Upload
anon-838832
View
3.920
Download
26
Embed Size (px)
Citation preview
1
Wawasan Masa Depan Tentang Sishankamneg (5-10 Tahun ke Depan)1
Antara Harapan dan Kemungkinan
Dewi Fortuna Anwar2
I. Pendahuluan
Gelombang reformasi yang terjadi di Indonesia dalam dua tahun terakhir ini, yang dipicu
oleh krisis ekonomi yang telah memporakporandakan berbagai hasil pembangunan yang diraih
dengan susah payah selama lebih kurang 30 tahun, menuntut perubahan-perubahan mendasar
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Krisis multidimensional yang dihadapi bangsa
Indonesia telah mendorong ambruknya pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Presiden
Suharto, serta meningkatkan konflik dan kekerasan dalam masyarakat yang mengancam
terjadinya disintegrasi teritorial maupun disintegrasi sosial. Hal ini menunjukkan bahwa
pemikiran-pemikiran maupun pendekatan, yang selama tiga dasawarsa lebih telah berhasil
memajukan perekonomian nasional serta menjadikan Indonesia sebagai negara yang semakin
diperhitungkan dalam pentas regional maupun global, ternyata tidak lagi mampu mengantisipasi
perubahan-perubahan besar yang terjadi di lingkungan internasional ataupun domestik. Malahan
1 Makalah yang disampaikan pada Lokakarya "Sistem Pertahanan dan Keamanan Negara
Dalam Perspektif 'Indonesia Baru' (5-10 tahun ke depan)" yang diselenggarakan The Habibie
Center. Hotel Gran Melia. Jakarta, 21-211 November 2000.
2 Dr Dewi Fortuna Anwar APU adalah Ahli Peneliti Utama pada PPW-LIPI dan Associate
Director for Research, The Habibie Center.
2
sebagian dari paradigma dan sistem yang ada terbukti semakin mempersulit proses pemulihan dan
kebangkitan Indonesia dari krisis.
Mau tidak mau bangsa Indonesia kini dituntut untuk mengkaji ulang nilai-nilai, paradigma
maupun sistem dan strategi yang selama ini telah dibakukan sebagai suatu kebenaran. Keinginan
bersama untuk membangun suatu "Indonesia Baru" yang lebih mampu memenuhi aspirasi
rakyatnya serta memiliki ketangguhan dalam menghadapi berbagai ancaman dan tantangan
merupakan agenda utama reformsi.
Sistem pertahanan dan keamanan negara, yang merupakan sub-sistem dari sistem nasional
secara keseluruhan, termasuk dalam bagian yang harus diperbarui. Bukanlah suatu hal yang
berlebihan apabila dikatakan bahwa keberhasilan dari berbagai agenda reformasi, terutama yang
berkaitan dengan upaya membangun demokrasi, sangat tergantung pada kemampuan bangsa ini
menciptakan sistem pertahanan dan keamanan yang profesional. Makalah singkat ini mencoba
menggambarkan harapan tentang sistem pertahanan dan keamanan yang dapat dibangun dalam
kurun waktu 5 sampai 10 tahun kedepan serta tantangan-tantangan yang dihadapi dalam
merealisasikannya.
Perlu dijelaskan di sini bahwa keamanan atau security sebenarnya menganut arti yang
lebih luas dari sekedar masalah keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) atau law and
order seperti yang sekarang ini lazim dipakai di Indonesia untuk merujuk pada ruang lingkup
tugas polisi. National Security adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan survival suatu
negara. Membangun sistem pertahanan dan keamanan negara merupakan bagian dari upaya
mempertahankan national security, walaupun harus dapat dibedakan secara jelas antara masalah
law and order, internal security dan external security, karena masing-masing menunjuk pada
ruang lingkup yang berbeda yang memerlukan penanganan yang berbeda pula. Di negara-negara
3
maju masalah national security pada dasarnya lebih terfokus pada aspek ancaman militer dari
luar, sedangkan bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia security cenderung diartikan
secara lebih komprehensif, karena fakror-faktor yang dapat mengancam survival negara-bangsa
saling kait mengait.
II. Sasaran
Wawasan masa depan tentang sishankamneg dalam kurun waktu 5 sampai 10 tahun
kedepan setidaknya harus mampu memenuhi beberapa kebutuhan utama sebagai berikut:
Pertama, sistem pertahanan dan keamanan yang dibangun harus efektif dalam
menjalankan misi utamanya menjamin keberlansungan eksistensi negara bangsa Indonesia, baik
dari ancaman yang datang dari luar maupun dari dalam negeri sendiri. Unsur-unsur utama
keberlangsungan negara-bangsa adalah terjaminnya kedaulatan dan integritas nasional, baik
secara teritorial maupun sosial.
Kedua, sishankamneg yang dikembangkan diharapkan dapat secepatnya membantu
memulihkan keamanan nasional dan rasa aman dalam masyarakat, agar Indonesia dapat segera
keluar dari krisis multidimensional yang kini sedang dihadapi. Berbagai ancaman keamanan yang
dihadapi Indonesia sekarang ini telah melahirkan citra yang sangat buruk sehingga semakin
mempersulit pemulihan ekonomi nasional yang sangat tergantung pada masuknya arus modal dari
luar negeri.
Ketiga, sishankamneg harus mampu melindungi aset bangsa termasuk wilayah perairan
nasional, baik untuk mengamankan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, mencegah
infiltrasi asing maupun untuk mengamankan lalu lintas pelayaran dari berbagai tindak kejahatan.
