Upload
anisa-nurfitria
View
962
Download
25
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS MK. TEKNIK PENANGANAN LIMBAH
PENANGANAN DAN PENGOLAHAN LIMBAH PADAT
LANDFILL OPERATIONS
Disusun Oleh:
Muhammad Rifqi 240110070004
Mauludin Azis 240110070032
Mitra Eviani 240110070036
Ema Komalasari 240110070042
R. Anisa Nurfitria 240110070046
JURUSAN TEKNIK DAN MANAJEMEN INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hampir seluruh kota di Indonesia telah menyediakan Tempat Pemrosesan
Akhir (TPA) sampahnya. Pada kenyataannya banyak TPA mendatangkan masalah
lingkungan, yang berakibat pada timbulnya permasalahan sosial, khususnya akibat
penolakan masyarakat atas sarana tersebut. Dibutuhkan cara penanganan sampah
di TPA yang lebih baik, lebih higienes dan berwawasan lingkungan [Damanhuri,
2008a]. UU 18/2008 mengamanatkan bahwa seluruh Pemerintah Kota/Kabupaten
yang masih menggunakan TPA cara open-dumping tersebut harus merencanakan
penutupannya paling lama setahun sejak diberlakukannya UU tersebut, dan harus
menutup TPA jenis tersebut serta menggantinya dengan landfill yang lebih baik,
yaitu yang dikenal sebagai sanitary landfill, paling lama 5 (lima) tahun sejak
berlakunya UU tersebut diundangkan. Indonesia belum mempunyai pengalaman
menerapkan model landfill yang sesuai dengan persyaratan lingkungan.
Tujuan Dewasa ini sistem pengelolaan sampah di daerah perkotaan
dilakukan dengan mengandalkan armada pengangkut sampah yang mengangkut
sampah domestik dan Industri (SDI), yaitu sampah rumah tangga, pasar, pabrik,
rumah sakit, hotel, dsb) dari tempat pembuangan sementara (TPS) ke tempat
pembuangan akhir (TPA). Sampah-sampah tersebut terdiri dari bahan organic
(sisa-sisa makanan, dapur) dan bahan nonorganik (kertas, kaca, barang
pecahbelah, plastik, mika, kaleng, kain, besi dan logam lainnya, dsbnya).
Sistem pengelolaan sampah konvensional (SILASKO) ini, membutuhkan
sejumlah gerobak/truk pengangkut (G/T), rute transportasi truk sampah, dan lahan
penampung sampah yang lokasinya jauh dari pemukiman domestik, serta
sejumlah insinerator (INS) untuk pembakaran sampah. Di TPS tertentu sampah
ditempatkan ke dalam kontainer untuk memudahkan pengangkutan oleh truk (T)
ke TPA. Baik di TPS maupun di TPA, biasanya sudah ada sekelompok pemulung
yang memilah-milah sampah non-organik secara manual untuk diteruskan ke
proses daur-ulang. Sisa-sisa pemilahan ini sebagian besar adalah sampah organic
yang ditumpuk di TPA dan sebagian dibakar oleh insinerator.
Pengelolaan sampah terintegrasi atau terpadu dapat didefinisikan sebagai
pemilihan dan penerapan teknik-teknik, teknologi, dan program-program
manajemen yang sesuai untuk mencapai sasaran dan tujuan yang spesifik dari
pengelolaan sampah. Menurut Tchobanoglous, 1997, pengelolaan sampah terpadu
yakni: pengurangan sampah diawal sumber (source reduction), daur ulang
(recycling), pengolahan limbah (waste transformastion) dan landfilling. Namun,
pada intinya, setiap elemen pada konsep pengelolaan sampah terpadu/terintegrasi
harus berjalan dengan semestinya dan terus dikembangkan karena saling
berkesinambungan serta saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Seperti
contohnya, tahap kegiatan daur ulang baru bisa berjalan ketika kegiatan
pengurangan sampah diawal sumber telah berjalan. Sama halnya dengan
pengolahan limbah dapat dilakukan setelah kegiatan daur ulang telah berjalan,
sehingga sampah yang diolah hanyalah sampah yang tidak dapat didaur ulang.
