Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LEGALITAS PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF
SEBAGAI PELAKSANA TUGAS GUBERNUR (Studi Kasus Pengangkatan M Iriawan sebagai Plt. Gubernur Provinsi Jawa
Barat Tahun 2018)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh gelar Sarjana Hukum
(S.H.)
Oleh :
DESY PURWANINGSIH NIM : 11150480000085
P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2019 M
ii
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan, bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatuulah Jakarta.
Jakarta, 7 Mei 2019.
DESY PURWANINGSIH NIM: 11150480000085
v
ABSTRAK
Desy Purwaningsih. NIM 11150480000085. KEABSAHAN PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI PELAKSANA TUGAS GUBERNUR (Studi Kasus Pengangkatan M Iriawan sebagai Plt. Gubernur Provinsi Jawa Barat Tahun 2018). Skripsi Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 2019 M/ 1440 H, x +59 Halaman. Studi ini bertujuan untuk menganalisis keabsahan suatu keputusan Menteri Dalam Negeri dalam mengangkat M Iriawan selaku Perwira Polri Aktif sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Jawa Barat Tahun 2018. Latar belakang penelitian ini adalah ketika pemerintah pusat dalam hal ini adalah Menteri Dalam Negeri melibatkan seorang perwira polri aktif untuk menduduki jabatan di pemerintahan, tanpa pensiun atau berhenti dari jabatannya di kepolisian. Keamanan di Jawa Barat saat Pilkada Tahun 2018 itu menjadi alasan Kemendagri mengangkat M Iriawan menjadi Plt. Gubernur. Selain itu, sebagai seorang polri sudah seharusnya ia menjaga netralitasnya selaku alat keamanan dan pertahanan negara sesuai dengan Pasal 28 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perwira polri aktif yang menduduki jabatan di pemerintahan membuat masyarakat dan para pakar hukum khawatir dan ragu akan netralitasnya sebagai aparat negara. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan teknik pengumpulan data studi pustaka, di mana pengumpulan data dilakukan dengan cara mengkaji berbagai dokumen terkait dengan objek penelitian. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Hasil penelitian ini menunjukan, bahwa jika kita mengkaji penjelasan pada Pasal 28 Ayat (3) UU No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa selama ditugaskan oleh Kapolri maka itu termasuk ke dalam tugas kepolisian. Hal yang serupa juga disebutkan dalam Pasal 109 Ayat (3) UU No. 45 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang tidak melarang perwira polri aktif menjabat sebagai Plt. Gubernur selama ia memiliki kompetensi yang baik dengan jabatan yang diambilnya. Namun, masih terdapat beberapa pihak yang lebih berhak dan kompeten dalam menduduki jabatan Plt. Gubernur Jawa Barat Tahun 2018, seperti Ahmad heryawan selaku Mantan Gubernur Jawa barat dan Ineu Purwadewi Sundari, S.Sos., M.M., selaku Ketua DPRD Jawa Barat.
Kata Kunci : Pelaksana Tugas Gubernur. Perwira Polri Aktif.
Dosen Pembimbing : Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1994 sampai Tahun 2018
vi
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحیم
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang telah memberikan rahmat dan hidayat-Nya kepada peneliti dalam
penyusunan skripsi yang berjudul LEGALITAS PENGANGKATAN
PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI PELAKSANA TUGAS GUBERNUR
(Studi Kasus Pengangkatan M Iriawan sebagai Plt. Gubernur Provinsi Jawa
Barat Tahun 2018), sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Selawat
dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi
Wassallam, semoga kita semua mendapatkan syafa’atnya di akhirat kelak. Amin.
Pencapaian ini tidak akan terwujud tanpa pertolongan Allah Subhanahu
wa Ta’ala, berbagai pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungannya
kepada peneliti dalam penyelesaian skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat
saya mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan
arahan untuk menyelesaikan skripsi ini.
4. Prof. Dr. A. Salman Maggalatung, S.H., M.H., Dosen Pembimbing yang telah
memberikan arahan, bimbingan, serta kesabaran dalam membimbing peneliti
sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Dr. Refly Harun, S.H., M.H., L.L.M., narasumber yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk ditemui dan memberikan pendapat terkait judul
skripsi ini.
vii
6. Seluruh Dosen Program Studi Ilmu Hukum dan staff Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan dedikasi dan pelayanan yang begitu baik selama masa
perkuliahan.
7. Kepala dan staff Pusat Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta serta Kepala dan staff Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum yang telah memberikan fasilitas dan mengizinkan saya untuk
mencari dan meminjam buku-buku referensi dan sumber-sumber data lainnya
yang diperlukan.
8. Kepada kedua orang tua tercinta Jamadin dan Hj. Eti Suheti yang selalu
memberikan dukungan, mengingatkan, dan mendo’akan yang terbaik untuk
peneliti hingga dapat menyelesaikan skiripsi ini. Kedua kakak, Julaekha dan
Sri Sulastri, serta adik, Herlin Aprilya Fauzianti yang selalu memberikan
dukungan dan nansihat kepada peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini.
9. Kepada Seluruh Tim Jurnal Cita Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
10. Kepada Asari Irawan yang selalu memberikan dukungan, nasihat, dan
motivasi selama perkuliahan, khususnya selama penyusunan skripsi ini.
11. Sahabat tercinta di kampus, Indah Radiawati, Fatihatul Makiyyah Ya’kub,
Titia Ulva Sapitri, Widya Novita, Fuzzy Kartika Candra Dewi, Izmi Amalia,
Mutia Nur Azizah, dan Tri Urvi Widhianie yang telah menemani selama 7
semester dan terus menemani sampai penyelesaian skripsi ini.
12. Kepada teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan tahun 2015, khususnya IH B 2015.
Kepada Dhaifina Chaerunnisa Pradipta, senior yang tidak pernah lelah
memberikan bimbingan kepada peneliti, serta senior lainnya yang tidak dapat
disebutkan satu persatu.
13. Kakak-kakak teman-teman, dan adik-adik DPC Perhimpunan Mahasiswa
Hukum Indonesia (PERMAHI) Tangerang dan Dewan Pimpinan Pusat (DPN)
PERMAHI yang telah memberikan dukungan, nasihat, pengalaman, dan ilmu
yang luar biasa.
viii
14. Kakak-kakak, teman-teman, dan adik-adik Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) Komisariat Syariah dan Hukum, yang telah memberikan
berbagai pengalaman dan ilmu yang luar biasa selama masa perkuliahan.
15. Cak Habibi, Mas Dani, Wely Saputra, Fadilatunnisa, Eva Latifah Hanum,
serta abang, kakak, teman, dan adik lainnya dalam Forum Konstitusi dan
Demokrasi (FOKDEM) yang telah memberikan bimbingan, dukungan,
pengalaman, dan ilmu yang luar biasa.
16. Kepada Bank Indonesia yang telah memberikan sumbangsih materil selama
perkuliahan, dan melalui Generasi Baru Indonesia (GenBI) UIN Jakarta telah
memberikan pengalaman, jaringan pertemanan, dan ilmu yang luar biasa.
17. Kepada Backpacker Komps, Ayu Firdiyatus Sholihah, Muhamad Suriyadi,
Henry Fanny, Maerani, dan teman-teman lainnya yang selalu mendukung dan
membantu peneliti.
18. Pihak-pihak lainnya yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini.
Demikian ucapan terima kasih ini, semoga Allah memberikan balasan
yang setara kepada para pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusunan
skripsi ini dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 8 April 2019
Desy Purwaningsih
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ………………………………………………….iv
ABSTRAK …………………………………………………………………….v
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………………ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ……………………………………………………. 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ………………. 8
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ……………………….. 9
D. Metode Penelitian ………………………………………………… 9
E. Sistematika Penelitian …………………………………………….. 14
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual …………………………………………….. 16
1. Asas Legalitas ………………………………………………....16
2. Pengangkatan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur …………….... 20
B. Kerangka Teori …………………………………………………... 24
1. Negara Hukum ……………………………………………….. 23
2. Pemisahan Kekuasaan ………………………………….……. 26
3. Otonomi Daerah ……………………………………………... 28
4. Etika ………………………………………………………….. 31
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu …………………………….. 33
x
BAB III KEDUDUKAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH
A. Tugas, Wewenang, dan Kedudukan Kepolisian Negara Republik
Indonesia. ………………………………………………………….. 36
B. Kewenangan Kementerian Dalam Negeri dalam Pengangkatan pejabat
Pelaksana Tugas Gubernur. ………………………………………... 40
C. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. …………………………... 43
1. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ……………………... 40
2. Dewan Perwakilan Rakyat Daearah (DPRD) ………………….. 45
3. Pelaksana Tugas Kepala Daerah ………………………………. 47
BAB IV ANALISIS KEPUTUSAN PENGANGKATAN PERWIRA POLRI
AKTIF SEBAGAI PLT GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2018
A. Keabsahan Pengangkatan perwira POLRI aktif sebagai Pelaksana
Tugas Gubernur di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018 dan implikasinya.
……………………………………………………………………… 51
B. Hubungan Kementerian Dalam Negeri dengan Kepolisian Republik
Indonesia dalam sistem Pemerintahan Indonesia. ………………… 58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………………… 61
B. Rekomendasi ……………………………………………………….. 62
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 63
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Konstitusi negara Republik Indonesia menyatakan, bahwa Indonesia
merupakan Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, Pasal 1 Ayat (1)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
selanjutnya disebut UUD NRI 1945. Indonesia sebagai Negara kepulauan
memiliki satu pusat pemerintahan yang menaungi berbagai daerah di
bawahnya. Dalam hal ini, Jakarta sebagai ibu kota Negara menjadi pusat
pemerintahan di Indonesia.
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,
yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Pasal
18 Ayat (1) UUD NRI 1945.”
Indonesia merupakan negara demokrasi yang kedaulatannya berada di
tangan rakyat, Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945. Demokrasi merupakan alat
untuk menjalankan kedaulatan tetrsebut dan dibutuhkan seorang pemimpin
agar terciptanyya kedaulatan rakykat sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, seperti yang diuttarakan Joseph Schumpeter, demokrarsi
merupakan persiapan dalam membuat satu keputusan politik, di mana
keputusan politik tersebut diambil melalui votting suara rakyat. Menurutnya,
yang dapat dilakukan oleh rakyat hanya memilih para elite representative
sebab mereka yang akan memberikan keputusan berdarkan nama rakyat.1
Pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah Indonesia tetap
menerapkan sistem demokrasi dalam setiap pengambilan keputusan yang
berkaitan langsung dengan Negara. Pemilihan Umum atau yang biasa disebut
1 Muslim Mufti dan Didah Durrotun Naafisah, Teori-teori Demokrasi, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2013), h. 23
2
Pemilu merupakan salah satu alat untuk menjembatani Negara Republik
Indonesia dalam menerapkan sebuah sistem demokrasi yang juga merupakan
sarana kedaulatan rakyat di Indonesia.
“Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah
sarana kedaulatan rakyat yang memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undnag-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945. Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 Tentang Pemilihan Umum.”
Sistem Pemilu menjadi bagian dari perwujudan sistem tidak langsung
yang diterapkan di Indonesia sejak era reformasi. Pemilihan umum tidak
bersifat sentral, yang artinya hanya berlaku untuk pemerintahan pusat, akan
tetapi pemerintahan daerah pun dapat menyelenggarakan sistem pemilihan
umum ini. Pemilihan kepala daerah yang selanjutnya disebut pilkada
merupakan pemilihan kepala daerah ditingkat provinsi yang disebut dengan
gubernur dan pilkada ditingkat daerah kabupaten/ kota yang disebut bupati/
wali kota yang juga menjadi sarana kedaultan rakyat ditingkat daerah provinsi
maupun kabupaten/ kota berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.2
Pesta demokrasi yang diselenggarakkan tidak setiap tahun ini selalu
mendapatkan respon yang antusias dari para rakyat Indonesia. Pilkada
dilakukan agar terpilihnya kepala daerah merupakan benar-benar atas nama
rakyat yang dapat memperjuangkan hak-hak dan kepentingan rakyat. Pilkada
2 Ani Sri Rahayu, Pengantar Pemerintahan Daerah Kajian Teori, Hukum, dan
Aplikasinya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2018), h. 88.
3
merupakan sarana untuk rakyat yang memberikan mandatt dan legitimasi dari
rakyat kepada kepala daerah.3
Sebagai Negara Kesatuan yang dikenal juga sebagai negara
kepulauan, Indonesia dirasa perlu memiliki suatu alat keamanan dan
pertahanan untuk dapat menjaga kesatuan Negara Republik Indonesia, dalam
hal ini POLRI dan TNI yang memiliki kewenangan untuk menjaga kesatuan
Negara Republik Indonesia agar tetap utuh. Hal tersebut tercantum dalam
Pasal 30 Ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan, bahwa “Usaha pertahanan
dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan
rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara
Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakkyat, sebagai kekuatan
pendukung.” Kepolisian negara Republik Indonesia, TNI, dan rakyat
Indonesia memiliki peran penting dalam menjaga keamanan dan pertahanan
negara.
Pengaturan pelaksana tugas dan fungsi keamanan harus berlandaskan
landasan filosofis dan aturan dunia internasional. Secara normatif universal,
POLRI sebagai institusi sipil harus menjadi leading sector dalam menjaga
kamtibnas. Jika TNI terlibat dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian,
maka itu hanya bersifat perbantuan saja, sehingga harus memiliki landasan
regulasi terkait batas waktu perbantuan dan asas perbantuan saja yang
memutuskan4. Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan
negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakkan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. Begitulah pernyataan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Seorang perwira polri
berkewajiban menjaga ketertiban dan keutuhan negara kesatuan republik
Indonesia guna membantu pemerintah dalam menjaga dan memelihara
3 Cucu Sutrisno, Warga Negara dalam Pilkada, Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan,
Vol. 2 No. 2, Juli 2017, h. 36.
4 Awaloedin Djamin, Kedudukan Polri Dalam Sistem Ketatanegaraan: Isu-Isu Polri Dalam RUU Kamnas, (Jurnal Keamanan Nasional Vol. I, No.3, 2015), h. 444.
4
keamanan negara, mengingat Indonesia yang merupakan negara kepulauan
yang terdiri dari daerah-daerah yang memiliki sistem pemerintahan masing-
masing dan memiliki adat istiadat yang berbeda di setiap daerah yang rawan
menimbulkan konflik.
Dilihat dari fungsinya, seorang polri tidak dapat masuk ke dalam
sistem pemerintahan, baik pusat maupun daerah. Sebab, hal tersebut dapat
menimbulkan konflik baru di luar kewenangan POLRI yang berfungsi
sebagai penjaga keamana dan pertahanan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kita ketahui bersama, bahwa sistem pemerintahan Indonesia ini
diduduki oleh beragam partai politik yang menjalankan sistem demokrasi
sebagai bentuk perwujudan bahwa Indonesia merupakan negara yang
berdaulat dan kedaulatannya berada di tangan rakyat, tercantum dalam Pasal 1
Ayat (2) UUD NRI 1945. Sebagai negara yang berdaulat dan kedaulatannya
berada di tangan rakyat, hal ini menandakan bahwa Indonesia tidak akan
dapat melepaskan diri dari sistem demokrasi yang dijalankan oleh beragam
partai politik yang ada.
