78
LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI PELAKSANA TUGAS GUBERNUR (Studi Kasus Pengangkatan M Iriawan sebagai Plt. Gubernur Provinsi Jawa Barat Tahun 2018) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : DESY PURWANINGSIH NIM : 11150480000085 P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440 H / 2019 M

LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF

SEBAGAI PELAKSANA TUGAS GUBERNUR (Studi Kasus Pengangkatan M Iriawan sebagai Plt. Gubernur Provinsi Jawa

Barat Tahun 2018)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh gelar Sarjana Hukum

(S.H.)

Oleh :

DESY PURWANINGSIH NIM : 11150480000085

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H / 2019 M

Page 2: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

ii

Page 3: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

iii

Page 4: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan, bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatuulah Jakarta.

Jakarta, 7 Mei 2019.

DESY PURWANINGSIH NIM: 11150480000085

Page 5: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

v

ABSTRAK

Desy Purwaningsih. NIM 11150480000085. KEABSAHAN PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI PELAKSANA TUGAS GUBERNUR (Studi Kasus Pengangkatan M Iriawan sebagai Plt. Gubernur Provinsi Jawa Barat Tahun 2018). Skripsi Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2019 M/ 1440 H, x +59 Halaman. Studi ini bertujuan untuk menganalisis keabsahan suatu keputusan Menteri Dalam Negeri dalam mengangkat M Iriawan selaku Perwira Polri Aktif sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Jawa Barat Tahun 2018. Latar belakang penelitian ini adalah ketika pemerintah pusat dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri melibatkan seorang perwira polri aktif untuk menduduki jabatan di pemerintahan, tanpa pensiun atau berhenti dari jabatannya di kepolisian. Keamanan di Jawa Barat saat Pilkada Tahun 2018 itu menjadi alasan Kemendagri mengangkat M Iriawan menjadi Plt. Gubernur. Selain itu, sebagai seorang polri sudah seharusnya ia menjaga netralitasnya selaku alat keamanan dan pertahanan negara sesuai dengan Pasal 28 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perwira polri aktif yang menduduki jabatan di pemerintahan membuat masyarakat dan para pakar hukum khawatir dan ragu akan netralitasnya sebagai aparat negara. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data studi pustaka, di mana pengumpulan data dilakukan dengan cara mengkaji berbagai dokumen terkait dengan objek penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil penelitian ini menunjukan, bahwa jika kita mengkaji penjelasan pada Pasal 28 Ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa selama ditugaskan oleh Kapolri maka itu termasuk ke dalam tugas kepolisian. Hal yang serupa juga disebutkan dalam Pasal 109 Ayat (3) UU No. 45 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang tidak melarang perwira polri aktif menjabat sebagai Plt. Gubernur selama ia memiliki kompetensi yang baik dengan jabatan yang diambilnya. Namun, masih terdapat beberapa pihak yang lebih berhak dan kompeten dalam menduduki jabatan Plt. Gubernur Jawa Barat Tahun 2018, seperti Ahmad heryawan selaku Mantan Gubernur Jawa barat dan Ineu Purwadewi Sundari, S.Sos., M.M., selaku Ketua DPRD Jawa Barat.

Kata Kunci : Pelaksana Tugas Gubernur. Perwira Polri Aktif.

Dosen Pembimbing : Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1994 sampai Tahun 2018

Page 6: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

vi

KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحیم

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa

Ta’ala yang telah memberikan rahmat dan hidayat-Nya kepada peneliti dalam

penyusunan skripsi yang berjudul LEGALITAS PENGANGKATAN

PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI PELAKSANA TUGAS GUBERNUR

(Studi Kasus Pengangkatan M Iriawan sebagai Plt. Gubernur Provinsi Jawa

Barat Tahun 2018), sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Selawat

dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi

Wassallam, semoga kita semua mendapatkan syafa’atnya di akhirat kelak. Amin.

Pencapaian ini tidak akan terwujud tanpa pertolongan Allah Subhanahu

wa Ta’ala, berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya

kepada peneliti dalam penyelesaian skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak

langsung. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat

saya mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan

arahan untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., Dosen Pembimbing yang telah

memberikan arahan, bimbingan, serta kesabaran dalam membimbing peneliti

sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Dr. Refly Harun, S.H., M.H., L.L.M., narasumber yang telah bersedia

meluangkan waktunya untuk ditemui dan memberikan pendapat terkait judul

skripsi ini.

Page 7: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

vii

6. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Hukum dan staff Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan dedikasi dan pelayanan yang begitu baik selama masa

perkuliahan.

7. Kepala dan staff Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta serta Kepala dan staff Perpustakaan Fakultas Syariah

dan Hukum yang telah memberikan fasilitas dan mengizinkan saya untuk

mencari dan meminjam buku-buku referensi dan sumber-sumber data lainnya

yang diperlukan.

8. Kepada kedua orang tua tercinta Jamadin dan Hj. Eti Suheti yang selalu

memberikan dukungan, mengingatkan, dan mendo’akan yang terbaik untuk

peneliti hingga dapat menyelesaikan skiripsi ini. Kedua kakak, Julaekha dan

Sri Sulastri, serta adik, Herlin Aprilya Fauzianti yang selalu memberikan

dukungan dan nansihat kepada peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Kepada Seluruh Tim Jurnal Cita Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

10. Kepada Asari Irawan yang selalu memberikan dukungan, nasihat, dan

motivasi selama perkuliahan, khususnya selama penyusunan skripsi ini.

11. Sahabat tercinta di kampus, Indah Radiawati, Fatihatul Makiyyah Ya’kub,

Titia Ulva Sapitri, Widya Novita, Fuzzy Kartika Candra Dewi, Izmi Amalia,

Mutia Nur Azizah, dan Tri Urvi Widhianie yang telah menemani selama 7

semester dan terus menemani sampai penyelesaian skripsi ini.

12. Kepada teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan tahun 2015, khususnya IH B 2015.

Kepada Dhaifina Chaerunnisa Pradipta, senior yang tidak pernah lelah

memberikan bimbingan kepada peneliti, serta senior lainnya yang tidak dapat

disebutkan satu persatu.

13. Kakak-kakak teman-teman, dan adik-adik DPC Perhimpunan Mahasiswa

Hukum Indonesia (PERMAHI) Tangerang dan Dewan Pimpinan Pusat (DPN)

PERMAHI yang telah memberikan dukungan, nasihat, pengalaman, dan ilmu

yang luar biasa.

Page 8: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

viii

14. Kakak-kakak, teman-teman, dan adik-adik Pergerakan Mahasiswa Islam

Indonesia (PMII) Komisariat Syariah dan Hukum, yang telah memberikan

berbagai pengalaman dan ilmu yang luar biasa selama masa perkuliahan.

15. Cak Habibi, Mas Dani, Wely Saputra, Fadilatunnisa, Eva Latifah Hanum,

serta abang, kakak, teman, dan adik lainnya dalam Forum Konstitusi dan

Demokrasi (FOKDEM) yang telah memberikan bimbingan, dukungan,

pengalaman, dan ilmu yang luar biasa.

16. Kepada Bank Indonesia yang telah memberikan sumbangsih materil selama

perkuliahan, dan melalui Generasi Baru Indonesia (GenBI) UIN Jakarta telah

memberikan pengalaman, jaringan pertemanan, dan ilmu yang luar biasa.

17. Kepada Backpacker Komps, Ayu Firdiyatus Sholihah, Muhamad Suriyadi,

Henry Fanny, Maerani, dan teman-teman lainnya yang selalu mendukung dan

membantu peneliti.

18. Pihak-pihak lainnya yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini.

Demikian ucapan terima kasih ini, semoga Allah memberikan balasan

yang setara kepada para pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusunan

skripsi ini dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 8 April 2019

Desy Purwaningsih

Page 9: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ………………………………………………….iv

ABSTRAK …………………………………………………………………….v

KATA PENGANTAR ……………………………………………………….vi

DAFTAR ISI …………………………………………………………………ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……………………………………………………. 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ………………. 8

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ……………………….. 9

D. Metode Penelitian ………………………………………………… 9

E. Sistematika Penelitian …………………………………………….. 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual …………………………………………….. 16

1. Asas Legalitas ………………………………………………....16

2. Pengangkatan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur …………….... 20

B. Kerangka Teori …………………………………………………... 24

1. Negara Hukum ……………………………………………….. 23

2. Pemisahan Kekuasaan ………………………………….……. 26

3. Otonomi Daerah ……………………………………………... 28

4. Etika ………………………………………………………….. 31

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu …………………………….. 33

Page 10: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

x

BAB III KEDUDUKAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

A. Tugas, Wewenang, dan Kedudukan Kepolisian Negara Republik

Indonesia. ………………………………………………………….. 36

B. Kewenangan Kementerian Dalam Negeri dalam Pengangkatan pejabat

Pelaksana Tugas Gubernur. ………………………………………... 40

C. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. …………………………... 43

1. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ……………………... 40

2. Dewan Perwakilan Rakyat Daearah (DPRD) ………………….. 45

3. Pelaksana Tugas Kepala Daerah ………………………………. 47

BAB IV ANALISIS KEPUTUSAN PENGANGKATAN PERWIRA POLRI

AKTIF SEBAGAI PLT GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2018

A. Keabsahan Pengangkatan perwira POLRI aktif sebagai Pelaksana

Tugas Gubernur di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 dan implikasinya.

……………………………………………………………………… 51

B. Hubungan Kementerian Dalam Negeri dengan Kepolisian Republik

Indonesia dalam sistem Pemerintahan Indonesia. ………………… 58

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………………………………………………………… 61

B. Rekomendasi ……………………………………………………….. 62

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 63

Page 11: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konstitusi negara Republik Indonesia menyatakan, bahwa Indonesia

merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, Pasal 1 Ayat (1)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

selanjutnya disebut UUD NRI 1945. Indonesia sebagai Negara kepulauan

memiliki satu pusat pemerintahan yang menaungi berbagai daerah di

bawahnya. Dalam hal ini, Jakarta sebagai ibu kota Negara menjadi pusat

pemerintahan di Indonesia.

“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah

provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,

yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai

pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pasal

18 Ayat (1) UUD NRI 1945.”

Indonesia merupakan negara demokrasi yang kedaulatannya berada di

tangan rakyat, Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945. Demokrasi merupakan alat

untuk menjalankan kedaulatan tetrsebut dan dibutuhkan seorang pemimpin

agar terciptanyya kedaulatan rakykat sesuai dengan peraturan perundang-

undangan, seperti yang diuttarakan Joseph Schumpeter, demokrarsi

merupakan persiapan dalam membuat satu keputusan politik, di mana

keputusan politik tersebut diambil melalui votting suara rakyat. Menurutnya,

yang dapat dilakukan oleh rakyat hanya memilih para elite representative

sebab mereka yang akan memberikan keputusan berdarkan nama rakyat.1

Pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah Indonesia tetap

menerapkan sistem demokrasi dalam setiap pengambilan keputusan yang

berkaitan langsung dengan Negara. Pemilihan Umum atau yang biasa disebut

1 Muslim Mufti dan Didah Durrotun Naafisah, Teori-teori Demokrasi, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), h. 23

Page 12: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

2

Pemilu merupakan salah satu alat untuk menjembatani Negara Republik

Indonesia dalam menerapkan sebuah sistem demokrasi yang juga merupakan

sarana kedaulatan rakyat di Indonesia.

“Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah

sarana kedaulatan rakyat yang memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,

Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undnag-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia

Tahun 1945. Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2017 Tentang Pemilihan Umum.”

Sistem Pemilu menjadi bagian dari perwujudan sistem tidak langsung

yang diterapkan di Indonesia sejak era reformasi. Pemilihan umum tidak

bersifat sentral, yang artinya hanya berlaku untuk pemerintahan pusat, akan

tetapi pemerintahan daerah pun dapat menyelenggarakan sistem pemilihan

umum ini. Pemilihan kepala daerah yang selanjutnya disebut pilkada

merupakan pemilihan kepala daerah ditingkat provinsi yang disebut dengan

gubernur dan pilkada ditingkat daerah kabupaten/ kota yang disebut bupati/

wali kota yang juga menjadi sarana kedaultan rakyat ditingkat daerah provinsi

maupun kabupaten/ kota berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.2

Pesta demokrasi yang diselenggarakkan tidak setiap tahun ini selalu

mendapatkan respon yang antusias dari para rakyat Indonesia. Pilkada

dilakukan agar terpilihnya kepala daerah merupakan benar-benar atas nama

rakyat yang dapat memperjuangkan hak-hak dan kepentingan rakyat. Pilkada

2 Ani Sri Rahayu, Pengantar Pemerintahan Daerah Kajian Teori, Hukum, dan

Aplikasinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), h. 88.

Page 13: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

3

merupakan sarana untuk rakyat yang memberikan mandatt dan legitimasi dari

rakyat kepada kepala daerah.3

Sebagai Negara Kesatuan yang dikenal juga sebagai negara

kepulauan, Indonesia dirasa perlu memiliki suatu alat keamanan dan

pertahanan untuk dapat menjaga kesatuan Negara Republik Indonesia, dalam

hal ini POLRI dan TNI yang memiliki kewenangan untuk menjaga kesatuan

Negara Republik Indonesia agar tetap utuh. Hal tersebut tercantum dalam

Pasal 30 Ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan, bahwa “Usaha pertahanan

dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan

rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara

Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakkyat, sebagai kekuatan

pendukung.” Kepolisian negara Republik Indonesia, TNI, dan rakyat

Indonesia memiliki peran penting dalam menjaga keamanan dan pertahanan

negara.

Pengaturan pelaksana tugas dan fungsi keamanan harus berlandaskan

landasan filosofis dan aturan dunia internasional. Secara normatif universal,

POLRI sebagai institusi sipil harus menjadi leading sector dalam menjaga

kamtibnas. Jika TNI terlibat dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian,

maka itu hanya bersifat perbantuan saja, sehingga harus memiliki landasan

regulasi terkait batas waktu perbantuan dan asas perbantuan saja yang

memutuskan4. Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan

negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,

penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat. Begitulah pernyataan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Seorang perwira polri

berkewajiban menjaga ketertiban dan keutuhan negara kesatuan republik

Indonesia guna membantu pemerintah dalam menjaga dan memelihara

3 Cucu Sutrisno, Warga Negara dalam Pilkada, Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan,

Vol. 2 No. 2, Juli 2017, h. 36.

4 Awaloedin Djamin, Kedudukan Polri Dalam Sistem Ketatanegaraan: Isu-Isu Polri Dalam RUU Kamnas, (Jurnal Keamanan Nasional Vol. I, No.3, 2015), h. 444.

Page 14: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

4

keamanan negara, mengingat Indonesia yang merupakan negara kepulauan

yang terdiri dari daerah-daerah yang memiliki sistem pemerintahan masing-

masing dan memiliki adat istiadat yang berbeda di setiap daerah yang rawan

menimbulkan konflik.

Dilihat dari fungsinya, seorang polri tidak dapat masuk ke dalam

sistem pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Sebab, hal tersebut dapat

menimbulkan konflik baru di luar kewenangan POLRI yang berfungsi

sebagai penjaga keamana dan pertahanan Negara Kesatuan Republik

Indonesia. Kita ketahui bersama, bahwa sistem pemerintahan Indonesia ini

diduduki oleh beragam partai politik yang menjalankan sistem demokrasi

sebagai bentuk perwujudan bahwa Indonesia merupakan negara yang

berdaulat dan kedaulatannya berada di tangan rakyat, tercantum dalam Pasal 1

Ayat (2) UUD NRI 1945. Sebagai negara yang berdaulat dan kedaulatannya

berada di tangan rakyat, hal ini menandakan bahwa Indonesia tidak akan

dapat melepaskan diri dari sistem demokrasi yang dijalankan oleh beragam

partai politik yang ada.

