Upload
justmahasiswa
View
160
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
STUDI KASUS 2 MODUL EMG
SEORANG WANITA 48 TAHUN MENGELUH BENGKAK PADA
KEDUA TUNGKAI KAKI
KELOMPOK II
030.08.018 Almira Devina Gunawan
030.08.096 Faishal Lathifi
030.08.131 Jonathan Sinarta K
030.08.152 Maimunah
030.08.171 Nadia Alwainy
030.08.191 Phoespha Mayangsarie
030.08.204 Ria Angelia Putri
030.08.237 T. Rini Puspasari
030.09.015 Andravina Pranathania
030.09.029 Arini Damayanti
030.09.049 Brilli Bagus Dipo
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
14 MARET 2012
0
B A B I
P E N D A H U L U A N
Topik diskusi
“Seorang wanita 48 tahun mengeluh bengkak pada kedua tungkai kakinya”
Tutor diskusi
dr. Suweino.
Diskusi I sesi 1 Diskusi I sesi 2
Tanggal 9 Maret 2012 12 Maret 2012
Waktu 10:00 – 12:00 13.00 – 15.00
Durasi 2 jam 2 jam
Ketua diskusi Brilli Bagus Dipo Faishal Lathifi
Sekertaris Almira Devina Gunawan Nadia Alwainy
Jumlah peserta 11 orang 11 orang
Perilaku peserta dan perjalanan diskusi:
Peserta diskusi dapat mengikuti arahan tutor dengan baik. Tutor juga memberikan
learning issue kepada peserta untuk dibahas pada hari diskusi selanjutnya. Tutorial berjalan
dengan baik.
1
B A B I I
L A P O R A N K A S U S
Seorang wanita 48 tahun, mengeluh bengkak pada kedua tungkai kaki hingga ke mata kakinya
sehingga ia tidak lagi dapat memakai sepatunya. Ia menyadari hal ini sejak 2-3 bulan yang
lalu. Seorang temannya memberinya lasix yang katanya sedikit menolong, tapi sekarang obat
itu sudah habis. Berat badannya bertambah hingga kira-kira 10 kg dalam waktu 2-3 bulan
terakhir. Sebelum ini dia mengeluh sering kencing dan mudah lelah serta mengantuk. Seorang
temannya mengatakan mungkin ia menderita kencing manis dan memberinya tablet yang
katanya harus diminum setiap pagi sebelum makan. Ia memang merasakan lebih enak. Ia
tidak pernah pergi lagi ke dokter.
Pada matanya tampak edema periorbital dan edema yang bersifat pitting pada tangan, kaki,
dan kedua tungkainya. Ia merasa kebal pada kaki hingga pertengahan betisnya. Pada
pemeriksaan urin di dapatkan glukosa +2, protein +3, leukosit 0-2/LPB, eritrosit 0-1/LPB.
2
B A B I I I
P E M B A H A S A N
ANAMNESIS
Identitas Pasien
o Nama : Ny. A
o Jenis kelamin : Perempuan
o Umur : 48 Tahun
o Agama : -
o Pekerjaan : -
o Status pernikahan : -
o Alamat : -
Keluhan utama : Bengkak pada kedua tungkai kaki
Riwayat penyakit sekarang :
o Edema ekstremitas dan periorbital
o Sering kencing, mudah lelah, dan mengantuk
o Berat badan bertambah 10kg dalam 2-3 bulan terakhir
o Kebal paada kaki
o Proteinuria dan Glukosuria
Riwayat penyakit dahulu : -
Riwayat penyakit keluarga : -.
Riwayat kebiasaan : -
3
ANAMNESIS TAMBAHAN
Adapun anamnesis tambahan yang perlu ditanyakan untuk menegakkan diagnosis adalah:
Riwayat Penyakit Sekarang
o Bagaimana dengan nafsu makan?
o Apakah disertai dengan gangguan penglihatan?
o Apa ada keluhan lain?
o Berapa berat badan sebelumnya?