Keempat, sishankamneg diharapkan dapat turut menjamin keamanan dan stabilitas
regional. Walaupun dalam waktu 5-10 tahun kedepan sulit bagi Indonesia untuk membangun
4
sistem pertahanan yang memadai sebagai salah satu kekuatan regional, jurang kemampuan
dengan negara-negara disekitarnya harus diperkecil. Negara-bangsa yang lemah tidak saja
membahayakan bagi dirinya sendiri, tetapi juga dapat mengundang kerawanan bagi wilayah
sekitarnya, antara lain karena ia bisa mengundang intervensi pihak-pihak luar yang
kepentingannya saling bertentangan.
Kelima, sistem yang dikembangkan harus sejalan dengan, dan menjamin berlangsungnya
proses konsolidasi demokrasi. Merupakan suatu kenyataan bahwa sistem pertahanan dan
keamanan yang telah dikembangkan selama ini cenderung bertabrakan dengan kebutuhan untuk
membangun kehidupan sosial-politik yang demokratis, serta mengabaikan penghormatan terhadap
hak asasi manusia. Dengan kata lain, selain mampu menjamin state security, sistem pertahanan
dan keamanan yang dikembangkan juga harus mampu melindungi human security, baik pada
tataran societal (masyarakat) ataupun individual.
III. Permasalahan
Pada negara-bangsa yang telah memiliki sistem kenegaraan dan identitas nasional yang
telah mapan masalah security lebih terfokus pada kemungkinan ancaman militer dari luar,
sehingga perhatian lebih banyak diberikan pada masalah pertahanan serta hubungan antara-
bangsa. Dalam hal ini dikenal dua pendekatan, yaitu pendekatan realist dan pendekatan idealist.
Pendekatan realist memberikan penekanan pada kemampuan suatu negara menangkis ancaman
militer dari luar dengan membangun kekuatan militer, baik secara sendiri-sendiri, maupun secara
kolektif dengan membentuk kerjasama atau aliansi pertahanan dengan negara-negara bersahabat.
Sebaliknya, pendekatan idealist menekankan pada pembentukan jaringan dan institusi regional
maupun global yang dapat menekan kemungkinan terjadinya konflik antar-negara. Banyak
5
negara yang sekarang menggabungkan dua pendekatan yang berbeda ini guna melindungi
kepentingan nasional masing-masing. Kombinasi pendekatan ini dapat dikatakan sebagai hoping
for the best, but preparing for the worst, yaitu berupaya membangun kerjasama dan perdamaian
disatu pihak dan selalu siaga menghadapi setiap kemungkinan terburuk di lain pihak.
Namun seperti telah disinggung di atas bagi Indonesia, seperti bagi banyak negara
berkembang lainnya, masalah security menganut arti yang lebih luas daripada yang biasa dikenal
dinegara-negara maju. Di samping masalah-masalah yang berkaitan dengan ancaman yang
dihadapi negara-bangsa dari luar, bagi banyak negara-negara berkembang national security juga
menyangkut masalah-masalah internal, antara lain karena belum selesainya proses nation-
building atau pembentukan negara-bangsa. Hal ini tidak terlepas dari sejarah kelahiran negara-
negara ini yang sebagian besar merupakan produk kolonial.
Pemerintah-pemerintah kolonial, terutama di Asia dan Afrika menetapkan batas-batas
negara sesuka hatinya yang akhirnya mewariskan banyak persoalan bagi negara-negara yang
ditinggalkannya. Di satu pihak suku-suku bangsa yang berbeda digabung dalam satu unit negara,
sementara di lain pihak suku-bangsa yang sama dipisah dalam dua negara atau lebih. Tidaklah
mengherankan bahwa banyak negara berkembang, terutama negara-negara yang terdiri dari
berbagai suku-bangsa seperti Indonesia, menghadapi berbagai gerakan separatis ataupun
irredentist (keinginan bergabung dengan pihak lain di luar negara-bangsa yang didiaminya). Di
samping itu, walaupun secara formal negara-negara yang baru merdeka tersebut memiliki
kedaulatan yang diakui masyarakat internasional, namun dalam banyak kasus mereka tidak
memiliki kapasitas, baik berupa kemampuan ekonomi, prasarana dan sarana maupun institusi
untuk menegakkan otoritas pemerintahan di segenap wilayahnya. Masalah-masalah mendasar
tentang identitas nasional, bentuk negara, sistem politik dan pemerintahan yang hendak
6
dibangun, maupun mengenai pendekatan ekonomi dan orientasi luar negeri belum sepenuhnya
disepakati. Perbedaan pendapat mengenai hal-hal mendasar tersebut, yang tidak jarang dapat
memicu konflik terbuka menunjukkan bahwa masalah national security bagi negara-negara ini
bukanlah persoalan yang sederhana. Lebih dari itu masing-masing faktor saling berkaitan,
misalnya antara pembangunan ekonomi dan stabilitas politik sehingga pendekatan yang parsial
tidak akan mampu menyelesaikan masalah. Dalam hal demikian, mereduksi masalah national
security hanya pada lingkup tugas militer dan polisi saja jelas sangat menyederhanakan
persoalan.
Menyadari kompleksitas pembangunan negara-bangsa yang dihadapi, para elit politik
Indonesia sejak awal telah berupaya untuk menangani persoalan survival bangsa ini secara
komprehensif. Upaya mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan wilayah harus diimbangi
dengan upaya membangun rasa kebangsaan, sistem sosial, politik dan ekonomi untuk mengisi
kemerdekaan tersebut. Namun setelah 55 tahun merdeka Indonesia ternyata masih belum dapat
sepenuhnya mengatasi kelemahan-kelemahan bawaan yang dimilikinya, dan malahan sekarang
bangsa ini tengah menghadapi berbagai krisis baru yang tak kalah peliknya.
