38
LAPORAN TUTORIAL BLOK THT SKENARIO 3 KELUHAN PADA TENGGOROKAN OLEH: KELOMPOK 12 1. Andini Eka Putri (G0011020) 2. Deneisha Kartika P (G0011064) 3. Esty Jayanti (G0011086) 4. Hanni Wardhani (G0011104) 5. Rabi’atul Adawiyah (G0011162) 6. Rurin Ayurinika P (G0011186) 7. Arwindya Galih D (G0011040) 8. Akhmad Dwikky C U (G0011010) 9. Almira Muthia D (G0011014) 10. Satrio Sarwo T (G0011192) 11. Muhammad Alip Wildan (G0011142) Tutor : dr. Sinu Andhi Yusuf

Laporan Tutorial 3 THT 2013

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan Diskusi Tutorial Blok THT

Citation preview

Page 1: Laporan Tutorial 3 THT 2013

LAPORAN TUTORIAL BLOK THT

SKENARIO 3

KELUHAN PADA TENGGOROKAN

OLEH:

KELOMPOK 12

1. Andini Eka Putri (G0011020)

2. Deneisha Kartika P (G0011064)

3. Esty Jayanti (G0011086)

4. Hanni Wardhani (G0011104)

5. Rabi’atul Adawiyah (G0011162)

6. Rurin Ayurinika P (G0011186)

7. Arwindya Galih D (G0011040)

8. Akhmad Dwikky C U (G0011010)

9. Almira Muthia D (G0011014)

10. Satrio Sarwo T (G0011192)

11. Muhammad Alip Wildan (G0011142)

Tutor :

dr. Sinu Andhi Yusuf

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2013

Page 2: Laporan Tutorial 3 THT 2013

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Peradangan pada tonsil bisa terjadi dari berpagai penyebab, termasuk

karena virus dan juga karena bakteri. Pasien dengan peradangan pada tonsil

biasanya memiliki gejala seperti nafsu makan menurun, badan demam, sakit saat

menelan, dll. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologinya dan bagaimana bisa

terjadi gejala seperti diatas, kami melakukan diskusi tutorial dengan skenario

sebagai berikut:

Anakku mengeluh teggoroknya sering sakit

Seorang anak laki-laki usia 5 tahun bersama ibunya datang ke poliklinik

THT, dengan keluhan seduah 2 hari tidak mau makan, karena sakit untuk

menelan. Badan demam, benjolan pada leher dan nyeri saat ditekan, disertai

suara serak. Keluhan yang sama sering di rasakan sejak usia 3 tahun, dan pasien

kalau tidur mengorok. Tetapi riwayat sesak nafas disangkal. Pasien juga

mempunyai riwayat sering batuk pilek.

Pada pemierksaan pharing didapatkan: mukosa pharing terdapat

granuloma dan hiperemi, tonsil fibrosis dan terdapat detritus, plica vokalis

oedema dan hiperemis. Pemeriksaan laboratorium didapatkan ASTO : (+)

II. Rumusan Masalah

1. Bagaimana anatomi dan fisiologi pharing/ tonsil?

2. Bagaimana fisiologi menelan dan bersuara?

3. Bagaimana patofisiologi dari menifestasi klinis yang diderita pasient: sakit

menelan, badan demam, benjolan pada leher nyeri tekan, suara serak?

4. Bagaimana mekanisme tubuh ketika terjadi infeksi dan inflamasi?

5. Apa peranan Streptococcus dalam kasus-kasus disekitar tenggorokan dan

apa saja pilihan antibiotiknya?

6. Apa saja diferensial diagnosis pada skenario diatas?

1

Page 3: Laporan Tutorial 3 THT 2013

III.Tujuan

Tujuan pembelajaran pada sekanario ke tiga ini adalah:

1. Menjelaskan anatomi dan fisiologi tonsil

2. Menjelaskan fisiologi menelan

3. Menjelaskan patofisiologi dari menifestasi klinis yang diderita pasien:

sakit menelan, badan demam, benjolan pada leher nyeri tekan, suara serak.

4. Mengetahui mekanisme tubuh ketika terjadi infeksi dan inflamasi

5. Mengetahui tentang peranan Streptococcus dalam kasus-kasus disekitar

tenggorokan dan pilihan antibiotiknya

6. Mengetahui diferensial diagnosis pada skenario diatas

2

Page 4: Laporan Tutorial 3 THT 2013

BAB II

STUDI PUSTAKA

1. ANATOMI DAN FISIOLOGI FARING/TONSIL

A. Anatomi

Pharynx adalah bagian dari tractus digestifus dan tractus respiratorius yang

terletak debelakang cavum nasi, cavum oris, dan dibelakang larynx. Merupakan

saluran musculomembranosus yang berventuk kerucut dengan basis diatas dan

apex dibawah. Pharynx membentang dari basis cranii (tuberculum pharyngeum)

sampai setinggi cartilage cricoid dibagain depan dan setinggi VC 6 dibagain

belakang.

Anatomi rongga mulut, faring, laring ditampilkan dalam gambar 1. Lidah

memiliki permukaan lisan dan faring. Rongga mulut dipisahkan dari faring oleh

tiang-tiang faucial. Faring memiliki lapisan konstriktor otot-otot yang bersumber

pada tempurung kepala dan tulang hyoid dan tulang rawan tiroid anterior dan

memasukkan pada posterior median raphe. Otot-otot submental berasal pada

mandibula dan melampirkan ke tulang hyoid dan lidah. Otot cricopharyngeus

melekat ke sisi tulang rawan krikoid anterior dan menutup sfingter esofagus

bagian atas (UES) dengan mengompresi terhadap ke belakang tulang rawan

krikoid.

Bagain pharing yang terletak debelakang cavum oris, setinggi palatum

molle sampai tepi atas epiglotica SC 2-3. Berhubungan dengan kavum oris

melalui isthmus faucium. Didaerah isthmus faucium terdapat suatu lingkaran

jaringan limfoid (annulus waldeyer’s) yang tersusun dari, tonsila pharyngea,

tonsila palatine, tonsila lingualis. Annulus waldeyer berfungsi sebagai barrier

therhadap rembetan infeksi. Tonsila palatina merupakan jaringan limfoid yang

terletak di fossa tonsilaris. Hasil perkembangan dari saccus pharyngeus II saat

embrio. Di innervasi oleh N,IX, ateri oleh r. tonsilaris a. facialis.

