Upload
meethoens
View
378
Download
14
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global dengan prevalensi yang
terus meningkat serta dapat berdampak pada penurunan kualitas hidup
penderitanya. Rinitis alergi merupakan penyakit hipersensitifitas tipe 1 yang
diperantarai oleh IgE pada mukosa hidung dengan gejala karakteristik berupa
bersin-bersin, rinore encer, obstruksi nasi dan hidung gatal. Gejala terjadi pada
hidung dan mata dan biasanya terjadi setelah terpapar debu, atau serbuk sari
musiman tertentu pada orang-orang yang alergi terhadap zat ini.
Berdasarkan atas saat pajanan rhinitis alergi diklasifikasikan menjadi
rhinitis alergi musiman (seasonal) dan rhinitis alergi tahunan (perennial). ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) bekerjasama dengan WHO 2001
membuat klasifikasi baru rhinitis alergi berdasarkan parameter gejala dan kualitas
hidup penderita. Berdasarkan atas lama dan beratnya penyakit, rhinitis alergi
diklasifikasikan menjadi intermiten ringan, intermiten sedang berat, persisten
ringan dan persisten berat.
Rhinitis alergi bukanlah kondisi yang mengancam jiwa, namun komplikasi
masih dapat terjadi dan menyebabkan kondisi yang secara signifikan dapat
mengganggu kualitas hidup.(2) Pasien dengan rinitis alergi merasa penyakitnya
sama beratnya dengan asma berat dalam penurunan aktivitas harian. Pekerja
dengan riwayat alergi yang tidak kunjung sembuh dilaporkan 10% kurang
produktif dibandingkan pekerja yang tidak memiliki riwayat alergi, dan pekerja
yang menjalani pengobatan untuk rinitis alergi dilaporkan 3% kurang produktif.
Hal ini menunjukkan bahwa pengobatan yang efektif dapat menekan keseluruhan
biaya dari penurunan produktivitas.
Dua pertiga dari pasien memiliki gejala rinitis alergi sebelum usia 30, tapi
kejadiannya dapat terjadi pada usia kapanpun. Rhinitis alergi tidak memiliki
predileksi seksual. Ada kecenderungan genetik yang kuat untuk rhinitis
1
alergi. Satu orang tua dengan riwayat rhinitis alergi memiliki sekitar 30 persen
kesempatan untuk memproduksi keturunan dengan gangguan tersebut. Resiko
meningkat sampai 50 persen jika kedua orang tua memiliki riwayat alergi. (3)
1.2. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah definisi rinitis alergi?
2. Apa saja etiologi rinitis alergi?
3. Bagaimana epidemiologi rinitis alergi?
4. Bagaimana patofisiologi rinitis alergi?
5. Bagaimana klasifikasi rinitis alergi?
6. Bagaimana penegakan diagnosis rinitis alergi?
7. Bagaimana penanganan rinitis alergi?
8. Apa saja komplikasi rinitis alergi?
9. Bagaimana prognosis rinitis alergi?
1.3. TUJUAN
1. Mengetahui definisi rinitis alergi.
2. Mengetahui etiologi rinitis alergi.
3. Mengetahui epidemiologi rinitis alergi.
4. Mengetahui patofisiologi rinitis alergi.
5. Mengetahui klasifikasi rinitis alergi.
6. Mengetahui penegakan diagnosis rinitis alergi.
7. Mengetahui penanganan rinitis alergi.
8. Mengetahui komplikasi rinitis alergi.
9. Mengetahui prognosis rinitis alergi.
1.4. MANFAAT
1. Manfaat keilmuan : Sebagai landasan ilmiah mengenai penyakit rinitis
alergi.
2. Manfaat praktis : Memberi dasar bagi penanganan rinitis alergi bagi
dokter umum maupun spesialis di tempat pelayanan kesehatan.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI
Definisi rinitis alergi menurut WHO
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal, dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh Ig E.
GAMBAR 1. RHINITIS ALERGI
2.2. ETIOLOGI
Rinitis alergi dapat disebabkan oleh faktor herediter (riwayat rinitis alergi
dalam keluarga), faktor lingkungan (pajanan debu dan jamur), pajanan alergen
(serbuk sari, bulu hewan, dan makanan), perokok pasif (terutama dalam masa
kanak-kanak), polusi pabrik.