Seorang POLRI juga dilarang untuk terlibat dalam kegiatan politik

untuk menjaga kenetralan seorang penegak hukum dan penjaga keamanan

dan pertahanan negara. Hal tersebut diatur dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia menyatakan, bahwa “Kepolisian Negara republic Indonesia

bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada

kegiatan politik praktis”. Namun, pada kenyataannya baru-baru ini seorang

perwira POLRI aktif terlibat dalam kegiatan politik dengan masuk ke dalam

sistem pemerintahan daerah, dengan menjadi seorang Pelaksana Tugas

Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2018.5 Padahal dalam tugas dan

kewenangannya tidak ada satupun hal yang berkaitan yang dapat dijadikan

alasan seorang perwira POLRI aktif menduduki jabatan di pemerintahan,

5 Rofiq Hidayat, Polisi Jabat Plt Gubernur, ini UU yang Potensi Dilanggar Mendagri,

hukum online. http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5a6ee439b8d04/polisi-jabat-plt-gubernur--ini-uu-yang-potensi-dilanggar-mendagri, 2018/09/15.

Page 15: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

5

kecuali ia mengundurkan diri dari dinas kepolisian atau telah pensiun. Hal

tersebut diatur dalam Pasal 28 Ayat (3) UU Kepolisan Negara Republik

Indonesia menyatakan, bahwa “Anggota Kepolisian Negara Republik

Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan

diri atau pension dari dinas kepolisian.”

Dalam meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan seorang POLRI

dirasa tidak perlu terjun langsung dalam pemerintahan, khususnya

pemerintahan daerah, seorang POLRI cukup fokus pada fungsi dan tugasnya

untuk menjaga keamanan dan pertahanan Negara Republik Indonesia, jika

seorang POLRI aktif menduduki jabatan di pemerintahan akan menimbulkan

konflik dan meruntuhkan keamanan serta pertahanan negara Indonesia itu

sendiri. Kedudukan POLRI dan Menteri merupakan sama-sama berada di

bawah Presiden, dalam artian memiliki kedudukan yang setara, sehingga

apabila POLRI diberi mandat oleh Mendagri untuk menjadi Pelaksana Tugas

Gubernur akan membuat posisi polri berada di bawah kuasa menteri.

Selama ini, konsep pelaksana tugas Kepala Daerah merujuk kepada

SK Kepala BKN No. K.26-20/V.24.25/99 tanggal 10 Desember 2001 tentang

Tata Cara Pengangkatan PNS sebagai Pelaksana Tugas. Legalitas

pengangkatan Pelaksana Tugas dapat dikaji dari tugas dan kewenangan suatu

institusi, di mana dalam hal ini peneliti dapat mengkaji fungsi dan

kewenangan dari pihak terkait, diantaranya Kementerian Dalam Negeri,

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Daerah, Pemerintahan Daerah

terkait, dan Pegawai Negeri Sipil untuk dapat mengetahui institusi mana yang

berhak dan memiliki fungsi dan kewenangan serupa, sehingga dapat menjadi

pelaksana tugas daripada Kepala Daerah tersebut.6

Di Indonesia sendiri pegawai negeri dibagi menjadi tiga golongan,

yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota Tentara Nasional Indonesia, dan

anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. PNS terbagi menjadi dua,

6 Fransica Adelina, Legalitas Penunjukan Pejabat POLRI menjadi Pelaksana Tugas

Gubernur pada Masa Kampanye Pemilihan Kepala Daerah. Jurnal Legislasi Nasional, Vol 15 No. 01, Maret 2018, h.13.

Page 16: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

6

yaitu PNS Pusat dan PNS daerah, PNS inilah yang kemudian menjadi

pegawai yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan,

termasuk PNS daerah yang menjalankan penyelenggaraan pemerintahan

daerah.7

Pemilihan umum untuk memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden

serta Pemilihan Umum Kepala Daerah untuk memilih seorang Gubernur saat

ini selalu menjadi hal yang menarik, rakyat Indonesia selalu antusias dalam

menghadapi pesta demokrasi yang tentu tidak setiap tahun diselenggarakan

ini. Proses pemilu atau pemilukada yang panjang biasanya menyebaban

konflik-konflik yang sulit untuk diakhiri, salah satunya konflik mengenai

kekosongan kekuasaan saat kepala daerah sedang berada dalam proses

pemilihan umum. Selama proses pemilihan seorang pemimpin, maka akan

terjadi suatu kekosongan kekuasaan yang berakibat pada pemerintahan. Hal

tersebut mengharuskan Menteri Dalam Negeri untuk sigap mempersiapkan

seseorang untuk menjadi Pelaksana Tugas untuk menempati jabatan tinggi

Negara ataupun daerah agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan.

Untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan khususnya

pemerintahan daerah agar efesiensi dan efektifitas perlu ditingkatkannya

perhatian terhadap aspek-aspek hubungan pemerintahan, hubungan

pemerintahan pusat dan daerah harus terjalin dengan baik, khususnya pada

potensi dan keanekaragaman daerah, peluang serta tantangan persaingan

global yang semakin kuat menjadikan pemerintah pusat dirasa perlu

memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada daerah juga pemberian hak

dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan system

penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk terciptanya Negara kesatuan

yang lebih baik.8

7 Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, (Jawa Timur: Bayumedia

Publishing, 2007, cet. kedua), h. 150.

8 HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia (Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah), (Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2008), h. 37.

Page 17: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

7

Peran Menteri Dalam Negeri untuk menentukan seorang Pelaksana

Tugas Kepala Daerah Jawa Barat Tahun 2018 berhasil mencuri perhatian

publik, di mana Menteri Dalam Negeri menunjuk dan mengangkat seorang

POLRI aktif untuk menduduki jabatan Pelaksana Tugas Gubernur. Keputusan

yang diambil menuai beragam reaksi dari berbagai kalangan, mengingat

seorang polri merupakan pihak yang berwenang dalam menjaga keamanan

dan pertahanan Negara, bukan untuk terjun dalam dunia pemerintahan. Dalam

hal kekosongan jabatan gubernur, maka Kementerian Dalam Negeri sebagai

pihak yang memiliki wewenang mengangkat pejabat gubernur yang berasal

dari pimpinan tinggi madya sampai dilantiknya gubernur selanjutnya.

“Pasal 201 Ayat (10) Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014

Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota Menjadi

Undang-Undang yang menyatakan, bahwa “untuk mengisi

kekosongan jabatan gubernur, diangkat pejabat gubernur

yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai

dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.”

Terdapat pada Penjelasan Pasal 19 Ayat (1) huruf b Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya

disebut ASN, bahwa yang dimaksud jabatan pimpinan tinggi madya meliputi

sekretaris jendral kementrian, sekretaris utama, sekretaris jendral

kesekretariatan lembaga Negara, sekretaris jenderal lembaga nonstructural,

direktrur jenderal, deputi, inspektur jenderal inspektur utama, kepala badan,

staf ahli menteri Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil

Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretaris Dewan Pertimbangan

Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara. Jabatan

pelaksana gubernur memang seharusnya berasal dari pimpinan tinggi madya,

Page 18: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

8

yaitu berasal dari kalangan sipil seperti yang diatur dalam Pasal 201 ayat (10)

UU Pilkada.

“Pasal 201 Ayat (10) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016

Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Wali kota Menjadi Undang-Undang yang

menyatakan, bahwa “untuk mengisi kekosongan jabatan

gubernur, diangkat pejabat gubernur yang berasal dari jabatan

pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Jabatan pemerintahan yang diisi oleh aparatatur negara dapat

menimbulkan berbagai konflik, salah satunya menghilangkan kepercayaan

masyarakat terhadap netralitas Kepolisan Negara Republik Indonesia. Dapat

diketahui bersama, bahwa tugas kepolisian ialah menjaga keamanan dan

ketertiban negara, bukan untuk menjalankan roda pemerintahan.

Dari uraian di atas, maka bagi peneliti ada suatu hal yang menarik

hingga membuat saya tertarik untuk membahas dan menggali lebih dalam

tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dengan judul: “LEGALITAS

PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

PELAKSANA TUGAS GUBERNUR (Studi Kasus Pengangkatan M

Iriawan sebagai Plt. Gubernur Provinsi Jawa Barat Tahun 2018)”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi masalah

a. Pengangkatan M Iriawan sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Jawa

Barat Tahun 2018.

b. Kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam Pengangkatan Pelaksana

Tugas Gubernur.

Page 19: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

9

c. Dasar hukum perwira POLRI aktif yang menduduki jabatan

pelaksana tugas Gubernur.

2. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan masalah di atas, maka peneliti

membatasi hanya pada Pengangkatan M Iriawan yang menjadi Pelaksana

Tugas Gubernur di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan batasan masalah di

atas, perumusan masalah yang telah ditentukan peneliti, yaitu:

“Pengangkatan seorang POLRI Aktif menjadi Pelaksana Tugas Kepala

Daerah oleh Menteri Dalam Negeri”. Untuk mempertegas perumusan

masalah tersebut peneliti membuat perincian pertanyaan penelitian

sebagai berikut:

a. Bagaimana Legalitas pengangkatan M Iriawan sebagai Pelaksana

Tugas Gubernur di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018?

b. Bagaimana Hubungan Kementerian Dalam Negeri dengan

Kepolisian Republik Indonesia dalam Sistem Pemerintahan

Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian ini, yaitu:

a. Untuk mengetahui Legalitas pengangkatan M Iriawan sebagai

Pelaksana Tugas Gubernur di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018.

b. Untuk mengetahui hubungan Kementerian Dalam Negeri dengan

Kepolisian Republik Indonesia dalam system Pemerintahan

Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk:

Page 20: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

10

a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan

penelitian lanjutan bagi mahasiswa atau peneliti yang akan

membahas persoalan yang serupa.

b. Secara praktis, penelitian ini sebagai bahan pertimbangan kepada

Kementerian Dalam Negeri dan Kepolisian Republik Indonesia

dalam Legalitas Pengangkatan Perwira POLRI Aktif sebagai

Pelaksana Tugas Gubernur.

c. Secara akademis, penelitian ini sebagai sumbangan pemikiran dan

sekaligus sebagai bahan tambahan referensi di Perpustakaan Fakultas

dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian

Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat

memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan

skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka

diterapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian normatif, penelitian

normatif merupakan penelitian yang berfokus untuk mengkaji penerapan

suatu norma hukum.9 Jenis penelitian yang menekankan pada aspek

pemahaman suatu norma hukum yang terdapat pada peraturan

perundang-perundangan serta norma-norma yang berkembang di

masyarakat.10 Jenis penelitian ini tidak membutuhkan sampel juga

populasi dalam melakukan penelitian.

9 Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia

Publishing, 2008, cet. keempat), h. 294.

10 Sugiyono, Jenis Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2005) h. 46.

Page 21: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

11

Penelitian ini bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang

membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dengan ilmu hukum11. Metode

penelitian normatif yang disebut juga sebagai penelitian doktrinal

(doctrinal research) yang merupakan suatu penelitian yang menganalisis

hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book),

maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan

(law it is decided by the judge through judicial process).12 Penelitian

hukum normatif ini merupakan suatu prosedur peneliian ilmiah untuk

menemukan suatu kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari

sisi normatifnya.13 Dalam penelitian ini, penelitian hukum normatif

didasarkan pada data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah

spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.14

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan di dalam penelitian hukum ini menggunakan

pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan

Kasus (Case Approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan

dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi

yang bersangkut paut dengan isu hukum yang diteliti. Penelitian dengan

pendekatan perundang-undangan ini akan membuka kesempatan bagi

peneliti untuk mempelajari terkait konsistensi dan kesesuaian aturan

antara satu undnag-undang dengan undang-undang lainnya atau antara

undnag-undang dengan Undang-Undang Dasar atau regulasi lainnya.15

Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang

11 Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 24.

12 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 118.

13 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif,… h. 57.

14 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 3.

15 Peter Muhmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 93-94.

Page 22: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

12

Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, juga terdapat undnag-

undang lainnya yang berkaitan.

Sedangkan pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah

kasus-kasus yang sedang dihadapi dan telah menjadi putusan yang

mempunyai hukum tetap. Beberapa kasus ditelaah untuk referensi isu

hukum.16

3. Sumber Hukum

Penelitian ini menggunakan sumber penelitian yang berupa data

sekunder. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakupi:17

a. Bahan Hukum Primer, yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan

ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Bahan hukum primer dalam

tulisan ini di antaranya: Undang-Undnag Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014

Tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan

Daerah (OTODA 2015), Udang-Undang Nomor 7 Tahun 2017

Tentang Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut

UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah).

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu dokumen yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil

16 Peter Muhmud Marzuki, Penelitian Hukum, … h. 94.

17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010, Cet. XII) , h. 13.

Page 23: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

13

penelitian, jurnal, hasil karya dari kalangan hukum, karya tulis

ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan

persoalan di atas.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan

seterusnya.

4. Metode Pengumpulan data

Penulisan skripsi ini menggunakan metode pengumpulan data

dengan cara studi pustaka. Studi ini menggunakan pengumpulan data

sekunder, yaitu dilakukan dengan cara mengumpulkan, membaca,

mengkaji, menelaah, menganalisis, serta mengkritisi keabsahan perwira

polri aktif sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Jawa Barat Tahun 2018.

Selain itu, peneliti juga menggunakan pendapat para pakar, doktrin,

jurnal, dan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan peneliti lain yang

sejenis dan terkait dengan tema penelitian skripsi ini dalam

menyelesaikan penelitian ini.

5. Pengolahan dan Analisis Data

Bagi penelitian hukum normative yang hanya mengenal data

sekunder, yang terdiri dari: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,

dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan

hukum tersebut tidak dapat melepaskan diri dari berbagai penafsiran

yang dikenal dalam ilmu hukum.18

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian

dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode

deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan, dan membandingkan,

sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai

sumber yang berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga

18 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum…, h. 163.

Page 24: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

14

diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah

dirumuskan.19 Untuk mengambil kesimpulan di dalam skripsi ini

dilakukan dengan pendekatan deduktif.

Data yang didapat dari penelitian studi dokumen ini disusun secara

sistematik untuk memperoleh deskripsi tentang Legalitas Pengangkatan

Perwira POLRI Aktif sebagai Pelaksana Tugas Gubernur. Analisis data

dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif yang tidak membutuhkan

sampel dan populasi, yaitu dengan cara penelaahan kepustakaan,

penelaahan terhadap literatur atau bahan pustaka yang terkait dengan

tema skripsi ini, menghubungkan dengan peraturan-peraturan yang

berlaku, serta menghubungkan dengan pendapat pakar hukum.

6. Metode Penulisan

Metode penulisan skripsi ini mengacu pada “Pedoman Penulisan

Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, tahun 2017”.

E. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun dan terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab

terdiri atas beberapa sub-sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan

cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-

masing bab serta pokok pembahasannya sebagai berikut:

Bab satu, bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain

memuat latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian,

sistematika penulisan.