Epiglottis berasal dari laring dan miring ke atas dan ke belakang melekat

tulang hyoid anterior. Ruang antara faring permukaan lidah dan epiglotis disebut

valleculae. Laring mempunyai dua plica vocalis yaitu sejati dan palsu lipatan

vokal serta permukaan laring epiglottis. Laring aditus (ujung atas laring)

3

Page 5: Laporan Tutorial 3 THT 2013

membuka ke bagian bawah faring. Lateral laring adalah dua ruang di faring

disebut relung pyriform.

Gambar 1 anatomi faring

B. Fisiologi

a. Tonsil

Kedua tonsil merupakan jaringan limfoid yang terletak di kanan dan kiri

faring di antara tiang tiang tengkus fauses. Tonsil dijelejahi pembuluh darah dan

pembuluh limfe dan mengandung banyak limfosit. Permukaan tonsil ditutupi

membrane mokosa yang bersambung degan bagian bawah faring. Permukaan ini

penuh dengan lekukan. Dan ke dalam lekukan yang banyak ini sejmulah beser

kelenjar penghasil mucus menuangkan sekresinya. Mucus ini mengandung

banyak limfosit. Dengan demikian tonsil bekerja sebagai garis depan pertahanna

dalam infeksi yang tersebar dari hidung. Mulut dan tenggorok. Meskipun

demikian tonsil bisa gagal menahan infeksi. Yaitu ketida terjadi tonsillitis

(peradangan tonsil) atau sebuah avses peritonsiler.

b. Faring

Faring berfungsi untuk membantu proses menelan dan pernafasan. Pada

orofaring dan laringofaring terdapat persilangan jalan yaitu persilangan jalan

udara pernafasan dan jalan makanan/minuman. Udara pernafasan dari hidung

akan menyilang masuk ke trakea yang telaknya di depan esophagus, sedangkan

4

Page 6: Laporan Tutorial 3 THT 2013

makanan dari mulut akan menyilang masuk ke esophagus yang letaknya

dibelakang trakea. Dengan demikian, agar tidak terjadi salah jalan, yaitu udara

pernafasan masuk ke jalan makanan atau sebaliknya. Pada persilangan jalan ini,

udara pernafasan dan makanan harus bergantian lewat. Dalam hal ini epiglottis

akan mengatur giliran bagi udara dan makanan/ minuman dalam mempergunakan

persilangan tersebut. Dengan cara ini, jika udara pernafasan akan masuk trakae,

epiglottis akan membuka rima glottis, sedangkan jika makanan masuk esophagus,

epiglottis akan menutup rima glottis sehingga tidak akan terjadi salah jalan.

2. FISIOLOGI MENELAN DAN BERSUARA

A. Menelan

Menelan dilakukan setelah mengunyah, dan dapat dilukiskan dalam tiga

tahap. Gerakan membentuk makanan menjadi sebuah lobus dengan bantuan lidah

dan pipi, dan melalui bagian belakang mulut masuk ke dalam faring. Setelah

makanan masuk faring, palatum lunak naik untutuk menutup nars posterior, glottis

menutup oleh kontraksi otot-ototnya, dan otot kontriktor faring menangkap

makanan dan mendorongnya masuk oesofagus, pada saat ini pernafasan berhenti,

kalau tidak maka akan tersedak. Orang tak dapat menelan dan bernafas pada saat

yang sama. Gerakan pada bagian ini merupakan gerakan refleks.

Setelah cairan diambil ke dalam mulut dari cangkir atau dengan sedotan,

bolus cair diadakan di bagian anterior dari lantai mulut atau pada permukaan lidah

pada langit-langit keras yang dikelilingi oleh atas lengkungan gigi (gigi atas).

Rongga mulut disegel posterior oleh langit-langit lunak dan lidah kontak untuk

mencegah bolus cair yang bocor ke orofaring sebelum menelan. Selama minum

cairan, rongga mulut posterior disegel oleh kontak lidah-langit-langit selama tahap

persiapan lisan ketika bolus diadakan di rongga mulut. Sebaliknya, selama

pemrosesan makanan, lidah dan langit-langit lunak bergerak siklis dalam

hubungannya dengan gerakan rahang, permitting komunikasi yang terbuka antara

rongga mulut dan pharynx. Sebab itu, ada tidak ada penyegelan rongga mulut

posterior selama makan. Gerakan rahang dan lidah pompa udara ke dalam rongga

hidung melalui faring, memberikan aroma makanan untuk chemoreceptors di

hidung.

5

Page 7: Laporan Tutorial 3 THT 2013

B. Bersuara

Fungsi laring antara lain adalah untuk bersuara dan bernapas. Pada

stadium respirasi kedua dorda vokalis ditarik ke lateral oleh muskulus golongan

abductor sehingga rima glottis membuka, sedangkan pada stadium fonasi, korda

vokalis degerakan ke medial oleh muskulus golongan aduktor sehingga rima

glottis menutup. Suara terbentuk karena tiupan udara dari paru yang mengetarkan

dorda vokalis. Korda vokalis akan membuka dan menutup secara sekali sehingga

timbul gataran suara. Selain itu, ada neurochronaxi yang mengatakan perlu ada

rangsangan saraf rekurens ke otot intrinsic laring supaya bergetar. Agar dapat

mengerluarkan suara bernada tinggi, korda vokalis harus dapt ditipiskan

detegangkan, dan dipanjangkan. Dan dipendekan. Kemampuan manusia untuk

bersuara sempurna ini karena adanya kelima pasang otot aduktor. Setelah suara

terbentuk di laring, maka suara akan diubah menjadi huruf-huruf untuk bicara

oleh mulut gigi, bibir, palatum, lidah, dengan demikian laring hanya sebagai

sumber suaura yang oleh mulut dan lain lain akan diubah menjadi kata kata

pembicara.

