24
LAPORAN PENDAHULUAN CIDERA KEPALA SEDANG (CKS) DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT (ICU) RSUP SANGLAH DENPASAR Disusun untuk memenuhi tugas pada Pendidikan Profesi Ners Stase Keperawatan Gawat Darurat Oleh Winda Sulistya Safitri NIM 102311101036

Lp Cks Icu Winda

Embed Size (px)

DESCRIPTION

cedera kepala sedang

Citation preview

Page 1: Lp Cks Icu Winda

LAPORAN PENDAHULUAN CIDERA KEPALA SEDANG (CKS) DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT (ICU)

RSUP SANGLAH DENPASAR

Disusun untuk memenuhi tugas pada Pendidikan Profesi NersStase Keperawatan Gawat Darurat

OlehWinda Sulistya SafitriNIM 102311101036

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANUNIVERSITAS JEMBER

2015

Page 2: Lp Cks Icu Winda

A. Tinjauan Teori

1. Definisi

Cidera kepala adalah cidera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak

dan otak. Cidera kepala adalah gangguan neurologic yang paling sering terjadi

dan gangguan neurologik yang serius di antara gangguan neurologik dan

merupakan proporsi epidemik sebagai akibat kecelakaan di jalan raya (Smeltzer &

Bare 2002). Cidera otak sedang atau COS adalah kerusakan fungsi otak akibat

traumatik dengan beberapa manifestasi klinik seperti kehilangan kesadaran,

kehilangan memori sebelum atau sesudah terjadinya insiden. Menurut WHO

cidera otak sedang adalah kerusakan otak akut akibat dari tidak optimalnya suplai

energi ke otak (AANN dan ARN, 2011).

2. Etiologi

Cidera kepala paling sering akibat dari trauma. Mekanisme terjadinya

cidera kepala berdasarkan terjadinya benturan terbagi menjadi beberapa menurut

Nurarif dan Kusuma (2013) yaitu sebagai berikut:

a. Akselerasi

Jika benda bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada orang yang

diam kemudian dipukul atau dilempari batu.

b. Deselerasi

Jika kepala bergerak membentur kepala yang diam, misalnya pada kepala

yang terbentur benda padat.

c. Akselerasi-deselerasi

Terjadi pada kcelakaan bermotor dengan kekerasan fisik antara tubuh dan

kendaraan yang berjalan

d. Coup-counter coup

Jika kepala terbentur dan menyebabkan otak bergerak dalam ruang

intracranial dan menyebabkan cedera pada area yang berlawanan dengan

yang terbentur dan area yang pertama terbentur

e. Rotasional

Page 3: Lp Cks Icu Winda

Benturan yang menyebabkan otak berputar dalam rongga tengkorak, yang

mengakibatkan meregang dan robeknya pembuluh darah dan neuron yang

memfiksasi otak dengan bagian dalam tengkorak

3. Tanda dan gejala

Menurut Mansjoer (2008) tanda dan gejala dan beratnya cidera kepala

dapat diklasifikasikan berdasarkan skor GCS yang dikelompokkan menjadi tiga

yaitu :

a. Cidera kepala ringan dengan nilai GCS = 14-15

Klien sadar, menuruti perintah tetapi disorientasi, tidak kehilangan kesadaran,

tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang, klien dapat mengeluh nyeri

kepala dan pusing, klien dapat menderita laserasi, dan hematoma kulit kepala.

b. Cidera kepala sedang dengan nilai GCS = 9-13

klien dapat atau bisa juga tidak dapat menuruti perintah, namun tidak

memberi respon yang sesuai dengan pernyataan yang diberikan, amnesia

pasca trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda Battle,

mata rabun, hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal), dan

kejang.

c. Cidera kepala berat dengan nilai GCS ≤ 8.

Penurunan kesadaran secara progresif, tanda neurologis fokal, cidera kepala

penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium, kehilangan kesadaran lebih dari

24 jam, disertai kontusio cerebral, laserasi, hematoma intrakrania dan edema

serebral. Perdarahan intrakranial dapat terjadi karena adanya pecahnya

pembuluh darah pada jaringan otak. Lokasi yang paling sering adalah lobus

frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan

(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup).

