Upload
sabrina-o-sihombing
View
107
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING
PENGIDENTIFIKASIAN DIMENSI-DIMENSI BUDAYA INDONESIA: PENGEMBANGAN
SKALA DAN VALIDASI
Dr. Sabrina O. Sihombing S.E., M.Bus (Ketua) Feriadi D. Pongtuluran, S.E., M.M (Anggota)
Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian
Pelaksanaan Penugasan Penelitian Hibah Bersaing Nomor : 086/SP2H/PL/Dit.Litabmas/IV/2011, tanggal 14 April 2011
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN November 2011
BIDANG ILMU: Ekonomi - Manajemen
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR
1. Judul Penelitian : Pengidentifikasian Dimensi-Dimensi Budaya
Indonesia: Pengembangan Skala dan Validasi
2. Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : Dr. Sabrina Oktaria Sihombing, S.E., M.Bus
b. Jenis Kelamin : P
c. NIP : -
d. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
e. Jabatan Struktural : -
f. Bidang Keahlian : Metode Penelitian, Perilaku Konsumen
g. Fakultas/Jurusan : Ekonomi / Manajemen
h. Perguruan Tinggi : Universitas Pelita Harapan
i. Tim Peneliti :
No. Nama dan Gelar Bidang Keahlian Fakultas/ Perguruan Tinggi
Akademik Jurusan
1. Feriadi D.P., S.E., M.M Sumber Daya Manusia Ekonomi/ Universitas Pelita
Manajemen Harapan
3. Pendanaan dan jangka waktu penelitian:
a. Jangka waktu penelitian yang diusulkan : 2 tahun
b. Biaya total yang diusulkan : Rp. 66,293,500,-
c. Biaya yang disetujui tahun I : Rp 29,000,000,-
i
ii
A. LAPORAN HASIL PENELITIAN
RINGKASAN
Budaya merupakan salah satu topik yang menarik minat peneliti dari beragam disiplin
ilmu seperti psikologi, pemasaran, perilaku konsumen, dan disiplin ilmu lainnya. Hal ini
karena budaya sebagai salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku
seseorang. Cara mengukur budaya yang sering digunakan oleh peneliti-peneliti ilmu
sosial, khususnya dalam penelitian pemasaran dan perilaku konsumen, adalah dengan
menggunakan dimensi-dimensi budaya yang dikembangkan oleh Hofstede (1980) dan
Hofstede dan Bond (1988). Akan tetapi, studi Hofstede juga mendapat kritik-kritik
seperti: (1) mereduksi budaya pada 4 atau 5 dimensi, (2) penelitian telah lama dilakukan,
yaitu pada tahun 1967-1973, dan (3) mengukur budaya dengan menggunakan nilai-nilai
yang berkaitan dengan pekerjaan. Dengan demikian, walaupun dimensi budaya yang
dikembangkan oleh Hofstede memberikan kontribusi dalam memahami dan mengukur
budaya, tetapi ada kebutuhan untuk mengembangkan dan mengidentifikasi budaya
Indonesia. Hal ini karena didasari belum ada / terbatasnya penelitian yang
mengidentifikasi budaya Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi dimensi-dimensi budaya Indonesia serta menghasilkan indikator-
indikator untuk mengukur budaya Indonesia. Lebih dari 2,000 kuesioner dengan
pertanyaan terbuka telah didistribusikan kepada responden yang berada di Jakarta,
Bandung, Semarang, dan Surabaya. Responden dipilih dengan menggunakan 2 kriteria
utama, yaitu: (1) responden tinggal di salah satu dari empat wilayah penelitian (Jakarta,
Bandung, Semarang, atau Surabaya), dan (2) responden bekerja di wilayah tempat
mereka tinggal. Hasil studi eksplorasi tersebut menunjukkan bahwa gotong-royong,
demokrasi, Pancasila, budaya, dan kekeluargaan adalah yang diyakini sebagi nilai-nilai
bangsa Indonesia. Akan tetapi, hasil eksplorasi juga menunjukkan bahwa korupsi,
individualisme, KKN, dan egois adalah juga nilai-nilai bangsa Indonesia. Nilai-nilai
tersebut kemudian diproses untuk dijadikan indikator penelitian yang kemudian dapat
digunakan untuk mengidentifikasi dimensi-dimensi budaya Indonesia. Indikator-indikator
tersebut disampaikan pada laporan ini.
iii
SUMMARY
Culture is one topic that attracts researchers from many major disciplines such as
psychology, marketing, consumer behavior, and other disciplines. This is because culture
affects people to behave. Furthermore, culture is the most basic cause of a person’s wants
and behavior. Many research use of Hofstede’s cultural dimensions to measure culture.
The dimensions identified by Hofstede (1980) are regarded as the most widely used and
accepted for understanding culture in many social phenomena. On the other hand,
Hofstede’s cultural dimensions have been criticized by many scholars. For instance,
Hofstede’s work is claimed as out-of-date because the empirical work took place in 1967-
1973. Hofstede’s work has also been criticized for reducing culture to four or five
dimensions. On the other hand, identifying reliable cultural dimensions for each nation
would give major contribution to cross-cultural research. Therefore, although cultural
dimensions developed by Hofstede gives contributions to understand and measure
culture, but there is a need to develop and identify Indonesian culture. This is because
there is limited research in identifying Indonesian culture. Therefore, this study aims to
identify Indonesian culture by identifying Indonesian values as an initial stage in scale
development. More than 2,000 open-ended questionnaires were distributed to
respondents in Jakarta, Bandung, Semarang, and Surabaya. All respondents were chosen
with two main criteria: (1) that respondent live in one of four research areas (Jakarta,
Bandung, Semarang, or Surabaya), and (2) that respondents should work in the area that
they live. A total of 1455 usable questionnaires were used to identify Indonesian values.
The result shows that gotong royong (mutual aid), demokrasi (democracy), agama
(religion), Pancasila, budaya (culture), and kekeluargaan (family) are examples of
Indonesian values. However, the results also shows that respondents state that korupsi
(corruption), individualisme (individualism), KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme:
corruption, collution, nepotism), and egois (ego) are also examples of Indonesian values.
Those values that have been pointed by respondents then were proceeded to develop
indicators. This research provides those indicators. Those indicators then will be used to
identify Indonesian culture dimensions.
iv
PRAKATA
Kami mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas satu kesempatan
khusus yang diberikan kepada kami. Kesempatan tersebut adalah kami dapat melakukan
penelitian dengan judul “Pengidentifikasian Dimensi-Dimensi Budaya Indonesia:
Pengembangan Skala dan Validasi”. Penelitian ini sendiri direncanakan dapat
diselesaikan dalam 2 tahun. Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah dimensi-
dimensi budaya Indonesia. Dengan adanya luaran dari penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kontribusi dalam memahami budaya Indonesia dan dimensi-dimensinya.
Menghasilkan dimensi-dimensi budaya Indonesia adalah penting. Hal ini karena
dimensi-dimensi tersebut kemudian dapat digunakan dalam beragam penelitian yang
menggunakan budaya sebagai salah satu variabel penelitiannya. Sepanjang pemahaman
yang peneliti ketahui, penelitian-penelitian di Indonesia yang menggunakan budaya
sebagai salah satu variabelnya kemudian akan menggunakan dimensi budaya Hofstede
untuk mengukur budaya Indonesia. Selain keunggulan dimensi budaya yang diusulkan
Hofstede tersebut, kelemahan-kelemahan dimensi tersebut memotivasi peneliti untuk
mengembangkan indikator-indikator dalam membentuk dimensi budaya Indonesia.
Sehingga kemudian, kita bisa mengukur budaya Indonesia dengan “ukuran” sendiri yang
dikembangkan.
Akhir kata, terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada kami. Terima kasih
kepada Kementrian Pendidikan Nasional melalui Program Hibah Bersaing yang
membantu kami dalam merealisasikan penelitian ini. Semoga bermanfaat bagi kita
semua.
Karawaci, 17 November 2011
Peneliti Utama
Dr. Sabrina O. Sihombing, S.E., M.Bus
v
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………………… i
A. LAPORAN HASIL PENELITIAN
RINGKASAN…………………………………………………………………………. iii
SUMMARY……………………………………………………………………………iv
PRAKATA……………………………………………………………………………. v
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….. vi
DAFTAR TABEL.......................................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................................. ix
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSATAKA................................................................................ 5
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN.................................................... 11
BAB IV METODE PENELITIAN……………………………………………………. 12
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………… 16
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN....................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 25
LAMPIRAN.................................................................................................................... 29
1. Laporan keuangan.............................................................................................. 29
2. Biodata tim peneliti........................................................................................... 30
3. Bagan alir penelitian dan instrument penelitian................................................ 36
4. Catatan kegiatan penelitian (Log book)............................................................. 37
B. DRAF ARTIKEL ILMIAH
1. Draft artikel untuk Seminar Nasional................................................................ 38
2. Draft artikel untuk Seminar Internasional......................................................... 54
C. SIPNOSIS PENELITIAN LANJUTAN................................................................ 71
vi
DAFTAR TABEL
1. Perbedaan budaya Indonesia dan USA....................................................................... 6
2. Penelitian yang menggunakan dimensi-dimensi Hofstede......................................... 8
3. Kelemahan / kritik terhadap dimensi-dimensi Hofstede............................................. 9
4. Tingkat pengembalian kuesioner eksplorasi............................................................... 16
5. Aitem-aitem yang dihasilkan....................................................................................... 18
vii
DAFTAR GAMBAR
1. Alur penelitian............................................................................................................. 12
2. Proses penentuan aitem dalam kuesioner.................................................................... 13
3. Hasil eksplorasi nilai-nilai positif................................................................................ 17
4. Hasil eksplorasi nilai-nilai negatif............................................................................... 17
5. Alur penelitian tahun kedua......................................................................................... 71
viii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Laporan keuangan......................................................................................................... 29
2. Biodata tim peneliti....................................................................................................... 30
3. Bagan alir penelitian dan instrumen penelitian............................................................. 36
4. Logbook........................................................................................................................ 37
ix
1
BAB I. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Budaya merupakan salah satu topik yang menarik minat peneliti dari beragam disiplin
ilmu. Hal ini karena budaya sebagai salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi
perilaku seseorang (Maheswaran & Shavitt, 2000). Seseorang tidak lahir dengan
memahami budaya, tetapi orang tersebut akan belajar mengenai budaya melalui proses
akulturasi dan enkulturasi. Bagaimana orang tersebut mempunyai cara pandang, bersikap,
serta berperilaku dipengaruhi oleh budayanya.
Cara mengukur budaya yang sering digunakan oleh peneliti-peneliti ilmu sosial adalah
dengan menggunakan dimensi-dimensi budaya yang dikembangkan oleh Hofstede (1980)
dan Hofstede dan Bond (1988, dalam Kirkman et al.,2006). Dimensi-dimensi tersebut
adalah: power distance, masculinity/feminity, uncertainty avoidance,
individualism/collectivism, dan the Confucian dynamism. Dimensi-dimensi Hofstede
sering digunakan dalam penelitian sosial karena kesederhanaannya dalam memahami dan
mengukur budaya (Kirkman et al., 2006). Akan tetapi, studi Hofstede juga mendapat
kritik-kritik seperti: (1) mereduksi budaya pada 4 atau 5 dimensi (Jones, 2007; Soares et
al., 2007; Kirkman et al., 2006), penelitian telah lama dilakukan, yaitu pada tahun 1967-
1973 (Jones, 2007; Tsoukatos dan Rand, 2007; Steenkamp et al., 1999), dan (3)
mengukur budaya dengan menggunakan nilai-nilai yang berkaitan dengan pekerjaan
(Steenkamp et al., 1999).
Dimensi-dimensi budaya Hofstede memotivasi penelitian ini. Pemahaman dan
pengukuran budaya masih dan terus relevan hingga saat ini. Sebagaimana yang
ditunjukkan oleh de Mooij (2004) bahwa orang-orang hanya terlihat serupa / sama,
padahal pemikiran dan perilaku mereka berbeda di tiap wilayah. Dengan demikian,
walaupun dimensi budaya yang dikembangkan oleh Hofstede memberikan kontribusi
dalam memahami dan mengukur budaya, tetapi menurut kami ada kebutuhan untuk
mengembangkan dan mengidentifikasi budaya Indonesia. Hal ini karena didasari belum
ada / terbatasnya penelitian yang mengidentifikasi budaya Indonesia. Luaran yang
diharapkan dari penelitian ini adalah dimensi-dimensi budaya Indonesia yang kemudian
dapat digunakan untuk memahami budaya Indonesia dengan lebih baik.
2
1.2 Keutamaan Penelitian
Ada 3 alasan pentingnya melakukan penelitian ini. Pertama, terbatasnya penelitian yang
mengidentifikasi budaya Indonesia. Kedua, pentingnya melakukan pengembangan skala
untuk menghasilkan indikator-indikator budaya Indonesia yang andal dan valid. Ketiga,
kontribusi penelitian ini bagi teori dan praktis.
1.2.1 Terbatasnya penelitian yang mengidentifikasi budaya Indonesia.
Globalisasi merupakan salah satu kata yang popular bagi banyak pihak. Misalnya, para
pemasar mempertimbangkan globalisasi sebagai salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku beli konsumen. Secara spesifik, globalisasi dipercaya sebagai
salah satu faktor mengapa konsumen di Indonesia, Afrika, dan bagian dunia lainnya
membeli produk dengan merek yang sama, misalnya Coca-cola, McDonald, dan merek
global lainnya.
Globalisasi memang merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku
beli konsumen. Akan tetapi, perilaku konsumen di tiap daerah adalah unik dan menurut
budayanya masing-masing. De Mooij (2004) menunjukkan bahwa memang orang /
konsumen di banyak negara semakin terlihat sama, tetapi cara berpikir dan
berperilakunya belum tentu sama. Sebagai contoh penelitian yang dilakukan oleh Lee dan
Green (1991) menunjukkan bahwa konsumen di Amerika dan Korea memilih merek A
sebagai merek sepatu yang dibeli. Akan tetapi, pembelian yang dilakukan responden di
Korea sangat dipengaruhi oleh norma-norma sosial. Sedangkan pembelian yang
dilakukan oleh responden di Amerika lebih banyak dipengaruhi oleh sikap. Dengan kata
lain, konsumen di Amerika adalah konsumen yang fokus pada dirinya sendiri (self-
centered) sedangkan konsumen di Korea mempertimbangkan orang lain, khususnya
orang-orang dalam kelompoknya (group-oriented). Lebih lanjut, Usunier (2000) juga
menunjukkan bahwa kebanyakan perilaku beli konsumen di negara-negara Asia
Tenggara dipengaruhi oleh keluarga.
Banyak penelitian pemasaran di Indonesia yang menggunakan budaya sebagai salah
satu variabel penelitian (Contoh: Suharnomo, 2009; Subiyantoro & Hatane, 2007;
Japarianto, 2006). Akan tetapi, penelitian-penelitian tersebut mengukur budaya dengan
menggunakan dimensi-dimensi yang dikembangkan oleh Hofstede (1980). Padahal,
3
mengukur budaya sebaiknya dengan menggunakan budaya dari negara / wilayah tersebut.
Dengan demikian, ada kebutuhan untuk mengidentifikasi dan mengembangkan dimensi-
dimensi budaya Indonesia.
1.2.2 Pentingnya melakukan pengembangan skala untuk menghasilkan indikator-
indikator budaya Indonesia yang andal dan valid
Ada 3 alasan utama perlunya melakukan pengembangan skala. Pertama, aitem-aitem
pada penelitian ini belum dikembangkan sebelumnya untuk memahami budaya
Indonesia. Dengan menggunakan lima tahap dalam pengembangan skala, penelitian ini
mengembangkan aitem-aitem budaya yang akurat dan valid. Pengembangan instrumen
yang akurat dan valid dapat memberikan manfaat tidak hanya pada pengembangan ilmu
tetapi juga pada peningkatkan kualitas penelitian (Summers, 2001; Churchill, 1979).
Kedua, pengembangan instrumen baru perlu dilakukan di berbagai negara atau budaya
(misalnya, Indonesia) untuk melihat apakah ada hubungan antar konstruk yang spesifik
(culturally specific) pada budaya tertentu (Steenkamp & Baumgartner, 1998). Ketiga,
adanya kebutuhan untuk mengembangkan indikator / instrumen budaya Indonesia karena
belum atau terbatasnya penelitian yang fokus pada pengembangan indikator budaya
Indonesia. Dengan demikian, penelitian ini kemudian dapat memberikan kontribusi bagi
penelitian sosial di Indonesia.
1.2.3 Kontribusi penelitian
Kontribusi penelitian ini secara teori adalah sebagai berikut. Penelitian ini menggunakan
pendekatan antar disiplin (yaitu, perilaku konsumen, sumber daya manusia, dan
sosiologi) dalam memahami budaya Indonesia. Penelitian dengan pendekatan
multidispliner adalah penelitian yang memfokuskan pada upaya memahami fenomena
secara lebih lengkap yang dapat meningkatkan penelitian ilmu-ilmu sosial (Deshpande,
1999; Murray & Evers, 1989; Horton, 1984). Penelitian ini juga memberikan kontribusi
terhadap bidang praktis sebagai berikut. Penelitian ini juga akan mengidentifikasikan
nilai-nilai yang diyakini responden mengenai budaya Indonesia. Pemahaman akan nilai-
nilai bangsa Indonesia penting bagi praktisi dan pembuat kebijakan. Sebagai contoh,
4
pemahaman akan budaya Indonesia akan membantu pemasar mengaplikasikan program-
programnya dalam bentuk “think globally, act locally.”
5
BAB II. TINJAUAN LITERATUR
2.1. Definisi Budaya
Budaya didefinisikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil
buah budi manusia dalam kehidupan bermasyarakat (Koentjaraningrat, 1980). Lebih
lanjut, Koentjaraningrat menjelaskan bahwa gagasan ataupun naluri manusia adalah
merupakan bahan dasar suatu tindakan. Tindakan dan hasil karya manusia merupakan
tolak ukur budaya manusia. Sependapat dengan Koentjaraningrat, Sastrosupono (1982)
mendefinisikan budaya sebagai tindakan atau perilaku manusia, misalnya duduk, tidur,
berbicara dan sebagainya. Hofstede (1994) juga mendefinisikan budaya sebagai pikiran,
perasaan, dan tindakan manusia. Menurutnya, budaya adalah piranti lunak jiwa manusia
(software of the mind). Analogi dari Hofstede sangat menarik. Ia memakai perumpamaan
komputer untuk menjelaskan peran budaya bagi kehidupan manusia. Peran piranti lunak
adalah penentu dari bekerjanya sebuah komputer tanpanya komputer menjadi tidak
berguna, dengan kata lain piranti lunak-lah yang menentukan kerja sebuah komputer.
Hosftede ingin menegaskan betapa pentingnya budaya dengan menganalogikan budaya
sebagai „software of the mind.‟ Budaya adalah penggerak manusia. Tanpanya, manusia
sekedar makhluk tanpa makna.
Budaya memiliki definisi yang senantiasa berkembang, hal ini ditandai oleh adanya
fenomena mengenai pendefinisian budaya yang senantiasa tak pernah berakhir. Misalnya,
Matsumoto (1996, dalam Dayakisni & Yuniardi, 2003) mendefinisikan budaya sebagai
suatu set dari sikap, nilai-nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki oleh suatu
kelompok orang. Sedangkan Brislin (2000) mendefinisikan budaya sebagai nilai-nilai
yang dianut diantara orang-orang yang umumnya berbicara dengan bahasa yang sama
dan tinggal saling berdekatan. Dari beberapa definisi budaya yang disampaikan, dapat
disimpulkan bahwa konsep budaya adalah meliputi pikiran atau gagasan manusia
(termasuk di dalamnya sikap, nilai-nilai, dan keyakinan), tindakan, dan hasil karya
manusia.
Triandis (1994) mencatat sekurangnya ada tiga ciri dari definisi-definisi budaya yang
ada. Pertama, budaya terbentuk melalui interaksi yang berkesinambungan yang saling
mempengaruhi dan terus menerus berubah. Kedua, budaya merupakan sesuatu yang ada
6
pada seluruh kelompok budaya bersangkutan. Ketiga, budaya dialihkan dari satu waktu
ke waktu berikutnya, dari generasi ke generasi.
2.1.2 Dimensi-dimensi Budaya menurut Hofstede
Penelitian yang dilakukan Hofstede (1994) di banyak negara memperlihatkan
karakteristik atau tipikal orang masing-masing negara tersebut. Hosftede membedakan
dimensi budaya menjadi empat, yaitu: jarak kekuasaan (power distance, selanjutnya
disebut PD), invidualisme (individualism, selanjutnya disebut IDV), maskulin
(masculinity, selanjutnya disebut MAS), dan penghindaran ketidakpastian (uncertainty
avoidance, selanjutnya disebut UAI). Tabel 2.1 memperlihatkan tipikal orang Indonesia
dibandingkan dengan orang Amerika.
Tabel 1. Perbedaan budaya Indonesia dan USA
Sumber: diringkaskan dari Hofstede (1994)
Secara ringkas, PD didefinisikan sebagai seberapa besar ketidak-seimbangan terjadi
pada masyarakat. Salah satu contoh bentuk PD adalah misalnya di Indonesia sebagai
negara dengan nilai PD yang besar. Artinya, di Indonesia, anak harus patuh kepada orang
tua dan guru dimana anak di Amerika (negara dengan nilai PD kecil) memperlakukan
orang tua dan guru seimbang dengan dirinya.
