21
MAKALAH II MERASAKAN PHENYLTHIOCARBAMIDE (PTC): SEBUAH INTEGRASI BARU PADA LABORATORIUM GENETIKA DENGAN PENDEKATAN GENETIKA LAMA Diangkat dari tulisan Robert B. Merritt, Lou Ann Bierwert, Barton Slatko, Michael P. Weiner, Jessica Ingram, Kristianna Sciarra, and Evan Weiner yang berjudul Tasting Phenylthiocarbamide (PTC): A New Integrative Genetics Lab with an Old Flavor dalam Jurnal The American Biology Teacher 70(5):e23-e28. 2008. Oleh Endik Deni Nugroho 120341540933 Kelas C Rabu Jam ke- 5—6 UNIVERSITAS NEGERI MALANG PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI April 2013

Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

MAKALAH II

MERASAKAN PHENYLTHIOCARBAMIDE (PTC): SEBUAH INTEGRASI BARU PADA LABORATORIUM GENETIKA

DENGAN PENDEKATAN GENETIKA LAMA

Diangkat dari tulisan Robert B. Merritt, Lou Ann Bierwert, Barton Slatko,

Michael P. Weiner, Jessica Ingram, Kristianna Sciarra, and Evan Weiner yang

berjudul Tasting Phenylthiocarbamide (PTC):

A New Integrative Genetics Lab with an Old Flavor dalam Jurnal

The American Biology Teacher 70(5):e23-e28. 2008.

Oleh

Endik Deni Nugroho

120341540933

Kelas C

Rabu Jam ke- 5—6

UNIVERSITAS NEGERI MALANG PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI April 2013

Page 2: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

i

KATA PENGANTAR

Variasi pada kemampuan merasakan phenylthiocarbamide (PTC) menjadi

yang paling utama dipelajari pada semua sifat genetik manusia. Hal ini

menyediakan pembahasan yang sangat menakjubkan pada pekerjaanya tentang

polimorphisme utama untuk identifikasi dan sekuensing gen PTC dan

menyediakan kebaharuan, suatu integrasi laboratorium yang melakukan

investigasi sensitifitas rasa zat PTC. Pada jurnal ini pembelajaran laboratorium

genetik fokus pada penggunaan teknik PCR dan RFLP untuk membandingkan

genotype PTC pada masing-masing siswa. Tetapi menyarankan siswa untuk tidak

hanya menggunakan kemampuannya pada teknik molekular genetika, namun juga

kemampuannya dalam genetika mendelian (hukum pewarisan sifat), populasi

genetik, probabilitas, dan analisis pedigree.

Makalah ini berjudul Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Biologi

melalui Merasakan Phenylthiocarbamide (PTC): Sebuah Integrasi Baru Pada

Laboratorium Genetika Dengan Pendekatan Genetika Lama. Pada makalah ini

akan disampaikan tentang integrasi baru Phenylthiocarbamide (PTC) pada

laboratorium genetik dengan pendekatan teknik genetik molekular dengan

genetika klasik, dimana itu salah satu strategi yang dapat digunakan untuk

mengenalkan dan membelajarkan diri siswa sendiri . Selain itu, pada makalah ini

juga diulas sedikit tentang teknik PCR menggunakan peralatan dapur.

Latar belakang pemilihan judul ini bukanlah hal yang asing lagi di luar

negeri, bahkan informasi berkaitan dengan hal ini telah menjadi konsumsi publik.

Ironinya, di Indonesia hanya kalangan tertentu saja yang mengenal dan

memahami hal ini. Sebagai seorang pendidik, maka saya ingin juga memahami

seperti apa cara membelajarkan genetika ini kepada peserta didik, sehingga

peserta didik tidak ketinggalan informasi terkait hal ini.

Akhir kata, dalam penulisan makalah ini juga masih belum sempurna oleh

karena itu saran dan kritik yang membangun tetap kami nantikan demi

kesempurnaan makalah ini.

Page 3: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

ii

DAFTAR ISI

Hal

Kata Pengantar ........................................................................................ i

Daftar Isi ................................................................................................. ii

BAB I. Isi Jurnal ...................................................................................... 1

BAB II. Analisis Kritis Jurnal ................................................................. 10

BAB III. Keberlakuan di Indonesia ......................................................... 15

BAB IV. Saran-Saran .............................................................................. 17

Daftar Rujukan ....................................................................................... 18

Page 4: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

1

BAB I

ISI JURNAL

Dilaporkan pertama pada awal tahun 1930, variasi pada kemampuan

merasakan phenylthiocarbamide (PTC) menjadi yang paling utama dipelajari pada

semua sifat genetik manusia. Identifikasi gen PTC dan sejumlah publikasi terkait

(Wooding et al., 2004; Kim et al., 2005; Wooding et al., 2006) menyediakan

kebaharuan, suatu integrasi laboratorium yang melakukan investigasi sensitifitas

rasa zat PTC. Laboratorium genetik fokus pada penggunaan teknik PCR dan

RFLP untuk membandingkan genotype PTC pada masing-masing siswa. Tetapi

“getting there is half the fun” and, in this case, “getting there” menyarankan siswa

untuk tidak hanya menggunakan kemampuannya pada teknik molekular genetika,

namun juga kemampuannya dalam genetika mendelian (hukum pewarisan sifat),

populasi genetik, probabilitas, dan analisis pedigree. Lainnya, “half the fun”, pada

kasus ini membandingkan antara fenotipe dan genotipe PTC, murid akan belajar

tentang diri mereka sendiri.