Dalam membangun national security, bangsa ini telah mengembangkan tiga doktrin
utama yang dapat dikatakan mewarnai budaya strategis Indonesia. Ketiga doktrin ini adalah
sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata), Wawasan Nusantara,
dan doktrin Ketahanan Nasional. Ketiga doktrin ini merupakan upaya mengatasi atau
menyiasasti berbagai kelemahan yang dimiliki.
Sishankamrata adalah doktrin yang lahir di era Revolusi, yang mengharuskan seluruh
rakyat Indonesia untuk turut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Hal ini tidak saja ditujukan
untuk membangun rasa kebangsaan dan kepemilikan terhadap negara, tetapi juga karena
7
Indonesia tidak mampu membangun suatu kekuatan perang yang profesional dan tangguh karena
terbatasnya dana, teknologi maupun sumber daya manusia yang terlatih. Sishankamrata
selanjutnya dijabarkan dengan membentuk sistem komando teritorial di mana kekuatan TNI yang
kecil dapat menjadi nukleus dari kekuatan rakyat yang dihimpun dan dilatih oleh TNI.
Keberadaan Komando Teritorial ditujukan
untuk meingkatkan kemampuan suatu wilayah untuk menangkal ancaman secara cepat.
Wawasan Nusantara merupakan konsepsi keutuhan wilayah daratan dan perairan
Nusantara untuk mencegah terpecah-belahnya pulau-pulau di Indonesia oleh laut yang masih
berada di bawah kepemilikan internasional. Perjuangan mewujudkan Wawasan Nusantara yang
dimulai sejak tahun 1957 selama ini lebih terfokus pada upaya mendapatkan pengakuan
8
pemikiran militer selama Orde Baru berlangsung. Doktrin Ketahanan Nasional yang merupakan
kata lain dari pendekatan comprehensive security, yang sesungguhnya merupakan pendekatan
yang tepat bagi negara-negara berkembang, telah diartikan secara sempit dan harfiah menjadi
pendekatan keamanan yang mengedepankan unsur militer.
Dengan alasan bahwa masing-masing unsur yang membentuk Ketahanan Nasional saling
berkaitan dan harus dibangun secara bersamaan, maka militer yang memandang dirinya sebagai
"dinamisator"" dan "katalisator" pembangunan memasuki hampir setiap lini kehidupan berbangsa
dan bernegara yang mendapatkan legitimasinya dari doktrin dwifungsi ABRI. Tugas kepolisian
untuk menegakkan hukumpun disatupadukan dengan pendekatan keamanan yang didominasi
militer sehingga organisasi kepolisian yang semestinya merupakan bagian dari institusi sipil
diintegrasikan dan disubordinasikan dalam institusi militer, khususnya di bawah TNI angkatan
darat. Sishankamrata hanya merupakan slogan kosong karena rakyat tidak pernah diberdayakan,
sedangkan sistem Komando Teritorial lebih banyak berfungsi sebagai alat untuk mengontrol
masyarakat demi kepentingan penguasa.
Di samping itu implementasi Wawasan Nusantara masih terfokus pada perjuangan
diplomatik sementara kemampuan Indonesia untuk mengamankan dan mengambil manfaat dari
kekayaan wilayah maritimnya yang begitu luas masih sangat terbatas. Wawasan pertahananpun
belum menunjukkan kepedulian pada wilayah perairan Nusantara karena lebih berorientasi pada
pertahanan darat , yang akhirnya diwujudkan dalam upaya mengontrol kehidupan rakyat demi
kepentingan politik yang lebih sempit.
Hasilnya adalah dominasi negara, khususnya militer, yang berlebihan terhadap masyarakat
yang ternyata justru memperlemah Ketahanan Nasional secara keseluruhan. Berbagai persoalan
baru muncul seperti maraknya pelanggaran hak asasi manusia yang akhirnya menurunkan
9
kredibilitas aparat keamanan, baik tentara maupun polisi, di mata masyarakat luas yang turut
menurunkan kredibilitas pemerintah dan institusi-institusi yang dimilikinya.
Sungguh suatu hal yang sangat ironis bahwa pendekatan keamanan yang diterapkan
selama lebih tiga dasawarsa akhirnya melahirkan ketidakamanan nasional secara luas. Hal ini
dapat dilihat dari makin maraknya tuntutan separatisme dengan menggunakan senjata dan teror,
konflik-konflik komunal yang menyebabkan korban kemanusian dan harta dalam jumlah besar
serta berbagai aksi kekerasan massa yang menunjukkan kurang berfungsinya hukum.
Namun di lain pihak, wawasan pertahanan dan keamanan yang berorientasi ke dalam
justru telah mendorong Indonesia untuk meninggalkan pendekataan kekuatan atau power dalam
berhubungan dengan negara-negara di sekitarnya. Apabila di dalam negeri pendekatan keamanan
menonjolkan peranan militer di luar negeri, khususnya di lingkungan Asia Tenggara, Indonesia
menjadi pendorong utama terbentuknya kerjasama regional ASEAN (Association of Southeast
Asian Nations) yang didirikan pada tahun 1967 yang lebih mengutamakan kerjasama dalam
bidang sosial-ekonomi, budaya dan politik serta justru menghindari kerjasama dalam bidang
pertahanan. Kerjasama regional ini telah berhasil menciptakan hubungan yang harmonis antara
sesama anggota yang melahirkan stabilitas dan keamanan regional secara keseluruhan. Memang
suatu kontradiksi bahwa di satu pihak pemerintah Orde Baru mampu mengembangkan
pendekatan idealist dalam berhubungan dengan negara-negara ASEAN yang tidak membenarkan
penyelesaian konflik dengan menggunakan ancaman atau kekerasan, namun sikap dan
pendekatan yang sama tidak ditunjukkan dalam berhubungan dengan rakyatnya sendiri.
