laporan kasus nefropati diabetik + efusi pleura bilateral

Embed Size (px)

DESCRIPTION

laporan kasus, nefropati diabetik, efusi pleura bilateral, case report session

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.1,2 Prevalensi diabetes melitus di dunia mengalami peningkatan yang cukup besar. Data statistik organisasi kesehatan dunia (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah penderita diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, jumlah itu akan mencapai menjadi 300 juta orang.3Hiperglikemia kronik pada dibetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.2 Jika tidak ditangani dengan baik tentu saja angka kejadian komplikasi akut maupun kronik dari DM juga akan meningkat, termasuk komplikasi nefropati diabetik. Pada laporan kasus ini, akan dibahas mengenai komplikasi kronik dari diabetes melitus, yaitu nefropati diabetik. Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus yang ditandai dengan adanya albuminaria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 ig/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan.4 Sangat penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana perjalanan penyakit diabetes bisa menyebabkan komplikasi tersebut, serta tanda dan manifestasi klinisnya karena berpengaruh dalam tatalaksana yang diberikan pada setiap kondisi.

BAB IILAPORAN KASUS

2.1 Identitas PasienNama: Tn.RUmur: 46 tahunPekerjaan: PetaniAgama: IslamAlamat : RT 01 Ds.Panca Mulya, Sei Bahar III, Ma JambiMRS : 29 Januari 2014

2.2Anamnesis (3 Februari 2014)1. Keluhan UtamaSesak nafas sejak 1 bulan SMRS.

2. Riwayat Penyakit SekarangPada tanggal 29 Januari 2014, Os dirawat di RSUD dengan keadaan sesak nafas dan lemah. Sesak sudah dirasakan sejak 1 bulan SMRS. Sesak nafas hanya timbul bila berbaring dan berkurang bila duduk. Sesak nafas tidak bertambah oleh aktivitas dan tidak dipengaruhi cuaca, maupun emosi. Nyeri dada (-), dada berdebar (-). Menurut Os kira-kira sejak 2 minggu SMRS kaki kanan dan kirinya membengkak.Sebelumnya, pada bulan November 2013, Os dirawat di RSUD Raden Mattaher karena keluhan pandangan yang kabur sejak 2 bulan, lemas, dan sakit kepala yang kemudian didiagnosis sebagai retinopati diabetik dengan hipertensi, selanjutnya Os rawat jalan dan diberikan obat pengontrol gula darah (glibenklamid dan metformin).Os diketahui menderita DM sejak 6 tahun yang lalu. Keluhan awal yang dirasakan antara lain cepat lapar, haus, sering BAK terutama pada malam hari, badan terasa lemas, dan penurunan berat badan. Saat itu tidak ada keluhan pandangan kabur. Os diberikan obat minum untuk mengontrol gula darah namun Os tidak meminumnya secara teratur dan jarang memeriksakan gula darahnya.Keluhan yang dirasakan Os saat ini adalah sesak nafas saat berbaring dan berkurang bila pasien duduk di atas kursi, edema di kedua kaki (+), sakit kepala (+), rasa tidak nyaman pada perut dan dadanya, pandangan kabur dan susah BAB.3. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat DM sejak 6 tahun yang lalu Riwayat hipertensi sejak 3 bulan yang lalu Riwayat TB (+) namun sudah menjalani pengobatan dan dinyatakan sembuh Riwayat asma disangkal Riwayat penyakit jantung disangkal Riwayat penyakit kuning disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal Riwayat DM disangkal Riwayat hipertensi disangkal Riwayat penyakit asma disangkal Riwayat penyakit jantung disangkal

5. Riwayat Sosial dan Kebiasaan Dulu merokok namun sekarang sudah tidak lagi Dulu sering mengkonsumsi makanan yang manis-manis dan berlemak Gula darah tidak terkontrol

2.3Pemeriksaan Fisik (3 februari 2014)1. Keadaan umum: Tampak Sakit sedang2. Kesadaran: Compos mentis, GCS: 153. Tanda Vital: TD = 170/100 mmHgN= 84 x/m RR =36 x/mT = 35,9C 4. Status Gizi:BB:63 kg TB:167 cmBBI: (TB-100cm) kg 10%:(167-100cm) kg 10%:(67-6,7) (67+6,7) = 60,3 kg 73,7 kgIMT: 63/(1,67)2 = 22,58 BB Normal5. Kulit Warna : Sawo matang Eflorensensi: (-) Pigmentasi : Hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-). Jaringan parut/koloid : (-) Pertumbuhan rambut : Normal Lembab kering : Keringat (+) Turgor : < 2 detik (baik)6. Kepala dan leher Rambut:warna hitam, lurus, tidak mudah dicabut, alopesia (-) Kepala:Bentuk simetris, tidak ada trauma maupun memar Mata:Konjungtiva anemis (+/+), Skera ikterik (-/-), edema pelpebra (-/-), Pupil Isokor Hidung:Nafas cuping hidung (-), Epistaksis (-), sekret (-) Mulut:Bentuk normal, bibir sianosis (-), Mukosa anemis (-) Tenggorokan:Faring dan tonsil hiperemis (-), Tonsil T1-T1 Leher:Pembesaran KGB (-), pembesaran kel.Tyroid (-), JVP (5-2) cmH2O, Kaku kuduk (-), Pulsasi vena jugularis (-).7. Thoraks : Paru Inspeksi:Statis dan dinamis: asimetris kanan dan kiri, abdominothoracal, sela iga melebar (-), sela iga menyempit (-). Palpasi: Vocal fremitus taktil lapangan paru kanan dan kiri menurun dari ICS IV ke bawah. Perkusi: Redup pada lapangan paru kanan dan kiri dari ICS IV ke bawah. Auskultasi:Vesikuler (+) melemah dari ICS IV ke bawah, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)Jantung Inspeksi:Iktus kordis tidak terlihat Palpasi:Iktus kordis teraba di sela iga V di linea midklavikula sinistra sekitar 1 jari kearah medial, tidak kuat angkat. Perkusi: Batas Atas: Parasternal sinistra ICS III Pinggang Jantung: Midklavikularis sinistra ICS III. Batas kiri bawah: ICS V midklavikula sinistra sekitar 1 jari ke arah medial. Batas kanan bawah: sulit dinilai Auskultasi: BJ1-BJ2 reguler melemah, murmur (-), gallop (-)8. Abdomen Inspeksi :Membuncit (+), Jaringan parut (-), kaput medusa (-), striae (-), spider nervi (-) Palpasi:Distensi abdomen (+), nyeri tekan (-), tes undulasi (-), defans muskuler (-), hepatomegali (-), Splenomegali (-) Perkusi: Redup, Shifting dullness (+) Auskultasi: Bising usus menurun 9. Genitalia dan anus : Tidak diperiksa secara langsung10. Ekstremitas Superior:Akral hangat, edema (-/-), capillary refill time (N), Clubbing finger (-/-), Palmar eritem (-/-) Inferior:Akral hangat, pitting edema (+/+), sianosis (-)Dextra: Tes sensibilitas (+), Refleks fisiologis (+)Sinistra: Tes sensibilitas (+), refeks fisiologis (+)2.4 Pemeriksaan Penunjang1. Laboratoriuma. Urine rutin (Tanggal 30 Januari 2014) Warna: kuning keruh Berat Jenis: 1015 Reaksi/PH: 5 Protein: +++/3 Reduksi/Glukosa: (-) b. Urine khusus (Tanggal 30 Januari 2014) Sedimen:a. Sel Leukosit: 8 - 10b. Sel Eritrosit: 6 - 7 c. Sel Epitel: 6 7 Silinder:a. Granuler: (+)c. Kimia Darah (Tanggal 29 Januari 2014) Faal Hati:a. Protein Total: 5,1 g/dl(6,4-8,4 g/dl)b. Albumin: 2,5 g/dl(3,5-5,0 g/dl)c. Globulin: 2,6 g/dl(3,0-3,6 g/dl)d. SGOT: 19 U/L(< 40)e. SGPT: 14 U/L(< 41) Faal Ginjal:a. Ureum: 92,2 mg/dl(15-39 mg/dl)b. Kreatinin: 4,9 mg/dl(L 0,9-1,3 ; P 0,6-1,1 mg/dl) GDS: 86 mg/dl(< 200 mg/dl) d. Darah rutin Tanggal 29 Januari 2014 WBC : 6,0 103/mm3(3,5-10,0 103/mm3) RBC : 2,49 106/mm3(3,80-5,80 106/mm3) HGB : 7,7 g/dl(11,0-16,5 g/dl) HCT : 22,6 %(35,0-50%) PLT : 283 103/mm3(150-390 103/mm3) PCT : .204 %(0,100-0,500 %) MCV : 90 m3 (80-97 m3) MCH : 30,9 pg(26,5-33,5 pg) MCHC : 34,2 g/dl(31,5-35,0 g/dl) RDW : 13,8 %(10,0-15,0 %) MPV : 7,2 m3 (6,5-11,0 m3) PDW : 13,7 %(10,0-18,0 %)Diff: % LYM : 30,1 %(17,0-48,0 %) % MON : 11,0 %(4,0-10,0 %) % GRA : 58,9 %(43,0-76,0 %) # LYM : 1,7 103/mm3 (1,2-3,2 103/mm3) # MON : 0,6 103/mm3 (0,3-0,8 103/mm3) # GRA : 3,7 103/mm3 (1,2-6,8 103/mm3) Tanggal 6 Februari 2014 WBC : 5,4 103/mm3(3,5-10,0 103/mm3) RBC : 3,63 106/mm3(3,80-5,80 106/mm3) HGB : 11,2 g/dl(11,0-16,5 g/dl) HCT : 33,5 %(35,0-50%) PLT : 283 103/mm3(150-390 103/mm3) PCT : .201 %(0,100-0,500 %) MCV : 93 m3 (80-97 m3) MCH : 30,8 pg(26,5-33,5 pg) MCHC : 33,2 g/dl(31,5-35,0 g/dl) RDW : 12,9 %(10,0-15,0 %) MPV : 7,1 m3 (6,5-11,0 m3) PDW : 14,1 %(10,0-18,0 %)Diff: % LYM : 17,9 %(17,0-48,0 %) % MON : 6,3 %(4,0-10,0 %) % GRA : 75,8 %(43,0-76,0 %) # LYM : 0,9 103/mm3 (1,2-3,2 103/mm3) # MON : 0,3 103/mm3 (0,3-0,8 103/mm3) # GRA : 4,2 103/mm3 (1,2-6,8 103/mm3)

