49
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Geriatri merupakan lanjut usia (lebih dari 60 tahun) dengan penyakit kronik. Dalam penanganan masalah pada geriatri dibutuhkan suatu penatalaksanaan yang holistik, dimana karakteristik penyakit pada pasien geriatri multifaktorial dan gejala penyakit tersebut tidak khas. Berikut kasus dalam skenario 2 blok Geriatri: Eyang Karto, usia 75 tahun, dibawa ke dokter oleh putrinya, karena ngompol sejak 3 bulan, dan diikuti ngobrok selama 2 minggu. Sering marah – marah, dan tidak bisa tidur, sehingga sering minum obat tidur. Sejak istri penderita wafat, dia tinggal dengan putrinya. Dalam melakukan aktifitas sehari– hari harus dibantu. Dua tahun yang lalu, penderita dirawat akibat stroke. Pemeriksaan neurologi ekstremitas superior dan inferior sinistra kekuatannya menurun (3+/3+). Hasil rectal toucher dan USG didapatkan prostat tidak membesar. Dokter melakukan pemeriksaan indeks barthel. Penderita juga dilakukan pemeriksaan psikiatri. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah fisiologi dari proses miksi dan defekasi? 1

laporan skenario 2 geriatri

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: laporan skenario 2 geriatri

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Geriatri merupakan lanjut usia (lebih dari 60 tahun) dengan penyakit

kronik. Dalam penanganan masalah pada geriatri dibutuhkan suatu

penatalaksanaan yang holistik, dimana karakteristik penyakit pada pasien

geriatri multifaktorial dan gejala penyakit tersebut tidak khas.

Berikut kasus dalam skenario 2 blok Geriatri:

Eyang Karto, usia 75 tahun, dibawa ke dokter oleh putrinya, karena

ngompol sejak 3 bulan, dan diikuti ngobrok selama 2 minggu. Sering marah –

marah, dan tidak bisa tidur, sehingga sering minum obat tidur. Sejak istri

penderita wafat, dia tinggal dengan putrinya. Dalam melakukan aktifitas

sehari– hari harus dibantu.

Dua tahun yang lalu, penderita dirawat akibat stroke. Pemeriksaan

neurologi ekstremitas superior dan inferior sinistra kekuatannya menurun

(3+/3+). Hasil rectal toucher dan USG didapatkan prostat tidak membesar.

Dokter melakukan pemeriksaan indeks barthel. Penderita juga dilakukan

pemeriksaan psikiatri.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah fisiologi dari proses miksi dan defekasi?

2. Bagaimanakah patofisiologi dari gejala yang dialami oleh pasien?

3. Bagaimanakah fisiologi tidur dan patofisiologi dari gangguan tidur?

4. Bagaimanakah pendekatan psikogeriatri dalam kasus ini?

5. Apakah hubungan dari stroke yang pernah diderita dengan gejala saat

ini?

6. Bagaimanakah hubungan dari konsumsi obat tidur dengan kejadian

saat ini?

7. Bagaimanakah pemeriksaan Indeks Barthel dan bagaimana

interpretasinya untuk kasus ini?

1

Page 2: laporan skenario 2 geriatri

8. Apakah hubungan factor usia dengan gejala yang dialami?

9. Apakah makna klinis tidak didapatkannya pembesaran prostat?

10. Bagaimana prosedur pemeriksaan neurologis dan bagaimana

interpretasi hasil pemeriksaan pada pasien?

11. Bagaimanakah penatalaksanaan pasien dalam kasus ini?

C. Tujuan

Mahasiswa diharapkan mampu:

1. Menjelaskan fisiologi dari proses miksi dan defekasi.

2. Menjelaskan patofisiologi dari gejala yang dialami oleh pasien.

3. Menjelaskan fisiologi tidur dan patofisiologi dari gangguan tidur.

4. Menjelaskan pendekatan psikogeriatri dalam kasus ini.

5. Menjelaskan hubungan dari stroke yang pernah diderita dengan gejala

saat ini.

6. Menjelaskan hubungan dari konsumsi obat tidur dengan kejadian saat

ini.

7. Menjelaskan pemeriksaan Indeks Barthel dan bagaimana

interpretasinya untuk kasus ini.

8. Menjelaskan hubungan faktor usia dengan gejala yang dialami.

9. Menjelaskan makna klinis tidak didapatkannya pembesaran prostat.

10. Menjelaskan prosedur pemeriksaan neurologis dan bagaimana

interpretasi hasil pemeriksaan pada pasien

11. Menjelaskan penatalaksanaan pasien dalam kasus ini.

D. Manfaat

Mahasiswa memahami :

1. Fisiologi dari proses miksi dan defekasi.

2. Patofisiologi dari gejala yang dialami oleh pasien.

3. Fisiologi tidur dan patofisiologi dari gangguan tidur.

4. Pendekatan psikogeriatri dalam kasus ini.

5. Hubungan dari konsumsi obat tidur dengan kejadian saat ini.

2

Page 3: laporan skenario 2 geriatri

6. Pemeriksaan Indeks Barthel dan bagaimana interpretasinya untuk

kasus ini.

7. Hubungan faktor usia dengan gejala yang dialami.

8. Makna klinis tidak didapatkannya pembesaran prostat.

9. Prosedur pemeriksaan neurologis dan bagaimana interpretasi hasil

pemeriksaan pada pasien

10. Penatalaksanaan pasien dalam kasus ini.

3

Page 4: laporan skenario 2 geriatri

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Stroke

1. Definisi Stroke

Definisi stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah tanda-

tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau

global), dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih, dapat

menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain selain vaskuler.

2. Klasifikasi

Stroke diklasifikasikan sebagai berikut (Goetz, 2007):

a. Berdasarkan kelainan patologis

1) Stroke hemoragik

a) Perdarahan intra serebral

b) Perdarahan ekstra serebral (subarakhnoid)

2) Stroke non-hemoragik (stroke iskemik, infark otak, penyumbatan)

a) Stroke akibat trombosis serebri

b) Emboli serebri

c) Hipoperfusi sistemik

b. Berdasarkan waktu terjadinya

1) Transient Ischemic Attack (TIA)

2) Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)

3) Stroke In Evolution (SIE) / Progressing Stroke

4) Completed stroke

c. Berdasarkan lokasi lesi vaskuler

1) Sistem karotis

a. Motorik : hemiparese kontralateral, disartria

b. Sensorik : hemihipestesi kontralateral, parestesia

c. Gangguan visual : hemianopsia homonim kontralateral,

amaurosis fugaks

d. Gangguan fungsi luhur : afasia, agnosia

4

Page 5: laporan skenario 2 geriatri

2) Sistem vertebrobasiler

a. Motorik : hemiparese alternans, disartria

b. Sensorik : hemihipestesi alternans, parestesia

c. Gangguan lain : gangguan keseimbangan, vertigo, diplopia

3. Faktor Risiko Stroke

Secara garis besar faktor risiko stroke dibagi atas faktor risiko yang dapat

dimodifikasi (modifiable) dan yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable).

Faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah hipertensi,

penyakit jantung (fibrilasi atrium), diabetes melitus, merokok, konsumsi alkohol,

hiperlipidemia, kurang aktifitas, dan stenosis arteri karotis. Sedangkan faktor

risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin, ras/suku, dan

faktor genetic. Diabetes mellitus juga merupakan faktor yang signifikan dan

terjadi pada 10% pasien stroke. Keadaan ini dihubungkan dengan terjadinya

atherosklerosis intrakranial. (Goetz, 2007; Ropper dan Brown, 2005)

B. Inkontinensia Urin

1. Fisiologi dan patofisiologi diuresis

Proses berkemih berlangsung dibawah control dan koordinasi sistem saraf

pusat (SSP) dan sistem saraf tepi di daerah sakrum. Sensasi pertama ingin

berkemih timbul saat volume kandung kemih atau vesica urinaria (VU) mencapai

antara 150-350 ml. Kapasitas VU normal bervariasi sekitar 300-600 ml (Pranarka,

2000). Bila proses berkemih terjadi, otot-otot detrusor VU berkontraksi, diikuti

relaksasi dari sfingter dan uretra. Tekanan dari otot detrusor meningkat melebihi

tahanan dari muara uretra dan urin akan memancar keluar (Van der Cammen dkk,

Reuben dkk dalam Pranarka, 2000). Sfingter uretra eksternal dan otot dasar

panggul berada di bawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudendal,

sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di

bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak

(Setiati dan Pramantara, 2007).

