Upload
agus-winantara
View
15
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala (Suriadi, dkk, 2001).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan
pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh
serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang
mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Cedera kepala adalah kerusakan jaringan otak yang diakibatkan oleh adanya trauma
(benturan benda atau serpihan tulang) yang menembus atau merobek suatu jaringan otak,
oleh pengaruh suatu kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak dan akhirnya oleh efek
percepatan perlambatan pada otak yang terbatas pada kompartemen yang kaku (Price,
1995).
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tulang tengkorak, dan otak, paling sering
terjadi dan merupakan penyakit neurologik yamg serius diantara penyakit neurology dan
merupakan proporsi epidemiologi sebagai hasil kecelakaan jalan raya (Smeltzer, 2001).
Cedera kepala adalah suatu bentuk trauma yang dapat merubah kemampuan otak
dalam menghasilkan keseimbangan aktifitas fisik, intelektual, emosional, sosial, dan
pekerjaan atau suatu gangguan traumatik yang dapat menimbulkan perubahan fungsi otak
(Black, 1997).
2. Epidemiologi / Insiden kasus
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10% meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang
sampai di rumah sakit, 80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%
termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera kepala berat
(CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada kelompok usia produktif antara 15-
44 tahun. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera
kepala, 20%-28% lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan,
kegiatan olahraga dan rekreasi.
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah satu rumah sakit di
Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita rawat inap, terdapat 60%-70%
dengan CKR, 15%-20% CKS, dan sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi
sekitar 35%-50% akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang
meninggal
Insiden cedera kepala nyata yang memerlukan perawatan di RS dapat diperkirakan
480 ribu kasus pertahun (200 kasus, 100 ribu orang) yang meliputi concussion, fraktur
tengkorak, peradarahan intracranial, laserasi otak, hematoma dan cedera serius lainnya.
Dari total ini, 75 – 85 % adalah concussion dan sekuele cedera kepala ringan. Cedera
kepala banyak terjadi pada laki – laki berumur antara 15 – 24 tahun, dan biasanya karena
kecelakaan bermotor. Dari 1200 pasien yang dirawat di RS dengan cedera kepala
tertutup, 55 % dengan cedera kepala ringan (minor).
3. Penyebab
Kecelakaan lalu lintas
Perkelahian
Jatuh
Cedera olahraga
Trauma tertembak (peluru) dan pecahan bom
Trauma benda tumpul
Kecelakaan kerja
Kecelakaan rumah tangga
4. Patofisiologi
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya
konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi
jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat
pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan
(deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak,
seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan
bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila
posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan
pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan
pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada
permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat,
cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau
tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah)
pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua
menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial
(TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi
hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan
“menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil
yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio
serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh
perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan
dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu:
cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar,
hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan
karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral,
batang otak, atau dua-duanya.
Cedera kepala dapat disebabkan oleh berbagai faktor, namun penyebab terseringnya
adalah kecelakaan seperti kecelakaan lalulintas. Jika hal tersebut terjadi, akan
mengakibatkan terjadinya trauma pada kepala sehingga dapat menimbulkan
perdarahan,baik perdarahan intracranial maupun perdarahan ekstrakranial..Perdarahan
intrakranial dapat menyebabkan terjadinya peningkatan TIK, akibat yang ditimbulkan
yaitu sakit kepala hebat dan menekan pusat reflek muntah di medulla yang
mengakibatkan terjadinya muntah proyektil sehingga tidak terjadi keseimbangan antara
intake dengan output. Selain itu peningkatan TIK juga dapat menyebabkan terjadinya
penurunan kesadaran dan aliran darah otak menurun. Jika aliran darah otak menurun
maka akan terjadi hipoksia yang menyebabkan disfungsi serebral sehingga koordinasi
motorik terganggu. Disamping itu hipoksia juga dapat menyebabkan terjadinya sesak
nafas.
