Upload
febri-jauhari
View
24
Download
0
Embed Size (px)
MAKALAH FILSAFAT ILMU
FILSAFAT SEBAGAI PENGANTAR UNTUK MENEMUKAN KEBENARAN
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Wuryadi, MS.
Disusun oleh:Wulandari Saputri 13708251001Emilia Dwi Oktavia 13708251017Bekti Nurhamida 13708251018
Ana Silfiani Rahmawati 13708251019Sih Kusumaningrum 13708251021
Fitriani 137082510
PRODI PENDIDIKAN SAINSPROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA2013
BAB IPENDAHULUAN
Filsafat muncul bersamaan dengan kemunculan manusia dalam sejarah kehidupan. Manusia dapat berfilsafat, sedangkan
hewan tidak dapat berfilsafat. Hal ini dikarenakan manusia mempunyai akal budi sehingga mampu berpikir dan mengajukan pertanyaan atas segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Setelah bertanya, manusia melakukan refleksi. Dalam peristiwa yang terjadi disekelilingnya seakan-akan manusia melihat cerminan dirinya sendiri. Ketika memandang bunga-bunga berguguran, ia seakan-akan melihat perjalanan hidupnya sendiri sebagai manusia. Seperti halnya bunga yang mekar, layu dan berguguran ditiup angin, demikian pula manusia memandang nasibnya sendiri sebagai manusia yang lahir, menjadi dewasa, menjadi tua dan kemudian mati. Setiap kejadian atau pengalaman yang dialami manusia memungkinkannya untuk berfilsafat.
Pada awalnya, filsafat disebutkan sebagai induk dari ilmu pengetahuan. Semua ilmu-ilmu menyatu pada filsafat. Namun seiring perkembangan zaman yang semakin maju, filsafat dianggap kurang penting bahkan terkesan diabaikan. Orang-orang lebih menyukai ilmu, karena dianggap lebih praktis. Filsafat dianggap tidak dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah praktis sehari-hari. Padahal filsafat pada konteksnya berusaha menjawab semua pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh ilmu. Peran filsafat sebetulnya sangatlah besar. Filsafat memungkinkan orang berpikir secara komprehensif, memperluas pandangan melampaui disiplin ilmu tertentu. Filsafat berusaha mencari makna akan hal-hal yang ada dalam diri manusia dan sekitarnya. Maka dari itu diharapkan setelah mempelajari filsafat lebih dalam tentang definisi; pemikiran filsafati; produk; hubungan filsafat, ilmu, alam, kehidupan; makna, kebenaran, dan cara memperoleh kebenaran, diharapkan bisa membuka pandangan kita yang mungkin masih sempit terhadap ilmu filsafat.
BAB IIPEMBAHASAN
A. FILSAFAT, PEMIKIRAN FILSAFAT, DAN PRODUK PEMIKIRAN FILSAFAT
Istilah filsafat yang merupakan terjemahan dari philosophy
(bahasa Inggris) berasal dari bahasa Yunani, philein yang
berarti cinta dan sophia yang berarti kebijaksanaan. Filsafat
berarti cinta kebijaksanaan. Cinta berarti hasrat yang besar
atau berkobar-kobar atau yang sesungguhnya. Kebijaksanaan
artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya.
Jadi filsafat artinya hasrat atau keinginan yang sungguh akan
kebenaran sejati.
Berdasarkan arti tersebut, para ahli berusaha merumuskan
definisi filsafat secara ringkas dan beragam. Ada yang
menyatakan bahwa filsafat merupakan suatu usaha untuk
berpikir secara radikal dan menyeluruh atau suatu cara berpikir
dengan mengupas sesuatu sedalam-dalamnya (Hamdani, 2011:
20).
Kalangan filusuf menjelaskan tentang tiga hal yang
mendorong manusia untuk berfilsafat, yaitu kekaguman atau
keheranan, keraguan atau kegengsian dan kesadaran atau
keterbatasan. Rasa heran dan meragukan yang dirasakan oleh
pancaindra manusia mendorong manusia untuk berpikir lebih
mendalam, menyeluruh dan kritis untuk memperoleh kepastian
dan kebenaran yang hakiki.
