makalah Kelompok 7 (B)

Embed Size (px)

Citation preview

Tugas Kelompok Epidemiologi Kesehatan Lingkungan Dosen : dr.H.Hasanuddin Ishak, M.Sc.,Ph.D

Biomonitoring Efek Pada Saluran Napas

disusun oleh : KELOMPOK 7 Fitriani Sudirman Muhammad Suryanto Nur Rahmadhany AB Okto Heluth Alberd Akyuwen K11108251 K11108842 K11108918 K11110634 K11110636

JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2011

1

KATA PENGANTARSyukur Al ulill penyusun haturkan kepada Allah SWT, yang telah

menganugerahkan nikmat kekuatan, kesehatan dan kesempatan sehingga makalah kami yang berjudul Bi monitoring Pada Efek Saluran Pernapasan dapat terselesaikan. Selaku penyusun makalah mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Makassar, 5 Mei 2011

Penyusun

2

DAFTAR ISIHalaman Judul Kata Pengantar... Daftar Isi. BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang.. I.2 Rumusan Masalah. I.3 Tujuan.. . BAB II PEMBAHASAN II.1 Hasil/ Data Penelitian... II.2 Aspek Epidemiologi Lingkungan.... II.3 Solusi Mengatasi Masalah BAB III PENUTUP III.1 Kesimpulan III.2 Saran. Daftar Pustaka.. 21 21 24 7 12 19 4 6 6 1 2 3

3

BAB I PENDAHULUANI.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan lingkungan utama di dunia, khususnya di negara berkembang, baik pencemaran udara dalam ruangan maupun udara ambien di perkotaan dan pedesaan. Di banyak kota, terutama di negara negara sedang berkembang yang urbanisasi-nya tumbuh pesat, pencemaran udara telah merusak sistem pernapasan, khususnya bagi orang yang lebih tua, lebih muda, para perokok dan mereka yang menderita penyakit penyakit kronis saluran pernapasan. Menurut WHO, penyakit pernapasan dari akut sampai dengan kronis telah menyerang 400 - 500 juta orang di negara berkembang. (Muh. Suryanto) Salah satu penyakit yang diderita oleh masyarakat terutama adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) yaitu meliputi infeksi akut saluran pernapasan bagian atas dan infeksi akut saluran pernapasan bagian bawah. ISPA adalah suatu penyakit yang terbanyak diderita oleh anak- anak, baik di negara berkembang maupun di negara maju dan sudah mampu dan banyak dari mereka perlu masuk rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat. ISPA masih merupakan masalah kesehatan yang penting karena menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira-kira 1 dari 4 kematian yang terjadi. Setiap anak diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. 40 % -60 % dari kunjungan di Puskesmas adalah oleh penyakit ISPA. Dari seluruh kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20 % -30

4

%. Kematian yang terbesar umumnya adalah karena pneumonia dan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan. (Nur Rahmadhany) Di antara berbagai gangguan kesehatan akibat lingkungan kerja, debu merupakan salah satu sumber gangguan yang tidak dapat diabaikan. Debu kayu yang dihasilkan akibat proses penggergajian, penyerutan dan

pengampelasan dapat menyebabkan pencemaran udara

di tempat kerja

dan berbahaya bagi tenaga kerja. Bahaya debu kayu bagi kesehatan bahwa debu merupakan bahan partikel (partic late matter) apabila masuk kedalam organ pernapasan manusia maka dapat menimbulkan pada tenaga kerja penyakit

khususnya berupa gangguan sistem pernapasan yang

ditandai dengan pengeluaran lendir secara berlebihan yang menimbulkan gejala utama berupa batuk berdahak yang berkepanjangan. (Okto M Heluth) Salah satu dampak negatif dari industri semen adalah pencemaran udara oleh debu. Bahan pencemar tersebut dapat berpengaruh terhadap lingkungan dan manusia. Berdasarkan laporan pola penyakit dari Rumah Sakit PT. Semen Tonasa selama 5 tahun (tahun 2000-2004) penyakit saluran pernapasan

menduduki peringkat pertama. Periode tahun 2000 prosentase penyakit saluran pernapasan 57,3 %. Periode tahun 2001 prosentase penyakit saluran pernapasan 60,6%. Periode 2002 prosentase penyakit saluran pernapasan 60,4%. Periode tahun 2003 prosentase penyakit saluran pernapasan 49,9%. Periode tahun 2004 prosentase penyakit saluran pernapasan 47,2%. (Fitriani Sudirman)