                Proses berkemih diatur oleh pusat refleks kemih di daerah sakrum. Jaras

aferen lewat persarafan somatik dan otonom membawa informasi tentang isi VU

5

Page 6: laporan skenario 2 geriatri

ke medulla spinalis sesuai pengisian VU (Pranarka, 2000). Ketika VU mulai terisi

urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medulla spinalis ke pusat

saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan

cerebellum) menyebabkan VU relaksasi sehingga dapat mengisi tanpa

menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian

VU berlanjut, rasa penggembungan VU disadari, dan pusat kortikal (pada lobus

frontalis) bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal

dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan

menunda pengeluaran urin (Setiati dan Pramantara, 2007).

                Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang dari korteks disalurkan

melalui medulla spinalis dan saraf pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari

saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi. Kontraksi otot

detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik, namun juga

mengandung reseptor prostaglandin. Karena itu, prostaglandin-inhibiting drugs

dapat mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi VU juga calcium-channel

dependent, karena itu calcium-channel blockers dapat mengganggu kontraksi VU.

Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan

kontraktilitas otot (Setiati dan Pramantara, 2007).

                Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi.

Karena itu, pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin) dapat

memperkuat kontraksi sfingter, sedangkan zat alpha-blocking dapat mengganggu

penutupan sfingter. Inervasi adrenergik-beta merelaksasi sfingter uretra. Karena

itu zat beta-adrenergic blocking (propanolol) dapat mengganggu dengan

menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktifitas kontraktil adrenergic-

alpha (Setiati dan Pramantara, 2007).

                Mekanisme sfingter berkemih memerlukan angulasi yang tepat antara

uretra dan VU. Fungsi sfingter uretra normal juga tergantung pada posisi yang

tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara

efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra di posisi yang tepat, urin tidak akan

pada saat terdapat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen

(Setiati dan Pramantara, 2007).

6

Page 7: laporan skenario 2 geriatri

                Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh berbagai refleks pada

pusat berkemih. Pada fase pengisian, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom

simpatis yang mengakibatkan penutupan leher VU, relaksasi dinding VU, serta

penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada

otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik

menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot

detrusor dan pembukaan leher VU. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem

saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Peranan

korteks serebri adalah menghambat, sedangkan batak otak dan supra spinal

memfalisitasi (Setiati dan Pramantara, 2007).

2. Proses menua dan inkontinensia urin

Usia lanjut bukan sebagai penyebab inkontinensia urin, namun prevalensi

inkontinensia urin meningkat seiring dengan peningkatan usia karena semakin

banyak munculnya faktor risiko (Setiati dan Pramantara, 2007). Faktor-faktor

risiko yang mendukung terjadinya inkontinensia terkait dengan pertambahan usia

adalah (Pranarka, 2000):

Mobilitas sistem yang lebih terbatas karena menurunnya pancaindera,

kemunduran sistem lokomosi.

Kondisi-kondisi medik yang patologik dan berhubungan dengan

pengaturan urin misalnya diabetes mellitus, gagal jantung kongestif.

3. Etiologi inkontinensia urin

Penyebab inkontinensia urin dibedakan menjadi (Pranarka, 2000):

a. Kelainan urologik; misalnya radang, batu, tumor, divertikel.

b. Kelainan neurologik; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis,

demensia dan lain-lain.

c. Lain-lain; misalnya hambatan motilitas, situasi tempat berkemih yang

tidak memadai/jauh, dan sebagainya.

Menurut onsetnya, inkontinensia dibagi menjadi (Kane, Reuben dalam

Pranarka, 2000):

a. Inkontinensia akut, biasanya reversibel, terkait dengan sakit yang

sedang diderita atau masalah obat-obatan yang digunakan (iatrogenik).

7

Page 8: laporan skenario 2 geriatri

Inkontinensia akan membaik bila penyakit akut yang diderita sembuh

atau jika obat-obatan dihentikan.

Penyebab inkontinensia akut disingkat dengan akronim DRIP,

yang merupakan kependekan dari (Kane dkk. dalam Pranarka, 2000):

D   : Delirium

R    : Retriksi, mobilitas, retensi

I     : Infeksi, inflamasi, impaksi feses

P    : Pharmacy (obat-obatan), poliuri

Golongan obat yang menjadi penyebab inkontinensia urin akut

termasuk diantaranya adalah obat-obatan hipnotik-sedatif, diuretik, anti-

kolinergik, agonis dan antagonis alfa-adrenergik, dan calcium channel

blockers. Inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki sering berkaitan

dengan retensi urin akibat hipertrofi prostat. Skibala dapat mengakibatkan

obstruksi mekanik pada bagian distal VU, yang selanjutnya menstimulasi

kontraksi otot detrusor involunter (Setiati dan Pramantara, 2007).

b. Inkontinensia persisten/kronik/menetap, tidak terkait penyakit akut

atau obat-obatan. Inkontinensia ini berlangsung lama.

Inkontinensia persisten dibagi menjadi beberapa tipe, masing-

masing dapat terjadi pada satu penderita secara bersamaan. Inkontinensia

persisten dibagi menjadi 4 tipe, yaitu (Pranarka, 2000):

1) Tipe stress

Keluarnya urin diluar pengaturan berkemih, biasanya dalam jumlah

sedikit, akibat peningkatan tekanan intra-abdominal. Hal ini terjadi karena

terdapat kelemahan jaringan sekitar muara VU dan uretra. Sering pada

wanita, jarang pada pria karena predisposisi hilangnya pengaruh estrogen

dan sering melahirkan disertai tindakan pembedahan.

2) Tipe urgensi

Pengeluaran urin diluar pengaturan berkemih yang normal,

biasanya jumlah banyak, tidak mampu menunda berkemih begitu sensasi

penuhnya VU diterima oleh pusat berkemih. Terdapat gangguan

pengaturan rangsang dan instabilitas dari otot detrusor VU. Inkontinensia

8

Page 9: laporan skenario 2 geriatri

tipe ini didapatkan pada gangguan SSP misalnya stroke, demensia,

sindrom Parkinson, dan kerusakan medulla spinalis.

3) Tipe luapan (overflow)

Ditandai dengan kebocoran/keluarnya urin, biasanya jumlah

sedikit, karena desakan mekanik akibat VU yang sudah sangat teregang.

Penyebab umum inkontinensia tipe ini antara lain:

- Sumbatan akibat hipertrofi prostat, atau adanya cystocele dan

penyempitan jalan keluar urin.

- Gangguan kontraksi VU akibat gangguan persarafan misalnya pada

diabetes mellitus.

4) Tipe fungsional

Keluarnya urin secara dini, akibat ketidakmampuan mencapai

tempat berkemih karena gangguan fisik atau kognitif maupun bermacam

hambatan situasi/lingkungan yang lain, sebelum siap untuk berkemih.

Faktor psikologik seperti marah, depresi juga dapat menyebabkan

inkontinensia tipe ini.

