22
Asosiasi Psikologi Industri & Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002 BUDAYA PERUSAHAAN PT BANK SWASTA “X” Oleh Rufus Patty Wutun Pasca Sarjana PIO Universitas Indonesia Latar Belakang Setelah para pimpinan dari sejumlah negara menandatangani kesepakatan perdagangan (AFTA, APEC, NAFTA), lembaga-lembaga perekonomian di Indonesia sibuk mempersiapkan diri memasuki era perdagangan pasar bebas yang ditandai oleh situasi ketidakpastian, kompetisi meningkat pesat, beraneka produk tersedia, dan memungkinkan konsumen sangat rasional dalam memilih produk yang dibutuhkan. Sementara, kondisi di dalam negeri terus dilanda oleh memburuknya ekonomi nasional dan moneter serta krisis di bidang politik, hukum dan moral cukup memprihatinkan. Belum lagi, penerapan restrukturisasi di sektor perbankan nasional mengakibatkan kesulitan dan keterbatasan pengucuran kredit karena tingkat suku bunga bank menjadi tinggi dan kurang menguntungkan bagi para pengusaha di sektor perbankan nasional. PT Bank X sebagai salah satu bank sehat dari sejumlah bank swasta nasional sedang siap memasuki ajang kompetisi yang ketat berbasis pada growth dan daya saing. Untuk menghadapi persaingan diperlukan berbagai upaya pem-benahan pada berbagai aspek agar mampu memenuhi kualitas standar daya saing internasional. Tantangan dan persaingan memicu motivasi PT Bank X Tbk untuk meninjau ulang berbagai kekuatan dan kelemahannya dan kemudian mencari solusi-solusi yang perlu dilakukan untuk meningkatkan dinamisasi, fleksibilitas, dan adaptasi perusahaan serta lebih responsif terhadap berbagai perubahan eksternal yang muncul. Dengan perkataan lain, Bank X diharapkan mampu menciptakan ling-kungan kerja yang lebih kondusif bagi pengembangan pengembangan inisiatif, kreativitas, dan motivasi, bersemangat dan bekerja keras serta lebih aktif berpar-tisipasi dalam seluruh aktivitas dan proses bisnis untuk mendukung optimalisasi performansi kolektif yang lebih memuaskan. Upaya pengembangan kualitas SDM perlu terus dilakukan. Bennis (1996) menegaskan bahwa bisnis yang kekurangan dana dapat dipinjam, teknologi yang kurang canggih dapat dilengkapi dengan cara mendatangkannya, dan 254

Makalah 27_254_268 Rufus

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Makalah 27_254_268 Rufus

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

BUDAYA PERUSAHAAN PT BANK SWASTA “X”Oleh Rufus Patty Wutun

Pasca Sarjana PIO Universitas Indonesia

Latar BelakangSetelah para pimpinan dari sejumlah negara menandatangani

kesepakatan perdagangan (AFTA, APEC, NAFTA), lembaga-lembaga perekonomian di Indonesia sibuk mempersiapkan diri memasuki era perdagangan pasar bebas yang ditandai oleh situasi ketidakpastian, kompetisi meningkat pesat, beraneka produk tersedia, dan memungkinkan konsumen sangat rasional dalam memilih produk yang dibutuhkan. Sementara, kondisi di dalam negeri terus dilanda oleh memburuknya ekonomi nasional dan moneter serta krisis di bidang politik, hukum dan moral cukup memprihatinkan. Belum lagi, penerapan restrukturisasi di sektor perbankan nasional mengakibatkan kesulitan dan keterbatasan pengucuran kredit karena tingkat suku bunga bank menjadi tinggi dan kurang menguntungkan bagi para pengusaha di sektor perbankan nasional.

PT Bank X sebagai salah satu bank sehat dari sejumlah bank swasta nasional sedang siap memasuki ajang kompetisi yang ketat berbasis pada growth dan daya saing. Untuk menghadapi persaingan diperlukan berbagai upaya pem-benahan pada berbagai aspek agar mampu memenuhi kualitas standar daya saing internasional. Tantangan dan persaingan memicu motivasi PT Bank X Tbk untuk meninjau ulang berbagai kekuatan dan kelemahannya dan kemudian mencari solusi-solusi yang perlu dilakukan untuk meningkatkan dinamisasi, fleksibilitas, dan adaptasi perusahaan serta lebih responsif terhadap berbagai perubahan eksternal yang muncul.

Dengan perkataan lain, Bank X diharapkan mampu menciptakan ling-kungan kerja yang lebih kondusif bagi pengembangan pengembangan inisiatif, kreativitas, dan motivasi, bersemangat dan bekerja keras serta lebih aktif berpar-tisipasi dalam seluruh aktivitas dan proses bisnis untuk mendukung optimalisasi performansi kolektif yang lebih memuaskan. Upaya pengembangan kualitas SDM perlu terus dilakukan. Bennis (1996) menegaskan bahwa bisnis yang kekurangan dana dapat dipinjam, teknologi yang kurang canggih dapat dilengkapi dengan cara mendatangkannya, dan bisnis yang kurang tepat wilayah operasi dapat dipin-dahkan, akan tetapi bisnis yang kekurangan mutu sumberdaya manusia tidak dengan mudah dapat digantikan. Karena itu, upaya penelaahan terhadap budaya perusahaan penting dan perlu untuk dilakukan. Dengan mengetahui ciri-ciri budaya perusahaan saat ini, upaya pengembangan ke arah pencapaian visi dan misi perusahaan lebih mudah untuk dilakukan.

