Upload
others
View
28
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH
KONTAMINASI Aspergillus flavus PENGHASIL AFLATOKSIN
PADA KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.)
Oleh:
Rahmawati
NIP. 198404092008122002
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2010
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II KACANG TANAH 4
BAB III CENDAWAN Aspergillus flavus 8
BAB IV KONTAMINASI AFLATOKSIN 13
DAFTAR PUSTAKA 27
BAB I
PENDAHULUAN
Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan komoditas bahan pangan
yang penting di Indonesia setelah beras, jagung dan kedelai. Kacang tanah
dibutuhkan oleh masyarakat sebagai bahan baku industri seperti minyak, tepung
kacang, bumbu sate, bahan pengisi kue kering dan roti, pakan ternak, maupun
produk olahan lain yang siap dikonsumsi seperti kacang rebus, kacang asin,
kacang atom, dan kacang garing. Adanya keragaman produk olahan kacang tanah
tersebut selain memacu usaha para petani untuk meningkatkan produksi kacang
tanah, turut pula memacu pengembangan agroindustri, terutama di daerah-daerah
sentra produksi kacang tanah.
Peningkatan produksi kacang tanah kadang-kadang tidak diikuti dengan
penanganan pasca panen yang baik, seperti tempat penyimpanan dengan kondisi
lingkungan yang kurang tepat sehingga menyebabkan kerusakan pada hasil panen.
Salah satu penyebab kerusakan tersebut adalah serangan mikroorganisme.
Cendawan merupakan mikroorganisme penyebab kerusakan pada kacang
tanah dan biji-bijian yang lain. Biji kacang tanah yang mempunyai kelembaban
tinggi dan kulit biji yang pecah paling rentan terkontaminasi oleh cendawan. Pada
kondisi yang sesuai, spora-spora cendawan yang terbawa dari ladang akan masuk
ke dalam biji dan berkembang di bawah kulit biji.
Cendawan yang dapat ditemukan pada kacang tanah dan biji-bijian yang lain
adalah dari genus Aspergillus, Mucor, Rhizopus, Monascus, Fusarium, Phoma,
Cladosporium, Scopulariopsis, dan Penicillium (Raper and Fennell, 1965; Samson
et al., 1995; Bulaong dan Dharmaputra, 2002; Dharmaputra, 2004). Selain
menyebabkan kerusakan pada penampakan biji, cendawan kacang tanah tersebut
juga dapat menghasilkan suatu zat toksin yang disebut mikotoksin.
Salah satu mikotoksin berbahaya yang dihasilkan oleh cendawan pada
kacang tanah adalah aflatoksin. Aflatoksin dihasilkan oleh cendawan jenis
Aspergillus flavus. Aflatoksin bersifat karsinogenik sehingga sangat berbahaya
bagi kesehatan, bahkan dapat menyebabkan kematian pada hewan dan manusia.
Dharmaputra et al., (1991) dalam Dharmaputra (2002) melaporkan
mengenai kandungan aflatoksin pada 35 sampel kacang tanah yang diperoleh dari
15 lokasi pengecer pada 3 pasar di Bogor, Jawa Barat, 80% dari kacang tanah
tersebut mengandung aflatoksin lebih dari 30 ppb.
Penelitian lain oleh Haryadi dan Setiastuty (1994) mengenai kontaminasi
aflatoksin pada 30 sampel kacang tanah yang masih mentah dan telah diproses
yang diperoleh dari pedagang dan prosesor selama musim hujan dan musim
kering di sekitar Bogor (Jawa Barat) dan Denpasar (Bali), memberikan hasil
bahwa aflatoksin B1 dideteksi pada 8 sampai 15 sampel yang diambil selama
musim hujan, dan 5 sampel selama musim kering. Kontaminasi aflatoksin B1
pada sampel kacang tanah mentah yang diperoleh dari pedagang kecil di musim
hujan sebesar 5,0 ppb dan aflatoksin B2 sebesar 25,0 ppb. Sedangkan sampel dari
pedagang besar pada musim kering terkontaminasi aflatoksin B1 sebesar 10,0 ppb
dan tidak terdeteksi adanya aflatoksin B2 (Dharmaputra, 2002).
Mengingat bahaya dari mikotoksin yang dihasilkan oleh cendawan terutama
bahaya aflatoksin, maka para ahli di beberapa negara sangat menaruh perhatian
mengenai hal ini. Negara-negara maju seperti Amerika, Australia, Belanda, dan
Jepang telah menetapkan kadar aflatoksin sebagai salah satu kriteria mutu untuk
kacang tanah dan produk olahannya dengan batasan 0-20 ppb (Goto, 1990 dalam
Ginting et al., 2005). WHO/FAO menetapkan kadar aflatoksin dengan batasan 30
ppb dan Departemen Kesehatan RI menetapkan 20 ppb untuk aflatoksin B1 dan
total aflatoksin 35 ppb pada tahun 2002 (Dharmaputra et al., 1989; Rahmianna
dan Taufiq, 2003 dalam Ginting et al., 2005).
BAB II
KACANG TANAH
2.1. Deskripsi Kacang Tanah
Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan tanaman semak setahun
dengan tinggi tanaman 0,6-0,9 m. Pangkal batang seringkali berakar. Batangnya
berdiri tegak dengan tinggi 15-16 cm, mudah membentuk akar bila tertimbun
tanah dan membentuk cabang-cabang yang agak berambut di dekat leher akar.
Daun majemuk berbentuk oval sampai memanjang atau bulat telur terbalik. Bunga
memiliki kelopak berbentuk tangkai dengan panjang kelopak 0,5-6 cm dan bagian
tepi serupa selaput. Daun mahkota berbentuk lingkaran, berwarna kuning cerah,
berurat ungu dengan diameter 1-1,5 cm. Bunga ada yang terletak di ketiak daun,
tetapi lebih banyak di bagian leher akar. Polongan memanjang tanpa sekat antara,
berwarna kuning pucat, tidak membuka bila matang, dan panjangnya 2-7 cm
(Gambar 2.1). Biji berjumlah 1 sampai 5, berwarna merah kuning, coklat atau
ungu (Rismunandar, 1981; Steenis et al., 2005).