Pada dasarnya berfilsafat bukanlah sesuatu yang asing dan
terlepas dari kehidupan sehari-hari. Hal ini karena segala
sesuatu yang ada dan yang mungkin serta dapat dipikirkan
bisa menjadi objek filsafat apabila selalu dipertanyakan,
dipikirkan secara radikal guna mencapai kebenaran. Para ahli
membagi objek filsafat menjadi objek materiil dan objek formal.
Objek materiil adalah segala sesuatu yang ada, meliputi ada
dalam kenyataan, pikiran dan dalam kemungkinan, sedangkan
objek formal menggambarkan cara dan sifat berpikir terhadap
objek materiil tersebut karena ingin mengetahui hakikat dari
segala sesuatu yang ada itu.
Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah kita
tahu dan apa yang belum kita tahu. Berfilsafat berarti berendah
hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui dalam
kesemestaan yang seakan tak terbatas ini. Demikian juga
berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk
berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang
dicari telah dijangkau.
Seseorang yang berfilsafat memiliki karakteristik berpikir
filsafat, yaitu:
a. Sifat menyeluruh
Seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari
segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu
dalam hubungannya dengan pengetahuan lainnya. Dia ingin
tahu kaitan ilmu dengan moral, ilmu dengan agama. Dia
ingin yakin apakah ilmu membawa kebahagiaan bagi
dirinya. Hal ini akan membuat ilmuan menjadi rendah hati
dan tidak merasa paling hebat.
b. Sifat mendasar
Sifat yang tidak begitu saja percaya bahwa ilmu itu benar.
Mengapa ilmu itu benar? Bagaimana proses penilaian
berdasarkan kriteria itu dilakukan? Apakah kriteria sendiri
itu benar? Lalu benar sendiri itu apa? Pertanyaan-
pertanyaan tersebut seperti sebuah lingkaran yang harus
dimulai dengan menentukan sebuah titik awal yang benar.
c. Sifat spekulatif
Dalam menyusun sebuah lingkaran dan menentukan titik
awal sebuah lingkaran yang sekaligus menjadi titik akhirnya
dibutuhkan sebuah sifat spekulatif baik sisi proses, analisis
maupun pembuktiannya (Hamdani, 2011: 63). Semua
pengetahuan yang sekarang ada dimulai dengan spekulasi.
Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah
pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal
dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menetapklan kriteria
tentang apa yang disebut benar maka tidak mungkin
pengetahuan lain berkembang di atas dasar kebenaran.
Tanpa menetapkan apa yang disebut baik atau buruk maka
kita tidak mungkin berbicara tentang moral. Demikian juga
tanpa wawasan apa yang disebut indah atau jelek tidak
mungkin kita berbicara tentang kesenian (Jujun S.
Suriasumantri, 1985:22).
Seseorang yang berpikir filsafat sebenarnya tengah
berupaya untuk mencari jawaban yang timbul karena
kekaguman, keraguan atau keterbatasan dari dalam dirinya
secara mendalam sampai hal tersebut terjawab sesuai dengan
kepuasan yang diinginkan. Jawaban-jawaban tersebut akan
menjadi pengetahuan bagi dirinya. Pengetahuan tersebut
nantinya akan berkembang menjadi sebuah ilmu, di mana ilmu
itu sendiri merupakan produk pemikiran filsafati. Namun,
apakah pengetahuan yang telah diperoleh tersebut benar?
Bagaimana caranya untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar?
Pengetahuan yang benar pada dasarnya dapat diperoleh
dengan dua cara pokok. Cara pertama adalah mendasarkan diri
pada rasio dan yang kedua mendasarkan diri pada
pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan paham yang
disebut rasionalisme. Sedangkan kaum empiris
mengembangkan paham yang disebut empirisme.
Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam
menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam
penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya
jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah
ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh
sebelum manusia berusaha memikirkannya. Fungsi pikiran
manusia hanyalah mengenali prinsip tersebut yang lalu
menjadi pengetahuannya. Namun, premis yang dipakai
tersebut semuanya bersumber pada penalaran rasional yang
bersifat abstrak dan terbebas dari pengalaman maka evaluasi
tentang kebenaran premisnya tidak dapat dilakukan.
Pengetahuan yang diperoleh dengan hanya mengandalkan
rasio dapat menjadi bermacam-macam tanpa adanya suatu
konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini
maka pemikiran rasional cenderung bersifat solipsistik (hanya
benar dalam kerangka pikiran tertentu yang berada dalam
benak orang yang berpikir tersebut) dan subjektif.