4. Patofisiologi

Trauma yang terjadi pada pasien mempengaruhi cedera yang akan terjadi

pada pasien. Cidera otak primer adalah cidera otak yang terjadi segera cidera

kepala baik akibat impact injury maupun akibat gaya akselerasi-deselerasi (cidera

Page 4: Lp Cks Icu Winda

otak primer ini dapat berlanjut menjadi cidera otak sekunder) jika cidera primer

tidak mendapat penanganan yang baik, maka cidera primer dapat menjadi cidera

sekunder. Cidera otak sekunder yang terjadi akibat dari cidera otak primer yang

tidak mendapat penanganan dengan baik (sehingga terjadi hipoksia) serta adanya

proses metabolisme dan neurotransmiter serta respon inflamasi pada jaringan otak

maka cidera otak primer berubah menjadi otak sekunder yang meliputi edema

serebri, infark serebri, peningkatan tekanan intra kranial.

5. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada pasien cedera kepala antara lain :

a. Cedera Otak Sekunder akibat hipoksia dan hipotensi

Hipoksia dapat terjadi akibat adanya trauma di daerah dada yang terjadinya

bersamaan dengan cedera kepala. Adanya obstruksi saluran nafas, atelektasis,

aspirasi, pneumotoraks, atau gangguan gerak pernafasan dapat berdampak

pasien mengalami kesulitan bernafas dan pada akhirnya mengalami hipoksia.

b. Edema Serebral

Edema adalah tertimbunnya cairan yang berlebihan di dalam jaringan. Edema

serebral akan menyebabkan bertambah besarnya massa jaringan otak di dalam

rongga tulang tengkorak yang merupakan ruang tertutup. Kondisi ini akan

menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang selanjutnya

juga berakibat penurunan perfusi jaringan otak.

c. Peningkatan Tekanan Intra Kranial

Tekanan intrakranial dapat meningkat karena beberapa sebab, yaitu pada

perdarahan selaput otak (misalnya hematoma epidural dan subdural). Pada

perdarahan dalam jaringan otak (misalnya laserasi dan hematoma serebri),

dan dapat pula akibat terjadinya kelainan parenkim otak yaitu berupa edema

serebri.

d. Herniasi Jaringan Otak

Adanya penambahan volume dalam ruang tengkorak (misalnya karena

adanya hematoma) akan menyebabkan semakin meningkatnya tekanan

intrakranial. Sampai batas tertentu kenaikan ini akan dapat ditoleransi.

Page 5: Lp Cks Icu Winda

Namun bila tekanan semakin tinggi akhirnya tidak dapat diltoleransi lagi dan

terjadilah komplikasi berupa pergeseran dari struktur otak tertentu kearah

celah-celah yang ada.

e. Infeksi

Cedera kepala yang disertai dengan robeknya lapisan kulit akan memiliki

resiko terjadinya infeksi, sebagaimana pelukaan di daerah tubuh lainnya.

Infeksi yang terjadi dapat menyebabkan terjadinya Meningitis, Ensefalitis,

Empyema subdural, Osteomilietis tulang tengkorak, bahkan abses otak.

f. Hidrosefalus

Hidrosefalus merupakan salah satu komplikasi cedera kepala yang cukup

sering terjadi, khususnya bila cedera kepala cukup berat.

g. Dekubitus

Keterbatasan gerak atau tirah baring pada pasien akan menyebabkan klien

tidak dapat bergerak. Kondisi tersebut dapat menyebabkan terjadinya

kerusakan kulit akibat kekurangan aliran darah dan iritasi pada kulit yang

menutupi tulang yang menonjol akibat penekanan yang lama.