Seorang POLRI juga dilarang untuk terlibat dalam kegiatan politik
untuk menjaga kenetralan seorang penegak hukum dan penjaga keamanan
dan pertahanan negara. Hal tersebut diatur dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia menyatakan, bahwa “Kepolisian Negara republic Indonesia
bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada
kegiatan politik praktis”. Namun, pada kenyataannya baru-baru ini seorang
perwira POLRI aktif terlibat dalam kegiatan politik dengan masuk ke dalam
sistem pemerintahan daerah, dengan menjadi seorang Pelaksana Tugas
Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2018.5 Padahal dalam tugas dan
kewenangannya tidak ada satupun hal yang berkaitan yang dapat dijadikan
alasan seorang perwira POLRI aktif menduduki jabatan di pemerintahan,
5 Rofiq Hidayat, Polisi Jabat Plt Gubernur, ini UU yang Potensi Dilanggar Mendagri,
hukum online. http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5a6ee439b8d04/polisi-jabat-plt-gubernur--ini-uu-yang-potensi-dilanggar-mendagri, 2018/09/15.
5
kecuali ia mengundurkan diri dari dinas kepolisian atau telah pensiun. Hal
tersebut diatur dalam Pasal 28 Ayat (3) UU Kepolisan Negara Republik
Indonesia menyatakan, bahwa “Anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan
diri atau pension dari dinas kepolisian.”
Dalam meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan seorang POLRI
dirasa tidak perlu terjun langsung dalam pemerintahan, khususnya
pemerintahan daerah, seorang POLRI cukup fokus pada fungsi dan tugasnya
untuk menjaga keamanan dan pertahanan Negara Republik Indonesia, jika
seorang POLRI aktif menduduki jabatan di pemerintahan akan menimbulkan
konflik dan meruntuhkan keamanan serta pertahanan negara Indonesia itu
sendiri. Kedudukan POLRI dan Menteri merupakan sama-sama berada di
bawah Presiden, dalam artian memiliki kedudukan yang setara, sehingga
apabila POLRI diberi mandat oleh Mendagri untuk menjadi Pelaksana Tugas
Gubernur akan membuat posisi polri berada di bawah kuasa menteri.
Selama ini, konsep pelaksana tugas Kepala Daerah merujuk kepada
SK Kepala BKN No. K.26-20/V.24.25/99 tanggal 10 Desember 2001 tentang
Tata Cara Pengangkatan PNS sebagai Pelaksana Tugas. Legalitas
pengangkatan Pelaksana Tugas dapat dikaji dari tugas dan kewenangan suatu
institusi, di mana dalam hal ini peneliti dapat mengkaji fungsi dan
kewenangan dari pihak terkait, diantaranya Kementerian Dalam Negeri,
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Daerah, Pemerintahan Daerah
terkait, dan Pegawai Negeri Sipil untuk dapat mengetahui institusi mana yang
berhak dan memiliki fungsi dan kewenangan serupa, sehingga dapat menjadi
pelaksana tugas daripada Kepala Daerah tersebut.6
Di Indonesia sendiri pegawai negeri dibagi menjadi tiga golongan,
yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota Tentara Nasional Indonesia, dan
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. PNS terbagi menjadi dua,
6 Fransica Adelina, Legalitas Penunjukan Pejabat POLRI menjadi Pelaksana Tugas
Gubernur pada Masa Kampanye Pemilihan Kepala Daerah. Jurnal Legislasi Nasional, Vol 15 No. 01, Maret 2018, h.13.
6
yaitu PNS Pusat dan PNS daerah, PNS inilah yang kemudian menjadi
pegawai yang terlibat langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan,
termasuk PNS daerah yang menjalankan penyelenggaraan pemerintahan
daerah.7
Pemilihan umum untuk memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden
serta Pemilihan Umum Kepala Daerah untuk memilih seorang Gubernur saat
ini selalu menjadi hal yang menarik, rakyat Indonesia selalu antusias dalam
menghadapi pesta demokrasi yang tentu tidak setiap tahun diselenggarakan
ini. Proses pemilu atau pemilukada yang panjang biasanya menyebaban
konflik-konflik yang sulit untuk diakhiri, salah satunya konflik mengenai
kekosongan kekuasaan saat kepala daerah sedang berada dalam proses
pemilihan umum. Selama proses pemilihan seorang pemimpin, maka akan
terjadi suatu kekosongan kekuasaan yang berakibat pada pemerintahan. Hal
tersebut mengharuskan Menteri Dalam Negeri untuk sigap mempersiapkan
seseorang untuk menjadi Pelaksana Tugas untuk menempati jabatan tinggi
Negara ataupun daerah agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan.
Untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahan khususnya
pemerintahan daerah agar efesiensi dan efektifitas perlu ditingkatkannya
perhatian terhadap aspek-aspek hubungan pemerintahan, hubungan
pemerintahan pusat dan daerah harus terjalin dengan baik, khususnya pada
potensi dan keanekaragaman daerah, peluang serta tantangan persaingan
global yang semakin kuat menjadikan pemerintah pusat dirasa perlu
memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada daerah juga pemberian hak
dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan system
penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk terciptanya Negara kesatuan
yang lebih baik.8
7 Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, (Jawa Timur: Bayumedia
Publishing, 2007, cet. kedua), h. 150.
8 HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia (Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah), (Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2008), h. 37.
7
Peran Menteri Dalam Negeri untuk menentukan seorang Pelaksana
Tugas Kepala Daerah Jawa Barat Tahun 2018 berhasil mencuri perhatian
publik, di mana Menteri Dalam Negeri menunjuk dan mengangkat seorang
POLRI aktif untuk menduduki jabatan Pelaksana Tugas Gubernur. Keputusan
yang diambil menuai beragam reaksi dari berbagai kalangan, mengingat
seorang polri merupakan pihak yang berwenang dalam menjaga keamanan
dan pertahanan Negara, bukan untuk terjun dalam dunia pemerintahan. Dalam
hal kekosongan jabatan gubernur, maka Kementerian Dalam Negeri sebagai
pihak yang memiliki wewenang mengangkat pejabat gubernur yang berasal
dari pimpinan tinggi madya sampai dilantiknya gubernur selanjutnya.
“Pasal 201 Ayat (10) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kota Menjadi
Undang-Undang yang menyatakan, bahwa “untuk mengisi
kekosongan jabatan gubernur, diangkat pejabat gubernur
yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai
dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.”
Terdapat pada Penjelasan Pasal 19 Ayat (1) huruf b Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya
disebut ASN, bahwa yang dimaksud jabatan pimpinan tinggi madya meliputi
sekretaris jendral kementrian, sekretaris utama, sekretaris jendral
kesekretariatan lembaga Negara, sekretaris jenderal lembaga nonstructural,
direktrur jenderal, deputi, inspektur jenderal inspektur utama, kepala badan,
staf ahli menteri Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil
Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretaris Dewan Pertimbangan
Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara. Jabatan
pelaksana gubernur memang seharusnya berasal dari pimpinan tinggi madya,
8
yaitu berasal dari kalangan sipil seperti yang diatur dalam Pasal 201 ayat (10)
UU Pilkada.
“Pasal 201 Ayat (10) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali kota Menjadi Undang-Undang yang
menyatakan, bahwa “untuk mengisi kekosongan jabatan
gubernur, diangkat pejabat gubernur yang berasal dari jabatan
pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Jabatan pemerintahan yang diisi oleh aparatatur negara dapat
menimbulkan berbagai konflik, salah satunya menghilangkan kepercayaan
masyarakat terhadap netralitas Kepolisan Negara Republik Indonesia. Dapat
diketahui bersama, bahwa tugas kepolisian ialah menjaga keamanan dan
ketertiban negara, bukan untuk menjalankan roda pemerintahan.
Dari uraian di atas, maka bagi peneliti ada suatu hal yang menarik
hingga membuat saya tertarik untuk membahas dan menggali lebih dalam
tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dengan judul: “LEGALITAS
PENGANGKATAN PERWIRA POLRI AKTIF SEBAGAI
PELAKSANA TUGAS GUBERNUR (Studi Kasus Pengangkatan M
Iriawan sebagai Plt. Gubernur Provinsi Jawa Barat Tahun 2018)”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi masalah
a. Pengangkatan M Iriawan sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Jawa
Barat Tahun 2018.
b. Kewenangan Menteri Dalam Negeri dalam Pengangkatan Pelaksana
Tugas Gubernur.
9
c. Dasar hukum perwira POLRI aktif yang menduduki jabatan
pelaksana tugas Gubernur.
2. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan masalah di atas, maka peneliti
membatasi hanya pada Pengangkatan M Iriawan yang menjadi Pelaksana
Tugas Gubernur di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, identifikasi, dan batasan masalah di
atas, perumusan masalah yang telah ditentukan peneliti, yaitu:
“Pengangkatan seorang POLRI Aktif menjadi Pelaksana Tugas Kepala
Daerah oleh Menteri Dalam Negeri”. Untuk mempertegas perumusan
masalah tersebut peneliti membuat perincian pertanyaan penelitian
sebagai berikut:
a. Bagaimana Legalitas pengangkatan M Iriawan sebagai Pelaksana
Tugas Gubernur di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018?
b. Bagaimana Hubungan Kementerian Dalam Negeri dengan
Kepolisian Republik Indonesia dalam Sistem Pemerintahan
Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian ini, yaitu:
a. Untuk mengetahui Legalitas pengangkatan M Iriawan sebagai
Pelaksana Tugas Gubernur di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018.
b. Untuk mengetahui hubungan Kementerian Dalam Negeri dengan
Kepolisian Republik Indonesia dalam system Pemerintahan
Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk:
10
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan
penelitian lanjutan bagi mahasiswa atau peneliti yang akan
membahas persoalan yang serupa.
b. Secara praktis, penelitian ini sebagai bahan pertimbangan kepada
Kementerian Dalam Negeri dan Kepolisian Republik Indonesia
dalam Legalitas Pengangkatan Perwira POLRI Aktif sebagai
Pelaksana Tugas Gubernur.
c. Secara akademis, penelitian ini sebagai sumbangan pemikiran dan
sekaligus sebagai bahan tambahan referensi di Perpustakaan Fakultas
dan Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
D. Metode Penelitian
Untuk dapat merampungkan penyajian skripsi ini agar dapat
memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah diperlukan data yang relevan dengan
skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka
diterapkan metode pengumpulan data sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Penulis menggunakan metode penelitian normatif, penelitian
normatif merupakan penelitian yang berfokus untuk mengkaji penerapan
suatu norma hukum.9 Jenis penelitian yang menekankan pada aspek
pemahaman suatu norma hukum yang terdapat pada peraturan
perundang-perundangan serta norma-norma yang berkembang di
masyarakat.10 Jenis penelitian ini tidak membutuhkan sampel juga
populasi dalam melakukan penelitian.
9 Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2008, cet. keempat), h. 294.
10 Sugiyono, Jenis Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2005) h. 46.
11
Penelitian ini bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian yang
membahas doktrin-doktrin atau asas-asas dengan ilmu hukum11. Metode
penelitian normatif yang disebut juga sebagai penelitian doktrinal
(doctrinal research) yang merupakan suatu penelitian yang menganalisis
hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book),
maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan
(law it is decided by the judge through judicial process).12 Penelitian
hukum normatif ini merupakan suatu prosedur peneliian ilmiah untuk
menemukan suatu kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari
sisi normatifnya.13 Dalam penelitian ini, penelitian hukum normatif
didasarkan pada data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah
spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.14
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan di dalam penelitian hukum ini menggunakan
pendekatan perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan
Kasus (Case Approach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan
dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan dan regulasi
yang bersangkut paut dengan isu hukum yang diteliti. Penelitian dengan
pendekatan perundang-undangan ini akan membuka kesempatan bagi
peneliti untuk mempelajari terkait konsistensi dan kesesuaian aturan
antara satu undnag-undang dengan undang-undang lainnya atau antara
undnag-undang dengan Undang-Undang Dasar atau regulasi lainnya.15
Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
11 Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 24.
12 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 118.
13 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif,… h. 57.
14 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 3.
15 Peter Muhmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), h. 93-94.
12
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, juga terdapat undnag-
undang lainnya yang berkaitan.
Sedangkan pendekatan kasus dilakukan dengan cara menelaah
kasus-kasus yang sedang dihadapi dan telah menjadi putusan yang
mempunyai hukum tetap. Beberapa kasus ditelaah untuk referensi isu
hukum.16
3. Sumber Hukum
Penelitian ini menggunakan sumber penelitian yang berupa data
sekunder. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakupi:17
a. Bahan Hukum Primer, yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan
ditetapkan oleh pihak yang berwenang. Bahan hukum primer dalam
tulisan ini di antaranya: Undang-Undnag Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014
Tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan
Daerah (OTODA 2015), Udang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
Tentang Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut
UU Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Kepala Daerah).
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu dokumen yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil
16 Peter Muhmud Marzuki, Penelitian Hukum, … h. 94.
17 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010, Cet. XII) , h. 13.
13
penelitian, jurnal, hasil karya dari kalangan hukum, karya tulis
ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan
persoalan di atas.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,
contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan
seterusnya.
4. Metode Pengumpulan data
Penulisan skripsi ini menggunakan metode pengumpulan data
dengan cara studi pustaka. Studi ini menggunakan pengumpulan data
sekunder, yaitu dilakukan dengan cara mengumpulkan, membaca,
mengkaji, menelaah, menganalisis, serta mengkritisi keabsahan perwira
polri aktif sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Jawa Barat Tahun 2018.
Selain itu, peneliti juga menggunakan pendapat para pakar, doktrin,
jurnal, dan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan peneliti lain yang
sejenis dan terkait dengan tema penelitian skripsi ini dalam
menyelesaikan penelitian ini.
5. Pengolahan dan Analisis Data
Bagi penelitian hukum normative yang hanya mengenal data
sekunder, yang terdiri dari: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder,
dan bahan hukum tersier, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan
hukum tersebut tidak dapat melepaskan diri dari berbagai penafsiran
yang dikenal dalam ilmu hukum.18
Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian
dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode
deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan, dan membandingkan,
sedangkan metode induktif dilakukan dengan menterjemahkan berbagai
sumber yang berhubungan dengan topik dengan skripsi ini, sehingga
18 Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum…, h. 163.
14
diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah
dirumuskan.19 Untuk mengambil kesimpulan di dalam skripsi ini
dilakukan dengan pendekatan deduktif.
Data yang didapat dari penelitian studi dokumen ini disusun secara
sistematik untuk memperoleh deskripsi tentang Legalitas Pengangkatan
Perwira POLRI Aktif sebagai Pelaksana Tugas Gubernur. Analisis data
dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif yang tidak membutuhkan
sampel dan populasi, yaitu dengan cara penelaahan kepustakaan,
penelaahan terhadap literatur atau bahan pustaka yang terkait dengan
tema skripsi ini, menghubungkan dengan peraturan-peraturan yang
berlaku, serta menghubungkan dengan pendapat pakar hukum.
6. Metode Penulisan
Metode penulisan skripsi ini mengacu pada “Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, tahun 2017”.
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dan terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab
terdiri atas beberapa sub-sub bab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan
cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-
masing bab serta pokok pembahasannya sebagai berikut:
Bab satu, bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain
memuat latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian,
sistematika penulisan.
Bab dua, dalam bab ini membahas kajian pustaka yang berisi teori-
teori yang digunakan untuk menganalisis dan menginterpretasikan data
19 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997), h. 71.