Klasifikasi kacang tanah menurut Steenis et al., (2005) dan
Http://www.digilib.brawijaya.ac.id sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Ordo : Leguminales
Family : Papilionaceae
Genus : Arachis
Spesies : Arachis hypogaea L.
Gambar 2.1 Morfologi Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) a) Batang
pokok b) Kuncup bunga. c) bunga d) bakal buah e) Buah yang
sempurna f) Buah berbiji satu (Rismunandar, 1981).
2.2. Kandungan Gizi dan Manfaat Kacang Tanah
Kacang tanah merupakan bahan pangan yang sudah lama dimanfaatkan oleh
masyarakat Indonesia karena memiliki kandungan gizi yang tinggi. Kacang tanah
digunakan di bidang industri sebagai bahan untuk membuat selai, keju, mentega,
minyak goreng, bumbu pecel, gado-gado, karedok, ketoprak, makanan ringan
misalnya kacang goreng, kacang rebus, kacang garing, kacang telur, dan enting-
enting gepuk. Ampas yang sudah diambil minyaknya dapat dibuat bungkil, oncom
dan tempe melalui fermentasi cendawan. Daun kacang tanah dapat dijadikan lalap
mentah atau direbus, juga sebagai bahan pakan ternak serta pupuk hijau (Ginting
et al., 2005; Http://www.digilib.brawijaya.ac.id).
Bahan pangan dan pakan ternak yang bergizi tinggi, kacang tanah
mengandung lemak 40%-50% dan rendah kolestrol, protein 25%-30%,
karbohidrat 12%, vitamin (A, B, C, D, E, dan K), juga mineral seperti Calcium
(Ca), Chlorida (Cl), Ferro(Fe), Magnesium (Mg), Phospor (P), Kalium (K), dan
Sulfur(S) dalam jumlah yang signifikan. Biji kacang tanah yang tidak diproses
dengan zat tambahan (aditif) tetap memperlihatkan kadar kolestrol nol persen
(Suprapto, 1991; Kasno, 2005). Minyak kacang tanah mengandung asam lemak
tidak jenuh dengan kadar hingga 80% dan di dalamnya terdapat 40%-45% asam
linoleat. Asam lemak tidak jenuh berperan untuk mengatasi stroke, depresi, dan
memperbaiki serta mempertahankan struktur otak (Kasno, 2005).
2.3. Pemanenan dan Penyimpanan Kacang Tanah
Kacang tanah ditanam oleh petani dilahan kering dan di lahan sawah.
Kacang tanah ditanam di lahan kering pada awal musim hujan (Oktober sampai
Nopember), sedangkan di lahan sawah dilakukan pada bulan April sampai Juni
atau Juli sampai September. Panen dilakukan setelah kacang tanah berumur 3-4
bulan (umur pendek) dan 5-6 bulan (umur panjang) tergantung dari varietas
(Kasno, 2005).
Kacang tanah yang sudah siap dipanen memperlihatkan tanda-tanda batang
mulai mengeras, daun menguning dan mulai berguguran, kulit polong mengeras
dan telah berisi penuh, bagian dalam berwarna cokelat kehitaman, polong akan
pecah bila ditekan bagian ujungnya, serta kulit biji tipis. Apabila panen kacang
tanah dilakukan terlalu awal dapat menyebabkan kacang tanah banyak
mengandung air, cepat membusuk, tidak dapat dipakai sebagai bibit, dan tidak
banyak mengandung minyak (AAK, 1974; Radian, 1999;
Http://www.warintek.bantul.go.id).
Setelah pemanenan, kacang tanah yang masih dalam bentuk polong maupun
biji yang sudah dibuang polongnya perlu disimpan pada kondisi yang baik untuk
menjaga kualitasnya. Sebelum disimpan, polong kacang tanah dikumpulkan dan
dipilah-pilah berdasarkan derajat ketuaannya dan kualitasnya. Untuk mendapatkan
biji kacang tanah tanpa polong, polong kacang tanah kering dikupas dengan
tangan atau alat pengupas kacang tanah, lalu biji kacang tanah dikeringkan dengan
cara dijemur hingga kadar air 9%.
Polong maupun biji kacang tanah yang sudah kering masing-masing
dimasukkan ke dalam karung atau kaleng tertutup rapat kemudian disimpan di
tempat penyimpanan dengan suhu 200C-310C dan kelembaban antara 56,6%-
70,4% (Makfoeld, 1993; Http://www.digilib.brawijaya.ac.id).
BAB III
CENDAWAN Aspergillus flavus
3.1. Karakteristik Aspergillus flavus
Spesies Aspergillus ditemukan di mana-mana dan hampir dapat tumbuh
pada semua substrat. Cendawan ini tumbuh pada buah yang busuk, sayuran, biji-
bijian dan bahan pangan lainnya. Spesies dari genus Aspergillus memiliki
konidium beraneka warna. Warna konidium tersebut dipergunakan untuk
identifikasi awal (Dharmaputra, 2004). Koloni genus Aspergillus akan terlihat
berwarna hijau, putih, kuning, cokelat kekuningan, oranye, atau cokelat
kehitaman.
Gambar 3.1. Struktur Morfologi Aspergillus sp. A) Sel berbentuk kaki (Foot
cell). B) Konidiofor. C dan D) Vesikula. E1,E2,F) Perkembangan
sterigmata. G) Sterigmata dengan konidium (Raper and
Fennell, 1965; Samson et al., 1995).
Beberapa spesies Aspergillus ada yang menghasilkan mikotoksin. Salah satu
spesies dari genus Aspergillus yang dapat menghasilkan mikotoksin berupa
aflatoksin adalah Aspergillus flavus. Aspergillus flavus merupakan Fungi.