Pendarahan ekstrakranial dibagi menjadi dua yaitu perdarahan terbuka dan tertutup.
Perdarahan terbuka (robek dan lecet) merangsang pelepasan mediator histamin,
bradikinin,prostaglandin yang merangsang stimulus nyeri kemudian diteruskan nervus
aferen ke spinoptalamus menuju ke kortek serebri sampai nervus eferen sehingga akan
timbul rasa nyeri. Jika perdarahan terbuka (robek dan lecet) mengalami kontak dengan
benda asing akan memudahkan terjadinya infeksi bakteri pathogen. Sedangkan
perdarahan tertutup hampir sama dengan perdarahan terbuka yaitu dapat menimbulkan
rasa nyeri pada kulit kepala.
5. Pathway
6. Klasifikasi
Cedera Kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, tingkat keparahan, dan
morfologi cidera.
Berdasarkan Mekanisme
Trauma Tumpul : kecepatan tinggi (tabrakan otomobil), kecepatan rendah (terjatuh,
terpukul)
Trauma Tembus : luka tembus peluru dan cdera tembus lainnya.
Berdasarkan Tingkat Keparahan
Biasanya Cedera Kepala berdasarkan tingkat keparahannya didasari atas GCS.
Dimana GCS ini terdiri dari tiga komponen yaitu :
Reaksi membuka mata (E)
Score 4: Membuka mata dengan spontan
Score 3: Membuka mata bila dipanggil
Score 2: Membuka mata bila dirangsang nyeri
Score 1: Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun
Reaksi berbicara
Score 5: Komunikasi verbal baik, jawaban tepat
Score 4: Bingung disorientasi waktu, tempat dan orang
Score3: Dengan rangsangan, reaksi hanya kata, tidak berbentuk kalimat
Score 2: Dengan rangsangan, reaksi hanya suara, tak berbentuk kata
Score 1: Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun
Reaksi Gerakan lengan / tungkai
Score6 : Mengikuti perintah
Score5 : Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui rangsangan atau tempat
Score 4 : Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan
Score 3 : Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal
Score 2 : Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal
Score 1 : Dengan rangsangan nyeri tidak ada reaksi
Dengan Glasgow Coma Scale (GCS), cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi:
Cedera Kepala Ringan (CKR) : bila GCS 14-15 (kelompok resiko rendah)
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau
amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada
kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral,
hematoma
Cedera Kepala Sedang (CKS) : bila GCS 9-13 (kelompok resiko sedang)
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih
dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat
mengalami fraktur tengkorak.
Cedera Kepala Berat (CKB) : bila GCS 3-8 (kelompok resiko berat)
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia
lebih dari 24 jam. Juga meliputi kontusio
serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.
Berdasarkan morfologi
Fraktur tengkorak
- Kranium : linear / stelatum ; depresi / non depresi ; terbuka / tertutup.
- Basis : dengan / tanpa kebocoran cairan serebrospinal ; dengan /
tanpa kelumpuhan nervus VII
Lesi intracranial
- Fokal diakibatkan dari kerusakan local yang meliputi konsio serebral dan
hematom serebal, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan
oleh perluasan masa lesi, pergeseran otak.
- Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.
Berdasarkan Patofisiologinya:
1. Cedera kepala primer, akibat langsung pada mekanisme dinamik (acclerasi-
decelerasi otak) yang menyebabkan gangguan pada jaringan. Dan dapat
mengakibatkan terjadinya gegar kepala ringan, memar otak, laserasi.
2. Cedera kepala sekunder, akan timbul gejala seperti: hipotensi sistemik.
7. Gejala Klinis
Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, ataksia, cara berjalan tidak tegap,
kehilangan tonus otot.
Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi jantung
(bradikardi, takikardia, yang diselingi dengan bradikardia disritmia).
Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis).
Inkontinensia kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan fungsi.