Sekarang bangsa Indonesia hendak membangun sistem pertahanan dan keamanan yang
profesional, yang tidak saja mampu menjalankan misi dan fungsi masing-masing secara efektif,
tetapi juga sesuai dengan kaidah-kaidah demokrasi dan tuntutan perlindungan terhadap hak asasi
10
manusia. Kebutuhan membangun tentara yang tangguh untuk menjaga kedaulatan serta integritas
nasional, serta polisi yang handal dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dirasakan
sangat mendesak. Namun kemampuan negara untuk membiayai semua ini sangat terbatas, dan
pada saat yang bersamaan Indonesia masih tetap dihadapkan pada berbagai persoalan keamanan
dalam negeri yang jelas tidak dapat ditangani sendiri oleh polisi. Bagaimana konsepsi pertahanan
dan keamanan nasional yang sesuai dengan visi “Indonesia Baru” yang demokratis namun tetap
berpijak pada realita tantangan keamanan serta keterbatasan sumber daya yang dimiliki dalam
waktu 5-10 tahun kedepan?
IV. Pembangunan sishankamneg 5-10 tahun ke depan
Berbagai persoalan dan kontradiksi seperti telah diuraikan di atas menuntut adanya
perubahan mendasar dalam cara menangani hal-hal yang berkaitan dengan national security.
Pendekatan keamanan seperti yang telah diterapkan selama ini jelas tidak mampu menyelesaikan
masalah dan bahkan telah melahirkan berbagai masalah baru yang semakin memperlemah
ketahanan nasional. Wawasan sishankamneg seperti apakah yang sebaiknya dikembangkan dan
mungkin direalisasikan dalam kurun waktu 5-10 tahun mendatang?
Pendekatan awal terhadap penanganan masalah pertahanan dan keamanan telah
dilaksanakan dengan memisahkan institusi militer dan kepolisian secara formal. Hal ini
dilakukan untuk mencegah militerisasi masalah keamanan secara berlebihan seperti yang telah
terjadi selama pemerintahan Orde Baru. Organisasi kepolisian bertanggung jawab melaksanakan
penegakan hukum serta memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat secara keseluruhan,
sedangkan TNI bertanggung jawab mempertahankan negara terhadap ancaman militer dari luar.
Dengan kata lain wawasan pertahanan Indonesia lebih diorientasikan pada ancaman eksternal.
11
Pemisahan ini merupakan bagian dari proses demokratisasi dan de-militerisasi kehidupan sosial-
politik bangsa. Doktrin dwifungsi ABRI yang selama ini telah memungkinkan tentara untuk
berperan aktif dalam kehidupan sosial-politik bangsa juga telah diakhiri.
Namun tatangan national security yang kini dihadapi Indonesia tidak dapat diselesaikan
hanya dengan memisahkan kepolisian dari militer dan megubah orientasi TNI menjadi outward
looking. Walaupun hal ini merupakan bagian penting dari upaya membangun demokrasi ia belum
mampu memberikan jawaban pada masalah esensial yang dihadapi Indonesia, yaitu proses
nation-building yang belum sepenuhnya selesai, serta lemahnya kapasitas negara untuk
menjalankan fungsinya secara efektif, termasuk dalam melindungi kedaulatan negara-bangsa serta
kekayaan yang dimilikinya maupun dalam melindungi rakyatnya dari berbagai tindakan
kekerasan.
Di samping itu tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar konflik yang dewasa ini
terjadi berada dalam lingkungan internal atau merupakan intra-state conflicts, bukan inter-state
conflicts. Hal ini tidak saja merupakan masalah yang dihadapi Indonesia, tetapi telah merupakan
fenomena global sejak berakhirnya Perang Dingin yang antara lain ditandai dengan munculnya
berbagai gerakan nasionalisme etnis dan agama yang sempit serta berbagai konflik lainnya yang
bersifat lokal. Dalam masa transisi ini juga harus diakui bahwa kemampuan kepolisian Indonesia
untuk memelihara keamanan internal masih jauh dari memadai.
Menghadapi tantangan yang multidimensional serta serba keterbatasan dalam sumberdaya
tersebut memerlukan pendekatan pertahanan dan keamanan yang komprehensif serta imajinatif.
Hal ini sesungguhnya sudah ditunjukkan oleh bangsa Indonesia ketika harus mengatasi berbagai
krisis dalam perjalanan sejarahnya sejak masa perjuangan kemerdekaan sampai pada era awal
Orde Baru. Hanya saja keinginginan rezim Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan
12
akhirnya menimbulkan distorsi dalam implementasi pendekatan tesebut karena national security
telah direduksi menjadi regime security.
Untuk membangun sishankamneg yang diharapkan mampu melaksanakan fungsinya
secara efektif sesuai dengan kondisi yang dimiliki Indonesia maka tiga doktrin utama yang telah
dimiliki tetap dapat dipakai sebagai pijakan. Ketiga doktrin tersebut adalah Sishankamrata,
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Namun pelaksanaannya harus disesuaikan
dengan kebutuhan dan tantangan yang dihadapi sekarang serta tuntutan dasar masyarakat untuk
membangun kehidupan sosial-politik yang demokratis yang menghormati hak asasi manusia.