5

Keberadaan benzene dalam industri migas khususnya industri pemasaran dan pendistribusian BBM terdapat dalam produk terutama pada produk gasoline (premium, pertamax dan pertamax plus). Dari proses penerimaan,

penyimpanan dan pendistribusian BBM ini, jika terjadi proses penguapan atau evaporasi dimungkinkan adanya benzene yang menguap ke udara yang kemudian dapat masuk atau memapari para pekerja yang menangani ataupun yang berada pada lokasi tersebut. Berdasarkan informasi dari Material Safety Data Sheet (MSDS) tentang gasoline product company menyatakan bahwa kandungan benzene oleh HESS

kelompok gasoline sudah

produk gasoline berkisar antara 0,1-4,9 %. . Produk kelompok mempunyai flash point 43oC yang berarti pada suhu kamar 27oC

dapat menguap ke udara. Benzene dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan (tenggorokan dan paru paru). Ketika seseorang menghirup benzene dalam konsentrasi yang tinggi, maka kira kira setengah dari konsentrasi tersebut akan masuk ke dalam saluran pernafasan yang kemudian masuk ke dalam aliran darah. (Alberd Akyuwen)

I.2 RUMUSAN MASALAH Rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana pelaksanaan biomonitoring terhadap efek yang ditimbulkan pada saluran pernapasan. I.3 TUJUAN Tujuan penulisan makalah ini yakni untuk mengetahui pelaksanaan biomonitoring terhadap efek yang ditimbulkan pada saluran pernapasan.

6

BAB II PEMBAHASANII.1 DATA HASIL PENELITIAN 1. Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja di Industri Batu Kapur Pemaparan debu organik dan anorganik pada umumnya akan menyebabkan obstruksi pada saluran pernapasan yang ditunjukkan dengan penurunan % FEV1/FVC. Pekerja industri batu kapur

mempunyai risiko yang sangat besar untuk penimbunan debu terhirup pada saluran pernapasan. Absorbsi dari partikel partikel debu terhirup terjadi hanya lewat paru paru melalui mekanisme pernapasan. Tabel 1 Distribusi Sebab Gangguan Pada Lingkungan Kerja Industri Batu Kapur, Tahun 2007 No. Jenis Gangguan Frekuensi Persen (%) 1 2 3 4 5 Udara Berdebu Asap Kebisingan Suhu Panas Getaran Jumlah Sumber: data sekunder Gangguan kenyamanan kerja karena faktor lingkungan kerja telah dinyatakan oleh 60 responden (100,0 %). Gangguan terbesar (51,67 %) yang dikeluhkan oleh responden adalah karena udara yang berdebu dan yang terkecil (7,2 %) karena adanya getaran di area 31 15 2 11 1 60 51,67 25,0 3,3 18,33 1,67 100,0

kerja.(Muh.Suryanto) 2. Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja PT AJC

7

PT AJC adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang mebel (kualitas ekspor) dengan tahapan melalui lima proses

utama yaitu penggergajian kayu, penyiapan bahan baku, proses penyiapan komponen, proses perakitan dan pembentukan (bending) dan proses akhir (finishing). Kegiatan proses produksi tersebut akan menghasilkan debu kayu dan masuk melalui tuguh manusia melalui inhalasi Pajanan sehingga di tempat akan mengakibatkan kerja tersebut gangguan fungsi paru.

