Upload
arditya-putra-mardana
View
83
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Persalinan preterm masih merupakan masalah di bidang perinatologi karena
baik di negara maju maupun negara berkembang sebagai penyebab morbiditas dan
mortalitas neonatus. Hal tersebut terutama berkaitan dengan berat badan bayi yang
rendah dan belum siapnya organ-organ penting bayi prematur untuk dapat beradaptasi
secara optimal dengan dunia luar 1,2,3.
Insiden partus prematurus kurang lebih 10% dari seluruh persalinan dan
merupakan penyebab 80% dari kematian neonatal. Di setiap negara kejadian
persalinan preterm sangat bervariasi. Di Amerika Serikat Creasy, 1993 melaporkan
dari tahun 1981-1989 didapatkan angka kejadian persalinan prematur sekitar 9%-
11%1,4. Di Indonesia angka kejadian persalinan preterm berkisar antara 10%-20 %.
Di RSU Sanglah selama 3 tahun terakhir (1998-2000) adalah 3,0 % 5.
Sampai sekarang penyebab terjadinya persalinan preterm belum diketahui
secara pasti, dan bersifat multifaktorial6. Faktor risiko yang berhubungan dengan
tingginya kejadian persalinan preterm antara lain; ibu muda (kurang dari < 20 tahun),
sosial ekonomi yang kurang baik, ibu perokok, wanita yang tidak terikat pernikahan
yang sah, kehamilan yang tidak mendapat dukungan dari suami atau keluarga,
kehamilan ganda, dan lain-lain. Sedangkan penyebab dari persalinan preterm adalah
infeksi, iatrogenik, ketuban pecah dini, polihidramnion, kematian janin dalam rahim,
kelainan kongenital, dan lain-lain2,7,8. Dari penyebab multifaktorial ini digolongkan
ke dalam dua katagori umum yaitu : persalinan preterm spontan dan berdasarkan
indikasi medis atau obstetri2. Dikatakan bahwa 75% - 80% persalinan preterm bersifat
spontan. Dalam dasawarsa terakhir ini pada umumnya para ahli dibidang fetomaternal
memusatkan perhatian pada proses inflamasi yang terjadi pada selaput ketuban,
plasenta dan ekspresi mediator – mediator inflamasi yang dapat ditemukan dalam air
ketuban. Semuanya ini bertujuan untuk menurunkan angka persalinan preterm 1,2,3.
1
Berbagai usaha telah dilakukan untuk penundaan persalinan sampai aterm
dengan maksud memberi kesempatan terjadinya pematangan paru. Paling tidak
penundaan persalinan dilakukan dua kali 24 jam untuk pemberian kortikosteroid,
yang diketahui akan mempercepat pematangan paru janin. Cara penundaan persalinan
preterm tersebut adalah dengan pemberian tokolitik tersendiri atau dikombinasikan
dengan antibiotika, disamping itu pencegahan telah dilakukan baik pencegahan
primer maupun sekunder.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Persalinan prematur adalah persalinan yang dimulai setelah kehamilan 20
minggu dan sebelum kehamilan 37 minggu, BB >500gr dan <2500gr.
Kategori Berat Badan Lahir Rendah:
1. BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) < 2500 gram,
2. BBLSR (Berat Badan Lahir Sangat Rendah) < 1500 gram
3. BBLER (Berat Badan Lahir Sangat Rendah ) ≤ 1000 gram (Prawiroharjo, Sarwono
2008: 668).
Partus prematurus adalah ancaman lahirnya hasil konsepsi pada umur kehamilan
kurang dari 37 minggu yang ditandai adanya kontraksi uterus yang terkoordinasi,
teratur, interval kurang dari 10 menit dengan durasi minimal 30 detik, yang
menyebabkan perubahan progresif pada serviks disertai adanya penurunan bagian
terendah atau adanya perubahan dilatasi serviks pada hasil periksa dalam oleh
pemeriksa yang sama dengan selang waktu 1 jam bersamaan dengan adanya 2 atau
lebih kontraksi setiap 10 menit dengan durasi minimal 30 detik, yang disertai adanya
penurunan bagian terendah .2
2.2 Etiologi Presalinan Preterm
Etiologi persalinan preterm adalah multifaktorial. Kira-kira sepertiga kasus
penyebabnya oleh faktor komplikasi ibu dan janin (hipertensi, solusio plasenta,
plasenta previa, kehamilan ganda, kelainan konginetal), sepertiga oleh kerena ketuban
pecah dini ( KPD ) dan sepertiganya tidak diketahui (idiopatik).2,3
Beberapa keadaan tampaknya mempunyai hubungan erat dengan terjadinya
persalinan preterm yaitu :
3
Iatrogenik
- penyakit sistemik berat
- adanya patologi nyata di abdomen non obstetri
- penyalahgunaan obat terlarang
- hipertensi dalam kehamilan
- trauma
Uterus
- malformasi
- overdistensi akut
- mioma besar
- desiduaitis
- aktivitas uterus idiopatik
Plasenta
- Solusio plasenta
- Plasenta previa
- sinus marginalis
- korioangioma besar
Cairan Amnion
- oligohidramnion dengan selaput ketuban yang utuh
- ketuban pecah prematur
- polihidramnion
- infeksi intra amnion subklinis
- korioamnionitis
Janin
- malformasi janin
- kehamilan majemuk
- janin hidrop
- pertumbuhan janin terhambat
- gawat janin
- kematian janin
4
Serviks
- inkompeten servuks
- servisitis / vaginitis akut
Riwayat persalinan preterm ternyata berhubungan erat dengan terjadinya
persalinan preterm pada kehamilan sekarang, dengan risiko relatif 2 – 4 kali
dibandingkan dengan tanpa riwayat persalinan preterm. Kehamilan multipel
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya persalinan preterm, bahkan 50% pada
kehamilan ganda terjadi persalinan preterm dan 90% terjadi pada kehamilan triplet.