Pewarisan Sifat Mendelian

Kemampuan untuk merasakan PTC sering digunakan sebagai contoh

pembelajaran di kelas tentang pewarisan sifat Mendelian sederhana yang

dikendalikan oleh alel dominan perasa (T) dan alel resesif non-perasa (t).

Pembelajaran Ini adalah contoh yang populer dilakukan karena siswa senang

belajar sesuatu yang tidak terduga yang berkaitan dengan diri mereka sendiri dan

tidak pernah gagal untuk takjub bahwa suatu kertas dapat menghasilkan respon

rasa yang kuat sekitar 70% dari kelas yang benar-benar merasakan dengan yang

lain. Seperti yang sering terjadi, genetika ini "sifat Mendelian sederhana" tidak

cukup mudah. Misalnya, heterozigot perasa sebenarnya sedikit kurang peka

terhadap kemampuannya dalam merasakan PTC bila dibandingkan dengan

homozigot perasa, tetapi tingkat dominasi adalah sedemikian rupa sehingga kelas

masih akan memiliki distribusi bimodal fenotipe. Dalam banyak kasus studi

perasa PTC berakhir hanya dengan menentukan fenotipe individu dan menghitung

frekuensi fenotipik kelas.

Page 5: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

2

Perhitungan frekuensi A l e l sebagai sebuah latihan Probabilitas

Setiap siswa mempunyai kemampuan dasar genetika populasi, mereka

dapat memulainya dengan perhitungan fenotip PTC dan menggunakan

perhitungan kalkulasi frekuensi dari alel perasa (T) dan non-perasa (t) di kelas.

Sifat yang terdiri atas alel resesif, kalkulasi ini membutuhkan asumsi

keseimbangan frekuensi genotip Hardy-Weinberg (p2 TT, 2pq Tt, q2 tt), dimana p

adalah frekuensi alel T dan q adalah frekuensi alel t. Frekuensi dari alel resesif

(non-perasa) adalah akar kuadrat dari frekuensi fenotipe resesif. Jika kelas terdiri

atas 70% perasa dan 30% non-perasa, q akan sama dengan 0.55 dan p akan sama

dengan (1-q) atau 0.45. Kalkulasi ini menyediakan kesempatan pada siswa untuk

mengingat hukum keseimbangan Hardy-Weinberg, seperti monohibrid dan hibrid

pada pewarisan mendelian. Peran dari penjumlahan adalah jika ada dua atau lebih

cara yang eksklusif untuk mencapai hasil yang sama, kemungkinan hasil yang

merupakan jumlah dari probabilitas yang memisahkannya, yaitu zigot Tt yang

didapatkan dari telur T atau telur t, maka kemungkinan untuk zigot Tt adalah 2pq.

Siswa harus bersemangat membangun lebih rumit kotak Punnett (dihibrid,

trihibrid, dll), tetapi didorong untuk menurunkan rasio ini dari aplikasi sederhana

dari aturan produk:

Membandingkan Genotip PTC

Non-perasa (tt) mengetahui genotipe mereka karena mereka mempunyai

resesif homozigot untuk mengekspresikan fenotipe mereka. Hal seperti ini tidak

terjadi pada alel perasa (T-), dan perasa di kelas akan penasaran tentang apakah

mereka homozigot (TT) atau heterozigot (Tt). Sampai saat ini sudah ada dua

pendekatan untuk menjawab pertanyaan ini: satu yang melibatkan penggunaan

frekuensi kelas alel untuk menghitung probabilitas kondisional yang perasa di

kelas tersebut baik homozigot atau heterozigot, dan lain yang menambah analisis

silsilah untuk penentuan probabilitas genotipe. Probabilitas kondisional dihitung

dengan membagi kemungkinan hasil dari kondisi yang terjadi. Hipotesis dikelas

Page 6: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

3

adalah, perasa bisa menghitung probabilitas bahwa dia adalah homozigot dengan

membagi frekuensi perasa homozigot (f[TT]) dengan frekuensi perasa (f [T-])

atau (0.45)2/0.70. Oleh karena itu kemungkinan bahwa perasa adalah homozigot

adalah 0,29 dan probabilitas perasa bersifat heterozigot adalah 0,71. Di sini sekali

lagi adalah kesempatan untuk merujuk kembali ke pewarisan Mendelian silang

hasil monohibrid dimana ia diharapkan 1/3 dari dominan F2 untuk berkembang

biak benar karena (1/4) / (3/4) = 1/3.