Kemudian, IDV adalah seberapa besar hubungan antar individual dalam masyarakat
adalah longgar. Indonesia dengan nilai IDV tinggi menunjukan bahwa hubungan antar
Dimensi Peringkat Nilai Peringkat Nilai
budaya skor skor
Power distance (PDI) 8/9 78 38 40
Individualism (IDV) 47/48 14 1 91
Masculinity (MAS) 30/31 46 15 62
Uncertainty 41/42 46 43 48
avoidance (UAI)
Indonesia USA
7
individual dalam masyarkat adalah erat. Hubungan yang erat ini meletakan harmoni
sebagai kunci dalam menjaga hubungan.
Lebih lanjut, MAS berkaitan dengan perbedaan peran gender dan preferensi individu.
Negara dengan nilai MAS tinggi (misalnya Amerika) membedakan dengan jelas bahwa
laki-laki harus lebih agresif dibanding perempuan. Laki-laki harus memfokuskan pada
kesuksesan material dan perempuan harus lebih sederhana dan memperhatikan kualitas
hidup. Akan tetapi, negara dengan nilai MAS rendah mempunyai pandangan bahwa laki-
laki dan perempuan haruslah berlaku sederhana dan memperhatikan kualitas hidup. MAS
juga berkaitan dengan preferensi individu dalam masyarakat. Negara dengan MAS tinggi
menekankan pada pencapaian nilai-nilai heroik dan tegas. Sebaliknya, negara dengan
MAS rendah menekankan individu untuk menjaga hubungan, yaitu dengan
memperhatikan orang lain.
Akhirnya, UAI adalah toleransi atas ketidak-jelasan. Dalam dimensi ini, Indonesia dan
Amerika mempunyai nilai yang mirip atau mempunyai perspektif yang hampir sama
(Hofstede, 1994).
Data yang digunakan oleh Hosftede (1994) dalam menyusun peringkat tersebut adalah
data yang dikumpulkan dari beragam negara. Negara yang dipilih tersebut mempunyai
karakteristik sebagai berikut. Pertama, negara tersebut mempunyai satu bahasa yang
dominan, misalnya bahasa Indonesia untuk negara Indonesia. Kedua, mempunyai sistem
pendidikan nasional. Terakhir, negara tersebut mempunyai sistem politik nasional.
Dengan demikian, data yang didapat dari suatu negara, misalnya Indonesia, dapat
dikatakan sebagai tipikal Indonesia. Atau, data yang didapat dari negara Amerika, dapat
dikatakan tipikal Amerika (Hosftede, 1994). Penelitian yang dilakukan oleh Hofstede
menggunakan pekerja IBM sebagai respondennya.
2.1.3 Keunggulan dan keterbatasan dimensi-dimensi Hofstede
Pengukuran budaya dengan menggunakan dimensi-dimensi Hofstede merupakan
pengukuran budaya yang paling sering digunakan dalam penelitian manajemen dan
psikologi (Baskerville, 2003). Walaupun dimensi-dimensi budaya tersebut sering
digunakan dalam penelitian-penelitian (Tabel 2.2), terdapat juga kritik terhadap dimensi-
dimensi budaya yang diusulkan oleh Hofstede tersebut (Tabel 2.3).
8
Tabel 2. Penelitian yang menggunakan dimensi-dimensi budaya Hofstede dan
dimensi yang digunakan
Peneliti
(tahun)
IC PD MF UA LT Negara
Kaasa & Vadi
(2008)
Adapa (2008)
Jones (2007)
Tsoukatos & Rand
(2007)
Singh (2006)
Le & Stockdale
(2005)
Dash, Bruning, &
Guin (2004)
Hwang,
Francesco, &
Kessler (2003)
Kacen & Lee
(2002)
Pheng & Yuquan
(2002)
Oliver & Cravens
(1999)
Steenkamp,
terHofstede, &
Wedel (1999)
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
-
-
-
-
X
X
-
X
X
X
X
X
-
-
-
-
X
X
X
X
X
X
X
X
-
-
-
-
X
X
X
-
X
-
X
-
-
-
-
-
-
-
-
20 negara
(Belgia,
Prancis,
Jerman, dll)
Australia,
Indonesia
Greece
Prancis, Jerman
USA
India, Kanada
HongKong,
Singapur, USA
Australia, USA,
Singapur,
Malaysia
Singapur, Cina
USA
11 negara di
Eropa
Sumber: dari peneliti-peneliti sebagaimana yang disebutkan diatas
9
Tabel 3. Kelemahan / Kritik terhadap Dimensi-dimensi Budaya Hofstede
Kelemahan Peneliti (tahun)
Mereduksi atau menyederhanakan
budaya dalam empat atau lima
dimensi.
Nilai / skor Hofstede untuk tiap-
tiap negara adalah berdasarkan
nilai-nilai yang berkaitan dengan
pekerjaan (work-related values).
Nilai / skor Hofstede untuk tiap-
tiap negara bisa saja salah atau
sudah ketinggalan jaman (out-of-
date) karena dilakukan pada tahun
1967-1973.
Hanya menggunakan responden
yang berasal dari satu perusahaan
(yaitu IBM).
Menyamakan budaya dengan
bangsa (nation).
Jones (2007); Kirkman, Lowe, dan Gibson
(2006)
Steenkamp, terHofstede, dan Wedel (1999)
Kaasa dan Vadi (2008); Jones (2007);
Soares, Farhangmehr, dan Shoham (2007);
Tsoukatos dan Rand (2007); Steenkamp et
al. (1999)
Jones (2007); Tsoukatos dan Rand (2007)
Baskerville (2003)
Sumber: dari peneliti-peneliti sebagaimana yang disebutkan diatas
2.1.4 Budaya Indonesia
Ada dua pendapat mengenai budaya Indonesia, yaitu: (1) kebudayaan Indonesia itu
belum ada atau masih merupakan pembicaraan tentang cita-cita dan (2) kebudayaan
Indonesia itu sudah ada (Gunadi et al., 1995; Sastrosupono, 1982). Beberapa pakar
kebudayaan (misalnya: Kayam, 1997; Gunadi et al., 1995; Hassan 1989; Joesoef, 1987;
Suriasumantri, 1986; Sastrosupono, 1982) menyatakan bahwa kebudayaan Indonesia
adalah kebudayaan suku-suku yang memuncak pada suatu saat. Atau dengan perkataan
lain, kebudayaan Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan suku. Kebudayaan
Indonesia juga merupakan suatu sintesa dari berbagai macam budaya suku sehingga
melahirkan sesuatu yang baru. Adapun beberapa indikator budaya Indonesia adalah: (1)
bahasa nasional (Bahasa Indonesia), (2) Pancasila, (3) Undang Undang Dasar 1945, (4)
pembangunan dan modernisasi Indonesia, (5) lagu-lagu nasional, dan (6) karya seni
nasional.
10
Penjelasan singkat mengenai dua contoh budaya Indonesia adalah sebagai berikut.
Contoh yang pertama adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan
pengejawantahan budaya Indonesia yang menjadi penjalin kesatuan dan pengikat ke-
kitaan Indonesia (Hassan 1989, h.21). Contoh yang kedua adalah Pancasila. Pancasila
ditentukan oleh nilai-nilai yang hidup dan berkembang di Indonesia. Manusia Indonesia
rata-rata mengenalnya- disudut manapun mereka berada pada bumi Nusantara- walaupun
dengan derajat penghayatan yang berbeda dan wujud pengamalan yang berlainan, sesuai
dengan kondisi alami dan keadaan zaman masing-masing (Joesoef, 1987, h.14).
Berbeda dengan beberapa pakar yang disebutkan sebelumnya, Magnis-Suseno (1996)
mendefinisikan budaya Indonesia sebagai budaya yang majemuk yang terdiri dari lebih
200 budaya seperti budaya Jawa, Sunda, Batak, dan beragam budaya lainnya. Lebih
lanjut, Magnis-Suseno (1996) berpendapat bahwa budaya Jawa (ataupun beragam
lainnya) mencerminkan budaya Indonesia.
Sarwono (1998) menjelaskan bahwa walaupun ada banyak budaya di Indonesia, tetapi
ada nilai-nilai utama (core values) bangsa Indonesia yang dominan. Nilai-nilai utama
tersebut didasarkan pada kriteria bahwa nilai-nilai itu harus diterima dan diamalkan baik
dalam sikap maupun perilaku sebagian besar rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut adalah:
harmonis, toleransi, gotong-royong, dan religius.
Harmoni dan toleransi berarti menjaga kesimbangan dalam bermasyarakat. Sebagai
contoh, ambisi seseorang untuk mendapatkan sesuatu tidak diekspresikan secara lugas,
melainkan orang cenderung untuk bertindak dan berkata-kata secara tidak langsung untuk
menghindari adanya friksi dengan pihak lain. Sedangkan gotong-royong merupakan nilai
bangsa Indonesia yang telah dikenal sejak lama. Misalnya, masyarakat suatu wilayah atau
kampung umumnya sering bergotong-royong untuk melaksanakan suatu acara tertentu
seperti acara hari kemerdekaan Republik Indonesia. Harmoni, toleransi dan gotong
royong ini juga dikenal sebagai budaya kolektif, atau budaya “kita” (Hofstede, 1994).
Nilai yang lain, religius, dalam kaitannya dengan bidang perilaku konsumen merupakan
nilai yang mempengaruhi seseorang dalam berkonsumsi. Sebagai contoh, McDonald
tidak menjual makanan yang mengandung babi atau kandungan-kandungan lain yang
diharamkan oleh ajaran agama. Lebih lanjut, banyak gerai makanan yang tutup atau buka
setengah hari untuk menghormati orang yang berpuasa.
11
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan penelitian
Berdasarkan masalah penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penelitian ini
secara khusus bertujuan untuk mengembangkan alat ukur untuk dapat mengidentifikasi
dimensi budaya Indonesia yang akurat dan valid dengan mengaplikasikan metode ilmiah
yang setepat-tepatnya (rigorous scientific methods).
3.2 Manfaat penelitian
Penelitian ini memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Penelitian ini mengidentifikasi dimensi-dimensi budaya Indonesia melalui nilai-nilai
bangsa Indonesia. Pengidentifikasian dimensi-dimensi bangsa Indonesia adalah penting
karena banyak penelitian yang mengukur budaya menggunakan dimensi-dimensi budaya
yang tidak sesuai dengan konteks Indonesia.
2. Pemahaman akan nilai-nilai bangsa Indonesia adalah juga penting bagi praktisi dan
pembuat kebijakan. Sebagai contoh, pemahaman akan budaya Indonesia akan membantu
pemasar mengaplikasikan program-programnya dalam bentuk “think globally, act
locally.”
12
BAB IV. METODE PENELITIAN
Gambar 4.1 memperlihatkan proses penelitian. Dari gambar tersebut dapat disampaikan
bahwa penelitian ini berangkat atau dimulai dari pemahaman akan masalah penelitian.
Kemudian, tinjauan literatur dilakukan untuk memberikan pemahaman yang lebih
mendalam mengenai masalah penelitian. Selanjutnya, metode penelitian disusun untuk
menjawab masalah penelitian.
Gambar 1. Alur Penelitian
Proposal penelitian
Masalah Tinjauan Metode Hasil dan Kesimpulan
Penelitian Literatur Penelitian Pembahasan
Pengembangan
Skala (scale
development )
Langkah 1: Langkah 2: Langkah 3: Langkah 4: Langkah 5: LUARAN
Menghasilkan Mengembangkan Mengumpulkan Mengevaluasi Uji coba PENELITIAN
aitem-aitem skala data skala indikator
1.1 Definisi budaya 2.1 Penentuan 3.1 Menentukan 4.1 Menilai keandalan 5.1 Uji coba Dimensi-
dan budaya aitem yang lay-out kuesio- dan validitas indikator dimensi bu-
Indonesia* digunakan ner 4.1.1 Reliabilitas pada daya Indone-
1.2 Focus interview** 2.2 Penentuan 3.2 Mengumpul- - Cronbach alpha wilayah sia
1.2.1 Expert sampel yang kan data - corrected item- Jakarta,
1.2.2 Masyarakat akan digunakan (Jakarta, total correlation Bandung,
1.3 Penilaian validitas 2.3 Penentuan Bandung, Se- 4.1.2 Validitas Sema-
1.3.1 Content validity penggunaan marang, Su- - Construct validity rang,
1.3.2 Face validity kalimat/aitem rabaya) -- convergent validity Surabaya
yang digunakan -- discriminant validity
(apakah meng-
gunakan kalimat 4.2 Analisis data
positif atau 4.2.1 Single dimension analysis
negatif) 4.2.2 Higher-order analysis
2.4 Format jawaban
Indikator capaian: Indikator capaian: Indikator capaian: Indikator capaian: Indikator capaian:
* aitem-aitem budaya * aitem-aitem yang * data (berasal * Dimensi-dimensi budaya * Dimensi-
Indonesia akan digunakan dari responden Indonesia (awal) dimensi budaya
dalam kuesioner yang ada di Ja- Indonesia
karta, Bandung,
Semarang, Sura-
baya)
Sumber: dikembangkan untuk penelitian ini dengan didasarkan pada Verbeke (2007), Parasuraman et al.
(2005), Adcock dan Collier (2001), Clark dan Watson (1995), Churchill (1979)
3.1 Pengembangan Skala
Pengembangan skala akan dilakukan dengan menggunakan 5 tahapan sebagaimana pada
Gambar 1. Pertama adalah dengan menghasilkan aitem-aitem yang dilakukan dengan
pendekatan deduktif (berdasarkan definisi budaya Indonesia) dan induktif (hasil dari
focus interview). Untuk menghasilkan indikator-indikator penelitian, ada 3 langkah yang
13
diusulkan pada proposal penelitian. Ketiga langkah tersebut adalah: tinjauan literatur,
wawancara dengan nara sumber dan wawancara dengan masyarakat. Akan tetapi, pada
saat presentasi proposal hibah bersaing, kami mendapatkan masukan untuk mendapatkan
informasi mengenai nilai bangsa Indonesia dari masyarakat secara langsung. Oleh karena
itu, proses untuk menghasilkan aitem-aitem budaya Indonesia dilakukan sebagai berikut:
Rencana awal (proposal penelitian):
Tinjauan literatur
Aitem-aitem budaya Indonesia
Wawancara dengan nara sumber dan masyarakat
Pelaksanaan saat ini (laporan penelitian):
Tinjauan literatur
Aitem-aitem budaya Indonesia
Wawancara dengan nara sumber dan masyarakat
Studi eksplorasi mengenai nilai
(Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya)
Tahap kedua dalam pengembangan skala adalah tahap penentuan aitem yang akan
digunakan dan penulisan aitem-aitem tersebut. Tahap selanjutnya adalah membuat
kuesioner dan kemudian didistribusikan untuk mendapatkan data dari responden yang
berada di Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya (Gambar 2).
Gambar 2. Proses penetuan aitem dalam kuesioner
Hasil eksplorasi
Konfirmasi – Nara sumber
Kuesioner Arti kata – Membuat aitem
Content validity – Nara sumber
14
3.2 Analisis Data
Data pada penelitian ini akan dianalisis melalui tiga tahap: (1) proses pra-analisis, (2)
statistik deskriptif dan (3) statistik inferensial (Sekaran, 2010). Proses pra-analisis
meliputi memasukan dan membersihkan data. Sedangkan statistik deskriptif yang
digunakan adalah frekuensi dan persentase khususnya untuk menggambarkan profil
responden. Statistik inferensial pada penelitian ini adalah digunakannya exploratory
factor analysis (EFA) dan confirmatory factor analysis (CFA) sebagai teknik
menganalisis data.
3.2.1 Proses Pra-Analisis
Pada tahap proses pra-analisis, data akan diperiksa baik oleh assisten penelitian dan oleh
peneliti sendiri. Pemeriksaan data ini meliputi kelengkapan jawaban dan profil
responden. Kuesioner yang tidak lengkap tidak akan diproses lebih lanjut. Adanya
assistan penelitian dalam pengumpulan data diharapkan mampu membantu
meminimalkan kuesioner yang tidak terpakai karena jawaban yang tidak lengkap.
3.2.2 Statistik Deskriptif
Analisis deskriptif bertujuan untuk mentransformasi data mentah menjadi suatu bentuk
yang dapat memberikan informasi dalam menggambarkan faktor-faktor yang digunakan
dalam penelitian ini (Sekaran, 2010). Penelitian ini akan menggunakan alat frekuensi dan
persentase untuk menggambarkan profil responden. Lebih lanjut, mean dan standard
deviation akan digunakan untuk menggambarkan tipikal jawaban responden.
3.2.3 Statistik Inferensial
Analisis faktor merupakan metode yang kuat (powerful) dan yang harus ada
(indispensable) untuk menguji validitas konstruk (Kerlinger & Lee, 2000, h.679). Dalam
analisis faktor (factor analysis), rotasi yang digunakan adalah rotasi varimax. Rotasi ini
memberikan hasil yang baik dalam memaksimalkan jumlah variansi yang dapat
membedakan faktor-faktor dengan jelas (Hair et al., 2006). Hair et al. juga memberikan
arahan dalam menentukan nilai factor loading yang dianggap signifikan. Menurut
mereka, nilai loading terkait dengan jumlah sampel. Dengan didasarkan pada tabel yang
15
diringkaskan oleh Hair et al., maka dalam penelitian ini, factor loading yang signifikan
adalah factor loading yang mempunyai nilai lebih besar dari 0.35 dimana sampel yang
dibutuhkan agar signifikan adalah 250 (Hair et al., 2006). Sampel penelitian ini sendiri
adalah lebih dari 250, tepatnya 300 responden per wilayah.
Dalam analisis faktor juga mengaplikasikan KMO (the Kaiser-Meyer-Olkin) untuk
mengukur seberapa jauh indikator-indikator suatu konstruk dalam kelompok yang sama.
Dengan kata lain, KMO mengukur homogenitas variabel (Sharma, 1996). Sharma juga
memberikan rekomendasi bahwa batasan nilai KMO yang memadai untuk penelitian
adalah KMO lebih besar atau sama dengan 0.70.
Selain analisis faktor, penelitian ini juga menggunakan confirmatory factor analysis
(selanjutnya disebut CFA) untuk menguji validitas konstruk. CFA juga merupakan alat
uji validitas konstruk yang lebih rigid dibandingkan dengan teknik lainnya (Garver &
Mentzer, 1999; Steenkamp & Van Trijp, 1991). CFA juga dapat dipahami sebagai model
pengukuran (measurement model) karena CFA fokus pada hubungan antar konstruk dan
ukuran (Bagozzi, 1994). Lebih lanjut, dengan mengacu pada Sekaran (2010), validitas
konstruk pada penelitian ini dinilai dari validitas konverjen (convergent validity) dan
validitas diskriminan (discriminant validity).
16
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil studi eksplorasi
Sebagaimana juga telah dijelaskan pada bab sebelumnya, ada langkah penelitian yang
berubah dari apa yang direncanakan dalam proposal penelitian. Langkah tersebut adalah
menghasilkan aitem-aitem budaya Indonesia yang dilakukan dengan cara tinjauan
literatur, wawancara dengan nara sumber, dan studi eksplorasi.
Duaribu seratus kuesioner dengan pertanyaan terbuka telah didistribusikan di empat
wilayah penelitian. Wilayah tersebut adalah Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya.
Dari 2100 kuesioner yang disebar tersebut, sebanyak 1510 kuesioner (response rate
71.9%) yang kembali, dan sebanyak 1455 kuesioner yang dapat digunakan (usable
response rate 69.3%) untuk mengidentifikasi nilai-nilai bangsa Indonesia (Tabel 4).
Tabel 4. Tingkat Pengembalian Kuesioner Studi Eksplorasi
Wilayah Kuesioner yang
disebar
Kuesioner yang
kembali
Kuesioner yang
dapat digunakan
Jakarta
Bandung
Semarang
Surabaya
Total
500
500
500
600
2100
380
361
355
414
1510
351
350
350
404
1455
Dari kuesioner yang dapat digunakan tersebut maka nilai-nilai bangsa Indonesia yang
dapat diidentifikasi adalah sebagaimana pada Gambar 3 dan 4 dibawah ini.
17
Gambar 3. Hasil eksplorasi nilai-nilai positif
325
259
156
145
118
115
112
108
105
97
89
86
72
69
68
60
56
52
45
37
36
36
0 100 200 300 400
Gotong-royong
Agama
Demokrasi
Pancasila
Budaya
Kekeluargaan
Persatuan dan Kesatuan
Ramah-tamah
Toleransi
Sopan santun
M usyawarah
Sosial
Kemanusiaan
Tenggang rasa
Keadilan
Kejujuran
KeTuhanan
Kebersamaan
Tolong-menolong
Saling menghormati
UUD 1945
Kerukunan
Gambar 4. Hasil eksplorasi nilai-nilai negatif
199
144
114
88
61
51
58
53
45
33
32
0 50 100 150 200 250
Korupsi
Individualisme
KKN
Egois
M aterialist is
Konsumptif
Anarki
M ementingkan golongan
M engikut i budaya barat
Fanatisme
Hedonisme
18
5.2 Proses dan hasil pengembangan aitem / indikator penelitian
Setelah hasil studi eksplorasi didapat, maka langkah selanjutnya adalah membuat aitem-
aitem yang akan digunakan dalam kuesioner penelitian. Langkah yang dilakukan
kemudian adalah mengidentifikasi nilai-nilai yang paling sering disebut responden.