Klasifkasi cendawan Aspergillus flavus menurut (Samson et al., 1995;
Alexopoulos et al., 1996; Gunawan et al., 2004) sebagai berikut:
Kingdom : Fungi
Divisi : Amastigomycota
Sub Divisi : Ascomycotina
Kelas : Ascomycetes
Ordo : Eurotiales
Famili : Eurotiaceae
Genus : Aspergillus
Spesies : Aspergillus flavus
Fungi berfilamen seperti Aspergillus flavus biasa disebut cendawan.
Jaringan hifa dikenal sebagai miselium dapat mensekresi enzim yang merusak
sumber makanan yang kompleks. Molekul kecil yang dihasilkan diserap oleh
miselium untuk meningkatkan pertumbuhan cendawan. Hifa tidak dapat dilihat
secara sendiri-sendiri, tetapi sering tampak mem flavus tampak berwarna kuning
kehijauan. Aspergillus flavus dapat memiliki bentuk miselium dengan konidia
(spora aseksual).
a b
Gambar 2.3 a) Kleistotesium muda yang tertutup oleh perkembangan Hulle
cells b) Perkembangan kleistotesium (Raper and Fennell, 1965)
Ketika masih muda, konidia Aspergillus tumbuh pada berbagai sumber
nutrisi. Hidup sebagai saprofit dan tumbuh pada jaringan tanaman dan hewan di
tanah. Aspergillus flavus dapat bersifat patogen dengan menghasilkan toksin pada
beberapa spesies tanaman dan hewan, termasuk manusia dan hewan domestik.
Cendawan ini dapat menginfeksi biji kacang tanah dan pohon kacang tanah (www.
aspergillusflavus.org)
Media isolasi selektif untuk mengetahui adanya cendawan yang berpotensi
menghasilkan aflatoksin pada kacang-kacangan adalah media Aspergillus Flavus
dan Parasiticus Agar (AFPA). Apabila diinkubasikan pada suhu 300C selama 42-
48 jam, koloni Aspergillus flavus dapat dikenal dari warnanya yang oranye-kuning
terang di balik cawan petri (Samson et al., 1995; Dharmaputra, 2004).
a. b.
Gambar 2.4 Koloni Aspergillus flavus pada media AFPA. a) Tampak dari
permukaan bawah media. b) Tampak dari permukaan atas
media
Cendawan ini secara makroskopis pada media DG 18 suhu 250C tampak
membentuk koloni berwarna hijau kekuningan setelah 7 hari dan berwarna hijau-
kuning kecoklatan dengan struktur konidium yang kasar pada media CYA suhu
250C (Gambar 2.5).
a. b.
Gambar 2.5 Koloni Aspergillus flavusa) Koloni di media DG 18 setelah 1
minggu b) Koloni di media CYA
Samson et al., (1995); Frisvad and Thrane (1996) dalam Priyono (2002)
menyatakan bahwa secara mikroskopis, Aspergillus flavus tampak memiliki hifa
yang bersekat dan bercabang disebut konidiofor dengan ujung bagian bawah
berbentuk seperti kaki (foot cell), sedangkan di bagian ujung atas memiliki sel
berbentuk subglobus yang disebut vesikula, di atasnya terdapat sterigmata yang
merupakan lapisan untuk menghasilkan sel konidium, terdiri dari dua lapisan atau
dua rangkaian (biseriat) berupa fialid dan metula (Gambar 2.6, 2.7, dan 2.8).
Fialid terbentuk langsung pada metula. Konidium berbentuk globus atau
subglobus yang terbentuk di fialid.
Gambar 2.6 Aspergillus flavus. a) Kepala tipe biseriat. b) Kepala tipe
uniseriat (Samson et al., 1995).
Gambar 2.7 Struktur morfologi Aspergillus flavus x400 a) Konidium b)Fialid
c) Metula d) Vesikula e) Konidiofor
Gambar 2.8 a) Percabangan konidiofor Aspergillus flavus b) Foot cell
a b
c d
e
a
b
BAB IV
KONTAMINASI AFLATOKSIN
2.4. Aflatoksin yang Dihasilkan oleh Aspergillus flavus
Spesies dari genus Aspergillus merupakan cendawan perusak yang
mempunyai arti ekonomi penting karena menyerang berbagai jenis bahan pangan
di penyimpanan dan banyak spesiesnya yang menghasilkan toksin. Mikotoksin
yang paling berbahaya dan sering ditemukan pada kacang tanah adalah aflatoksin,
dihasilkan oleh Aspergillus flavus. Umumnya ditemukan pada kacang-kacangan,
minyak biji-bijian, dan buah-buahan yang dikeringkan (Samson et al., 1995;
Dharmaputra, 2004).
Aflatoksin memiliki karakteristik fisikokimia sebagai berikut: toksin
termostabil, termotolerans sampai suhu 250 0C, dan peka terhadap basa (NaOH,
NH3). Sifat kimia aflatoksin berhubungan erat dengan struktur molekulnya.
Aflatoksin bersifat tahan panas, pada suhu 60 dan 80 0C jumlah aflatoksin yang
rusak tidak berarti, dan hanya sedikit yang rusak pada suhu 100 0C (Marth dan
Doyle, 1979., Betina, 1985 dalam Syarief et al., 2003). Suhu optimal Aspergillus
flavus dapat menghasilkan aflatoksin adalah 36 sampai 38°C. Suhu maksimum
dihasilkannya aflatoksin pada 25 sampai 27°C dan kelembaban di atas 85%
(Abbas, 2005).
Aflatoksin diberi akhiran sesuai dengan penampakan fluorosensinya pada
lempeng khromatografi lapisan tipis dengan silika gel yang disinari dengan
ultraviolet. Bila fluorosensinya biru diberikan akhiran B (blue) sedangkan bila
hijau diberi akhiran G (green). Berdasarkan mobilitasnya pada lempengan
khromatografi lapisan tipis dibubuhi tambahan indeks menjadi B1; B2; G1; dan G2
(Diener dan Davis, 1969, Anonim, 2000, Stroka et al., 2000, dalam Syarief, et al.,
2003). Struktur aflatoksin yang ditetapkan tergantung pada interpretasi ultra
violet, infra merah, nuclear magnetic resonance dan spektrum masa. Aflatoksin
induk merupakan aflatoxin B1; B2; G1. Rumus molekul dari aflatoksin B1; B2; G1;
dan G2 dinyatakan oleh Nesbit, dkk pada tahun 1962 sebagai C17H12O6; C17H14O6;
C17H12O7 dan C17H14O7 (Syarief, et al., 2003).
