Upload
ppm-stba-lia-jakarta
View
124
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
LINGUA STBA LIA Jakarta is a biyearly academic journal from STBA LIA Jakarta (Indonesia) which publishes the journal through PPPM, a unit of Research and Community Development .The content of this journal revolves around issues on Literature, Journalism, Translation, Linguistics, Cultural Studies, and Language Teaching. The writers are from the teaching staff of STBA LIA and other people from outside campus.Most articles in this journals are written in Indonesia and the rests are in Indonesian and Japanese.This journal is registered at: http://u.lipi.go.id/1180428792. More information about STBA LIA Jakarta can e found here: http://www.stbalia.ac.id/.
Citation preview
ISSN 1412-9183 Volmne 7 Nomor 2, Oktober 2008
JlJRNAL ILHIAH LINGUA
PUSATPENELITJANDANPENGABDIANPADAMASYARAKAT SEKOLAHTINGGI BAHASAASING LIAJAKARTA
Penasihat Dr. Ekayani Tobing
Penanggung Jawab Sulistini Dwi Putranti MHum.
Penyunting Penyelia Askalani Munir, M Pd
Penyunting Pelaksana DewiA. Yudhasari, MHum.
vera MHum.
Penyunting TamuIPenelaahAhli Dr. Agus Aris Munandar
Sekretaris Agus Wahyudin, MPd
TataUsaha Tety Kurniati
Alamat Redaksi Jalan Pengadegan Tunur Raya No. J
Telepon(021) 79181051, Faksimile (021) 79181048 E-mail: [email protected]
ISSN 1412-9183 Vohnne7 Nomor 2, Oktober 2008
JlIRNAL LfNqUA
DAFfARISI
Jendela 1-11
Budaya Popular sebagai Inspirasi Bangsa Jepang 78- 89 dalam Upaya Mendongkrak Citra Jepang di Mata Dunia: Sebuah Fenomena Jorifon Johana
Analisis Sinonimi Verba Ontou dan Kangaeru 90-- 107 Setyawati Kooswardani, dan Yuyu Yohana Risagarniwa
V' Parodi Sistem P eJ'tindungan dan Perawatan Lansia 108 -127 daIam Novel Glinrei No Hate Karya Tsutsui Yasutaka Tatat Haryati
Kata Yabai sebagai Wakamono KoIJJba 'BahasaAnak Muda' 128 -139 diJepang Gita Astagina
Indeks
Pedoman Penulisan Jumal Dmjah LINGUA
JENDELA
Agak: berbeda. Itulah sajian volume VII nomor 2 tahun 2008 ini. Jika
penerbitan sebelunmya topik-topik terdiri atas berbagai disiplin ilmu, kali ini
menampilakan empat topik khusus kejepangan, yang meliputi budaya,
linguistik, dan sastra.
Pertama, fenomena budaya popular Jepang. Hampir tidak: ada produk
Jepang yang tidak: dikenal. Anime dan sofware game dari Jepang, misalnya,
sebagian besar orang mengenalnya, dari anak-anak sampai dengan dewasa.
Kepopularan produk budaya dari Jepang ini tidak: tedepas dari upaya dari
masyarakat dan pemerintahannya sendiri yang selalu berupaya agar semua
kreativitas yang dihasilkannya diterima komunitas dunia. Tidak hanya itu,
novel karya Haruki Murakami temyata tidak terkenal di Jepang saja, tetapi di
mancanegara dengan ditetjemahkannya lebih ke-30 bahasa. Kedua-contoh
terse but hanya sekian dari sejumlah produk budaya Jepang yang dikenal,
belum termasuk produk-produk lain, seperti otomotif, makanan, dan fesyen.
Kedua, analisis sinonim verba omou dan kangaeru. Kedua kata yang
bersinonim ini berpadanan dengan bahasa Indonesia berpildr dan memikirkan.
Berdasarkan kelas kata kedua kata tersebut termasuk verba. Namun, arti
leksikal dari kedua kata berbeda: omou 'berpikir' menggunakan perasaan,
sedangkan kangaeru 'berpikir' menggunakan penalaran atau logika.
Ketiga, parodi dalam sistem perlindungan dan perawatan lansia di
Jepang. Novel yang berjudul Ginrei no Hate karya Tsutsui Yasutaka ini
bertumpu pada konsep artistik Rene Wellek dan Austin Warren dan parodi
Linda Hutcheon. Beberapa unsur tergambar dalam karya sastra ini, di
antaranya, melalui kritik terhadappelaksanaan sistem perlindungan dan
perawantan lansia oleh pemerintah, masyarakat, dan keluarga; cemoohan dan
olok-olok terhadap kebijakan perawatan lansia dan penanganan pensiun oleh
Jendela 1
pemerintah. Unsur-unsur parodi yang ditemukan dalam bentuk
ironik dan satirik dalam teks novel tersebut.
Keempat, yabai sebagai wakamono kotoba. Bahasa anak muda yang
lebih dikenal dengan bahasa gaul dipastikan hampir terjadi pada bahasa-bahasa
di dunia, temasuk bahasa Jepang. Ryuukou kotoba merupakan salah satunya.
Redaksi
11 Jendela
JlIRNAL ILHIAH LINaUA
. Volume 7 Nomor 2, Oktober 2008
BUDAY A POPULAR SEBAGAI INSPIRASI BANGSA JEPANG
DALAM UPAYA MENDONGKRAK CITRA JEPANG DI MATA
DUNIA: SEBUAH FENOMENA JoJ1jon Johana, M. Ed.
Sta! Pengqjar Jurusan Bahasa dan Sastra Jepang, Universitas Padjajaran Bandung
Abstrak Sejak 90-an budaya popular Jepang mendunia dalam bentuk komik, anime 'animasi',
dan software game. Tulisan ini akan membahas tentang apa yang melatarbelakangi mendunianya budaya popular Jepang, serta upaya apa saja yang diambil oleh pemerintah dan publik Jepang untuk mengembangkan komoditas baru ini. Seiring dengan mendunianya budaya popular Jepang, novelis Haruki Murakami telah memberikan kontribusi dalam mengangkat citra Jepang di mata dunia.
Kata kunci: manabu, maneru, inovasi, modifikasi, nilai rasa, mentalitas Jepang
Abstract Since the 90's Japanese Popular culture in theform of comics known as "anime" and
game software have gone global. This article discusses the background of this phenomenon and the efforts done by the government and the people to support the growth of these new commodities. Along with the improvement of this Japanese popular culture, novelist Haruki Murakami has done some contribution in developing the Japanese image in the world.
Key words: manabu, maneru, innovation, modification, sense value, Japanese mentality
Pendahuluan
Sebagairnana kita ketahui bersarna, produk budaya popular Jepang saat
ini sedang rnewabah harnpir di seluruh penjuru dunia, rnulai dari anak-anak
sarnpai orang dewasa rnenyukai dan rnenggandrungi produk budaya popular
Jepang. Banyak sekali kornik Jepang yang diterjernahkan ke dalarn berbagai
bahasa. Begitu juga anime ditayangkan di berbagai stasiun televisi. Jika kita
berada di antara siswa SD, SMP, dan SMA, bahkan rnahasiswa, tidak jarang
kita rnendengar rnereka sedang rnernbicarakan kelanjutan Naruto, lagu-Iagu
bagus dari L' Arc:en:Ciel dan Hikaru Utada, dan sebagainya. Mereka tidak
78 UNQUA Vol.7 No.2, Oktober 78-89
sabar lagi untuk menonton kelanjutan cerita Naruto, serta menunggu release
lagu L' Arc:en:Ciel dan Hikaru Utada.
Dengan adanya kereta yang disebut globalisasi dan pasar bebas, produk
budaya popular Jepang mengalir dengan deras ke' seluruh penjuru dunia dan
diterima dengan baik oleh masyarakatdunia. Sebenamya, apa yang menjadi
alasan hingga produk budaya popular demikian digandrungi oleh anak muda
(termasuk dewasa) hampir di seluruh dunia? Apakah sebenamya yang
dimaksud dengan budaya popular itu?
Menurut Nakamura (2003), defmisi yang pasti tentang pop culture
'budaya popular' sebenamya belum ada, tetapi secara umum dapat dikatakan
sebagai budaya trend atau budaya massa sebagai konsep yang dipertentangkan
dengan seni klasik, tradisional, dan budaya ningrat. Beberapa genre dari
budaya popular, seperti film dan musik merupakan andalan Amerika,
sedangkan komik, anime, dan game adalah andalan Jepang. Selain itu, ada pula
genre yang merupakan bidang baru yang berbasis digital, seperti web, telepon
selular,fashion, mainan, olahraga, dan media content.
Budaya popular ini merupakan sesuatu yang terus berubah sesual
dengan perkembangan zaman. Kondisinya pun berbeda-beda bergantung pada
masing-masing negara dan bangsa. Definisinya pun dapat berbeda-beda pula
bergantung pada sUbjektivitas tiap individu. Banyak pula budaya popular
zaman dulu yang berakulturasi dengan seni tradisional. Saat ini pendapat orang
terpecah-pecah, apakah seni rakugo ataU kabuki itu pun budaya popular atau
bukan?
Sementara itu, Hebdige, yang pendapatnya disetujui oleh Strinati
(2007) mengungkapkan bahwa 'Budaya popular' - misalnya, sekumpulan
artefak yang ada pada umumnya, film, kaset, pakaian, acara televisi, alat
transportasi, dan sebagainya. Dengan demikian, masyarakat yang berbeda-
Budaya Popular Sebagai Inspirasi Baugsa Jepaug dalam Upaya Mendongkrak Citra Jepaug di Mala Duma: Sebuah Fenomena (Jonjon Jobana, M. Ed.) 79
beda, kelompok-kelompok di dalam masY!l!akat yang berbeda-beda, dan masyarakat maupun kelompok dalam rentang sejarah yang berbeda-beda bisa
jadi memiliki budaya popular sendiri. Ada satu lagi pendapat tentang istilah budaya popular dalam
pemanfaatannya untuk diplomasi budaya yang mengemuka pada saat bidang
yang menangani budaya popular di Departemen Luar Negeri Jepang
membicarakannya. Pada saat itu, banyak yang kurang setuju apabila beragam
jenis budaya, seperti anime, komik, J-Pop, dan fashion digeneralisasi dengan
kata "budaya popular". Kemudian, setelah diadakan pembicaraan yang intensif,
muncullah definisi "budaya popular" khas Jepang, yang berbunyi budaya
popular adalah budaya yang muncul dari aktivitas sehari-hari masyarakat
umum; budaya yang muncul akibat pembelian produk oleh masyarakat umum
yang sambi! digunakan sehari-hari produk tersebut terus diasah; dan melalui
budaya ini dapat diperkenalkan sense 'nilai rasa' dan mentalitas orang Jepang
sebagai Jepang apa adanya. Berdasarkan pendapat ini, ukiyoe, keramik, dan
shadou juga dapat dikatakan sebagai "budaya popular" pada masing-masing zamannya.
Pada dasarnya, ketiga pendapat atau definisi di atas memiliki subtansi
yang sama, hanya cara pengungkapannya berbeda. Akan tetapi, apabila kita
ingin memunculkan perbedaan dari definisi-definisi tersebut, dapat dikatakan
pendapat Hebdige lebih universal, sedangkan kedua pendapat lainnya lebih spesiftk, yaitu hanya berkaitan dengan Jepang.
Budaya Popular sebagai "Komoditas" Baru
Di luar perkiraan bangsa Jepang sendiri, produk budaya popular mereka
temyata begitu meledak di seluruh penjuru dunia. Budaya popular dan life style
'gaya hidup' mereka secara luas diapresiasi sebagai "Japan coof'. Sebenarnya,
80 WJl.;I/A Vo1.7 No.2, Oktober 78-89
apa yang melatarbelakangi budaya popular dan hidup mereka begitu
dinilai tinggi oleh penduduk dunia? Poin-poin berikut ini dapat menjelaskan
latar belakang tersebut.
Di dalam bahasa Jepang ada kata "manabu" yang artinya
'mempelajari'. Maknanya dapat saja diidentikkan dengan kata "maneru" yang
dalam bahasa Indonesia berarti 'meniru'.
Pada awal zaman Meiji, Jepang banyak menyerap budaya dari luar,
terutama dari negara-negara Barat yang mereka anggap sudah maju. Mereka
mempelajari budaya-budaya tersebut dan meniru unsur-unsur budaya yang
mereka anggap cocok dengan sense 'nilai rasa' dan mentalitas mereka. Mari
kita lihat beberapa contoh di bawah ini.
Mungkin tidak banyak yang mengetahui bahwa makanan yang disebut
tempura, yakiniku, dan sushi sebenarnya bukan makanan asli Jepang,
melainkan makanan dari negara lain. Bangsa Jepang mempelajari dan meniru
makanan-makanan ini, kemudian mereka ramu dan masukkan cita rasa mereka
ke dalamnya sebingga akhirnya muncul "tempura", ''yakiniku'', dan "sushi"
khas Jepang yang sekarang banyak dikenal di seluruh penjuru dunia ..
Dalam acara televisi di Jepang, sering muncul acara yang disebut
"Monomane". Dalam acara ini, muncul orang-orang yang menirukan tindak-
tanduk dan gaya kaum selebriti di panggung. Dengan adanya acara seperti ini,
muncullah selebriti bam. Acara ini awalnya adalah sebuah acara televisi di
Amerika yang diadaptasi oleh studio televisi di Jepang.
Hal lain yang menjadi pengetahuan umum adalah merajainya Jepang
pada dunia otomotif. Namun, sebenarnya yang pertama kali menciptakan
kendaraan ini adalah negara-negara Barat dan Amerika. Kemudian, bangsa
Jepang mempelajari teknik pembuatan otomotif tersebut, menirunya, lalu
memodifikasinya dengan memasukkan nilai rasa dan nilai keindahan mereka,
Budaya Popular Sebagai Inspirasi Bangsa Jepang dalam Upaya Mendongkrak Citra Jepang di Mala Dunia: Sebuah Fenomena (Jon jon Johana, M. Ed.)
81
yang akhimya terciptalah kendaraan-kendaraan. yang cool 'keren', praktis, dan
relatif murah, yang sekarang lalu-Ialang di kota-kota di penjuru dunia
Dari contoh-contoh di atas dapat dikatakan bahwa bangsa Jepang
merupakan bangsa yang sangat suka dan pandai meniru. Tentu saja mereka
tidak serta-merta merasa puas apabila mereka sudah berhasil meniru. Akan
tetapi, mereka justru terus berusaha untuk dapat membuat sesuatu yang
kualitasnya jauh lebih bagus daripada yang ditirunya, dengan cara melakukan
inovasi dan modifikasi terhadap apa yang ditirunya. Tentu saja dalam
melakukan inovasi dan modifikasi tersebut mereka selalu menyesuaikannya
dengan nilai rasa dan nilai keindahan yang mereka miliki sebagai nilai
tambahnya.
Menurut Nakamura (2004), dulu citra Jepang di mata dunia adalah
sebagai negara yang beIjuang dengan jiwa samurai atau perang yang
dipresentasikan dengan kata-kata hara-kiri atau kamikaze. Pascaperang, citra
Jepang berubah menjadi negara industri yang beIjuang dalam kancah global yang dipresentasikan dengan merek-merek dagang Toyota, Honda, Sony, dan
lain-lain. Namun, sekarang citra itu bergeser menjadi Pikachu, Dragon Ball Z,
Sailor Moon, Super Mario Brothers, dan sebagainya. Budaya popular yang
berupa komik, anime, dan video game membentuk wajah Jepang sekarang.
Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Nakamura tersebut, tidak
dapat disangkal lagi bahwa J epang di mata dunia sekarang adalah J epang yang
banyak memunculkan produk kreatif bemuansa budaya popular. Tentu saja
dalam menciptakan produk-produk tersebut tidak terlepas dari landasan yang berupa gaya hidup, adat-istiadat, budaya tradisi, dan seni tradisi yang mereka
miliki sejak lama.
Sampai saat ini perhatian bangsa Jepang terfokus pada pengembangan
bidang teknik canggih (IT). Dengan kata lain, perhatian mereka lebih tercurah
82 LtN4UA Yo\.7 No.2, Oktober 78-89
pada pengembangan hal-hal yang lebih bersifat. fisik, sedangkan untuk:
pengembangan segi mental tidaklah begitu mendapat perhatian. Akan tetapi,
setelah melihat fenomena meledaknya budaya popular yang digandrungi,
terutama oleh kaum muda dunia, mereka pun terdorong untuk: mulai
memberikan perhatian mereka terhadap penanganan budaya popular tersebut.
Saat ini, Jepang menjadikan budaya popular mereka berupa komik,
anime, video game, dan musik sebagai salah satu unggulannya. Dalam upaya
menggalakkan komoditas yang merupakan hasil kreativitas individual ini, baik
pemerintah maupun lembaga publik diharapkan dapat membantu kreator-
kreator tersebut dalam menembus akses ke negara-negara luar demi kelancaran
masuknya komoditas ini. Demi menyebarnya budaya popular yang merupakan
unggulan ini, bangsa Jepang menyertakan unsur-unsur nilai rasa, mentalitas,
dan nilai keindahan yang merupakan karakter khas mereka agar lebih eksis dan
lebih dikenal oleh dunia Iuar meskipun pada akhimya hal tersebut dilakukan
dengan tujuan keuntungan yang sifatnya material.
Haruki Murakami dan Produk Budaya Popular
Berbeda dengan komik, anime, dan video game, karya sastra Jepang
tidak begitu marak dikenal di Iuar negeri. Tentu saja karya sastra Jepang yang
mendapat hadiah Nobel, seperti karya Kawabata Yasunari, Oe Kenzaburo, dan
beberapa karya penulis lain diterj emahkan pula ke dalam bahasa asing, sama
halnya dengan komik. Akan tetapi, itu pun tidaklah sesemarak penerjemahan
komik.
Berbeda dengan karya-karya Haruki Murakami, karya pengarang ini
diterjemahkan ke dalam kurang lebih 40 bahasa di dunia dan hasil
terjemahannya ada yang menjadi best seller di negara tempat buku tersebut
Budaya Popular Sebagai Inspirasi Bangsa Jepang dalam Upaya Mendongkrak Citra Jepang di Mata Dunia: Sebuah Fenomena (Jonjon Jobana, M. Ed.)
83
diteIjemahkan atau paling sedikit menjadi 10 karya besar di negara tersebut.
Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini diangkat pula Haruki Murakami.
Sama halnya dengan meledaknya produk budaya popular Jepang
hampir di seluruh dunia, karya-karya Haruki Murakami juga dalam waktu yang
hampir bersamaan menunjukkan fenomena yang sama. Seperti yang akan
diuraikan selanjutnya, karya-karya Haruki Murakami tersebut dapat meredam
emosi bangsa yang pemah menjalani luka historis akibat tindakan tentara
J epang di masa perang, serta mengundang simpati dari bangsa yang pada
mulanya antipati terhadap Jepang.
Karya Haruki Murakami yang telah diterjemahkan memberikan
pengaruh yang cukup besar terhadap para pembacanya yang kebanyakan anak-
anak muda. Di sini, akan dimunculkan beberapa pendapat mengapa karya
Haruki Murakami begitu berpengaruh terhadap pembacanya. Pendapat-
pendapat yang dimunculkan di sini merupakan pendapat dari para pembicara
(termasuk saya di dalamnya) yang tampil di Simposium Intemasional
PeneIjemah Karya Haruki Murakami di Tokyo pada 24-25 Maret 2006 yang
diselenggarakan oleh The Japan Foudation.
Dr. Kim Choon Mie (seorang peneIjemah dan profesor di Universitas
Korai, Korea) mengatakan bahwa kemunculan Murakami dalam dunia sastra di
Korea (yang notabene masih memendam rasa anti-Jepang akibat luka sejarah
yang dialami oleh bangsa mereka) bagi pengarang-pengarang di Korea
merupakan pertemuan dengan simbol budaya yang memiliki kesamaan
kesulitan dan permasalahan, yakni pertemuan dengan simbol budaya yang mengungkapkan dengan tepat apa yang ingin mereka ungkapkan. Melalui gaya
penulisan, teknik penciptaan, dan ekspresi bahasa yang digunakan oleh Haruki
Murakami, mereka mendapatkan metode untuk mengungkapkan permasalahan.
Dengan demikian, Haruki Murakami diterima sebagai komoditas budaya yang
84 LlNt:;tlA Vo\.7 No.2, Oktober 78-89
tidak ada kaitannya dengan kewarganegaraan. J?engan kata lain, dalam
kesadaran kami (orang Korea), meskipun Murakami itu orang Jepang,
kesadaran bahwa dia itu orang Jepang sama sekali tidak ada, sama seperti tidak
adanya kesadaran bahwa Beatles itu adalah orang Inggris.
Dengan kemunculan Haruki Murakami di dalam dunia sastra Korea,
cukup banyak pengarang Korea yang mengatakan bahwa mereka mendapat
pengaruh yang besar dari Haruki Murakami. Pada dasarnya, landasan sastra
Haruki Murakami adalah kritik terhadap budaya konsumerisme dan
materialisme. Namun, cara pengungkapan yang dia gunakan bukanlah dalam
bentuk jeritan yang penuh penderitaan. Dengan tetap berdiri dalam posisi yang
cool dan dengan tetap menjaga jarak secara tepat tanpa menyimpang dari
kenyataan yang dihadapi, dia terns mencari-cari bagaimana caranya menjalani
hidup dalam masyarakat kapitalis.
Pembicara lain, Lai Ming Chu (penerjemah dari Taiwan) mengatakan
bahwa kesendirian atau kesepian dalam menjalani kehidupan di kota
metropolitan yang dilukiskan dalam karya-karya Haruki Murakami
mengundang simpati dari pembaca-pembacanya. Hal itu menghibur rasa
kesepian dan kehilangan mereka, seolah menyembuhkan luka hati dengan
penuh kehangatan. Katanya, kebanyakan dari para pembaca, setelah membaca
karya Haruki Murakami ini, memiliki kesan yang sama bahwa "Murakami ini
benar-benar bisa mengungkapkan perasaan yang kami miliki; dia ini benar-
benar pandai sekali dalam membuat wacana; saya juga ingin mencoba menulis
novel deh!". Demikian mengesankannya karya Haruki Murakami, sampai
memunculkan calon-calon penulis seperti di atas.
Corinne Atlan (penerjemah dan penulis dari Prancis) mengatakan
bahwa karya Haruki Murakami yang pertama kali diterjemahkan ke dalam
bahasa Prancis adalah Hitsuji 0 Meguru Bouken 'Petualangan yang Berkaitan
Budaya Popular Sebagai Inspirasi Bangsa Jepang dalam Upaya Mendongkrak Citra Jepang di Mala Dunia: Sebuah Fenomena (Jon jon Johana, M. Ed.)
85
dengan Domba' yang diterjemahkan oleh Papick Dubois. Pada saat buku
terjemahan ini terbit,dia tidak tahu hams ditempatkan dalam kategori sastra
Jepang yang mana karya dari Haruki Murakami ini. Oleh karena itu, untuk
menyebarkan karya tersebut dilakukan dengan cara komunikasi dari mulut ke
mulut. Pada saat itu, apabila berbicara tentang sastra Jepang, biasanya
menunjuk karya sastra yang banyak mengandung unsur budaya Jepangnya.
Oleh sebab itu, banyak orang yang tidak berminat membaca karya Haruki
Murakami yang tidak mengandung unsur kejepangan. Kemudian, terus terang
saja, orang Prancis pada umumnya agak memiliki rasa prejudice terhadap
·karya sastra Jepang dan terhadap negara Jepang itu sendiri. Dengan demikian,
ketika melihat nama penulis Jepang pada sampul novel yang dijual,
kebanyakan orang Prancis mengurungkan niatnya.
Akan tetapi, berawal dari munculnya Umibe no Kafka 'Kafka di Tepi
Pantai' maka dimulailah zaman bam. Umibe no Kafka karya Haruki Murakami
ini mendapat sambutan hangat, baik dari majalah seni, surat kabar, maupun
media lain. "Di Jepang telah lahir novel yang benar-benar surrealistis", "Novel
yang menghipnosis dan memesona", "Haruki Murakami adalah orang yang
andal dalam parallel world", "Tim Burton dari negara matahari terbit", dan
lain-lain. Demikianlah pujian-pujian dari beragam media Prancis kepada
Haruki Murakami. Dengan kata lain, di Prancis Haruki Murakami sudah diakui
selain sebagai penulis modem yang universal, juga sebagai penulis besar
Jepang yang lahir pascaperang.
Di atas telah dimunculkan pendapat para pembicara dalam simposium
di atas dan penerimaan karya Haruki Murakami di negara masing-masing.
Sebenamya masih banyak pembicara dari negara lain selain yang dimunculkan
di atas, namun hanya diangkat tiga orang sebagai contoh karena hampir seluruh
pembicara, pada intinya memberikan pendapat yang hampir sama.
86 LrN411A Vo\.7 No.2, Oktober 78-89
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa karya-karya
Haruki Murakami merupakan karya yang tidak bersifat lokal, tetapi karya yang
sifatnya universal yang tidak mengenal batas bangsa dan negara.
Dalam dunia sastra Jepang terdapat pengklasifikasianjenis karya sastra.
Jenis karya sastra yang berorientasi pada nilai seni disebutjunbungaku 'sastra
murni' dan yang berorientasi pada entertainment 'hiburan' disebut taishuu
bungaku 'sastra popular'. Meskipun karya-karya Haruki Murakami
dikategorikan sebagai karya sastra murni, sebenarnya karya-karyanya tidak
100% sebagai karya sastra murni karena di dalamnya banyak mengandung segi
hiburan. Tanpa harus mempermasalahkan kategorinya, perlu dilihat bahwa
pada kenyataannya karya-karya tersebut telah diterima dengan baik di hampir
seluruh dunia, sama halnya dengan produk budaya popular Jepang lainnya.
Selain itu, karya-karya Haruki Murakami sudah dapat memperlebar jalan untuk
masuknya citra Jepang ke dunia luar sesuai dengan harapan bangsa Jepang
yang ingin memperlihatkan Jepang apa adanya di mata dunia.
Pada 2006, Haruki Murakami mendapat hadiah Franz Kafka dari
Chekoslovakia. Pada tahun berikutnya, ia menjadi salah seorang nominator
untuk hadiah Nobel di bidang sastra, tetapi dia belum beruntung untuk
mendapatkan hadiah tersebut.
Dengan diterimanya karya-karya Haruki Murakami secara fenomenal,
serta pengaruhnya terhadap para pembacanya di berbagai negara di dunia, tidak
berlebihan apabila Haruki Murakami disebut sebagai salah seorang pengarang
besar dunia. Di samping itu, tidak salah pula apabila karya-karyanya itu disebut
sebagai komoditas budaya bangsa Jepang.
Budaya Popular Sebagai Inspirasi Bangsa Jepang dalam Upaya Mendongkrak Citra Jepang di Mata Dunia: 87 Sebnah Fenomena (Jon jon Jobana, M. Ed.)
Simp ulan
Dari uraian tentang budaya popular di atas, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut.
(1) Konsep budaya popular bagi bangsa Jepang adalah budaya yang muncul
dari aktivitas sehari-hari masyarakat umum, budaya yang muncul akibat
pembelian produk oleh masyarakat umum yang sambil digunakan sehari-
hari produk tersebut terus diasah, dan melalui budaya ini dapat
diperkenalkan sense 'nilai rasa' dan mentalitas bangsa Jepang sebagai
Jepang apa adanya.
(2) Upaya yang sedang dan telah dilakukan bangsa Jepang untuk
mengeksplorasi budaya popular adalah upaya individual (publik), yakni
kreasi yang dikembangkan oleh individu, seperti komik, software game,
dan sebagainya, serta upaya pemerintah, yakni memfasilitasi dan
membuka akses seluas-Iuasnya demi kelancaran eksplorasi budaya
popular Jepang ke dunia luar.
(3) Upaya bangsa Jepang untuk mendongkrak citra di mata dunia dalam
rangka memacu perkembangan ekonominya dilakukan melalui eksplorasi
budaya popular.
(4) Digandrunginya karya-karya Haruki Murakami di hampir seluruh penjuru
dunia, ikut serta berkontribusi dalam membentuk citra Jepang di mata
dunia.
88 UNGUA VoI.7 No.2, Oktober 78-89
DAFTAR PUSTAKA
Nakamura, Ichiya. Poppu Karuchaa Seisaku Gairon - Introduction to Pop
Culture Policy. Diakses pada Kamis, 26 Juni 2008. http://www.rieti.go
.jp/jp/publications/pdp/04p008.pdf
Nihon Bunka Sangyou Senryaku. Diakses pada Kamis, 26 Juni 2008.
www.kantei.go.jp/jp/singilasiaibetten 2.pdf
"Poppu Karuchaa no Bunka Gaikou ni Okeru Katsuyou" ni Kan Suru
Houkoku (poppu Karuchaa Senmon Bukai). Diakses pada Kamis, 26
Juni 2008.
http://www.mofa.go.jp/mofaj/annai/sbingikai/kOJ;Yu/h 18 sokai/05hokoku.html
Strinati, Dominic. (2007). Popular Culture - Pengantar Menuju Teori Budaya
Populer (3rd ed.). Yogyakarta: Jejak.
The Japan Foundation. (2006). A Wild Haruki Chase - Sekai wa Murakami
Haruki wo Dou Yomuka. Tokyo: Bungei Shunjuu.
Budaya Popular Sebagai Inspirasi Bangsa Jepang dalam Upaya Mendongkrak Citra Jepang di Mata Dunia: Sebuah Fenomena (Jon jon Jobana, M. Ed.) 89
ANALISIS SINONIMI VERBA OMOUDAN KANGAERU
Setyawati Kooswardani, S.S.I dan Yuyu Yohana Risagamiwa, Ph.D2
Abstrak Verba omou dan kangaeru merupakan salah satu pasangan kata bersinonimi yang
terdapat di dalam bahasa Jepang. Dalam bahasa Indonesia, kedua verba tersebut dapat dipadankan dengan 'berpikir' atau 'memikirkan'. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis makna verba omou dan kangaeru secara leksikal, yaitu melihat makna dari kamus dan secara struktural, dan melihat makna dari pola kalimat yang menggunakan kedua verba itu. Verba omou dan kangaeru sarna-sarna mengandung makna kegiatan berpikir, tetapi proses dan alat yang dipakai untuk melakukan kegiatan berpikir tersebut berbeda. Verba omou cenderung menunjukkan kegiatan berpikir menggunakan "perasaan", sedangkan verba kangaeru cenderung menunjukkan kegiatan berpikir menggunakan "penalaran logis" atau "logika".
Kala kunci: sinonimi, makna leksikal, makna struktural, relasi makna
Abstract Verbs omou and kangaeru are synonymous in Japanese language. In
Bahasa Indonesia, the two verbs are equal with 'berpikir' or 'memikirkan '. This research is conducted to analyze the lexical and structural meaning of the verbs omou and kangaeru, and to observe the meaning of a sentence pattern using the verbs. Verbs omou and kangaeru both have the sense of doing some thinking, however the process and tools involved are different. Verb omou tends to show an activity of thinking that involves "foeling", while verb kangaeru tends to show an activity of thinking that involves "logic".