Riwayat Penyakit Dahulu
o Apakah ada riwayat hipertensi?
o Apakah ada riwayat Diabetes Mellitus?
o Apakah ada riwayat penyakit ginjal dan jantung?
Riwayat Penyakit Keluarga
o Apakah ada riwayat diabetes melitus dalam keluarga?
Riwayat Kebiasaan
o Bagaimana dengan pola makan nya?
o Bagaimana dengan gaya hidup? Apakah merokok/ minum alcohol/olahraga?
Riwayat Pengobatan
o Apa nama obat yang diminum setiap pagi sebelum makan untuk mengurangi
keluhan?
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
o Keadaan Umum
4
Tingkat kesadaran : -
Kesan Sakit : -
Status Antropometri : Body Mass Index (BMI) atau indeks massa tubuh (IMT)
untuk perhitungan BMI/IMT, dengan menggunakan
rumus berikut. Rumus BMI/IMT = berat badan
(kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan (meter)
= satuannya kg/ m².
Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT1:
BMI/IMT KATEGORI
< 18,5 Underweight (berat badan kurang)
18,5 – 22,9 Normal
23-24,9 Overweight (berat badan berlebih)
25-29,9 Obese I (gemuk)
≥30 Obese II
Kriteria BMI menurut World Health Organization (WHO)2:
BMI/IMT KATEGORI
< 18,5 Under weight (berat badan kurang)
18,5 – 24,9 Normal
25 – 29,9 Overweight (berat badan berlebih)
> 30 Obese (gemuk)
o Tanda Vital
5
Hasil Normal
Suhu - 36,5 - 37,2 C
Denyut nadi - 60-100 X/mnt
Irama denyut - teratur(reguler)
Tekanan darah - 120/80 mmHg(optimal)
Pernafasan - 14-18 x/mnt
Status Lokalis
Mata : Edema periorbital
Ekstremitas : Edema ekstremitas ++/++
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Keterangan
Protein +3 - Positif
Glukosa +2 - Positif
Eritrosit 0-2/LPB 0-2/LPB Normal
Leukosit 0-2/LPB 0-2/LPB Normal
Dari hasil pemeriksaan laboratorium urin dapatkan interpretasi sebagai berikut:
Terdapat proteinuria diakibatkan adanya kerusakan di glomelurus dan atau gangguan
reabsorsi di tubulus ginjal. Manifestasi awal nefropati diabetik adalah munculnya
jumlah albumin yang sedikit dalam urin ( > 30 mg/hari) yaitu makroalbumiuria. Pada
pasien ini termasuk dalam kategori proteinuria berat. Proteinuria berat bila kadar > 3
gr/hari.
Glukosa yang positif berarti glukosa sudah melampaui batas reabsorsi dan tidak dapat
direabsori sepenuhnya.
HIPOTESIS
6
NO MASALAH DASAR MASALAH HIPOTESIS
1 Edema ekstrimitas dan
periorbital
Pemeriksaan fisik
Hasil laboratorium
- Nefropati diabetik
- Penyakit jantung
- Sindroma Nefrotik
2 Sering kencing, mudah
lelah, dan mengantuk
Anamnesis
Hasil laboratorium
- Diabetes melitus
3 Berat badan bertambah
10 kg dalam 2-3 bulan
Anamnesis - Nefropati diabetik
- Intake >>
4 Kebal pada kaki Anamnesis - Neuropati diabetik
5 Proteinuria Hasil laboratorium - Nefropati diabetik
- Sindroma Nefrotik
PENGKAJIAN
Pasien datang dengan keluhan bengkak pada kedua tungkai tangan, kaki, dan kedua
tungkainya. Pada matanya tampak juga edema periorbital. Pasien menyadari hal ini sejak
2-3 bulan yang lalu dan meminum obat lasix. Lasix merupakan obat yang mengandung
furosemid. Furosemid (diuretik kuat) menurunkan reabsorsi sodium dan klorida di
ascending loop Henle dan tubulus distal ginjal. Meningkatkan eksresi sodium, air, klorida,
kalsium, dam magnesium. Diuretik kuat diindikasikan untuk edema, hiperkalsemia akut,
gagal ginjal akut, dan hipertensi. Dari hasil peremeriksaan urin, Ny.A mengalami
glukosuria dan proteinuria. Adanya tanda dan gejala klinis yang tampak mengarahkan
pada hipotesis diabetes nefropati diabetik.