Bab dua, dalam bab ini membahas kajian pustaka yang berisi teori-

teori yang digunakan untuk menganalisis dan menginterpretasikan data

19 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 1997), h. 71.

Page 25: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

15

penelitian. Kajian Pustaka ini diawali dengan pemaparan kerangka konsep

yang kemudian diikuti dengan pemaparan dari kerangka teori. Kajian pustaka

yang baik akan membantu peneliti dalam merumuskan hipotesis dari

penelitian tersebut. Selain itu, juga terdapat review (tinjauan ulang) hasil studi

terdahulu pada sub bab kedua dari Bab II, di mana peneliti menelusuri dan

mendeskripsikan hasil penelusurannya terhadap penelitian terdahulu yang

serumpun.

Bab tiga, dalam bab ini menyajikan data penelitian. Penyajian data

berupa deskripsi data yang berkenaan dengan variable yang diteliti secara

objektif. Dalam bab ini juga dapat mendeskripsikan profil lembaga terkait dan

kondisi daerah penelitian terkait, menjelaskan metode penelitian jika memang

dibutuhkan.

Bab empat, dalam bab ini membahas tentang analisis dan interpretasi

temuan peneliti. Analisis data penelitian mencakup empat aspek, yaitu:

mendeskripsikan, mengelompokkan, atau mengkategorisasi, menghubungkan

bagian tertentu dari data dengan bagian lainnya, serta membandingkan data

dengan data lainnya. Analisis data dimaksudkan untuk menjawab masalah

penelitian, yang diantaranya menganalisis serta menjawab legalitas

pengangkatan POLRI aktif menjadi Plt Gubernur dan kedudukan POLRI

dalam system pemerintahan Indonesia. Bab ini merupakan bab inti dari

seluruh bab yang ada di dalam skripsi.

Sedangkan yang terakhir adalah bab lima, bab ini merupakan bab

penutup yang berisi kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil

penelitian dan dilengkapi juga dengan rekomendasi. Kesimpulan yang bukan

pernyataan ulang, melainkan jawaban terhadap inti masalah penelitian

berdasarkan data yang diperoleh. Kesimpulan harus memperlihatkan

konsistensi kaitan antara rumusan masalah, tujuan penelitian, dan hasil

analisis. Selain itu, bab ini juga menjelaskan keterbatasan dan kekurangan

penelitian yang telah dilakukan.

Page 26: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual

1. Legalitas

Legalitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti

perihal (keadaan) sah; keabsahan.1 Sama halnya juga disebutkan dalam

Kamus Hukum, legalitas berarti kelegalan; perihal atau keadaan sah.

Artinya suatu keadaan yang dilaksanakan itu dianggap sah apabila telah

sesuai dengan aturan.

Asas legalitas merupakan Gagasan Montesquieu, gagasan ini membuat

para ahli mengadopsi gagasan tersebut, gagasan yang menyatakan, bahwa

apa yang tercantum di dalam teks hukum (undang-undang) atau apa yag

telah ditentukan oleh legislatif, tidak boleh ditentukan lebih dari itu.2

Artinya, tidak ada suatu aturan di luar dari apa yang telah ditentukan oleh

undang-undang. Pada intinya asas legalitas ini melaksanakan apa yang

diatur di dalam undang-undang, tidak di luar undang-undang. Apa yang

tidak tercatum, maka tidak dapat dijalankan oleh pemerintah ataupun

penegak hukum, tujuannya jelas untuk melindungi masyarakat dari

kesewenang-wenangan pemerintah. Sebagai negara hukum,

mengantisipasi suatu tindakan yang dapat merugikan masyarakat haruslah

dilakukan untuk mencegah segala sesuatu yang dapat menghancurkan

bangsa dan negara.

Legalitas tidak terlepas dari sebuah penetapan. Suatu hal yang

ditetapkan akan terlihat memiliki suatu legalitas atau tidak. Penetapan

dalam hal ini merupakan suatu penetapan yang dikeluarkan oleh pihak

yang berwenang agar suatu penetapan tersebut memiliki label yang sah

atau tidak sahnya suatu penetapan tersebut.

1 Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, Badan Pengembangan dan Pembinaan

Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

2 E. Fernando M. Manullang, Legisme, Legalitas, dan Kepastian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group), h. 100.

Page 27: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

17

Hukum lahir sebagai batasan kekuasaan, apabila suatu keputusan

pemerintah tidak berdasarkan dengan aturan yang telah ditentukan atau

melebihi dari apa yang telah ditentukan, maka tindakan pemerintah yang

mengeluarkan keputusan tersebut merupakan cacat hukum (onrechtmatig)

atau tidak absah.3

Keputusan yang sah merupakan suatu keputusan dari perbuatan

pemerintah yang dapat diterima sebagai suatu bagian dari ketertiban

hukum. Apabila dapat mempengaruhi pergaulan hokum, maka dapat

memiliki kekuatan hokum. Menurut A.M. Donner, suatu keputusan

administrasi Negara meskipun memiliki kekurangan yuridis masih dapat

berlaku sebagai keputusan yang sah sampai waktu pembatalannya.4 Selain

itu, suatu keputusan yang dianggap sah menurut hokum apabila

memenuhi syarat materil dan syarat formil, yang tentunya dapat diterima

sebagai bagian dari hokum atau tidak bertentangan dengan ketentuan

hokum yang berlaku.

Kuntjoro Purbopranoto menyatakan, bahwa syarat materiil dan formil

suatu keputusan ialah sebagai berikut:

1) Syarat materil, yaitu:

a. Yang membuat keputusan harus pihak yang berwenang,

b. Tidak boleh adanya kekurangan yuridis,

c. Keputusan harus memperhatikan prosedur,

d. Isi dan tujuan dalam keputusan harus sesuai dengan yang ingin

dicapai dari keputusan tersebut.

2) Syarat formil, yaitu:

3 Syofyan Hadi dan Tomy Michael, Prinsip Keabsahan (Rechtmatigheid) dalam

Penetapan Keputusan Tata Usaha Negara, Jurnal Cita Hukum, Volume 5, Nomor 2, Desember 2017, h. 3.

4 Herman dan Hendry Julian Noor, Doktrin Tindakan Hukum Administrasi Negara Membuat Keputusan (Beschikking), Volume 3, Nomor 1, Februari 2017, h. 92-93.

Page 28: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

18

a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan

dibentuknya keputusan dan berhubungan dengan cara dibuatnya

keputusan tersebut,

b. Diberi bentuk yang telah ditentukan,

c. Syarat-syarat dengan pelaksanaan keputusan terpenuhi,

d. Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hak-hak yang

menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan tersebut. Pasal 53 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun

2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan, bahwa suatu

keputusan dapat dinyatakan tidak sah apabila: keputusan tersebut

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau

keputusan tersebut bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan

yang baik.

Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik tersebut menurut Pasal

10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi

Pemerintahan diantaranya:

a. kepastian hukum;

b. kemanfaatan;

c. ketidakberpihakan;

d. kecermatan;

e. tidak menyalahgunakan kewenangan;

f. keterbukaan;

g. kepentingan umum;

h. pelayanan yang baik.

Untuk menciptakan dan memelihara pemerintahan dan administrasi

Negara yang baik dan bersih, maka terdapat beberapa asas yang dapat

mempengaruhinya, yaitu:5

5 S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994),

h. 90-9.

Page 29: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

19

a. Asas mengenai prosedur atau asas pengambilan keputusan, apabila

melanggar secara otomatis keputusan yang bersangkutan batal seacra

hukum, tanpa memeriksa kasusnya.

1) Asas ini menyatakan, bahwa setiap orang yang terlibat dalam

penyusunan suatu keputusan tidak boleh mempengaruhi

terjadinya keputusan untuk menentukan kepentingan pribadi di

dalam keputusan tersebut, baik secara langsung maupun tidak

langsung.

2) Asas ini menyatakan, bahwa keputusan yang dapat merugikan

hak-hak sesorang warga Negara tidak boleh diambil sebelum

memberi kesempatan kepada masyarakat untuk membela

kepentingannya.

3) Asas ini menyatakan, bahwa pertimbangan dari keputusan wajib

cocok dengan atau dapat membenarkan penetapan daripada

keputusan tersebut.

b. Asas mengenai kebenaran dari fakta yang dipakai sebagai dasar untuk

pembuatan keputusannya.

1) Asas larangan kesewenang-wenangan;6

2) Asas larangan detournement de pouvoir (penyalahgunaan

wewenang);7

3) Asas kepastian hukum;8

4) Asas larangan melakukan diskriminasi hukum;9

6 Suatu perbuatan atau keputusan administrasi Negara yang tidak mempertimbangkan

factor-faktor secara keseluruhan yang relevan dengan kasus yang bersangkutan secara lengkap dan wajar, sehingga Nampak adanya ketimpangan.

7 Detournement de pouvoir atau penyalahgunaan wewenang merupakan suatu wewenang yang oleh pejabat yang bersangkutan dipergunakan untuk tujuan yang bertentangan atau menyimpang dari apa yang berlaku dan sudah ditetapkan sebellumnya oleh undang-undang yang bersangkutan.

8 Asas kepastian hukum merupakan suatu keputusan pejabat administrasi negara yang tidak boleh menimbulkan keguncangan hukum atau status hukum.

Page 30: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

20

5) Asas batal karena kecerobohan pejabat yang bersangkutan.10

Asas-asas umum pemerintahan yang baik memang harus dijunjung

tinggi guna terciptanya negara yang sesuai dengan aturan perundnag-

undangan. Kebersihan dari pemerintahan akan tercapai, serta keputusan-

keputusan yang dikeluarkan pejabat yang berwenang tidak akan merugikan

pihak mana pun khusunya warga negara.

Keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri yang

mengangkat M Iriawan sebagai perwira polri aktif sebagai Pelakasana

Tugas Gubernur merupakan suatu penetapan atau keputusan administrasi

Negara. Penetapan atau yang dapat juga disebut beschikking merupakan

perbuatan hukum sepihak yang bersifat administrasi negara, dikeluarkan

oleh pejabat atau instansi pemerintah yang berwenang.11 Sifat dari

keputusan administrasi negara adalah individual, konkrit, dan final.

Dilihat dari asas legalitas, memang tidak ada peraturan atau undang-

undang yang secara jelas dan tegas memberikan pernyataan terkait

kepolisian yang masuk ke dalam ranah pemerintahan. Namun, aturan terkait

pengangkatan Aparatur Sipil Negara diatur di dalam Undang-Undang

tertentu yang terkait.

2. Pengangkatan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur

Gubernur merupakan seorang pemimpin daerah tingkat provinsi

yang melaksanakan tugas untuk menjalankan roda pemerintahan di

provinsi, gubernur dipilih oleh rakyat sebagai bentuk pelaksana demokrasi

langsung di Indonesia. Pemilihan Kepala Daerah atau yang biasa disebut

9 Asas larangan diskriminasi hukum merupakan suatu keputusan pejabat administrasi

negara yang tidak mempertimbangkan dampak keseluruhan dari keputusan yang dikeluarkannya, sehingga terdapat perbedaan perlakuan terhadap sesama warga negara.

10 Apabila seorang pejabat administrasi Negara telah mengambil keputusan dengan ceroboh dan kurang teliti dalam mempertimbangkan faktor-faktor yang dikemukakan oleh masyarakat, yang kemudian menguntungkan dirinya dan merugikan masyrakat yang bersangkutan.

11 S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara,… h. 94.

Page 31: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

21

Pilkada adalah suatu proses pemilihan gubernur, bupati, atau walikota

yang menjadi sarana pelaksana kedaulatan rakyat di provinsi, kabupaten,

atau kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.12

Kepala Daerah memiliki masa jabatan selama 5 (lima) tahun

terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam

jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan, hal tersebut tercantum

dalam Pasal 60 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011

Tentang Pemerintahan Daerah. Ketika Kepala Daerah tidak lagi dapat

memenuhi tugasnya sebagai Kepala Daerah, maka Wakil Kepala Daerah

berhak menggantikan Kepala Daerah untuk menjalankan tugas

kedaerahannya. Namun, ketika Kepala Daerah telah berhenti atau cuti

karena suatu hal, maka DPRD wajib mengusulkan pengangkatan

Pelaksana Tugas Kepala Daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam

Negeri.13

Gubernur dipilih melalui Pemilihan Umum yang melibatkan

masyarakat secara langsung untuk menentukan pemimpin daerahnya.

Begitu juga dengan pemberhentian atau pemecatan seorang Gubernur

harus digantikan dengan pihak yang kompeten dan melalui cara

demokrasi dipilih atau diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

sebagai bentuk demokrasi tidak langsung.

Kewenangan dalam pengangkatan Pelaksana Tugas Gubernur

berada pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan

mengusulkannya kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Namun,

dalam beberapa kasus pergantian Gubernur tidak melalui usulan dari

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, melainkan keputusan langsung dari

Menteri Dalam Negeri yang disetujui oleh Presiden, sehingga Pelaksana

12 Ani Sri Rahayu, Pengantar Pemerintahan Daerah Kajian Teori, Hukum, dan

Aplikasinya…, h. 88.

13 Aries Djaenuri & Enceng, Sistem Pemerintahan Daerah, (Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2018, cet. Kedua, Ed.2), h. 6.8.

Page 32: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

22

Tugas Gubernur berasal dari luar jajaran pemerintahan daerah itu sendiri

ataupun berasal dari luar jajaran Kementerian Dalam Negeri. Hal tersebut

akan menimbulkan kecemburuan yang berujung pada konflk, terlebih jika

Pelaksana Tugas Gubernur berasal dari pihak yang memang dilarang oleh

Peraturan Perundang-undangan atau pihak yang tidak memenuhi kriteria

menjadi Pelaksana Tugas Gubernur sesuai dengan kompetensinya.

Pelaksana Tugas (Plt) merupakan jabatan yang bersifat sementara

yang menempati posisi jabatan tertentu menggantikan posisi pejabat

definitif yang berhalangan tetap atau terkena peraturan hukum.14 Tugas

dari seorang Pelaksana Tugas Gubernur adalah menggantikan Gubernur

sebelumnya untuk sementara waktu agar tidak terjadinya kekosongan

pimpinan.

Kasus pengangkatan perwira polri aktif sebagai Plt. Gubernur ini

terjadi kekeliruan, di mana Menteri Dalam Negeri mengangkat seorang

perwira polri aktif menjadi Plt. Gubernur yang bersifat sementara, padahal

dalam Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia

menyatakan, bahwa “anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat

menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun

dari dinas kepolisian”, Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang Tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia. Meskipun penjelasan pasal tersebut terdapat

pengecualian, di mana yang dimaksud dengan “jabatan di luar kepolisian”

adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian

atau tidak berdasarkan penugasan dari kapolri. Artinya, selama angota

kepolisian ditugaskan oleh Kapolri untuk menduduki jabatan di

pemerintahan atau jabatan lainnya di luar jabatan kepeolisian, maka

jabatan itu termasuk ke dalam jabatan kepolisian. Sebab, Mendagri

tidaklah serta merta menunjuk anggota polri, tetapi Mendagri melalui

Kapolri untuk menentukan siapa yang memiliki kompetensi untuk

menjadi Plt. Gubernur.

14 https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt56fcad31a33f9/bahasa-hukum--pelaksana-

tugas--pelaksana-harian--dan-pejabat/, diakses pada:8 Februari 2019, pukul 21.23 WIB.

