatan sebuah pertunjukan yang menurut Teeuw
(1982:20) ketika sebuah pertunjukan di zaman modern ini masih bisa bertahan pada
komunitasnya karena memiliki nilai-nilai yang luhur bagi masyarakatnya. Untuk itu agar lebih
terfokus bagaimana mengetahui jika rancag Si Pitung masih bertahan di komunitasnya, perlu
ditunjukkan kekuatan dari cerita ini di masyarakat, khususnya masayarakat Betawi. .
Sistem Pewarisan Tradisi Lisan Gambang Rancag
Model pewarisan oleh Lord (2000) tersebut dapat dilakukan di keluarga dan lembaga
pelatihan atau sanggar-sanggar melalui model pelatihan gambang rancag dalam proses
penciptaan seperti yang telah dilakukan oleh Rojali (78 tahun) kepada anak dan cucunya selama
tiga generasi. Pewarisan tradisi lisan gambang rancag tidak hanya dilakukan di sekolah atau
secara formal, namun dapat pula dilakukan di di luar sekolah atau nonformal. Sistem pewarisan
formal ialah secara sengaja mendidik generasi muda untuk menjadi pemain yang lebih
profesional, sedangkan sistem pewarisan nonformal melalui pemagangan. Pewarisan gambang
rancag selama ini juga masih berlangsung, baik formal maupun Informal. Firman (dalam
wawancara pada Januari 2013, di kedimannya, Beji Depok) mengatakan bahwa di tempat ia
mengajar, yaitu SMA 105 Jakarta dan SMK Karawitan Jakarta, ia juga memperkenalkan
kesenian gambang rancag kepada murid-muridnya melalui musik gambang kromong. Menurut
Firman antusiasme murid-muridnya besar untuk mempelajari musik tradisi lisan gambang
kromong. Proses belajar-mengajar musik dan lagu Betawi di sekolah tentu harus berpedoman
pada kurikulum sekolah yang disusun sesuai kompentensi musik dan lagu Betawi, metodenya
bisa dengan cara pemodelan, mencontoh model lalu mempresentasikan.
SIMPULAN
Dari hasil analisis yang dilakukan terhadap Rancag si Pitung dan Si Angkri disimpulkan
sebagai berikut. Pertama struktur tradisi lisan gambang rancag si Pitung dan si Angkri, baik
melalui strutur skema alur, tema dan tokoh, serta formula ditunjukkan bahwa unsur ingatan bagi
perancag sangatlah penting dalam menciptakan teks, melalui ingatan segala hal tentang
kehidupan dan budaya Betawi, kehidupan tokoh jagoan si Pitung yang memberontak pada
kolonial sebagai bentuk perlawanan, patut diingat dan dinikmati oleh penonton seorang
pahlawan orang Betawi. Sementara Angkri diikat dengan tokoh jagoan sebagai pengacau. Fungsi
dari cerita ditunjukan dengan fungsi afirmasi sebagai bentuk untuk melekatkan nilai budaya
Betawi dalam kedua cerita bahwa gambang rancag sebagai sastra tutur memiliki fungsi egaliter,
tampak dari pengisahan cerita yang dilagukan dengan gaya kocak dari kedua perancag, Fungsi
restorasi menunjukan semangat kepahlawanan dari cerita si Pitung, guna mengingat tokoh
Robinhood yang pernah dimiliki oleh Betawi masa lalu, fungsi negasi ada oposisi biner anatara
tokoh jagoan di Betawi, ada tokoh pahlawan yang colonial melindungi masyarakat dari tekanan
tuan tanah dan kolonial, sementara dari tokoh jagoan yang lain adalah pengacau yang tidak
memberi rasa aman bagi sesamanya pribumi. Sementara sistem pewarisan di komunitas gambang
rancag di Pekayon, yaitu Sanggar Jali Jalut melakukan ssstem pewarisan rancag dengan cara
pemodelan, yang dimulai dari pengamatan model, mencontoh model rancag, dan
mempertunjukkan model rancag, baik melalui formal maupun informal.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M.H. (1976). The mirror and the lamp: Romantic theory and the ctritikal tradition. London, Oxford, New York: Oxford University Press.
Agussalim, Andi. (2006). Pengelolaan grup pada kepentingan pertunjukan: Grup seadat tempe dan fa gandrang to lajjokka. (dalam telisik tradisi). Jakarta: Kelola.
Albert B. L. (2000). The singers of tales. Cambridge: Harvard University Press. Attas, S. G. (2013). Restorasi kultural terhadap cerita rakyat mengenang si Pitung sebagai
kearifan lokal Betawi. (dalammakalah seminar foklor Asia). Yogyakarta: Panitia Kongres Internasional Folklor Asia III.
Attas, S. G. (2013). Restorasi kultural terhadap cerita rakyat mengenang si Pitung sebagai kearifan lokal Betawi. (dalammakalah seminar foklor Asia). Yogyakarta: Panitia Kongres Internasional Folklor Asia III.