2. Ultrasonography (USG) AbdomenTanggal 30 Januari 2014:

Hasil Pemeriksaan USG Abdomen:a. Hepar: Bentuk dan ukuran baik permukaan rata, ekhostruktur parenkim homogen sistem bilier dan vaskular intrahepatik baik.b. Kandung Empedu: Besar dan bentuk baik, mukosa licin regular, tak tampak batu, CBD tak melebar.c. Pankreas: Besar dan bentuk baik, ekhostruktur homogeny, lesi/SOL (-), duktus pankreatikus tak melebar.d. Lien: Besar, bentuk baik. Ekhostruktur parenkim homogen. Lesi/SOL (-).e. Ginjal Kiri dan Kanan: Besar dan bentuk baik. Ekhostruktur parenkim normal. Lesi/SOL pelviokalises tak melebar. Tak tampak batu.f. Vesica Urinaria: Besar bentuk baik, mukosa reguler. Batu/SOL (-).g. Aorta: Besar, bentuk baik. Trombus (-). KGB para aorta tak membesar.Kesan: Efusi Pleura Kanan.Hepar, KE, Ginjal, Pankreas, Lien, Aorta, VU dalam batas normal. 3. Rontgen Thorax Foto thorax AP (Tanggal 4 Februari 2014)

Hasil:Paru: Pleural efusi kiri dan kanan

Pemeriksaan yang dianjurkan untuk pasien ini: Pemeriksaan protein urine kuantitatif: Untuk memastikan diagnosis nefropati. Profil lipid (Kolesterol total, Trigliserida, HDL, LDL): Sebagai penyaring faktor risiko penyulit makroangiopati. EKG: Memastikan ada/tidaknya kelainan pada jantung (komplikasi makroangiopati). Pemeriksaan Mata (Funduskopi): Untuk memastikan adanya retinopati.2.5Diagnosis KerjaNefropati diabetik disertai efusi pleura bilateral.2.6Tatalaksana Tatalaksana di ruangan: RL 20 tetes/menit Transfusi PRC sampai Hb 10 g/dl Infus albumin Inj. Furosemid 2x1 amp As.Folat 2x1 tab Bicnat 3x1 tab Amlodiphine 1x5 mg Lactulac 3x1 CITatalaksana tambahan/disarankan: Posisi pasien setengah duduk atau duduk Balance cairan (Output > Input) Diet rendah garam Terapi fotokoagulasi untuk retinopati diabetik Torakosentesis2.7PrognosisDubia ad malam

2.8Follow Up 29 Januari 2014S : Sesak nafas saat berbaring (+), Perut terasa kencang (+), Lemah (+), merasa kenyang walau belum makan sejak kemarin, mata kabur (+), edema tungkai (+).O : TD = 130/90 mmHgN = 94x/mntRR = 32 x/mntT = 36,5CGDS Jam 23.00: 50 mg/dlGDS Jam 06.00: 166 mg/dlA: Diabetes Melitus Tipe II dengan Hipoglikemia dan Hipertensi Grade IP: IVFD Dextrose 10% 20 tetes/menitAmlodiphine 1x5 mgInj. Furosemid 2x1 ampAs.Folat 2x1 tabBicnat 3x1 tabLactulac 3x1 CISungkup O2 5LSaran Pemeriksaan: Ro. Thoraks, USG abdomen, DR, UR, Protein total, GDS ulang, Faal ginjal, Faal hati. 30 Januari 2014S : Badan masih lemah (+), sesak nafas (+), sama sekali tidak BAB, BAK < 3x/hari, mata kabur (+), perut terasa kencang (+), edema tungkai (+).O :TD = 120/80 mmHgN = 84 x/mntRR = 28 x/mntT = 36CGDS Jam 11.00: 78 mg/dlHGB: 7,7 g/dlLFG: 16,78 ml/menitA: Diabetes Melitus Tipe II dengan Hipoglikemia + Anemia berat + Nefropati DiabetikP: IVFD RL : D5 = 1 : 1 (20 tetes/menit)Transfusi PRC hingga Hb 10 g/dlInj. Ranitidine 2x1 ampInj. Furosemid 2x1 ampAs.Folat 2x1 tabBicnat 3x1 tab Saran pemeriksaan: HbsAg/Anti HbsAg. 31 Januari 2014S : Sesak nafas saat berbaring (+), perut masih terasa kencang (+), nyeri pada ulu hati bila makan, susah BAB, mata kabur (+), edema tungkai (+).O : TD= 150/90 mmHgN = 74 x/mntRR = 30 x/mntT = 36.7CAlb = 2,5 g/dl (3,5 -5,0 g/dl)A: Diabetes Melitus Tipe II dengan hipertensi grade I + Nefropati diabetikP: IVFD RL 20 tetes/menitInj. Ranitidine 2x1 amp jam sebelum makanInj. Furosemid 2x1 ampAs.folat 2x1 tabBicnat 3x1 tabAmlodiphine 1x5 mgLactulac 3x1 CISaran: Infus Albumin 1 Februari 2014S : BAK masih jarang, BAB tidak ada, perut masih terasa kencang (+), sesak nafas (+), mata kabur (+), mual dan nyeri ulu hati (+), edema tungkai (+).O : TD= 170/90 mmHgN = 84 x/mntRR = 24 x/mntT = 36.7CHGB = 7,7 g/dlAlb= 2,5HbsAg (-)Ur/Kr= 92,2/4,9USG= Efusi pleura kananA: Diabetes Melitus Tipe II dengan hipertensi grade II + Nefropati diabetik dan efusi pleura kanan.P: IVFD RL 20 tetes/menitInj. Ceftriaxone 1x2grInj. Ranitidine 2x1 ampInj. Furosemid 2x1 ampAs.folat 2x1 tabBicnat 3x1 tabAmlodiphine 1x5 mgLactulac 3x1 CITransfusi PRC hingga Hb 10 g/dlPasang O2 bila sesak bertambah 2 Februari 2014S : Sesak nafas semakin bertambah (+), susah BAB (+), mata kabur (+), mual dan lemas (+), perut kencang (+), edema tungkai (+).O : TD = 140/80 mmHgN = 80 x/mntRR = 21 x/mntT = 36,1CA: Diabetes Melitus Tipe II dengan hipertensi grade I + Nefropati diabetik dan efusi pleura kanan. P: IVFD RL 20 tetes/menitInj. Ceftriaxone 1x2grInj. Ranitidine 2x1 ampInj. Furosemid 2x1 ampAs.folat 2x1 tabBicnat 3x1 tabAmlodiphine 1x5 mgLactulac 3x1 CIPasang O2 bila sesak bertambahSaran pemeriksaan: cek GDS ulang. 3 Februari 2014S : Sesak nafas saat berbaring bertambah (+), perut masih kencang (+), mual dan lemas (+), edema tungkai (+), susah BAB (+), mata masih kabur (+).O : TD = 130/90 mmHgN = 79 x/mnt RR = 22x/mntT = 36,6C GDS= 266A: Diabetes Melitus Tipe II dengan hipertensi grade I + Nefropati diabetik dan efusi pleura kanan. P: IVFD RL 20 tetes/menitMetformin 2x500 mgInj. Ceftriaxone 1x2grInj. Ranitidine 2x1 ampInj. Furosemid 2x1 ampAs.folat 2x1 tabBicnat 3x1 tabAmlodiphine 1x5 mgLactulac 3x1 CIPasang O2 bila sesak bertambah Saran pemeriksaan: Ro.Thorax, GDN/PP 4 Februari 2014S : Sesak nafas saat berbaring bertambah, perut masih kencang, mual dan lemas (+), edema tungkai (+), susah BAB (+), mata kabur (+).O : TD = 140/90 mmHgN = 89 x/mntRR = 28x/mntT = 36,7CGDN= 165GDPP= 220Ro.Thorax: Efusi pleura kanan dan kiri + susp.kardiomegaliA: Diabetes Melitus Tipe II dengan hipertensi grade I + Nefropati diabetik dan efusi pleura bilateral. P: IVFD RL 20 tetes/menitInj. Ceftriaxone 1x2grInj. Ranitidine 2x1 ampInj. Furosemid 2x1 ampAs.folat 2x1 tabBicnat 3x1 tabAmlodiphine 1x5 mgLactulac 3x1 CIPasang O2 bila sesak bertambah 5 Februari 2014S: Sesak nafas, bisa berbaring miring, batuk, mual, lemas, BAB lancar.O: TD= 130/80N= 99x/m RR= 20x/mT= 36C GDS jam 20:00 = 162 mg/dlA: Diabetes Melitus Tipe II dengan hipertensi grade I + Nefropati diabetik dan efusi pleura bilateral. P: IVFD RL 20 tetes/menitInj. Ceftriaxone 1x2grInj. Ranitidine 2x1 ampInj. Furosemid 2x1 ampAs.folat 2x1 tabBicnat 3x1 tabAmlodiphine 1x5 mg Lactulac 3x1 CI