PATOFISIOLOGI
7
DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja
Nefropati Diabetik
Kami menegakkan diagnosis ini berdasarkan:
- Anamnesis usia pada pasien ini
- Adanya tanda dan gejala klinis seperti poliuri, mudah lelah dan mengantuk
- Pemerisksaan fisik di dapatkan edema ekstrimitas dan periorbital
- Hasil laboratorium ditemukan proteinuria dan glukosuria
Diagnosis Banding
Sindroma Nefrotik
8
Alasan kami untuk menjadikan diagnosis banding adalah:
- Ditemukan proteinuria pada hasil laboratorium
- Didapatkan edema generalisata. Edema terutama jelas pada kaki, tangan, dan
kedua tungkai.
PEMERIKSAAN TAMBAHAN
Pemeriksaan Laboratorium
o Darah rutin
Tujuan untuk melihat keadaan umum pasien. Dimana kita ketahui pasien ini
mengalami lemah, letih, dan lesu yang bisa dicurigai anemia.
o Gula darah
Bertujuan untuk memastikan pasien ini terkena diabetes melitus sesuai kriteria
diagnosis yaitu:
1. Apa bila didapatkan gula darah puasa > 126 mg/dl atau gula darah
sewaktu > 200 disertai gejala klasik pasien bisa didiagnosa diabetes melitus.
2. Dapat juga dengan melakukan tes toleransi glukosa oral (TGO) dengan
hasil > 200 mg/dl
o HbA1c
Pemeriksaan ini mencerminkan kondisi glukosa darah 2-3 bula sebelumnya.
o C Peptide
Pemeriksaan khusus untuk mengetahui kadar insulin serum karena C-peptide
merupakan prekusor pembentukan insulin. Kadar normal c-peptide (0,6-12,0
mg/ml). Pemeriksaan bertujuan untuk menentukan tipe DM.
o Creatinin Clearens Test
9
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengukur kreatinin dalam darah dalam kurun
waktu untuk mengukur fungsi ginjal dalam ekresi kreatinin. Apabila clearen
mengecil berarti kosentrasi kreatinin dalam darah naik.
o Ureum dan Kreatinin
Pemeriksaan ureum dan kreatinin berguna untuk menunjukkan fungsi ginjal.
USG
Untuk melihat perubahan bentuk pada ginjal, apakah terjadi pembesaran pada ginjal
atau tidak
PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
o Untuk perbaikan fungsi ginjal : Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor
(ACE-I) atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB).
o Untuk pengendalian kadar gula darah : Obant Anti Diabetes (OAD) ;
Pioglitazon
Dosis awal: 15-30 mg melalui mulut (per oral), 1 kali sehari.
Boleh tingkatkan dosis dengan kenaikan berdasarkan reaksi pasien.
Dosis maksimum: 45 mg/hari.
Non Medikamentosa
o Olahraga
Olahraga rutin yang dianjurkan adalah berjalan 3-5 km/hari dengan kecepatan 10-
12 menit/km, 4-5 kali seminggu
o Diet rendah garam dan protein
o Pola hidup sehat : Hindari merokok, alkohol, dll
Rujuk ke Rumah Sakit
10
KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien ini adalah :
Neuropati Diabetik
Ketoasidosis Diabetik
Retinopati Diabetik
PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia Ad Bonam
Ad fungsionam : Dubia Ad Malam
Penyakit ini timbul karena kerusakan sel beta pankreas sehingga
terjadi defisiensi insulin. Dan fungsi ini tidak bisa dikembalikan lagi.