Komplikasi yang dapat terjadi pada cedera kepala menurut Smeltzer &

Bare (2002) adalah:

a. Perluasan hematoma intracranial

b. Edema serebral dan herniasi, edema serebral adalah penyebab paling umum

dari peningkatan tekanan intracranial pada pasien yang mendapat cedera

kepala, puncak pembengkakan yang terjadi pada cedera kepala kurang lebih

72 jam pasaca cedera. Tekanan intrkranial meningkat akibat ketidakmampuan

tengkorak untuk membesar meskipun peningkatan volume oleh

pembengkakan otak akibat trauma. Akibat dari peningkatan TIK dan edema

adalah penyebaran tekanan pada jaringan otak dan struktur internal otak yang

kaku. Bergantung pada area pembengkakan, perubahan posisi ke bawah atau

lateral otak (herniasi) melalui atau terhadap struktur kakau akan

mengakibatkan iskemia, infark, kerusakan otak ireversibel dan kematian.

Page 6: Lp Cks Icu Winda

6. Penatalaksanaan

a. Airway dan Breathing

Perhatian adanya apneu. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100%

sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap

FiO2. Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis

dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah

berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg.

b. Circulation

Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya

perburukan pada cedera otak sedang. Hipotensi merupakan petunjuk adanya

kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi

hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah.

Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara

penyebab hipotensi dicari.

c. Disability (pemeriksaan neurologis)

Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dinilai sebagai

data akurat, karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon

terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera tekanan

darahnya normal. Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan

reflek cahaya pupil.

7. Pemeriksaan penunjang

a. CT Scan mengidentifikasi adanya

hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak

b. Angiografi, menunjukkan kelainan

sirkulasi serebral akibat adanya perdarahan, trauma, ataupun edema

Page 7: Lp Cks Icu Winda

8. Pathway

Trauma kepala

Terputusnya kontinuitas

jaringan tulang, jaringan kulit,

otot, dan laserasi pembuluh

darah

Gangguan suplai darah

Iskemia

Cairan serebrospinal di lapisan

subdural

Peningkatan TIK

Perubahan sirkulasi cairan

serebrospinal

Mesensefalon tertekan

Gangguan kesadaran

Risiko cideraImobilisasi

Risiko gangguan

integritas kulit

Hipoksia

Risiko

ketidakefektifan

perfusi jaringan

otak

Nyeri akut

Kerusakan sel otak

Meningkatkan

rangsangan

simpatis

Meningkatkan

tahanan vaskuler

sistemik dan

tekanan darah

Menurunkan tekanan

pembuluh darah pulmonal

Peningkatan

tekanan

hidrostatik

Kebocoran cairan kapiler

Oedem paru

Difusi O2

terhambat

Ketidakefektifan

pola nafas

Mual muntah

Risiko

kekurangan

volume cairanPandangan kaburPenurunan fungsi

Defisit perawatan

diri

Risiko

infeksi

Ketidakfektifan

bersihan jalan

nafas

Penumpukan sekret

Subdural hygroma

Edema serebri

Page 8: Lp Cks Icu Winda

B. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Identitas Klien: nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, alamat,

pekerjaan, status perkawinan.

b. Riwayat kesehatan: diagnosa medis, keluhan utama, riwayat penyakit

sekarang, riwayat kesehatan terdahulu terdiri dari penyakit yang pernah

dialami, alergi, imunisasi, kebiasaan/pola hidup, obat-obatan yang digunakan,

riwayat penyakit keluarga.

c. Genogram

d. Pengkajian Keperawatan

Penggunaan pengkajian Gordon, yang meliputi 11 aspek yaitu, persepsi

kesehatan & pemeliharaan kesehatan, pola nutrisi/metabolik, pola eliminasi,

pola aktivitas & latihan, pola tidur & istirahat, pola kognitif & perceptual, pola

persepsi diri, pola seksualitas & reproduksi, pola peran & hubungan, pola

manajemen & koping stress, sistem nilai dan keyakinan

e. Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum, tanda vital

2) Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi): kepala, mata,

telinga, hidung, mulut, leher, dada, abdomen, urogenital, ekstremitas, kulit

dan kuku, dan keadaan lokal.