memperberat,

mempercepat

terjadinya serta menyebabkan kekambuhan penyakit. Tabel 2. Hasil Analisis Bivariat Paparan Debu Kayu Dan Gangguan Fungsi paru Pada Pekerja PT AJC Variabel X2 P value Odd Ratio 95% Cl Sex Umur Masa Kerja Paparan Debu Kayu Status Gizi Merokok APD Olah Raga Lama Paparan 0,077 2,802 0,012 0,781 0,094 0,912 0,845 2,786 1,069 11,333 0,686 0,353 0,500 0,406 2,061 0,256 - 2,783 0,822 9,439 0,325 3,517 2,850 45,070 0,207 2,275 0,089 1,404 0,133 1,879 0,078 2,096 0,490 8,665

No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9

11,724 0,001 0,382 1,289 0,463 0,555 0,368 0,537 0,256 0,496 0,456 0,544

Sumber : Data Sekuunder Hasil analisis hubungan antara paparan debu kayu terhisap dengan gangguan fungsi paru melalui uji statistik dengan

menggunakan Chi Square didapatkan nilai X= 11,724, p = 0,001, dan odds ratio 11,333 debu kayu ( 95% CI = 2,850-45,070) bahwa paparan pengaruh 8 kuat terhadap kemungkinan

mempunyai

responden terpajan sehingga mengakibatkan gangguan fungsi paru (p = 0,001). Nilai odds ratio 11,333 menunjukkan konsentrasi kayu terhisap merupakan faktor risiko timbulnya / debu

terjadinya

gangguan fungsi paru, kemungkinan responden terkena gangguan fungsi paru sebesar 11,3 kali lebih besar dibandingkan responden yang terpajan debu kayu dibawah NAB sebesar 1 mg/m pada

Confidence Interval antara 2,850 45,070 sehingga

merupakan

asosiasi yang signifikan sebagai faktor risiko terjadinya gangguan fungsi paru. Dari hasil tersebut diatas dapat dikatakan bahwa debu kayu pada konsentrasi diatas Nilai Ambang Batas (1 mg/m )

merupakan faktor yang mempengaruhi gangguan fungsi paru. (Okto M. Heluth) 3. Gangguan Fungsi Paru Karyawan PT Semen Tonasa Fungsi paru dikategorikan mengalami gangguan jika nilai kapasitas paru FEV1/FVC < 75%. Hasil pengukuran terhadap 91 responden diperoleh data sebagai berikut: Tabel 3. Distribusi Gangguan Fungsi Paru Responden Berdasarkan Area Kerja Karyawan PT Semen Tonasa Pangkep 2006 Fungsi Paru Total No. Area Kerja Tidak Normal Normal n % n % n % 11 55 9 45 20 100 1 Packing 8 47,1 9 52,9 17 100 2 Raw mill 8 72,7 3 27,3 11 100 3 Crusher batu kapur 7 53,8 6 46,2 13 100 4 Tambang 9 45 11 55 20 100 5 Kiln 4 40 6 60 10 100 6 Sement mill 47 51,6 44 48,4 91 100 Jumlah Sumber : data sekunder

9

Dari hasil penelitian di peroleh data responden yang mengalami gangguan 47 orang dan normal 44 orang. Berdasarkan distribusi menurut area kerja diketahui bahwa responden yang mengalami gangguan fungsi paru pada area packing 11 orang (55%), raw mill 8 orang (47,1%), crusher batu kapur 8 orang (72,7%), area tambang 7 orang (53,8%), kiln 9 orang (45%) dan sement mill 4 orang (40%). Sehingga dapat

dikatakan bahwa presentase responden yang mengalami gangguan fungsi paru yang bekerja pada area kerja dengan kadar debu > NAB (packing 18,47 mg/m3, crusher batu kapur 14,98mg/m3 dan tambang 20,23 mg/m3 ) adalah > 50%. Sedangkan presentase responden yang mengalami gangguan fungsi paru yang bekerja pada area kerja dengan kadar debu NAB (raw mill 1,63mg/m3, kiln 4,56 mg/m3, sement mill 5,98 mg/m3) adalah < 50%. Berdasarkan pemeriksaan FEV1/FVC diperoleh : rata-rata FEV1/FVC responden 88,22% dengan standar deviasi 12,174 sedang nilai terendah 48% dan tertinggi 100%. Analisis untuk mengetahui faktor-faktor yang paling berpengaruh terhadap gangguan fungsi paru. Analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak semua variabel berpengaruh secara bermakna terhadap kejadian gangguan fungsi paru, beberapa faktor yang berpengaruh secara bermakna terhadap kejadian gangguan fungsi paru adalah sebagai berikut :

