Upload
abdullah-shidqul-azmi
View
50
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
m
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
“Tidak Ku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku” Dari ini
ayat ini dapat ditafsirkan bahwa manusia mempunyai kewajiban untuk berbadah kepada
Allah SWt sebagai pencipta-Nya. Ibadah yang dimaksud dapat berupa ibadah mahdhoh
maupun ghoir mahdhoh. Salah satu bentuk ibadah mahdhoh adalah shalat. Shalat
diwajibkan bagi setiap mukmin laki-laki dan mukmin perempuan, terutama yang sudah
baligh; perempuan setelah keluarnya darah haid dan laki-laki setelah mimpi basah. Salah satu
syarat sah sholat adalah harus dalam keadaan suci, baik dari hadats besar maupun hadats
kecil. Kewajiban ini berlaku untuk setiap muslim baik dalam keadaan sehat maupun sakit.
Orang yang sakit tidak sama dengan yang sehat. Semua harus berusaha melaksanakan
kewajibannya menurut kemampuan masing-masing. Dengan ini nampaklah keindahan
syari’at dan kemudahannya. Banyak sekali kaum muslimin yang kadang meninggalkan sholat
dengan dalih sakit atau memaksakan diri sholat dengan tata cara yang biasa dilakukan orang
sehat. Akhirnya merasakan beratnya sholat bahkan merasakan hal itu sebagai beban yang
menyusahkannya. Solusinya adalah kewajiban mengenal hukum-hukum dan tata cara sholat
orang yang sakit sesuai petunjuk Rasulullah SAW dan penjelasan para ulama. Oleh karena
itu, dalam makalah ini kami akan menjelaskan bagaimana tata cara bersuci dan sholat dalam
keadaan sakit dengan harapan dapat bermanfaat dalam membimbing orang sakit agar tetap
dapat menjalankan ibadah, khususnya bersuci dan sholat sesuai dengan syari’at Islam.
1
BAB II
PEMBAHASAN
II. 1. ILUSTRASI KASUS
Ny. X, wanita, 65 tahun, mengeluh lumpuh pada badan sebelah kanan yang
menyebabkan pasien hanya dapat berbaring di tempat tidur selama satu minggu. Pasien
juga sering mengompol di tempat tidurnya. Keluarga pasien bertanya kepada dokter
mengenai hokum dan tata cara shalat serta tata cara bersuci. Keluarga pasien
mengatakan pasien sering terlihat murung dan terkadang menangis, namun pasien tidak
mau mengutarakan perasaannya.
II. 2. SHALAT 1,2
A. Definisi shalat
Shalat secara bahasa maknanya adalah doa. Allah SWT berfirman :
“Dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman
jiwa bagi mereka.” (Q.S. At- Taubah :103 )
B. Kefardhuan shalat
Shalat difardhukan pada malam Isra Mi’raj sebelum hijrah. Shalat adalah salah satu
rukun Islam setelah dua kalimat syahadat karena shalat mencakup kedua kalimat
tersebut. Shalat juga merupakan hal pertama yang dipersyaratkan Rasulullah setelah
tauhid. Rasulullah SAW bersabda ;
“Pokok segala perkara adalah Islam, tiangnya adalah shalat sedang puncaknya
adalah jihad fi sabilillah”.
C. Hikmah disyariatkannya Islam
Shalat merupakan bentuk rasa syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang
besar yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya. Shalat juga merupakan bentuk
penghambaan paling besar dimana didalamnya seseorang menghadap Allah SWT
dengan penuh ketundukkan dan kepatuhan kepada-Nya serta munajat kepada-Nya
melalui bacaan, zikir, dan doa. Shalat merupakan bentuk komunikasi antara seorang
2
hamba dengan Robb-Nya yang dengannya si hamba dapat mencapai ketentraman
hati.