Ad sanationam : Ad Malam
Karena pasien dengan penyakit seperti ini jika tidak menjalani
pengobatan secara teratur keadaan pasien bisa memburuk lagi.
Sampai bisa manimbulkan kematian.
11
B A B I V
T I N J A U A N P U S T A K A
Berikut kami sajikan tinjauan pustaka mengenai sindroma metabolik yang kami
tegakan sebagai diagnosis pada kasus ini:
NEFROPATI DIABETIK
1. Definisi
Nefropati diabetik adalah sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan
albuminuria menetap (>300 mg/24 jam) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun
waktu 3 sampai 6 bulan yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan penurunan
LFG (laju filtrat glomerulus). Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai ekskresi albumin lebih
dari 30 mg per hari dan dianggap sebagai prediktor penting untuk timbulnya nefropati
diabetik.
Diagram 2.1. Algoritma diagnosis albuminuria
12
2. Epidemiologi
Insidens kumulatif mikroalbuminuria pada pasien DM tipe 1 adalah 12.6% berdasarkan
European Diabetes (EURODIAB) Prospective Complications Study Group selama lebih dari
7,3 tahun dan hampir 33% pada follow-up selama 18 tahun pada penelitian di Denmark. Pada
pasien dengan DM tipe 2, insidens mikroalbuminuria adalah 2% per tahun dan prevalensi
selama 10 tahun setelah diagnosis adalah 25% di U.K. Prospective Diabetes Study (UKPDS).
Proteinuria terjadi pada 15-40% dari pasien dengan DM tipe 1, dengan puncak insidens
sekitar 15-20 tahun dari pasien diabetes. Pada pasien dengan DM tipe 2, prevalensi sangat
berubah-ubah, berkisar antara 5 sampai 20%.
Nefropati diabetik lebih umum di antara orang Afrika-Amerika, Asia, dan Amerika asli
daripada orang Kaukasia. Di antara pasien yang memulai renal replacement therapy, insidens
nefropati diabetik dua kali lipat dari tahun 1991-2001. Rata-rata peningkatan menjadi semakin
menurun, mungkin karena pemakaian pada praktek klinis bermacam-macam langkah yang
berperan pada diagnosis awal dan pencegahan nefropati diabetik, yang dengan cara demikian
menurunkan perkembangan penyakit ginjal yang terjadi. Bagaimanapun, pelaksanaan
langkah-langkah ini jauh dibawah tujuan yang diharapkan.
Penelitian di Inggris membuktikan bahwa pada orang Asia jumlah penderita nefropati
diabetik lebih tinggi dibandingkan dengan orang barat. Hal ini disebabkan karena penderita
diabetes melitus tipe 2 orang Asia terjadi pada umur yang relatif lebih muda sehingga
berkesempatan mengalami nefropati diabetik lebih besar. Di Thailand prevalensi nefropati
diabetik dilaporkan sebesar 29,4%, di Filipina sebesar 20,8%, sedang di Hongkong 13,1%. Di
Indonesia terdapat angka yang bervariasi dari 2,0% sampai 39,3%.
13
3. Faktor risiko
Tidak semua pasien DM tipe I dan II berakhir dengan nefropati diabetik. Dari studi perjalanan
penyakit alamiah ditemukan beberapa faktor risiko antara lain:
1. Kepekaan genetik
2. Hiperglikemia
3. Hipertensi
4. Dislipidemia
5. Hiperfiltrasi glomerular
6. Merokok
7. Tingkat proteinuria
8. Faktor diet seperti jumlah dan sumber protein dan lemak dalam makanan.
4. Klasifikasi
Mogensen membagi 5 tahapan nefropati diabetik, yaitu :
a. Tahap 1
Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan. Laju filtrasi glomerolus dan
laju ekskresi albumin dalam urin meningkat.
b. Tahap 2
Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi glomerolus tetap meningkat,
ekskresi albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Terdapat perubahan histologis awal
berupa penebalan membrana basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula peningkatan
mesangium fraksional.
c. Tahap 3
Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria. Laju filtrasi glomerulus meningkat atau dapat
menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam urin adalah 30-300 mg/24 jam.