4. Terapi

Pengelolaan inkontinensia pada penderita lanjut usia, secara garis besar

dapat dikerjakan sebagai berikut:

    a.       Program rehabilitasi antara lain

-       Melatih respons VU agar baik lagi

-       Melatih perilaku berkemih

-       Latihan otot-otot dasar panggul

-       Modifikasi tempat untuk berkemih (urinal, komodo)

b. Obat-obatan

Terapi dengan menggunakan obat-obatan diberikan apabila masalah

akut sebagai pemicu timbulnya inkontinensia urin telah diatasi dan

berbagai upaya bersifat nonfarmakologis telah dilakukan tetapi tetap

tidak berhasil mengatasi inkontinensia tersebut. Pemberian obat

disesuaikan dengan tipe inkontinensia urinnya.

c. Pembedahan

9

Page 10: laporan skenario 2 geriatri

Pembedahan merupakan pilihan terakhir untuk inkontinensia yang

tidak berhasil diatasi dengan perilaku, obat-obatan, ataupun dengan

alat bantu. Dapat juga merupakan pilihan penderita sendiri, walaupun

hampir semua penderita tidak menyukai tindakan pembedahan.

Beberapa tindakan pembedahan seperti spincterectomi, operasi prostat

atau operasi pada prolaps rahim

d. Kateterisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap

(indwelling)

e. Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk

kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan

penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia.

C. Inkontinensia Alvi

1. Fisiologi defekasi

Defekasi seperti pada berkemih merupakan proses fisiologis yang

menyertakan kerja otot, persarafan sentral dan perifer, serta koordinasi sistem

refleks. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik colon yang membawa feses yang

sudah terbentuk ke rectum untuk dikeluarkan. Feses yang masuk dan

meregangkan ampulla recti akan merangsang sistem saraf otonom sehingga terjadi

kontraksi rectum dan relaksasi musculus sphingter ani interna. Untuk menghindari

pengeluaran feses secara spontan, terjadi kontraksi musculus sphingter ani externa

dan otot dasar pelvis secara volunteer yang diinnervasi nervus pudendus. Korteks

cerebri menerima rangsang keinginan untuk BAB dan musculus sphingter ani

externa diperintahkan untuk relaksasi sehingga rectum dapat mengeluarkan feses

melalui anus dengan dibantu kontraksi otot dinding abdomen (Sudoyo et al.,

2009).

2. Inkontinensia alvi

Inkontinensia alvi adalah ketidakmampuan untuk mengontrol BAB

sehingga feses secara tidak sengaja keluar dari rectum. Inkontinensia alvi

menjadi peristiwa yang tidak menyenangkan berkaitan dengan usia lanjut

dan lebih jarang ditemukan dibandingkan inkontinensia urin. Bentuk klinis

10

Page 11: laporan skenario 2 geriatri

dari inkontinensia alvi tampak dalam 2 keadaan yaitu feses cair atau belum

terbentuk dan feses yang sudah terbentuk keluar. Menurut Sudoyo et al.

(2009), penyebab inkontinensia alvi yaitu:

a. Konstipasi

Konstipasi sering dijumpai pada usia lanjut dan menjadi penyebab

utama inkontinensia alvi. Konstipasi yang lama menyebabkan sumbatan

dari feses yang mengeras (skibala) pada lumen anus. Hal ini menyebabkan

perubahan sudut anorektal. Kemampuan sensor menurun dan tidak bias

membedakan antara flatus, cairan, atau feses sehingga feses cair merembes

keluar. Selain itu, skibala mengakibatkan iritasi pada mukosa rectum

sehingga mukus diproduksi yang selanjutnya dapat keluar dari anus.

Penyebab konstipasi dapat diketahui dengan meraba skibala melalui

pemeriksaan rectal toucher (colok dubur).

b. Simtomatik

Inkontinensia alvi simtomatik merupakan manifestasi klinis kelainan

patologis yang menyebabkan diare. Penyebab diare yang mengakibatkan

inkontinensia alvi antara lain gastroenteritis, diverticulitis, kolitis, dan

karsinoma kolon-rektum.

c. Neurogenik

Inkontinensia alvi neurogenik terjadi akibat gangguan pada fungsi

menghambat dari korteks cerebri saat distensi pada rectum. Penyakit

serebrovaskuler, infark cerebri, dan demensia dapat menjadi kausa.

Gambaran klinis yang didapatkan yaitu penemuan feses yang sudah

terbentuk di tempat tidur, dan biasanya setelah minum panas atau makan.

Komplikasi inkontinensia alvi yang dapat terjadi antara lain:

a. Terjadi distress emosional

Perasaan malu, marah, dan depresi dapat terjadi pada lansia sehingga

dapat menyebabkan gangguan fungsi sosial seperti isolasi diri.

b. Iritasi kulit

Kontak berulang dari skibala pada anus dapat menyebabkan iritasi

pada kulit sekitar anus yang dapat menjadi ulkus.

11

Page 12: laporan skenario 2 geriatri

3. Terapi

Terapi inkontinensia alvi dilakukan sesuai tipe inkontinensia alvinya

a. Inkontinensia alvi akibat konstipasi

Dilakukan pemberian diet tinggi serat, cairan yang cukup, dan

meningkatkan mobilitas. Berbagai kelainan juga perlu dicari.Efek samping

obat yang membuat konstipasi juga perlu dikoreksi bila diberikan dengan

tidak tepat. Terakhir dapat diberikan obat pencahar yang akan menambah

volume feses, melunakkan dan melicinkan permukaan feses sehingga

mudah dikeluarkan.

b. Inkontinensia alvi simtomatik

Pengelolaannya dengan menemukan kelainan penyebabnya, bila tidak

bisa diobati dengan cara tersebut, diberi obat yang menyebabkan

konstipasi.

c. Inkontinensia alvi neurogenik

Dilakukan pengeluaran feses dengan cara penderita didudukan di

komodo, ditutup kain sampai sebatas lutut, diberi minuman hangat, dan

ditunggu sampai fesesnya keluar. Bila tidak berhasil, diberikan obat-obat

konstipasi, diikuti evaluasi dengan suposituria satu atau dua kali seminggu.

d. Inkontinensia alvi akibat hilangnya refleks anal

Pengelolaan diserahkan pada ahli proktologi.

D. Fisiologi Tidur

Berdasarkan prosesnya, terdapat dua jenis tidur. Pertama, jenis tidur

yang disebabkan menurunnya kegiatan di dalam sistem pengaktivasi

retikularis atau disebut dengan tidur gelombang lambat karena gelombang

otaknya sangat lambat atau disebut tidur non rapid eye movement

(NREM). Kedua, jenis tidur yang disebabkan oleh penyaluran isyarat-

isyarat abnormal dari dalam otak meskipun kegiatan otak mungkin tidak

tertekan secara disebut dengan jenis tidur paradoks atau tidur rapid eye

movement (REM).

a. Tidur gelombang lambat / non rapid eye movement (NREM)

12

Page 13: laporan skenario 2 geriatri

Jenis tidur ini dikenal dengan tidur yang dalam. Istirahat penuh,

dengan gelombang otak yang lebih lambat, tidur nyenyak. Ciri-ciri

tidur nyenyak adalah menyegarkan, tanpa mimpi atau tidur dengan

gelombang delta. Ciri lainnya berada dalam keadaan istirahat penuh,

tekanan darah menurun, frekuensi napas menurun, pergerakan bola

mata melambat, mimpi berkurang, metabolisme turun.

Tahapan tidur jenis NREM

1) Stadium 0 adalah periode dalam keadaan masih bangun tetapi

mata menutup. Fase ini ditandai dengan gelombang voltase

rendah, cepat, 8-12 siklus per detik. Tonus otot meningkat.

Aktivitas alfa menurun dengan meningkatnya rasa kantuk. Pada

fase mengantuk terdapat gelombang alfa campuran.

2) Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium

NREM. Stadium 1 NREM adalah perpindahan dari bangun ke

tidur. Ia menduduki sekitar 5% dari total waktu tidur. Pada fase ini

terjadi penurunan aktivitas gelombang alfa (gelombang alfa

menurun kurang dari 50%), amplitudo rendah, sinyal campuran,

predominan beta dan teta, tegangan rendah, frekuensi 4-7 siklus

per detik. Aktivitas bola mata melambat, tonus otot menurun,

berlangsung sekitar 3-5 menit. Pada stadium ini seseorang mudah

dibangunkan dan bila terbangun merasa seperti setengah tidur.

3) Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu

didominasi oleh aktivitas teta, voltase rendah-sedang, kumparan

tidur dan kompleks K. Kumparan tidur adalah gelombang ritmik

pendek dengan frekuensi 12-14 siklus per detik. Kompleks K yaitu

gelombang tajam, negatif, voltase tinggi, diikuti oleh gelombang

lebih lambat, frekuensi 2-3 siklus per menit, aktivitas positif,

dengan durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi dan tekanan

darah cenderung menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur

dangkal. Stadium ini menduduki sekitar 50% total tidur.

13

Page 14: laporan skenario 2 geriatri

4) Stadium 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 1-

2 siklus per detik, amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta.

Tonus otot meningkat tetapi tidak ada gerakan bola mata.

5) Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3

dan 4 sulit dibedakan. Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3.

Rekaman EEG berupa delta. Stadium 3 dan 4 disebut juga tidur

gelombang lambat atau tidur dalam. Stadium ini menghabiskan

sekitar 10%-20% waktu tidur total. Tidur ini terjadi antara

sepertiga awal malam dengan setengah malam. Durasi tidur ini

meningkat bila seseorang mengalami deprivasi tidur. Tidur REM

ditandai dengan rekaman EEG yang hampir sama dengan tidur

stadium 1. Pada stadium ini terdapat letupan periodik gerakan bola

mata cepat. Refleks tendon melemah

b. Tidur paradoks / rapid eye movement (REM)

Tidur jenis ini dapat bcrlangsung pada tidur malam yang terjadi

selama 5 - 20 menit, rata-rata timbul 90 menit. Periode pertama terjadi 80-

100 menit, akan tetapi apabila kondisi orang sangat lelah maka awal tidur

sangat cepat bahkan jemis tidur ini tidak ada.

Ciri tidur REM adalah sebagai berikut:

1. Biasanya disertai dengan mimpi aktif.

2. Lebih sulit dibangunkan daripada selama tidur nyenyak.

3. Tonus otot selama tidur nyenyak sangat tertekan, menunjukkan inhibisi

kuat proyeksi spinal atas sistcm pengaktivasi retikularis.

4. Frekuensi jantung dan pernapasan menjadi tidak teratur.

5. Pada otot perifer terjadi beberapa gerakan otot yang tidak teratur.

6. Mata cepat tertutup dan terbuka, nadi cepat dan tidak teratur, tekanan

darah meningkat atau berfluktuasi, sekresi gaster meningkat.

Tidur ini penting untuk keseimbangan mental, emosi, juga berperan dalam

belajar, memori, dan adaptasi.

E. Gangguan Tidur Pada Usia Lanjut

14

Page 15: laporan skenario 2 geriatri

Akibat penting dari penelitian dinamik untuk tidur adalah deskripsi yang

lebih sistematik dari gangguan tidur. Klasifikasi oleh Association of Sleep

Disorder Centers pada tahun 1999 dianggap komprehensif dan bermanfaat secara

praktis. Gangguan tidur yang berat pada usia lanjut dibagi menjadi :

1. Gangguan memulai dan mempertahankan tidur (disorders of

initiating and maintaining sleep = DIMS)

2. Gangguan mengantuk berlebihan (disorders of excessive

somnolence = DOES)

3. Gangguan siklus tidur – jaga (disorders of the sleep – wake

cycle)

4. Perilaku tidur abnormal (abnormal sleep behaviour,

parasomnias)

Gangguan memulai dan mempertahankan tidur atau insomnia berkaitan

dengan gangguan klinik sebagai berikut :

1. Apnea tidur, terutama apnea tidur sentral

2. Mioklonus yang berhubungan dengan tidur berjalan,

gerakan mendadak pada tingkat yang berulang, stereotipik, unilateral atau

bilateral, keluhan berupa “tungkai gelisah” (restless leg), tungkai kaku

waktu malam, neuropatia atau miopatia dan defisiensi asam folat dan besi.

3. Berbagai konflik emosional dan stress merupakan penyebab

psikofisiologik dari insomnia.

4. Gangguan psikiatrik berat terutama depresi seringkali

menimbulkan bangun terlalu pagi dan dapat bermanifestasi sebagai

insomnia dan hipersomnia. Depresi endogen berkaitan dengan onset dini

dari tidur REM dan dapat diperbaiki secara dramatis dengan obat

antidepresan.

5. Keluhan penyakit-penyakit organik, misalnya nyeri karena

arthritis, penyakit keganasan, nocturia, penyakit hati atau ginjal dan sesak

napas dapat mengakibatkan bangun berulang pada tidur malam.

6. Sindrom otak organik yang kronik seringkali menimbulkan

insomnia. Penyakit Parkinson terganggu tidurnya 2-3 jam. Pasien

15

Page 16: laporan skenario 2 geriatri

Alzheimer sering terbangun tengah malam dan dapat menimbulkan

eksitasi paradoksikal.

7. Zat seperti alkhohol dan obat kortikosteroid, teofilin dan

beta-blockers dapat menginterupsi tidur. Pengobatan dengan stimulansia

dan gejala lepas zat hipnotika dan sedativa perlu diperhatikan untuk

gangguan tidur.

Gangguan mengantuk berlebihan ditandai dengan mengantuk patologis

yang diselingi dengan kegiatan selama jaga. Beratnya mengantuk, onsetnya yang

tidak sesuai dengan waktu dan gangguan pada kegiatan merupakan penilaian

klinik yang penting. Apnea obstruktif dan mioklonus pada waktu malam dapat

menimbulkan hipersomnolensia. Efek obat, terutama efek sisa obat hipnotika

merupakan penyebab yang sering untuk hipersomnolensia. Obat-obat lain yang

mengakibatkan tidur berlebihan adalah anthistamin, obat psikotropika, metildopa

dan antidepresan jenis trisikliik. Demikian pula kondisi-kondisi seperti post-

infeksi, keletihan dan sindrom otak kronik.

Gangguan siklus tidur – jaga memendek dengan makin bertambahnya usia.

Bangun lebih pagi dan cepat mengantuk pada malam hari merupakan hal yang

wajar bagi usia lanjut. Pasien depresi mengeluh tidurnya kurang pulas dan mudah

sekali terbangun oleh adanya perubahan suhu pada dini hari, sinar dan suara-suara

hewan di pagi hari. Tidur REM lebih cepat datangnya sehingga biasanya

mengalami mimpi-mimpi yang tidak menyenangkan. Berbeda dengan pasien

depresi, pasien dengan anxietas lebih lama masuk tidur, sukar bangun pagi dan

mimpi-mimpi menakutkan.

Parasomnia merupakan perilaku tidur abnormal yang kadang-kadang

terjadi pada usia lanjut yaitu kebingungan pada malam hari (nactural confusion),

jalan sambil tidur, gangguan kejang, dekompensasi penyakit kardiovaskuler,

mengompol dan reflux gastro-esophagus.

16

Page 17: laporan skenario 2 geriatri

F. Psikogeriatri

1. Pengertian:

Psikogeriatri merupakan suatu pendekatan integrative adaptasi di

kemudian hari. Dengan demikian , masalah dan perkembangan kehidupan

selanjutnya harus dilihat dari bio-psiko-perspektif sosial-ekonomi, spiritual,

lingkungan, psikologis, dan faktor biologis. Gejala penyakit psikogeriatri harus di

pahami dengan mempertimbangkan gejala tertentu, kepribadian individu, sosial

dan lingkungan budaya, dan reaksi psikologis individu peristiwa kehidupan

tertentu.