Perdarahan pervaginam pada trisemester pertama mempunyai risiko dua kali, sedang
jika terjadi pada trismester dua dan tiga akan meningkatkan risiko 10 kali lipat untuk
terjadinya persalinan preterm.2,3
Bakteria asimptomatik pada wanita hamil ternyata juga dapat meningkatkan
risiko persalinan preterm hingga 2 kali lipat. Hal ini mungkin disebabkan karena
Invasi mikroorganisme pada cairan amnion yang menyebabkan peningkatan kadar
prostaglandin, leukotrien dan berbagai mediator imflamasi.2,3
Pada keadaan kadar fibronektin serviks melebihi 50ng/ml, dijumpai 83%
persalinan preterm, dibandingkan hanya 19% pada keadaan kadar fibronektinnya <
50 ng/ml. Peningkatan kadar fibronektin ini dapat pula memprediksi 2 sampai 14 hari
sebelum terjadinya persalinan preterm.2,3
2.3 Patogenesis Persalinan preterm
Patogenesis terjadinya persalinan prematur menurut Lockwood C J, (1995),
adalah diawali oleh proses inflamasi jaringan khorioamniotik akibat infeksi yang
berasal dari vagina & serviks yang akan meningkatkan produksi endotoksin lokal dan
sitokin inflamasi yakni IL-1 (interleukin-1), dan TNF (tumor necrosis faktor). Sitokin
ini juga meningkatkan pelepasan IL-6 (interleukin-6) dari jaringan yang sama yang
ikut berperan meningkatkan pelepasan prostanoid, leukotrin B4 dan endotelin yang
mengakibatkan terjadinya kontraksi uterus. Lebih lanjut dikemukakan juga adanya
pengaruh sitokin terhadap pelepasan protease yang dihasilkan oleh jaringan
khorioamniotik, desidua dan matrik ekstraseluler seperti kolagenase dan juga
5
meningkatkan produksi IL-8 (interleukin-8) dari jaringan yang sama sehingga
meningkatkan sebukan sel leukosit PMN dan melepaskan enzim elastase yang poten
untuk merusak matriks ekstraseluler. Semua kejadian di atas akan menyebabkan
perubahan lebih lanjut dari serviks, pemisahan khorion dari desidua, dan pelepasan
fibronektin yang kadang-kadang disertai dengan pecahnya ketuban sebelum
waktunya pada kehamilan prematur. Selanjutnya dikemukakan adanya pengaruh
stress pada ibu maupun janin terhadap terjadinya proses persalinan ini. Bermacam-
macam stress hormonal yang dihasilkan oleh adrenal maupun hipotalamus yang akan
meningkatkan pelepasan CRH (corticotropic realeasing hormone) dari plasenta,
desidua, dan khorioamnion. Sebagai efektor parakrin maka CRH akan meningkatkan
produksi prostanoid dari desidua dan khorioamnion yang dapat merangsang
kontraksi uterus. Peningkatan pelepasan dari pencetus awal persalinan fisiologis
(CRH, oksitosin, progesterone withdrawl) secara bersama yang bisa terjadi lebih dini
akan meningkatkan produksi prostanoid dan protease. Berkurangnya aliran darah ke
uterus yang terjadi sekunder akibat dari kelainan pembuluh darah desidua,
menyebabkan iskemia dari uteroplasenta dengan akibat terjadinya kerusakan jaringan
setempat oleh peroksidase lemak (lipid peroksidase/LPO) dan radikal bebas, hal ini
akan meningkatkan produksi prostanoid, protease dan endotelin yang akan
meningkatkan pelepasan CRH. Perdarahan pada desidua akan menyebabkan
penurunan fungsi dari pembuluh darah uteroplasenta dan kekurangan oksigen pada
janin yang akan melepaskan CRH, meningkatkan sebukan makrofag dengan
pelepasan sitokin atau secara langsung merangsang produksi protease dan prostanoid
desidua melalui pembentukan trombin.2,3,4
Beberapa faktor penyebab kegagalan dalam pengelolaan persalinan kurang
bulan:2,3
1. Sepertiga dari kejadian persalinan prematur disebabkan oleh kelainan medik
dan obstetrik (HDK, plasenta previa, abruptio plasenta), dimana persalinan
harus segera diakhiri dan tidak bisa ditunda lagi (Indicated preterm delivery).
2. Duapertiga terjadi persalinan prematur spontan (spontaneous preterm labour),
yang belum jelas diketahui penyebabnya. Sampai dengan saat ini pemicu awal
6
persalinan preterm masih belum bisa dijelaskan dengan pasti. Beberapa
konsep yang ada telah menjelaskan patofisiologi persalinan prematur ini
dikaitkan dengan kejadian infeksi, iskemia, inflamasi, dan respon imun pada
jaringan korioamnion dan desidua. Dalam dasawarsa terakhir ini pada
umumnya para pakar bidang kedokteran fetomaternal memusatkan
perhatiannya pada proses inflamasi yang terjadi pada selaput ketuban,
plasenta dan ekspresi mediator-mediator inflamasi (IL-1β, IL-6, IL-8, TNF-α)
yang bisa ditemukan dalam air ketuban.
3. Beberapa kasus persalinan prematur datang ke kamar bersalin dalam fase
lanjut dimana persalinan tidak bisa lagi dicegah ataupun ditunda lagi.
