M. Irfan Mahmud Pengaruh Peradaban Islam di Papua …
15
M. Irfan Mahmud Pengaruh Peradaban Islam di Papua 27 Papua TH. IV NO. 2 / November 2012 PENGARUH PERADABAN ISLAM DI PAPUA M. Irfan Mahmud (Balai Arkeologi Jayapura) Research on Islamic civilization in Papua has been implemented since 1996. Starting with limited exploration in the area of Raja Ampat Sorong regency. Then proceed in Fak-Fak regency and Kaimana. Study conducted found that the influence of Islamic civilization was stimulated by trade dynamics, especially the Islamic empire in the Moluccas, the Kingdom of Ternate and Tidore. In its development, the kingdom of Tidore absolute power and give a big hand in the formation of Islamic civilization color via satellite countries in the Bird’s Head region along the surrounding islands to colonial entered. Many archaeological remains indication, other than oral sources and the tradition continues. Archaeological remains were found, including the mosques, tombs, pottery, ceramics, religious symbols, and ancient manuscripts. This paper will focus the discussion on three things: (1) a review of Islamic civilization studies conducted Jayapura Archeology, particularly the constraints and problems that still contain the debate to date, (2) the elements of Islamic civilization are essential, such as cultural character and government (petuanan), network scholars, and elements of material culture, and tradition, (3) Islamic cultural traditions inherited colored Muslim communities in certain pockets on the coast. Thirdly it is expected to provide information and research results that will be developed within the framework of the Islamic era in Papua theme. Key words: Islamic influence, Islam Cultural, Papua Latar Belakang Kerajaan-kerajaan (petuanan) di Papua dalam konteks jaringan Islamisasi dan perdagangan, tampak sebagai halaman belakang dengan meletakkan wilayah Aceh sebagai serambinya. Posisi di halaman belakang menjadikan kajian terhadap kerajaan-kerajaan (petuanan) di Papua sering belum mendapat tempat dan perhatian para ilmuan. Padahal,
M. Irfan Mahmud Pengaruh Peradaban Islam di Papua …
27Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
PENGARUH PERADABAN ISLAM DI PAPUA
M. Irfan Mahmud (Balai Arkeologi Jayapura)
Research on Islamic civilization in Papua has been implemented
since 1996. Starting with limited exploration in the area of Raja
Ampat Sorong regency. Then proceed in Fak-Fak regency and Kaimana.
Study conducted found that the influence of Islamic civilization
was stimulated by trade dynamics, especially the Islamic empire in
the Moluccas, the Kingdom of Ternate and Tidore. In its
development, the kingdom of Tidore absolute power and give a big
hand in the formation of Islamic civilization color via satellite
countries in the Bird’s Head region along the surrounding islands
to colonial entered. Many archaeological remains indication, other
than oral sources and the tradition continues. Archaeological
remains were found, including the mosques, tombs, pottery,
ceramics, religious symbols, and ancient manuscripts. This paper
will focus the discussion on three things: (1) a review of Islamic
civilization studies conducted Jayapura Archeology, particularly
the constraints and problems that still contain the debate to date,
(2) the elements of Islamic civilization are essential, such as
cultural character and government (petuanan), network scholars, and
elements of material culture, and tradition, (3) Islamic cultural
traditions inherited colored Muslim communities in certain pockets
on the coast. Thirdly it is expected to provide information and
research results that will be developed within the framework of the
Islamic era in Papua theme.
Key words: Islamic influence, Islam Cultural, Papua
Latar Belakang
Kerajaan-kerajaan (petuanan) di Papua dalam konteks jaringan
Islamisasi dan perdagangan, tampak sebagai halaman belakang dengan
meletakkan wilayah Aceh sebagai serambinya. Posisi di halaman
belakang menjadikan kajian terhadap kerajaan-kerajaan (petuanan) di
Papua sering belum mendapat tempat dan perhatian para ilmuan.
Padahal,
M. Irfan Mahmud Pengaruh Peradaban Islam di Papua
28 Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
sumber lisan dan data arkeologis dari wilayah Papua juga masih ada
yang tersimpan. Karenanya, telaah arkeologis dalam hubungan dengan
jaringan dakwah, perdagangan antarwilayah, akulturasi dan asimilasi
budaya, dan toleransi yang tumbuh dalam masyarakatnya dapat memberi
tambahan data sejarah peradaban Islam di Nusantara.
Pengaruh peradaban Islam di Papua merupakan bagian dari suatu
rangkaian proses panjang perjalanan Islam di Nusantara selama lima
belas abad hingga sekarang. Para sejarawan muslim telah menyepakati
bahwa Islam masuk ke Indonesia pertama kali pada abad sejak abad
VII dan VIII Masehi, ditandai dengan tumbuhnya pemukiman muslim di
pesisir utara Sumatera. Masa selanjutnya tumbuh Kerajaan Perlak
(Aceh) sebagai negeri Islam pertama di Indonesia pada tahun 840.
Setelah Kerajaan Perlak, berturut-turut muncul Kerajaan Islam
Samudera Pasai (1042), Kerajaan Islam Aceh (1025), Kerajaan Islam
Benua Tamiyyah (1184), Kerajaan Islam Darussalam (1511)1. Pada
periode kekuasaan Kerajaan Samudera Pasai, Agama Islam berkembang
pesat dengan mengambil peran aktif sebagai pusat pendidikan Islam
di Asia Tenggara. Saat itu dalam pengembangan pendidikan Islam
mendapatkan dukungan dari pimpinan kerajaan, sultan, uleebalang,
panglima sagi dan seluruh unsur-unsur kerajaan lainnya.