Menurut Muttaqin (2008), data pengkajian yang dapat ditemukan pada

klien yang mengalami cidera otak adalah sebagai berikut:

a) Breathing

Jika terjadi kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan

irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,

frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia

breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing (kemungkinan

karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada

jalan napas yang dapat menyebabkansuara nahfas ronkhi pada klien..

Page 9: Lp Cks Icu Winda

b) Blood

Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.

Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan

parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi

lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan

frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan

bradikardia, disritmia).

c) Brain

Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya

gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara,

amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan

pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan

mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka

dapat terjadi :

1. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,

konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan

memori)

2. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,

kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia

3. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.

4. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.

5. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus

vagusmenyebabkan kompresi spasmodik diafragma.

6. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh

kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.

7. Pemeriksaan GCS

8. Pemriksaan saraf kranial

d) Bladder

Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia

urin, dan ketidakmampuan menahan miksi.

e) Bowel

Page 10: Lp Cks Icu Winda

Terjadi penurunan fungsi pencernaan, bising usus lemah, mual, muntah

(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan

selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi

alvi.

f) Bone

Klien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada

kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat

pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis

yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di

otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan

tonus otot.

f. Terapi, pemeriksaan penunjang & laboratorium

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien yang mengalami cidera

otak sedang adalah:

1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak

dengan faktor risiko aneurisma serebral

2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

berhubungan dengan penumpukan sekret pada jalan nafas akibat lesi pada

serebrovaskular

3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan

dengan terhambatnya difusi oksigen

4. Nyeri akut berhubungan dengan terputusnya

kontinuitas jaringan

5. Defisit perawatan diri berhubungan dengan

penurunan kesadaran dan kelemahan neuromuscular

6. Risiko gangguan integritas kulit dengan faktor

risiko imobilisasi

7. Risiko infeksi dengan faktor risiko adanya luka

terbuka di kulit

Page 11: Lp Cks Icu Winda

8. Risiko cidera dengan faktor risiko penurunan

status kesadaran

Page 12: Lp Cks Icu Winda

3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Kriteria hasil Intervensi Rasional

1. Risiko

ketidakefektifan

perfusi jaringan

otak dengan faktor

risiko aneurisma

serebral

Ketidakefektifan

perfusi jaringan

serebral dapat

diminimalkan

Setelah

dilakukan

tindakan

keperawatan

4x24 jam

NOC: Tissue Perfusion:

Cerebral

Indikator:

1. menunjukkan perfusi

jaringan membaik

TD dalam batas

normal, tidak ada

keluhan sakit kepala.

2. Tanda-tanda vital

stabil

3. Tidak menunjukkan

adanya gangguan

perfusi meliputi

disorientasi,

kebingungan,

maupun nyeri kepala

NIC:

Circulatory Precaution

1. Kaji sirkulasi perifer

secara komprehensif (nadi

perifer, edema, CRT,

warna, dan suhu

ekstremitas)

2. Kaji kondisi ekstremitas

meliputi kemerahan, nyeri,

atau pembengkakan

3. Hindarkan cidera pada

area dengan perfusi yang

minimal

4. Hindarkan klien dari posisi

trendelenberg yang

meningkatkan TIK

5. Hindarkan adanya

penekanan pada area

1. Mengetahui status sirkulasi

perifer dan adanya kondisi

abnormal pada tubuh

2. Mengetahui adanya perubahan

akibat gangguan sirkulasi

perifer

3. Menghindari cidera untuk

meminimalkan luka

4. Posisi trendelenberg akan

meningkatkan TIK sehingga

memperparah kondisi klien

5. Mengurangi penekanan agar

Page 13: Lp Cks Icu Winda

cidera

6. Pertahankan cairan dan

obat-obatan sesuai

program

perfusi tidak terganggu

6. Obat-obatan untuk

meningkatkan sattus perfusi

2. Bersihan jalan

napas tidak efektif

berhubungan

dengan

penumpukan

secret;

ketidakmampuan

sekresi mukus,

upaya batuk buruk.

