33
BAB 1 PENDAHULUAN Bronkiolitis adalah inflamasi di bronkiolus terminalis, yang terjadi pada bayi terutama pada usia 2-24 bulan, dengan karakteristik nafas yang cepat, dada tertarik, dan wheezing. Angka insiden tertinggi adalah pada anak usia di bawah 2 tahun terutama pada usia 2 sampai dengan 6 bulan. Kejadian bronkiolitis ini meningkat terutama pada musim dingin atau hujan. 1 Penyebab terbanyak disebabkan oleh virus RSV (Respiratory Syncytial Virus), penyebab lain pada kasus-kasus yang lebih jarang disebabkan oleh virus parainfluenza tipe 1 dan 3, Influenza B, Parainfluenza tipe 2, Adenovirus. Secara umum, bronkiolitis terjadi pada bayi berumur lebih dari 1 bulan. 75% kasus bronkiolitis terjadi pada umur dibawah 1 tahun, mencapai 95% sampai dengan anak di bawah 2 tahun dengan puncak insiden terjadi pada usia 2-3 bulan. Faktor resiko penyakit ini diantaranya: berat bayi lahir rendah, bayi berumur kurang 6 bulan, bayi prematur, sosioekonomi rendah, lingkungan pemukiman yang padat, terpapar dengan rokok, dan ketiadaan pemberian ASI. 3 Invasi virus pada epitel bronkiolus akan menyebabkan respon inflamasi berupa nekrosis epitel, oklusi bronkial dan penumpukan limfosit peribronkial. Bronkiolus menjadi edema dan mengalami obstruksi oleh 1

Lapsus Bronkiolitis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Lapsus Bronkiolitis

BAB 1

PENDAHULUAN

Bronkiolitis adalah inflamasi di bronkiolus terminalis, yang terjadi pada bayi

terutama pada usia 2-24 bulan, dengan karakteristik nafas yang cepat, dada

tertarik, dan wheezing. Angka insiden tertinggi adalah pada anak usia di bawah 2

tahun terutama pada usia 2 sampai dengan 6 bulan. Kejadian bronkiolitis ini

meningkat terutama pada musim dingin atau hujan.1

Penyebab terbanyak disebabkan oleh virus RSV (Respiratory Syncytial

Virus), penyebab lain pada kasus-kasus yang lebih jarang disebabkan oleh virus

parainfluenza tipe 1 dan 3, Influenza B, Parainfluenza tipe 2, Adenovirus. Secara

umum, bronkiolitis terjadi pada bayi berumur lebih dari 1 bulan. 75% kasus

bronkiolitis terjadi pada umur dibawah 1 tahun, mencapai 95% sampai dengan

anak di bawah 2 tahun dengan puncak insiden terjadi pada usia 2-3 bulan. Faktor

resiko penyakit ini diantaranya: berat bayi lahir rendah, bayi berumur kurang 6

bulan, bayi prematur, sosioekonomi rendah, lingkungan pemukiman yang padat,

terpapar dengan rokok, dan ketiadaan pemberian ASI.3

Invasi virus pada epitel bronkiolus akan menyebabkan respon inflamasi

berupa nekrosis epitel, oklusi bronkial dan penumpukan limfosit peribronkial.

Bronkiolus menjadi edema dan mengalami obstruksi oleh mukus dan selular

debris sehingga dapat menyebabkan kolaps saluran napas bagian distal baik

parsial maupun total. Pada keadaan ini juga dapat terjadi hipereaktivitas dari

saluran napas. Produksi mukus, edema saluran napas dan hipereaktivitas saluran

napas dapat menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara.2

Bronkiolitis awalnya ditandai dengan infeksi saluran napas atas dengan

gejala batuk pilek dengan sekret encer, bersin, demam subfebril dan nafsu makan

menurun. Setelah RSV sampai di bronkioli maka dapat menyebabkan bronkiolitis

dengan gejala yang ditimbulkan akibat obstruksi yang makin meningkat dalam 2

sampai 3 hari. Batuk bersifat iritatif, repetitif dan paroksismal. Pada auskultasi

dapat ditemukan ronki basah halus difus pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi.

Terdengar suara napas wheezing dan ekspirasi yang memanjang.1

1

Page 2: Lapsus Bronkiolitis

Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap dan hitung

jenis umumnya dalam batas normal. Pada pemeriksaan radiologis didapatkan

hiperinflasi paru, sela iga melebar, penekanan diafragma dan sudut costoprenikus

menyempit.1

Diagnosis dari bronkiolitis tidak begitu sulit. Adapun diagnosa banding

daripada bronkiolitis adalah asma bronkiale, pneumonia, bronkitis akut, gagal

jantung, dan aspirasi benda asing. Terapi yang diberikan biasanya bersifat suportif

berupa oksigen, bronkodilator, kortikosteroid, antibiotika dan juga terapi cairan

karena penyebab utamanya adalah infeksi virus.1

Prognosis pasien dengan bronkiolitis biasanya baik bila tanpa disertai

penyakit yang lain. Karena bayi lahir prematur mudah sekali terserang

bronkiolitis, pemberian antibodi protektif dianjurkan sebagai pencegahan.5

BAB II

LAPORAN KASUS

2

Page 3: Lapsus Bronkiolitis

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : NKSB

Umur : 1 tahun 6 bulan

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Petulu Gunung, Gianyar

Agama : Hindu

Suku : Bali

Bangsa : Indonesia

Tanggal MRS : 30 Januari 2012

2.2 HETEROANAMNESIS (Ayah dan Ibu Pasien)

Keluhan utama :

Sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang:

Penderita datang ke UGD RS Sanjiwani diantar kedua orang tuanya

dikeluhkan sesak napas sejak 1 hari SMRS (tanggal 29 Januari 2012). Sesak

napas tidak membaik dengan perubahan posisi. Sesak disertai suara ngik-ngik.