Muntah atau mungkin proyektil, gangguan menelan (batuk, air liur, disfagia)
Perubahan kesadaran bisa sampai koma. Perubahan status mental (orientasi,
kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau
tingkah laku dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris) deviasi
pada mata, ketidakmampuan mengikuti. Kehilangan penginderaan seperti
pengecapan, penciuman dan pendengaran, wajah tidak simetris, refleks tendon tidak
ada atau lemah, kejang, sangat sensitif terhadap sentuhan dan gerakan, kehilangan
sensasi sebagian tubuh, kesulitan dalam menentukan posisi tubuh.
Wajah menyeringai, respon pada rangsangan nyeri yang hebat, gelisah tidak bisa
beristirahat, merintih.
Perubahan pola nafas (apnea yang diselingi oleh hiperventilasi), nafas berbunyi,
stridor, terdesak, ronchi, mengi positif (kemungkinan karena aspirasi).
Fraktur atau dislokasi, gangguan penglihatan, kulit : laserasi, abrasi, perubahan
warna, adanya aliran cairan (drainase) dari telinga atau hidung (CSS), gangguan
kognitif, gangguan rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi tubuh.
Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, berbicara berulang – ulang.
Merasa lemah, lelah, kaku, hilang keseimbangan.
Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi, dan impulsif.
Mual, muntah, mengalami perubahan selera.
Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus,kehilangan pendengaran. Perubahan dalam penglihatan,seperti ketajamannya,
diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, fotopobia, gangguan pengecapan dan
penciuman.
Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda, biasanya lama.
Trauma baru atau trauma karena kecelakaan.
Pada konkusio, segera terjadi kehilangan kesadaran, pada hematoma,
kesadaran mungkin hilang, atau bertahap sering dengan membesarnya hematoma atau
edema intestisium.
Pola pernafan dapat secara progresif menjadi abnormal.
Respon pupil mungkin lenyap atau segera progresif memburuk.
Nyeri kepala dapat muncul segera atau bertahap seiring dengan
peningkatan tekanan intracranial kranium.
Perubahan prilaku, kognitif dan perubahan fisik pada berbicara dan
gerakan motorik timbul dengan segera atau secara lambat.
Hematoma epidural dimanifestasikan dengan awitan yang cepat.
Hematoma ini mengancam hidup dan dikarakteristikkan dengan detoriorasi yang
cepat, sakit kepala, kejang, koma dan hernia otak dengan kompresi pada batang otak.
Hematoma subdural terjadi dalam 48 jam cedera dan dikarakteristikkan
dengan sakit kepala, agitasi, konfusi, mengantuk berat, penurunan tingkat kesadaran,
dan peningkatan TIK. Hematoma subdural kronis juga dapat terjadi.
8. Pemeriksaan Fisik
Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot,
hiperventilasi, rhonkhi, takhipnea)
Sistem saraf : Saraf kranial adanya anosmia, agnosia, kelemahan gerakan otot
mata, vertigo.
Fungsi saraf kranial trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan
melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
Tingkat kesadaran : adanya perubahan mental seperti lebih sensitive, gelisah,
stupor, koma
Rangsangan meningeal : kaku kuduk, kernig, brudzinskhi.
Fraktur tengkorak : jenis fraktur, luka terbuka, perdarahan konjungtiva, rihinorrea,
otorhea, ekhimosisis periorbital, gangguan pendengaran.
Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh peningkatan TIK dan
disritmia jantung.
Kognitif : amnesia postrauma, disoroentasi, amnesia retrograt, gangguan bahasa
dan kemampuan matematika.
Fungsi sensori : lapang pandang, diplopia, gangguan persepsi, gangguan
pedengaran, gangguan sensasi raba.
Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik hemiparesis/plegia, gangguan
gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan disfagia atau afasia
akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
9. Pemeriksaan diagnostik/Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Fungsi Lumbal : CSS, dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan sub
arakhnoid.
AGD : untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi perdarahan
sub arakhnoid.