Berbeda dengan wilayah serambi dan wilayah lain di Indonesia,
persoalan kapan kehadiran pengaruh peradaban Islam di Papua sampai
saat ini belum dapat ditentukan dengan bukti dan penjelasan ilmiah
yang memadai. Sejumlah seminar yang pernah digelar seperti di Aceh
pada tahun 1994, di Kabupaten Fak-Fak dan di Jayapura pada tahun
1997, juga belum dapat menetapkan dengan tepat. Persoalan lain yang
belum mendapat penjelasan memadai terkait dengan dari mana saja
asal-usul mubaligh yang datang ke Papua, selain dari Maluku?
Bagaimana karakteristik budaya Islam yang diterima masyarakat
Papua? Demikian pula bukti-bukti sejarah dan arkeologis kehadiran
pengaruh peradaban Islam di Papua memiliki kaitan dengan
perdagangan dan kekuasaan sultan-sultan Maluku, masih membutuhkan
rekonstruksi lebih lanjut.
1 Berkaitan dengan dinamika perkembangan islamisasi dan tumbuhnya
kerajaan Islam di Nusantara dapat ditelusuri lebih lanjut pada
karangan Al-Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad, Sejarah Masuknya Islam
di Timur Jauh (1995);Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam (1999);
De Graaf & TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa (2001);
Musyrifah Sunanto, Sejarah Per- adaban Islam Indonesia (2005); dan
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara (2010).
M. Irfan Mahmud Pengaruh Peradaban Islam di Papua
29Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Kerangka Pemikiran
Nusantara pra-kolonial --- secara tradisional disebut “negeri di
bawah angin” (the lands below the wind). Sejarah awal masuknya
Islam di Nusantara, ditandai dengan banyak ilustrasi yang
memperlihatkan karakternya yang terkait erat dengan integrasi
Islam, perdagangan, dan politik (Burhanudin, 2012: 17). Karena itu,
kapan Islam terintegrasi dengan masyarakat lokal, jaringan
perdagangan, dan tumbuhnya kekuasaan raja-raja muslim dalam bentuk
kerajaan menjadi studi yang penting dalam mengkaji pengaruh
karakter peradaban Islam di suatu wilayah.
Sejauh menyangkut kedatangan Islam di Nusantara, terdapat diskusi
dan perdebatan panjang di antara para ahli mengenai tiga masalah
pokok: tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya, dan waktu
kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab
ketiga masalah pokok ini jelas belum tuntas, tidak hanya karena
kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori tertentu, tetapi
juga sering terjadi karena sifat sepihak dari berbagai teori yang
ada.
Taufiq Abdullah (1987) menyatakan bahwa terdapat tiga konsep
tentang masuknya agama Islam ke suatu daerah, yaitu: (1) datang,
yang dinyatakan dengan adanya bekas peninggalan Islam di kawasan
yang bersangkutan; (2) berkembang, yang dinyatakan dengan adanya
masjid, pusat-pusat pendidikan dan komunitas dan sarana keagamaan
lainnya; (3) kekuasaan politik, dengan munculnya kekuasaan kerajaan
tersebut. Dari sudut pandang Taufiq Abdullah, petuanan di wilayah
Kepala Burung Papua dapat dikaji dalam konteks penerimaan,
pengembangan, dan tatanan politik yang legitimate.
Menurut Wertheim, prinsip egalitarianisme dalam Islam --- tidak
seperti sistem kasta dalam Hindu-Budha --- membentuk solidaritas
sosial yang kuat di antara para pedagang, dan membuka jalan bagi
integrasi mereka ke dalam berbagai komunitas lokal (Burhanudin,
2012: 19). Dengan penaklukan Portugis atas Malaka pada tahun 1511
memberi jalan bagi keterlibatan Aceh dan wilayah pesisir Jawa dalam
perdagangan jarak jauh pada abad XVI. Di bagian Timur Jawa,
Giri-Gresik muncul sebagai pelabuhan penting yang mencapai
kemajuannya pada masa pemerintahan Sunan Prapen (±1548 – 1605) dan
menjadi pusat Islamisasi di wilayah timur Nusantara. Giri-Gresik
memberi pengaruh kuat ke wilayah Lombok di Nusa Tenggara, Makassar
di Sulawesi Selatan, dan Hitu di Maluku (Burhanudin, 2012: 20).
Pengaruh Giri-Gresik ini dapat ditemukan buktinya dalam bentuk
ragam aspek peradaban, seperti arsitektur, ajaran, dan tatanan
keagamaan lainnya.
M. Irfan Mahmud Pengaruh Peradaban Islam di Papua
30 Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Dalam konteks Papua, asal-usul para ulama yang datang juga tidak
dapat dilepaskan dari jaringan yang telah terbentuk sebelumnya di
Lombok, Makassar, dan Hitu (Maluku). Peran ulama lokal dan Arab
juga tidak dapat disanksikan. Ulama dalam proses kulturasi
memainkan peran sebagai “pialang budaya” (cultural broker) yang
berkontribusi pada pembentukan kehidupan sosial dan keagamaan umat
Islam. Mereka mendirikan pesantren dan tarekat, memimpin
praktik-praktik keagamaan di tengah masyarakat (Burhanudin, 2012:
74-75).
Diketahui bahwa mencari keuntungan ekonomi merupakan alasan utama
bagi orang-orang Arab, khususnya komunitas Hadramaut2 bermigrasi ke
Nusantara. Dari sensus 1885, jumlah imigran Arab di Nusantara
mencapai 20.501; 10.888 bermukim di Jawa dan Madura, sementara
sisanya, 9.613 tinggal di pulau-pulau di luar Jawa (Burhanudin,
2012: 101-102). Tidak mustahil, beberapa orang diantara dapat
mencapai pulau-pulau di ujung timur, sampai daratan pantai
baratdaya Papua berserta pulau-pulau di wilayah Kepala
Burung.