Kebiruan di sekitar bibir dan ujung jari (-).

Pasien juga dikeluhkan batuk sejak 2 hari SMRS (tanggal 28 Januari 2012).

Batuk disertai dahak namun dahak sulit dikeluarkan. Dahak yang keluar

berwarna putih, tanpa darah.

Pasien juga dikeluhkan pilek sejak 2 hari SMRS (tanggal 28 Januari 2012).

Ingus yang keluar berwarna bening.

Pasien juga dikeluhkan demam sejak 2 hari SMRS (tanggal 28 Januari 2012).

Panas awalnya sumer-sumer kemudian naik. Panas disertai kejang dan

menggigil disangkal.

Minum ASI dikatakan normal.

BAB dan BAK dikatakan normal.

Riwayat Pengobatan

3

Page 4: Lapsus Bronkiolitis

Penderita pernah dibawa berobat ke puskesmas pada tanggal 29

Februari 2012 untuk memeriksakan keluhannya diberikan obat puyer

dan amoxicillin.

Riwayat Penyakit Sebelumnya

Penderita dikatakan pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya

saat berusia 9 bulan.

Riwayat Penyakit di keluarga:

Ayah pasien mempunyai riwayat sesak saat masih kecil, namun saat

ini sudah tidak pernah kambuh. Kedua kakak penderita juga dikatakan

mempunyai riwayat sesak.

Riwayat Sosial

Penderita merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Ayah penderita

merupakan seorang perokok aktif.

Riwayat Persalinan:

Penderita lahir spontan di rumah sakit, dibantu oleh dokter, cukup

bulan, dengan berat badan lahir 2600 gram, PBL tidak tahu, segera

menangis.

Tidak ada kelainan fisik saat lahir.

Riwayat Imunisasi:

Penderita dikatakan mendapat imunisasi lengkap sesuai umur, yaitu

BCG 1 kali, Hepatitis B 3 kali, DPT 4 kali, Polio 5 kali, dan Campak 1

kali.

Riwayat Nutrisi:

ASI : 0 – sekarang

Bubur Susu : 6 bulan - sekarang

Riwayat tumbuh kembang:

4

Page 5: Lapsus Bronkiolitis

Menegakkan kepala : 2 bulan

Balik badan : 4 bulan

Duduk : 6 bulan

Merangkak : 8 bulan

Berdiri : 12 bulan

Berjalan : 12 bulan

Bicara : 12 bulan

2.3 PEMERIKSAAN FISIK

Status Present

Keadaan Umum : Tampak sesak

Kesadaran : irritable

Nadi : 106 kali permenit, reguler, isi cukup

Laju Respirasi : 52 kali permenit, ekspirasi memanjang

Temp. Axilla : 38,3 0 C

Berat Badan : 7,5 kg

Tinggi Badan : 70 cm

BB Ideal : 8,8 kg

Status Gizi : 85% ~ gizi baik menurut Waterlow

Status General

Kepala : Normocephali, UUB terbuka datar

Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterus (-/-),

Reflek Cahaya Pupil (+) / (+) Isokor, cowong (-/-), air mata (-/-)

THT : Telinga : Sekret -/-

Hidung : NCH (+), sekret +/+

Tenggorokan : Tonsil T1/T1 hiperemi (-), faring hiperemi (-)

Mulut : Mukosa basah (+), sianosis (-)

Leher : Pembesaran Kelenjar Getah Bening (-)

Thorax :

Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak tampak

5

Page 6: Lapsus Bronkiolitis

Palpasi : iktus kordis ICS IV MCL sinistra, kuat angkat (-),

trill (-)

Auskultasi : S1S2 normal regular murmur (-)

Paru-paru

Inspeksi : bentuk torak simetris, gerakan dada simetris, retraksi

subkostal (+)

Palpasi : gerakan dada simetris, fokal fremitus normal

Auskultasi : bronkovesikuler +/+, ronkhi -/-, wheezing +/+

Abdomen :

Inspeksi : distensi (-)

Auskultasi : BU (+) normal

Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit kembali cepat

Ekstremitas : Akral hangat (+) pada keempat ekstremitas, Oedem (-)

pada keempat ekstremitas, Cappilary Refill Time (CRT) < 2

detik

2.4 DIAGNOSIS KERJA

Bronkiolitis Akut dd/ Asma Bronkiale

2.5 USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

- Laboratorium : DL

- Foto Dada

2.6 PENATALAKSANAAN

- MRS

- D51/2SS 14-16 tts mikro/menit

- Dexametasone 3×½ ampul

- Ambroxol 3 × cth ½

- Sanmol 3 × 0,8

- Salbutamol 3 × cth ¾

- Cefotazim 3 × 200 mg

2.7 FOLLOW UP

6

Page 7: Lapsus Bronkiolitis

Tanggal Subjek, Objek, Assesment Terapi

31 Januari

2012

1 Februari

2012

S: sesak (+), batuk (+), dahak (+), pilek (+)

makan/minum (+), BAB (+), BAK (+).