15
penelitian. Kajian Pustaka ini diawali dengan pemaparan kerangka konsep
yang kemudian diikuti dengan pemaparan dari kerangka teori. Kajian pustaka
yang baik akan membantu peneliti dalam merumuskan hipotesis dari
penelitian tersebut. Selain itu, juga terdapat review (tinjauan ulang) hasil studi
terdahulu pada sub bab kedua dari Bab II, di mana peneliti menelusuri dan
mendeskripsikan hasil penelusurannya terhadap penelitian terdahulu yang
serumpun.
Bab tiga, dalam bab ini menyajikan data penelitian. Penyajian data
berupa deskripsi data yang berkenaan dengan variable yang diteliti secara
objektif. Dalam bab ini juga dapat mendeskripsikan profil lembaga terkait dan
kondisi daerah penelitian terkait, menjelaskan metode penelitian jika memang
dibutuhkan.
Bab empat, dalam bab ini membahas tentang analisis dan interpretasi
temuan peneliti. Analisis data penelitian mencakup empat aspek, yaitu:
mendeskripsikan, mengelompokkan, atau mengkategorisasi, menghubungkan
bagian tertentu dari data dengan bagian lainnya, serta membandingkan data
dengan data lainnya. Analisis data dimaksudkan untuk menjawab masalah
penelitian, yang diantaranya menganalisis serta menjawab legalitas
pengangkatan POLRI aktif menjadi Plt Gubernur dan kedudukan POLRI
dalam system pemerintahan Indonesia. Bab ini merupakan bab inti dari
seluruh bab yang ada di dalam skripsi.
Sedangkan yang terakhir adalah bab lima, bab ini merupakan bab
penutup yang berisi kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil
penelitian dan dilengkapi juga dengan rekomendasi. Kesimpulan yang bukan
pernyataan ulang, melainkan jawaban terhadap inti masalah penelitian
berdasarkan data yang diperoleh. Kesimpulan harus memperlihatkan
konsistensi kaitan antara rumusan masalah, tujuan penelitian, dan hasil
analisis. Selain itu, bab ini juga menjelaskan keterbatasan dan kekurangan
penelitian yang telah dilakukan.
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
1. Legalitas
Legalitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti
perihal (keadaan) sah; keabsahan.1 Sama halnya juga disebutkan dalam
Kamus Hukum, legalitas berarti kelegalan; perihal atau keadaan sah.
Artinya suatu keadaan yang dilaksanakan itu dianggap sah apabila telah
sesuai dengan aturan.
Asas legalitas merupakan Gagasan Montesquieu, gagasan ini membuat
para ahli mengadopsi gagasan tersebut, gagasan yang menyatakan, bahwa
apa yang tercantum di dalam teks hukum (undang-undang) atau apa yag
telah ditentukan oleh legislatif, tidak boleh ditentukan lebih dari itu.2
Artinya, tidak ada suatu aturan di luar dari apa yang telah ditentukan oleh
undang-undang. Pada intinya asas legalitas ini melaksanakan apa yang
diatur di dalam undang-undang, tidak di luar undang-undang. Apa yang
tidak tercatum, maka tidak dapat dijalankan oleh pemerintah ataupun
penegak hukum, tujuannya jelas untuk melindungi masyarakat dari
kesewenang-wenangan pemerintah. Sebagai negara hukum,
mengantisipasi suatu tindakan yang dapat merugikan masyarakat haruslah
dilakukan untuk mencegah segala sesuatu yang dapat menghancurkan
bangsa dan negara.
Legalitas tidak terlepas dari sebuah penetapan. Suatu hal yang
ditetapkan akan terlihat memiliki suatu legalitas atau tidak. Penetapan
dalam hal ini merupakan suatu penetapan yang dikeluarkan oleh pihak
yang berwenang agar suatu penetapan tersebut memiliki label yang sah
atau tidak sahnya suatu penetapan tersebut.
1 Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima, Badan Pengembangan dan Pembinaan
Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
2 E. Fernando M. Manullang, Legisme, Legalitas, dan Kepastian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group), h. 100.
17
Hukum lahir sebagai batasan kekuasaan, apabila suatu keputusan
pemerintah tidak berdasarkan dengan aturan yang telah ditentukan atau
melebihi dari apa yang telah ditentukan, maka tindakan pemerintah yang
mengeluarkan keputusan tersebut merupakan cacat hukum (onrechtmatig)
atau tidak absah.3
Keputusan yang sah merupakan suatu keputusan dari perbuatan
pemerintah yang dapat diterima sebagai suatu bagian dari ketertiban
hukum. Apabila dapat mempengaruhi pergaulan hokum, maka dapat
memiliki kekuatan hokum. Menurut A.M. Donner, suatu keputusan
administrasi Negara meskipun memiliki kekurangan yuridis masih dapat
berlaku sebagai keputusan yang sah sampai waktu pembatalannya.4 Selain
itu, suatu keputusan yang dianggap sah menurut hokum apabila
memenuhi syarat materil dan syarat formil, yang tentunya dapat diterima
sebagai bagian dari hokum atau tidak bertentangan dengan ketentuan
hokum yang berlaku.
Kuntjoro Purbopranoto menyatakan, bahwa syarat materiil dan formil
suatu keputusan ialah sebagai berikut:
1) Syarat materil, yaitu:
a. Yang membuat keputusan harus pihak yang berwenang,
b. Tidak boleh adanya kekurangan yuridis,
c. Keputusan harus memperhatikan prosedur,
d. Isi dan tujuan dalam keputusan harus sesuai dengan yang ingin
dicapai dari keputusan tersebut.
2) Syarat formil, yaitu:
3 Syofyan Hadi dan Tomy Michael, Prinsip Keabsahan (Rechtmatigheid) dalam
Penetapan Keputusan Tata Usaha Negara, Jurnal Cita Hukum, Volume 5, Nomor 2, Desember 2017, h. 3.
4 Herman dan Hendry Julian Noor, Doktrin Tindakan Hukum Administrasi Negara Membuat Keputusan (Beschikking), Volume 3, Nomor 1, Februari 2017, h. 92-93.
18
a. Syarat-syarat yang ditentukan berhubungan dengan persiapan
dibentuknya keputusan dan berhubungan dengan cara dibuatnya
keputusan tersebut,
b. Diberi bentuk yang telah ditentukan,
c. Syarat-syarat dengan pelaksanaan keputusan terpenuhi,
d. Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hak-hak yang
menyebabkan dibuatnya dan diumumkannya keputusan tersebut. Pasal 53 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 tahun
2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan, bahwa suatu
keputusan dapat dinyatakan tidak sah apabila: keputusan tersebut
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau
keputusan tersebut bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan
yang baik.
Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik tersebut menurut Pasal
10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan diantaranya:
a. kepastian hukum;
b. kemanfaatan;
c. ketidakberpihakan;
d. kecermatan;
e. tidak menyalahgunakan kewenangan;
f. keterbukaan;
g. kepentingan umum;
h. pelayanan yang baik.
Untuk menciptakan dan memelihara pemerintahan dan administrasi
Negara yang baik dan bersih, maka terdapat beberapa asas yang dapat
mempengaruhinya, yaitu:5
5 S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994),
h. 90-9.
19
a. Asas mengenai prosedur atau asas pengambilan keputusan, apabila
melanggar secara otomatis keputusan yang bersangkutan batal seacra
hukum, tanpa memeriksa kasusnya.
1) Asas ini menyatakan, bahwa setiap orang yang terlibat dalam
penyusunan suatu keputusan tidak boleh mempengaruhi
terjadinya keputusan untuk menentukan kepentingan pribadi di
dalam keputusan tersebut, baik secara langsung maupun tidak
langsung.
2) Asas ini menyatakan, bahwa keputusan yang dapat merugikan
hak-hak sesorang warga Negara tidak boleh diambil sebelum
memberi kesempatan kepada masyarakat untuk membela
kepentingannya.
3) Asas ini menyatakan, bahwa pertimbangan dari keputusan wajib
cocok dengan atau dapat membenarkan penetapan daripada
keputusan tersebut.
b. Asas mengenai kebenaran dari fakta yang dipakai sebagai dasar untuk
pembuatan keputusannya.
1) Asas larangan kesewenang-wenangan;6
2) Asas larangan detournement de pouvoir (penyalahgunaan
wewenang);7
3) Asas kepastian hukum;8
4) Asas larangan melakukan diskriminasi hukum;9
6 Suatu perbuatan atau keputusan administrasi Negara yang tidak mempertimbangkan
factor-faktor secara keseluruhan yang relevan dengan kasus yang bersangkutan secara lengkap dan wajar, sehingga Nampak adanya ketimpangan.
7 Detournement de pouvoir atau penyalahgunaan wewenang merupakan suatu wewenang yang oleh pejabat yang bersangkutan dipergunakan untuk tujuan yang bertentangan atau menyimpang dari apa yang berlaku dan sudah ditetapkan sebellumnya oleh undang-undang yang bersangkutan.
8 Asas kepastian hukum merupakan suatu keputusan pejabat administrasi negara yang tidak boleh menimbulkan keguncangan hukum atau status hukum.
20
5) Asas batal karena kecerobohan pejabat yang bersangkutan.10
Asas-asas umum pemerintahan yang baik memang harus dijunjung
tinggi guna terciptanya negara yang sesuai dengan aturan perundnag-
undangan. Kebersihan dari pemerintahan akan tercapai, serta keputusan-
keputusan yang dikeluarkan pejabat yang berwenang tidak akan merugikan
pihak mana pun khusunya warga negara.
Keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri yang
mengangkat M Iriawan sebagai perwira polri aktif sebagai Pelakasana
Tugas Gubernur merupakan suatu penetapan atau keputusan administrasi
Negara. Penetapan atau yang dapat juga disebut beschikking merupakan
perbuatan hukum sepihak yang bersifat administrasi negara, dikeluarkan
oleh pejabat atau instansi pemerintah yang berwenang.11 Sifat dari
keputusan administrasi negara adalah individual, konkrit, dan final.
Dilihat dari asas legalitas, memang tidak ada peraturan atau undang-
undang yang secara jelas dan tegas memberikan pernyataan terkait
kepolisian yang masuk ke dalam ranah pemerintahan. Namun, aturan terkait
pengangkatan Aparatur Sipil Negara diatur di dalam Undang-Undang
tertentu yang terkait.
2. Pengangkatan Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur
Gubernur merupakan seorang pemimpin daerah tingkat provinsi
yang melaksanakan tugas untuk menjalankan roda pemerintahan di
provinsi, gubernur dipilih oleh rakyat sebagai bentuk pelaksana demokrasi
langsung di Indonesia. Pemilihan Kepala Daerah atau yang biasa disebut
9 Asas larangan diskriminasi hukum merupakan suatu keputusan pejabat administrasi
negara yang tidak mempertimbangkan dampak keseluruhan dari keputusan yang dikeluarkannya, sehingga terdapat perbedaan perlakuan terhadap sesama warga negara.
10 Apabila seorang pejabat administrasi Negara telah mengambil keputusan dengan ceroboh dan kurang teliti dalam mempertimbangkan faktor-faktor yang dikemukakan oleh masyarakat, yang kemudian menguntungkan dirinya dan merugikan masyrakat yang bersangkutan.
11 S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara,… h. 94.
21
Pilkada adalah suatu proses pemilihan gubernur, bupati, atau walikota
yang menjadi sarana pelaksana kedaulatan rakyat di provinsi, kabupaten,
atau kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.12
Kepala Daerah memiliki masa jabatan selama 5 (lima) tahun
terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam
jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan, hal tersebut tercantum
dalam Pasal 60 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2011
Tentang Pemerintahan Daerah. Ketika Kepala Daerah tidak lagi dapat
memenuhi tugasnya sebagai Kepala Daerah, maka Wakil Kepala Daerah
berhak menggantikan Kepala Daerah untuk menjalankan tugas
kedaerahannya. Namun, ketika Kepala Daerah telah berhenti atau cuti
karena suatu hal, maka DPRD wajib mengusulkan pengangkatan
Pelaksana Tugas Kepala Daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam
Negeri.13
Gubernur dipilih melalui Pemilihan Umum yang melibatkan
masyarakat secara langsung untuk menentukan pemimpin daerahnya.
Begitu juga dengan pemberhentian atau pemecatan seorang Gubernur
harus digantikan dengan pihak yang kompeten dan melalui cara
demokrasi dipilih atau diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
sebagai bentuk demokrasi tidak langsung.
Kewenangan dalam pengangkatan Pelaksana Tugas Gubernur
berada pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan
mengusulkannya kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. Namun,
dalam beberapa kasus pergantian Gubernur tidak melalui usulan dari
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, melainkan keputusan langsung dari
Menteri Dalam Negeri yang disetujui oleh Presiden, sehingga Pelaksana
12 Ani Sri Rahayu, Pengantar Pemerintahan Daerah Kajian Teori, Hukum, dan
Aplikasinya…, h. 88.
13 Aries Djaenuri & Enceng, Sistem Pemerintahan Daerah, (Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2018, cet. Kedua, Ed.2), h. 6.8.
22
Tugas Gubernur berasal dari luar jajaran pemerintahan daerah itu sendiri
ataupun berasal dari luar jajaran Kementerian Dalam Negeri. Hal tersebut
akan menimbulkan kecemburuan yang berujung pada konflk, terlebih jika
Pelaksana Tugas Gubernur berasal dari pihak yang memang dilarang oleh
Peraturan Perundang-undangan atau pihak yang tidak memenuhi kriteria
menjadi Pelaksana Tugas Gubernur sesuai dengan kompetensinya.
Pelaksana Tugas (Plt) merupakan jabatan yang bersifat sementara
yang menempati posisi jabatan tertentu menggantikan posisi pejabat
definitif yang berhalangan tetap atau terkena peraturan hukum.14 Tugas
dari seorang Pelaksana Tugas Gubernur adalah menggantikan Gubernur
sebelumnya untuk sementara waktu agar tidak terjadinya kekosongan
pimpinan.
Kasus pengangkatan perwira polri aktif sebagai Plt. Gubernur ini
terjadi kekeliruan, di mana Menteri Dalam Negeri mengangkat seorang
perwira polri aktif menjadi Plt. Gubernur yang bersifat sementara, padahal
dalam Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia
menyatakan, bahwa “anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat
menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun
dari dinas kepolisian”, Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Meskipun penjelasan pasal tersebut terdapat
pengecualian, di mana yang dimaksud dengan “jabatan di luar kepolisian”
adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian
atau tidak berdasarkan penugasan dari kapolri. Artinya, selama angota
kepolisian ditugaskan oleh Kapolri untuk menduduki jabatan di
pemerintahan atau jabatan lainnya di luar jabatan kepeolisian, maka
jabatan itu termasuk ke dalam jabatan kepolisian. Sebab, Mendagri
tidaklah serta merta menunjuk anggota polri, tetapi Mendagri melalui
Kapolri untuk menentukan siapa yang memiliki kompetensi untuk
menjadi Plt. Gubernur.
14 https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt56fcad31a33f9/bahasa-hukum--pelaksana-
tugas--pelaksana-harian--dan-pejabat/, diakses pada:8 Februari 2019, pukul 21.23 WIB.