Sebagian kasus lagi dengan faktor risiko yang tidak bisa dihindari misalnya
kelainan anatomi rahim, kehamilan ganda.
4. Upaya penundaan persalinan pada persalinan prematur membakat dengan
berbagai tokolitik tidak menunjukkan hasil yang bermakna dalam
meningkatkan usia hamil dan berat lahir secara klinis.
2.4 Gambaran klinis
Selain kontraksi uterus yang nyeri atau tidak terasa nyeri, gejala-gejala seperti
tekanan pada panggul, kram seperti saat menstruasi, keluar cairan vagina atau
berdarah, dan nyeri punggung bawah secara empiris berkaitan dengan kelahiran
preterm yang membakat. Gejala-gejala seperti itu dianggap oleh beberapa orang
sebagai kajadian yang biasa terjadi pada kehamilan normal, sehingga sering tidak
diperhatikan oleh pasien, dokter dan perawat. Namun tanda dan gejala yang menjadi
sinyal persalinan preterm, termasuk kontraksi uterus, hanya ditemukan dalam waktu
24 jam sebelum persalinan preterm. Oleh karena itu, tanda-tanda ini merupakan tanda
peringatan kelahiran perterm yang terlambat.2
2.5 Diagnosis
Diferensiasi dini anatara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit
dilakukan sebelum ada pendataran dan dlatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri dapat
7
menyesatkan karena ada kontaksi Braxton Hicks. Kontraksi ini, yang digambarkan
sebagai tidak teratur, tidak ritmik, dan tidak begitu sakit atau tidak sakit sama sekali,
dapat menimbulkan keraguan yang amat besat dalam penegakan diagnosis persalinan
preterm. Tidak jarang, wanita yang melahirkan sebelum aterm mempunyai aktivitas
uterus yang mirip dengan kontraksi Braxton Hicks yang mengarahkan ke diagnosis
yang salah, yaitu persalinan palsu.1,2
Karena kontraksi uterus sendiri dapat menyesatkan, American Academy of
Pediatrics dan the American College of Obstetricians and Gynecologists(1997)
mengusulkan kriteria berikut untuk mencatat persalinan preterm pada usia gestasi
antara 20 dan 37 minggu:
1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau
delapan kali dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks.
2. Dilatasi serviks lebih dari 1cm
3. Pendataran serviks sebesar 80 persen atau lebih.
Adapun kriteria lainnya dari Ingemarsson's untuk mendiagnosis persalinan prematur:5
1. Kehamilan 28-36 minggu
2. Kontraksi uterus yang menyakitkan, teratur, yang terjadi pada interval kurang
dari 10 menit, selama paling sedikit 30 menit, menggunakan tocography
eksternal
3. Selaput utuh
4. Uterus mendatar atau hampir mendatar dan berdilatasi antara 1 dan 4 cm.
Sejumlah keluhan mungkin terdapat pada persalinan prematur (Tabel 2.1) tapi
banyak dari gejala-gejala ini sering terjadi pada kehamilan normal dan sering
diabaikan oleh dokter atau bidan yang melakukan perawatan prenatal. Sebuah studi
yang membandingkan gejala ibu hamil pada persalinan prematur dengan gejala
normal ibu hamil menunjukkan bahwa gejalanya saling melengkapi. Kontraksi seperti
kram menstruasi sering kali menjadi keluhan yang paling mencolok, dengan hanya
13% dari pasien persalinan prematur tidak terjadi gejala ini. Sekitar 10% dari wanita
hamil normal mengeluh adanya kontraksi yang menyakitkan.5
8
Biasanya, pasien dengan persalinan prematur mengancam mempunyai respon
yang baik terhadap terapi konservatif sederhana (bedrest, hidrasi, obat penenang, atau
dosis subkutan terbatas terbutaline atau nifedipine). Jarang, infus kontinu dari obat
tokolitik diperlukan untuk aktivitas dan kontraksi uterus terus-menerus ada dan
signifikan. Prognosis dari persalinan saat aterm tampaknya meningkat jika persalinan
prematur dimulai pada trimester ketiga bukan di trimester kedua.5
Tabel 2.1 Gejala utama persalinan prematur. (5)
Sakit perutSakit punggungNyeri panggulKram menstruasiPerdarahan vaginaLeukorea dengan pewarnaan merah mudaTekanan pada panggulSering berkemih
2.6 Penatalaksanaan
Oleh karena usia hamil dan berat lahir merupakan faktor penentu dari fetal survival
maka Yang menjadi tujuan utama pengelolaan persalinan adalah :
1) Meningkatkan usia hamil
2) Meningkatkan berat lahir
3) Menurunkan morbiditas dan mortalitas perinata
4) Prinsip pengelolaan persalinan preterm yang membakat adalah tergantung pada
5) Kondisi ketuban masih utuh atau sudah pecah.
6) Usia kehamilan dan perkiraan berat janin.
7) Ada atau tidak adanya gejala klinis dari infeksi intra uterin.
8) Ada atau tidak petanda-petanda yang meramalkan persalinan dalam waktu yang
relatif dekat (kontraksi, penipisan servik dan kadar IL-6 dalam air ketuban ).
Pengelolaan persalinan preterm dengan ketuban yang masih intak.
9
Pada dasarnya apabila tidak ada bahaya untuk ibu dan/atau janin maka pengelolaan
persalinan preterm yang membakat adalah konservatif, yakni :
1) Menunda persalinan dengan tirah baring dan pemberian obat-obat tokolitik.
2) Memberikan obat-obat untuk memacu pematangan paru janin.