Memasuki abad XIX teknologi percetakan telah digunakan para ulama
muslim di Nusantara mengenalkan ajaran Islam (Burhanudin, 2012:
123). Teknologi cetak atau litografi telah memproduksi kitab-kitab
yang tersebar juga ke berbagai wilayah Nusantara sampai Papua.
Kitab-kitab tersebut penting ditelusuri sumbernya.
Tampaknya, kedatangan dan pengaruh peradaban Islam di Papua tidak
dapat dilepaskan dengan perkembangan perdagangan. Meskipun
demikian, kapan Islam membentuk koloni awal memerlukan pembuktian
arkeologis. Dalam perkembangannya, hibrida Arab dan muslim
Nusantara memegang peranan penting dalam pembentukan peradaban
Islam di Papua. Aspek-aspek peradaban yang dipengaruhi Islam, mulai
dari aspek pemerintahan, arsitektur, perdangangan, sampai kesenian.
Aspek-aspek pengaruh peradaban Islam itulah yang akan menjadi pusat
perhatian dalam beberapa penelitian Balai Arkeologi Jayapura dan
akan di gambarkan dalam tulisan ini. Semua data yang dikembangkan
dalam tulisan ini diperoleh dengan metode yang lazim dalam
penelitian arkeologi, berupa survei (arkeologis dan wawancara)
serta telaah pustaka.
2 Hadramaut daerah utama asal Orang Arab yang datang dan bermukim
di Nusantara. Daerah ini pada peta bumi meliputi seluruh pantai
Arab Selatan, sejak Aden hingga Tanjung Rs al-Hadd. Bagi orang Arab
di Nusantara, pengertian wilayah Hadramaut hanyalah sebagian kecil
dari Arab Selatan, artinya pantai di antara desa-desa nelayan Ain
Bma’bad dan Saiht, beserta daerah pegunungan yang berada di
belakangnya (Berg, 2010: 13).
M. Irfan Mahmud Pengaruh Peradaban Islam di Papua
31Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Awal Pengaruh Peradaban Islam
Pengaruh peradaban Islam di Papua tidak dapat dilepaskan dari
jaringan yang telah terbentuk dan berkembang pada masa sebelumnya.
Sejak awal abad VII Masehi, Papua yang kala itu dikenal dengan
Janggi, telah memiliki kontak dengan Kerajaan Maritim Sriwijaya.
Tercatat, duta Kerajaan Sriwijaya membawa burung khas Papua untuk
cenderamata Kaisar Cina. Musafir Cina bernama Chau Yu Kua pada abad
XIII juga mencatat daerah Tung-ki atau Janggi atau Papua sebagai
bagian dari wilayah suatu kerajaan di sekitar Maluku (Prasetyo,
2011: 75-76).
Setelah Sriwijaya, diketahui muncul kekuasaan Kerajaan Majapahit
yang memilik pengaruh sampai seluruh wilayah Nusantara, termasuk
Papua. Beberapa daerah di kawasan tersebut bahkan disebut-sebut
dalam kitab Negarakertagama sebagai wilayah yurisdiksinya.
Keterangan mengenai hal itu antara disebutkan sebagai
berikut:
“Muwah tang i Gurun sanusanusa mangaram ri Lombok Mirah lawan
tikang i Saksakadi nikalun kahaiyan kabeh nuwati tanah i bantayan
pramuka Bantayan len luwuk teken Udamakatrayadhi nikang
sanusapupul”. “Ikang sakasanusasanusa Makasar Butun Banggawai Kuni
Ggaliyao mwang i [ng] Salaya Sumba Solot Muar muwah tigang i Wandan
Ambwan Athawa maloko Ewanin ri Sran ini Timur ning angeka
nusatutur”.
Dari keterangan yang diperoleh dari kitab klasik Nagarakertagama
karangan Mpu Prapanca (1365), sejumlah ahli linguistik
berkesimpulan bahwa yang dimaksud “Ewanin” adalah nama lain untuk
daerah “Onin” dan “Sran” adalah nama lain untuk “Kowiai”3. Semua
tempat itu berada di Kabupaten Fak-Fak sekarang. Dari data tersebut
menjelaskan bahwa pada zaman Kerajaan Majapahit sejumlah daerah di
Papua sudah termasuk wilayah yang memiliki hubungan dengan
Majapahit.
Seiring memudarnya pengaruh Majapahit, Islam menyebar melalui jalar
perdagangan Nusantara. Dari catatan-catatan yang ada menunjukkan
bahwa kontak pedagang muslim dengan Papua dapat diduga tidak lama
setelah terbukanya jaringan pelayaran ke Maluku, sekitar abad XV –
XVI Masehi. Hal ini ditandai dengan adanya
3 Pandangan yang sama dapat dibaca dalam tulisan Bagyo Prasetyo,
“Budaya Pantai dan pedalaman Masa Prasejarah di Papua”
(2011:76)
M. Irfan Mahmud Pengaruh Peradaban Islam di Papua
32 Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
penemuan sejumlah keramik Ming periode abad XIV-XVI Masehi sebagai
bekal kubur pada ceruk/gua di situs Tomolol (Raja Ampat),
penguburan ceruk pada pantai Kampung Tua Furir (Fak-Fak).
Kelihatannya, awal kontak dengan Papua, murni dagang dan belum
menunjukkan adanya bukti hunian muslim pada periode tersebut. Jadi
pada kontak awal pada sekitar abad XVI, Islam di Papua baru dapat
dikategorikan datang dengan merujuk konsep yang diajukan Taufik
Abdullah (1987).