Walaupun Indonesia sedang dilanda krisis keamanan yang ditandai oleh banyaknya
konflik, baik konflik vertikal antara rakyat dengan pemerintah maupun konflik horizontal antara
elemen-elemen dalam masyarakat, pendekatan yang harus dipakai untuk mengatasinya sedapat
mungkin menghindari pendekatan keamanan. Penggunaan kekerasan dalam mengatasi konflik
domestik, kecuali dalam kasus-kasus pemberontakan bersenjata melawan pemerintahan yang sah,
bukanlah merupakan suatu pendekatan yang sah atau legitimate, baik di mata masyarakat sendiri
maupun dalam pandangan masyarakat internasional. Sebagian besar konflik yang sekarang
terjadi di Indonesia harus diselesaikan melalui pendekatan sosial-politik, ekonomi dan hukum,
karena hubungan antara negara dan rakyat harus didasari oleh kesepakatan bersama dan tidak
berdasarkan penerapan kekuasaan secara sepihak oleh negara. Begitu juga konflik antar-
masyarakat tidak dapat diselesaikan melalui kekerasan ataupun pendekatan legal-formal saja,
tetapi harus berupaya mencari dan mengatasi akar permasalahannya. Semua ini berada dalam
ruang lingkup politik, bukan dalam wilayah pertahanan dan keamanan.
Inilah perbedaan mendasar antara lingkup domestik dengan arena internasional. Kendati
negara-negara di dunia sekarang ini telah berupaya menciptakan perdamaian antara-bangsa
13
namun setiap negara tetap diperbolehkan untuk membangun kekuatan militer serta
menggunakannya secara sah demi menjaga kepentingan nasionalnya apabila mendapat ancaman
dari negara lain. Hal ini berkaitan dengan wujud sistem internasional yang pada dasarnya anarkis,
di mana masing-masing negara bangsa berupaya memperjuangkan kepentingan nasionalnya dan
meningkatkan kekuatan yang dimilikinya vis-a-vis negara-negara lain. Terbentuknya kerjasama
regional dan hubungan saling ketergantungan, terutama dalam bidang ekonomi, belum dapat
sepenuhnya mengubah wujud sistem internasional yang kompetitif tersebut. Tentara yang
berperang untuk mempertahankan negerinya dari ancaman luar dianggap pahlawan dan patriot,
namun apabila tindakan yang sama dipakai untuk memerangi ancaman yang datang dari dalam
negeri, yang bersangkutan dapat dituduh telah melakukan tindakan kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Inti dari upaya membangun national security bagi Indonesia yang masih dalam proses
nation-building tidak dapat tidak adalah membangun Ketahanan Nasional atau National
Resilience. Artinya doktrin Ketahanan Nasional tetap relevan dalam kurun waktu pendek dan
menengah, sampai suatu saat Indonesia menjadi negara-bangsa yang sudah mapan. Dengan
demikian, mau tidak mau sebagian besar orientasi atau wawasan strategis Indonesia masih
melihat ke dalam, tanpa tentu saja mengabaikan lingkungan luar yang dapat mempengaruhi
pencapaian sasaran pembangunan ketahanan nasional tersebut.
Seperti telah disinggung di atas pendekatan Ketahanan Nasional menunjukkan
pemahaman bahwa pada dasarnya masalah national security Indonesia memiliki cakupan yang
luas, berkaitan dengan kelemahan-kelemahan struktural dari suatu negara yang baru merdeka dan
memiliki sumber daya terbatas. Di samping membangun institusi pertahanan dan keamanan,
pembangunan di bidang-bidang lainnya seperti bidang politik, ekonomi dan sosial menjadi bagian
14
dari pembangunan Ketahanan Nasional secara menyeluruh, karena ketertinggalan dalam satu
bidang dapat mempengaruhi kinerja bidang-bidang lainnya. Kebenaran dari saling kait-
mengaitnya berbagai elemen Ketahanan Nasional tersebut dapat dilihat secara nyata dari
pengalaman Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini. Bermula dari krisis keuangan, Indonesia
akhirnya mengalami krisis ekonomi yang lebih luas yang akhirnya melahirkan krsisi sosial,
politik dan keamanan.
Membicarakan masalah Ketahanan Nasional maka bangsa Indonesia harus memberikan
perhatian yang memadai terhadap setiap komponen yang menjadi tonggak-tonggak utamanya.
Dalam kurun waktu 5-10 tahun kedepan prioritas harus diberikan pada upaya membangun dan
memperkuat institusi serta meningkatkan kemampuan masing-masing institusi dalam
menjalankan fungsi utama yang diemban (institution and capacity building). Hal ini tidak saja
berlaku bagi institusi militer yang bertanggung jawab dalam masalah pertahanan dan polisi yang
mengemban misi kamtibmas, tetapi juga bagi institusi politik, hukum, ekonomi dan sosial.
Seperti telah disinggung sebelumnya, pendekatan yang parsial tidak akan mampu menyelesaikan
masalah karena krisis politik dapat menjadi ancaman keutuhan bangsa apabila ia menyulut
terjadinya konflik terbuka dalam masyarakat. Begitu juga dengan berlanjutnya krisis ekonomi
dan sosial yang dapat semakin melemahkan kemampuan negara-bangsa untuk bertahan hidup,
terlebih apabila terjadi disintegrasi sosial berdasarkan perbedaan suku, ras dan agama yang
akhirnya dapat menghancurkan komitmen bersama tentang identitas nasional.