D. Syarat sah shalat
Adapun syarat-syaratnya ada sembilan:
1. Islam
2. Niat
3. Berakal
4. Tamyiz (dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk)
5. Menghilangkan hadats
6. Menghilangkan najis
7. Menutup aurat
8. Masuknya waktu
9. Menghadap kiblat
E. Rukun shalat
Rukun shalat ada empat belas yang harus dijalankan, yaitu :
1. Berdiri tegak pada shalat fardhu bagi yang mampu
2. Takbiiratul-ihraam, yaitu ucapan: 'Allahu Akbar', tidak dengan ucapan lain.
3. Membaca Al-Fatihah
4. Ruku'
5. I'tidal (Berdiri tegak) setelah ruku'
6. Sujud
7. Bangun dari sujud
8. Duduk di antara dua sujud
9. Thuma'ninah dalam semua amalan
10. Tasyahhud Akhir
11. Duduk Tasyahhud Akhir
12. Shalawat atas Nabi SAW
13. Mengucapkan salam, yakni “Assalamulaikum Warahmatullah.” Yang utama
tidak ditambah dengan kata – kata “Wa barokaatuh“
14. Tertib antara tiap rukun
3
II. 3. SHALAT PADA ORANG SAKIT
A. Hukum-Hukum yang berhubungan dengan shalat orang sakit
1. Orang yang sakit tetap wajib sholat di waktunya dan melaksanakannya menurut
kemampuannya, sebagaimana diperintahkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
�م� �ط�ع�ت ت اس� م�ا ه� الل ق�وا ف�ات
Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.
(QS. At- Taghâbûn:16)
dan perintah Rasulullah SAW dalam hadits ‘Imrân bin Hushain:
Pernah Penyakit wasir menimpaku, lalu akau bertanya kepada Nabi SAWtentang
cara sholatnya. Maka beliau SAWmenjawab: “Sholatlah dengan berdiri, apabila
tidak mampu maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah.”
(HR Al-Bukhari)
2. Apabila berat melakukan setiap sholat pada waktunya maka diperbolehkan
baginya untuk men-jama’ (menggabung) antara shalat Zhuhur dan Ashar,
Maghrib dan ‘Isya baik dengan jama’ taqdim atau ta’khir.3 Hal ini melihat
kepada yang termudah baginya. Sedangkan shalat Shubuh maka tidak boleh
dijama’ karena waktunya terpisah dari shalat sebelum dan sesudahnya. Diantara
dasar kebolehan ini adalah hadits Ibnu Abas RA yang menyatakan:
�ع�ص�ر� و�ال الظ�ه�ر� �ن� �ي ب م� ل و�س� �ه� �ي ع�ل ه� الل ص�ل ى ه� الل ول� س� ر� ج�م�ع��و� ( ب
� أ ق�ال� م�ط�ر) و�ال� خ�و�ف) �ر� غ�ي ف�ي �ة� �م�د�ين �ال ب اء� �ع�ش� و�ال �م�غ�ر�ب� و�ال�ه�) م ت
� أ �ح�ر�ج� ي ال� �ي� ك ق�ال� �ك� ذ�ل ف�ع�ل� �م� ل اس) ع�ب �ن� ب ال� ق�ل�ت� �ب) ي �ر� كRasulullah SAW telah menjama’ antara Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan Isya’ di
kota Madinah tanpa sebab takut dan hujan. Abu Kuraib berkata: Aku bertanya
kepada Ibnu Abas radhiallahu ‘anhuma: Mengapa beliau berbuat demikian?
Beliau radhiallahu ‘anhuma menjawab: Agar tidak menyusahkan umatnya.
(HR Muslim)
3. Orang yang sakit tidak boleh meninggalkan sholat wajib dalam segala kondisinya
selama akalnya masih baik.4
4. Orang sakit yang berat untuk mendatangi masjid berjama’ah atau akan menambah
dan atau memperlambat kesembuhannya bila sholat berjama’ah di masjid maka
dibolehkan tidak sholat berjama’ah.3 Imam Ibnu al-Mundzir rahimahullah
4
menyatakan: Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat diantara ulama bahwa
orang sakit dibolehkan tidak sholat berjama’ah karena sakitnya. Hal itu karena
Nabi SAW ketika sakit tidak hadir di Masjid dan berkata:
اس� �الن ب �ص�ل@ �ي ف�ل �ر) �ك ب �ا �ب أ وا م�ر� “Perintahkan Abu Bakar agar mengimami sholat”. (Muttafaqun ‘Alaihi)5
B. Tata cara shalat orang sakit 6
1. Orang yang sakit harus melakukan shalat wajib dengan berdiri meskipun tidak
tegak, atau bersandar pada dinding, atau betumpu pada tongkat.