10

Tabel 4. Hasil Analisis Bivariat Faktor faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Karyawan PT. Semen Tonasa Pangkep 2006 2 No. Variabel X P value RP 95% Cl Ket. 1,357 0,244 1,323 0,855-1,977 Tidak Ada 1 Kadar Debu Hubungan 5,721 0,017 1,768 1,108-2,821 Ada 2 Masa Kerja Hubungan 0,002 0,960 1,069 0,689-1,653 Tidak Ada 3 Lama Pajanan Hubungan 1,289 0,256 1,327 0,899-1,958 Tidak Ada 4 Status Gizi Hubungan 5,876 0,015 1,721 1,130-2,621 Ada 5 Umur Hubungan 4,375 0,036 0,622 0,429-0,900 Ada 6 Kebiasaan Merokok Hubungan 7 Penggunaan APD 6,633 0,010 0,572 0,390-0,838 Ada Hubungan 0,105 0,690 0,654 -1,026 Tidak Ada 8 Kebiasaan Berolahraga 2,635 Hubungan Sumber : data sekunder Tabel tersebut diatas menunjukkan dari delapan variabel yang di teliti, hasil analisis secara bivariat menunjukkan hanya empat variabel saja yang bermakna terhadap kejadian gangguan fungsi paru. Sedangkan besarnya tingkat kemaknaan secara berurut adalah jenis APD yang digunakan (6,633), umur (5,876), masa kerja (5,721) dan kebiasaan merokok (4,375). (Fitriani Sudirman)

11

II.2 ASPEK EPIDEMIOLOGI LINGKUNGAN 1. Kasus ISPA ISPA sering disalah artikan sebagai infeksi saluran pernapasan atas. Yang benar ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernapasan Akut. ISPA meliputi saluran pernapasan bagian atas dan saluran pernapasan bagian bawah. ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang berlangsung sampai 14 hari. Yang dimaksud dengan saluran pernapasan adalah organ mulai dari hidung sampai gelembung paru, beserta organ-organ disekitarnya seperti : sinus, ruang telinga tengah dan selaput paru. Hingga saat ini angka mortalitas ISPA yang berat masih sangat tinggi. Kematian seringkali disebabkan karena penderita datang untuk berobat dalam keadaan berat dan sering disertai penyakit - penyakit dan kurang gizi. Data morbiditas penyakit pneumonia di Indonesia per tahun berkisar antara 10 -20 % dari populasi balita. Hal ini didukung oleh data penelitian di lapangan (Kecamatan Kediri,NTB adalah 17,8 % ; Kabupaten Indramayu adalah 9,8 %). Bila kita mengambil angka

morbiditas 10 % pertahun, ini berarti setiap tahun jumlah penderita pneumonia di Indonesia berkisar 2,3 juta .Penderita yang dilaporkan baik dari rumah sakit maupun dari Puskesmas pada tahun 1991 hanya berjumlah 98.271. Diperkirakan bahwa separuh dari penderita pneumonia didapat pada kelompok umur 0-6 bulan.

