Upload
buique
View
230
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN PENELITIAN BERBASIS PUBLIKASI INTERNASIONAL
DISAIN MATERIAL ABSORBER GELOMBANG
MIKRO SENYAWA DASAR (La, Ba)(Mn, Ti)O3
MELALUI PROSES PENGAHALUSAN MEKANIK
DAN SONIKASI DAYA TINGGI
SITTI AHMIATRI SAPTARI
19770416 2005 01 2 008
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah Azza Wa Jalla, Robb Alam Semesta. Yang
tidak ada ilah yang pantas disembah kecuali Allah. Yang seluruh detail alam
semesta bersaksi bahwa pernyataan tersebut adalah benar adanya. Kemudian
sholawat dan salam semoga tercurah bagi Muhammad bin Abdullah, satu-satunya
manusia yang mendahului manusia dalam setiap kebaikan. Tidak ada satupun
kebaikan kecuali kita telah diajarkan dan tidak ada satupun kebaikan kecuali kita
telah dilampaui oleh Rosulullah saw.
Penulis bersyukur kepada Allah SWT karena hanya atas rahmat dan
petunjuk-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana
penelitian ini
Penulis sadar bahwa laporan hasil penelitian ini tidak luput dari
kekurangan, namun penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi
masyarakat luas.
Jakarta, Desember 2014
Sitti Ahmiatri Saptari
iv
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ……………………………………………………………… ii
Abstrak ……………………………………………………………………… iii
Daftar Isi ……………………………………………………………………. iv
Bab 1 Pendahuluan ………………………………………………………… 1
1.1. Latar Belakang ……………………………………………………….... 1
1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………………. 2
1.3. Tujuan Penelitian ……………………………………………………… 4
1.4.Batasan Penelitian ……………………………………………………… 4
1.5.Manfaat Penelitian ……………………………………………………… 4
Bab 2 Tinjauan Pustaka …………………………………………………….. 5
2.1. Struktur Kristal ………………………………………………………… 5
2.2. Teori Dasar Sinar X …………………………………………………… 11
2.3. Metode Analisis Rietvield ……………………………………………… 19
2.4. Magnetisasi Material …………………………………………………… 23
2.5. Mechanical Alloying …………………………………………………… 27
2.6. Sonikasi ………………………………………………………………… 30
2.7. Absorpsi Gelombang Elektromagnet ………………………………….. 33
2.8. Gelombang Mikro ……………………………………………………… 40
2.9. Scanning Electron Microscope …………………………………………. 41
2.10. Teori Double Exchange ………………………………………………. 44
2.11. Teori Interaksi Superexchange ………………………………………… 47
2.12. Ligand Field Theory …………………………………………………… 48
2.13. Lantanum Manganat …………………………………………………… 53
2.14. Mekanisme Serapan Gelombang Mikro ……………………………….. 60
Bab 3 Metode Penelitian ……………………………………………………. 79
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………………. 79
3.2. Alat dan Bahan …………………………………………………………. 82
3.3. Preparasi Pembentukkan Fasa Tunggal ………………………………… 83
3.4. Karakterisasi Sampel …………………………………………………… 89
Bab 4 Hasil dan Pembahasan ……………………………………………….. 103
v
4.1. Karakterisasi TGA Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 ……………………. 103
4.2. Karakterisasi XRD Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 …………………… 115
4.3. Karakterisasi Sifat Magnet Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 …………… 125
4.4. Karakterisasi VNA Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 …………………… 131
4.5. Pembuatan Nano Partikel Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
Melalui Prosese Sonikasi …………………………………………... 137
4.6. Diskusi …………………………………………………………………. 142
Bab 5 Kesimpulan …………………………………………………………… 147
Referensi ……………………………………………………………………. 148
iii
ABSTRAK
Judul : Disain Material Absorber Gelombang Mikro Senyawa Dasar (La,
Ba)(Mn, Ti)O3 Melalui Proses Penghalusan Mekanik dan Sonikasi
Daya Tinggi
Beberapa tahun terakhir ini, polusi interferensi gelombang elektromagnet
cukup serius muncul akibat perkembangan yang pesat dari bisnis alat komunikasi,
seperti telepon selular dan sistem radar. Hal ini dapat menyebabkan terganggunya
sistem peralatan berbasis elektronik dan sistem keamanan yang sangat vital.
Material lantanum manganat La1-xAxMnO3 (A : Sr, Ba, Ca) telah beberapa
dekade ini menjadi topik riset yang menarik bagi para peneliti. Hal ini disebabkan
karena sifat magnetik dan transport yang tidak biasa, sehingga lantanum manganat
dapat menjadi kandidat yang potensial sebagai material penyerap gelombang
mikro pada frekuensi tinggi.
Sintesa senyawa La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 (x = 0, 0,02, 0,04, dan 0,06)
dengan metode reaksi padatan mekanisme penghalusan mekanik telah berhasil
dilakukan. Karakterisasi XRD (X Ray Diffraction) menunjukkan bahwa seluruh
sampel adalah fasa tunggal dengan struktur krisatal monoklinik. Tahap
berikutnya material disonikasi selama 5 jam, sehingga ukuran partikel rata-rata
mengecil dari 5,02 µm menjadi 0,36 µm. Kurva histerisis sampel dari hasil
karakterisasi permagraph menunjukkan bahwa sampel termasuk material magnet
lunak. Ditemukan pula bahwa ketika ukuran partikel rata-rata mengecil maka
harga saturasinya naik dan medan koersitifitasnya menurun. Sifat penyerapan
gelombang mikro sampel diteliti dengan menggunakan VNA (Vector Network
Analyzer) pada rentang frekuensi 8 – 12 GHz. Nilai Reflection Loss optimum
diperoleh pada frekuensi 11,4 GHz sebesar -13,6 dB untuk sampel dengan
penghalusan mekanik saja, dan -24,4 dB untuk sampel dengan dua kali proses
yakni penghalusan mekanik dan sonikasi daya tinggi.
Kata kunci: material absorber, lanthanum manganat, penghalusan mekanik,
sonikasi, ukuran partikel
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Material perovskite lantanum manganat La1-xAxMnO3 (A : Sr. Ba. Ca)
telah beberapa dekade ini menjadi topik riset yang menarik bagi para ilmuwan.
Hal ini disebabkan karena sifat magnetik dan transport yang tidak biasa, serta
adanya fenomena magnetoresistansi yakni perubahan resistansi listrik ketika ada
medan magnet eksternal [1-8]. Sifat magnetoresistensi ini diaplikasikan untuk
sensor magnetik dan juga penyimpanan data (data storage) [9]. Selain itu.
material lantanun manganat juga memiliki sifat serapan gelombang mikro
sebagaimana hasil penelitian Zhou dkk [10-12]. Mereka merekayasa struktur
LMO dengan menggantikan secara parsial La dengan Sr dan Mn dengan Fe.
Rekayasa struktur senyawa tersebut telah melahirkan sifat baru disamping GMR
atau CMR yaitu memiliki kemampuan menyerap gelombang elektromagnetik
khususnya pada jangkauan frekuensi ultra tinggi (GHz).
Di sisi lain, perkembangan teknologi khususnya pada bidang elektronik,
telekomunikasi, dan teknologi informasi (TI) telah dan sedang berjalan begitu
pesat pada akhir-akhir ini dan telah ikut mempengaruhi kehidupan dan aktivitas
manusia sehari-hari. Tidak dapat disangkal lagi, pengenalan teknologi komunikasi
semakin canggih. Berbagai jenis perangkat teknologi media elektronik dan
informasi dalam era globalisasi seperti saat ini maka penggunaan gelombang
elektromagnetik (EM) berbagai frekuensi khususnya frekuensi tinggi semakin
intensif. Dapat dipastikan sebagai implikasi langsung dari masuknya teknologi-
teknologi canggih pada bidang elektronik, komunikasi, dan informasi tersebut,
atmosfir sekitar aktivitas kehidupan manusia sudah dan akan terpolusi oleh
pembawa gelombang elektromagnetik (EM) termasuk EM dengan frekuensi ultra
tinggi (GHz). Implikasi negatif dari perkembangan pesat tersebut adalah berbagai
sistem peralatan berbasis elektronik seperti sistem kontrol elektronik dan sistem
keamanan peralatan yang sangat vital bahkan keselamatan dan kesehatan manusia
2
kini menghadapi suatu ancaman baru datang dari atmosfir sekitar yaitu
interferensi gelombang elektromagnetik atau Electromagnetic Interferences (EMI)
[13-15].
Sebagai contoh, berbagai peralatan elektronik dan telekomunikasi seperti
komunikasi nirkabel (wireless communication), jaringan area terbatas. maupun
aplikasi pada transportasi udara dan sistem pertahanan udara militer (deteksi
RADAR) dapat terganggu berupa interupsi yang menyebabkan tidak berfungsinya
atau terganggunya system [16]. Tidak terkecuali juga sistem kontrol elektronik
baik itu pada kegiatan industri maupun kegiatan keselamatan dan kesehatan di
rumah sakit ikut terancam oleh efek EMI. Jelaslah pada masa-masa mendatang
penggunaan gelombang-gelombang elektromagnetik pada berbagai jangkau
frekuensi akan makin intensif dan ancaman EMI pada kehidupan manusia
semakin nyata.
Sejalan dengan perkembangan baru yang memberi dampak positif dan
negatif pada kehidupan manusia tersebut maka diperlukan berbagai usaha untuk
tetap bisa mengakomodir masuknya teknologi baru namun secara bersamaan juga
diperlukan usaha-usaha penyeimbangan dan perbaikan untuk meminimalkan
dampak negatifnya. Sebagai seorang peneliti dalam bidang Ilmu Material.
pengusul ikut terpanggil untuk dapat berpartisipasi dan berkontribusi dalam
mencari solusi terhadap dampak negatif dengan memperkenalkan material
penyerap gelombang elektromagnetik. Dalam kegiatan ini pengusul mengusulkan
suatu kegiatan penelitian dengan judul “Disain Material Absorber Gelombang
Mikro Senyawa Dasar (La.Ba)(Mn.Ti)O3 Melalui Penghalusan Mekanik dan
Sonikasi Daya Tinggi”, merupakan kegiatan sintesa material fokus pada rekayasa
struktur LMO menjadi senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan x = 0 – 1.0.
1.2. Rumusan Masalah
Penelitian yang dilakukan oleh Cheng dkk [17] menemukan bahwa
nanopartikel La0.6Sr0.4MnO3 yang dibuat dengan metode sol gel mampu
menyerap gelombang mikro. Daerah frekuensi yang diamati dari 1 GHz sampai
12 GHz. Reflection loss (RL) optimal -41.1 dB pada frekuensi 8.2 GHz dengan
3
ketebalan 2.2 mm, bandwidth dengan haga RLkurang dari -10 dB dicapai pada
daerah frekuensi 5.5-11.3 GHz. Dalam laporannya Cheng juga mengungkapkan
bahwa semakin kecil ukuran partikel maka sifat absorbsinya semakin baik. Oleh
karena itu pengusul mencoba membuat disain sintesa material penyerap
gelombang mikro yang mampu menghasilkan material dengan ukuran partikel
yang berskala nano.
Proses pemaduan mekanik atau mechanical alloying telah terbukti dapat
menjadi teknik alternatif dalam pembuatan alloy baik itu berbasis logam maupun
berbasis oksida logam seperti senyawa-senyawa oksida dalam material keramik.
Hasil penghalusan material dengan proses ini memerlukan perlakuan sintering
untuk melangsungkan reaksi padat atau solid state reaction. Sebagai produk akhir
dari proses ini adalah material dengan ukuran partikel dalam orde beberapa
mikron [18].
Prinsip dasar destruksi ultrasonik adalah terbentuknya gelembung vakum
(cavity) oleh gelombang ultrasonik pada cairan. Cavity yang terbentuk kemudian
collapse dengan kecepatan tinggi dan dapat menghasilkan tekanan dan temperatur
yang sangat tinggi. Jika terdapat partikel disekeliling cavity tersebut. maka saat
terjadi penghacuran cavity partikel-partikel akan bertumbukan dengan kecepatan
yang sangat tinggi dan memungkinkan terjadinya pengecilan ukuran karena energi
yang dihasilkan lebih besar dari energ ikat antar grain pada material kristalin yang
getas [19].
Oleh karena itu, dapat diduga kombinasi teknik pemaduan mekanik dan
sonifikasi dengan frekuensi berdaya tinggi tersebut diharapkan dapat
menghasilkan material yang berukuran nano partikel. Kedua teknik preparasi
material tersebut akan diterapkan pada sintesa material sistem La0.67Ba0.33Mn1-
xTixO3 dengan x = 0 – 0.06 untuk menghasilkan material elektrik-magnetik sistem
nanokomposit sebagai senyawa utama material penyerap gelombang mikro.
Karakterisasi material mencakup sifat sifat elektrik. magnetik dan absorpsi
gelombang mikro.
4
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut
a. Mensintesa senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan x=0–0.06 dengan
ukuran nanopartikel.
b. Mengetahui struktur kristal senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan x=0–
0.06.
c. Mengetahui karakteristik magnetik senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3
dengan x=0–0.06.
d. Mengetahui karakteristik absorpsi senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan
x=0–0.06.