Nadi : 102x/menit, reg isi cukup

RR : 44x/menit

Tax : 36,5º C

Status general

Kepala : normocephali

Mata : anemia -/- ,ikterus -/-,

Reflek pupil +/+ isokor,

Hiperemi konjungtiva -/-,

THT : NCH (-), cyanosis (-)

Thorax : simetri (+), retraksi (-)

Cor : S1S2 N, Reg Mur (-)

Po : Ves +/+, Rh -/-, Wh +/+

Abdomen : Aus (-), BU (+) N, H/L tidak teraba

Ext : Hangat (+), edema (-), CTR <2 dtk

Abdomen : distensi (-), BU (+) normal

H/L ttb

Assesment: Bronkiolitis

/dd Asma Bronkiale

S: sesak (+), batuk (+) dahak (+), pilek (+)

makan/minum (+), BAB (+), BAK (+).

Nadi : 110x/menit, reg isi cukup

RR : 40x/menit

Tax : 36,6º C

Status general

Kepala : normocephali

Mata : anemia -/- ,ikterus -/-,

Reflek pupil +/+ isokor,

Hiperemi konjungtiva -/-,

IVFD D5 25 tts

mikro/menit

Zibac 3×250 mg

Dexametason 3 ×

0,5 ml

Sanmol 3 × 0,7

Ambroxol 3 × cth

½

Salbuvent 3 × cth

½

O2 1 LPM

IVFD D5 25 tts

mikro/menit

Zibac 3×250 mg

Dexametason 3 ×

0,5 ml

Sanmol 3 × 0,7

Ambroxol 3 × cth

½

Salbuvent 3 × cth

½

7

Page 8: Lapsus Bronkiolitis

2 Februari

2012

3 Februari

THT : NCH (-), cyanosis (-)

Thorax : simetri (+), retraksi (-)

Cor : S1S2 N, Reg Mur (-)

Po : Ves +/+, Rh -/-, Wh +/+

Abdomen : Aus (-), BU (+) N, H/L tidak teraba

Ext : Hangat (+), edema (-), CTR <2 dtk

Assesment: Bronkiolitis

/dd Asma Bronkiale

S: sesak (-), batuk (+) dahak (+), pilek (-),

makan/minum (+), BAB (+), BAK (+).

Nadi : 100x/menit, reg isi cukup

RR : 30x/menit

Tax : 36,5º C

Status general

Kepala : normocephali

Mata : anemia -/- ,ikterus -/-,

Reflek pupil +/+ isokor,

Hiperemi konjungtiva -/-,

THT : NCH (-), cyanosis (-)

Thorax : simetri (+), retraksi (-)

Cor : S1S2 N, Reg Mur (-)

Po : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen : Aus (-), BU (+) N, H/L tidak teraba

Ext : Hangat (+), edema (-), CTR <2

Abdomen : distensi (-), BU (+) normal

H/L ttb

Assesment: Bronkiolitis

/dd Asma Bronkiale

S: sesak (-), batuk (-), pilek (-), makan/minum (+),

O2 1 LPM

IVFD D5 25 tts

mikro/menit

Zibac 3×250 mg

Dexametason 3 ×

0,5 ml

Sanmol 3 × 0,7

Ambroxol 3 × cth

½

Salbuvent 3 × cth

½

Ambroxol 3 × cth

8

Page 9: Lapsus Bronkiolitis

2012 BAB (+), BAK (+).

Nadi : 90x/menit, reg isi cukup

RR : 25x/menit

Tax : 35,7º C

Status general

Kepala : normocephali

Mata : anemia -/- ,ikterus -/-,

Reflek pupil +/+ isokor,

Hiperemi konjungtiva -/-,

THT : NCH (-), cyanosis (-)

Thorax : simetri (+), retraksi (-)

Cor : S1S2 N, Reg Mur (-)