12

Program Pemberantasan Penyakit (P2) ISPA membagi penyakit ISPA dalam 2 golongan yaitu pneumonia dan yang bukan pneumonia. Pneumonia dibagi atas derajat beratnya penyakit yaitu pneumonia berat dan pneumonia tidak berat. Penyakit batuk pilek seperti rinitis, faringitis, tonsilitis dan penyakit jalan napas bagian atas lainnya digolongkan sebagai bukan pneumonia. Etiologi dari sebagian besar penyakit jalan napas bagian atas ini ialah virus dan tidak dibutuhkan terapi antibiotik. Faringitis oleh kuman Streptococcus jarang ditemukan pada balita. Bila ditemukan harus diobati dengan antibiotik penisilin, semua radang telinga akut harus mendapat antibiotik. (Nur Rahmadhany) 2. Gangguan Fungsi Paru a. Pekerja Industri Batu Kapur Hasil penelitian Paparan Debu Terhirup dan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Industri Batu Kapur (Studi Di Desa Mrisi Kecamatan Tanggungharjo Kabupaten Grobogan) sebagai berikut : Berdasarkan Baku Mutu Udara menurut Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor : 10 Tahun 2000 untuk parameter debu (TSP) = 350 mg/m3, SO2 = 800 mg/ m3 sedangkan NO2 = 1.000 mg/ m3. Dari hasil pengukuran terhadap 3 (tiga) parameter tersebut yang telah dilakukan oleh Kantor Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Kabupaten Grobogan di area pemukiman penduduk yang dekat dengan lokasi industri batu kapur selama 3 (tiga) tahun terakhir (2003 2005) dapat diketahui bahwa untuk 2 (dua) parameter, yaitu SO2 (0

13

mg/m3, 1,78 mg/m3, 2,04 mg/m3 ) dan NO2 (1,74 mg/m3, 0,29 mg/m3, 0,30 mg/m3) masih di bawah nilai ambang batas (NAB), sedangkan untuk debu (1.927,24 mg/m3, 334 mg/m3, 255,5 mg/m3 ) walaupun terlihat ada kecenderungan menurun untuk setiap tahunnya akan tetapi nilai tersebut masih di atas NAB yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil pemeriksaan spirometer yang dilakukan oleh Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru (BP4) Semarang pada bulan Juli 2006 terhadap 10 (sepuluh) pekerja industri batu kapur di Desa Mrisi Kecamatan Tanggungharjo Kabupaten Grobogan untuk mengetahui kondisi fungsi paru pekerja, diperoleh hasil 4 orang (40%) kondisi parunya masih dalam keadaan normal, sedangkan 6 orang (60%) sudah mengalami gangguan restriksi ringan, restriksi sedang, obstruksi ringan, obstruksi sedang dan kombinasi restriksi berat obstruksi berat. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa pekerjaan industri batu kapur mempunyai risiko terjadinya gangguan fungsi paru bagi pekerjanya. (Muh. Suryanto) b. Karyawan PT AJC Hasil penelitian Paparan Debu Kayu dan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Mebel (Studi Di PT AJC) sebagai berikut : Hasil pengukuran fungsi paru pekerja dengan menggunakan alat spirometer terhadap 55 pekerja mebel adalah 15 pekerja

mempunyai fungsi paru normal sedangkan 40 pekerja, fungsi paru mengalami gangguan baik obstruksi, restriksi maupun

14

kombinasi (mixed). Paparan debu kayu di PT Alis Jaya Ciptatama merupakan faktor risiko yang untuk dapat menimbulkan gangguan fungsi paru, dengan nilai dss ratio = 13,720 menunjukkan bahwa pada paparan debu kayu mempunyai risiko untuk terjadinya

gangguan fungsi paru sebesar 14 kali dibandingkan responden dengan konsentrasi debu kayu berada dibawah nilai ambang batas (1 mg/m ). Untuk debu kayu keras seperti debu kayu mahoni, kayu jati telah ditetapkan oleh Departemen Tenaga Kerja dalam

Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja No : SE.01/Men/1997 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Kimia di Udara Lingkungan Kerja adalah sebesar 1 mg/m . Nilai Ambang Batas menunjukkan kadar dimana manusia dapat bereaksi fisiologis terhadap suatu zat. Debu kayu dalam konsentrasi rendah bila di hisap oleh manusia terus menerus dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan kelainan pada saluran napas yang berupa restriksi, obstruksi ataupun kombinasi . Pemaparan debu organik pada umumnya akan menyebabkan obstruksi pada saluran pernapasan

yang ditunjukkan dengan penurunan % FEV-1/FVC. Pekerja yang terpapar debu kayu secara kontinyu pada usia 15 sampai dengan 25 tahun akan terjadi penurunan kemampuan kerja, usia 25 sampai dengan 35 tahun timbul batuk produktif dan penurunan VEP 1 ( volume ekspirasi paksa 1 detikatau Force Expiratory Volume 1 second (FEV 1), usia 45 sampai dengan 55 tahun terjadi sesak