14
Tekanan darah mulai meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan
membrana basalis dan volume mesangium fraksional dalam glomerulus.
d. Tahap 4
Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul
hipertensi pada sebagian besar pasien. Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini.
Laju filtrasi glomerulus menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan penurunan ini
berhubungan dengan tingginya tekanan darah.
e. Tahap 5
Timbulnya gagal ginjal terminal.
Table 2.1. Derajat Nefropati Diabetik: Cutoff Values dari Albumin Urin untuk Diagnosis dan
Karakteristik Klinis yang Utama
Derajat cutoff values Albuminuria Karakteristik Klinis
Mikroalbuminuria 20-199 µg/mnt · Nocturnal
· Peningkatan tekanan darah
30-299 mg/24 jam · Peningkatan trigliserida,
kolesterol total, LDL, dan
asam lemak jenuh
30-299 mg/g* · Peningkatan jumlah
komponen sindrom
metabolik
· Disfungsi endotel
· Berhubungan dengan
retinopati diabetik, amputasi,
dan penyakit kardiovaskuler
15
· Peningkatan mortalitas
kardiovaskuler
· LFG stabil
Macroalbuminuria† ≥200 µg/mnt Hipertensi
≥300 mg/24 jam Peningkatan trigliserida
kolesterol total dan LDL
>300 mg/g* · Asimptomatik
· Iskemik miokardial
· Penurunan LFG yang
progresif
* Sedikit sampel urin
†Pengukuran proteinuria total (≥500 mg/24 jam atau ≥430 mg/l in sedikit sampel urin) dapat
juga digunakan untuk menetapkan derajat ini.
5. Patofisiologi
Patofisiologi, gambaran klinis, dan bentuk nefropati diabetik adalah mirip antara DM tipe 1
dan tipe 2, meskipun sejalannya waktu mungkin pada DM tipe 2 lebih singkat. Hipertensi
glomerular dan hiperfiltrasi adalah abnormalitas ginjal yang paling awal pada hewan
eksperimental dan manusia yang diabetes dan diobservasi dalam beberapa hari hingga
beberapa minggu diagnosis. Hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme
patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Penelitian Brenner dkk pada hewan menunjukkan
bahwa pada saat jumlah nefron mengalami pengurangan yang berkelanjutan, filtrasi
glomerulus dari nefron yang masih sehat akan meningkat sebagai bentuk kompensasi.
16
Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat lambat laun akan menyebabkan sklerosis
dari nefron tersebut.
Diagram 2.2 Patofisiologi Nefropati Diabetik9
Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus pada nefropati diabetik masih
belum jelas, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang
tergantung glukosa yang diperantarai hormon vasoaktif, IGF-1, nitrit oksida, prostaglandin
dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis
matriks ekstraseluler, serta produksi TGF-β yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C
yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi pada vaskular seperti
kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas kapiler.
Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan
protein. Pada awalnya glukosa akan mengikat residu asam amino secara non-enzimatik
menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih
stabil tetapi masih reversibel dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini berlanjut
terus, akan terbentuk Advanced Glycation End Product (AGEs) yang ireversibel. AGEs
diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adesi molekul
17
yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi sel,
sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis nitrit oksida. Proses ini akan terus berlanjut
sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointerstisialis.
Hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal, juga akan
mendorong sklerosis pada ginjal pasien diabetes. Diperkirakan bahwa hipertensi pada diabetes
terutama disebabkan oleh spasme arteriol eferen intrarenal atau intraglomerulus.
6. Patologi
Diabetes menyebabkan perubahan yang unik pada struktur ginjal. Glomerulosklerosis klasik
dicirikan sebagai penebalan membrana basalis, sklerosis mesangial yang difus, hialinosis,
mikroaneurisma, dan arteriosklerosis hialin. Perubahan tubular dan interstitial juga terjadi.