3) Memberikan obat-obat antibiotika untuk mencegah risiko terjadinya infeksi
perinatal
4) Merencanakan cara persalinan preterm yang aman dan dengan trauma yang
minimal
5) Mempersiapkan perawatan neonatal dini yang intensif untuk bayi-bayi prematur.
2.6.1 Pencegahan5,7
Karena penyebab (faktor etiologi) prematuritas adalah multifaktorial, maka
upaya pencegahan prematuritas harus dilaksanakan dalam berbagai tingkat yaitu
pencegahan primer, sekunder, dan tersier.
Pencegahan primer tujuannya mengurangi atau menghilangkan faktor risiko
yang ada pada populasi. Efektivitas pencegahan ini membutuhkan pemahaman yang
baik mengenai patofisiologi persalinan preterm dan pendidikan kesehatan
masyarakat. Beberapa pencegahan primer antara lain : tidak merokok, mencegah
penyakit menular seksual, perencanaan kehamilan, perbaikan gizi .
Pencegahan sekunder meliputi pengenalan individu yang berisiko persalinan
preterm dan tindakan untuk mengurangi atau mencegahnya. Contoh pencegahan
sekunder seperti: skrining persalinan preterm, diagnosis dini dan program pendidikan
terhadap pasien, pengobatan profilaksis, perubahan gaya hidup seperti mengurangi
aktivitas fisik serta sexual .
Pencegahan tersier yang dimaksud adalah untuk mengurangi morbiditas dan
mortalitas setelah diagnosis ditegakkan. Termasuk dalam tindakan ini adalah
diagnosis yang cepat dan akurat, merujuk ke tempat perawatan yang benar, dan
pengobatan spesifik.
10
2.6.2 Pengobatan
Preparat farmakologi dapat menghentikan kontraksi dalam fase pra persalinan
atau dalam bagian awal kala satu persalinan. Namun demikian, setelah fase aktif
persalinan dimulai, serviks sudah mulai melebar atau ketuban sudah pecah, maka
kemajuan persalinan tidak mungkin dapat dihalangi. Tujuan utama terapi terletak
pada penghambatan(inhibisi) persalinan yaitu memperpanjang lama kehamilan
hingga 37 minggu untuk mendapatkan maturitas janin. Karena janin yang akan
tumbuh bertambah beratnya sebanyak 25 gr/ hari selama trisemester terakhir, setiap
penundaan kelahiran dan persalinan amat menguntungkan. Disamping itu masa
selang 72 jam akan memungkinkan penggunaan kortikosteroid untuk memacu
perkembangan maturitas paru paru janin.4,5
Jika terdapat peningkatan kontraksi uterus selama kehamilan dan merasakan
tanda – tanda lain yang merupakan peningkatan risiko untuk terjadinya persalinan
preterm beberapa tindakan dapat dilakukan seperti istirahat ditempat tidur. Istirahat
ditempat tidur memberikan hasil yang baik. Berbaring kesisi kiri dengan bantal
dibawah pinggul dan tungkai mengurangi beban pada serviks serta memperbaiki
sirkulasi fetomaternal.4,5
Dehidrasi merupakan penyebab utama kontraksi uterus dan dengan rehidrasi
dan mempertahankan hidrasi yang adekuat, kontraksi uterus dapat dikurangi atau
dicegah. Pemberian cairan intravena 300 ml sampai 1000 ml dalam 30-60 menit akan
memperbaiki volume sirkulasi dan akan terjadi mekanisme hambatan pengeluaran
diuretik hormon dan pelepasan oksitosin oleh hipofise posterior yang akan
mengurangi kepekaan uterus terhadap rangsangan. Disamping itu akan meningkatkan
aliran darah ke uterus sehingga menstabilkan lisosom desidua dan menurunkan
prostaglandin.
Saat ini banyak dihubungkan peningkatan prematuritas dengan infeksi
intrauterin maupun ekstrauterin. Pemberian antibiotika dianjurkan sebagai profilaksis
infeksi pada pasien yang terbukti atau dicurigai. Pada kasus seperti ini obat – obatan
tokolitik saja kurang efektif sehingga diperlukan kombinasi dengan antibiotika.
11
Pemberian kortikosteroid dapat merangsang kematangan paru janin.
Diberikan 2 dosis betametason 12 mg selang 12 jam secara intramuskular atau
diberikan 4 dosis deksamatason 5 mg/ 6 jam secara intramuskular. Dengan pemberian
kortikosteroid diharapkan dapat menurunkan sindroma gagal nafas dan kematian
neonatal.
Penelitian tentang pengaruh glukokotikoid terhadap pematangan paru telah
banyak dilakukan, baik invivo mapun vitro streroid ini mempercepat maturitas paru
baik dari segi anatomik, biokemik maupun fisiologik - glukokortikoid bekerja pada
paru malalui mekanisme reseptor steroid klasik. Steroid masuk kedalam sel dan
berikan dengan spesifik cytoplasmic receptor. Kompeks steroid-reseptor ini kemudian
ditranslokasi ke neuklues, dimana dia berinteraksi dengan bagian tertentu dari DNA,
menghasilkan transkripsi RNA, RNA ini kemudian di translasi dalam sitoplasma
menjadi protein glukokortikoid meningkatkan surfactan protein A,B,C beserta RNA
nya sebagaimana juga fatty acid synthase, structural protein collagen dan elastin.
Steroid berperan dalam mengatur sintesa surfactan, tapi tidak berperan dalam
memulainya.