Po : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-

Abdomen : Aus (-), BU (+) N, H/L tidak teraba

Ext : Hangat (+), edema (-), CTR <2dtk

Abdomen : distensi (-), BU (+) normal

H/L ttb

Assesment: Bronkiolitis

/dd Asma Bronkiale

½

Salbuvent 3 × cth

½

Cefadroxil 2 × cth

I

Fenokin 2 × cth I

BAB III

9

Page 10: Lapsus Bronkiolitis

PEMBAHASAN

Bronkiolitis adalah inflamasi di bronkiolus terminalis, yang menyerang anak-anak

usia di bawah 2 tahun, dengan karakteristik nafas yang cepat, dada tertarik, dan

wheezing.1 Bronkiolitis adalah suatu proses keradangan atau inflamasi pada

saluran napas yang berukuran kecil (bronkiolus) yang ditandai dengan respiratory

distress dan overdistensi pada paru.2

Angka insiden tertinggi adalah pada anak usia di bawah 2 tahun terutama

pada usia 2 sampai dengan 6 bulan. Kurang lebih 60 % mengenai laki-laki (laki-

laki : perempuan = 1,5 : 1). Tetapi ada juga yang mengatakan bahwa tidak ada

perbedaan angka insiden berdasarkan jenis kelamin. Kejadian bronkiolitis ini

meningkat terutama pada musim dingin atau hujan. Bronkiolitis merupakan

penyebab perawatan terbanyak diantara penyakit saluran napas lainnya pada

anak.1 Hal ini sesuai dengan kondisi penderita yang berusia 1 tahun 6 bulan.

Bronkiolitis banyak ditemukan pada anak yang sedikit atau tidak

mendapat ASI, tinggal di daerah pemukiman yang padat, pada anak yang lahir

prematur, berat badan lahir rendah, terpapar rokok, dan tingkat sosial ekonomi

yang rendah. Penderita memiliki beberapa faktor resiko, antara lain terpapar

rokok.

Perubahan pertama kali yang terjadi di saluran nafas pada bronkiolitis

akibat RSV adalah nekrosis dari epitelium pernafasan, perusakan epitelium

bersilia, diikuti dengan terjadinya infiltrasi peribronkiolar oleh sel limfosit.

Bagian submukosa menjadi edema, namun tidak ada kerusakan pada jaringan

kolagen atau elastis. Debris sel dan fibrin menimbulkan plug di dalam bronkiolus,

alveoli biasanya normal kecuali yang berdekatan dengan yang terinflamasi.

Terkadang penyakit dapat mengenai alveoli yang lebih luas, dan peningkatan

jumlah sel dalam jaringan subepiteial bronkus dan bronkiolus meluas sampai pada

dinding intraalveolar yang jauh. Pada kasus ini cairan edema dapat terakumulasi

di dalam alveoli.2

Pada infeksi yang berat juga dapat ditemukan deskuamasi atau nekrosi

epitel sehingga akan banyak ditemukan debris seluler. Sekresi mukus biasanya

meningkat. Nekrosis epitel bersilia akan menyebabkan mekanisme pertahanan

10

Page 11: Lapsus Bronkiolitis

akan menurun sehingga mudah terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Akibat

infeksi sekunder ini akan dapat terjadi nekrosis epitel submukosa dan otot polos. 2

Proses pemulihan dimulai dengan regenerasi dari epitel bronkiolus setelah

3 sampai dengan 5 hari. Tetapi silia belum muncul dalam beberapa waktu,

diperkirakan baru muncul setelah 15 hari. Mucus plug akan dibersihkan oleh

makrofag.2

Tidak semua anak yang mengalami infeksi saluran nafas atas berkembang

menjadi infeksi saluran pernafasan bawah. Anatomis dan faktor imunologis host

tampaknya yang berperan signifikan menentukan derajat berat sindrom klinis.

Infeksi RSV melibatkan respon imun yang kompleks. Degranulasi eosinofil,

terlepasnya protein kationik eosinofil, yang mana bersifat sitotoksik terhadap

epitel respiratorius. Mediator-mediator lain chemokines seperti IL-8, leukotrine

terlibat dalam patogenesis inflamasi saluran nafas.3

Bronkiolitis disebabkan oleh infeksi virus pada saluran nafas (bronkiolus).

Infeksi pada sel respiratorius bronkiolus dan sel epitel bersilia menyebabkan

terjadinya peningkatan sekres mukus, terjadi kematian sel, diikuti infiltrasi

limfosit peribronkial dan edema submukosa. Kombinasi dari debris dan edema

menyebabkan terjadinya penyempitan dan obstruksi pada saluran nafas kecil.6

Invasi virus pada epitel bronkiolus akan menyebabkan respon inflamasi

berupa nekrosis epitel, oklusi bronkial dan penumpukan limfosit peribronkial.

Bronkiolus menjadi edema dan mengalami obstruksi oleh mukus dan selular

debris sehingga dapat menyebabkan kolaps saluran napas bagian distal baik

parsial maupun total. Pada keaadaan ini juga dapat terjadi hiperreaktivitas dari

saluran napas. Produksi mukus, edema saluran napas dan hiperreaktivitas saluran

napas dapat menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara.2

Berdasarkan Hukum Poiseuille yang menyatakan bahwa resistensi aliran

udara saluran napas berbanding terbalik dengan radius saluran napas pangkat 4

maka adanya sedikit saja penyempitan lumen saluran napas akan memberikan

efek yang cukup besar pada aliran udara. Selain itu pada anak-anak didapatkan

lebih sedikit bronkilolus terminalis yang berfungsi sebagai sirkuit paralel untuk