Page 33: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

23

Pada dasarnya, adanya Plt di daerah akan menguntungkan

pemerintah pusat, sebab plt ini akan membantu tugas pemerintah pusat

dan bertanggung jawab di daerah untuk menjalankan roda pemerintahan

pusat di daerah, maka tidak menutup kemungkinan dengan banyaknya plt

yang tersebar diberbagai daerah akan membawa kepentingan politik pusat

ke daerah melalui plt yang diangkatnya.15 Dengan mengangkat polri ke

dalam pemerintahan sebagai Plt. Gubernur, maka akan mempermudah

para pihak di instansi pemerintah pusat dalam menjalankan kepentingan

politiknya di setiap daerah, tidak ada penjaminan yang jelas terkait

netralitas seorang polri untuk terhindar dari pengaruh politik ketika ia

terjun langsung ke ranah pemerintahan.

Polri memiliki tugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban

masyarakat, memberikan perlindungan, pengayoman, juga pelayanan

kepada masyarakat. Seperti yang tercantum di dalam Pasal 13 Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisisan Negara Republik Indonesia

menyatakan, bahwa “Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia

adalah: (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, (b) menegakkan

hukum, (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada

masyarakat. Namun, bukan berarti seorang polri harus menjadi bagian

dalam pemerintahan dalam mengontrol hal tersebut, sebab ranah

pemerintahan merupakan jabatan politik dan Undang-Undang Kepolisian

Negara Republik Indonesia tersebut jelas memberi peringatan terhadap

polri yang harus bersikap netral dan tidak terlibat dalam kegiatan politik

pratis, seperti yang tercantum dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Kepolisian Negara

Republik Indonesia menyatakan, bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia

bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan

politik praktis”. Setiap lembaga dalam pemerintahan Indonesia memiliki

kompetensinya masing-masing, ketika keamanan dijadikan alasan oleh

15 Danang Alamsah Deniarnoor, Problematika Pelaksana Tugas (PLT) dalam Masa

Transisi Pemerintahan (Pra dan Pasca Pilkada Serentak), CosmoGov, Volume1 Nomor.2, Oktober 2015, h. 332.

Page 34: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

24

Mendagri yang mengangkat seorang polri aktif menjadi Plt. Gubernur lalu

bagaimana dengan tugas serta kewenangan lainnya sebagai seorang

Gubernur yang harus ia lakukan di luar kompetensinya sebagai seorang

polri.

Kasus pengangkatan perwira polri aktif sebagai Pelaksana Tugas

Gubernur ini menuai beragam reaksi dari berbagai kalangan, tidak sedikit

pendapat yang menjatuhkan Mendagri sebagai pihak yang berwenang

dalam penunjukan Plt. Gubernur, meskipun pengangkatan Perwira polri

aktif ini benar tidak melanggar peraturan atau undang-undang kepolisian

yang berlaku. Dengan diangkatnya perwira polri aktif sebagai Plt.

Gubernur mengakibatkan konflik baru dilingkungan masyarakat. Hal ini

lah yang menjadikan pengangkatan perwira polri aktif sebagai Plt.

Gubernur menjadi polemik.

B. Kerangka Teori

1. Negara Hukum

Konstitusi Republik Indonesia mengakui, bahwa Indonesia

merupakan Negara Hukum, Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia yang selanjutnya disebut UUD NRI 1945 menyatakan,

bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pernyataan tersebut telah

memberikan sebuah dasar hukum yang jelas terhadap status Negara

Republik Indonesia. Istilah Negara hukum ini berasal dari dua kata, yaitu

Negara dan Hukum. Di mana kata Negara memiliki pelbagai arti yang

salah satunya terdapat di dalam buku L.J. Apeldoorn yang berjudul

Inleiding toot de studie van het Nederlandse Recht (Pengantar Ilmu

Hukum Belanda), bahwa Negara berarti “suatu wilayah tertentu”, istilah

ini dipakai untuk menyatakan suatu daerah yang di dalamnya terdapat

diam suatu bangsa di bawah kekuasaan tertinggi.16

16 C.S.T. Kansil, Jilid I Pengantar Ilmu Hukum Semester Ganjil, (Jakarta: Balai Pustaka,

1999, cet. Kesepuluh), h. 173.

Page 35: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

25

Sedangkan kata Hukum itu sendiri menurut P. Borst dalam buku R.

Soeroso yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum berarti keseluruhan

peratuan yang mengatur tentang kelakuan atau perbuatan manusia di

dalam masyarakat, yang pelaksanaannya bersifat memaksa dan bertujuan

untuk mendapatkan keadilan.17

Dari kedua istilah tersebut dapat disimpulkan, bahwa Negara

hukum merupakan Negara yang dibatasi oleh hukum setiap kekuasaanya,

baik kekuasaan para penguasa Negara maupun para warga negaranya

dalam menjalankan hidup bermasyarakat. Istilah Negara hukum ini

mengandung artian, bahwa untuk membatasi kekuasaan para penguasa

negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya, maka hukum hadir

untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan tersebut. Hukum haruslah

dijadikan sebuah alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, bukan

untuk dijadikan alat kekuasaan oleh pihak yang merasa telah berkuasa.

Ciri Negara hukum yang diterapkan di Indonesia, yaitu: adanya

konstitusi atau UUD 1945 yang memuat ketentuan-ketentuan tertulis yang

mengikat hubungan antara rakyat dan pemerintah, adanya pemisah

kekuasaan antar lembaga Negara, dan setiap tindakan di lingkupan

Negara Indonesia harus berdasarkan atas aturan atau undang-undang yang

berlaku dan terjaminnya hak dasar serta hak-hak kebebasan rakyat.18

Indonesia sebagai Negara hukum harus memiliki pembatasan oleh

hukum, artinya segala sikap, tingkah laku, serta perbuatan para penguasa

negara juga para warga negaranya harus berdasarkan atas hukum dan

konstitusi yang berlaku, sehingga warga negara dapat dilindungi dari

tindakan kesewenang-wenangan para penguasa negara dan semua unsur

yang merupakan ciri Negara hukum harus terpenuhi. Dengan demikian,

cita-cita Negara dapat terwujud sebagai negara kesajahteraan (welfare

17 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013, cet. Ketiga belas), h. 27.

18 Haposan Siallagan, Penerapan Prinsip Negara Hukum di Indonesia, Sosiohumaniora, Volume 18 Nomor 2, Juli 2016, h. 134.

Page 36: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

26

state) sesuai dengan yang tercantum dalam alinea keempat pembukaan

UUD 1945 menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.19

2. Pemisahan Kekuasaan

Salah satu ciri Negara hukum rechtsstaat (dalam bahasa Belanda

dan jerman) dan rule of law (dalam bahasa Inggris). Pembatasan

kekuasaan (limitation of power) berkaitan erat dengan pemisahan

kekuasaan (separation of power) dan pembagian kekuasaan (division of

power), secara umum istilah tersebut berasal dari Montesquieu dengan

trias politica-nya. Istilah “pemisahan kekuasaan” ini dalam teori trias

politica atau tiga fungsi kekuasaan menurut Montesquieu memiliki arti,

bahwa harus dibedakannya dan dipisahkan secara structural organ-organ

pemerintahan dan tidak saling mencampuri urusan masing-masing organ

tersebut.20 Sedangkan “pembagian kekuasaan” merupakan kekuasaan

yang dibagi dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan, lembaga

legislatif yang memiliki tugas membuat undang-undang, lembaga yudiatif

mengawasi undang-undang, dan lembaga eksekutif yang bertugas

menjalankan perintah undang-undang sesuai dengan kewenangannya.

Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 Indonesia merupakan Negara yang menggunakan

pembagian kekuasaan, hal tersebut tercermin di dalam UUD NRI Tahun

1945 yang menggambarkan sistem kerjasama antara satu lembaga negara

dengan lembaga Negara lainnya. Dalam konstitusi Negara Indonesia

menyebutkan, bahwa Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-

Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI),

Pasal 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menyebutkan, bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang

kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Artinya kerjasama antar lembaga ini

19 Lintje Anna Marpaung, Hukum Tata Negara Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Andi,

2018), h. 7.

20 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015, cet. Ketujuh 7), h. 285.

Page 37: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

27

jelas ada meskipun ada pula pemisahan antara kekuasaan di setiap

lembaga negara. Dalam Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945, bahwa Presiden

memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan

Mahkamah Agung. Jelas pula dalam Pasal 7a dan 7b UUD NRI Tahun

1945 menyebutkan, bahwa adanya kerjasama antara lembaga satu dengan

lembaga lainnya, yaitu kerjasama antara Dewan Perwakilan rakyat (DPR),

Mahkamah Konstitusi (MK), dan Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR)

dalam rangka proses pemberhentian Presiden.21

Pernyataan tersebut menandakan bahwa Indonesia dengan sistem

pembagian kekuasaannya memiliki kompetensi serta tugas dan fungsinya

masing-masing disetiap lembaga. Selain menerapkan system pembagian

kekuasaan, Indonesia juga dikenal dengan system perwakilannya, yang

ditandai dengan keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sifat dari perwakilan ini

disebut dengan perwakilan politik (political representation), apapun

fungsi yang dimiliki dari setiap lembaga di dalam masayarakat, jika ia

menduduki lembaga perwakilan dengan melalui pemilihan umum, maka

tetap disebut sebagai perwakilan politik.22 Oleh sebab itu, jabatan

gubernur merupakan jabatan politik sebab ia dipilih melalui pemilihan

umum, berbeda dengan jabatan Plt. Gubernur, ia disebut dengan jabatan

administratif yang diusulkan oleh DPRD melalui Mendagri untuk

disetujui oleh Presiden.

Menurut Friedman terdapat tiga elemen dari sistem hukum, yaitu

structure, substance, dan legal culture. Strukture merupakan lembaga-

lembaga yang berwenang untuk membuat dan melaksanakan undang-

undang. Kemudian substance, yaitu isi, materi, ataupun bentuk daripada

peraturan perundang-undangan tersebut. Selanjutnya, Legal culture, yaitu

21 Lintje Anna Marpaung, Hukum Tata Negara Indonesia…, h. 27-28.

22 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara,(Jakarta: PT Bumi Aksara, cet. Kedelapan, 2011) h. 149.

Page 38: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

28

sikap, kepercayaan, ataupun ide dan pikiran mereka terhadap hukum yang

berlaku. Struktur hukum yang baik tidak akan berjalan dengan baik tanpa

dibarengi dengan substance hukum yang baik pula, substance yang baik

juga tidak akan dapat berjalan baik tanpa adanya legal culture yang baik.

Pada dasarnya, ketiga elemen sistem hukum tersebut harus selalu saling

berinteraksi dan melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya masing-

masing.23 Sama halnya dengan pembagian kekuasaan yang diterapkan di

Indonesia, setiap lembaga kekuasaan harus saling berinteraksi dan

melaksanakan tugas serta fungsinya masing-masing untuk dapat

menjalankan roda pemerintahan dengan baik.

Pemilihan Plt. Gubernur haruslah memperhatikan tugas, fungsi, dan

kewenangan daripada peranan yang akan diberikan mandat untuk menjadi

Plt. Gubernur, tanpa harus menerobos fungsi daripada pihak yang terkait.

Selain itu, memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan,

rekam jejak jabatan, pendidikan dan latihan, integritas, dan persyaratan

lainnya yang berkaitan dengan tugas dan fungsi dari Plt. Gubernur juga

penting dilakukan. Inilah yang mengakibatkan tidak sedikit masyarakat

yang menentang Keputusan Mendagri untuk mengutus seorang perwira

polri aktif menjadi Plt. Gubernur.

3. Otonomi Daerah

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang memiliki

kekuasaan pada satu pusat pemerintahan, DKI Jakarta sebagai Ibu kota

negara. Adanya pemerintah pusat dan diterapkannya Otonomi Daerah di

Indonesia merupakan salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat secara merata. Pemerintahan pusat yang besar dan otonomi

daerah merupakan sepasang ketentuan yang harus berjalan dengan serasi,

meskipun keduanya sulit untuk diterapkan secara sempurna. Peningkatan

kekuasaan pemerintahan pusat yang terus berkembang akan semakin sulit

terkontrol yang mengakibatkan rusaknya tatanan negara yang akan

23 Teguh Prasetyo dan Abdul halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012), h. 312.

Page 39: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

29

berubah menjadi negara kesatuan yang tersentralistik dan otonomi daerah

yang diterapkan semakin besar pun akan memberika efek tidak baik

terhadap negara kesatuan yang akan mengakibatkan negara kesatuan

menjadi negara yang daerahnya berjalan sendiri-sendiri seperti halnya

negara bagian di dalam negara federal.24

Menurut Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

9 tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23

Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (OTODA 2015) menyatakan,

bahwa “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat dalam system Negara kesatuan

Republik Indonesia”. Urusan pemerintahan ialah di mana fungsi-fungsi

terkait pemeritahan menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau

susunan pemerintahan guna mengatur dan mengurus fungsi-fungsi yang

telah ditetapkan tersebut menjadi kewenangannya dalam menjalankan

pemerintahan dalam rangka melindungi, mengayomi, melayani,

memberdayakan, serta mensejahterakan rakyat.25

Menurut Ni’matul Huda, otonomi daerah merupakan tatanan

pemerintahan yang dengan cara-cara membagi tugas, tanggung jawab,

serta wewenang antara pusat dan daerah dalam mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan.26 Daerah diberikan kewenangan seluas-luasnya

sesuai dengan prinsip otonomi yang mengurus serta mengatur semua

urusan pemerintahan,27 di luar yang menjadi urusan pemerintahan pusat,

Pasal 10 UU Pemerintahan Daerah menyebutkan yang menjadi urusan

24 Armin. Hubungan Pemerintahan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Jurnal Ketatanegaraan. Volume 011. Oktober 2018, h. 139.

25 Ani Sri rahayu, Pengantar Pemerintahan Daerah Kajian Teori, Hukum, dan Aplikasinya…, h. 51-52.

26 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Nusa Media, 2009), hlm. 84.

27 Ahmad Farhan Hamid dan Saripudin. Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Ketatanegaraan. Volume 011. Oktober 2018. h. 110.