Studi budaya perusahaan di PT Bank X dilakukan dengan tujuan untuk memotret, mengidentifikasi, dan menjelaskan profil-profilnya yang meliputi profil nilai-nilai, dan praktik-praktik yang sering organisasi lakukan baik untuk menata integrasi internal maupun melakukan adaptasi eksternal dalam menghadapi berbagai perubahan

254

Page 2: Makalah 27_254_268 Rufus

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

dan tantangan eksternal. Dengan demikian, lingkup studi budaya perusahaan PT Bank X Tbk meliputi nilai-nilai perusahaan, dan praktik-praktik yang sering dilakukan perusahaan dalam mengelola seluruh aktivitas bisnisnya. Hal-hal tersebut akan dibahas secara ringkas sebagai berikut.Pendekatan Penelitian

Metode yang digunakan adalah survei yang bersifat deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan cara gabungan antara pende-katan yang bersifat top-down dan botton-up. Artinya, pendekatan top-down, men-targetkan level pendiri dan mantan direksi, para direksi dan para officer yang ada sekarang, sementara bottom-up mentargetkan level karyawan non officer.

Dari sisi cara untuk mendapatkan data, survei ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara yakni wawancara mendalam dengan pendiri,dan para direksi sementara diskusi mendalam di tingkat dilakukan di tingkat unit dengan melibat-kan para karyawan officer dan non-officer. Sedangkan, pendekatan kuantitatif di-lakukan dengan menggunakan kuesioner yakni VSM 94 dari Hofstede (1994) dan “Where I Work Questinnaire” versi revisi dari Verbeck (2001). VSM digunakan untuk mengukur nilai sementara Where I Work digunakan untuk mengukur organizational practices. Teknik sampling yang dipakai dalam penelitian ini yakni random sampling. Jenis data penelitian ini adalah data primer yang kemudian diolah dan dianalisis dengan menggunakan teknik analisis statistik.

Budaya OrganisasiSejak awal tahun 1980-an, budaya menjadi gagasan penting bagi

para peneliti dan ilmuwan organisasi, ketika aspek-aspek simbolik dari organisasi menjadi obyek telaahan penting. Puncak penelaahan terhadap aspek-aspek simbolik tersebut terjadi ketika ekonomi Amerika mengalami divisit perdagangan mencapai lebih dari 16 % dan tingkat pengangguran mencapai 9,5 %.

Kondisi ekonomi dan perdagangan Amerika semakin terancam ketika produk-produk Jepang membanjir menguasai pasar domestik Amerika. Kondisi ter-sebut memicu para peneliti Amerika untuk mencari tahu mengapa Jepang berhasil mencapai kemajuan ekonomi dengan membanjirnya produk-produk Jepang menguasai pasar yang sebelumnya dikuasai Amerika. Hasil akhir penelaan menyimpulkan bahwa faktor budaya sebagai salah satu faktor penting yang men-dorong kemajuan ekonomi Jepang. Dengan demikian, penentu persaingan ekonomi yang terjadi antara negara bukan terletak pada faktor ekonomi tetapi pada faktor culture.

Bersamaan dengan itu, Deal & Kennedy (1982) meluncurkan karya mereka berjudul Corporate Culture. Karya populer kedua penulis tersebut khusus menelaah aspek-aspek budaya seperti values, rituals, heroes, dan symbols yang diyakini mempengaruhi kinerja perusahaan. Karya Deal & Kennedy secara mendalam mengupas mengenai basic values, beliefs, dan berbagai prinsip yang mendasari sistem, praktik,

255

Page 3: Makalah 27_254_268 Rufus

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

dan perilaku manajemen perusahaan. Mereka berpendapat bahwa basic values, asumpstions, beliefs, dan prinsip-prinsip manajemen di perusahaan, diakui bermakna bagi karyawan karena secara signifikan terbukti meningkatkan kinerja perusahaan di masa lalu bahkan yang akan datang.

Di Indonesia, cukup banyak studi tentang budaya terutama di bidang antropologi. Dalam bidang psikologi dan organisasi, pengkajian terhadap budaya organisasi masih terbatas dan langka. Dari sejumlah pengkajian yang terbilang langka, kajian yang dilakukan Redding & Cassey (1977), dan Hofstede (1997) cukup sering dirujuk dalam studi budaya organisasi. Redding & Cassey, pernah menelaah budaya dan kepemimpinan perusahaan di Indonesia. Meskipun studi yang di-lakukan oleh kedua peneliti asing ini tidak secara khusus menjelaskan tentang kontribusi budaya terhadap sikap dan kinerja perusahaan, tetapi kedua studi tersebut cukup lengkap menjelaskan tentang nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia dan implikasinya terhadap hubungan antara pimpinan dan bawahan di perusahaan.

Terhadap studi Redding dan Cassey harus diakui sebagai salah satu karya penting dan mendasar bagi studi-studi berikutnya. Salah satu penelaan penting lainnya setelah kajian Redding & Cassey, yakni kajian Hofstede. Karya ini khusus menelaah budaya sebagai aspek penting yang berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Studi Hofstede di IBM melibatkan 50 negara sample, termasuk Indonesia, yang mengikutsertakan 95 orang manajer. Telaah yang dilakukan Hofstede berhasil menjelaskan tipologi budaya perusahaan di Indonesia secara lengkap. Hofstede berhasil mendesksripsikan ciri-ciri budaya masyarakat Indonesia sebagai masyarakat plural yang berindeks power distance lebar dan collectivism.

Dalam merumuskan dan mengembangkan sistem manajemen, strategi, struktur, dan visi dan misis perusahaan, perlu sekali dipertimbangkan faktor nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia. Karena mengabaikan faktor nilai-nilai budaya dalam upaya penataan sistem dan pengembangan pola manajemen perusahaan di Indonesia tidak mempertimbangkan keselarasan dengan faktor nilai-nilai budaya masyarakat, maka kesalahan terbesar hingga sekarang harus dibayar mahal yakni runtuhnya ekonomi Indonesia.