menurunkan resisitensi saluran napas.2

11

Page 12: Lapsus Bronkiolitis

Peningkatan resistensi aliran udara menyebabkan hipoventilasi dari alveoli

dan penurunan rasio ventilasi-perfusi. Hipoksemia merupakan akibat

ketidakserasian antara ventilasi dan perfusi (V/Q mismatch). Resistensi aliran

udara pada saluran napas kecil meningkat baik pada fase inspirasi maupun

ekspirasi. Tetapi karena radius saluran napas mengecil selama fase ekspirasi maka

terdapat mekanisme klep (ball-valve effect). Pada mekanisme ini maka udara akan

terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Akibat overinflasi maka dapat

menyebabkan penurunan daya pengembangan paru dan peningkatan dead space

fisiologis.2

Akibat obstruksi saluran napas mengakibatkan tekanan intratorakal

menurun sehingga darah yang ke jantung dan kapiler paru meningkat

mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan. Hal ini menyebabkan akumulasi

cairan di sekitar alveoli dan saluran napas kecil sehingga dapat menyebabkan

edema paru. Edema paru juga dapat menyebabkan daya pengembangan paru juga

berkurang. Akumulasi cairan pada saluran napas kecil juga dapat merangsang

reseptor ”J” sehingga mengakibatkan bronkokonstriksi. Apabila obstruksinya total

maka dapat terjadi atelektasis sehingga menggangu pertukaran udara di paru.

Sebagai kompensasinya adalah peningkatan frekuensi napas.2

Total kerja pernapasan telah diteliti dan didapatkan peningkatan sampai 6

kali anak normal pada penderita bronkiolitis sehingga anak akan capai dan dapat

menyebabkan kegagalan pernapasan.2

Gagal nafas adalah kegagalan pada pertukaran gas antara udara pernafasan

dengan sirkulasi darah, yang terjadi dalam intrapulmonal atau pada pertukaran gas

yang keluar masuk paru-paru. Gagal nafas dibagi menjadi 2 tipe yaitu: Tipe I:

gagal nafas yang meliputi kadar oksigen yang rendah (PO2 < 60%) dan kadar

karbondioksida yang normal atau rendah. Tipe II: gagal nafas yang meliputi

oksigen yang rendah dan karbondioksida yang tinggi (PCO2 > 45%).4

Gejala dan tanda gagal nafas adalah tidak spesifik dan kemungkinan akan

timbul pada keadaan hypoxemia, hypercarbia, dan academia yang parah. Tanda

fisik yang primer dari melemahnya ventilasi adalah kerja berlebihan pada otot-

otot pernafasan (ventilator muscle), tachypnea, tachycardia, penurunan volume

tidal, nafas yang tidak regular atau terengah-engah (gasping), and gerakan

12

Page 13: Lapsus Bronkiolitis

paradoks abdomen. Berikut adalah bagan patofosiolgis bronkiolitis dan terjadinya

gagal nafas.

Agent (RSV)

Invasi epitel bronkiolus

Respon Imun (invasi sel darah putih) (limfosit)

Respon inflamasi (nekrosis epitel & penumpukan limfosit peribronkial)

Bronkiolus edema produksi mukus meningkat

Obtruksi bronkiolus

hipereaktivitas saluran nafas

Resistensi aliran udara meningkat

sampai 6x normal

Hipoventilasi alveoli

Penurunan Rasio ventilasi - perfusi

Capai Hipoksemia

Gagal nafas

13

Page 14: Lapsus Bronkiolitis

Bronkiolitis terjadi apabila RSV sampai di bronkioli dengan gejala yang

timbul akibat dari obstruksi yang makin meningkat dalam 2 sampai 3 hari. Gejala

awalnya berupa infeksi saluran pernafasan atas seperti pilek, batuk, dan panas

sumer-sumer. Pada orang dewasa dan anak-anak yang lebih besar usia

simptomnya tidak berlanjut, terbatas pada infeksi saluran nafas atas. Tapi 40%

anak-anak usia muda dan bayi, keadaannya berkembang melibatkan saluran

pernafasan bawah, batu dan sesak setelah 1-2 hari.3 Penderita datang dengan

keluhan sesak napas, batuk dengan dahak yang sulit dikeluarkan, pilek, dan

demam yang awalnya sumer-sumer sejak 2 hari SMRS.

Sebagai usaha pernafasan yang meningkat, ditandai nafas cuping hidung

setiap kali nafas, otot-otot pernapasan mengalami retraksi sebagai usaha

menghirup udara. Hal ini dapat melelahkan si anak dan pada bayi-bayi berusia

muda merupakan satu kelelahan luar biasa, bernafas menjadi sulit dipertahankan.

Gejala lain yang sering dijumpai: nafsu makan dan minum menurun, iritabel,

grunting, noisy breathing, muntah biasanya setelah batuk dan terdengar

wheezing.6 Saat datang, pada penderita ditemukan napas cuping hidung, retraksi

subkostal, iritabel, suara nafas ngik-ngik, namun minum ASI tetap seperti biasa.