Page 40: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

30

pemerintahan pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan,

yustisi, moneter dan fiscal nasional, dan agama.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 18 Ayat (5) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa pemerintah daerah

provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota dapat mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintahannya atas asas otonomi daerah dan

tugas pembantuan. Asas otonomi daerah yang diberikan kepada

pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota adalah seluas-luasnya,

artinya pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki hak dan

wewennag untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahannya. Namun, dalam hal ini bukan berarti tidak ada batasan

terhadap ketentuan dalam mengatur dan mengurus urusan rumah

tangganya sendiri. Nasroen berpendapat, bahwa otonomi daerah yang

seluas-luasnya bukanlah memberikan kekuasaan daerah tanpa batasan

dalam menjalankan urusan rumah tangganya sendiri. Sebab, otonomi

daerah dilaksankaan untuk mendukung persatuan dan kemajuan Negara

menjadi Negara yang lebih baik, bukan untuk memberikan keretakan atau

pun kehancuran terhadap Negara kesatuan Republik Indonesia.28

Pemerintah Negara memiliki makna yang sama dengan penyelenggara

Negara. Penyelenggara Negara menurut UUD NRI 1945 meliputi

penyelenggaraan Negara dalam berbagai bidang pemerintahan. Dalam arti

luas penyelenggaraan Negara meliputi bidang eksekutif, legislatif, dan

yudikatif. Sebaliknya penyelenggara Negara dalam arti sempit meliputi

pemerintah eksekutif.29

Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia masih terdapat ada sekat

anatr pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Dalam konteks

kewenangan, pelaksanaan kebijakan otonomi daerah belum sepenuhnya

28 Yusnani Hasyimzoem, Hukum Pemerintahan Daerah, (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2017), h. 16.

29 Ani Sri Rahayu, Pengantar PEMERINTAHAN DAERAH Kajian Teori, Hukum, dan Aplikasinya…, h. 64.

Page 41: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

31

dapat terlaksana dengan baik, hal ini disebabkan oleh kurangnya

kepercayaan antara pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dalam

menjalankan roda pemerintahan. Pemerintah pusat masih dianggap belum

sepenuhnya memberikan kewenangan terlalu besar kepada pemerintah

daerah. Alasan pemerintah pusat belum memberikan sepenuhnya

kewenangan kepada daerah karena setiap daerah belum siap untuk

melaksanakan kebijakan otonomi daerah. Selain itu, kurangnya sumber

daya manusia yang belum cukup memadai dan belum terbiasanya suatu

daerah menerima kebijakan terkait otonomi daerah.30

4. Etika

Aristoteles sebagai pencetus pertama mengenai etika secara kritis,

komprehensif, dan reflektif. Dalam etika, Aristoteles terfokus pada hidup

yang baik dan cara mencapai hidup yang baik. Menurut James J. Spillane

SJ menyatakan, bahwa dalam pengambilan keputusan moral etika atau

ethics memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia.31

Etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan ilmu

tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban

moral (akhlak).32

Dalam suatu bidang tertentu termasuk bidang hukum, seseorang

bekerja pasti memerlukan kepercayaan orang lain, masyarakat pada

umumnya dan orang sekitar secara khusus. Sebab, tanpa kepercayaan

orang lain akan sulit memberikan pekerjaan maupun untuk bekerjasama

secara tim. Suatu pedoman yang harus dimiliki para pekerja untuk

diterapkan dan ditaati, seperti halnya suatu peraturan, inilah yang disebut

dengan kode profesi. Jika dihubungkan dengan etika, suatu pedoman atau

kode profesi merupakan suatu usaha untuk menegakkan ketertiban atau

30 Sakinah Nadir, Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa: Menuju Pemberdayaan

Masyarakat Desa, Jurnal Politik Profetik, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013, h. 13.

31 Sutrisno, Wiwin Yulianingsih, Etika Profesi Hukum, (Yogyakarta: ANDI, 2016), h.1-2.

32 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Yufid Inc, 2017, versi 2.5.0).

Page 42: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

32

perilaku yang baik yang dapat diterapkan di lingkungan yang terkait,

maka disebutlah kode etik, di mana menekankan usaha bersama untuk

saling melindungi nilai-nilai positif yang manusiawi.

Dengan demikian kode etik adalah suatu pedoman, tuntunan,

bimbingan, moral, atau kesusilaan untuk suatu profesi tertentu, atau suatu

kewajiban dalam menjalankan suatu profesi yang disusun oleh para

anggota profesi itu sendiri dan mengikat mereka dalam

mempraktikannya.33

Kode etik profesi merupakan suatu norma yang mengatur tentang

sebagaimana mestinya seseorang yang memiliki profesi untuk

menjalankan dan bertanggung jawab atas profesi yang diamanahkan

kepadanya. Kode etik profesi ini bersifat mengikat, ia berperan sebagai

pembimbing bagi pemegang profesi untuk dapat menjalankan amanah

dengan perilaku yang baik.

Kepolisian pun memiliki kode etik yang harus

dipertanggungjawabkan, serangkaian aturan yang ditetapkan untuk

membimbing polri dalam menjalankan tugas, menentukan tindakannya

agar selalu berbuat sesuai aturan, dan dapat menopang kehidupan polri

dalam melaksanakan pengabdiannya untuk selalu teguh dalam pendirian,

sehingga polri dapat memiliki sikap integritas yang mendalam dan

menjunjung tinggi etika.34

Upaya penegakan hukum di Indonesia tentu saja tidak hanya dimulai

dari masyarakat, dari aparat penegak hukum seperti polri inipun sangat

diperlukan. Tidak akan mungkin penegakkan hukum akan berjalan

dengan baik, tanpa dimulai dari upaya penegakkan kode etik dilingkungan

aparat penegak hukum. Untuk mewujudkan kedisiplinan dan

33 Sutrisno, Wiwin Yulianingsih, Etika Profesi Hukum…, h. 70.

34 Azies Bauw, Penegakan Kode Etik Kepolisian terhadap Pelanggaran yang dilakukan Anggota Polisi (Studi Kasus di Kepolisian Daerah Jayapura), Legal Pluralism, Volume 5 Nomor 1, Januari 2015, h. 8.

Page 43: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

33

profesionalitas dalam penegakkan hukum yang dibebankan kepada

kepolisian diharapkan dapat terwujud pula dalam kehidupan masyarakat.

C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

1. Skripsi – Andi Anisa Agung, Analisis Yuridis Mekanisme Pengisian

Jabatan Struktural Secara Terbuka Di Lingkungan Instansi

Pemerintahan. Universitas Hasanudin Makasar. Tahun 2014. Skripsi

ini menjelaskan, bahwa dalam upaya mewujudkan system

pemerintahan yang demokratis, bersih, dan berwibawa menjadi

prioritas utama bagi rakyat dan pemerintahan Indonesia. Pembaharuan

system ketatanegaraan Indonesia dapat diaktualisasikan dengan

perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan Indonesia. Selain

adanya perubahan konsep dalam struktur pemerintahan, juga perlu

dilakukan upaya penempatan orang-orang atau aparatur yang tepat

dalam mengisi jabatan dalam struktur pemerintahan. Namun, konsep

yang ideal ditafsirkan secara berbeda dari berbagai pihak sehingga

tidak lagi berpacu pada peraturan perundang-undangan.

Persamaan: Skripsi saya dengan skripsi ini memiliki persamaan yang

terletak pada, di mana membahas terkait jabatan structural dalam

pemerintahan, mekanisme yang seperti apa yang diatur dalam undang-

undang, dan siapa yang seharusnya mengisi jabatan structural

pemerintahan.

Perbedaan: Skripsi saya dengan skripsi ini memiliki perbedaan yang

terletak pada focus pembahasan, jika skripsi saudara Andi Anisa

Agung lebih kepada analisis yuridis mekanisme pengisian jabatan

structural, maka skripsi saya focus pada legalitas seorang POLRI yang

masih aktif masuk ke dalam jabatan structural daripada pemeintahan

itu sendiri.

2. Buku - Bambang Istianto HP., Manajemen Pemerintah dalam

Perspektif Pelayan Publik. Jakarta, Tahun 2011. Buku ini menyatakan,

Page 44: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

34

bahwa Daerah Kabupaten/ Kota mengemban beban yang berat, hal

tersebut merupakan suatu keniscayaan bahwa untuk mengelola

kekuasaan yang besar mutlak didukung oleh sumber daya manusia

yang profesional dan kepemimpinan pemerintahan daerah yang kuat.

Persamaan: Skripsi saya memiliki persamaan dengan buku ini yang

terlatak pada pembahasan, bahwa dalam mengelola kekuasaan

pemerintahan yang besar dibutuhkan sumberdaya manusia yang

memang professional dan ahlinya dalam bidang pemerintahan, baik

pusat maupun daerah.

Perbedaan: Skripsi saya dengan buku ini memiliki perbedaan yang

terletak pada, di mana sosok yang professional dan ahli dalam

mengelola kekuasaan pemerintahan dan untuk menjaga kedaulatan

rakyat bukan berarti seorang perwira polri harus terjun langsung

menduduki jabatan di pemerintahan, kekuasaan yang dipimpin oleh

seorang yang kompeten dan profesional akan lebih menghasilkan suatu

daerah yang maju.

3. Jurnal – Fransica Adelina Sinaga, Legalitas Penunjukan Pejabat Polri

Menjadi Pelaksana Tugas Gubernur pada Masa Kampanye Pemilihan

Kepala Daerah. Jakarta, Tahun 2018. Di dalam jurnal ini Farouk

Muhammad memperingatkan, bahwa keberadaan polisi di dalam

pemerintahan daerah dapat menimbulkan potensi pemanfaatan polisi

sebagai instrument pemaksa bagi perwujudan kebijakan-kebijakan

politik pemerintah daerah. Berdasarkan pendapat tersebut dapat

disimpulkan bahwa penunjukan pejabat polri sebagai Plt. Gubernur

dapat menimbulkan potensi pemanfaatan polisi sebagai instrument

pemaksa bagi perwujudan kebijakan-kebijakan politik pemerintah.

Persamaan: Skripsi saya dengan jurnal ini memiliki persamaan yang

terletak pada pembahasan mengenai legalitas pengangkatan seorang

polri Aktif sebagai Plt. Gubernur.

Perbedaan: Yang menjadi suatu perbedaan pada skripsi saya

adalah lebih memfokuskan pada seorang perwira polri aktif yang

Page 45: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

35

menduduki jabatan sebagai Plt. Gubernur dengan tinjauan yuridisnya

serta hal yang melatarbelakangi seorang mendagri mengangkat polri

sebagai Plt. Gubernur.

Page 46: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

36

BAB III

KEDUDUKAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH

A. Tugas, Wewenang, dan Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia

Konstitusi Negara Republik Indonesia menegaskan, bahwa kepolisian

merupakan suatu alat negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban

masyarakat Indonesia, Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut UUD NRI 1945

menyatakan, bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat

negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas

melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.

Secara struktural, Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di

bawah Presiden dan dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Kapolri, dalam pelaksanaan

tugasnya harus berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan dan

bertanggung jawab kepada Presiden.1

Pada dasarnya, fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah

memberikan rasa aman kepada setiap masyarakat Indonesia agar dapat hidup

dengan tertib, dengan cara dilindungi dan diayomi oleh Kepolisan sebagai

pelaku penegak hukum dari pihak pemerintahan, Pasal 2 Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang

selanjutnya disebut UU KNRI menyebutkan, bahwa “Fungsi Kepolisisan

adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan

keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan,

pengayoman, dan pelayanan kepada masayarakat”.

Sedangkan Peran Kepolisian dalam pemerintahan Republik Indonesia

adalah untuk menjaga dan memelihara keamanan dan ketertiban untuk

mesyarakat, dengan cara memberikan perlindungan dan pelayanan yang baik

1 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

cet. Kelima, 2010), h. 236.

Page 47: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

37

kepada masyarakat dalam rangka mewujudkan ketertiban Negara Republik

Indonesia, Pasal 5 Ayat (1) UU KNRI menyatakan, bahwa “Kepolisian

Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam

memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta

memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat

dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”.

“Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia, berdasarkan

Pasal 15 UU Kepolisian NRI secara umum berwenang:

1. Menerima laporan dan/atau pengaduan;

2. Membantu menyelesaikan perselisihan warga

masyarakatyang dapat menggangu ketertiban umum;

3. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;

4. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau

mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;

5. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup

kewenangan administratif kepolisian;

6. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari

tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;

7. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;

8. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret

seseorang;

9. Mencari keterangan dan barang bukti;

10. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;

11. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang

diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;

12. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan

pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta

kegiatan masyarakat;

Page 48: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

38

13. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara

waktu”.

Berdasarkan kewenangan kepolisian di atas dan analisis antara fungsi,

tugas, dan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat

disimpulkan, bahwa kepolisian hanya pada bidang pemeliharaan keamanan

dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman,

dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam hal ini, tugas dari pada seorang

Pelaksana Tugas Gubernur bukan hanya terkait keamanan saja, meskipun

jabatan Plt. Gubernur ini bersifat sementara bidang administratif dan bidang-

bidang lainnya yang terkait di Provinsi Jawa Barat harus tetap diperhatikan

agar tidak melumpuhkan sistem pemerintahan di daerah Jawa Barat itu

sendiri.

Secara hukum, dalam UU Kepolisian Negara Republik Indonesia

kasus pengangkatan perwira polri aktif sebagai Plt. Gubernur memang tidak

dilarang selama pengangkatan tersebut atas perintah dari Kapolri, terdapat

pada Penjelasan Pasal 28 Ayat (3) UU Kepolisian NRI menyatakan, bahawa

“yang dimaksud dengan “jabatan di luar kepolisian” adalah jabatan yang

tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan

penugasan dari kapolri”. Namun, jika membandingkan dengan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Aparatur Sipil Negara

terdapat aturan-aturan yang menyatakan, bahwa anggota polri yang mengisi

jabatan ASN tertentu itu pada instansi pusat bukan instansi pemerintahan

ataupun instansi daerah, Pasal 20 Ayat (3) UU ASN menyatakan, bahwa

“Pengisian jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional

Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dilaksanankan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan undang-

Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia”.

Kemudian dalam UU ASN itu pun juga disebutkan, bahwa pengisian

jabatan pimpinan tinggi oleh anggota polri dapat dilakukan setelah

Page 49: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

39

mengundurkan diri dari dinas aktif, Pasal 20 Ayat (3) Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya

disebut UU ASN menyatakan, bahwa “Pengisian jabatan ASN tertentu yang

berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian

Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

dilaksanankan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

tentang Tentara Nasional Indonesia dan undang-Undang tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia”.

Secara etika seorang polri tidaklah patut menduduki jabatan di

pemerintahan, sebab itu berada di luar kompetensinya sebagai seorang polri

dan ia tidak memiliki kompetensi lebih di bidang administrasi pemerintahan,

sehingga alasan keamanan yang dicetuskan oleh pihak Kemendagri tidak

seharusnya langsung mengangkat pihak polri untuk menjadi Plt. Gubernur.

Pihak kepolisian dapat tetap bekerjasama dengan pihak daerah terkait ataupun

Plt. Gubernur lainnya yang lebih kompeten, sehingga dapat tetap menjaga

keamanan dan stabilitas daerah sebagaimana mestinya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah tidak mengatur secara jelas perihal kedudukan Polri

dalam Pemerintahan Daerah. Namun, hubungan antara polri dan

pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Kepolisian yang

mengatur terkait kerjasama dalam menjaga keamanan dan ketertiban negara

dari tingkat daerah sesuai dengan fungsi dan tugas Kepolisian, Pasal 42 Ayat

(2) UU Kepolisian NRI menyatakan, bahwa “Hubungan kerja sama di dalam

negeri dilakukan terutama dengan unsur-unsur pemerintahan daerah, penegak

hukum, badan, lembaga, instansi lain, serta masyarakat dengan

mengembangkan asas partisipasi dan subsidaritas”.

Page 50: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

40

B. Kewenangan Kementerian Dalam Negeri dalam Pengangkatan pejabat

Pelaksana Tugas Gubernur.

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri RI)

merupakan kementerian dalam pemerintahan Indonesia yang membidangi

urusan dalam negeri. Kementerian Dalam Negeri mempunyai tugas

menyelenggarakan urusan dibidang pemerintahan dalam negeri untuk

membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, Pasal 2

Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Kementerian Dalam

Negeri.