1.2 Tujuan
1. Mengetahui tentang sampah padat dan sumber penghasil sampahnya.
2. Mengetahui teknik atau cara pengelolaan sampah padat pada Tempat
Pembuangan Akhir (TPA).
3. Mengetahui jenis-jenis pengolahan sampah metode landfill
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Sampah (Limbah Padat)
Banyak sekali pengertian mengenai sampah/limbah padat itu sendiri.
Sampah merupakan produk samping dari aktifitas manusia sehari-hari, sampah ini
apabila tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan tumpukan sampah yang
semakin banyak. Menurut UU 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah
mendefinisikan sampah sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses
alam yang berbentuk padat. Atau bisa juga diartikan sebagai ”Sampah adalah
semua buangan yang timbul akibat aktifitas manusia dan hewan yang biasanya
berbentuk padat yang dibuang karena tidak dibutuhkan atau tidak diinginkan lagi
(tchobanoglous, 1993)” , (Hutagalung, 2009).
Sampah pada dasarnya merupakan suatu bahan yang terbuang atau
dibuang dari suatu sumber hasil aktivitas manusia maupun proses-proses alam
yang tidak mempunyai nilai ekonomi, bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi
yang negatif karena dalam penanganannya baik untuk membuang atau
membersihkannya memerlukan biaya yang cukup besar. Sedangkan pengertian
sampah menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo, sampah ialah suatu bahan atau
benda padat yang sudah tidak dipakai lagi oleh manusia atau benda-benda padat
yang sudah tidak digunakan lagi dalam suatu kegiatan manusia dan dibuang.
(Ilmu Kesehatan Masyarakat, 2003:166). Sedangkan definisi lain menyatakan
bahwa; Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil
aktivitas manusia maupun alam yang belum memiliki nilai ekonomis (Anonim1,
2008).
2.2 Pengelolaan Sampah Terpadu
Masalah yang dihadapi para pengelola sampah masih berkutat di sekitar
metode dan lokasi pemindahan fisik sampah dari TPS (tempat pembuangan
sementara) ke TPA (tempat pembuangan akhir). Sampah secara mekanis dibuang,
ditumpuk, ditimbun, diratakan, dipadatkan, dan dibiarkan membusuk serta
mengurai sendiri secara alami di TPA. Sebagian lain dibakar secara langsung di
tempat dengan atau tanpa menggunakan fasilitas insinerator (tungku
pembakaran).
Pada pola pengelolaan sampah konvensional seperti tersebut di atas
muncul berbagai permasalahan dampak lingkungan, mulai dari pembuangan
sampah domestik/industri ke TPS, pengangkutan sampah dari TPS ke TPA,
armada angkut, jalur angkut, sampai di lokasi TPS. Dalam kegiatan ini,
seolaholah pengelolaan sampah adalah urusan pemerintah semata. Masyarakat
sering hanya menjadi penonton, apalagi bila mereka merasa telah membayar uang
retribusi sampah, sehingga penanganan selanjutnya adalah menjadi urusan
pemerintah. Beberapa dekade lalu, ketika populasi penduduk masih relatif sedikit
dan kebutuhan industri terhadap ruang masih relatif rendah, pembuangan sampah
dengan pola pengelolaan sampah konvensional masih memadai untuk dilakukan.
Saat ini, dengan meningkatnya tekanan populasi penduduk dan perkembangan
industri yang pesat, serta terjadinya urbanisasi besar-besaran yang mengacaukan
tatanan kota, sistem pengelolaan sampah konvensional sudah tidak sesuai lagi.