1.4. Batasan Penelitian
Kajian penelitian ini hanya dibatasi pada pembuatan sampel dengan variasi
konsentrasi nilai x = 0 – 0.06. Selanjutnya sampel hanya dikarakterisasi dengan
PSA, SEM, XRD, Permagraph, VSM dan VNA.
1.5. Manfaat Penelitian
Penelitian ini di lakukan dengan harapan mendapatkan material
nanopartikel La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 yang dapat diaplikasikan sebagai material
penyerap gelombang mikro.
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Struktur Kristal
Zat padat yang terdapat di alam ini bila ditinjau secara mikrostruktur dapat
dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu zat padat yang memiliki susunan
atom tidak teratur ( non kristal ) dan zat padat yang memiliki susunan atom yang
teratur (kristal) [20].
Kristal didefinisikan sebagai material padat yang letak atom-atomnya
membentuk barisan yang teratur rapih secara periodik dalam pola tiga dimensi,
sehingga memiliki sifat fisika maupun kimia serba sama di seluruh bagiannya,
adapun yang termasuk bahan-bahan kristal seperti: semua logam, sebagian besar
keramik dan beberapa polimer.
2.1.1. Kisi kristal
Cara paling sederhana untuk memahami kisi kristal adalah dengan
membayangkan atom-atom dalam kristal berupa titik-titik. Setiap titik-titik
mempunyai lingkungan yang serba sama, sehingga satu sama lain tidak dapat
dibedakan walaupun dipandang dari segala arah. Bila tiap-tiap titik tersebut
dihubungkan maka akan diperoleh kisi-kisi yang teratur dan periodik memenuhi
ruang. Gambar 2.1 adalah ilustrasi yang menunjukan kisi sebuah suatu sistem
kristal [21].
6
Gambar 2.1. Sistem dan kisi kristal
2.1.2. Parameter Kisi
Panjang tiap-tiap ruang sel yang searah dengan sumbu kristalografi disebut
dengan tetapan kisi (lattice constant), dan dinamakan dengan parameter kisi
sumbu a, b, dan c. Sudut yang dibentuk oleh garis bc, ac, dan ab berturut-turut
disebut dengan α, β, γ . Gambar 2.2 adalah ilustrasi dari parameter kisi.
7
Gambar 2.2. Parameter kisi
2.1.3. Sistem kristal
Terdapat tujuh sistem kristal yang dikembangkan menjadi empat belas kisi
bravais dalam pengelompokan struktur kristal. Pengelompokan ini berdasarkan
pada karakteristik unit selnya, antara lain sifat-sifat vektor basis, sudut antar
vektor basis dan karakteristik elemen simetrinya. Pada karakteristik unit sel
terdapat sifat-sifat geometri kristal antara lain ; indeks Miller, bidang kristal (hkl)
dan konstanta kisi. Pada Gambar 2.3 ditunjukkan tujuh system krsital berikut
pengembangan empat belas kisi bravaisnya.
9
Tabel 2.1 Tujuh sistem kristal [21]
Sistem
Kristalografi
Panjang sumbu dan
sudut
Kisi Bravais Simbol
Kisi
Triklinik a ≠ b ≠ c
α ≠ β ≠γ =90 0
Simple P
Monoklinik a ≠ b ≠ c
α = β =90 0
≠ γ ataua ≠
b ≠ c
α = γ = 900 ≠ β
Simple
Base – centered
P
C
Ortorombik a ≠ b ≠ c
α = β =γ =90 0
Simple
Base centered
Face centered
Body centered
P
C
F
I
Tetragonal a = b ≠ c
α = β =γ =90 0
Simple
Body centered
P
I
Trigonal/
Rombohedral
a = b = c
α = β =γ ≠ 90 0 < 120
0
Simple P
Hexagonal a = b ≠ c
α = β = 90 0 γ =120
0
Simple P
Kubus a = b = c
α = β =γ =90 0
Simple
Face centered
Body centered
P
F
I
5
10
2.1.4. Indeks Miller
Misalkan x adalah fraksi perkalian dari vektor basis a, y adalah fraksi
perkalian dari vektor b dan z adalah perkalian dari vektor basis c, maka invers dari
ketiga fraksi dapat dikalikan dengan suatu bilangan sedemikian rupa sehingga
ketiga fraksi (triplet) menghasilkan bilangan bulat terkecil. Triplet atau set
bilangan bulat ini disebut indeks miller, diberi simbol (hkl). Hubungan ketiga
indeks miller ini akan membentuk bidang yang disebut dengan bidang Bragg.
Gambar 2.4. Bidang kristal pada berbagai indeks miller [21]
11
2.1.5. Jarak Bidang Kristal ( d )
Untuk mengetahui jarak antara bidang di dalam kristal adalah harus
mengetahui indeks miller dari bidang-bidang tersebut. Misalkan jarak antar
bilangan diberi symbol dhkl , maka secara matematis hubungan antara dhkl dengan
indeks miller basis kostanta kisi untuk sistem orthorombik, dapat ditulis sebagai
berikut:
(2.1)
dimana : h k l itu merupakan bidang kristalografi atau indeks miller.
2.2. Teori Dasar Sinar-X
Sinar-X adalah salah satu bentuk dari radiasi gelombang elektromagnetik
yang memiliki panjang gelombang antara 0,01 – 100 Ǻ. Karena berbentuk
gelombang maka energi yang dimiliki oleh foton sinar-X ini dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan [22] berikut:
(2.2)
Dengan h konstanta planck ( 6,626 x 10-34
[J.s] ), c kecepatan cahaya ( 3 x 108
m/s) dan λ sebagai panjang gelombang [m]. Sehingga untuk sinar-X dengan
panjang gelombang 1 Ǻ ( 10-10
m ) akan memiliki energi sebesar 1,9898 x 10-15
Joule atau 12400,8 eV. Dengan energi yang demikian besar, sinar-X dapat
mengionisasi elektron terdalam dari beberapa unsur ringan seperti pada Tabel 2.2
[23]
12
Tabel 2.2 Energi ionisasi beberapa atom ringan
Atom Energi Ionisasi (eV)
I II III IV V VI VII
H 14 1
He 25 55 4
Li 5 76 123 9
Be 9 18 154 218 16
Be 8 25 38 260 341 25
C 11 24 48 64 393 492 36
N 14 30 48 78 98 523 668 49
Sinar-x ditemukan dengan tidak sengaja oleh seorang professor Fisika
Wilhelm K. Rontgen 8 November 1895 ketika sedang melakukan percobaan
dalam laboratorium yang berada di lantai dua apartemennya di Würzburg, Bavaria
(sekarang bagian dari German). Dia melakukan percobaan dengan menggunakan
tabung sinar katoda dengan sumber tegangan DC sebesar 20 Volt dan dengan
menggunakan koil dia dapat menaikan tegangan sampai 35000 Volt dengan cara
memutus secara periodik aliran arus ke rangkaian sebanyak 8 kali per detik. Dia
menyimpulkan bahwa radiasi dengan kemampuan tembus yang besar dapat
ditimbulkan jika elektron dengan energi kinetik yang besar menumbuk materi.
Radiasi ini dapat menembus bahan dengan mudah, menyebabkan bahan
fosforesen berkilau dan menghitamkan plat foto. Karena sifat-sifat dari radiasi ini
belum diketahui maka pada saat itu dinamakan sinar-X. Daya tembus sinar-X
akan bertambah dangan bertambahnya energi kinetik elektronnya, juga intensitas
yang makin besar dengan bertambahnya jumlah elektron.
13
Pada Gambar 2.5 diperlihatkan skema dari produksi sinar-X didalam
sebuah tabung katoda. Beda potensial Ua akan mempercepat gerakan elektron dari
katoda ke target anoda, sedangkan Uh menentukan banyaknya elektron yang
terlepas dari katoda. Elektron yang terlepas akan menumbuk target anoda
sehingga akan kehilangan sebagian besar atau seluruh energi kinetiknya ketika
mengalami tumbukan dengan dengan atom target; energi inilah yang berubah
menjadi sinar-X.
Gambar 2.5. Skema produksi sinar-X [23]
14
2.2.1. Brehmsstrahlung
Elektron yang bergerak cepat dari katoda akan mengenai target anoda dan
mengalami penghentian mendadak. Berdasarkan teori elektromagnetik, muatan
listrik yang mengalami percepatan akan meradiasikan gelombang elektromagnetik
dan elektron yang bergerak cepat yang tiba-tiba dihentikan jelas mengalami
percepatan. Sinar-X brehmsstrahlung atau “breaking radiation” merupakan
produksi sinar-x yang dihasilkan dari penghentian elektron yang bergerak dengan
kecepatan yang tinggi oleh inti atom target. Kekuatan sinar-x yang dihasilkan
merupakan selisih energi kinetik elektron mula-mula dan energi elektron setelah
mengalami penghentian. Gambar 2.6 menjelaskan bagaimana proses terjadinya
sinar-X bremsstarhlung dan spektrum sinar-X tungsten pada berbagai potensial
pemercepat [23].
Gambar 2.6. Sinar-X bremsstarhlung [23]
15
2.2.2 Sinar-X Karakteristik
Pada Gambar 2.7 terlihat dua puncak dengan intensitas yang tajam pada
panjang gelombang tertentu dari target unsur molybdenum. Puncak-puncak ini
timbul pada berbagai panjang gelombang tertentu untuk masing-masing bahan
target dan asalnya adalah penataan kembali struktur elektron atom target setelah
diganggu oleh tembakan elektron energi tinggi.
Gambar 2.7. Sinar-X karakteristik [23]
Elektron dari katoda yang bergerak dengan percepatan yang cukup tinggi,
dapat mengenai elektron dari atom target (anoda) sehingga menyebabkan elektron
tereksitasi dari atom, selanjutnya elektron lain yang berada pada sub kulit yang
lebih tinggi akan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh elektron tersebut
dengan memancarkan sinar-X yang memiliki energi sebanding dengan selisih
level energi elektronnya.
16
Mekanisme munculnya K dan K adalah ketika kekosongan terjadi pada
kulit kulit-K (n=1), elektron dari kulit di atasnya (L, M, N dst) akan turun mengisi
kekosongan tersebut sambil memancarkan foton dengan energi yang merupakan
selisih energi dari kulit elektron asal (L,M,N dst) dan kulit-K . Sinar-X yang
dihasilkan oleh elektron dari L ke K dinamakan sinar-X Kα dan sinar-X Kβ untuk
dari M ke K. Sedangkan pada kulit-L akan menghasilkan sinar-X Lα untuk
transisi M ke L dan Lβ untuk transisi N ke L dan seterusnya. Sedangkan
kekosongan pada kulit yang ditinggalkan elektron untuk mengisi level energi
dibawahnya akan diisi oleh elektron dengan level energi yang ada diatasnya dan
seterusnya sehingga dihasilkan sinar-X dengan berbagai panjang gelombang.
2.2.3. X-Ray Diffractometer (XRD)
Pada tahun 1912, Max Von Laue menyatakan bahwa panjang gelombang
sinar-X ternyata bersesuaian dengan jarak antar atom-atom dalam kristal. Dengan
alasan itu dia mengusulkan untuk menggunakan kristal untuk mendifraksikan
sinar-X dengan kisi kristal berlaku sebagai kisi tiga dimensi.
Sebuah kristal terdiri dari deretan atom yang teratur letaknya, masing-
masing atom dapat menghamburkan gelombang elektromagnetik yang
mengenainya. Berkas sinar-X monokromatik yang jatuh pada sebuah kristal akan
dihamburkan ke segala arah, tetapi karena keteraturan letak atom-atom, pada arah
tertentu gelombang hambur itu akan berineraksi konstruktif sedangkan yang lain
berinteraksi destruktif. Atom-atom dalam kristal membentuk keluarga bidang
datar dengan masing-masing keluarga mempunyai jarak tertentu untuk tiap
komponen bidangnya. Analisis ini diusulkan oleh W. L. Bragg pada tahun 1913,
yang kemudian bidang-bidang tersebut dinamai bidang Bragg.
17
Ketika suatu bidang kristal disinari, maka akan terjadi dua kemungkinan
interferensi akibat difraksi atom-atom penyusun kristalnya; pertama interferensi
konstruktif: berkas sinar yang didifraksikan saling menguatkan karena
mempunyai fasa yang sama dan kedua intrferensi destruktif: berkas sinar yang
didifraksikan saling melemahkan. Kedua jenis interferensi tersebut dapat dilihat
pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8. Berkas sinar-x konstruktif dan destruktif [23]
18
Gambar 2.9. Hamburan sinar-X pada kristal
Syarat yang diperlukan agar sinar-X membentuk interaksi konstruktif
dapat dilihat pada Gambar 2.9 diatas. Suatu berkas sinar-X dengan panjang
gelombang λ jatuh pada kristal dengan sudut θ terhadap permukaan bidang
Bragg yang jarak diantaranya d. Berkas sinar mengenai atom Z pada bidang
pertama dan atom B pada bidang berikutnya, dan masing-masing atom akan
menghamburkan sebagian berkas tersebut pada arah rambang. Interferensi
konstruktif hanya terjadi antara sinar yang terhambur sejajar dengan beda jarak
jalannya tepat λ, 2 λ, 3 λ dan seterusnya. Jadi beda jarak jalan harus n λ, dengan
n sebagai bilangan bulat.