Culture (budaya) berasal dari kata Latin “collere” berarti sistem bercocok tanam. Sejak tahun 1960-an hingga akhir tahun 1970-an, istilah tersebut meluas pemakaiannya di dalam organisasi. Sejalan dengan perkembangan waktu dan zaman, muncul bermacam persepsi tentang budaya organisasi. Salah satu penye-bab perbedaan persepsi dilatari oleh perbedaan latar belakang dan pendekatan yang digunakan para analis dalam menganalisis budaya organisasi.

Terlepas dari silang pendapat tentang persepsi budaya organisasi, Hofstede (1997) berpendapat bahwa sebagian besar orang yang menulis tentang masalah budaya organisasi sependapat mengenai beberapa ciri pokok budaya perusahaan yang bersifat umum. Ciri-ciri pokok, menurutnya, mencakup (1) budaya organisasi merupakan satu kesatuan yang integral dan saling terkait atau tidak hanya sekedar satu kesatuan dari sejumlah bagian yang menjadi unsur bawahan langsung

256

Page 4: Makalah 27_254_268 Rufus

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

dari budaya organisasi tersebut; (2) budaya organisasi merupakan refleksi sejarah dari organisasi yang bersangkutan; sejarah ikut menentukan budaya sebuah organisasi; oleh karena itu, untuk memahami budaya organisasi, sejarah berdirinya organisasi tertentu perlu diketahui; (3) budaya organisasi berkaitan dengan hal-hal yang dipelajari oleh para antropolog seperti ritual, simbol, ceritera, dan ketokohan; oleh sebab itu, pengertian budaya organisasi yang dianut selama ini lebih berlatarkan pandangan antropologis; (4) budaya organisasi dibangun secara sosial, dalam pengertian bahwa budaya organisasi lahir dari konsensus bersama dari sekelompok orang yang mendirikan organisasi tersebut; dan (5) budaya organisasi sulit diubah.

Bertolak dari sejumlah ciri pokok budaya organisasi yaitu budaya dapat dikelola untuk meningkatkan kinerja organisasi, maka pola analisis yang di-gunakan Hofstede untuk mengkaji budaya organisasi dapat dikategorikan ke dalam sudut pandang fungsionalis. Sudut pandang ini mengkaji realitas budaya ber-dasarkan unsur-unsur pembentuk ciri dan identitas organisasi baik yang bersifat infeasible maupun yang feasible. Unsur-unsur budaya yang bersifat feasible, kemungkinan lebih mudah dimanipulasi dan dikelola untuk meningkatkan kinerja organisasi dibanding dengan unsur-unsur yang bersifat infeasible. Atas dasar itu, boleh jadi mendorong Hofstede mendefinisikan budaya organisasi sebagai the collective programming of the mind. Lebih lanjut, Hofstede menyatakan bahwa the collective programming of the mind, berisi basic values dan practices. Nilai-nilai yang diterima dan dianut bersama dan praktik-praktik yang sering dilakukan oleh para anggota dan organisasi diakui sebagai identitas pembeda organisasi.

Karena collective programming sebagai sebuah konsep yang berisi values dan practices dari organisasi, maka usaha Hofstede untuk mendalami bagaimana hubungan di antara aspek nilai-nilai dan aspek praktik-praktik yang sering di-lakukan organisasi dalam mengelola seluruh aktivitas dan proses bisnis menjadi telaah penting lebih lanjut. Hasil pengujian Hofstede terhadap hubungan antara unsur values dan practice secara empirik berkorelasi sangat lemah. Berarti asumsi bahwa ada hubungan antara nilai-nilai dan praktik-praktik organisasi tidak ter-bukti dan tidak didukung data.

Temuan empirik ini memberikan dasar bagi Hofstede untuk menyatakan bahwa nilai-nilai yang terbentuk di dalam suatu organisasi kerja sumber asalnya dari masyarakat yang kemudian dibawa masuk ke dalam organisasi ketika se-seorang membangun atau menjadi anggota organisasi kerja tertentu. Nilai-nilai dari suatu masyarakat diyakini dominan mempengaruhi budaya perusahaan tempat organisasi berada. Validasi empirik ini masuk akal untuk memperkuat simpulan Hofstede bahwa nilai-nilai budaya merupakan gejala kolektif yang awal pemben-tukan bermula dari keluarga, sosial, sekolah, dan universitas. Artinya, nilai-nilai budaya lebih mencerminkan gejala komunitas dan karena itu, ketika membahas budaya organisasi pendekatannya dapat dilakukan melalui tiga level analisis yakni level negara, jabatan, dan organisasi. Karena ketiga level analisis budaya memiliki kandungan dan sumber asal values dan practices berbeda.

257

Page 5: Makalah 27_254_268 Rufus

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

Upaya membahas budaya perusahaan pada level analisis organisasi akan meng-gambarkan berbagai praktik yang sering dilakukan anggota organisasi di tempat mereka bekerja bersifat top-down. Hofstede, et al. (1990), dan Hofstede (1997) menegaskan tidak dapat diragukan bahwa nilai-nilai para pendiri dan pemimpin kunci membentuk budaya perusahaan tetapi bagaimana sosialisasi praktik-praktik yang bersifat top-down disosialisasikan dan mempengaruhi perilaku para karyawan perusahaan. Ringkasnya, para karyawan mempraktikkan nilai-nilai para pendiri dan para pemimpin puncak di perusahaan.