Penelitian terhadap binatang menunjukkan bahwa steroid mempercepat
maturasi paru dan memperbaiki viabilitas bayi prematur. Steroid dapat meningkatkan
fungsi paru post natal dan peningkatan proses kognitif. Secara umum steroid
antenatal sangat efektif bila diberikan sebelum usia kehamilan 32 minggu. Hasil yang
optimal didapatkan bila bayi dilahirkan paling sedikit 2 - 3 hari. dan paling lambat
dalam 7 - 10 setelah mulainya pemberian obat
Pemberian tokolitik untuk mencegah terjadinya persalinan prematur
merupakan salah satu upaya pencegahan sekunder pada persalinan prematur .Tujuan
penanganan persalinan preterm adalah untuk menghentikan kontraksi uterus dengan
obat-obat tokolitik sampai kehamilan seaterm mungkin/sampai janin mempunyai
maturitas paru yang dianggap cukup. Walaupun kemungkinan obat tokolitik hanya
berhasil sementara, tetapi penundaan ini penting untuk memberikan kesempatan
pemberian kortikosteroid untuk merangsang pematangan paru-paru janin. Pemberian
12
tokolitik yang tersendiri tidak dapat menurunkan mobiditas dan mortalitas bayi
sehingga di kombinasi dengan kortikosteroid.4,5
Dilema pada pemberian tokolitik adalah menentukan kapan saat memulai
pemberian tokolitik, apakah tokolitik sudah dapat diberikan begitu sudah ada tanda-
tanda kontraksi uterus, walaupun belum dapat dibedakan apakah persalinan sejati atau
palsu. (Suwardewa, 2001). Bebrapa golongan tokolitik yang sering digunkan adalah:
Golongan β-mimetik
β-mimetik sebagai tokolitik telah digunakan secara luas selama 30 tahun.
Termasuk dalam golongan ini adalah ritodrine, terbutalin, albuterol, fenoterol,
hexoprenalin, isoxuprine, metaproterenol, nylidrin, orciprenaline, dan salbutamol.
Efek yang diharapkan adalah stimulasi terhadap reseptor β menyebabkan relaksasi
otot polos. Terutam reseptor β2 agonist yang bekerja dengan meningkatkan cAMP
pada sel-sel otot polos uterus dengan jalan menurunkan calsium bebas dan
phosphorilasi enzim MLCK, sehingga dapat menghambat kontraksi uterus.3,4,5
Ritodrine merupakan obat yang bekerja cepat, kadar dalam serum 75% dapat
tercapai dalam 20 menit pada pemberian infus intravena. Efektifitas ritodrine sebagai
tokolitik dilaporkan pada penelitian multisenter dengan kontrol plasebo secara
random dari 708 pasien menunjukkan ritodrin dapat mencegah terjadinya persalinan
dalam 24 jam sebesar 92,9% dibandingkan 80,3% (P<.001) dan dalam 48 jam sebesar
78,6% vs 64,6% (P<.001).Efek samping terhadap ibu pada pemberian ritodrine yang
sering dilaporkan adalah gangguan kardiopulmonar (seperti; takikardia, hipotensi,
aritmia, iskemia miokard, oedem pulmonum) dan gangguan metabolik (seperti;
hiperglikemia, hipokalemia). Pasien juga sering mengeluh timbulnya tremor ( 10-
15%), palpitasi (33%), cemas (5-10%), gelisah (5-10%), serta beberapa gangguan
seperti, mual, muntah, sakit kepala, serta nyeri dada.
Magnesium Sulfat
Magnesium sulfat [MgSO4 7(H2O)] sudah lama dikenal dan dipakai pada penderita
preeklampsia, yang juga mempunyai sifat sebagai tokolitik. Kadar serum magnesium
13
yang efektif sebagai tokolitik antara 5-8 mEq/lt, dan toksisitasnya terlihat pada kadar
serum magnesium > 10 mEq/lt .
Mekanisme kerja MgSO4 dengan cara menghambat kontraksi uterus belum diketahui
secara lengkap. MgSO4 mempunyai dua cara kerja sebagai tokolitik yaitu:
1. Menekan pelepasan asetilkolin oleh motor end plate pada sambungan
neuromuskuler sehingga menekan transmisi impuls saraf ke otot polos uterus,
dengan akibat relaksasi otot uterus.
2. Bersifat antagonis terhadap kalsium baik tingkat seluler maupun ekstraseluler,
penurunan kalsium intraseluler akan menyebabkan penurunan aktifitas
adenosine triposfatase sehingga tidak terjadi aktifasi kompleks aktin-miosin
yang menimbulkan kontraksi otot polos, dengan hasil akhir relaksasi otot
polos uterus.
