23
EPIDEMOLOGI DAN EKONOMI VETERINER STUDI KASUS ANTRAKS OLEH : NURUL MARIE CURIE 135130100111025 TIA SUNDARI 135130101111011 ABDUL HARIS HANAFI 135130101111040 YEHEZKIEL GIANKA T. 135130107111013 KELOMPOK B 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Makalah Antraks

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah antraks word

Citation preview

EPIDEMOLOGI DAN EKONOMI VETERINERSTUDI KASUS ANTRAKS

OLEH : NURUL MARIE CURIE135130100111025TIA SUNDARI135130101111011ABDUL HARIS HANAFI 135130101111040YEHEZKIEL GIANKA T. 135130107111013

KELOMPOK B 2013

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWANUNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG2015BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangAntraks merupakan penyakit infeksi menular akut yang termasuk salah satu penyakit zoonosis. Penyakit ini banyak dibicarakan di Indonesia terutama pada saat menjelang Hari Raya Iedul Adha sebab penyakit ini beraitan erat dengan hewan ternak sapi maupun kambing yang merupakan hewan qurban. Antraks disebabkan bakteri Bacillus anthracis yang termasuk kuno, sejak tahun 1850 ditemukan oleh Daveine dan Rayer serta Polander yang menemukan bakteri Bacillus anthracis pada jaringan hewan yang mati akibat penyakit antraks. Penyakit ini biasanya ditandai dengan perubahan jaringan bersifat septicemia, timbulnya infiltrasi semohaemoragi pada jaringan subkutan dan subserosa, disertai pembengkakan akut pada limpa.

1.2 Tujuan Tujuan dilakukannya studi kasus epidemologi mengenai antraks adalah untuk menyelidiki penyebab penyakit dengan membandingkan kelompok hewan sakit (kasus) dan kelompok kontrol (teori). Adapun kajian yang dipergunakan yaitu kajian kasus kontrol. Kelibihan dari kajian kasus control ini yaitu :a. Cocok untuk studi pada penyakit yang jarang terjadi (prevalensi rendah) dan untuk menyidik wabah karena waktu jadi kendalab. Relatif murah dan cepat c. Dapat menggunakan catatan record yang adad. Tidak beresiko terhadap subyeke. Memungkinkan untuk penyidikan beberapa faktor penyebab potensia

BAB IISTUDI KASUS

Pada sebuah peternakan di kota X terdapat kejadian beberapa sapi mati mendadak dan belum diketahui penyebabnya. Sapi yang mati mengeluarkan darah yang berwarna hitam dari hidung dan lubang alaminya. Pemeriksaan patologinya terlihat limpa yang membengkak. Dimulailah kajian tentang kematian sapi yang mendadak disertai keluar darah hitam, dan kebengkaan limpa. Dari kejadiaan diatas disimpulkan bahwa terdapat suspect Antraks. Dari 30 ekor yang mati, 20 diantaranya mengeluarkan darah yang hitam dan limpa membesar. Sehingga dalam peternakan tersebut tersisa 15 ekor, 10 ekor diantaranya dalam keadaan sehat sedangkan 5 ekor lain mengalami gejala umum terinfeksi non antraks. Tabel data ternak dalam pernakan kota X adalah sebagai berikut :DiseasesJumlah

+-

Faktor+20525

-101020

Jumlah301545

2.1 Perhitungan berdasarkan studi epidemologia. RR (Resiko relative) Rasio dari insidensi IR pada kelompok terdedah dibandingkan pada kelompok tidak terdedah tingkat (D+ / F+) a / (a+b)RR = ____________ = _______ tingkat (D+ / F-) c / (c+d)

= 20/25

10/20

= 1,3

RR bekisar 0 - RR < 1 asosiasi/efek negatif antara penyakit dan faktor RR = 1 tidak ada asosiasi antara penyakit dan faktor RR > 1 asosiasi positif antara penyakit dan faktor RR = 0 1 pendedahan bersifat protektif

b. OR (Odds rasio) OR = (a x d) / (b x c) = (20 x 10) / (5 x 10) = 4Interpretasi :OR < 1 efek negatif OR = 1 tidak ada efek OR > 1 asosiasi positif faktor dan penyakit (risiko/kecepatan)

Interprestasi pengukuran : Keluarnya darah dari lubang alami disertai adanya pembengkakan pada limpa pada 4 kejadian menunjukan sapi terkena penyakit antraks.