6 Februari 2014S: Masih sesak nafas jika berbaring, batuk, pilek, mual.O: TD= 150/90N= 91x/mRR= 20x/mT= 36,3CA: Diabetes Melitus Tipe II dengan hipertensi grade II + Nefropati diabetik dan efusi pleura bilateral.P: IVFD RL 20 tetes/menit Inj. Ceftriaxone 1x2gr Inj. Ranitidine 2x1 amp Inj. Furosemid 2x1 amp As.folat 2x1 tab Bicnat 3x1 tab Amlodiphine 1x5 mg Lactulac 3x1 CI Saran Pemeriksaan: Cek DR ulang 7 Februari 2014S: Sesak bertambah, bengkak di kaki juga bertambah, batuk, pilek, mual, nafsu makan menurun dan sulit tidur.O: TD= 160/90N= 89x/mRR= 22x/mT= 36,5CHb= 11,2 g/dlA: Diabetes Melitus Tipe II dengan hipertensi grade II + Nefropati diabetik dan efusi pleura bilateral.P: Balance cairanInj. Furosemid 1x2 amp pagi dan 1x1 amp siangInj. Ceftriaxone 1x2gr Inj. Ranitidine 2x1 amp As.folat 2x1 tab Bicnat 3x1 tab Amlodiphine 1x5 mg Lactulac 3x1 CI 8 Februari 2014S: Masih sesak nafas, batuk, pilek, mual, nafsu makan menurun, edema tungkai dan ascites masih ada.O: TD= 160/90N= 89x/mRR= 22x/mT= 36,5CInput= 500 mlOutput= 500 mlBB= 60 kgLP= 31 cmA: Diabetes Melitus Tipe II dengan hipertensi grade II + Nefropati diabetik dan efusi pleura bilateral.P:Balance cairanMetformin 2x1 tabBC 3x1 tabInj. Furosemid 1x2 amp pagi dan 1x1 amp siangInj. Ceftriaxone 1x2gr Inj. Ranitidine 2x1 amp As.folat 2x1 tab Bicnat 3x1 tab Amlodiphine 1x5 mg Lactulac 3x1 CI 9 Februari 2014S: Masih sesak nafas jika berbaring, batuk berkurang, sulit tidur, nafsu makan menurun.O: TD= 130/80N= 82x/mRR= 22x/mT= 36CInput= 1750 mlOutput= 1500 ml + 250 mlBB= 59 kgLP= 31 cmA: Diabetes Melitus Tipe II dengan hipertensi grade I + Nefropati diabetik dan efusi pleura bilateral.P: Balance cairanInj. Furosemid 1x2 amp pagi dan 1x1 amp siangInj. Ceftriaxone 1x2gr Inj. Ranitidine 2x1 amp As.folat 2x1 tab Bicnat 3x1 tab Amlodiphine 1x5 mg Lactulac 3x1 CI 10 Februari 2014S: Masih sesak nafas jika berbaring tapi agak berkurang, perut masih tegang edema di kaki dan ascites masih ada.O: TD= 140/90N= 89x/mRR= 20x/mT= 36,5CInput= 750Output= 1500 mlBB= 61 kgLP= 31 cmA: Diabetes Melitus Tipe II dengan hipertensi grade II + Nefropati diabetik dan efusi pleura bilateral.P: Furosemid 2 tab pagi, 1 tab siangRanitidin 2x1 tabAs.Folat 2x1 tabMetformin 2x1 tabBicnat 1x1 tabCiprofloxacin 2x500 mgDigoxin 1x Amlodiphine 1x5 mg

BAB IIITINJAUAN PUSTAKA

3.1 Diabetes Melitus3.1.1 DefinisiDiabetes melitus adalah salah satu penyakit metabolik berupa gangguan metabolisme karbohidrat, yakni penurunan penggunaan glukosa sehingga mengkibatkan adanya penumpukan glukosa di dalam darah (hiperglikemia).1 Penyebab terjadinya penimbunan kadar glukosa di dalam darah tersebut ialah adanya gangguan berupa kurangnya sekresi insulin pada pankreas (DM tipe 1), terjadinya gangguan/penurunan fungsi insulin dalam metabolisme glukosa (DM tipe 2) atau keduanya yang dapat menyebabkan komplikasi makrovaskular, mikrovaskular, dan neuropati.

3.1.2 EpidemiologiPrevalensi diabetes melitus di dunia mengalami peningkatan yang cukup besar. Data statistik organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000 menunjukkan jumlah penderita diabetes di dunia sekitar 171 juta dan diprediksikan akan mencapai 366 juta jiwa tahun 2030. Di Asia tenggara terdapat 46 juta dan diperkirakan meningkat hingga 119 juta jiwa. Di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 diperkirakan menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Indonesia merupakan urutan keenam di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak setelah India, Cina, Uni Soviet, Jepang, Brazil.1,4

3.1.3 Etiologi dan Faktor Resiko3.1.3.1 Etiologi2,6,71. Diabetes Melitus Tipe 1a) Melalui proses imunologikb) Idiopatik 2. Diabetes Melitus Tipe 2 (bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin dengan defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin).3. Diabetes Melitus Tipe Spesifik Laina) Defek genetik fungsi sel-:1. Kromosom 12, HNF-1 alfa (dahulu MODY 3)2. Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)3. Kromosom 20, HNF-4 alfa (dahulu MODY 1)4. DNA mitokondria5. Insulin promoter factor-1 (IPF-1; MODY 4)6. HNF-1 (MODY 5)7. NeuroD1 (MODY 6)8. Subunits of ATP-sensitive potassium channel9. Proinsulin or insulin conversionb) Defek genetik kerja insulin:1. Type A insulin resistance2. Sindrom Rabson-Mendenhall3. Sindrom Lipodystrophyc) Penyakit eksokrin pankreas:1. Pankreatitis2. Trauma/pankreatektomi3. Neoplasma4. Kista fibrosis5. Hemokromatosis6. Pankreatopati fibro kalkulusd) Endokrinopati:1. Akromegali2. Sindrom cushing3. Feokromositoma4. Hipertiroidismee) Karena obat/zat kimia:1. Vancor, interferon2. Pentamidin, tiazin, dilatin3. Asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroidf) Infeksi : rubella kongenital dan CMVg) Imunologi (jarang) : antibodi anti reseptor insulinh) Sindroma genetik lain : Sindrom Down, Kliniferter, Turner, Huntington Chorea, Sindrom Prader Willi. 4. Diabetes Melitus Gestasional (Kehamilan)

3.1.3.2 Faktor Resiko DM Tipe 21. Usia > 45 tahun2. Berat badan lebih > 110% berat badan idaman atau indeks massa tubuh (IMT) > 23 kg/m23. Hipertensi (TD 140/90 mm Hg)24. Riwayat DM dalam garis keturunan5. Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau BB lahir bayi > 4000 gram6. Riwayat DM gestasional7. Riwayat toleransi gula terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT)8. Penderita penyakit jantung coroner, tuberculosis, hipertiroidisme9. Kolesterol HDL 35 mg/dL dan atau trigliserida 250 mg/dL

3.1.4 Klasifikasi3.1.4.1 Diabetes Melitus Tipe I / JuvenileDM tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile-onset atauinsulin dependent diabetes mellitus(IDDM) ditemukan sebanyak 5-10% dari semua kasus diabetes. Secara umum, DM tipe ini terjadi pada anak-anak atau pada awal masa dewasa tetapi kadangkandang juga terjadi pada orang dewasa, khususnya yang nonobesitas dan mereka yang berusia lanjut ketika hiperglikemia tampak pertama kali. Disebabkan oleh kerusakan sel pankreas akibat autoimun, sehingga terjadi defisiensi insulin absolut. Pasien dengan DM tipe 1 sangat kekurangan insulin sehingga bergantung pada pengobatan dengan insulineksogen untuk kelangsungan hidup mereka. Insidens diabetes tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam dua subtipe: (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui sumbernya.2

3.1.4.2 Diabetes Melitus Tipe II / Onset maturitasDiabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan tipe nondependen insulin. DM tipe 2 merupakan bentuk DM yang lebih ringan, terutama terjadi pada orang dewasa. Sirkulasi insulin endogen sering dalam keadaan kurang dari normal atau secara relatif tidak mencukupi. Obesitas merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada DM tipe ini dan sebagian besar pasien dengan DM tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadinya penurunan kepekaan jaringan terhadap insulin, juga terjadi defisiensi respons sel pankreas terhadap glukosa.2

Tabel 3.1 Perbedaan antara DM tipe 1 dengan DM tipe 2.8Type 1 (insulin dependent)Type 2 (non-insulin dependent)