Gambar 2.9. Struktur aflatoksin
(Sumber:http://www.seameo.org/vl/library/dlwelcome/publications/ebook/cat
alog/cat97/biotrop.htm)
Sapi perah yang mengkonsumsi makanan yang mengandung aflatoksin
ternyata susu hasil perahannya mengandung sejenis aflatoxin yang merupakan
turunan dari aflatoksin. Karena aflatoksin jenis ini untuk pertama kalinya
ditemukan dalam susu, maka diberi nama aflatoksin M (dari kata Milk).
Aflatoksin M dihasilkan juga dalam jumlah sedikit oleh cendawan Aspergillus
flavus, dikenal dua macam aflatoksin, yaitu aflatoksin M1 dan aflatoksin M2,
masing-masing dapat dianggap turunan dari aflatoksin B1 dan B2 (Goldblatt, 1969
dalam Syarief, et al., 2003).
Aspergillus flavus juga menghasilkan dua macam aflatoksin yang apabila
ditumbuhkan dalam media asam akan berfluoresensi biru dan hijau, diberi nama
aflatoxin B2a dan G2a. Turunan-turunan dari aflatoksin B1; B2; G1; dan G2 yang
diubah secara in vivo dan in vitro adalah aflatoksin GM1, aflatoksin B3
(parsiticol), aflatoksin Ro (aflatoksicol), aflatoksicol P1 dan aflatoksin Q2.
Aflatoksin M1 dapat diubah secara kimia menjadi aflatoksin M2a dan aflatoksin
GM2a (Syarief et al., 2003).
Aflatoksin B1, B2, G1, G2 dari 12 jenis aflatoksin yang telah diidentifikasi
merupakan aflatoksin yang umum ditemui pada bahan pangan dan pakan serta
aflatoksin M1 pada susu. Di antara semuanya, aflatoksin B1 paling berbahaya,
sehingga seringkali dipakai sebagai ambang batas maksimum aflatoksin dalam
bahan pangan dan pakan (Ginting et al., 2005).
Tabel 2.1. Beberapa sifat fisik dan kimia beberapa aflatoksin dan derifatnya
Aflatoksin Rumus
molekul
Bobot
Molekul
Titik leleh
(0C)
Emisifluoresen
B1
B2
G1
G2
M1
M2
G2a
Ro
B3
B3
GM1
P1
C17H12O6
C17H14O6
C17H112O7
C17H14O7
C17H12O7
C17H14O7
C17H12O8
C17H16O6
C17H14O6
C17H14O6
C17H12O6
C16H10O6
312
314
328
330
328
330
330
346
314
302
344
298
268-269
286-289
244-246
237-240
299
293
240
190
230-234
233-234
276
>320
425
425
450
450
425
-
-
-
425
-
-
-
Aflatoksin peka terhadap sinar ultraviolet dan modifikasinya bersifat kurang
beracun dibandingkan dengan bahan aslinya. Tingkat perusakan aflatoksin dengan
sinar ultraviolet ini tergantung pada konsentrasi aflatoksin, lama penyinaran, dan
sifat pelarut. Walaupun aflatoksin peka terhadap sinar ultraviolet, tetapi racun ini
tahan terhadap sinar gamma.
Menurut Bata et al., (1999) dalam Syarief et al. (2003) bahwa radiasi
matahari pada panjang gelombang cahaya tampak lebih efektif merusak aflatoksin
dibandingkan dengan sinar ultraviolet. Pada bahan pangan padat perusakan
aflatoksin menjadi lebih sulit, yaitu hanya terjadi perusakan sekitar 50% dari
aflatoksin dalam tepung bungkil kacang tanah yang dikenakan perlakuan. Diduga
bahwa protein kacang tanah mempunyai sifat melindungi aflatoksin dari radiasi
(Syarief et al.,2003).
Aflatoksin sangat berpengaruh pada perkembangan mikrobia, kultur jaringan,
tumbuhan dan hewan. Pengaruh tersebut dapat berakibat akut atau kronis,
tergantung pada dosis dan frekuensi pemberian aflatoksin (Moore-Landecker E.,
1996). Aflatoksin dapat menimbulkan efek toksik terhadap vertebrata. Aflatoksin
bersifat karsinogenik tinggi pada percobaan hewan, menyebabkan kanker hati
pada mencit yang baru lahir, tikus, ikan, bebek dan monyet, serta kanker pada
manusia (www.seameo.org). Mikotoksik ini dapat menyebabkan mutasi genom,
abnormalitas kromosom, perkembangan abnormalitas setelah prenatal atau
postnatal pada embrio, dan kanker.
Penelitian secara epidemiologi, klinik, dan experimental menunjukkan bahwa
dosis aflatoxin dalam jumlah yang besar >600 mg menyebabkan toksisitas akut
dengan efek kematian dan dengan dosis kecil dapat menyebabkan karsinogenik
dalam periode yang lama (Groopmann et al. 1988 dalam Bommakanti and
Waliyar, 2005).
Efek aflatoksin terhadap hewan dapat dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu
toksisitas akut dan toksisitas kronik. Toksisitas akut disebabkan jika dosis
aflatoksin yang dicerna dalam jumlah besar. Umumnya terjadi gangguan pada
hati. Setelah aflatoksin masuk ke dalam hati, lipid menginfiltrasi hepatosit dan
memberikan gejala nekrosis atau kematian pada sel hati. Sedangkan toksisitas
kronik digunakan jika konsentrasi aflatoksin rendah. Gejala toksisitas kronik
adalah menurunnya kecepatan pertumbuhan, produksi telur dan susu rendah, dan
menurunnya kekebalan tubuh.