Dengan kata lain, budaya perusahaan dibentuk dan dikembangkan oleh para pendiri dan pimpinan organisasi yang kemudian dipelajari bersama melalui proses sosialisasi di tempat para karyawan bekerja, baik secara individual maupun lintas kelompok unit kerja. Hofstede juga menegaskan bahwa di tempat kerja boleh jadi terdapat konflik dan perbedaan nilai-nilai antara nilai-nilai pendiri dan atau pemimpin orga-nisasi dan nilai-nilai karyawan biasa. Namun, karena perbedaan level antara posisi karyawan sebagai subordinat dan pendiri dan atau atasan sebagai superordinat, maka para karyawan harus mengadaptasi nilai-nilai personal mereka dalam luasan yang terbatas sesuai dengan kebutuhan dan arahan pihak manajemen. Akibatnya, nilai-nilai individu tampil dalam jumlah dan kualitas yang terbatas.

Jadi, nilai-nilai kerja yang dipersepsi, dihayati, dirasakan, dan disosialisasi di antara para karyawan organisasi diterima dari atasan sebagai dasar dan pedoman bersama dalam mengarahkan pola pikir, sikap, pola bertutur dan ber-tindak menyelesaikan tugas-tugas pekerjaan di tempat mereka bekerja. Jadi, nilai menjadi dasar yang mendorong perilaku karyawan yang secara kasat mata mudah diamati dan diukur sehingga pengamatan budaya cenderung terarah pada aspek-aspek yang berwujud ritus, heroes, dan symbols. Pandangan ini searah dengan Bower (1985), Schein (1992), Chen (1994), dan Denison (1990). Bower mem-batasi budaya organisasi sebagai cara kita mengerjakan sesuatu di sini. Schein menegaskan bahwa esensi budaya organisasi terletak pada cara organisasi melaku-kan sesuatu di perusahaan. Chen membatasi budaya organisasi sebagai aturan-aturan perilaku yang dapat diobservasi melalui interaksi manusia. Sementara Denison menegaskan bahwa istilah yang paling tepat menggambarkan budaya organisasi melalui variabel-variabel perilaku. Dengan perkataan lain, budaya perusahaan lebih tepat menggambarkan aspek praktik-praktik daripada aspek values.

Uraian dan penjelasan tersebut secara langsung menegaskan bahwa budaya organisasi merupakan sebuah golongan gejala yang berbeda dari budaya masya-rakat suatu negara. Riset lintas organisasi yang dilakukan Hofstede, et al. (1990) membuktikan bahwa budaya nasional berbeda terutama pada tingkat nilai-nilai dasar sementara budaya organisasi berbeda terutama pada tingkat praktik-praktik rutin yang mencakup simbol, ketokohan, dan ritual yang bersifat superfisial. Meskipun demikian, Hofstede (1997) menegaskan bahwa budaya masyarakat secara dominan dan signifikan mempengaruhi sikap, perilaku, dan kinerja organi-sasi. Searah dengan ini, Robbins (1996)

258

Page 6: Makalah 27_254_268 Rufus

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

menyatakan bahwa riset menunjukkan budaya nasional mempunyai dampak yang lebih besar pada karyawan daripada budaya organisasi. Berarti pembahasan tentang budaya organisasi akan mencakup aspek-aspek budaya yang bersifat infeasible (values) dan aspek-aspek lainnya yang bersifat feaisible (organizational practices).

Aspek-aspek budaya organisasi baik basic values maupun organizational practices secara khusus akan didiskusikan pada bagian berikut.

Nilai-Nilai DasarNilai-nilai menggambarkan pandangan dan keyakinan seseorang

tentang sesuatu dalam ukuran penting-tidak penting, dan baik-tidak baik. Batasan yang digunakan seseorang untuk menilai sesuatu selalu terkait dengan sumbangan dari aspek tersebut terhadap seseorang yang sedang melakukan proses penilaian. Karena itu, sesuatu diyakini bernilai paling tidak mencerminkan ukuran pragmatic (penting-tidak penting), moralistic (baik-tidak baik), dan ukuran affective (suka/senang-tidak suka/senang). Berdasarkan ukuran-ukuran tersebut seseorang menempatkan makna tentang sesuatu mengikuti hierarki sumbangan bagi kebutuhan diri seseorang.

Sama hal dengan budaya, nilai-nilai juga dipersepsi secara berbeda oleh setiap orang. Akan tetapi umumnya orang cenderung sepakat bahwa nilai merupa-kan inti dari budaya. Inti dari nilai adalah work goals dan general beliefs. Nilai-nilai dasar yang hidup dalam organisasi bersumber dari para anggota komunitas. Nilai-nilai individu dibawa masuk ke organisasi dan dapat dimiliki bersama melalui share process di antara para anggota organisasi. Karenanya, budaya dalam tataran individual mengenal values sementara budaya dalam tataran kolektif mengenal practices. Budaya dalam tataran individual dalam arti nilai-nilai dasar dipengaruhi oleh budaya komunitas dimana keanggotaan individu merupakan bagian dari suatu komunitas. Komunitas memiliki para anggota sama dengan budaya memiliki nilai-nilai sebagai intinya. Karena keanggotan individu sebagai bagian dari komu-nitas, maka nilai-nilai dasar individu juga merupakan bagian budaya dari ke-anggotaan sebuah komunitas. Berarti nilai-nilai dasar individu merepresentasikan nilai-nilai budaya sebuah komunitas.