3. PATOFISIOLOGI DARI MANIFESTASI KLINIS YANG DIDERITA

PASIEN

Keluhan badan panas merupakan salah satu tanda adanya peradangan

(inflamasi). Demam disebabkan oleh adanya pirogen yang dihasilkan oleh kuman

(eksogen) atau akibat sekresi fagositik (endogen). Pirogen akan menyebabkan

sekresi prostaglandin di dalam hipotalamus sebagi pengatur suhu untuk

menaikkan termostat sehingga akan terjadi pengeluaran panas yang berlebihan.

Suhu yang lebih tinggi meningkatkan proses fagositosis dan kecepatan aktivitas

peradangan yang bergantung pada enzim (Sherwood, 2001).

Secara umum, mekanisme urutan inflamasi ialah :

1. Rubor    (kemerahan) terjadi karena banyak darah mengalir ke dalam

mikrosomal lokal pada tempat peradangan.

2. Kalor  (panas)  dikarenakan  lebih  banyak  darah  yang  disalurkan  pada

tempat peradangan dari pada yang disalurkan ke daerah normal.

6

Page 8: Laporan Tutorial 3 THT 2013

3. Dolor  (Nyeri)  dikarenakan  pembengkakan  jaringan  mengakibatkan

peningkatan tekanan lokal dan juga karena ada pengeluaran zat histamin dan

zat kimia bioaktif lainnya.

4. Tumor (pembengkakan) pengeluaran ciran-cairan ke jaringan interstisial.

5. Functio laesa (perubahan fungsi) adalah terganggunya fungsi organ tubuh

Nyeri menelan (odinofagi) dapat terjadi pada ketidaknormalan setiap organ

dalam proses menelan dan oleh karena kelainan/peradangan di daerah nasofaring,

orofaring, dan laringofaring. Odinofagi pada pasien kemungkinan disebabkan oleh

peradangan akibat invasi kuman pada mukosa faring. Pembesaran kelenjar leher

pada penderita disebabkan oleh penjalaran infeksi secara limfogen ke nodi

lymphoidei regional yang terdekat. Di regio kepala leher terdapat beberapa nodi

lymphidei yang kemungkinan terbesar menyebabkan benjolan pada leher

penderita yaitu nodi lymphoidei cervicales profundi, nodi lymphoidei cervicales

superioris dan nodi lymphoidei submandibularis. Mengorok merupakan

mekanisme fisiologis yang ditimbbulkan oleh aliran turbuler dari udara ekspirasi

yang melewati kanal sempit. Kanal sempit tersebut bisa terbentuk karena adanya

pembesaran organ regio faring atau jatuhnya lingua ke arah dorsal saat posisi

tubuh tidur terlentang sehingga menutupi area orofaring.

Pada pemeriksaan laryng didapatkan plica vocalis oedema dan hiperemis.

Hal ini menunjukkan adanya peradangan di laryng yang kemungkinan akibar

perluasan (infeksi sekunder) dari faring. Plica oedema menyebabkan penderita

mengalami suara serak. Plica vocalis pada anak sering/mudah terkena infeksi

disebabkan oleh celah rima glottidis lebih sempit, banyak vascularisasi dan aliran

limfe, dan mukosa lebih regang.

Adenoid tampak menonjol merupakan akibat dari hipertrofi adenoid yang

kemudian menutup OPTAE, selain itu inflamasi akibat penjalaran infeksi yang

ditandai oleh hiperemi adenoid. Mukosa faring hiperemis merupakan tanda

terjadinya penjalaran infeksi dan inflamasi yang meluas ke daerah pharynx.

Adanya detritus merupakan penanda dari sisa-sisa infeksi.

Hasil pemeriksaan ASTO didapatkan hasil positif. Pemeriksaan anti-

streptolisin titer O (ASTO) merupakan pemeriksaan untuk menentukan adanya

antibodi dari streptolisin O yang dihasilkan oleh strain Streptococcus. Streptolisin

7

Page 9: Laporan Tutorial 3 THT 2013

O kebanyakan dihasilkan oleh Streptococcus beta hemiliticus grup A dan

beberapa oleh grup B dan G. Pemeriksaan ASTO dapat menentukan infeksi akut

karena dapat diditeksi 4-8 minggu setelah infeksi. streptococcus beta-hemoliticus

menghasilkan eksotoksin yaitu streptolisi yang terdiri atas dua macam

(streptolisin S dan O). Streptolisin S bersifat non-antigenik sedangkan streptolisin

O bersifat antigenik.

4. MEKANISME TUBUH KETIKA TERJADI INFEKSI DAN

INFLAMASI

A. Respon Imun terhadap Mikroba

Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah atau non

spesifik/innate/native/non adaptif/natural dan didapat/spesifik/adaptif/acquired

(Karnen,2010). Disebut non spesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroba

tertentu, telah ada dan siap berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak

menunjukkan spesifitas terhadap benda asing dan mampu melindungi tubuh

terhadap banyak patogen potensial. Berbeda dengan sistem imun non spesifik,

sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang

dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali masuk kedalam tubuh

menimbulkan sensitasi, sehingga antigen yang sama dan masuk ke dalam tubuh

untuk kedua kalinya akan dikenal lebih cepat dan kemudian dihancurkan

(Karnen,2010). Mikroba yang masuk akan merangsang sistem imun non spesifik

untuk memblok masuknya mikroba dan dihancurkan atau membatasi

pertumbuhannya yang dapat membuat koloni pada jaringan dan imun spesifik

akan terangsang untuk membuat antibodi (Abul,2010).

Secara garis besar respon imun non spesifik dalam melindungi tubuh

terhadap serangan mikroba dibagi kedalam tiga garis pertahanan. Pertahanan

pertama adalah barir sel-sel epitel yang tersusun rapat,berfungsi untuk mencegah

masuknya mikroba dari lingkungan external, dan apabila barir berhasil ditembus

maka mikroba akan bertemu makrofag yang berperan sebagai pertahanan kedua

didalam jaringan subepitel. Makrofag yang teraktivasi akan memfagosit mikroba

dan mensekresikan sitokin yang akan merekrut leukosit lain seperti neutrofil dari

pembuluh darah ke pusat infeksi. Setelah itu akan terjadi akumulasi dari leukosit

untuk menghancurkan mikroba dalam proses inflamasi. Ketika mikroba dapat

8

Page 10: Laporan Tutorial 3 THT 2013

bertahan terhadap reaksi perlindungan tubuh ini maka mikroba dapat masuk

kedalam peredaran darah. protein komplemen bisa secara langsung aktif karena

permukaan mikroba, yang berikutnya akan merangsang proses inflamasi,

meningkatkan fagositosis, dan membuat lubang pada mikroba yang membuat

mereka lisis (Abul,2010).