Kimia elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK atau perubahan mental.
Pemeriksaan radiologi
CT Scan (tanpa atau dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
MRI : sama dengan CT Scan
Angiografi serebral : menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, pendarahan, trauma
EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis.
Sinar X : untuk mendeteksi adanya perubahan struktur tulang ( fraktur ),
pergeseran struktur dari garis tengah ( karena perdarahan ) adanya fragmen
tulang.
10. Diagnosis/Kriteria Diagnosis
Konkusio adalah hilangnya kesadaran (dan kadang ingatan) sekejap, setelah
terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisikyang nyata atau
cedera kepala tertutup yang ditandai oleh hilangnya kesadaran. Konkusio
menyebabkan periode apnu yang singkat.
Hematoma Epidura adalah penimbunan darah diatas durameter. Hemotoma epidural
terjadi secara akut dan biasanya terjadi karena pendarahan arteri yang mengancam
jiwa.
Hematoma subdura adalah penimbunan darah dibawah durameter tetapi diatas
membrane abaknoid. Hematoma ini biasanya disebabkan oleh pendarahan vena,
tetapi kadang-kadang dapat terjadi perdarahan arteri subdura.
Pendarahan subaraknoid adalah akumlasi darah dibawah membran abaknoid tetapi
diatas diameter, ruang ini hanya mengandung cairan serebra spinalis bila dalam
keadaan normal.
Hematoma intra serebrum adalah pendarahan didalam otak itu sendiri, hal ini dapat
timbul pada cedera kepala tertutup yang berat ataupun pada cedera kepala terbuka.
11. Terapi / Tindakan penanganan
Penatalaksanaan
Konkusio ringan atau sedang biasanya diterapi dengan observasi dan tirah
baring.
Diperlukan ligasi pembuluh darah yang pecah dan evakuasi hematoma secara
bedah.
Dilakukan pembersihan / debredement (pengeluaran benda asing) dan sel-sel
yang mati (secara bedah terutama pada cedera kepala terbuka)
Dilakukan ventilasi mekanis
Untuk cedera kepala terbuka diperlukan antibiotika
Dilakukan metode-metode untuk menurukan tekanan intracranial termasuk
pemberian diuretic dan anti inflamasi
Meningkatkan pencegahan terutama jatuh, dorong untuk menggunakan alat
pengaman seperti helm,sabuk pengaman
Lakukan pengkajian neurologic
1. Fungsi serebral ( kesadaran, orientasi, memori, bicara )
2. TTV ( TD, nadi)
3. Pupil (isokor,anisokor)
4. Fungsi motorik dan sensorik
Kaji adanya cedera lain, terutama cedera servikal. Jangan memindahkan anak
sampai kemungkinan cedera servikal telah disingkirkan / ditangani. Tinggikan
kepala tempat tidur sampai 30 derajat jika tidak terdapat cedera servikal.
Pantau adanya komplikasi
1. Pantau TTV dan status neurologist dengan sering
2. Periksa adanya peningkatan TIK
Apabila terjadi peningkatan TIK maka hal yang dapat dilakukan adalah :
1. Pemantauan TIK dengan ketat.
2. Oksigenisasi adekuat.
3. Pemberian manitol.
4. Penggunaan steroid.
5. Peningkatan kepala tempat tidur.
6. Bedah neuro.
7. Periksa adanya drainase dari hidung dan telinga.
Pengobatan
Dukungan ventilasi.
Pencegahan kejang.
Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.
Terapi anti konvulsan.
Klorpromazin untuk menenangkan pasien.
Pemasangan selang nasogastrik.
Dapat diberikan alkaloid ergot (ergonovino) sebagai profilaksis
Dapat diberikan phenothiazine
Amitriptilin dan propanol untuk mengendalikan kecemasan yang berlebihan
Menggunakan ergonovine amitriptilin dan propanol pada 100 pasien,19 diperoleh
perbaikan yang nyata, 24 pebaikan sedang dan sisanya hanya sedikit perbaikan
atau tidak ada perubahan. Pemberian analgesic dapat mendukung, namun harus
dibatasi penggunaan hariannya.