c. Efek diukur dengan :

AR (Attributable Rate) atau disebut juga Attributable risk Insidensi penyakit yang terkait dengan pendedahan Insidensi penyakit yang dapat dimusnahkan atau dicegah jika pendedahan dihilangkan sepenuhnya dari kelompok yang dikaji AR negatif menunjukkan laju penyakit yang dicegah oleh pendedahan AR berkisar dari (-1) sampai dengan (+1)

Attributable Rate = (a / (a+b)) (c / (c+d))= (20/25) (10 /20)= (120 / 200) - (30 / 300) = 0,3 atau 0.3x100% = 30%

Interprestasi pengukuran : 30% sapi yang ada di peternakan tersebut menderita antraks yang menunjukan gejala keluar darah dari lubang alami dan mengalami pembesaran limpa.

AF (Attributable Fraction) = (RR-1) / RR = (1,3-1)/1,3 = 0,27 atau 0.27x100% = 27%

Interpretasi: Pada kasus ini, sapi yang tidak mengalami gejala keluarnya darah pada lubang alami dan limpa membesar, 27% tidak menyebabkan penyakit antraks.

BAB IIIKAJIAN TEORI3.1Sifat Alami GenAnhtrax adalah penyakit hewan yang dapat menular pada manusia dan bersifat akut. Penyebabnya adalah bakteri Bacillus anthracis. Bakteri ini berbentuk batang (ruas-ruas) dengan ukuran panjang 3-8 micrometer. Bakteri ini bersifat aerob dan memerlukan oksigen untuk hidup. Bacillus anthracis merupakan bakteri yang berbentuk batang besar dengan ujung persegi. Bakteri ini bersifat gram positif yang akan tampak biru ungu dibawah mikroskop bila diwarnai dengan pewarnaan gram (Brook, 1996). Bakteri ini memiliki kemampuan mengubah bentuk, dari sel vegetative ke bentuk endospora saat berada di lingkungan. Endospora berfungsi sebagai alat pertahanan dari bakteri sehingga bakteri ini sulit untuk dimusnahkan. endospora dari bakteri Bacillus anthracis dapat bertahan bertahun tahun diluar lingkungan hospes (Dragon and rinnie, 1995). Endospora akan terbentuk jika terekspos oksigen (O2), endospora ini relative terhadap panas , dingin, pH, radiasi, dan desinfeksi sehingga sulit dihilangkan jika terjadi kontaminasi. Endospora mungkin akan germinasi, multipikasi, dan resporulasi kembali keluar tubuh hewan jika kondisinya memungkinkan.3.1 Spesies RentanAntraks terutama menyerang hewan ternak sapi, kambing, domba/biri-biri, kuda. Endospora dari Bacillus anthracis yang mencemari tanah kemungkinan akan menempel pada rerumputan atau tanaman lainnya dan ternakan ternak. Manusia umumnya terinfeksi oleh endospora bakteri ini melalui lesi di kulit, inhalasi atau per oral. Antraks dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas, termasuk manusia. Ruminansia khususnya sapi, domba, kerbau merupakan spesies yang sangat rentan. Kuda, babi, rusa, dan manusia, kurang rentan, dibandingkan dengan sapi atau domba. Hewan yang hidup secara liar seperti rusa,anjing, kucing, juga dapat terinfeksi. Burung hanya terinfeksi secara eksperimental dan burung karnivora dapat menularkan spora dalam feces. Pada babi dan kuda umumnya lebih tahan, gejala penyakit berjalan secara kronis dan menyebabkan pembengkakan pada daerah tenggorokan.3.2 Pengaruh Lingkungan Anthraks banyak terdapat di daerah-daerah pertanian, daerah tertentu yang basah dan lembab, dan juga daerah banjir. Di daerah-daerah tersebut anthraks timbul secara enzootik hampir setiap tahun dengan derajat yang berbeda-beda. Daerah yang terserang anthraks biasanya memiliki tanah berkapur dan kaya akan bahan-bahan organik. Di daerah iklim panas lalat pengisap darah antara lain jenis Tabanus dapat bertindak sebagai pemindah penyakit. Wabah anthraks pada umumnya ada hubungannya dengan tanah netral atau berkapur yang alkalis yang rnenjadi daerah inkubator kuman tersebut. Di daerah-daerah tersebut spora tumbuh rnenjadi bentuk vegetatif bila keadaan lingkungan serasi bagi perturnbuhannya.Spora antraks tahan terhadap cuaca panas dan dingin dan akan aktif setelah masuk kedalam tubuh hewan. Pada tanah kering, spora akan bertahan selama 60 tahun. Spora akan mati pada suhu 100 derajat C (suhu air mendidih) dalam waktu 10 menit, pada karbol 5% dalam waktu 40 hari, pada formalin 10% dalam waktu 4 jam, dan pada hidrogen peroksida dalam waktu 1jam. sifat spora antraks dikenal sangat tahan terhadap kekeringan, kelebihan air, panas tinggi, juga dingin yang rendah. Seperti misalnya dengan panas antara 60 - 70 oC (misal pada tanah pasir musim kemarau panjang di kawasan Nusa Tenggara Timur) mikroba lain akan mati. Tapi berbeda dengan spora antraks, akan tetap dapat hidup.3.3 Sifat PenyakitEnzootik hampir setiap tahun dengan derajat yang berbeda-beda di daerah-daerah tertentu. Derajat sakit (morbidity rate) tiap 100.000 populasi hewan dalam ancaman, tiap propinsi dalam tahun 1975 menunjukan derajat yang paling tinggi di Jambi (530 tiap 100.000) dan terendah di Jawa Barat (0,1 tiap 100.000). Dari laporan itupun dapat diketahui bahwa 5 (lima) daerah mempunyai derajat sakit lebih rendah dari 5 tiap 100.000 populasi dalam ancaman dan hanya Jambi yang mempunyai angka ekstrim. Penularan pada manusia bisa lewat kontak langsung dengan spora yang ada di tanah dan tanaman ataupun bahan dari hewan yang sakit (kulit, tulang, daging atau darahnya).