Data silsilah dapat memberikan wawasan tambahan ke dalam genotipe

siswa perasa. Jika seorang siswa perasa memiliki orangtua non-perasa, dia harus

heterozigot yang (kemungkinan TT = 0). Jika siswa perasa memiliki dua orang tua

perasa dan setidaknya satu saudara non-perasa, kemungkinan homozigositas

adalah 1/3 (sekali lagi, probabilitas bersyarat). Jika siswa perasa memiliki dua

orang tua perasa, tidak ada saudara non-perasa, dan tidak ada informasi mengenai

kakek-nenek, kemungkinan homozigositas dapat dihitung dengan menggunakan

probabilitas kondisional yang perasa adalah homozigot (0,29) atau heterozigot

(0.71) diperkirakan di atas menggunakan data populasi kelas.

Probabilitas bahwa siswa perasa adalah homozigot dalam hal ini akan

menjadi jumlah probabilitas perkawinan TTxTT (0,292) kali 1.0 (kemungkinan

progeni TT dari persilangan ini) atau 0,084 ditambah kemungkinan perkawinan

TTxTt (2 × 0,29 × 0,71) kali 1/2 (kemungkinan progeni TT dari persilangan ini)

atau 0,206 ditambah kemungkinan perkawinan TtxTt (0,712) kali 1/3

(kemungkinan keturunan TT antara progeni T dari persilangan ini) atau 0,168.

Oleh karena itu, kemungkinan bahwa seorang siswa perasa adalah homozigot

(mengingat data kelas asli) adalah 0,46. Sementara polimorfisme PTC

memberikan kesempatan yang menarik bagi siswa untuk menggunakan keahlian

mereka dalam analisis silsilah, harus diingat bahwa pengumpulan data aktual

silsilah membawa risiko mengungkapkan informasi sensitif. Bahkan dengan data

pedigree, lebih dari setengah dari siswa perasa di kelas akan pasti genotipe PTC

mereka akan dibiarkan dengan probabilitas heterozigositas dibandingkan

homozigositas.

Page 7: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

4

Dengan identifikasi dan urutan gen PTC, ketidakpastian yang sekarang ada

dapat dihilangkan. Sekarang memungkinkan untuk menggunakan analisis

amplifikasi sekuen polimorfik (CAPS) untuk menentukan genotipe siswa dengan

menggunakan gen PTC pada lengan panjang kromosom 7 (7q35-Q36). Urutan

sekuen gen ini, terutama yang menunjukkan variasi dalam kemampuan untuk

merasakan PTC.

Dua alel utama atau haplotipe (dan dalam beberapa kasus, atau beberapa

alel yang jarang) ditemukan paling banyak pada populasi manusia. Haplotype

(variasi baru) dari perasa dan non-perasa menunjukkan perbedaan yang

ditunjukkan oleh tiga nukleotida polimorfisme tunggal (SNP) yang ditampilkan

dengan warna merah tebal pada Gambar 4. Urutan sekuen tersebut menunjukkan

bahwa dari alel non-perasa yang umum dengan basa G pada posisi nukleotida 145

(G145), T pada posisi 785 (T785) dan A pada posisi 886 (A886). Alel non-

perasa menghasilkan polipeptida dengan alanin pada posisi asam amino 49, valin

pada posisi 262, dan isoleusin pada posisi 296, dan

disebut sebagai alel AVI. Alel perasa yang paling umum memiliki

C145, C785, dan G886, menghasilkan polipeptida dengan 49 proline,

262 alanine, dan 296 valine, dan disebut sebagai alel PAV.

SNP pada posisi 785 memiliki kepentingan tertentu dalam genotyping

karena urutan sekuen perasa di wilayah ini membentuk suatu situs restriksi

Fnu4H1 saat mengganti C785 dengan T785 dimana dalam alel nonperasa akan

menghilangkan situs restriksi ini.

Page 8: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

5

Merrit et al., 2008

Gambar1. Sekuen Gen PTC

Ada dua situs restriksi dari Fnu4H1 (yang ditampilkan dalam warna merah

gelap pada Gambar 2) dalam gen PTC, namun primer (ditampilkan dalam warna

hijau dan biru pada Gambar 1) secara khusus dirancang untuk mengikat daerah

pengapit situs polimorfik Fnu4H1 sementara tidak termasuk

dua lainnya. Penggunaan primer tersebut dalam reaksi polimerase

(PCR) menghasilkan 303 basa nukleotida. Setiap siswa dapat

memperoleh fragmen gen ini dengan mengisolasi DNA dari sel pipi. Amplifikasi

PCR kemudian diikuti dengan restriksi menggunakan enzim digest

Fnu4H1. Setelah separasi elektroforesis, homozigot non-perasa masih terlihat

Page 9: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

6

hanya 303 basa nukleotida pada gel elektroforesis, sedangkan homozigot perasa

terlihat adanya dua fragmen pendek (239bp dan 65bp) dan heterozigot perasa

menunjukkan tiga fragmen panjang. Analisis CAPS ini memungkinkan siswa

untuk menerapkan pengetahuan mereka tentang struktur DNA dan replikasi, kode

genetik, PCR, restriksi endonuklease, dan elektroforesis.