Oleh karena itu, tulisan ini mencoba menawarkan pola alternatif dalam
pengelolaan sampah perkotaan. Diharapkan kemerosotan kualitas lingkungan
hidup akibat sampah dapat segera diatasi.
2.2.1 Sistem Konvensional
Sistem pengelolaan sampah konvensional (SILASKO) sebagaimana
dikemukakan di atas sampai saat ini masih dilaksanakan di kebanyakan kota di
Indonesia. Sistem ini sangat mengandalkan armada pengangkut sampah. Sampah
domestik dan industri (SDI), yaitu sampah rumah tangga, pasar, pabrik, rumah
sakit, dan hotel diangkut dari TPS ke TPA. Sampah-sampah tersebut terdiri dari
bahan organik (sisa-sisa makanan, dapur) dan bahan non-organik (kertas, kaca,
barang pecah-belah, plastik, mika, kaleng, kain, besi dan logam lainnya).
Untuk itu diperlukan sejumlah gerobak/truk pengangkut (G/T), rute
transportasi truk sampah, dan lahan penampung sampah yang lokasinya jauh dari
pemukiman domestik, serta sejumlah insinerator (Ins) untuk pembakaran sampah.
Penyelenggara sistem pengelolaan sampah konvensional terutama adalah
pemerintah (dalam hal ini Dinas Kebersihan Kota) dengan melibatkan sedikit
komponen masyarakat. Pada sistem pengelolaan sampah konvensional
(SILASKO), sampah domestik dan industri (SDI) diangkut gerobak atau truk
sampah (G/T) dengan cara manual dari pelosok wilayah permukiman dan industri
ke TPS-TPS, berupa campuran sampah organik dan non-organik. Pada TPS
tertentu, sampah ditempatkan dalam kontainer untuk memudahkan pengangkutan
truk (T) ke TPA. Baik di TPS maupun di TPA, biasanya sudah ada sekelompok
pemulung yang memilah-milah sampah non-organik secara manual untuk
diteruskan ke proses daur-ulang. Sisa-sisa pemilahan ini sebagian besar adalah
sampah organic yang ditumpuk di TPA dan sebagian dibakar di dalam
insinerator.
Dari fakta lapangan yang selama ini terjadi, proses kerja yang ditampilkan
oleh silasko memiliki beberapa kelemahan, terutama tidak semua sampah yang
ada di pelosok-pelosok wilayah pemukiman/industri dapat dicapai gerobak
sampah untuk diangkut ke TPS. Akibatnya, banyak sampah tertinggal, dibiarkan
membusuk atau dibakar di tempat yang sering menimbulkan polusi udara di
lingkungan mereka sendiri. Terjadi penimbunan sampah di TPS akibat
pengangkutan truk-truk pengangkut sampah ke TPA tertunda. Maka terjadi proses
pembusukan sampah yang mengundang lalat, nyamuk, tikus, dan berbagai sumber
penyakit lainnya di TPS. Kondisi itu mengganggu kualitas lingkungan hidup
wilayah sekitarnya.
Bahkan penundaan sering terjadi berlarut-larut, sehingga terbentuk cairan
hasil pembusukan dengan kandungan logam terurai yang berbahaya bagi
kesehatan lingkungan saat meresap ke dalam tanah. Proses yang sama terjadi
dalam jumlah yang lebih besar di TPA. Sampah yang ditampung di TPA, sebagian
disebar-ratakan untuk dibiarkan membusuk dan terurai secara alami (3-6 bulan,
bahkan lebih dari 12 bulan). Sebagian dibakar dalam insinerator yang tersedia.