Namun perlu ditegaskan bahwa diterapkannya doktrin Ketahanan Nasional yang
komprehensif bukan berarti menerapkan pendekatan yang integralistik yang cenderung
mencampuradukkan satu bidang dengan bidang lainnya tanpa adanya pembagian wewenang dan
fungsi yang jelas seperti yang terjadi selama Orde Baru. Pencampuradukkan bidang-bidang ini
15
semakin diperburuk oleh keterlibatan militer di berbagai tempat di luar kompetensinya. Kedepan
harus ada spesialisasi dan profesionalisme dalam pengembangan setiap bidang sehingga masing-
masing institusi dapat tumbuh secara lebih kokoh dan mandiri. Hal ini penting agar di masa yang
akan datang ambruknya salah satu tiang penyangga Ketahanan Nasional tidak lagi menyebabkan
rubuhnya seluruh bangunan nasional seperti yang baru saja kita alami dengan krisis ekonomi.
Negara-negara tetangga Indonesia yang juga turut dilanda krisis ekonomi seperti Korea Selatan
dan Thailand telah pulih kembali karena krisis ekonomi tidak meyebabkan krisis multi-
dimensional. Kedua negara tersebut telah memiliki institusi-institusi negara yang lebih mapan,
terutama di bidang politik dan hukum, sehingga mereka dapat menfokuskan perhatian pada
program pemulihan ekonomi. Berbeda dengan di Indonesia dimana bangunan yang tadinya
kelihatan kokoh dan megah, yang ditopang oleh pertumbuhan ekonomi yang cepat, ternyata
belum memiliki tonggak-tonggak lainnya yang kokoh sehingga ketika krisis ekonomi terjadi
semuanya harus ditata ulang dan dibangun kembali.
Khusus untuk pengembangan sistem pertahanan dan keamanan negara secara lebih
spesifik, maka hendaknya kedepan ini Indonesia dapat merealisasikan doktrin Wawasan
Nusantara dan Sishankamrata secara lebih baik dan jujur. Kedua doktrin ini diharapkan dapat
memberikan tempat yang tepat dan terhormat pada militer, meningkatkan keamanan terhadap
wilayah dan penduduk Indonesia dari berbagai kegiatan luar yang merugikan, membantu
menjamin berlansungnya demokratisasi, memberdayakan rakyat serta mengurangi dikotomi
antara sipil dan militer.
Walaupun tadi dikatakan bahwa doktrin Ketahanan Nasional lebih berorientasi pada
pembangunan dalam negeri Indonesia tidak dapat mengabaikan aspek lingkungan strategis.
Memang diyakini bahwa dalam jangka waktu pendek dan menengah Indonesia tidak menghadapi
16
ancaman militer dari luar. Ancaman perang terbuka berskala besar di kawasan Asia Tenggara,
ataupun di Asia Pasifik semakin rendah kemungkinannya, terutama karena ada upaya serius dari
negara-negara di kawasan ini untuk meningkatkan kerjasama serta membangun rasa saling
percaya. Hal ini dapat dilihat dari munculnya beberapa organisasi dan forum kerjasama regional
seperti ASEAN, APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), ARF (ASEAN Regional Forum)
dan terakhir kerjasama dalam wadah ASEAN + 3 (China, Jepang, Korea Selatan). Di
Semenanjung Koreapun sekarang sudah ada pendekatan perdamaian yang mengurangi
kemungkinan terjadinya konflik terbuka. Hanya masalah Taiwan yang masih mengundang
kerawanan regional di wilayah Asia Timur. Namun potensi konflik-konflik berskala kecil serta
gangguan keamanan lainnya tetap tinggi di kawasan ini.
Potensi konflik terbesar ialah konflik di wilayah perairan yang dipicu oleh adanya
kompetisi terhadap kekayaan yang terkandung di dalam wilayah maritim. Diberlakukannya
Hukum Laut tentang Archipelagic Principle telah memperluas wilayah perairan masing-masing
negara kepulauan. Hal ini juga memicu persengketaan perbatasan antara negara-negara tetangga.
Di samping itu, walaupun secara formal wilayah perairan nasional diakui sebagai wilayah
kedaulatan Indonesia, namun perlindungan hukum internasional terhadap kedaulatan suatu negara
di wilayah maritimnya tidak sama dengan perlindungan kedaulatan di darat. Hukum internasional
sama sekali tidak memberi toleransi pada intervensi atau penetrasi militer asing terhadap negara
lainnya, seperti dapat dilihat dari reaksi keras PBB terhadap tindakan pasukan perang Iraq di
Kuwait. Namun pelanggaran-pelanggaran wilayah maritim oleh kapal-kapal perang asing, atau
pencurian ikan yang dilakukan nelayan-nelayan asing tidak mendapat perlindungan serupa dari
PBB. Indonesia berhak atas Wawasan Nusantaranya, tetapi pengamanan wilayah dan
pemanfaatan aset yang dikandungnya sepenuhnya terpulang pada kemampuan Indonesia sendiri.
17
Wilayah perairan di sekitar Indonesia dan Laut Cina Selatan memang memiliki potensi
konflik dan kerawanan yang tinggi. Sengketa wilayah di kepulauan Spratley antara Cina dan
beberapa negara ASEAN merupakan salah satu potensi konflik yang semakin menyita perhatian
negara-negara di kawasan ini dalam dekade terakhir. Cina mengklaim seluruh kepulauan di Laut
Cina Selatan sebagai miliknya, sedangkan Vietnam. Malaysia, Filipina, Brunei dan Taiwan
mengklaim bagian-bagian dari gugus kepulauan tersebut. Apabila penyelesaian damai tidak dapat
disepakati maka konflik di Laut Cina Selatan juga akan berdampak pada keamanan perairan
Indonesia.