Maka syarat Bragg untuk berkas hamburan konstruktif adalah
- Sudut jatuh dan sudut hambur kedua berkas harus sama
- 2d sin θ = n λ ; n = 1, 2, 3, ... dst
karena sinar II harus menempuh 2d sin θ lebih jauh dari sinar I,
bilangan bulat n menyatakan orde berkas sinar yang dihamburkan.
19
Gambar 2.10 Skema XRD [23]
2.3. Metode Analisis Rietveld
Metode tradisional untuk melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif pada
teknik Difraksi sinar-X biasanya melibatkan pengukuran intensitas dari puncak
yang terpilih dan membandingkannya dengan data standar seperti International
Committee Difraction Data (ICDD). Bagaimanapun, metoda ini sangat
membosankan, disamping memerlukan data standar yang sangat bervariasi pada
saat muncul keganjilan intensitas yang disebabkan oleh penyimpangan sudut.
Sehingga terkadang hasil analisisnya sulit untuk dipertanggungjawabkan.
Disamping itu pula metode ini tak dapat lagi memberikan hasil yang akurat jika
20
terdapat banyak puncak-puncak yang saling tumpang tindih (overlap) sehingga
akan menyebabkan hilangnya rincian informasi yang terkandung di dalam profil
puncak difraksi tersebut. Dengan demikian diperkenalkan metode baru untuk
menganalisis profil multifasa dari pola difraksi serbuk.
Dasar untuk analisis profil multifasa dari pola difraksi serbuk secara
lengkap pertama kali diperkenalkan oleh Rietveld tahun 1969. Rietveld
menunjukkan bahwa kemungkinan mereplika hasil sebuah pengukuran pola
difraksi dengan pola hitungan/kalkulasi. Kelebihannya adalah di kala terjadi
kesalahan yang disebabkan oleh penyimpangan intensitas dari preparasi cuplikan
atau ketidaksempurnaan model struktur cenderung akan meninggalkan sisa
intensitas baik negative maupun positif selama factor-faktor dari kalkulasi tersebut
tidak diubah oleh Taylor tahun 1991. Kemudian para peneliti lain seperti Hewat
tahun 1973, Wiles & Young tahun 1981, Will, Huang dan Parrish tahun 1983, Hill
dan Howard tahun 1986, dan Taylor tahun 1991 melengkapi hasil refinement
program Rietveld ini dengan memberikan sebuah parameter kualitas.
Setiap titik pada pola difraksi dipandang sebagai satu pengamatan tunggal
yang kemungkinan mengandung kontribusi dari sejumlah refleksi Bragg yang
berbeda. Pada setiap posisi sudut atau setiap titik pada profil pola difraksi, jumlah
kontribusi intensitas akibat overlap dapat dihitung berdasarkan nilai parameter-
parameter yang didapat dengan asas perhitungan Siroquant. Siroquant adalah
suatu program analisis multi fasa jenis Rietveld yang dapat mereplika pola
difraksi hasil pengukuran/observasi dengan memanfaatkan least-square fitting
routine, yaitu melakukan penyesuaian faktor skala sampai pola yang dihitung
terbaik mendekati pola difraksi yang terukur. Sehingga perbedaan yang dihasilkan
dari pola difraksi observasi dan kalkulasi ditandai dengan derajat tingkat
replikasinya. Derajat tingkat replika (degree of fit) dilambangkan dengan sebuah
parameter statistik χ2 (chi-squared). Idealnya nilai dari chi-squared χ
2 = 1. Namun
nilai ini sangat sulit dicapai, umumnya kurang dari 3. Namun program Rietveld
versi Izumi (1994) memberikan parameter lain, dimana goodness of fit yang
dilambangkan dengan parameter S terbaik kurang dari 1,3 [24].
21
2.3.1. Prinsip Dasar
Prinsip dasar analisis Rietveld adalah mencocokkan (fitting) profil puncak
perhitungan terhadap profil puncak pengamatan. Pencocokan profil tersebut
dilakukan dengan menerapkan prosedur perhitungan kuadrat terkecil non linear
yang diberi syarat batas. Jadi analisis Rietveld tidak lain adalah problem optimasi
fungsi non linear dengan pembatas (constraints). Sehingga minimumkan fungsi
obyektif dapat dinyatakan sebagai berikut :
2
1
( ) ( ) ( )N
i i i
i
f x w y o y c
(2.3)
dengan ( 1/ ( )) dan ( )i i iw y o y o berturut-turut adalah faktor bobot (weighting
factor) dan intensitas pengamatan (observation) pada posisi 2 i . Sedangkan yi(c)
merupakan intensitas perhitungan (calculation).
2.3.2. Persamaan Profile Pola Difraksi
Fungsi intensitas secara fisis yang dinyatakan :
2( ) ( ) ( )k k kI s F hkl ML (2.4)
dengan s, Fk(hkl), M, dan L berturut-turut adalah factor skala, factor struktur,
multiplisitas, dan faktor Lorentz-polarization. Persamaan tersebut menyatakan
bahwa banyaknya elektron akan didifraksikan hanya jika sudut hamburan ()
sama dengan sudut Bragg ( k ). Jadi fungsi intensitas tidak lain adalah persamaan
intensitas garis. Namun pada kenyataannya bahwa pengukuran intensitas difraksi
tersebut tidak terbentuk garis tetapi berupa puncak-puncak Bragg yang melebar.
22
Berdasarkan hasil pengembangan program analisis Rietveld ini bahwa
fungsi bentuk puncak merupakan fungsi pseudo-voigt yang telah dimodifikasi,
yakni kombinasi linear dari fungsi Gauss dan fungsi Lorentz dengan tinggi puncak
dan lebar penuh setengah tinggi puncak maksimum (FWHM) tidak sama. Fungsi
pseudo-Voigt yang telah dimodifikasi dituliskan sebagai berikut :
2
2 2
2 22 exp 4ln 2
( )
2 22 21 1 4 1
( ) tan
k
k
kk
k k
G CH G
AtH L
(2.5)
dengan
11
2 (1 ) ( )( )
4ln 2 2
kk
H LC H G
(2.6)
12 2( ) (tan ) (tan )k k s k sH G U C V C W
(2.7)
( )( ) k
k
H GH L
(2.8)
Pada persamaan-persamaan (2.5) hingga (2.8) di atas, = fraksi
komponen Gauss, ( )kH G = FWHM komponen Gauss, ( )kH L = FWHM
komponen Lorentz, 0sC atau 0,6 dan 2
2 21
tank
k
At
= faktor koreksi
bentuk puncak asimetris. Faktor koreksi bentuk asimetris perlu diberikan karena
pada sudut hamburan yang sangat rendah dan sangat tinggi, puncak-puncak
difraksi menjadi tidak simetris akibat terbatasnya divergensi vertikal berkas. A =
23
parameter asimetris dan t = konstanta yang diberi nilai +1, 0 atau -1 tergantung
pada apakah selisih (2 2 )k berturut-turut positif, nol atau negatif.
Persamaan (2.8) menyatakan ketergantungan ( )kH G pada k , U V dan W
disebut parameter FWHM. Bila korelasi antara parameter-parameter FWHM
sangat tinggi, maka sC sebaiknya diberi nilai 0,6. Dalam persamaan (2.6)
terdapat lima buah parameter variabel yakni : U, V, W, dan . Fungsi bentuk
puncak dapat diubah-ubah tergantung pada berapa nilai parameter . Jika = 1
bentuk puncak memenuhi fungsi Gauss dan bentuk puncak memenuhi fungsi
Lorentz jika diberi nilai 0. Parameter variabel memiliki daerah nilai : 0 1 .
Untuk pola difraksi neutron, profile puncak difraksinya tepat memenuhi fungsi
Gauss ( = 1).
Dengan demikian nilai intensitas profile pola difraksi pada posisi 2 i
dapat dihitung dengan mengalikan persamaan (2.3) dengan persamaan (2.5),
setelah dikoreksi dengan fungsi latar belakang ( )iby c dan fungsi orientasi
“preferred” kP , diperoleh :
2( ) ( ) ( ) (2 ) ( )i k k k k i ib
k
y c s F hkl M P L G y c (2.9)
k
melambangkan penjumlahan jika terdapat puncak-puncak Bragg yang saling
tumpang tindih. Penjumlahan dilakukan terhadap semua refleksi yang dianggap
masih dapat menyumbangkan intensitasnya pada ( )iy c [22].
2.4. Magnetisasi Material
Ketika suatu material ditempatkan pada medan magnet, maka material
tersebut akan mengalami magnetisasi. Momen magnet persatuan volume yang
terbentuk dalam material disebut magnetisasi M. Pada suatu material dengan n
24
magnetic dipole atomic elementer persatuan volume dengan masing-masing m
momen magnet, maka saat momen-momen ini tersusun secara paralel akan
memiliki magnetisasi yang disebut magnetisasi saturasi M [25]. Parameter yang
penting adalah suseptibilitas magnetic , yang menyatakan kualitas dari suatu
material magnetic, yang dirumuskan :
(2.10)
dimana H adalah kuat medan magnet eksternal.
Medan magnet dapat di deskripsikan sebagai dua vektor, yaitu induksi
magnet B dan medan magnet H yang memiliki hubungan seperti pada persamaan
dalam kondisi vakum berikut ini
(2.11)
Dimana adalah permeabilitas pada ruang vakum (4 x 10-7
Hz/m)
Ketika sebuah material diletakkan pada medan magnet, maka material tersebut
akan mengalami magnetisasi. Magnetisasi ini dinyatakan dengan vektor M, yang
menyatakan besaran momen magnet persatuan volume. Induksi magnetik didalam
material dinyatakan dengan
(2.12)
Jika magnetisasi diinduksi oleh medan magnet H, maka magnetisasi yang ada
akan berbanding lurus dengan medan magnet, yaitu :
25
(2.13)
Dimana koefisien disebut suseptibilitas magnetic material. Jadi persamaan B
dan H dapat dinyatakan dengan
(2.14)
Pada bahan ferromagnetic, nilai dan tidak memiliki nilai yang konstan.
Permeabilitas dan suseptibilitas sangat dipengaruhi oleh medan magnet luar.
Kurva magnetisasi mempresentasikan densitas fluks induksi magnet B terhadap
kekuatan medan magnet luar untuk bahan ferromagnetic dapat dilihat pada
Gambar 2.11.
Gambar 2.11. Kurva Histerisis [26]
26
Kurva magnetisasi untuk bahan yang belum termagnetisasi disebut dengan
initial curve magnetization. Kurva diawali dengan permeabilitas awal, dengan
bertambahnya medan magnet H, induksi magnetic B dengan cepat naik (disebut
dengan easy magnetization) dan selanjutnya menjadi menjadi lebih rendah hingga
tercapai nilai maksimum tertentu atau disebut dengan saturasi magnetik. Jika
medan magnet H diturunkan kembali, maka fluks induksi magnet B juga ikut
turun, tetapi lebih pelan dari medan magnet H nya. Dengan kata lain, menurunnya
kurva magnetisasi tidak mengikuti kurva ketika medan magnet dinaikkan pertama
kali. Dengan demikian, terdapat sisa/residu induksi medan magnet B (remanen)
ketika medan magnet telah mencapai nol. Untuk mengembalikan B kembali ke
nol, diperlukan medan magnet negative yang disebut dengan coercive force. Jika
medan magnet negative terus dinaikkan, maka material akan termagnetisasi
dengan arah polaritas kearah negative. Ketika medan magnet dinaikkan hingga
nol, maka juga akan didapati residu induksi medan magnet –B yang
membutuhkan medan magnet positif untuk membuat induksi medan magnet
menjadi nol kembali. Kurva seperti ini yang disebut dengan kurva loop histerisis
[25].
Berdasarkan koersivitasnya, bahan magnetik dapat dibedakan menjadi soft
magnetic dan hard magnetic. Untuk bahan yang memiliki koersivitas yang besar
(di atas 10 kA/m) disebut hard magnetic, sedangkan untuk bahan yang memiliki
koersivitas kecil (dibawah 1 kA/m) disebut soft magnetic [26].
27
Gambar 2.12. Kurva histerisis material hard magnetic dan soft magnetic [25]
2.5. Mechanical Alloying
Proses mechanical alloying dengan mekanisme mechanical milling atau pun
dengan menggunakan high energy ball milling (HEBM) pada prinsipnya adalah
pengurangan ukuran butir atau partikel dan proses substitusi yang diakibatkan
oleh tumbukan yang terus menerus antar bola logam (ball mill) dan sampel di
dalam alat milling, seperti pada Gambar 2.13. Aplikasi metode mechanical
alloying seperti pada Gambar 2.14 [27].
29
Gambar 2.14. Aplikasi metode mechanical alloying [27]
Parameter yang harus diperhatikan di dalam proses mechanical milling,
yang akan mempengaruhi kualitas produk akhir dari serbuk yang dicampur adalah
seperti pada Gambar 2.15 [29].
30
Gambar 2.15. Parameter-parameter di dalam proses mechanical milling [29]
Ball mill adalah alat yang baik untuk grinding banyak material menjadi
bubuk halus. Ball Mill digunakan untuk menggiling berbagai jenis tambang dan
bahan lainnya. Ada dua jenis proses grinding yaitu proses kering dan proses
basah. Setelah bahan mengalami proses grinding maka bahan padat akan berubah:
ukuran, bentuk partikelnya, dan lain-lainnya.