2. Ciri-ciri pasien Geriatri dan Psikogeriatri, yaitu:

a. Keterbatasan fungsi tubuh, dengan makin meningkatnya usia.

b. Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degenerative.

c. Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila :

1) Ketergantungan pada orang lain

2) Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan

d. Hal yang menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis)

sehingga membawa lansia kearah  kerusakan  / kemerosotan

(deteriorisasi) yang progresif terutama aspek psikologis yang

mendadak. Misal : panik, bingung, apatis dan depresif biasanya berasal

dari stressor psikososial yang berat : kematian pasangan hidup dan

keluarga, berurusan dengan hukum dan trauma psikis.

3. Masalah di Bidang Psikogeriatri

a. Kesepian (loneliness)

Biasanya dialami oleh seseorang lanjut usia pada saat

meninggalnya pasangan hidup atau teman dekat, terutama bila dirinya

sendiri saat itu juga mengalami berbagai penurunan status kesehatan,

misalnya menderita berbagai penyakit fisik berat, gangguan mobilitas atau

gangguan sensorik, terutama gangguan pendengaran. Pada penderita

kesepian ini peran dari organisasi sosial sangat berarti, karena bisa

bertindak menghibur, memberikan motivasi untuk lebih meningkatkan

peran sosial penderita, di samping memberikan bantuan pengerjaan

17

Page 18: laporan skenario 2 geriatri

pekerjaan di rumah bila menang terdapat disabilitas penderita dalam hal-

hal tersebut.

b. Duka cita (bereavement)

Periode duka cita merupakan suatu periode yang sangat rawan bagi

seseorang penderita lanjut usia. Meninggalnya pasangan hidup, seorang

teman dekat bisa mendadak memutuskan ketahanan kejiwaan yang sudah

rapuh dari seorang lansia, yang akan memicu gangguan fisik dan

kesehatannya. Periode 2 tahun pertama setelah ditinggal mati pasangan

hidup merupakan periode yang rawan. Periode ini orang tersebut justru

harus dibiarkan untuk dapat mengekspresikan duka citanya tersebut.

Sering diawali dengan perasaan kosong, kemudian diikuti dengan ingin

menangis dan kemudian suatu episode depresi. Depresi akibat duka cita

pada lansia biasanya tidak bersifat self limiting. Petugas kesehatan harus

memberi kesempatan pada episode tersebut berlalu diperlukan

pendamping yang dengan penuh empati mendengarkan keluhan,

memberikan hiburan dimana perlu atau tidak membiarkan tiap episode

berkepanjangan dan berjalan terlalu berat. Apabila upaya diatas tidak

berhasil, bahkan timbul depresi berat, konsultasi psikiatrik mungkin

diperlukan, dengan kemungkinan diberikan obat anti depresan.

c. Depresi

Secara epidemologik, di negara barat depresi dikatakan terdapat

15-20% populasi usia lanjut di masyarakat. Insidensi bahkan lebih tinggi

pada lansia yang ada di institusi. Di Asia angkanya jauh lebih rendah.

Keadaan ini diduga karena terdapat faktor sosio-kultural-religi yang

berpengaruh positif. Hadi martoyo hanya mendapatkan angka 2,3% dari

penderita lansia yang dirawat di bangsal geriatric akut yang menderita

depresi. Depresi bukan merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh

patologi tunggal, tetapi biasanya bersifat multifaktorial. Pada usia lanjut,

dimana stres lingkungan sering menyebabkan depresi dan kemampuan

beradaptasi sudah menurun, akibat depresi pada usia lanjut seringkali tidak

sebaik pada usia muda.

18

Page 19: laporan skenario 2 geriatri

Anamnesis merupakan hal yang sangat penting dalam diagnosis

depresi dan harus diarahkan pada pencarian terjadinya berbagai perubahan

dari fungsi terdahulu, dan terdapatnya 5 atau lebih gejala depresi

mayor seperti disebutkan pada definisi depresi diatas. Aloanamnesis

dengan keluarga atau informan lain bisa sangat membantu. Gejala depresi

pada usia lanjut seiring hanya berupa apatis dan penarikan diri dari

aktivitas sosial, gangguan memori, perhatikan serta memburuknya kognitif

secara nyata. Tanda disfori atau sedih yang jelas seringkali tidak terdapat.

Seringkali sukar untuk mengorek adanya penurunan perhatian dari hal-hal

yang sebelumnya disukai, penurunan nafsu makan, aktivitas atau sukar

tidur.

Depresi pada usia lanjut seringkali kurang atau tidak terdiagnosis

karena hal-hal :

1) Penyakit fisik yang diderita seringkali mengacaukan gambaran

depresi, antara lain mudah lelah dan penurunan berat badan.

2) Golongan lanjut usia seringkali menutupi rasa sedihnya dengan

justru menunjukkan bahwa dia lebih aktif.

3) Kecemasan, obsesionalitas, hysteria dan hipokondria yang

sering merupakan gejala depresi justru sering menutupi

depresinya. Penderita dengan hipokondria, misalnya justru

sering dimasukkan ke bangsal penyakit dalam atau bedah

(misalnya karena diperlukan penelitian untuk konstipasi dan

lain sebagainya).

4) Masalah sosial yang juga diderita seringkali membuat

gambaran depresi menjadi lebih rumit.

G. Pengkajian Kemampuan Fungsional pada Geriatri

1. Definisi

Kemampuan fungsional adalah suatu bentuk pengukuran kemampuan

seseorang untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari – hari secara mandiri.

Penentuan kemampuan fungsional dapat mengidentifikasi kemampuan dan

19

Page 20: laporan skenario 2 geriatri

keterbatasan klien sehingga memudahkan pemilihan intervensi yang tepat.(Siti

Maryam, 2008). Beberapa sistem penilaian yang dikembangkan dalam

pemeriksaan kemampuan fungsional, tersebut antara lain indeks Barthel yang

dimodifikasi, indeks katz, indeks Kenny self-care, dan indeks activity daily

living(ADL)

2. Jenis – jenis pengkajian kemampuan fungsional

a. Indeks Barthel yang dimodifikasi.

Penilaian didasarkan pada tingkat bantuan orang lain dalam

meningkatkan aktivitas fungsional. Penilaian meliputi makan, berpindah

tempat, kebersihan diri, aktivitas di toilet, mandi, berjalan di jalan datar,

naik turun tangga, berpakaian, mengontrol defekasi, mengontrol berkemih.

Cara penilaiannya antara lain : Makan, jika memerlukan bantuan di beri

nilai 5 dan jika mandiri 10. Berpindah dari kursi roda ketempat tidur dan

sebaliknya termasuk duduk di tempat tidur ,Jika memerlukan bantuan di

beri nilai 5-10 dan jika mandiri 15. kebersihan diri(mencuci

muka ,menyisir, mencukur, menggosok gigi) Jika memerlukan bantuan di

beri nilai 0 dan jika mandiri 5. Aktivitas di toilet(mengelap, menyemprot)

Jika memerlukan bantuan di beri nilai 5 dan jika mandiri 10. Mandi, Jika

memerlukan bantuan di beri nilai 0 dan jika mandiri 5.Berjalan dijalan

yang datar, Jika memerlukan bantuan di beri nilai 10 dan jika mandiri

15. Naik turun tangga, Jika memerlukan bantuan di beri

nilai 5 dan jika mandiri 10. Berpakaian termasuk

menggunakan sepatu, Jika memerlukan bantuan di beri

nilai 5 dan jika mandiri 10. Mengontrol defekasi, Jika

memerlukan bantuan di beri nilai 5 dan jika mandiri 10.

Mengontrol berkemih, Jika memerlukan bantuan di beri

nilai 5 dan jika mandiri diberi nilai 10.