Namun, incinerator yang tersedia ternyata tidak mampu membakar sampah
dengan sempurna, sehingga asap hasil pembakaran yang mengandung emulsi
padat bahan beracun dan berbahaya (B3), seperti asap, gas, logam berat yang
mencemari udara. Pengelolaan sampah yang digunakan masih dilakukan dengan
metode mekanis dan kurang berwawasan lingkungan. Lamanya proses penguraian
sampah organik menjadi bahan-bahan anorganik alami yang netral terhadap
keseimbangan alami tidak lagi mampu menampung lajunya penumpukan fisik
sampah. Dengan kata lain, jumlah sampah yang masuk ke lingkungan sudah
melampaui kapasitas daya dukung lingkungan alami. Selama ini, pelayanan
pengelolaan sampah kurang mengikut-sertakan partisipasi masyarakat, sehingga
masyarakat cenderung tidak peduli terhadap sampah di sekelilingnya, dan
menyerahkan sepenuhnya pengelolaan sampah kepada PD Kebersihan (Fachrul,
2006).
2.2.2 Sistem Terpadu (Integrated System)
Kelemahan Silasko dapat diantisipasi dengan solusi yang mencakup aspek
sistem pengelolaan sampah yang berbasis masyarakat, berwawasan lingkungan,
dan mengarah kepada pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan dilakukan
melalui pengembangan potensi ekonomi dari sampah dalam bentuk industry
persampahan terpadu, yaitu sistem pengelolaan reaktor sampah terpadu (silarsatu).
Cara kerja silarsatu, yaitu dengan penyortiran sampah yang tersosialisasi di antara
produsen sampah (permukiman/industri). Sampah diangkut gerobak sampah yang
sudah dirancang sebagai gerobak penyortir yang mengangkut sampah ke silarsatu.
Sistem ini terdiri dari subsistem pemilahan, perajangan, reaktor sampah yang
mampu mendekomposisi sampah organik menjadi kompos dalam waktu 3-14 hari,
tergantung kepada mikroba pengurainya (bakteri atau jamur).
Sub-sistem lainnya adalah pengeringan, penyaringan, sertifikasi kompos,
pengemasan, dan penggudangan. Penguraian bahan organik menjadi bahan
anorganik terjadi melalui proses biokimia aerobik (decomposition) dan
menghasilkan kompos yang tidak berbau.
Dengan sosialisasi, lingkungan dan partisipasi masyarakat di setiap sistem
sangat berperan dan diberdayakan dalam rangka peningkatan ekonomi rakyat,
sehingga beban kerja yang selama ini hanya ditanggulangi PD Kebersihan
menjadi berkurang. Dengan demikian, silarsatu adalah konsep pengelolaan
sampah dengan cara zero waste system atau sistem pengelolaan sampah tanpa sisa
kecuali kompos. Motto yang dianut adalah, "Lebih baik memelihara kompos yang
ramah lingkungan dan bernilai ekonomis daripada memelihara sampah yang
menurunkan kualitas lingkungan". Moto ini memiliki arti yaitu bagaimana
seharusnya melaksanakan penanganan dan pemrosesan sampah secara benar yang
ramah lingkungan.
Secara praktis, silarsatu mampu mengurai sampah tanpa sisa menjadi
kompos yang tidak menyebabkan polusi pada tanah, perairan, dan udara.
Sementara beban truk-truk pengangkut sampah dari TPS ke TPA pulang-pergi
menjadi berkurang, karena reaktor-reaktor sampah langsung mengubah sampah
menjadi kompos di tempat. Tempat tersebut dapat langsung menjadi gudang
penyimpan kompos. Sedangkan kompos yang dihasilkan dapat langsung
disebarkan ke lahan tanpa menimbulkan dampak lingkungan (Fachrul, 2006).
2.3 Metode Pengolahan Limbah Padat
Ada beberapa metode dalam proses pengolahan limbah padat yaitu dengan
memakai metode landfills (pengerukan), recycling (daur-ulang), composting
(pengomposan), incineration (penempatan bahan limbah), dan marine disposal
(membuang kedasar laut). Di Amerika Serikat hampir 90% proses pengolahan
limbah padat dilakukan dengan menggunakan metode Landfills.