Secara umum, Kementerian Dalam Negeri memiliki tugas

menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu

Presiden dalam penyelenggaraan Negara. Untuk meningkatkan

penyelenggaraan pemerintahan khususnya pemerintahan daerah agar efesiensi

dan efektifitas perlu ditingkatkannya perhatian terhadap aspek-aspek

hubungan pemerintahan, hubungan pemerintahan pusat dan daerah harus

terjalin dengan baik, khususnya pada potensi dan keanekaragaman daerah,

peluang serta tantangan persaingan global yang semakin kuat menjadikan

pemerintah pusat perlu memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada

daerah juga pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah

dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk

terciptanya negara kesatuan yang lebih baik.2

“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud

Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 Tentang

Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Dalam Negeri

menyelenggarakan fungsi:

a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang

politik dan pemerintahan umum, otonomi daerah, pembinaan

administrasi kewilayahan, pembinaan pemerintahan desa,

2 HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia (Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah), (Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2008), h. 37.

Page 51: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

41

pembinaan urusan pemerintahan dan pembangunan daerah,

pembinaan keuangan daerah, serta kependudukan dan

pencatatan sipil, sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan;

b. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian

dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di

lingkungan Kementerian Dalam Negeri;

c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi

tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri;

d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan

Kementerian Dalam Negeri;

e. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan

urusan Kementerian Dalam Negeri di daerah;

f. Pengoordinasian, pembinaan dan pengawasan umum,

fasilitasi, dan evaluasi atas penyelenggaraan pemerintahan

daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

g. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang

pemerintahan dalam negeri,

h. Pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang

pemerintahan dalam negeri;

i. Pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah;

j. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada

seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Dalam

Negeri”.

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwasanya memang

penyelenggaraan pemerintahan pusat maupun daerah, Kementerian Dalam

Negeri memiliki tugas untuk dapat mengawasi atau mengoordinasi secara

langsung apa yang terjadi di sebuah pemerintahan di daerah, sehingga

seharusnya kinerja pemerintahan daerah dapat diawasi untuk memaksimalkan

Page 52: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

42

kinerjanya. Oleh sebab itu, koordinasi antara pusat dan daerah tetap terjalin

dalam keadaan darurat sekalipun, sebab kepala daerah sebagai kepala

pemerintahan hanya bersifat otonom, yang artinya hanya pengelola dari

sistem pemerintahan daerah yang menganut sistem desentralisasi. Daerah

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsepsi Negara kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.3

Alasan keamanan yang menjadikan dasar salah satu pertimbangan

Kemendagri untuk mengutus perwira polri aktif sebagai Plt. Gubernur Jawa

Barat Tahun 2018 yang memilki potensi kericuhan yang tinggi. Seperti yang

disampaikan oleh Muradi, pengamat politik Universitas Padjajaran Bandung,

ia menilai bahwa terdapat tiga pertimbangan strategis dalam menentuka Plt.

Gubernur dari unsur polri. Pertama, pencegahan terhadap konflik saat

pilkada. Kedua, penegasan netral dalam pelaksanaan pilkada yang berpotensi

menimbulkan ketidaknetralan yang akan mengganggu kualitas pelaksanaan

pilkada. Ketiga, kemendagri ingin memastikan pelaksanaan pilkada harus

menjadi ajang antara kandidat dengan publik dengan suasana tanpa paksaan.4

Dengan demikian, pencegahan terhadap konflik yang akan terjadi saat

pilkada menjadi dasar pertimbangan Kemendagri termasuk ke dalam keadaan

darurat, di mana sebagai negara kesatuan badan hukum negara bersifat

tunggal, meskipun keadaan darurat ini terjadi di daerah dan mengingat dalam

keadaan saat pelaksanaan pilkada. Namun, alasan Mendagri untuk

memudahkan kordinasi aparat penegak hukum ini dianggap tidak perlu

mengangkat polri untuk menjadi Plt. Gubernur. Oleh karena itu, mengangkat

polri menjadi Plt. Gubernur bukanlah suatu solusi untuk meredam konflik

yang terjadi di daerah, tugas seorang kepala daerah bukan hanya perihal

penegakkan keamanan dan kenyamanan di daerah, terdapat urusan

3 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, (Jakarat: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.

236.

4 https://m.detik.com/news/berita/d-3836023/pengamat-mendagri-tak-tabrak-aturan-angkat-polri-jadi-pj-gubernur. Diakses pada: 9 Februari 2019, pukul 21.46 WIB.

Page 53: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

43

pemerintahan lainnya yang harus tetap terlaksana selama berlangsungnya

pilkada, begitu pun untuk Plt. Gubernur.

C. Penyelenggaran Pemerintahan Daerah.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan penyelenggaraan

urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan dewan perwakilan daerah

menurut asas otonomi, menjalankan urusan pemerintahan dalam sistem dan

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan kontitusi negara

Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan suatu sistem

otonomi daerah yang diterapkan pemerintahan pusat guna membantu

menjalankan roda pemerintahan di daerah untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat Indonesia.

1. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Pemimpin yang mengatur jalannya roda pemerintahan di daerah

atau yang biasa disebut sebagai kepala daerah merupakan pihak yang

berweanang dalam menjalankan urusan pemerintahan daerah berdasarkan

peraturan perundang-undangan. Kepala daerah ditingkat provinsi disebut

gubernur dan kepala daerah ditingkat kabupaten/ kota disebut bupati/ wali

kota.

Kepala daerah merupakan wakil pemerintah pusat di daerah dalam

melaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan

urusan pemerintahan daerah, hal tersebut tercantum dalam Pasal 7 Ayat (1)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang

Pemerintahan Daerah menyatakan, bahwa “dalam melaksanakan

pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan

Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/ kota dan

Tugas Pembantuan oleh daerah kabupaten/ kota, Presiden dibantu

gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Sebagai pemimpin dalam suatu

urusan pemerintahan daerah, kepala daerah memiliki tugas dan

kewenangan untuk menjalannkan roda pemerintahan dengan baik dan

Page 54: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

44

melindungi masyarakat guna tetap tentram dan tertib dalam hidup

berbangsa dan bernegara.

“Pasal 65 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9

Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 Tentang Pemerintahan daerah mempertegas tugas Kepala

Daerah, diantaranya:

a. Memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang

menjadi kewenangan daerah berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang

ditetapkan bersama DPRD.

b. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.

c. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang

RPJPD dan rancangan Perda RPJMD kepada DPRD

untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan

menetapkan RKPD.

d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang

APBD, rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan

rancangan Perda tentang pertanggungjawaban

pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas

bersama.

e. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan,

dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

f. Melakasanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan”.

Sebagai kepala pemerintahan ditingkat daerah, kepala daerah

dibantu oleh wakil kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahan

ditingkat daerah, diatur di dalam Pasal 63 Ayat (1) Undang-Undang

Page 55: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

45

Pemerintahan Daerah menyatakan, bahwa “kepala daerah sebagaimana

dimaksud Pasal 59 Ayat (1) dibantu oleh wakil kepala daerah”.

“Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Tentang

Pemerintahan Daerah, Wakil kepala daerah mempunyai tugas:

a. Membantu kepala daerah dalam:

1) Memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangan daerah,

2) Mengoordinansikan kegiatan perangkat daerah dan

menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil

pengawasan aparat.

3) Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan

pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh

perangkat daerah provinsi bagi wakil gubernur, dan

4) Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan

pemerintahan yang dilaksanakan oleh perangkat

daerah kabupaten/ kota, kelurahan, dan/atau desa

bagi wakil bupati/wali kota.

b. Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala

daerah dalam pelaksanaan pemerintahan daerah,

c. Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah

apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau

berhalangan sementara, dan

d. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan”.

2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD

merupakan lembaga perwakilan yang berada ditingkat daerah untuk

melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan daerah, Pasal 1 Butir 4 UU

Pemerintahan Daerah menyatakan, bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan

Page 56: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

46

rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara

Pemerintahan Daerah”.

“Terdapat pada Pasal 101 Ayat (1) UU Pemerintahan

Daerah, DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang:

a. Membentuk Perda Provinsi bersama gubernur;

b. Membahas dan memberikan persetujuan Rancangan

Perda Provinsi tentang APBD Provinsi yang diajukan

oleh gubernur;

c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda

Provinsi dan APBD provinsi;

d. Dihapus.

d1. Memilih gubernur dan wakil gubernur dalam hal terjadi

kekosongan jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan;

e. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur

kepada Presiden melalui Menteri untuk mendapatkan

pengesashan pengangkatan dan/atau pemberhentian;

f. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada

Pemerintah Daerah provinsi terhadap rencana perjanjian

internasional di Daerah provinsi;

g. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja ssama

internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah

provinsi.

h. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban

gubernur dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

provinsi;

i. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama

dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang

membebani masyarakat dan daerah provinsi; dan

j. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur

dalam ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Page 57: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

47

Pengangkatan M. Iriawan sebagai Plt. Gubernur Jawa Barat Tahun

2018 langsung ditunjuk Menteri Dalam Negeri dengan melalui Kapolri,

padahal dalam Pasal 101 Ayat (2) butir e menyatakan bahwa, DPRD

memiliki wewenang untuk mengusulkan gubernur dan wakil gubernur

dalam hal terjadi kekosongan, dalam hal ini adalah Pelaksana Tugas

Gubernur. Tidak sedikit pihak yang lebih kompeten dilingkungan

Pemerintahan Daerah Jawa Barat, seperti ketua DPRD Jawa Barat yang

lebih berkompeten dalam menjalankan roda pemerintahan di daerah.

Pengangkatan Plt. Gubernur ini memang tidak hanya mendapatkan

pertentangan dari pihak di luar pemerintahan daerah khususnya di DPRD

Jawa Barat itu sendiri. Fraksi Gerinda melakukan aksi boikot sebagai

bentuk perlawanan terhadap keputusan pemerintah pusat dalam

mengangkat M. Iriawan sebagai Plt. Gubernur, aksi boikot yang dilakukan

Fraksi gerinda dilakukan dengan cara tidak menghadiri acara pelantikan M

Iriawan saat itu.5 Artinya, pngangkatan Plt. Gubernur Jawa Barat Tahun

2018 ini tidak melalui pertimbangan dari DPRD, sehingga menimbulkan

konflik hingga keluar area daerah konflik itu sendiri.

3. Pelaksana Tugas Kepala Daerah

Secara umum, yang menjadi dasar hokum dari pejabat yakni

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan,

Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah. PP tersebut mengatur tentang segala sesuatu yang

berhubungan dengan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta menjadi

acuan dalam hal pengangkatan pelaksana tugas sementara atau disebut

dengan pejabat.

“Syarat dan kriteria Plt atau pejabat, berdasakan Pasal

130 butir (3) dan Pasal 131 butir (4) Peraturan Pemerintah

Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan,

5 https://fokus.tempo.co/read/1098950/kontroversi-m-iriawan-jadi-pejabat-gubernur-jawa-barat/full?view=ok diunduh pada: 7 April 2019, pukul: 14.15 WIB.

Page 58: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

48

Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah, yaitu:

1) Mempunyai pengalaman dibidang pemerintahan, yang

dibuktikan dengan riwayat pejabat.

2) Menduduki jabatan structural esselon I dengan pangkat

golongan sekurang-kurangnya IV/c bagi pejabat

Gubernur dan jabatan structural esselon II pangkat

golongan sekurang-kurangnya IV/b bagi pejabat Bupati/

Walikota.

3) Daftar penilaian pelaksana pekerjaan selama 3 (tiga)

tahun terakhir sekurang-kurangnnyamempunyai nilai

baik”.

Dilihat dari syarat dan kriteria untuk dapat menjadi Plt, M Iriawan

sebelumnya belum pernah menjabat atau memiliki pengalaman dibidang

pemerintahan, hal tersebut ia ungkapkan langsung dalam wawancara

disuatu berita, bahwa:

“Saya di Kamtibmas Alhamdulillah dianggap cukup berhasil.

Saya juga ingin berhasil dibidang pemerintahan sehingga ada

catatan sejarah buat saya. Apabila saya sudah tidak ada,

dipanggil Yang Maha Kuasa, saya pernah menjadi pejabat

Gubernur Jawa Barat yang betul-betul sesuai dengan on-the-

track aturan yang sudah ada”.6

Definisi pelaksana tugas juga disebutkan dalam Pasal 34 ayat (2)

UU No. 30 tahun 2012 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) yang

menjelaskan tentang mandate, Pelaksana Tugas Sementara (Plt)

ditugaskan oleh badan pemerintahan di atasnya yakni pada Pasal 14

UUAP. Konsep dari pelaksana tugas sementara sendiri merujuk pada Surat

6 https://fokus.tempo.co/read/1098950/kontroversi-m-iriawan-jadi-pejabat-gubernur-

jawa-barat/full?view=ok diunduh pada: 7 April 2019, pukul: 14.15 WIB.

Page 59: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

49

Keputusan/ SK kepala BKN No. K. 26-20/v.24-25/99 tahun 2011 tentang

tata cara pengangkatan Pegawai Negeri Sipil. Kemudian, pada peraturan

pemerintahan Nomor 100 tahun 2000 tentang hal yang sama.

Gubernur merupakan Kepala Daerah yang dipilih langsung oleh

rakyat melalui proses politik, sedangkan Pelaksana Tugas Gubernur

ditetapkan oleh Presiden melalui Mendagri dengan usulan dari DPRD,

sesuai dengan UU Pilkada Pasal 174 Ayat (7) yang menyatakan, bahwa

Dalam hal sisa masa jabatan kurang dari 18 (delapan belas) bulan,

Presiden menetapkan pejabat Gubernur dan Menteri menetapkan pejabat

Bupati/ Walikota. Dalam nenetapkan Plt. Gubernur Presiden memiliki

kewenangan yang bersifat atributif yang tidak dapat digantikan oleh pihak

lain, sehingga Plt. Gubernur memiliki kewenangan yang bersifat delegatif

yang diberikan langsung oleh Presiden untuk menjalankan tugas dan

tanggung jawabnya. Oleh karena itu, pada prinsipnya tugas dan wewenang

Plt. Gubernur sama dengan tugas dan wewenang Gubernur.7

Selanjutnya pada Pasal 132A ayat (1) berbunyi “Pejabat kepala

daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 130 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 131 ayat (4) atau yang diangkat

untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan

diri untuk mencalonkan/ dicaonkan menjadi calon kepala daerah/ wakil

kepala daerah, serta kepala daerah yang diangkat dari wakil kepala daerah

yang menggantikan kepala daerah yang mengundurkan diri untuk

mencalonkan/ dicalonkan sebagai calon kepala daerah/ wakil kepala

daerah”.

Pelaksana Tugas Gubernur diangkat untuk mengisi kekosongan

jabatan kepala daerah guna menjalankan roda pemerintahan di daerah

bukan hanya sekedar menjaga kemanan daerah dari konflik pilkada yang

diselenggarakan di daerah. Menjalankan roda pemerintahan tentu

membutuhkan kompetensi yang harus dimiliki bagi setiap pemimpin

7 Dewi Sendhikasari D., “Wacana Pejabat Gubernur dari POLRI”, Info Singkat, X, 03,

(Februari, 2018), h. 29.

Page 60: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

50

daerah untuk menjaga stabilitas daerah dalam mewujudkan kesejahteraan

masyarakat umum. Jawa Barat merupakan daerah yang tidak kecil, ia

merupakan salah satu daerah besar di Indonesia dalam segi penduduk

maupun ekonomi, sehingga apabila dalam menjalankan tugasnya seorang

Plt. Gubernur hanya memiliki dan fokus terhdapa keamanan daerah maka

akan terhambatnya roda pemerintahan di Daerah Jawa Barat.