Dengan penilaian:

0-20 : ketergantungan penuh

21-61 : ketergantungan berat/sangat tergantung

62-90 : ketergantungan moderat

20

Page 21: laporan skenario 2 geriatri

91-99 : ketergantungan ringan

100 : mandiri.

b. Indeks Katz

Pengkajian menggunakan indeks kemandirian katz untuk aktivitas

kehidupan sehari – hari yang berdasarkan pada evaluasi fungsi mandiri

atau bergantung dari klien dalam hal: makan,kontinen (BAB/BAK),

berpindah, ke kamar mandi, mandi dan berpakaian. Index Katz adalah

pemeriksaan disimpulkan dengan system penilaian yang didasarkan pada

tingkat bantuan orang lain dalam melakukan aktifitas fungsionalnya. Salah

satu keuntungan dari alat ini adalah kemampuan untuk mengukur

perubahan fungsi aktivitas dan latihan setiap waktu, yang diakhiri evaluasi

dan aktivitas rehabilisasi. Pengukuran pada kondisi ini meliputi Indeks

Katz. (Pudjiastuti, 2003).

c. Indeks Kenny self – care

Gugus tugas pada evaluasi ini merupkan pertimbangan untuk menilai

sarat minimal kemandirian individu di rumah atau tempat lain dengan

lingkungan terbatas. Hal yang dinilai meliputi tujuh kategori yaitu

aktivitas di tempat tidur(bergeser di tempat tidur, bangun dan duduk),

Berpindah (duduk, berdiri), ambulasi (berjalan , naik turun tangga,

penggunaan kursi roda), berpakaian (anggota atas dan trunk bagian atas),

hygiene (wajah, rambut, anggota atas, Trunk, anggota bawah), defekasi,

berkemih, makan, dengan skala penilaian :

0 : ketergantungan penuh

1 : perlu bantuan banyak

2 : perlu bantuan sedang

3 : perlu bantuan minimal/ pengawasan

4 : mandiri penuh

Hasil kemandirian merupakan jumlah rata-rata tiap bidang kemampuan

(Pudjiastuti, 2003).

d. Index Activity Daily Living (ADL).

21

Page 22: laporan skenario 2 geriatri

Indeks ADL menilai aktivitas fungsional dalam 16 bidang

kemampuan, yaitu : berpindah dari lantai ke kursi, berpindah dari kursi ke

tempat tidur, berjalan dalam ruangan, berjalan diluar, naik tangga, tangga,

berpakaian, mencuci, mandi, menggunakan toilet, kontrol defekasi dan

berkemih, berhias, menyikat gigi, menyiapkan minum teh/kopi,

menggunakan kran, dan makan. Skala penilaian adalah 1(dapat melakukan

tanpa bantuan), nilai 2 (dapat melakukan dengan bantuan), nilai 3(tidak

dapat melakukan). (Pudjiastuti, 2003).

H. Pemeriksaan Neurologis Ekstremitas: Pemeriksaan Motorik

Evaluasi sistem motorik dibagi menjadi :

- posisi tubuh

- gerakan involunter

- tonus otot

- kekuatan otot

Lesi UMN (upper motor neuron) ditandai oleh: kelemahan, kekakuan

(spasticity), hiper refleks, refleks primitif (meliputi grasp, suck,snout reflex). Lesi

LMN (lower motor neuron ditandai oleh kelemahan, hipotonus, hiporefleksi,

atrofi dan fasikulasi. Fasikulasi adalah gerakan halus otot dibawah kulit dan

menandakan adanya LMN. Fasikulasi disebabkan oleh denervasi pada seluruh

motor unit yang diikuti oleh hiper sensitif terhadap asetilcolin pada otot yang

mengalami denervasi. Atrofi otot yang timbul biasanya bersamaan dengan

fasikulasi. Fibrilasi adalah kontraksi spontan pada serabut otot secara individu

sehingga tidak teramati oleh mata telanjang.

Catatan posisi tubuh dinilai pada posisi duduk di meja pemeriksaan.

Paralisis atau kelemahan/ kelumpuhan tampak pada posisi tubuh abnormal. Lesi

di sentral biasanya menyebabkan kelemahan/ kelumpuhan yang lebih besar pada

otot ekstensor daripada otot fleksor di ekstremitas superior, sebaliknya pada

ektremitas inferior kelemahan/ kelumpuhan lebih besar pada otot fleksor. Berikut

ini pemerikaan tic, tremor dan fasikulasi. Penilaian untuk tiap kelompok otot:

1: Penampakan otot (wasted, highly developed, normal)

22

Page 23: laporan skenario 2 geriatri

2: Adanya tonus otot (flaccid, clonic, normal)

3: Periksa kekuatan kelompok otot:

0: Tidak ada kontraksi otot

1 : Kontraksi halus yang teraba saat paien berusaha kontraksi

2 : Pasien mampu gerak aktif ketika tidak melawan gravitasi

3 : Pasien mampu melawan gravitasi, tapi tidak mampu terhadap tahanan

ringan dari pemeriksa

4 : Pasien mampu melawan tahanan ringan dari pemeriksa

5 : Pasien mampu melawan tahanan yang lebih berat dari pemeriksa

Normal

Beberapa klinisi membagi lagi dalam sub dengan: menambah +/- menjadi

3+, atau 5-

Dimulai dari deltoid, minta pasien untuk mengangkat ledua lengan atas ke

anterior simultan dengan tahanan yang diberikan pemeriksa. Bandingkan kanan

dan kiri. m. Deltoid disarafi oleh C5 melalui N. Axillaris.Pasien ekstensi

antebrachium dan anterofleksi seperti membawa nampan (supinasi). Pasien

memejamkan mata dan bertahan dalam posisi tersibut selama 10 hitungan.

Normalnya pasien mampu bertahan. Bila ada kelemahan ekstremitas superior,

maka akan pronasi (pronator drift) dan jatuh.

Pronator drift merupakan indikator kelumpuhan/ kelemahan UMN. Pada

UMN otot supinator ekstemitas superior lebih lemah dari pronator, sehingga

cenderung pronasi. Tes ini juga baik untuk menguji konsistensi interna, sebab

pasien yang pura-pura akan selalu menjatuhkan tangan tanpa disertai pronasi.

Pemeriksaan kekuatan fleksi lengan bawah dilakukan dengan memegang

pergelangan tangan dan memberi tahanan pada penderita dari sisi atas, pasien

diminta untuk fleksi lengan bawah. Hasil dibandingkan dengan lengan yang lain.

Tes ini untuk memeriksa m. biseps brachii yang disarafi oleh C5&6 melalui N

musculocutaneus.

Pasien diminta untuk ekstensi lengan bawah melawan tahan yang

diberikan pemeriksa. Dimulai dari posisi fleksi maksimal, kemudian dibandingkan

23

Page 24: laporan skenario 2 geriatri

dengan sisi kontra lateral. Tes ini untuk memeriksa m. triseps brachii yang disarafi

oleh C6&7 melalui nervus radialis.

Pada pemeriksaan kekuatan ekstensi tangan pasien diminta ekstensi

pergelangan tangan melawan tahanan dari pemeriksa. Bandingkan dengan sisi

kontralateral. Tes ini untuk memeriksa otot ekstensor lengan bawah yang disarafi

oleh C6&7 melalui N radialis. N radialis merupakan saraf otot extensor lengan,

mensarafi semua otot ekstensor pada lengan atas dan lengan bawah.

Pada pemeriksaan tangan pasien, cari atrofi otot intrinsik, thenar,

hipothenar.Genggaman pasien diperiksa dengan meminta penderita menggenggam

jari pemeriksa sekuatnya dan tidak melepas genggaman saat memeriksa mencoba

menarik jarinya. Normal pemeriksa tidak dapat menarik jari dari genggaman

pasien. Bandingkan dengan sisi kontra lateral. Tes ini untuk memeriksa kekuatan

otot fleksor lengan bawah dan otot intrinsik tangan.

Otot fleksor jari disarafi oleh C8 melalui N medianus.