2.3.1 Metode Sanitary Landfill
Secara sepintas, metode landfill relatif mudah dilakukan dan bisa
menampung sampah dalam jumlah besar. Akan tetapi, anggapan ini kurang tepat
karena jika tidak dilakukan secara benar, landfill dapat menimbulkan masalah
yang berkaitan dengan kesehatan dan lingkungan. Masalah utama yang sering
timbul adalah bau dan pencemaran air lindi (leachate) yang dihasilkan. Selain itu,
gas metana yang dihasilkan oleh landfill dan tidak dimanfaatkan akan
menyebabkan efek pemanasan global. Jika termampatkan di dalam tanah, gas
metana bisa meledak. Oleh sebab itu, dalam sistem landfill yang baik diperlukan
adanya unit pengolahan air lindi dan unit pengolahan biogas.
Sanitary landfill adalah suatu metode pengolahan dan penempatan bahan
limbah diatas tanah dengan cara mengemasnya menjadi bagian-bagian kecil yang
kemudian ditutup dengan suatu lapisan tanah penutup. Pemadatan dan penutupan
lapisan tanah dilakukan dengan menggunakan bulldozer atau alat-alat berat.
Limbah padat ditempatkan pada tempat yang telah disediakan kemudian
dipadatkan atau dibakar agar volume limbah menjadi kecil sehingga lokasi
pembuangan limbah bias berumur lebih panjang.
Keuntungan metode ini adalah bekas lokasi tempat pengolahan limbah
yang telah ditutup dapat dimanfaatkan untuk keperluan lainnya seperti dijadikan
lapangan golf. Berikut adalah jenis katagori limbah padat berdasarkan hasil dari
Cornelius dan Burch (1968) :
a. Perkotaan
- Limbah yang berasal dari rumah tangga
- Limbah yang berasal dari areal bisnis dan perdagangan
- Limbah yang berasal dari areal khusus
b. Industri
- limbah yang berasal dari pertambangan dan pemprosesan mineral
- limbah yang berasal dari manufaktur
- limbah yang berasal dari cannery
- limbah yang berasal dari industry petrokimia dan pengilangan minyak
bumi
- limbah yang berasal dari pemrosesan makanan (pengemasan daging,
buah-buah, dsb)
c. Pertanian
- Limbah yang berasal dari peternakan
- Limbah tanaman buah-buahan dan kacang-kacangan
- Limbah yang berasal dari hasil panen tanaman
1) Metode Pengolahan
Sanitary landfills melibatkan pekerjaan pemisahan (spreading),
kompaksi (compacting), dan menutup/menimbun lubang (covering the
fill). Ada 2 metoda yang umum dipakai yaitu : area sanitary landfill dan
trench sanitary landfill. Pada metoda area sanitary landfill, limbah padat
ditempatkan diatas lahan dan bulldozer berfungsi meratakan dan
memadatkan limbah tersebut yang kemudian limbah ditutupi dengan satu
lapisan tanah yang kemudian dipadatkan. Di tempat-tempat yang
morfologinya berbentuk metoda trench sanitary landfill, suatu puritan
dibuat siatas permukaan tanah dan limbah padat ditempatkan di dalamnya.
Limbah padat diratakan menjadi lapisan-lapisan tipis, kemudian
dipadatkan dan ditutup dengan tanah yang berasal dari hasil galian.
Metoda trench sanitary landfill lebih baik dibandingkan dengan metoda
area sanitary landfill, terlebih lebih bila muka air tanah berada jauh dari
permukaan tanah.
a) Sanitary Landfill
ada 3 metode yang digunakan :
1. Metode galian parit
sampah dibuang ke dalam parit yang sengaja digali memanjang.
Sampah ditimbun, dipadatkan dan diratakan. Jika sudah penuh, gali
parit lain di tempat lain.
2. Metode Area sama ama metode 1, cuma bedanya sampah dibuang kedalam
lahan yang emang tidak sengaja digali. Kaya rawa yang kering, tanah
rendah.