Wilayah perairan di sekitar Indonesia dan Laut Cina Selatan juga merupakan alur lalu
lintas yang sangat padat karena menghubungkan negara-negara di Asia Timur dengan Lautan
Hindia. Jalur laut ini merupakan lifeline atau saluran kehidupan bagi Jepang, Korea Selatan dan
Taiwan, terutama untuk lalulintas sumber energi dan bahan baku serta jalur ekspornya. Dengan
kata lain wilayah ini memiliki nilai startegis yang sangat tinggi. Pada saat yang bersamaan,
padatnya lalu lintas laut dan lemahnya pengawasan negara-negara pantai terhadap keamanan
pelayaran telah menjadikan wilayah perairan ini rawan terhadap aksi perompakan yang disinyalir
tertinggi frekuensinya di dunia. Hal ini jelas sangat membahayakan karena di samping resiko
pelayaran yang semakin tinggi, aksi perompakan juga dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan
yang lebih besar seperti tumpahnya minyak yang tentu saja akan merusak lingkungan hidup.
Tidak kalah pentingnya, aksi pencurian ikan dan pengerukan kekayaan yang terkandung di
wilaytah perairan Indonesia semakin mencemaskan. Di saat kapal-kapal nelayan asing
menangkap ikan di kawasan Nusantara, nelayan-nelayan Indonesia hidup dalam kemiskinan
karena semakin berkurangnya tangkapan mereka. Seharusnya Indonesia dapat menikmati
kekayaan yang dikandung perairannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun
18
kemampuan untuk itu sangat terbatas.
Dengan adanya pembagian tugas yang lebih tegas antara polisi dan militer, maka kedepan
diharapkan bahwa sistem pertahanan Indonesia betul-betul memiliki Wawasan Nusantara,
sehingga laut tidak lagi memisahkan pulau-pulau di Indonesia tetapi berperan sebagai perekat.
Indonesia harus mampu merealisasikan kemenangan diplomatiknya untuk mendapatkan
pengakuan terhadap Archipelagic Principle dengan membangun kekuatan pertahanan yang
memadai untuk melindungi segenap wilayah tanah-Air, di darat maupun di laut. Ini berarti bahwa
harus ada upaya untuk memberikan perhatian yang lebih besar pada Angkatan Laut dan Angkatan
Udara, yang tentu saja membutuhkan dana yang cukup besar untuk melengkapi peralatannya.
Mau tidak mau, untuk mengamankan wilayah Nusantara dan segenap kekayaan yang
dikandungnya yang begitu luas Indonesia tidak dapat menghindar dari tuntutan pembangunan
sistem pertahanan yang padat modal dan teknologi.
Namun penerapan Wawasan Nusantara yang lebih ditujukan untuk memberikan perhatian
yang seimbang antara daratan dan perairan belum dapat mengatasi problema disintegrasi nasional
dan disintegrasi sosial yang masih kita hadapi karena belum tuntasnya proses nation-building.
Pembangunan berbagai institusi dalam kerangka Ketahan Nasional diharapkan dapat menjawab
sebagian dari kelemahan-kelemahan dasar ini, terutama dengan menyediakan format politik dan
mekanisme yang dapat menyalurkan aspirasi rakyat, serta sistem perekonomian yang tidak hanya
mendorong pertumbuhan tetapi juga memberikan kesempatan yang lebih adil pada setiap
komponen masyarakat. Tetapi semua ini mungkin belum memadai untuk menumbuhkan rasa
kebangsaan yang didasari ikatan emosional dan intelektual yang kuat terhadap Indonesia,
melebihi harapan terhadap pemenuhan materi taupun keuntungan-keuntungan lainnya. Ikatan
emosional ini kelihatan cukup nyata di era perjuangan melawan penjajah, namun belakangan ini
19
semakin melemah. Hal ini antara lain disebabkan oleh berkurangnya rasa memiliki rakyat
terhadap negara-bangsa karena dominasi negara yang begitu berlebihan sehingga penguasa seolah
mempunyai hak monopoli dalam mendefinisikan nasionalisme.
Salah satu upaya untuk membangun rasa kebersamaan dan mengurangi ancaman
disintegrasi nasional ialah dengan menerapkan Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta
(sishankamrata) secara benar seperti yang pernah dialami semasa revolusi kemerdekaan. Hal ini
dapat dilakukan dengan mengajak masyarakat luas untuk turut memikirkan dan terlibat dalam
sistem pertahanan dan keamanan negara, misalnya dengan menerapkan wajib militer. Tujuan dari
wajib militer bukanlah untuk menyiapkan suatu kekuatan bersenjata dalam jumlah besar untuk
mengantisipasi peperangan, tetapi lebih difokuskan pada upaya nation building.
Memberikan rakyat kesempatan untuk dilatih membela negara dalam jangka waktu
tertentu, seperti yang dilakukan beberapa negara lainnya, dinilai merupakan suatu cara yang
cukup efektif untuk meningkatkan kecintaan dan kesadaran bernegara, di samping tentu saja
meningkatkan kemampuan masyakarat secara keseluruhan melakukan kegiatan bela negara
apabila diperlukan. Kemauan pemerintah untuk mengajak rakyat terlibat dalam kegiatan bela
negara, yang sesungguhnya juga diamanatkan oleh Konstitusi, tentu juga mengharuskan adanya
kepercayaan pemerintah terhadap rakyat. Selama ini sishankamrata tidak diterapkan karena pada
dasarnya pemerintah, khususnya militer, khawatir bahwa rakyat yang telah terlatih tersebut dapat
menggunakan kemampuannya untuk melawan pemerintah.
Sishankamrata bukan berarti militerisasi kehidupan sipil, namun ia dapat mempersempit
jurang yang selama ini ada antara sipil dan militer karena mengurangi eksklusivitas militer.