Sehubungan dengan ini, Hofstede (1997) menegaskan bahwa perbedaan budaya masyarakat lebih mengacu pada nilai-nilai dasar budaya nasional semen-tara perbedaan budaya organisasi cenderung bersifat superfisial. Hal itu berarti pembahasan tentang budaya organisasi tidak terlepas dari national values, karena perusahaan boleh dibilang miniatur dari sebuah masyarakat dari sebuah negara. Jadi, budaya perusahaan, dalam hal ini, dibatasi sebagai the collective programming of the mind yang berisisi basic values dan organizational practices yang membeda-kan satu organisasi dengan lainnya. Hofstede berpendapat bahwa nilai-nilai masyarakat amat berpengaruh terhadap perilaku dan praktik-praktik bisnis di perusahaan. Hasil studi Hofstede di IBM menemukan lima dimensi nilai sebagai pembeda antarnegara. Kelima dimensi nilai menurut Hofstede mencakup power distance,

259

Page 7: Makalah 27_254_268 Rufus

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

individualism, uncertainty avoidance, masculinity, dan confucian dyna-mism (Hofstede, 1997).

1. Power Distance (PDI) PDI menggambarkan seberapa jauh para anggota menerima

ketimpangan terhadap distribusi kekuasaan dalam sebuah organisasi. Organisasi yang ber-PDI rendah memberi perhatian terhadap orang, dan menginginkan pembagian kekuasaan secara merata dan menolak pembedaan anggota berdasarkan kategori-kategori sosial. Mereka berkeinginan dan berkomitmen membangun komunikasi dan infor-masi yang lebih terbuka, lengkap, dan kerjasama tim dibutuhkan untuk mencapai tujuan bersama. Sementara organisasi yang ber-PDI tinggi akan menerima dan mengakui ketimpangan pembagian kekuasaan dan menerima pengakuan atas kategori-kategori sosial dan status sosial para anggota.

2. Individualism (IDV)IDV menggambarkan pola tatanan organisasi yang tidak mengikat

para anggota-nya. Tatanan organisasi menempatkan pengakuan terhadap identitas dan peng-hargaan akan kebebasan pilihan anggota secara individual. Berarti para anggota organisasi lebih suka bertindak sebagai pribadi daripada sebagai anggota suatu kelompok. Sementara, organisasi yang collectivism (COL) menempatkan pengakuan terhadap keanggotaan organisasi sebagai representasi dari kepentingan organisasi. Anggota organisasi lebih suka bertindak dengan dan atas nama kepentingan orga-nisasi sebagai identitas keanggotaannya. Karena itu, hubungan sosial lebih mementingkan kebersamaan, kekeluargaan, apresiasi sosial, toleransi, konsensus, dan berkomitmen untuk menjaga harmonisasi sosial di antara mereka.

3. Uncertainty Avoidance (UAI)UAI berkaitan dengan upaya mengontrol agresi dan ekspresi

emosi dalam meres-pons ketidakpastian situasi-situasi yang mengancam. Para anggota organisasi lebih menyukai situasi-situasi yang berstruktur dan menghindar dari situasi yang tidak berstruktur. Organisasi yang ber-UAI tinggi mencerminkan para anggota organisasi yang memiliki tingkat kecemasan yang tinggi, perasaan penuh curiga yang di-ungkapkan dalam perilaku seperti gugup, stress, dan agresif. Karena mereka merasa tidak nyaman dan terancam dalam situasi yang tidak berstruktur, maka mereka berusaha membangun mekanisme pertahanan diri melalui berbagai aturan formal, percaya kepada kebenaran absolut, dan kurang toleran terhadap berbagai perilaku menyimpang.

4. Masculinity (MAS)MAS menggambarkan distribusi peran dan tanggungjawab

berdasarkan gender. MAS mencerminkan ciri-ciri yang mengutamakan nilai keasertifan, perolehan uang, barang, dan kompetisi. Tipe budaya ini mementingkan kuantitas kehidupan. Sementara, budaya femininity

260

Page 8: Makalah 27_254_268 Rufus

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

(FEM) berorientasi pada nilai-hubungan dan mem-perlihatkan kepekaan dan keprihatinan terhadap kesejahteraan orang lain dan lingkungan. Tipe budaya ini lebih mementingkan kualitas kehidupan.

5. Long Term Orientation (LTO) LTO menggambarkan cara pandang para anggota organisasi

terhadap masa depan. Organisasi yang menekankan LTO mencerminkan ciri-ciri nilai seperti hemat, tekun, dan mempersepsi waktu berjalan secara lurus. Sementara organisasi yang menekankan short term orientation (STO) memperlihatkan pengutamaan terhadap tradisi-tradisi sosial, berusaha memenuhi kewajiban-kewajiban sosial, harga diri, dan perasaan malu.

Praktik-Praktik OrganisasiAspek budaya perusahaan yang tampak dan bersifat superfisial

dalam pola-pola tindakan, kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan organisasi lebih mencerminkan unsur symbols, heroes, dan rituals. Praktik-praktik ini umumnya dipersepsikan memiliki makna khusus bagi para karyawan di organisasi. Perilaku dan kebiasaan yang ditampilkan secara rutin dalam organisasi disebut Hofstede (1997) juga Verbeck (2000) sebagai organizational practices (OP).

OP merupakan sebuah konsep untuk menunjukkan bahwa berbagai akti-vitas yang secara sistematis dan umum dipandang penting oleh para anggota dan organisasi. Juga diketahui bahwa OP mempengaruhi hasil kerja dari para anggota dan hasil kerja secara keseluruhan. OP (corporate practices bisa dibaca: CP) mencakup sejumlah dimensi yakni: (1) process oriented versus result oriented, (2) job oriented versus employee oriented, (3) open system versus closed system, (4) professional versus parochial, (5) tightly versus loosely controlled, and (6)pragmatic versus normative.