Key words: synonymy, lexical meaning, structural meaning, meaning relation ..
Pendahuluan
Di dalarn bahasa Jepang terdapat banyak sekali kosakata yang
bermakna harnpir sarna atau mirip karena bahasa Jepang memiliki sifat rinci.
1 Dosen tetap Jurusan Bahasa Jepang STBA LIA Jakarta yang saat ini sedang menempuh pendidikan S-2 pada Program Magister Linguistik Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung.
2 Dosen tetap di Jurusan Bahasa dan Sastra Jepang Universitas Padjadjaran, Bandung sekaligus pembimbing penulis pertama dalam penulisan atikel ini.
90 liNGUA Vo!.7 No.2, Oktober 90--107
lni salah satu hal yang membuat pembelajar Jepang kesulitan untuk
menggunakan kosakata yang sesuai dengan konteks.
Salah satu cara agar komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan
maksud penutur dapat diterima dengan baik oleh mitra tutur, pembelajar
bahasa Jepang perlu mempelajari kosakata yang bermakna mirip. Meskipun
mirip, jika kosakata tersebut digunakan dalam pola kalimat yang berbeda,
maknanya dapat berbeda pula.
Adanya fenoma itu menggugah penulis untuk meneliti kosakata
bersinonimi. Contoh verba bersinonimi yang dirasa sulit dipahami oleh
pembelajar bahasa Jepang adalah verba r ,f!t '5 J omou dan r *- 0 J
kangaeru yang dalam bahasa Indonesia dapat dipadankan dengan kata
'berpikir' atau 'memikirkan' (Kokusai Kokugo Kenkyuujou, 1988:480, 884-
885). Analisis yang akan dilakukan adalah analisis makna dengan cara melihat
kamus dan melihat contoh pemakaian kedua verba tersebut di dalam pola
kalimat.
Penelitian mengenai kosakata bersinonimi sudah banyak dilakukan di
Jepang. Salah satunya adalah penelitian yang berjudul § I Jtl1m '5 r '5 J 2::: r *- 0 J 0) fl Inyousetsu 0 Tomonau "Omou" To "Kangaeru"
'Makna "Omou" Dan "Kangaeru" yang Menyertai Klausa Kutipan' yang
dilakukan oleh Keisuke Takahashi (tanpa tahun). Dasar penelitian yang
dilakukan oleh Takahashi adalah pandangan bahwa perbedaan pola kalimat
mencerminkan perbedaan makna kata. Dengan kata lain, ada kemungkinan jika
suatu kata digunakan pada pola kalimat yang berbeda maka makna katanya pun
dapat menjadi berbeda. Dengan demikian, untuk mencari makna suatu kata
bukan hanya dapat dilakukan dengan cara melihat lang sung dari kamus,
melainkan juga melihat contoh pemakaiannya di dalam pola kalimat.
Aanalisis Sinonimi Verba Omou dan Kangaeru (Setyawati Kooswardan dan Ynyn Yohana Risagarniwa) 91
Di samping itu, ada pula penelitian dilakukan oleh Hiroshi Uchida
(2008) dengan judul rp 0) r J::: ,Ii!!, ::> J J::: r J::: Q J la Ronriteki Bunsho No Naka No "To Omou" Rui To "To Kangaeru" Rui
'Ragam "To Omou" dan Ragam "To Kangaeru" yang ada di dalam kalimat
logis. Dasar pemikiran dari penelitian yang dilakukan oleh Uchida adaIah
mengapa penggunaan verba omou dan kangaeru dapat berbeda-beda meskipun
makna dasar keduanya mirip. Selain itu, Uchida mengkaji makna, penggunaan,
dan fungsi dari -to omou dan -to kangaeru di dalam kalimat logis. Kalimat
logis adalah kalimat yang biasa digunakan untuk menulis karya ilmiah.
2. Definisi Sinonimi Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia
92
2.1 Definisi Sinonimi Bahasa Jepang Berikut ini adalah definisi sinonimi dalam bahasa Jepang.
(1) Menurut Sugimoto et. aI. (1998:171) ruigigo adaIah ruigi-
dougigo-shinonimu (bahasa Inggris 'synonym'). Bentuk katanya
berbeda, tetapi makna katanya identik. MisaInya kosakata yang
sepadan antara wago dan kango, yaitu oshie=kyouiku, asu-
ashita=myounichi, kikoku=karatachi. Selain itu, kosakata yang
sepadan antara kango dan kata serapan, seperti bakushu=biiru-bia
'bir' .
(2) Menurut Akimoto (2003: 112) pada saat memikirkan hubungan
arti antara suatu kata dengan kata, ada kaIanya cakupan maknanya bertumpuk antara kata dengan kata tersebut, seperti
haha dan ofukuro, banana dan kudamono, serta utsukushii dan kirei. Pasangan kosakata yang artinya mirip seperti ini disebut ruigigo.
LfNQlAVoI.1No.2, Oktober90-I01
2.2 Definisi Sinonimi Bahasa Indonesia
Berikut ini adalah definisi sinonirni dalam bahasa Indonesia.
(1) Menurut Darmojuwono (2005: 117) sinonirni adalah relasi makna
antarkata (frasa atau kalimat) yang maknanya sarna atau mirip.
Contoh: bini - istri
(2) Menurut Kridalaksana (2008:222) sinonimi adalah bentuk bahasa
yang maknanya mirip atau sarna dengan bentuk lain; kesamaan
itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupun
umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja.
3. Analisis Makna Leksikal
3.1 Verba omou
Menurut Ruigigo Tsukaiwake Jiten (Tian et. aI., 1998:246)
makna dasar verba omou adalah r r t! (J) J:: 5 L- -C J It '0':)
5 0 Naze, dono youni shile to ilta
toi ni kotaeru tame ni, atama 0 tsukau. 'Menggunakan pikiran untuk
menjawab pertanyaan mengapa dan bagaimana. '
Selanjutnya, kita lihat rnakna verba omou dan contoh kalimatnya
berdasarkan Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar-Edisi Bahasa
Indonesia (Kokuritsu Kokugo Kenkyuujo, 1988:884-885)
1) [=pikir, kira] berpikir, memikirkan, memperkirakan
Contoh : fB{ (J)i\ L-lt' 5 0
Kare no iken wa tadashii to omou.
'Saya poor pendapatnya benar.'
JE:,o':) t:. J:: I') 0':) t:.o Omona yori karui kega datta.
Aanalisis Sinonimi Verba Omou dan Kangaeru (Setyawati Kooswardan dan Yuyu Yohana Risagarniwa) 93
b) [=rasanya, merasa] merasakan di hati
Contoh:
Jilran no tatsu no ga hidoku osoku omowareta.
'Rasanya, waktu betjalan lambat sekali.'
i!&B(1) z: t. tt L- < .i!? 0
Kokyou no kotoba 0 natsukashiku omou.
'Merasa rindu akan logat daerah kelahiran. '
c) [=mau, suka, harap, hendak] mengharapkan, menghendaki
Contoh:
Jinsei wa omou you ni wa ikanai.
'Hidup tidak betjalan seperti yang dikehendaki.'
d) [=rasa sayang, berbuat demi kebaikan seseorang atau sesuatu]
merasakan cinta kasih akan seseorang; juga, menaruh perhatian
agar segala sesuatu betjalan dengan baik bagi orang yang bersangkutan
itu.
Contoh:
Kare no omoi ga tsuujinai.
'Rasa sayang kepadanya tak bersambut.'
.:r-Gt (1) J! -:> -C lrti T 0
Kodomo no shourai 0 omotte chokin suru.
'Menabung demi masa depan anak.'
(2) Verba kangaeru
Menurut Ruigigo Tsukaiwake Jiten (Tian et. aI., 1998:246)
makna dasar verba kangaeru adalah Ii' It,\ (1) !:p -r:, A' t: J
94 liNGUA Vol.7 No.2, Oktober 90-107
aru hito-monogoto ni tsuite handan, suiryou, ganbou, kaisou nado 0
suru. 'Melakukan penilaian, perkiraan, pengharapan, dan pengingatan
kembali di dalam hati mengenai seseorang atau sesuatu.'
Berikut ini kita lihat makna verba kangaeru dan contoh
kalimatnya berdasarkan Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar-Edisi
Bahasa Indonesia (Kokuritsu Kokugo Kenkyuujo, 1988:480).
a) [=berpikir, memikirkan, merenungkan]
Contoh : ±:Itk (1) Jf.I5! jt 0
Tochi no riyouhou 0 kangaeru.
'Memikirkan cara menggunakan tanah.'
Shufu to iu no wa motto rakuna shigoto da to
kangaeteita.
'Dulu berpikir bahwa pekerjaan seorang ibu rumah
tangga itu lebih ring an. '
jt "t cff. tl. tt t, \, \ c:. C l,., r.:. 0
Kangaete mire ba watashi mo warui koto 0 shita.
'Kalau direnungkan kembali, sayajuga bersalah.'
b) [=menciptakan]
Contoh:
Watashi ga kangaeta ryouri desu.
'Ini masakan yang saya ciptakan. '
c) <ragam lisan> [=menganggap]
Aanalisis Sinonimi Verba Omou dan Kangaeru (Setyawati Kooswardan dan Yuyu Yohana Risagarniwa) 95
Watashi ga kangaeta ryouri desu.
'Ini masakan yang saya ciptakan. '
c) <ragam lisan> [=menganggap]
Contoh:
Kare 0 sono kaisha no daihyou to kangaete koushou
suru.
'Kami berunding dengan dia yang kami anggap sebagai
wakil perusahaan itu.'
Analisis Makna Struktural (Dilihat dari Pola Kalimat)
Berikut ini adalah pola kalimat untuk verba omou dan kangaeru
berdasarkan penjelasan dari Nihongo Kihon Doushi Youhou Jilen (tanpa
tahun:151) , seperti yang dikutip oleh Takahashi dalam penelitiannya.
(1) Verba omou
a) [ A ] tf [ :g ii.I ( 1:jJ ) ( r )( *l=l (1) + (1) z. C. J
96
U) ]
{hilo J ga {meishi (ku) (" bun-soutou no seibun + no, koto" 0 fukumu)) Q
omou
Contoh:
Kokyou 0 omou.
'Memikirkan kampung halaman.'
z. c. 0
Koibito no koto 0 omou.
'Memikirkan kekasih. '
LlNt;lJA Vo1.7 No.2, Oktober 90-107
b) [A] If (1U) ( .. t:cJ
*C) ] [ ]
[hito] ga [meishi (ku) ("bun-soutou no seibun + no, koto" 0 fukumu)]
o [keiyoushi renyoukei] omou
Contoh:
Chichioya no shi 0 kanashiku omou.
'Merasa sedih atas kematian ayah.'
Shiken ni goukaku shita koto 0 ureshiku omou.
'Merasa senang atas kelulusan dalam ujian.'
c) A ] tf [ sliflW ] cJ!?
[hito] ga [inyousetsu] to omou
Contoh:
Kare wa ash ita gakkou ni kuru to omou.
'Saya pikir dia akan datang ke sekolah.'
()i: r''!?J )
(Chuu: "Omou" shutai wa "kare" dewanai.)
'(Perhatian: Subjek verba "omou" bukan "dia".),
Yasumi ga tore tara jikka ni kaerou to omou.
'Saya bermaksud pulang kampung jika dapat
mengambil cuti.'
Aanalisis Sinonimi Verba Omou dan Kangaeru (Setyawati Kooswardan dan Vuyu Vobana Risagarniwa) 97
(2) Verba kangaeru
a) [A] 11 (1fJ) ( 0) ..
U) ]
[hitaJ ga [meishi (ku) ("bun-sautau na seibun + na, kata" a fukumu) a
kangaeru
Contoh:
Suugaku na mandai a kangaeru.
'Memikirkan soal matematika.'
Atarashii aidea a kangaeru.
'Memikirkan ide baru.'
{hitaJ ga [gimanshi afukumu setsuJ ka (a) kangaeru
[inyausetsuJ ka dau ka (a) kangaeru
Contoh:
Karekara dau sureba ii ka kangaeta.
'Saya berpikir dari sekarang sebaiknya melakukan apa.'
Kana setsumei wa hantau ni tadashii na ka dau ka
kgngqeta.
'Saya berpikir apakah penjelasan ini benar atau tidak.'
98 LlNCjIJA Vo!.7 No.2, Oktober 90-107
Watashi wa rainen kanojo to kekkon shiyou to
kangaeteiru.
'Saya bermaksud untuk menikah dengannya tahun
depan.'
Di antara pola kalimat tersebut, pola 1) dan 3) merupakan pola kalimat yang
sarna untuk verba omou dan kangaeru. Akan tetapi, pola kalimat 2) merupakan
pola yang khusus untuk masing-masing verba tersebut. Artinya, verba omou
dan kangaeru tidak dapat disulih pemakaiannya pada pola kalimat 2) tersebut.
Relasi Makna
Berdasarkan analisis makna verba omou dan kangaeru secara leksikal
dan struktural, dapat dikatakan bahwa relasi makna dasar keduanya mirip,
bukan sarna, meskipun secara mendasar memiliki padanan yang sarna di dalarn
bahasa Indonesia, yaitu 'berpikir' atau 'memikirkan'. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa verba omou dan kangaeru bersinonimi.
Kedua verba itu memang mengandung makna kegiatan "berpikir",
tetapi proses dan alat yang dipakai untuk melakukan kegiatan berpikir tersebut
berbeda. Omou --+ Menunjukkan makna mengenai perasaan, kesan, harapan,
dan lain-lain, termasuk emosi dan niat.
Contoh: T J! '5 0 Ko 0 omou. 'Memikirkan anak. '
menggunakan perasaan
kangaeru --+ Menunjukkan pergerakan hati secara intelektual dan
menggunakan logika.
Contoh: * :If Q 0 Shourai 0 kangaeru. 'Memikirkan masa
depan'. menggunakan logika
Aanalisis Sinonimi Verba Omou dan Kangaeru (Setyawati Kooswardan dan Yuyu Yobana Risagarniwa) 99
Contoh: * ;l .g 0 Shourai 0, kangaeru. 'Memikirkan masa
depan'. => menggunakan logika
Pemakaian Verba Omou dan Kangaeru dalam Kalimat Berikut ini adalah beberapa contoh analisis apakah pemakaian verba
amou dan kangaeru dalam kalimat dapat disulih atau tidak. Contoh dikutip dari
Tian et. al. (1998:246---247), Uchida (2008:39 dan 41), dan Ichikawa (1997).
Contoh dari Tian et. al. (1998: 246-247)
(1) atJ' c J!t ? it 6 C:, IIltJ' n, a> n z. n
Dareka to omattara yuujin de, nayami a kikasare, arekore issha ni
kangae kanda,
(2) c:, l,\ 0
Dareka to kangaetara yuujin de, nayami a kikasare, are kare
issha ni amai kanda,
'Saya kira siapa, temyata teman. Saya diminta untuk mendengarkan
keluhannya, lalu memikirkannya matang-matang bersama-sama.
Analisis
Verba kangaeru merupakan salah satu kegiatan pikiran dan
menunjukkan ada suatu pertanyaan atau solusi yang harus dilakukan.
Membutuhkan waktu yang lama untuk menganalisis secara teoritis dan
menemukan penyebab, alasan, cara, dan lain-lain sambil menggambarkan di
100 LlNGIJA Vol. 7 No,2, Oktober 90-107
pikiran kita berbagai faktor ekstemal dan internal, kondisi, dan sebagainya.
Sementara itu, verba omou merupakan salah satu kegiatan hati yang
memfokuskan perasaan dan niat, serta merupakan rasa, penilaian, perkiraan,
niat, dan keinginan yang bereaksi terhadap rangsangan dari luar.