15

dan hipoksemia, usia 55 sampai dengan 65

tahun

terjadi cor

pulmonal sampai kegagalan pernapasan dankematian, hal ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan spirometer. Gangguan bersifat kronis fungsi paru dapat terjadi secara bertahap dan sebagai akibat frekuensi, lamanya seseorang

bekerja pada lingkungan yang berdebu dan faktor-faktor internal yang terdapat dalam pekerja seperti jenis kelamin, usia, masa kerja, paparan debu kayu, status gizi, kebiasaan merokok, alat pelindung diri, kebiasaan olah raga, dan lama paparan. Bahaya debu kayu bagi kesehatan bahwa debu merupakan bahan partikel masuk kedalam organ pernapasan

(particulate matter) apabila manusia maka dapat

menimbulkan penyakit pada tenaga kerja ditandai

khususnya berupa gangguan sistem pernapasan yang

dengan pengeluaran lendir secara berlebihan yang menimbulkan gejala utama berupa batuk berdahak yang berkepanjangan. Gangguan umum yang sering terjadi adalah batuk, napas sesak, kelelahan umum dan berat badan menurun. (Okto M. Heluth) c. Karyawan PT Semen Tonasa Hasil penelitian yang telah dilakukan pada karyawan PT. Semen Tonasa Pangkep Sulawesi Selatan sebagai berikut : Dari 44 responden yang terpapar debu semen > NAB terdapat 26 orang mengalami gangguan fungsi paru dan 18 orang tidak mengalami gangguan fungsi paru, dan dari 47 responden yang

16

terpapar debu semen NAB terdapat 21 orang mengalami gangguan fungsi paru dan 26 orang tidak mengalami gangguan fungsi paru. Rata-rata kapasitas fungsi paru responden terganggu sebanyak 47 orang, ini di mungkinkan karena responden bekerja 15 tahun 52 orang, mempunyai kebiasaan merokok 64 orang. Selain dari pada bentuk anatomi seseorang, faktor utama yang mempengaruhi kapasitas paru adalah posisi orang tersebut selama pengukuran dan kekuatan otot pernapasan. Udara dalam keadaan tercemar, partikel polutan ikut terinhalasi dan sebagian akan ke dalam paru selanjutnya sebagian partikel akan mengendap di alveoli, sehingga akan terjadi penurunan fungsi paru. Debu yang terdapat di dalam alveolus akan menyebabkan statis partikel debu dan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan dinding alveolus, yang merupakan salah satu faktor predisposisi penyakit paru obstruktif menahun (PPOM). Kelainan paru karena adanya deposit debu dalam jaringan paru di sebut pneumokoniosis. Dalam dosis besar semua debu bersifat merangsang dan dapat menimbulkan reaksi walaupun ringan. Reaksi ini berupa produksi lendir berlebihan, bila ini terus berlangsung dapat terjadi hiperplasi kelenjar mukus. Jaringan paru juga dapat berubah dengan

terbentuknya jaringan ikat retikulin. Penyakit paru ini disebut pnemokoniosis non kolagen. Debu semen yang masuk saluran nafas, menyebabkan timbulnya reaksi mekanisme pertahanan non spesifik