Berdasarkan temuan Hofstede (1997), Verbeck (2000) merevisi makna semantik pelabelan skala, memvalidasi skala organizational practices, dan merekon-struksi skala ROP yang menguji sejumlah dimensi yakni: (1) process-result dicho-tomy, (2) employee-job dichotomy, (3) organizational-professional dichotomy, (4) open-closeed dichotomy, (5) loose-tight dichotomy, (6) social responsibility-self interest di-chotomy, and (7) market-internal dichotomy sebagai dimensi tambahan yang diperoleh Verbeck berdasarkan inteview focused. Dimensi-dimensi tersebut dijelas-kan sebagai berikut.

261

Page 9: Makalah 27_254_268 Rufus

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

Process-Result Oriented Dimensi ini menggambarkan tentang kesamaan dalam cara-cara

yang dilakukan para anggota organisasi untuk mencapai tujuan. Proses oriented, menggambarkan cara-cara kerja yang bersifat rutin, dan birokratis. Sementara, result oriented meng-gambarkan kepedulian para anggota organisasi terhadap hasil dan tujuan bersama. Dimensi process-result oriented menggambarkan harapan manajemen terhadap para karyawan untuk terlibat secara langsung dalam seluruh proses bisnis. Orientasi proses, menurut Verbeck (2000), menggambarkan ketaatan dan kepatuhan melekat pada tanggungjawab masing-masing dalam menangani seluruh proses tersebut. Para anggota organisasi tidak mau menghindarkan diri dari segala aturan tertulis dan tanggungjawab pribadi. Juga, mereka tidak mau mengambil alih tugas dan tanggungjawab anggota dari departemen lain walaupun dibutuhkan. Dengan kata lain, process-result dichotomy memfokuskan perhatian pada bagai-mana para karyawan dalam dan lintas departemen terlibat dalam seluruh proses bisnis, karena mereka diikat oleh kepentingan akan hasil dan tujuan kolektif.

Employee-Job Oriented Dimensi ini menggambarkan kepedualian organisasi terhadap

orang dan tugas. Orientasi karyawan merujuk pada kesejahteraan karyawan. Kesejahteraan karyawan dan keluarganya merupakan tanggungjawab perusahaan. Organisasi berkomitmen untuk mendukung pengembangan dan pendidikan karyawan, memberi perhatian terhadap kejadian-kejadian dan prestasi pribadi juga mem-perhatikan tekanan kerja terhadap harapan dan kebutuhan para karyawan. Jadi, orientasi karyawan menggambarkan dukungan dan sentuhan pribadi dari pihak manajemen terhadap para karyawan. Sementara, orientasi tugas merujuk pada upaya penyelesaian tugas. Organisasi hanya tertarik pada tugas yang dilakukan para karyawan.

Open-Closed System Dimensi ini menggambarkan cara-cara karyawan dan manajemen

perusahaan menghadapi kritik jika terjadi kesalahan. Open system menggambarkan keterbuka-an para manajer dan karyawan terhadap kritik, saran dan perbedaan pendapat. Karena keterbukaan, memungkinkan organisasi dapat belajar tanpa harus mem-pergunakan taktik pertahanan diri, juga terbuka terhadap pendatang baru dan orang luar. Sementara, closed system memungkinkan organisasi tertutup dan sangat secretive. Karena ketertutupan, organisasi bertindak secara defensive, secretive, dan curiga terhadap new comers dan out groups.

Professional-Parochial Dimensi ini mempertentangkan identitas karyawan pada organisasi

dan tugas yang dilakukan karyawan. Orientasi profesional menekankan identitas karyawan berda-sarkan kompetensi. Sementara, parochial orientation menekankan identitas karya-wan pada organisasi. Berarti, organisasi secara tidak langsung mengkaryakan orang-orang yang

262

Page 10: Makalah 27_254_268 Rufus

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

berdomisili di sekitar lokasi geografik dari perusahaan dalam jangka panjang serta pertimbangan spesialisasi karyawan dalam tingkat moderat. Verbeck (2000) menyebut dimensi ini dengan organizational-professional dichotomy. Dimensi ini menggambarkan karakteristik human resourches (HR) dalam sebuah organisasi.

Loose-Tight Controlled Dimensi ini menggamabarkan penstrukturan internal organisasi

yakni cara-cara yang digunakan manajemen untuk mengontrol karyawan sesuai dengan regulasi kerja setiap hari juga berkenaan dengan berbagai pengeluaran yang dilakukan organisasi. Berarti dimensi ini mencerminkan pola kontrol terhadap kebiasaan kerja organisasi. Organisasi yang loose controlled, anggota organisasi tidak harus melapor jika mereka tiba di tempat kerja lebih awal atau mengambil waktu istirahat lebih lama. Juga, manajemen tidak secara aktif mengontrol perilaku tersebut, akibatnya efisiensi biaya diabaikan. Sementara, tight control, organisasi mengawasi perilaku karyawan secara ketat demi menjaga efisiensi biaya. Harus diingat bahwa sebuah organisasi dapat mengontrol secara ketat melalui pemberlakukan aturan kerja rutin namun juga dapat berorientasi pada process-result dichotomy, tegas Verbeck (2000).

Pragmatic-Normative OrientationDimensi ini, menggagaskan cara-cara pelayanan organisasi

terhadap permintaan dan harapan para pelanggan. Pragmatic oriented (PO) menekankan fleksibilitas pe-layanan sementara normative oriented (NO) menekankan pelayanan yang bersifat prosedur formal dan terinci. PO, aspek hasil lebih penting sementara NO aspek implementasi normative lebih diutamakan. Dalam revision organizational practices (ROP) yang disarankan verbeck dikenal dengan nama self interest-social respon-sibility dichotomy. Verbeck lebih lanjut menyatakan bahwa self interest-social responsibility dichotomy berfokus pada prinsip nilai-nilai dan etika manajemen. Dalam organisasi sosial, manajemen perusahaan mengemban tanggungjawab sosial dan etika sosial sementara self interest mendorong para karyawan berprilaku se-suai dengan misi organisasi. Dengan demikian, dimensi ini sama artinya dengan dikotomi yang berfokus internal-eksternal yang disarankan Quinn & Kimberly (1984).