Kemudian, dari nilai-nilai tersebut dibuat 3 – 5 aitem untuk tiap nilai. Pada saat membuat
aitem, pemahaman akan makna dari nilai-nilai yang disebut menjadi dasar dalam
pembuatan aitem. Aitem-aitem yang dibuat kemudian dinilai oleh dua orang ahli. Hasil
penilaian dari kedua ahli tersebut menunjukkan perlunya sedikit perbaikan dalam
pembuatan aitem agar mudah dipahami responden. Aitem yang kemudian dapat
dihasilkan berjumlah 162 aitem sebagai berikut.
Tabel 5. Aitem-aitem yang dihasilkan
Gotong-royong
1. Di dalam mengerjakan sesuatu, bekerja bersama-sama lebih penting dibandingkan bekerja sendirian.
2. Salah satu hal penting dalam bermasyarakat adalah gotong-royong.
3. Saling membantu adalah kebiasaan yang ada di lingkungan masyarakat.
4. Pada saat saya melakukan sesuatu, biasanya saya cenderung melakukannya bersama-sama.
5. Masyarakat lebih berhasil dalam mencapai sesuatu jika bekerja-sama.
Agama / Keagamaan
6. Agama menjadi petunjuk dalam berperilaku.
7. Setiap orang wajib menganut salah satu agama.
8. Beragama adalah keyakinan saya akan keberadaan Tuhan.
9. Beribadah sesuai dengan agama yang dianut.
10. Agama adalah pegangan dalam berperilaku.
Demokrasi
11. Negara harus memperhatikan persamaan hak semua warga negara.
12. Negara harus memperhatikan kewajiban semua warga negara.
13. Demokrasi adalah rakyat bebas mengeluarkan pendapat.
14. Demokrasi adalah hal utama menjadikan Indonesia menjadi lebih baik.
15. Saya percaya setiap warga negara memiliki hak menentukan jalannya kehidupan bernegara.
16. Pemilu adalah wujud demokrasi di Indonesia.
Pancasila
17. Dasar negara Republik Indonesia adalah Pancasila.
18. Falsafah bangsa Indonesia adalah Pancasila.
19. Pancasila merupakan nilai bangsa Indonesia.
20. Pancasila adalah pegangan hidup bernegara.
Budaya
21. Keragaman budaya merupakan ciri khas bangsa Indonesia.
22. Kesenian bangsa Indonesia (tarian dan lagu tradisional) harus tetap dipertahankan.
23. Penting untuk menjaga cagar budaya (misalnya: museum dan monument).
24. Nilai-nilai budaya masih menjadi pegangan berperilaku.
25. Tradisi masih dijalankan masyarakat Indonesia.
19
Kekeluargaan
26. Setiap orang perlu memperhatikan keluarganya.
27. Bagi saya, keluarga adalah hal utama.
28. Kekeluargaan merupakan salah satu dasar dalam kehidupan.
29. Setiap orang perlu menjaga hubungan kekeluargaan.
30. Keluarga tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan saya.
Persatuan dan kesatuan
31. Bahasa Indonesia adalah simbol persatuan bangsa.
32. Berbeda-beda tetapi satu (Bhinneka Tunggal Ika) adalah pandangan hidup bangsa Indonesia.
33. Penting untuk menjaga persatuan bangsa.
Ramah-tamah
34. Saya biasanya akan menyapa orang terlebih dahulu.
35. Saya mudah akrab dengan orang lain.
36. Senyum adalah bentuk keramahan.
37. Saya menghindari kemarahan di depan umum.
38. Biasanya saya memulai percakapan dengan orang lain.
Toleransi
39. Saya menghargai perbedaan.
40. Setiap orang boleh berbeda.
41. Saya menerima perbedaan budaya.
42. Saya terbuka terhadap budaya baru.
43. Kekurangan orang lain tidak menjadi masalah bagi saya.
Sopan Santun
44. Sopan santun merupakan ciri bangsa Indonesia.
45. Sopan santun diperlukan dalam pergaulan untuk menjaga keharmonisan.
46. Norma kesusilaan merupakan nilai penting dalam masyarakat kita.
47. Budi pekerti yang baik perlu diajarkan sejak dini masyarakat.
48. Penting memiliki tata krama dalam kehidupan bermasyarakat.
Musyawarah
49. Perselisihan dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah.
50. Saya berusaha secara bersama-sama mencari jalan keluar untuk sebuah masalah.
51. Saya membahas sesuatu masalah secara bersama-sama mendapatkan solusi.
52. Masyarakat melakukan musyawarah untuk mufakat.
53. Lingkungan saya menjaga kerukunan dengan cara bermusyawarah.
Sosial
54. Penting untuk memperhatikan kepentingan umum.
55. Setiap orang perlu memperhatikan lingkungannya.
56. Saya dengan senang hati menolong orang yang membutuhkan pertolongan.
57. Saya memperhatikan kepentingan masyarakat.
58. Sifat manusia adalah suka tolong menolong.
Kemanusiaan
59. Manusia merupakan makluk ciptaan Tuhan.
60. Setiap manusia memiliki akal budi.
61. Setiap manusia memiliki perasaan yang mempengaruhi tingkah lakunya.
62. Tidak pernah puas merupakan ciri tiap manusia.
Tenggang Rasa
63. Tenggang rasa merupakan sifat bangsa Indonesia.
20
64. Sikap tenggang rasa merupakan nilai pemersatu bangsa.
65. Saya sadar bahwa setiap orang memiliki kelemahan.
66. Setiap manusia memiliki keterbatasan masing-masing.
67. Saya berusaha menghargai keterbatasan orang lain.
Keadilan
68. Penting bagi setiap orang untuk bersifat adil dengan sesamanya.
69. Keadilan adalah penting dalam kehidupan bermasyarakat.
70. Setiap orang sepatutnya tidak sewenang-wenang terhadap sesamanya.
71. Jika ada masalah melibatkan dua pihak, saya tidak berat sebelah.
72. Dalam memutuskan masalah yang melibatkan dua pihak, saya berpegang pada kebenaran.
Kejujuran
73. Penting untuk bersifat jujur.
74. Setap orang perlu berkata apa adanya.
75. Kejujuran adalah salah satu dasar dalam kehidupan.
76. Saya menjalankan segala sesuatu sesuai dengan aturan.
77. Saya berusaha untuk tidak berbohong.
78. Saya berusaha untuk tidak melakukan kecurangan.
Ketuhanan
79. BerkeTuhanan yang Maha Esa
80. Saya mempercayai bahwa Tuhan itu ada.
81. Tuhan adalah pencipta alam dan seisinya.
82. Saya percaya bahwaTuhan Maha Kuasa.
83. Agama saya mengajarkan tentang Tuhan.
Kebersamaan
84. Kebersamaan merupakan ciri khas bangsa Indonesia.
85. Banyak kegiatan lingkungan dilakukan secara bersama-sama.
86. Kegitan-kegiatan lingkungan merupakan cerminan kebersamaa.
87. Kebersamaan merupakan nilai dalam keluarga.
88. Kebersamaan merupakan nilai dalam masyarakat.
89. Kebersamaan adalah melakukan sesuatu dalam kesepahaman.
Tolong-menolong
90. Tolong-menolong adalah salah satu pegangan dalam bermasyarakat.
91. Bekerja bersama-sama dalam kegiatan lingkungan adalah penting.
92. Setiap orang perlu bahu-membahu dalam melakukan kegiatan kemasyarakatan.
93. Saling menolong adalah ciri makluk sosial.
94. Saya membalas pertolongan orang lain
Saling menghormati
95. Saling menghormati adalah kewajiban setiap orang.
96. Saling menghormati dapat menghindari perselisihan.
97. Kerukunan dalam umat bergama adalah hasil dari saling menghormati antar agama.
98. Demokrasi dalam berbangsa mensyaratkan sikap saling menghormati.
UUD 1945
99. Dasar negara Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945.
100.UUD 1945 adalah pedoman dalam menjalankan negara.
101.UUD 1945 adalah amanat rakyat yang harus dilaksanakan.
102.UUD 1945 adalah pedoman bagi setiap warga dalam menyeimbangkan hak dan kewajiban.
Kerukunan
103.Keharmonisan dalam hubungan antar agama adalah bentuk kerukunan.
21
104.Hidup rukun adalah nilai yang senantiasa ditanamkan oleh keluarga.
105.Kerukunan senantiasa dijaga untuk mencegah perselisihan.
106.Setiap warga berkewajiban menjaga kerukunan.
107.Kerukunan mencegah terjadinya perpecahan.
Egois
108.Kepentingan orang lain bukan sesuatu yang berarti.
109.Saya harus mengutamakan kepentingan saya diatas kepentingan orang lain.
110.Adalah wajar apabila setiap pendapat saya adalah benar.
111.Saya perlu mendapatkanan perhatian dibanding orang lain.
112.Setiap orang sebaiknya mengikuti pendapat saya dengan sebaik-baiknya.
Individualisme
113.Hak perseorangan lebih berharga dibandingkan hak masyarakat
114.Diri saya lebih penting dibandingkan dengan orang lain.
115.Saya bebas berbuat apa saja.
116.Kebutuhan setiap orang tidak dapat disama-ratakan.
Korupsi
117.Penyalahgunaan waktu bekerja untuk urusan pribadi adalah korupsi.
118.Menggunakan uang perusahaan untuk urusan pribadi atau orang lain dapat dibenarkan.
119.Berlaku curang untuk kepentingan pribadi dapat dibenarkan.
120.Saya akan menggunakan fasilitas perusahaan untuk kepentingan pribadi.
121.Korupsi tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang saya anut.
Kolusi
122.Menurut saya kolusi dapat dilakukan.
123.Kolusi terjadi di setiap aspek bermasyarakat.
124.Dalam banyak situasi, saya membuat kesepakatan rahasia untuk kepentingan saya.
125.Konspirasi perlu dilakukan untuk mendapatkan sesuatu.
126.Sesuatu dapat direkayasa untuk kepentingan pihak tertentu.
Nepotisme
127.Jika memungkinkan, saya mengu-tamakan kerabat/saudara saya bekerja
128.Adalah penting mengutamakan sanak saudara sendiri pada lingkungan saya bekerja.
129.Saya suka mengutamakan kerabat atau sanak saudara saya.
130.Saya lebih merasa nyaman bekerja dengan keluarga / kerabat saya.
131.Saya lebih percaya pada keluarga / kerabat saya di dalam bekerja.
Materialistis
132.Kekayaan adalah tujuan hidup saya.
133.Setiap orang dapat dinilai dari kekayaan yang dimilikinya.
134.Orang tidak dapat hidup tanpa harta benda.
135.Saya selalu terdorong memiliki banyak harta benda.
Konsumtif
136.Saya cenderung membeli sesuatu berlebih dibandingkan dengan kebutuhan saya.
137.Jika saya memiliki uang, saya cenderung membeli sesuatu yang saya inginkan.
138.Saya senang membeli apa yang saya inginkan.
Anarki
139.Saya menciptakan ketertiban dengan cara saya sendiri.
140.Peraturan dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan saya.
141.Saya berusaha mencapai maksud saya sendiri walaupun bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
142.Undang-undang pemerintah bukan merupakan hal yang mutlak dilaksanakan.
22
Mementingkan Golongan
143.Saya memprioritaskan kelompok terlebih dahulu.
144.Bagi saya, kelompok lain tidak perlu saya pikirkan.
145.Keinginan kelompok saya lebih utama.
146.Hak golongan harus senantiasa dipenuhi.
147.Kepentingan golongan harus senantiasa dipenuhi.
Mengikuti budaya barat
148.Saya cenderung menerima budaya barat.
149.Budaya barat mempengaruhi sikap saya.
150.Budaya barat mempengaruhi perilaku saya.
151.Saya senantiasa berusaha mengikuti perubahan budaya barat.
152.Budaya barat senantiasa menjadi acuan tindakan saya.
Fanatisme
153.Saya mempertahankan agama saya.
154.Saya berjuang untuk agama saya.
155.Agama lain memiliki kekurangan dibandingkan agama saya.
156.Saya mempertahankan keyakinan saya dengan cara apapun.
157.Saya menolak pemahaman yang berbeda dengan saya.
Hedonisme
158.Menurut saya, hidup adalah sebuah kesenangan.
159.Materi merupakan tujuan hidup saya.
160.Dengan memiliki materi, saya menikmati hidup.
161.Materi adalah hal utama dalam hidup saya.
162.Bersenang-senang adalah tujuan hidup saya.
5.3 Pembahasan
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dimensi-dimensi budaya Indonesia.
Hal ini didasarkan adanya kebutuhan untuk mengembangkan dimensi-dimensi budaya
Indonesia menurut konteks Indonesia. Sepanjang yang peneliti ketahui, umumnya
penelitian baik dalam bidang pemasaran atau perilaku konsumen yang menggunakan
variabel budaya kemudian akan mengukur budaya tersebut dengan dimensi-dimensi yang
dikembangkan oleh Hofstede (1980) dan Hofstede dan Bond (1988). Dengan tetap
mengapresiasikan keunggulan dari dimensi budaya yang dikembangkan oleh Hofstede,
penelitian ini berangkat dari kelemahan-kelemahan dimensi budaya Hofstede.
Hasil dari studi eksplorasi memberikan insight yang menarik. Responden penelitian
menunjukkan bahwa nilai-nilai yang mereka anut adalah nilai-nilai yang positif dan
negatif sebagaimana telah disampaikan pada hasil penelitian. Nilai positif yang umumnya
disebutkan oleh responden adalah gotong-royong, keagamaan, dan demokrasi. Sedangkan
nilai negatif yang ditunjukan oleh responden adalah korupsi, individualisme, dan KKN.
23
Nilai adalah sesuatu yang dipelajari melalui keluarga inti dan merupakan hasil dari
proses turun-temurun. Nilai juga dipelajari dari lingkungan. Nilai-nilai yang dipelajarinya
itu kemudian menjadi sesuatu yang stabil.
Nilai sering dikonotasikan dengan sesuatu yang baik, berharga, bermartabat, dan
positif (Sujarwa, 2010). Akan tetapi, Sujarwa (2010) juga menunjukkan bahwa ada
sesuatu yang dijauhi karena bermakna negatif. Hal tersebut disebut dengan ”non-nilai”
atau disvalue. Sedangkan untuk sesuatu yang negatif tersebut, Bertens (2007, dalam
Sujarwa, 2010) menyebutnya dengan nilai negatif. Dengan demikian, nilai dalam arti
positif disebut dengan nilai, sedangkan nilai bermakna negatif disebut dengan nilai
negatif.
Perubahan dan perkembangan adalah sesuatu yang pasti. Masyrakat, lingkungan,
budaya, dan banyak hal yang dapat disebut mengalami perubahan atau perkembangan.
Demikian juga dengan nilai-nilai bangsa Indonesia yang mengalami pergeseran.
Mengacu pada Schiffman, Kanuk, dan Wisenblit (2010), peneliti dan penulis buku
perilaku konsumen, salah satu indikator adanya perubahan nilai pada masyarakat dapat
dilihat dari teks atau lirik-lirik lagu yang ada pada masyrakat tersebut. Sebagai contoh,
lagu-lagu pop Indonesia pada 5 tahun terakhir mengalami pergeseran nilai. Jika
sebelumnya, lirik lagu-lagu tersebut bertemakan cinta pada seseorang (yang biasanya
adalah kekasih), maka lirik lagu-lagu saat ini berterus terang tentang adanya
perselingkuhan. Dimulai dari lagu “Sephia” yang diciptakan oleh grup band Sheila on 7
yang bercerita tentang kekasih gelap, beberapa lagu yang popular dimasyarakat juga
kemudian mengangkat tema yang sama, yaitu perselingkuhan seperti lagu “kekasih
gelapku” (Ungu), “lelaki cadangan” (T2), dan “simpananku” (Govinda). Tidak hanya itu,
nilai-nilai keagamaan juga semakin tergerus. Grup band Padi, dengan single lagunya
yang berjudul “tempat terakhir” juga menuai kontroversi. Hal ini karena dalam lirik
lagunya dikatakan: “Meskipun aku di surga, mungkin aku tak bahagia, bahagiaku tak
sempurna, bila itu tanpamu”.
Perubahan nilai membawa dampak pada perubahan perilaku. Perubahan nilai juga
tidak dapat dihindari. Dengan demikian, penelitian ini penting karena berupaya
menghasilkan dimensi-dimensi budaya Indonesia dengan nilai-nilai kekinian.
24
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 KESIMPULAN
Penelitian ini telah mengidentifikasi nilai-nilai yang dianut oleh bangsa Indonesia. Nilai-
nilai tersebut kemudian dibuat menjadi 162 indikator penelitian. Kuesioner dengan 162
indikator tersebut didistribusikan kepada responden di wilayah Jakarta, Bandung,
Semarang, dan Surabaya. Hasilnya kemudian dapat digunakan untuk membentuk
dimensi-dimensi budaya Indonesia.
6.2 SARAN
Penelitian tahun kedua digunakan untuk menguji ulang indikator penelitian. Akan tetapi,
penelitian tahun kedua juga dapat digunakan tidak hanya untuk menguji ulang indikator
pada responden dengan kriteria yang sama pada tahun pertama. Tetapi, kuesioner juga
dapat disebar pada responden yang berbeda, yaitu mahasiswa. Dengan demikian, hasil
penelitian kemudian dapat menjadi lebih kuat.
25
DAFTAR PUSTAKA
Adapa, S. (2008). Adoption of internet shopping: cultural considerations in India and
Austalia. Journal of Internet Banking and Commerce, 13, 2. Available at:
http://www.araydev.com/commerce/jibc/.
Adcock, R. dan Collier, D. (2001). Measurement validity: a shared standard for
qualitative and quantitative research. American Political Science Review, 95, 3,
529-546.
Bagozzi, R.P. (1994). Structural equation models in marketing research: basic principles,
in Principles of Marketing Research, R.P. Bagozzi (ed.), Masschusetts: Blackwell
Publishers.
Baskerville, R.F. (2003). Hofstede never studied culture. Accounting Organizations and
Society, 28, 1-14.
Brislin, R. (2000). Understanding culture’s influence on behavior. Fort Worth: Harcourt.
Churchill, G.A. (1979). A paradigm for developing better measure of marketing
constructs. Journal of Marketing Research, 16, 64-73.
Dash, S., Bruning, E.R. dan Guin, K.K. (2004). Bonding and commitment in buyer-seller
relationships: a cross-cultural comparison in banking. ASAC Conference, Quebec
City, Quebec.
Dayakisni, T. dan Yuniardi, S. (2003). Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Press.
De Mooij, M. (2004). Consumer behavior and culture: consequences fro global
advertising and advertising, Thousand Oaks, CA: Sage.
Deshpande, R. (1999). Foreseeing marketing. Journal of Marketing, 63, 164-167.
Garver, M.S. dan Mentzer, J.T. (1999). Logistics research methods: employing structural
equation modeling to test for construct validity. Journal of Business Logistics, 20,
1, 33-57.
Gunadi, I.H, Sutarno, Handayani, T. dan Lutfiah, A. (1995). Wujud, Arti dan Fungsi
Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli Bagi Masyarakat Pendukungnya,
Semarang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Lee,C. dan Green, R.T. (1991). Cross-cultural examination of the Fishbein behavioral
intentions model. Journal of International Business Studies, 2nd
Quarter, 289-305.
Hair, J.F., Anderson, R.E., Tatham, R.L. dan Black, W.C. (2006)., Multivariate data
analysis, New Jersey: Prentice-Hall International, Inc.
26
Hassan, F. (1989), Renungan Budaya, Jakarta: Balai Pustaka.
Hofstede, G. (1980). Culture’s consequences: international differences in work-related
values.Beverly Hills, CA: Sage.
Hofstede, G. dan Bond, M.H. (1988). The Confucius connection: from cultural roots to
economic growth. Organizational Dynamics, 16, 4, 5-21.
Hofstede, G. (1994). Cultures and organizations: software of the mind. London: Harper-
Collins Publishers.
Horton, R.L. (1984). Buyer Behavior: A Decision-Making Approach. Ohio: Charles, E.
Merrill Publishing Company.
Japarianto, E. (2006). Budaya dan behavior intention mahasiswa dalam menilai service
quality Universitas Kristen Petra. Jurnal Manajemen Pemasaran, 1, 1, 44-52.
Joesoef, D. (1987). Pancasila, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan dalam Pancasila
sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu, Prawihardjo, S.H., Bakker, Sutrisno, S.
(editor), Yogyakarta: PT. BP Kedaulatan Rakyat.
Jones, M.L. (2007). Hofstede – culturally questionable? Oxford Business & Economics
Conference. Oxford, UK, 24-26 June.
Kacen, J.J. Lee, J.A. (2002). The influence of culture on consumer impulsive buying
behavior. Journal of Consumer Psychology, 12, 1, 163-176.
Kerlinger, F.N. dan Lee, H.B. (2000). Foundations of behavioral research, Fort Worth:
Harcout College Publishers.
Kirkman, B.L., Lowe, K.B. dan Gibson, C.B. (2006). A quarter century of Culture’s
Consequences: a review of empirical research incorporating Hofstede‟s cultural
values framework. Journal of International Business Studies, 37, 285-320.
Magnis-Suseno, F. (1996), Budaya dan pengaruhnya terhadap budaya perusahaan
Indonesia. Usahawan, No. 7, Juli.
Maheswaran, D. dan Shavitt, S. (2000). Issues and new directions in global consumer
psychology. Journal of Consumer Psychology, 9,2, 59-66.
Matsumoto, D. dan Juang, L. (2004). Culture and psychology, 3rd
ed., USA:
Wadsworth/Thomson.
Murray, J.B. dan Evers, D.J. (1989). Theory borrowing and reflectivity interdisciplinary
fields. Advances in Consumer Research, 16, 647-652.
27
Oliver, E.G. dan Cravens, K.S. (1999). Cultural influences on managerial choice: an
empirical study of employee benefit plans in the United States. Journal of
International Business Studies, 30, 4, 745-762.