Berlainan dengan kaum rasionalis, kaum empiris
berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan
didapatkan melalui penalaran rasional yang abstrak namun
lewat pengalaman yang konkret. Gejala-gejala alamiah
menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat konkret dan
dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia.
Masalah utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan
secara empiris ini adalah bahwa pengetahuan yang
dikumpulkan itu cenderung menjadi suatu kumpulan fakta-
fakta. Fakta tersebut belum tentu bersifat konsisten dan
mungkin saja terdapat hal-hal yang besifat kontradiktif.
Masalah yang kedua adalah mengenai hakikat pengalaman
yang merupakan cara dalam menemukan pengetahuan dan
pancaindera sebagai alat penangkapnya. Kaum empiris
ternyata tidak bisa memberikan jawaban yang meyakinkan
mengenai hakikat pengalaman itu sendiri. Sedangakan
mengenai pancaindera, pancaindera manusia sangat terbatas
kemampuannya dan bisa juga melakukan kesalahan.
Disamping rasionalisme dan empirisme masih terdapat
cara lain untuk mendapatkan pengetahuan, yaitu intuisi dan
wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa
melalui proses penalaran tertentu (rasio ataupun empiris).
Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu
masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan
tersebut, tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku tiba-
tiba saja dia sudah sampai di situ. Jawaban atas permasalahan
yang sedang dipikirkannya muncul dibenaknya bagaikan
kebenaran yang membukakan pintu. Intuisi ini bisa juga
bekerja dalam keadaan yang tidak sepenuhnya sadar, artinya
jawaban atas suatu permasalahan ditemukan tidak pada waktu
orang tersebut secara sadar menggelutinya. Intuisi bersifat
personal dan tidak bisa diramalkan.
Wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan Tuhan
kepada manusia melalui nabi-nabi yang diutusNya.
Pengetahuan ini didasarkan kepercayaan akan hal-hal yang
ghaib (supernatural). Kepercayaan kepada Tuhan yang
merupakan sumber pengetahuan, kepercayaan kepada nabi
sebagai perantara dan kepercayaan terhadap wahyu sebagai
cara penyampaian, merupakan dasar dari penyusunan
pengetahuan ini. Kepercayaan merupakan titik tolak dalam
agama. Suatu pernyataan harus dipercaya dulu untuk diterima.
B. FILSAFAT DAN ILMU, ILMU DAN KEHIDUPAN, KEHIDUPAN
DAN ALAM
Selanjutnya, untuk mempelajari filsafat lebih mendalam
maka perlu untuk menghubungkannya dengan ilmu, alam, dan
kehidupan. Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat sistematis
dan memiliki objek kajian yang jelas sesuai dengan bidangnya.
Adapun suatu ilmu memiliki ciri-ciri tertentu, diantaranya:
1. Empiris : berdasarkan pengamatan dan percobaan.
2. Sistematis : tersusun secara logis serta mempunyai
hubungan saling bergantung dan teratur.
3. Objektif : terbebas dari persangkaan dan kesukaan pribadi.
4. Analitis : menguraikan persoalan menjadi bagian-bagian
yang terinci.
5. Verifikatif : dapat diperiksa kebenarannya
Antara filsafat dan ilmu terdapat beberapa persamaan
yakni keduanya sama-sama menggunakan cara berfikir reflektif
terhadap fakta-fakta yang ada untuk kemudian dipahami dan
juga mengajak kita berpikir terbuka terhadap semua aspek
yang perlu untuk memperoleh kebenaran. Adapun
perbedaannya terletak pada batasan kajiannya, dimana ilmu
mengkaji bidang yang terbatas, sedangkan filsafat berupaya
mengkaji pengalaman secara menyeluruh dan mencakup hal-
hal umum dalam berbagai bidang pengalaman manusia.
Dari gambaran di atas dapat ditarik sebuah hubungan
filsafat dan ilmu, yakni terdapat hubungan timbal balik antara
keduanya. Filsafat mencoba menjawab semua hal yang tidak
bisa dijawab oleh ilmu dan ilmu adalah hasil perluasan dari
filsafat yang lebih spesifik mengkaji hal-hal yang ada di alam.