2. Bila sudah tidak mampu berdiri maka hendaknya shalat dengan duduk. Yang
lebih utama yaitu dengan posisi kaki menyilang di bawah paha saat berdiri dan
ruku.
3. Bila sudah tidak mampu duduk maka hendaknya ia shalat berbaring miring
dengan bertumpu pada sisi tubuhnya dengan menghadap kiblat, dan sisi tubuh
sebelah kanan lebih utama sebagai tumpuan. Bila tidak memungkinkan meghadap
kiblat maka ia boleh shalat menghadap kemana saja, dan shalatnya sah, tidak usah
mengulanginya lagi.
4. Bila tidak bisa shalat miring maka ia shalat terlentang dengan kaki menuju arah
kiblat. Yang lebih utama kepalanya agak ditinggikan sedikit agar bisa menghadap
kiblat. Bila tidak mampu yang demikian itu maka ia bisa shalat dengan batas
kemampuannya dan nantinya tidak usah mengulang lagi.
5. Orang yang sakit wajib melakukan ruku dan sujud dalam shalatnya. Bila tidak
mampu maka bisa dengan isyarat anggukan kepala. Dengan cara untuk sujud
anggukannya lebih ke bawah ketimbang ruku. Bila masih mampu ruku namun
tidak bisa sujud maka ia ruku seperti biasa dan menundukkan kepalanya untuk
mengganti sujud. Begitu pula jika mampu sujud namun tidak bisa ruku, maka ia
sujud seperti biasa saat sujud dan menundukkan kepala saat ruku.
6. Apabila dalam ruku dan sujud tidak mampu lagi menundukkan kepalanya maka
menggunakan isyarat matanya. Ia pejamkan matanya sedikit untuk ruku dan
memejamkan lebih banyak sebagai isyarat sujud. Adapun isyarat dengan telunjuk
yang dilakukan sebagian orang yang sakit maka saya tidak mengetahuinya hal itu
berasal dari kitab, sunnah dan perkataan para ulama.
7. Jika dengan anggukan dan isyarat mata juga sudah tidak mampu maka hendaknya
ia shalat dengan hatinya. Jadi ia takbir, membaca surat, niat ruku, sujud, berdiri
5
dan duduk dengan hatinya (dan setiap orang mendapatkan sesuai yang
diniatkannya).
8. Orang sakit tetap diwajibkan shalat tepat pada waktunya pada setiap shalat.
Hendaklah ia kerjakan kewajibannya sekuat dayanya. Jika ia merasa kesulitan
untuk mengerjakan setiap shalat pada waktunya, maka dibolehkan menjamak
dengan shalat diantara waktu akhir dzhuhur dan awal ashar, atau antara akhir
waktu maghrib dengan awal waktu isya. Atau bisa dengan jama taqdim yaitu
dengan mengawalkan shalat ashar pada waktu dzuhur, dan shalat isya ke waktu
maghrib. Atau dengan jamak ta’khir yaitu mengakhirkan shalat dzuhur ke waktu
ashar, dan shalat maghrib ke waktu isya, semuanya sesuai kondisi yang
memudahkannya. Sedangkan untuk shalat fajar, ia tidak bisa dijamak kepada
yang sebelumnya atau ke yang sesudahnya.
9. Apabila orang sakit sebagai musafir, pengobatan penyakit ke negeri lain maka ia
mengqashar shalat yang empat raka’at. Sehingga ia melakukan shalat dzuhur,
ashar dan isya, dua raka’at-raka’at saja sehingga ia pulang ke negerinya kembali
baik perjalanannya lama ataupun sebentar.