Apabila reaksi imun non spesifik tidak mampu mengahancurkan mikroba

maka diperlukan sistem imun spesifik. Sistem imun ini mempunyai 3 cara untuk

menghadapi mikroba yang masuk yaitu, pertama dengan mensekresi antibodi

yang mengikat mikroba ekstraseluler, menghalangi kemampuan mikroba untuk

menginfeksi ; cara kedua melalui aktivitas fagositosis dan sel T helper yang akan

meningkatkan aktivitas mikrobisidal dari sel-sel fagosit ; ketiga, sel T sitotoksik

yang akan menghancurkan mikroba apabila antibodi tidak berhasil melakukan

tugasnya (Abul,2010).

a. Imunitas terhadap bakteri ekstraseluler

Bakteri ekstraseluler dapat hidup di luar sel tubuh misalnya dalam

sirkulasi, jaringan ikat, lumen, dan sebagainya. Penyakit yang ditimbulkan dapat

berupa inflamasi yang menimbulkan destruksi jaringan di tempat infeksi dengan

membentuk nanah/infeksi supuratif seperti yang terjadi pada infeksi streptokok

(Karen,2010).Selain mampu mendestruksi jaringan, mekanisme kedua, bakteri

ekstraseluler mampu produksi toksin baik eksotoksin maupun endotoksin yang

mempunyai efek patologis (Abul,2010). Kerusakan yang ditimbulkan selain dari

toksin bakteri juga bergantung kepada lokasi bakteri itu tumbuh seperti

Streptococcus pneumoniae yang menyebabkan pneumonia, dan apabila

menembus peredaran darah dapat terjadi sepsis pneumococcal (Kenneth,2008).

b. Imunitas non spesifik terhadap bakteri ekstraseluler

Mekanisme utama dalam imunitas ini adalah aktivasi komplemen,

fagositosis, dan reaksi inflamasi. Bakteri gram positif memiliki peptidoglikan

pada dinding selnya yang mengakibatkan aktivasi C3 konvertase pada jalur

alternatif komplemen. Lipopolisakarida pada dinding sel bakteri gram negatif juga

mengaktivasi jalur alternatif komplemen. Bakteri-bakteri yang memiliki mannose

pada permukaannya dapat terikat di lektin pengikat mannose dan mengaktivasi

komplemen lewat jalur lektin. Hasil dari aktivasi komplemen akan mengarah

9

Page 11: Laporan Tutorial 3 THT 2013

kepada proses opsonisasi dan fagositosis bakteri. Sel-sel fagosit menggunakan

berbagai macam reseptor seperti reseptor mannose dan scavenger untuk

mengenali bakteri ekstraseluler, juga reseptor Fc untuk mengenali bakteri yang

teropsonisasi (Abul,2010). Selain itu, sel fagosit juga mengikat bakteri melalui

berbagai reseptor permukaan lain seperti TLR (toll-like receptor) yang semuanya

meningkatkan aktivitas fagositosis (Karen,2010).

Respon utama pejamu terhadapa bakteri ekstraseluler adalah produksi

sitokin oleh makrofag yang diaktifkan yang dapat menimbulkan inflamasi dan

syok septik.Toksin seperti super antigen mampu mengaktifkan banyak sel T

sehingga menimbulkan produksi sitokin dalam jumlah besar dan kelainan

klinikopatologi seperti yang terjadi pada syok septik (karen,2010).Ada beberapa

kasus, yang menghubungkan syok septik akibat drespon imun yang gagal

mungkin akibat deplesi sel T dalam tubuh sehingga menyebabkan penyebaran

infeksi yang tidak terdeteksi sebelumnya (Abul,2010).

c. Imunitas spesifik terhadap bakteri ekstraseluler

Antibodi mengenali bakteri extraseluler lewat antigen dinding sel bakteri

itu sendiri dan toksin yang disekresikan dalam bentuk polisakarida ataupun

protein. Mekanisme antibodi untuk melawan bakteri ekstraseluler meliputi

netralisasi, opsonisasi dan fagositosis, dan aktivasi komplemen lewat jalur klasik.

Netralisasi dimediasi oleh IgG tinggi afinitas dan IgA isotipe, opsonisasi

oleh beberapa sub kelas dari IgG,dan aktivasi komplemen oleh IgM dan sub kelas

IgG. Antigen bakteri ekstraseluler juga mengaktivasi sel T helper CD4+ yang

memproduksi sitokin yang akan menstimulasi pembuatan antibodi, menginduksi

sel inflamasi,dan meningkatkan aktivitas fagositosis dan mikrobisidal dari

makrofag dan neutrofil. IFN-gamma adalah sitokin sel T yang berperan dalam

aktivasi makrofag dan TNF serta limfotoxin untuk memicu inflamasi. (Abul,2010)

d. Imunitas terhadap bakteri intraseluler

Karakteristik yang dimiliki oleh bakteri intraseluler adalah kemampuannya

yang mampu bertahan hidup bahakan bereplikasi dalam sel fagosit. Oleh karena

itu dibutuhkan respon imunitas seluler untuk mengeleminasi mereka. efek

patologis yang ditimbulkan oleh bakteri intraseluler tergantung pada respon tubuh

terhadap bakteri ini. (Abul,2010)

10

Page 12: Laporan Tutorial 3 THT 2013

e. Imunitas non spesifik bakteri intraseluler

Respon pertahanan ini utamanya di mediasi oleh fagosit dan sel NK.

Pathogen intraseluler resisten terhadap enzim-enzim degradasi dari sel-sel fagosit.

