11
AMIE ANNE AUGUSTINE (060100841) NARESHRAJA M. J. (060100843) KELAPARAN Mati Kelaparan adalah Viktimisasi (05 Mar 2008, 137 x , Komentar) Oleh: Abdul Muttalib (Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar) Kisah meninggalnya Dg Basse bersama anak dalam rahimnya serta seorang putranya akibat kelaparan merupakan bagian terkecil dari salah satu sketsa bahwa negara telah mengabaikan dan melakukan pembiaran atas hak-hak konstitusi warga negara.Seorang ilmuan yakni Hans von Hentig dalam sebuah monograf kriminologinya yang berjudul “The Criminal and His Victim”, menguraikan bahwa suatu perbuatan pidana, seyogianya dipandang ada interaksi, ada dinamika yang bukan saja disebabkan oleh pihak pelaku, tetapi ada “interrelationship” atau “dual relationship” antara pelaku dan korban. Demikianlah, istilah viktimisasi lahir dari ilmuan yang mencoba membuka cakrawala tentang perspektif perbuatan hukum. Kata viktimisasi dalam kamus Bahasa Indonesia memang tidak dikenal. Viktimisasi berasal dari Bahasa Inggris yaitu “viktim” yang berarti korban, dan kata viktim ini kemudian

MAKALAH Kelaparan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah kelaparan

Citation preview

28 Nopember 2005,Ekonomi, Republika

AMIE ANNE AUGUSTINE (060100841)

NARESHRAJA M. J. (060100843)

KELAPARAN

Mati Kelaparan adalah Viktimisasi(05 Mar 2008, 137 x , Komentar)

Oleh: Abdul Muttalib (Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar)

Kisah meninggalnya Dg Basse bersama anak dalam rahimnya serta seorang putranya akibat kelaparan merupakan bagian terkecil dari salah satu sketsa bahwa negara telah mengabaikan dan melakukan pembiaran atas hak-hak konstitusi warga negara.Seorang ilmuan yakni Hans von Hentig dalam sebuah monograf kriminologinya yang berjudul The Criminal and His Victim, menguraikan bahwa suatu perbuatan pidana, seyogianya dipandang ada interaksi, ada dinamika yang bukan saja disebabkan oleh pihak pelaku, tetapi ada interrelationship atau dual relationship antara pelaku dan korban.

Demikianlah, istilah viktimisasi lahir dari ilmuan yang mencoba membuka cakrawala tentang perspektif perbuatan hukum. Kata viktimisasi dalam kamus Bahasa Indonesia memang tidak dikenal. Viktimisasi berasal dari Bahasa Inggris yaitu viktim yang berarti korban, dan kata viktim ini kemudian berkembang dalam suatu disiplin ilmu yakni victimology atau dalam bahasa Indonesia visebut Viktimologi.

Oleh Prof JE Sahetapy, SH, MA, memberikan definisi viktimisasi yaitu penderitaan baik secara fisik maupun psikis atau mental bertalian dengan pelbagai perbuatan. Perbuatan yang dilakukan itu bisa dari perorangan, suatu kelompok tertentu, suatu komunitas tertentu bahkan juga dari penguasa. Definisi di atas setidaknya telah memberikan gambaran sederhana tentang viktimisasi.

Tulisan ini mencoba mereduksi praktik viktimisasi yang saat ini telah dan banyak terjadi akibat sistem dan pola pembangunan yang tidak koheren dan menafikan hak-hak publik. Tentu saja perspektifnya melalui pendekatan bagaimana kekuasaan dan pola kekuasaan mempertanggungjawabkan hak-hak konstitusi warga negara.

Atau dengan kata lain, akses yang ditimbulkan akibat pembangunan yang berdampak pada hilangnya akses rakyat melahirkan korban (viktimisasi).

Pelanggaran Hak Konstitusi

Ironi yang dialami keluarga Dg Basse yang meninggal karena kelaparan, memang tidak terasa bagi sebagian masyarakat Sulawesi Selatan. Tapi pernahkah kita berpikir sejenak betapa banyak di sekitar kita rakyat menderita kelaparan.

Hiruk-pikuk pembangunan telah merampas hak-hak kemanusiaan mereka atau biasa dikenal dengan istilah kelaparan tersembunyi (hidden hunger) atau micronutrient deficiencies.