2.6. Sonikasi
Prinsip kerja sonikasi adalah pemberian gelombang ultrasonik dengan
frekuensi sekitar 20 kHz pada cairan sehingga menimbulkan propagasi gelombang
dalam bentuk siklus compression (kompresi) - rarefaction (ekspansi) sesuai
31
dengan frekuensinya. Siklus ini menciptakan gelembung vakum (cavity).
Gelembung vakum yang dihasilkan memiliki kecepatan yang sangat tinggi (~400
km/h) dan saat gelombang vakum tersebut hancur (implode), akan dihasilkan
temperatur lokal yang sangat tinggi (~5000 oK), tekanan yang sangat tinggi
(~1000 atm) serta cooling rate yang sangat cepat (109 K/sec) [30].
Gambar 2.16 memperlihatkan mekanisme pembentukan dan penghancuran
gelembung vakum dalam satu siklus sonikasi. Terlihat bahwa gelembung vakum
semakin membesar sejalan dengan waktu dengan kompresi dan ekspansi yang
mengikuti amplitudo gelombang ultrasoniknya sampai pada saat gelembung
tersebut hancur. Jika terdapat partikel atau ion di sekeliling gelembung tersebut
maka akan terjadi tumbukan antar partikel dan ion yang akan menghasilkan dua
keadaan yaitu pengecilan ukuran partikel atau proses ultrasonic destruction dan
perbeseran partikel atau proses sonochemistry.
Gambar 2.16. Proses terjadinya cavity oleh ultrasonik [19]
Ultrasonic destruction dimulai dari partikel dengan ukuran besar
kemudian diperkecil dengan bantuan sonikasi. Gambar 2.17 memperlihatkan
proses pengecilan ukuran partikel dengan proses sonikasi pada TiO2 [31]. Ukuran
partikel semakin kecil dengan bertambahnya waktu sonikasi. Ukuran partikel
32
berkisar diantara 200 - 250 nm sebelum proses sonikasi. Setelah proses sonikasi
ukuran partikel mengalami pengecilan secara berturut-turut menjadi sekitar 50, 20
dan 10 nm dengan bertambahnya waktu sonikasi. Selain itu dimensi partikel
semakin berbentuk bola dan distribusi ukuran yang semakin seragam dengan
pengecilan ukuran partikel.
Hasil tersebut menunjukan bahwa sonikasi efektif untuk mengecilkan
ukuran partikel sampai pada skala nano terutama pada top down synthesis.
Gambar 2. 17. Reduksi partikel dengan sonikasi [31]
Sonochemistry dimulai dari ion atau partikel yang bereaksi atau
beraglomerasi sehingga membentuk partikel yang lebih besar dengan bantuan
sonikasi. Gambar 2.18 menunjukan proses untuk menghasilkan partikel dengan
ukuran yang lebih besar dengan menggunakan sonikasi pada Zn [32]. Serbuk Zn
yang berukuran sekitar 5 m diultrasonik 1.5 jam sehingga menghasilkan
aglomerasi dengan ukuran partikel sekitar 50 m.
33
Gambar 2.18. Aglomerasi dengan bantuan sonikasi [32]
2.7. Absorpsi Gelombang Elektromagnet
Pada dasarnya suatu material jika dikenai gelombang electromagnet
maka akan mengalami interaksi antara material dengan gelombang electromagnet.
Misalkan suatu bahan memiliki ketebalan x dikenai gelombang electromagnet
dengan intensitas maka gelombang electromagnet akan mengalami attenuasi
sehingga intensitas yang keluar dari material menjadi
(2.15)
dengan µ adalah konstanta. Dari persamaan (2.15) terlihat semakin tebal bahan
maka energi gelombang electromagnet semakin banyak yang diserap.
x
Gambar 2.19. Skema absorpsi gelombang electromagnet
34
Namun seiring dengan perkembangan zaman, material absorber yang
dibutuhkan adalah bahan yang tipis tapi memiliki kemampuan absorpsi yang
maksimal. Selain karena ketebalan suatu bahan, absorpsi gelombang elektomagnet
juga terjadi akibat interaksi gelombang dengan material yang menghasilkan efek
rugi-rugi energy yang umumnya didisipasikan dalam bentuk panas. Dalam hal ini
material absorber dibagi menjadi dua yakni material dielektrik dan magnetic. Pada
bahan dielektrik energy gelombang electromagnet diserap sehingga terjadi
polarisasi yang mengikuti arah medan listrik. Ketika gelombang electromagnet
berubah-ubah terhadap waktu maka arah polarisasi juga berubah-ubah sehingga
terjadi gesekan antar molekul yang menimbulkan panas.
Gambar 2.20. Pengaruh medan listrik pada bahan dielektrik (telah diolah kembali)
Hal yang analog juga terjadi pada bahan ferromagnetik. Ketika medan
magnet mengenai bahan ferromagnet maka energy gelombang electromagnet akan
digunakan untuk menyearahkan momen magnet. Untuk material absorber yang
baik dibutuhkan bahan magnetic yang memiliki koersifitas yang rendah.
Karakteristik dielektrik dan magnetik suatu bahan direpresentasikan oleh
permitifitas kompleks dan permeabilitas kompleks [33]
(2.16)
(2.17)
35
Dimana , tanda ‘ dan ‘’ bagian real dan imaginer. Impedansi yang tiba
pada material ditunjukkan
(2.18)
Dimana d adalah ketebalan sampel, adalah faktor propagasi kompleks
(2.19)
f adalah frekuensi dan c adalah kecepatan gelombang elektomagnet dalam ruang
vakum.
Reflektifitas radiasi electromagnet, Γ, dalam gelombang normal yang tiba
pada permukaan material ditunjukkan
(2.20)
Dan reflection loss- nya, R (dB), didefinisikan sebagai
= (2.21)
Dimana adalah bilangan kompleks dan adalah modulus dari . Sedangkan
adalah impedansi pada ruang hampa.
36
(2.22)
Nilai H/m dan F/m, sehingga diperoleh
. Kondisi impedansi yang cocok saat menunjukkan bahwa
terjadi penyerapan yang sempurna.
Secara umum criteria material absorber yang baik haruslah memiliki
permeabilitas dan permitifitas yang tinggi. Selain itu diperlukan resistifitas yang
tinggi dan saturasi magnet tinggi.
2.7.1. Permeabilitas
Permeabilitas (H·m−1
) atau (N·A−2
) adalah ukuran kemampuan suatu
bahan untuk mensupport pembentukan medan magnet dalam dirinya. Dengan kata
lain adalah tingkat magnetisasi bahan akibat respons terhadap medan magnet yang
diterapkan. Permeabilitas konstan (μ0), juga dikenal sebagai konstanta magnetik
atau permeabilitas ruang bebas adalah ukuran jumlah hambatan yang ditemui
ketika membentuk medan magnet dalam kondisi vakum (µ0 = 4π×10−7
≈
1.2566370614… × 10−6
H·m−1
or N·A−2
). Dalam elektromagnetisme, medan
magnet H mempengaruhi sekumpulan dipol magnetik menghadirkan medan
magnet B dalam media tertentu, termasuk migrasi dipole dan reorientasi dipole
magnetik. Hubungannya dengan permeabilitas adalah
(2.23)
Dalam bahan feromagnetik, hubungan antara B dan H non-linearitas dan
membentuk pola hysteresis. Dalam media nonlinear, permeabilitas dapat
bergantung pada kekuatan medan magnet. Secara umum, permeabilitas tidak
konstan, karena dapat bervariasi terhadap posisi dalam medium, frekuensi medan
yang diterapkan, kelembaban, suhu, dan parameter-parameter lainnya.
37
Permeabilitas relatif, kadang-kadang dilambangkan dengan simbol μr, adalah rasio
permeabilitas media terhadap permeabilitas ruang bebas, μ0.
(2.24)
Permeabilitas sebagai fungsi frekuensi dapat berupa nilai-nilai riil atau kompleks.
Dalam prakteknya, permeabilitas umumnya sebagai fungsi frekuensi. Pada
frekuensi tinggi, medan magnet H dan B saling bertautan satu sama lainnya
dengan beberapa jeda waktu sehingga terbentuk permeabilitas kompleks.
Sedangkan pada frekuensi rendah, medan magnet H dan B linier dan sebanding
satu sama lain melalui beberapa permeabilitas skalar. Sehingga medan magnet H
dan B dapat didefinisikan sebagai :
(2.25)
Dengan adalah penundaan fase B dari H. Permeabilitas merupakan rasio dari
medan magnet B dengan medan magnet H, maka dapat ditulis sebagai
(2.26)
sehingga permeabilitas menjadi bilangan kompleks. Dengan rumus Euler,
permeabilitas kompleks dapat diterjemahkan menjadi
(2.27)
Sedangkan rasio antara bagian imajiner terhadap riil dari permeabilitas komplek
ini disebut dengan loss tangent permeabilitas.
(2.28)
38
2.7.2. Permitivitas
Permitivitas (F.m-1
) adalah ukuran kemampuan suatu bahan ketika
membentuk medan listrik dalam suatu media. Dengan kata lain, permitivitas
adalah ukuran berapa besar medan listrik mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
media dielektrik. Permitivitas medium menggambarkan seberapa banyak fluks
medan listrik yang dihasilkan per unit muatan dalam media itu. Fluks medan
listrik berlebih yang ada dalam bahan dengan permitivitas tinggi (per unit muatan)
dapat mengakibatkan efek polarisasi. Permitivitas secara langsung berkaitan
dengan kerentanan medan listrik yang merupakan ukuran seberapa mudah
polarisasi dielektrik terjadi dalam merespon medan listrik. Dengan demikian,
permitivitas dapat didefinisikan sebagai :
(2.29)
dengan εr adalah permitivitas relatif bahan, dan ε0 = 8,854187817... × 10-12
F.m-1
adalah permitivitas vakum.
Sebuah spektrum permitivitas dielektrik umumnya sebagai fungsi frekuensi,
sehingga permitivitas relatifnya menjadi permitivitas komplek yang dinotasikan
sebagai ε’ dan ε”. ε’ dan ε” berturut-turut menunjukkan permitivitas bagian riil
dan imajiner. Dengan demikian permitivitas relatif dapat didefinisikan sebagai :
(2.30)
Sedangkan rasio antara bagian imajiner terhadap riil dari permeabilitas komplek
ini disebut juga dengan loss tangent permitivitas.
(2.31)
Loss tangent ini yang memberikan ukuran berapa besar daya yang hilang dalam
bahan terhadap daya yang diserap.
39
2.7.3. Reflection Loss
Telah banyak diketahui bahwa parameter dielektrik dan magnetik meliputi
vektor medan listrik E, medan magnet H, medan induksi B, diplacement D,
polarisasi P, dan magnetisasi M. Interaksi medan listrik dalam bahan mengikuti
pola yang mirip dengan interaksi magnetik dalam bahan. Salah satu syarat yang
harus dipenuhi untuk aplikasi praktis sebagai penyerap gelombang
elektromagnetik adalah bahwa bahan ini harus memiliki nilai permeabilitas dan
permitivitas setinggi mungkin dengan saturasi magnet yang tinggi. Permitivitas
dalam farad per meter dan permeabilitas dalam henry per meter. Dalam hal
penyerapan energi gelombang EM, keseluruhan interaksi dapat diwakili oleh
impedance matching dari material (Zin) yang bersifat dielektrik dan magnetik
dengan impedance udara sebagai fungsi frekuensi. Penyesuai impedansi adalah
hal yang penting dalam rentang frekuensi gelombang mikro. Suatu saluran
transmisi yang diberi beban yang sama dengan impedansi karakteristik
mempunyai standing wave ratio (SWR) sama dengan satu, dan mentransmisikan
sejumlah daya tanpa adanya refleksi gelombang. Juga efisiensi penyerapan
menjadi optimum jika tidak ada daya yang direfleksikan. Matching mempunyai
pengertian memberikan impedansi yang sama dengan impedansi karakteristik
gelombang elektromagnetik.
(2.32)
(2.33)
(2.34)
Dengan RL, Zin, Zo, o, o, r, r, f, c, dan d berturut-turut adalah reflection loss,
impedance bahan absorber, impedance gelombang EM di udara, permeabilitas
udara, permitivitas udara, permeabilitas relatif bahan, permitivitas relatif bahan,
40
frekuensi, kecepatan cahaya, dan ketebalan bidang absorp bahan. Jadi secara
umum impedance bahan absorber dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor
intrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik ditentukan oleh sifat permeabilitas dan
permitivitas bahan absorber, sedangkan faktor ekstrinsik ditentukan oleh faktor
ketebalan bidang bahan absorp.
2.8. Gelombang Mikro
Gelombang electromagnet ketika sampai pada material maka sebagian
gelombang tersebut akan direfleksikan dan sebagian lagi diabsorpsi. Karakter ini
bisa kita manfaatkan untuk mengurangi pantulan radiasi. Beberapa material
memantulkan banyak radiasi namun ada juga yang hampir tidak memantulkan
sama sekali. Sebagai contoh air, yang hampir tidak memantulkan radiasi sama
sekali oleh karena itu air termasuk absorber yang bagus. Material magnetic
misalnya ferit juga dapat menyerap gelombang electromagnet. Hal ini
dikarenakan adanya perubahan arah momen magnetic ketika dikenai medan
electromagnet [34].
Gelombang mikro adalah bagian dari gelombang electromagnet yang
memiliki daerah frekuensi sekitar 0,3-300 GHz atau panjang gelombang 1m-1mm.