Bakteri intraseluler akan mengaktifkan sel NK melalui ligand pengaktif NK pada

sel yang terinfeksi atau stimulasi dari sel dendritik dan produksi dari makrofag

yaitu IL-12. Sel NK akan memproduksi IFN-gamma yang akan mengaktivasi

makrofag (Abul,2010).

f. Imunitas Spesifik bakteri intraseluer

Mekanisme pertahanan yang dilakukan adalah melalui imunitas yang

dimediasi sel T. Terdapat dua tipe reaksi diantaranya adalah aktivasi makrofag

oleh ligand CD40 dari sinyal derivat T sel dan IFN-gamma,yang akan

mengfagosit bakteri dan lisis sel oleh sel limfosit T sitotoksik. Baik sel CD4+ dan

CD8+ merespon antigen yang muncul dari molekul MHC I dan II.CD4+ akan

berdifrensiasi menjadi sel T helper dibawah pengaruh IL-12 yang diproduksi oleh

makrofag dan sel dendritik. Sel T akan mengekspresikan ligand CD40 dan IFN-

gamma, dua stimulus ini mengaktivasi makrofag untuk mengeluarkan substansi-

substansi seperti lisozim, oksigen reaktif, nitrit oksida,dan lain-lain.

Bakteri yang telah difagosit kemudian menstimulasi sel T CD8+ jika

antigen dari bakteri berpindah dari fagosom menuju sitosol atau bakteri lepas dari

fagosom dan masuk kedalam sitosol dari sle yang terinfeksi. Bakteri tidak akan

dikenali oleh mekanisme mikrobisidal dari sel fagosit, maka untuk mengeradikasi

bakteri, sel yang terinfeksi akan dihancurkan oleh sel sitotoksik (Abul,2010).

B. Reaksi inflamasi

Inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk

menghilangkan penyebab awal jejas (luka) sel serta membuang sel dan jaringan

nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan asal (Kumar,2007). Apabila terjadi

kegagalan dalam penanganan antigen yang masuk, proses inflamasi kronis dapat

terjadi, dan menimbulkan penyakit inflamasi. Bila terjadi rangsangan yang

menyimpang dan menetap,inflamasi bahkan dapat ditingkatkan. Reaksi dapat

berlanjut yang menimbulkan kerusakan jaringan tubuh dan penyakit

(Karnen,2010).

11

Page 13: Laporan Tutorial 3 THT 2013

Secara umum, stimulus awal radang memicu pelepasan mediator kimiawi.

Mediator tersebut larut dan memperkuat reaksi inflamasi yang telah terjadi dan

mempengaruhi perubahannya dengan mengatur respon vaskuler dan seluler

berikutnya.Respon inflamasi berakhir ketika stimulus yang mebahayakan

menghilang dan mediator radang telah hilang,dikatabolisme, atau diinhibisi.

Proses yang terjadi ketika terjadi cedera jaringan akan muncul vasodilatasi dari

kapiler dan arteriol setempat sehingga terjadi peningkatan volume darah dan akan

tampak kemerahan (rubor) dan akan terasa panas di lokasi cedera (kalor).

Peningkatan volume darah yang mengalir juga menyebabkan peningkatan

permeabilitas vaskuler karena melalui pelebaran interendothelial junction pada

venula ataupun melalui jejas langsung pada sel endotel sehingga cairan merembes

kedalam jaringan sekitar dan timbul pembengkakan (edema jaringan)

(Kumar,2007). Pada abad kedua, Galen menambahkan pertanda inflamasi ke lima

berupa kehilangan fungsi alat yang terkena (Karnen,2010).

a. Inflamasi Akut

Inflamasi akut merupakan respon khas imunits non spesfik. Inflamasi akut

adalah respon cepat terhadap kerusakan sel berlangsung cepat dan dipacu oeh

termal serta infeksi (Karnen,2010). Proses ini memiliki dua komponen utama

yaitu perubahan dalam kaliber pembuluh darah yang mengakibatkan peningkatan

aliran darah (vasodilatasi) dan perubahan struktural yang memungkinkan protein

plasma untuk meningkatkan sirkulasi (peningkatan permeabilitas vaskuler), dan

emigrasi leukosit dari mikrosirkulasi dan akumulasinya di fokus jejas (rekrutmen

dan aktivasi seluler) (Kumar,2007).

Inflamasi akut berhubungan dengan produksi sitokin proinflamasi IL-1,IL-

6, dan IL-8. Sitokin merangsang hati untuk membentuk sejumlah protein yang

disebut protein fase akut (APP) yang terdiri dari a1-antitripsin, komplemen (C3

dan C4), CRP, fibrinogen dan haptoglobin. Molekul- molekul tersebut memiliki

fungsi antarra mencegah enzim (a1-antitripsin), opsonisasi, CRP mengikat C

polisakarida dari S. Dalam klinik, pengukuran APP diperlukan untuk menilai

derajat inflamasi dan respon terhadap terapi (Karnen,2010).

Akibat dari inflamasi akut bergantung dari sifat jejas yang mengenai

tubuh, akan terjadi resolusi atau penyembuhan apabila cedera bersifat terbatas

12

Page 14: Laporan Tutorial 3 THT 2013

atau berlangsung singkat, tidak terdapat kerusakan jaringan ataupun terdapat

kerusakan kecil, dan jika jaringan mampun mengganti setiap sel yang cedera

secara irreversibel, biasa terjadi perbaikan terhadap normalitas histologis dan

fungsional. Proses ini meliputi netralisasi atau pembuangan berbagai mediator

kimiawi, normalisasi permeabilitas vaskuler, dan penghentian emigrasi leukosit

diikuti kematian (lewat apoptosis) neutrofil yang mengalami ekstravasasi.