II. 4. THAHARAH (BERSUCI) 7, 8, 9,
Thaharah dalam hukum Islam, soal bersuci dan segala seluk-
beluknya termasuk bagian ilmu dan amalan yang penting, terutama
karena di antara syarat syarat sahnya shalat. Telah ditetapkan
bahwa seseorang yang akan mengerjakan shalat diwajibkan suci dari
hadats dan suci pula badan, pakaian, dan tempatnya dari najis.
Firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 222:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan
menyukai orng-orang yang menyucikan diri.”
Thaharah memiliki alat dan tujuan.
Adapun alat yang dapat digunakan untuk bersuci ada empat :
a. Air mutlak yaitu air yang suci dan mensucikan
b. Debu yang murni dan suci
c. Alat menyamak yaitu sesuatu yang kasar, kuat sehingga dapat
menghilangkan kotoran
6
d. Batu istinja dengan syarat harus suci, dapat menghilangkan
kotoran dan benda yang tidak dihormati
Adapun tujuan bersuci ada empat, yaitu:
1. Berwudhu
2. Mandi
3. Tayammum
4. Menghilangkan najis
Bersuci ada dua bagian
1. Bersuci dari hadats. Bagian ini khusus untuk badan, seperti
mandi, berwudu, dan tayamum.
2. Bersuci dari najis. Bagian ini berlaku pada badan, pakaian, dan
tempat.
Manfaat thaharah
Orang-orang yang suka berfikir pasti dapat meneliti bahwa
dibalik adanya perintah bersuci secara lahiriah ada yang lebih
penting lagi yaitu bersuci secara bathiniah. Oleh sebab itu,
pengertian bersuci bukan hanya sebatas yang lahir saja tetapi juga
mencakup yang bathin. Bila pengertian bersuci sebatas yang lahir
saja, sungguh jauh sekali pemahaman yang semacam itu dengan
yang dikehendaki dalam pengertian yang dituju oleh sabda
Rasulullah SAW yang berbunyi:
Maa Yuriidullahu Liyajala Alaikum Min Harajin Wallakin Yuriidu
Liyuthahhirakum
Artinya:
“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu”.
Manfaat thaharah ada empat, yaitu:
1. Membersihkan anggota-anggota lahiriah dari hadats kecil
maupun besar, najis-najis atau kotoran serta benda-benda
kelebihan yang tidak diperlukan.
2. Membersihkan tujuh anggota sujud dan segala anggota badan
lainnya dari perbuatan dosa dan maksiat.
7
3. Mensucikan hati dari perangai (tabiat) yang tercela dan sifat-
sifat serta watak kerendahan (madzmumah) yang terkutuk.
4. Mensucikan rahasia bathiniah dari lintasan dan ingatan kepada
sesuatu yang selain dari pada Allah SWT.
A. Wudlu
Wudhu adalah thaharah yang wajib dari hadats kecil, seperti buang
air kecil, buang air besar, keluar angin dari dubur (kentut), dan
tidur nyenyak, serta memakan daging unta.