Gelombang mikro digunakan pertama kali untuk teknologi RADAR pada awal
perang dunia kedua. Saat ini gelombang mikro umum digunakan sebagai oven
microwave atau pun perangkat-perangkat komunikasi dan teknologi informasi.
Gelombang mikro dibagi dalam beberapa daerah jangkauan yang telah ditetapkan
secara internasional (Tabel 2.3).
41
Tabel 2.3. Pembagian daerah jangkauan gelombang mikro [35].
Simbol Daerah Frekuensi (GHz)
L 1.22 - 1.70
R 1.70 - 2.60
S 2.60 - 3.95
H 3.95 - 5.85
C 5.85 - 8.20
X 8.20 - 12.4
Ku 12.4 - 18.0
K 18.0 - 26.5
Ka 26.5 - 40.0
U 40.0 - 60.0
E 60.0 - 90.0
F 90.0 - 140.0
G 140.0- 220.0
2.9. Scanning Electron Microscope (SEM)
Scanning Electron Microscope (SEM) adalah suatu alat yang digunakan
untuk mengamati dan menganalisis karakteristik strukturmikro dari material baik
yang konduktif maupun non konduktif. Dibandingkan dengan MO, SEM
mempunyai daya pisah (resolusi) yang lebih tinggi yaitu 5nm, sehingga SEM
dapat menghasilkan perbesaran hingga 500.000 kali. Perbedaan daya pisah ini
42
ditimbulkan dari sumber radiasi yang berbeda. Elektron sebagai sumber radiasi
pada SEM mempunyai panjang gelombang yang jauh lebih pendek dari pada sinar
foton pada MO.
Berkas elektron primer yang datang mengenai permukaan benda uji akan
berinteraksi dan menghasilkan berbagai macam sinyal secara serentak, sinyal-
sinyal tersebut diantaranya adalah elektron, sinar-X dan foton. Secara skematik
ditunjukan pada Gambar 2.21. Interaksi elektron primer dengan benda uji
tersebut mengakibatkan hamburan elektron (elastic scattering) dan hamburan
nonelastik (inelastic scattering).
Hamburan elastik ditimbulkan akibat adanya tumbukan berkas elektron
primer dengan inti atom benda uji (sampel) tanpa perubahan energi. Pada saat
terjadinya hamburan elastik, arah komponen kecepatan elektron, v, akan berubah,
tetapi besarnya |v| relatif konstan, sehingga energi kinetik E = 1/2 mev2, dengan
me adalah massa elektron, tidak berubah. Dalam hal ini energi sebesar <1eV
Gambar 2.21. Interaksi antara electron primer dengan benda uji
43
dipindahkan dari elektron [primer ke benda uji, perpindahan energi ini relatif kecil
bila dibandingkan dengan energi elektron primer sebesar 10 keV, karenanya
perpindahan enrgi tersebut dapat diabaikan. Hamburan elektron dari permukaan
benda uji setelah berkas elektron primer masuk ke dalam benda uji dan melintasi
jarak beberapa nm dengan distribusi energi 0≤E≤Eo, dimana Eo adalah energi
elektron p[rimer, disebut sebagai backscattered electron (elektron terhambur balik
– BSE).
Hamburan nonelastik (inelastic scattering) diakibatkan adanya tumbukan
elektron primer dengan elektron benda uji. Dalam proses tumbukan ini terjadi
perpindahan energi dari elektron primer ke atom dan elektron benda uji, sehingga
terjadi penurunan energi kinetik dari berkas elektron. Energi yang berada dalam
benda uji tersebut akan didistribusikan dan menghasilkan sinyal-sinyal yang
digunakan untuk analisis mikro. Sinyal-sinyal tersebut adalah secondary electron
(elektron sekunder – SE), Auger electron, continuum X-ray atau bremsstrahlung,
characteristic X-ray dan secondary fluorescence emission.
Secondary electron (elektron sekunder) adalah elektron yang dipancarkan
dari benda uji akibat dari interaksi antara berkas elektron primer dengan elektron-
elektron pada pita penghantar benda uji. Interaksi ini hanya menghasilkan
perpindahan energi yang relatif rendah (3-5 eV) ke elektron pita penghantar.
Karena elektron sekunder ini mempunyai energi rendah, maka elektron-elektron
ini mudah dibelokan pada sudut tertentu dan menimbulkan bayangan topografi,
dengan kata lain elektron sekunder dari suatu area tertentu akan memberikan
informasi benda uji pada area tersebut dalam bentuk image (citra) .
Mekanisme terbentuknya citra pada SEM meliputi beberapa hal penting
diantaranya; sistem scanning untukpembentukan citra, mekanisme kontras sebagai
hasil interaksi elektron dan benda uji, karakteristik detektor dan pengaruhnya
terhadap kualitas citra, kualitas sinyal dan pengaruhnya terhadap kualitas citra dan
proses pen-sinyal-an untuk tampilan pada layar monitor. Ilustrasi proses
pembentukan citra pada SEM diilustrasikan pada Gambar 2.22.
44
2.10. Teori Double Exchange (DE)
Mekanisme Double Exchange (DE) merupakan tipe magnetik exchange
yang muncul diantara ion yang berdekatan dengan keadaan oksidasi yang berbeda
[36]. Teori ini pertama kali diajukan oleh Zener (1951) dan mempunyai implikasi
yang penting dari sifat magnetik dari suatu material. Energi sistem berada pada
nilai terendah jika spin inti yang bertetangga saling sejajar atau parallel. Demikian
juga dengan keadaan spin elektron, energi akan menjadi lebih rendah ketika spin
elektron parallel dengan spin inti ion Mn [37]. Teori ini sesuai dengan aturan
Hund untuk membuat energi sistem menjadi seminimal mungkin. Aturan pertama
Hund menyatakan bahwa energi akan minimum bila susunan spin-spin elektron
saling sejajar satu dengan yang lainnya.
Gambar 2.22. Skematis pembentukan citra pada SEM
45
Teori Double Exchange (DE) merupakan salah satu dari sekian banyak
teori pertukaran yang ada dalam material. Mekanisme Double Exchange (DE)
pada material perovskite manganites terjadi perpindahan spin elektron yang
parallel pada tetangga terdekat dengan melakukan dua kali hopping secara
bersamaan dari Mn3+
ke Mn4+
melalui O2-
. Pada sistem sampel LaSrMnO3, yang
berperan sebagai ion ialah atom Mn karena atom Mn telah menjadi ion Mn3+
dan
Mn4+
akibat adanya doping unsur Sr pada site La.
Zener (1951) telah mendapatkan persamaan yang menggambarkan
korelasi antara konduktivitas listrik terhadap sifat magnetiknya, yang dikaitkan
terhadap temperatur Curie (Tc) ferromagnetik pada sistem sampel La1-xAxMnO3
(A = Ca atau Sr), tetapi hanya berlaku untuk variasi doping
Berikut persamaan yang menyatakan hubungan tersebut
(2.35)
Dimana x adalah konsentrasi doping A (untuk ),
, h = konstanta Planck, e = muatan elektron, T adalah
temperature, dan Tc adalah temperature Curie. Berdasarkan persamaan (2.16)
dapat diketahui bahwa untuk sistem sampel La1-xAxMnO3 dimana
membuka hubungan linier antara magnetoresistansi terhadap magnetisasi dari
sampel, sehingga dapat disimpulkan konduktivitas listrik dan sifat magnetik
sampel saling berhubungan.
46
Gambar 2.23. Skema Teori Double Exchange (DE) [38]
Gambar 2.23 mengilustrasikan mekanisme Double Exchange (DE) yang
terjadi pada Mn3+
-O-Mn4+
. Elektron dari orbital eg pada ion Mn3+
melompat ke
orbital O2-
dan secara bersamaan elektron pada orbital 2p O2-
melompat ke orbital
eg ion Mn4+
yang kosong. Kedua elektron yang terlibat dalam pertukaran harus
memiliki spin yang sama (sesuai prinsip larangan pauli). Hal ini menyebabkan
terjadinya sifat feromagnetik dari elektron eg [35].
Teori lebih lanjut telah dilakukan oleh Anderson & Hasegawa yang
menyatakan bahwa sudut antara spin inti ion Mn tetangga terdekat turut
mempengaruhi pada proses Double Exchange (DE) [39]. Hal ini diperkuat oleh
de Gennes [40] membahas tentang batas besarnya coupling Hund (JH), spin
elektron pada eg terikat pada inti spin t2g yang mengubah parameter hopping (t),
yang dipenuhi oleh persamaan berikut :
(2.36)
Dimana θij adalah sudut antara spin inti pada t2g yang berdekatan dengan ion
manganese, dan tij hanya bergantung pada orientasi relatif pada dua spin. Energi
47
kinetik pada elektron eg adalah sebanding terhadap t. Dengan demikian, jika spin
tersusun secara feromagnetik (spin parallel) maka nilai t akan maksimum
sehingga resistivitas sampel bernilai minimum [39].
2.11. Teori Interaksi Superexchange
Superexchange merupakan coupling kuat antara interaksi spin
antiferomagnetik terhadap tetangga terdekat kation melalui anion non magnetik
[41]. Gagasan bahwa pertukaran dapat dimediasi oleh sebuah atom non magnetik
telah diajukan pada tahun 1934, dan secara resmi dikembangkan oleh Anderson
pada tahun 1950.
Pada superexchange, interaksi magnetik antara ion yang berdekatan di
mediasi oleh ion non-magnetik dengan spin elektron yang berpasangan. Hal ini
merupakan interaksi yang lazim terjadi pada oksida manganiat terisolasi, dimana
ion penghubungnya adalah O2-
. Pada kasus manganat, orbital yang telibat adalah
orbital eg yang kosong dari ion Mn dan orbital 2p pada O2-
yang terisi. Jadi
elektron pada orbital 2p pada O2-
terbagi diantara dua ion Mn yang berdekatan
yang mengisi orbital eg yang kosong. Ini merupakan transfer elektron secara tidak
langsung yang menjadi ciri khas dari mekanisme interaksi superexchange [36].
Berikut gambar yang mengilustrasikan proses terjadinya interaksi superexchange.
48
Gambar 2.24. Mekanisme interaksi superexchange (a) sesama ion Mn3+
dan (b) sesama ion Mn4+
[41].
2.12. Ligand Field Theory (LFT)
Ligand Field Theory (LFT) merupakan salah satu teori yang digunakan
untuk menjelaskan struktur elektronik kompleks [42]. Awalnya teori ini adalah
aplikasi dari Crystal Field Theory (CFT). Menurut LFT, interaksi antara metal
transisi dan ligand muncul karena adanya gaya tarik antara muatan positif pada
metal sebagai kation bebas dengan muatan negatif pada elektron yang tidak
berikatan pada ligand. Ketika ligand tertarik mendekati ion metal, elektron-
elektron pada ligand juga akan semakin mendekati elektron-elektron yang ada
pada orbital d, sehingga menghasilkan gaya tolak diantara kedua muatan yang
sama tersebut. Elektron-elektron pada orbital d yang mempunyai jarak paling
dekat dengan ligand akan memiliki energi yang lebih tinggi di bandingkan dengan
yang lain, sehingga akan terjadi perbedaan energi. Perbedaan energi ini disebut d-
orbital splitting energy.
Oktahedral kompleks merupakan bentuk paling umum yang membentuk
ikatan dengan metal-metal transisi. Lima orbital d dalam kation logam transisi
49
terdegenerasi dan memiliki energi yang sama, dimana probabilities density
elektron berbanding lurus dengan satuan level energi yang akan ditempati elektron
pada orbital d tersebut, dan adanya ligand akan menimbulkan pemisahan level
energi pada beberapa sub orbitalnya.
Gambar 2.25. Perubahan energi elektronik selama proses pembentukan
kompleks [42]
Gambar 2.25 di atas menyatakan bahwa medan listrik negatif sferik di
sekitar kation logam akan menghasilkan tingkat energi total yang lebih rendah
dari tingkat energi kation bebas yang disebabkan karena adanya interaksi
elektrostatis. Interaksi repulsif antara elektron dalam orbital logam dan medan
listrik mendestabilkan sistem dan sedikit banyak mengkompensasi stabilisasinya.
Sekarang ion tidak berada dalam medan negatif yang seragam, tetapi dalam
logam yang dihasilkan oleh enam ligand yang terkoordinasi secara octahedral
pada atom logam. Medan negatif dari ligand disebut medan ligand. Level energi
yang lebih rendah diberi simbol t2g (triply degenerate orbital) dan level energi
yang lebih tinggi diberi simbol eg (exited degenerate orbital).
Bila ligand ditempatkan di sumbu, reaksi repulsifnya lebih besar untuk
orbital eg dari pada untuk t2g , dan orbital eg di
stabilkan dan orbital t2g distabilkan dengan penstabilan yang sama. Perbedaan
50
energi antara orbital t2g dan eg sangat penting dan energi rata-rata orbital-obital ini
dianggap sebagai skala nol. Bila perbedaan energi dua orbital eg dan tiga orbital
t2g dianggap Δo, tingkat energi eg adalah
dan energi total t2g adalah
.