3. Metode Ramp, yaitu metode gabungan 1 & 2. Bedanya, proses
penguburannya. Yaitu masukkan sampah, lalu lapisi tanah setebal 15cm,
dst.
4. Potensi pencemaran
Sanitary landfills dapat mengakibatkan polusi baik yang berupa
solid pollution, liquid pollution, gas pollution, biological pollution, dan
visual pollution.
a) Solid Pollution : adalah polusi yang terjadi sebagai akibat dari material
limbah padat yang tersingkap secara luas sebagai akibatdari tiupan
angin yang sangat kencang atau karena terkikis oleh hujan badai dan
terjadinya endapan debris yang diendapkan dekat dengan muka air
tanah.
b) Liquid Pollution : polusi yang terjadi akibat air hujan yang masuk ke
dalam material limbah padat dan mengalami pencampuran bahan-
bahan yang berasal dari limbah kedalam badan air yang kemudian
dibawa kedalam air bawah tanah atau air permukaan. Air yang
tercampur oleh material limbah padat disebut leaching.
c) Gas Pollution : merupakan hasil pembentukan gas yang berasal dari
limbah padat dan gas karbondioksida yang berpindah kea rah bagian
bawah menyebabkan polusi air tanah.
d) Biological Pollution : penyakit yang dibawa hewan insektisida karena
pengelolaan TPA yang tidak sempurna
e) Visual Pollution : terjadi terutama pada pengolahan limbah dengan
sistem open dump yang tidak sempurna sehingga pemandangan
menjadi terkesan jorok.
5. Penentuan Lokasi Sanitary Landfill dan Problem Lingkungan
Penentuan lokasi sanitary landfill harus mempertimbangkan dampak
terhadap lingkungan yang seminimal mungkin. Beberapa baitasan adalah
operational, ekologi, topografi, geologi, dan hidrologi.
a) Pertimbangan operational : ketersediaan lahan yang cukup luas untuk
menampung limbah sesuai dengan rencana waktu operasiional TPA.
Menyiapkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan zonasi TPA
serta harus dikonfirmasi kepada pemerintah kota atau pemerintah
daerah. Akses jalan kendaraan truk menuju lokasi TPA harus tersedia
dan ekonomis.
b) Pertimbangan ekologi : kebanyakan lokasi TPA yang dipakai adalah
lahan-lahan hasil konversi dari lahan gambut atau lahan rawa yang
tidak produktif (lahan marginal) dan tidak dapat dimanfaatkan untuk
pemukiman. Akan tetapi banyak tanah marginal seperti rawa dan lahan
gambut sebagai tempat yang sangat bernilai untuk preservasi flora dan
fauna. Oleh karena itu setiap lahan yang akan dipakai sebagai lokasi
TPA terlebih dahulu harus dievaluasi.
c) Pertimbangan topografi, geologi, dan hidrologi : penentuan topografi
(morfologi) untuk suatu lokasi TPA harus mempertimbangkan
drainase, seperti ravine, gully yang dapat berpotensi terhadap erosi,
longsor, dan banjir serta harus melihat seberapa dalam leaching dari
limbah yang masuk ke dalam tanah dan seberapa dalam muka air tanah
yang ada pada lokasi sehingga leaching limbah tidak masuk ke dalam
badan air tanah atau air permukaan. Ketersediaan dan jenis
material/tanah penutup sangatlah penting. Material lanau-pasiran
mudah dalam pengerjaannya akan tetapi jenis material ini porositasnya
baik terhadap air hujan.