Market-Internal Dichotomy Dimensi ini menggambarkan cara-cara organisasi berinteraksi

dengan para pelanggan dan pesaing. Orientasi pasar, menekankan pentingnya menggunakan informasi-informasi tentang pelanggan dan pesaing untuk merumuskan dan mengimplementasi strategi (Hunt & Morgan, 1995; Verbeck, 2000).

Hasil-Hasil Temuan

Tabel 1. Profil Responden

263

Page 11: Makalah 27_254_268 Rufus

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

Data Kontrol Frekuensi Prosentasi

* Jenis KelaminLaki-laki 637 54Perempuan 542 46

Total 1179 100

* Jenis PekerjaanAdministraif 366 31Marketing 389 33Suppot 360 31

Total 1115 95

* Level JabatanOperasional 855 72Manajerial 310 26Missing 16

Total 1165 98

* Usia Responden25 – 30 250 2131 – 35 327 2836 – 40 333 29Lebih dari

40258 22

Missing 13Total 1168 78

Tabel 2. Reliabilitas dan validitas instrumen pengukuran.

Instrumen/Dimensi

Reliabilitas/ValiditasKeteranganAlpha

CronbachValiditas item

Values Survei Module

.6901 Min .1113; Max .5300

Untuk nomor 16 dan 18 validitas itemnya di bawah nol (minus)

PDI .4584IDV .6170MAS .3684UAI .3652LTO .7061

Organizational Practices

.7561 Min .2066;Max .5577

Untuk nomor item 01, 08,

264

Page 12: Makalah 27_254_268 Rufus

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

015, 22, 27, 29 dan 33 validitas itemnya di bawah nol (minus)

Process Oriented .5338Employee Oriented

.7493

Open System .7431Tight Control .5728Self Responsibility -.1950Market Oriented .7482

1. Profil Nilai dan praktik-praktik Karyawan Perusahaan X berdasarkan besar nilai Mean

Mean Dimensi Values

Dimensi Organizational

Practices

Mean

29 PDI Process Oriented 3, 30339 IDV Employee Oriented 2,52856 MAS Open System 2,70645 UAI Tight Control 2,38450 LTO Self Responsibility 3,217

Market Oriented 2,344

265

Page 13: Makalah 27_254_268 Rufus

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

Tabel 3. Nilai Mean berdasarkan Level Jabatan

Instrumen/ Dimensi

Level JabatanSignifikansiMean

operasionalMean

manajerialPDI 21 15IDV 42 28MAS 58 50UAI 39 59LTO 49 53

Process Oriented 3,281 3,363Employee Oriented

3,000 2,282

Open System 3,000 2,358Tight Control 2,372 2,419Self responsibility 3,219 3,210Market Oriented 2,349 2,330

Tabel 4. Mean berdasarkan Jenis Pekerjaan

DimensiJenis Pekerjaan

SignifikansiOperasion (administras

i)

Marketing

Support

PDI 20,246 20,000 15,000 R:1.2634; p:.2831IDV 41,000 36,000 38,000 R:1.0419; p:.3531MAS 63,000 52,000 52,000 R:1.7064; p:.1820UAI 48,000 50,000 37,000 * R: 4.0048;

p:.0185LTO 50,000 53,000 50,000 R: 1.0774; p:.3408

Process oriented

3,000 3,000 3,000 *** R:8.8843; p: .0001

Employee oriented

3,000 2,000 3,000 * R: 4.1793; p: .0156

Open system 3,000 3,000 3,000 * R: 3.8901; p: .0207

Tight control 2,000 2,000 2,000 ** R: 6.7547; p: .0012

Self responsibility

3,000 3,000 3,000 * R: 3.2713; p: .0383

Market orienetd

3,000 2,000 3,000 *** R: 13.2286; p: 0000

266

Page 14: Makalah 27_254_268 Rufus

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

Tabel 5. Mean berdasarkan Jenis Kelamin

DimensiJenis Kelamin

SignifikansiPria WanitaPDI 34,000 45,000IDV 34,000 45,000 ***MAS 49,000 64,000 **UAI 48,000 40,000 *LTO 47,000 55,000 ***

Process oriented

3,000 3,000 *

Employee oriented

3,000 3,000

Open system 3,000 3,000Tight control 2,4423 2,3169 ***Self responsibility

3,000 3,000

Market orienetd

2,4542 2,2153 ***

Tabel 6. Ratio F berdasarkan kategori Usia Responden

Dimensi NILAI F Signifikansi

PDI .272 .845IDR .620 .602MAS 2.107 .098UAI .799 .494LTD .571 .634

Process Oriented 1.267 .284Employee Oriented .591 .621Open System 4.364 .003Tihgt Control 1.836 .139Self Responsibility .374 .772Market Oriented .778 .507

DiskusiMengacu pada data empirik yang telah disajikan di atas, sejumlah

simpulan dapat dirumuskan sebagai berikut.Pertama, data menyatakan bahwa budaya perusahaan Bank “X”

dinyatakan sebagai budaya yang kuat karena tercitanya homogenitas penghayatan dan pemaknaan tentang budaya perusahaan di seluruh karyawan baik vertikal maupun horisontal. Sebuah budaya dinyatakan kuat dan positif bagi peningkatan kinerja organisasi jika (1) budaya tersebut diasosiasikan dengan kinerja yang optimal, (2) nilai-nilai, tradisi dan budaya perusahaan telah mengakar sangat dalam (3) cenderung konsisten dengan nilai-nilai dan tradisi yang berlaku, (4)

267

Page 15: Makalah 27_254_268 Rufus

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

secara dominan dan efektif mempengaruhi perilaku kerja para karyawan, dan (5) serta adaptif terhadap perubahan eksternal (Hofstede, 1997; Kotter & Hasket, 1992; Robbins, 1996; Deal & Kennedy, 1982).