EpidemiologiAnak-anak/remaja(biasanya berumur < 30 tahun)Orang tua (biasanya berumur > 30 tahun)

Berat badanBiasanya kurusSering obesitas

HeredityHLA-DR3 or DR4 in > 90%Tidak ada hubungan HLA

PatogenesisPenyakit Autoimmune :Tidak berhubungan dengan autoimun

Islet cell autoantibodiesInsulin resistance

Insulitis

KlinikalDefisiensi Insulin Defisiensi Partial insulin

Berhubungan dengan ketoasidosisBerhubungan dengan hyperosmolar

Pengobatan Insulin, diet, olah ragaDiet, olah raga, tablet, insulin

BiochemicalKemungkinan kehilangan peptida-CPersisten peptida-C

3.1.4.3 Diabetes Gestasional (GDM)Diabetes gestasional (GDM) dikenal pertama kali selama kehamilan dan memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Penyebab diabetes gestasional dianggap berkaitan dengan peningkatan kebutuhan energi, kadar estrogen, dan hormon pertumbuhan selama kehamilan. Estrogen dan hormon pertumbuhan merangsang pengeluaran insulin dan dapat menyebabkan sekresi insulin yang berlebihan seperti diabetes tipe 2 yang akhirnya menyebabkan penurunan responsivitas sel terhadap insulin. Faktor risiko diabetes gestasional adalah usia ibu hamil yang melebihi 30 tahun, obesitas, multiparitas, riwayat diabetes melitus dalam keluarga, serta pernah mengalami diabetes melitus pada kehamilan sebelumnya. Pasien-pasien yang mempunyai predisposisi diabetes secara genetik mungkin akan memperlihatkan intoleransi glukosa atau manifestasi klinis diabetes pada kehamilan.3 Kriteria diagnosis biokimia diabetes kehamilan yang dianjurkan adalah kriteria yang diusulkan oleh O'Sullivan dan Mahan (1973). Menurut kriteria ini, GDM terjadi apabila dua atau lebih dari nilai berikut ini ditemukan atau dilampaui sesudah pemberian 75 g glukosa oral: puasa, 105 mg/dl; I jam, 190 mg/dl; 2 jam, 165 mg/dl; 3 jam, 145 mg/dl. Pengenalan diabetes seperti ini penting karena penderita berisiko tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas perinatal dan mempunyai frekuensi kematian janin viabel yang lebih tinggi. kematian janin viabel yang lebih tinggi. Kebanyakan perempuan hamil harus menjalani penapisan untuk diabetes selama usia kehamilan 24 hingga 28 minggu.2

3.1.5 Patofisiologi3.1.5.1 Diabetes Melitus Tipe 12,9,10,11Pada diabetes tipe 1 timbul karena adanya reaksi autoimun yang disebabkan adanya peradangan pada sel- insulinitis. Ini menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel beta yang disebut ICA (Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA) yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel-. Insulinitis bisa disebabkan macam-macam diantaranya virus, seperti virus cocksakie, rubella, CMV, herpes dan lain-lain. Yang diserang pada insulinitis hanya sel-, biasanya sel- dan delta tetap utuh.

Gambar 3.1 Skema proses perjalanan DM tipe 1Tipe autoantibodi yang terkait dengan DM tipe 1:a. ICCA (Islet Cell Cytoplasmic Antibodies)ICCA merupakan autoantibodi utama yang ditemukan pada penderita DM tipe 1. Hampir 90% penderita DM tipe 1 memiliki ICCA di dalam darahnya. Di dalam tubuh non-diabetik, frekuensi ICCA hanya 0,5-4%. Keberadaan ICCA merupakan prediktor yang cukup akurat untuk DM tipe 1. ICCA tidak spesifik untuk sel Langerhans saja, tetapi juga dapat dikenali oleh sel lain yang terdapat di pulau Langerhans. Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel , sel dan sel . Sel-sel memproduksi insulin, sel-sel memproduksi glukagon, dan sel-sel memproduksi hormon somatostatin. Namun, serangan autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel . Titer ICCA akan menurun sejalan dengan berjalannya penyakit.b. ICSA (Islet Cell Surface Antibodies)Autoantibodi terhadap antigen permukaan sel ini ditemukan pada sekitar 80% penderita DM tipe 1. Sama seperti ICCA, titer ICSA juga makin menurun sejalan dengan lamanya waktu. Tidak hanya pada DM tipe 1, beberapa penderita DM tipe 2 juga ditemukan positif ICSA.c. Anti-GAD (Glutamic Acid Decarboxylase)Autoantibodi terhadap enzim glutamat dekarboksilase ditemukan pada hampir 80% pasien yang baru terdiagnosis positif menderita DM tipe 1. Titer antibodi anti-GAD juga akan menurun sejalan dengan perjalanan penyakit. Keberadaan antibodi anti-GAD merupakan prediktor kuat untuk DM tipe 1, terutama pada populasi risiko tinggi. d. AIA (Anti-Insulin Antibody)AIA merupakan autoantibodi lain yang sudah diidentifikasi, ditemukan pada sekitar 40% anak-anak yang menderita DM tipe 1. AiA bahkan sudah dapat dideteksi dalam darah pasien sebelum onset terapi insulin.Selain defisiensi insulin, fungsi sel-sel kelenjar pankreas pada penderita DM tipe 1 juga menjadi tidak normal, yaitu ditemukannya sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon. Pada penderita DM tipe 1, hal ini tidak terjadi. Sekresi glukagon tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia yang memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapat terapi insulin. Apabila diberikan terapi somatostatin untuk menekan sekresi glukagon, maka akan terjadi penekanan terhadap kenaikan kadar gula dan badan keton. Salah satu masalah jangka panjang pada penderita DM tipe 1 adalah rusaknya kemampuan tubuh untuk mensekresi glukagon sebagai respon terhadap hipoglikemia. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya hipoglikemia yang dapat berakibat fatal pada penderita DM tipe 1 yang sedang mendapat terapi insulin.Defisiensi sekresi insulin merupakan masalah utama pada DM tipe 1, namun pada penderita yang tidak dikontrol dengan baik, dapat terjadi penurunan kemampuan sel-sel sasaran untuk merespons terapi insulin yang diberikan. Ada beberapa mekanisme biokimia yang dapat menjelaskan hal ini, salah satu diantaranya adalah defisiensi insulin menyebabkan meningkatnya asam lemak bebas di dalam darah sebagai akibat dari lipolisis yang tak terkendali di jaringan adiposa. Asam lemak bebas di dalam darah akan menekan metabolisme glukosa di jaringan-jaringan perifer seperti misalnya di jaringan otot rangka, dengan perkataan lain akan menurunkan penggunaan glukosa oleh tubuh. Defisiensi insulin juga akan menurunkan ekskresi dari beberapa gen yang diperlukan sel-sel sasaran untuk merespons insulin secara normal, misalnya gen glukokinase di hati dan gen GLUT4 (protein transporter yang membantu transpor glukosa di sebagian besar jaringan tubuh) di jaringan adipose.

3.1.5.2 Diabetes Melitus Tipe 2Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, sehingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan glukosa dan glukosa di dalam pembuluh darah meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama dengan pada DM tipe 1. Perbedaannya adalah DM tipe 2 di samping kadar glukosa tinggi, kadar insulin juga tinggi atau normal keadaan ini disebut resistensi insulin.3,9,10

Gambar 3.2 Mekanisme sekresi insulin pada sel- pankreas.

Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah sel- berkurang sampai 50-60% dari normal. Jumlah sel- meningkat. Yang menyolok adalah adanya peningkatan jumlah jaringan amiloid pada sel- yang disebut amilin.

Gambar 3.3 Mekanisme signal transduksi insulin normal, berbeda pada orang penderita DM jumlah reseptor insulin menurun sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga glukosa darah meningkat.5,11

3.1.5.3 Diabetes GestationalKehamilan ditandai dengan kondisi resistensi insulin progresif yang dimulai sekitar pertengahan kehamilan hingga trimester ketiga. Pada akhir kehamilan, sensitivitas insulin menurun hingga 50%. Dua penyebab utama resistensi insulin yaitu adipositas yang meningkat dan efek desensitifitasi insulin dari hormon yang dihasilkan oleh plasenta. Resistensi insulin dengan cepat menurun pasca-persalinan, yang menunjukkan bahwa penyebab utama adalah hormon plasenta.Plasenta menghasilkan human chorionic somatomammotropin (HCS), kortisol terikat dan bebas, estrogen, dan progesteron. HCS merangsang sekresi insulin pankreas pada janin dan menghambat penyerapan glukosa perifer pada ibu. Meningkatnya masa kehamilan dan ukuran plasenta menyebabkan meningkatnya produksi hormon tersebut sehingga ibu dalam keadaan lebih resisten terhadap insulin.Pada wanita hamil non-diabetes, respon insulin pada fase I dan II mengkompensasi penurunan sensitivitas insulin yang berhubungan dengan hipertrofi dan hiperplasia sel . Namun, wanita yang didiagnosis dengan GDM dan mengalami disfungsi sel , mungkin disebabkan oleh tiga kategori utama yaitu autoimun, monogenik, atau umumnya resistensi insulin. Bentuk diabetes autoimun atau monogenik dapat dengan cepat berkembang menjadi diabetes setelah kehamilan.Hilangnya respon insulin fase I menyebabkan hiperglikemia postprandial, sedangkan penekanan gangguan produksi glukosa hepatik bertanggung jawab pada hiperglikemia ketika puasa. Karena insulin tidak melewati plasenta, janin terkena hiperglikemia maternal. Pada minggu ke-11 atau ke-12 kehamilan, pankreas janin merespon hiperglikemia ini. Janin mengalami hiperinsulinemia, yang mendorong pertumbuhan dan makrosomia subsekuen

Gambar 3.4 Skema pada diabetes gestasional5

3.1.6 Manifestasi dan Gejala Klinis3.1.6.1 Gejala Khas2,8,121. Penurunan berat badanHal ini disebabkan karena glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan glukosa untuk menghasilkan tenaga. Sumber tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain yaitu lemak dan otot. Akibatnya penderita kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga menjadi kurus.