3.3.1 Faktor PredisposisiAnthraks merupakan penyakit yang menyerang pada hewan menyusui. Faktor-faktor predisposisi terjadinya anthrak antara lain adalah hewan dalam kondisi kedinginan, kekurangan makanan, dan juga keletihan dapat mempermudah timbulnya penyakit. Hal ini terjadi terutama pada hewan-hewan yang mengandung spora yang bersifat laten.

3.3.2 Distribusi Penyakit

Di Indonesia berita tentang suatu penyakit yang sangat menyerupai anthraks pada kerbau di daerah Teluk betung dimuat dalam "Javasche Courant" tahun 1884. Kemudian berita yang lebih jelas tentang berjangkitnya Anthraks di beberapa daerah di Indonesia di beritakan oleh "Kolonial Verslag" antara tahun 1885 dan 1886. Kemudian antara tahun 1899 dan 1900 sampai 1914, tahun 1927 sampai 1928, tahun 1930 tercatat kejadian-kejadian anthraks di berbagai tempat di Jawa dan di luar Jawa. Insidensi kasus di Indonesia menurut Bulletin Veteriner tahun 1975 di Jabar, Sultra, NTT dan NTB; tahun 1996 di Jambi, Sultra, Sulsel, NTB, NTT dan Jabar; 1977 di NTB ;1981 di DKI. Jakarta, Jabar, NTT dan NTB; 1982 di NTB, Jatim dan Sulsel; 1983 di DKI Jakarta, NTB, NTT dan Sulsel; 1986 di NTB, Jabar dan Sumbar, 1988 -1993 di NTB;1991 di Jogya, Bali dan NTB dan 1992 -1994 di NTB. Kasus anthrak di Jawa Tengah tahun 1990 tercatat 97 kasus pada manusia di kabupaten marang dan Bojolali, sedang di Jawa Barat pada tahun 1975 -1974 tercatat 36 kasus di kabupaten Kawarang, 30 kasus di kabupaten Purwakarta, di kabupaten Bekasi 22 kasus pada tahun 1983 dan 25 kasus pada tahun 1985.

Laporan kasus anthraks pada Januari tahun 2000 yang diduga telah terjadi tiga bulan sebelumnya, menyatakan kasus terjadi pada penduduk desa Ciparungsari kecamatan Cempaka, kabupaten Purwakarta, Jabar yang menjarah burung unta. (Struthio Camelus) milik P.T. Cisada Kema Suri yang dimusnahkan karena tertular penyakit anthraks. Laporan kasus anthraks terakhir terjadi pada tahun 2012 di Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Sragen (Jawa Tengah), Kabupaten Maros dan Kabupaten Takalar (Sulawesi Selatan), yang menyerang sapi potong dan sapi perah milik peternak.