Dalil untuk berwudhu’:
�م� �ك �د�ي �ي �م� و�أ �وا و�ج�وه�ك ل �ل�ى الص الة� ف�اغ�س� �م� إ �ذ�ا ق�م�ت �وا إ ذ�ين� آم�ن �ه�ا ال ي� �ا أ ي
�م� �ت �ن �ن� ك �ن� و�إ �ي �ع�ب �ك �ل�ى ال �م� إ �ك ل ج� ر�� �م� و�أ ك ء�وس� �ر� ح�وا ب اف�ق� و�ام�س� �م�ر� �ل�ى ال إ
�م� �ك �ح�د~ م�ن و� ج�اء� أ� ف�ر) أ و� ع�ل�ى س�
� ض�ى أ �م� م�ر� �ت �ن �ن� ك وا و�إ �ا ف�اط ه ر� �ب ن ج�
�ا @ب �م م�وا ص�ع�يد�ا ط�ي �ي �ج�د�وا م�اء� ف�ت �م� ت اء� ف�ل @س� �م� الن ت و� الم�س�� �ط� أ �غ�ائ م�ن� ال
�م� م�ن� �ك �ي �ج�ع�ل� ع�ل �ي ه� ل �ر�يد� الل �ه� م�ا ي �م� م�ن �د�يك �ي �م� و�أ �و�ج�وه�ك ح�وا ب ف�ام�س�
ون� �ر� ك �ش� �م� ت ك �ع�ل �م� ل �ك �ي �ه� ع�ل �ع�م�ت �م ن �ت �ي �م� و�ل ك �ط�ه@ر� �ي �ر�يد� ل �ك�ن� ي ج) و�ل ح�ر�
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka
mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat
buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air,
maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan
tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya
kamu bersyukur”. (Q.S. Al Maidah:6)
�و� ض أ �ت ى ي �ح�د�ث� ح�ت �ذ�ا ا �م� إ �ح�د� ك � ة� ا �ل� الله ص�ال �ق�ب � ي ال
8
“Allah tidak menerima shalat seseorang jika berhadas sampai dia berwudhu ”.
(HR. Bukhari Muslim)
Tata cara berwudhu:
1. Niat berwudhu di dalam hati, tanpa diucapkan, karena Nabi
SAW tidak pernah melafadzkan niat dengan lisan dalam
berwudhu, shalat, dan ibadah apapun. Allah SWT mengetahui
apa yang ada di dalam hati tanpa pemberitaan kita.
2. Membaca “Basmallah”.
3. Membasuh kedua telapak tangan (3x).
4. Berkumur serta menghirup air ke hidung (3x).
5. Membasuh seluruh wajah (batasan muka melebar antara dua
telinga) dan dari awal tempat tumbuh rambut kepala hingga
dagu (batasan memanjang) (3x).
6. Membasuh kedua tangan, dari ujung jari sampai siku. Di awali
dengan tangan kanan, kemudian tangan kiri (3x).
7. Mengusap kepala, yaitu dengan membasahi tangan kemudian
menjalankannya dari kepala bagian depan sampai bagian
belakang, kemudian mengembalikannya (mengembalikan tangan
tersebut dari belakang sampai ke depan lagi), (1x).
8. Mengusap kedua telinga dengan memasukkan jari telunjuk ke
dalam lubang telinga, dan mengusap bagian luar (belakang)
dengan ibu jari (1x).
9. Membasuh kedua kaki, yaitu dari ujung jari sampai mata kaki,
diawali dengan kaki kanan, kemudian kaki kiri (3x).
B.Tayammum
Tayammum adalah thaharah (bersuci) yang wajib dengan
menggunakan tanah (debu) sebagai pengganti wudhu dan mandi,
bagi orang yang memang tidak memperoleh air atau sedang dalam
kondisi berbahaya bila menggunakan air.
Tayammum dari segi bahasa ialah qasad (mensahajakan).
Tayammum ialah suatu kemudahan yang diberikan oleh Allah SWT
kepada umat Islam untuk dilakukan semasa menghadapi keadaan
yang menghalang daripada berwudu’ atau mandi wajib disebabkan
9
ketiadaan air atau kerana sakit bagi yang mengharuskan
melakukan ibadah. Tayammum pada syara’ ialah menyapu muka
dan kedua belah tangan meliputi siku dengan debu tanah yang
bersih mengikut syarat-syarat yang tertentu. Ia difardukan sebagai
ganti wudu’ atau mandi wajib .
Dari Huzaifah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda: “…..dan
(di antara keistimewaan yang diberikan Allah Ta’ala kepada kami
ialah) dijadikan bumi ini seluruhnya sebagai tempat sembahyang
untuk kami, dan tanahnya pula dijadikan untuk kami sebagai alat
untuk bersuci apabila kami tidak mendapat air. (HR.Muslim)
Tata cara tayammum :
1. Menepuk dua tapak tangan pada debu kali pertama untuk
menyapu muka.