Sejak memasuki abad XVII Masehi, kerajaan lokal Maluku mulai
menunjukkan jati- dirinya dalam konteks politik, ekonomi dan
militer untuk bersaing dengan para petualang/ pedagang bangsa
Eropa, terutama Ternate dan Tidore. Kedua kerajaan ini memiliki
pandangan politik ekspansionis yang pada dasarnya didorong oleh
keinginan menguasai sumber daya alam (ekonomi/perdagangan), bukan
politik dan militer. Ekspansi Ternate ke barat Maluku, sedangkan
Tidore ke Timur sampai menguasai Kepulauan Raja Ampat, kemudian
Papua Daratan dan menjadikan daerah-daerah tersebut sebagai
vassalnya (Amal, 2010: 11). Raja Tidore Sultan Saifuddin bahkan
berhasil memperoleh legitimasi yuridis dan praktis atas daerah
seberang laut Tidore dengan “menukar” hak monopoli atas cengkeh
dengan pengakuan dari petinggi VOC di Batavia terhadap Kepulauan
Raja Ampat dan Papua Daratan pada tanggal 28 Maret 1667 di Batavia
(Amal, 2010: 177). Dengan pengakuan yang diperoleh Sultan Tidore
memungkinkannya mengangkat perwakilan raja di wilayah Papua,
sehingga memungkinkan pengaruh Islam memasuki fase berkembang. Pada
fase pengaruh Islam berkembang, nampak mulai terbentuk
koloni-koloni di peisisir baratdaya dan pulau-pulau yang menjadi
satelit kesultanan atas kebijakan politik dan dagangnya. Hal ini
ditandai dngan meningkatnya jumlah barang mewah di situs- situs
pusat petuanan muslim di Papua, terutama keramik Ching (Abad
XVII-XVIII). Meskipun demikian, pengaruh Islam tetap tidak
dipaksakan kepada komunitas lokal, dan berkembang seara damai serta
penuh toleransi. Berdasarkan keterangan di atas jelaslah bahwa,
masuknya Islam ke Papua, berkaitan dengan tumbuhnya jalur dan
hubungan perdagangan dengan daerah lain di Indonesia. Faktor utama
tentu pengaruh kekuasaan kerajaan muslim di Maluku, terutama Tidore
yang melakukan ekspansi politik.
Kedatangan Islam di tanah Papua, dalam konteks dagang murni mungkin
tidak lama berselang setelah tumbuhnya jalur perdagangan ke Maluku.
Tetapi kedatangan pedagang muslim mungkin masih bersifat
perorangan. Mulai tumbuhnya komunitas muslim, bisa bersamaan dengan
makin kuatnya kekuasaan Tidore di Papua dengan mengirim utusan atau
mengangkat pejabat lokal. Dalam survei yang dilakukan pada
M. Irfan Mahmud Pengaruh Peradaban Islam di Papua
33Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
pusat-pusat pemukiman muslim di pantai Barat Daya papua, secara
relatif dapat diduga bahwa kolonisasi muslim sudah mulai terbentuk
pada abad XVII dan menjadi mapan pada abad XVIII ditandai dengan
terbntuknya petuanan muslim di Raja Ampat, Fak- Fak dan Kaimana.
Oleh karena, semua pusat-pusat kerajaan dan pemukiman muslim
cenderung didominasi keramik Ching (XVII-XVIII), bahkan populasi
keramik Eropa pada bagian koloni tertentu jumlahnya lebih banyak
dari keramik Ming. Tingginya populasi keramik Eropa dari Ming,
tentu berkaitan dengan pusat peradaban muslim yang dibentuk
pemerintah Belanda pada masa berikutnya untuk membangun
keseimbangan politik dengan pusat kerajaan lama yang sudah mapan.
Kasus seperti ini ditemukan di situs Waigama yang tampak merupakan
“pemerintahan tandingan” pusat kerajaan Misool di Lilinta (Raja
Ampat).
Pengaruh Peradaban Islam
Pengaruh Islam yang masuk ke wilayah Papua, khususnya kawasan
Kepala Burung, awalnya dibawa oleh para pedagang muslim. Setelah
itu menyusul para da’i dari beberapa wilayah Nusantara. Pada
perkembangan selanjutnya, Papua tidak sebagaimana wilayah lain
didatangi oleh para sufi mengajarkan ajarannya. Karena itu Papua
tidak ditemukan keragaman ajaran. Pengaruh nyata peradaban Islam
dapat dilihat dari sistem pemerintahan, pajak (upeti), dagang,
jaringan dagang dan ulama, serta kesenian.
Sistem pemerintahan (petuanan). Dengan kedatangan Islam, masyarakat
Papua dikenalkan sistem pemerintahan yang dikepalai oleh seorang
raja. Para raja memiliki pembantu dengan gelar yang sama dengan
pemerintahan kerajaan di Maluku (Tidore dan Ternate), yaitu mayor
dan sangaji. Di Raja Ampat, pejabat mayor dibantu oleh seorang
pejabat sawoi, sementara sangaji dibantu pejabat yang dinamakan
marino. Selain keempat pejabat tersebut, di wilayah Fafanlap
(Misool-Raja Ampat) diangkat pula pejabat kapitan. Dalam urusan
agama, juga dikenal pejabat qadi terutama di pusat-pusat kerajaan.
Tampak, peran qadi di Papua (Raja Ampat, Fak-Fak dan Kaimana) masa
lalu sama dengan di Hadramaut, daerah yang banyak mempengaruhi
ajaran muslim di Indonesia. Di Hadramaut, para qadi memiliki
kekuasaan peradilan perdata dan pidana pada perkara perkawinan dan
perkara lain yang berkaitan dengan hukum keluarga berdasarkan kitab
hukum mazhab Syafi’i (Berg, 2010: 43).