Parasuraman, A., Zeithml, V.A. dan Malhotra, A. (2005). E-S-QUAL: a multiple-item
scale for assessing electronic service quality. Journal of Service Research, 7, 213-
233.
Pheng, L.S. and Yuquan, S. (2002). An exploratory study of Hofstede;s cross-cultural
dimensions in construction projects. Management Decision, 40, 1, 7-16.
Sekaran, U. (2010). Research methods for business: a skill building approach, 5th edn.,
NY: John Wiley & Sons.
Sarwono, S.S. (1998). Cultural values and marketing practices in Indonesia. Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Indonesia, 13, 2, 90-100.
Sastrosupono, M.S. (1982). Menghampiri Kebudayaan, Bandung: Penerbit Alumni.
Sharma, S. (1996). Applied multivariate techniques, New York: John Wiley & Sons.
Singh, S. (2006). Cultural differences in, and influences on, consumers‟ propensity to
adopt innovations. International Marketing Review, 23, 2, 173-191.
Soares, A.M., Farhangmehr, M. dan Shoham, A. (2007). Hofstede‟s dimensions of
culture in international marketing studies. Journal of Business Research, 60, 277-
284.
Steenkamp, J.M.E., ter Hofstede, F. dan Wedel, M. (1999). A cross-national investigation
into the individual and national cultural antecedents of consumer innovativeness,
Journal of Marketing, 63, 55-69.
Steenkamp, J.E.M. dan Baumgartner, H. (1998). Assessing measurement invariance in
cross-national consumer research. Journal of Consumer Research, 25, 78-90.
Steenkamp, J.E.M. dan Van Trijp, H.C.M. (1991). The use of LISREL in validating
marketing construct. International Journal of Research in Marketing, 8, 283-299.
Subiyantoro, E. dan Hatane, S.E. (2007). Dampak perubahan kultur masyarakat terhadap
praktik pengungkapan laporan keuangan perusahaan publik di Indonesia, Jurnal
Manajemen & Kewirausahaan, 9, 1, 20-29.
Suharnomo (2009). The impact of culture on human resource management practices: an
empirical research finding in Indonesia. Proceedings at Oxford Business &
Economics Conference, June 24-26, Oxford: UK.
28
Summers, J.O. (2001). Guidelines for conducting research and publishing in marketing:
from conceptualization through the review process.,” Journal of the Academy of
Marketing Science, 29, 4, 405-415.
Tsoukatos, E. dan Rand, G.K. (2007). Cultural influences on service quality and customer
satisfaction: evidence from Greek insurance. Managing Service Quality, 17, 4,
467-485.
Usunier, J. (2000). Marketing Across Cultures. England: Pearson Education Limited.
Verbeke, W. (2000). A revision of Hofstede et al.‟s (1990) organizational practices scale.
Journal of Organizational Behavior, 21, 587-602.
29
LAMPIRAN I.
LAPORAN KEUANGAN
Jumlah unit Unit Harga per
unit
Satuan Jumlah
Biaya
I PEMASUKAN
A Transfer tahap
pertama (70% dari
Rp 29,000,000) –
sudah diterima
1 20,300,000 1 20,300,000
B Transfer tahap
kedua (30% dari Rp
29,000,000) – belum
diterima
0 - 0
Total dana yang
sudah diterima
(70%)
20,300,000
II PENGELUARAN
A Honorarium 4,760,000
B Peralatan 1,876,960
C Bahan Habis Pakai 9,764,330
D Perjalanan 9,555,126
E Lain-lain 5,755,230
F Pajak (15%) 840,000
TOTAL
PENGELUARAN
32,551,646
SALDO (total
pemasukan – total
pengeluaran)
(12,251,646)
30
LAMPIRAN II.
BIODATA TIM PENELITI
KETUA PENELITI
1. Nama : Dr. Sabrina Oktoria SIHOMBING
2. Tempat dan Tanggal Lahir : Sabah, 16 Oktober 1970
3. Program Studi : Manajemen
Fakultas : Ekonomi
Perguruan Tinggi : Universitas Pelita Harapan
4. Alamat : Jl. BNI 1946 Blok BB I / 13 Pesing Jakarta Barat
Telepon : 021 – 5645352 (rumah)
0815 6851152 (mobile phone)
021- 5460901 (kantor)
5. Jenjang Akademik : Lektor Kepala
6. Pendidikan Terakhir (Gelar, Tahun, Program Studi, Nama Perguruan Tinggi, Negara)
No. Universitas Tahun Gelar
1.
2.
3.
Universitas Kristen Satya Wacana,
Salatiga,
Indonesia
Queensland University of
Technology, Brisbane
Australia
Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
Indonesia
1989 -1993
1993-1995
1999-2004
Sarjana Ekonomi
Master of Business
Doktor
7. Mata Kuliah yang Diampu : Metodologi Penelitian
Riset pemasaran
Perilaku Konsumen
8. Publikasi (5 Tahun terakhir)
1. Sihombing, S.0. dan Pongtuluran, F.D. (2011). Understanding Indonesian Values: A
Preliminary Research to Identify Indonesian Culture. Proceedings of International
Seminar “Political Economy of Trade Liberalization in Developing East Asia”,
Malang: Universitas Brawijaya.
2. Sihombing, S.0. dan Pongtuluran, F.D. (2011). Pengidentifikasian Dimensi-Dimensi
Budaya Indonesia: Pengembangan Skala dan Validasi . Proceedings of Seminar
Nasional “Sustainable Competitive Advantage – 1”, Purwokerto: Universitas
Jendral Soedirman.
31
3. Wahyuni, D.H. dan Sihombing, S.0. (2011). Hubungan Pengetahuan Pelanggan,
Kualitas Pelayanan Fungsional dan Teknikal terhaADAP Loyalitas Pelanggan
dengan Keahlian Pelanggan sebagai Variabel Moderasi: Studi Empiris pada Jasa
Penerbangan. Proceedings of Seminar Nasional “Sustainable Competitive
Advantage – 1”, Purwokerto: Universitas Jendral Soedirman.
4. Sihombing, S.O. (2011). Perubahan Nilai dan Perilaku Konsumen Indonesia. Investor
Daily, 18 Oktober 2011.
5. Sihombing, S.0. (2011). What is Really Matter to be an Entrepreneur? An Examination
of the Theory of Trying. Proceedings of International Seminar “Becoming the Key
Player in New Globalism”, Makassar: University of Hasanuddin.
6. Baturusa, E. dan Sihombing, S.0. (2011). Hubungan Antara Kesesuaian Nilai Terhadap
Kualitas Hubungan dan Loyalitas: Studi Empiris Pada Jasa Layanan Proceedings
of Seminar Nasional Kewirausahaan & Inovasi Bisnis, Jakarta: Universitas
Tarumanagara.
7. Sihombing, S.O. (2011). Aku Ada Maka Aku Belanja. Investor Daily, 21 Juni 2011.
8. Sihombing, S.O. (2011). Agama dan Perilaku Konsumen. Investor Daily, 5 April 2011.
9. Sihombing, S.O. (2011). Inovasi Sosial dan Perkembangan Bisnis. Investor Daily, 11
Januari 2011.
10.Yossy dan Sihombing, S.O. (2011). Hubungan Citra Merek Korporasi Online and
Offline dengan Kepuasan Pelanggan dan Niat untuk Loyal : Studi Empiris Klik
BCA dan BCA Supermal Karawaci. Jurnal Manajemen DEREMA, 6, 1, 101-126.
11.Sihombing, S.O. (2010). Understanding Motivations of Female Students to Become
Entrepreneurs: A Qualitative Approach. Proceedings of International Seminar &
Conference”Developing Indonesia’s Competitiveness through Professional
Entrepreneurial Character”, Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
12.Sihombing, S.O. (2010). Understanding students‟ knowledge sharing behavior
through internet: an application of the theory of planned behavior. Proceedings of
International Seminar Integrating Technology into Education, Jakarta: Directorate
of Higher Education.
13.Sihombing, S.O. dan Palupi, Y.C. (2010). A Structural Equation Test of the
Relationships of Culture, Motivation, and Attitude on Students‟ Intention to Give
Feedback to Faculty. Proceedings of the 2nd Parahyangan International
Accounting & Business Conference, Bandung: Universitas Parahyangan.
32
14.Natalia, D. dan Sihombing, S.O. (2010). Hubungan Kepuasan Konsumen, Sikap
terhadap Iklan, Citra Toko, Sikap terhadap Merek, dan Loyalitas Konsumen: Studi
Empiris pada Perusahaan Jasa. Jurnal Manajemen DEREMA, 5, 3, 281-296.
15.Novilia, P. dan Sihombing, S.O. (2010). Keterhubungan Antara Masalah Manajemen
dan pendidikan Pelanggan terhadap Loyalitas Konsumen: Studi Empiris pada
Perusahaan Asuransi. Ekonomika Madani, 2, 1, 51-72.
16.Budi, R.S. dan Sihombing, S.O. (2010). Hubungan kepantasan Harga, Kepuasan
Pelanggan, Loyalitas dan Harga yang dapat Diterima: Studi Empiris pada
Perusahaan Jasa. EKOBIS, 11, 1, 67-77.
17.Sihombing, S.O. (2009). Pemulihan Jasa: Lebih Cepat Lebih Baik. Investor Daily, 1
September 2009, p.22.
18.Sihombing, S.O. (2009). Does Faith Matter? Extending the Theory of Planned
Behavior with Christian Values to Predict Knowledge Sharing Behavior.
Proceedings of the 4th
International Conference on Business and Management
Research (ICMBR), Bali: Universitas Indonesia.
19.Sihombing, S.O. (2009). Faculty Perceptions of Knowledge Sharing Behavior.
Proceedings of Seminar Ilmiah Nasional PESAT: Peningkatan Daya Saing Bangsa
Melalui Revitalisasi Peradaban, Jakarta: Universitas Gunadarma.
20.Chandra, L.P. dan dan Sihombing, S.O. (2009). Analisis Hubungan Teknologi
Swalayan dan Layanan Personal terhadap Loyalitas: Studi Empiris pada Maskapai
Penerbangan AirAsia. EKOBIS, 10,1, 21-35.
21.Lais, I.F. dan Sihombing, S.O. (2009). Hubungan Pelayanan Karyawan yang
Berorientasi pada Konsumen terhadap Retensi Konsumen: Studi Empiris pada
Perusahaan Jasa. Ekonomika Madani, 1,1, 22-41.
22.Sihombing, S.O. (2008). The Influences of Personal Values and Time Constraints on
Faculty-Student Out-of-Class Interaction: an Empirical Research. Proceedings of
the South East Asian Association for Institutional Research (SEAAIR), Surabaya:
STIE Perbanas.
23.Sihombing, S.O. (2008). Developing a model of the impact of cause-related marketing
on purchase intention. Proceedings of the Optimizing Business Research and
Information Technology for Leveraging Corporate Sustainability, Jakarta:
Universitas Bina Nusantara.
24.Sihombing, S.O. (2008). Developing a Model of the Impact Cause-Related Marketing
on Purchase Intention. Proceedings of International Seminar”Optimizing Business
Research and Information Technology for Leveraging Corporate Sustainability,
Jakarta: Universitas Bina Nusantara.
33
25.Sihombing, S.O. (2008). The Influences of Personal Values and Time Constraints on
Faculty-Student Out-of-Class Interaction: an Empirical Research. Proceedings of
the 8th
Annual SEAAIR International Conference “Institutional Capacity Building
toward Higher Education Competitive Advantage, Surabaya: STIE Perbanas.
26.Teofilus and Sihombing, S.O. (2008). Analisis Hubungan antara Kepuasan dan
Kesenangan Konsumern terhadap Pembelian Ulang: Pengetahuan Konsumen
sebagai Variabel Moderator. Jurnal Ekonomi, 13, 2, 337-346.
27.Gouw, I. and Sihombing, S.O. (2008). The Influence of Brand Trust and Satisfaction
on Repurchase Intentions: An Empirical Study on the Retailing Firm. Proceedings
of the 14th
Euro-Asia Conference on Business and Management Research
(ICMBR), Bali: Universitas Indonesia.
28.Wardhana, A.K. and Sihombing, S.O. (2008). Analisis Keterhubungan Nilai dan
Kepuasan Pelanggan terhadap Loyalitas Pelanggan dengan Switching Cost sebagai
Variable Moderasi. Proceedings of National Marketing Symposium. Surabaya:
Universitas Petra.
29.Kimlistio, H.H. and Sihombing, S.O. (2008). Faktor-faktor Anteseden terhadap
Frekeunsi Kunjungan: Studi Empiris pada Pusat Perbelanjaan. Proceedings of
National Marketing Symposium. Surabaya: Universitas Petra.
30.Santoso, K.C. and Sihombing, S.O. (2008). Cause-Related Marketing: Implementasi
dan Pengaruhnya Bagi Perusahaan. Proceedings of the Second Indonesian Business
Management Conference “Mastering Innovation for Corporate Growth”, Jakarta:
Prasetya Mulya Business School.
31.Sihombing, S.O. (2008). Applying Cause Related Marketing to Serve the Poor: A
Case Study of P.T. Unilever Indonesia. Proceedings of the 1st Parahyangan
International Accounting and Business Conference. Bandung: Parahyangan
Catholic University.
32.Selviranti and Sihombing, S.O. (2007). Analisis Hubungan antara Pengetahuan,
Afeksi dan Komitmen terhadap Lingkungan. Jurnal Akuntansi – Bisnis &
Manajemen, 14, 3, 255-264.
33.Sihombing, S.O. (2007). Service Recovery and Post Purchase Behavior: An
Experimental Study. Proceedings of the Third International Global Business in
Service, Jakarta: Universitas Trisakti.
34.Sihombing, S.O. and Gustam, M. (2007). The Effect of Internal Marketing on Job
Satisfaction and Organizational Commitment: An Empirical Study in a University
Setting. Proceedings of the First National Conference on Management Research
“Manajemen di Era Globalisasi”, Jakarta: PPM.
34
35.Sihombing, S.O. (2007). Students Adoption of the Internet in Learning: Applying the
Theory of Acceptance Model. Proceedings of National Conference “Inovasi
Dalam Menghadapi Perubahan Lingkungan Bisnis”, Jakarta: Universitas Trisakti.
36.Sihombing, S.O. (2007). Investigating the Relationship among Cause-Related
Marketing, Brand Image, Buyer Attitude, and Purchase Intention. Jurnal Ekonomi.
37.Monica and Sihombing, S.O. (2007). Pengaruh Pemasaran Keterhubungan Terhadap
Penggunaan Ulang dan Komunikasi dari Mulut ke Mulut: Kualitas Hubungan dan
Komitmen Sebagai Variabel Mediasi. Jurnal Manajemen DEREMA, 2, 2, 214-234.
38.Sihombing, S.O. (2007). Predicting Environmentally Purchase Behavior: A Test of the
Value-Attitude-Behavior Hierarchy. Proceedings of the Second Indonesian
Business Management Conference “Mastering Innovation for Corporate Growth”,
Jakarta: Prasetya Mulya Business School. (won best paper)
39.Sihombing, S.O. (2006). Action Research: an Alternative Method in Management
Research. Jurnal Ekonomi, 11, 1, 117-125.
40.Sihombing, S.O. and Zulganef (2006). Teori Pemasaran: Menuju ke Teori Umum
Pemasaran. Jurnal Manajemen DEREMA, 1, 2,.
41.Sihombing, S.O. (2006). Effects of Country of Origin and Consumer Ethnocentrism
on Consumer Attitude and Purchase Intention: Using Student and Non-Student
Adults Samples. Jurnal Manajemen DEREMA, 1, 1, 1-16.
35
ANGGOTA PENELITI
1. Nama : Feriadi Dendang Pongtuluran SE., MM
2. Tempat, Tanggal lahir : Makale, 6 Februari 1974
3. Program Studi : Manajemen
Fakultas : Ekonomi
Perguruan tinggi : Universitas Pelita Harapan
4. Alamat : UPH Tower, Lippo Karawaci, Tangerang15811
No. Telpon/Fax : (021)5460901, 54210992
5. Jenjang Akademik : -
6. Pendidikan Terakhir :
No. Universitas Tahun Gelar
1.
2.
Universitas Airlangga,
Surabaya,
Indonesia
Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
Indonesia
1993-1997
2000-2003
Sarjana Ekonomi
Magister
Manajemen
7. Matakuliah yang diampu : Management Sumber Daya Manusia
8. Publikasi Ilmiah : -
36
LAMPIRAN III
BAGAN ALIR PENELITIAN DAN ISNTRUMEN PENELITIAN
Proposal penelitian
Masalah Tinjauan Metode Hasil dan Kesimpulan
Penelitian Literatur Penelitian Pembahasan
Pengembangan
Skala (scale
development )
Langkah 1: Langkah 2: Langkah 3: Langkah 4: Langkah 5: LUARAN
Menghasilkan Mengembangkan Mengumpulkan Mengevaluasi Uji coba PENELITIAN
aitem-aitem skala data skala indikator
1.1 Definisi budaya 2.1 Penentuan 3.1 Menentukan 4.1 Menilai keandalan 5.1 Uji coba Dimensi-
dan budaya aitem yang lay-out kuesio- dan validitas indikator dimensi bu-
Indonesia* digunakan ner 4.1.1 Reliabilitas pada daya Indone-
1.2 Focus interview** 2.2 Penentuan 3.2 Mengumpul- - Cronbach alpha wilayah sia
1.2.1 Expert sampel yang kan data - corrected item- Jakarta,
1.2.2 Masyarakat akan digunakan (Jakarta, total correlation Bandung,
1.3 Penilaian validitas 2.3 Penentuan Bandung, Se- 4.1.2 Validitas Sema-
1.3.1 Content validity penggunaan marang, Su- - Construct validity rang,
1.3.2 Face validity kalimat/aitem rabaya) -- convergent validity Surabaya
yang digunakan -- discriminant validity
(apakah meng-
gunakan kalimat 4.2 Analisis data
positif atau 4.2.1 Single dimension analysis
negatif) 4.2.2 Higher-order analysis
2.4 Format jawaban
Indikator capaian: Indikator capaian: Indikator capaian: Indikator capaian: Indikator capaian:
* aitem-aitem budaya * aitem-aitem yang * data (berasal * Dimensi-dimensi budaya * Dimensi-
Indonesia akan digunakan dari responden Indonesia (awal) dimensi budaya
dalam kuesioner yang ada di Ja- Indonesia
karta, Bandung,
Semarang, Sura-
baya)
37
LAMPIRAN IV
LOGBOOK
38
B. DRAF ARTIKEL ILMIAH
B1. ARTIKEL DIPRESENTASIKAN PADA SEMINAR NASIONAL “SUSTAINABLE
COMPETITIVE ADVANTAGE-1” DI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
TGL 23 NOV 2111
PENGIDENTIFIKASIAN DIMENSI-DIMENSI BUDAYA INDONESIA:
PENGEMBANGAN SKALA DAN VALIDASI
Sabrina Oktoria Sihombing1)
, Feriadi D. Pongtuluran 2)
Dosen Business School Universitas Pelita Harapan 2)
Dosen Business School Universitas Pelita Harapan
Abstrak
Budaya merupakan salah satu topik yang menarik minat peneliti dari
beragam disiplin ilmu seperti psikologi, pemasaran, perilaku
konsumen, dan disiplin ilmu lainnya. Hal ini karena budaya sebagai
salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku seseorang.
Cara mengukur budaya yang sering digunakan oleh peneliti-peneliti
ilmu sosial, khususnya dalam penelitian pemasaran dan perilaku
konsumen, adalah dengan menggunakan dimensi-dimensi budaya
yang dikembangkan oleh Hofstede (1980) dan Hofstede dan Bond
(1988). Akan tetapi, studi Hofstede juga mendapat kritik-kritik seperti:
(1) mereduksi budaya pada 4 atau 5 dimensi, (2) penelitian telah lama
dilakukan, yaitu pada tahun 1967-1973, dan (3) mengukur budaya
dengan menggunakan nilai-nilai yang berkaitan dengan pekerjaan.
Dengan demikian, walaupun dimensi budaya yang dikembangkan oleh
Hofstede memberikan kontribusi dalam memahami dan mengukur
budaya, tetapi ada kebutuhan untuk mengembangkan dan
mengidentifikasi budaya Indonesia. Hal ini karena didasari belum ada
/ terbatasnya penelitian yang mengidentifikasi budaya Indonesia. Oleh
karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dimensi-
dimensi budaya Indonesia serta menghasilkan indikator-indikator
untuk mengukur budaya Indonesia. Data akan dikumpulkan dengan
menggunakan metode survey. Kemudian, data akan dianalisis dengan
menggunakan exploratory factor analysis dan confirmatory factor
analysis. Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah dimensi-
dimensi budaya Indonesia.
Kata kunci: budaya, budaya Indonesia, Hofstede, pemasaran, perilaku
konsumen
39
Pendahuluan
Budaya merupakan salah satu topik yang
menarik minat peneliti dari beragam
disiplin ilmu. Hal ini karena budaya
sebagai salah satu faktor eksternal yang
mempengaruhi perilaku seseorang
(Maheswaran & Shavitt, 2000).
Seseorang tidak lahir dengan memahami
budaya, tetapi orang tersebut akan
belajar mengenai budaya melalui proses
akulturasi dan enkulturasi. Bagaimana
orang tersebut mempunyai cara pandang,
bersikap, serta berperilaku dipengaruhi
oleh budayanya.