Pada tahun 1960 beberapa laporan yang mengejutkan datang dari para
peternak Inggris, yaitu mengenai wabah penyakit Turkey X disease yang
menyebabkan kematian sekitar 100 ribu kalkun dan 10 ribu ekor itik muda dan
unggas lainnya. Hasil pemeriksaan selanjutnya ternyata penyakit ini dihasilkan
oleh cendawan Aspergillus flavus yang tumbuh pada kacang tanah sebagai
campuran pakan unggas yang diimpor dari Brazillia.
Hasil penelitian di Uganda menunjukkan adanya hubungan antara kanker hati
dengan kandungan aflatoksin dalam kacang tanah disebabkan penduduk terpaksa
mengkonsumsi makanan yang sudah tercemar (Muhilal et al., 1985 dalam
Syarief, et al., 2003). Hasil penelitian Campbell et al., (1970) di Filipina
menunjukkan bahwa urine manusia yang banyak mengkonsumsi mentega kacang
tanah beraflatoksin akan didapat aflatoksin M1. Kemampuan aflatoksin untuk
menginduksi kanker hati diduga karena aflatoksin dapat terikat oleh
makromolekul dari jaringan hati (Syarief, et al., 2003).
2.5. Kontaminasi Cendawan Aspergillus flavus dan aflatoksin pada Kacang
Tanah
Kacang tanah dapat terkontaminasi oleh berbagai jenis cendawan.
Kontaminasi cendawan pada kacang tanah dapat terjadi sejak tanaman masih
berada di lapangan sampai dengan penyimpanan, baik di tingkat pedagang,
pengumpul, maupun prosesor karena spora cendawan secara alami umumnya
terdapat di tanah dan udara (Ginting et al., 2005).
Masuknya spora atau hifa cendawan pada kacang tanah dapat terjadi
sebelum panen, selama fase pengeringan dan setelah panen melalui bagian-bagian
tanaman kacang tanah yang dirusak oleh insekta dan dari udara. Kehadiran
populasi cendawan diasumsikan berhubungan dengan musim (Dharmaputra et al.,
2001). Pada musim dingin, miselium atau struktur cendawan yang resisten yaitu
sklerotium berkecambah menghasilkan hifa dan konidium (spora aseksual) yang
dapat terdispersi ke dalam tanah atau udara. Spora atau hifa tersebut dibawa oleh
insekta yang merusak kacang tanah (Gambar 2.10 ). Hifa menyerap nutrien
(karbohidrat, protein dan lemak) dari kacang tanah (Moore-landecker, 1996;
Syarief et al., 2003; Http://www.aspergillus flavus.org).
Gambar 2.10 Siklus hidup cendawan Aspergillus flavus pada kacang tanah
(Http://www.aspergillusflavus.org)
Selain bersifat saprofit, cendawan juga dapat bersifat patogen pada beberapa
spesies tanaman, hewan, dan manusia. Banyak cendawan patogen pada tanaman
membentuk hifa yaitu sel berfilamen yang tumbuh di ujung, hifa dapat bercabang
membentuk kumpulan-kumpulan yang disebut miselium. Bagian-bagian
cendawan yang tumbuh di ujung tersebut merupakan kunci bagi keberhasilan
cendawan sebagai saprofit dan parasit. Cendawan berfilamen mampu menembus
tanah, sampah, tanaman, atau hidup di jaringan. Hifa yang tumbuh pada substrat
mengeluarkan enzim ekstraseluler yang mencerna molekul kompleks. Makanan
dan hasil dari proses tersebut diserap oleh hifa cendawan untuk dapat tumbuh di
tempat yang baru (Lucas,1988; Http:www.aspergillusflavus.org/aflavus).
Kacang tanah merupakan salah satu sumber makanan dan sumber energi
untuk pertumbuhan dan mempertahankan kehidupan cendawan. Sumber makanan
dan sumber energi tersebut berupa karbohidrat, asam amino, protein, dan lipid
yang dihasilkan melalui metabolisme primer oleh kacang tanah (Moore-landecker,
1996; Syarief et al., 2003). Hasil dari metabolisme primer tersebut digunakan oleh
cendawan melalui proses perombakan (katabolisme) untuk menghasilkan energi
melalui siklus asam trikarboksilat (TCA). Siklus TCA dapat membentuk senyawa
antara yang dapat digunakan oleh cendawan dalam mensintesis metabolit
sekunder (Gambar 2.3) (Moore-landecker, 1996; Wahyudi, 2004).
Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh cendawan bersifat mudah menguap
(volatile) yang menyebabkan bau khas pada cendawan, pigmen yang memberikan
warna khusus pada cendawan, dan antibiotik serta mikotoksin yang dapat
berbahaya bagi organisme (Moore-Landecker, 1996).
Gambar 2.3 Hubungan antara metabolisme primer dan sekunder (Moore-
Landecker, 1996)
Infeksi cendawan ke dalam polong bisa terjadi ketika polong belum di
panen, mulai saat pembentukan polong hingga polong masak. Cendawan akan
menginfeksi tanaman bila sistem ketahanan tanaman telah menurun akibat faktor
lingkungan atau kecepatan pertumbuhan tanaman telah menurun di akhir masa
pertumbuhan tanaman (Rahmianna, 2005).
Keenan dan Savage (1994) dalam Rahmianna (2005) mengemukakan bahwa
biji kacang tanah yang masih berada di dalam tanah, khususnya yang sedang
berkembang, peka terhadap infeksi cendawan. Selain pada biji muda, cendawan
menginfeksi biji yang telah masak apabila ada luka. Luka ini bisa terjadi mekanis
(alat-alat pertanian, periode basah dan kering pada saat cuaca kering) atau biologis
(serangan hama tanah dan nematoda) yang merupakan peluang bagi cendawan
untuk menginfeksi polong (Rahmianna, 2005).