M. Irfan Mahmud Pengaruh Peradaban Islam di Papua
34 Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Di Pulau Misool, Raja Ampat, kapitan laut, harus keturunan dari
Tidore. Di Fafanlap (Misool), Kapitan Laut bertugas mengumpulkan
upeti untuk dibawa ke Sultan Tidore. Dalam menjalankan tugasnya,
kapitan laut di Fafanlap dibantu sangaji dalam urusan pemerintahan,
marinyo bertugas sebagai penyampai informasi, sedangkan sawoi
bertugas sebagai penjaga rumah/ pos kapitan. Dengan adanya sistem
pemerintahan, wilayah-wilayah bawahan akan memenuhi kewajiban dan
memberi upeti kepada raja. Sebagai bentuk tunduk dan patuh pada
raja, orang Bigai misalnya, jika lewat di pusat pemerintahan
Lilinta akan menurunkan layar sebagai tanda hormat.
Pajak (sistem upeti). Hubungan kekuasaan pemerintahan antara
Kerajaan Tidore dengan kerajaan–kerajaan kekuasaannya, ditandai
dengan kewajiban membayar pajak setiap tahunnya yang sebelumnya
belum dikenal dalam masyarakat Papua. Upeti dikenalkan pemerintahan
kesultanan dalam hubungan dengan perlindungan Kerajaan Tidore.
Upeti yang disampaikan ke Sultan Tidore setahun sekali berupa apa
saja yang dihasilkan oleh penduduk, seperti kulit penyu, burung
kuning, pala, dan lain-lain. Upeti yang sudah dikumpulkan dibawa
para kapitan laut kepada Sultan Tidore dengan perahu khusus. Perahu
khusus yang membawa upeti Kapitan Fafanlap bernama “kaloinnya”
(=daun terbang), perahu Kapitan Sailolof dinamakan mancun, dan
perahu Kapitan Salawati bernama hairan.
Upeti yang dari suatu wilayah petuanan dibawa secara bersama
sebagai refleksi kebersamaan para kapitan dalam menjalankan amanah
yang diembannya dari sultan. Kapitan dari Misool membawa upeti
menuju Sailolof. Lalu Kapitan Fafanlap dan Sailolof bersama-sama
menuju ke Salawati. Dari Salawati, rombongan pembawa upeti dipimpin
Kapitan Sailolof menuju Sangaji Gebe, kemudian menuju ke Sangaji
Patani (Halmahera) dan sekaligus memimpin perjalanan menuju ke
istana Tidore.
Aspek kepercayaan. Pengaruh ajaran Islam di Papua, sangat sedikit
bisa ditelusuri. Beberapa bukti yang bisa ditemukan di Fak-Fak,
berupa Kitab Al-Qur’an yang dicetak pada tahun 1891 milik keluarga
Raja Ati-Ati. Di wilayah Teluk Patippi juga ditemukan Al-Qur’an
yang tampak lebih tua yang tidak berangka tahun, isinya nash nya
ditulis pada bahan kulit kayu dengan sampul dari bahan kulit
binatang.
Di Raja Ampat, menurut imam masjid Darussalam Lilinta, bahwa ajaran
agama Islam yang dibawa para muballigh beraliran Syafi’i. Sebagai
penganut Syafi’i, khatib pada saat naik mimbar mengikuti tata adab
mazhab tersebut. Khatib pada saat naik mimbar harus menginjakkan
kaki langsung pada anak tangga kedua, setelah selesai khutbah
M. Irfan Mahmud Pengaruh Peradaban Islam di Papua
35Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
untuk kembali ke shaf baru menginjak anak tangga pertama. Anak
tangga mimbar ke 3 digunakan untuk berdiri, sedangkan anak tangga
ke-4 digunakan khatib untuk duduk, sementara anak tangga ke-5
difungsikan sebagai sandaran. Kelima undakan mimbar merefleksikan
simbol rukun Islam.
Bagi jamaah di Masjid Darussalam situs Lilinta, azan dilakukan di
pusat masjid, tepat di bawah kubah, sehingga nampak diapit oleh
empat tiang di semua sisinya. Laku azan ini bagi mereka bermakna
“alif”.
Di situs Kampung Gamta juga ditemukan batu tempat bersumpah. Batu
tempat bersumpah dari jenis batuan pasir, berbentuk persegi
panjang. Menurut Bapak Bakan Al Kadri (Wawancara, 7 April 2012),
penduduk Kampung Gamta, dahulu orang yang bersumpah akan berdiri di
atas batu sambil memegang kerang terompet (tapyu)4. Jika yang
bersumpah salah atau berbohong akan mati. Batu sumpah mengingatkan
kita pada, batu penyumpahan raja di beberapa pusat Islam di Jawa
dan Sulawesi, seperti Banten, Gowa, Soppeng, dan Luwu. Bersumpah di
atas batu belum pernah ditemukan dalam tradisi suku-suku asli
Papua.
Aspek arsitektur. Arsitektur Masjid Darussalam yang sekarang telah
berubah setelah renovasi pada tahun 1978. Para informan masih
mengingat bahwa arsitektur atap mesjid Darussalam yang lama
berbentuk undakan atau tumpang bersusun dua, sebagaimana kebanyakan
mesjid di Jawa. Oleh karena dibangun di atas lahan rawa pantai,
masjid dibangun berbentuk panggung, dengan tiang dua meter dari
atas muka tanah. Masjid lama berdenah bujur sangkar tanpa serambi,
dengan luas 12 x 12 m².