17

berupa batuk, bersin, gangguan trasport mukosilier dan fagositisis oleh makrofag. Otot polos sekitar jalan napas dapat terangsang sehingga menimbulkan penyempitan. Keadaan ini biasanya terjadi bila kadar debu melebihi nilai ambang batas. Sistem mosikuler juga mengalami gangguan dan menyebabkan produksi lendir bertambah. Bila lendir makin banyak atau mekanisme pengeluarannya tidak sempurna terjadi obstruksi saluran nafas sehingga resistensi jalan nafas meningkat. Partikel debu yang masuk ke dalam alveoli akan membentuk fokus dan berkumpul di bagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh magrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag seperti silika bebas merangsang terbentuknya makrofag baru. Magrofag baru memfagositosis silika bebas tadi sehingga terjadi autolisis, keadaan ini terjadi berulang-ulang. Pembentukan dan destruksi makrofag yang terus-menerus berperan penting pada pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru, yaitu pada dinding alveoli dan jaringan intertestial. Akibat fibrosisis paru akan menjadi kaku, menimbulkan gangguan pengembangan paru, yaitu kelainan fungsi yang restriktif. Seseorang akan terekspose debu di lingkungan kerja dengan konsentrasi yang sama dan durasi eksposure yang sama dapat memberikan kelainan klinis yang berbeda. Hal ini disebabkan karena

18

adanya variasi cleareace dari paru (faktor individual), faktor allergen dan faktor penyerta potensial seperti umur etnis, kebiasaan merokok. Pekerja yang berada di lingkungan dengan kadar debu tinggi dalam waktu yang lama, memiliki risiko tinggi terkena obstruksi. Menurut Sumamur bahwa salah satu variabel potensial yang dapat menimbulkan gangguan fungsi paru adalah lamanya seseorang terpapar polutan tersebut. Hal ini berarti semakin lama masa kerja seseorang, semakin lama pula waktu paparan terhadap polutan tersebut. (Fitriani Sudirman)

II.3 SOLUSI MENGATASI MASALAH Pada umumnya penilaian pajanan bahan kimia terhadap manusia dengan cara pemantauan lingkungan. Telah diketahui bahwa untuk mengevaluasi suatu pajanan bahan kimia terhadap manusia, tergantung dari sifat fisiokimia suatu bahan, higiene pada manusia itu sendiri, serta beber apa faktor biologi seperti umur dan jenis kelamin. Untuk mempelajari bahan kimia dalam tubuh manusia dan efek biologi dari bahan kimia tersebut dipakai metode pemantauan biologis (biological monitoring). dari Keuntungan

metode ini adalah terkaitnya bahan kimia secara sistematik

yang dapat dipakai untuk memperkirakan risiko yang terjadi. Dalam hubungan risiko terhadap kesehatan, pendekatan pemantauan biologis terhadap risiko kesehatan dapat dinilai antara lain dengan membandingkan hasil perhitungan parameter dengan nilai ambang batas

19

maksimum yang diperkenankan yaitu Threshold Limit Value (TLV) atau Biologial Limit Value (BLV). Pemantuan biologi suatu pajanan merupakan aktifitas pencegahan yang sangat penting dalam mendeteksi efek suatu bahan kimia. Hal ini disebut sebagai aktifitas surveilans kesehatan (health surveillance). Khusus biological makers), untuk petanda biologi yang peka (sensitive untuk

suatu pemantauan

biologi

bertujuan

mendeteksi dan mengetahui tanda keracunan secara dini sebagai aktifitas pencegahan. Pemantauan biologi dipakai untuk mengindentifikasi suatu pajanan bahan kimia yang bekerja secara sistemik pada organisme. Untuk menilai risiko kesehatan dari suatu bahan kimia yang masuk ke dalam tubuh,

efektif menggunakan cara pemantauan biologi. Benzene masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernafasan, kulit dan saluran pencernaan yang bersumber dari tempat kerja dan lingkungan lainnya dapat dilakukan dengan pemantauan biologi. Selain itu, hasil pemantauan biologi dari pajanan benzene ditentukan oleh faktor individu dan dipengaruhi oleh cara masukanya serta absorbsi bahan tersebut di dalam tubuh. Faktor pajanan, masa kerja,

individu yang mempengaruhi antara lain : lama aktifitas fisik, status gizi, dan kesehatan.

Dengan demikian dapat menentukan dosis

dikatakan bahwa penggunaan tes biologi untuk

internal dari benzene diperlukan proses absorbsi, distribusi, metabolisme, eleminasi dan ekskresi, toksisitas benzene serta kondisi lingkungan antara dosis internal, pajanan dan akibat pajanan.