Bersihan jalan

nafas menjadi

efektif setelah

dilakukan

tindakan

keperawatan

selama 2 x 24

jam

NOC :

Respiratory status

Indikator:

1. Frekuensi pernafasan

dalam rentang

normal

2. Menunjukkan

kemampuan untuk

mengeluarkan sekret

3. Tidak terdengar

suara nafas

tambahan ronkhi

NIC : Airway Management

1. Kaji fungsi pernapasan

(bunyi napas, kecepatan,

irama, kedalaman dan

penggunaan otot asesori)

2. Kaji kemampuan

mengeluarkan sekresi,

catat karakter, volume

sputum dan adanya

hemoptisis

3. Berikan posisi semi/fowler

tinggi dan bantu pasien

latihan napas dalam dan

batuk yang efektif.

4. Pertahankan asupan cairan

sedikitnya 2500 ml/hari

1. Penurunan bunyi napas

menunjukkan menunjukkan

akumulasi sekret dan

ketidakefektifan pengeluaran

sekresi

2. Pengeluaran sulit bila sekret

sangat kental

3. Posisi fowler memaksimalkan

ekspansi paru dan menurunkan

upaya bernapas

4. Hidrasi yang adekuat membantu

Page 14: Lp Cks Icu Winda

kecuali tidak diindikasikan

5. Bersihkan sekret dari

mulut dan trakea, bila

perlu lakukan penghisapan

(suction)

6. Kolaborasi pemberian obat

sesuai indikasi seperti agen

mukolitik, bronkodilator

dan kortikosteroid.

mengencerkan sekret

5. Mencegah obstruksi dan

aspirasi. Penghisapan diperlukan

bila pasien tidak mampu

mengeluarkan secret

6. Obat untuk membersihkan jalan

nafas sesuai indikasi klien

3. Nyeri berhubungan

dengan agen

biologis

Nyeri akan

berkurang

setelah

dilakukan

perawatan

sesuai indikasi

1x24 jam

NOC:

a. Pain control

b. Pain level

Indikator:

a. Mampu mengontrol

nyeri yang dialami

b. Melaporkan bahwa

nyeri yang dialami

berkurang

NIC: Pain management

1. Kaji karakteristik nyeri

secara komprehensif

2. Gunakan komunikasi

terapeutik untuk menggali

pengalaman klien tentang

nyeri yang dirasakan

3. Observasi respon non

verbal klien

1. Karakteristik nyeri dikaji agar

intervensi yang diberikan

sesuai dengan tipe nyeri

2. Komunikasi terapeutik

digunakan agar klien merasa

lebih nyaman dan rasa saling

percaya dapat dibina, sehingga

klien bersedia mengungkapkan

pengalamannya

3. Respon non verbal yang

ditunjukkan klien

Page 15: Lp Cks Icu Winda

4. Evaluasi ketidakefektifan

pengobatan yang pernah

dilakukan terhadap nyeri

5. Gunakan pendekatan

multidisipliner untuk

manajemen nyeri:

penggunaan analgesik

6. Ajarkan tentang teknik

pengontrolan nyeri non

farmakologis

menggambarkan apa yang

dirasakan klien

4. Evaluasi dilakukan sebagai

bahan evaluasi agar tidak

memberikan terapi yang sama

5. Analgesik diberikan untuk

mengurangi nyeri yang dialami

klien

6. Teknik kontrol nyeri non

farmakologis dapat membantu

menurunkan rasa nyeri yang

dialami klien

Page 16: Lp Cks Icu Winda

DAFTAR PUSTAKA

Bulechek, Gloria M., et al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). Fifth

Edition. Mosby Elsevier.

Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Edisi III. Jakarta: Media

Aesculapius FK UI.

Moorhead, Sue., et al. Tanpa tahun. Nursing Outcomes Classification (NOC).

Mosby Elsevier.

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan

Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

NANDA. 2012. Nursing Diagnosis Definitions and Classification. Wiley-

Blackwell.

Price, Sylvia Anderson, dan Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi: Konsep

Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume II. Edisi VI. Jakarta: EGC.