Jean Ziegler, Pelapor Khusus (Special Rapporteur) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Atas Pangan di dunia mencatat bahwa saat ini, tidak kurang dari 840 juta penduduk menderita kelaparan dan kekurangan gizi yang kronis (chronic malnourishment).

Tidak kurang dari 36 juta penduduk meninggal dunia akibat kelaparan --secara langsung maupun tidak langsungtiap tahunnya. Ziegler menyatakan, kondisi seperti ini berlangsung pada saat dunia memproduksi jumlah pangan yang banyak sekali yang tidak pernah terjadi sebelumnya, mencapai jumlah yang cukup untuk populasi global.

Namun tidak secara otomatis dapat menanggulangi penderitaan jutaan umat manusia yang kelaparan.Padahal hak atas kesehatan, pangan dan sandang merupakan hak yang dijamin konstitusi negara ini.

Tidak cukup dengan konstitusi yang berlaku dalam wilayah republik ini, maka Indonesia pun telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya atau biasa dikenal dengan istilah Hak Ekosob melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.

Memang setiap orang berhak untuk menikmati standar hak kesehatan yang setinggi-tingginya. Dalam bahasa sederhana, jika seseorang menderita ganguan kesehatan, dengan segera dirinya mendapat pertolongan dan pelayanan untuk pemulihan kesehatannya.

Dalam standar internasional, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan setiap orang mempunyai hak atas standar hidup yang layak untuk menikmati kesehatan bagi dirinya dan keluarganya, termasuk ketercukupan pangan, pakaian, perumahan, pelayanan medis dan pelayanan-pelayanan sosial lainnya yang dibutuhkan.

Ketentuan yang serupa tersebut, dimuat juga dalam aturan konstitusi di negeri yang sakit ini, Indonesia. Di negeri yang konon kaya raya akan sumber-sumber ekonomi, dinyatakan Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pernyataan tersebut dimuat dalam Amandemen UUD 1945, pasal 28 H ayat (1). Selanjutnya dalam pasal 34 ayat (3) Amandemen ke ke-4 dinyatakan Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.

Kematian akibat kelaparan, menjadi pembuktian yang cukup untuk menegaskan bahwa memang telah terjadi kejahatan kemanusiaan yang tanpa sadar kita dan terkhusus bagi penguasa yang hidup disekitar saudara-saudara miskin, papah dan yang mati kelaparan seolah-olah telah memahfuni sebuah perampasan atas hak hidup.

Padahal penegasan hak atas pembangunan telah dikumandangkan seantero dunia. Sebagaimana Konteks pembangunan yang sedang kita bicarakan adalah antara lain didefinisikan dalam standar hukum internasional HAM: Declaration on the Right to Development.

Dalam dokumen ini dinyatakan pembangunan merupakan sebuah proses ekonomi, sosial, budaya dan politik yang komprehensif, yang bertujuan untuk peningkatan secara terus-menerus dan kesejateraan seluruh penduduk dan setiap individu berdasarkan partisipasi yang aktif, bebas, dan bermanfaat dalam proses pelaksanaan dan didalam distribusi adil yang dihasilkan pembangunan..

Selanjutnya, pasal 3 (1) dalam Deklarasi dengan tegas memuat tanggung jawab negara untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi terlaksananya hak atas pembangunan: (s)tates have the primary responsibility for the creation of national and international conditions favourable to the realization of the right to development.

Belum lagi saat ini Indonesia masih melanjutkan komitmen atas standard dan norma berkaitan dengan pembangunan berkembang. Di mana di pengujung abad 21, para Kepala Negara dan Pemerintahan, berkumpul di kantor besar PBB di New York pada tanggal 6 8 September 2000, yang kemudian menghasilkan sebuah dokumen yang disebut dengan United Nations Millenium Declaration.

Dalam pertemuan UN Millenium Summit ini, para pemimpin dunia termasuk Indonesia bersepakat untuk menyusun time bound dan tujuan serta target pemberantasan kemiskinan, kelaparan, wabah penyakit, buta huruf, degradasi lingkungan dan diskriminasi terhadap perempuan yang kemudian dikenal dengan Millenium Development Goals (MDGs).