Masjid Fafanlap memiliki arsitektur yang sama dengan masjid
Darussalam Lilinta, namun bentuk asli juga sudah hilang sama
sekali. Menurut Kaidat Soltif (88 tahun), masjid Fafanlap telah
berusia tidak kurang 200 tahun, dan telah empat kali mengalami
renovasi. Masjid-masjid sejenis juga ditemukan di sejumlah
pemukiman muslim di Fak- Fak dan Kaimana.
Di Distrik Fak-Fak Kota dan di Kampung Werpigan terdapat bekas
lokasi masjid yang sekarang sudah dipugar tanpa menyisakan bentuk
aslinya. Menurut sumber lokal di Fak-Fak, kedua masjid berada di
pusat Kerajaan Fatagar dan Patippi berbentuk persegi dengan atap
tumpang dua sebagaimana masjid di Papua pada umumnya. Masjid di
Werpigan dibangun sudah dengan konstuksi tembok oleh Raja Patippi
IX pada tahun 1931, sedangkan masjid Fatagar lebih tua dengan
konstruksi kayu. Lokasi masjid
4 Tapyu Kaut dahulu digunakan penduduk Raja Ampat untuk memanggil
orang yang hilang di hutan.
M. Irfan Mahmud Pengaruh Peradaban Islam di Papua
36 Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Kerajaan Fatagar berada di punggung bukit sebelah utara istana
raja. Dahulu sebelum pemerintahan Belanda, diantara masjid dan
istana Raja Fatagar ada ruang kosong yang kemungkinan dahulu
berfungsi sebagai alun-alun.
Jaringan Perdagangan dan Ulama. Dengan politik kontrol yang ketat
di bidang perdagangan pengaruh kekuasaan Kesultanan Tidore
ditemukan di Raja Ampat, Sorong, sekitar Fak-Fak dan wilayah
Kaimana. Pedagang Arab yang menjangkau Papua sangat minim.
Komunitas pedagang Arab di Misool misalnya hanya ditemukan bermukim
di situs Kampung Usaha Baru yang orang-orang Misool Selatan kenal
dengan Kampung Tua Kapopof. Penemuan situs penguburan komunitas
Arab di atas bukit rendah Kampung Tua Kapopof dalam jumlah banyak
dalam areal ± 1800 m² membuktikan bahwa mereka telah membentuk
kelompok pemukiman yang di masa kemudian sangat berpengaruh. Dalam
Areal pemakaman tersebut masih ditemukan enam buah makam yang
tampak “cukup mewah” di masa lalu, berjajar timur-barat yang
menunjukkan mereka merupakan saudagar kaya dan tokoh agama.
Penemuan ini, menegasi pendapat Berg (2010: 110), bahwa “di wilayah
Nusantara sebelah timur Ambon dan Banda, bangsa Arab belum
membentuk kelompok, meskipun kapal-kapal mereka melaju hingga
Guinea Baru (Irian) dan mengunjungi Kepulauan Sulu serta
Filipina.”
Kehadiran pedagang Arab dibuktikan dengan penemuan makam para
sayyid dan kompleks yang berpagar batu di situs Kampung Usaha Baru.
Makam para sayyid menurut penduduk berasal dari Hadramaut. Makam
dibangun semacam subasemen yang terbuat dari batu potong yang
disusun tanpa bahan perekat. Penggunaan batu potong sudah mereka
kenal di negeri asal, Hadramaut, sebagai subasemen rumah (Berg:
2010: 62). Kehadiran para pedagang muslim di Papua, khususnya di
Misool telah memperkenalkan pula sistem perkebunan. Seorang
keturunan Arab berasal dari Hadramaut (Yaman) bernama Salim Bafadal
pernah membuka kebun kelapa di Misool5. Di daerah asalnya,
keturunan Bafadal termasuk golongan menengah bergelar syekh yang
selain bekerja sebagai pedagang, juga ada berprofesi sebagai petani
dan pengrajin (Berg, 2010: 38). Mereka dari keluarga Bafadal juga
dikenal ahli hokum dan teologi terkenal (Berg, 2010: 40).
Kelihatannya, saudagar Arab mudah diterima masyarakat lokal karena
meskipun mereka taat menjalankan agama, tetapi tidak menyebarkan
agamanya dengan cara paksa atau fanatik (Berg, 2010: xiv). Sejak
dahulu para pedagang datang ke Raja Ampat, Fak- 5 Menanam kelapa
sudah lazim bagi Orang Arab Hadramaut. Mereka sudah mengenal cara
berkebun kelapa (nrjl) di daerah
asalnya, dan mengembangkan di perantauan, seperti di Singapura,
sejumlah orang Arab juga memiliki perkebunan kelapa yang luas
(Berg, 2010: 136).
M. Irfan Mahmud Pengaruh Peradaban Islam di Papua
37Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Fak dan Kaimana mencari kulit penyu (fenunuf), teripang (te), damar
(kisi atau hiro), dan kopra (nu).