Pada bayi dan balita, alergen makanan seperti susu, telur, kedelai serta
debu dan alergen inhalan merupakan penyebab utama dan menjadi komorbid dari
penyakit dermatitis atopi, otitis media, dan astma.
2.3. EPIDEMIOLOGI
Penelitian di Scandinavia menunjukkan prevalensi pada laki-laki adalah
15% dan 14% pada wanita. Prevalensi penyakit ini sangat bervariasi antara
populasi dan budaya yang disebabkan oleh perbedaan genetik, faktor geografi atau
perbedaaan lingkungan. Pada anak-anak, lebih sering muncul pada laki-laki
dibanding perempuan. tetapi pada dewasa dapat terjadi dengan prevalensi yang
sama. Onset sering terjadi pada masa anak-anak, usia remaja dan dewasa muda,
dengan usia onset rata-rata 8-11 tahun. Rinitis alergi dapat muncul pada usia
berapa saja, dalam 80% terjadi pada usia 20 tahun. Prevalensi dari penyakit ini
telah dilaporan sebanyak 40% pada anak-anak, dan menurun sesuai dengan usia.
3
2.4. PATOFISIOLOGI
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Alergi terdiri
dari 2 fase yaitu Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL)
yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah
pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.
GAMBAR 2. REAKSI ALERGI PADA RINITIS ALERGI
Pada kontak pertama dengan alergen (sensitisasi), makrofag atau monosit
yang berperan sebagai APC akan menangkap alergen yang menempel di
permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk
komplek peptida MHC kelas II (Major Histo Compatibility Complex) yang
kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian APC akan melepas
sitokin seperti IL-1 yang akan mengaktifkan Th 0 untuk berproliferasi menjadi Th
1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan
IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B,
sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi Imunoglobulin E. Ig
E di sirkulasi darah akan masuk kejaringan dan diikat oleh reseptor Ig E di
permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi
4
aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang
sama, maka kedua rantai Ig E akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Preformed Mediators) terutama histamin.
Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PG D2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-
6, IL-6, PAF, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor)).
Inilah yang disebut Reaksi Alergi Fase Cepat.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin. Histamin juga menyebabkan
kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf, juga
mengakibatkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran
Inter Celluler Adhesion Molecule 1 (lCAM-1).
GAMBAR 3. PATOFISIOLOGI RINITIS ALERGI ( EARLY AND LATE PHASE REACTION )
Pada RAFC, sel mastosit akan melepaskan molekul komotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ditandai dengan penambahan
5
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti seperti IL-3, IL-4, IL-
5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM-
1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif hidung akibat peranan eosinofil
dan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Derived Protein
(EDP), Major Basic Protein (MPB) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada
fase ini, selain factor spesifik yang memperberat gejala antara lain seperti asap
rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
2.5. KLASIFIKASI
Dahulu rinitis alergi dibedakan berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Di indonesia tidak dikenal rinitis alergi musiman, hanya ada di negara yang
mempunyai 4 musim. Alergen penyebabnya spesifik, yaitu tepung sari (pollen)
dan spora jamur.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim, dapat ditemukan
sepanjang tahun. Penyebab yang sering ialah alergen inhalan, terutama pada
dewasa, dan alergen inhalan utama adalah alergen diluar rumah (out door).
Alergen ingestan sering merupakan penyebab pada anak-anak dan biasanya
disertai dengan gejala alergi yang lain, seperti urtikaria dan gangguan
pencernaan.
Saat ini digunakan berdasarkan rekomendasi dari WHO initiative ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi:
1. Intermiten (kadang-kadang) : gejala < 4 hari/minggu atau < 4
minggu.
2. Persisten/menetap : gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih
dari 4 minggu.
Sedangkan untuk berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
6
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas
harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang
mengganggu.