Dianjurkan pemberian MgSO4 sebagai tokolitik sebaiknya diberikan pada fase laten
dini dalam persalinan, agar diperoleh hasil yang optimal Elliot melaporkan bahwa
MgSO4 dapat mencegah kelahiran dalam 24 jam sebesar 78%, dalam 48 jam 76%,
dalam 72 jam 70% dan sampai lebih dari 7 hari sebesar 51% pada ketuban masih
utuh. Magnesium sulfat menjadi lebih efektif dengan dilatasi serviks yang masih
kecil. Kehamilan dapat diperpanjang dalam 48 jam sebesar 87% pada penderita
dengan dilatasi serviks kurang dari 2 cm, 62% dengan dilatasi serviks antara 3 sampai
5 cm, dan 31% dengan dilatasi serviks lebih dari 6 cm. Tokolitik kurang efektif jika
diawali dengan pecah selaput ketuban, hanya 64% tidak terjadi kelahiran dalam
waktu 48 jam dan pada kehamilan kembar sebesar 69% tidak terjadi kelahiran dalam
waktu 48 jam (Hearne, 2000). Pada penelitian di Denpasar, MgSO4 mempunyai
efektivitas sebesar 86,79 % untuk menunda persalinan minimal 48 jam. Hasil ini
sama dengan yang dikemukakan oleh Elliot (1995), yaitu sebesar 87 %3. Saat ini di
RS Sanglah sudah mempunyai prosedur tetap pemberian tokolitik MgSO4 pada
persalinan prematur. Efek sampingnya, a.l; kemerahan pada wajah (flushing),
lethargia, sakit kepala, kelemahan pada otot, diplopia, mulut kering, mual muntah,
nafas pendek, dan oedem paru. Hilangnya refleks patella terjadi bila kadar serum
mencapai 8 sampai 12 mg/dl. Kesukaran bernafas, hipotensi, perubahan pada
14
elektrokardiografi terjadi pada kadar serum 15 sampi 17 mg/dl. Sedangkan henti
jantung terjadi pada kadar serum 30 sampai 35 mg/dl. MgSO4 dapat melewati
plasenta dan dapat menyebabkan lethargi dan hipotoni, serta mungkin juga dapat
menekan sistem pernafasan pada neonatus. Demineralisasi dapat terjadi sekitar 50%
pada bayi yang ibunya mendapat mgSO4 selama lebih dari 7 hari.3,4,5
Golongan Calsium Channel Blockers (Antagonis Kalsium)
Obat-obat golongan ini bekerja dengan cara menghambat masuknya kalsium
ekstraseluler ke intraseluler. Ada dua tipe saluran kalsium, yaitu (1) potensial
dependent channel, yang diaktivasi oleh depolarisasi membrane sel, (2) kerja
reseptor, yaitu diatur oleh adanya beberapa bahan kimia; neurotransmiter,
prostaglandin, hormon atau obat-obatan lain. Miometrium mengalami relaksasi
karena adanya bahan-bahan yang menghambat saluran kalsium terutama pada
potensial dependent channel (Caritis, 1992). Contoh preparat yang paling poten
dalam menghambat kontraksi miometrium golongan ini adalah nifedipine. Sebagai
tikolitik dalam penangan persalinan prematur obat ini mempunyai efek yang paling
kuat dibandingkan antagonis kalsium yang lain. Bioavailabilitas nifedipine pada
pemberian oral kira-kira 65% dan konsentrasi puncak tercapai dalam waktu 30 menit.
Pemberian awal dengan menggunakan loading dose 30 mg, kemudian diikuti dengan
10-20 mg tiap 4 sampai 6 jam. Beberapa perbedaan dosis dan cara pemberian
nifedipine meliputi:
10 mg sublingual tiap 20 menit sampai 3 kali dosis (maksimum 40 mg)
10 mg sublingual dengan 20 mg oral
30 mg secara oral
Mulai kerja obat sesudah pemberian oral adalah kira-kira 20 menit, dengan
konsentrasi puncak dalam plasma dapat dicapai dalam waktu 1 jam (antara 15-90
menit). Mulai kerja obat lebih cepat pada pemberian sublingual, dimana kadar serum
dalam darah sudah dapat tercapai dalam 5 menit pemberian sublingual ini. Lama
kerja obat pada pemberian dosis tunggal dapat sampai 6 jam, dan tidak terjadi efek
komulatif pada pemberian secara oral tiap 6 jam. Nifedipine dapat menghambat
15
kontraksi miometrium pada wanita tidak hamil, hamil dan post partum secrara invitro.
Obat ini dapat menghambat kontraksi secara spontan dan juga karena pengaruh
oksitosin, ergometrin, kalsium, potasium dan prostaglandin. Obat ini pada beberapa
penelitian dilaporkan memiliki efektivitas yang sama dengan MgSO4, tatapi
nifedipine lebih cepat menghentikan kontraksi uterus daripada magnesium sulfat,
yaitu dalam waktu 2.98 ± 3.03 jam berbanding 4.8 ± 4.23 jam. Antagonis kalsium
yang berlebihan dapat menyebabkan depresi jantung berat; meliputi henti jantung,
bradikardia, blok atrioventrikular dan payah jantung kongestif. Efek ini jarang
dijumpai dalam klinik. Toksisitas yang ringan dapat menimbulkan flushing, sakit
kepala, pusing, mual, muntah. Oleh karena itu monitoring yang ketat harus dilakukan
dan bila terjadi efek samping segera dilakukan hidrasi yang adekuat..
Nifedipine dapat melewati plasenta dan dapat mempengaruhi aliran darah fetus yang
dapat dianalisa dengan Doppler pada aliran arteri umbilikalis pada ibu-ibu yang
mendapat terapi nifedipine dan ritodrine, tetapi hasilnya tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang bermakna.3,4
Obat Penghambat Sintesa Prostaglandin
Obat ini menghambat enzim cyclooxygenase sehingga menurunkan sintesa
prostaglandin dan mencegah perubahan asam arakidonat bebas menjadi
prostaglandin. Oleh karena prostaglandin (E dan F) merupakan mediator terjadinya
kontraksi uterus, maka dengan menurunnya produksi prostaglandin aktivitas
kontraksi uterus dapat diturunkan. Indomethasin adalah obat golongan ini yang paling
sering dipakai. Dibandingkan dengan pemberian secara parenteral, bioavaibilitas
yang lebih sempurna tercapai pada pemberian secara oral atau secara perektal. Tetapi
absorbsi terhadap suppositoria rektal masih lebih lambat daripada peroral.
Konsentrasi dalam plasma tercapai dalam 1 sampai 2 jam setelah pemberian.