Cara mengukur budaya yang sering
digunakan oleh peneliti-peneliti ilmu
sosial adalah dengan menggunakan
dimensi-dimensi budaya yang
dikembangkan oleh Hofstede (1980) dan
Hofstede dan Bond (1988, dalam
Kirkman et al.,2006). Dimensi-dimensi
tersebut adalah: power distance,
masculinity/feminity, uncertainty
avoidance, individualism/collectivism,
dan the Confucian dynamism. Dimensi-
dimensi Hofstede sering digunakan
dalam penelitian sosial karena
kesederhanaannya dalam memahami dan
mengukur budaya (Kirkman et al.,
2006). Akan tetapi, studi Hofstede juga
mendapat kritik-kritik seperti: (1)
mereduksi budaya pada 4 atau 5 dimensi
(Jones, 2007; Soares et al., 2007;
Kirkman et al., 2006), penelitian telah
lama dilakukan, yaitu pada tahun 1967-
1973 (Jones, 2007; Tsoukatos dan Rand,
2007; Steenkamp et al., 1999), dan (3)
mengukur budaya dengan menggunakan
nilai-nilai yang berkaitan dengan
pekerjaan (Steenkamp et al., 1999).
Dimensi-dimensi budaya Hofstede
memotivasi penelitian ini. Pemahaman
dan pengukuran budaya masih dan terus
relevan hingga saat ini. Sebagaimana
yang ditunjukkan oleh de Mooij (2004)
bahwa orang-orang hanya terlihat serupa
/ sama, padahal pemikiran dan perilaku
mereka berbeda di tiap wilayah. Dengan
demikian, walaupun dimensi budaya
yang dikembangkan oleh Hofstede
memberikan kontribusi dalam
memahami dan mengukur budaya, tetapi
menurut kami ada kebutuhan untuk
mengembangkan dan mengidentifikasi
budaya Indonesia. Hal ini karena
didasari belum ada / terbatasnya
penelitian yang mengidentifikasi budaya
Indonesia. Luaran yang diharapkan dari
penelitian ini adalah dimensi-dimensi
budaya Indonesia yang kemudian dapat
digunakan untuk memahami budaya
Indonesia dengan lebih baik.
40
Justifikasi Penelitian
Ada 3 alasan pentingnya melakukan
penelitian ini. Pertama, terbatasnya
penelitian yang mengidentifikasi budaya
Indonesia. Kedua, pentingnya
melakukan pengembangan skala untuk
menghasilkan indikator-indikator budaya
Indonesia yang andal dan valid. Ketiga,
kontribusi penelitian ini bagi teori dan
praktis.
Terbatasnya penelitian yang
mengidentifikasi budaya Indonesia.
Globalisasi merupakan salah satu kata
yang popular bagi banyak pihak.
Misalnya, para pemasar
mempertimbangkan globalisasi sebagai
salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi perilaku beli konsumen.
Secara spesifik, globalisasi dipercaya
sebagai salah satu faktor mengapa
konsumen di Indonesia, Afrika, dan
bagian dunia lainnya membeli produk
dengan merek yang sama, misalnya
Coca-cola, McDonald, dan merek global
lainnya.
Globalisasi memang merupakan salah
satu faktor yang dapat mempengaruhi
perilaku beli konsumen. Akan tetapi,
perilaku konsumen di tiap daerah adalah
unik dan menurut budayanya masing-
masing. De Mooij (2004) menunjukkan
bahwa memang orang / konsumen di
banyak negara semakin terlihat sama,
tetapi cara berpikir dan berperilakunya
belum tentu sama. Sebagai contoh
penelitian yang dilakukan oleh Lee dan
Green (1991) menunjukkan bahwa
konsumen di Amerika dan Korea
memilih merek A sebagai merek sepatu
yang dibeli. Akan tetapi, pembelian yang
dilakukan responden di Korea sangat
dipengaruhi oleh norma-norma sosial.
Sedangkan pembelian yang dilakukan
oleh responden di Amerika lebih banyak
dipengaruhi oleh sikap. Dengan kata
lain, konsumen di Amerika adalah
konsumen yang fokus pada dirinya
sendiri (self-centered) sedangkan
konsumen di Korea mempertimbangkan
orang lain, khususnya orang-orang
dalam kelompoknya (group-oriented).
Lebih lanjut, Usunier (2000) juga
menunjukkan bahwa kebanyakan
perilaku beli konsumen di negara-negara
Asia Tenggara dipengaruhi oleh
keluarga.
Banyak penelitian pemasaran di
Indonesia yang menggunakan budaya
sebagai salah satu variabel penelitian
(Contoh: Suharnomo, 2009; Subiyantoro
41
& Hatane, 2007; Japarianto, 2006). Akan
tetapi, penelitian-penelitian tersebut
mengukur budaya dengan menggunakan
dimensi-dimensi yang dikembangkan
oleh Hofstede (1980). Padahal,
mengukur budaya sebaiknya dengan
menggunakan budaya dari negara /
wilayah tersebut. Dengan demikian, ada
kebutuhan untuk mengidentifikasi dan
mengembangkan dimensi-dimensi
budaya Indonesia.
Pentingnya melakukan pengembangan
skala untuk menghasilkan indikator-
indikator budaya Indonesia yang andal
dan valid. Ada 3 alasan utama perlunya
melakukan pengembangan skala.
Pertama, aitem-aitem pada penelitian ini
belum dikembangkan sebelumnya untuk
memahami budaya Indonesia. Dengan
menggunakan lima tahap dalam
pengembangan skala, penelitian ini
mengembangkan aitem-aitem budaya
yang akurat dan valid. Pengembangan
instrumen yang akurat dan valid dapat
memberikan manfaat tidak hanya pada
pengembangan ilmu tetapi juga pada
peningkatkan kualitas penelitian
(Summers, 2001; Churchill, 1979).
Kedua, pengembangan instrumen baru
perlu dilakukan di berbagai negara atau
budaya (misalnya, Indonesia) untuk
melihat apakah ada hubungan antar
konstruk yang spesifik (culturally
specific) pada budaya tertentu
(Steenkamp & Baumgartner, 1998).
Ketiga, adanya kebutuhan untuk
mengembangkan indikator / instrumen
budaya Indonesia karena belum atau
terbatasnya penelitian yang fokus pada
pengembangan indikator budaya
Indonesia. Dengan demikian, penelitian
ini kemudian dapat memberikan
kontribusi bagi penelitian sosial di
Indonesia.
Kontribusi penelitian. Kontribusi
penelitian ini secara teori adalah sebagai
berikut. Penelitian ini menggunakan
pendekatan antar disiplin (yaitu, perilaku
konsumen, sumber daya manusia, dan
sosiologi) dalam memahami budaya
Indonesia. Penelitian dengan pendekatan
multidispliner adalah penelitian yang
memfokuskan pada upaya memahami
fenomena secara lebih lengkap yang
dapat meningkatkan penelitian ilmu-
ilmu sosial (Deshpande, 1999; Murray &
Evers, 1989; Horton, 1984). Penelitian
ini juga memberikan kontribusi terhadap
bidang praktis sebagai berikut.
Penelitian ini akan mengidentifikasikan
42
nilai-nilai yang diyakini responden
mengenai budaya Indonesia.
Pemahaman akan nilai-nilai bangsa
Indonesia penting bagi praktisi dan
pembuat kebijakan. Sebagai contoh,
pemahaman akan budaya Indonesia akan
membantu pemasar mengaplikasikan
program-programnya dalam bentuk
“think globally, act locally.”
Tinjauan Literatur
Definisi Budaya
Budaya didefinisikan sebagai
keseluruhan sistem gagasan, tindakan,
dan hasil buah budi manusia dalam
kehidupan bermasyarakat
(Koentjaraningrat, 1980). Lebih lanjut,
Koentjaraningrat menjelaskan bahwa
gagasan ataupun naluri manusia adalah
merupakan bahan dasar suatu tindakan.
Tindakan dan hasil karya manusia
merupakan tolak ukur budaya manusia.
Sependapat dengan Koentjaraningrat,
Sastrosupono (1982) mendefinisikan
budaya sebagai tindakan atau perilaku
manusia, misalnya duduk, tidur,
berbicara dan sebagainya. Hofstede
(1994) juga mendefinisikan budaya
sebagai pikiran, perasaan, dan tindakan
manusia. Menurutnya, budaya adalah
piranti lunak jiwa manusia (software of
the mind). Analogi dari Hofstede sangat
menarik. Ia memakai perumpamaan
komputer untuk menjelaskan peran
budaya bagi kehidupan manusia. Peran
piranti lunak adalah penentu dari
bekerjanya sebuah komputer tanpanya
komputer menjadi tidak berguna, dengan
kata lain piranti lunak-lah yang
menentukan kerja sebuah komputer.
Hosftede ingin menegaskan betapa
pentingnya budaya dengan
menganalogikan budaya sebagai
„software of the mind.‟ Budaya adalah
penggerak manusia. Tanpanya, manusia
sekedar makhluk tanpa makna.
Budaya memiliki definisi yang
senantiasa berkembang, hal ini ditandai
oleh adanya fenomena mengenai
pendefinisian budaya yang senantiasa
tak pernah berakhir. Misalnya,
Matsumoto (1996, dalam Dayakisni &
Yuniardi, 2003) mendefinisikan budaya
sebagai suatu set dari sikap, nilai-nilai,
keyakinan, dan perilaku yang dimiliki
oleh suatu kelompok orang. Sedangkan
Brislin (2000) mendefinisikan budaya
sebagai nilai-nilai yang dianut diantara
orang-orang yang umumnya berbicara
dengan bahasa yang sama dan tinggal
saling berdekatan. Dari beberapa definisi
43
budaya yang disampaikan, dapat
disimpulkan bahwa konsep budaya
adalah meliputi pikiran atau gagasan
manusia (termasuk di dalamnya sikap,
nilai-nilai, dan keyakinan), tindakan, dan
hasil karya manusia.
Triandis (1994) mencatat
sekurangnya ada tiga ciri dari definisi-
definisi budaya yang ada. Pertama,
budaya terbentuk melalui interaksi yang
berkesinambungan yang saling
mempengaruhi dan terus menerus
berubah. Kedua, budaya merupakan
sesuatu yang ada pada seluruh kelompok
budaya bersangkutan. Ketiga, budaya
dialihkan dari satu waktu ke waktu
berikutnya, dari generasi ke generasi.
Dimensi-dimensi Budaya menurut
Hofstede
Penelitian yang dilakukan Hofstede
(1994) di banyak negara memperlihatkan
karakteristik atau tipikal orang masing-
masing negara tersebut. Hosftede
membedakan dimensi budaya menjadi
empat, yaitu: jarak kekuasaan (power
distance, selanjutnya disebut PD),
invidualisme (individualism, selanjutnya
disebut IDV), maskulin (masculinity,
selanjutnya disebut MAS), dan
penghindaran ketidakpastian
(uncertainty avoidance, selanjutnya
disebut UAI). Tabel 1 memperlihatkan
tipikal orang Indonesia dibandingkan
dengan orang Amerika.
Tabel 1. Perbedaan budaya Indonesia dan USA
Sumber: diringkaskan dari Hofstede (1994)
Secara ringkas, PD didefinisikan
sebagai seberapa besar ketidak-
seimbangan terjadi pada masyarakat.
Salah satu contoh bentuk PD adalah
misalnya di Indonesia sebagai negara
dengan nilai PD yang besar. Artinya, di
Indonesia, anak harus patuh kepada
orang tua dan guru dimana anak di
Dimensi Peringkat Nilai Peringkat Nilai
budaya skor skor
Power distance (PDI) 8/9 78 38 40
Individualism (IDV) 47/48 14 1 91
Masculinity (MAS) 30/31 46 15 62
Uncertainty 41/42 46 43 48
avoidance (UAI)
Indonesia USA
44
Amerika (negara dengan nilai PD kecil)
memperlakukan orang tua dan guru
seimbang dengan dirinya.
Kemudian, IDV adalah seberapa
besar hubungan antar individual dalam
masyarakat adalah longgar. Indonesia
dengan nilai IDV tinggi menunjukan
bahwa hubungan antar individual dalam
masyarkat adalah erat. Hubungan yang
erat ini meletakan harmoni sebagai kunci
dalam menjaga hubungan.
Lebih lanjut, MAS berkaitan dengan
perbedaan peran gender dan preferensi
individu. Negara dengan nilai MAS
tinggi (misalnya Amerika) membedakan
dengan jelas bahwa laki-laki harus lebih
agresif dibanding perempuan. Laki-laki
harus memfokuskan pada kesuksesan
material dan perempuan harus lebih
sederhana dan memperhatikan kualitas
hidup. Akan tetapi, negara dengan nilai
MAS rendah mempunyai pandangan
bahwa laki-laki dan perempuan haruslah
berlaku sederhana dan memperhatikan
kualitas hidup. MAS juga berkaitan
dengan preferensi individu dalam
masyarakat. Negara dengan MAS tinggi
menekankan pada pencapaian nilai-nilai
heroik dan tegas. Sebaliknya, negara
dengan MAS rendah menekankan
individu untuk menjaga hubungan, yaitu
dengan memperhatikan orang lain.
Akhirnya, UAI adalah toleransi atas
ketidak-jelasan. Dalam dimensi ini,
Indonesia dan Amerika mempunyai nilai
yang mirip atau mempunyai perspektif
yang hampir sama (Hofstede, 1994).
Data yang digunakan oleh Hosftede
(1994) dalam menyusun peringkat
tersebut adalah data yang dikumpulkan
dari beragam negara. Negara yang
dipilih tersebut mempunyai karakteristik
sebagai berikut. Pertama, negara tersebut
mempunyai satu bahasa yang dominan,
misalnya bahasa Indonesia untuk negara
Indonesia. Kedua, mempunyai sistem
pendidikan nasional. Terakhir, negara
tersebut mempunyai sistem politik
nasional. Dengan demikian, data yang
didapat dari suatu negara, misalnya
Indonesia, dapat dikatakan sebagai
tipikal Indonesia. Atau, data yang
didapat dari negara Amerika, dapat
dikatakan tipikal Amerika (Hosftede,
1994). Penelitian yang dilakukan oleh
Hofstede menggunakan pekerja IBM
sebagai respondennya.
45
Keunggulan dan keterbatasan
dimensi-dimensi Hofstede
Pengukuran budaya dengan
menggunakan dimensi-dimensi Hofstede
merupakan pengukuran budaya yang
paling sering digunakan dalam penelitian
manajemen dan psikologi (Baskerville,
2003). Walaupun dimensi-dimensi
budaya tersebut sering digunakan dalam
penelitian-penelitian (Tabel 2.2),
terdapat juga kritik terhadap dimensi-
dimensi budaya yang diusulkan oleh
Hofstede tersebut (Tabel 2.3).
Tabel 2. Penelitian yang menggunakan dimensi-dimensi budaya Hofstede dan
dimensi yang digunakan
Peneliti
(tahun)
IC PD MF UA LT Negara
Kaasa & Vadi
(2008)
Adapa (2008)
Jones (2007)
Tsoukatos & Rand
(2007)
Singh (2006)
Le & Stockdale
(2005)
Dash, Bruning, &
Guin (2004)
Hwang,
Francesco, &
Kessler (2003)
Kacen & Lee
(2002)
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
-
-
-
-
X
X
X
X
X
-
-
-
-
X
X
X
X
X
-
-
-
-
-
X
-
X
-
-
-
-
-
20 negara
(Belgia,
Prancis,
Jerman, dll)
Australia,
Indonesia
Greece
Prancis, Jerman
USA
India, Kanada
HongKong,
Singapur, USA
Australia, USA,
Singapur,
Malaysia
46
Pheng & Yuquan
(2002)
Oliver & Cravens
(1999)
Steenkamp,
terHofstede, &
Wedel (1999)
X
X
X
X
X
-
X
X
X
X
X
X
-
-
-
Singapur, Cina
USA
11 negara di
Eropa
Sumber: dari peneliti-peneliti sebagaimana yang disebutkan diatas
Tabel 3. Kelemahan / Kritik terhadap Dimensi-dimensi Budaya Hofstede
Kelemahan Peneliti (tahun)
Mereduksi atau menyederhanakan
budaya dalam empat atau lima
dimensi.
Nilai / skor Hofstede untuk tiap-
tiap negara adalah berdasarkan
nilai-nilai yang berkaitan dengan
pekerjaan (work-related values).
Nilai / skor Hofstede untuk tiap-
tiap negara bisa saja salah atau
sudah ketinggalan jaman (out-of-
date) karena dilakukan pada tahun
1967-1973.
Hanya menggunakan responden
yang berasal dari satu perusahaan
(yaitu IBM).
Menyamakan budaya dengan
bangsa (nation).
Jones (2007); Kirkman, Lowe, dan Gibson
(2006)
Steenkamp, terHofstede, dan Wedel (1999)
Kaasa dan Vadi (2008); Jones (2007);
Soares, Farhangmehr, dan Shoham (2007);
Tsoukatos dan Rand (2007); Steenkamp et
al. (1999)
Jones (2007); Tsoukatos dan Rand (2007)
Baskerville (2003)
Sumber: dari peneliti-peneliti sebagaimana yang disebutkan diatas
Budaya Indonesia
Ada dua pendapat mengenai budaya
Indonesia, yaitu: (1) kebudayaan
Indonesia itu belum ada atau masih
merupakan pembicaraan tentang cita-cita
dan (2) kebudayaan Indonesia itu sudah
ada (Gunadi et al., 1995; Sastrosupono,
1982). Beberapa pakar kebudayaan
(misalnya: Kayam, 1997; Gunadi et al.,
1995; Hassan 1989; Joesoef, 1987;
Suriasumantri, 1986; Sastrosupono,
1982) menyatakan bahwa kebudayaan
Indonesia adalah kebudayaan suku-suku
yang memuncak pada suatu saat. Atau
47
dengan perkataan lain, kebudayaan
Indonesia adalah puncak-puncak
kebudayaan suku. Kebudayaan
Indonesia juga merupakan suatu sintesa
dari berbagai macam budaya suku
sehingga melahirkan sesuatu yang baru.
Adapun beberapa indikator budaya
Indonesia adalah: (1) bahasa nasional
(Bahasa Indonesia), (2) Pancasila, (3)
Undang Undang Dasar 1945, (4)
pembangunan dan modernisasi
Indonesia, (5) lagu-lagu nasional, dan
(6) karya seni nasional.
Penjelasan singkat mengenai dua
contoh budaya Indonesia adalah sebagai
berikut. Contoh yang pertama adalah
bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia
merupakan pengejawantahan budaya
Indonesia yang menjadi penjalin
kesatuan dan pengikat ke-kitaan
Indonesia (Hassan 1989, h.21). Contoh
yang kedua adalah Pancasila. Pancasila
ditentukan oleh nilai-nilai yang hidup
dan berkembang di Indonesia. Manusia
Indonesia rata-rata mengenalnya-
disudut manapun mereka berada pada
bumi Nusantara- walaupun dengan
derajat penghayatan yang berbeda dan
wujud pengamalan yang berlainan,
sesuai dengan kondisi alami dan keadaan
zaman masing-masing (Joesoef, 1987,
h.14).
Berbeda dengan beberapa pakar yang
disebutkan sebelumnya, Magnis-Suseno
(1996) mendefinisikan budaya Indonesia
sebagai budaya yang majemuk yang
terdiri dari lebih 200 budaya seperti
budaya Jawa, Sunda, Batak, dan
beragam budaya lainnya. Lebih lanjut,
Magnis-Suseno (1996) berpendapat
bahwa budaya Jawa (ataupun beragam
lainnya) mencerminkan budaya
Indonesia.
Sarwono (1998) menjelaskan bahwa
walaupun ada banyak budaya di
Indonesia, tetapi ada nilai-nilai utama
(core values) bangsa Indonesia yang
dominan. Nilai-nilai utama tersebut
didasarkan pada kriteria bahwa nilai-
nilai itu harus diterima dan diamalkan
baik dalam sikap maupun perilaku
sebagian besar rakyat Indonesia. Nilai-
nilai tersebut adalah: harmonis, toleransi,
gotong-royong, dan religius.
Harmoni dan toleransi berarti
menjaga kesimbangan dalam
bermasyarakat. Sebagai contoh, ambisi
seseorang untuk mendapatkan sesuatu
tidak diekspresikan secara lugas,
melainkan orang cenderung untuk
bertindak dan berkata-kata secara tidak
48
langsung untuk menghindari adanya
friksi dengan pihak lain. Sedangkan
gotong-royong merupakan nilai bangsa
Indonesia yang telah dikenal sejak lama.
Misalnya, masyarakat suatu wilayah atau
kampung umumnya sering bergotong-
royong untuk melaksanakan suatu acara
tertentu seperti acara hari kemerdekaan
Republik Indonesia. Harmoni, toleransi
dan gotong royong ini juga dikenal
sebagai budaya kolektif, atau budaya
“kita” (Hofstede, 1994). Nilai yang lain,
religius, dalam kaitannya dengan bidang
perilaku konsumen merupakan nilai
yang mempengaruhi seseorang dalam
berkonsumsi. Sebagai contoh,
McDonald tidak menjual makanan yang
mengandung babi atau kandungan-
kandungan lain yang diharamkan oleh
ajaran agama. Lebih lanjut, banyak gerai
makanan yang tutup atau buka setengah
hari untuk menghormati orang yang
berpuasa.
Pengembangan Skala
Pengembangan skala akan dilakukan
untuk mengidentifikasi dimensi-dimensi
budaya Indonesia. Pengembangan skala
tersebut terdiri dari 5 tahapan utama
(Gambar 1). Pertama adalah dengan
menghasilkan aitem-aitem yang
dilakukan dengan pendekatan deduktif
(berdasarkan definisi budaya Indonesia)
dan induktif (hasil dari focus interview).