Pada pemeriksaan fisik, yang dapat ditemukan pada pasien bronkiolitis

adalah adanya wheezing. Terjadi takipneu dengan frekuensi 50-60 kali permenit

bahkan meningkat sampai 80 kali permenit atau lebih, takikardi, nafas cuping

hidung setiap kali nafas, retraksi dinding dada pada saat inspirasi dan dapat terjadi

sianosis. Makin kecil anak makin jelas retraksi ini oleh karena dinding dada masih

fleksibel. Apneu biasanya pada bayi usia kurang dari 6 bulan karena jalan nafas

yang lebih kecil dan lebih mudah terobsruksi serta kemampuan untuk

membersihkan sekresi masih rendah. Pada asukultasi terdengar wheezing dengan

fase ekspirasi yang semakin memanjang atau dapat ditemukan ronki basah halus

difus pada saat inspirasi. Hepar dan lien teraba akibat hiperinflasi paru dan

pendataran diafragma. Gejala-gejala tersebut diatas dapat pula disertai dengan

konjungtivitis atau faringitis ringan, otitis media dan sianosis.3 Pada penderita

ditemukan wheezing dengan ekspirasi memanjang.

Setelah RSV sampai di bronkioli maka dapat menyebabkan bronkiolitis

dengan gejala yang ditimbulkan akibat obstruksi yang makin meningkat dalam 2

14

Page 15: Lapsus Bronkiolitis

sampai 3 hari. Batuk bersifat iritatif, repetitif dan paroksismal. Anak akan menjadi

iritabel, sulit tidur dan sulit makan dan minum. Suhu tubuh dapat kembali normal.

Dapat ditemukan nafas cuping hidung, dispneu dan takikardia. Usaha nafas

meningkat (air hunger) dan dapat terjadi sianosis. Penggunaan otot bantu

pernapasan bertambah dan dapat terlihat adanya retraksi. Pada auskultasi dapat

ditemukan ronki basah halus difus pada akhir inspirasi dan awal ekspirasi.

Terdengar suara napas wheezing dan ekspirasi yang memanjang. Gejala biasanya

berlangsung 3 sampai 7 hari dengan adanya perbaikan dalam 3 sampai 4 hari

pertama. Secara keseluruhan akan kembali normal dalam 1 sampai 2 minggu. 1

Pada penderita secara umum kondisinya membaik, sesak mulai berkurang, namun

batuk yang masih ada dan sulit untuk mengeluarkan dahak.

Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dapat dilakukan antara lain :

1. Pemeriksaan darah lengkap kurang berguna karena hitung WBC masih

dijumpai dalam batas normal.

2. Pemeriksaan gas darah mungkin diperlukan pada pasien-pasien berat

khususnya yang membutuhkan ventilasi mekanik untuk menentukan berat

ringannya penyakit.

3. Pada pemeriksaan kimia darah dijumpai normal kecuali bila terdapat

adanya dehidrasi berat.

Namun, pada penderita tidak dilakukan pemeriksaan darah lengkap.

Gambaran radiologis didapatkan hiperinflasi paru, sela iga melebar,

penekanan diafragma dan sudut costoprenikus menyempit, fokal atelektasis, air

trapping, serta diafragma mendatar. Diameter AP meningkat pada fotolateral.

Kadang-kadang terdapat bercak-bercak perpadatan akibat atelektasis sekunder

akibat obstruksi atau inflamasi bronkus, infiltrasi alveoli dan gambaran garis-garis

linear karena bronkioli yang menebal bersama-sama yang seringkali tampak

sebagai daerah konsolidasi.1 Foto thorak juga berfungsi mengeksklusi diagnosa

banding seperti pneumonia lobaris, dan gagal jantung kongestif. Namun, pada

penderita tidak dilakukan foto thorak.

15

Page 16: Lapsus Bronkiolitis

Pemeriksaan lain antara lain :

1. Tes antigen pada cucian nasal memberikan hasil yang cepat (biasanya

dalam waktu 30 menit) dan akurat (sensitivitas 87-91%, spesifisitas 96-

100%).

2. Hasil kultur yang positif atau hasil floresensi antibodi direk dapat

mengkonfirmasi diagnosis infeksi RSV.

3. Kultur RSV kurang sensitif (60%) tapi spesifik (100%).

Pemeriksaan ini tidak dilakukan pada penderita.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Umumnya tidak sulit untuk mendiagnosa bronkiolitis

oleh karena sifatnya khas yaitu terjadi pada anak kurang dari 2 tahun, didahului

oleh gejala infeksi saluran napas bagian atas kemudian disusul oleh napas cepat

dengan mengi dan dapat ditemukan retraksi dinding dada, dan ditemukan

hiperinflasi dengan ronki basah halus dan difus. Pemeriksaan laboratorium rutin

tidak banyak membantu. Sedangkan pemeriksaan terhadap RSV itu sendiri sulit

dan lama.1 Kondisi pasien yang memenuhi kriteria ini antara lain, usia kurang dari

2 tahun, sesak, ada gejala demam dan batuk dengan dahak yang sulit dikeluarkan,

pilek, diikuti dengan adanya mengi, ekspirasi memanjang, retraksi subkostal dan

napas cuping hidung di awal.

Diagnosa banding dari bronkiolitis adalah asma bronkiale, pneumonia,

bronkitis akut, gagal jantung, dan aspirasi benda asing. Penderita di diagnosa

banding dengan asma bronkiale. Beberapa pegangan :

- Asma bronkiale umumnya terjadi pada usia diatas 2 tahun.