Endemelasin (15 – 250 mg/hari) dan naproxen (1000 – 1500 mg/hari) berguna
untuk menghindari ketergantungan terhadap analgesik.
12. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi pada cedera kepala diantaranya :
Kejang
Pneumonia
Perdarahan gastrointestinal
Distrimia jantung
Hidrochepalus
Kerusakan control respirasi
Inkotinensia bladder dan bowel
Hemorrhagie
Infeksi
Edema
Hernias
13. Prognosis
Cedera kepala merupakan salah satu penyakit yang perlu diwaspadai. Melihat
penyebarannya yang banyak menimpa kalangan produktif. Penyakit ini disebut sebagai
penyebab kematian utama di kalangan yang tidak mentaati aturan dalam berlalu lintas.
Selain itu perawatan penyakit ini cukup serius dan sulit. Tidak menutup kemungkinan
di tengah perawatan bisa muncul komplikasi dari penyakit lainnya seperti edema,
kerusakan jaringan otak dan adanya perdarahan serius yang sulit ditangani. Jadi
prognosisnya buruk.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
I. PENGKAJIAN
Identitas Pasien dan Penanggung Jawab
Nama
Jenis kelamin
Usia
Status
Agama
Alamat
Pekerjaan
Pendidikan
Bahasa
Suku bangsa
Dx Medis
Sumber biaya
Riwayat keluarga
Genogram
Keterangan genogram
Status kesehatan
Status kesehatan saat ini
Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengkaji data subjektif yaitu data yang didapatkan dari klien, meliputi:
Alasan masuk rumah sakit
Sesak nafas,mual dan muntah
Keluhan utama
Pasien mengeluh sesak nafas
Pasien mengeluh merasa mual, pusing, merasa tidak nyaman
Pasien mengeluh lemas
Pasien mengeluh nyeri terutama pada bagian kepala
Kronologis keluhan
Pasien mengeluh sesak nafas,mual,pusing,tidak nyaman,lemas dan nyeri di
bagian kepala,nyeri yang dialami tidak tertahankan lagi sehingga pasien
dibawa ke rumah sakit.
Status kesehatan masa lalu
- Penyakit yang pernah dialami
- Pernah dirawat
- Alergi
- Kebiasaan (merokok/kopi/alcohol atau lain – lain yang merugikan
kesehatan)
Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Mengkaji apakah sebelumnya pasien pernah mengalami sakit yang sama atau
yang berhubungan dengan penyakit yang saat ini diderita. Misalnya, sebelumnya
pasien mengatakan pernah mengalami nyeri pada bagian kepala,sesak mual dan
pusing.Apakah pasien pernah menjalani perawatan di RS atau pengobatan
tertentu.
Riwayat Kesehatan Keluarga
Mengkaji apakah dalam keluarga pasien ada/tidak yang mengalami penyakit yang
sama.
Riwayat Psikososial dan Spiritual
Mengkaji orang terdekat dengan pasien, interaksi dalam keluarga, dampak
penyakit pasien terhadap keluarga, masalah yang mempengaruhi pasien,
mekanisme koping terhadap stres, persepsi pasien terhadap penyakitnya, tugas
perkembangan menurut usia saat ini, dan sistem nilai kepercayaan.