3.4 Cara PenularanMenyebarluasnya kasus antraks disebabkan oleh spora yang keluar dari hewan yang mati akibat bakteri Bacillus antrachis yang keluar bersama hewan yang mati disemelih atau pada cairan yang dikeluarkan hewan tersebut (Turnbull, 2008). Wabah terjadi di daerah dimana sebelumnya hewan mati karena antraks. Wabah ini bisa menular ke daerah lain karena dipengaruhi beberapa faktor:a. Perpindahan atau transportasi ternak yang terinfeksi antraksPerpindahan ternak yang terinfeksi dari daerah endemik dapat menularkan pada ternak lainnya yang tidak terinfeksi pada daerah yang dituju. b. Pengunaan Lahan dikuburnya ternak yang terinfeksi antraksLahan yang digunakan mengubur ternak yang terinfeks antraks disterilkan dari bakteri dengan menggunakan kapur. Tanah tersebut tidak seharusnya digunakan untuk ladang persawahan, ladang penggembalaan atau perkebunan, karena spora pada bakteri bacillus antrachis dapat bertahan hidup hingga 35 tahun. Anthraks tidak lazim ditularkan dari hewan yang satu kepada yang lain secara langsung. Wabah anthraks pada umumnya ada Hubungannya dengan tanah netral atau berkapur yang alkalis yang menjadi daerah inkubator kuman tersebut. Di daerah-daerah tersebut spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif bila keadaan lingkungan serasi bagi pertumbuhannya, yaitu tersedianya makanan, suhu dan kelembaban tanah, serta dapat mengatasi persaingan biologik. Bila keadaan lingkungan tetap menguntungkan, kuman akan berkembang biak dan membentuk spora lebih banyak. c. Spora terbawa oleh angin atau aliran airPada hewan positif antraks yang tidak sengaja tersembelih maka spora bakteri dapat menyebar melalui aliran air seperti selokan, air tanah, air sungai dan juga terbawa oleh angin. Sehingga apabila spora menempel, terhirup atau termakan oleh ternak lain, maka ternak lain akan tertular. Spora-spora tersebut dapat diterbangkan angin, atau dihanyutkan aliran air kemudian dapat mencemari air, pakan, rumput, peralatan dan sebagainya (Rahayu, 2010). d. Distribusi dan Pengkonsumsian karkas daging atau bahan pangan hasil ternak terinfeksi Konsumsi daging dengan infeksi bakteri dapat memindahkan atau mendistribusikan sporabakteri dari suatu daerah ke daerah yang lain. Gerbang penularan penyakit antraks antara lain:1. Per oral Penularan penyakit yang lazim adalah melalui saluran pencernaan, dimana hewan tertular antraks karena menelan spora antraks atau memakan dan minum bahan makanan yang mengandung atau tercemar bakteri penyebab antraks (Ditjennak, 2001). Spora akan masuk ke saluran pencernaan dan akan membuat ulcer pada bagian organ pencercernaan sehingga fungsi pencernaan terganggu.2. Per kutanSpora yang terdapat di lingkungan dapat menularkan antraks melalui kulit yang terbuka, sehingga spora dapat melakukan germinasi menjadi bakteri vegetatif. Dan merusak jaringan yang terdapat pada sekitar daerah terinfeksi dan menyebabkan ulser serta necrosis yang tampak menghitam (pada manusia).3. Per inhalasiSpora yang terbang terbawa angin, akan mudah terhirup oleh hewan rentan maupun manusia. Apabila spora terhirup, dapat terjadi gangguan di daerah saluran pernapasan. Bakteri yang telah germinasi menjadi bentuk vegetatif akan merusak mukosa dari hidung. Dan terjadi gangguan pada sistema respiratory. 4. PerantaraArtropoda juga dapat berperan sebagai perantara dalam penyebarluasan bakteri berspora Bacillus antracis. Di daerah iklim panas lalat pengisap darah antara lain jenis Tabanus dapat bertindak sebagai pemindah penyakit. 3.4 Pengendalian3.4.1 PengobatanPengobatan pada hewan sakit diberikan suntikan anti serum dengan dosis kuratif 100-150 ml untuk hewan besar dan 50-100 ml untuk hewan kecil. Penyuntikan antiserum homolog adalah IV atau SC, sedang yang heterolog SC. Jika perlu penyuntikan pengobatan dapat diulangi secukupnya. Lebih dini pemakaian serum diselenggarakan sesudah timbul gejalagejala sakit, lebih besar kemungkinan untuk diperoleh hasil yang baik. Hewan tersangka sakit atau yang sekandang/segerombolan dengan hewan sakit, diberi suntikan pencegahan dengan antiserum. Kekebalan pasif timbul seketika, akan tetapi berlangsung tidak lebih lama dari 2 minggu.Pemberian antiserum untuk tujuan pengobatan dapat dikombinasikan dengan pemberian antibiotik. Jika antiserum