- Pada penderita asma biasanya mengalami sesak yang berulang,

- Onset sesak pada asma bersifat akut.

- Gejala ISPA atas pada asma tidak selalu ada.

- Riwayat atopi pada keluarga lebih sering.

- Riwayat alergi pada asma lebih sering.

- Pada pemeriksaan darah lengkap biasanya akan ditemukan peningkatan

eosinofil.

Anak dengan bronkiolitis akut harus masuk rumah sakit kalau ditemukan

saturasi O2 dibawah 92%, berumur kurang dari 6 bulan, tidak dapat minum,

16

Page 17: Lapsus Bronkiolitis

respirasi rate-nya meningkat signifikan dan adanya penyakit kardiopulmonar.

Desaturasi O2 sampai 40%, sianosis, apneu atau asidosis adalah indikator

memasukan dalam perawatan intensif. Pada penderita ditemukan peningkatan

respirasi rate secara signifikan sehingga MRS.

Oleh karena adanya fase kritis, walaupun berlangsung singkat, pada

umumnya anak memerlukan perawatan dirumah sakit karena perlu pengawasan

yang cermat dan mengurangi aktifitas atau tindakan yang tidak perlu sampai

seminimal mungkin. Pada umumnya, terapi lebih banyak bersifat suportif karena

penyebab utamanya adalah infeksi virus. Pada dasarnya terapi bronkiolitis terdiri

dari:5

1. Oksigen

Oksigen diberikan dengan konsentrasi 40 %, tujuannya adalah untuk

menanggulangi dispneu, mencegah sianosis dan mengurangi kegelisahan.

Saturasi oksigen dipertahankan pada batas 95 % sampai dengan 98 %.

Penderita mendapatkan terapi O2 sebanyak 2 lpm dengan nasal kanul dari

tanggal 30 Januari 2012 hingga 1 Februari 2012 dengan harapan saturasi

O2 berkisar antara 95 % hingga 98% dan tidak terjadi sianosis pada pasien

tersebut.

2. Terapi cairan

Pada bayi yang dirawat di rumah sakit sering terjadi dehidrasi karena

rendahnya masukan cairan dan karena meningkatnya kehilangan cairan

akibat demam dan takipneu, anak juga menderita asidosis ringan. Karena

itu cairan harus diberikan secara hati-hati pada jumlah yang lebih besar

dari rumatan untuk mencegah terjadinya dehidrasi, asidosis metabolik, dan

mencukupi kebutuhan kalori. Dapat diberikan peroral atau parenteral. Pada

bayi, karena ada resiko terjadi aspirasi pada pemberian peroral akibat

takipneu dan peningkatan usaha nafas dapat dilakukan pemberian

makanan melalui nasogastric tube.

Kebutuhan cairan pasien adalah 750 cc selama 24 jam, mampu minum 150

cc, sehingga pasien diberikan cairan maintenance sebanyak 25 tts mikro

permenit atau setara dengan 25 cc setiap 1 jam untuk memenuhi sisa

kebutuhan cairan sebanyak 600 cc.

17

Page 18: Lapsus Bronkiolitis

3. Bronkodilator

Penggunaan bronkodilator masih dikatakan kontroversial. Epinefrin

nebulizer mungkin lebih efektif daripada ß2-agonis. Pada suatu penelitian

ditemukan pemberian epinefrin (0,1 ml/kg) memberikan perbaikan yang

lebih besar terhadap saturasi oksigen, gejala klinis, dan atau resistensi paru

dibandingkan pada pemberian salin atau albuterol. Menurut penelitian

Klassen dkk menggunakan rancangan double-blind dan mendapatkan hasil

bahwa penggunaan salbutamol pada pasien bronkiolitis dapat

memperbaiki keadaan klinis pasien. Bila teredapat perbaikan dimana

retraksi, frekuensi nafas dan whezing berkurang, pemberian aerosol bisa

dilanjutkan bersamaan dengan terapi lainya. Pada pasien diberikan

salbuvent 3 × cth ½.

4. Kortikosteroid

Meskipun inflamasi memegang peranan dalam patogenesis terjadinya

obstruksi jalan nafas, kortikosteroid belum terbukti bermanfaat untuk

memperbaiki status klinis penderita bronkioloitis. Pada suatu penelitian

kecil didapatkan pemberian inhalasi salbutamol bersamaan dengan injeksi

deksametason dapat memperbaiki keadaan klinis namun tidak terjadi

perubahan pada parameter perrtukaran gas. Penderita diberikan injeksi

deksametason 3 x 0,5 mg dari tanggal 30 Januari 2012 sampai 2 Februari

2012.