Diagnosa medis dan Therapy
Dikaji berdasarkan 14 kebutuhan dasar menurut Virginia Handerson, yaitu :
a. Bernafas
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan pernafasan, sesak, atau batuk, serta
ukur respirasi rate.
b. Makan
Dikaji apakah klien menghabiskan porsi makan yang telah disediakan RS, apakah
pasien mengalami mual atau muntah ataupun kedua-duanya.
c. Minum
Dikaji kebiasaan minum pasien sebelum dan saat berada di RS, apakah ada
perubahan (lebih banyak minum atau lebih sedikit dari biasanya).
d. Eliminasi (BAB / BAK)
Dikaji pola buang air kecil dan buang air besar.
e. Gerak dan aktifitas
Dikaji apakah pasien mengalami gangguan/keluhan dalam melakukan
aktivitasnya saat menderita suatu penyakit (dalam hal ini adalah setelah
didiagnosa mengalami gagal jantung kongestif) atau saat menjalani perawatan di
RS.
f. Rasa Nyaman
Dikaji kondisi pasien yang berhubungan dengan gejala-gejala penyakitnya,
misalnya pasien merasa nyeri di perut bagian kanan atas (dikaji dengan PQRST :
faktor penyebabnya, kualitas/kuantitasnya, lokasi, lamanya dan skala nyeri)
g. Kebersihan Diri
Dikaji kebersihan pasien saat dirawat di RS
h. Rasa Aman
Dikaji apakah pasien merasa cemas akan setiap tindakan keperawatan yang
diberikan kepadanya, dan apakah pasien merasa lebih aman saat ditemani
keluarganya selama di RS.
i. Sosial dan komunikasi
Dikaji bagaimana interaksi pasien terhadap keluarga, petugas RS dan lingkungan
sekitar (termasuk terhadap pasien lainnya).
j. Pengetahuan
Dikaji tingkat pengetahuan pasien tentang penyakitnya yang diderita saat ini dan
terapi yang akan diberikan untuk kesembuhannya.
k. Rekreasi
Dikaji apakah pasien memiliki hobi ataupun kegiatan lain yang ia senangi.
l. Spiritual
Dikaji bagaimana pendapat pasien tentang penyakitnya, apakah pasien menerima
penyakitnya adalah karena murni oleh penyakit medis ataupun sebaliknya.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
-Tingkat kesadaran: kompos mentis/apatis/somnolen/sopor/koma
- GCS : verbal,psikomotor,mata
Tanda – tanda vital (Nadi,Temp,RR,TD)
Keadaan Fisik (IPPA)
- Kepala dan leher
- Thorak dan abdomen
- Pemeriksaan neurologist
- Integumen
- Ekstremitas (atas dan bawah)
Pemeriksaan penunjang
Data laboratorium dan radiologi yang berhubungan :
CT Scan (untuk mengidentifikasi adanya pergeseran jaringan otak)
MRI (sama dengan CT Scan untuk mengetahui adanya lesi pada jaringan
otak)
EEG (untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis)
Sinar X (mendeteksi adanya perubahan struktur tulng)
GDA (mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenasi yang akan
dapat meningkatkan TIK)
CSS(dapat menduga kemungkinan adanya pendarahan subarakhnoid)
Kimia/elektrolit darah (mengetahui ketidakseimbangan yang berperan
dalam meningkatkan TIK/perubahan mental)
Data Subjektif
Pola nafas tidak teratur, sesak nafas
Mual, pusing, merasa tidak nyaman
Lemas, lesu
Meringis, gelisah
Terdapat nyeri, terutama sakit kepala
Data objektif
Penggunaan O2
Muntah proyektil
Tidak mampu melakukan aktivitas
Adanya robekan atau lecet pada kulit kepala
Ukur skala nyeri
II. Diagnosa Keperawatan
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran darah otak ditandai
dengan sesak nafas
Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial ditandai dengan sakit
kepala yang hebat
Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan TIK
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan disfungsi serebral ditandai dengan
koordinasi motorik terganggu
Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah proyektil
Resiko infeksi berhubungan dengan adanya luka terbuka
Resiko cedera berhubungan dengan peningkatan TIK ditandai dengan penurunan
kesadaran
III.RENCANA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan aliran darah otak
ditandai dengan sesak nafas
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan pasien
bisa bernafas dengan efektif
Kriteria hasil: Nafas pasien normal (16-24X/menit),Pasien tidak menunjukkan gangguan pola
nafas,tidak menunjukkan tanda-tanda sianosis
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri :
Kaji frekuensi irama,kedalaman pernafasan
Berikan posisi semifowler
Monitor AGD
Pernafasan yang tidak teratur menandakan adanya gangguan pernafasan pada otak.