Lokasi TPA harus berada diatas muka air tanah. Di daerah yang
beriklim tropis dimana potensi leaching sangat besar muka hidrologi bawah
tanahnya harus diteliti terlebih dahulu untuk menghindarkan pencemaran air tanah
yang berasal dari hasil leaching. Jika ternyata leaching dapat mencapai suatu
aliran atau aquifer, maka kualitas tanah harus diteliti. Leaching dapat dikurangi
dengan cara membuat surface runoff untuk mengalirkan leaching dengan
memakai material penutup yang bersifat impermeable. Penanaman tumbuhan
diatas tanah penutup akan mengurangi volume leaching. Pertimbangan untuk
lokasi TPA yang paling amam adalah bebas erosi, dilandasi oleh batuan-batuan
yang tidak membawa air, dan jauh dari surface water.
2.3 Pengumpulan dan Pengangkutan Sampah
Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan
berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Sistem
pengumpulan sampah adalah cara atau proses pengambilan sampah mulai dari
tempat pewadahan sampah (sumber timbulan sampah) sampai ke tempat
pengumpulan sementara (TPS) atau stasiun pemindahan atau langsung ke tempat
pembuangan akhir (TPA). Yang mempengaruhi pola pengumpulan adalah jumlah
penduduk, luas daerah operasi, kepadatan penduduk, tingkat penyebaran rumah di
daerah pelayanan, dan kondisi fisik alam daerah pelayanan, seperti panjang dan
lebar jalan, kondisi sarana penghubung, jalan objek pengumpulan dengan lokasi
pemindahan, waktu rit operasi.
Prinsip penanganan sampah adalah membersihkan lingkungan dari sampah
yang dihasilkan dan mengamankan sampah tersebut di tempat pembuangan
akhirnya agar tidak mencemari lingkungan. Pola pengumpulan dan pengangkutan
sampah dilakukan dengan berbagai cara, yaitu :
1. Pewadahan sampah.
Pewadahan sampah merupakan kegiatan menampung sampah sebelum
sampah dikumpulkan dan dikelola lebih lanjut. Ada beberapa persyaratan harus
dipenuhi dalam pewadahan sampah, yaitu awet dan tahan air, mudah diperbaiki,
ekonomis, ringan, warna tidak mencolok. Untuk lokasi wadah harus diusahakan di
tempat-tempat yang mudah dijangkau (Hutagalung, 2009).
Pewadahan sampah adalah salah satu cara penampungan sampah sebelum
dikumpulkan, dipindahkan, diangkut dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir
(TPA). Dalam tahap penampungan sampah, masalah pewadahan memegang
peranan yang sangat penting, oleh sebab itu tempat sampah adalah mejadi
tanggung jawab individu yang menghasilkan sampah, sehingga tiap sumber
sampah mempunyai tempat sampah sendiri. Tempat penyimpanan sampah pada
sumber diperlukan untuk menmpung sampah yang dihasilkannya agar tidak
tercecer atau berserakan. Volumenya tergantung kepada jumlah sampah per hari
yang dihasilkan oleh tiap sumber sampah dan frekuensi serta pola pengumpulan
yang dilakukan (Anonim1, 2008).
2. Pengumpulan sampah.
Pengumpulan sampah merupakan proses pengambilan sampah yang
dimulai dari tempat penampungan sampah dari sumber sampah ke tempat
pengumpulan sementara atau langsung ke tempat pembuangan akhir. Pengambilan
sampah semakin sering akan semakin baik hanya saja biayanya tidaklah sedikit
dan tidak efektif serta efisien (Hutagalung, 2009). Tahap Pengumpulan (Fase
Collection) adalah tahap pengelolaan sampah selanjutnya setelah tahap
penampungan. Yang dimaksud dengan sistem pengumpulan sampah adalah cara
atau proses pengambilan sampah mulai dari pewadahan/penampungan sampah
dari sumber timbulan sampah sampai ke tempat pengumpulan sementara/stasiun
pemindahan atau sekaligus ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). . Tempat untuk
mengumpulkan sampah yang berasal dari berbagai sumber sampah sebelum
sampah dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah dapat berupa; tempat untuk
pemindahan sampah dari gerobak angkut besi, ke alat angkut yang lebih besar,
kontainer (hydraulic container) untuk kemudian diangkut oleh truk pembawa, bak
beton/pasangan batu bata.