23
Pada dasarnya, adanya Plt di daerah akan menguntungkan
pemerintah pusat, sebab plt ini akan membantu tugas pemerintah pusat
dan bertanggung jawab di daerah untuk menjalankan roda pemerintahan
pusat di daerah, maka tidak menutup kemungkinan dengan banyaknya plt
yang tersebar diberbagai daerah akan membawa kepentingan politik pusat
ke daerah melalui plt yang diangkatnya.15 Dengan mengangkat polri ke
dalam pemerintahan sebagai Plt. Gubernur, maka akan mempermudah
para pihak di instansi pemerintah pusat dalam menjalankan kepentingan
politiknya di setiap daerah, tidak ada penjaminan yang jelas terkait
netralitas seorang polri untuk terhindar dari pengaruh politik ketika ia
terjun langsung ke ranah pemerintahan.
Polri memiliki tugas untuk memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, memberikan perlindungan, pengayoman, juga pelayanan
kepada masyarakat. Seperti yang tercantum di dalam Pasal 13 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisisan Negara Republik Indonesia
menyatakan, bahwa “Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia
adalah: (a) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, (b) menegakkan
hukum, (c) memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. Namun, bukan berarti seorang polri harus menjadi bagian
dalam pemerintahan dalam mengontrol hal tersebut, sebab ranah
pemerintahan merupakan jabatan politik dan Undang-Undang Kepolisian
Negara Republik Indonesia tersebut jelas memberi peringatan terhadap
polri yang harus bersikap netral dan tidak terlibat dalam kegiatan politik
pratis, seperti yang tercantum dalam Pasal 28 Ayat (1) UU Kepolisian Negara
Republik Indonesia menyatakan, bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia
bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan
politik praktis”. Setiap lembaga dalam pemerintahan Indonesia memiliki
kompetensinya masing-masing, ketika keamanan dijadikan alasan oleh
15 Danang Alamsah Deniarnoor, Problematika Pelaksana Tugas (PLT) dalam Masa
Transisi Pemerintahan (Pra dan Pasca Pilkada Serentak), CosmoGov, Volume1 Nomor.2, Oktober 2015, h. 332.
24
Mendagri yang mengangkat seorang polri aktif menjadi Plt. Gubernur lalu
bagaimana dengan tugas serta kewenangan lainnya sebagai seorang
Gubernur yang harus ia lakukan di luar kompetensinya sebagai seorang
polri.
Kasus pengangkatan perwira polri aktif sebagai Pelaksana Tugas
Gubernur ini menuai beragam reaksi dari berbagai kalangan, tidak sedikit
pendapat yang menjatuhkan Mendagri sebagai pihak yang berwenang
dalam penunjukan Plt. Gubernur, meskipun pengangkatan Perwira polri
aktif ini benar tidak melanggar peraturan atau undang-undang kepolisian
yang berlaku. Dengan diangkatnya perwira polri aktif sebagai Plt.
Gubernur mengakibatkan konflik baru dilingkungan masyarakat. Hal ini
lah yang menjadikan pengangkatan perwira polri aktif sebagai Plt.
Gubernur menjadi polemik.
B. Kerangka Teori
1. Negara Hukum
Konstitusi Republik Indonesia mengakui, bahwa Indonesia
merupakan Negara Hukum, Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia yang selanjutnya disebut UUD NRI 1945 menyatakan,
bahwa “ Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pernyataan tersebut telah
memberikan sebuah dasar hukum yang jelas terhadap status Negara
Republik Indonesia. Istilah Negara hukum ini berasal dari dua kata, yaitu
Negara dan Hukum. Di mana kata Negara memiliki pelbagai arti yang
salah satunya terdapat di dalam buku L.J. Apeldoorn yang berjudul
Inleiding toot de studie van het Nederlandse Recht (Pengantar Ilmu
Hukum Belanda), bahwa Negara berarti “suatu wilayah tertentu”, istilah
ini dipakai untuk menyatakan suatu daerah yang di dalamnya terdapat
diam suatu bangsa di bawah kekuasaan tertinggi.16
16 C.S.T. Kansil, Jilid I Pengantar Ilmu Hukum Semester Ganjil, (Jakarta: Balai Pustaka,
1999, cet. Kesepuluh), h. 173.
25
Sedangkan kata Hukum itu sendiri menurut P. Borst dalam buku R.
Soeroso yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum berarti keseluruhan
peratuan yang mengatur tentang kelakuan atau perbuatan manusia di
dalam masyarakat, yang pelaksanaannya bersifat memaksa dan bertujuan
untuk mendapatkan keadilan.17
Dari kedua istilah tersebut dapat disimpulkan, bahwa Negara
hukum merupakan Negara yang dibatasi oleh hukum setiap kekuasaanya,
baik kekuasaan para penguasa Negara maupun para warga negaranya
dalam menjalankan hidup bermasyarakat. Istilah Negara hukum ini
mengandung artian, bahwa untuk membatasi kekuasaan para penguasa
negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaannya, maka hukum hadir
untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan tersebut. Hukum haruslah
dijadikan sebuah alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, bukan
untuk dijadikan alat kekuasaan oleh pihak yang merasa telah berkuasa.
Ciri Negara hukum yang diterapkan di Indonesia, yaitu: adanya
konstitusi atau UUD 1945 yang memuat ketentuan-ketentuan tertulis yang
mengikat hubungan antara rakyat dan pemerintah, adanya pemisah
kekuasaan antar lembaga Negara, dan setiap tindakan di lingkupan
Negara Indonesia harus berdasarkan atas aturan atau undang-undang yang
berlaku dan terjaminnya hak dasar serta hak-hak kebebasan rakyat.18
Indonesia sebagai Negara hukum harus memiliki pembatasan oleh
hukum, artinya segala sikap, tingkah laku, serta perbuatan para penguasa
negara juga para warga negaranya harus berdasarkan atas hukum dan
konstitusi yang berlaku, sehingga warga negara dapat dilindungi dari
tindakan kesewenang-wenangan para penguasa negara dan semua unsur
yang merupakan ciri Negara hukum harus terpenuhi. Dengan demikian,
cita-cita Negara dapat terwujud sebagai negara kesajahteraan (welfare
17 R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013, cet. Ketiga belas), h. 27.
18 Haposan Siallagan, Penerapan Prinsip Negara Hukum di Indonesia, Sosiohumaniora, Volume 18 Nomor 2, Juli 2016, h. 134.
26
state) sesuai dengan yang tercantum dalam alinea keempat pembukaan
UUD 1945 menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.19
2. Pemisahan Kekuasaan
Salah satu ciri Negara hukum rechtsstaat (dalam bahasa Belanda
dan jerman) dan rule of law (dalam bahasa Inggris). Pembatasan
kekuasaan (limitation of power) berkaitan erat dengan pemisahan
kekuasaan (separation of power) dan pembagian kekuasaan (division of
power), secara umum istilah tersebut berasal dari Montesquieu dengan
trias politica-nya. Istilah “pemisahan kekuasaan” ini dalam teori trias
politica atau tiga fungsi kekuasaan menurut Montesquieu memiliki arti,
bahwa harus dibedakannya dan dipisahkan secara structural organ-organ
pemerintahan dan tidak saling mencampuri urusan masing-masing organ
tersebut.20 Sedangkan “pembagian kekuasaan” merupakan kekuasaan
yang dibagi dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan, lembaga
legislatif yang memiliki tugas membuat undang-undang, lembaga yudiatif
mengawasi undang-undang, dan lembaga eksekutif yang bertugas
menjalankan perintah undang-undang sesuai dengan kewenangannya.
Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Indonesia merupakan Negara yang menggunakan
pembagian kekuasaan, hal tersebut tercermin di dalam UUD NRI Tahun
1945 yang menggambarkan sistem kerjasama antara satu lembaga negara
dengan lembaga Negara lainnya. Dalam konstitusi Negara Indonesia
menyebutkan, bahwa Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-
Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI),
Pasal 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyebutkan, bahwa “Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Artinya kerjasama antar lembaga ini
19 Lintje Anna Marpaung, Hukum Tata Negara Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Andi,
2018), h. 7.
20 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015, cet. Ketujuh 7), h. 285.
27
jelas ada meskipun ada pula pemisahan antara kekuasaan di setiap
lembaga negara. Dalam Pasal 14 UUD NRI Tahun 1945, bahwa Presiden
memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung. Jelas pula dalam Pasal 7a dan 7b UUD NRI Tahun
1945 menyebutkan, bahwa adanya kerjasama antara lembaga satu dengan
lembaga lainnya, yaitu kerjasama antara Dewan Perwakilan rakyat (DPR),
Mahkamah Konstitusi (MK), dan Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR)
dalam rangka proses pemberhentian Presiden.21
Pernyataan tersebut menandakan bahwa Indonesia dengan sistem
pembagian kekuasaannya memiliki kompetensi serta tugas dan fungsinya
masing-masing disetiap lembaga. Selain menerapkan system pembagian
kekuasaan, Indonesia juga dikenal dengan system perwakilannya, yang
ditandai dengan keberadaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sifat dari perwakilan ini
disebut dengan perwakilan politik (political representation), apapun
fungsi yang dimiliki dari setiap lembaga di dalam masayarakat, jika ia
menduduki lembaga perwakilan dengan melalui pemilihan umum, maka
tetap disebut sebagai perwakilan politik.22 Oleh sebab itu, jabatan
gubernur merupakan jabatan politik sebab ia dipilih melalui pemilihan
umum, berbeda dengan jabatan Plt. Gubernur, ia disebut dengan jabatan
administratif yang diusulkan oleh DPRD melalui Mendagri untuk
disetujui oleh Presiden.
Menurut Friedman terdapat tiga elemen dari sistem hukum, yaitu
structure, substance, dan legal culture. Strukture merupakan lembaga-
lembaga yang berwenang untuk membuat dan melaksanakan undang-
undang. Kemudian substance, yaitu isi, materi, ataupun bentuk daripada
peraturan perundang-undangan tersebut. Selanjutnya, Legal culture, yaitu
21 Lintje Anna Marpaung, Hukum Tata Negara Indonesia…, h. 27-28.
22 Abu Daud Busroh, Ilmu Negara,(Jakarta: PT Bumi Aksara, cet. Kedelapan, 2011) h. 149.
28
sikap, kepercayaan, ataupun ide dan pikiran mereka terhadap hukum yang
berlaku. Struktur hukum yang baik tidak akan berjalan dengan baik tanpa
dibarengi dengan substance hukum yang baik pula, substance yang baik
juga tidak akan dapat berjalan baik tanpa adanya legal culture yang baik.
Pada dasarnya, ketiga elemen sistem hukum tersebut harus selalu saling
berinteraksi dan melaksanakan tugas sesuai dengan fungsinya masing-
masing.23 Sama halnya dengan pembagian kekuasaan yang diterapkan di
Indonesia, setiap lembaga kekuasaan harus saling berinteraksi dan
melaksanakan tugas serta fungsinya masing-masing untuk dapat
menjalankan roda pemerintahan dengan baik.
Pemilihan Plt. Gubernur haruslah memperhatikan tugas, fungsi, dan
kewenangan daripada peranan yang akan diberikan mandat untuk menjadi
Plt. Gubernur, tanpa harus menerobos fungsi daripada pihak yang terkait.
Selain itu, memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan,
rekam jejak jabatan, pendidikan dan latihan, integritas, dan persyaratan
lainnya yang berkaitan dengan tugas dan fungsi dari Plt. Gubernur juga
penting dilakukan. Inilah yang mengakibatkan tidak sedikit masyarakat
yang menentang Keputusan Mendagri untuk mengutus seorang perwira
polri aktif menjadi Plt. Gubernur.
3. Otonomi Daerah
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang memiliki
kekuasaan pada satu pusat pemerintahan, DKI Jakarta sebagai Ibu kota
negara. Adanya pemerintah pusat dan diterapkannya Otonomi Daerah di
Indonesia merupakan salah satu cara untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat secara merata. Pemerintahan pusat yang besar dan otonomi
daerah merupakan sepasang ketentuan yang harus berjalan dengan serasi,
meskipun keduanya sulit untuk diterapkan secara sempurna. Peningkatan
kekuasaan pemerintahan pusat yang terus berkembang akan semakin sulit
terkontrol yang mengakibatkan rusaknya tatanan negara yang akan
23 Teguh Prasetyo dan Abdul halim Barkatullah, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012), h. 312.
29
berubah menjadi negara kesatuan yang tersentralistik dan otonomi daerah
yang diterapkan semakin besar pun akan memberika efek tidak baik
terhadap negara kesatuan yang akan mengakibatkan negara kesatuan
menjadi negara yang daerahnya berjalan sendiri-sendiri seperti halnya
negara bagian di dalam negara federal.24
Menurut Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
9 tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (OTODA 2015) menyatakan,
bahwa “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat dalam system Negara kesatuan
Republik Indonesia”. Urusan pemerintahan ialah di mana fungsi-fungsi
terkait pemeritahan menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau
susunan pemerintahan guna mengatur dan mengurus fungsi-fungsi yang
telah ditetapkan tersebut menjadi kewenangannya dalam menjalankan
pemerintahan dalam rangka melindungi, mengayomi, melayani,
memberdayakan, serta mensejahterakan rakyat.25
Menurut Ni’matul Huda, otonomi daerah merupakan tatanan
pemerintahan yang dengan cara-cara membagi tugas, tanggung jawab,
serta wewenang antara pusat dan daerah dalam mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan.26 Daerah diberikan kewenangan seluas-luasnya
sesuai dengan prinsip otonomi yang mengurus serta mengatur semua
urusan pemerintahan,27 di luar yang menjadi urusan pemerintahan pusat,
Pasal 10 UU Pemerintahan Daerah menyebutkan yang menjadi urusan
24 Armin. Hubungan Pemerintahan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Jurnal Ketatanegaraan. Volume 011. Oktober 2018, h. 139.
25 Ani Sri rahayu, Pengantar Pemerintahan Daerah Kajian Teori, Hukum, dan Aplikasinya…, h. 51-52.
26 Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Nusa Media, 2009), hlm. 84.
27 Ahmad Farhan Hamid dan Saripudin. Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Ketatanegaraan. Volume 011. Oktober 2018. h. 110.