Seorang polri dalam menjaga keamanan cukup melalui

pengawasan yang langsung berhubungan dengan pemimpin di daerah tidak

perlu terjun langsung menjadi Pelaksana Tugas Gubernur, sebab

kompetensi yang dimiliki tidaklah sebanding dengan apa yang ditugaskan

selama ini di lingkungan Kepolisian.

Page 61: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

51

BAB IV

ANALISIS KEPUTUSAN PENGANGKATAN M IRIAWAN SEBAGAI

PLT. GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2018

A. Keabsahan Pengangkatan M Iriawan sebagai Pelaksana Tugas Gubernur di

Provinsi Jawa Barat Tahun 2018.

Kasus pengangkatan Perwira POLRI Aktif sebagai Plt. Gubernur

Tahun 2018 lalu telah menuai beragam reaksi dari masyarakat ataupun para

pakar hukum, terdapat yang setuju atau tidak setuju dengan keputusan dari

Menteri Dalam Negeri waktu itu. Perlu diketahui, bahwa pengangkatan

Pelaksana Tugas Gubernur di sini dilakukan pada saat Pilkada Jawa Barat

tahun 2018 dilaksanakan. Saat itu, Mendagri selaku pihak yang berwenang

menentukan Plt. Gubernur dengan disetujui oleh Presiden meminta Kapolri

untuk menunjuk perwira polri aktif yang dapat diangkat menjadi Plt.

Gubernur. Hal ini, dilandasi dengan alasan yang disampaikan oleh Kepala

Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Arief M Edie, bahwa jumlah

pejabat setingkat eselon I di Kemendagri masih sangat terbatas untuk mengisi

posisi sebagai Plt. Gubernur.1 Selain itu, menurut Arief M Edie selaku Kepala

Pusat Penerangan Kemendagri yang menjadi dasar pertimbanganya ialah

untuk mempermudah koordinasi antara pejabat gubernur, polisi, dan TNI,

dalam menjaga keamanan atau meredam konflik saat pilkada.2

Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5

Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut UU

ASN menyatakankan, bahwa jabatan ASN diisi dari pegawai ASN. Aparatur

Sipil Negara atau yang biasa disingkat dengan ASN ini menurut Pasal 1

Angka 1 Undang-Undang ASN adalah profesi bagi pagawai negeri sipil dan

pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi

1 https://www.cnnindonesia.com/pilkadaserentak/nasional/20180126203106-32-

271921/alasan-kemendagri-tunjuk-dua-jendral-polri-jadi-plt-gubernur, diakses pada: 7 Februari 2019, pukul 12.15 WIB.

2 https://m.cnnindonesia.com/nasional/2018012814371932-272117/yusril-anggap-alasan-kemendagri-tunjuk-plt-gubernur-tak-tepat, diakses pada: 5 Desember 2018, pukul: 12.25 WIB.

Page 62: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

52

pemerintahan. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia pun

merupakan ASN, tercantum pada Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 2 Tahun 2002

Tentang Kepolisian yang menyatakan, bahwa anggota Kepolisian NRI adalah

pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pegawai Negeri atau Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat

PNS juga disebutkan di dalam UU ASN yang menyatakan, bahwa PNS

adalah warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat

sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat Pembina kepegawaian untuk

menduduki jabatan pemerintahan.

Kemudian Pasal 20 Ayat (3) UU ASN menyatakan, bahwa Pengisian

Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia

dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud

pada ayat (2) dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yang

dimaksud dengan Instansi Pusat dalam UU ASN disebutkan dalam Pasal 1

Angka 16 menyatakan, bahwa Instansi Pusat adalah kementerian, lembaga

pemerintahan nonkementerian, kesekretariatan lembaga Negara, dan

kesekretariatan lembaga nonstrukktural.

Dalam hal ini, Kepala Daerah tidak termasuk ke dalam komposisi di

Instansi Pusat, seharusnya ia masuk ke dalam Instansi Pemerintahan yang

berisi Instansi Pusat dan Instansi Daerah, di mana dalam Pasal 2 Angka 17

menyatakan, bahwa Instansi Daerah adalah perangkat daerah provinsi dan

perangkat daerah kabupaten/ kota yang meliputi sekretariat daerah, sekretariat

dewan perwakilan rakyat daerah, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah.

Namun, dalam Pasal 91 UU No. 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua

Atas Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan,

bahwa dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap

penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah

Kabupaten/ kota dan Tugas Pembantuan oleh Daerah kabupaten/ kota

Presiden dibantu oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.

Page 63: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

53

Itu artinya, Kepala Daerah Provinsi atau gebernur merupakan wakil

Pemerintahan Pusat dalam hal pembinaan dan pengawasan dalam

penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah

kabupaten/ kota dan tugas pembantuan oleh daerah kabupaten/ kota.

Dalam Pasal 20 Ayat (3) UU ASN yang disebutkan dilaksanakan pada

Instansi Pusat, tidak satu pun disebutkan bahwa Kepala Daerah merupakan

bagian dari Instansi Pusat yang disebut dalam Pasal 1 Angka 16 UU ASN.

Kemudian Pasal 109 Ayat (2) UU ASN menegaskan, bahwa jabatan

Pimpinan tinggi dapat diisi oleh prajurit Tentara Negara Indonesia setelah

mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan

kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif.

Meskipun pada Pasal 109 Ayat (3) menyatakan, bahwa jabatan Pimpinan

Tinggi di lingkungan Instansi Pemerintahan tertentu dapat diisi oleh prajurit

Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik

Indonesia sesuai dengan kompetensi berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan. Pasal ini memang memberikan penjelasan serta

penegasan seorang polri diperbolehkan untuk masuk ke ranah pemerintahan,

hal ini sama dengan yang disebutkan dalam Pasal 28 Ayat (3) UU Kepolisian

menyatakan, bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat

menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun

dari dinas kepolisian. Dalam penjelasan UU tersebut, kalimat “jabatan di luar

kepolisian” adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan

kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia (Kapolri). Namun, pada Pasal 109 Ayat (3) terseut jelas

disebutkan pada Ayat sebelumnya, yaitu Ayat (2), bahwa TNI atau polri harus

pension atau mengundurkan diri terlebih dahulu tanpa adanya pengecualian

jika akan memasuki jabatan di pemerintahan.

Kemendagri menggunakan Pasal 201 Ayat (10) UU Pilkada, ia fokus

terhadap kekosongan jabatan yang harus segera diisi, sehingga pihak

kemendagri mengangkat pejabat tinggi madya dari pihak kepolisian, tanpa

mempertimbangkan, fungsi dan kewenangan Kepolissian yang diatur dalam

Page 64: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

54

UU Kepolisian dan mengindahkan UU ASN yang mengatur terkait jabatan

yang diembankan kepada Polri tersebut.

Pertentangan antara Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang

Aparatur Sipil Negara ini cukup memiliki kekuatan hukum yang sulit

dipecahkan, akan tetapi kedua Undang-Undang yang memiliki peraturan yang

bertentangan dapat diambil keputusan menggunakan asas hukum tergantung

pihak tersebut memandangnya dari sudut sebelah mana. Kemendagri lebih

menggunakan asas Lex Spesialis Derogat Legi Generalis, artinya undang-

undang khusus dapat mengesampingkan undang-undang yang lebih umum,

dalam kasus ini Undang-Undang Kepolisian memang lebih khusus

dibandingkan dengan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, namun bagi

peneliti setelah menelaah pembahasan dari kedua undang-undang tersebut

khususnya melihat dari Pasal 2 UU Kepolisian terkait dengan fungsi

kepolisian itu sendiri dan juga melihat daripada kewenangan Kepolisian

dalam Pasal 15 UU Kepolisian tidak ada keterkaitan antara menjaga

keamanan dan pertahanan negara dengan menjalankan roda pemerintahan.

Selain itu, dikenal pula adagium Lex posteriori derogate lex priori

yang artinya undang-undang yang baru dapat mengesampingkan undang-

undang yang lama.3 Jadi, apabila terdapat suatu masalah yang sama diatur

dalam suatu undang-undang yang kemudian diatur kembali dalam undang-

undang baru tanpa mencabut/ meniadakan aturan yang terdapat pada undang-

undang lama tersebut, maka undang-undang baru yang dijadikan acuannnya.

Jika dilihat dari tahunnya, Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang

diterapkan tahun 2014 lebih baru dibandingkan dengan Undang-Undang

Kepolisian yang diterapkan pada tahun 2002. Peneliti lebih menggunakan

asas ini, sebab hanya ada satu Pasal dalam UU Kepolisian yang

membolehkan perwira aktif polisi menduduki jabatan di luar Kepolisian, itu

pun terdapat dibagian penjelasan Pasal. Berbeda dengan UU ASN yang

menegaskan di beberapa Pasal diantaranya Pasal 20 Ayat 3, Pasal 109 Ayat

3 Wendi dan Firman Wijaya, Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori

Terhadap Anak Korban Pencabulan, Jurnal Hukum Adigama, h. 21.

Page 65: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

55

(2), dan Pasal 109 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang

Aparatur Sipil Negara.

M. Iriawan, sebagai seorang perwira polri aktif yang diangkat oleh

Mendagri atas persetujuan Presiden ini memang memiliki kompetensi yang

tidak dapat diragukan lagi, dalam riwayat jabatannya sebelum menjabat

sebagai Plt. Gubernur Jawa barat Tahun 2018 ia disebutkan pernah menjabat

sebagai Kapolda NTB tahun 2012, Kapolda Jabar tahun 2013, Kadivkum

POLRI tahun 2015, Kadivpropam POLRI tahun 2016, Kapolda Metro Jaya

Tahun 2016, Asops Kapolri tahun 2017, dan Sekretaris Utama Lemhanas

tahun 2018. Namun, tidak ada satu pun pengalamannya berkaitan dengan

kompetisinya di dunia pemerintahan.

Menurut Refly Harun, dalam wawancara beliau mengatakan, bahwa

Plt. Gubernur ini merupakan jabatan atas penugasan dari Kapolri, Menteri

Dalam Negeri tidak serta merta menunjuk anggota polri aktif tanpa melalui

Kapolri. Artinya, jabatan yang diberikan atas penugasan Kapolri kepada

anggota polri aktif itu dianggap sebagai jabatan di dalam kepolisian. Selain

itu, beliau juga mengatakan Plt. Gubernur bukanlah jabatan politik, tetapi

jabatan administratif yang harus diisi oleh ASN, anggota Kepolisian NRI

merupakan ASN sesuai dengan yang tercantum pada UU No. 2 Tahun 2002.

Plt. Gubernur yang berasal dari Perwira Polri Aktif ini menurutnya tidaklah

melanggar undang-undang, selama Kapolri menunjuk anggotanya yang setara

dengan eselon I Kemendagri.

Namun, menurutnya untuk masa yang akan mendatang penunjukan

perwira polri aktif ini tidak lagi ditunjuk sebagai Plt. Gubernur, sebab jika

masih dapat menunjuk mantan Gubernur Jawa barat pada periode yang telah

habis masa jabatannya, wakil Gubernur yang masih dapat menjalankan

tugasnya, atau ketua DPRD Jawa Barat waktu itu yang memang sudah pasti

lebih mengetahui kondisi daerahnya tersebut. Ketiganya memilki kompetensi

Page 66: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

56

yang telah teruji, ketiganya juga pernah dipilih oleh rakyat, lalu apa salahnya

jika salah satu diantara ketiga orang tersebut ditunjuk sebagai Plt. Gubernur.4

Ahmad Heryawan selaku Gubernur yang telah habis masa jabatannya

masih dapat diperpanjang jabatannya selama satu atau dua bulan selama

pilkada berlangsung, Ahmad Heryawan merupakan orang yang tepat untuk

menajdi Plt. Gubernur, selain ia pernah dipilih langsung oleh rakyat, ia juga

memilki kompetensi yang memang sudah teruji selama menjabat sebagai

Gubernur, ia juga diketahui tidak mencalonkan diri kembali menjadi

Gubernur pada saat itu, ungkap Refly Harun.

Tidak sedikit pakar yang berpendapat kasus pengangkatan perwira

polri aktif sebagai Plt. Gubernur ini merupakan bagian dari rencana politik

yang akan menguntungkan salah satu pihak. Berdasar pada Pasal 28 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia yang menyatakan, bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia

bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada

kegiatan politik praktis.

Seperti pernyataan Yusril Ihza Mahendra Ketua Umum Partai Bulan

Bintang (PBB), bahwa wajar bila masyarakat curiga dengan itikad Tjahjo

yang berencana menempatkan dua perwira tinggi aktif polisi sebagai pejabat

Gubernur, menurutnya hal tersebut tidak terlepas dari kepentingan politik PDI

Perjuangan dalam memenangkan pilkada di daerah yang bersangkutan.

Menurutnya juga, bahwa undang-undang kepolisian itu menyatakan bahwa

polisi harus netral, kedua polisi tidak boleh merangkap jabatan yang lain

kecuali jabatan yang terkait langsung dengan kepolisian, seperti BIN (Badan

Intelejen Nasional) dan BNN (Badan Narkotika Nasional).5

Namun, pendapat para pakar pada saat sebelum dikeluarkannya

keputusan pasti dari Mendagri terkait Plt. Gubernur tersebut yang telah

4 Hasil Wawancara dengan Refly Harun, ahli Hukum Tata Negara Indonesia. Pada Senin,

4 Februari 2018 pukul 12.50 s.d 13.15 WIB.

5 https://m.cnnindonesia.com/nasional/2018012814371932-272117/yusril-anggap-alasan-kemendagri-tunjuk-plt-gubernur-tak-tepat. Diakses pada, 5 Desember 2018. Pukul 12.25 WIB.

Page 67: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

57

menuai beragam reaksi masyarakat, tidak menurunkan niat Mendagri untuk

mengubah keputusannya. Menurut Mendagri tidak ada satupun undang-

undang atau peraturan yang ia langgar dengan keputusannya tersebut, ia

berpegang teguh pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang

Pilkada yang menyatakan, bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan

gubernur, diangkat pejabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan

tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur.

Pengangkatan perwira polri aktif menuai beragam reaksi dari

masyarakat awam atau pun para pakar Hukum Tata Negara. Pengangkatan

perwira polri aktif menjadi Plt. Gubernur dianggap sebagai permainan politik

di dalam pilkada yang akan menguntungkan salah satu pihak. Beberapa pakar

juga menyebutkan, bahwa Kemendagri memiliki potensi melanggar beberapa

Undang-Undang, seperti UU Pilkada, UU Kepolisian, UU Aparatur Sipil

Negara, juga UU Pemerintahan Daerah.

Masyarakat dan para pakar hukum mengkhawatirkan akan netralitas

dari seorang polri itu sendiri, sebab dalam Pasal 28 Ayat (1) UU No. 2 Tahun

2002 menyatakan, bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap

netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik

praktis. Jabatan Kepala Daerah merupakan jabatan politik, sebab iya dipilih

secara langsung oleh rakyat melalui partai politik dengan sistem demokratis.

Netralitas seorang polri wajib untuk dijaga, sebab polri sebagai pihak yang

paling bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat.