Periksalah otot intrinsik tangan sekali lagi, dengan meminta pasien

abduksi pada semua jari dan melawan tekanan/ tahanan pemeriksa. Normal pasien

dapat menahan tekanan pemeriksa. Otot abduksi jari disarafi oleh T1 melalui N

ulnaris.

Periksalah kekuatan oposisi ibujari dengan meminta pasien menyentuhkan

ujung ibujari dengan jari jelunjuknya sendiri dan melawan tahanan

pemeriksa.bandingkan dengan sisi kontra lateral. Oposisi ibujari disarafi oleh

C8&T1 melalui N. medianus.

Lanjutkan pemeriksaan pada tungkai Periksalah fleksi sendi panggul.

Pasien dalam posisi berbaring. Mintalah pasien mengangkat tungkai dengan fleksi

sendi panggul melawan tahanan pemeriksa. Bandingkan dengan sisi kontra lateral.

Tes ini memeriksa m. Iliopsoas. Fleksi panggul disarafi olef L2&3 melalui N

femoralis.

Periksalah adduksi tungkai dengan meletakkan tangan pemeriksa pada sisi

dalam paha dan mintalah penderita untuk adduksi kedua tungkai. Adduksi tungkai

disarafi oleh L2,3 dan 4. Periksalah abduksi tungkai dengan meletakkan tangan

24

Page 25: laporan skenario 2 geriatri

pemeriksa pada sisi luar paha dan mintalah penderita untuk abduksi kedua

tungkai. Abduksi tungkai disarafi oleh L4,5dan S1

Periksalah ekstensi panggul dengan meminta pasien menekan tungkai

kebawah melawan tahanan tangan pemeriksa yang ada di bawah tungkai.

Bandingkan dengan sisi kontra lateral. Tes ini memeriksa m. gluteus maksimus.

Ekstensi panggul disarafi oleh L4&5 melalui N. gluteus

Periksalah ekstensi lutut dengan meletakkan tangan pemeriksa di bawah

lutut dan pergelangan kaki, mintalah pasien ektensi lutut melawan tahan

pemeriksa, bandingkan dengan sisi kontra lateral. Tes ini memeriksa m.

quadriseps femoris. Ekstensi lutut oleh m. quadriseps dan disarafi oleh L3&4

melalui N femoralis

Periksalah fleksi lutut dengan memegang lutut dan memberikan tahanan

pada pergelangan kaki. Mintalah pasien menarik tumit kearah pantat sekuat

mungkin (fleksi) melawan tahanan pemeriksa. Bandingkan dengan sisi kontra

lateal. Tes ini memeriksa otot hamstring, yang disarafi oleh L5 &S1 melalui

N.sciatica.

Periksalah dorsofleksi dengan meminta pasien dorsofleksi kaki sekuat

mungkin melawan tahanan pemeriksa. Bandingkan sisi kontra lateral. Tes ini

memeriksa kompartemen anterior cruris. Dorsofleksi kaki disarafi oleh L4&5

melalui N peroneus.

Periksalah plantar fleksi dengan meminta pasien plantar fleksi sekuat

mungkin melawan tahanan pemeriksa. Bandingkan dengan sisi kontra lateral. Tes

ini memeriksa m. gastroknemius dan soleus di kompartemen posterior cruris.

Plantar fleksi disarafi oleh S1&2 melalui N. tibialis

Mintalah pasien ekstensi ibu jari kaki melawan tahanan pemeriksa. Tes ini

memeriksa m. ekstensor halucis longus yang disarafi oleh L5. Pasien dengan

kelainan otot primer (seperti: polymiositis), kelainan pada neuromuscula junction

(miastenia gravis), biasanya kelemahan/ kelumpuhan berkembang pada kelompok

otot proksimal. Kelemahan terberat pada otot gelang panggul dan gelang bahu.

Kelemahan ini tampak/ manifes pada kesulitan saat berdiri dari kursi tanpa

25

Page 26: laporan skenario 2 geriatri

bantuan otot lengan. Pasien biasanya mengeluh kesulitan keluar dari mobil, atau

sulit menyisir rambut.

BAB III

PEMBAHASAN

Eyang Karto, usia 75 tahun, dibawa ke dokter oleh putrinya, karena

ngompol sejak 3 bulan dan diikuti ngobrok selama 2 minggu. Sering marah-

marah dan tidak bisa tidur, sehingga sering minum obat tidur. Dua tahun

yang lalu, penderita dirawat akibat stroke. Ngompol atau istilah medisnya

sering disebut sebagai inkontinensia urin. Inkontinensia merupakan pengeluaran

urin atau feses tanpa disadari, dalam jumlah dan frekuensi yang cukup untuk

mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial. Inkontinensia urin

merupakan salah satu keluhan utama pada penderita lanjut usia. Seperti halnya

dengan keluhan pada suatu penyakit bukan merupakan diagnosis, sehingga perlu

dicari penyebabnya. Inkontinensia urin dapat disebabkan oleh beberapa kelainan,

antara lain:

a. Kelainan urologik; misalnya radang, batu, tumor, divertikel.

b. Kelainan neurologik; misalnya stroke, trauma pada medulla spinalis, demensia

dan lain-lain.

c. Lain-lain; misalnya hambatan motilitas, situasi tempat berkemih yang tidak

memadai/ jauh, dan sebagainya.

Dijelaskan bahwa dua tahun yang lalu, pasien sempat dirawat akibat

stroke. Stroke merupakan salah satu penyebab terjadinya inkontinensia urin.

Riwayat stroke menjelaskan bahwa pasien pernah mengalami gangguan di daerah

otak. Pengaturan sistem berkemih diatur oleh jaras peryarafan dibawah koordinasi

pusat pada batang otak, otak kecil, dan korteks serebri. Apabila terdapat gangguan

stroke, hal tersebut menyebabkan gangguan pengaturan koordinasi pusat untuk

rangsangan dan pengaturan berkemih. Selain itu, stroke menyebabkan

kelumpuhan (immobilitas), penurunan sensoris untuk rangsang kemih dan

26

Page 27: laporan skenario 2 geriatri

defekasi, dan gangguan kognitif dalam mengenal rumah sehingga semakin

memicu terjadinya inkontinensia urin dan alvi.

Eyang Karto berusia 75 tahun, tergolong usia lanjut. Usia lanjut bukan

sebagai penyebab inkontinensia urin, namun prevalensi inkontinensia urin

meningkat seiring dengan peningkatan usia karena semakin banyak munculnya

faktor risiko.

Pada skenario didapatkan bahwa pasien sering marah-marah. Hal

tersebut biasa terjadi pada lansia, oleh karena penurunan hormon serotonin

ataupun faktor psikologik (kehilangan pasangan hidup, kesepian, dan stress).

Penurunan serotonin juga menyebabkan penderita lebih cemas, dan sulit tidur,

sehingga beberapa kasus diperlukan obat tidur. Untuk mengobati sulit tidur

pada pasien dapat diberi obat tidur atau obat golongan sedatif hipnotik. Obat

hipnotik sedatif merupakan golongan obat depresan susunan saraf pusat (SSP)

yang relatif tidak selektif. Pada dosis terapi obat sedatif menekan aktivitas,

menurunkan respon terhadap rangsangan emosi dan menenangkan. Obat Hipnotik

menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta mempertahankan tidur yang

menyerupai tidur fisiologis. Obat hipnotika dan sedatif biasanya merupakan

turunan Benzodiazepin. Namun, efek samping obat tidur yang diberikan pada

pasien tersebut dapat menyebabkan inkontinensia urin oleh karena efek penurunan

kontraksi otot dan sensasi berkemih pada vesica urinaria.

Pada skenario, Eyang Karto mengalami gangguan psikologi yang mana

istrinya telah wafat. Kehilangan pasangan hidup pada pasien geriatri

memberikan dampak besar terhadap rasa kesepian, rasa berkabung sehingga

pasien geriatri akan cenderung mengisolasi diri, menarik diri, menyalahkan diri

sendiri, dan marah pada diri sendiri sehingga menyebabkan peningkatan stress dan

depresi. Tingkat depresi dan stress akan semakin tinggi karena pasien susah

melakukan aktifitas sehari-hari sehingga membutuhkan bantuan orang lain.