Gambar 2. Cleaved amplified polymorphic sequence (CAPS) Gel.

Sumuran 1,4,6 dan, 9 adalah perasa heterozigot; sumuran 2,3, dan 8 adalah non-perasa homozigot; sumuran 5 adalah perasa homozigot, sumuran 7 -

kosong, M adalah ladder. Non-perasa hanya memiliki fragmen 303 bp, perasa homozigot 238 dan 64bp fragmen. Heterozigot perasa memiliki semua tiga

fragmen. Fragmen 64 bp yang samar akibat proses difusi.

Evolusi molekuler, seleksi keseimbangan, dan Gen PTC

Akhirnya, tinjauan literatur yang baru terkait gen PTC dapat memberikan

wawasan ke siswa tentang bagaimana hubungan evolusi terurai. Kim et al. (2003)

menetapkan bahwa PAV (alel perasa) adalah nenek moyang manusia karena

memiliki kesamaan pada tiga asam amino (prolin, alanin, dan valin) terjadi pada

posisi yang sama dari produk gen PTC simpanse, gorila dataran rendah,

orangutan, monyet tua dan monyet baru dunia. Dua pengamatan telah menyatakan

bahwa Alel PTC dipelihara dalam populasi manusia dengan cara seleksi

keseimbangan, terjadinya variasi polimorfisme dan fakta bahwa simpanse

menunjukkan variasi fenotipik yang sama.

Wooding et al. (2006) menunjukkan bahwa sesungguhnya gen yang sama

terutama bertanggung jawab untuk variasi dalam sensitivitas rasa PTC pada kedua

spesies, hasil alel simpanse non-perasa dari mutasi pada kodon start (ATG

menjadi AGG) sehingga terjemahan yang dimulai dengan metionin pada

asam amino ke-97 (lihat M warna biru, pada Gambar 1) dalam rantai polipeptida

1 2 3 4 5 6 7 8 9 M10

Page 10: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

7

perasa. Penulis yang sama juga memberikan bukti bahwa produk gen simpanse

yang dipotong menunjukkan gen tersebut tidak berfungsi. Alel PAV dan AVI

menjelaskan lebih dari 90% dari variasi dalam gen PTC, total lima haplotype

tambahan telah diidentifikasi, dengan keanekaragaman alel terbesar di sub Sahara

Afrika. Identifikasi dan urutan sekuen dari gen PTC harus menstimulasi

minat baru favorit tua dari kedua antropolog dan genetika, dan memberikan

kesempatan di laboratorium untuk melakukan integrasi untuk siswa menjadi ahli

dibidangnya.

Cara kerja analisis CAPS

CAPS kepanjangan dari Cleaved amplified polymorphic sequence. Proses

yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Isolasi DNA total dari sel pipi, caranya adalah Mengorek bagian dalam dari

sel pipi dengan sebuah lingkaran plastik steril (Fisher Scientific), kemudian

menambahkan 200 µl dari 5% buffer Chelex (Biologi Carolina) dituangkan

pada 1,5 ml microsentrifuge tube. Setelah itu ditambahkan 2 µl dari 10 mg

Proteinase K (membantu proses lisis sel) pada tube dan diinkubasi selama 15-

30 menit pada suhu 56oC, kemudian di vortex selama 10 detik. Tahap

selanjutnya adalah sentrifugasi dengan kecepatan tinggi selama 20 detik,

kemudian dipanaskan selama 8 menit, dilanjutkan vortex selama 10 detik dan

sentrifugasi pada kecepatan tinggi selama 2-3 menit.

2. PCR (Amplifikasi gen PTC) dilakukan dengan menggunakan primer spesifik

yaitu: Primer Foward 5’AACTGGCAGAATAAAGATCTCAATTTAT3’

dan primer reverse 5’AACACAAACCATCACCCCTATTTT3’. Cocktail

yang digunakan dalam proses PCR adalah 32.5ul ddH2O, 0.5ul 10mM

dNTPs, 3ul 25mM MgCl2, 5ul 10X PCR Gold Buffer, 1ul Forward Primer

(10uM), 1ul Reverse Primer (10uM)dan 0.5ul AmpliTaq Gold Polymerase.

Setelah bahan lengkap (50 ul) kemudian dimasukkan pada mesin PCR dengan

siklus 42 siklus (siklus pertama untuk denaturasi pada suhu 95˚ C selama 10

minutes annealing pada suhu 55˚ C selama 5 detik), dilanjutkan 40 siklus

(denaturasi pada suhu 95˚ C selama 90 detik, annealing pada suhu 55˚ C for

45 detik, dilanjutkan 1 siklus pemanjangan pada suhu 72˚ C selama 10 menit.