2. Berniat: “Sahaja aku bertayammum kerana mengharuskan
fardlu sembahyang kerana Allah Ta’ala.” Masa niat : Ketika mula
memindahkan debu dan sehingga menyentuh sebahagian muka.
3. Menyapu muka.
4. Selesai menyapu muka.
5. Menepuk dua tangan ke debu pada kali kedua untuk menyapu
tangan.(Sebelum menepuk kedua tapak tangan kali kedua,
hendaklah dibersihkan kedua tapak tangan terlebih dahulu).
6. Menyapu tangan kanan dari belakang tapak tangan kanan
dengan empat perut jari tangan kiri dari hujung jari (selain ibu
jari) hingga naik ke siku.
7. Menyapu tangan kanan dari siku hingga ke ujung ibu jari.
8. Menyapu tangan kiri dari belakang tapak tangan dengan empat perut jari tangan
kanan (selain ibu jari) dari hujung jari hingga ke siku.
9. Menyapu tangan kiri dari siku hingga ke ujung ibu jari.
10
Catatan:
a. Untuk menyapu tangan, wajib ditanggalkan cincin, jam tangan dan gelang
sekiranya debu tidak sampai di bawahnya. Jika sampai debu , maka sunat sahaja
menanggalkannya.
b. Sunat menipiskan debu tanah pada tapak tangan sebelum disapukan ke anggota
tayammum.
II. 5. THAHARAH (BERSUCI) PADA ORANG SAKIT 11
1. Orang yang sakit wajib bersuci dengan air. Ia harus berwudhu jika berhadats kecil
dan mandi jika berhadats besar.
2. Jika tidak bisa bersuci dengan air karena ada halangan, atau takut sakitnya
bertambah, atau khawatir memperlama kesembuhan, maka ia boleh bertayamum.
3. Tata cara tayamum : Hendaknya ia memukulkan dua tangannya ke tanah yang suci
sekali pukulan, kemudian mengusap wajahnya lalu mengusap telapak tangannya.
4. Bila tidak mampu bersuci sendiri maka ia bisa diwudhukan, atau ditayamumkan
orang lain. Caranya hendaknya seseorang memukulkan tangannya ke tanah lalu
11
1 2 3 4
5 6 7 8
9
mengusapkannya ke wajah dan dua telapak tangan orang sakit. Begitu pula bila
tidak kuasa wudhu sendiri maka diwudhukan orang lain.
5. Jika pada sebagian anggota badan yang harus disucikan terluka, maka ia tetap
dibasuh dengan air. Jika hal itu membahayakan maka diusap sekali, caranya
tangannya dibasahi dengan air lalu diusapkan diatasnya. Jika mengusap luka juga
membahayakan maka ia bisa bertayamum.
6. Jika pada tubuhnya terdapat luka yang digips atau dibalut, maka mengusap balutan
tadi dengan air sebagai ganti dari membasuhnya.
7. Dibolehkan betayamum pada dinding, atau segala sesuatu yang suci dan
mengandung debu. Jika dindingnya berlapis sesuatu yang bukan dari bahan tanah
seperti cat misalnya,maka ia tidak boleh bertayamum padanya kecuali jika cat itu
mengandung debu.
8. Jika tidak mungkin bertayamum di atas tanah, atau dinding atau tempat lain yang
mengandung debu maka tidak mengapa menaruh tanah pada bejana atau sapu
tangan lalu bertayamum darinya.
9. Jika ia bertayamum untuk shalat lalu ia tetap suci sampai waktu shalat berikutnya
maka ia bisa shalat dengan tayamumnya tadi, tidak perlu mengulang tayamum,
karena ia masih suci dan tidak ada yang membatalkan kesuciannya.
10. Orang yang sakit harus membersihkan tubuhnya dari najis, jika tidak mungkin
maka ia shalat apa adanya, dan shalatnya sah tidak perlu mengulang lagi.
11. Orang yang sakit wajib shalat dengan pakaian suci. Jika pakaiannya terkena najis ia
harus mencucinya atau menggantinya dengan pakaian lain yang suci. Jika hal itu
tidak memungkinkan maka ia shalat seadanya, dan shalatnya sah tidak perlu
mengulang lagi.