Psikologis yang terganggu dapat memicu kebingungan, perasaan takut, sulit

berkonsentrasi, ketidakberdayaan sehingga mengurangi daya sensoris ingin mixie

dan defekasi, dan mengurangi motivasi untuk menemukan kamar mandi sehingga

dapat memicu inkontinensia.

27

Page 28: laporan skenario 2 geriatri

Keadaan imobilisasi pasien dalam melakukan aktifitas sehari-hari

sehingga membutuhkan bantuan orang lain menyebabkan pasien tidak dapat

mencapai tempat berkemih sendiri dan tidak dapat menahan untuk tidak berkemih

sebelum sampai pada tempatnya juga memicu inkontinensia fungsional.

Pada skenario juga dijelaskan bahwa pasien ngobrok selama 2 minggu.

Ngobrok atau inkontinesia alvi merupakan suatu keadaan dimana penderita tidak

dapat menahan buang air besar. Klinis dari inkontinensia alvi tampak keadaan

feses yang cair atau belum terbentuk, sering bahkan selalu keluar merembes dan

keadaan keluarnya feses yang sudah berbentuk. Beberapa penyebab timbulnya

inkontinensia alvi pada pasien dalam skenario dapat disebabkan oleh beberapa

hal, antara lain:

a. Inkontinensia alvi akibat konstipasi.

b. Inkontinensia alvi simptomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus

besar.

c. Inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses defekasi

(inkontinensia neurogenik).

d. Inkontinensia alvi karena hilangnya refleks anal.

Pemeriksaan neurologis ekstremitas superior dan inferior sinistra

kekuatannya menurun (3+/ 3+) menjelaskan bahwa terdapat gangguan mobilitas

pada tubuh pasien yang mana ekstremitas superior dan inferior sinistra hanya

mampu melawan gaya gravitasi tanpa tahanan. Hal ini semakin memperjelas

bahwa pasien telah mengalami kelumpuhan akibat dari stroke. Kelumpuhan

seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf di atas menyebabkan inkontinensia

dan peningkatan depresi.

Skenario menyebutkan bahwa salah satu pemeriksaan fisik yang diberikan

pada pasien adalah rectal toucher. Sebagaimana diketahui bahwa rectal toucher

bertujuan untuk mengeksplorasi rectum dengan jari. Rectal toucher menilai

keadaan mukosa rectal, posisi rectum, keadaan prostat atau serviks, serta menilai

reflex tonus sfingter ani externus. Indikasi dilakukannya rectal toucher sesuai

skenario karena salah satu keluhan pasien adalah tidak bisa menahan BAB

sekaligus ingin mengeksplorasi keadaan prostat pasien. Kasus pembesaran prostat

28

Page 29: laporan skenario 2 geriatri

dalam Benigna Prostat Hyperplasia (BPH) sering terjadi pada usia tua dan gejala

yang khas akibat BPH adalah inkontinensia urin tipe overflow disertai

inkontinensia alvi. Karena pada skenario disebutkan melalui rectal toucher dan

gambaran USG, didapatkan prostat tidak membesar, maka diagnosis inkontinensia

tipe overflow dan inkontinensia alvi akibat BPH dapat dihapuskan.

Pemeriksaan indeks barthel dilakukan untuk mengetahui kemampuan

pasien dengan kelainan neuromuskular atau muskuloskeletal dalam merawat

dirinya sendiri. Pada kasus ini pemeriksaan indeks barthel dilakukan karena

pasien adalah pasien post stroke yang memiliki kelainan neuromuskuler. Tes ini

diharapkan dapat menjadi salah satu dasar penatalaksanaan rehabilitasi medik

pada pasien, khususnya untuk menentukan hal-hal apa saja yang dibutuhkan

pasien dalam aktivitas sehari-hari. Dengan mengulang tes ini secara rutin, tenaga

medis juga dapat menentukan peningkatan kemampuan seorang penderita post

stroke dalam melakukan aktivitas harian.

Pemeriksaan psikiatri dilakukan untuk mengetahui adakah gangguan

psikologis khususnya depresi pada pasien. Perubahan kondisi fisik, psikologi, dan

lingkungan pada seorang lansia sangat memungkinkan terjadinya gangguan

psikologis. Berdasarkan riwayat keadaan pasien yang ditinggal istrinya,

penurunan kemandirian pasca stroke, serta kelainan inkontinensia pada lansia

dalam kasus skenario, pemeriksaan psikiatri juga sangat diperlukan untuk

menentukan penatalaksanaan yang tepat. Selain itu, pemeriksaan ini juga

dilakukan untuk mengetahui salah satu kemungkinan penyebab inkontinensia

pada pasien yang berupa stress.

29

Page 30: laporan skenario 2 geriatri

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

1. Pasien geriatri adalah pasien berusia lanjut (> 60 tahun) dengan penyakit

majemuk (multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani dan rohani,

kondisi sosial yang bermasalah.

2. Skenario 2 ini belum dapat didiagnosis secara pasti, dikarenakan kondisi

multipatologi, namun didapatkan inkontinensia urin, inkontinensia alvi,

riwayat stroke, dll, sehingga membutuhkan informasi yang lebih rinci dan

jelas untuk memberikan intervensi pengobatan.

3. Pemeriksaan-pemeriksaan pada geriatri sangatlah diperlukan untuk

menentukan diagnosis penyakit yang ada pada di skenario ini.

 

B. Saran

1. Pada pasien Geriatri pemakaian obat yang banyak (polifarmasi) sebaiknya

diawasi dengan baik, sebab  lebih sering terjadi efek samping, interaksi,

toksisitas obat, dan penyakit iatrogenik, lebih sering terjadi peresepan obat

yang tidak sesuai dengan diagnosis penyakit dan berlebihan, serta

ketidakpatuhan menggunakan obat sesuai dengan aturan pemakaiannya.

2. Sebagai Dokter umum, harus mengetahui kompetensi apa saja yang harus

dikuasai untuk pasien Geriatri dan memberikan penatalaksanan sesuai

prioritas dan pertimbangan agar tidak terjadinya polifarmasi.

3. Perlu pemeriksaan penunjang lebih lanjut untuk memberikan

penatalaksanaan yang tepat bagi pasien.

30

Page 31: laporan skenario 2 geriatri

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Kesehatan Jiwa. (1982) Pedoman Pengelolaan Jiwa dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Goetz CG. (2007) Cerebrovascular Diseases. In : Goetz: Textbook of Clinical Neurology, 3rd ed. Philadelphia : Saunders

Gunadi H.(1984). Problematik Usia Lanjut Ditinjau Dari Sudut Kesehatan Jiwa. Jakarta: Jiwa XVII (4):89-97.

Pranaka K. (2010) Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri(Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) edisi ke 4.Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Pudjiastuti SS (2003). Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: EGC

Roger Watson (2003).Perawatan pada Lansia.Jakarta:EGC.

Ropper AH, Brown RH. (2005) Cerebrovascular Diseases. In : Adam and Victor’s Priciples of Neurology. Eight edition. New York : Mc Graw-Hill

Setiati S. dan Pramantara I.D.P. (2007). Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif dalam Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata K M., Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Ed.IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. hal: 1392-9

Siti, Maryam R, dkk. (2008). Mengenal Usia Lanjut dan Penangannya. Jakarta: Salemba Medica.

Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, et al. (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing.

Wahit Iqbal Mubarak, dkk. (2006). Buku Ajar Ilmu Keperawatan Komunitas 2 Teori dan Aplikasi dalamPraktek dengan Pendekatan Askep Komunitas, Gerontik dan Keluarga.Jakarta: Sagung Seto.

31