Badrun, Ahmad. (2003). Patu mobjo: Struktur, konteks pertunjukan, proses penciptaan, dan fungsi. (disertasi). Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Barginsky, V.I. (1998). Yang indah, berfaedah, dan kama: Sejarah sastra Melayu. Jakarta: INIS.Barker, Chris. (2000). Cutural studies: Teori dan paktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Bascom, William.(1965). Four function of folklor (dalam Alan Dundes, 1965,the study of folklore). Eaglewood Clift, NY: Prentice-Hall.
Budiaman dkk. (1979). Foklor betawi. Jakarta: Pustaka Jaya. Castle, L. (1967). The etnnic profile of Jakarta,.Indonesia.(volume III, April). Ithaca-New-York:
Cornel University. -----------. (2007). Profil etnik Jakarta. Jakarta: Masup Jakarta. Chaer, A. (2009). Kamus dialek Jakarta. Jakarta: Masup Jakarta. ------------. (2012). Folklor Betawi: Kebudayaan dan kehidupan orang Betawi. Jakarta: Masup
Jakarta. Cuddon. J. A. (1987). Adictionary of literary terms. United States of America: Penguin Book. Danandjaja, James. (2002). Folklor Indonesia: Ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain. Jakarta: PT
Pustaka Utama Grafiti. Gajali.2016. Struktur, Fungsi, dan Nilai Nyanyian Rakyat Kaili. Dalam Jurnal Litera Vol.15 No.1, Hlm.189-199. Heuken, SJ. (2000). Historical sites of Jakarta. Jakarta: Cipta Loka Caraka. Hutomo, Suripan Sadi. (1991). Cerita kentrung sarahwulan di Tuban. Jakarta: P2B.
Kiftiawati. (2010). Bertahan dalam teriknya zaman: Sebuah catatan lapangan tentang Nyi Meh, kembang topeng Betawi. Dalam prosiding seminar nasional hasil pengkajian budaya Betawi. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia.
Kleden, N. (1987). Teater topeng Betawi sebagai teks dan maknanya:Suatu terapan antropologi. (disertasi). Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia.
Koesasi, B.(1992). Lenong dan si Pitung. (disertasi). Australia: Centre of Southeast Studies, Australian National University.
Koster, G. L. (2008). Roaming through seductive gardens. Leiden: KITLV Press. Kunst, Japp. (1934). Music in Java: Its history, its theory, its tecnique. The Hague: Martinus Nij
hoff. Lord, Albert B. (2000). The singer of tales. London: Harvard University Press. Malinowski, B. (1923). The problem of meaning in primitive languages. Dalam C.K. Ogden dan
I.A. Richards. Ed. The meaning of meaning. Bacaan I: International Library of Philosophy, Psychology, and Scientific Method. London: Kegal Paul.
Ong, W. J. (1988). Orality and literacy: The technologizing of the word. London: Methuen. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pedoman
Pelestarian kebudayaan. Jakarta: Depdiknas. Pudentia & Effedi. (1996, 11 Maret). Sekitar penelitian tradisi lisan.Warta ATL. Ruchiat, R. (1981). Proyek konservasi kesenian tradisional Betawi: Pendekatan sejarahdan latar
belakang sosial budaya gambang rancag.Jakarta: Dinas Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.
Ruchiat, dkk. (2003). Ikhtisar kesenian Betawi. Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permusiuman Provinsi DKI Jakarta.
Saputra, Yahyah Andi. (2009). Profil seni budaya Betawi. Jakarta: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta.
Sedyawati, Edi (1996, 11 Maret). Kedudukan tradisi lisan dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu budaya. WartaAsosiasi Tradisi Lisan.
Shahab, Y. Z. (2004). Reproduksi dan revalitas kebudayaan Betawi: Tantangan dan kesempatan `dalam era nasionalisasi dan globalisasi. Dalam Festival Seni Budaya Betawi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta, Minggu 2 Desember 2012, Setu Babakan.
Sibarani, Robert. (2012). Kearifan lokal: Hakikat ,peran, dan metode tradisi lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).
Sopandi, Atik., dkk. (1999).Gambang rancag. Jakarta: Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Spradley, James P. (2007). Metode etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana. Sweeney, A. (1980).Authors and audiences in traditional Malay literature. Berkley: University
of California Press. Suhartini, R. Titin.2016. Transformasi Teks Cerita Rakyat ke dalam Bentuk cerita Bergambar sebagai Model PembelajaranMembaca Apresiatif. Dalam Jurnal Litera Vol. 15 No.1, Hlm. 1-13. Suswandari. 2017. Lokal history of Jakarta and Multicultural Atticude (Hitorical Lokal study of
Betawi Ethinik. Dalam jurnal of education, theacing and Learning Vol.2. Nort March 2017, Page 93-100. Teeuw, A. (1994). Indonesia Antara kelisanan dan keberaksaran. Jakarta: Pustaka Jaya. Till, M. V. (1996). In search of Si Pitung: the history of an Indonesian legend. Bijdragen tot de
Taal-, Land- en Volkenkunde 152, No: 3, Leiden, 461-482.