2. Banyak Buang Air Kecil (poliuria)Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak BAK. BAK yang sering dan dalam jumlah banyak akan sangat mengganggu penderita, terutama pada waktu malam.3. Banyak minum (polidipsia)Rasa haus amat sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan yang keluar melalui BAK. Keadaan ini sering disalahtafsirkan bahwa penyebab rasa haus ialah udara yang panas atau beban kerja yang berat. Untuk menghilangkan rasa haus itu penderita minum banyak.4. Banyak makan (polifagia)Kalori dari makanan yang dimakan setelah dimetabolisme menjadi glukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, oleh karena itu penderita selalu merasa lapar.

3.1.6.2 Gejala Tidak Khas1,3,121. Lemah2. Gangguan saraf tepi/kesemutan3. Gangguan penglihatan 4. Gatal5. Gangguan ereksi6. Pruritus vulvae7. Ginekomastia

3.1.7 Diagnosis2Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.2,12

Gambar 3.5 Langkah-Langkah Diagnostik DM dan Toleransi Glukosa Terganggu2

Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200 mg/dl.2,12

Gambar 3.6 Langkah Diagnostik DM dan TGT dari TTGO2

Cara pelaksanaan TTGO:2,12 3 hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup) Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih diperbolehkan Diperiksa kadar glukosa darah puasa Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit. Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa Selama proses pemeriksaan subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.Kriteria diagnostik diabetes mellitus * dan gangguan toleransi glukosa1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl atau2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl atau3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO**

* Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari lain, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik berat, seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuri, polidipsi, polifagi dan berat badan menurun cepat.** Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin diklinik. Untuk penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik kadar glukosa darah puasa dan 2 jam pasca pembebanan. Untuk DM gestasional juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.3,12

Pemeriksaan Penunjang lain:Pemeriksaan penunjang yang digunakan pada pasien DM selain kadar glukosa darah puasa, 2 jam PP, yaitu pemeriksaan glycated hemoglobin, khususnya HbA1C, serta pemeriksaan fruktosamine. Pemeriksaan lain yang digunakan yaitu urine rutin.Pemeriksaan untuk diagnosis banding:131. Kadar C peptida darahPemeriksaan ini dapat menggambarkan potensi sel untuk memproduksi insulin dan dapat dipakai sebagai pegangan dalam penentuan terapi insulin. Pada semua tipe DM kadarnya lebih rendah dibandingkan orang normal. Makin lemah respon C peptida terhadap rangsang glukosa berarti makin tinggi ketergantungan terhadap insulin. Pemeriksaan C peptida dilakukan dengan metoda RIA (Radio Immuno Assay).2. Kadar insulin darahNIDDM dijumpai dalam kadar rendah, normal, atau bahkan tinggi.3. Pemeriksaan HLAPemeriksaan HLA DR dan B dilakukan untuk memperjelas tipe DM, karena IDDM berkaitan dengan HLA DR 3, DR 4, Bb, B15

3.1.8 TatalaksanaPengobatan bertujuan untuk mengurangi gejala-gejala, mengusahakan keadaan gizi dimana berat badan ideal dan mencegah terjadinya komplikasi.13,14,15,161. Diet2. Olah raga / latihanLatihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin, sirkulasi darah dan tonus otot. Meskipun demikian penderita diabetes dengan kadar glukosa >250 mg/dl (14 mmol/dL) dan menunjukkan adanya keton dalam urine tidak boleh melakukan latihan sebelum pemeriksaan keton urine memperlihatkan hasil negatif dan kadar glukosa darah telah mendekati normal. Latihan dengan kadar glukosa darah yang tinggi akan meningkatkan sekresi glukogen, Growth Hormone (GH) dan katekolamin. Peningkatan hormon ini membuat hati melepas lebih banyak glukosa sehingga terjadi kenaikan kadar glukosa darah.3. Obat-obatanPada umumnya dalam menggunakan obat hipoglikemik oral, baik golongan sulfonilurea, metformin maupun inhibitor glukosidase alfa, harus diperhatikan benar fungsi hati dan ginjal. Tidak dianjurkan untuk memberikan obat-obat tersebut pada pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal. Klasifikasi Obat Hiperglikemik Oral: Golongan Insulin SensitizingGolongan insulin sensitizing terdiri dari: Biguanid dan Glitazone Golongan Sekretagok InsulinGolongan sekretagok insulin terdiri dari: Sulfonil Urea dan Glinid Penghambat Alfa glukosidasea. Golongan biguanidTidak sama dengan sulfonilurea, karena tidak merangsang sekresi insulin. 1) Menurunkan kadar GD menjadi normal dan istimewanya tidak menyebabkan hipoglikemia 2) Cara kerja belum diketahui secara pasti, tetapi jelas terdapat:a) Gangguan absorbsi glukosa dalam ususb) Peningkatan kecepatan ambalan glukosa dalam ototb. Golongan sulfonilurea1) Cara kerja : a) Merangsang sel beta pancreas untuk mengeluarkan insulin, jadi hanya bekerja bila sel-sel beta utuh b) Menghalangi pengikatan insulin c) Mempertinggi kepekaan jaringan terhadap insulin d) Menekan pengeluaran glukogen2) Indikasia) Bila BB ideal 10% dan BB ideal b) Bila kebutuhan insulin < 40 u/hrc) Bila tidak ada stress akut, misal: infeksi berat / operasid) Dipakai pada diabetes dewasa, baru dan tidak pernah ketoasidosis sebelumnya 3) Efek sampinga) Mual, muntah, sakit kepala, vertigo dan demam b) Dermatitis, pruritus c) Lekopeni, trombositopeni, anemia 4) Kontra indikasiPenyakit hati, ginjal dan thyroid c.Inhibitor Glukosidase Alfa (Acarbose) Obat golongan ini mempunyai efek utama menurunkan puncak glikemik sesudah makanTerutama bermanfaat untuk pasien dengan kadar glukosa darah puasa yang masih normal. Biasanya dimulai dengan dosis 2 kali 50 mg setelah suapan pertama waktu makan. Jika tidak didapati keluhan gastrointestinal, dosis dapat dinaikkan menjadi 3 kali 100 mg. Pada pasien yang menggunakan acarbose jangka panjang perlu pemantauan faal hati dan ginjal secara serial, terutama pasien yang sudah mengalami gangguan faal hati dan ginjal.d.Insulin 1) Indikasi a) Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM / NIDDM) dalam keadaan ketoasidosis b) Diabetes yang masuk dalam klasifikasi IDDMc) Penderita yang kurus d) Bila dengan obat oral tidak berhasil e) Kehamilanf) Bila ada komplikasi mikroangiopati, misal: retinopati / nefropati g) ketoasidosis, koma hiperosmolar dan asidosis laktath) stres berat (infeksi sistemik, operasi berat)i) berat badan yang menurun dengan cepatj) kehamilan/DM gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan.2) Efek sampinga) Lipodistrofi: atrofi jaringan subkutan pada tempat penyuntikanb) Hipoglikemia: dosis insulin berlebihc) Reaksi alergid) Resistensi terhadap insulin JenisAwitan kerja (jam)Puncak kerja (jam)Lama kerja (jam)

Insulin kerja pendek0,5 12 45 8

Insulin kerja menengah1 24 128 24

Insulin kerja panjang26 2018 36

Insulin campuran0,5 12 - 4 dan 6 -128 24

Pada umumnya pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan kadar glukosa darah pasien. Kalau dengan sulfonilurea atau metformin sampai dosis maksimal ternyata sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, perlu dipikirkan kombinasi 2 kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda (sulfonilurea + metformin atau metformin + sulfonilurea, acarbose + metformin atau sulfonilurea). Ada berbagai cara kombinasi OHO dan insulin (OHO + insulin kerja cepat 3 kali sehari, OHO + insulin kerja sedang pagi hari, OHO + insulin kerja sedang malam hari). Yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin malam hari mengingat walaupun dapat diperoleh keadaan kendali glukosa darah yang sama, tetapi jumlah insulin yang diperlukan paling sedikit pada kombinasi OHO dan insulin kerja sedang malam hari.