30
pemerintahan pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
yustisi, moneter dan fiscal nasional, dan agama.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 18 Ayat (5) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa pemerintah daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota dapat mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahannya atas asas otonomi daerah dan
tugas pembantuan. Asas otonomi daerah yang diberikan kepada
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, atau kota adalah seluas-luasnya,
artinya pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota memiliki hak dan
wewennag untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahannya. Namun, dalam hal ini bukan berarti tidak ada batasan
terhadap ketentuan dalam mengatur dan mengurus urusan rumah
tangganya sendiri. Nasroen berpendapat, bahwa otonomi daerah yang
seluas-luasnya bukanlah memberikan kekuasaan daerah tanpa batasan
dalam menjalankan urusan rumah tangganya sendiri. Sebab, otonomi
daerah dilaksankaan untuk mendukung persatuan dan kemajuan Negara
menjadi Negara yang lebih baik, bukan untuk memberikan keretakan atau
pun kehancuran terhadap Negara kesatuan Republik Indonesia.28
Pemerintah Negara memiliki makna yang sama dengan penyelenggara
Negara. Penyelenggara Negara menurut UUD NRI 1945 meliputi
penyelenggaraan Negara dalam berbagai bidang pemerintahan. Dalam arti
luas penyelenggaraan Negara meliputi bidang eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Sebaliknya penyelenggara Negara dalam arti sempit meliputi
pemerintah eksekutif.29
Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia masih terdapat ada sekat
anatr pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Dalam konteks
kewenangan, pelaksanaan kebijakan otonomi daerah belum sepenuhnya
28 Yusnani Hasyimzoem, Hukum Pemerintahan Daerah, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2017), h. 16.
29 Ani Sri Rahayu, Pengantar PEMERINTAHAN DAERAH Kajian Teori, Hukum, dan Aplikasinya…, h. 64.
31
dapat terlaksana dengan baik, hal ini disebabkan oleh kurangnya
kepercayaan antara pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dalam
menjalankan roda pemerintahan. Pemerintah pusat masih dianggap belum
sepenuhnya memberikan kewenangan terlalu besar kepada pemerintah
daerah. Alasan pemerintah pusat belum memberikan sepenuhnya
kewenangan kepada daerah karena setiap daerah belum siap untuk
melaksanakan kebijakan otonomi daerah. Selain itu, kurangnya sumber
daya manusia yang belum cukup memadai dan belum terbiasanya suatu
daerah menerima kebijakan terkait otonomi daerah.30
4. Etika
Aristoteles sebagai pencetus pertama mengenai etika secara kritis,
komprehensif, dan reflektif. Dalam etika, Aristoteles terfokus pada hidup
yang baik dan cara mencapai hidup yang baik. Menurut James J. Spillane
SJ menyatakan, bahwa dalam pengambilan keputusan moral etika atau
ethics memperhatikan atau mempertimbangkan tingkah laku manusia.31
Etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak).32
Dalam suatu bidang tertentu termasuk bidang hukum, seseorang
bekerja pasti memerlukan kepercayaan orang lain, masyarakat pada
umumnya dan orang sekitar secara khusus. Sebab, tanpa kepercayaan
orang lain akan sulit memberikan pekerjaan maupun untuk bekerjasama
secara tim. Suatu pedoman yang harus dimiliki para pekerja untuk
diterapkan dan ditaati, seperti halnya suatu peraturan, inilah yang disebut
dengan kode profesi. Jika dihubungkan dengan etika, suatu pedoman atau
kode profesi merupakan suatu usaha untuk menegakkan ketertiban atau
30 Sakinah Nadir, Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa: Menuju Pemberdayaan
Masyarakat Desa, Jurnal Politik Profetik, Volume 1 Nomor 1 Tahun 2013, h. 13.
31 Sutrisno, Wiwin Yulianingsih, Etika Profesi Hukum, (Yogyakarta: ANDI, 2016), h.1-2.
32 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Yufid Inc, 2017, versi 2.5.0).
32
perilaku yang baik yang dapat diterapkan di lingkungan yang terkait,
maka disebutlah kode etik, di mana menekankan usaha bersama untuk
saling melindungi nilai-nilai positif yang manusiawi.
Dengan demikian kode etik adalah suatu pedoman, tuntunan,
bimbingan, moral, atau kesusilaan untuk suatu profesi tertentu, atau suatu
kewajiban dalam menjalankan suatu profesi yang disusun oleh para
anggota profesi itu sendiri dan mengikat mereka dalam
mempraktikannya.33
Kode etik profesi merupakan suatu norma yang mengatur tentang
sebagaimana mestinya seseorang yang memiliki profesi untuk
menjalankan dan bertanggung jawab atas profesi yang diamanahkan
kepadanya. Kode etik profesi ini bersifat mengikat, ia berperan sebagai
pembimbing bagi pemegang profesi untuk dapat menjalankan amanah
dengan perilaku yang baik.
Kepolisian pun memiliki kode etik yang harus
dipertanggungjawabkan, serangkaian aturan yang ditetapkan untuk
membimbing polri dalam menjalankan tugas, menentukan tindakannya
agar selalu berbuat sesuai aturan, dan dapat menopang kehidupan polri
dalam melaksanakan pengabdiannya untuk selalu teguh dalam pendirian,
sehingga polri dapat memiliki sikap integritas yang mendalam dan
menjunjung tinggi etika.34
Upaya penegakan hukum di Indonesia tentu saja tidak hanya dimulai
dari masyarakat, dari aparat penegak hukum seperti polri inipun sangat
diperlukan. Tidak akan mungkin penegakkan hukum akan berjalan
dengan baik, tanpa dimulai dari upaya penegakkan kode etik dilingkungan
aparat penegak hukum. Untuk mewujudkan kedisiplinan dan
33 Sutrisno, Wiwin Yulianingsih, Etika Profesi Hukum…, h. 70.
34 Azies Bauw, Penegakan Kode Etik Kepolisian terhadap Pelanggaran yang dilakukan Anggota Polisi (Studi Kasus di Kepolisian Daerah Jayapura), Legal Pluralism, Volume 5 Nomor 1, Januari 2015, h. 8.
33
profesionalitas dalam penegakkan hukum yang dibebankan kepada
kepolisian diharapkan dapat terwujud pula dalam kehidupan masyarakat.
C. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu
1. Skripsi – Andi Anisa Agung, Analisis Yuridis Mekanisme Pengisian
Jabatan Struktural Secara Terbuka Di Lingkungan Instansi
Pemerintahan. Universitas Hasanudin Makasar. Tahun 2014. Skripsi
ini menjelaskan, bahwa dalam upaya mewujudkan system
pemerintahan yang demokratis, bersih, dan berwibawa menjadi
prioritas utama bagi rakyat dan pemerintahan Indonesia. Pembaharuan
system ketatanegaraan Indonesia dapat diaktualisasikan dengan
perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintahan Indonesia. Selain
adanya perubahan konsep dalam struktur pemerintahan, juga perlu
dilakukan upaya penempatan orang-orang atau aparatur yang tepat
dalam mengisi jabatan dalam struktur pemerintahan. Namun, konsep
yang ideal ditafsirkan secara berbeda dari berbagai pihak sehingga
tidak lagi berpacu pada peraturan perundang-undangan.
Persamaan: Skripsi saya dengan skripsi ini memiliki persamaan yang
terletak pada, di mana membahas terkait jabatan structural dalam
pemerintahan, mekanisme yang seperti apa yang diatur dalam undang-
undang, dan siapa yang seharusnya mengisi jabatan structural
pemerintahan.
Perbedaan: Skripsi saya dengan skripsi ini memiliki perbedaan yang
terletak pada focus pembahasan, jika skripsi saudara Andi Anisa
Agung lebih kepada analisis yuridis mekanisme pengisian jabatan
structural, maka skripsi saya focus pada legalitas seorang POLRI yang
masih aktif masuk ke dalam jabatan structural daripada pemeintahan
itu sendiri.
2. Buku - Bambang Istianto HP., Manajemen Pemerintah dalam
Perspektif Pelayan Publik. Jakarta, Tahun 2011. Buku ini menyatakan,
34
bahwa Daerah Kabupaten/ Kota mengemban beban yang berat, hal
tersebut merupakan suatu keniscayaan bahwa untuk mengelola
kekuasaan yang besar mutlak didukung oleh sumber daya manusia
yang profesional dan kepemimpinan pemerintahan daerah yang kuat.
Persamaan: Skripsi saya memiliki persamaan dengan buku ini yang
terlatak pada pembahasan, bahwa dalam mengelola kekuasaan
pemerintahan yang besar dibutuhkan sumberdaya manusia yang
memang professional dan ahlinya dalam bidang pemerintahan, baik
pusat maupun daerah.
Perbedaan: Skripsi saya dengan buku ini memiliki perbedaan yang
terletak pada, di mana sosok yang professional dan ahli dalam
mengelola kekuasaan pemerintahan dan untuk menjaga kedaulatan
rakyat bukan berarti seorang perwira polri harus terjun langsung
menduduki jabatan di pemerintahan, kekuasaan yang dipimpin oleh
seorang yang kompeten dan profesional akan lebih menghasilkan suatu
daerah yang maju.
3. Jurnal – Fransica Adelina Sinaga, Legalitas Penunjukan Pejabat Polri
Menjadi Pelaksana Tugas Gubernur pada Masa Kampanye Pemilihan
Kepala Daerah. Jakarta, Tahun 2018. Di dalam jurnal ini Farouk
Muhammad memperingatkan, bahwa keberadaan polisi di dalam
pemerintahan daerah dapat menimbulkan potensi pemanfaatan polisi
sebagai instrument pemaksa bagi perwujudan kebijakan-kebijakan
politik pemerintah daerah. Berdasarkan pendapat tersebut dapat
disimpulkan bahwa penunjukan pejabat polri sebagai Plt. Gubernur
dapat menimbulkan potensi pemanfaatan polisi sebagai instrument
pemaksa bagi perwujudan kebijakan-kebijakan politik pemerintah.
Persamaan: Skripsi saya dengan jurnal ini memiliki persamaan yang
terletak pada pembahasan mengenai legalitas pengangkatan seorang
polri Aktif sebagai Plt. Gubernur.
Perbedaan: Yang menjadi suatu perbedaan pada skripsi saya
adalah lebih memfokuskan pada seorang perwira polri aktif yang
35
menduduki jabatan sebagai Plt. Gubernur dengan tinjauan yuridisnya
serta hal yang melatarbelakangi seorang mendagri mengangkat polri
sebagai Plt. Gubernur.
36
BAB III
KEDUDUKAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH
A. Tugas, Wewenang, dan Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia
Konstitusi Negara Republik Indonesia menegaskan, bahwa kepolisian
merupakan suatu alat negara untuk menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat Indonesia, Pasal 30 Ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang selanjutnya disebut UUD NRI 1945
menyatakan, bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat
negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas
melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”.
Secara struktural, Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di
bawah Presiden dan dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Kapolri, dalam pelaksanaan
tugasnya harus berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan dan
bertanggung jawab kepada Presiden.1
Pada dasarnya, fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah
memberikan rasa aman kepada setiap masyarakat Indonesia agar dapat hidup
dengan tertib, dengan cara dilindungi dan diayomi oleh Kepolisan sebagai
pelaku penegak hukum dari pihak pemerintahan, Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
selanjutnya disebut UU KNRI menyebutkan, bahwa “Fungsi Kepolisisan
adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masayarakat”.
Sedangkan Peran Kepolisian dalam pemerintahan Republik Indonesia
adalah untuk menjaga dan memelihara keamanan dan ketertiban untuk
mesyarakat, dengan cara memberikan perlindungan dan pelayanan yang baik
1 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
cet. Kelima, 2010), h. 236.
37
kepada masyarakat dalam rangka mewujudkan ketertiban Negara Republik
Indonesia, Pasal 5 Ayat (1) UU KNRI menyatakan, bahwa “Kepolisian
Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”.
“Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia, berdasarkan
Pasal 15 UU Kepolisian NRI secara umum berwenang:
1. Menerima laporan dan/atau pengaduan;
2. Membantu menyelesaikan perselisihan warga
masyarakatyang dapat menggangu ketertiban umum;
3. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
4. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
5. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup
kewenangan administratif kepolisian;
6. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari
tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
7. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
8. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret
seseorang;
9. Mencari keterangan dan barang bukti;
10. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
11. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang
diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
12. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan
pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta
kegiatan masyarakat;
38
13. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara
waktu”.
Berdasarkan kewenangan kepolisian di atas dan analisis antara fungsi,
tugas, dan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat
disimpulkan, bahwa kepolisian hanya pada bidang pemeliharaan keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat. Dalam hal ini, tugas dari pada seorang
Pelaksana Tugas Gubernur bukan hanya terkait keamanan saja, meskipun
jabatan Plt. Gubernur ini bersifat sementara bidang administratif dan bidang-
bidang lainnya yang terkait di Provinsi Jawa Barat harus tetap diperhatikan
agar tidak melumpuhkan sistem pemerintahan di daerah Jawa Barat itu
sendiri.
Secara hukum, dalam UU Kepolisian Negara Republik Indonesia
kasus pengangkatan perwira polri aktif sebagai Plt. Gubernur memang tidak
dilarang selama pengangkatan tersebut atas perintah dari Kapolri, terdapat
pada Penjelasan Pasal 28 Ayat (3) UU Kepolisian NRI menyatakan, bahawa
“yang dimaksud dengan “jabatan di luar kepolisian” adalah jabatan yang
tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan
penugasan dari kapolri”. Namun, jika membandingkan dengan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Aparatur Sipil Negara
terdapat aturan-aturan yang menyatakan, bahwa anggota polri yang mengisi
jabatan ASN tertentu itu pada instansi pusat bukan instansi pemerintahan
ataupun instansi daerah, Pasal 20 Ayat (3) UU ASN menyatakan, bahwa
“Pengisian jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional
Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanankan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan undang-
Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Kemudian dalam UU ASN itu pun juga disebutkan, bahwa pengisian
jabatan pimpinan tinggi oleh anggota polri dapat dilakukan setelah
39
mengundurkan diri dari dinas aktif, Pasal 20 Ayat (3) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya
disebut UU ASN menyatakan, bahwa “Pengisian jabatan ASN tertentu yang
berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilaksanankan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
tentang Tentara Nasional Indonesia dan undang-Undang tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia”.
Secara etika seorang polri tidaklah patut menduduki jabatan di
pemerintahan, sebab itu berada di luar kompetensinya sebagai seorang polri
dan ia tidak memiliki kompetensi lebih di bidang administrasi pemerintahan,
sehingga alasan keamanan yang dicetuskan oleh pihak Kemendagri tidak
seharusnya langsung mengangkat pihak polri untuk menjadi Plt. Gubernur.
Pihak kepolisian dapat tetap bekerjasama dengan pihak daerah terkait ataupun
Plt. Gubernur lainnya yang lebih kompeten, sehingga dapat tetap menjaga
keamanan dan stabilitas daerah sebagaimana mestinya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah tidak mengatur secara jelas perihal kedudukan Polri
dalam Pemerintahan Daerah. Namun, hubungan antara polri dan
pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Kepolisian yang
mengatur terkait kerjasama dalam menjaga keamanan dan ketertiban negara
dari tingkat daerah sesuai dengan fungsi dan tugas Kepolisian, Pasal 42 Ayat
(2) UU Kepolisian NRI menyatakan, bahwa “Hubungan kerja sama di dalam
negeri dilakukan terutama dengan unsur-unsur pemerintahan daerah, penegak
hukum, badan, lembaga, instansi lain, serta masyarakat dengan
mengembangkan asas partisipasi dan subsidaritas”.
40
B. Kewenangan Kementerian Dalam Negeri dalam Pengangkatan pejabat
Pelaksana Tugas Gubernur.
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri RI)
merupakan kementerian dalam pemerintahan Indonesia yang membidangi
urusan dalam negeri. Kementerian Dalam Negeri mempunyai tugas
menyelenggarakan urusan dibidang pemerintahan dalam negeri untuk
membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara, Pasal 2
Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Kementerian Dalam
Negeri.