Kedua, tahap penentuan aitem yang akan
digunakan dan penulisan aitem-aitem
tersebut. Selanjutnya, kuesioner dibuat
dan kemudian data dikumpulkan dari
responden yang berada di Jakarta,
Bandung, Semarang, dan Surabaya.
Kemudian, data dianalisis dengan
melakukan uji reliabilitas, validitas,
single dimension analysis, dan higher-
order analysis. Tahapan terakhir adalah
dengan melakukan uji coba kembali
indikator melalui pengumpulan data
kembali dari daerah Jakarta, Bandung,
Semarang, dan Surabaya.
49
Gambar 1. Alur Penelitian
Proposal penelitian
Masalah Tinjauan Metode Hasil dan Kesimpulan
Penelitian Literatur Penelitian Pembahasan
Pengembangan
Skala (scale
development )
Langkah 1: Langkah 2: Langkah 3: Langkah 4: Langkah 5: LUARAN
Menghasilkan Mengembangkan Mengumpulkan Mengevaluasi Uji coba PENELITIAN
aitem-aitem skala data skala indikator
1.1 Definisi budaya 2.1 Penentuan 3.1 Menentukan 4.1 Menilai keandalan 5.1 Uji coba Dimensi-
dan budaya aitem yang lay-out kuesio- dan validitas indikator dimensi bu-
Indonesia* digunakan ner 4.1.1 Reliabilitas pada daya Indone-
1.2 Focus interview** 2.2 Penentuan 3.2 Mengumpul- - Cronbach alpha wilayah sia
1.2.1 Expert sampel yang kan data - corrected item- Jakarta,
1.2.2 Masyarakat akan digunakan (Jakarta, total correlation Bandung,
1.3 Penilaian validitas 2.3 Penentuan Bandung, Se- 4.1.2 Validitas Sema-
1.3.1 Content validity penggunaan marang, Su- - Construct validity rang,
1.3.2 Face validity kalimat/aitem rabaya) -- convergent validity Surabaya
yang digunakan -- discriminant validity
(apakah meng-
gunakan kalimat 4.2 Analisis data
positif atau 4.2.1 Single dimension analysis
negatif) 4.2.2 Higher-order analysis
2.4 Format jawaban
Indikator capaian: Indikator capaian: Indikator capaian: Indikator capaian: Indikator capaian:
* aitem-aitem budaya * aitem-aitem yang * data (berasal * Dimensi-dimensi budaya * Dimensi-
Indonesia akan digunakan dari responden Indonesia (awal) dimensi budaya
dalam kuesioner yang ada di Ja- Indonesia
karta, Bandung,
Semarang, Sura-
baya)
Sumber: dikembangkan untuk penelitian ini dengan didasarkan pada Verbeke (2007), Parasuraman et al.
(2005), Adcock dan Collier (2001), Clark dan Watson (1995), Churchill (1979)
50
Kesimpulan
Memahami budaya terutama budaya Indonesia adalah penting baik bagi peneliti maupun
praktisi oleh karena budaya dapat membentuk perilaku orang. Dengan kata lain, dengan
memahami budaya, kita juga dapat juga mengenal „orang lain‟ dan juga „memahami diri
sendiri‟ (Ljubić et al., 2009). Meneliti budaya Indonesia adalah sesuatu yang penting.
Pengidentifikasian mengenai dimensi budaya yang dipelopori oleh Hofstede dapat
menjadi dasar dalam pemahaman mengenai budaya, walaupun masih banyak kritik
terhadapnya. Namun dengan adanya pemahaman suatu budaya melalui dimensi-dimensi
yang terukur dapat mempermudah dalam mempelajari suatu budaya. Sehingga
pengidentifikasian dimensi-dimensi dari budaya Indonesia pun menjadi sesuatu yang
penting untuk dilaksanakan.
Pernyataan tanda terima kasih
Artikel ini merupakan bagian dari penelitian kami yang berjudul “Pengidentifikasian
Dimensi-dimensi Budaya Indonesia: Pengembangan Skala dan Validasi” yang dibiayai
oleh Hibah Bersaing (2011) dan LPPM UPH (2011).
Daftar Pustaka
Adapa, S. (2008). Adoption of internet shopping: cultural considerations in India and Austalia.
Journal of Internet Banking and Commerce, 13, 2. Available at:
http://www.araydev.com/commerce/jibc/.
Adcock, R. dan Collier, D. (2001). Measurement validity: a shared standard for qualitative and
quantitative research. American Political Science Review, 95, 3, 529-546.
Bagozzi, R.P. (1994). Structural equation models in marketing research: basic principles, in
Principles of Marketing Research, R.P. Bagozzi (ed.), Masschusetts: Blackwell
Publishers.
Baskerville, R.F. (2003). Hofstede never studied culture. Accounting Organizations and Society,
28, 1-14.
Bertens, K. (2007). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Brislin, R. (2000). Understanding culture’s influence on behavior. Fort Worth: Harcourt.
Churchill, G.A. (1979). A paradigm for developing better measure of marketing constructs.
Journal of Marketing Research, 16, 64-73.
51
Dash, S., Bruning, E.R. dan Guin, K.K. (2004). Bonding and commitment in buyer-seller
relationships: a cross-cultural comparison in banking. ASAC Conference, Quebec City,
Quebec.
Dayakisni, T. dan Yuniardi, S. (2003). Psikologi Lintas Budaya. Malang: UMM Press.
De Mooij, M. (2004). Consumer behavior and culture: consequences fro global advertising and
advertising, Thousand Oaks, CA: Sage.
Deshpande, R. (1999). Foreseeing marketing. Journal of Marketing, 63, 164-167.
Garver, M.S. dan Mentzer, J.T. (1999). Logistics research methods: employing structural
equation modeling to test for construct validity. Journal of Business Logistics, 20, 1, 33-
57.
Gunadi, I.H, Sutarno, Handayani, T. dan Lutfiah, A. (1995). Wujud, Arti dan Fungsi Puncak-
Puncak Kebudayaan Lama dan Asli Bagi Masyarakat Pendukungnya, Semarang:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Lee,C. dan Green, R.T. (1991). Cross-cultural examination of the Fishbein behavioral intentions
model. Journal of International Business Studies, 2nd
Quarter, 289-305.
Hair, J.F., Anderson, R.E., Tatham, R.L. dan Black, W.C. (2006)., Multivariate data analysis,
New Jersey: Prentice-Hall International, Inc.
Hassan, F. (1989), Renungan Budaya, Jakarta: Balai Pustaka.
Hofstede, G. (1980). Culture’s consequences: international differences in work-related
values.Beverly Hills, CA: Sage.
Hofstede, G. dan Bond, M.H. (1988). The Confucius connection: from cultural roots to economic
growth. Organizational Dynamics, 16, 4, 5-21.
Hofstede, G. (1994). Cultures and organizations: software of the mind. London: Harper-Collins
Publishers.
Horton, R.L. (1984). Buyer Behavior: A Decision-Making Approach. Ohio: Charles, E. Merrill
Publishing Company.
Japarianto, E. (2006). Budaya dan behavior intention mahasiswa dalam menilai service quality
Universitas Kristen Petra. Jurnal Manajemen Pemasaran, 1, 1, 44-52.
Joesoef, D. (1987). Pancasila, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan dalam Pancasila sebagai
Orientasi Pengembangan Ilmu, Prawihardjo, S.H., Bakker, Sutrisno, S. (editor),
Yogyakarta: PT. BP Kedaulatan Rakyat.
Jones, M.L. (2007). Hofstede – culturally questionable? Oxford Business & Economics
Conference. Oxford, UK, 24-26 June.
52
Kacen, J.J. Lee, J.A. (2002). The influence of culture on consumer impulsive buying behavior.
Journal of Consumer Psychology, 12, 1, 163-176.
Kerlinger, F.N. dan Lee, H.B. (2000). Foundations of behavioral research, Fort Worth: Harcout
College Publishers.
Kirkman, B.L., Lowe, K.B. dan Gibson, C.B. (2006). A quarter century of Culture’s
Consequences: a review of empirical research incorporating Hofstede‟s cultural values
framework. Journal of International Business Studies, 37, 285-320.
Magnis-Suseno, F. (1996), Budaya dan pengaruhnya terhadap budaya perusahaan Indonesia.
Usahawan, No. 7, Juli.
Maheswaran, D. dan Shavitt, S. (2000). Issues and new directions in global consumer
psychology. Journal of Consumer Psychology, 9,2, 59-66.
Matsumoto, D. dan Juang, L. (2004). Culture and psychology, 3rd
ed., USA:
Wadsworth/Thomson.
Murray, J.B. dan Evers, D.J. (1989). Theory borrowing and reflectivity interdisciplinary fields.
Advances in Consumer Research, 16, 647-652.
Oliver, E.G. dan Cravens, K.S. (1999). Cultural influences on managerial choice: an empirical
study of employee benefit plans in the United States. Journal of International Business
Studies, 30, 4, 745-762.
Parasuraman, A., Zeithml, V.A. dan Malhotra, A. (2005). E-S-QUAL: a multiple-item scale for
assessing electronic service quality. Journal of Service Research, 7, 213-233.
Pheng, L.S. and Yuquan, S. (2002). An exploratory study of Hofstede;s cross-cultural dimensions
in construction projects. Management Decision, 40, 1, 7-16.
Sekaran, U. (2010). Research methods for business: a skill building approach, 5th edn., NY: John
Wiley & Sons.
Sarwono, S.S. (1998). Cultural values and marketing practices in Indonesia. Jurnal Ekonomi dan
Bisnis Indonesia, 13, 2, 90-100.
Sastrosupono, M.S. (1982). Menghampiri Kebudayaan, Bandung: Penerbit Alumni.
Sharma, S. (1996). Applied multivariate techniques, New York: John Wiley & Sons.
Singh, S. (2006). Cultural differences in, and influences on, consumers‟ propensity to adopt
innovations. International Marketing Review, 23, 2, 173-191.
Soares, A.M., Farhangmehr, M. dan Shoham, A. (2007). Hofstede‟s dimensions of culture in
international marketing studies. Journal of Business Research, 60, 277-284.
53
Steenkamp, J.M.E., ter Hofstede, F. dan Wedel, M. (1999). A cross-national investigation into the
individual and national cultural antecedents of consumer innovativeness, Journal of
Marketing, 63, 55-69.
Steenkamp, J.E.M. dan Baumgartner, H. (1998). Assessing measurement invariance in cross-
national consumer research. Journal of Consumer Research, 25, 78-90.
Steenkamp, J.E.M. dan Van Trijp, H.C.M. (1991). The use of LISREL in validating marketing
construct. International Journal of Research in Marketing, 8, 283-299.
Subiyantoro, E. dan Hatane, S.E. (2007). Dampak perubahan kultur masyarakat terhadap praktik
pengungkapan laporan keuangan perusahaan publik di Indonesia, Jurnal Manajemen &
Kewirausahaan, 9, 1, 20-29.
Suharnomo (2009). The impact of culture on human resource management practices: an empirical
research finding in Indonesia. Proceedings at Oxford Business & Economics Conference,
June 24-26, Oxford: UK.
Summers, J.O. (2001). Guidelines for conducting research and publishing in marketing: from
conceptualization through the review process.,” Journal of the Academy of Marketing
Science, 29, 4, 405-415.
Sujarwa (2010). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tsoukatos, E. dan Rand, G.K. (2007). Cultural influences on service quality and customer
satisfaction: evidence from Greek insurance. Managing Service Quality, 17, 4, 467-485.
Usunier, J. (2000). Marketing Across Cultures. England: Pearson Education Limited.
Verbeke, W. (2000). A revision of Hofstede et al.‟s (1990) organizational practices scale. Journal
of Organizational Behavior, 21, 587-602.
54
B1. ARTIKEL DIPRESENTASIKAN PADA SEMINAR INTERNASIONAL DI
UNIVERSITAS BRAWIJAYA TGL 24-25 NOV 2111
Understanding Indonesian Values: A Preliminary Research to
Identify Indonesian Culture
Sabrina O. Sihombing
Feriadi D. Pongtuluran
Business School
University of Pelita Harapan
Abstract
Culture is one topic that attracts researchers from many major disciplines
such as psychology, marketing, consumer behavior, and other disciplines.
This is because culture affects people to behave. Furthermore, culture is the
most basic cause of a person‟s wants and behavior. Many research use of
Hofstede‟s cultural dimensions to measure culture. The dimensions
identified by Hofstede (1980) are regarded as the most widely used and
accepted for understanding culture in many social phenomena. On the other
hand, Hofstede‟s cultural dimensions have been criticized by many scholars.
For instance, Hofstede‟s work is claimed as out-of-date because the
empirical work took place in 1967-1973. Hofstede‟s work has also been
criticized for reducing culture to four or five dimensions. On the other hand,
identifying reliable cultural dimensions for each nation would give major
contribution to cross-cultural research. Therefore, although cultural
dimensions developed by Hofstede gives contributions to understand and
measure culture, but there is a need to develop and identify Indonesian
culture. This is because there is limited research in identifying Indonesian
culture. Therefore, this study aims to identify Indonesian culture by
identifying Indonesian values as an initial stage in scale development. More
than 2,000 open-ended questionnaires were distributed to respondents in
Jakarta, Bandung, Semarang, and Surabaya. All respondents were chosen
with two main criteria: (1) that respondent live in one of four research areas
(Jakarta, Bandung, Semarang, or Surabaya), and (2) that respondents should
work in the area that they live. A total of 1455 usable questionnaires were
used to identify Indonesian values. The result shows that gotong royong
(mutual aid), demokrasi (democracy), agama (religion), Pancasila, budaya
(culture), and kekeluargaan (family) are examples of Indonesian values.
However, the results also shows that respondents state that korupsi
(corruption), individualisme (individualism), KKN (Korupsi, Kolusi,
Nepotisme: corruption, collution, nepotism), and egois (ego) are also
examples of Indonesian values. Those values that have been pointed by
respondents then were proceeded to develop indicators. This research
provides those indicators. Those indicators then will be used to identify
Indonesian culture dimensions.
55
Key words: culture, Indonesian values, consumer behavior, scale development,
indicators
Introduction
Culture is one topic that attracts researchers from many major disciplines. This is because culture
affects people to behave (Craig and Douglas, 2006; Maheswaran and Shavitt, 2000). Furthermore,
culture is the most basic cause of a person‟s wants and behavior (Luo, 2009). In relating with
behavior, one people may behave differently compare to another people as a result of cultural
differences. For example, people in Indonesia will give something to other people by using their
right hand. This is the acceptable behavior for Indonesian. On the other hand, people in the
United States may give other people not only by using their right hand but also their left hand.
This is because they have no restriction associated with the left hand.
Extensive research has been conducted to understand the influence of culture on people
behavior. For instance, culture influences people behavior in transferring their knowledge (e.g.,
Ardichvili et al., 2006; Hawkie, 2006), conflict management strategy (Kaushal and Kwantes,
2006), education (e.g., Manikutty et al., 2007; Demmert, 2005; Hwang et al., 2003; Lin et al.,
2002; Yoo and Donthu, 2002), economic (Guiso et al., 2006), adoption of innovation (Singh,
2006), purchase behavior (Davis et al., 2008; Kacen and Lee, 2002), post-purchase behavior
(Tsoukatos and Rand, 2007), and other people behavior.
Many research use of Hofstede‟s cultural dimensions to measure culture (for example: Pirouz
(2010), de Lorenzo et al. (2009), Kaasa and Vadi (2008), Yintsou (2007), Adapa (2008), Davis et
al. (2008), Jones (2007), Tsoukatos and Rand (2007), DeJong, Smeets, and Smits (2006), Singh
(2006), Lam and Lee (2005), Le and Stockdale (2005), Dash, Bruning, and Guin (2004),
Goodwin and Giles (2003), Hwang, Francesco, and Kessler (2003), Kacen and Lee (2002), Pheng
and Yuquan (2002), Oliver and Cravens (1999), Steenkamp, terHofstede, and Wedel (1999). The
dimensions identified by Hofstede (1980) are regarded as the most widely used and accepted for
understanding culture in many social phenomena (Kalliny and Hausman, 2007; Soares et al.,
2007; de Jong et al., 2006; de Mooij, 2004). Furthermore, Hofstede‟s cultural dimensions are also
known as the most popular metric of culture (Yoo and Donthu, 2002). On the other hand,
Hofstede‟s cultural dimensions have been criticized by many scholars. For instance, Hofstede‟s
work is claimed as out-of-date because the empirical work took place in 1967-1973. Hofstede‟s
work has also been criticized for reducing culture to four or five dimensions. Furthermore, the
applicability of the dimensions to all culture leads to the critique that “one can conjuncture that
other types of samples might yield different dimensions and order of nations” (Schwartz, 1994
and Erez and Earley, 1993, cited by Soares et al., 2007).
Identifying reliable cultural dimensions for each nation would give major contribution to
cross-cultural research (Chan, 2009). This is because the usefulness of the concept of culture is to
give sufficient information about cultural differences by being able to unpack it (Soares et al.,
2007). Therefore, this study aims to identify Indonesian values as a foundation to develop
Indonesian cultural dimensions. This article is structured as follows: First, the literature review of
culture is presented. Then we report in detail on item generation and scale development. This
paper concludes with an outlook to future research.
Literature Review
Culture: definitions and elements
There are many definitions of culture as there are in anthropology, sociology, psychology,
marketing, and consumer behavior texts (Luo, 2009). However, there is no single culture
definition as Kroeber and Kluckhohn (1952, in Davis et al., 2008) found 164 different definitions
of culture in the anthropological and sociological literature. Tylor (1871, cited by Oliver and
56
Kandadi, 2006) is one of the first researchers who provide the definition of culture. According to
Tylor, culture is defined as “…that complex whole includes knowledge, belief, art, morals, law,
custom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society”. Another
anthropologist, Greets (1973) defined culture is “an historically transmitted pattern of meanings
embodied in symbols, a system of inherited conceptions expressed in symbolic forms by means
of which men communicate, perpetuate, and develop their knowledge about and their attitudes
toward life”
Hofstede (1980) defined culture as the collective programming of the mind which
distinguishes the members of one human group from another. Furthermore, Hofstede (1991)
stated that culture is as mental programming which includes patterns of thinking and feeling and
potential acting. Hofstede further stated that culture is software of the mind. Hofstede‟s analogy
about culture as a software is an interesting analogy. He used a part of computer to explain the
role of culture for human life. The role of software is important because the software is a main
part of computer. No work can be conducted in a computer without software. In other words,
software is a crucial part in a computer. Therefore, culture is also a crucial part in human
behavior.
Culture has several elements. According to several writers (e.g., Solomon, 2010; Wells and
Prensky, 1996) those elements are: language, material artifacts, myths, rituals, custom, laws, and
values. Those elements are described as follows. Language is one important aspect of culture that
should be considered. This is because language can be problematic when translating product
names, or promotional messages, or slogans, or other things into foreign languages. For example,
General Motor found that Nova (the name of a car) literally means “doesn‟t go” in Spanish (Lamb
et al., 2010). Another example is Daihatsu Be-go in Japan was introduced as Daihatsu Terios in
Indonesia. This is because “Be-go” in Indonesian language means stupid.
The second element of culture is material artifact. Material artifacts are goods a culture has
imbued with special meaning (Wells and Prensky, 1996). Gold is an artifact within the Indian
consumer society. Furthermore, gold possession is embedded in the customs and the traditions
that carry significant importance to the people (Tariq et al., 2007). Another element of culture is
ritual. A ritual is a set of multiple, symbolic behaviors that occurs in a fixed sequence and is
repeated periodically (Rook, 1985 cited by Solomon, 2010). Examples of ritual in Indonesia are
ruwatan and slametan. Ruwatan is a ritual to clean somebody‟ self in order to eliminate problems
that already in somebody‟s self since s (he) was born (http://www.budaya-indonesia.org).
Slametan is the most common religious ritual which symbolizes the mystic and social unity of
those participating in it (Forshee, 2006).
The fourth element of culture is custom. Custom is defined as culturally acceptable pattern of
behavior that routinely occurs in a particular situation (Wells and Prensky, 1996). Mudik is one
example of Indonesia custom. Mudik is a journey to go back to home-towns and gather with big
families. It is usually done in the end of the fasting month. Then, another element of culture is a
myth. A myth is a story with symbolic elements that represents a culture‟s idea (Solomon, 2010).
This story often emphasizes on some kind of conflict between two opposing forces, and its
outcome serves as a moral guide for listeners. Every culture creates mythical characters to impart
moral lessons. For example, an Indonesian myth “Malin Kundang”. This myth tells about a poor
women and her son (that is, Malin Kundang). Malin Kundang decided to go out from their village
in order to become rich after return home. In short, Malin Kundang later became a wealthy person
who has a huge ship, great wealth, and a beautiful wife. In one of his journey, his ship landed on a
beach. The villagers recognized him and his mother ran to the beach to meet her beloved son
again. However, Malin Kundang denied meeting his mother because his mother looks old, poor
and dirty woman. The broken-hearted old mother then cursed the son turned into a stone
(Wiriatmaja, 2010).
Law is another element of culture. Law is defined as formal rules and regulations that have the
sanction of a governmental body to require or prohibit specific behavior (Wells and Prensky,
57
1996). Finally, the most defining elements of culture is values (Lamb et al., 2010). A value is
defined as a type of belief about how one ought or ought not to behave (Rokeach, 1968).
Different cultures will provide different values. For instance, Western values are characterized by
„separateness‟. In other words, western people are relatively independent and individualistic. On
the other hand, non-western values are more interdependent and collective (Evans et al., 2009).