Gambar 2.26. Splitting octahedral pada level d5 [42]
Ion logam transisi memiliki 0 sampai 10 elektron d dan bila orbital d yang
terbelah diisi dari tingkat energi rendah, konfigurasi elektron
yang
berkaitan dengan masing-masing ion didapatkan. Jika tingkat energi nol
ditentukan sebagai tingkat energi rata-rata, energi konfigurasi elektron relatif
terhadap energi nol adalah
(2.37)
Nilai ini disebut energi penstabilan medan ligand (Ligand Field Stabilization
Energy LFSE). Konfigurasi elektron dengan nilai LFSE lebih kecil (dengan
51
memperhitungkan tanda minusnya). LFSE merupakan parameter penting untuk
menjelaskan kompleks medan transisi.
Syarat lain selain tingkat energi yang diperlukan untuk menjelaskan
pengisian elektron dalam orbital t2g dan eg adalah energi pemasangan (pairing
energy Pe), yaitu energi yang diperlukan untuk memasangkan dua elektron dalam
level energi yang sama namun dengan syarat spin berlawanan. Ada dua
kemungkinan yang muncul bila ada 4 jumlah elektron di orbital d. orbital yang
energinya lebih rendah t2g lebih disukai, tetapi pengisian orbital ini akan
memerlukan energi pemasangan (Pe). Energi totalnya menjadi
(2.38)
Bila elektron mengisi orbital yang energinya lebih tinggi eg, maka energi totalnya
menjadi
(2.39)
Dengan demikian, jelas bahwa untuk ion Mn yang terdapat pada material
perovskite manganites lebih menyukai konfigurasi medan lemah (weak field)
karena akan lebih stabil. Parameter pemisahan medan ligand ∆O ditentukan oleh
ligand dan logam, sedangkan energi pemasangan (Pe) hampir konstan dan
menunjukkan sedikit ketergantungan pada identitas logam [42].
Pada keadaan high-spin state ∆O > Pe, konfigurasi t2g4 lebih disukai dan
konfigurasinya disebut medan kuat (strong field) karena gaya tolakan yang terjadi
lebih besar dibandingkan pada kasus low-spin state. Sedangkan pada keadaan low-
spin state ∆O < Pe yaitu konfigurasi t2g3 eg
1 lebih disukai dan disebut konfigurasi
medan lemah (weak field) atau konfigurasi elektron spin tinggi.
52
Gambar 2.27. Spin state pada weak field dan strong field ligand untuk
d4 sistem [42]
Dengan demikian, jelas bahwa untuk ion Mn yang terdapat pada material
perovskite manganites lebih menyukai konfigurasi medan lemah (weak field)
karena akan lebih stabil. Parameter pemisahan medan ligand ∆O ditentukan oleh
ligand dan logam, sedangkan energi pemasangan (Pe) hampir konstan dan
menunjukkan sedikit ketergantungan pada identitas logam [42].
Pada sifat elektrik dari lantanum manganat La1-xSrxMnO3 sangat terkait
dengan adanya ion manganese dengan valensi yang berbeda. Untuk x = 0 dan 1
ion manganese hanya memiliki satu jenis valensi dan biasanya bersifat
antiferromagnetic-insulator (AF-I). Untuk konsentrasi doping intermediate, ion
manganese muncul dengan valensi yang berbeda, dan mengubah sifatnya menjadi
ferromagnetic- metallic (F-M). Orbital yang aktif secara elektronik adalah orbital
d manganese, dimana konfigurasi keadaan dasar dari trivalent dan quadrivalent
Mn adalah 3d4 dan 3d
3.
Kelima orbital d masing-masing dapat mengakomodasi elektron dengan
satu spin up dan satu spin down akan terpecah (splitting) akibat adanya medan
kristal octahedral yang berasal dari 6 atom oksigen yang berada disekeliling ion
Mn. Pemisahan energi ini membagi orbital d menjadi tiga orbital pada energi
rendah t2g dan dua orbital pada level energi yang lebih tinggi eg
53
. Terjadinya pemisahan orbital ini berada pada orde 1,5 eV,
sehingga elektron mengisi pada keadaan orbital dengan spin maksimum sesuai
dengan aturan Hund. Oleh karena itu, konfigurasi elektronik pada Mn3+
adalah
, dan Mn4+
adalah
[3].
Gambar 2.28. Struktur elektronik dari Mn3+
dan Mn4+
sebelum dan
setelah adanya distorsi Jahn-Teller [3]
Gambar 2.28 mengilustrasikan splitting Jahn-Teller, energi dari Mn3+
menjadi lebih rendah sekitar 0,6 eV, sedangkan Mn4+
tidak mengalami apapun
akibat distorsi octahedron oksigen [42].
2.13. Lantanum Manganat
Lantanum manganat, La1-xAxMnO3, dapat dianggap sebagai sistem biner
yang terdiri dari larutan padat LaMnO3 dan AMnO3, untuk x = 0 dan x = 1. G.H
Jonker dan J.H Van Saten [43] adalah pelopor penelitian bahan perovskite pada
54
tahun 1950, dengan menerbitkan kilasan dari sistem biner bahan perovskite
seperti LaMnO3 – CaMnO3, LaMnO3 – SrMnO3, dan LaMnO3 – BaMnO3.
2.13.1. Struktur Kristal Lantanum Manganat
Struktur kristal lantanum manganat merupakan turunan dari struktur
perovskite, yang memiliki formula umum ABO3. Gambar 2.29 menunjukkan
struktur perovskite kubik yang ideal. Dalam lantanum manganat kedudukan A
diisi oleh ion La3+
dan jika x>0 maka disubstitusi kation Ca2+
, Sr2+
, Ba2+
, dan
lain-lain. Sedangkan kedudukan B diisi oleh ion Mn.
Gambar 2.29. Struktur perovskite ideal [3]
Kestabilan struktur perovskite tergantung pada ukuran ion kedudukan A
dan B. Jika ada ketidakcocokan antara ukuran ion kedudukan A dan B dalam kisi
dimana mereka berada maka stuktur perovskite akan mengalami distorsi.
Goldschmidt [4] mendefinisikan faktor toleransi sebagai berikut
(2.40)
55
Dengan rA dan rB adalah jari-jari ion kedudukan A dan kedudukan B, secara
bertuturut-turut., dan rO adalah jari-jari ion oksigen. Struktur perovskite kubik
yang ideal didapatkan jika harga t*=1.
.Norby dkk [5] melaporkan bahwa material dasar dari lantanum manganat,
LaMnO3, memiliki struktur ortorombik pada suhu ruang. Berbeda halnya dengan
lanthanum manganat yang telah didoping oleh ion lain, strukturnya tergantung
dari ion dopingnya, variasi konsentrasi ion doping, temperatur, dan lain-lain.
Untuk La1-xSrxMnO3 ketika harga x sekitar 0,1 memiki struktur ortorombik namun
saat x=0,175 memiliki struktur rombohedral [6]. Ju dkk [7] memperoleh struktur
La0,62Ba0,38MnO3 adalah kubik dengan parameter kisinya 3,906 Å. Pada penelitian
lain yang dilakukan oleh Sergei [44] La1-xBaxMnO3, saat 0≤x≤0,05 memiliki
struktur ortorombik, saat 0,1≤x≤0,25 strukturnya rombohedral sedangkan saat
0,27≤x≤0,5 strukturnya kubik. Transformasi fasa struktur ini biasanya disertai
dengan perubahan fasa magnetik dan elektriknya.
2.13.2. Sifat Magnetik Lantanum Manganat
Karakteristik mendasar dari manganat dengan valensi campuran adalah
hubungan yang dekat antara transport elektronik dan kemagnetan. Ciri utamanya
adalah transisi simultan dari antiferomagnetik dengan sifat isolator ke
feromagnetik dengan sifat konduktor akibat adanya substitusi pada kedudukan A.
Teori dasar dari fenomena ini telah dikemukan oleh Zener tahun 1951 [36] , yang
memperkenalkan konsep double exchange, yaitu terjadi karena transfer elektron
yang bergantung pada spin dari ion Mn3+
ke Mn4+
pada tetangga terdekat melalui
ion O2-
. Teori ini selanjutnya diperbarui oleh Anderson dan Hasegawa tahun 1953
[39] dan de Gennes tahun 1960 [40] yang melibatkan distorsi Jahn-Taller.
Schiffer dan Ramirez [45] pada tahun 1995 melakukan penelitian tentang
diagram fase magnetik dari La1-x CaxMnO3 dengan variasi konsentrasi 0≤x≤1
(Gambar 2.30). Ketika x=0 dan x=0,1 bahan bersifat feromagneti isolator pada
temperature rendah dengan temperature Currie sekitar 160K. Diantara x=0,2 dan
x=0,45 bahan bersifat feromagnetik logam dan menunjukkan fenomena colossal
56
magnetoresistance (CMR). Untuk x lebih besar dari 0,45 bahan bersifat
antiferomanetik isolator.
Gambar 2.30. Diagram fase La1-x CaxMnO3 [45]
Penelitian diagram fase magnetik La1-xBaxMnO3 (Gambar 2.31) dilakukan
oleh Ju dkk [46]. Sampel keramik padatan La1-xBaxMnO3 (x=0; 0,06; 0,13; 0,19;
0,25; 0,31; 0,38; 0,44; 0,5; 0,63; 0,75; 0,88; 1,0) dibuat dengan metode solid state
reaction. Bahan La2O3, BaCO3, dan MnCO3 dicampur selanjutnya dipanaskan
pada suhu 1100oC-1300
oC kemudian dikalsinasi pada suhu 1400
oC-1550
oC. Sifat
magnetic dikarakterisasi dengan menggunakan SQUID (superconducting quantum
interference device). Ditemukan bahwa bahan bersifat feromagnetik untuk seluruh
harga x, namun terdapat tiga fase. Untuk wilayah konsentrasi doping yang rendah
bahan bersifat feromagnetik isolator, wilayah 0,2≤x≤0,5 bahan bersifat
feromagnetik logam, sedangkan untuk konsentrasi doping yang tinggi bahan
bersifat feromagnetik dengan multiphase.
57
Gambar 2.31. Diagram fase La1-xBaxMnO3 [46]
Urushibara dkk [6] pada tahun 1995 melakukan pendopingan Sr terhadap
LaMnO3, ketika doping Sr kecil bahan bersifat isolator. Saat x mencapai titik
kritis yakni sekitar 0,17 bahan bersifat metalik diserta dengan munculnya sifat
feromagnetik. Digram fase dari La1-xSrxMnO3 dapat dilihat pada Gambar 2.32.
58
Gambar 2.32. Diagram fase La1-xSrxMnO3 [6]
2.13.3. Sifat Absorbsi Gelombang Elektromagnet Lantanum Manganat
Penelitian yang dilakukan oleh Cheng dkk [17] menemukan bahwa
nanopartikel La0,6Sr0,4MnO3 yang dibuat dengan metode sol gel mampu
menyerap gelombang mikro. Daerah frekuensi yang diamati dari 1 GHz sampai
12 GHz. Reflection loss (RL) optimal -41,1 dB pada frekuensi 8,2 GHz dengan
ketebalan 2,2 mm, bandwidth dengan haga RLkurang dari -10 dB dicapai pada
daerah frekuensi 5,5-11,3 GHz (Gambar 2.33). Dalam laporannya Cheng juga
mengungkapkan bahwa semakin kecil ukuran partikel maka sifat absorbsinya
semakin baik.
59
Gambar 2.33. Hubungan refletation loss dengan frekuensi gelombang mikro
pada La0,6Sr0,4MnO3 [17]
Zhou dkk pada tahun 2007 [12] melaporkan bahwa nanopartikel
La0,8Ba0,2MnO3 memiliki sifat absorbsi gelombang mikro pada frekuensi 2-18
GHz, dengan puncak 13 dB pada frekuensi 6,7 GHz, dan bandwidth absorbing
diatas 10 dB pada frekuensi 1,8 GHz. Nanopartikel La0,8Ba0,2MnO3 dibuat dengan
metode sol-gel dari bahan dasar La2O3, Mn(C2H4O2)2, dan Ba(OH)2 dengan berat
fraksi mol 2:5:1. Bahan dasar tersebut dicampur bersama pada suhu 70oC selama
6 jam dan selanjutnya dikalsinasi pada suhu 800oC selama 2 jam. Kurva
hubungan antara frekuensi dan flection lossnya dapat dilihat pada Gambar 2.34.
60
Gambar 2.34. Hubungan antara reflektansi dan frekuensi gelombang mikro
pada La0,8Ba0,2MnO3 [12]
2.14. Mekanisme serapan gelombang mikro
Gelombang mikro adalah gelombang EM yang berada pada jangkauan 300
MHz – 300 GHz dengan panjang gelombang antara 1m – 1mm [47]. Gelombang
mikro mematuhi hukum-hukum optik seperti transmisi, absorpsi dan refleksi yang
tergantung pada karakteristik material.
Ilustrasi skematis pada Gambar 2.35 memperlihatkan bahwa material-
material yang bersifat transparan akan meneruskan gelombang mikro secara
sempurna tanpa ada yang diserap dan didisipasikan dalam bentuk panas. Hal yang
sama terjadi pada konduktor namun tidak ada gelombang mikro yang diteruskan
maupun diserap, melainkan dipantulkan kembali dengan sempurna, sehingga
material yang bersifat konduktif seperti logam merupakan reflektor yang baik.
61
Gambar 2. 35 Jenis interaksi gelombang pada material [48]
Idealnya material penyerap gelombang mikro harus memiliki komponen
magnetik dan dielektrik yang sesuai dengan jangkauan frekuensi gelombang
mikro yang akan berinteraksi dengan material tersebut.