Kedua, data menggambarkan bahwa mean PDI sangat rendah. Hal ini menjelaskan bahwa antara manajemen dan karyawan telah membangun dan mem-pertahankan hubungan yang sangat informal sehingga mereka dapat ber-komunikasi secara optimal tanpa dipengaruhi oleh posisi jabatan, jarak, dan waktu serta status mereka. Akibatnya mereka menerima ketidakseimbangan terhadap distibusi tugas dan tanggungjawab masing-masing dalam jabatan dan posisi berbeda sesuai dengan aturan dan prosedur formal yang berlaku. Ini menjadi sebuah temuan yang memperkuat temuan-temuan sebelumnya yang menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia memberi apresiasi yang tinggi terhadap nilai-nilai sosial yang berorientasi vertikal. Apresiasi terhadap nilai-nilai yang berorientasi vertikal tidak bisa diidentikkan penjelasannya dengan rasa takut, gugup, dan segan terhadap senioritas, posisi, dan status sosial lainnya. Karena nilai power distance tidak hanya menggambarkan distribusi tugas, dan tanggunjawab, tetapi juga menjelaskan tentang hubungan vertikal dan horisontal. Nilai-nilai PDI tampaknya mendasari dan mempengaruhi dimensi organizational practices (open system) yang menjelaskan tentang kepedulian, kesediaan, dan komitmen (result oriented) mereka untuk terbuka terhadap kritik, saran, dan perbedaan pendapat serta komitmen yang tinggi untuk mewujudkan hasil dan tujuan bersama.

Ketiga, data menggambarkan mean IDV rendah. Hasil ini memberi dukung-an secara konsisten terhadap temuan-temuan sebelumnya yang menjelaskan bahwa masyarakat Indonesia berorientasi pada ciri nilai kolektivisme. Artinya, nilai-nilai organisasi mementingkan harmonisasi dan keseimbangan hubungan yang saling menguntungkan secara kolektif. Ciri nilai tersebut tampaknya mem-pengaruhi angka organizational practices (Employee Oriented di atas moderat) yang menegaskan manajemen perlu mengoptimalkan perhatian dan dukungan yang memadai terhadap kebutuhan-kebutuhan pribadi dan pengembangan kualitas pribadi dan profesional para karyawan karyawan. Hal ini diperlukan karyawan untuk meningkatkan kepercayaan diri, kemandirian, dan komitmen (result oriented) serta loyalitas mereka terhadap pencapaian hasil dan tujuan bersama serta kuat menghadapi tekanan pekerjaan. Harmonisasi dan keseimbangan hubungan secara kolektif juga tampak mempengaruhi angka self responsibility (di atas moderat) yang menjelaskan kepedualian akan peranan dan tanggungjawab perusahaan publik terhadap kepentingan dan kesejahteraan sosial.

Terakhir, reliabilitas dan validitas intrumen-intrumen pengukuran kualitas-nya agak menjauh dari harapan. Kesangsian kualitas instrumen-instrumen ter-sebut sering dikeluhkan oleh sejumlah peneliti seperti Paul Specktor, et al. (1999). Temuan ini juga memperpanjang keluhan klasik tentang masalah keterbatasan-keterbatasan “alat ukur datangan”. Sumber penyebab keterbatasan instrumen pengukuran, saya cenderung mencurigai masalah penerjemahan dan bahasa.

268

Page 16: Makalah 27_254_268 Rufus

Asosiasi Psikologi Industri & Organisasi (APIO)

Konferensi I APIO – Surabaya, 2 – 3 Agustus 2002

Karena itu, adaptasi, modifikasi, dan perbaikan teknis serta pengujian ulang harus sering dilakukan.

Daftar BacaanBudhi, Paramita. (1985). Struktur Organisasi di Indonesia. Jakarta: Lembaga

Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Deal, E. Terrence, Kannedy A. Allan. (1999). The New Corporate Culture. New

York: Perseus Publissing.Hofstede, Geert. (1997). Culture and Organizational Softwere of the Mind. New

York: Mc.Graw Hill------------. (2001). Culture Consequencies: Comparing Values, Behavior,

Institution, and Organiza-tion Across nasion (Second Edition). London: Sage Publication.

-----------, and Associates. (1998). Masculinity and Femininity: The Tabu Dimension of National Cultures. London: Sage Publication.

-----------. (1998). The Business of International Business is Culture. Cross Cultural Management Journal.

-----------. (2001). Culture resent Consequencies: Using Dimension Scores in Theory and Research. International Journal of Cross-Cultural Mana-gement.

----------.(1994). Values Survey Module (VSM) Manual. Institut for research on Intercultural Coope-ration.

----------.(1993).Cultural Constrains in Management Theories. Academy of Management Excecutive.

Kotter, J. Hasket, L. James. (1992). Corporate Culture and Performance. New York: The Free Press.

Munandar, A.S. (2001). Budaya Pembelajaran, Sumber Daya Manusia, dan Kepepimpinannya. Pidato Purna Bakti. Jakarta. Penerbit Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Schein, H. Edgar. (1992). Organizational Culture and Leadership. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.

Verbeke, Willem. (2002). A Revision of Hofstede et al.’s (1990) Organizational Practice Scale. Journal of Organizational Behavior.

269