Indomethasin dapat diberikan 25 mg secara oral tiap 4 jam selama 48 jam, sedangkan
pada penderita yang megalami toleransi terhadap pemberian secara oral dapat
diberikan dosis awal 50 mg atau 50 – 100 mg secara perektal. (Hearne, 2000)
Pemberian terapi dengan golongan obat penghambat sintesa prostaglandin pada
16
umumnya dibatasi dalam hanya dalam waktu 48 – 72 jam dan hanya pada kehamilan
32 minggu atau kurang, karena efek samping pada fetus seperti konstriksi duktus
arteriosus yang dapat menyebabkan hipertensi pulmonum, penurunan fungsi renal
yang reversible disertai dengan oligohidramnion, perdarahan intraventrikular,
nekrotik enterokololitis, dan hiperbilirubinemia. Efek samping yang berat ini hanya
terjadi pada pemberian terapi indomethasin dalam waktu yang lama, dosis yang besar,
serta penggunaan pada umur kehamilan setelah 32 minggu. Efek samping maternal
yang paling sering timbul adalah mual ringan dan heartburn. 3,4,5
Golongan oxytocin-antagonist
Mekanisme kerja golongan ini belum diketahui secara pasti, walaupun
demikian sebagian besar setuju bahwa obat ini berperan terhadap oksitosin, dimana
peran oksitosin sendiri adalah merangsang aktivitas utrerus baik secara langsung
melalui reseptor, ataupun secara tidak langsung melalui peningkatan sintesa
prostaglandin. Suatu jenis obat yang paling popular dari golongan ini adalah atosiban.
Dosis efektif atosiban tercapai pada dosis 300 μg/menit dengan pemberian secara
infus intravenous. Infus selanjutnya harus dilanjutkan sampai 6 jam setelah kontraksi
uterus menghilang dan dapat diteruskan sampai pada dosis maksimal yang dapat
dicapai dalam waktu 12 jam. Atosiban tidak efektif diberikan secara oral dan
penyerapannya secara intranasal sangat buruk. Keuntungan atosiban ini adalah sangat
jarang terjadi efek samping yang berat. 4,5
2.6.3 Perawatan Bayi prematur
Perawatan Bayi Prematur
1. Posisi kepala di bawah (pada sudut sekitar 30o) dipertahankan untuk memudahkan
drainage tractus respiratorius. Jika perdarahan intracranial dicurigai, bayi harus
dibaringkan dalam posisi horizontal
2. Sekret diaspirasi dari dalam tengkorak dan hidung secara hati-hati dengan alat
pengisap lendir
17
3. Inkubator sangat menolong karena suhu, kelembaban dan oksigen bisa dikontrol.
Atmosfer yang paling baik adalah atmosfer yang hangat. Untuk mencegah
terjadinya retrolental fibroplasia, kadar oksigen harus dibawah 40 %
4. Bayi yang apneu harus diberi oksigen selama 1 sampai 2 menit dari kelahiranyya.
Diperlukan pernapasan buatan yang memadai. Kami mendapatkan bahwa teknik
pernapasan dengan balon dan masker (bag and mask technique) merupakan teknik
yang efisien dan aman
5. Tindakan resusitasi harus hati-hati dan tidak kasar. Pemukulan dan pemijatan
tidak dianjurkan. Yang paling baik adalah penanganan yang sedikit mungkin
6. Kadang-kadang diperlukan laryngoskop untuk mengeluarkan debris dari dalam
tractus respiratorius dan untuk melakukan intubasi guna memasukkan oksigen
7. Respirasi yang sukar dan menetap dapat menunjukkan adanya pneumothorax atau
hernia diafragmatika
8. Kalau bayinya terbius oleh obat-obat yang digunakan ibu, maka pengaruh obat-
obat depresan ini dapat dilawan dengan pemberian Nalline kepada bayi tersebut.
Takarannya adalah 0,2 mg yang diberikan ke dalam vena umbilicalis. Jika berat
bayi kurang dari 1000 gram, takarannya adalah 0,1 mg. Obat-obat perangsang
tidak boleh digunakan
9. Sekalipun tidak ada kesepakatan apakah tali pusat harus dijepit secara dini
ataukah bayi harus diangkat lebih tinggi daripada placenta sampai denyut tali
pusat berhenti, namun terdapat kesepakatan bahwa tali pusat tidak boleh diurut ke
arah bayi karena darah tambahan yang masuk mendadak ke dalam sirkulasi darah
bayi dapat menimbulkan overloading dan memberikan beban kepada jantung
10. Karena prematuritas umumnya disertai kongenital, bayi harus diperiksa dengan
cermat
18
11. Kalau mungkin kelahiran harus dihadiri oleh dokter spesialis anak
12. Bangsal perawatan prematur yang terpisah dengan staf yang terlatih khusus
merupakan fasilitas yang amat berharga.