Secara umum, Kementerian Dalam Negeri memiliki tugas
menyelenggarakan urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu
Presiden dalam penyelenggaraan Negara. Untuk meningkatkan
penyelenggaraan pemerintahan khususnya pemerintahan daerah agar efesiensi
dan efektifitas perlu ditingkatkannya perhatian terhadap aspek-aspek
hubungan pemerintahan, hubungan pemerintahan pusat dan daerah harus
terjalin dengan baik, khususnya pada potensi dan keanekaragaman daerah,
peluang serta tantangan persaingan global yang semakin kuat menjadikan
pemerintah pusat perlu memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada
daerah juga pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah
dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah untuk
terciptanya negara kesatuan yang lebih baik.2
“Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 Tentang
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Dalam Negeri
menyelenggarakan fungsi:
a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang
politik dan pemerintahan umum, otonomi daerah, pembinaan
administrasi kewilayahan, pembinaan pemerintahan desa,
2 HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia (Dalam Rangka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah), (Jakarta: PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2008), h. 37.
41
pembinaan urusan pemerintahan dan pembangunan daerah,
pembinaan keuangan daerah, serta kependudukan dan
pencatatan sipil, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian
dukungan administrasi kepada seluruh unsur organisasi di
lingkungan Kementerian Dalam Negeri;
c. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi
tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri;
d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan
Kementerian Dalam Negeri;
e. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan
urusan Kementerian Dalam Negeri di daerah;
f. Pengoordinasian, pembinaan dan pengawasan umum,
fasilitasi, dan evaluasi atas penyelenggaraan pemerintahan
daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
g. Pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang
pemerintahan dalam negeri,
h. Pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang
pemerintahan dalam negeri;
i. Pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah;
j. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada
seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian Dalam
Negeri”.
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwasanya memang
penyelenggaraan pemerintahan pusat maupun daerah, Kementerian Dalam
Negeri memiliki tugas untuk dapat mengawasi atau mengoordinasi secara
langsung apa yang terjadi di sebuah pemerintahan di daerah, sehingga
seharusnya kinerja pemerintahan daerah dapat diawasi untuk memaksimalkan
42
kinerjanya. Oleh sebab itu, koordinasi antara pusat dan daerah tetap terjalin
dalam keadaan darurat sekalipun, sebab kepala daerah sebagai kepala
pemerintahan hanya bersifat otonom, yang artinya hanya pengelola dari
sistem pemerintahan daerah yang menganut sistem desentralisasi. Daerah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsepsi Negara kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.3
Alasan keamanan yang menjadikan dasar salah satu pertimbangan
Kemendagri untuk mengutus perwira polri aktif sebagai Plt. Gubernur Jawa
Barat Tahun 2018 yang memilki potensi kericuhan yang tinggi. Seperti yang
disampaikan oleh Muradi, pengamat politik Universitas Padjajaran Bandung,
ia menilai bahwa terdapat tiga pertimbangan strategis dalam menentuka Plt.
Gubernur dari unsur polri. Pertama, pencegahan terhadap konflik saat
pilkada. Kedua, penegasan netral dalam pelaksanaan pilkada yang berpotensi
menimbulkan ketidaknetralan yang akan mengganggu kualitas pelaksanaan
pilkada. Ketiga, kemendagri ingin memastikan pelaksanaan pilkada harus
menjadi ajang antara kandidat dengan publik dengan suasana tanpa paksaan.4
Dengan demikian, pencegahan terhadap konflik yang akan terjadi saat
pilkada menjadi dasar pertimbangan Kemendagri termasuk ke dalam keadaan
darurat, di mana sebagai negara kesatuan badan hukum negara bersifat
tunggal, meskipun keadaan darurat ini terjadi di daerah dan mengingat dalam
keadaan saat pelaksanaan pilkada. Namun, alasan Mendagri untuk
memudahkan kordinasi aparat penegak hukum ini dianggap tidak perlu
mengangkat polri untuk menjadi Plt. Gubernur. Oleh karena itu, mengangkat
polri menjadi Plt. Gubernur bukanlah suatu solusi untuk meredam konflik
yang terjadi di daerah, tugas seorang kepala daerah bukan hanya perihal
penegakkan keamanan dan kenyamanan di daerah, terdapat urusan
3 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara, (Jakarat: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.
236.
4 https://m.detik.com/news/berita/d-3836023/pengamat-mendagri-tak-tabrak-aturan-angkat-polri-jadi-pj-gubernur. Diakses pada: 9 Februari 2019, pukul 21.46 WIB.
43
pemerintahan lainnya yang harus tetap terlaksana selama berlangsungnya
pilkada, begitu pun untuk Plt. Gubernur.
C. Penyelenggaran Pemerintahan Daerah.
Penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan dewan perwakilan daerah
menurut asas otonomi, menjalankan urusan pemerintahan dalam sistem dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan kontitusi negara
Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan daerah merupakan suatu sistem
otonomi daerah yang diterapkan pemerintahan pusat guna membantu
menjalankan roda pemerintahan di daerah untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat Indonesia.
1. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pemimpin yang mengatur jalannya roda pemerintahan di daerah
atau yang biasa disebut sebagai kepala daerah merupakan pihak yang
berweanang dalam menjalankan urusan pemerintahan daerah berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Kepala daerah ditingkat provinsi disebut
gubernur dan kepala daerah ditingkat kabupaten/ kota disebut bupati/ wali
kota.
Kepala daerah merupakan wakil pemerintah pusat di daerah dalam
melaksanaan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan
urusan pemerintahan daerah, hal tersebut tercantum dalam Pasal 7 Ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah menyatakan, bahwa “dalam melaksanakan
pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Urusan
Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/ kota dan
Tugas Pembantuan oleh daerah kabupaten/ kota, Presiden dibantu
gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Sebagai pemimpin dalam suatu
urusan pemerintahan daerah, kepala daerah memiliki tugas dan
kewenangan untuk menjalannkan roda pemerintahan dengan baik dan
44
melindungi masyarakat guna tetap tentram dan tertib dalam hidup
berbangsa dan bernegara.
“Pasal 65 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9
Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan daerah mempertegas tugas Kepala
Daerah, diantaranya:
a. Memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang
ditetapkan bersama DPRD.
b. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat.
c. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang
RPJPD dan rancangan Perda RPJMD kepada DPRD
untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan
menetapkan RKPD.
d. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang
APBD, rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan
rancangan Perda tentang pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas
bersama.
e. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan,
dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
f. Melakasanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
Sebagai kepala pemerintahan ditingkat daerah, kepala daerah
dibantu oleh wakil kepala daerah dalam menjalankan roda pemerintahan
ditingkat daerah, diatur di dalam Pasal 63 Ayat (1) Undang-Undang
45
Pemerintahan Daerah menyatakan, bahwa “kepala daerah sebagaimana
dimaksud Pasal 59 Ayat (1) dibantu oleh wakil kepala daerah”.
“Pasal 66 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Tentang
Pemerintahan Daerah, Wakil kepala daerah mempunyai tugas:
a. Membantu kepala daerah dalam:
1) Memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah,
2) Mengoordinansikan kegiatan perangkat daerah dan
menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil
pengawasan aparat.
3) Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan
pemerintahan daerah yang dilaksanakan oleh
perangkat daerah provinsi bagi wakil gubernur, dan
4) Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan
pemerintahan yang dilaksanakan oleh perangkat
daerah kabupaten/ kota, kelurahan, dan/atau desa
bagi wakil bupati/wali kota.
b. Memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala
daerah dalam pelaksanaan pemerintahan daerah,
c. Melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah
apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau
berhalangan sementara, dan
d. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”.
2. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD
merupakan lembaga perwakilan yang berada ditingkat daerah untuk
melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan daerah, Pasal 1 Butir 4 UU
Pemerintahan Daerah menyatakan, bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan
46
rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah”.
“Terdapat pada Pasal 101 Ayat (1) UU Pemerintahan
Daerah, DPRD provinsi mempunyai tugas dan wewenang:
a. Membentuk Perda Provinsi bersama gubernur;
b. Membahas dan memberikan persetujuan Rancangan
Perda Provinsi tentang APBD Provinsi yang diajukan
oleh gubernur;
c. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perda
Provinsi dan APBD provinsi;
d. Dihapus.
d1. Memilih gubernur dan wakil gubernur dalam hal terjadi
kekosongan jabatan untuk meneruskan sisa masa jabatan;
e. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian gubernur
kepada Presiden melalui Menteri untuk mendapatkan
pengesashan pengangkatan dan/atau pemberhentian;
f. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada
Pemerintah Daerah provinsi terhadap rencana perjanjian
internasional di Daerah provinsi;
g. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja ssama
internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
provinsi.
h. Meminta laporan keterangan pertanggungjawaban
gubernur dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
provinsi;
i. Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama
dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang
membebani masyarakat dan daerah provinsi; dan
j. Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diatur
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan”.
47
Pengangkatan M. Iriawan sebagai Plt. Gubernur Jawa Barat Tahun
2018 langsung ditunjuk Menteri Dalam Negeri dengan melalui Kapolri,
padahal dalam Pasal 101 Ayat (2) butir e menyatakan bahwa, DPRD
memiliki wewenang untuk mengusulkan gubernur dan wakil gubernur
dalam hal terjadi kekosongan, dalam hal ini adalah Pelaksana Tugas
Gubernur. Tidak sedikit pihak yang lebih kompeten dilingkungan
Pemerintahan Daerah Jawa Barat, seperti ketua DPRD Jawa Barat yang
lebih berkompeten dalam menjalankan roda pemerintahan di daerah.
Pengangkatan Plt. Gubernur ini memang tidak hanya mendapatkan
pertentangan dari pihak di luar pemerintahan daerah khususnya di DPRD
Jawa Barat itu sendiri. Fraksi Gerinda melakukan aksi boikot sebagai
bentuk perlawanan terhadap keputusan pemerintah pusat dalam
mengangkat M. Iriawan sebagai Plt. Gubernur, aksi boikot yang dilakukan
Fraksi gerinda dilakukan dengan cara tidak menghadiri acara pelantikan M
Iriawan saat itu.5 Artinya, pngangkatan Plt. Gubernur Jawa Barat Tahun
2018 ini tidak melalui pertimbangan dari DPRD, sehingga menimbulkan
konflik hingga keluar area daerah konflik itu sendiri.
3. Pelaksana Tugas Kepala Daerah
Secara umum, yang menjadi dasar hokum dari pejabat yakni
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan,
Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. PP tersebut mengatur tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta menjadi
acuan dalam hal pengangkatan pelaksana tugas sementara atau disebut
dengan pejabat.
“Syarat dan kriteria Plt atau pejabat, berdasakan Pasal
130 butir (3) dan Pasal 131 butir (4) Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan,
5 https://fokus.tempo.co/read/1098950/kontroversi-m-iriawan-jadi-pejabat-gubernur-jawa-barat/full?view=ok diunduh pada: 7 April 2019, pukul: 14.15 WIB.
48
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah, yaitu:
1) Mempunyai pengalaman dibidang pemerintahan, yang
dibuktikan dengan riwayat pejabat.
2) Menduduki jabatan structural esselon I dengan pangkat
golongan sekurang-kurangnya IV/c bagi pejabat
Gubernur dan jabatan structural esselon II pangkat
golongan sekurang-kurangnya IV/b bagi pejabat Bupati/
Walikota.
3) Daftar penilaian pelaksana pekerjaan selama 3 (tiga)
tahun terakhir sekurang-kurangnnyamempunyai nilai
baik”.
Dilihat dari syarat dan kriteria untuk dapat menjadi Plt, M Iriawan
sebelumnya belum pernah menjabat atau memiliki pengalaman dibidang
pemerintahan, hal tersebut ia ungkapkan langsung dalam wawancara
disuatu berita, bahwa:
“Saya di Kamtibmas Alhamdulillah dianggap cukup berhasil.
Saya juga ingin berhasil dibidang pemerintahan sehingga ada
catatan sejarah buat saya. Apabila saya sudah tidak ada,
dipanggil Yang Maha Kuasa, saya pernah menjadi pejabat
Gubernur Jawa Barat yang betul-betul sesuai dengan on-the-
track aturan yang sudah ada”.6
Definisi pelaksana tugas juga disebutkan dalam Pasal 34 ayat (2)
UU No. 30 tahun 2012 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) yang
menjelaskan tentang mandate, Pelaksana Tugas Sementara (Plt)
ditugaskan oleh badan pemerintahan di atasnya yakni pada Pasal 14
UUAP. Konsep dari pelaksana tugas sementara sendiri merujuk pada Surat
6 https://fokus.tempo.co/read/1098950/kontroversi-m-iriawan-jadi-pejabat-gubernur-
jawa-barat/full?view=ok diunduh pada: 7 April 2019, pukul: 14.15 WIB.
49
Keputusan/ SK kepala BKN No. K. 26-20/v.24-25/99 tahun 2011 tentang
tata cara pengangkatan Pegawai Negeri Sipil. Kemudian, pada peraturan
pemerintahan Nomor 100 tahun 2000 tentang hal yang sama.
Gubernur merupakan Kepala Daerah yang dipilih langsung oleh
rakyat melalui proses politik, sedangkan Pelaksana Tugas Gubernur
ditetapkan oleh Presiden melalui Mendagri dengan usulan dari DPRD,
sesuai dengan UU Pilkada Pasal 174 Ayat (7) yang menyatakan, bahwa
Dalam hal sisa masa jabatan kurang dari 18 (delapan belas) bulan,
Presiden menetapkan pejabat Gubernur dan Menteri menetapkan pejabat
Bupati/ Walikota. Dalam nenetapkan Plt. Gubernur Presiden memiliki
kewenangan yang bersifat atributif yang tidak dapat digantikan oleh pihak
lain, sehingga Plt. Gubernur memiliki kewenangan yang bersifat delegatif
yang diberikan langsung oleh Presiden untuk menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya. Oleh karena itu, pada prinsipnya tugas dan wewenang
Plt. Gubernur sama dengan tugas dan wewenang Gubernur.7
Selanjutnya pada Pasal 132A ayat (1) berbunyi “Pejabat kepala
daerah atau pelaksana tugas kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 130 ayat (1) dan ayat (3), serta Pasal 131 ayat (4) atau yang diangkat
untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah karena mengundurkan
diri untuk mencalonkan/ dicaonkan menjadi calon kepala daerah/ wakil
kepala daerah, serta kepala daerah yang diangkat dari wakil kepala daerah
yang menggantikan kepala daerah yang mengundurkan diri untuk
mencalonkan/ dicalonkan sebagai calon kepala daerah/ wakil kepala
daerah”.
Pelaksana Tugas Gubernur diangkat untuk mengisi kekosongan
jabatan kepala daerah guna menjalankan roda pemerintahan di daerah
bukan hanya sekedar menjaga kemanan daerah dari konflik pilkada yang
diselenggarakan di daerah. Menjalankan roda pemerintahan tentu
membutuhkan kompetensi yang harus dimiliki bagi setiap pemimpin
7 Dewi Sendhikasari D., “Wacana Pejabat Gubernur dari POLRI”, Info Singkat, X, 03,
(Februari, 2018), h. 29.
50
daerah untuk menjaga stabilitas daerah dalam mewujudkan kesejahteraan
masyarakat umum. Jawa Barat merupakan daerah yang tidak kecil, ia
merupakan salah satu daerah besar di Indonesia dalam segi penduduk
maupun ekonomi, sehingga apabila dalam menjalankan tugasnya seorang
Plt. Gubernur hanya memiliki dan fokus terhdapa keamanan daerah maka
akan terhambatnya roda pemerintahan di Daerah Jawa Barat.