Daerah ekspansi mesangial yang ekstrim dinamakan nodul Kimmelstiel-Wilson atau ekspansi
mesangial nodular yang diobservasi pada 40-50% pasien yang terdapat proteinuria. Pasien
DM tipe 2 dengan mikroalbuminuria dan makroalbuminuria memiliki lebih banyak struktur
heterogenitas daripada pasien dengan DM tipe 1.
Secara histologis, gambaran utama yang tampak adalah penebalan membrana basalis,
ekspansi mesangium yang kemudian menimbulkan glomerulosklerosis noduler atau difus,
hialinosis arteriolar aferen dan eferen, serta fibrosis tubulo-interstisial.
7. Penatalaksanaan Evaluasi
Pada saat diagnosa diabetes melitus ditegakkan, kemungkinan adanya penurunan fungsi ginjal
juga harus diperiksa, demikian pula saat pasien sudah menjalani pengobatan rutin.1
Pemantauan yang dianjurkan oleh American Diabetes Association (ADA) adalah pemeriksaan
terhadap adanya mikroalbuminuria serta penentuan kreatinin serum dan klirens kreatinin.
18
Untuk mempermudah evaluasi, perhitungan laju filtrasi glomerulus dengan menggunakan
rumus dari Cockroft-Gault yaitu :
LFG (ml/menit/1,73m2) = (140-umur) x Berat badan *)
72 x kreatinin serum
*) pada perempuan dikalikan 0,85
Tabel 2.2. Pemantauan fungsi ginjal pada pasien diabetes 1
Derajat cutoff values Albuminuria Karakteristik Klinis
Mikroalbuminuria 20-199 µg/mnt · Nocturnal
· Peningkatan tekanan darah
30-299 mg/24 jam · Peningkatan trigliserida,
kolesterol total, LDL, dan
asam lemak jenuh
30-299 mg/g* · Peningkatan jumlah
komponen sindrom
metabolik
· Disfungsi endotel
· Berhubungan dengan
retinopati diabetik, amputasi,
dan penyakit kardiovaskuler
· Peningkatan mortalitas
kardiovaskuler
· LFG stabil
Macroalbuminuria† ≥200 µg/mnt Hipertensi
≥300 mg/24 jam Peningkatan trigliserida
19
kolesterol total dan LDL
>300 mg/g* · Asimptomatik
· Iskemik miokardial
· Penurunan LFG yang
progresif
Terapi
Tatalaksana nefropati diabetik tergantung pada tahapan-tahapan apakah masih
normoalbuminuria, mikroalbuminuria atau makroalbuminuria. Tetapi pada prinsipnya
pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah melalui :
1. Pengendalian gula darah dengan olahraga, diet, obat anti diabetes.
2. Pengendalian tekanan darah dengan diet rendah garam, obat antihipertensi.
3. Perbaikan fungsi ginjal dengan diet rendah protein, pemberian Angiotensin Converting
Enzyme Inhibitor (ACE-I) atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB).
4. Pengendalian faktor-faktor ko-morbiditas lain seperti pengendalian kadar lemak,
mengurangi obesitas.
Terapi non farmakologis nefropati diabetik berupa gaya hidup yang sehat meliputi olah raga
rutin, diet, menghentikan merokok serta membatasi konsumsi alkohol. Olahraga rutin yang
dianjurkan ADA adalah berjalan 3-5 km/hari dengan kecepatan 10-12 menit/km, 4-5 kali
seminggu. Pembatasan asupan garam 4-5 g/hari, serta asupan protein hingga 0,8 g/kg/berat
badan ideal/hari.