Page 11: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

8

3. Pemotongan dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease Fnu4H1.

Komposisi buffer yang digunakan adalah 6 ul ddH2O, 3ul 10X NEB RE

Buffer #4 (NEB = New England Biolabs, Inc.) dan menambahkan 1ul

Fnu4H1 Restriction Endonuclease (NEB). Reaksi Pemotongan dengan

menggunakan master mix seharusnya dicampur dengan lembut, cepat

disentrifugasi, dan dibagikan sebanyak 10ul alikuot ke tabung microfuge

1.5ml. Setiap siswa kemudian menambahkan 20ul dari hasil PCRnya,

selanjutnya diinkubasi pada suhu 37˚C semalaman.

4. Elektroforesis hasil pemotongan dengan enzim restriksi menggunakan

agarosa gel 3%. (3 gram SeaKem LE Agarose dari Aplikasi BioWhittaker

Molekuler per 100 ml) dengan buffer LB dari Cepat Lebih Baik Media LLC.

Biarkan gel hingga dingin dan menghapus sisir. Setiap siswa akan menambah

15ul dari enzim (setengah isi tabung enzim) ke 3ul 5X Blue Juice dye

(American Bioanalytical) dan memuat seluruh 18ul ke dalam sumur pada gel.

Electrophorese gel pada 300 volt selama 30 menit.

PCR manual dengan menggunakan alat dapur sederhana

Melalui eksperimen, kami telah menentukan bahwa PCR manual

menggunakan peralatan dapur dapat digunakan untuk amplifikasi DNA bucal

swab. Meskipun pengguna PCR manual ini memakan waktu lama, mudah dan

dapat menggantikan peralatan mahal. Tube PCR akan dipindah-pindah pada

tabung aluminium yang terdiri atas penahan panas yang cocok (air atau pasir).

Biaya untuk tiga hot plate, tiga panci, tiga termometer, dan timer dapur adalah

sekitar $ 50. Meskipun sedikit menambah biaya keseluruhan, termometer digital

yang direkomendasikan dan dapat dibeli di toko-toko elektronik kebanyakan atau

hewan peliharaan. Kadar pasir halus (dari jenis yang digunakan di taman bermain

anak-anak) dipanaskan sampai tiga suhu yang digunakan dalam PCR (Gambar 2).

Dalam pengaturan suhu, kami menemukan bahwa itu adalah penting untuk

mengaduk pasir secara menyeluruh untuk mendapatkan bahkan pemanasan.

Seperti sink panas, pasir lebih berguna daripada air karena mempertahankan panas

untuk jangka waktu yang lama. Namun, kerugian untuk menggunakan pasir,

bukan air, adalah bahwa jika pasir terlalu panas (yang mudah dilakukan karena

Page 12: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

9

pasir memanaskan agak cepat), sulit untuk membawa suhu turun secara tepat

waktu. Suhu dari hot plate biasanya dapat distabilkan dalam waktu sekitar 15

menit. Biarkan suhu tetap stabil selama kurang lebih 20 menit. Reaksi harus

dilapisi dengan minyak mineral (untuk mencegah kondensasi reactionmix di

bagian atas tabung) dan dalam keadaan tertutup rapat. Waktu dan suhu tetap

konsisten dengan yang sebelumnya dijelaskan untuk otomatis termal siklus

berbasis PCR, tetapi jumlah siklus mungkin perlu ditingkatkan. Selembar kertas

(lihat Gambar 3) yang dapat diperiksa off digunakan untuk melacak jumlah siklus

(catatan bahwa suhu pada lembar sampel berbeda dari yang disarankan untuk

PTC-PCR).

Gambar 3. Pedoman PCR. (Top) Manual PCR set-up menggunakan panci aluminium, hot plate,

termometer, dan baik pasir atau air. (Bawah) Sebuah versi sederhana dari blok suhu yang digunakan untuk merekam siklus dan suhu yang sesuai mereka di seluruh panduan PCR. Setiap kotak itu diperiksa-off untuk memastikan bahwa langkah yang benar dari setiap siklus sedang

dilakukan dalam urutan yang benar.

Page 13: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

10

BAB II

ANALISIS KRITIS JURNAL

Pada artikel tersebut dibahas tentang cara mengenalkan dan

membelajarkan siswa tentang variasi pada kemampuan merasakan

phenylthiocarbamide (PTC) menjadi dipelajari pada semua sifat genetik manusia.

Seperti kita ketahui bahwa materi genetika merupakan materi yang sulit

dimengerti oleh sebagian besar siswa sekolah menengah maupun sampai

perguruan tinggi. Hal ini disebabkan karena beberapa masalah yaitu cara

penyampaian materi, metode, penggunaan media dan susahnya memadukan

beberapa materi dengan satu objek atau dengan nama lain mengintegrasikan suatu

pembelajaran.