20

Untuk mengidentifikasi bahan polutan yang masuk kedalam tubuh perlu dilakukan pengukuran bahan polutan yang berada di dalam tubuh manusia. Untuk keperluan monitoring biologi perlu pemeriksaan cairan tubuh seperti darah atau urin. Dengan diketahuinya bahan polutan di dalam tubuh sebagai petanda biologis yang diduga sebagai penyebab penyakit tertentu maka dapat digunakan sebagai bahan untuk membuat program pencegahan dan pengobatan. (Alberd Akyuwen)

21

BAB III PENUTUPIII.1 KESIMPULAN Pencemaran udara telah menjadi masalah kesehatan lingkungan utama di dunia, khususnya di negara berkembang, baik pencemaran udara dalam ruangan maupun udara ambien di perkotaan dan pedesaan. Di antara berbagai gangguan kesehatan akibat lingkungan kerja, debu merupakan salah satu sumber gangguan yang tidak dapat diabaikan. Beberapa industri

berpotensi menimbulkan kontaminasi di udara berupa debu. Bahan pencemar tersebut dapat berpengaruh terhadap lingkungan dan manusia terutama dapat menimbulkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan gangguan fungsi paru. Pada umumnya penilaian pajanan bahan kimia terhadap manusia dengan cara pemantauan bahan lingkungan yang (biomonitoring). masuk kedalam Untuk tubuh

mengidentifikasi

polutan

perlu dilakukan pengukuran bahan polutan yang berada di dalam tubuh manusia. Untuk keperluan monitoring biologi perlu pemeriksaan cairan tubuh seperti darah atau urin.

III.2 SARAN 1. Penelitian mengenai biomonitoring terhadap efek saluran napas perlu dilakukan dan diperbanyak agar menjadi sumber informasi yang berguna untuk memantau atau mengetahui tingkat paparan suatu efek bahan kimia terhadap kesehatan manusia. 22

2. Perlu adanya upaya meningkatkan kebiasaan pemakaian masker standar (APD) dalam melakukan aktifitas kerja dan menghentikan kebiasaan merokok bagi para karyawan serta kelengkapan fasilitas oleh perusahaan. 3. Penyebab kematian dari ISPA adalah karena pneumonia, maka diharapkan penyakit diprioritaskan. 4. Perlu melakukan pemeriksaan kesehatan berkala bagi pekerja terutama terhadap fungsi paru, serta memotivasi pekerja untuk memeriksakan diri secara berkala sehingga dapat segera diambil tindakan terhadap kemungkinan akibat negatif yang timbul. saluran pernapasan penanganannya dapat

23

DAFTAR PUSTAKAAlberd Akyuwen: Sigit Pudyoko. 2010. Hubungan Pajanan Benzene Dengan Kadar Fenol Dalam Urine Dan Gangguan Sistem Hematopoietic Pada Pekerja Instalasi BBM. (http://eprints.undip.ac.id/23881/1/SIGIT.pdf) Fitriani Sudirman: Dorce Mengkidi. 2006. Gangguan Fungsi Paru Dan FaktorFaktor Yang Mempengaruhinya Pada Karyawan PT. Semen Tonasa

Pangkep Sulawesi Selatan.(http://eprints.undip.ac.id/15485/1/Dorce.pdf) Muh. Suryanto HY: Siti Yulaekah. 2007. Paparan Debu Terhirup Dan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Industri Batu Kapur (Studi Di Desa Mrisi Kecamatan Tanggungharjo Kabupaten Grobogan) . ( http://eprints.undip.ac.id/18220/1/SITI_YULAEKAH.pdf) Nur Rahmadhany: Rasmaliah. 2004. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Dan Penanggulangannya. (http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-

rasmaliah9.pdf) Okto M. Heluth: Wenang Triatmo dkk. 2006. Paparan Debu Kayu Dan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Mebel (Studi di PT Alis Jaya

Ciptatama). (http://www.ejournal.undip.ac.id/index.php/jkli/213/114)

24