Hubungan filsafat dan ilmu juga dapat diibaratkan sebagai
marinir dan pasukan infantri. Filsafat sebagai marinir yang
bertugas merebut suatu pantai untuk pendaratan pasukan
infantri sebagai pengetahuan yang diantaranya adalahh ilmu.
Filsafat yang memenangkan tempat berpijak, setelah itu
ilmulah yang membelah gunung, merambah hutan,
menyempurnakan kemenangan sebagai pengetahuan yang
dapat diandalkan. Setelah penyerahan kekuasaan, pergilah
filsafat kembali ke lautan lepas, berspekulasi dan meneratas
(Sumantri, 2003: 22-24).
Ilmu dan Kehidupan
Ilmu mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kehidupan khususnya kehidupan manusia sebagai mahluk
ciptaan-nya. Maka, beruntunglah kita sebagai manusia karena
tuhan telah menganugerahkan akal dan pikiran sehingga
dengan keduanya kita bisa mempelajari ilmu. Hal demikian
itulah yang tidak dimiliki mahluk ciptaan tuhan lainnya, seperti
hewan dan tumbuhan.
Dengan ilmu, kehidupan menjadi semakin mudah.
Sebagaimana kita ketahui pada awalnya manusia pada zaman
dahulu mendapatkan makanan dari alam dengan cara
memetik, memanjat, dan menangkap sesuatu tanpa
menggunakan alat. Sudah barang tentu hal tersebut sulit
dilakukan dan membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan
tak jarang mereka berpindah dari suatu tempat ke tempat yang
lain karena persediaan makanan di tempat tersebut habis.
Kemudian dengan akal dan pikiran yang dimilikinya, manusia
mulai memikirkan cara terbaik untuk tetap bertahan hidup
tanpa harus berpindah tempat. Dalam menghadapi kesulitan-
kesulitan itulah, manusia mengalami pengalaman-pengalaman
dan penemuan-penemuan yang kemudian menjadi kumpulan
pengetahuan. Pengetahuan bisa berupa wawasan, juga bisa
yang mendukung keterampilan teknik. Sehingga berubahlah
paradigma dari yang semula food gathering menjadi food
producing. Kehidupan yang semula nomaden menjadi menetap,
misalnya dengan cara bercocok tanam, dan membuat alat-alat
seperti tombak untuk menangkap hewan. Dari ilmu lahirlah
teknologi, begitulah kiranya alam memberkati kita.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu dan kehidupan
mempunyai hubungan timbal balik, dimana ilmu lahir dari
keinginan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dan
kehidupan akan lebih mudah dengan adanya ilmu.
Kehidupan dan Alam
Alam adalah tempat kita berpijak, sumber dari segala
pemikiran. Dengan memandang semua gejala dan fenomena
yang ada di alam kita bisa belajar banyak hal, bahkan
memecahkan masalah-masalah serta memprediksi hal-hal yang
akan terjadi di masa depan. Dengan memandang alam pun
membuat kita berendah hati, bahwa tidak semuanya akan kita
ketahui di alam ini, di atas langit pun ada langit. Sebaliknya,
tanpa alam maka tidak akan ada yang namanya kehidupan.
Jadi, tugas kita lah sebagai khalifah di muka bumi ini untuk
memanfaatkan alam sebaik-baiknya.
Hubungan antara filsafat, ilmu, alam dan kehidupan
digambarkan pada diagram berikut ini:
Gambar 1. Hubungan Filsafat, Ilmu, Kehidupan, dan Alam
Alam adalah sumber gejala dan fenomena yang bisa
diamati dan dimaknai oleh manusia yang berfikir dengan penuh
rasa keingintahuan, keheranan, dan kekaguman akan suatu hal
yang ingin di cari tahu kebenarannya yang dalam hal ini
diartikan sebagai berfilsafat. Dari berfilsafat mengenai alam
itulah lahir pemikiran-pemikiran filsafati yang akan
berkembang menjadi ilmu yang akan berguna bagi kehidupan.
Sebaliknya, tanpa alam mustahil akan ada kehidupan, tanpa
kehidupanpun maka tidak akan ada filsafat yang akan
melahirkan ilmu-ilmu yang ada sekarang ini.