Pengumpulan sampah sebaiknya sudah dipisahkan antara sampah basah
dan sampah kering melalui kantong-kantong sampah dari kertas atau plastik.
Apabila tempat pengumpulan sampah berupa bak beton/pasangan batu bata atau
kontainer, harus memenuhi persyaratan kesehatan sebagai berikut: Harus kedap
air, berpenutup dan selalu dalam keadaan di tutup, mudah dibersihkan, sehingga
mencegah timbulnya pencemaran maupun masalah lalat dan tikus; volumenya
mampu menampung sampah dari pemakai untuk waktu 1 (satu) hari.
Menurut Drs. Sidik Wasito, M.Sc dalam pelaksanaan pengumpulan dapat
di lakukan dengan dua cara tergantung dari cara yang dilakukan pada pembuangan
akhir, yaitu:
a. Tipe Terpisah (Separate Collection)
Tipe ini dilakukan apabila cara pembuangan akhir sampah menggunakan
metode hog feeding atau composting karena pada kedua cara ini hanya
menggunakan sampah basah yang dapat membusuk sedangkan sampah
yang tidak membusuk tidak digunakan.
b. Tipe Tercampur (Combined Collection)
Pada tipe ini tidak dilakukan pemilihan atau pemisahan terlebih dahulu,
sampah yang ada dalam kontainer penampungan seluruhnya dikumpulkan
dan diangkut. Fase Disposal adalah tahap pelaksanaan dari TPS ke TPA
dengan menggunakan kendaraan pengangkut sampah. Pada umumnya fase
ini merupakan tahapan yang kurang diperhatikan atau paling diabaikan
dari seluruh tahap pengelolaan sampah. Persyaratan yang harus dipenuhi
sebagai lokasi pembuangan akhir (TPA) adalah sebagai berikut:
Jarak terhadap pemukiman minimal 2 km. Hal ini mengingat:
Jarak terbang lalat mencapai 2 km.
Bau yang ditimbulkan oleh sampah yang membusuk dapat terbawa
angin ke pemukiman,
Debu dan suara bising yang ditimbulkan suatu pembongkaran
sampah.
Jarak terhadap sumber air baku untuk minum (mata air, sumur, sungai,
danau dan lain-lain) minimal 200 m. Hal ini mengingat bahwa hasil
dekomposisi sampah dapat meresap melalui lapisan tanah dan
menimbulkan pencemaran terhadap sumber air tersebut.
Tidak terletak pada daerah banjir. Hal ini mengingat kemungkinan
terbawanya sampah di TPS oleh air, yang akan mengakibatkan
pencemaran terhadap lingkungan yang tak dapat dikendalikan.
Tidak terletak pada lokasi yang permukaan air tanahnya tinggi. Hal ini
mengingat bahwa lokasi TPA pada tempat yang air tanahnya tinggi
akan berakibatkan pada pencemaran air tanah baik kualitas maupun
jumlahnya. Bila sampah langsung kontak dengan air tanah,
pencemarannya akan meluas dan terjadi dalam waktu yang lama.
Jarak tepi paling dekat terhadap jalan besar/umum, sedikitnya 200
meter. Hal ini mengingat alasan estetika, tidak terlihat dan jalan
umum. Ini bisa dilakukan dengan membangun pagar atau penanaman
pepohonan dan sebagainya (Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Dan
Pengendalian Dampak Sampah/Aspek Kesehatan Lingkungan) ,
(Anonim1, 2008).
3. Pemindahan sampah.
Pemindahan sampah merupakan kegiatan yang dilakukan untuk membantu
proses pengumpulan dan pengangkutan sampah (Hutagalung, 2009).
Referensi:
http://koranbaru.com/cara-menangani-limbah-untuk-indonesia-kita/