Dalam artikel ini menjelaskan pembelajaran di laboratorium genetik fokus

pada penggunaan teknik PCR dan RFLP untuk membandingkan genotype PTC

pada masing-masing siswa. Di laboratorium ini memiliki slogan pembelajaran

yaitu “getting there is half the fun” and, in this case, “getting there” menyarankan

siswa untuk tidak hanya menggunakan kemampuannya pada teknik molekular

genetika, namun juga kemampuannya dalam genetika mendelian (hukum

pewarisan sifat), populasi genetik, probabilitas, dan analisis pedigree. Lainnya,

“half the fun”, pada kasus ini membandingkan antara fenotipe dan genotipe PTC,

murid akan belajar tentang diri mereka sendiri. Hal ini memperlihatkan suatu

pembelajaran yang mengintegasikan genetika modern dengan genetika lama

dengan suatu konsep merasakan phenylthiocarbamide (PTC). Saya akan

menjelaskan tentang asal mula phenylthiocarbamide (PTC) yang menjadi bahan

pembelajaran di jurnal ini.

Sejarah senyawa PTC (Phenylthiocarbamide)

Pada tahun 1931, seorang ahli kimia bernama Arthur Fox menuangkan

beberapa bubuk PTC ke dalam botol, tanpa disengaja bubuk tersebut tertuang air,

siswa yang duduk disebelah percobaan tersebut menyatakan bahwa debu dari PTC

tersebut terasa pahit. Fox tidak merasakan apa-apa sama sekali. Beliau penasaran

bagaimana setiap siswa bisa merasakan bahan kimia yang berbeda-beda. Hasilnya

Page 14: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

11

sama, Fox meminta teman-teman dan keluarganya mencoba rasa bahan kimia

tersebut, kemudian digambarkan lagi bagaimana rasanya. Beberapa orang

merasakan hal yang berbeda, beberapa merasakan sangat pahit, dan yang lain

merasakan sedikit pahit (Learning Genetic Laboratory, online).

Learning Genetic Laboratory, Online

Gambar 4. A. Siswa yang tidak dapat merasakan PTC; B. Siswa yang dapat merasakan PTC Rasio antara perasa dan tidak perasa antara populasi, setiap

kelompok memiliki beberapa perasa dan tidak perasa. Rata-rata, 75% orang dapat merasakan PTC, sedangkan 25% tidak bisa.

Penemuan Gen pengendali Rasa PTC (PTC gene atau TAS2R38)

Segera setelah penemuannya, para ahli genetika menentukan bahwa ada

komponen pewarisan yang mempengaruhi bagaimana kita dapat merasakan PTC.

Sekarang, kita mengetahui bahwa kemampuan untuk merasakan PTC (atau tidak

dapat merasakannya) diatur oleh sebuah gen tunggal yang mengkode reseptor rasa

pada lidah. Gen ini adalah gen PTC atau TAS2R38, yang ditemukan pada tahun

2003. Ada dua bentuk umum (alel) dari gen PTC, dan setidaknya lima bentuk

yang jarang dijumpai. Salah satu bentuk umum adalah alel perasa, dan lainnya

adalah alel tidak-perasa (non-perasa). Masing-masing alel mengkode protein

reseptor untuk rasa pahit dengan bentuk yang sedikit berbeda. Bentuk protein

reseptor ini menentukan seberapa kuat dapat mengikat zat PTC. Semua orang

memiliki dua salinan dari setiap gen, kombinasi dari varian gen rasa pahit yang

dapat menentukan apakah seseorang nantinya menemukan PTC sangat pahit, rasa

agak pahit, atau tanpa sama sekali.

A B

Page 15: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

12

Learning Genetic Laboratory, Online

Gambar 5. A. struktur kimia PTC, B. Proses respon PTC oleh resptor rasa pada lidah

Gen ini mengkode tujuh-transmembran reseptor G protein berpasangan

yang mengontrol kemampuan untuk merasakan glucosinolates, kelompok rasa

senyawa pahit yang ditemukan dari tanaman Brassica sp. Senyawa sintetik

phenylthiocarbamide (PTC) dan 6-n-propylthiouracil (PROP) telah diidentifikasi

sebagai ligan untuk reseptor ini dan telah digunakan untuk menguji keragaman

genetik dari gen ini (NCBI, online). Meskipun bentuk alel dari beberapa gen ini

telah diidentifikasi di seluruh dunia, ada dua bentuk umum alel dominan yaitu:

alel perasa dan non-perasa yang ditemukan di luar Afrika. Alel ini berbeda di tiga

posisi nukleotida yang mengakibatkan perubahan asam amino pada protein

(A49P, A262V, dan V296I) dengan kombinasi asam amino PAV yang

PTC singkatan dari phenylthiocarbamide, dikenal juga sebagai phenylthiourea,

struktur kimia PTC meneyrupai alkaloid beracun yang ditemukan

di beberapa tanaman beracun.

A B

Page 16: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

13

diidentifikasi dari varian pengecap (AVI dan diidentifikasi dari varian non-perasa)

(NCBI, Online).