ALAM
KEHIDUPAN ALAM
FILSAFAT
C. PERMASALAHAN FILSAFAT: MAKNA, KEBENARAN DAN
CARA MEMPEROLEH KEBENARAN
Kemudian, masih berhubungan dengan filsafat, pencarian
akan kebenaran sebenarnya diawali dengan penemuan makna
atas diri sendiri dan makna kehadiran diri atas alam semesta.
Makna yang dimaksud disini adalah ketika kegiatan
memberikan arti pada sesuatu yang dilakukan. Ketika orang
mulai bertanya tentang hal-hal yang umum, dan kemudian
mulai mendapatkan jawaban yang bermakna dari kegiatan itu,
ia telah mencoba menemukan makna. Permasalahan filsafat
dimulai dengan bagaimana manusia mendapatkan sesuatu
yang bermakna dari tindakannya dalam rangka menafsirkan
dunia yang menghidupinya, tentang arti suatu simbol, dan
tentang bagaimana memberi arti pada diri.
Makna dan pemaknaan yang dilakukan manusia
merupakan bagian dari upaya dalam mencari kebenaran.
Beberapa cara ditempuh untuk memeperoleh kebenaran,
antara lain menggunakan rasio seperti para rasionalis, melalui
pengalaman, melalui intuisi atau melalui wahyu yang
disampaikan Tuhan melalui utusan-Nya. Cara-cara tersebut
sama halnya dengan cara memperoleh pengetahuan, sebab
melalui kebenaran manusia akan memperoleh pengetahuan.
Sehingga akan diperoleh pengetahuan yang benar.
Plato pernah bertanya: “Apakah kebenaran itu?, dan
Bradley pun pernah berkata tentang kebenaran jauh sebelum
Plato bahwa bebenaran itu adalah kenyataan, tetapi bukanlah
kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos
sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk
ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran,
yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak,
dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan
(ketidakbenaran).
Sesuatu dikatakan benar jika memenuhi kriteria kebenaran.
Kriteria tersebut seringkali disebut sebagai teori kebenaran,
diantaranya:
1. Teori koherensi/konsistensi memandang bahwa kebenaran
adalah keseuaian antara suatu pernyataan dengan
pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu
diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Suatu
pernyataan benar jika pernyataan itu berhubungan
(koheren) dengan pernyataan-pernyataan lain yang benar
atau pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten
dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Dengan demikian suatu putusan dianggap benar
apabila mendapat penyaksian (pembenaran) oleh putusan-
putusan lainnya yang terdahulu yang sudah
diketahui,diterima dan diakui benarnya. Landasan koherensi
inilah yang dipakai sebagai dasar kegiatan keilmuan untuk
menyusun pengetahuan yang bersifat sistematis dan
konsisten.
2. Teori korespondensi memandang bahwa kebenaran adalah
kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan
kenyataan sesuatu itu sendiri. Misalnya bila kita
menyatakan “gula itu rasanya manis”, maka pernyataan itu
adalah benar sekiranya dalam kenyataannya bahwa gula itu
rasanya memang manis. Sebaliknya jika pernyataan tidak
sesuai dengan materi pernyataan yang dikandungnya, maka
pernyataan itu salah, misalnya ada pernyataan yang
menyatakan “gula itu rasanya asin”. Dapat disimpulkan
bahwa sifat salah atau benar dalam teori korespondensi
disimpulkan dalam proses pengujian (verifikasi) untuk
menentukan sesuai atau tidaknya suatu kenyataan dengan
kenyataan sebenarnya.
3. Teori pragmatis menjelaskan kebenaran diukur dengan
kriteria apakah pernyataan atau konsekuensi tersebut
bersifat fungsional dalam kehidupan praktis, dengan kata
lain suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu
mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Kebenaran yang diperoleh menurut teori-teori kebenaran
tersebut adalah kebenaran yang sifatnya relatif (nisbi),
sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan.
Kebenaran absolut atau kebenaran mutlak berasal dari
Tuhan yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu.
Alam dan kehidupan merupakan sumber kebenaran yang
tersirat dari Tuhan untuk dipelajari dan diobservasi guna
kebaikan umat manusia. Penemuan kebenaran dapat diperoleh
baik dengan cara ilmiah maupun nonilmiah. Hartono Kasmadi
mengungkapkan bahwa penemuan kebenaran dapat diperoleh
dengan cara berikut:
1. Penemuan secara kebetulan, yaitu penemuan
berlangsung tanpa disengaja.