3.1.9 Komplikasi DM17,18a. Komplikasi akut : - ketoasidosis diabetik - hiperosmolar non ketotik - hipoglikemiab. Komplikasi kronik1. Makroangiopati: - Pembuluh darah jantung (penyakit jantung kororner) - Pembuluh darah tepi - Pembuluh darah otak (stroke)2. Mikroangiopati: - Retinopati diabetik - Nefropati diabetik3. Neuropati4. Rentan infeksi, seperti misalnya tuberkulosis paru, ginggivitis, dan infeksi saluran kemih5. Kaki diabetik/Ulkus Diabetik (gabungan 1 sampai dengan 4)

Gambar 3.7 Komplikasi Kronis Diabetes Melitus

3.2 Nefropati Diabetik3.2.1 Definisi4Nefropati diabetik adalah sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 ig/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan penurunan LFG (laju filtrat glomerulus). Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai ekskresi albumin lebih dari 30 mg per hari dan dianggap sebagai prediktor penting untuk timbulnya nefropati diabetik.

3.2.2 EpidemiologiAngka kejadian nefropati diabetik pada diabetes melitus tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi insidens pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1 karena jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 lebih banyak.Orang Asia jumlah penderita nefropati diabetik lebih tinggi dibandingkan dengan orang barat karena penderita diabetes melitus tipe 2 orang Asia terjadi pada umur yang relatif lebih muda sehingga berkesempatan mengalami nefropati diabetik lebih besar. Di Indonesia terdapat angka yang bervariasi dari 2,0% sampai 39,3%.

3.2.3 Etiologi1. Kurang terkendalinya kadar gula darah (gula darah puasa> 140-160 mg/dl (7,7-8,8 mmol/l); AIC > 7-8%2. Faktor-faktor genetik3. Kelainan hemodinamik (peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, peningkatan tekanan intraglomerulus)4. Hipertensi sistemik5. Sindrom resistensi insulin (sindroma metabolic)6. Keradangan7. Perubahan permeabilitas pembuluh darah8. Asupan protein berlebih9. Gangguan metabolik (kelainan metabolisme polyol, pembentukan advanced glication end product, peningkatan produksi sitokin)10. Pelepasan growth factors Transforming growth factors (TGF-b, TGF-b2, TGF-b3) dan reseptornya terdapat pada semua sel glomerulus dan sel tubulus proksimal. Sel epitel dan mesangium glomerulus yang terpapar dengan TGF-b akan meningkatkan sintesis protein MES, menurunkan sintesis MMP (matrix metalloproteniase), dan meningkatkan produksi TIMP (tissue inhibitors of MMPs). Mitogen- activated protein kinases (MAPK) mungkin berperan dalam glucose-induced TGF-b yang memediasi peningkatan produksi MES dalam sel mesangium. TGF-b-akan merangsang pengambilan glukosa dengan meningkatkan transporter glukosa (GLUT- ) dalam sel mesangium. Konsentrasi TGF-b2 dan reseptor TGF-b tipe II juga meningkat pada diabetes. Antibodi netralisasi terhadap TGF-b-, TGF-b-2, dan TGF-b-3 ginjal akan membatasi peningkatan TGF-b-, reseptor TGF-b tipe II, kolagen IV, mRNA fibronektin, dan hipertrofi glomerulus. Pengobatan dengan penghambat ACE (enalapril) akan menurunkan reseptor TGF-b tipe I, II, dan III glomerulus tanpa ada perubahan dalam isoform TGF-b. Penghambat ACE dapat mencegah peningkatan urinary albumin excretion rate (UAER) dan mencegah hipertrofi ginjal, serta mengatur sistem TGF-b ginjal melalui penurunan reseptor TGF-b. Growth hormone dan insulin-like growth factor Diabetes melitus dapat menyebabkan penurunan produksi IGF-oleh hepar sehingga kadar IGF-serum dan sekresi growth hormone turun, yang akan menstimulasi jalur IGF-lokal jaringan (seperti IGF-ginjal) dan menginduksi proliferasi sel mesangium. Penelitian menunjukkan bahwa pada sel mesangium tikus dengan diabetik non obese terjadi peningkatan sekresi IGF-dan penurunan aktivitas MMP-2 yang menyebabkan akumulasi MES glomerulus. Akumulasi IGF-ginjal dan hipertrofi ginjal dipengaruhi oleh glikemia. Akumulasi IGF- ginjal ini lebih disebabkan oleh perub ahan reseptor IGF-ginjal dan IGF-binding protein dibandingkan dengan meningkatnya produksi IGF-ginjal. Analog somatostatin dan antagonis reseptor growth hormone dapat mencegah peningkatan kadar mRNA protein pengikat IGF ginjal, IGF-ginjal, dan hipertrofi ginjal. Vascular endothelial growth factor Vascular endothelial growth factor (VEGF) merupakan mitogen poten terhadap sel endotel vaskular dan regulator penting dalam angiogenesis terjadinya retinopati proliferatif pada diabetes melitus. Dalam keadaan normal, VEGF terdapat pada glomerulus dan sel epitel tubulus, sedangkan reseptor VEGF tipe 2 terdapat pada sel endotel glomerulus dan sel interstitial kortikal. Mechanical stretch pada sel mesangium dapat menginduksi produksi VEGF yang berkaitan dengan kelainan hemodinamik glomerulus.3 VEGF akan meningkat dalam glomerulus pasien diabetes mellitus akibat hiperglikemia yang diinduksi aktivasi PKC, dan meningkatkan permeabilitas glomerulus dan albuminuria. Permeabilitas glomerulus berkurang oleh inhibisi PKC.2 Hipoksia merupakan stimulator kuat terhadap VEGF. Angiotensin II menstimulasi VEGF pada sel mesangium dan glukosa menstimulasi VEGF pada sel otot polos. Epidermal growth factor Epidermal growth factor (EGF) disintesis di ginjal. Mesangium, tubulus, dan sel interstitial glomerulus mempunyai reseptor terhadap peptida ini. EGF merangsang proliferasi sel tubulus dan menyebabkan hipertrofi ginjal pada diabetes melitus stadium dini. EGF juga mempengaruhi sintesis MES dan perubahan protein MES sehingga terjadi nefropati diabetik.11. Kelainan metabolisme karbohidrat/lemak/protein12. Kelainan structural (hipertrofi glomerulus, ekspansi mesangium, penebalan membrana basalis glomerulus)13. Gangguan ion-pumps (peningkatan Na+ -H+ pump dan penurunan Ca2+ - ATPase pump).14. Hiperlipidemia (hiperkolesterolemia dan hipertrigliseridemia)15. Aktivasi protein kinase.Pada hiperglikemia dan diabetes melitus, terjadi peningkatan sintesis diasilgliserol (DAG) dari fosfatidil kholin oleh enzim fosfolipase D. Selanjutnya DAG akan mengaktivasi protein kinase C (PKC). Akumulasi DAG dan aktivasi PKC menyebabkan perubahan struktur dan permeabilitas glomerulus. Aktivasi PKC akan mempengaruhi inducible nitric oxide dan menyebabkan ekspansi mesangium, meningkatkan TGF-b dan aktivitas mitogen- activated protein kinases (MAPK), serta menyebabkan vasodilatasi glomerulus.2,3 Meskipun terdapat hubungan antara PKC dan TGF-b, namun kerja TGF-b tidak dimediasi oleh PKC.3 Aktivasi DAG kinase akan menurunkan aktivitas PKC dan menyebabkan restorasi hemodinamik ginjal.2,3 Inhibisi PKC akan menurunkan TGF-b, menurunkan ekspansi mesangium dan albuminuria.

3.2.4 Faktor Risiko19Tidak semua pasien diabetes melitus tipe I dan II berakhir dengan nefropati diabetikum, ditemukan beberapa faktor risiko:1. Hipertensi dapat menjadi penjadi penyebab dan akibat dari nefropati diabetikum. Dalam glomerulus, efek awal dari hipertensi sistemik adalah dilatasi arteriola afferentia, yang berkontribusi kepada hipertensi intraglomerular, hiperfiltrasi, dan kerusakan hemodinamik. Respon ginjal terhadap system renin-angiotensin menjadi abnormal pada ginjal diabetes. Untuk alasan ini, agen yang dapat mengkoreksi kelainan tekanan intraglomerular dipilih dalam terapi diabetes. ACE inhibitors secara spesifik menurunkan tekanan arteriola efferentia, karena dengan menurunkan tekanan intraglomerular dapat membantu melindungi glomerulus dari kerusakan lebih lanjut, yang terlihat dari efeknya pada mikroalbuminuria. Terutama setelah mikroalbuminuria muncul, kontrol metabolik hanya salah satu faktor dalam mencegah progresi penyakit ginjal. Hipertensi pada stadium ini diperkirakan menjadi penyabab penurunan cepat kerusakan ginjal. 2. Prediposisi genetika berupa riwayat keluarga mengalami nefropati diabetikum dan hipertensi3. Kepekaan (susceptibility) nefropati diabetikuma. Antigen HLA (Human Leukosit Antigen), beberapa penelitian menemukan hubungan faktor genetika tipe antigen HLA dengan kejadian nefropati diabetikum. Kelompok penderita diabetes dengan nefropati lebih sering mempunyai Ag tipe HLA-B9b. Glukose transporter (GLUT), Setiap penderita diabetes mellitus yang mempunyai GLUT 1-5 mempunyai potensi untuk mengalami nefropati diabetikum.4. Hiperglikemia, kontrol metabolik yang buruk dapat memicu terjadinya nefropati diabetikum. Kelainan metabolik lain yang berhubungan dengan keadaan hiperglikemi juga berperan dalam perkembangan nefropati diabetikum termasuk AGEs dan polyols. AGEs ialah hasil pengikatan nonenzimatik, yang tidak hanya mengubah struktur tersier protein, tapi juga menghasilkan intra dan intermolekular silang. Berbagai macam protein dipengaruhi oleh proses ini. Kadar AGEs di sirkulasi dan jaringan diketahui berhubungan dengan mikroalbuminuria pada pasien diabetes. Kadar AGEs pada dinding kolagen arteri lebih besar 4 kali lipat pada orang dengan diabetes. Pasien diabetes dengan ESRD memiliki AGEs di jaringan dua kali lipat lebih banyak daripada pasien diabetes tanpa gangguan ginjal.5. Konsumsi protein hewani6. Merokok meningkatkan progresi nefropati diabetikum. Analisis mengenai faktor risiko menunjukkan bahwa merokok meningkatkan kejadian nefropati diabetikum sebesar 1,6 kali lipat lebih besar.