tidak tersedia, dapat dicoba dengan obat-obatan seperti berikut : Anthraks stadium awal pada kuda dan sapi diobati dengan procain penicillin G dilarutkandalam air suling steril dengan dosis untuk hewan besar 6.000-20.000 IU/kg berat badan, IMtiap hari. Hewan kecil : 20.000-40.000 IU/kg berat badan, IM tiap hari.Streptomycin sebanyak 10 gram (untuk hewan besar seberat 400-600 kg) setiap hari yangdiberikan dalam dua dosis secara intramuskuler dianggap lebih efektif dari penicillin. Akantetapi lebih baik dipakai kombinasi penicillin - streptomycin. Selain penicillin dapat puladipakai oxytetracycline. Untuk sapi dan kuda mula-mula 2 gm IV atau IM, kemudian 1 gmtiap hari selama 3-4 hari atau sampai sembuh. Oxytertracyclin dapat diberikan dalamkombinasi dengan penicillin. Antibiotika lain yang dapat dipakai antara lain : chloramphanicol, erythromycin, atau sulfonamine (sulfamethazine, sulfanilamide, sulfapyridine, sulfathiazo), tetapi obat-obatan tersebut kurang ampuh dibandingkan dari penicillin atau tetracycline.3.5.2 Pelaporan, pencegahan, pengendalian dan pemberantasana. PelaporanPerlakuan terhadap hewan yang dinyatakan berpenyakit anthraks dilarang keras untuk dipotong. Bagi daerah bebas anthraks, tindakan pencegahan di dasarkan pada pengaturan yang ketat terhadap pemasukan hewan kedaerah tersebut. Anthraks pada hewan ternak dapat dicegah dengan vaksinasi. Vaksinasi dilakukan pada semua hewan ternak di daerah enzootik anthraks setiap tahun sekali, disertai cara-cara pengawasan dan pengendalian yang ketat.b. Pengendalian dan pemberantasanDisamping pengobatan dan pengebalan, perlu cara-cara pengendalian khusus untukpenahan penyakit dan mencegah perluasannya. Tindakan-tindakan tersebut adalah sebagai berikut : Hewan-hewan yang, menderita anthraks harus diasingkan sedemikian rupa sehingga tidak dapat kontak dengan hewan-hewan lain Pengasingan tersebut sedapat mungkin dikandang atau ditempat dimana hewantersebut didapati sakit. Didekat tempat itu digali lubang sedalam 2 -2,5 meter,untuk menampung sisa makanan dan feses dari kandang hewan yang sakit Setelah penderita mati, sembuh atau setelah lubang itu terisi sampai 60 cm, lubang itu di penuhi dengan tanah Dilarang menyembelih hewan-hewan yang sakit Hewan-hewan tersangka tidak boleh meninggalkan halaman dimana ia berdiam sedangkan hewan-hewan yang lain tidak boleh dibawa ketempat itu Jika diantara hewan-hewan yang tersangka tersebut timbul gejala-gejala penyakit, maka hewan-hewan yang sakit tersebut diasingkan Jika diantara hewan-hewan yang tersangka dalam waktu 14 hari tidak ada yang sakit, hewan-hewan tersebut dibebaskan kembali Di pintu-pintu yang menuju halaman, dimana hewan-hewan yang sakit atautersangka sakit diasingkan dipasang papan bertuliskan "Penyakit Hewan Menular Anthraks" disertai nama penyakit yang dimengerti didaerah itu Bangkai hewan yang mati karena anthraks harus segera dibinasakan dengan dibakar habis atau dikubur dalam-dalam Setelah penderita mati atau sembuh, kandang dan semua perlengkapan yang tercemar harus dihapus hamakan Kandang dari bambu atau alang-alang dan semua alat-alat yang tidak dapat diidentifikasi, harus dibakar Dalam satu daerah, penyakit dianggap telah berlalu setelah lewat masa 14 hari sejak matinya atau sembuhnya penderita terakhir Untuk mencegah perluasan penyakit melalui serangga, dipakai obat-obat pembunuh serangga Hewan yang mati karena anthraks dicegah agar tidak dimakan oleh hewan pemakan bangkai Tindakan sanitasi umum terhadap manusia yang kontak dengan hewan penderita penyakit dan untuk mencegah perluasan penyakit.c. PelaporanLaporan kejadian penyakit anthraks berisi informasi selengkap mungkin, disampaikan kepada Kepala Dinas Peternakan dan Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang dilengkapi dengan pengisian formulir yang telah ditentukan, seperti:(1) Laporan Dinas Peternakan atau Dinas yang berwenang ke Pemerintah Daerah,dan ke Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan Deptan RI,mengenai terdapatnya kejadian anthraks(2) Mengirim bahan-bahan pemeriksaan penyakit ke laboratorium yang berwenanguntuk peneguhan adanya penyakit(3) Pernyataan tentang terdapatnya/bebasnya suatu daerah terhadap Anthraks olehKepala Pemerintah Daerah setelah adanya peneguhan teknis