Pedagang Arab mendapat jalan ke Papua, lewat jalur Kesultanan Islam
Tidore dan Bacan (Prasetyo, 2011: 76). Mereka mendapat sambutan
atau bahkan kalangan ulama diundang para sultan guna mengajarkan
dan menjaga fungsi hukum Islam yang dengan itu akan meningkatkan
reputasi istana. Bisa jadi ketika tekanan Portugis dan VOC yang
semakin kuat di Maluku, mereka mencoba mengeksplorasi wilayah
Kepala Burung Papua untuk mempertahankan eksistensinya dalam
perdagangan. Sayang tidak seperti Aceh yang dapat membentuk ranah
sosial cultural cosmopolitan atau sebagai “Islamicate”. Marshall
Hudgson (1977) dalam buku The Venture of Islam, The Classical Age
of Islam Jilid I menggunakan terminology ‘Islamicate’. Untuk
mendefinisikan sesuatu yang tidak merujuk langsung kepada agama
Islam, tetapi kepada sebuah kompleks sosial dan kultural yang
secara historis diasosiasikan dengan Islam dan kaum Muslimin, yang
dapat ditemukan baik di antara kaum Muslimin maupun non-Muslim
(Alatas, 2010: xxxi). Orang-orang Bacan, Bugis dan Buton yang
datang ke Papua, sebagaimana ditemukan di Misool, pada awalnya
didorong oleh kepentingan dagang. Mereka datang membawa barang
dagangan, setelah lama bermukim, lalu mengajarkan berladang padi
serta juga mengajarkan kitab kuning di masjid. Masjid dan
pendidikan tampak terintegrasi dalam pembudayaan Islam di Papua.
Dalam perkembangannya, keterbatasan sumber daya manusia telah
mereka atasi berkat tumbuhnya percetakan. Di Kampung Fafanlap,
mereka masih memiliki dan mengunakan kitab khutbah Jumat yang
dicetak di Johor, menggunakan bahasa Arab-Melayu (Pegon).
Sebelumnya, asumsi yang berkembang bahwa jaringan ulama yang datang
ke Papua berasal dari Maluku dan Arab. Tetapi bukti arkeologis
menunjukkan juga kehadiran para dai dari Bugis dalam periode akhir
abad XIX dan awal abad XX. Di situs Lilinta, tepatnya di Bukit
Setlol (=teluk kecil), ditemukan makam dai Bugis berasal dari Wajo
bernama Solehuddin Waju dan orang Bone bernama Bodalle. Meskipun
telah meninggalkan kampung halaman, mereka membawa ciri
identitasnya yang terefleksikan dari bentuk nisan dan motif yang
diterapkan pada nisan mereka. Makam Bodalle misalnya, berbentuk
pegangan pedang yang di Bugis digunakan pada makam mereka yang
berperan sebagai ahli hukum agama.
Aktivitas orang Bugis dan Buton ke Papua dalam aspek perdagangan
dan jaringan ulama merupakan dampak dari keberhasilan para sayyid
Arab Hadramaut dalam jalinan
M. Irfan Mahmud Pengaruh Peradaban Islam di Papua
38 Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
kekekrabatan lokal. Bisa jadi mereka merupakan hasil hibrida yang
dikemukakan oleh Alatas (2010: xxxiii). Kemungkinan proses hibrida
Arab, dengan Bugis dan Buton makin kuat setelah bermukim bersama
dalam satu koloni yang dipimpin orang Arab di Ternate6.
Di bidang kesenian, pengaruh Islam pada masyarakat Papua nampak
dari dikenalkannya sistem kaligrafi, seni ukir kayu, dan musik
“Arababo” (gambus). Kaligrafi dituangkan pada nisan kubur para
muslim untuk memberi informasi nama, garis keturunan, tanggal lahir
dan wafat seseorang. Selain itu, identitas diri juga ditemukan
inskripsi Allah, Muhammad, dan syahadat. Tradisi kaligrafi telah
melahirkan seniman yang sampai sekarang masih hidup pada beberapa
orang, seperti Bapak Husen Umbalak di Kampung Fafanlap dan Bapak H.
Abdul Gani Bugis di Kampung Lilinta.
Nisan-nisan di Papua terbuat dari bahan kayu “gufasa”, sehingga
mudah diukir. Di situs Lilinta ditemukan nisan tertua tanpa angka
tahun, berinskripsi “Muhammad”. Menurut penduduk, makam tersebut
adalah tokoh muslim keturunan Arab. Dari Inskripsinya dapat diduga
bahwa makam tersebut berasal dari masa awal pengenalan Islam dengan
mengabadikan atau menggunakan rasul sebagai identitas. Mungkin yang
dimakamkan adalah salah satu menganjur Islam awal di Misool, Raja
Ampat.
Makam-makam keluarga raja muslim di Kaimana ditemukan di Kompleks
makam Raja Seran. Sedangkan di Fak-Fak tersebar luas di beberapa
lokasi, seperti Pulau Namatota, kompleks makam raja Fatagar. Seni
ukir kayu nampak pada mimbar di masjid situs Lilinta, Misool.
Mimbar pada masjid Lilinta dihiasi motif bunga matahari. Pada
bagian tepian diberi hiasan meander. Tiang-tiang mimbar juga diukir
dengan membagi beberapa ruas yang dipisahkan dengan pelipit.
Alat musik Arababo masih ditemukan di Kampung Fafanlap, milik
Kaidat Soltif (88 tahun). Alat musik Arababo mirip biola,
dibunyikan untuk mengiringi tarian “Salai” untuk penjemputan tamu.
Biasanya alat musik Arababo mengiringi lagu dari Maluku Utara
(Halmahera). Di Fafanlap, Arababo mendapat pengaruh dari Galela
(Tobelo), Maluku Utara. Tali senar Arababo dari bahan benang. Getah
kenari (nyanyalito) digunakan untuk menggosek alat musik Arababo.
Pegangan dibuat dari bambu, kulit sontong (cumi besar) dan kayu
gupasa. Alat musik Arababo biasa dimainkan berpasangan dengan
rebana dan tifa. Selain itu, di wilayah Kerajaan Ati-Ati (Fak-Fak)
ditemukan alat musik rebana yang masih disimpan pewarisnya.
6 Berg mencatat bahwa “di Ternate, koloni Arab masih satu dengan
kelompok asing yang beragama Islam, di bawah satu kepala koloni
yang sejak 1881 adalah orang Arab” (Berg, 2010: 110). Kondisi
koloni yang serupa mungkin juga terjadi di Tidore.