2. Sedang-berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas.
Intermiten
Gejala
≤ 4 hari per minggu
atau ≤ 4 minggu
Persisten
Gejala
> 4 hari per minggu
dan > 4 minggu
Ringan
tidur normal
aktivitas sehari-hari, olah raga dan santai normal
bekerja dan sekolah normal
keluhan yang mengganggu (-)
Sedang-Berat
Satu atau lebih gejala
tidur terganggu
aktivitas sehari-hari, olah raga dan santai terganggu
masalah dalam sekolah dan bekerja
ada keluhan yang mengganggu
GAMBAR 4. KLASIFIKASI RINITIS ALERGI
2.6. GEJALA KLINIS
Gejala klinis yang khas adalah bersin yang berulang. Bersin biasanya pada
pagi hari dan karena debu. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap patologik
dan perlu dicurigai adanya rinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase
cepat. Gejala lain berupa keluarnya ingus yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, mata gatal dan banyak air mata. Pada anak-anak sering gejala tidak
khas dan yang sering dikeluhkan adalah hidung tersumbat.
Pada anak-anak, akan ditemukan tanda yang khas seperti:
1. Allergic salute
2. Allergic crease
3. Allergic shiner
4. "Bunny rabbit" nasal twiching sound
7
Allergic salute adalah gerakan pasien menggosok hidung dengan
tangannya karena gatal. Allergic crease adalah alur yang melintang di sepertiga
bawah dorsum nasi akibat sering menggosok hidung. Allergic shiner adalah
bayangan gelap di bawah mata yang terjadi akibat stasis vena sekunder akibat
obstruksi hidung. Bunny-rabbit sound adalah suara yang dihasilkan karena lidah
menggosok palatum yang gatal dan gerakannya seperti kelinci mengunyah.
GAMBAR 5. GAMBARAN KLINIS RINITIS ALERGI
2.7. DIAGNOSIS
Diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan sitologi hidung
4. Uji kulit
Pasien rinitis alergi datang ke klinik dengan bercerita bahwa ia sering
bersin karena serangannya tidak terjadi di hadapan pemeriksa. Hampir 50%
diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja
Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh melingkupi:
1. Kepala
Periksa adanya gejala khas seperti allergic shiner, allergic salute, dan
allergic crease.
2. Mata
Tentukan apakah ada eritema dan edema pada konjungtiva palpebra dan
hipertrofi papil dari konjungtiva tarsal. Kemosis pada konjungtiva mungkin
terjadi. Pasien biasanya mengalami mata berair.
8
3. Telinga
Membran timpani harus diperiksa untuk menilai adanya infeksi kronis atau
efusi telinga tengah.
4. Hidung
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Ingus biasanya cair bening atau putih dan sedikit, jarang
bewarna kuning atau hijau. Bila ingus berwarna, kental, dan banyak,
diagnosis infeksi virus atau sinusitis dipertimbangkan. Darah kering
umumnya ditemukan sebagai trauma sekunder akibat menggosok hidung.
Periksa septum nasi untuk melihat deviasi septum atau perforasi septum yang
mungkin dapat disebabkan oleh rhinitis kronik, penyakit granulamatosis,
pecandu kokain, pengguna dekongestan berlebih, akibat operasi sebelumnya.
GAMBAR 6. KONKA PADA PASIEN RHINITIS ALERGI
5. Rongga mulut
Permukaan berbenjol-benjol atau granuler dan edema (cobblestone
appearance) pada faring posterior juga merupakan tanda dari hipertrofi
folikular dari mukosa jaringan limfoid akibat dari kongesti hidung yang
kronik. Dinding leteral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue). Ukuran tonsil dapat meberikan petunjuk ukuran dari
adenoid. Adenoid yang besar dapat menimbulkan gejala dan tanda rinitis
alergi. Sumbatan hidung yang kronis akibat hipertrofi adenoid sering
ditemukan pada anak-anak dengan otitis media dan sinusitis berulang.
9
GAMBAR 7. GEOGRAPHIC TONGUE
Pemeriksaan sitologi hidung dilakukan dengan mengambil cairan hidung
pasien dan menempelkannya pada kaca apus dan diberi pewarna Giemsa-Wright.
Adanya sel netrofil, eosinofil, limfosit adalah fokus perhatian. Disebut eosinofilia
bila ditemukan >10% eosinofil. Eosinofilia mengarah pada penyebab berupa
alergi. Apabila netrofil > 90% maka disimpulkan terjadinya infeksi. Netrofil dan
eosinofil yang ditemukan bersamaan menunjukkan infeksi pada pasien alergi.
Apabila eosinofilia ditemukan pada anak-anak, maka rinitis alergi perlu dicurigai.