Target tekanan darah pada nefropati diabetik adalah <130/80 mmHg. Obat antihipertensi yang
dianjurkan adalah ACE-I atau ARB. Walaupun pasien diabetik nefopati memiliki tekanan
darah normal, penelitian mutakhir menunjukkan bahwa pemberian ACE-I dan ARB dapat
mencegah laju penurunan fungsi ginjal. Diperkirakan bahwa efek ini dicapai akibat penurunan
20
tekanan darah, penurunan tekanan intraglomerulus, peningkatan aliran darah ginjal,
penurunan proteinuria, efek natriuretik serta pengurangan proliferasi sel, hipertrofi, ekspansi
matriks, sitokin dan sintesa growth factor, disamping hambatan aktivasi, proliferasi dan
migrasi makrofag, serta perbaikan sensitivitas terhadap insulin.1 Pada pasien-pasien yang
penurunan fungsi ginjalnya berjalan terus, maka saat laju filtrasi glomerulus mencapai 10-15
ml/menit dianjurkan untuk memulai dialisis.
Rujukan
American Diabetes Association menganjurkan rujukan kepada seorang dokter yang ahli dalam
perawatan nefropati diabetik jika laju filtrasi glomerulus mencapai < 60 ml/menit/1.73m2 atau
jika ada kesulitan dalam mengatasi hipertensi dan hiperkalemia, serta rujukan kepada
konsultan nefrologi jika laju filtrasi glomerulus mencapai < 30 ml/menit/1.73m2 atau lebih
awal jika pasien berisiko mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat atau diagnosis dan
prognosis pasien diragukan.
SINDROMA NEFROTIK
Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh :
• Proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari)
• Hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl)
• Edema
• Hiperlipidemia
• Lipiduria
• Liperkoagulabilitas
Sindroma ini dapat terjadi pada segala usia. Pada anak-anak paling sering menyerang usia 18
bulan sampai 4 tahun, dan lebih banyak menyerang pada anak-laki-laki.
21
ETIOLOGI
Kebanyakan 90% anak yang menderita nefrosis memiliki beberapa bentuk sindroma nefrotik
idiopatik : penyakit lesi minimal ditemukan pada sekitar 85%, proliferasi mesangium pada
5%, dan skelosis setempat 40%. Pada 10% anak sisanya menderita nefrosis, sindrom nefrotik
sebagian besar diperantarai oleh beberapa bentuk glomerulonefritis dan yang tersering adalah
membranosa dan membranoproliferatif.
GEJALA KLINIS
Edema merupakan gejala klinis yang menonjol, kadang-kadang mencapai 40% daripada berat
badan dan didapatkan anasarka. Penderita sangat rentan terhadap infeksi sekunder. Selama
beberapa minggu mungkin terdapat hematuria, azotemia, dan hipertensi ringan. Terdapat
proteinuria terutama albumin (85-95%) sebanyak 10-15gr/hr. Ini dapat ditentukan dengan
pemeriksaan esbach. Selama edema masih banyak, biasanya produksi urin berkurang, berat
jenis urin meninggi. Sedimen dapat normal atau berupa torak hialin, granula lipoid; terdapat
pula seldarah putih; dalam urin mungkin dapat ditemukan pula double refractile bodies. Pada
fase non nefritis, uji fungsi ginjal seperti kecepatan filtrasi glomerulus, aliran plasma ke ginjal
tetap normal atau meningkat. Dengan perubahan yang progresif di glomerolus terdapat
penurunan fungsi ginjal pada fase nefritik.
Kimia darah menunjukan hipoalbuminemia. Kadar albumin normal atau meninggi sehingga
terdapat perbandingan albumin globulin yang terbalik. Terdapat pula hiperkolesterolemia,
kadar fibrinogen meninggi, sedangkan kadar ureum normal, anak dapat pula menderita
anemia defisiensi besi karena transferin banyak keluar dala urin. Pada 10% kasus terdapat
defisiensi faktor IX. Laju endap darah meninggi kadar kalsium darah sering rendah. Pada
keadaan lanjut kadang-kadang glukosuria tanpa hiperglikemia.