M. Irfan Mahmud Pengaruh Peradaban Islam di Papua
39Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Penutup
Tanah Papua secara geografis terletak pada daerah pinggiran Islam
di Nusantara, sehingga Islam di Papua sering tidak menarik
perhatian. Islam dalam pengertian pedagang muslim kemungkinan telah
datang berinteraksi dengan pnduduk lokal Papua sekitar abad XV.
Melalui jalur perdagangan itulah, Islam kemudian semakin dikenal di
tengah masyarakat Papua. Kala itu penyebaran Islam masih relatif
terbatas di pelabuhan dagang. Para pedagang dan ulama menjadi
guru-guru yang sangat besar pengaruhnya di tempat-tempat
baru.
Potret suasana keagamaan di daerah Papua Barat tersebut menarik,
karena di satu sisi agama Islam telah diterima dalam komunitas
kerajaan di Kepulauan Raja Ampat, Fak-Fak dan Kaimana. Diterimanya
Islam sebagai agama dan jalan hidup masyarakat Papua, maka
pranata-pranata kehidupan sosial budaya memperoleh warna baru.
Keadaan ini terjadi karena penerimaan mereka kepada Islam sebagai
agama, tidak terlalu banyak mengubah nilai-nilai, kaidah-kaidah
kemasyarakatan dan kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Apa yang
dibawa oleh Islam pada mulanya hanyalah urusan-urusan ‘ubudiyah
(ibadah) dan tetap menata lembaga-lembaga dalam kehidupan
masyarakat yang ada sebelumnya, meskipun dengan nama jabatan yang
baru. Ajaran Islam tampak juga telah mengisi sesuatu dari aspek
kultural mereka, karena sasaran utama dari pada penyebaran awal
Islam tertuju kepada soal iman dan kebenaran tauhid.
Dari aspek tata ruang, kota Islam tidak ditemukan bentuknya yang
nyata di Papua. Tampaknya, ada kesulitan membangun kota seperti
tata kota muslim di Jawa dan beberapa kota lain di Sulawesi oleh
karena topografi pantai-pantai di wilayah Kepala Burung berupa
perbukitan yang tidak landai. Jika ada yang landai sangatlah sempit
untuk membangun suatu pusat peradaban. Namun damikian,aspek yang
terkait langsung dengan ketauhitan tampak tegas pengaruhnya,
seperti mesjid dan arsitekturnya, sistem penguburan, dan
kesenian.
Memang, secara arkeologis, tantangan terberat dalam kajian pengaruh
peradaban Islam di Papua karena sebagian besar aspeknya material
budayanya terbuat dari bahan yang mudah rusak, terutama kayu.
Selain itu, masyarakat Papua tidak memiliki warisan tulisan,
sehingga dibutuhkan informan yang juga semakin langka karena sudah
banyak yang meninggal. Karena itu, di masa depan ekskavasi
arkeologi diperlukan untuk memperoleh pertanggalan absolut,
penelusuran kajian bandingan di daerah lain yang memberi pengaruh
pada Papua, terutama Maluku, Buton, dan Bugis-Makassar.
M. Irfan Mahmud Pengaruh Peradaban Islam di Papua
40 Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
DAFTAR PUSTAKA
______________. 1979. Agama, Etos, dan Perkembangan Masyarakat.
Jakarta: LP3ES.
Abidin, Ahmad Zainal. 1979. Sejarah Islam dan Umatnya Sampai
Sekarang. Jakarta: Bulan Bintang.
Alatas, Ismail Fajrie. 2010. “Menjadi Arab: Komunitas Hadramî, Ilmu
Pengetahuan Kolonial dan Etnisitas”, dalam L.W.C. van den Berg,
Orang Arab Nusantara, Cet. 1. Jakarta: Komunitas Bambu.
Al-Haddad, Al-Habib Alwi bin Thahir. 2007. Sejarah Masuknya Islam
di Timur Jauh. Jakarta: Lentera.
Amrullah, H. Abdul Malik Karim. 1981. Sejarah Umat Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Berg, L.W.C van den. 2010. Orang Arab di Nusantara. Cet. 1.
Jakarta: Komunitas Bambu
Burhanudin, Jajat. 2012. Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite
Muslim dalam Sejarah Indonesia. Cet. 1. Bandung: Mizan.
Darmawijaya. 2010. Kesultanan Islam Nusantara. Cet. 1. Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar.
De Graaf, H.J. & TH. Pigeaud. 2001. Kerajaan Islam Pertama di
Jawa: Tinjauan Sejarah Politik Abad XV dan XVI. Cet. IV.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasan Al-Aidrus, Muhammad. 1997. Penyebaran Islam di Asia Tenggara.
Jakarta: PT. Lentera Basritama.
Herry, Nachrawy. 2004. Peranan Ternate Tidore Dalam Pembebasan
Irian Barat. Ternate: Yayasan Kie Raha.
Pijper. 1985. Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Prasetyo, Bagyo. 2011. “Budaya Pantai dan Pedalaman Masa Prasejarah
di Papua”, dalam M. Irfan Mahmud dan Erlin Novita Idje Djami,
Austronesia dan Melanesia di Nusantara. Yogyakarta: Penerbit Ombak,
hal. 75-94.
M. Irfan Mahmud Pengaruh Peradaban Islam di Papua
41Papua TH. IV NO. 2 / November 2012
Rais, Amin. 1989. Islam Di Indonesia: Sebuah Ikhtiar Mengaca Diri.
Jakarta: CV. Rajawali.
Sunanto, Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Edisi
1. Jakarta: RajaGrafindo Persada.