Akibat yang sama juga diamati pada polong luka karena penyiangan dan
pemanenan yang kurang hati-hati (Ginting et al., 2005). Panen, pengeringan,
kondisi penyimpanan, dan lama penyimpanan berpengaruh langsung terhadap
infeksi cendawan (Kasno, 2004). Pada penanganan pasca panen, peluang infeksi
cendawan menjadi lebih besar bila dilakukan penundaan waktu panen, terlebih
pada pemanenan di musim hujan. Demikian pula pada proses pengeringan, harus
segera dilakukan maksimal 48 jam setelah pemanenan. Penundaan pengeringan,
terutama pada musim hujan akan memberi peluang bagi pertumbuhan dan
perkembangan cendawan. Kadar air untuk pertumbuhan cendawan pada kacang
tanah berkisar antara 9,0%-11,0% (Syarief et al., 2003).
Pertumbuhan dan perkembangan cendawan pada biji kacang tanah di tempat
penyimpanan dipengaruhi oleh suhu ruang penyimpanan, kadar air pada biji yang
disimpan, lama penyimpanan, derajat awal serangan cendawan sebelum sampai ke
tempat penyimpanan, terdapatnya aktivitas serangga dalam ruang penyimpanan,
dan ada atau tidaknya zat penghambat yang dihasilkan oleh mikroorganisme lain
(Makfoeld, 1993).
Cendawan dapat tumbuh pada bahan pangan seperti kacang tanah dengan
suhu berkisar 100C-400C, dengan suhu optimum sekitar 300C (Syarief et al.,
2003). Cendawan yang sering ditemukan di kacang tanah adalah cendawan dari
genus Aspergillus. Kisaran suhu untuk pertumbuhan cendawan Aspergillus adalah
suhu 60C-600C, sedangkan suhu untuk pembentukan aflatoksin bagi Aspergillus
flavus adalah 250C-400C (Makfoeld, 1993).
Cendawan genus Aspergillus lebih sering ditemukan dibandingkan dengan
jenis cendawan lainnya karena cendawan dari genus Aspergillus merupakan
cendawan yang umum ditemukan pada kacang tanah, baik sebelum panen maupun
di tempat penyimpanan pasca panen. Menurut Tim Peneliti Faperta (1994) dan
Kasno (2004), masuknya spora pada kacang tanah dapat terjadi sejak masih di
lapangan sebelum panen maupun setelah panen, bila terus-menerus berkembang,
maka dapat menginfeksi biji yang ada di dalam polong hingga ke tempat
penyimpanan atau pemasaran. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Dharmaputra et al., (2001), persentase kehadiran cendawan Aspergillus sp.
berkisar 7,7%-100% dari sampel tanah yang diambil dari beberapa tempat
penanaman kacang tanah.
Menurut Samson et al., (1995) dan Dharmaputra (2004) cendawan
Aspergillus sp. umum ditemukan pada kacang-kacangan, minyak yang berasal
dari biji-bijian, dan buah-buahan yang dikeringkan. Menurut Bulaong dan
Dharmaputra (2002), persentase kehadiran cendawan Aspergillus sp. dapat
mencapai 98,3% pada kacang tanah yang disimpan di karung penyimpanan.
Persentase tertinggi cendawan yang mengkontaminasi biji kacang di pasar
Kota Pontianak adalah cendawan Aspergillus flavus sebesar 42,22%. Hal ini
karena cendawan tersebut lebih mampu berkompetisi pada kondisi penyimpanan
dan kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan
cendawan tersebut (Rahmawati, 2006). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Bulaong dan Dharmaputra (2002), persentase tertinggi kehadiran cendawan
Aspergillus flavus di tempat penyimpanan sebesar 37,5%. Moore-Landecker
(1996) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan cendawan
dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan yang menentukan mampu atau
tidaknya cendawan untuk bertahan hidup, tumbuh dan membentuk spora. Faktor
yang mempengaruhi diantaranya adalah sumber makanan, air, oksigen, dan suhu
yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya.
Garret (1956) dalam Dharmaputra (2001) menyatakan bahwa salah satu
keberhasilan suatu organisme membentuk koloni pada substrat organik adalah
kemampuannya dalam berkompetisi dengan organisme lain, seperti kemampuan
cendawan menghambat pertumbuhan dan menghambat produksi mikotoksin
cendawan lainnya.
Menurut Bulaong dan Dharmaputra (2002), cendawan Aspergillus flavus
maupun cendawan lain di kacang tanah dapat menghasilkan mikotoksin ketika
terjadi cekaman lingkungan, misalnya kekeringan atau terjadi persaingan tempat
dan makanan. Untuk dapat mempertahankan hidup mereka pada kondisi tersebut,
cendawan akan menghasilkan metabolit berupa mikotoksin.
Kacang tanah merupakan sumber energi yang sangat sesuai bagi
pertumbuhan dan perkembangan cendawan Aspergillus flavus dalam melakukan
proses metabolismenya termasuk dalam menghasilkan aflatoksin. Syarief et al.,
(2003) menyatakan bahwa kemampuan cendawan untuk menghasilkan mikotoksin
tergantung pula pada komposisi kimia yang terkandung dalam bahan pangan
tersebut.
Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi produksi mikotoksin
cendawan diantaranya lama penyimpanan, kadar air kacang tanah, suhu, dan
kelembaban. Berdasarkan penelitian Bulaong dan Dharmaputra (2002), kadar
aflatoksin dapat dipengaruhi oleh lama penyimpanan dan kadar air kacang tanah.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa aflatoksin tidak terdeteksi dalam sampel
kacang tanah hingga bulan ke-3 penyimpanan, namun pertama kali terdeteksi
sebesar 2,73 ppb pada bulan ke-4 dengan kadar air meningkat hingga 8,42%.