22
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Selain proteinuria masif, sedimen urin biasanya normal. Bila terjadi hemeturia mikroskopik
(>20 eritrosit/LPB) dicurigai adanya lesi glomerular (mis: sklerosis glomerolus fokal).
Albumin plasma rendah dan lipid meningkat. IgM dapat meningkat, sedangkan IgG
menuyrun. Komplemen serum normal dan tidak ada tioglobulin.
DIAGNOSA
Analisis urin menunjkukkan proteinuria +3 atau +4. mungkin ada hematuria mikroskopis,
tetapi jarang hematuria makroskopis. Fungsi ginjal mungkin normal atau menurun. Klirens
kreatinin rendah karena terjadi penurunan perfusi ginjal akibat penurunan volume
intravaskuler, dan akan kembali normal bila volume intravaskuler membaik. Ekresi protein
melebihi 2gr/24jam. Kadar kolesterol dan trigliserida serum naik, karena penurunan fraksi
terikat albumin.
PENGOBATAN
Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi penyebabnya.
Penatalaksanaan
1.Istirahat sampai tinggal edema sedikit.
2.Makanan yang mengandung protein sebanyak 3-4 mg/kgBB/hari :minimun bila
edema masih berat. Bila edema berkurang diberi garam sedikit.
3.Mencegah infeksi. Diperiksa apakah anak tidak menderita TBC.
4.Diuretika.
5.Inter national Cooperatife study of Kidney disease in Childrenmengajukan:
a.)Selama 28 hari prednison per os sebanyak 2 kg/kgBB/sehari dengan maksimun sehari 80
mg.
b.)Kemudian prednison per os selama 28 hari sebanyak 1,5 mg/kgBB / hari setiap 3hari
23
dalam 1mingggu dengan dosis maksimun sehari : 60mg . Bila terdapat respons selama
(b) maka dilanjutkan dengan 4 minggu secara intermiten.
c.)Pengobatan prednison dihentikan. Bila terjadi relaps maka seperti pada terapi permulaan
diberi setiap hari prednison sampai urine bebas protein. Kemudian seperti terapi
permulaan selama 5 minggu tetapi secara interminten.
6.Antibiotika hanya diberikan jika ada infeksi.
7.Lain-lain : Fungsi acites, Fungsi hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital. Bila ada
dekompensasi jantung diberikan digitalisasi.
B A B V
K E S I M P U LAN
24
Nefropati Diabetika adalah komplikasi Diabetes Mellitus pada ginjal yang dapat berakhir
sebagai gagal ginjal
Kami menegakkan diagnosis ini berdasarkan:
- Anamnesis usia pada pasien ini
- Adanya tanda dan gejala klinis seperti poliuri, mudah lelah dan mengantuk
- Pemerisksaan fisik di dapatkan edema ekstrimitas dan periorbital
- Hasil laboratorium ditemukan proteinuria dan glukosuria
Tetapi untuk menentukan lebih lanjut atas diagnosis pasti pasien ini, kami masih
membutuhkan pemeriksaan tambahan yang lebih lanjut.
Sekian penjelasan kami menganai hasil diskusi kasus pertama. Akhir kata kami
ucapkan terima kasih kepada tutor pembimbing dan para narasumber yang kemudian akan
menilai makalah dan presentasi kami. Kritik dan saran akan kami jadikan pembelajaran untuk
diskusi, pembuatan makalah, ataupun seminar selanjutnya. Semoga ilmu yang dipelajari dapat
berguna.
B A B V I
D A F T A R P U S T A K A
25
1. Rully Roesli, Endang Susalit, Jusman Djafar. Nefropati Diabetik. Dalam : Slamet
Suyono,dkk.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II,Edisi 3, Jakarta, BP FKUI,2001 p.356-
363
2. World Health Organization. Global database on body mass index: BMI classification.
[http://apps.who.int/bmi/index.jsp?introPage=intro_3.html, accessed on Maret 12, 2012].
3. Hendromartono. Nefropati Diabetik: dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 2007. 1898-1901
26
27