13. Yang terbaru adalah metode Kanguru untuk bayi prematur: perawatan ini bisa
digunakan sebagai penggnti perawatan dengan inkubator, caranya, dengan
mengenakan popok dan tutup kepala pada bayi yang baru lahir. Kemudian, bayi
diletakkan di antara payudara ibu dan ditutupi baju ibu yang berfungsi sebagai
kantung kanguru. Posisi bayi tegak ketika ibu berdiri atau duduk, dan tengkurap
atau miring ketika berbaring. Hal ini dilakukan sepanjang hari oleh ibu atau
pengganti ibu (ayah atau anggota keluarga lain). 5
2.7 Komplikasi
Komplikasi pada bayi:
a. Sindroma gawat pernafasan (penyakit membran hialin). Paru-paru yang matang
sangat penting bagi bayi baru lahir. Agar bisa bernafas dengan bebas, ketika lahir
kantung udara (alveoli) harus dapat terisi oleh udara dan tetap terbuka. Alveoli
bisa membuka lebar karena adanya suatu bahan yang disebut surfaktan, yang
dihasilkan oleh paru-paru dan berfungsi menurunkan tegangan permukaan. Bayi
prematur seringkali tidak menghasilkan surfaktan dalam jumlah yang memadai,
sehingga alveolinya tidak tetap terbuka. Diantara saat-saat bernafas, paru-paru
benar-benar mengempis, akibatnya terjadi Sindroma Distres Pernafasan. Sindroma
ini bisa menyebabkan kelainan lainnya dan pada beberapa kasus bisa berakibat
fatal. Kepada bayi diberikan oksigen; jika penyakitnya berat, mungkin mereka
perlu ditempatkan dalam sebuah ventilator dan diberikan obat surfaktan (bisa
diteteskan secara langsung melalui sebuah selang yang dihubungkan dengan trakea
bayi).7
b. Ketidakmatangan pada sistem saraf pusat bisa menyebabkan gangguan refleks
menghisap atau menelan, rentan terhadap terjadinya perdarahan otak atau serangan
apneu. Selain paru-paru yang belum berkembang, seorang bayi prematur juga
memiliki otak yang belum berkembang. Hal ini bisa menyebabkan apneu (henti
nafas), karena pusat pernafasan di otak mungkin belum matang. Untuk mengurangi
19
mengurangi frekuensi serangan apneu bisa digunakan obat-obatan. Jika oksigen
maupun aliran darahnya terganggu. otak yang sangat tidak matang sangat rentan
terhadap perdarahan (perdarahan intraventrikuler).atau cedera .7
c. Ketidakmatangan sistem pencernaan menyebabkan intoleransi pemberian
makanan. Pada awalnya, lambung yang berukuran kecil mungkin akan membatasi
jumlah makanan/cairan yang diberikan, sehingga pemberian susu yang terlalu
banyak dapat menyebabkan bayi muntah. Pada awalnya, lambung yang berukuran
kecil mungkin akan membatasi jumlah makanan/cairan yang diberikan, sehingga
pemberian susu yang terlalu banyak dapat menyebabkan bayi muntah.7
d. Retinopati dan gangguan penglihatan atau kebutaan (fibroplasia retrolental)
e. Displasia bronkopulmoner.
f. Penyakit jantung.
g.Jaundice.
Setelah lahir, bayi memerlukan fungsi hati dan fungsi usus yang normal untuk
membuang bilirubin (suatu pigmen kuning hasil pemecahan sel darah merah)
dalam tinjanya. Kebanyakan bayi baru lahir, terutama yang lahir prematur,
memiliki kadar bilirubin darah yang meningkat (yang bersifat sementara), yang
dapat menyebabkan sakit kuning (jaundice). Peningkatan ini terjadi karena fungsi
hatinya masih belum matang dan karena kemampuan makan dan kemampuan
mencernanya masih belum sempurna. Jaundice kebanyakan bersifat ringan dan
akan menghilang sejalan dengan perbaikan fungsi pencernaan bayi.7
h. Infeksi atau septikemia. Sistem kekebalan pada bayi prematur belum berkembang
sempurna. Mereka belum menerima komplemen lengkap antibodi dari ibunya
melewati plasenta (ari-ari). Resiko terjadinya infeksi yang serius (sepsis) pada bayi
prematur lebih tinggi. Bayi prematur juga lebih rentan terhadap enterokolitis
nekrotisasi (peradangan pada usus).7
i. Anemia
j. Bayi prematur cenderung memiliki kadar gula darah yang berubah-ubah, bisa tinggi
(hiperglikemia maupun rendah (hipoglikemia).
k. Perkembangan dan pertumbuhan yang lambat.
20
l. Keterbelakangan mental dan mo
DAFTAR PUSTAKA
1. Cuningham FG2, Norman F Gant et al,2001; Preterm birth, in: Willims
Obstetri, 21ed, McGraw-Hill, pp:689 – 720.
2. Iams JD1, 2002; Preterm birth, In: Normal and problem pregnancy, 4th ed,
Gabbe Obsteris, Churchill livingstone Inc, pp:755 – 801
3. Joseph kipisa, Ronald Bolognesaa, 1999; Obstetri management of
prematurity, In: Neonatal perinatal medicine, Diseases of the fetus and infant,
sixth edition, vol. 1, Mosby, pp: 265 – 281.
4. Cuningham FG1, MacDonal PC, Norman F Gant,1989; Preterm birth, in:
Willims Obstetri, 18ed, Apleton&Lange pp:
5. Mintareja T. Tinjauan kasus persalinan preterm di RSUP Sanglah Denpasar
periode 1 Januari 1998-31 Desember 2000. Penelitian deskriptif. 2001.
6. Suwardewa TGA. Persalinan preterm di RSUP Denpasar tahun 2000.
Disampaikan pada Simposium sehari perkembangan baru diagnosis dan
penatalaksanaan persalinan preterm. Denpasar, 2 April 2000.
7. Pschirrer ER, Monga M, 2000; Risk factors of pretem labor, In: Clincal
Obstetrics and Gynecologi, vol.43, no. 4, Lippincott Williams & wilkins, pp:
717 – 726.
8. Goldenberg RL, Rouse DJ, 1998; Prevention of premature birth, In: The New
England Journal of Medicine, vol 339, no. 5, pp: 331– 320.
21