Table 1 provides values differences for several countries.
Table 1. Values differences in several countries
American
values*
Australian
values**
Chinese
values***
Thailand
values****
Malaysian
values*****
Achievement and
success
Activity
Efficiency and
practicality
Progress
Material comfort
Individualism
Freedom
External conformity
Humanitarianism
Youthfulness
Fitness and health
Respect for
democracy
A strong sense of
justice
A sense of fairness
Tolerance
Care for others
A powerful sense of
egalitarianism
A less selfish society
Freedom of self-
determination
Family
orientation
Guanxi
Yuan
Mianzi
Renqing
reciprocity
Ego orientation
Grateful
relationship
orientation
Smooth
interpersonal
relation
orientation
Flexibility
adjustment
orientation
Religiosity
orientation
Education
competence
orientation
Interdependence
orientation
Fun-leasure
orientation
Achievement-task
orientation
Valuing time
Perseverance
Pleasure of
working
Dignity of
simplicity
Character
Kindness
Influence of
examples
Obligation of duty
Wisdom of
economy
Patience
Improvement of
talent
Joy of originating
Source: * Schiffman and Kanuk (2010), **Blackwell et al. (2007), *** Sian et al. (2007), **** Komin
(1995, in Rachman,2007 )
The Measurement of Culture
There are three approaches that are frequently used to examine culture: content analysis,
consumer fieldwork, and value measurement instruments (Schiffman et al., 2010). However,
many research on culture applied values as one way of measuring culture (Javidan et al., 2006;
Yo and Donthu, 2002)
There are several ways to measure values (Schiffman et al., 2010). Firstly, values can be
measured by inferring values from the cultural milieu. For instance, marketers can identify values
reflected in magazine titles, TV programs, comic books, and others. Schiffman et al. (2010) also
pointed out that popular songs are also indicators of values. In the specific, the violent song lyric
can be as an indication of a decline in values.
Secondly, values can be measured by using means-end chain analysis. This approach assumes
that people link very specific product attributes (indirectly) to terminal values: We choose among
alternative means to attain some end state we value (Solomon, 2009). Solomon further stated that
a technique that called laddering is used to uncover consumer‟s association between specific
attributes and these general consequences.
58
Finally, values can be measured by using value instruments such as Rokeach Value Survey
(RVS) and List of Values (LOV). Furthermore, there has been a gradual increase in measuring
values by means of survey (questionnaire) research. Researchers use data collection instruments
to ask people how they feel about such as basic personal and social concepts as freedom, comfort,
national security, and peace (Solomon et al., 2010). This is because the values that characterize a
society cannot be observed directly. They can be inferred from various cultural products or asking
members of society to score their personal values (de Mooij, 2004).
According to Schiffman et al. (2010), there are two main criteria to select the specific core
values. First, the value must be pervasive. In other words, a significant portion of the people in a
society (for example, Indonesia) must accept that value and use it as a guide for their behavior.
For instance, harmony is one of Indonesian core values. This is because Indonesian believes that
individual should serve as a harmonious part of the family or group, and the nation (Wirawan and
Irawanto, 2007). Second, the value must be enduring. The specific value must have influenced the
actions of people in that society for over an extended period of time.
On the other hand, values have changed in many places in the world the last several decades as
the result of globalization (Hawkins and Mothersbaugh, 2010). Table 2 shows how values
changes in western culture.
Table 2. Values changes in Western culture
Traditional values New values
Self-denial ethic
Higher standard of living
Traditional sex roles
Accepted definition of success
Traditional family life
Faith in industry, institutions
Live to work
Hero worship
Expansionism
Patriotism
Unparalleled growth
Industrial growth
Receptivity to technology
Self-fulfillment ethic
Better quality of life
Blurring of sex roles
Individualized definition of success
Alternative families
Self-reliance
Work to live
Love of ideas
Pluralism
Less nationalistic
Growing sense of limits
Information and service growth
Technology orientation
Source: Plummer (1989, in Blackwell et al., 2007, p.311)
Hofstede’s Cultural Dimensions
Hofstede originally identified four dimensions of culture. Those dimensions are power distance,
uncertainty avoidance, individualism and collectivism, and masculinity and femininity. Then, in
1988, Hofstede and Bond added a fifth dimension which called as long-term orientation.
According to Hofstede (2005), power distance is about inequality in a society. It is defined as
the extent to which less powerful members of institutions and organizations within a country
expect and accept that power is distributed unequally (Hofstede, 2005, p.46). The second
dimension is uncertainty avoidance. Uncertainty avoidance reflects to intolerance for uncertainty.
It is defined as the extent to which the members of a culture feel threatened by ambiguous or
unknown situations (Hofstede, 2005. p.167).
The third dimension is individualism and collectivism. Hofstede (2005) stated that
individualism and collectivism has to do with the relationship the individual has with the group
and society. In the specific, individualism and collectivism is about the concept of the self and
others. Individualist refers to people who live in a society in which the interests of the individual
prevail over the interest of the group and societies. All societies have individuals and groups,
however, individualism stresses the smallest unit as being that where the solution lies (Usunier,
59
2000).On other hand, collectivism refers to people who live in societies in which the interest of
the group prevails over the interest of the individual. In other words, people who live in
collectivist society prefer to act in a society as “we” rather than “I”.
The fourth dimension is masculinity and feminity. Masculinity versus feminity refers to the
desirability of assertive behavior against the desirability of modest behavior. According to
Hofstede (2005, p.120), a society is called masculine when emotional gender roles are clearly
distinct: men are supposed to be assertive, tough, and focused on material success, whereas
women are supposed to be more modest, tender, and concerned with quality of life. Furthermore,
a society is called feminine when emotional gender roles overlap: both men and women are
supposed to be modest, tender, and concerned with the quality of life.
A fifth dimension is long term orientation. Hofstede added long term orientation as a new
dimension to his earlier four cultural dimensions in 2001. Long-term orientation refers to the
fostering of virtues oriented toward future rewards – in particular, perseverance and thrift. On the
other hand, short-term orientation reflects the fostering of virtues related to the past and present –
in particular, respect for tradition, preservation of “face”, and fulfilling social obligations
(Hofstede, 2005, p.210).
Hofstede‟s cultural dimension is the most cultural dimensions applied to measure culture in
many management and psychology research (Kallini and Hausman, 2007; de Jong et al., 2006; de
Mooij, 2004; Baskerville, 2003, Yoo and Donthu, 2002). Those dimension are usually applied
because of its parsimony in understanding and measuring culture (Kirkman et al., 2006).
Although those dimensions are often applied in many research , but Hofstede‟s work has been
critized by other researchers for several reasons (Table 3). For instance, the work of Hofstede is
claimed as out-of-date because it took place in 1967 - 1973 (Jones, 2007; Tsoukatos and Rand,
2007; Soares et al., 2007). On the other hand, today‟s world is rapidly changing as a result of
changing in global environments, economic, cultural, political, and others (Jones, 2007;
Steenkamp, terHofstede, and Wedel, 1999). Therefore, some changes are possible (Kaasa and
Vadi, 2008). Examples of values changes in Western cultures can be seen again in Table 2.
Table 3. Critiques toward Hofstede’s cultural dimensions Critiques Researchers (year)
Hofstede‟s scores across cultural
dimensions for many countries may be
wrong or out-of-date because the
empirical work took place in 1967-1973.
On the other hand, today‟s rapidly
changing global environment may give
different results.
Reducing culture to four or five dimension
conceptualization
Hofstede‟s country scores are based on
work-related values. The questionnaire
was designed based on IBM‟s needs and
interest.
Hofstede used sample from a single
multinational corporation (i.e., IBM).
Hofstede utilized equating nation states
with culture.
Kaasa and Vadi (2008); Jones (2007); Soares,
Farhangmehr, and Shoham (2007); Tsoukatos and
Rand (2007); Steenkamp et al. (1999)
Jones (2007); Kirkman, Lowe, and Gibson (2006)
Steenkamp, terHofstede, and Wedel (1999)
Jones (2007); Tsoukatos and Rand (2007); Javidan
et al. (2006); Steenkamp et al. (1999)
Baskerville (2003)
Source: cited from references stated above
Indonesian Culture
There are two opinions on Indonesian culture (Gunadi, Sutarno, Handayani, and Lutfiah, 1995;
Sastrosupono, 1982). The first opinion is there is no Indonesian culture. Indonesian culture is
60
only about conversation in order to reach the goal, that is, Indonesian culture itself. The second
opinion is Indonesian culture is exist.
According to several Indonesian writers (for example: Kayam, 1997; Gunadi et al., 1995;
Hassan 1989; Joesoef, 1987; Suriasumantri, 1986; Sastrosupono, 1982), Indonesian culture is
defined as the peak s of all tribe cultures. Indonesian culture is also understood as a synthesis
from a various variety of culture that then produces a new culture. There are several indicators of
Indonesian culture such as national language (Indonesian language), Pancasila, Undang Undang
Dasar 1945, development and modernization, national songs, and national arts.
A short explanation of Indonesian culture is as follows. The first example is Indonesian
language. Indonesian language is as a representation of Indonesian culture that can be used as a
tool to unity and to identify people as an Indonesian (Hassan 1989, p.21). The second example is
Pancasila. Pancasila is the philosophical foundation of the Indonesian. Furthermore, Pancasila is
determined by values that have been hold by Indonesian people. Most Indonesian people know
Pancasila wherever they live – even though they understand and apply Pancasila differently
according to their situation (Joesoef, 1987).
Magnis-Suseno (1996) has a different opinion about Indonesian culture. According to him,
Indonesian culture is as the plural culture which involves many tribes culture such as Javanese
culture, Bataknese culture, Sundanese culture, and others. Furthermore, Magnis-Suseno (1996)
has an opinion that Javanese culture (or other tribe cultures) represents Indonesian culture.
Sarwono (1998) explains that even though there are many tribe cultures in Indonesia but there
are dominant core values that Indonesian people hold. Those core values are based on criteria that
those values should be accepted and applied whether in Indonesian people attitude or behavior.
Those values are harmony, tolerance, mutual assistance (gotong-royong), and religious.
Harmony and tolerance means to maintain balance in society. For example, people‟s ambition
should not be expressively, but Indonesian people should act and say something indirectly in
order to avoid friction with other people. Mutual assistance means work together in order to
achieve something. For example, many people in a village will work together to clean their
village once a month or to celebrate something such as Independence Day or religious days.
Harmony, tolerances, and mutual assistance are known as collectivism culture (Hofstede, 1994).
Another Indonesian values is religious. Indonesia is a country which based on religious values.
Changes in Indonesian Culture
As stated before, values have changed in many places in the world the last several decades as the
result of globalization (Hawkins and Mothersbaugh, 2010). Values, on the other hand, are
important factor to represent culture. Therefore, it can be stated that there are changes in
Indonesian cultures.
There samples of Indonesian culture has been changed. As stated by Schiffaman et al. (2010)
that popular songs are also indicators of values changes. For instance, the openness of having
affair song lyric can be as an indication of a decline in values. The song with the title of “Sephia”
from the band called Sheila on 7 is the first song which demonstrated the openness in having
affair in Indonesia. Other songs with the same themes then followed. Indonesian people then are
seemed accepted the phenomena of having an affair.
Research Method
Steps in Scale Development
There are five steps in developing the Indonesian values as shown in Picture 1. The first step was
item generation. Items were generated through three ways: (a) reviewing the literature review on
culture and Indonesian culture, (b) exploratory study, and (c) in-depth interview with experts
about the research context, that is, Indonesian culture. This generation of items can be stated as
61
the most important part of developing sound measures (Hinkin, 1995, p.971). A combined
deductive and inductive approach was applied to generate items.
The second step is scale development. In this part, there are several important aspects to be
considered such as the use of the statements/items (i.e., positively or negatively worded), number
of items, questionnaire response format, and sample size. The third step is data collection. Then,
the next step is scale validation. Data will be examined through reliability and validity analysis.
The final step is to pre-test indicators in several cities. Work to-date has completed into step 2.
Picture 1. Research Process
Research Literature Research Analysis and Conclusions
Problem Review Method Discussion
Scale
development
Step 1: Step 2: Step 3: Step 4: Step 5: RESEARCH
Generate items Scale development Data Scale evaluation Indicators OUTCOMES
collection pre-test
1.1 Culture definitions 2.1 Deciding items 3.1 Deciding 4.1 Reliability and validity 5.1 Indicators Indonesian
and Indonesian cul- to be used questionnaire examinations pre-test cultural
ture definitions 2.2 Sample consi- lay-out 4.1.1 Reliability (Jakarta, dimensions
1.2 Exploratory survey derations 3.2 Data - Cronbach alpha Bandung,
(Jakarta, Bandung, 2.3 Deciding words collection - corrected item- Sema-
Semarang, Surabaya) to be used (Jakarta, total correlation rang,
1.3 In-depth interview (positive or Bandung, Se- 4.1.2 Validity Surabaya)
with experts negative state- marang, Su- - Construct validity
1.4 Validity examinations ments) rabaya) -- convergent validity
1.4.1 Content validity 2.4 Response format -- discriminant validity
4.2 Data analysis
4.2.1 Single dimension analysis
4.2.2 Higher-order analysis
Indicator outcomes Indicator outcomes Indicator outcomes Indicator outcomes Indicator outcomes
* Indonesian value * Items to be applied * Data (come from * Dimensions of Indonesian * Dimensions of I
items in the questionnaire respondents who culture (draft) Indonesian culture
live in Jakarta, (final)
Bandung,
Semarang, Sura-
baya)
parts of research done
Source: developed for this research based on Verbeke (2007), Parasuraman et al. (2005), Adcock and
Collier (2001), Clark and Watson (1995), Churchill (1979)
Results
Item generation
As appeared in Picture 1, the first step in the scale development process is to generate scale items.
Items were generated from a combined deductive and inductive approach. The deductive
approach emphasizes theoretical definitions of the concept (that is Indonesian values). On the
other hand, the inductive approach starts from empirical reality. In this research, an exploratory
research was conducted in which respondents were asked to describe in an open-ended format
about Indonesian values. There were 2100 questionnaires were distributed to respondents in
Jakarta, Bandung, Semarang, and Surabaya. All respondents were chosen with two main criteria:
(1) that respondent live in one of four research areas (Jakarta, Bandung, Semarang, or Surabaya),
62
and (2) that respondents should work in the area that they live. A total of 1455 usable
questionnaires were used to identify Indonesian values.
In-depth interviews with experts were also conducted. Five experts were chosen based their
expertise in culture subjects. The results of those interviews were an understanding of values and
Indonesian values. In that interview, experts were also asked whether frequently mentioned
values are parts of Indonesian values. Multi-item scales then were developed based on frequently
mentioned values (Table 4 and Table 5). There were 162 items were proposed for further analysis
(Appendix 1). Furthermore, the content validity of the items was assessed by two judges. Those
judges were asked whether those items represent frequently mentioned value statements. The
results showed that all items were retained and small revisions were made due to clarity
improvement.
Table 4. Frequently mentioned values (positive)
Rank Values 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Mutual cooperation (gotong-royong)
Religion (agama)
Tolerance (toleransi/tenggang rasai)
Democracy (demokrasi)
Five principles of the Republic of Indonesia (Pancasila)
Culture (budaya)
Kinship, Family (kekeluargaan)
Unity, Oneness (persatuan dan kesatuan)
Hospitable (ramah-tamah)
Well mannered (sopan santun)
Consensus (musyawarah)
Social (sosial)
Humanity (kemanusiaan)
Justice (keadilan)
Honesty (kejujuran)
Divinity (KeTuhanan)
Togetherness (kebersamaan)
Mutual assitance (tolong-menolong)
Mutual respect (saling menghormati)
The Constitution of Indonesia (UUD 1945)
Harmony (kerukunan)
Table 5. Frequently mentioned values (negative)
Rank Values 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Individualism / egoist (individualisme/egois)
Corruptiopn (korupsi)
Corruption, Collusion, and Nepotism (KKN: korupsi, kolusi, dan nepotisme)
Materialism (materialistis)
Comsumtive (konsumptif)
Anarchy (anarki)
Group priority (mementingkan golongan)
Western oriented] (mengikuti budaya barat)
Fanatism (fanatisme)
Hedonism (hedonisme)
Conclusion
Understanding culture and specifically Indonesian culture are important for many researchers and
practitioners. This is because culture shapes people behavior. In other words, understanding
culture also means that we can understand “other people” and also “knowing ourselves” (Ljubić
et al., 2009). Researching Indonesian cultural dimensions is also important. This is because many
63
research focuses on culture are applying Hofstede‟s cultural dimensions. Thanks to Hofstede for
pioneering cultural dimensions. However, Hofstede‟s cultural dimensions have also been
criticized by many scholars. Again, as stated before that the applicability of the dimensions to all
culture may not appropriate. Thus, researching Indonesian cultural dimensions is a must. We
realize that scale development process described in this paper is not yet completed. However, the
work to-date provided Indonesian values which can be used in by other researchers working in
this area.
Acknowledgement
This paper is part of our research with the title of “Pengidentifikasian dimensi-dimensi budaya
Indonesia: pengembangan skala dan validasi”. This research is funded by Hibah Bersaing
research grant (2011-2012) and LPPM University of Pelita Harapan (2011).
Appendix 1.
Gotong-royong
6. Di dalam mengerjakan sesuatu, bekerja bersama-sama lebih penting dibanding-kan bekerja sendirian.
7. Salah satu hal penting dalam bermasyarakat adalah gotong-royong.
8. Saling membantu adalah kebiasaan yang ada di lingkungan masyarakat.
9. Pada saat saya melakukan sesuatu, biasanya saya cenderung melakukannya bersama-sama.
10. Masyarakat lebih berhasil dalam mencapai sesuatu jika bekerja-sama.
Agama / Keagamaan
6. Agama menjadi petunjuk dalam berperilaku.
7. Setiap orang wajib menganut salah satu agama.
8. Beragama adalah keyakinan saya akan keberadaan Tuhan.
9. Beribadah sesuai dengan agama yang dianut.
10. Agama adalah pegangan dalam berperilaku.
Demokrasi
11. Negara harus memperhatikan persamaan hak semua warga negara.
12. Negara harus memperhatikan kewajiban semua warga negara.
13. Demokrasi adalah rakyat bebas mengeluarkan pendapat.
14. Demokrasi adalah hal utama menjadikan Indonesia menjadi lebih baik.
15. Saya percaya setiap warga negara memiliki hak menentukan jalannya kehidupan bernegara.
16. Pemilu adalah wujud demokrasi di Indonesia.
Pancasila
17. Dasar negara Republik Indonesia adalah Pancasila.
18. Falsafah bangsa Indonesia adalah Pancasila.
19. Pancasila merupakan nilai bangsa Indonesia.
20. Pancasila adalah pegangan hidup bernegara.
Budaya
21. Keragaman budaya merupakan ciri khas bangsa Indonesia.
22. Kesenian bangsa Indonesia (tarian dan lagu tradisional) harus tetap dipertahankan.
23. Penting untuk menjaga cagar budaya (misalnya: museum dan monument).
24. Nilai-nilai budaya masih menjadi pegangan berperilaku.
25. Tradisi masih dijalankan masyarakat Indonesia.
Kekeluargaan
26. Setiap orang perlu memperhatikan keluarganya.
27. Bagi saya, keluarga adalah hal utama.
64
28. Kekeluargaan merupakan salah satu dasar dalam kehidupan.
29. Setiap orang perlu menjaga hubungan kekeluargaan.
30. Keluarga tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan saya.
Persatuan dan kesatuan
31. Bahasa Indonesia adalah simbol persatuan bangsa.
32. Berbeda-beda tetapi satu (Bhinneka Tunggal Ika) adalah pandangan hidup bangsa Indonesia.
33. Penting untuk menjaga persatuan bangsa.
Ramah-tamah
34. Saya biasanya akan menyapa orang terlebih dahulu.
35. Saya mudah akrab dengan orang lain.
36. Senyum adalah bentuk keramahan.
37. Saya menghindari kemarahan di depan umum.
38. Biasanya saya memulai percakapan dengan orang lain.
Toleransi
39. Saya menghargai perbedaan.
40. Setiap orang boleh berbeda.
41. Saya menerima perbedaan budaya.
42. Saya terbuka terhadap budaya baru.
43. Kekurangan orang lain tidak menjadi masalah bagi saya.
Sopan Santun
44. Sopan santun merupakan ciri bangsa Indonesia.
45. Sopan santun diperlukan dalam pergaulan untuk menjaga keharmonisan.
46. Norma kesusilaan merupakan nilai penting dalam masyarakat kita.
47. Budi pekerti yang baik perlu diajarkan sejak dini masyarakat.
48. Penting memiliki tata krama dalam kehidupan bermasyarakat.
Musyawarah
49. Perselisihan dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah.
50. Saya berusaha secara bersama-sama mencari jalan keluar untuk sebuah masalah.
51. Saya membahas sesuatu masalah secara bersama-sama mendapatkan solusi.
52. Masyarakat melakukan musyawarah untuk mufakat.
53. Lingkungan saya menjaga kerukunan dengan cara bermusyawarah.
Sosial
54. Penting untuk memperhatikan kepentingan umum.
55. Setiap orang perlu memperhatikan lingkungannya.
56. Saya dengan senang hati menolong orang yang membutuhkan pertolongan.
57. Saya memperhatikan kepentingan masyarakat.
58. Sifat manusia adalah suka tolong menolong.
Kemanusiaan
59. Manusia merupakan makluk ciptaan Tuhan.
60. Setiap manusia memiliki akal budi.
61. Setiap manusia memiliki perasaan yang mempengaruhi tingkah lakunya.
62. Tidak pernah puas merupakan ciri tiap manusia.
Tenggang Rasa
63. Tenggang rasa merupakan sifat bangsa Indonesia.
64. Sikap tenggang rasa merupakan nilai pemersatu bangsa.
65. Saya sadar bahwa setiap orang memiliki kelemahan.
66. Setiap manusia memiliki keterbatasan masing-masing.
67. Saya berusaha menghargai keterbatasan orang lain.
65
Keadilan
68. Penting bagi setiap orang untuk bersifat adil dengan sesamanya.
69. Keadilan adalah penting dalam kehidupan bermasyarakat.
70. Setiap orang sepatutnya tidak sewenang-wenang terhadap sesamanya.
71. Jika ada masalah melibatkan dua pihak, saya tidak berat sebelah.
72. Dalam memutuskan masalah yang melibatkan dua pihak, saya berpegang pada kebenaran.
Kejujuran
73. Penting untuk bersifat jujur.
74. Setap orang perlu berkata apa adanya.
75. Kejujuran adalah salah satu dasar dalam kehidupan.
76. Saya menjalankan segala sesuatu sesuai dengan aturan.
77. Saya berusaha untuk tidak berbohong.
78. Saya berusaha untuk tidak melakukan kecurangan.
Ketuhanan
79. BerkeTuhanan yang Maha Esa
80. Saya mempercayai bahwa Tuhan itu ada.
81. Tuhan adalah pencipta alam dan seisinya.
82. Saya percaya bahwaTuhan Maha Kuasa.
83. Agama saya mengajarkan tentang Tuhan.
Kebersamaan
84. Kebersamaan merupakan ciri khas bangsa Indonesia.
85. Banyak kegiatan lingkungan dilakukan secara bersama-sama.
86. Kegitan-kegiatan lingkungan merupakan cerminan kebersamaa.
87. Kebersamaan merupakan nilai dalam keluarga.
88. Kebersamaan merupakan nilai dalam masyarakat.
89. Kebersamaan adalah melakukan sesuatu dalam kesepahaman.
Tolong-menolong
90. Tolong-menolong adalah salah satu pegangan dalam bermasyarakat.
91. Bekerja bersama-sama dalam kegiatan lingkungan adalah penting.
92. Setiap orang perlu bahu-membahu dalam melakukan kegiatan kemasyarakatan.
93. Saling menolong adalah ciri makluk sosial.
94. Saya membalas pertolongan orang lain
Saling menghormati
95. Saling menghormati adalah kewajiban setiap orang.
96. Saling menghormati dapat menghindari perselisihan.
97. Kerukunan dalam umat bergama adalah hasil dari saling menghormati antar agama.
98. Demokrasi dalam berbangsa mensyaratkan sikap saling menghormati.
UUD 1945
99. Dasar negara Indonesia adalah Undang-Undang Dasar 1945.
100.UUD 1945 adalah pedoman dalam menjalankan negara.