Dalam pertemuan ini juga dinyatakan komitmen negara-negara untuk melindungi dan memenuhi hak asasi manusia, pemerintahan yang bersih (good governance) dan menjalankan demokrasi dengan target capai tahun 2015, yang hendak dipenuhi sebagai berikut:

- Mengurangi setengah jumlah total kemiskinan dan kelaparan di dunia. Pada saat dideklarasikan MDGs, tercatat 1.2 juta penduduk dunia hidup dengan $1 per hari;

- Mewujudkan pendidikan dasar secara wajib, cuma-cuma dan universal. Tidak kurang dari 113 juta anak-anak tidak bersekolah;

- Memberdayakan perempuan dan mempromosikan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Dua per tiga penduduk buta huruf adalah kaum perempuan, dan 80 persen dari pengungsi (refugee) adalah perempuan dan anak-anak;

- Mengurangi hingga dua pertiga total jumlah angka kematian. 11 Juta anak-anak meninggal dunia per tahun;

- Mengurangi hingga tiga per empat dari total jumlah angka kematian ibu yang melahirkan. Di negara berkembang, risiko kematian terjadi satu kasus per 48 kelahiran;

- Menanggulangi penyebaran penyakit, utamanya HIV/AIDS dan malaria. Wabah ini telah menghapus generasi secara meluas;

- Memastikan kelestarian lingkungan. Lebih dari sejuta penduduk tidak menikmati akses air bersih;

- Membentuk sebuah global partnership untuk pembangunan, dengan target untuk bantuan, perdagangan, dan debt relief.

Banyak negara dunia ketiga yang menghabiskan dana domestik untuk membayar hutang ketimbang dialokasikan untuk pelayanan sosial. Belum juga program ini berakhir, Dg. Basse telah meninggal bersama dua anaknya

Menutup artikel ini, penulis mengutip pendapat Patra M Zen yang menyatakan Alkisah, di negeri yang sakit, para pejabat negara terfasilitasi dengan baik akses obat-obatan dan fasilitas kesehatannya. Penduduk yang sakit terus memberikan hasil pekerjaannya dan menanggung hutang-hutang negara untuk pemberian kemudahan pelayanan dan tunjangan kesehatan untuk para pejabat di negeri ini.

Kondisi ini berjalan selama bertahun-tahun tanpa koreksi! Jika pun ada protes-protes, jumlah sang pemrotes belum genap benar, sehingga para pejabat pun masih dengan berani mengabaikan keluhan penduduk. **

Analisa KelaparanBaru-baru ini, kasus kelaparan semakin menjadi-jadi di dunia ini. Kasus kelapparan banyak sekali dijumpai di negara-negara yang miskin dan negara-negara yang sedang berkembang seperti di afrika, thailand, cambodia, indonesia, dan lain lain. Biasanya masalah kelaparan itu terjadi akibat beberapa faktor yang utama.

Faktor pertama ialah masalah ketidak cukupan pangan dalam satu negara tersebut. Negara-negara yang mempunyai bilangan penduduk yangramai seperti indonesia, sukar memproduksi bahan pangan seperti nasi yang sexukupnya untuk rakyatnya. Ini karena permintaan yang dibutuhkan jauh lebih tinggi dari bilangan pangan yang tersedia. Akibatnya, harga sesuatu barangan itu akan meningkat dan ini akan menyukarkan rakyat untuk membeli pangan yang dibutuhkan.

Kedua ialah faktor ekonomi. Rakyat dari kebanyakan egara miskin atau membangun yang berada di taraf ekonomi miskin akan mempunyai kesukaran untuk membeli pangan yang diperlukan. Ini karena mereka tidak mempunyai wang yang cukup. Ini mungkin karena mereka tidak mempunyai pekerjaan, atau gaji dari pekerjaan mereka terlalu sedikit untuk membeli bahan makanan bagi seluruh keluarga.

Pasal 28 A UUD 1945. Bunyinya: ''Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Mengikut fasal ini, setiap orang berhak hidup, dan untuk hidup seseorang itu membutuhkan makanan. Tanpa makanan, seseorang itu tidak mungkin dapat hidup. Oleh itu, kita dapat menyimpulkan bahawa seseorang itu mempunyai hak untuk mendapat makanan karena mereka mempunyai hak untuk hidup.