Akhirnya usaha gabungan antara drainase limfatik dan penelanan makrofag pada

debris nekrotik menyebabkan pembersihan cairan edema, sel radang, dan sisa sel

yang rusak.Apabila setelah destruksi jaringan yang substansial atau ketika terjadi

inflamasi, tidak terjadi regenerasi maka akan terjadi pembentukan jaringan parut

atau fibrosis. Selain itu, eksudat fibrosa meluas (akibat peningkatan permeabilitas

vaskuler) tidak bisa diabsorpsi sempurna dan terjadi organisasi dengan

pertumbuhan kedalam jaringan ikat yang menimbulkan fibrosis. Pembentukan

abses dapat terjadi pada keadaan meluasnya infiltrat neutrofil atau pada infeksi

jamur atau bakteri tertentu. Oleh karena meluasnya destruksi jaringan yang

mendasari (termasuk matriks ekstraseluler). Ketiga, terdapat kemungkinan kearah

inflamasi kronik, walaupun tanda inflamasi kronik dapat muncul pada awal

cedera. Inflamasi kronik dapat diikuti oleh regenerasi pada struktur dan funsi

normal atau bisa menimbulkan jaringan parut, bergantung pada luasnya jejas

jaringan awal, dan jejas yang terus berlangsung, serta kemampuan jaringan yang

terinfeksi untuk tumbuh kembali (Kumar,2007).

b. Inflamasi Kronis

Inflamasi kronis terjadi apabila antigen menetap atau proses inflamasi akut

gagal. Berlawanan dengan inflamasi akut, yang dibedakan dengan perubahan

vaskuler, edema, dan infiltrat neutrofilik yang sangat banyak, inflamasi ditandai

dengan infiltrasi sel mononuklear yang mencakup makrofag, limfosit, dan sel

plasma ; destruksi jaringan; perbaikan jaringan yang melibatkan proliferasi

pembuluh darah baru dan fibrosis (Kumar,2007).

Antigen yang menetap menimbulkan aktivasi dan akumulasi makrofag

yang terus menerus. Hal ini menimbulkan terbentuknya sel epiteloid (makrofag

yang sedikit diubah) dan granuloma. TNF diperlukan untuk pembentukan dan

mempertahankan granuloma. IFN-gamma dilepas sel T yang diaktifkan

13

Page 15: Laporan Tutorial 3 THT 2013

menimbulkan transformasi makrofag menjadi sel epiteloid dan sel multinuklear

(sel datia) yang merupakan fusi dari beberapa makrofag. Infeksi bakteri kronis

dapat memacu pembentukan granuloma berupa agregat fagosit mononuklear dan

sel plasma yang disebut DTH. Fagosit terdiri atas monosit yang baru dikeluarkan

dengan sedikit makrofag yang sudah ada dalam jaringan. Pembentukan

granuloma akan mengisolasi fokus inflamasi yang persisten, membatasi

penyebaran dan memungkinkan fagosit mononuklear mempresentasikan antigen

ke limfosit yang ada di permukaan (Karnen,2010).

5. DIAGNOSIS BANDING

A. Faringitis Bakterial

Faringitis merupakan peradangan yang dapat disebabkan oleh virus,

bakteri, alergi, trauma, toksin, dan lain-lain. Virus dan bakteri melakukan invasi

ke faring dan menimbulkan reaksi inflamasi lokal. Infeksi bakteri grup A

streptokokus beta hemolitikus dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat,

karena bakteri ini melepaskan toksin ekstraseluler yang dapat menimbulkan

demam reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonefritis akut karena

gangguan fungsi glomerulus akibat terbentuknya kompleks antigen-

antibodi.Bakteri ini banyak menyerang anak usia sekolah, orang dewasa, dan

jarang pada anak umur kurang dari 3 tahun.Infeksi grup A streptokokus beta

hemolitikus merupakan penyebab faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan

pada anak (30%) (Rusmarjono,2007).

Penularan terjadi melalui droplet.Kuman menginfiltrasi lapisan epitel,

kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid superfisial beraksi, terjadi

pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear

(Mansjoer,2001).

Gejala dan tanda yang ditimbulkan adalah nyeri kepala yang hebat, mual

muntah, kadang disertai demam dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan

terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak

petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfe leher anterior membesar,

kenyal, dan nyeri pada penekanan.

14

Page 16: Laporan Tutorial 3 THT 2013

Untuk terapi pengobatan pasien dapat diberikan terutama bila diduga

oenyebab faringitis akut ini grup A streptokokus beta hemolitikus adalah dengan

pemberian penisilin G banzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal, atau

amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama 10 hari dan dewasa 3 x

500 mg selama 6-10 hari atau eritromisin 4 x 500 mg/hari. Kemudian selain

antibiotik diberikan obat kortikosteroid seperti deksametason 8-16 mg, IM, 1 kali.

Pada anak 0,08-0,3 mg/kgBB, IM, 1 kali, dan analgesik untuk menghilangkan rasa

nyeri dan kumur air dengan air hangat atau antiseptik (Rusmarjono,2007).

B. Tonsilitis Bakterial

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari

cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang

terdapat di dalam rongga mulut yaitu : tonsil faringeal (ademoid), tonsil palatina,

tonsil lingua. Penyebab terbanyak tonsilitis adalah grup A streptokokus beta

hemolitikus, streptokokus viridans, streptokokus piogenik (Mansjoer,2001).

Kuman menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka

jaringan limfoid superfisial beraksi, terjadi pembendungan radang dengan

infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada lapisan epitel akan terbentuk detritus

akibat adanya peradangan berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear.Detritus ini

merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang terlepas. Secara

klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan tampak sebagai bercak kuning.

Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang jelas disebut tonsilitis

folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu, membentuk alur-alur

maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar

sehingga terbentuk semacam membran semu yang menutupi tonsil.

Manifestasi klinis yang dapat ditimbulkan diantaranya adalah suhu tubuh

naik sampai 400C, rasa gatal/kering di tenggorokan, lesu, nyeri sendi, odinofagia,

anoreksia, dan otalgia. Bila laring terkena suara menjadi serak. Pada pemeriksaan

tampak faring hiperemis, tonsil membengkak, hiperemis, terdapat detritus

(tonsilitis folikularis), kadang detritus berdekatan menjadi satu (tonsilitis

lakunaris), atau berupa membran semu. Kelenjar limfe submandibula

membengkak dan nyeri tekan, terutama pada anak-anak.