Sedangkan eosinofilia pada orang dewasa muda, maka rinitis alergi dan NARES
(non-allergic rhinitis with eosinophilic syndrome) perlu dipikirkan. NARES
adalah pasien dengan eosinofilia yang tidak menunjukkan nilai positif pada tes
kulit dengan allergen yang sering menyebabkan keluhan bersin.
Uji kulit atau Prick test, digunakan untuk menentukan alergen penyebab
rinitis alergi pada pasien. Alergen dapat berupa tungau debu, bulu binatang,
jamur, dan serbuk sari. Tes kulit yang positif menunjukkan adanya antibiodi IgE
yang spesifik terhadap alergen tersebut.
2.8. PENATALAKSANAAN
Secara umum, penatalaksaan rhinitis alergi meliputi tiga kategori besar
yaitu menghindari kontak dengan alergen dan pengelolaan lingkungan,
farmakoterapi dan imunoterapi.
1. Pengelolaan Lingkungan
Mengurangi kontak dengan alergen dapat menurunkan kadar kambuhnya
gejala rinitis alergi secara signifikan. Penderita yang alergi terhadap tepungsari
(pollen), dianjurkan mengurangi kegiatan di luar rumah selama musim yang
bersangkutan, menutup celah masuknya udara luar ke dalam rumah atau mobil
10
serta menggunakan pendingin udara. Pengendalian debu rumah, jamur dan bulu
binatang dengan cara: (1) mengurangi kelembaban rumah; (2) mencuci pakaian
terutama alas kasur dengan air hangat; (3) jauhkan karpet dan binatang piaraan
dari ruang yang sering digunakan penderita; (4) menggunakan bahan yang
hipoalergenik; dan (5) bagi penderita yang tinggal di daerah padat dan kotor,
sedapatnya membasmi kecoa.
GAMBAR 8. PENGELOLAAN LINGKUNGAN TERHADAP ALERGEN
2. Farmakoterapi
a. Antihistamin
Antagonis histamine H-1 bekerja secara inhibitor kompetitif pada
reseptor H-1 sel target, merupakan preparat farmakologik lini pertama
pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa
kombinasi dengan dekongestan secara peroral.
Antihistamin dibagi 2 golongan yaitu antihistamin generasi 1 (klasik) dan
generasi 2 (non-sedatif). Antihistamin generasi 1 bersifat lipofilik, sehingga
dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta
serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain
adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin, sedangkan
yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin. Antihistamin generasi 2
bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar darah otak. Bersifat
selektif mengikat resptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek
antikolinergik, antiadrenergik dan pada efek pada SSP minimal (non-sedatif).
11
Antihistamin oral diabsorpsi cepat dan mudah serta efektif mengatasi
gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedative dibagi
menjadi dua menurut keamananya. Kelompok pertama adalah astemisol dan
terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas terhadap jantung
disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat menyebabkan
aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian medadak. Kelompok
kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin, dan levosetirisin.
b. Dekongestan
Tersedia dalam bentuk topikal maupun sistemik. Onset obat topikal lebih
cepat daripada sistemik, namun dapat menyebabkan rhinitis medikamentosa
bila digunakan dalam jangka waktu lama. Dekongestan sistemik yang sering
digunakan adalah pseudoephedrine HCl dan Phenylpropanolamin HCl. Obat
ini dapat menyebabkan vasokonstriksi. Dosis: 15 mg untuk anak 2-5 tahun,
30 mg untuk anak 6-12 tahun, dan 60 mg untuk dewasa, tiap 6 jam. Efek
samping yang paling sering adalah insomnia dan iritabilitas.
c. Antikolinergik
Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat untuk
mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan
sel efektor.
d. Penstabil Sel Mast
Contoh golongan ini adalah sodium kromoglikat. Obat ini efektif mengontrol
gejala rinitis dengan efek samping yang minimal. Sayangnya, efek terapi
tersebut hanya dapat digunakan sebagai preventif. Preparat ini bekerja
dengan cara menstabilkan membran mastosit dengan menghambat influks ion
kalsium sehingga pelepasan mediator tidak terjadi. Obat ini dapat diberikan
sebagai pilihan alternatif apabila antihistamin tidak dapat ditoleransi pada
pasien.Kelemahan lain adalah frekuensi pemakaiannya sebanyak 6 kali per
hari sehingga mempengaruhi kepatuhan pasien.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respon
fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai
12
adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid,
flutikason, mometason, furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal
bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung,
mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas
limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung
tidak hiperresponsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada respon cepat
dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan
mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga pelepasan mediator
dihambat. Pada respons fase lambat, obat ini menghambat proses inflamasi
dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit.
e. Imunoterapi.