BAB IVPENUTUP4.1 KesimpulanAntraks merupakan penyakit yang disebabkan Bacillus anthracis yang bersifat zoonosis. Bakteri ini memiliki endospora yang membuatnya dapat bertahan bertahun-tahun di lingkungan ekstrim sekalipun. Antraks dapat menginfeksi berbagai hewan seperti ruminansia (sapi, domba kerbau), kuda, babi, hewan liar dan manusia. Antraks biasanya tumbuh pada daerah tanah berkapur dan kaya akan bahan-bahan organik. Hewan dalam kondisi kedinginan, kekurangan makanan, dan juga keletihan dapat mempermudah timbulnya penyakit ini. Wabah ini bisa menular ke daerah lain karena dipengaruhi beberapa factor yaitu perpindahan atau transportasi ternak yang terinfeksi antraks, pengunaan Lahan dikuburnya ternak yang terinfeksi antraks, spora terbawa oleh angin atau aliran air, distribusi dan Pengkonsumsian karkas daging atau bahan pangan hasil ternak terinfeksi. Jalur penularan antraks yaitu secara per-oral, per-kutan, per inhalasi, spora yang terbang terbawa angin, akan mudah terhirup oleh hewan rentan maupun manusia dan menggunakan hewan perantara seperti artropoda juga dapat berperan sebagai perantara dalam penyebarluasan bakteri berspora Bacillus antracis.. Pengobatan pada hewan sakit dapat diberikan suntikan anti serum dengan dosis kuratif 100-150 ml untuk hewan besar dan 50-100 ml untuk hewan kecil. Jika antiserum tidak tersedia, dapat dicoba dengan obat-obatan seperti procain penicillin G, Streptomycin, penicillin streptomycin, selain penicillin dapat pula dipakai oxytetracycline. Antibiotika lain yang dapat dipakai antara lain chloramphanicol, erythromycin, atau sulfonamine (sulfamethazine, sulfanilamide, sulfapyridine, sulfathiazo), tetapi obat-obatan tersebut kurang ampuh dibandingkan dari penicillin atau tetracycline.

DAFTAR PUSTAKA

Brooks GF et all. 1996. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 20 Halaman 194-196Direktorat Jenderal Peternakan. 2001. Manual Penyakit Hewan. Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian. Jakarta.Dragon, D.C. dan Rinnie, R.P. 1995. The Ecology of Anthraks Spore. Canadian Vet, J. 87:208-213Rahayu, Asih. 2010. Antrax di Indonesia. Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya. SurabayaTurnbull, P. C. B., Bohm, R., Doganay, M.,Hugh-Jones, M., Lalitha, M. K. and De Vos, V. 1998. Guidelines on Antraks Surveillance and Control of Antraks in Human and Animals. 3rd edition. http://www.Turnbull.int/emc[26 Juli 2010].