5. Antibiotika

Pemberian antibiotik secara rutin tidak menunjukkan pengaruh terhadap

perjalanan penyakit bronkiolitis dan penggunaannya merupakan hal yang

kurang rasional. Kurangnya teknik diagnostik yang cepat untuk

mengidentifikasi RSV atau virus lainnya, tidak jelasnya penyebab

penyakit pada bayi kecil yang menderita sakit serta pemikiran bahwa

infeksi virus mungkin merupakan predisposisi terjadinya infeksi bakteri

sekunder digunakan sebagai alasan untuk pemberian antibiotik. Jika

kondisi penderita cepat memburuk, terdapat peningktan dan pergeseran

hitung jenis WBC, WBC perifer, atau terdapat tanda-tanda klinis yang

mengarah ke sepsis, maka perlu dilakukan kultur bakteri darah, urine dan

18

Page 19: Lapsus Bronkiolitis

cairan serebrospinal, diikuti dengan pemberian segera antibiotik spektrum

luas. Penderita selama perawatan diberikan cefotaxim injeksi 3 x 200 mg

dari tanggal 30 Januari 2012 sampai 2 Februari 2012, cefadroxil sirup 2 x

cth I dari tanggal 3 Februari 2012.

Prognosis pasien dengan bronkiolitis biasanya baik meskipun penderita

terlihat sangat sakit pada saat masuk ke rumah sakit. Biasanya, sebagian besar

penderita yang mendapat perawatan suportif yang memadai, akan mengalami

perbaikan klinis dalam 3 sampai 4 hari. Setelah 2 minggu dari mulainya sakit,

frekuensi nafas menjadi normal dan kadar oksigen serta karbondioksida dalam

darah kembali normal pada sebagian besar penderita. Angka kematian kasus

bronkiolitis berkisar 1-5%. Bahkan dengan perawatan yang cermat, angka

kematian dapat ditekan sampai dibawah 1 persen.

Penderita memiliki prognosis yang baik, karena selama perawatan di

rumah sakit mengalami perbaikan gejala dan keadaan umum membaik, sesak

berkurang sehingga oksigen nasal kanul dapat dilepas, batuk juga berkurang,

frekuensi napas normal, demam sudah turun, minum ASI kuat, infus sudah dapat

dilepas, dan hari ke 5 perawatan penderita sudah diperbolehkan rawat jalan.

Perbandingan Antara Teori Dan Kasus

Teori Kasus95 % terjadi pada usia dibawah 2 tahun, dengan puncak kejadian 2-3 bulan dan lebih sering terjadi pada laki-laki.

Penderita perempuan berusia 1,5 tahun

Manifestasi klinis berupa sesak yang disertai batuk dan pilek

Keluhan utama pasien adalah sesak dan disertai dengan demam, batuk dan pilek

Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya peningkatan frekuensi pernafasan, nafas cuping hidung, dan retraksi otot pernafasan serta adanya suara nafas tambahan berupa ronki dan wheezing atau hanya wheezing, ekspirasi memanjang, tergantung tingkat keparahan penyakit

Pada hasil pemeriksaan ditemukan adanya wheezing, retraksi subcostal, nafas cuping hidung, ekspirasi memanjang.

Kortikosteroid merupakan salah satu terapi untuk bronkiolitis yang dapat meningkatkan keadaan klinis pasien

Kondisi penderita membaik setelah diberikan injeksi deksametason 3x0,5 mg dari tanggal 30 Januari sampai 2 Februari 2012.

19

Page 20: Lapsus Bronkiolitis

BAB IV

SIMPULAN

1. Bronkiolitis adalah suatu proses keradangan atau inflamasi pada saluran napas

yang berukuran kecil (bronkiolus terminalis) yang ditandai dengan respiratory

distress dan overdistensi pada paru.

2. Angka insiden tertinggi adalah pada anak usia di bawah 2 tahun terutama pada

usia 2 sampai dengan 6 bulan.

3. Penyebab bronkiolitis adalah infeksi oleh virus dan jarang disebabkan oleh

bakteri serta proses alergi. RSV merupakan penyebab terbanyak.

4. Bronkiolitis awalnya ditandai dengan infeksi saluran napas atas dengan gejala

pilek dengan sekret encer, bersin, demam subfebril dan nafsu makan menurun.

Kemudian diikuti dengan gejala seperti sesak, mengi dan retraksi dinding

dada.

5. Diagnosa banding bronkiolitis adalah asma bronkiale, pneumonia, bronkitis

akut, dan aspirasi benda asing.

6. Terapi yang diberikan berupa suportif yaitu oksigen, terapi cairan.

bronkodilator, kortikosteroid, dan antibiotika.

7. Prognosis pasien dengan bronkiolitis biasanya baik.

20

Page 21: Lapsus Bronkiolitis

DAFTAR PUSTAKA

1. Chernick V, Boat TF, Edwin L. Disorders of The Respiratory Tract in Children.

6th ed. USA: WB Saunders Company. 1998; 22:473-483.

2. Ali J, Summer WR, Levidzky MG. Pulmonary Pathophysiology. USA: Mc

Graw Hill. 1999; 12:277-280.

3. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson. Nelson Textbook of Pediatrics. 17 th ed.

Philadelphia: WB Saunders Company. 2002; 378:1415-1417.

4. http://www.virtualrespiratorycentre.com/respiratoryfailure/html Last update:

September 2005. accessed: Agustus 26th, 2006.

5. Hay WW, et al. Current Pediatric Diagnosis and Treatment. 16 th ed. Singapore:

Mc Graw Hill. 2003; 18:520-521.

6. Hasan R. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 3. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. 2002; 1197-1245.

21