Chromosome 7 - NC_000007.13

NCBI, Online

Gambar 6. Gen TAS2R38 (gen PTC) terdapat di Lengan panjang kromosom 7

Menurut saya pembehasan sangat bagus karena dalam jurnal ini dijelaskan

siswa belajar tentang dirinya sendiri dengan mengaitkan kemampuan merasakan

PTC yang dihubungkan dengan konsep genetika mendelian (hukum pewarisan

sifat), populasi genetik, probabilitas, dan analisis pedigree. Kemampuan untuk

merasakan PTC sering digunakan sebagai contoh pembelajaran di kelas tentang

pewarisan sifat Mendelian sederhana yang dikendalikan oleh alel dominan perasa

(T) dan alel resesif non-perasa (t). Pembelajaran ini adalah contoh yang populer

dilakukan karena siswa senang belajar sesuatu yang tidak terduga yang berkaitan

dengan diri mereka sendiri dan tidak pernah gagal untuk takjub bahwa suatu

kertas dapat menghasilkan respon rasa yang kuat sekitar 70% dari kelas yang

benar-benar merasakan dengan yang lain. Di jurnal ini juga menjelaskan Setiap

murid mempunyai kemampuan dasar genetika populasi, guru sangat kreatif dalam

memanfaatkan pembelajaran ini, terlihat dimana guru membelajarkan sifat yang

terdiri atas alel resesif, kalkulasi ini membutuhkan asumsi keseimbangan

frekuensi genotip Hardy-Weinberg.

Didalam jurnal ini juga bagaimana seorang guru mengemas pembelajaran

genetika dengan sangat baik, terlihat ketika guru menghubungkan

mengintegrasikan beberapa materi dengan pendekatan integrasi baru laboratorium

diantara materi tersebut yaitu evolusi molekuler, seleksi keseimbangan, dan Gen

PTC. Disini peran seorang guru untuk berinovasi dan berkreativitas, seperti

diketahui untuk menyampaikan materi genetika susah-susah gampang. Seorang

harus mempunyai strategi pembelajaran pemecahan masalah bisa dilaksanakan

melalui pendekatan pembelajaran, dimana suatu cara yang dilakukan oleh guru

agar materi yang ditampilkan dapat beradaptasi dengan para siswa. Selain itu

Page 17: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

14

dapat juga dilakukan dengan menggunakan metode pembelajaran yaitu dengan

cara menyajikan materi yang masih bersifat luas (umum) dan saling terkait.

Dalam jurnal ini yang membuat saya suka yaitu pada saat pembahasan

menggunakan PCR manual dengan peralatan dapur dapat digunakan untuk

amplifikasi DNA. Ini merupakan suatu kreativitas seorang guru dan pemahaman

konsep yang matang dalam menyelesaikan masalah, meskipun pengguna PCR

manual ini memakan waktu lama, mudah dan dapat menggantikan peralatan

mahal. Jadi tidak ada alasan seorang guru tidak membelajarkan siswanya dengan

efektif dan untuk mencapai pembelajaran yang bermakna. Seorang guru harus

menghadirkan suatu pembelajaran pemecahan masalah dapat efektif dan sesuai

dengan tujuan, diperlukan beberapa faktor pendukung yaitu: perencanaan, waktu,

sumber belajar-media, pengelolaan kelas serta teknologi. Perencanaan waktu

harus efektif dan disesuaikan dengan kemampuan dan proses berpikir siswa. Guru

setidaknya mampu memperkirakan seberapa banyak waktu yang dibutuhkan siswa

dalam menyelesaikan beberapa soal. Guru perlu menyiapkan alat-alat peraga

manipulatif untuk siswa dalam membantu memahami dan memecahkan masalah.

Page 18: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

15

BAB III

KEBERLAKUANNYA DI INDONESIA

Hasil refleksi diri terhadap pelaksanaan pembelajaran SD sampai kuliah

dan praktikum genetika dan penelitian-penelitian genetika yang selama ini

dilakukan menunjukkan bahwa dalam pembelajaran Genetika masih bersifat

textbook oriented. Akibatnya, kita miskin dengan contoh-contoh fenomena

genetik yang berada di sekitar kita. Pembelajaran yang bersifat textbook oriented

menempatkan contoh-contoh fenomena genetik yang diambil sesuai dengan yang

ada di buku, yang kadang-kadang tidak dijumpai di tempat kita. Pembelajaran

Genetika masih didominansi dengan penggunaan metode ceramah, sehingga

hanya terjadi transfer pengetahuan (transfer of knowledge) dari dosen ke

mahasiswa. Pembelajaran belum banyak menggunakan multimetode, multimedia,

multi sumber belajar maupun multi modul pembelajaran sebagai bagian dari

pemberian layanan yang memperhatikan ragam belajar mahasiswa. Akibatnya,

respon, inisiatif maupun interaksi antara dosen/ guru dengan mahasiswa/siswa

dalam pembelajaran masih sangat rendah. Siswa/Mahasiswa hanya melakukan

kegiatan sesuai dengan petunjuk yang diberikan tanpa melakukan pengembangan

lebih lanjut.