Oleh sebab itu, penyulihan verba omou dan kangaeru pada kalimat la)
dan 1 b) tidak berterima karena untuk mengira-ngira siapa orang tersebut tidak
perlu bersusah payah memikirkannya dengan logika. Sebaliknya, untuk
memikirkan solusi dari suatu keluhan atau masalah perlu berpikir
menggunakan logika, bukan semata-mata menggunakan perasaan.
(1) .\,\ C: { Il? I } 0
Atsui to {omoul*kangaeru}.
'Saya rasa panas.'
Kare wa sensei da to {omoul*kangaeru}.
'Saya pikir dia guru.'
Tokyo e ikitai to (omoul*kangaeru).
'Saya ingin pergi ke Tokyo.'
(4) {Il? I } 0
Analisis
Ame ni naru to {omoul*kangaeru}.
'Saya kira akan hujan.'
Verba omou pada kalimat 2-5 tidak berterima jika diganti dengan
kangaeru karena verba omou tersebut menunjukkan kegiatan berpikir yang
lebih cenderung menggunakan ''perasaan'' daripada "logika", yaitu ten tang
nilai rasa apakah panas atau tidak (kalimat 2), penilaian mengenai seseorang
Aanalisis Sinonimi Verba Omou dan Kangaeru (Setyawati Kooswardan dan Yuyu Yohana Risagarniwa) 101
dipakai untuk menunjukkan makna kegiatan berpikir yang cenderung
menggunakan "penalaran logis" atau "logika", bukan "perasaan" semata. Jadi,
verba omou pada kalimat 2 sampai 5 menjadi tidak berterima jika disulih
dengan kangaeru karena nilai rasa (kalimat 2), penilaian (kalimat 3), keinginan
(kalimat 4), dan perkiraan (kalimat 5) merupakan kegiatan berpikir yang
cenderung menggunakan "perasaan" daripada "logika".
Contoh dari Uchida (2008:39 dan 41)
Berikut ini adalah contoh penggunaan verba omou dan kangaeru yang dapat
saling disulih.
t: \.,\tJ\ 5.t0) C:$:rr 9" c { c I c } 0
Nani 0 shitai ka 0 jibun no naka de kakuritsu suru koto wa juuyou da {to
omou/to kangaeru}.
'Saya pikir, menentukan di dalam diri sendiri mengenai apa yang ingin
dilakukan merupakan hal yang penting. '
Analisis
Menurut Uchida, penggunaan r - C ? J -to omou dan r - C
J -to kangaeru dapat saling disulih dengan dasar pemikiran bahwa salah
satu fungsi verba omou dalam bentuk inyousetsu 'klausa kutipan' r - C
J -to omou adalah menunjukkan "pendapat", bukan "kenyataan". Bentuk -tai
pada klausa nani 0 shitai 'ingin melakukan apa' menyatakan suatu keinginan
yang belum menjadi kenyataan. Jika dilihat secara keseluruhan maka makna
kalimat tersebut adalah menyatakan pendapat seseorang bahwa penting bagi
102 LrNC;UA Vo!.7 No.2, Oktober 90--107
yang belum menjadi kenyataan. Jika dilihat secara keseluruhan maka makna
kalimat tersebut adalah menyatakan pendapat seseorang bahwa penting bagi
kita untuk menentukan suatu keinginan di dalam diri kita sendiri. Selain itu,
baik r - t. m -3 J -to omou maupun r - t. ;t .g J -to kangaeru, memiliki
makna inti "menunjukkan penilaian pribadi dari penutur dan mitra tutur".
Makna inti ini tercermin dalam kalimat 6.
Contoh dari Ichikawa (1997:285-286) Menurut Ichikawa, ada tiga macam kesalahan penggunaan verba omou yang
sering dilakukan oleh pembelajar bahasa Jepang, seperti berikut ini.
(1) Kebingungan akan bentuk r. \,\ T J omoimasu 'berpikir;
memikirkan' (verba) dengan r. \,\ T.J omoi 'pikiran' (nomina dari verba
omoimasu). Bagi pembelajar di tingkat dasar hal ini dapat terjadi karena ada
kesalahan akibat pengaruh dari kemiripan bunyi dengan adjektiva r. \,\ T
.J omoi desu 'berat'.
(2) Kesalahan dalam menggunakan bentuk negatif dari r - t. m -3.J -to
omou, yaitu r - t. m \, \ tt 1t,.J -to omoimasen, menjadi sama dengan
bentuk I don't think. Misalnya, apabila kalimat r _ tcJ: * \, \ t. .,-3.J /care
wa kanai to omou 'saya kira dia tidak datang' menjadi r_t.r*.g
\,\.J /care ga kuru to omowanai 'saya'tidak mengira dia datang' maka negasi
terhadap suatu isi pemikiran (dalam hal ini mengenai perkiraan) dirasakan
benar-benar kuat. Secara gramatikal, untuk membuat bentuk negasi yang benar
dari inyousetsu 'klausa kutipan', bukan dengan menegasikan verba omou
Aanalisis Sinonimi Verba Omou dan Kangaeru (Setyawati Kooswardan dan Yuyu Yobana Risagarniwa) 103
dalam -to omou menjadi -to omoimasen, menegasikan klausa yang
terdapat sebelum -to omou.
(3) Ketidakmampuan pembelajar bahasa Jepang untuk membedakan
penggunaan r ?.J omou 'berpikir' dan -:> "( \,\ omotteiru
'berpikir' (menyatakan sedang dalam keadaan berpikir). Mengenai hal ini mari kita lihat penggunaan inyousetsu 'klausa
kutipan' -to omou dengan -to omotteiru.
Tanaka san wa shilwn ni tooru to omou.
'(Saya) berpikir Tanaka san lulus ujian.'
Tanaka san wa shiken ni tooru to omotteiru.
'(Saya) berpikir Tanaka san lulus ujian.'
'Tanaka berpikir (dirinya) lulus ujian.'
Umumnya r C ? J to omou menunjukkan perasaan penutur. Jika menjadi
r -:> "( \, \ J omotteiru maka ada kemungkinan yang melakukan kegiatan
r -:> "( \,\ J omotteiru adalah penutur, tetapi sering juga ditafsirkan orang
ke-3 yang melakukannya (dalam hal ini, yaitu Tanaka sendiri). Dengan
demikian, kalimat 7a) menyatakan bahwa "saya" berpikir bahwa Tanaka lulus
ujian, sedangkan kalimat 7b) dapat menyatakan "saya" berpikir bahwa Tanaka
lulus ujian atau "Tanaka" berpikir bahwa dirinya lulus ujian. Pendek kata,
kalimat 7b) bermakna ganda atau ambigu.
Persamaan dan Perbedaan Makna Verba Omou dan Kangaeru
(1) Persamaan
104 UNQUA Vo!.7 No.2, Oktober 90-107
a) Keduanya dapat dipadankan dengan kata 'berpikir' atau 'memikirkan'.
b) Keduanya dapat digunakan untuk pola kalimat [ A ] tf [ jaJ ( iU )
ga [meishi (leu) ("bun-soutou no seibun + no, koto" 0 fukumu)) 0
omoulkangaeru dan [A] tf [ s I J1] Ii ] t. J!? I 4f il.Q {hitoJ ga
[inyousetsuJ to omoulkangaeru.
(2) Perbedaan
Omou menunjukkan kegiatan berpikir menggunakan "perasaan", seperti
nilai rasa, kesan, harapan, emosi, niat, dan lain-lain, sedangkan
kangaeru menunjukkan kegiatan berpikir menggunakan "penalaran
logis" atau "logika".
Omou dapat digunakan pada pola kalimat [ A ] tf [ jaJ ( iU) ( r
] J!? {hitoJ ga [meishi (leu) (bun-soutou no seibun + no, koto 0
fukumu)) 0 [keiyoushi renyoukei] omou, sedangkan kangaeru
digunakan pada pola kalimat [ A ] tf [ ] tJ' ( )
4f il.Q {hitoJ ga [gimonshi 0 fukumu setsuJ ka (0) kangaeru atau [ sl
J1] Ii ] tJ' 1::? tJ, ( ) 4f il.Q [inyousetsuJ ka dou ka (0) kangaeru.
Simpulan
(1) Berdasarkan analisis makna verba omou dan kangaeru dengan cara
melihat kamus dan melihat contoh pemakaian kedua verba tersebut di
dalam kalimat, dapat dikatakan bahwa relasi makna dasar keduanya
Aanalisis Sinonimi Verba Omou dan Kangaeru (Setyawati Kooswardan dan Yuyu Yohana Risagarniwa) 105
mirip, bukan sarna, meskipun secara mendasar memiliki padanan yang
sarna di dalarn bahasa Indonesia, yaitu 'berpikir' atau 'memikirkan'.
(2) Verba omou dan kangaeru memang sarna-sarna mengandung makna
kegiatan berpikir, tetapi proses dan alat yang dipakai untuk melakukan
kegiatan berpikir tersebut berbeda. Verba omou cenderung menunjukkan
kegiatan berpikir menggunakan "perasaan", sedangkan verba kangaeru
cenderung menunjukkan kegiatan berpikir menggunakan "penalaran
logis" atau "logika".
(3) Dengan mengarnati contoh-contoh penggunaan verba omou dan
kangaeru di dalam kalimat, dapat diarnbil hipotesis bahwa kedua verba
tersebut sulit untuk saling disulih karena keduanya memiliki makna
dasar yang mirip, bukan sarna. Akan tetapi, untuk penggunaan dalarn r
- c m- ? J "-to omou" dan r - C ;t J -to kangaeru, keduanya
memiliki makna inti "menunjukkan penilaian pribadi dari penutur dan
mitra tutur" sehingga untuk kalimat yang mengandung makna inti seperti
ini, keduanya dapat saling disulih.
(4) Untuk inyousetsu, kedua verba tersebut dapat digunakan pada pola
106
kalimat r [ A ] tJ' [ ( 1!J) ] [ slm1!J] c I
J . Ini adalah hasil penelitian terdahulu mengenai verba omou dan
kangaeru yang dilakukan oleh Keisuke Takahashi (tanpa tahun) dalarn
penelitiannya yang berjudul Ii' sl m ill 1*? r,flt? J C r J
Inyousetsu 0 Tomonau "Omou" To "Kangaeru" 'Makna
Omou dan Kangaeru yang menyertai klausa kutipan'
LlNt:;UA Vol.7 No.2, Oktober 90--107
(5) r - t:. J!. ? J -to omou menyatakan bahwa yang melakukan kegiatan
berpikir adalah "saya" (penutur). Akan tetapi, r - t:. J!. ":) -r \, \ J -to
omotteiru menyatakan bahwa yang melakukan kegiatan berpikir tersebut
"saya" (penutur) atau "orang ke-3".
DAFTAR PUSTAKA
Akimoto, Harumi. 2003. Yoku Wakaru Goi. Tokyo: ALC Press.
Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Darmojuwono, Setiawati. 2005. Pesona Bahasa - Langkah Awal Memahami
Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.
Hayashi, Shirou et. al. 1997. Reikai Shinkokugo Jiten. Tokyo: Sanseido.
Ichikawa, Yasuko. 1997. Nihongo Goyou Reibun Shoujiten. Tokyo:
Bonjinsha.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Umum.
Kokuritsu Kokugo Kenkyuujo. 1988. Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar
- Edisi Bahasa Indonesia. Tokyo.
Sugimoto, Tsutomu. 1998. Nihongogaku Jiten. Tokyo: Oufou.
Takahashi, Keisuke. Tanpa Tahun. Inyousetsu 0 Tomonau "Omou" To
"Kangaeru" No Imi.
Tian, Zhongkui et. al. 1998. Ruigigo Tsukaiwake Jiten. Tokyo: Kenkyuusha.
Uchida, Hiroshi. 2008. Ronriteki Bunshou No Naka No "-To Omou" Rui To "-
To Kangaeru" Rui. Kyoto: Kyoto Gaikokugo Daigaku
Ryuugakusei Bekka.
Aanalisis Sinonimi Verba Omou dan Kangaeru (Setyawati Kooswardan dan Yayu Yohana Risagarniwa) 107
PARODI SISTEM PERLINDUNGAN DAN PERA WATAN LANSIA
DALAM NOVEL GINREI NO HATE KARYA TSUTSUI YASUTAKA
Tatat Haryati, M.Si.
Pengajar Tetap Jurusan Bahasa Jepang STBA LIA Jakarta
Abstrak Tulisan ini berfokus pada penjelasan parodi sistem perlindungan dan perawatan lansia
dalam novel Ginrei no Hate karya Tsutsui Yasutaka. Analisis bertumpu pada konsep metode artistik Rene Wellek dan Austin Warren dan konsep parodi Linda Hutcheon. Tulisan ini bertujuan untuk menemukan latar belakang pembalikan realitas dalam pemberlakuan sistem eksekusi antarlansia. Unsur-unsur parodi tergambar melalui (1) pengkreasian ulang berupa pembalikan realitas lansia; (2) kritik terhadap pelaksanaan sistem perlindungan dan perawatan lansia oleh pemerintah, masyarakat dan keluarga; dan (3) cemoohan dan olok-olok terhadap kebijakan perawatan lansia kunjungan rumah bagi lansia pikun dan netakiri, serta penanganan sistem pensiun yang dilakukan pemerintah dan masyarakat. Ketiga unsur parodi ditemukan dalam bentuk ironik dan satirik dalam teks.
Kata Kunci: lansia,parodi Abstract
The focus of this writing is on the parody of the senior citizens' treatment and protection system in the novel Ginrei no Hate by Tsutsui Yasutaka. The Analisis is done based on the artistic method concept set forth by Rene Wellek and Austin Warren and the parody concept of Linda Hutcheon. This writing is aimed at finding the background of the reality reversing in the application of execution system among senior citizens. The parody elements are described in (1) the re-creation of reversing the reality concerning senior citizens; (2) critics toward the senior citizens' treatment and protection system done by government, people and family; and (3) mocking and ridiculing of policies on senior citizens 'treatment, home visitingfor senile senior citizens and netakiri, along with the handling of pension pay managed by government and people. The three parody elements are found in the form of ironic and satiric in the text.
Key Words: senior citizen, parody
Latar Belakang
Setelah 1970 perkembangan penduduk lansia melaju dengan pesat.
Jumlah penduduk Jepang yang berusia 65 tahun ke atas mencapai 7% dan
dalam waktu 24 tahun. Angka tersebut berlipat ganda menjadi 14% dari total
populasi. Pada 2005, angka tersebut melonjak menjadi 21 % (Naganuma, 2006:
108 LlNQUA Vol.7 No.2, Oktoberr 109--127
28). Oleh karena itu, Jepang dikategorikan sebagai negara yang memiliki
masyarakat hipermenua (choukoureika shakai). Pengkategorian ini didasarkan
pada batasan masyarakat menua yang ditetapkan oleh PBB. Masyarakat yang
memiliki jumlah penduduk lansia 65 tahun ke atas sebanyak 7%-14% dari total
populasi dianggap sebagai masyarakat menua (koureika shakai), sedangkan
masyarakat yang memiliki jumlah penduduk lansia 65 tahun sebanyak 21 %
atau lebih dikatakan sebagai masyarakat hiper menua (choukoureika shakai).