2. Penemuan coba dan ralat (trial and error). Terjadi tanpa
adanya kepastian akan berhasil atau tidaknya
kebenaran yang dicari.
3. Penemuan melalui otoritas atau kewibawaan, misalnya
orang-orang yang mempunyai kedudukan dan
kekuasaan sering diterima sebagai kebenaran
meskipun pendapatnya tidak didasarkan pada
pembuktian ilmiah.
4. Penemuan secara spekulatif dengan cara menduga-
duga.
5. Penemuan kebenaran melalui cara berpikir kritis dan
rasional. Cara berpikir yang ditempuh pada tingkat
permulaan dalam memecahkan masalah adalah dengan
berpikir analitis.
6. Penemuan kebenaran melalui penelitian ilmiah, yaitu
cara mencari kebenaran yang dipandang ilmiah yang
dilakukan melalui penelitian. (Hamdani, 2011: 39)
Dalam konteks ilmu pengetahuan kebenaran yang dicari
berupa kebenaran ilmiah, sebab kebenaran ilmiah inilah yang
membangun ilmu pengetahuan. Kebenaran ilmiah yang ingin
diraih melalui upaya memberikan makna terhadap berbagai
realitas sosial, dilakukan melalui metodologi penelitian.
Metodologi penelitian sebagai salah satu aspek dari ilmu
pengetahuan, mengkaji berbagai aspek dan langkah-langkah
mencari kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Konseksuensinya
kualitas kebenaran yang dihasilkan akan tergantung pada
kualitas prosedur kerja yang ditempuh. Apabila semua kriteria
dan persyaratan prosedur kerja terpenuhi, maka akan dapat
diraih kebenaran dengan kualitas yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
BAB III
KESIMPULAN
Keinginan manusia untuk memperoleh kebenaran yang
hakiki mendorong manusia untuk berfilsafat yaitu hasrat yang
besar untuk menemukan kebenaran sejati. Berfilsafat dilakukan
dengan berpikir filsafati dengan ciri-ciri: mendasar, menyeluruh
dan spekulatif. Berpikir filsafat yang mengikuti alur thingking,
feeling, sensing atau believing akan melahirkan produk
pemikiran filsafat berupa ilmu. Ilmu sebenarnya merupakan
pengetahuan yang tersusun secara sistematis.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, filsafat akan
melahirkan ilmu sehingga filsafat dapat disebut sebagai induk
dari ilmu pengetahuan. Ilmu akan membuat kehidupan menjadi
lebih baik. Kehidupan (dalam hal ini manusia) akan
memanfaatkan alam sebagai sumber belajar karena alam
mendorong manusia untuk berfilsafat.
Dalam rangka belajar dari alam manusia ingin mengetahui
makna dari segala sesuatu yang ada di alam. Makna dan
pemaknaan yang dilakukan manusia merupakan bagian dari
upaya dalam mencari kebenaran. Kebenaran dapat diperoleh
melalui beberapa cara, diantaranya secara kebetulan;
penemuan coba dan ralat; penemuan melalui otoritas atau
kewibawaan; penemuan secara spekulatif; penemuan dengan
cara berpikir kritis dan rasional; dan penemuan kebenaran
melalui penelitian ilmiah. Penemuan kebenaran yang dilakukan
melalui penelitian ilmiah ini menghasilkan kebenaran ilmiah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali Murfi. 2013. Hakekat Ilmu: “Mencari Alternatif Kebenaran Baru”. Diakses dari http://www.slideshare.net/AliMurfi/hakekat-ilmu-mencari-alternatif-kebenaran-baru?from_search=7 tanggal 23 September 2013.
Hamdani. 2011. Filsafat Sains. Bandung: Pustaka Setia.
Jujun S. Suriasumantri. 1985. Filsafat Ilmu. Jakarta: Sinar Agape Press.
Laurentius Dyson P. 2012. Teori-teori Kebenaran: Korespondensi, Koherensi, Pragmatik, Struktural Paradigmatik, dan Performatik. Diakses dari http://prof-d-l-fisip.web.unair.ac.id/artikel_detail-64129-Filsafat%20Ilmu-Teori%20kebenaran.html tanggal 23 September 2013 pukul 10:18.
Soetriono & SRDm Rita Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: CV. Andi Offset.