Penyimpanan selama 3 bulan di gudang ternyata dapat mempertahankan
daya tumbuh normal masih tetap 100% tetapi bila disimpan sampai 7 bulan daya
tumbuh akan turun menjadi 90%–85%. Tempat penyimpanan kacang tanah juga
akan mempengaruhi kontaminasi cendawan. Penyimpanan satu sampel dalam
karung goni menunjukkan kandungan aflatoksin tertinggi yaitu aflatoksin B1=
81–30,3 ppb dan aflatoksin GI = 40,4 ppb (Makfoeld, 1993).
Biji kacang tanah yang terkontaminasi selama penyimpanan akan
menunjukkan gejala rusak seperti busuk kering, berwarna hitam atau kelabu, dan
bila Aspergillus flavus telah memproduksi aflatoksin, maka biji kacang tanah
akan terasa pahit bila dimakan, kandungan aflatoksin yang semakin tinggi dapat
dikenali dari warnanya yang semakin coklat dan rasanya semakin pahit pula
(Kasno, 2005; Http://www.warintek.progressio.or.id).
Laju infeksi Aspergillus flavus dan produksi aflatoksin sangat dipengaruhi
oleh kadar air biji kacang tanah (Syarief et al., 2003; Kasno, 2004). Aspergillus
flavus dapat memproduksi aflatoksin pada kadar air substrat 15%-30% dan
kelembaban 85% (Ginting et al., 2005). Di Bogor, Dharmaputra et al. (1989)
dalam Kasno (2004) menemukan bahwa 80% biji kacang tanah yang berkadar air
11% mengandung aflatoksin B1 lebih dari 30 ppb. Hasil dari penelitian tersebut
mengindikasikan bahwa kacang tanah yang disimpan telah terinfeksi oleh
Aspergillus flavus sejak di lapangan. Dharmaputra et al., (1989) dalam Kasno
(2004) menemukan bahwa 80% biji kacang tanah dengan kadar air 11%
mengandung aflatoksin B1 lebih dari 30 ppb.
Produksi mikotoksin juga dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban.
Jangkauan suhu untuk pembentukan aflatoksin adalah 7,50C-410C dan suhu
optimum 240C-280C (Syarief et al., 2003). Menurut Kasno (2004) dan Ginting et
al., (2005) suhu 250C-300C dan kelembaban 85% sangat sesuai bagi Aspergillus
flavus untuk menghasilkan aflatoksin pada substrat.
Dharmaputra et al. (1991) melaporkan mengenai kandungan aflatoksin pada
35 sampel kacang tanah yang diperoleh dari 15 lokasi pengecer pada 3 pasar di
Bogor, Jawa Barat. Hasilnya adalah 0 – 1154 ppb, 80% dari kacang tersebut
mengandung aflatoksin lebih dari 30 ppb (Dharmaputra, 2002).
Penelitian lain oleh Haryadi dan Setiastuty (1994) mengenai kontaminasi
aflatoksin pada 30 sampel kacang yang masih mentah dan telah diproses yang
diperoleh dari pedagang (besar, sedang, dan kecil) dan prosesor selama musim
hujan dan musim kering di dan sekitar Bogor (Jawa Barat) dan Denpasar (Bali),
memberikan hasil bahwa aflatoxin B1 dideteksi pada 8 sampai 15 sampel yang
diambil selama musim hujan, dan 5 sampel selama musim kering. Aflatoksin B2
dideteksi pada beberapa sampel yang terkontaminasi aflatoksin B1. Kontaminasi
aflatoksin B1 pada sampel kacang tanah mentah yang diperoleh dari pedagang
kecil di musim hujan sebesar 30,0 ppb dan aflatoksin B2 tidak terdeteksi, pada
musim kering kontaminasi aflatoksin B1 sebesar 5,0 ppb dan aflatoksin B2 sebesar
25,0 ppb. Sedangkan sampel yang diperoleh dari pedagang besar pada musim
kering terkontaminasi aflatoksin B1 sebesar 10,00 ppb dan tidak terdeteksi adanya
aflatoksin B2. Kemungkinan kontaminasi aflatoksin lebih besar di antara
pedagang-pedagang kecil, meskipun tidak dapat dijamin bahwa kacang tanah dari
pedagang-pedagang besar bebas dari kontaminasi aflatoksin (Dharmaputra, 2002).
Penelitian juga menunjukkan bahwa kacang tanah yang telah diproses
menjadi produk olahan dapat ditemukan adanya aflatoksin. Sampel kacang tanah
yang telah diproses diambil dari pedagang kecil tidak terdeteksi adanya aflatoksin
B1 dan B2, namun sampel kacang tanah yang diperoleh dari pedagang besar pada
musim hujan ditemukan adanya kontaminasi aflatoksin B1 15,0 ppb dan B2 5,0
ppb. Pada musim kering aflatoksin B1 ditemukan sebesar 2,5 ppb dan aflatoksin
B2 tidak dapat terdeteksi (Dharmaputra, 2002).
WHO/FAO/UNICEF menetapkan batasan 30 ppb dan Departemen
Kesehatan RI menetapkan 20 ppb untuk aflatoksin B1 dan total aflatoksin 35 ppb
pada tahun 2002 (Rahmianna dan Taufiq, 2003). Oleh karena itu, produksi kacang
tanah di Indonesia harus mengacu pada standar mutu yang ditetapkan, baik secara
lokal, nasional maupun internasional agar dapat bersaing di pasaran dan produk
olahannya aman dikonsumsi (Ginting, et al., 2005).
DAFTAR PUSTAKA
AAK, 1974, Kacang Tanah dan Kedelai, Penerbit Kanisius (anggota IKAPI),
Yogyakarta.
Alexopoulos, C.J.; Mims, C.W.; Blackwell, M., 1996, Introductory Mycology,
Ed ke-4, John Wiley & Sons, INC., New York.
Arifin, M., 2006, Karantina Tumbuhan, Departemen Pertanian, Propinsi
Kalimantan Barat, (Komunikasi pribadi).
Badan Meteorologi dan Geofisika, 2006, Data Klimatologi Pontianak, BMG
Stasiun Meteorologi Supadio, Pontianak.