Tersedianya kekuatan cadangan yang cukup besar juga memungkinkan Indonesia untuk tetap
mempertahankan jumlah personil angkatan darat yang relatif kecil. Di era damai kegiatan lebih
20
dipusatkan pada civic mission seperti membantu korban bencana alam dan kegiatan-kegiatan
kemanusiaan lainnya yang akan semakin mendekatkan TNI pada rakyat.
Di lain pihak penjabaran sishankamrata dalam bentuk Komando-Komando teritorial masih
merupakan kontroversi. Di satu pihak ada pendapat yang menyatakan bahwa keberadaan Kodam
tetap penting untuk menjaga integritas nasional dari kemungkinan ancaman separatisme. Di lain
pihak ada pandangan bahwa keberadaan Kodam merupakan hambatan bagi demokrasi karena
militer tetap akan berperan dalam institusi sosial-politik. Masalah ini tentu harus dicarikan jalan
keluarnya secara bertahap sehingga kedua sasaran yang kelihatan bertentangan ini tidak sama-
sama dirugikan. Idealnya dalam negara Indonesia yang demokratis tidak ada lagi birokrasi militer
yang berada sejajar dengan birokrsi sipil dan cenderung lebih berpengaruh, terutama di daerah
luar Jawa. Namun pembubaran Kodam secara mendadak tanpa suatu persiapan yang matang
dapat mengundang permasalahan baru.
Wawasan pertahanan dalam 5-10 tahun kedepan diharapkan dapat menyelesaikan
masalah keberadaan Kodam ini dengan baik, antara lain dengan meningkatkan jumlah dan
kapasitas polisi sehingga TNI betul-betul tidak lagi dilibatkan dalam penanganan masalah
keamanan dalam negeri, kecuali dalam situasi darurat seperti terjadinya pemberontakan
bersenjata. Pembubaran Kodam dapat dimulai secara bertahap, diawali dengan daerah-daerah
yang selama ini relatif aman. Dalam jangka waktu menengah dan panjang sistem pertahanan
Indonesia diharapkan akan lebih menyerupai apa yang dimiliki negara-negara maju di mana
militer tinggal di basis-basis yang tersebar di seluruh negeri namun tidak terlibat dalam sistem
pengaturan keamanan setempat secara khusus.
21
V. Kesimpulan
Pembaruan dalam sistem pertahanan dan keamanan negara merupakan salah satu agenda
utama reformasi. Hal ini berkaitan dengan sangat dominannya peranan militer di masa Orde Baru
sehingga telah melahirkan pendekatan keamanan yang berlebihan dan merancukan perbedaan
antara fungsi pertahanan dan fungsi keamanan dan ketertiban masyarakat. Doktrin Ketahanan
Nasional yang sesungguhnya cukup tepat untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dasar yang
dimiliki Indonesia telah terdistorsi sedemikian rupa karena terjadinya penetrasi militer dalam
hampir setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Begitu juga Doktrin Wawasan
Nusantara dan Sishankamrata tidak diterapkan sebagaimana mestinya, sehingga sistem
pertahanan dan keamanan yang berkembang selama ini lebih menekankan pada kontrol negara
terhadap masyarakat.
Dalam mewujudkan “Indonesia Baru” yang demokratis dan menghormati hak asasi
manusia maka diperlukan suatu pendekatan pertahanan dan keamanan yang sesuai dengan nilai-
nilai universal tersebut. Spesialisasi fungsi dan profesionalisme harus menjadi rujukan utama
sehingga tidak lagi terjadi pencampuradukan fungsi tentara dan fungsi polisi, dua institusi yang
sangat berbeda. Militer terutama bertanggung jawab terhadap pertahanan negara terhadap
ancaman kedaulatan dan disintegrasi yang bercorak militer, sedangkan polisi bertanggung jawab
menegakkan hukum. Peranan militer dalam kehidupan sosial-politik betul-betul harus diakhiri
karena tidak sesuai dengan kaidah demokrasi.
Namun harus diakui bahwa persoalan keamanan secara luas bagi negara yang masih dalam
proses nation building seperti Indonesia jauh lebik kompleks dari masalah pertahanan dan
kemanan yang merujuk pada fungsi militer dan polisi. National security tidak saja perlu
dipertahankan tetapi masih perlu dibangun dengan memperkuat institusi-institusi kehidupan
22
berbangsa dan bernegara secara komprehensif sesuai konsep Ketahanan Nasional. Dengan
demikian pendekatan yang parsial dalam menganani masalah national security tidak akan mampu
menyelesaikan insecurity dilemma yang masih dihadapi Indonesia serta banyak negara-negara
berkembang lainnya. Institusi-institusi politik, ekonomi, sosial dan hukum, keamanan dan
pertahanan harus dibangun secara bersamaan dan masing-masing harus dikembangkan
kemandiriannya sehingga apabila salah satu bagian mengalami krisis ia tidak akan menyebabkan
bagian-bagian lainnya ikut ambruk.
Wawasan pertahanan dan keamanan negara dalam 5-10 tahun kedepan diusulkan tetap
menggunakan doktrin-doktrin utama yang mendasari budaya strategis Indonesia sebagai pijakan
namun pelaksanaannya harus disesuaikan dengan tuntutan dan tantangan masa kini. Doktrin-
doktrin tersebut adalah Sishankamrata, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Ketiga
Doktrin ini masih dianggap relevan untuk mengatasi problema negara berkembang yang terdiri
dari kepulauan dan perairan serta penduduk yang sangat majemuk seperti yang dimiliki Indonesia.
Hanya saja pendekatan integralistik dan pendekatan keamanan dalam menangani masalah-
masalah kebangsaan dan kenegaraan sudah perlu ditinggalkan.