15

Page 17: Laporan Tutorial 3 THT 2013

Pemberian terapi berupa antibiotik sesuai dengan kulturnya atau dengan

menggunakan antibiotik spektrum lebar seperti penisilin. Pilihan lain adalah obat

antibiotik golongan sulfonamida. Pengobatan dilakukan selama 5 hari, bila

terdapat alergi penisilin, dapat diberikan eritromisin atau klindamisin. Selain itu

dapat diberikan antipiretik dan obat kumur dengan disinfektan (Mansjoer,2001).

C. Tonsilitis Kronik

Salah satu penyebab terjadinya tonsilitis kronik karena pengobatan

tonsilitis akut yang tidak adekuat. Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis

akut tetapi terkadang kuman berubah menjadi kuman golongan gram negatif.

Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa

juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan

limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan dan kripti

melebar. Secara klinik kripti diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga

menembus kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan di

sekitar fossa tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar

limfa submandibula.

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan tidak

rata,kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus, rasa ada yang

mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di tenggorok dan nafas berbau.

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah sekitarnya

berupa rinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara perkontinuitatum.

Komplikasi terjauh terjadi secara hematogen atau limfogen.

Terapi ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat isap.

Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala

sumbatan, serta kecurigaan neoplasma (Rusmarjono,2007).

6. STREPTOCOCCUS DAN ANTIBIOTIKNYA

Streptococcus adalah bakteri spheris Gram positif yang khasnya berpasangan

atau membentuk rantai selama pertumbuhannya. Beberapa kelompok

streptococcus adalah flora normal manusia. Streptococcus menghasilkan berbagai

enzim dan substansi ekstraseluler.

Streptococcus merupakan kelompok bakteri yang heterogen, dan tidak ada

sistem yang dapat mengklasifikasikannya. Dua puluh spesies, termasuk

16

Page 18: Laporan Tutorial 3 THT 2013

Streptococcus pyogenes (Grup A), Streptococcus agalactie (Grup B), dan

Enterococci (Grup D) memiliki ciri-ciri dengan kombinasi gambaran: sifat

pertumbuhan koloni, pola hemolisis pada agar darah (α hemolisis, β hemolisis,

atau tidak ada hemolisis), komposisi antigenik pada substansi dinding sel grup-

spesifik, dan reaksi biokimia. Tipe Streptococcus pneumoniae (pneumococcus)

diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan komposisi antigenik polisakarida

kapsuler (Quelung Tes).

Lebih dari 20 produk ekstraseluler antigen dihasilkan oleh Streptococcus

grup A, diantaranya adalah:

1.  Streptokinase (Fibrinolisisn)

Enzim ini dapat mengubah Plasminogen pada plasma menjadi plasmin, suatu

enzim proteolitik aktif yang mencerna fibrin dan protein lain.

2.  Streptodornase

Enzim yang digunakan oleh Streptococcus untuk depolimerasi DNA

3.  Hialuronidase

Untuk memecah asam hialuronidase, bahan dasar jaringan ikat

4.  Eksotoksin Pirogenik

Merupakan sebuah superantigen yang dapat menimbulkan sindrom syok toksik

Streptococcus dan demam scarlet

5.  Difosfopiridin Nukleotidase

Zat ini berkaitan dengan kemampuan organisme dalam membunuh leukosit

6.  Hemolisin

Streptococcus mampu melakukan hemolisis sel darah merah secara in vitro dalam

berbagai tingkatan dengan menggunakan hemolisin (Jawetz,2004).

Infeksi grup A Streptococcus β hemolitikus penyebab faringitis akut pada

dewasa (15%) dan anak (30%) Nyeri kepala hebat, muntah kadang demam tinggi,

jarang disertai batuk. Tonsil tampak membesar, faring dan tonsil hiperemis

terdapat eksudat. Kemudian timbul petechiae pada palatum dan dasar faring.

Kelenjar limfe leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan

(Rusmardjono & Soepardi, 2007). Antibiotik penicillin, amoksisilin, atau

eritromisin. Kortikosteroid dexamethason, analgetika, dan kumur dengan air

hangat atau antiseptic (Rusmardjono & Soepardi, 2007).

17

Page 19: Laporan Tutorial 3 THT 2013

BAB III

PEMBAHASAN

Secara fisiologis, adenoid akan membesar pada usia 3 tahun dan kemudian

akan mengecil dan hilang sendiri pada usia 14 tahun. Anak yang berusia 8 tahun

pada skenario, menjadi predisposisi kejadian hipertrofi adenoid (tonsilla

pharyngea). Pada mulanya anak tersebut sering mengalami infeksi saluran nafas

atas (ISPA) disebabkan oleh berbagai etiologi, seperti virus, bakteri, dan alergi.

Manifestasi klinis dari infeksi daerah tersebut (regio faring) dapat berupa badan

demam, nyeri menelan, benjolan di leher dan nyeri saat ditekan, serta perubahan

suara seperti suara serak.

Keluhan badan panas merupakan salah satu tanda adanya peradangan

(inflamasi). Demam disebabkan oleh adanya pirogen yang dihasilkan oleh kuman

(eksogen) atau akibat sekresi fagositik (endogen). Pirogen akan menyebabkan

sekresi prostaglandin di dalam hipotalamus sebagi pengatur suhu untuk

menaikkan termostat sehingga akan terjadi pengeluaran panas yang berlebihan.

Suhu yang lebih tinggi meningkatkan proses fagositosis dan kecepatan aktivitas

peradangan yang bergantung pada enzim (Sherwood, 2001).

Nyeri menelan (odinofagi) dapat terjadi pada ketidaknormalan setiap organ

dalam proses menelan dan oleh karena kelainan/peradangan di daerah nasofaring,

orofaring, dan laringofaring. Odinofagi pada pasien kemungkinan disebabkan oleh

peradangan akibat invasi kuman pada mukosa faring. Pembesaran kelenjar leher

pada penderita disebabkan oleh penjalaran infeksi secara limfogen ke nodi

lymphoidei regional yang terdekat. Di regio kepala leher terdapat beberapa nodi

lymphidei yang kemungkinan terbesar menyebabkan benjolan pada leher

penderita yaitu nodi lymphoidei cervicales profundi, nodi lymphoidei cervicales

superioris dan nodi lymphoidei submandibularis. Mengorok merupakan

mekanisme fisiologis yang ditimbbulkan oleh aliran turbuler dari udara ekspirasi

yang melewati kanal sempit. Kanal sempit tersebut bisa terbentuk karena adanya

pembesaran organ regio faring atau jatuhnya lingua ke arah dorsal saat posisi

tubuh tidur terlentang sehingga menutupi area orofaring.