Seorang polri dalam menjaga keamanan cukup melalui
pengawasan yang langsung berhubungan dengan pemimpin di daerah tidak
perlu terjun langsung menjadi Pelaksana Tugas Gubernur, sebab
kompetensi yang dimiliki tidaklah sebanding dengan apa yang ditugaskan
selama ini di lingkungan Kepolisian.
51
BAB IV
ANALISIS KEPUTUSAN PENGANGKATAN M IRIAWAN SEBAGAI
PLT. GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2018
A. Keabsahan Pengangkatan M Iriawan sebagai Pelaksana Tugas Gubernur di
Provinsi Jawa Barat Tahun 2018.
Kasus pengangkatan Perwira POLRI Aktif sebagai Plt. Gubernur
Tahun 2018 lalu telah menuai beragam reaksi dari masyarakat ataupun para
pakar hukum, terdapat yang setuju atau tidak setuju dengan keputusan dari
Menteri Dalam Negeri waktu itu. Perlu diketahui, bahwa pengangkatan
Pelaksana Tugas Gubernur di sini dilakukan pada saat Pilkada Jawa Barat
tahun 2018 dilaksanakan. Saat itu, Mendagri selaku pihak yang berwenang
menentukan Plt. Gubernur dengan disetujui oleh Presiden meminta Kapolri
untuk menunjuk perwira polri aktif yang dapat diangkat menjadi Plt.
Gubernur. Hal ini, dilandasi dengan alasan yang disampaikan oleh Kepala
Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Arief M Edie, bahwa jumlah
pejabat setingkat eselon I di Kemendagri masih sangat terbatas untuk mengisi
posisi sebagai Plt. Gubernur.1 Selain itu, menurut Arief M Edie selaku Kepala
Pusat Penerangan Kemendagri yang menjadi dasar pertimbanganya ialah
untuk mempermudah koordinasi antara pejabat gubernur, polisi, dan TNI,
dalam menjaga keamanan atau meredam konflik saat pilkada.2
Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut UU
ASN menyatakankan, bahwa jabatan ASN diisi dari pegawai ASN. Aparatur
Sipil Negara atau yang biasa disingkat dengan ASN ini menurut Pasal 1
Angka 1 Undang-Undang ASN adalah profesi bagi pagawai negeri sipil dan
pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi
1 https://www.cnnindonesia.com/pilkadaserentak/nasional/20180126203106-32-
271921/alasan-kemendagri-tunjuk-dua-jendral-polri-jadi-plt-gubernur, diakses pada: 7 Februari 2019, pukul 12.15 WIB.
2 https://m.cnnindonesia.com/nasional/2018012814371932-272117/yusril-anggap-alasan-kemendagri-tunjuk-plt-gubernur-tak-tepat, diakses pada: 5 Desember 2018, pukul: 12.25 WIB.
52
pemerintahan. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia pun
merupakan ASN, tercantum pada Pasal 1 Angka 2 UU Nomor 2 Tahun 2002
Tentang Kepolisian yang menyatakan, bahwa anggota Kepolisian NRI adalah
pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pegawai Negeri atau Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat
PNS juga disebutkan di dalam UU ASN yang menyatakan, bahwa PNS
adalah warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat
sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat Pembina kepegawaian untuk
menduduki jabatan pemerintahan.
Kemudian Pasal 20 Ayat (3) UU ASN menyatakan, bahwa Pengisian
Jabatan ASN tertentu yang berasal dari prajurit Tentara Nasional Indonesia
dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilaksanakan pada Instansi Pusat sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yang
dimaksud dengan Instansi Pusat dalam UU ASN disebutkan dalam Pasal 1
Angka 16 menyatakan, bahwa Instansi Pusat adalah kementerian, lembaga
pemerintahan nonkementerian, kesekretariatan lembaga Negara, dan
kesekretariatan lembaga nonstrukktural.
Dalam hal ini, Kepala Daerah tidak termasuk ke dalam komposisi di
Instansi Pusat, seharusnya ia masuk ke dalam Instansi Pemerintahan yang
berisi Instansi Pusat dan Instansi Daerah, di mana dalam Pasal 2 Angka 17
menyatakan, bahwa Instansi Daerah adalah perangkat daerah provinsi dan
perangkat daerah kabupaten/ kota yang meliputi sekretariat daerah, sekretariat
dewan perwakilan rakyat daerah, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah.
Namun, dalam Pasal 91 UU No. 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua
Atas Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan,
bahwa dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
Kabupaten/ kota dan Tugas Pembantuan oleh Daerah kabupaten/ kota
Presiden dibantu oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
53
Itu artinya, Kepala Daerah Provinsi atau gebernur merupakan wakil
Pemerintahan Pusat dalam hal pembinaan dan pengawasan dalam
penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
kabupaten/ kota dan tugas pembantuan oleh daerah kabupaten/ kota.
Dalam Pasal 20 Ayat (3) UU ASN yang disebutkan dilaksanakan pada
Instansi Pusat, tidak satu pun disebutkan bahwa Kepala Daerah merupakan
bagian dari Instansi Pusat yang disebut dalam Pasal 1 Angka 16 UU ASN.
Kemudian Pasal 109 Ayat (2) UU ASN menegaskan, bahwa jabatan
Pimpinan tinggi dapat diisi oleh prajurit Tentara Negara Indonesia setelah
mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan
kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif.
Meskipun pada Pasal 109 Ayat (3) menyatakan, bahwa jabatan Pimpinan
Tinggi di lingkungan Instansi Pemerintahan tertentu dapat diisi oleh prajurit
Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia sesuai dengan kompetensi berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pasal ini memang memberikan penjelasan serta
penegasan seorang polri diperbolehkan untuk masuk ke ranah pemerintahan,
hal ini sama dengan yang disebutkan dalam Pasal 28 Ayat (3) UU Kepolisian
menyatakan, bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat
menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun
dari dinas kepolisian. Dalam penjelasan UU tersebut, kalimat “jabatan di luar
kepolisian” adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan
kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia (Kapolri). Namun, pada Pasal 109 Ayat (3) terseut jelas
disebutkan pada Ayat sebelumnya, yaitu Ayat (2), bahwa TNI atau polri harus
pension atau mengundurkan diri terlebih dahulu tanpa adanya pengecualian
jika akan memasuki jabatan di pemerintahan.
Kemendagri menggunakan Pasal 201 Ayat (10) UU Pilkada, ia fokus
terhadap kekosongan jabatan yang harus segera diisi, sehingga pihak
kemendagri mengangkat pejabat tinggi madya dari pihak kepolisian, tanpa
mempertimbangkan, fungsi dan kewenangan Kepolissian yang diatur dalam
54
UU Kepolisian dan mengindahkan UU ASN yang mengatur terkait jabatan
yang diembankan kepada Polri tersebut.
Pertentangan antara Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang
Aparatur Sipil Negara ini cukup memiliki kekuatan hukum yang sulit
dipecahkan, akan tetapi kedua Undang-Undang yang memiliki peraturan yang
bertentangan dapat diambil keputusan menggunakan asas hukum tergantung
pihak tersebut memandangnya dari sudut sebelah mana. Kemendagri lebih
menggunakan asas Lex Spesialis Derogat Legi Generalis, artinya undang-
undang khusus dapat mengesampingkan undang-undang yang lebih umum,
dalam kasus ini Undang-Undang Kepolisian memang lebih khusus
dibandingkan dengan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara, namun bagi
peneliti setelah menelaah pembahasan dari kedua undang-undang tersebut
khususnya melihat dari Pasal 2 UU Kepolisian terkait dengan fungsi
kepolisian itu sendiri dan juga melihat daripada kewenangan Kepolisian
dalam Pasal 15 UU Kepolisian tidak ada keterkaitan antara menjaga
keamanan dan pertahanan negara dengan menjalankan roda pemerintahan.
Selain itu, dikenal pula adagium Lex posteriori derogate lex priori
yang artinya undang-undang yang baru dapat mengesampingkan undang-
undang yang lama.3 Jadi, apabila terdapat suatu masalah yang sama diatur
dalam suatu undang-undang yang kemudian diatur kembali dalam undang-
undang baru tanpa mencabut/ meniadakan aturan yang terdapat pada undang-
undang lama tersebut, maka undang-undang baru yang dijadikan acuannnya.
Jika dilihat dari tahunnya, Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang
diterapkan tahun 2014 lebih baru dibandingkan dengan Undang-Undang
Kepolisian yang diterapkan pada tahun 2002. Peneliti lebih menggunakan
asas ini, sebab hanya ada satu Pasal dalam UU Kepolisian yang
membolehkan perwira aktif polisi menduduki jabatan di luar Kepolisian, itu
pun terdapat dibagian penjelasan Pasal. Berbeda dengan UU ASN yang
menegaskan di beberapa Pasal diantaranya Pasal 20 Ayat 3, Pasal 109 Ayat
3 Wendi dan Firman Wijaya, Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan, Jurnal Hukum Adigama, h. 21.
55
(2), dan Pasal 109 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang
Aparatur Sipil Negara.
M. Iriawan, sebagai seorang perwira polri aktif yang diangkat oleh
Mendagri atas persetujuan Presiden ini memang memiliki kompetensi yang
tidak dapat diragukan lagi, dalam riwayat jabatannya sebelum menjabat
sebagai Plt. Gubernur Jawa barat Tahun 2018 ia disebutkan pernah menjabat
sebagai Kapolda NTB tahun 2012, Kapolda Jabar tahun 2013, Kadivkum
POLRI tahun 2015, Kadivpropam POLRI tahun 2016, Kapolda Metro Jaya
Tahun 2016, Asops Kapolri tahun 2017, dan Sekretaris Utama Lemhanas
tahun 2018. Namun, tidak ada satu pun pengalamannya berkaitan dengan
kompetisinya di dunia pemerintahan.
Menurut Refly Harun, dalam wawancara beliau mengatakan, bahwa
Plt. Gubernur ini merupakan jabatan atas penugasan dari Kapolri, Menteri
Dalam Negeri tidak serta merta menunjuk anggota polri aktif tanpa melalui
Kapolri. Artinya, jabatan yang diberikan atas penugasan Kapolri kepada
anggota polri aktif itu dianggap sebagai jabatan di dalam kepolisian. Selain
itu, beliau juga mengatakan Plt. Gubernur bukanlah jabatan politik, tetapi
jabatan administratif yang harus diisi oleh ASN, anggota Kepolisian NRI
merupakan ASN sesuai dengan yang tercantum pada UU No. 2 Tahun 2002.
Plt. Gubernur yang berasal dari Perwira Polri Aktif ini menurutnya tidaklah
melanggar undang-undang, selama Kapolri menunjuk anggotanya yang setara
dengan eselon I Kemendagri.
Namun, menurutnya untuk masa yang akan mendatang penunjukan
perwira polri aktif ini tidak lagi ditunjuk sebagai Plt. Gubernur, sebab jika
masih dapat menunjuk mantan Gubernur Jawa barat pada periode yang telah
habis masa jabatannya, wakil Gubernur yang masih dapat menjalankan
tugasnya, atau ketua DPRD Jawa Barat waktu itu yang memang sudah pasti
lebih mengetahui kondisi daerahnya tersebut. Ketiganya memilki kompetensi
56
yang telah teruji, ketiganya juga pernah dipilih oleh rakyat, lalu apa salahnya
jika salah satu diantara ketiga orang tersebut ditunjuk sebagai Plt. Gubernur.4
Ahmad Heryawan selaku Gubernur yang telah habis masa jabatannya
masih dapat diperpanjang jabatannya selama satu atau dua bulan selama
pilkada berlangsung, Ahmad Heryawan merupakan orang yang tepat untuk
menajdi Plt. Gubernur, selain ia pernah dipilih langsung oleh rakyat, ia juga
memilki kompetensi yang memang sudah teruji selama menjabat sebagai
Gubernur, ia juga diketahui tidak mencalonkan diri kembali menjadi
Gubernur pada saat itu, ungkap Refly Harun.
Tidak sedikit pakar yang berpendapat kasus pengangkatan perwira
polri aktif sebagai Plt. Gubernur ini merupakan bagian dari rencana politik
yang akan menguntungkan salah satu pihak. Berdasar pada Pasal 28 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang menyatakan, bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia
bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada
kegiatan politik praktis.
Seperti pernyataan Yusril Ihza Mahendra Ketua Umum Partai Bulan
Bintang (PBB), bahwa wajar bila masyarakat curiga dengan itikad Tjahjo
yang berencana menempatkan dua perwira tinggi aktif polisi sebagai pejabat
Gubernur, menurutnya hal tersebut tidak terlepas dari kepentingan politik PDI
Perjuangan dalam memenangkan pilkada di daerah yang bersangkutan.
Menurutnya juga, bahwa undang-undang kepolisian itu menyatakan bahwa
polisi harus netral, kedua polisi tidak boleh merangkap jabatan yang lain
kecuali jabatan yang terkait langsung dengan kepolisian, seperti BIN (Badan
Intelejen Nasional) dan BNN (Badan Narkotika Nasional).5
Namun, pendapat para pakar pada saat sebelum dikeluarkannya
keputusan pasti dari Mendagri terkait Plt. Gubernur tersebut yang telah
4 Hasil Wawancara dengan Refly Harun, ahli Hukum Tata Negara Indonesia. Pada Senin,
4 Februari 2018 pukul 12.50 s.d 13.15 WIB.
5 https://m.cnnindonesia.com/nasional/2018012814371932-272117/yusril-anggap-alasan-kemendagri-tunjuk-plt-gubernur-tak-tepat. Diakses pada, 5 Desember 2018. Pukul 12.25 WIB.
57
menuai beragam reaksi masyarakat, tidak menurunkan niat Mendagri untuk
mengubah keputusannya. Menurut Mendagri tidak ada satupun undang-
undang atau peraturan yang ia langgar dengan keputusannya tersebut, ia
berpegang teguh pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang
Pilkada yang menyatakan, bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan
gubernur, diangkat pejabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan
tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur.
Pengangkatan perwira polri aktif menuai beragam reaksi dari
masyarakat awam atau pun para pakar Hukum Tata Negara. Pengangkatan
perwira polri aktif menjadi Plt. Gubernur dianggap sebagai permainan politik
di dalam pilkada yang akan menguntungkan salah satu pihak. Beberapa pakar
juga menyebutkan, bahwa Kemendagri memiliki potensi melanggar beberapa
Undang-Undang, seperti UU Pilkada, UU Kepolisian, UU Aparatur Sipil
Negara, juga UU Pemerintahan Daerah.
Masyarakat dan para pakar hukum mengkhawatirkan akan netralitas
dari seorang polri itu sendiri, sebab dalam Pasal 28 Ayat (1) UU No. 2 Tahun
2002 menyatakan, bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap
netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik
praktis. Jabatan Kepala Daerah merupakan jabatan politik, sebab iya dipilih
secara langsung oleh rakyat melalui partai politik dengan sistem demokratis.
Netralitas seorang polri wajib untuk dijaga, sebab polri sebagai pihak yang
paling bertanggung jawab terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat.
Apabila kepercayaan masyarakat kepada Kepolisian Republik
Indonesia telah hilang, maka tidak menutup kemungkinan Negara Kesatuan
Republik Indonesia akan tetap utuh. Meski pengangkatan perwira polri aktif
ini tidak dilarang oleh undang-undang, etika seorang polri haruslah tetap
dijaga netralitasnya. Banyak pihak yang mengkhawatirkan terkait netralitas
pihak Kepolisian yang terlibat dalam pemerintahan, kecurigaan yang muncul
itu disebabkan oleh penerapan sistem pada waktu dilaksanakannya Pemilihan
Kepala Daerah serentak, meski tidak terbukti menguntungkan salah satu
58
pihak mengantisipasi kecurigaan publik terhadap aparat penegak hukum
harus dilakukan.