Mekanisme serapan yang terjadi pada material penyerap gelombang mikro akan
lebih mudah dipahami jika membagi interaksi gelombang mikro dan material
penyerap ke dalam komponen elektrik dan magnetik.
2.14.1 Rugi-rugi akibat osilasi medan elektrik
Terdapat dua mekanisme yang terjadi pada rugi-rugi material non-
magnetik, yaitu: rugi-rugi dielektrik dan rugi-rugi konduksi. Rugi-rugi konduksi
mendominasi bahan dengan nilai konduktifitas tinggi seperti logam, sedangkan
rugi-rugi dipolar mendominasi bahan dielektrik seperti isolator.
Jika gelombang mikro berinteraksi dengan material dielektrik, maka
medan internal yang ditimbulkan akan menginduksi gerak translasi dari muatan
bebas atau berikatan seperti elektron atau ion, dan membuat muatan kompleks
seperti dipol berotasi. Momen inersia, tahanan elastis dan gaya gesek di dalam
material akan melawan efek yang dihasilkan oleh medan induksi tersebut dan
menghasilkan efek rugi-rugi elektrik.
Ilustrasi pada Gambar 2.36 memperlihatkan polarisasi medan litrik
terhadap sebuah dipol. Pada frekuensi rendah, arah medan listrik berubah dengan
Material Type Penetration
Transparent
(no Heat)
Conductor
(no Heat)
Absorber
(material are heated)
Total Transmission
None
Partial to total
absorption
62
lambat sehingga dipol memiliki cukup waktu untuk mengikuti perubahannya,
namun dengan bertambahnya frekuensi, momen inersia dan gaya gesek akan
menghasilkan hambatan sampai pada frekuensi dimana tidak lagi terjadi rotasi.
Gesekan dan momen inersia yang menyertai penyearahan dipol mengakibatkan
disipasi energi dalam bentuk panas.
Gambar 2. 36. Mekanisme polarisasi oleh medan listrik [49]
Rugi-rugi dielektrik terbagi dalam empat segmen yang bersesuaian dengan daerah
frekuensi terjadinya, yaitu: ionik, dipolar, atomik dan elektronik seperti pada
Gambar 2.37 berikut:
Gambar 2.37. Mekanisme rugi rugi dielektrik [49]
Pada material dielektrik seperti isolator, displacement (D) berbanding lurus
dengan medan elektrik gelombang mikro (E) menurut persamaan 2.41 berikut:
63
(2. 41)
sehingga nilai permitivitas bahan dapat ditulis seperti persamaan 2.42 berikut:
(2.42)
untuk medan elektrik yang berubah terhadap waktu, nilai permitivitas merupakan
suatu besaran kompleks seperti persamaan 2.43 berikut:
(2.43)
dengan o sebagai permitivitas ruang hampa (8.86 x 10-12
F/m), r sebagai
permitivitas relatif ril yang menunjukan besar energi gelombang mikro yang
tersimpan dalam material dan r adalah permitivitas relatif imajiner yang
menunjukan besar energi gelombang mikro yang terdisipasi.
Ilustrasi pada gambar 2.38 menunjukan perubahan nilai permitivitas
material terhadap induksi gelombang mikro sebagai fungsi frekuensi yang dikenal
dengan nama Debye relaxation [50]. Kombinasi permitivitas ril dan imajiner
merupakan penentu daerah frekuensi kerja material.
Gambar 2.38. Model relaksasi Deby [49]
64
Hubungan antara translasi atau rotasi muatan yang terinduksi gelombang mikro
dan rugi-rugi elektrik disebut dengan loss tangent dielektrik (tan) seperti yang
deskripsikan melalui persamaan 2.44 berikut:
2. 44
dengan σ sebagai konduktifitas bahan (S/m) yang disebabkan oleh konduksi ion
atau perubahan arus dan f sebagai frekuensi.
Persamaan 2.44 memperlihatkan bahwa makin besar nilai konduktifitas maka
makin besar pula serapannya, sehingga penggunaan konduktor sebagai bahan
penyerap sangatlah logis. Namun demikian nilai konduktifitas logam yang tinggi
akan menyebabkan arus eddy yang menghasilkan medan magnet dengan arah
berlawanan, sehingga konduktor merupakan reflektor yang baik pula.
Jumlah daya per unit volume (W/m3) yang diserap oleh material elektrik
dapat ditulis menurut persamaan 2.45 berikut:
2. 45
dengan sebagai nilai mutlak medan elektrik internal karena induksi (V/m)
dengan asumsi bahwa daya tersebut tersebar merata ke seluruh material sehingga
kesetimbangan termal telah tercapai. Terlihat bahwa daya yang terserap berubah
secara linier dengan frekuensi, permitivitas relatif ril, loss tangent, namun berubah
dengan kuadrat medan elektrik internal.
2.14.2 Rugi-rugi akibat osilasi medan magnet
Serupa dengan material dielektrik, material magnetik akan menghasilkan
efek magnetisasi seperti pada persamaan 2.46 berikut:
2.46
dengan B sebagi magenisasi total (T), H sebagai medan magnet induksi (A/m),
65
M sebagai magnetisasi di dalam material (A/m) dan sebagai permeabilitas
ruang hampa (4 x 10-7
H/m).
Jika medan induksi cukup kecil, maka nilai magnetisasi dalam material
akan proporsional dengan intensitas medan tersebut, sehingga permeabilitas relatif
(r) akan bernilai konstan seperti deskripsi persamaan 2.47 berikut:
2.47
Disipasi energi pada material magnetik akibat karena perubahan medan magnet
oleh gelombang mikro dapat dideskripsikan melalui persaman 2.48 berikut:
2.48
dengan demikian loss tangent magnetik (tan ) pada material dapat ditulis seperti
persamaan 2.49 berikut:
2.49
Jumlah daya per unit volume (W/m3) yang diserap oleh material magnetik dapat
ditulis menurut persamaan 2.450 berikut:
2.50
Persamaan 2.50 serupa dengan persamaan 2.45, namun loss tangent pada material
magnetik terdiri dari oleh loss tangent histerisis (tan h), arus eddy (tan e) dan
residual (tan r) menurut persamaan 2.51 berikut:
2.51
Rugi-rugi residual didominasi oleh rugi-rugi resonansi dan rugi-rugi relaksasi oleh
domain-domain magnet pada material magnetik dan umumnya terjadi pada
frekuensi yang tinggi [50].
66
2.14.2.1. Rugi-rugi histerisis
Kurva histerisis material feromagnetik merupakan bentuk disipasi energi
selama proses magnetisasi dan demagnetisasi. Disipasi energi (Wh) per unit
volume dalam material magnetik dapat ditulis seperti persamaan 2.52 berikut:
2.52
Selama proses magnetisasi dan demagnetisasi, terjadi fenomena penyimpanan
energi dalam bentuk kumpulan domain-domain magnet yang searah (remanen
magnetik) dan disipasi dalam bentuk panas yang dihasilkan dari pergerakan
domain-domain magnetik tersebut. Rugi-rugi histerisis bergantung pada sifat
intrinsik, porositas, ukuran grain dan impuritas material magnetiknya [50].
Fenomena ini dikenal sebagai refleksi histerisis yang mempunyai hubungan
nonlinier antara induksi magnetik (H) dan magnetisasi (B) yang terjadi dalam
material. Dua parameter penting yang menghasilkan rugi-rugi histerisis adalah
saturasi magnetik dan koersivitas yang membentuk kurva histerisis seperti pada
Gambar 2.39 berikut:
Gambar 2.39 Kurva histerisis feromagnetik [51]
67
2.14.2.2. Rugi-rugi oleh arus eddy
Konduktifitas material merupakan faktor penting dalam hal disipasi oleh
arus eddy. Ketika gelombang mikro mengenai permukaan konduktor maka
elektron-elektron bebas akan terinduksi dan menghasilkan gaya gerak listrik
(GGL) dengan arah tegak lurus arah induksi sehingga menyebabkan terjadinya
aliran arus yang melingkar pada permukaan konduktor dengan frekuensi yang
sama dengan frekuensi medan induksi. Aliran arus ini akan mengalami efek
resistansi dan induktansi karena sifat intrinsik dan ekstrinsik material.
Faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya arus eddy adalah skin
depth () atau kedalaman penetrasi medan magnet pada material. Skin depth
berhubungan dengan rapat arus pada kedalaman tertentu relatif terhadap rapat arus
di permukaan. Nilai skin depth tergantung pada frekuensi, konduktifitas,
permebilitas dan berkurang menurut 1/e dari permukaan seperti deskripsi pada
gambar 2.40 berikut:
Gambar 2.40. Mekanisme arus eddy dan skin depth [52]
Skin depth didapatkan dari persamaan 2.53 berikut:
68
2.53
Gambar 2.40 dan persamaan 2.53 menunjukan bahwa arus eddy dapat dihindari
dengan mengurangi ukuran sampel menjadi lebih kecil dari nilai skin depth-nya.
Gambar 2.41. Kontribusi arus eddy terhadap linewidth frekuensi serapan [53]
Gambar 2.41 menunjukan variasi ukuran sampel dan jenis sampel terhadap
frekuensi serapan. Untuk ukuran sampel yang sama, meningkatnya nilai
koersivitas akan menggeser daerah serapan material ke frekuensi yang lebih
tinggi. Untuk jenis material yang sama, meningkatnya ukuran sampel akan
menggeser daerah serapan ke frekuensi yang lebih rendah. Dengan demikian
untuk menentukan jangkauan frekuensi serapan yang tepat maka pemilihan
material magnetik dan ukuran sampel menjadi faktor yang sangat penting.
Untuk sampel dengan ukuran yang lebih besar dari nilai skin depth,
disipasi energi oleh arus eddy dapat ditulis seperti persamaan 2.54 berikut:
2.54
69
Disipasi energi akan berbeda untuk tiap material namun secara umum akan
meningkat dengan kuadrat nilai frekuensi, induksi medan magnet, dimensi sampel
(r untuk bola dan silinder) dan meningkat secara linier dengan konduktifitas
seperti deskripsi pada persamaan 2.55 berikut:
2.55
Material magnetik dengan nilai konduktifitas tinggi dan memiliki perbandingan
ukuran sampel dengan nilai skin depth yang sangat besar akan mengalami
fenomena arus eddy ketika berinteraksi dengan gelombang mikro. Material ferro-
magnetik Nd2Fe14B dan SmCo5 merupakan hard-magnet dengan koersivitas 3 kali
lebih besar dari koersivitas BHF, namun karena konduktifitasnya yang tinggi
menghasilkan arus eddy mendominasi serapannya.
Konduktifitas pada material ferrite terjadi karena pertukaran elektron-
elekton valensinya dan peningkatan temperatur akan meningkatkan konduktifitas
seperti deskripsi persamaan 2.56 berikut:
2. 56
dengan Ep sebagai energi aktifasi dan k sebagai konstanta Boltzman (1.38 x 10-23
J/K), persamaan 2.56 memperlihatkan bahwa kontribusi arus eddy akan semakin
signifikan pada temperatur tinggi sehingga material ferrite dengan resistivitas
tinggi menjadi pilihan untuk aplikasi pada temperatur tinggi.
70
2.14.2.3. Rugi-rugi oleh resonansi domain wall
Peristiwa resonansi yang terjadi antara material magnetik dengan
gelombang mikro dibagi dalam dua mekanisme yaitu domain wall resonance dan
spin elektron resonance. Domain wall resonance adalah resonansi yang terjadi
pada domain-domain magnet oleh induksi gelombang mikro. Spin elektron
resonance adalah resonansi yang terjadi pada elektron yang sedang berpresisi
pada arah medan magnet internal oleh induksi gelombang mikro. Ferromagnetic
resonace (FMR) adalah istilah lain dari spin elektron resonance . DMR terjadi
pada frekuensi diantara 0.1 - 0.3 dari nilai FMR [50]. Perubahan orientasi domain
magnet oleh karena induksi magnetik akan menghasilkan restoring forces (gaya
pemulih) dengan arah yang berlawanan. Momen inersia domain wall dan gesekan
dengan sesama domain akan menghasilkan hambatan berupa disipasi energi
menurut persamaan 2.57 berikut:
2.57
dengan x sebagai perubahan orientasi domain wall, m sebagai massa domain, β
sebagai faktor damping atau redaman yang dipengaruhi oleh porositas, impuritas
dan cacat kristal, k sebagai stiffness atau koefisien kekakuan yang merupakan nilai
intrinsik material, Ms sebagai magnetisasi total material dan B(t) sebagai medan
magnet induksi gelombang mikro. Persamaan 2.56 memperlihatkan bahwa
semakin besar ukuran domain dan semakin banyak cacat (porositas, impuritas dan
cacat kristal) yang tekandung dalam material maka energi yang didisipasikan akan
semakin besar.
Material yang memiliki redaman relatif kecil akan menghasilkan DMR
karakteristik pada frekuensi tertentu menurut persamaan 2.58 berikut:
2.58
71
Pada grain yang sangat kecil (rgrain rsingle-domain), DMR menjadi kurang
signifikan (DMR 0) dan pada domain tunggal (k 0), tidak terjadi DMR
(DMR = 0) [54].