18

Page 20: Laporan Tutorial 3 THT 2013

Pada pemeriksaan laryng didapatkan plica vocalis oedema dan hiperemis.

Hal ini menunjukkan adanya peradangan di laryng yang kemungkinan akibar

perluasan (infeksi sekunder) dari faring. Plica oedema menyebabkan penderita

mengalami suara serak. Plica vocalis pada anak sering/mudah terkena infeksi

disebabkan oleh celah rima glottidis lebih sempit, banyak vascularisasi dan aliran

limfe, dan mukosa lebih regang.

Adenoid tampak menonjol merupakan akibat dari hipertrofi adenoid yang

kemudian menutup OPTAE, selain itu inflamasi akibat penjalaran infeksi yang

ditandai oleh hiperemi adenoid. Mukosa faring hiperemis merupakan tanda

terjadinya penjalaran infeksi dan inflamasi yang meluas ke daerah pharynx.

Adanya detritus merupakan penanda dari sisa-sisa infeksi.

Hasil pemeriksaan ASTO didapatkan hasil positif. Pemeriksaan anti-

streptolisin titer O (ASTO) merupakan pemeriksaan untuk menentukan adanya

antibodi dari streptolisin O yang dihasilkan oleh strain Streptococcus. Streptolisin

O kebanyakan dihasilkan oleh Streptococcus beta hemiliticus grup A dan

beberapa oleh grup B dan G. Pemeriksaan ASTO dapat menentukan infeksi akut

karena dapat diditeksi 4-8 minggu setelah infeksi. streptococcus beta-hemoliticus

menghasilkan eksotoksin yaitu streptolisi yang terdiri atas dua macam

(streptolisin S dan O). Streptolisin S bersifat non-antigenik sedangkan streptolisin

O bersifat antigenik.

Penatalaksanaan pasien dalam kasus dapat berupa terapi kausatif,

simtomatik, dan suportif atau rehabilitatif. Terapi kausatif dapat berupa antibiotik

sesuai dengan bakteri penyebab dan tonsilektomi. Terapi simtomatik berupa

analgesik dan antipiretik, serta terapi suportif berupa obat kumur untuk menjaga

kebersihan oral.

.

19

Page 21: Laporan Tutorial 3 THT 2013

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Untuk memahami manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh suatu agen

penyakit seperti bakteri diperlukan pengetahuan mengenai patogenesis dari awal

kemungkinan agen penyakit itu memasuki tubuh hingga membuat tubuh menjadi

sakit agar kita sbagai dokter mampu untuk memilih terapi secara tepat dengan

melihat perjalanan penyakit itu sendiri dan lebih mudah untuk menginterfrensi

untuk mencegah perkembangan penyakit yang lebih lanjut. Kemudian sebagai

seorang dokter selain memberikan terapi, dokter harus memberikan edukasi

meskipun hal ini sederhana, namun hal ini sangat penting untuk pasien agar

mencegah penyakit itu kambuh dan penyakit itu tidak lebih mudah menjadi

penyakit kronis. Kemudian dalam kasus ini perlu pertimbangan memilih antibiotik

yang dipakai karena penggunaan antibiotik yang tidak sesuai akan menyebabkan

bakteri menjadi resisten dan lebih sulit untuk di eradikasi.

B. Saran

1. Mahasiswa harus lebih aktif belajar mengenai patogenesis dan

patofisiologi suatu penyakit

2. Mahasiswa perlu memahami kerja sistem imun dalam tubuh manusia

3. Mahasiswa harus lebih komprehensif dan integratif dalam melakukan

suatu pembelajaran

4. Mahasiswa harus belajar secara menyeluruh dan senantiasa update

mengenai pengetahuan yang bersangkutan dengan kesehatan

5. Dalam melakukan diskusi tutorial mahasiswa perlu lebih aktif dalam

menyampaiakan pendapat

6. Selain mempelajari patogenesis dan patofisiologi, Mahasiswa perlu

memahami anatomi dan fisiologi tubuh manusia

20

Page 22: Laporan Tutorial 3 THT 2013

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Abul K., Lichtman, Andrew H., Pillai,S. Celluler and Molecular

Immunology. China: Saunders Elsevier. 2010.

Adams, George L. 1997. Penyakit-Penyakit Nasofaring dan Orofaring dalam

Adams, George L. Boies, Lawrence R. Higler, Peter A. Boies: Buku Ajar

Penyakit THT Edisi 6. Jakarta: EGC.

Baratawidjaya, Karnen G., Rengganis,. Imunologi Dasar. Edisi 9. Jakarta: Balai

Penerbit FK UI. 2010.

Hermani, Bambang. Abdurrachman, Hartono. Cahyono, Arie. 2007. Kelainan

Laring dalam Soepardi, Efiaty A. Iskandar, Nurbaity. Buku Ajar Ilmu

Kesehatan  Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Keenam.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Kumar, V., Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley I., Buku Ajar Patologi. Edisi 7.

Vol 1. Jakarta: EGC. 2007.

Mansjoer, A.,dkk. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 Vol. 1. Jakarta : Media

Aesculapius.2001.

Murphy, K., Travers, P.,Walport, M. Janeway’s Immunobiology. Edisi 7th.

America: T&F Informa. 2008.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2597750/?tool=pmcentrez

http://books.google.co.id/books?id=xdRd2 -

FuYWAC&pg=PA23&lpg=PA23&dq=fisiologi+bersuara&source=bl&ots

=iySM67QNcb&sig=_0PcHFI3d_VxVVWnGM92ipaqMqg&hl=id&sa=X

&ei=LrVeUIbRApHorQfo4YHIDw&ved=0CCsQ6AEwAA#v=onepage&

q=fisiologi%20bersuara&f=false

http://books.google.co.id/books?id=xdRd2 -

FuYWAC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false

21