Apabila kepercayaan masyarakat kepada Kepolisian Republik

Indonesia telah hilang, maka tidak menutup kemungkinan Negara Kesatuan

Republik Indonesia akan tetap utuh. Meski pengangkatan perwira polri aktif

ini tidak dilarang oleh undang-undang, etika seorang polri haruslah tetap

dijaga netralitasnya. Banyak pihak yang mengkhawatirkan terkait netralitas

pihak Kepolisian yang terlibat dalam pemerintahan, kecurigaan yang muncul

itu disebabkan oleh penerapan sistem pada waktu dilaksanakannya Pemilihan

Kepala Daerah serentak, meski tidak terbukti menguntungkan salah satu

Page 68: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

58

pihak mengantisipasi kecurigaan publik terhadap aparat penegak hukum

harus dilakukan.

Konflik yang terjadi antara beberapa pihak entah dari masyarakat

awam, para tokoh, atau bahkan pejabat pemerintahan yang merasa tidak

pantas seorang polri masuk ke dalam pemerintahan yang memang bukan

ranahnya mengakibatkan perpecahan anatar rakyat Indonesia.

Untuk itu, meminimalisir perpecahan bangsa dan Negara, jika suatu

keputusan yang menimbulkan suatu pertentangan dari masyarakat sebaiknya

tidak dilakukan meski tidak melanggar undang-undang guna menjaga

kesatuan Negara Republik Indonesia.

B. Hubungan Kementerian Dalam Negeri dengan Kepolisian Republik Indonesia

dalam Sistem Pemerintahan Indonesia.

Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini, posisi

struktural Kepolisian berada di bawah Presiden, sejajar dengan Kementerian.

Namun, tetap memiliki fungsi serta tugas yang jauh berbeda, dalam

paradigma polisi yang merupakan aparat sipil juga memiliki fungsi untuk

menjalankan salah satu fungsi dari pemeritahan. Kedudukan Kepolisian yang

tidak diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 menuai reaksi pertentangan yang serius antar beberapa

lembaga yang menginginkan posisi Kepolisian berada di bawah lembaganya.

Dalam hal ini, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM,

dan Kementerian Kehakiman disebut ingin memasukkan Kepolisian berada di

bawah wewenangnya.6

Pemerintahan yang baik (good governance) akan terwujud manakala

didukung pula oleh penyelenggara fungsi pemerintahan yang baik. Kepolisian

Negara Republik Indonesia merupakan organisasi negara yang memiliki

kedudukan dalam sistem pemerintahan Indonesia yang menjadi salah satu

faktor yang memiliki pengaruh yang dominan dalam penyelenggaraan

6 Ida Bagus Kade Danendra, “Kedudukan dan Fungsi Kepolisian dalam Struktur Organisasi Negara Republik Indonesia”, Lex Crimen, I, 4 (Oktober-Desember, 2012), h. 47.

Page 69: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

59

pemerintahan di Indonesia, maka penyelenggaraan pemerintahan yang baik

akan terwujud bila terwujud pula kepolisian yang baik (goodpolice).7

Jabatan Kepolisian merupakan jabatan karir yang tidak dapat

dipolitisasi, ia bersifat netral, dan tidak dapat berganti meski kekuasaan

pemerintahan Indonesia berganti kepemimpinannya.8 Hubungan antara

kepolisian dengan Kemendagri memiliki tugas dalam penyelenggaraan

pemerintahan yang baik, kepolisian memiliki tugas untuk menjaga keamanan

dan ketertiban masyarakat, Kemendagri bertugas secara administratif

memastikan penyelenggaraan pemerintahan di dalam negeri berjalan dengan

baik sesuai peraturan perundang-undangan.

Sama halnya dengan pemerintahan, penerapan sistem desentralisasi

juga diterapkan oleh Kepolisian. Menurut Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun

2014 Tentang pemerintahan Daerah, bahwa Desentralisasi adalah penyerahan

Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daaerah otonom

berdasarkan Asas Otonom. Dalam Pasal 1 Angka 7 UU tersebut juga

disebutkan, bahwa Asas Otonom adalah prinsip dasar penyelenggaraan

Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi Daerah. Kemudian dalam Pasal 1

Angka 6 Undang-Undang tersebut menyebutkan pula, bahwa Otonomi daerah

adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat

dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Secara teoritis, kepolisian juga dibagi berdasarkan daerah hukum yang

terkonsep akan pentingnya pembagian kewenangan berdasarkan daerah yang

memiliki batas tanggung jawabnya masing-masing. Sistem pembagian

kewenangan antara pusat dan daerah yang diterapkan dalam sistem

pemerintahan Indonesia. Sebagai lembaga organisasi Negara, Kepolisian

Negara Republik Indonesia memiliki sesitem desentralisasi dan sentralisasi

7 Ida Bagus Kade Danendra, “Kedudukan dan Fungsi Kepolisian dalam Struktur Organisasi Negara Republik Indonesia”,…. h. 41.

8 Hasil Wawancara dengan Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M., ahli Hukum Tata Negara Indonesia. Pada Senin, 4 Februari 2018 pukul 12.50 s.d 13.15 WIB.

Page 70: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

60

yang sembang, di mana Kepolisian yang terpusat di Markas Besar Kepolisian

Negara Republik Indonesia, sedangkan pelaksanaan tugas dan wewenangnya

terkonsep pembagian daerah hukum, Kepolisian tingkat pusat yang disebut

dengan Mabes Polri dan tingkat Provinsi disebut Polda.

Kepolisian yang kedudukannya berada sejajar dengan kementerian

yang hubungan antara keduanya merupakan hubungan kerja sama, seperti

yang diatur dalam Pasal 42 Ayat (2) UU Kepolisian, kedua lembaga ini

memiliki hubungan kerja sama untuk menjaga keamanan dan pertahanan

pemerintah pusat maupun daerah, hubungan kerjasama yang seharusnya

sejajar atau horizontal akan menjadi vertical hubungan kerja sama antara

atasan dan bawahan apabila polri menjadi Plt. Gubernur yang secara otomatis

berada pada area kekuasaan Kemendagri.

Berdasarkan hal tersebut, M Iriawan telah menjabat sebagai Plt.

Gubernur selama pilkada serentak pada Tahun 2018 lalu, di dalam Al-Qur’an

dijelaskan, bahwa taati lah Allah dan rosul, taatilah perintah pemimpin,

namun jika pemimpin tersebut bertentangan denganmu atas perintahnya,

maka kembalikan lah keputusannya kepada Allah Swt.

Al-Qur’an Surat An-Nisa ; (59).

سول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم ف وأطیعوا الر یا أیھا الذین آمنوا أطیعوا الله وه إلى الله ي شيء فرد

لك خیر والیوم الآخر ذ سول إن كنتم تؤمنون باللہ وأحسن تأویلا والر

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul

(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat

tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul

(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari

kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Page 71: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

61

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, untuk mengakhiri pembahasan dalam

penelitian ini, maka penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Secara hukum, pengangkatan Perwira polri aktif sebagai Plt. Gubernur ini

tidak sesuai aturan. Pasal 109 Ayat (2) UU ASN terdapat perintah, bahwa

Polri atau TNI harus pensiun atau mengundurkan diri dari jabatan tanpa

kecuali, hal ini berbeda dengan penjelasan Pasal 28 Ayat (3) UU

Kepolisian. Berdasarkan Asas Lex Posteriori Derogate Lex Priori UU

ASN lebih dapat digunakan kekuatan hukumnya dibanding dengan UU

Kepolisisan NRI. Kemudian Polri tidak dapat menjabat di Instansi

Pemerintahan meskipun ia ditugaskan oleh Kapolri, sebab dalam Pasal 20

Ayat (3) UU ASN Polri atau TNI dapat menduduki jabatan di Instansi

Pusat bukan Intansi Pemerintahan.

2. Hubungan Kementerian Dalam Negeri dengan Kepolisian Negara

Republik Indonesia merupakan sejajar dan sama-sama berada di bawah

Presiden. Beberapa Kementerian termasuk Kementerian Dalam Negeri

menginginkan Kepolisian berada di bawah kuasanya, namun sampai saat

ini Kepolisian masih dalam posisi yang sejajar dengan Kementerian.

Kepolisian yang masuk ke ranah pemerintahan (khusus daerah) berada di

bawah kuasa Kemendagri yang seharusnya cukup menjalin kerjasama,

garis kordinasi yang akan timbul diantara keduanya adalah garis kordinasi

vertikal bukan lagi horizontal.

Page 72: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

62

B. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan, maka penulis memberikan rekomendasi sebagai

berikut:

1. Seorang perwira polri aktif yang terlibat ke dalam ranah pemerintahan,

berarti juga terlibat dalam kegiatan politik praktis, sebaiknya

mengundurkan diri atau pensiun. Kepercayaan masyarakat terhadap

netralitasnya sebagai alat negara yang seharusnya dijaga dan

dipertahankan. Apapun alasannya, menjaga kepercayaan masyarakat

sangat penting.

2. Pelaksana Tugas Gubernur sebaiknya tidak melibatkan alat negara yang

memiliki tugas di luar kompetensinya. Ahmad Heriawan mantan

gubernur pada periode sebelumnya dapat dijadikan Plt. Gubernur untuk

menjalankan tugas selama pilkada berlangsung atau mengangkat Ineu

Purwadewi Sundari selaku Ketua DPRD saat itu untuk menjadi

Pelaksana Tugas yang tidak diragaukan lagi kompetensinya di bidang

pemerintahan daerah, khususnya Daerah Jawa Barat.

Page 73: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

63

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Ashiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara. Jakarat: PT RajaGrafindo Persada, 2007.

Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. VII. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada, 2015.

Amirudin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:

Kencana, 2006.

Atmosudiro, S. Prajudi. Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia,

1994.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia V 0.2.1

Beta (21), 2016.

Busroh, Abu Daud. Ilmu Negar, cet. VIII. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011.

Djaenuri, Aries & Enceng. Sistem Pemerintahan Daerah, cet. II, Ed. 2. Tangerang

Selatan: Universitas Terbuka, 2018.

Hasyimzoem, Yusnani. Hukum Pemerintahan Daerah. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2017.

HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia (Dalam Rangka

Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.

Huda, Ni’matul. Hukum Pemerintahan Daerah. Bandung: Nusa Media, 2009.

Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia, cet. V. Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2010.

Ibrahim, Johnny. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet. IV.

Malang: Bayumedia Publishing, 2008.

Page 74: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

64

Kansil, C.S.T. Jilid I Pengantar Ilmu Hukum Semester Ganjil, cet. X. Jakarta:

Balai Pustaka, 1999.

Manullang, E. Fernando M. Legisme, Legalitas, dan Kepastian Hukum. Jakarta:

Prenadamedia Group.

Marpaung, Lintje Anna. Hukum Tata Negara Indonesia. Yogyakarta: Penerbit

Andi, 2018.

Marzuki, Peter Muhmud. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media

Group, 2011.

Mufti, Muslim dan Didah Durrotun Nafisa. Teori-teori Demokras. Bandung: CV

Pustaka Setia, 2013.

Muluk, Khairul. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, cet. II. Jawa Timur:

Bayumedia Publishing, 2007.

Prasetyo, Teguh dan Abdul halim Barkatullah. Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum.

Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012.

Rahayu, Ani Sri. PENGANTAR PEMERINTAHAN DAERAH Kajian Teori,

Hukum, dan Aplikasinya. Jakarta: Sinar Grafika, 2018.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu

Tinjauan Singkat,cet. XII. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum. Cet. XIII. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Sugiyono. Jenis Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta,

2005.

Sunggono, Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 1997.

Supranto, J. Metode Penelitian Hukum dan Statistik. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2003.

Page 75: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

65

Sutrisno dan Wiwin Yulianingsih. Etika Profesi Hukum. Yogyakarta: ANDI,

2016.

Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

II. JURNAL

Adelina, Fransica. Legalitas Penunjukan Pejabat POLRI menjadi Pelaksana tugas

Gubernur pada Masa Kampanye Pemilihan Kepala Daerah. Jurnal

Legislasi Nasional, Volume 15 Nomor 01, Maret 2018.

Armin. Hubungan Pemerintahan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Ketatanegaraan. Volume 011,

Oktober 2018.

Bauw, Azies. Penegakan Kode Etik Kepolisian terhadap Pelanggaran yang

dilakukan Anggota Polisi (Studi Kasus di Kepolisian Daerah Jayapura),

Legal Pluralism. Volume 5 Nomor 1, Januari 2015.

Danendra, Ida Bagus Kade. “Kedudukan dan Fungsi Kepolisian dalam Struktur

Organisasi Negara Republik Indonesia”, Lex Crimen, I, 4, Oktober-

Desember 2012.

Deliarnoor, Danang Alamsah. Problematika Pelaksana Tugas (PLT) dalam Masa

Transisi Pemerintahan (Pra dan Pasca Pilkada Serentak), CosmoGov,

Volume 1 Nomor 2, Oktober 2015.

Djamin, Awaloedin. Kedudukan Polri Dalam Sistem Ketatanegaraan: Isu-Isu

Polri Dalam RUU Kamnas, (Jurnal Keamanan Nasional Volume I, Nomor

3, 2015.

D, Dewi. Sendhikasari. “Wacana Pejabat Gubernur dari POLRI”, Info Singkat, X,

03, Februari 2018.

Page 76: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

66

Hadi, Syofyan dan Tomy Michael. Prinsip Keabsahan (Rechtmatigheid) dalam

Penetapan Keputusan Tata Usaha Negara, Jurnal Cita Hukum, Volume 5,

Nomor 2, Desember 2017.

Hamid, Ahmad Farhan dan Saripudin. Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Ketatanegaraan. Volume 011,

Oktober 2018.

Herman dan Hendry Julian Noor. Doktrin Tindakan Hukum Administrasi Negara

Membuat Keputusan (Beschikking), Volume 3, Nomor 1, Februari 2017.

Nadir, Sakinah. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa: Menuju Pemberdayaan

Masyarakat Desa, Jurnal Politik Profetik, Volume 1 Nomor 1, 2013.

Siallagan, Haposan. Penerapan Prinsip Negara Hukum di Indonesia,

Sosiohumaniora, Volume 18 Nomor 2, Juli 2016.

Sutrisno, Cucu. Partisipasi Warga Negara dalam PILKADA. Jurnal Pancasila

dan Kewarganegaraan, Volume 2 Nomor 2, Juli 2017.

Wendi dan Firman Wijaya, Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori

Terhadap Anak Korban Pencabulan, Jurnal Hukum Adigama.

III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan

Kedua Atas Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur

Sipil Negara.

Page 77: LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI

67

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata usaha Negara.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisisan

Negara Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai

Negeri Sipil.

Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Kementerian Dalam Negeri.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan,

Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah.

IV. WEBSITE

Hidayat, Rofiq. Polisi Jabat Plt Gubernur, ini UU yang Potensi Dilanggar

Mendagri, hukum online.

http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5a6ee439b8d04/polisi-jabat-plt-

gubernur--ini-uu-yang-potensi-dilanggar-mendagri.

https://fokus.tempo.co/read/1098950/kontroversi-m-iriawan-jadi-pejabat-

gubernur-jawa-barat/full?view=ok

https://m.cnnindonesia.com/nasional/2018012814371932-272117/yusril-anggap-

alasan-kemendagri-tunjuk-plt-gubernur-tak-tepat.

https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt56fcad31a33f9/bahasa-hukum

pelaksana-tugas--pelaksana-harian--dan-pejabat/.

https://m.detik.com/news/berita/d-3836023/pengamat-mendagri-tak-tabrak-

aturan-angkat-polri-jadi-pj-gubernur.