Konflik yang terjadi antara beberapa pihak entah dari masyarakat
awam, para tokoh, atau bahkan pejabat pemerintahan yang merasa tidak
pantas seorang polri masuk ke dalam pemerintahan yang memang bukan
ranahnya mengakibatkan perpecahan anatar rakyat Indonesia.
Untuk itu, meminimalisir perpecahan bangsa dan Negara, jika suatu
keputusan yang menimbulkan suatu pertentangan dari masyarakat sebaiknya
tidak dilakukan meski tidak melanggar undang-undang guna menjaga
kesatuan Negara Republik Indonesia.
B. Hubungan Kementerian Dalam Negeri dengan Kepolisian Republik Indonesia
dalam Sistem Pemerintahan Indonesia.
Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia saat ini, posisi
struktural Kepolisian berada di bawah Presiden, sejajar dengan Kementerian.
Namun, tetap memiliki fungsi serta tugas yang jauh berbeda, dalam
paradigma polisi yang merupakan aparat sipil juga memiliki fungsi untuk
menjalankan salah satu fungsi dari pemeritahan. Kedudukan Kepolisian yang
tidak diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menuai reaksi pertentangan yang serius antar beberapa
lembaga yang menginginkan posisi Kepolisian berada di bawah lembaganya.
Dalam hal ini, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM,
dan Kementerian Kehakiman disebut ingin memasukkan Kepolisian berada di
bawah wewenangnya.6
Pemerintahan yang baik (good governance) akan terwujud manakala
didukung pula oleh penyelenggara fungsi pemerintahan yang baik. Kepolisian
Negara Republik Indonesia merupakan organisasi negara yang memiliki
kedudukan dalam sistem pemerintahan Indonesia yang menjadi salah satu
faktor yang memiliki pengaruh yang dominan dalam penyelenggaraan
6 Ida Bagus Kade Danendra, “Kedudukan dan Fungsi Kepolisian dalam Struktur Organisasi Negara Republik Indonesia”, Lex Crimen, I, 4 (Oktober-Desember, 2012), h. 47.
59
pemerintahan di Indonesia, maka penyelenggaraan pemerintahan yang baik
akan terwujud bila terwujud pula kepolisian yang baik (goodpolice).7
Jabatan Kepolisian merupakan jabatan karir yang tidak dapat
dipolitisasi, ia bersifat netral, dan tidak dapat berganti meski kekuasaan
pemerintahan Indonesia berganti kepemimpinannya.8 Hubungan antara
kepolisian dengan Kemendagri memiliki tugas dalam penyelenggaraan
pemerintahan yang baik, kepolisian memiliki tugas untuk menjaga keamanan
dan ketertiban masyarakat, Kemendagri bertugas secara administratif
memastikan penyelenggaraan pemerintahan di dalam negeri berjalan dengan
baik sesuai peraturan perundang-undangan.
Sama halnya dengan pemerintahan, penerapan sistem desentralisasi
juga diterapkan oleh Kepolisian. Menurut Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 23 Tahun
2014 Tentang pemerintahan Daerah, bahwa Desentralisasi adalah penyerahan
Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daaerah otonom
berdasarkan Asas Otonom. Dalam Pasal 1 Angka 7 UU tersebut juga
disebutkan, bahwa Asas Otonom adalah prinsip dasar penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah berdasarkan Otonomi Daerah. Kemudian dalam Pasal 1
Angka 6 Undang-Undang tersebut menyebutkan pula, bahwa Otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara teoritis, kepolisian juga dibagi berdasarkan daerah hukum yang
terkonsep akan pentingnya pembagian kewenangan berdasarkan daerah yang
memiliki batas tanggung jawabnya masing-masing. Sistem pembagian
kewenangan antara pusat dan daerah yang diterapkan dalam sistem
pemerintahan Indonesia. Sebagai lembaga organisasi Negara, Kepolisian
Negara Republik Indonesia memiliki sesitem desentralisasi dan sentralisasi
7 Ida Bagus Kade Danendra, “Kedudukan dan Fungsi Kepolisian dalam Struktur Organisasi Negara Republik Indonesia”,…. h. 41.
8 Hasil Wawancara dengan Dr. Refly Harun, S.H., M.H., LL.M., ahli Hukum Tata Negara Indonesia. Pada Senin, 4 Februari 2018 pukul 12.50 s.d 13.15 WIB.
60
yang sembang, di mana Kepolisian yang terpusat di Markas Besar Kepolisian
Negara Republik Indonesia, sedangkan pelaksanaan tugas dan wewenangnya
terkonsep pembagian daerah hukum, Kepolisian tingkat pusat yang disebut
dengan Mabes Polri dan tingkat Provinsi disebut Polda.
Kepolisian yang kedudukannya berada sejajar dengan kementerian
yang hubungan antara keduanya merupakan hubungan kerja sama, seperti
yang diatur dalam Pasal 42 Ayat (2) UU Kepolisian, kedua lembaga ini
memiliki hubungan kerja sama untuk menjaga keamanan dan pertahanan
pemerintah pusat maupun daerah, hubungan kerjasama yang seharusnya
sejajar atau horizontal akan menjadi vertical hubungan kerja sama antara
atasan dan bawahan apabila polri menjadi Plt. Gubernur yang secara otomatis
berada pada area kekuasaan Kemendagri.
Berdasarkan hal tersebut, M Iriawan telah menjabat sebagai Plt.
Gubernur selama pilkada serentak pada Tahun 2018 lalu, di dalam Al-Qur’an
dijelaskan, bahwa taati lah Allah dan rosul, taatilah perintah pemimpin,
namun jika pemimpin tersebut bertentangan denganmu atas perintahnya,
maka kembalikan lah keputusannya kepada Allah Swt.
Al-Qur’an Surat An-Nisa ; (59).
سول وأولي الأمر منكم فإن تنازعتم ف وأطیعوا الر یا أیھا الذین آمنوا أطیعوا الله وه إلى الله ي شيء فرد
لك خیر والیوم الآخر ذ سول إن كنتم تؤمنون باللہ وأحسن تأویلا والر
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
61
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, untuk mengakhiri pembahasan dalam
penelitian ini, maka penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara hukum, pengangkatan Perwira polri aktif sebagai Plt. Gubernur ini
tidak sesuai aturan. Pasal 109 Ayat (2) UU ASN terdapat perintah, bahwa
Polri atau TNI harus pensiun atau mengundurkan diri dari jabatan tanpa
kecuali, hal ini berbeda dengan penjelasan Pasal 28 Ayat (3) UU
Kepolisian. Berdasarkan Asas Lex Posteriori Derogate Lex Priori UU
ASN lebih dapat digunakan kekuatan hukumnya dibanding dengan UU
Kepolisisan NRI. Kemudian Polri tidak dapat menjabat di Instansi
Pemerintahan meskipun ia ditugaskan oleh Kapolri, sebab dalam Pasal 20
Ayat (3) UU ASN Polri atau TNI dapat menduduki jabatan di Instansi
Pusat bukan Intansi Pemerintahan.
2. Hubungan Kementerian Dalam Negeri dengan Kepolisian Negara
Republik Indonesia merupakan sejajar dan sama-sama berada di bawah
Presiden. Beberapa Kementerian termasuk Kementerian Dalam Negeri
menginginkan Kepolisian berada di bawah kuasanya, namun sampai saat
ini Kepolisian masih dalam posisi yang sejajar dengan Kementerian.
Kepolisian yang masuk ke ranah pemerintahan (khusus daerah) berada di
bawah kuasa Kemendagri yang seharusnya cukup menjalin kerjasama,
garis kordinasi yang akan timbul diantara keduanya adalah garis kordinasi
vertikal bukan lagi horizontal.
62
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan, maka penulis memberikan rekomendasi sebagai
berikut:
1. Seorang perwira polri aktif yang terlibat ke dalam ranah pemerintahan,
berarti juga terlibat dalam kegiatan politik praktis, sebaiknya
mengundurkan diri atau pensiun. Kepercayaan masyarakat terhadap
netralitasnya sebagai alat negara yang seharusnya dijaga dan
dipertahankan. Apapun alasannya, menjaga kepercayaan masyarakat
sangat penting.
2. Pelaksana Tugas Gubernur sebaiknya tidak melibatkan alat negara yang
memiliki tugas di luar kompetensinya. Ahmad Heriawan mantan
gubernur pada periode sebelumnya dapat dijadikan Plt. Gubernur untuk
menjalankan tugas selama pilkada berlangsung atau mengangkat Ineu
Purwadewi Sundari selaku Ketua DPRD saat itu untuk menjadi
Pelaksana Tugas yang tidak diragaukan lagi kompetensinya di bidang
pemerintahan daerah, khususnya Daerah Jawa Barat.
63
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Ashiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara. Jakarat: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Asshiddiqie, Jimly. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, cet. VII. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2015.
Amirudin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Kencana, 2006.
Atmosudiro, S. Prajudi. Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1994.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia V 0.2.1
Beta (21), 2016.
Busroh, Abu Daud. Ilmu Negar, cet. VIII. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011.
Djaenuri, Aries & Enceng. Sistem Pemerintahan Daerah, cet. II, Ed. 2. Tangerang
Selatan: Universitas Terbuka, 2018.
Hasyimzoem, Yusnani. Hukum Pemerintahan Daerah. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2017.
HAW. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia (Dalam Rangka
Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
Huda, Ni’matul. Hukum Pemerintahan Daerah. Bandung: Nusa Media, 2009.
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia, cet. V. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2010.
Ibrahim, Johnny. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet. IV.
Malang: Bayumedia Publishing, 2008.
64
Kansil, C.S.T. Jilid I Pengantar Ilmu Hukum Semester Ganjil, cet. X. Jakarta:
Balai Pustaka, 1999.
Manullang, E. Fernando M. Legisme, Legalitas, dan Kepastian Hukum. Jakarta:
Prenadamedia Group.
Marpaung, Lintje Anna. Hukum Tata Negara Indonesia. Yogyakarta: Penerbit
Andi, 2018.
Marzuki, Peter Muhmud. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011.
Mufti, Muslim dan Didah Durrotun Nafisa. Teori-teori Demokras. Bandung: CV
Pustaka Setia, 2013.
Muluk, Khairul. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, cet. II. Jawa Timur:
Bayumedia Publishing, 2007.
Prasetyo, Teguh dan Abdul halim Barkatullah. Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum.
Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012.
Rahayu, Ani Sri. PENGANTAR PEMERINTAHAN DAERAH Kajian Teori,
Hukum, dan Aplikasinya. Jakarta: Sinar Grafika, 2018.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat,cet. XII. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Soeroso, R. Pengantar Ilmu Hukum. Cet. XIII. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Sugiyono. Jenis Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta,
2005.
Sunggono, Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1997.
Supranto, J. Metode Penelitian Hukum dan Statistik. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003.
65
Sutrisno dan Wiwin Yulianingsih. Etika Profesi Hukum. Yogyakarta: ANDI,
2016.
Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
II. JURNAL
Adelina, Fransica. Legalitas Penunjukan Pejabat POLRI menjadi Pelaksana tugas
Gubernur pada Masa Kampanye Pemilihan Kepala Daerah. Jurnal
Legislasi Nasional, Volume 15 Nomor 01, Maret 2018.
Armin. Hubungan Pemerintahan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Ketatanegaraan. Volume 011,
Oktober 2018.
Bauw, Azies. Penegakan Kode Etik Kepolisian terhadap Pelanggaran yang
dilakukan Anggota Polisi (Studi Kasus di Kepolisian Daerah Jayapura),
Legal Pluralism. Volume 5 Nomor 1, Januari 2015.
Danendra, Ida Bagus Kade. “Kedudukan dan Fungsi Kepolisian dalam Struktur
Organisasi Negara Republik Indonesia”, Lex Crimen, I, 4, Oktober-
Desember 2012.
Deliarnoor, Danang Alamsah. Problematika Pelaksana Tugas (PLT) dalam Masa
Transisi Pemerintahan (Pra dan Pasca Pilkada Serentak), CosmoGov,
Volume 1 Nomor 2, Oktober 2015.
Djamin, Awaloedin. Kedudukan Polri Dalam Sistem Ketatanegaraan: Isu-Isu
Polri Dalam RUU Kamnas, (Jurnal Keamanan Nasional Volume I, Nomor
3, 2015.
D, Dewi. Sendhikasari. “Wacana Pejabat Gubernur dari POLRI”, Info Singkat, X,
03, Februari 2018.
66
Hadi, Syofyan dan Tomy Michael. Prinsip Keabsahan (Rechtmatigheid) dalam
Penetapan Keputusan Tata Usaha Negara, Jurnal Cita Hukum, Volume 5,
Nomor 2, Desember 2017.
Hamid, Ahmad Farhan dan Saripudin. Kewenangan Pemerintahan Daerah dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Ketatanegaraan. Volume 011,
Oktober 2018.
Herman dan Hendry Julian Noor. Doktrin Tindakan Hukum Administrasi Negara
Membuat Keputusan (Beschikking), Volume 3, Nomor 1, Februari 2017.
Nadir, Sakinah. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Desa: Menuju Pemberdayaan
Masyarakat Desa, Jurnal Politik Profetik, Volume 1 Nomor 1, 2013.
Siallagan, Haposan. Penerapan Prinsip Negara Hukum di Indonesia,
Sosiohumaniora, Volume 18 Nomor 2, Juli 2016.
Sutrisno, Cucu. Partisipasi Warga Negara dalam PILKADA. Jurnal Pancasila
dan Kewarganegaraan, Volume 2 Nomor 2, Juli 2017.
Wendi dan Firman Wijaya, Penerapan Asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori
Terhadap Anak Korban Pencabulan, Jurnal Hukum Adigama.
III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Perubahan
Kedua Atas Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur
Sipil Negara.
67
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata usaha Negara.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisisan
Negara Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai
Negeri Sipil.
Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Kementerian Dalam Negeri.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan,
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah.
IV. WEBSITE
Hidayat, Rofiq. Polisi Jabat Plt Gubernur, ini UU yang Potensi Dilanggar
Mendagri, hukum online.
http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt5a6ee439b8d04/polisi-jabat-plt-
gubernur--ini-uu-yang-potensi-dilanggar-mendagri.
https://fokus.tempo.co/read/1098950/kontroversi-m-iriawan-jadi-pejabat-
gubernur-jawa-barat/full?view=ok
https://m.cnnindonesia.com/nasional/2018012814371932-272117/yusril-anggap-
alasan-kemendagri-tunjuk-plt-gubernur-tak-tepat.
https://m.hukumonline.com/berita/baca/lt56fcad31a33f9/bahasa-hukum
pelaksana-tugas--pelaksana-harian--dan-pejabat/.
https://m.detik.com/news/berita/d-3836023/pengamat-mendagri-tak-tabrak-
aturan-angkat-polri-jadi-pj-gubernur.
68
https://www.cnnindonesia.com/pilkadaserentak/nasional/20180126203106-32-
271921/alasan-kemendagri-tunjuk-dua-jendral-polri-jadi-plt-gubernur.