Bulaong, S.S.P., dan Dharmaputra, O.S., 2002, Fungal Population, Aflatoxin
and Free Fatty Acid Contents of Peanuts Packed in Different Bag
Types, J. Biotropia, 19:1-25.
Dharmaputra, O.S.; Putri, A.S.R.; Retnowati, I.; Ambarwati, S., 2001, Soil
Mycobiota of Peanut Fields in Wonogiri Regency, Central Java: Their
Effect on The Growth and Aflatoxin Production of Aspergillus flavus in
Vitro, J. Biotropia, 17:30-59.
Dharmaputra, O.S, 2002, Review on Aflatoxin in Indonesian Food and
Feedstuffs and Their Products, J.Biotropia, 19:26-46.
-----------------------, 2004, Isolasi, Enumerasi dan Identifikasi Cendawan
Perusak Pascapanen pada Jagung dan Kacang Tanah, Pelatihan
Mikrobiologi Dosen Perguruan Tinggi Negeri se Kalimantan dan Nusa
Tenggara; 10-20 Agustus 2004, Departemen Biologi FMIPA IPB, Bogor.
-----------------------, 2004, Cendawan Perusak Pasca Panen, Pelatihan
Mikrobiologi Dosen Perguruan Tinggi Negeri se Kalimantan dan Nusa
Tenggara; 10-20 Agustus 2004, Departemen Biologi FMIPA IPB, Bogor.
Dinas Pertanian, 2005, Laporan Padi Palawija, Dinas Pertanian Propinsi
Kalimantan Barat, Pontianak.
Ginting, E.; Rahmianna, A.A.; Yusnawan, E.; 2005, Pengendalian Kontaminasi
Aflatoksin pada Produk Olahan Kacang Tanah melalui Penanganan
Pra dan Pasca Panen, Http://www.jatim.litbang.deptan.go.id, (15 Agustus
2006).
Gunawan, A.W.; Dharmaputra, O.S.; Rahayu, G., 2004, Cendawan dalam
Praktik Laboratorium, IPB Press, Bogor.
Http://www.aspergillusflavus.org., (2005).
Http://warintek.progressio.or.id/ttg/pangan/kacang.htm
Http://www.aspergillusflavus.org/aflavus
Http://www.digilib.brawijaya.ac.id/virtual_library/mlg_warintek/ristek-pdii-lipi
Kasno, A., 2004, Pencegahan Infeksi Aspergillus flavus dan Kontaminasi
Aflatoksin pada Kacang Tanah, J. Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, 23:3.
-------------, 2005, Profil dan Perkembangan Teknik Produksi Kacang Tanah
di Indonesia, Seminar Rutin Puslitbang Tanaman Pangan; 26 Mei 2005,
Bogor, Http://www.puslittan.bogor.net/addmin/downloads/astanto., (15
Februari 2006).
Lucas, J.A., 1988, Plant Pathology and Plant Pathogens, Blackwell Science
Ltd, London.
Makfoeld, D., 1993, Mikotoksin Pangan, Pusat antar Universitas Pangan dan
Gizi Universitas Gadjah Mada, Kanisius, Yogyakarta.
Moore-Landecker, E., 1996, Fundamentals of The Fungi, Ed ke-4, Prentice Hall,
Upper Saddle River, New Jersey.
Priyono, S., 2002, Kajian Jamur Toksigenik pada Pengeringan dan
Penyimpanan Biji Kopi Robusta, Universitas Brawijaya, Malang, (Tesis).
PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia, 2006, Kacang Tanah yang Masuk Via
Pelabuhan Pontianak Perdagangan Antar Pulau Tahun 2006, PT.
(Persero) PELINDO II, Pontianak.
Radian, 1999, Petunjuk Teknis Budidaya Kedelai, Kacang Tanah, Jagung,
Kacang Hijau dan Padi, Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura,
Pontianak.
Rahmianna, A.A., 2005, Pengelolaan Lengas Tanah dan Umur Panen pada
Infeksi Aspergillus flavus dan Kontaminasi Aflatoksin pada Kacang
Tanah, Seminar Rutin Puslitbang Tanaman Pangan; 28 Juli 2005, Bogor,
http://www.puslittan.bogor.net/addmin/downloads/Rahmianna., (25 Februari
2006).
Raper, K.B. and Fennel, D.I., 1965, The Genus Aspergillus, The Williams &
Wilkins Company, Baltimore.
Rasheva, T.; Hallet, J.N.; Kujumdzieva, A., 1998, Taxonomic Investigation of
Monascus Purpureus 94-25 Strain, J. Culture Collections, 2:51-59,
Http://www.nbimcc.org., (31 Juli 2006).
Rismunandar, 1981, Bertanam Kacang Tanah, Penerbit Tarate, Bandung.
Saccardo, 1880, Phoma spp., Http://www.doctorfungus.org/thefungi/Fusarium_
napiforme.htm, (31 Juli 2006).
Samson, R.A.; Hoekstra, E.S.; Frisvad, J.C.; Filtenborg, O., 1995, Introduction
to Food-Borne Fungi, Ed rev ke-4, Centraalbureau Voor Schimmelcultures
Delft, Wageningen.
Steenis, C.G.G.J.V.; Hoed, D.D.; Bloembergen, S.; Eyma, P.J., 2005, Flora,
Pradnya Paramita, Jakarta.
Suprapto, 1991, Bertanam Kacang Tanah, Penebar Swadaya, Jakarta.
Syarief R., Ega L., Nurwitri C.C., 2003, Mikotoksin Bahan Pangan, IPB Press,
Bogor.
Tim Peneliti Faperta, 1994, Inventarisasi Cendawan Patogen pada Benih
Kedelai, Laporan Hasil Penelitian, Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Wahyudi, A.T., 2004, Metabolisme Mikrob, Pelatihan Mikrobiologi Dosen
Perguruan Tinggi Negeri se Kalimantan dan Nusa Tenggara; 10-20 Agustus
2004, Departemen Biologi FMIPA IPB, Bogor.