Berdasarkan laporan khusus Jurnal Asia Program, angka 21 % yang
dieapai Jepang pada tahun 2005 menyebabkan perubahan perbandingan
komposisi penduduk usia lanjut dengan penduduk usia produktif dan penduduk
usia anak-anak di Jepang. Dalam laporan tersebut tereatat di antara 5 orang
Jepang akan ditemukan 1 orang penduduk berusia 65 tahun atau lebih dan
angka ini diprediksikan akan terus bertambah dalam tahun-tahun berikutnya
(Me Creedy, Januari 2003:1). Lebih lanjut dikatakan bahwa perkembangan
perbandingan komposisi penduduk lansia dan usia produktif akan
memberatkan beban penduduk usia produktif, terlebih lagi bila lonjakan
tersebut tidak diimbangi oleh peningkatan angka kelahiran dalam setiap tahun (
http://www.dbreseareh.eomlservletlreweb2).
Perkembangan penduduk lansia dan permasalahannya dimungkinkan
memiliki hubungan yang erat dengan sastra. Dalam buku Paradigma Sosiologi
Sastra, Nyoman Kutha Ratna (2003) mengatakan bahwa "proses kreatifitas
dalam kegiatan kesastraan merupakan eksistensi yang didasarkan pada
hubungan struktur fisik dan psikis di satu pihak, dan hubungan antara struktur
psikis dan struktur sosial di pihak lain" (193). Lebih lanjut Kutha Ratna
mengatakan bahwa "struktur sosial dalam kegiatan kesastraan bukan hanya
sekedar aksi, tetapi lebih bertumpu pada reaksi dan respon-respon terhadap
berbagai realitas so sial yang muneul di sekitar pengarang. Respon-respon
Parodi Sistem Perlindungan dan Perawatan Lansia 109 dalam Novel Ginrei no Hate karya Tsutsni Yasutaka (ratat Haryati, M.Si.)
tersebut dapat berbentuk sublimasi, kompensasi, negasi, afirmasi atau inovasi"
(194). Jadi, masalah penduduk lansia dalam masyarakat dimungkinkan muncul
dalam kegiatan kesastraan sebagai respon terhadap hubungan antara struktur
fisik, psikis dan sosial dari pengarang.
Respon sosial yang diangkat dalam tulisan ini adalah novel Ginrei no
Hate (j!itiO)5fi!; '"( 'Di Penghujung Usia Perak') ,sdanjutnya ditulis GH,
karya Tsutsui Yasutaka yang diterbitkan pada bulan Januari 2006 oleh
Shinchousha. Tsutsui Yasutaka dikenal sebagai sastrawan, aktor, dan penulis
science fiction yang sering melukiskan gambaran sosial di sekitarnya dalam
bentuk satire dan humor kelam (black humour)
(http://netagency.ne.jp/asp/profile.asp?T=216). Bagi Tsutsui kontroversi isu-isu
dalam masyarakat yang dikupas secara hati-hati oleh sebagian pengarang
lainnya hanyalah batas tipis antara kebebasan berkreasi dalam seni dan
diskriminasi berbahasa (Lorens, http://www.postwarauthorL). Realitas sosial
akibat ledakan penduduk lansia yang tidak terkendali dalam novel ini
dimunculkan dalam bentuk karikatur. Berbagai permasalahan yang muncul di
sekitar penduduk lansia dikemas dalam bentuk olok-olok.
Dapat diasumsikan bahwa komposisi penduduk lansia yang berkembang
pesat mengkondisikan ketidakseimbangan beban yang harns ditanggung oleh
penduduk usia produktif Jepang. Bila kondisi ini terns tetjadi, Jepang akan
mengalami krisis penduduk yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan sosial
secara keseluruhan. Pembatasan penduduk lansia melalui roujin sougo shokei
seido yang ditampilkan dalam novel ini diasumsikan sebagai salah satu tawaran
antisipasi masalah yang patut direnungkan dalam melihat kembali beberapa
langkah penanganan terhadap lansia baik yang dilakukan oleh keluarga,
pemerintah maupun masyarakat, tanpa mengabaikan perkembangan jumlah
penduduk usia produktif dan anak-anak.
110 UN4UA Vol.7 No.2, Oktoberr 108--127
Beberapa faktor yang dikemukakan di atas menjadi latar belakang
ketertarikan dalam melihat gambaran kondisi ledakan penduduk lansia yang
diparodikan dalam novel ini. Terdorong oleh ketertarikan tersebut akan dilihat
lebih jauh mengapa sistem eksekusi dipilih untuk membatasi penduduk lansia
dan bagian realitas kehidupan lansia yang mana yang dijadikan sebagai bahan
ejekan dan olok-olok.
Permasalahan
Identifikasi masalah dirumuskan ke dalam tiga pertanyaan sebagai
berikut. (1) Mengapa penduduk lansia dalam teks GH dianggap sebagai wabah
yang dapat mengganggu keseimbangan komposisi penduduk? (2) Mengapa
Roujin Sougo Shoukei Seido diberlakukan untuk membatasi jumlah penduduk
lansia? (3) Gejala sosial mana di luar teks yang diparodikan dan dijadikan
olok-olok?
Landasan Teori
Landasan teori yang digunakan adalah konsep metode artistik Wellek dan
Warren berkenaan dengan hubungan sastra dan masyarakat. Sastra tidak
dipandang sebagai dokumen so sial atau potret kenyataan sosial yang sebangun
dan sebidang. Bagi Wellek, walaupun "ada semacam potret so sial yang bisa
ditarik dari karya sastra, potret tersebut tidak dapat dijadikan patokan dalam
mengukur kehidupan, reproduksi, atau dokumen sosial yang sesungguhnya"
(122-123). Interaksi antara sastra dan masyarakat dapat berdaya guna bila
metode artistik yang digunakan pengarang diteliti dengan hati-hati. Dengan
demikian hubungan keduanya dapat dilihat dan dijawab secara konkret.
Parodi Sistem Perlindungan dan Perawatan Lansia 111 dalam Novel Ginrei no Hate karya Tsutsui Yasutaka (Tatat Haryati, M.Si.)
Wellek dan Warren menggarisbawahi bahwa pengamatan terhadap
berbagai gejala sosial dan situasi dalam karya harus dicermati sebagai gaya
atau metode yang digunakan pengarang untuk mengejek diri sendiri, ironi, atau
fantasi. Dengan demikian batas antara fiksi dan realita dapat ditarik dengan
tegas. Sebagai penunjang teori digunakan konsep parodi Linda Hutceon yang
membatasi parodi dalam bentuk imitasi dengan ciri ironik. Parodi adalah
pengulangan yang dilengkapi dengan ruang kritik yang lebih menekankan pada
pembedaannya dibanding pada persamaan dari penjiplakannya (6). Dalam
penerapan teori dan konsep, pemaparan dan analisis bertumpu pada unsur-
unsur pokok parodi, seperti pengkreasian ulang, mediasi kritik dan cemoohan
serta efek praktikal parodi dalam bentuk etos, ironik, satirik dan parodik yang
tertuang dalam teks.
Realitas Sosial Penduduk Lansia dalam GH
Masyarakat lansia yang tergambar dalam novel GH merupakan realitas
sosial yang dipaparkan secara fiksional dengan penggambaran yang tidak sarna
dengan kenyataan. Walaupun masyarakat lansia yang ditunjukkan
menunjukkan gejala peningkatan yang sarna, tetapi dampak yang ditimbulkannya tidak sama.
Kondisi penduduk lansia dalam teks berada dalam situasi ledakan
penduduk yang berdampak buruk pada tatanan kehidupan masyarakat baik
secara ekonomi, sosial, maupun politik. Penduduk lansia yang dimunculkan
dalam teks hanya sebagian kecil penduduk yang mendiami 4 wilayah sasaran
pemberlakuan sistem eksekusi antarlansia, yaitu sebuah daerah di Tokyo,
Hiroshima dan Osaka. 4 wilayah di 3 kota tersebut menjadi wakil
penggambaran kondisi lansia di seluruh Jepang. Dari ketiga kota tersebut pun,
112 LlNC;UA Vo\.7 No.2, Oktoberr 109--127
Tsutsui hanya menampilkan sebagian kehidupan lansia dari beberapa lapisan
masyarakat. Tidak semua penduduk lansia yang tinggal di keempat wilayah
tersebut dipaparkan seeara gamblang oleh pengarang. Para lansia yang
ditampilkan adalah lansia yang telah memasuki usia 70 tahun, berada dalam
kondisi kesehatan yang kuat seeara psikis dan fisik, atau sebaliknya para lansia
yang tidak lagi mampu menjalankan aktivitasnya secara mandiri. Cerita
berfokus pada tokoh berusia 70 tahun dan hanya menyinggung sedikit
penduduk berusia 65 tahun. Beberapa lansia yang berumur 69 tahun hanya
diberi peran pendukung dalam melancarkan cerita. Tokoh yang berusia 68
tahun hanya dibebankan pada Utani Shizue yang diposisikan pengarang
sebagai istri dari tokoh utama.
Tokoh yang dimunculkan di keempat wilayah berjumlah 150 orang. Ke-
150 tokoh merupakan gabungan dari berbagai kelompok umur, profesi, dan
jenis kelamin. Beberapa tokoh tidak diberi nama, tapi beberapa tokoh lainnya
yang mempunyai karakter mononjol, diberi nama dan cukup berperan dalam
menjalankan cerita.
Beberapa permasalahan pokok yang diangkat dalam GH sehubungan
dengan peningkatan jumlah lansia adalah masalah perawatan dan perlindungan
lansia, beban ketergantungan lansia terhadap penduduk produktif dan
masyarakat sekitarnya. Masalah pendukung lainnya adalah masalah hubungan
antara mertua-menantu, penurunan jumlah penduduk usia anak-anak, masalah
seks di sekitar lansia, dan masalah-masalah keeil lainnya yang mengitari
kehidupan lansia.
Upaya Perlindungan dan Penanggulangan Masalah Lansia
Peningkatan jumlah penduduk lansia yang signiftkan menuntut
masyarakat dan pemerintah Jepang untuk menerapkan berbagai kebijaksanaan
Parodi Sistem Perlindungan dan Perawatan Lansia 113 daIam Novel Ginrei DO Hate karya Tsutsui Yasutaka (Tatat Haryaa, M.SL)
dalam menanggulangi beberapa permasalahap. yang ditimbulkannya. Sistem
penanggulangan dilakukan secara merata mulai dari tataran keluarga,
masyarakat, sampai tataran pemerintah. Upaya pemerintah dalam menanggulangi peningkatan jumlah penduduk
lansia ditempuh dengan menetapkan berbagai kebijaksanaan dalam bentuk
penetapan undang-undang dan peraturan. Berbagai kebijakan ditujukan untuk
melindungi dan merawat para lansia. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
adalah Undang-undang Kesejahteraan Lansia (Roujin Fukushi Hou) dan
Kesehatan Lansia (Roujin Houken Hou), Rencana Emas (Gold Plan), dan
Asuransi Perawatan (Kaigo Houken).
Undang-undang Kesejahteraaan Lansia dikeluarkan pada tahun 1963
untuk membantu kegiatan sehari-hari para lansia, seperti makan, ganti baju,
membersihkan diri. Untuk mendukung undang-undang tersebut, pada tahun
1982 dikeluarkan undang-undang kesehatan sebagai antisipasi penanganan
kesehatan para lansia berusia 65 tahun ke atas yang memerlukan bantuan setiap
saat karena lemah secara fisik dan mental. Termasuk di dalamnya adalah
perawatan terhadap lansia netakiri dan lansia pikun. Bila dalam undang-undang
kesejahteraan lansia perawatan dan perlindungan dititikberatkan pada bantuan
untuk melakukan mobilitas sehari-hari, maka dalam undang-undang
dukungan lebih berbentuk pada perawatan kesehatan secara medis.
Kedua bentuk perawatan tersebut di atas dilakukan secara merata di
seluruh Jepang, mulai dari tingkat mural, machi2, sampai shi3 (shi-cho-son).
Bentuk pelayanan kesehatan dilakukan di rumah tangga tempat lansia berada,
panti jompo, pusat rehabilitasi, atau pusat perawatan dan perlindungan lansia
multiguna, dan rumah sakit khusus lansia.
1 setara dengan kotamadya di Indonesi 2 setara dengan kotamadya di Indonesia 3 setara dengan provinsi di Indonesia
114 LINGUA VoL7 No.2, Oktoberr 109-127
Lansia yang memiliki fisik lemah dapat dilayani secara intensif di panti
jompo. Mereka tinggal di tempat tersebut dengan berbagai fasilitas sampai
waktu yang tidak ditentukan. Pada umumnya mereka tinggal di panti jompo
sarnpai akhir hidupnya. Tempat layanan harian lansia yang dikelola oleh
institusi tertentu menyediakan pelayanan untuk lansia yang masih aktif. Lansia
mendatangi tempat ini pada pagi hari dan pulang sore hari. Bentuk pelayanan
harian berupa perawatan dasar (pemeriksaan organ vital, dan perawatan diri)
dan berinteraksi dengan lansia lainnya berupa olah raga, permainan,
keterarnpilan dan hiburan (Shimizu, 2005).
Rumah sakit dan rehabilitasi lansia menyediakan pelayanan perawatan intensif
bagi lansia yang memiliki ketergantungan medis yang tinggi. Fasilitas
pelayanan kesehatan untuk lansia ditunjang oleh tim kesehatan yang bekerja
secara profesional. Tim kesehatan terdiri atas dokter, perawat, care manager,
care worker, physical therapy, occupational therapy, pharmacist dan
nutritionist. Tim kesehatan bekerja sarna dalarn setiap fasilitas untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna bagi lansia (Shimizu, 2005:
636).
Selain undang-undang perawatan, pemerintah membuat beberapa
rencana peningkatan pelayanan perawatan lansia dalarn bentuk Gold Plan
(Gorudo Puran -'Rencana Emas') sejak tahun 1989. Gold Plan merupakan
strategi 10 tahunan dalarn perawatan lansia dan peningkatan kesejahteraan dan
kesehatan lansia. Diterapkan pada tahun 1990, dan mengalami pembaharuan
pada tahun 1994 yang dikenal dengan Rencana Emas Baru (Shin Gorudo
Puran). Pada tahun 2000 diberlakukan arah kebijaksanaan kesejahteraan sosial
dan kesehatan lansia untuk 5 tahun mendatang yang dikenal dengan Rencana
Emas 21 (Gold Plan 21) dan diberlakukan hingga sekarang. Terbagi menjadi 2
Parodi Sistem Perlindungan dan Perawatan Lansia 115 dalam Novel Ginrei no Hate karya Tsutsui Yasutaka (Tatat Haryati, M.Si.)
strategi, yaitu strategi yang bertumpu pada dasar dan beberapa ukuran
administrasi dalam melaksanakan konsep dasar tersebut.
Untuk mendukung Gold Plan 21, pemerintah menetapkan sistem asuransi
perawatan (kaigo houken ) yang matang. Asuransi perawatan merupakan
sistem asuransi perawatan jangka panjang yang diluncurkan pemerintah pada
bulan April 2000. Sistem ini ditujukan bagi penduduk yang berusia 40 tahun
untuk mendapat perawatan saat ia tua. Pada pokoknya, asuransi perawatan meliputi hihoukensha - 'tertanggung,i, houkensha - 'penjamin asuransi,ii, dan
you kaigou nintei - 'batasan dan persyaratan pokok' yang mengatur
pelaksanaan asuransi.
Asuransi perawatan diberikan setelah 2 tahap seleksi pemeriksaan. Tahap
pertama berupa kunjungan wawancara calon tertanggung oleh pihak
berwenang. Pokok pemeriksaan sebanyak 85 item ditujukan untuk menentukan
jenis perawatan yang diperlukan calon tertanggung. Tahap kedua berupa
pengolahan hasil wawancara.