12. Orang yang sakit harus shalat di atas tempat yang suci. Jika tempatnya terkena
najis maka harus dibersihkan atau diganti dengan tempat yang suci, atau
menghamparkan sesuatu yang suci di atas tempat najis tersebut. Namun bila tidak
memungkinkan maka ia shalat apa adanya dan shalatnya sah tidak perlu mengulang
lagi.
13. Orang yang sakit tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya karena ketidak
mampuannya untuk bersuci. Hendaknya ia bersuci semampunya kemudian
melakukan shalat tepat pada waktunya, meskipun pada tubuhnya, pakaiannya atau
tempatnya ada najis yang tidak mampu membersihkannya.
12
II. 6. APLIKASI KASUS
Pasien seorang wanita, 65 tahun, dengan ilustrasi kasus di atas merupakan
seorang geriatri yang mengalami imobilisasi karena hemiparesis dextra, inkontinensia
urin, dan kemungkinan depresi.
Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak/ tirah baring selama 3
hari atau lebih, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi
fisiologik. Di dalam praktek medis istilah imobilisasi digunakan untuk menggambarkan
sebuah sindrom degenerasi fisiologis yang merupakan akibat menurunnya aktivitas atau
deconditioning. Terdapat beberapa faktor risiko utama imobilisasi seperti kontraktur,
demensia berat, osteoporosis, ulkus, gangguan penglihatan, dan fraktur merupakan
beberapa faktor risiko utama imobilisasi. 12
Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai
pada orang berusia lanjut, khususnya perempuan. Inkontinensia urin didefinisikan
sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan
higienis penderitanya. Berbagai komplikasi dapat menyertai inkontinensia urin seperti
infeksi saluran kemih, kelainan kulit, gangguan tidur, problem psikosial seperti depresi,
mudah marah, dan rasa terisolasi. Secara tidak langsung, masalah-masalah tersebut juga
dapat menyebabkan dehidrasi karena umumnya pasien akan mengurangi minum karena
khawatir mengompol.13
Depresi merupakan penyakit mental yang paling sering pada populasi geriatric.
Terdapat beberapa factor biologis, fisis, psikologis, dan social yang membuat seorang
berusia lanjut rentan terhadap depresi. Perubahan pada sistem saraf pusat seperti
meningkatnya aktivitas monoamine oksidase dan berkurangnya konsentrasi
neurotransmitter dan kondisi multipatologi dengan berbagai penyakit kronik serta
polifarmasi dapat berperan dalam terjadinya depresi pada usia lanjut. Pasien-pasien ini
sering memperlihatkan kemunduran fungsi motorik, kurangnya kemampuan penilaian,
dan terganggunya fungsi eksekusi. Faktor-faktor psikososial, seperti kehilangan orang-
orang yang dikasihi dan faktor kehilangan fisik juga meningkatkan kerentanan depresi
dengan berkurangnya kemampuan untuk merawat diri serta hilangyan kemandirian. 14
Walaupun pasien tersebut di atas merupakan seorang geriatri dengan kondisi
multipatologi tetap diwajibkan shalat. Orang yang sedang sakit wajib pula mengerjakan
shalat, selama akal dan ingatannya masih sadar. Barang siapa yang berhalangan karena
sakit dan sebagainya sehingga ia tidak dapat berdiri dalam mengerjakan shalat fardhu,
13
ia boleh shalat sambil duduk. Jika tidak dapat duduk, ia boleh melakukannya sambil
berbaring. Bila demikian, rukuk dan sujudnya cukuplah dengan menundukkan kepala;
hanya saja sewaktu sujud, menunduknya itu lebih rendah dibandingkan sewaktu rukuk.
Mengenai cara shalat orang yang tidak bisa berdiri atau duduk ialah dengan cara
berbaring. Jika tidak bisa juga, sambil telentang dengan kedua kaki diarahkan ke kiblat
sekadar kemampuannya. Selain itu, jika merasa berat untuk melakukan sholat setiap
waktu, maka boleh menjama’ antara shalat Zhuhur dan Ashar, Maghrib dan ‘Isya baik
dengan jama’ taqdim atau ta’khir, sedangkan shalat Shubuh tidak boleh dijama’.