3.2.5 Faktor-Faktor Yang Menetukan Progresifitas Nefropati Diabetik.4a. Perbedaan Tipe DM Walaupun jumlah dari DM tipe 2 lebih banyak tetapi dalam progresifitasnya ternyata DM tipe 1 lebih menunjukkan aktifitas nyata dari pada DM tipe2. Sebuah studi yang dilakukan honey dkk ditahun 1962 dan Thompson ditahun 1965 mengindikasikan kira-kira 90% pasien DM tipe 1 dengan durasi 10 tahun sering ditemukan kejadian glomerulosklerosis, meskipun separuh angka dari jumlah pasien tersebut akan berkembang ke arah persistensi proteinuria. b. Perbedaan Ras Perbandingan antara pasien kulit hitam yang menerima terapi dialisis penyakit ginjal terminal (ESRD) di USA menunjukkan lebih lambat mortalitasnya dari pada pasien kulit putih. Pasien kulit putih dengan gagal ginjal akut lebih sering juga diikuti dengan gagal jantung koroner(CHF), infark miokard akut(AMI) dan penyakit ginjal kronik(CKD) dari pada pasien kulit hitam). c. Faktor Genetik Faktor genetik yang menjadi titik berat disini adalah antigen HLA-B8, yang mempunyai peran dalam kepekaan terhadap nefrotoksis noksa seperti reaksi vaskuler terhadap hormon vasoaktif, faal trombosit dan inervasi simpatetik. Krolewski AD dkk,1988 menyelidiki hubungan antara faktor predisposisi genetik dengan kepekaan nefropati diabetik. Penelitian menyimpulkan, hiperglikemik tak terkendali meningkatkan faktor resiko nefropati pada DM tipe 1 bila disertai faktor predisposisi genetik hipertensi. d. AnemiaBrenner menyatakan teori hiperfiltrasi bahwa progresivitas penyakit ginjal berawal dari perubahan hemodinamik glomerulus. Kerusakan tubulointerstinal mengakibatkan penurunan laju filtrasi glomerulus melalui berbagai cara sehingga mengakibatkan jejas iskemia pada nefron. Ginjal merupakan organ perfusi baik bila dibandingkan antara berat organ dan asupan oksigen permenit. Namun tekanan oksigen jaringan pada ginjal lebih rendah dibandingkan organ lain. Hal ini berhubungan dengan struktur morfologi korteks dan medulla yang berkelok memungkinkan laju difusi oksigen dari arteri menuju vena sebelum masuk kapiler,hal ini mengindikasikan rendahnya tekanan oksigen pada medulla dan kortek ginjal. Kondisi hipoksia yang persisten akan mengakibatkan terjadinya vasodilatasi nefron-nefron yang masih utuh dan terjadinya sklerosis sehingga timbullah glumerulosklerosis yang meningkatkan hiperfiltrasi ginjal secara terus menerus. Pada kondisi anemia dimana kecenderungan untuk transportasi oksigen vaskuler kejaringan rendah akan meningkatkan resiko tejadinya hipoksia jaringan. Hipoksia yang terjadi juga diindikasi akan mengaktifkan dan mengubah metabolisme matriks ekstrasel sel ginjal. Hipoksia yang meningkat dan berkepanjangan akan menyebabkan gangguan fungsi mitokondria melalui peningkatan ROS, sehingga terjadi defisit energi yang persisten sehingga memacu terjadinya apoptosis. Apoptosis tersebut terjadi paling banyak dapat kita amati pada sel tubulus ginjal. Hal ini mengakibatkan semakin meningkatnya progresivitas dari kondisi nefropati yang diakibatkan penyakit metabolik diabetes mellitus. e. Lama Menderita DMPenelitian dilakukan warram dkk, 1996 pada pasien dengan menderita diabetes mellitus tipe 1 mengindikasikan bahwa peningkatan mikroalbuminuria dan persistensi proteinuria meningkat seiring dengan lama durasi dari deteksi pasien terkena diabetes. Sesudah 7 tahun pasien awal yang rata-rata berumur 9 tahun akan muncul tanda-tanda nefropati diabetic. Setelah 30 tahun dievaluasi maka hasinlnya terjadi peningkatan mikroalbuminuria sebesar 27%.

f. Konsumsi Protein HewaniProtein hewani yang berlebihan dapat meningkatkan perubahan-perubahan hemodinamik intrarenal pada pasien yang telah mempunyai dasar penyakit ginjal. Percobaan dari heidlana dkk, 1995 mengindikasikan bahwa diet kaya protein pada binatang percobaan menyebabkan kenaikan filtrasi glomerulus, hipertensi intraglomerulus, berakhir dengan kerusakan nefron. g. Keterkaitan Penyakit Vaskuler LainKondisi hipertensi yang meningkatkan pelepasan mikroalbumin dari ginjal mengindikasikan bahwa peningkatan tekanan darah pada DM sebanding dengan progresifitas yang ada. Diabetik nefropati sebagai komplikasi mikrovaskuler sangat terkait dengan peningkatan tekanan darah. Peningkatan vasokontriksi, hipertrofi vaskuler dan refraksi vaskuler merupakan efek dari peningkatan tekanan darah. Ketiga gangguan vaskuler tersebut akan meningkatkan tekanan darah yang berkibat pada peningkatan progresifitas diabetik nefropati .

3.2.6 PatofisiologiKelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui fasilitasi glucose transporter (GLUT) terutama GLUT1, yang mengakibatkan beberapa mekanisme seperti poloy pathway, hexoamine pathway, protein kinase C (PKC) pathway, dan penumpukan zat yang disebut sebagai advanced glycation end-products (AGEs). Sampai saat ini, hiperfiltrasi masih dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Penelitian Brenner dkk pada hewan menunjukkan bahwa saat jumlah nefron mengalami pengurangan yang berkelanjutan, filtrasi glomerulus dari nefron yang masih sehat akan meningkat sebagai bentuk kompensasi. Hiperfiltrasi yang terjadi pada sisa nefron yang sehat akan menyebabkan sklerosis nefron.

Gambar 3.8 Patofisiologi Nefropati Diabetik

Mekanisme terjadinya peningkatan laju filtrasi glomerulus pada nefropati diabetik ini masih belum jelas benar, tetapi kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai hormone vasoaktif, IGF-1, nitric oxide, prostaglandin dan glucagon. Efek langsung dari hiperglikemia adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi TGF- yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki fungsi vascular seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan permeabilitas kapiler.Hiperglikemia kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan protein. Pada awalnya, glukosa akan mengikat residu asam amino secara non-enzimatik menjadi basa Schift glikasi, lalu terjadi penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversible dan disebut produk amadori. Jika proses ini berlanjut terus, akan terbentuk advanced glycation end-Product (AGEs) yang ireversibel. AGEs diperkirakan menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi adhesion molecules yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuclear, juga pada terjadinya hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis nitric oxide. Proses ini akan terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta fibrosis tubulointertisialis sesuai dengan tahap-tahap dari mongesen. Hipertensi yang timbul bersama dengan bertambahnya kerusakan ginjal juga akan mendorong sklerosis pada ginjal pasien diabetes.

3.2.7 Klasifikasi4,21Tabel 3.2 tahapan Nefropati Diabetik oleh Mogensen

Tahap Kondisi GinjalAERLFGTDPrognosis

1HipertrofiHiperfungsiNNReversible

2Kelainan strukturN/NMungkin reversible

3Mikroalbuminuria persisten20-200 mg/menit/NMungkin reversible

4Makroalbuminuria Proteinuria>200 mg/menitRendah Hipertensi Mungkin bisa stabilisasi