Realisasi penggunaan asuransi perawatan dan Gold Plan 21 terangkum dalam
jenis perawatan yang diberikan. Jenis perawatan tersebut adalah perawatan
kunjungan rumah (layanan bantuan rumah), perawatan jalan (layanan harian),
rehabilitasi jalan (perawatan harian), perawatan inap jangka pendek, perawatan
mandi, perlindungan medis rumah, perawatan penanggulangan mobilitas lansia
pikun, dan bantuan pengadaan alat kesejahteraan dan kesehatan lansia.
Dalam merealisasikan berbagai peraturan dan sistem ketetapan pemerintah,
peran serta masyarakat terlihat dalam penyediaan jasa perawatan. Beberapa
pusat layanan perawatan seperti jasa layanan harian, jasa kunjungan mandi,
atau panti jompo didukung dan diselenggarakan oleh masyarakat luas. Di
samping itu beberapa komunitas lembaga swadaya masyarakat memberi
bantuan dalam kegiatan suka rela. Beberapa pemerintah daerah, bahkan
116 LlN(fIJA Vo!.7 No.2, Oktoberr 108-127
membuat sistem pembayaran suka rela untuk jasa perawatan bagi lansia. Jasa
perawatan ini diselenggarakan dengan sistem kerj a paruh waktu.
Pada dasarnya perawatan dan perlindungan lansia dilakukan oleh
keluarga terdekat. Biasanya keluarga yang mempunyai anggota lansia merawat
sendiri orang tua atau mertuanya yang sudah lansia. Namun, seiring dengan
perkembangan zaman dan tingginya tuntutan hidup, seringkali tugas tersebut
dilimpahkan pada jasa perawatan harian. 8aat ini terdapat berbagai pilihan
bantuan jasa perawatan dan perlindungan yang disediakan oleh pemerintah dan
masyarakat. Dengan demikian keluarga yang tidak mempunyai waktu atau
hanya sekedar ingin beristirahat sejenak dapat menggunakan jasa perawatan
dan perlindungan dari pusat layanan lansia baik harian maupun dalam waktu
beberapa saat (short stay). Pilihan lain dapat ditempuh dengan menitipkan
orang tua lansia ke panti jompo.
Mediasi Kritik dan Cemoohan
Mediasi kritik sebagai eiri karya parodi dalam teks GH tampak dari
pengungkapan unsur ironi dan satire dalam beberapa kutipan. Kedua unsur
tersebut digunakan sebagai alat untuk menonjolkan keartistikan teks. Ironi
dalam teks muneul sebagai konteks yang dimuneulkan seeara inversi tanpa
tahapan yang teratur satu demi satu. Artinya, penyimpangan realitas seeara
berlawanan difungsikan untuk mengungkapkan maksud tertentu dalam bentuk
satu banding semua atau semua banding satu. 8ebagai eontoh, fakta A
diinversikan pada fakta B dalam bagian terkeeilnya atau keseluruhannya, bisa
disempitkan atau dikembangkan.
Unsur ironi dalam teks menjadi penilaian estetis terhadap kesenjangan antara
tindakan dan akibat yang ditimbulkannya. Kondisi ini dipahami setelah
tindakan yang dilakukan menghasilkan akibat yang berbeda Kutipan di bawah
Parodi Sistem Perlindungan dan Perawatan Lansia 117 dalam Novel Ginrei DO Hate \carya Tsutsui Yasutaka (fatat Haryati, M.St) •
merupakan salah satu eontoh adanya kesenjangan antara tindakan dan akibat
yang dihadapi tokoh.
< ... 5 1f.*I? C:
J! Iv J! J:.. lPtr..lvtco -T J! b 'c \ J:.. 5 'c T Q
-t:- L-tr.. § C: -C b < 50 J
"Aku masih boleh merokok?" ... " Tidak baik untuk kesehatan, temyata hanya
pura-pura. Seandainya memang betul tidak baik untuk kesehatan, bukankah
lebih baik para lansia disuruh merokok saja. Yang paling bagus itu, anak keeil
jangan diperbolehkan merokok. Dengan begitu, para lansia akan berkurang
seeara alami, dan masalah shoshika 4 relatif tidak akan pemah ada kan"
(GR, 2006: 6)
Kutipan di atas diueapkan oleh Masamune Chuzo saat akan dieksekusi oleh
teman akrab sekaligus tetangganya Utani Kuiehiro, tokoh utama dalam novel
GR. Saat terakhir menjelang kematiannya Masamune meminta Utani Kuiehiro
memberi kesempatan untuk mengisap satu batang rokok lagi. Masamune"
adalah seorang perokok berat dan dia telah ditegur keras berkali-kali oleh
dokter yang merawatnya.
Unsur ironi nampak dari kesenjangan meneolok antara peristiwa faktual dan
ideal dalam kebiasaan dan larangan merokok serta pemberlakuan sistem
4 Tertanggung adalah orang yang membutuhkan perawatan dan bantuan melakukan mobilitas sehari-hari. Pada dasarnya tertanggung terbagi menjadi dua, yaitu lansia berusia 65 tabun ke atas dan orang yang berusia 45-65 tabun. Kelompok kedua tidak akan mendapat pelayanan perawatan bila ia belum berada dalam kondisi cacat, pikun atau terserang penyakit lansia lainnya.
118 LfN4UA Vo!.7 No.2, Oktoberr 108--127
eksekusi antarlansia. Bagi tokoh anjuran untuk tidak merokok pada lansia tidak
perlu dilakukan bila akhimya para lansia harus dieksekusi. Tokoh menganggap
bila larangan merokok dilakukan dengan benar maka para lansia akan hidup
lebih lama sehingga keseimbangan komposisi penduduk tidak akan teIjadi.
Unsur kritik dalam teks GH sebagian besar berbentuk satire, sehingga
mengandung unsur penghinaan. Kritik tersebut diasumsikan sebagai kritik
terhadap realitas sosial yang teIjadi di sekitar pengarang. Kutipan di bawah
menunjukkan kritik dalam bentuk satire tersebut.
r * Q T {r 1j. *- -c, v' J: :> L- -c L-* :> a !3 --c: Q {rf'P0 -c --c, !3 --c: v' J:
:> L- --C L-* :> a -*fiJ3*, (b{bv'
:> J: a C: G G G-$
C:v':> "Para lansia yang masih bisa diberi kursi roda, sehingga mereka menjadi tidak
bisa beIjalan. Para lansia yang masih bisa memasak makanannya sendiri pun
dimasakkan, sehingga mereka akhimya menjadi tidak bisa menyediakan
makanannya sendiri. Akhimya para lansia yang tidak dapat melakukan apa pun
terus bertambah. Satu hal untuk seribu dampak, kebijaksanaan seperti itulah
yang menjadi penyebab pertempuran ini. Ekonomi dan bisnis tidak dapat
dijalankan bila tidak menggunakan uang yang telah disimpan tapi tidak
digunakan oleh para lansia pada masa tuanya, karena itu mengambil pajak dan
bunga dari setiap orang pun menjadi satu kebijaksanaan. Ahahaha."
(GH,2006:151)
Parodi Sistem Perlindungan dan Perawatan Lansia 119 daIam Novel Ginrei no Hate karya Tsutsui Yasutaka (Tatat Haryati, M.Si.)
Kutipan di atas merupakan kritik dan tidak lang sung terhadap
kebijaksanaan yang diterapkan pemerintah dalam menangani masalah ledakan
jumlah penduduk lansia. Kritik ditujukan pada realitas sosial yang terjadi di
dunia faktual dan fiksional. Berbeda dengan ironi, sindiran yang terkandung di dalamnya hanya bersifat
mencemooh dan mengejek, dalam satire kritik yang diungkapkan dengan
jenaka dan lucu lebih mengarah pada kejengkelan dan kemarahan. Kutipan di
atas menunjukkan kejengkelan dan kemarahan tokoh terhadap kebijaksanaan
yang diterapkan pemerintah.
Efek Praktikal Parodi dalam Teks GH
Berdasarkan konsep Hutcheon mediasi kritik dalam parodi berada pada
tataran prespektif pragmatis, artinya teks difungsikan sebagai pengevaluasi
sesuatu. Pragmatisme ditemukan saat makna ironi, satire dan parodi
difungsikan sebagai komunikasi yang disesuaikan dengan situasi. Secara
pragmatis terdapat hubungan yang erat antara unsur yang satu dengan yang
lain. Dalam teks yang mengandung unsur ironi, sekaligus bisa terkandung
unsur satire dan parodi yang menyiratkan makna bertentangan. Interaksi
antarunsur menimbulkan efek berupa etos ironi, satire dan parodi. Himpitan
antarinteraksi memunculkan efek etos lainnya berupa etos cemoohan,
penghinaan dan etos yang mempengaruhi reaksi emosi pembaca.
Etos yang dimaksud Hutcheon merujuk pada proses pengkodean, yaitu respon
pokok yang diharapkan dari pencerapan sebuah teks dalam ironi, satire dan
parodi yang dapat menimbulkan efek emosi yang diinginkan pada pembaca.
Etos ironik bagi Hutcheon dianggap sebagai etos yang dapat berpindah-pindah
sehingga digambarkannya dengan garis terputus. Efek praktikal parodi dalam teks parodi digambarkan Hutcheon dalam gambar berikut.
120 UNqUA Vo!.7 No.2, Oktoberr 109--127
, , ,
, , , ,
:tawa meremehkan) .
\ \
\
Etos
/ , ,
(senyum terlihat)
, , ,
Etos (tertandai)
1 Etos
Parodik Satirik Satire Parodi
Efek Praktikal Parodi dalam Interaksi Antaretos
(Sumber: Hutcheon, 2000: 63)
"
netral
:/ penghargaan
"\. penentang
Efek praktikal parodi yang dapat menimbulkan himpitan antaretos
interaksi tampak dalam kutipan di bawah. Kutipan ini merupakan pemaparan
kondisi pertempuran di Sorimachi Nishinariku Osaka oleh tokoh reporter di
sebuah stasiun televisi di Sorlmachi. Peserta pertempuran di wilayah ini
sebanyak 50 orang (laki-laki: 21 orang; perempuan: 29 orang)
).
r ... 0 b 5, iii \ , Iv -C !:t -C b § '0 -C " \ G -1t Iv 0 r '0 t:.]i5j--C, t:. < lv, lv,
'0 fflJtL, ¥!E.J:f. k" b;;C b;;C jb" \ -C" \ {:, tc '0 -C L. * It \ * L. t:.o '0-C§ 51v-CL.J:: 5:0"'0 5 b '0 0 Iv {} C:" \ {:, Iv -C, it L. {£ iOO L. k . .AJ:. i?, T
Parodi Sistem Perlindungan dan Perawatan Lansia 121 da1am Novel Ginrei no Hate karya Tsutsui Yasutaka (Tatat Haryati, M.Si.)
122 LINGUA Yo!.7 No.2, Oktoberr 109--127
Sudah tidak bisa dikatakan sebagai adegan yang menarik lagi. Barn 5
menit pertempuran berjalan sudah banyak kakek dan nenek yang jatuh
tersungkur ke tanah, yang nampak hanya geliat mereka seperti ulat bulu.
Permukaan tanah digenangi darah. Betul-betul menggenaskan. Wah, saya pikir
pihak yang merencanakan kegiatan ini tidak menduga akan berakhir
menggenaskan seperti ini. Ganas, (para pemirsa). Kepala biara nampak
menggoyangkan shakujou5 dan meneriakkan sesuatu sambil menangis. Entah
meneriakkan "Namu amida butsu", "Namu myoho renkyou", atau
"Onabokyaabeerosha". Nampaknya beliau memberi dukungan berupa berbagai
doa dari kitab suci Budha. Waah, barn saja terdengar "Amiin", Saudara-
saudara. Sudah kacau sekali. Para penonton pun menangis. Bukan hanya
keluarga para peserta, melainkan juga semua penonton. Ada juga penonton
yang menangis meraung-raung. Saya pun menangis. Ada juga penonton yang
menangis sambil meneriakkan sesuatu. "Tolol, tol01" teriaknya. "Tolol,
pemerintah yang tolol. Kami yang tolol" demikian teriaknya. Kepala biara
jatuh tersungkur terkena ayunan shakujou yang ia goyangkan dan mengenai
5 Penjamin asuransi (insurer) diserahkan kepada pemerintah wilayah shi-cho-son dan ku. Insurer bertugas mengelola asuransi perawatan mulai dari tahap perencanaan hingga tahap pelaksanaan. Dalam tahap pelaksanaan, insurer juga bertanggung jawab untuk menetapkan jenis perawatan, biaya asuransi dan beberapa hallainnya berkenaan dengan asuransi.
Parodi Sistem Perlindungan dan Perawatan Lansia 123 dalam Novel Ginrei no Hate karya Tsutsui Yasutaka (Tatat Haryan, M.Si.)
kepalanya. Orang yang bisa berdiri kembali linglung hanya
2, 3 orang. Orang-orang ini pun kemudian berjatuhan, beberapa di antara
mereka masih menggeliat. Nampaknya ambulan tidak akan datang. Para
pemirsa, apakah akhir seperti ini yang diharapkan. Pertempuran sudah
berakhir. Peserta yang tersisa tidak dapat dipastikan dari sini. Saya turut
berduka cita atas meninggalnya para kakek dan nenek. Kakek, nenek, terima
kasih dengan segala kesulitan yang diderita. Terima kasih banyak. Terima
kasih telah memberi kebahagiaan seperti ini dan pergi meninggalkan kami
dengan cara mati yang aneh tapi menarik seperti ini. Terima kasih. Selamat
tinggal kakek, nenek. Selamat tinggal.
(GH,2006:183-184)
Melalui kutipan di atas diketahui bahwa beberapa adegan dalam silver
battle yang memberi kesan "menarik" pada tokoh reporter berkembang
menjadi peristiwa brutal yang menggenaskan. Pelaksanaan pertempuran yang
dikondisikan sebagai bahan tontonan di daerah ini berkembang secara tidak
terkendali. Rencana matang dari para penggagas dan pendukung pertempuran,
termasuk kerabat para lansia yang menjadi peserta pertempuran berkembang
menjadi sesuatu yang tidak diharapkan.
Adapun interaksi etos cemoohan ironik dengan etos netral parodik yang"
menimbulkan efek senyum terlihat pada ungkapan tokoh reporter yang
menyatakan luapan terima kasihnya terhadap para lansia. Bagi tokoh reporter,
yang diposisikan sebagai generasi muda, para lansia telah berusaha keras
memberi kebahagiaan pada generasi muda dengan menyuguhkan tontonan
menarik berupa cara mati yang lucu (=menarik) dan aneh.
Interaksi antara etos cemoohan ironik dengan etos penghinaan satirik
nampak pada teriakan dan makian salah seorang penonton yang menyesali
perkembangan pertempuran menjadi sesuatu yang brutal. Makian yang ia
124 LlNqlJA Vo\.7 No.2, Oktoberr 109--127
tujukan pada pemerintah dan dirinya merupakan tawa mengejek akibat
interaksi tersebut.
Mengenai interaksi antara etos penghinaan satirik dengan etos
penentang parodik tampak pada pemyataan yang menunjukkan kesangsian
tokoh reporter terhadap akhir pertempuran dan pemyataan yang menunjukkan
perkembangan pertempuran menjadi sesuatu yang brutal dalam waktu yang
singkat. Kesangsian reporter terhadap akhir yang diharapkan dan ia
pertanyakan pada masyarakat digolongkan sebagai parodik satire. Termasuk di
dalamnya adalah tidak adanya bantuan para medis ke arena pertempuran
berupa penyediaan ambulan. Selanjutnya, perkembangan pertempuran yang
menjadi brutal dalam waktu 5 menit termasuk ke dalam satirik parodi.
Himpitan tersebut nampak pada gambar berikut.