Cara ini dikenal sebagai desensitisasi atau hiposensitisasi, dilakukan pada
alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama serta
dengan pengobatan lain tidak memberikan hasil yang memuaskan. Ada 2
metode imunoterapi yaitu intradermal dan sublingual. Imunoterapi bekerja
dengan pergeseran produksi antibodi IgE menjadi produksi IgG atau dengan
menginduksi supresi yang dimediasi oleh sel T (meningkatkan produksi Th1
dan IFN). Dengan adanya IgG, maka antibodi ini akan bersifat "blocking
antibody" karena berkompetisi dengan IgE terhadap alergen, kemudian
mengikatnya, dan membentuk kompleks antigen-antibodi untuk difagosit.
Akibatnya alergen tersebut tidak ada dalam tubuh dan tidak merangsang
membran mastosit.
f. Kaustik
kaustik merupakan suatu tindakan mengoleskan aplikator kapas yang telah
dibasahi dengan cairan asam triklor asetat 100% pada mukosa konka. Tujuan
dari tindakan kaustik ini adalah untuk menyembuhkan penyakit rhinitis alergi
atau penyakit lainnya yang memerlukan tindakan kaustik.
Prosedur:
1. Dilakukan anestesi dengan lidokain 2%, ditambahkan lidokain 8% dan
ditunggu 5-10 menit.
2. Dilakukan kaustik pada konka inferior untuk rhinitis alergi.
13
3. Atau dilakukan kaustik pada mukosa yang diterapi.
4. Dievaluasi adanya warna keputihan pada bekas olesan tersebut.
5. Kontrol 1 minggu kemudian untuk melihat hasil tindakan dan
kemungkinan komplikasi yang terjadi.
g. Konkotomi
Konkotomi dilakukan pada rhinitis alergi yang berlangsung lama dan berubah
menjadi rhinitis vasomotor. Konkotomi dilakukan pada konka inferior,
dikerjakan apabila hipertrofi berat tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
GAMBAR 9. FARMAKOTERAPI UNTUK RINITIS ALERGI
14
GAMBAR 10. ALGORITMA PENATALAKSANAAN RHINITIS ALERGI
15
2.9. DIAGNOSIS BANDING
NARES (non-allergic rhinitis with eosinophilic syndrome) dapat
disingkirkan bila tes kulit menunjukkan positif terhadap alergen lingkungan.
Penyebab keluhan pada NARES adalah alergi pada makanan. Rinitis vasomotor
dapat dibedakan dengan rinitis alergi dengan keluhan bersin pada perubahan suhu
ekstrim, rokok, tidak terdapat gatal pada mata, udara lembab, hidung tersumbat
pada posisi miring dan bergantian tersumbatnya. Selain itu mukosa yang pucat
atau merah gelap, licin, edema juga mendukung rinitis vasomotor. Pada tes kulit
bernilai negatif. Rinitis alergi dan vasomotor dapat pula terjadi bersamaan dengan
memberi gambaran rinoskopi anterior yang bercampur seperti mukosa pucat tetapi
positif pada tes kulit. Sekresi hidung yang kekuningan dan tampak purulen tetapi
eosinofilik sering terjadi pada rinitis alergi, tetapi pada sekresi yang berbau busuk
dan purulen dan terjadi unilateral perlu dicurigai adanya benda asing.
Tabel 1. Diagnosis Banding Rinitis Alergika
2.10. KOMPLIKASI
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
16
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan slah satu
faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.
2.11. PROGNOSIS
Secara umum, pasien rinitis alergi tanpa komplikasi yang berrespon
dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi
terhadap serbuk sari, maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman.
Prognosis sulit diprediksi pada anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga
yang berulang. Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk
status kekebalan tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rinitis alergi
dapat bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga dekade
lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan karena
menurunnya sistem kekebalan tubuh.
17