Memaksimalkan ekspansi paru
Mempertahankan kadar PaO2 dan PaCO2 dalam batas normal.
Berikan oksigen sesuai program
Auskultasi bunyi nafas
Meningkatkan suplai oksigen ke otak.
Salah satu komplikasi cedera kepala adalah adanya gangguan pada paru-paru
2. Nyeri berhubungan dengan peningkatan tekanan intracranial ditandai dengan sakit
kepala yang hebat
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan nyeri
yang dirasakan pasien berkurang
Kriteria hasil: Pasien tampak tenang dan wajah pasien tidak meringis
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri :
Kaji lokasi dan skala nyeri
Observasi TTV
Ajarkan tekhnik distraksi dan relaksasi
Kolaborasi :
Berika obat analgesic sesuai indikasi
Untuk menentukan rencana yang tepat
Untuk mengetahui perkembangan pasien
Untuk mengalihkan perhatian agar pasien tidak terfokus pada nyeri.
Membantu mengurangi nyeri.
3. Gangguan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan peningkatan TIK
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan Agar
perfusi jaringan serebral menjadi adekuat
Kriteria hasil: Kesadaran pasien compos mentis (GCS 15),Tanda vital pasien stabil,Tekanan
perfusi serebral lebih dari 60mmHg,TIK kurang dari 15mmHg,Fungsi sensori
utuh atau normal.
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri :
Kaji tanda-tanda vital
Kaji tingkat kesadaran dengan GCS
Monitor AGD,PaCO2 antara 35-45mmHg dan PaO2 lebih dari 80mmHg.
Anjurkan pasien untuk tidak menekuk lututnya atau fleksi,batuk,bersin dan mengejan.
Kolaborasi:
Berikan obat sesuai indikasi dan monitor efek samping
Mengetahui keadaan pasien
Tingkat kesadaran merupakan indicator yang terbaik adanya perubahan neurology.
Karbon dioksida menimbulkan vasodilatasi,adekuatnya oksigen sangat penting dalam mempertahankan metabolisme otak.
Dapat meningkatkan tekanan intra cranial.
Mencegah komplikasi lebih dini.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan disfungsi serebral ditandai
dengan koordinasi motorik terganggu
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan Agar
pasien dapat melakukan kembali mobilitas secara normal
Kriteria hasil: Pasien dapat melakukan aktivitas kembali,Dapat mempertahankan
gerakan sendi secara maksimal,Kekuatan otot pasien maksimal,Integritas
kulit utuh.
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri :
Kaji kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang terjadi.
Monitor fungsi motorik dan sensorik setiap hari
Lakukan latihan ROM secara pasif.
Ganti posisi tiap 2 jam sekali
Mengidentifikasi masalah utama terjadinya gangguan mobilitas fisik.
Menentukan kemampuan mobilisasi
Mencegah terjadinya kontraktur.
Penekanan terus-menerus menimbulkan
Observasi keadaan kulit
Berikan perawatan kulit dengan cermat seperti massage dan memberi pelembab ganti linen atau pakaian yang basah.
Kolaborasi :
Koordinasikan aktivitas dengan ahli physioterapi.
dekubitus.
Mencegah secara dini dekubitus.
Meningkatkan sirkulasi dan elastisitas kulit dan menurunkan dekubitus.
Kolaborasi penanganan physiotherapy.
5. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah proyektil
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan agar
volume cairan pasien dalam batas normal
Kriteria hasil: Intake dan output pasien seimbang.Tidak ada tanda-tanda dehidrasi,Tugor
dalam keadaan normal.