5UremiaTinggi/ rendah300> 200> 200

International Society of Nefhrologi (ISN) menganjurkan penggunaan perbandingan albumin-kreatinin (Albumin-creatinine ratio ACR) untuk kuantifikasi proteinuria serta sebagai sarana follow-up.3.2.8 Diagnosis4,21a) Manifestasi klinisGejala uremia: badan lemah, anoreksia, mual, muntah. Anemia, overhidrasi, asidosis, hipertensi, kejang-kejang sampai koma uremik. neuropati, retinopati, gangguan serebrovaskular atau profil lemak.b) Laboratorium Kadar glukosa darah meningkat ( GDN 126 mg%, GDPP 200 mg%, proteinuria (mikroalbuminuria 30-300 mg/24 jam atau makroalbiminuria 300 mg/24 jam), profil lipid (kolesterol total, LDL, trigliserida meningkat dan HDL menurun). Penanda paling dini adanya nefropati diabetik dan gangguan membran basal yang menjadi petunjuk progresivitas penyakit ke arah nefropati klinis adalah mikroalbuminuria (30-300 mg/24 jam). Diagnosis mikroalbuminuria ditegakkan jika 2 dari 3 pemeriksaan berturut-turut dalam 3 bulan menunjukkan adanya mikroalbuminuria. Enzim tubular, enzim-enzim tubuli yang telah diteliti dan dilaporkan dapat merupakan penanda kelainan tubuli, antara lain yaitu n-aceyl-glucosamidase (NAG),gamma-glutamyl-transferase dan lain-lain, dan NAG merupakan enzim yang paling sensitif untuk mendeteksi kelainan tubuli.Diagnosis Nefropati Diabetika dapat dibuat apabila memenuhi kriteria: 1. DM 2. Retinopati Diabetika 3. Proteinuri yang presisten selama 2 kali pemeriksaan interval 2 minggu tanpa penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1x kali pemeriksaan dan kadar kreatinin serum > 2,5mg/dl.3.2.9 Tatalaksana4,14Tatalaksana nefropati diabetik tergantung pada tahapan-tahapan apakah masih normoalbuminuria, sudah terjadi mikroalbuminuria atau makroalbuminuria, tetapi pada prinsipnya, pendekatan utama tatalaksana nefropati diabetik adalah melalui:1. Pengendalian gula darah (olah raga, diet, obat anti diabetes)2. Pengendalian tekanan darah (diet rendah garam, obat anti hipertensi)3. Perbaikan fungsi ginjal (diet rendah protein, pemberian Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor [ACE-I] dan/ atau Angiotensin Receptor Blocker [ARB]4. Pengendalian faktor-faktor ko-morbiditas lain (pengendalian kadar lemak, mengurangi obesitas, dll)Terapi non farmakologis nefropati diabetik berupa gaya hidup yang sehat meliputi olah raga rutin, diet, menghentikan merokok serta membatasi konsumsi alkohol. Olah raga rutin yang dianjurkan ADA adalah berjalan 3-5 km/hari dengan kecepatan sekitar 10-12 menit/km, 4 sampai 5 kali seminggu. Pembatasan asupan garam adalah 4-5 g/hari (atau 68-85 meq/hari), serta asupan protein hingga 0,8 g/kg/berat badan ideal/hari. Terapi farmakolgis dengan pemberian insulin atau obat antidiabetik oral lain dengan memperhatikan efek farmakodinamik dan farmakokinetiknya. Pengendalian hipertensi, target tekanan darah pada nefropati diabetic adalah 0,5

Kadar protein dalam serum Kadar LDH dalam efusi (LU) Kadar LDH dalam efusi

< 200> 200

< 0,6> 0,6

Kadar LDH dalam serum Berat jenis cairan efusi Rivalta

< 1,016> 1,016

NegatifPositif

e. Sitologif. Bakteriologig. Biopsi pleura

3.3.4 TatalaksanaEfusi yang terinfeksi perlu segera dikeluarkan menggunakan pipa intubasi melalui sela iga III, bila cairan kental sulit keluar perlu dilakukan tindakan operatif. Untuk mencegah terjadinya efusi pleura lagi, setelah aspirasi (pada efusi pleura maligna), dapat dilakukan pleurodesis yakni melengketnya pleura visceralis dan parietalis. Tatalaksana efusi pleura lebih lanjut disesuaikan dengan penyebab efusi tersebut.

BAB IVPEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini, pasien Tn. R (46 tahun) didiagnosa dengan Nefropati Diabetik disertai efusi pleura bilateral. Dasar diagnosa pada pasien ini adalah sebagai berikut:

4.1 Nefropati diabetik Berdasarkan anamnesis, diketahui Os memiliki riwayat DM sudah sejak +/- 6 tahun yang lalu. Saat itu Os mengeluh cepat lelah, cepat lapar, cepat haus, dan banyak BAK terutama malam hari. Os juga mengalami penurunan berat badan, namun belum ada keluhan pandangan kabur saat itu. Os berobat dan diberikan obat minum tapi obat tersebut tidak diminum secara teratur. Dari keterangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa selama ini Os menderita diabetes mellitus tipe II tidak terkontrol yang sudah menahun (kronis). Sesuai dengan gejala dari diabetes, yaitu: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Pemeriksaan GDS pasien pada tanggal 3 Februari 2014 266 mg/dl, pada tanggal 29 Januari 2014 pasien sempat mengalami hipoglikemia karena tidak makan dan pengaruh obat gula darahnya (glibenklamid).Diabetes melitus tipe II yang tidak terkontrol dengan baik bisa menimbulkan berbagai komplikasi baik akut maupun kronik. Dalam kasus pasien ini, komplikasi yang muncul adalah komplikasi kronik mikroangiopati yaitu retinopati dan nefropati. Sejak bulan November 2013 lalu Os mengeluh pandangannya kabur dan kemudian didiagnosis retinopati. Kira-kira 4 bulan kemudian (29 Januari 2014), Os kembali dirawat di RS datang dengan sesak nafas, efusi pleura, edema pada kaki dan ascites. Dari pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda nefropati diabetik antara lain: lemah, anemia, hipertensi, edema, retinopati. Dari pemeriksaan laboratorium ditemukan peningkatan ureum 92,2 mg/dl (15-39 mg/dl) dan kreatinin 4,9 mg/dl (0,9-1,3 mg/dl), dari urinalisis didapatkan proteinuria +++, LFG juga menurun 16,78 ml/menit, sedimen eritrosit > 5. Hal-hal tersebut cukup untuk memenuhi kriteria diagnosis nefropati diantaranya: Pasien DM, Retinopati Diabetika, Proteinuria yang presisten selama 2 kali pemeriksaan interval 2 minggu tanpa penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1 kali pemeriksaan dan kadar kreatinin serum > 2,5mg/dl.Kadar Hb yang rendah (7,7 g/dL) kemungkinan disebabkan karena berkurangnya produksi Eritropoietin (EPO), suatu hormon penstimulasi eritropoiesis yang dihasilkan oleh ginjal. EPO dihasilkan oleh fibroblast peritubuler korteks ginjal. Pada nefropati diabetik, kerusakan tidak hanya terjadi pada glomerulus tetapi juga pada fibroblast peritubuler sehingga produksi EPO terganggu. Selain itu bisa disebabkan oleh hematuria yang terjadi pada pasien ini.

4.2 Efusi PleuraDari hasil anamnesis Os merasa sesak nafas sejak kira-kira sebulan yang lalu semenjak perutnya terasa membengkak terisi cairan. Sesak semakin memberat bila berbaring dan sedikit berkurang bila berbaring miring atau duduk, sesak tidak diperberat oleh aktivitas, tidak dipengaruhi cuaca ataupun emosi. Os tidak mengeluhkan nyeri dada ataupun dada berdebar, JVP juga tidak meningkat sehingga dapat menyingkirkan kemungkinan gangguan makroangiopati pada DM yaitu penyakit jantung koroner dan komplikasinya. Dari pemeriksaan fisik ditemukan vocal fremitus taktil menurun di kedua lapangan paru mulai ICS IV ke bawah, begitu juga dengan suara nafas yang melemah di kedua lapangan paru mulai ICS IV ke bawah. Dari pemeriksaan penunjang USG dan Ro.Thoraks disimpulkan bahwa pasien ini mengalami efusi pelura bilateral.Hipoalbuminemia ditunjukkan dari hasil pemeriksaan faal hati: protein total 5,1 g/dl (6,4-8,4 g/dl), albumin 2,5 g/dl (3,5-5,0 g/dl), globulin 2,6 g/dl (3,0-3,6 g/dl). Protein total dan albumin darah yang rendah disebabkan peningkatan ekskresi protein melalui urine, terutama albumin. Pada pasien ini, ekskresi protein lewat urin tinggi, terbukti dari urinalisis ditemukan proteinuria +++, sehingga mengakibatkan berkurangnya kadar protein total dan albumin darah. Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan onkotik plasma, sehingga cairan berpindah dari kapiler dan sel ke ruang interstitial. Hal ini didukung data pemeriksaan fisik yang menyebutkan adanya edema pada kedua ekstremitas bawah dan ascites.Efusi pleura karena hipoalbuminemia dapat terjadi pada sindrom nefrotik, malabsorbsi atau keadaan lain dengan ascites serta edema anasarka. Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.

BAB V KESIMPULAN

Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Hiperglikemia kronik pada dibetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. Jika tidak ditangani dengan baik tentu saja angka kejadian komplikasi akut maupun kronik DM juga akan meningkat, termasuk komplikasi nefropati diabetik dan retinopati diabetik.Nefropati diabetik adalah sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 ig/menit) pada minimal dua kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan penurunan LFG (laju filtrat glomerulus). Diagnosis Nefropati Diabetika dapat dibuat apabila memenuhi kriteria: 1. DM 2. Retinopati Diabetika 3. Proteinuri yang presisten selama 2 kali pemeriksaan interval 2 minggu tanpa penyebab proteinuria yang lain, atau proteinuria 1 kali pemeriksaan dan kadar kreatinin serum > 2,5mg/dl.

21

- Cocksakie- Rubella,- CMV- HerpesPeradangan pd sel- (Insulinitis)Terbentuknya Antibodi trhdp sel- / ICARusak sel-Insulin Rx. Antigen-antibodi2