Adapun salah satu syarat sah shalat adalah bersuci. Walaupun pasien ini
mengalami inkontinensia urin dan imobilisasi tetap diharuskan untuk bersuci sebelum
melaksanakan shalat. Jika pasien tidak dapat bersuci dengan air, maka boleh
tayammum. Jika tidak dapat melakukannya sendiri dapat diwudlukan atau
ditayamumkan oleh keluarganya. Begitu juga dengan pakaian dan tempat shalat harus
disucikan. Jika pasien memungkinkan, pakaian dan tempat shalat harus dibersihkan dari
hadats dan najis, jika tidak memungkinkan dapat melakukan shalat apa adanya.
Selain itu, bagi geriatri yang rentan depresi keluarga harus bersabar dalam
membantunya melaksanakan ibadah. Keluarga juga harus dapat menerangkan bahwa
sakit itu merupakan nikmat Allah dan fungsi-fungsi tubuh pun menurun sesuai dengan
meningkatnya usia, sehingga diharapkan pasien dapat menerima keadaannya dengan
tetap melaksanakan kewajibannya untuk beribadah, di antaranya shalat dan bersuci.
BAB III
PENUTUP
Setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, baik sehat maupun sakit
mempunyai kewajiban untuk beribadah kepada Allah SWT, sebagai sang Khalik. Shalat
merupakan salah satu rukun Islam dan bentuk rasa syukur seorang hamba kepada Robb-Nya.
Adapun cara melakukannnya tidak dipaksakan, tapi sesuai kemampuan hamba-Nya. Islam
merupakan ajaran yang memberikan kemudahan kepada ummat-Nya. Salah satu kemudahan
yang dimaksud adalah keringanan shalat. Bagi orang yang sakit tetap diwajibkan shalat
14
sesuai dengan kemampuannya, dapat dengan cara berdiri, duduk, berbaring, ataupun dengan
isyarat. Dalam bersuci pun, yang merupakan salah satu syarat sah shalat, setiap muslim diberi
keringanan, yaitu dapat dengan wudlu atau tayammum.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tim Keilmuan Lembaga Imam dan Khatib di Kota Suci Makkah, Saudi Arabia. Fiqih
Praktis. Jakarta : Wamy ; 1998. hal 27-38.
2. Diabani Idris. Rukun dan Syarat Sah Shalat. Diambil dari: http://www.dakwatuna.com
3. Manhaj as-Saalikin hlm 82
4. Fatâwa Lajnah ad-Dâ’imah 8/69 (no. 782)
5. Shohih Fikih Sunnah 1/512-513
6. Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Vol.1. Pena. Jakarta: 2008.
15
7. http://pmmonline.co.cc/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=82
8. http://www.brunet.bn/gov/mufti/irsyad/pelita/2007/bil252.pdf
9. http://alqiyamah.files.wordpress.com/2008/03/tuntunan-dlm-thaharah-dan-shalat.pdf
10. http://members.lycos.co.uk/almawaddah/HIMPUNAN_FATWA2.pdf
11. Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Vol.2. Pena. Jakarta: 2008.
12. Setiati S, Govinda A. Imobilisasi pada Usia Lanjut. Dalam Buku Ajar Penyakit Dalam
Jilid III. Editor Aru Sudoyo. Jakarta: FKUI; 2007. hal 1388.
13. Setiati S, Pramantara IDP. Inkonteninsia Urin dan kandung Kemih Hiperaktif. Dalam
Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid III. Editor Aru Sudoyo. Jakarta: FKUI; 2007. hal 1392.
14. Rochmah W, Probosuseno. Depresi pada Usia Lanjut. Dalam Buku Ajar Penyakit Dalam
Jilid III. Editor Aru Sudoyo. Jakarta: FKUI; 2007. hal 1369.
16
17