INTERVENSI RASIONALMandiri :
Monitor intake dan output cairan
Monitor tanda dehidrasi : banyak minum, kulit kering, tugor kulit kurang, kelemahan,beat badan yang menurun.
Monitor hasil laboratorium, elektrolit, hematokrit.
Berikan cairan pengganti melalui oral /parienteral.
Mengetahui keseimbangan cairan
Indikator kekurangan cairan.
Hematokrit yang meningkat berarti cairan lebih pekat.
Mengganti cairan yang hilang.
6. Resiko infeksi berhubungan dengan adanya luka terbuka
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan agar
tidak terjadi infeksi pada pasien yang diatandai dengan adanya luka
Kriteria hasil: Pasien tidak mengalami infeksi.Mencegah /menurunkan resiko infeksi
INTERVENSI RASIONALMandiri :
Kaji TTV
Observasi keadaan dan warna luka
Untuk memantau keadaan pasien
Untuk mencegah terjadinya infeksi
7. Resiko cedera berhubungan dengan peningkatan TIK ditandai dengan penurunan
kesadaran
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan agar
terjadinya cedera pada pasien dapat diminimalisir
Kriteria hasil: Tidak terjadi cidera,Pasien dalam keadaan sadar
INTERVENSI RASIONALMandiri :
Beri pembatas pada tempat tidur.
Pantau TTV
Tempatkan barang-barang yang berbahaya tidak dekat dengan pasien seperti: kaca, gelas, larutan antiseptik.
Jangan tinggalkan pasien sendiri
Untuk mencegah terjadinya cidera
Untuk mengetahui keadaan pasien
Untuk mencegah terjadinya cidera
Untuk mencegah agar pasien tidak jatuh dan mencegah pasien tidak mengalami cidera.
IV.EVALUASI
Diagnosa Evaluasi
1 S : pasien mengeluh tidak sesak lagi
O : pasien bernafas normal (16-24 x/menit),tidak terdapat tanda-tanda sianosis,pasien tidak mengalami gangguan pola nafas
A : tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien
2 S:Pasien melaporkan rasa nyerinya berkurang
O:Wajah pasien tampak tenang dan tidak meringis
A:Tujuan tercapai
P:Pertahankan kondisi pasien
3 S : pasien mampu berespon
O : kesadaran pasien meningkat,TTV pasien normal ( TD:120-140/60-90mmHg,Suhuaksila:36,5oC-37,5oC,RR:16-24x/menit,Nadi:60-100x/menit), Tekanan perfusi serebral lebih dari 60mmHg,TIK kurang dari 15mmHg,Fungsi sensori utuh atau normal.A: tujuan tercapai sebagian
P: lanjutkan intervensi
4 S:Pasien dapat menggerakan semua ekstremitasnya dengan normal
O:Pasien mampu beraktivitas dengan normal dan dapat mengerakkan semua ekstremitasnya dengan normal.
A:Tujuan tercapai
P:Pertahankan kondisi pasien
5 S : pasien tidak menunjukan tanda-tanda dehidrasi
O: intake & output pasien seimbang
A : tujuan tercapai
P : Pertahankan kondisi pasien
6 S:Pasien mengatakan di tubuhnya tidak terdapat luka
O:Tidak terdapat luka pada tubuh pasien dan tidak terdapat tanda-tanda infeksi
A:Tujuan tercapai
P:Pertahankan kondisi pasien
7 S:Pasien menagatakan kalau tidak mengalami cedera
O:Tidak terjadi cedera pada pasien dan pasien dalam keadaan sadar
A:Tujuan tercapai
P:Pertahankan kondisi pasien
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3, Jakarta:EGC..
Carpenito LD.1995.Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik. Jakarta: EGC.
Doengoes, M.E.,2000. Penerapan Proses Kperawatan dan Diagnosa Keperawatan.Jakarta:EGC.
Dr. Syaiful Saanin, Neurosurgeon. [email protected]