Selama ini pembelajaran genetika pada materi mendelian (hukum

pewarisan sifat), populasi genetik, probabilitas, dan analisis pedigree diajarkan

secara terpisah baik di tingkat sekolah menengah sampai perguruan tinggi. Di

Indonesia belum banyak mengaplikasikan pendekatan integrasi genetika modern

dengan genetika klasik / lama. Apalagi penggunaan PTC dalam penerapan

pembelajaran genetika, selama ini saya belum mendengar bahkan belum pernah

mencoba. Dalam pembelajaran genetika selama ini hanya menggunakan media

pelemparan koin, dadu, percobaan Mendel dll, sehingga siswa / mahasiswa

kurang efektif dan tidak memberi kesempatan siswa / mahasiswa mengenal diri

sendiri. Seharusnya pembelajaran genetika bisa menjadi pembelajaran terpadu

merupakan salah satu model implementasi kurikulum yang dianjurkan untuk

diaplikasikan pada semua jenjang pendidikan.

Page 19: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

16

Di Indonesia pembelajaran terpadu meliputi pembelajaran yang terpadu

dalam satu disiplin ilmu, terpadu antara mata pelajaran. Pembelajaran terpadu

merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran yang secara sengaja mengaitkan

beberapa aspek baik dalam intra mata pelajaran maupun antar mata pelajaran.

pembelajaran itu akan lebih aktif dan efektif apabila guru dapat menghubungkan

atau mengintegrasikan antara pelaksanaan pembelajaran di sekolah dengan yang

ditemukan dilapangan. Guru memiliki tugas untuk mengintegrasikan materi

pembelajaran dengan pembelajaran di lingkungan siswa atau diri sendiri.

Satu lagi dalam pembelajaran genetika molekular, seorang guru d

Indonesia jarang menggunakan alternatif alat-alat yang tidak terjangkau dalam

pembelajaran atau yang tidak tersedia dalam pembelajaran. Seperti ditunjukan

oleh pembahasan jurnal diatas, guru menggunakan perkakas dapur untuk PCR

manual dengan peralatan dapur dapat digunakan untuk amplifikasi DNA,

meskipun pengguna PCR manual ini memakan waktu lama, mudah dan dapat

menggantikan peralatan mahal. Jadi hal itu membutuhkan kreatifitas seorang guru

dan tidak ada alasan seorang guru tidak membelajarkan siswanya dengan efektif

untuk mencapai pembelajaran yang bermakna sesuai tujuan pendidikan nasional.

Tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan bisa diaplikasikan di Indonesia untuk

pembelajaran genetika molekular kedepanya. Hal tersebut membutuhkan inovasi,

kreatifitas dan ketekunan seorang guru dan perangkat pendidik lainnya untuk

menghadirkan pembelajaran yang bermakna.

Page 20: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

17

BAB IV

SARAN-SARAN

Setelah melakukan kajian terhadap jurnal, maka penulis dapat

mengemukakan saran-saran yang mungkin dapat dilakukan dan diterapkan dalam

kelas bagi pendidik maupun calon pendidik sebagai berikut.

1) Seorang tenaga pendidik hendaknya selalu melakukan pembaharuan

informasi terkait dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dengan demikian

seorang guru dapat menyampaikan informasi terbaru kepada siswanya.

2) Perlunya pengenalan sebuah Integrasi baru pada pembelajaran laboratorium

genetika molekuler dengan pendekatan genetika lama.

3) Pendidik/calon pendidik hendaknya lebih kreatif dalam mengemas

pembelajaran genetika agar mampu memotivasi siswa dalam mempelajari

konsep-konsep penting dengan mempelajari diri sendiri.

4) calon pendidik harus mengembangkan pembelajaran biologi khususnya

genetika menjadi lebih yang bermakna, dengan menumbuhkan sikap ilmiah

siswa dalam menemukan informasi tentang diri sendiri, dengan

menggabungkan konsep modern dengan konsep yang lama.

Page 21: Makalah II Problematika Pendidikan Biologi

18

DAFTAR RUJUKAN

Guo, S. & Reed, D.R. (2001). The genetics of phenylthiocarbamide perception.

Annals of Human Biology, 28, 111-142. Kim, U., Jorgenson, E., Coon, H.,

Leppart, M., Risch, N. & Drayna,

Kim, U., Wooding, S., Ricci, D., Jorde, L.B. & Drayna, D. (2005). Worldwide

haplotype diversity and coding sequence variation at human taste receptor

loci. Human Mutation, 26(3), 199-204.

Merritt, R., Bierwort, L., Slatko, B., Weiner, M., Weiner, E., Ingram, J. and

Sciarra, K. (2008). Tasting Phenylthiocarbamide (PTC): A New Lab With

an Old Flavor. Am. Biol. Teacher, 70:4.

Wooding, S. (2006). Phenylthiocarbamide: A 75-Year Adventure in Genetics and

Natural Selection. Genetics 172 (4): 2015-2023.

Wooding, S., Bufe, B., Grassi, C., Howard, M.T., Stone, A.C., Vazquez, M.,

Dunn, D.M., Meyerhof, W., Weiss, R.B. & Bamshad, M.J. (2006).

Independent evolution of bitter-taste sensitivity in humans and chimpanzees.

Nature, 440, 930-934.