Simpulan
Pemberlakuan sistem penanggulangan ledakan penduduk lansia dalam
GH merupakan realitas so sial masyarakat Jepang yang disimpangkan melalui
metode artistik pengarang dalam bentuk parodi. Sistem penanggulangan
ledakan penduduk lansia dalam roujin sougo shokei seido diberlakukan untuk
menjaga keseimbangan komposisi penduduk, mengurangl beban
ketergantungan dan menjaga sistem pensiun yang telah tertata sebelumnya.
Sistem eksekusi antarlansia diterapkan dalam bentuk silver battle dan
diharapkan dapat melenyapkan wabah dengan cepat.
Dalam teks GH, parodi digunakan sebagai seni artistik dan seni kritik
secara bersamaan. Realitas sosial diungkapkan melalui pengkreasian ulang,
mediasi kritik dan cemoohan yang menimbulkan efek praktikal emosi pada
pembaca dalam bentuk ironi, satire yang kontradiktif. Target realitas so sial
yang diparodikan dalam teks nampak dalam pembalikan dan penyimpangan
Parodi Sistem Perlindungan dan Perawatan Lansia 125 dalam Novel Ginrei no Hate karya Tsutsui Yasutaka (Tatat Haryati. M.Si.)
sistem perlindungan dan perawatan kesehataI,1 lansia dan penanganan sistem
pensiun lansia. Dalam hal sistem penanganan dan perlindungan lansia, realitas sosial
dalam teks mengabaikan pengagungan lansia secara berlebihan. Realitas
tersebut diposisikan secara terbalik sehingga menjadi sesuatu yang tidak
bermakna. Secara harfiah, sistem perlindungan dan perawatan kesehatan lansia
dikritik sebagai sistem yang dijalankan secara berlebihan dan salah kaprah.
Penangan sistem pensiun dan pesangon dikritik sebagai warisan yang tidak bisa
dinikmati oleh generasi muda. Merujuk pada maksud dan tujuan penulisan ini, maka diperoleh simpulan
bahwa teks GH difungsikan sebagai media pengamatan terhadap realitas lansia
yang menjadi permasalahan besar dalam kehidupan masyarakat Jepang abad
21. Sistem perawatan dan perlindungan lansia yang menjadi target olok-olok,
cemoohan dan ejekan merupakan gambaran sikap masyarakat (85%) yang
direkam pengarang dalam mempertanyakan kebijaksanaan pemerintah
berkenaan dengan sistem perlindungan dan perawatan kesehatan lansia. Olok-
olok juga ditargetkan pada sistem pensiun bagi para lansia. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa teks dalam novel GH menjadi media evaluasi
terhadap beberapa kebijaksanaan yang diterapkan pemerintah dalam har
menangani sistem perlindungan dan perawatan kesehatan lansia dan sistem
pensiun lansia. Di samping itu teks GH dimungkinkan tercipta dalam
masyarakat Jepang yang menjunjung rasionalitas tinggi dengan beranggapan
bahwa produktivitas dalam masyarakat bisa berdaya guna bila ditunjang oleh
keseimbangan setiap unsur dalam masyarakat, termasuk dalam hal komposisi
penduduk. dalam hal ini rasio lah yang menjadi pengukur keberhasilan dan keharmonisan setiap elemen dalam masyarakat.
126 WJl<l1A Vol.7 No.2, Oktoberr 109-127
DAFTARPUSTAKA .
Hutcheon, Linda. Teory of Parody-The Teaching of Twentieth-Century Art
Forms. Illinois: University of Illinois Press. 2000.
Kutha, Ratna S.U.,Nyoman. Paradigma Sosiologi dalam Sastra._Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2003.
Miyajima, Hiroshi. Koureika Jidai no Shakai Keizaigaku!. Tokyo: Iwanami
Shoten. 1992.
Naganuma, Koutaro. Kenrou Shakai Oita Kyozetsusuru Jidai!. Tokyo: Sofuto
Banku Shinsho. 2006.
Shimizu, Yutaka. Shoushi Koureika Shakai-Imidas Viewpoint. Tokyo:
Imidas.2005.
Tsutsui, Yasutaka. Ginrei no Hate. Tokyo: Shinchousha. 2006.
Wellek, Rene., & Warren, Austin. Teori Kesusastraan (cetakan ke-3)
terj.Melani Budiana_ Jakarta: PT Gramedia. 1993.
Hori, Akira. Tsutsui Yasutaka "Ginrei no Hate (Shinchousha). 2 September
2006 http://hori.asablo.jplblogl
Parodi Sistem Perlindungan dan Perawatan Lansia 127 dalam Novel Ginrei no Hate karya Tsutsui Yasutaka (Tatat Oaryati, M.Si.)
KATAYABAI: SEBAGAI WAKAMONO KOTOBA 'BAHASA ANAK MUDA' DI
JEPANG
Gita Astagina Mahasiswa S-2 Linguistik Bahasa Jepang, Universitas Pacijadjaran Bandung
Abstrak Bahasa mengalami perkembangan sesuai dengan zamannya. Hal tersebut berlaku juga
dalam perkembangan bahasa Jepang, terutama bahasa yang digunakan dalam kalangan anak muda. Jika bahasa Indonesia kita mengenal istilah 'bahasa gaul' bahasa Jepang ada yang disebut dengan me rr ryuukou kotoba 'kata yang sedang popular'. Salah satu yang termasuk dalam ryuukou kotoba ini adalah wakamono kotoba 'bahasa anak muda' yang didefinisikan sebagai kata-kata baru yang diciptakan dan digunakan oleh anak muda usia belasan tabun. Wakamono kotoba ini berbeda dengan bahasa Jepang standar yang biasa digunakan sehari-hari, tetapi cukup sering digunakan, terutama di kalangan anak muda. Salah satu kata gaul yang sering diucapkan ialah kata yabai. Kata ini dapat kita temui dalam drama Jepang atau komik-komik sebagai bukti telah memasyarakatnya katayabai.
Kata Kunci: yabai, wakamono kotoba
Abstract Language develops along the time, this applies too in Japanese, especially that of the
youth's. In Bahasa Indonesia there is a slang known as 'bahasa gaul', in Japanese it is known as iffffi ii1l!! ryuukou kotoba 'the popular words '. One of which includes in ryuukou kotoba is wakamono kotoba 'youth's language' which is defined as words created and used by teenage. Wakamono kotoba is different from the standardized Japanese used in daily speaking, but oftenly used by the youth. One of the slang words used is yabai. This word can be found in Japanese drama or comics which prove that this word is already common in the society.
Kata Kunci: yabai, wakamono kotoba
Pendahuluan
Sebagai pembelajar bahasa Jepang, kita masih sering terpaku pada kosa
kata dan gaya bahasa yang tercantum dalam buku teks pelajaran bahasa Jepang
yang dipakai pada institusi tempat kita mempelajari bahasa Jepang. Padahal,
begitu kita terjun langsung dalam masyarakat yang berbahasa ibu bahasa
Jepang atau mencoba berkomunikasi dengan orang berbahasa ibu bahasa
Jepang, mungkin akan sedikit mengalami keterkejutan dengan bahasa yang
128 LtNqllA Vol.? No.2, Oktober 128-138
digunakan native tersebut. Hal ini mungkin akibat perkembangan
bahasa yang tertulis di atas. Untuk mengantisipasi keterkejutan tentang
perkembangan bahasa Jepang, kita dapat mulai membiasakan diri dengan
mendengarkan rekaman percakapan bahasa Jepang, menonton drama atau film
berbahasa Jepang, bercakap - cakap langsung dengan orang Jepang-bila ada-di
institusi tempat belajar bahasa Jepang.
Karena kurang bergaul dengan nama no nihongo 'bahasa Jepang asli'
ketika belajar bahasa Jepang di Indonesia, penulis mengalami keterkejutan
ketika berada di negeri yang terkenal dengan bunga sakura tersebut. ":¥!7 Iv-.
t 5 3 tt. "":) t::.. J: 0 tt. v 'I .!:: i" /-:::-1 J: "Gita-san,mou san ji ni natta yo.
Isoganai to yabai yo. Pada saat itu tidak sepenuhnya menangkap apa yang
diucapkan oleh orang Jepang tersebut, tetapi dari suasananya penulis mengerti
bahwa karena sudah pukul 3, ia mengajak penulis untuk cepat-cepat
menyelesaikan pekeIjaan yang sedang dikeIjakan. Namun, ada satu kata yang
membuat penulis penasaran untuk mencari artinya di kamus, yaitu kata yabai.
Temyata kata tersebut tidak terdapat dalam kamus Bahasa Jepang-Indonesia.
Ketika menanyakan kepada ternan, penulis mendapat jawabannya bahwa yabai
memiliki makna yang sama dengan kata abunai, yaitu berbahaya. Namun,
penulis menjadi bingung ketika melihat di televisi, seseorang berkomentar " .:.
keeki maji de yabai desu, pada saat ia
memakan sejenis kue. Agaknya yabai di sini memiliki makna lain selain
berbahay karena tidak mungkin seseorang memakan makanan yang berbahaya.
Kata yabai ini merupakan salah satu dari wakamono kotoba.
Penulis menganggap kata yabai ini menarik karena mengalami
perkembangan makna dari yang asalnya hanya memiliki makna negatif
menjadi memiliki pula makna yang positif. Oleh karena itu, penulis
mengangkat kata yabai untuk mengetahui asal kata yabai, makna, perbedaan,
Kata Yabai Sebagai Wakamono Kotoba 'Bahasa Aanak Muda' di Jepang (Gita Astagina) 129
dan kesamaannya dengan abunai, serta penggunaannya dalam masyarakat
Jepang.
Asal Kata Yabai .
Apabila kita mengakses internet dengan memasukan kata kunci yabai,
selain contoh-contoh kalimat yang menggunakan kata tersebut, muncul juga
definisi dan penelitian tentang kata yabai. Banyak muncul pula judul-judul
buku, judul lagu atau syair lagu yang menggunakan yabai. Hal ini
mencerminkan bahwa yabai ini sudah sangat memasyarakat. Penggunaan kata
tersebut tidak hanya secara lisan, bahkan secara tulisan, seperti penggunaan
dalam judul buku.
Walau belum terdapat pada kamus bahasa Jepang - Indonesia, dalam
beberapa kamus Bahasa J epang, makna yabai adalahfutsugo, abunai atau kiken
yang berarti keadaan yang tidak baik, berbahaya atau bahaya, makna - makna
yang mencerminkan kondisi negatif. Sebuah situs mengenai 'asal mula kata
bahasa Jepang' gogen, menuliskan bahwa yabai berasal dari kata sifat-
Na ( Na-keiyoushi ) 'yaba' yang mengalami perubahan menjadi kata
sifat-I ( I-keiyoushi ). Kata ini dulu merupakan kata rahasia yang"
digunakan oleh pencuri atau penjual wewangian. Ada juga pendapat yang
mengatakan bahwa pada zaman sebelum perang, para tawanan memanggil
penjaga dengan sebutan 'yaba', dan itu menjadi asal usul kata yabai, tetapi
karena 'yaba' ini telah dipakai sejak zaman Edo, sepertinya pendapat yang
mengatakan bahwa yabai merupakan perubahan kata sifat dapat diterima, tetapi bukan merupakan asal kata, hanya kata yang sejenis dengan kata abunai.(
http://gogen-allguide.comlyalyabaLhtml )
Pada situs lain tertulis juga bahwa setelah zaman perang, penggunaan
kata yabai menyebar di pasar gelap dan lain-lain masih dengan arti yang
130 LlNCjUA Vo!.7 No.2, Oktober 128-138
sejenis dengan abunai 'bahaya', sepertinya akan hal buruk atau seperti
akan terjadi hal buruk pada diri. Pada tahun 80-an, kata yabai ini menyebar di
kalangan anak muda, dengan makna \ kakkowarui 'gak keren / gak
asyik', pada saat ini yabai digunakan hanya memiliki makna yang negatif.
Namun pada 90-an, makna yabai berkembang, memiliki pula makna yang
positif, seperti sugoi 'hebat', atau miryoku-teki 'sangat menarik' . Kata yabai
terkadang ditulis dengan menggunakan huruf hiragana, tetapi kebanyakan
ditulis dengan menggunakan huruf katakana. ( http://zokugo-
dict.coml36yalyabai.htm )
Makna Yabai
Seperti yang tertulis di atas, yabai pada awalnya memiliki makna
negatif, tetapi memasuki tahun 90-an, di kalangan anak muda kata ini
mengalami perkembangan makna sehingga memiliki dua nuansa makna, yaitu
negatif dan positif. Dalam situs internet banyak tertulis bahwa penggunaan
yabai selain bermakna negatif seperti yang tertulis. di kamus, dapat pula
bermakna positif karena telah mengalami perkembangan makna. Maka, ketika
menganalisis kata yabai, kita hams mengetahui situasi pada saat kata yabai ini
digunakan. Seperti contoh kalimat di atas,
( 1 ) :¥ t 5 3 ":) tc d: o \ -y d: o
Gita-san, mou san j i ni natta yo. Isoganai to yabai yo.
'Gita, sudahjam 3 Iho. Gawat kalau tidak cepat-cepat'
Dalam bahasa Indonesia dapat kata yabai dipadankan dengan kata 'gawat'.
Kalimat di atas menunjukan makna, penutur mengingatkan petutur bahwa
waktu sudah menunjukan pukul 3 sehingga pekerjaan hams cepat-cepat
diselesaikan.
Kata Yabai Sebagai Wakamono Kotoba 'Bahasa Aanak Muda' di Jepang (Gita Astagina) 131
Kemudian kita lihat contoh kalimat yaq.g terdapat pada drama My Boss
My Hero, yang menceritakan tentang seorang yakuza, Makio Sasaki yang telah
berusia 27 tahun, tetapi kembali belajar di bangku kelas tiga SMA. Penulis
memilih drama ini untuk dijadikan salah satu referensi karena didalamnya
cukup banyak terdapat bahasa anak muda, termasuk kata yabai. Ada beberapa
adegan yang memperlihatkan para tokoh mengucapkan kata yabai. Seperti
pada seri keempat, ketika Makio merasa posisinya sebagai calon ketua berada
dalam posisi berbahaya karena adik laki - lakinya yang bam pulang dari luar
negeri temyata mengincar juga posisi tersebut, ia mengatakan
(2 )
Yabee. hijou ni vabee!
'Gawat, benar- benar gawat!'
Dalam percakapan informal, akhiran -i pada kata sifat berakhiran -i dan
bentuk kata kerja keinginan oleh kaum laki -laki sering diucapkan dengan lafal
--e, misalnya itai 'sakit' menjadi itee, atau tabetai 'ingin makan' menjadi
tabetee. Begitu pula kata yabai juga oleh kaum laki-laki sering berubah
akhiran bunyi menjadi yabee.
Kata yabai yang memiliki makna sedikit berbeda terdapat di salah satu "-
. adegan pada seri satu ketika Makio Sasaki tidak dapat membaca kanji yang
tidak terlalu sulit, salah seorang murid wanita di kelas mengatakan,
( 3 ) **m.:v-/C{ < G" '\ < \ ?
Kekkou yabai kurai atama warukunai ?
(kira-kira bermakna) 'Lumayan parah juga ya kebodohannya'
Sedikit susah menterjemahkan secara langsung kalimat (3) di atas karena
adanya kata kurai yang berarti 'kira - kira', 'sekitar', 'kurang lebih' yang tidak
biasa dipadankan dengan kata kekkou yang berarti 'cukup'. Hingga kalimat
tersebut menjadi samar (aimai ). Namun, kalimat tersebut dapat bermakna
132 LlN4UA Vo!.7 No2, Oktober 128---138
bahwa murid wanita tersebut mengungkapkan Makio Sasaki rasanya
benar-benar bodoh karena tidak dapat membaca kanji yang seharusnya dapat
di baca oleh mereka yang telah duduk di kelas tiga SMA.