101.UUD 1945 adalah amanat rakyat yang harus dilaksanakan.
102.UUD 1945 adalah pedoman bagi setiap warga dalam menyeimbangkan hak dan kewajiban.
Kerukunan
103.Keharmonisan dalam hubungan antar agama adalah bentuk kerukunan.
104.Hidup rukun adalah nilai yang senantiasa ditanamkan oleh keluarga.
105.Kerukunan senantiasa dijaga untuk mencegah perselisihan.
106.Setiap warga berkewajiban menjaga kerukunan.
107.Kerukunan mencegah terjadinya perpecahan.
66
Egois
108.Kepentingan orang lain bukan sesuatu yang berarti.
109.Saya harus mengutamakan kepentingan saya diatas kepentingan orang lain.
110.Adalah wajar apabila setiap pendapat saya adalah benar.
111.Saya perlu mendapatkanan perhatian dibanding orang lain.
112.Setiap orang sebaiknya mengikuti pendapat saya dengan sebaik-baiknya.
Individualisme
113.Hak perseorangan lebih berharga dibandingkan hak masyarakat
114.Diri saya lebih penting dibandingkan dengan orang lain.
115.Saya bebas berbuat apa saja.
116.Kebutuhan setiap orang tidak dapat disama-ratakan.
Korupsi
117.Penyalahgunaan waktu bekerja untuk urusan pribadi adalah korupsi.
118.Menggunakan uang perusahaan untuk urusan pribadi atau orang lain dapat dibenarkan.
119.Berlaku curang untuk kepentingan pribadi dapat dibenarkan.
120.Saya akan menggunakan fasilitas perusahaan untuk kepentingan pribadi.
121.Korupsi tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang saya anut.
Kolusi
122.Menurut saya kolusi dapat dilakukan.
123.Kolusi terjadi di setiap aspek bermasyarakat.
124.Dalam banyak situasi, saya membuat kesepakatan rahasia untuk kepentingan saya.
125.Konspirasi perlu dilakukan untuk mendapatkan sesuatu.
126.Sesuatu dapat direkayasa untuk kepentingan pihak tertentu.
Nepotisme
127.Jika memungkinkan, saya mengu-tamakan kerabat/saudara saya bekerja
128.Adalah penting mengutamakan sanak saudara sendiri pada lingkungan saya bekerja.
129.Saya suka mengutamakan kerabat atau sanak saudara saya.
130.Saya lebih merasa nyaman bekerja dengan keluarga / kerabat saya.
131.Saya lebih percaya pada keluarga / kerabat saya di dalam bekerja.
Materialistis
132.Kekayaan adalah tujuan hidup saya.
133.Setiap orang dapat dinilai dari kekayaan yang dimilikinya.
134.Orang tidak dapat hidup tanpa harta benda.
135.Saya selalu terdorong memiliki banyak harta benda.
Konsumtif
136.Saya cenderung membeli sesuatu berlebih dibandingkan dengan kebutuhan saya.
137.Jika saya memiliki uang, saya cenderung membeli sesuatu yang saya inginkan.
138.Saya senang membeli apa yang saya inginkan.
Anarki
139.Saya menciptakan ketertiban dengan cara saya sendiri.
140.Peraturan dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan saya.
141.Saya berusaha mencapai maksud saya sendiri walaupun bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
142.Undang-undang pemerintah bukan merupakan hal yang mutlak dilaksanakan.
Mementingkan Golongan
143.Saya memprioritaskan kelompok terlebih dahulu.
144.Bagi saya, kelompok lain tidak perlu saya pikirkan.
145.Keinginan kelompok saya lebih utama.
67
146.Hak golongan harus senantiasa dipenuhi.
147.Kepentingan golongan harus senantiasa dipenuhi.
Mengikuti budaya barat
148.Saya cenderung menerima budaya barat.
149.Budaya barat mempengaruhi sikap saya.
150.Budaya barat mempengaruhi perilaku saya.
151.Saya senantiasa berusaha mengikuti perubahan budaya barat.
152.Budaya barat senantiasa menjadi acuan tindakan saya.
Fanatisme
153.Saya mempertahankan agama saya.
154.Saya berjuang untuk agama saya.
155.Agama lain memiliki kekurangan dibandingkan agama saya.
156.Saya mempertahankan keyakinan saya dengan cara apapun.
157.Saya menolak pemahaman yang berbeda dengan saya.
Hedonisme
158.Menurut saya, hidup adalah sebuah kesenangan.
159.Materi merupakan tujuan hidup saya.
160.Dengan memiliki materi, saya menikmati hidup.
161.Materi adalah hal utama dalam hidup saya.
162.Bersenang-senang adalah tujuan hidup saya.
References
Anonim (2010). Ruwatan. Available at: http://www.budaya-indonesia.org. Downloaded at 10 August
2010.
Adapa, S. (2008). Adoption of internet shopping: cultural considerations in India and Austalia. Journal of
Internet Banking and Commerce, 13, 2. Available at: http://www.araydev.com/commerce/jibc/.
Adcock, R. dan Collier, D. (2001). Measurement validity: a shared standard for qualitative and quantitative
research. American Political Science Review, 95, 3, 529-546.
Ardichvili, A., Maurer, M., Li, W., Wentling, T. and Stuedemann, R. (2006). Cultural influences on
knowledge sharing through online communities of practice. Journal of Knowledge Management, 10,
1, 94-107.
Bagozzi, R.P. (1994). Structural equation models in marketing research: basic principles, in Principles of
Marketing Research, R.P. Bagozzi (ed.), Masschusetts: Blackwell Publishers.
Baskerville, R.F. (2003). Hofstede never studied culture. Accounting Organizations and Society, 28, 1-14.
Birukou, A., Blanzieri, E., Giorgini, P. and Giunchiglia, F. (2009). A formal definition of culture. Technical
Report # DISI-09-021, University of Trento, Italy.
http://eprints.biblio.unitn/it/archieve/0001604/01/021.pdf.
Chan, A.M. (2009). Measuring cross-cultural values: a qualitative approach. International Review of
Business Research Papers, 5, 6, 322-337.
Churchill, G.A. (1979). A paradigm for developing better measure of marketing constructs. Journal of
Marketing Research, 16, 64-73.
Craig, C.S. and Douglas, S.P. (2006). Beyond national culture: implications of cultural dynamics for
consumer research. International Marketing Review, 23, 2, 322.
Dash, S., Bruning, E.R. dan Guin, K.K. (2004). Bonding and commitment in buyer-seller relationships: a
cross-cultural comparison in banking. ASAC Conference, Quebec City, Quebec.
Davis, L., Wang, S. and Lindridge, A. (2008). Culture influences on emotional responses to on-line store
atmospheric cues. Journal of Business Research, 61, 806-812.
De Mooij, M. (2004). Consumer behavior and culture: consequences fro global advertising and
advertising, Thousand Oaks, CA: Sage.
68
De Jong, E., Smeets, R. and Smits, J. (2006). Culture and openness. Social Indicators Research, 78, 111-
136.
De Lorenzo, G.J., Kohun, F.G., Burak, V., Belanova, A. and Skovira, R.J. (2009). A data driven conceptual
analysis of globalization – cultural affects and Hofstedian organization of frames: the Slovak
Republic example. Informing Science amd Information Technology, 6, 461-470.
Evans, M., Jamal, A. and Foxall, G. (2009). Consumer Behavior. England: John Wiley & Sons, Ltd.
Forshee, J. (12006). Culture and customs of Indonesia. USA: Greenwood Press.
Geertz, C. (1973). Religion As a Cultural System. In The Interpretation of Cultures. Pp. 87-125. New
York: Basic Books.
Goodwin, R. and Giles, S. (2003). Social support provision and cultural values in Indonesia and Britain.
Journal of Cross-cultural Psychology, 34, X, 1-6.
Guiso, L., Sapienza, P. and Zingales, L. (2006). Does culture affect economic outcomes? Journal of
Economic Perspectives, 20, 2, 23-48.
Gunadi, I.H, Sutarno, Handayani, T. dan Lutfiah, A. (1995). Wujud, Arti dan Fungsi Puncak-Puncak
Kebudayaan Lama dan Asli Bagi Masyarakat Pendukungnya, Semarang: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
Lam, D.C.S. and Lee, A.Y.C. (2005). The influence of cultural values on brand loyalty. ANZMAC
Conference. http://smib.vuw.ac.nz:8081/www/anzmac2003/cd-site/pdf/3../3.Lam.Lee.pdf.
Downloaded at 7 August 2010.
Lamb, C.W., Hair, J.F. and McDaniel, C. (2009). Essentials of Marketing: 6e. USA: Cengage.
Lee,C. dan Green, R.T. (1991). Cross-cultural examination of the Fishbein behavioral intentions model.
Journal of International Business Studies, 2nd
Quarter, 289-305.
Ljubić, F., Bezić, H., and Vugrinović, A. (2009). Economic impact of cross-cultural understanding.
http://oliver.efri.hr/~euconf/2009/docs/Session6/5%20Ljubic%20Bezic%20Vugrinovic.pdf.
Downloaded at 7 September 2010.
Hassan, F. (1989), Renungan Budaya, Jakarta: Balai Pustaka.
Hawkins,D.I. and Mothersbaugh, D.L. (2010). Consumer Behavior: Building Marketing Strategy. NY:
McGraw-Hill.
Hofstede, G. (1980). Culture’s consequences: international differences in work-related values.Beverly
Hills, CA: Sage.
Hofstede, G. dan Bond, M.H. (1988). The Confucius connection: from cultural roots to economic growth.
Organizational Dynamics, 16, 4, 5-21.
Hofstede, G. (1994). Cultures and organizations: software of the mind. London: Harper-Collins Publishers.
Hofstede, G. (1980). Culture‟s consequences: international differences in work related values. Sage:
Beverly Hills, CA.
Hwang, A., Francesco, A.M. and Kessler, E. (2003). The relationship between individualism-collectivism,
face, and feedback and learning process in Hong Kong, Singapore, and the United States, Journal of
Cross-Cultural Psychology, 34, 1, 72-91.
INTAN (1992). Tonggak dua belas. Kuala Lumpur: INTAN.
Joesoef, D. (1987). Pancasila, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan dalam Pancasila sebagai Orientasi
Pengembangan Ilmu, Prawihardjo, S.H., Bakker, Sutrisno, S. (editor), Yogyakarta: PT. BP
Kedaulatan Rakyat.
Jones, M.L. (2007). Hofstede – culturally questionable? Oxford Business & Economics Conference.
Oxford, UK, 24-26 June.
Kacen, J.J. Lee, J.A. (2002). The influence of culture on consumer impulsive buying behavior. Journal of
Consumer Psychology, 12, 1, 163-176.
Kalliny, M. and Hausman, A. (2007). The impact of cultural and religious values on consumer‟s adoption
of innovation. Academy of Marketing Studies Journal, 11, 1, 125-136.
Kirkman, B.L., Lowe, K.B. dan Gibson, C.B. (2006). A quarter century of Culture’s Consequences: a
review of empirical research incorporating Hofstede‟s cultural values framework. Journal of
International Business Studies, 37, 285-320.
Komin, S. (1995). Socio-cultural influences in managing for productivity in Thailand. In Hwang, K-K
(Ed.). Easterization: Socio-cultural impact on productivity. Tokyo: Asian Productivity Organization.
Kroeber, A.L. and Kluckhohn, C. (1952). Culture: a critical review of concepts and definitions. Papers of
the Peabody Museum of American Archaeology and Ethnology, 47, 41-72.
69
Leung, K., Bhagat, R.S., Buchan, N.R., Erez, M. and Gibson, C.B. (2005). Culture and international
business: recent advances and their implications for future research. Journal of International Business
Studies, 36, 357-378.
Lubis, M. (2001). Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Luo, Y. (2009). Analysis of culture and buyer behavior in Chinese market. Asian Culture and History, 1, 1,
25-30.
Magnis-Suseno, F. (1996), Budaya dan pengaruhnya terhadap budaya perusahaan Indonesia. Usahawan,
No. 7, Juli.
Maheswaran, D. dan Shavitt, S. (2000). Issues and new directions in global consumer psychology. Journal
of Consumer Psychology, 9,2, 59-66.
Manikutty, S., Anuradha, N.S., and Hansen, K. (2007). Does culture influence learning styles in higher
education? International Journal of Learning and Change, 2, 1, 70-87.
Murray, J.B. dan Evers, D.J. (1989). Theory borrowing and reflectivity interdisciplinary fields. Advances in
Consumer Research, 16, 647-652.
Nairn, S. (2009). Addressing race and culture in nurse education. In Transforming nursing education: the
culturally inclusive environment. Bosher, S.D. and Pharris, M.D. (editors). NY: Springer Publishing
Company, LLC.
Nisbett, R.E. (2003). The geography of thought: how asians and westeners think differently … and why.
NY: The Free Press.
Oliver, E.G. dan Cravens, K.S. (1999). Cultural influences on managerial choice: an empirical study of
employee benefit plans in the United States. Journal of International Business Studies, 30, 4, 745-
762.
Oliver, S. and Kandadi, K.R. (2006). How to develop knowledge culture in organizations? A multiple case
study of large distributed organizations. Journal of Knowledge Management, 10, 4, 6-24.
Parasuraman, A., Zeithml, V.A. dan Malhotra, A. (2005). E-S-QUAL: a multiple-item scale for assessing
electronic service quality. Journal of Service Research, 7, 213-233.
Peter, J.P. and Olson, J.C. (2005). Consumer Behavior & Marketing Strategy. 7th
edn., NY: McGraw-Hill.
Pheng, L.S. and Yuquan, S. (2002). An exploratory study of Hofstede;s cross-cultural dimensions in
construction projects. Management Decision, 40, 1, 7-16.
Plummer, J.T. (1989). Changing values. Futurist 23 January, p.10.
Rachman, W.R.A. (2007). Research on work values in Malaysia and Thailand: a cross-cultural research
proposal. The 4th
International Postgraduate Research Colloquium. IPRC Proceedings, 197-203.
Rook, D.W. (1985). The ritual dimensions of consumer behavior. Journal of Consumer Research, 12, 251-
264.
Sarwono, S.S. (1998). Cultural values and marketing practices in Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia, 13, 2, 90-100.
Sastrosupono, M.S. (1982). Menghampiri Kebudayaan, Bandung: Penerbit Alumni.
Sian, W. Razzaque, M.A. and Keng, K.A. (2007). Chinese cultural values and gift-giving behavior. Journal
of Consumer Marketing, 24, 4, 214-228.
Singh, S. (2006). Cultural differences in, and influences on, consumers‟ propensity to adopt innovations.
International Marketing Review, 23, 2, 173-191.
Soares, A.M., Farhangmehr, M. dan Shoham, A. (2007). Hofstede‟s dimensions of culture in international
marketing studies. Journal of Business Research, 60, 277-284.
Solomon, M.R. (2009). Consumer Behavior: Buying, Having, and Being. NJ: Pearson Prentice Hall.
Steenkamp, J.M.E., ter Hofstede, F. dan Wedel, M. (1999). A cross-national investigation into the
individual and national cultural antecedents of consumer innovativeness, Journal of Marketing, 63,
55-69.
Steenkamp, J.E.M. dan Baumgartner, H. (1998). Assessing measurement invariance in cross-national
consumer research. Journal of Consumer Research, 25, 78-90.
Steenkamp, J.E.M. dan Van Trijp, H.C.M. (1991). The use of LISREL in validating marketing construct.
International Journal of Research in Marketing, 8, 283-299.
Subiyantoro, E. dan Hatane, S.E. (2007). Dampak perubahan kultur masyarakat terhadap praktik
pengungkapan laporan keuangan perusahaan publik di Indonesia, Jurnal Manajemen &
Kewirausahaan, 9, 1, 20-29.
70
Suharnomo (2009). The impact of culture on human resource management practices: an empirical research
finding in Indonesia. Proceedings at Oxford Business & Economics Conference, June 24-26, Oxford:
UK.
Summers, J.O. (2001). Guidelines for conducting research and publishing in marketing: from
conceptualization through the review process.,” Journal of the Academy of Marketing Science, 29, 4,
405-415.
Tariq, H., McKechnie, D.S., Grant, J. and Phillips, J. (2007). Shopping for gold! A Ritual Experience.
Available at: http://www.abwic.org/Proceedings/2007/ABW07-203.doc. Downloaded at 10 August
2010.
Triandis, H.C. (1972). The analysis of subjective culture. NY: John Wiley & Sons.
Tsoukatos, E. dan Rand, G.K. (2007). Cultural influences on service quality and customer satisfaction:
evidence from Greek insurance. Managing Service Quality, 17, 4, 467-485.
Tylor, E.B. (1871). Primitive culture: researchers into the development of mythology, philosophy, religion,
art, and custom, Vol.1., London: John Murray.
Usunier, J. (2000). Marketing across cultures. England: Pearson Education Limited.
Verbeke, W. (2000). A revision of Hofstede et al.‟s (1990) organizational practices scale. Journal of
Organizational Behavior, 21, 587-602.
Wirawan, D. and Irawanto (2007). National culture and leadership: lesson from Indonesia. Jurnal
Eksekutif, 4, 3, 359-367.
Wiriaatmaja, E. (2010). Malin Kundang, myth or truth. Available at:
http://www.indonesiatogo.com/2009/06/18/malin-kundang-myth-or-truth/. Downloaded at 10 August
2010.
Yintsou, H. (2007). Relationships between national culture and Hofstede model and implications for a
multinational enterprise. Proceedings of the 13th
Asia Pacific Management Conference, Meulbourne,
Australia, 1422-1428.
Yoo, B. and Donthu, N. (2002). The effects of marketing education and individual cultural values on
marketing ethics of students. Journal of Marketing Education, 24, 92-103.
71
C. SINOPSIS PENELITIAN LANJUTAN
Penelitian tahun akan mengidentifikasi dimensi-dimensi budaya Indonesia serta menguji
ulang kembali indikator-indikator penelitian pada sampel yang sama dan yang berbeda.
Data yang dikumpulkan pada penelitian tahun pertama berasal dari Pulau Jawa yang
direpresentasikan dari responden yang tinggal dan bekerja di Jakarta, Bandung, Semarang
dan Surabaya. Pada penelitian tahun kedua ini, selain menguji indikator pada sampel
denga kriteria yang sama seperti tahun pertama, indikator penelitian juga akan diuji
dengan menggunakan sampel mahasiswa di wilayah yang sama. Hal ini dimaksudkan
untuk memperkuat hasil penelitian sebelumnya. Alur penelitian adalah sebagai berikut.
Gambar 5. Alur Penelitian
Tahun I Tahun II
Tinjauan Nara Studi Data
Literatur Sumber Eksplorasi
Nilai-nilai Dimensi-dimensi
budaya Indonesia
Aitem-aitem Replikasi :
mahasiswa
Kuesioner Dimensi :
sama / berbeda