Kata yabai dalam nuansa negatif dapat pula kita lihat dari contoh
kalimat berikut ini
Ana kakkau yabakunai
'Gaya ( seperti ) itu ielek ya'
(5)
Aitsu yabasau janai
'Dia kayanya aneh ya'
Bila kita melihat bentuknya, kalimat (3), (4), (5) berbentuk kalimat negatif
'tidaklbukaIl'-"). Dalam bahasa anak muda bentuk kalimat negatif ini
juga sering digunakan untuk mengungkapkan pemyataan/pendapat sendiri,
tetapi dalam bentuk pertanyaan pendapat orang. Ada yang berpendapat bahwa
ini merupakan upaya untuk menyamarkan pendapatnya karena jika
menggunakan dengan bentuk positif, ia akan terasa lebih tidak sopan. Dalam
penggunaan kata yabai yang bermakna negatif pun tampaknya banyak yang
menggunakan bentuk negatif supaya terdengar lebih sopan.
Untuk makna yabai yang telah berkembang menjadi makna positif
dapat kita lihat contoh kalimat yang telah tertulis di atas,
(6)
Kana keeki maji de yabai desu
'Kue ini benar-benar enak'
Kata yabai pada contoh kalimat (6) bukan menunjukan sesuatu yang
berbahaya, tetapi mengungkapkan bahwa kue itu rasanya 'enak'. Ungkapan
seperti ini banyak pula digunakan ketika seseorang mengungkapkan sesuatu
Kala Yabai Sebagai Wakwnono Kotoba 'Babasa Aanak Muda' di Jepang (Gita Astagina) 133
yang di luar dugaannya, misalnya pada kalimat (7) yaitu ketika
seseorang mencoba masakan di sebuah restoran yang menurut temannya sangat
enak .. Begitu mencicipinya untuk pertama kali, ia mengucapkan,
(7)
Yabai. konnani oishii to omowanatta
'Waa ( ungkapan terkejut ), tidak di sangka rasanya seenak ini'
Walaupun telah mendengar dari kawannya bahwa makanan di restoran itu
enak, ketika mencobanya sendiri, ia mengungkapkan keterkejutannya akan rasa
yang tidak ia bayangkan sebelumnya dengan menggunakan kata yabai. Tentu
saja hal ini tidak hanya berlaku pada makanan, tetapi dapat digunakan pula
pada hal-hal lain, misalnya keterkejutan akan kecantikan seseorang, sulitnya
suatu situasi, dan lain-lain.
Tidak hanya memuji rasa pada makanan, kata yabai ini sering pula
digunakan ketika memuji kecantikan atau ketampanan seseorang.
(8)
Omae no kanojo, yabai ne.
'Cewek kamu cantik ya'
Kata yabai ini juga digunakan untuk memuji suatu barang, seperti pada contoh
kalimat berikut,
(9) '\ J:: Po Ano shatsu yabai yo ne.
'Baju itu bagus ya'
Kata yabai sebagai pujian ini biasanya digunakan tidak hanya ketika sekedar
memuji, tetapi terkandung juga makna keterkejutan, seperti yabai pada contoh
kalimat (8) diucapkan ketika ia melihat kekasih temannya yang ia duga tidak
terlalu cantik, tetapi temyata sangatlah cantik. Pada contoh kalimat (9) yabai
134 LlN(fliA Vol.7 No.2, Oktober
digunakan seseorang untuk rnenyatakan kekaguman ketika rnelihat rumah
bagus yang belum pemah ia lihat sebelumnya.
Seperti halnya penggunaan yabai bermakna negatif, yabai bermakna
positif juga sering diungkapkan dengan kata-kata yang tersamar (aimai),
misalnya
( 10) =- O)*-y < G" "*1I1f G L-" "0 Kono hon yabai kurai subarashii
(secara rnakna dapat diartikan) 'Buku ini benar-benar hebat'
Telah ditulis di atas bahwa kata kurai berarti 'kira-kira', 'sekitar', atau 'kurang
lebih'. Kalirnat (10) kata kurai seolah - olah rneleburkan arti yabai yang
sebenarnya sehingga kalirnat (10) di atas rnerniliki rnakna lebih dari apa yang
diterjernahkan ke dalam bahasa Indonesia di atas. Kalimat tersebut rnerniliki
beberapa rnakna tersirat, rnisalnya, 'saking hebatnya buku ini, sampai-sarnpai
saya rnernbacanya berulang kali', atau 'buku ini benar-benar hebat, saya
anjurkan kamu untuk rnernbacanya' dan lain-lain.
Kata yabai ini sebenarnya adalah kata-kata yang diucapkan oleh rernaja
dengan ternan-ternan seusianya dan dalam situasi yang tidak formaL N amun
dalam perkernbangannya kata itu rnengalami perubahan bentuk secara
rnodalitas sehingga terkadang diucapkan pula kepada orang yang lebih tua atau
dalam situasi formaL Pada contoh kalirnat (2) kita dapat rnelihat perubahan
kata ini. Karena yang rnengucapkannya seorang laki-laki rnuda, la
rnengucapkan 'yabee' bukan 'yabai '. Lalu 'yabai' juga dapat diucapkan
'yabasu' sebagai singkatan dari 'yabai desu' dan 'maji yabasu' sebagai
singkatan dari maji yabai desu 'benar - benar gawat'. 'Yabasu' dan 'maji
yabasu' biasanya diucapkan oleh rernaja laki-Iaki kepada seniomya ('desu'
rnerupakan bentuk ucapan sopan), rnisalnya
( 11) 9G., =- t>y .to
Kata Yabai Sebagai Wakamono Kotoba 'Bahasa Aanak Muda' eli Jepang (Gita Astagina) 135
Persamaan dan Perbedaan Yabai dan Abunai Persarnaan kedua kata ini tentu saja pada arti asalnya, sarna-sarna
memiliki makna 'gawat'/'bahaya'. Narnun, seperti telah diuraikan di atas,
yabai mengalarni pengembangan makna, tidak hanya berarti 'bahaya' tetapi
juga memiliki arti 'bagus', 'cantik', dan lain-lain. Sedangkan abunai hanya
memiliki makna 'bahaya' saja.
Ketika kita memperingati seseorang untuk tidak pergi karena akan
berbahaya, kita dapat mengucapkan
(12)
lkanai hou ga ii yo. Abunai da kara
lkanai hou ga ii yo. Yabai da kara
kalimat ( 12 ) dan ( 13 ) memiliki arti yang sarna, 'sebaiknya jangan pergi,
bahaya', tetapi kalimat ( 13 ) tidak berterima untuk diucapkan, dan akan
berterima jika diubah menjadi anjuran positif, misalnya
(14)
Ima itta hou ga ii yo. Yabai dakara
'Sebaiknya pergi sekarang, karena (kalau tidak pergi) bahaya'
Mari kita bandingkan dengan situasi berikut, seseorang harnpir
tertabrak mobil ia mengucapkan 'abunakatta' atau 'yabakatta' saat ia sadar
dirinya terlepas dari bahaya. Narnun orang yang melihat kejadian tersebut bisa
saja secara spontan berteriak 'abunai!!' yang dapat berarti 'awas, bahaya', tetapi tidak tepat jiks ia berkata 'yabai!! '.
136 LlNC;UA Vol.7 No.2, Oktober 130-139
Dari kedua contoh situasi di atas, terlihat kata abunai cenderung
diucapkan ketika orang lain yang berada dalam posisi berbahaya, sedangkan
kata yabai lebih sering diucapkan pada diri sendiri, atau ketika kita merasa
bahwa diri kita berada dalam situasi berbahaya.
Pengguna Kata Yabai
Walau merupakan bagian dari bahasa anak muda, kata yabai tidak
hanya digunakan oleh remaja usia belasan tahun atau siswa SMA, tetapi juga
anak muda berusia 20 tahunan. Namun, di Wikipedia tertulis ada suatu
penelitian yang menemukan bahwa memasuki usia 30 tahunan, orang - orang
mulai mengurangi menggunakan kata - kata anak muda, termasuk kata yabai
(http://j a. wikipedia.orglwikil)
Anak muda pun, terutama yang telah memasuki usia dewasa, atau
mahasiswa, biasanya lebih berhati - hati lagi menggunakan kata ini. Dengan
alasan takut melukai perasaan orang lain, kata yabai untuk .&t{ft"Y tan-i
yabai 'SKS berbahaya' yang berarti hampir jatuh/tidak lulus karena
nilai/SKSnya kurang, sudah tidak di pakai lagi.
Simpulan
Ada beberapa pendapat tentang asal kata yabai, tetapi yang diakui
adalah yaba yang merupakan kata sifat akhiran -Na menjadi yabai kata sifat
akhiran -I. Yaba merupakan panggilan tawanan kepada penjaga pada zaman
sebelum perang. Yabai telah digunakan sejak zaman Edo, dan menyebar pada
zaman setelah perang. Namun pada saat itu·maknayabai hanyalah makna yang
negatif. Tahun 80-an kata ini mulai banyak di pakai oleh anak muda, dan
Kata Yabai Sebagai Wakamono Kotoba 'Bahasa Aanak Muda' di Jepang (Gita Astagina) 137
memasuki tahun 90-an dan maknanya mulai menjadi makna yang
positif, seperti bagus, cantik, dan hebat.
Makna awalnya adalah 'bahaya', dan dapat pula dipadankan dengan
kata 'gawat' dalam bahasa Indonesia. Dalam beberapa situasi dapat pula berarti
'je1ek', 'tidak keren', atau 'aneh'. Kemudian berkembang menjadi makna
positif, yaitu 'bagus', 'enak', 'cantikJtampan' dan 'hebat'. Yabai juga
digunakan untuk mengungkapkan keterkejutan pada sesuatu yang di luar
dugaan.
Arti asal dari yabai dan abunai adalah 'bahaya' atau 'berbahaya', tetapi
yabai mengalami perkembangan makna, sedangkan abunai tidak. Dalam
penggunaannya, abunai dapat mengungkapkan situasi berbahaya pada diri
sendiri atau orang lain, sedangkan yabai cenderung pada diri sendiri saja.
Secara umum yabai digunakan oleh berbagai kalangan, tidak terbatas
hanya anak muda, baik secara tulisan maupunpun lisan. Namun, kata ini lebih
sering digunakan secara lisan pada situasi akrab dan tidak formal. Terdapat
kecenderungan makin tua seseorang makin jarang pula menggunakan bahasa
anak muda, termasuk kata yabai ini.
DAFTAR PUSTAKA
http://gogen-allguide.com/ya/yabai.html
http://zokugo-dict.coml36yalyabai.htm
http://ja.wikipedia.org/wikil
http://japanologie.arts.kuleuven.be/japans/index.php/
138 LfNC;UA Vol.7 No.2, Oktober 130-141
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Pustaka
Utama
Matsuura, Kenji. 1994. Kamus Bahasa Jepang - Indonesia. Kyoto:Kyoto
Sangyo University Press
To-ou Kabushiki Gaisha. 2006. My Boss My Hero. Toukyou
Kata Yabai Sebagai Wakamono Kotoba 'Babasa Aanak Muda' di Jepang (Gita Astagina) 139
Volume 7 Nomor 1, Maret 2008
Jati diri 1
Jawa kuna 31, 32, 33, 34, 36, 38, 39,
41,43,45
Karakter bangsa 1,2
Karya sastra 31, 32, 33, 34, 36, 37, 38,
39,40,41,42,43,44,4,5
Keterampilan 66, 67, 68, 69, 70, 71,
Indeks
72, 73, 74, 76
Linguistikantropologi 11,12, 13, 14, 15,
16, 17,22,25,27
Alenulis 66,67,68,69, 70, 71, 73
Teaching 55,58,60,61
Terminologi 14, 15
Various 55, 64
Volume 7 Nomor 2, Oktober 200S
Budaya Popular 78, 79, 80, 81, 82
83,84,87,88
Kangaeru 90,91,92,94,97,98
99, 100, 101, 102
Lansia 108,109,110,112,113
114, 115, 117, 125
Manabu 78, 81
Nilai rasa 78,81,88
Omou 90, 91, 92, 93, 94, 96, 97
98,99, 100, 101, 102
Parodi 108, 112, 117, 120,
121, 125
Sinonimi 90, 92, 93
Wakamono kotoba 128, 129
Yabai 128, 129, 130, 131, 132, 133
134, 135, 136, 138
PEDOMAN PENULISAN JURNAL ILMIAH LINGUA STBA LIA JAKARTA
Tema dan Ruang Lingkup Tema dan ruang lingkup permasalahan yang dapat dikirimkan ke LINGUA berhubungan dengan ilmu humaniora dan budaya termasuk pendidikan dan pengajaran.
Jenis Tulisan Jenis tulisan yang diterima ialah:
a. Artikel hasil penelitian b. Artikel ilmiah
Naskah belum pernah dipublikasikan
Format Naskah Naskah tulisan dapat dikirimkan dalam bentuk:
a. Naskah tercetak (6-15 halaman, termasuk daftar pustaka, ketik spasi rangkap diatas kertas quarto ukuran 28 cmx 21,5 cm).
b. Disket dengan tetap menyertakan satu eksemplar naskah tercetaknya), berukuran 3.5 inci, format IBM dengan program pengolah kata MS Word versi 95 ke atas denga jenis hurufTimes New Roman 12.
Bahasa dan Abstrak a. Bahasa yang digunakan dalam jumal
ini adalah bahasa Indonesia, Inggris atau Jepang.
b. Naskah berbahasa Indonesia ditulis dengan menggunakan Ejaan Yang Disempumakan (EYD).
c. Istilah dalam bahasa daerah atau bahasa lain hendaknya disertai pelafalannya bila cara pelafalannya tidak terwakili dalam EYD.
d. Abstrak ditulis dalam bahasa Inggris/Jepang dan Indonesia, diketik satu spasi dengan jenis huruf Times New Roman 10. Abstrak dilengkapi dengan kata kunci.
. Daftar Acuan Daftar acuan disusun dengan ketentuan berikut:
a. Sumber tertulis disusun secara alfabetis, dengan mengikuti urutan sebagai berikut.
1. nama penulis sumber. 2.judul sumber (di miringkan) 3. nama penerjemah (jika ada) 4. tempat dan nama penerbit (sertakan
pula keterangan cetak ulang dan edisi perbaikanjika ada)
5. tahun terbit sumber
Contoh: Croft, W. Explaining Language
Change: An Evolutionary Approach. Singapore: Longman, 2000.
Jawa Pos. Wanita Kelas Bawah Lebih Mandiri, hIm. 3. 22 April 1995.
Koentjaraningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan; cet. ke-lO, 1985.
Okamura, Masu. Peranan Wanita Jepang._Terj. oleh Emy Kuntjorojakti. Y ogyakarta: Gajah Mada Press. 1983.
b. Sumber lisan (wawancara) disusun setelah sumber tertulis dengan menyebutkan nama sumber disertai umur (dalam tanda kurung), tempat, dan tanggal wawancara. Contoh: Wawancara dengan R. Abimayu (65
th), Depok, 12 Juli 1993. c. Sumber dari internet
Disusun setelah sumber lisan dengan menyebutkan judul artikel dan alamat situs web dalam kurung siku. Contoh: "Sociocultural Access in Vietnamese
Society," <http:www.cnet.comlhtml.l>
Pengutipan sumber Pengutipan sumber tercetak mengikuti sistem MLA, yaitu menuliskannya diantara tanda kurung nama belakang penulis yang diacu, tahun terbit acuan, titik dua, dan halaman acuan yang dikutip, setelah akhir kalimat kutipan pada batang tubuh karangan. Contoh: ... (Croft 2000:49)