Perbedaan nilai permeabilitas fungsi frekuensi terhadap monodomain dan
multidomain pada material ferrite diperlihatkan oleh gambar 2.42 berikut:
Gambar 2.42 Pengaruh ukuran butir terhadap permiabilitas [54]
Pada frekuensi rendah (10 - 50 MHz) nilai permeabilitas ril multidomain
( 27.5) mencapai 7 kali nilai permeabilitas ril monodomain ( 4), namun
pada frekuensi tinggi (500 - 1500 MHz) nilai permeabilitas ril multidomain turun
dan mendekati nilai permeabilitas ril monodomain.
Nilai permeabilitas imajiner multidomain menunjukan efek serapan pada
frekuensi yang lebar (10 – 1500 MHz) dengan serapan maksimal pada frekuensi
karakteristik (75 MHz), sebaliknya permeabilitas imajiner monodomain
menunjukan bahwa serapan mulai terjadi pada frekuensi tertentu (100 MHz) dan
meningkat dengan kenaikan frekuensi.
72
2.14.2.4 Rugi-rugi oleh resonansi feromagnetik (FMR)
Struktur magnetik material ferro-magnetik dapat direpresentasikan dengan
banyaknya spin elektron yang tidak berpasangan menurut persamaan 2.59 berikut:
2.59
dengan g sebagai faktor pemisahan spektroskopis (~2), µB adalah Bohr magneton
(9.274 x 10-24
Am2) dan S sebagai jumlah spin yang tidak berpasangan.
Total momen magnet pada sistem kristal sepenuhnya tergantung pada momen
magnet spin elektron yang tidak berpasangan. Momen magnet spin tersebut akan
mengalami torsi dari medan magnet intrinsik kristal sehingga menghasilkan gerak
presisi dengan frekuensi Larmor menurut persamaan 2.60 berikut:
2.60
dengan γ sebagai rasio giroskopik ( ) dan Ha
sebagai medan anisotropi kristal. Karena maka frekuensi resonansi
material magnetik dapat dituliskan kembali seperti persamaan 2.61 berikut:
2.61
Mekanisme resonansi ferro-magnetik (FMR) dapat diilustrasikan secara sederhana
pada Gambar 2.43 berikut:
73
Gambar 2.43. MekanismeFMR oleh gelombang miro terhadap rotasi magnetik disekitar
medan anisotropis: (a) gerakan berpresisi sekitar medan anisotropi Hz oleh microwave Hrf
; (b) presisi elektron saat mendisipasikan energi [50]
Jika arah medan magnetik gelombang mikro tegak lurus terhadap medan statik
material dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi resonansinya, maka energi
gelombang mikro tersebut akan menghasilkan torsi yang membuat jari-jari
elektron yang sedang berpresisi menjadi lebih besar, dengan kata lain memiliki
level energi yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Gerak presisi pada level energi yang lebih tinggi tersebut akan
menghasilkan vibrasi kristal dalam bentuk gelombang spin atau magnon. Faktor
masa, koefisien kekakuan, porositas, impuritas dan cacat kristal akan menghalangi
pergerakan magnon tersebut dan menghasilkan disipasi. Proses tersebut yang
mengakibatkan terjadinya serapan energi gelombang mikro oleh efek FMR.
2.14.2.5 Rugi-rugi magnetik oleh proses relaksasi
Relaksasi magnetik merupakan proses kompleks yang melibatkan begitu
banyak faktor. Ilustrasi pada gambar 2.44 menunjukan proses relaksasi magnetik
yang mengakibatkan terjadinya disipasi dan merupakan penjelasan bagaimana
mekanisme damping pada FMR terjadi. Kumpulan gelombang spin yang
tereksitasi oleh gelombang mikro akan mendistribusikan energinya melalui
dipolar interaction, exchange interaction, atau melalui interaksi pembawa
muatan, lattice vibration dan relaksasi ion. Selain rugi-rugi intrinsik, perlu
74
diperhatikan kontribusi rugi-rugi ekstrinsik seperti ketidaksempurnaan struktur
kristal yang bergantung pada proses penumbuhan dan kondisi pembentukan
kristalnya, keacakan orientasi anisotropis ( polycrystallinity), porositas, kekasaran
permukaan, grain boundaries dan kecepatan relaksasi.
Proses relaksasi spin dapat diklasifikasikan ke dalam 2, 3 dan 4-magnon menurut
reprensentasi Hamiltonian [55] 2-magnon berhubungan dengan
ketidakhomogenan dalam material magnetik yang mencakup ketidaksempurnaan
struktur kristal, porositas, kekasaran permukaan dan impuritas. 3-magnon
berhubungan dengan dipolar interaction yaitu interaksi antar domain-domain
magnet berjangkauan panjang namun lemah yang bertanggung jawab mememecah
domain tunggal material ferro atau ferri-magnetik menjadi domain-domain yang
lebih kecil dengan arah yang saling berlawanan untuk meminimalisasi energi
sistem. 4-magnon berhubungan dengan exchange interaction yaitu interaksi
berjangkauan pendek namun kuat antar domain-domain magnet yang bertanggung
jawab menjaga arah domain-domain tetap pada arah yang sama. Kombinasi semua
magnon tersebut akan menghasilkan efek kombinasi yang menginduksi pembawa
muatan, relaksasi ion, lattice vibration dan akhirnya didisipasikan dalam bentuk
panas.
Gambar 2.44. Klasifikasi frekuensi relaksasi [56]
75
2.14.3 Impedansi gelombang dan reflektifitas
Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mekanisme serapan gelombang
oleh material dielektrik dan magnetik secara terpisah. Namun demikian untuk
mendapatkan material penyerap gelombang mikro yang baik maka sifat dielektrik
dan magnetik perlu dipadukankan dalam satu material. Paduan sifat magnetik dan
dielektrik tersebut mengakibatka analisis menjadi semakin kompleks. Metode
impedansi dan reflektivitas menjadi alternatif yang cukup komperhensif untuk
memahami fenomena yang terjadi di dalam material penyerap gelombang mikro.
Interaksi gelombang elektromagnetik dengan materi dapat didefinisikan dengan
koefisien refleksi (R) dan absorpsi (A) seperti persamaan 2.62 dan 2.63 berikut:
2.62
2.63
dengan EI sebagai intensitas sumber, ER sebagai intensitas refleksi dan EA sebagai
intensitas absorpsi. Persamaan 2.62 dan 2.63 dapat ditulis kembali dalam bentuk
impedansi menurut persamaan 2.64 dan 2.65 berikut [57]:
2.64
76
2. 65
dimana :
2. 66
2.67
Propagasi gelombang mikro dengan material penyerap akan menghasilkan nilai ZL
yang bergantung pada konduktifitas, permitivitas dan permeabilitas.
Nilai o = 8.85 x 10-12
Fm-1
dan o = 1.26 x 10-6
Hm-1
, sehingga Z0 = 377 Ω.
Persamaan 2.65 memperlihatkan bahwa material yang sangat konduktif
akan menghasilkan nilai impedansi yang sangat kecil ), akibatnya
dan yang menunjukan bahwa seluruh gelombang mikro akan
dipantulkan dengan beda fasa 180o. Material penyerap gelombang mikro yang
baik harus mempunyai nilai dan nilai , sehingga seluruh energi
gelombang mikro akan diserap oleh material dan terjadi impedance matching atau
ZL = Z0 = 377 Ω.
Kemampuan suatu material penyerap gelombang mikro diukur berdasarkan nilai
reflektivitas pada persamaan 2.68 berikut:
77
2. 68
Material penyerap dengan nilai RL sebesar -20 dB akan menyerap 90% energi
gelombang mikro yang mengenainya. Gambar 2.11 menunjukan hubungan antara
RL dengan persentasi gelombang yang dipantulkan kembali oleh material.
Gambar 2. 45 Reflection loss and reflectivity correlation
Telah diolah kembali [51, 54]
Karena material penyerap harus memiliki reflektivitas yang sangat kecil, maka
persamaan 2.66 ditulis kembali menjadi persamaan 2.69 berikut [57]
2.69
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
-50
-45
-40
-35
-30
-25
-20
-15
-10
-5
0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10-50
-45
-40
-35
-30
-25
-20
RL (
dB
)
Reflection (%)
78
sehingga:
2. 70
dengan ZL sebagai impedansi sampel, Z0 sebagai impedansi udara, c sebagai
kecepatan cahaya di udara, f sebagai frekuensi, d sebagai tebal sampel, sebagai
permeabilitas kompleks dan sebagai permitivitas kompleks. Oleh karena nilai
permeabilitas relatif dan permitivitas relatif sangat bergantung pada frekuensi,
maka tujuan melakukan rekayasa material adalah untuk menghasilkan material
penyerap gelombang mikro yang memiliki nilai RL sekecil mungkin dan
jangkauan frekuensi serapan yang selebar mungkin.
79
BAB 3
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yakni, pertama sintesis fasa
tunggal system La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 (x = 0, 0,02, 0,04 dan 0,06) dengan metode
penghalusan mekanik. Kedua, memperkecil ukuran partikel system
La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan melakukan proses sonikasi. Secara lengkap, proses
penelitian tahap pertama dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Sistem La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 yang telah disintesa pada tahap pertama
selanjutnya diproses dengan alat sonikator untuk memperkecil ukuran partikel.
Proses penelitian tahap kedua dapat dilihat pada Gambar 3.2.
3.1. Waktu dan Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei sampai November 2014.
Untuk tahap preparasi/pembuatan sampel dilakukan di laboratorium Departemen
Fisika FMIPA UI. Sedangkan tahap karakterisasi sampel dilaksanakan di PLT
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Departemen Fisika FMIPA UI, BATAN
Serpong, Fakultas Teknik UI, dan LIPI Bandung.
80
Gambar 3.1. Skema pembentukan fasa tunggal system La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3
Preparasi Material
Bahan-bahan dasar
Pencampuran (Mixing)
Proses penghalusan mekanik
Kalsinasi
Kompaksi
Sintering
Karakterisasi
Pengolahan data dan Analisis
XRD
PSA
81
Gambar 3.2. Skema proses sonikasi
Material absorber system
La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3
Grinding
Proses sonikasi
Heating
Material absorber
nanopartikel
Pengolahan data dan Analisis
Karakterisasi
82
3.2. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan sebagai berikut:
a. Timbangan digital. digunakan untuk menimbang bahan dasar
b. Spatula. beaker glass
c. Dies (cetakan specimen/sampel) berbentuk silindris.
d. Planetary Ball Milling untuk mencampur serbuk bahan dasar
e. Bola baja (ball mill) digunakan untuk menumbuk campuran di dalam vial
Planetary Ball Milling.
f. Furnace (dapur pemanas) untuk men-sintering sampel
g. Universal testing machine atau pressing mechine digunakan untuk
membuat/mengkompaksi sampel (green body).
h. Cawan kramik digunakan untuk tempat sampel ketika disintering
i. Sonikator dengan frekuensi daya tinggi untuk memperkecil ukuran
partikel.
j. X Ray Diffraction (XRD) digunakan untuk melihat struktur kristal
sampel
k. Permagraph Magnet-Physic Dr. Steingroever GmbH digunakan untuk
pengujian sifat magnetik sampel
l. Vector Network Analyzer (VNA) digunakan untuk pengujian sifat
absorber sampel.
m. Particle Size Analyzer (PSA) untuk mengetahui ukuran partikel sampel.
Bahan habis pakai yang digunakan sebagai berikut
n. Serbuk bahan dasar La2O3. MnCO3. BaCO3. dan TiO2 selengkapnya
dapat dilihat pada Tabel 3.1
o. Tissue. Aquabidest
p. Serbuk karbon diunakan untuk membersihkan vial planetary ball mill
q. PVAc. digunakan sebagai perekat pada saat mencetak spesimen dengan
kompaksi.
r. Sabun cream diunakan untuk membersihkan vial dan ball mill
s. Aseton digunakan sebagai pembersih dan campuran proses milling.
83
3.3. Preparasi Pembentukkan Fasa Tunggal
3.3.1. Bahan Dasar
Preparasi sampel dilakukan di laboratorium Fisika UI Depok dengan
metode reaksi padatan menggunakan mechanical milling (proses penghalusan
mekanik). Bahan-bahan dasar yang digunakan untuk membuat fasa tunggal
sistem La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 adalah La2O3, BaCO3, MnCO3, dan TiO2 produk
Aldrich dengan tingkat kemurnian pro analisis seperti yang ditunjukkan pada
Tabel 3.1
Tabel 3.1 Bahan Dasar Penelitian
No. Nama Formula
Kimia
Mr Produk Kemurnian
1. Lantanum
oksida
La2O3 325,78 Aldrich 99,9%
2. Barium
karbonat
BaCO3 197,31 Aldrich 99,9%
3. Mangan
karbonat
MnCO3 114,92 Aldrich 99,9%
4. Titanium
dioksida
TiO2 79,88 Aldrich 99,9%
Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dibuat melalui metode reaksi padatan
menggunakan milling dari prekursor berbahan dasar oksida yaitu La2O3, BaCO3,
MnCO3, dan TiO2. Komposisi sampel yang akan dibuat dihitung secara
stoikiometri dengan perbandingan persen bobot (%wt) dari masing-masing
senyawa menurut persamaan reaksi berikut :
La2O3(s) + BaCO3(s) + (1-x)MnCO3(s) + xTiO2(s)
La0,67Ba0,33Mn(1-x)TixO3 + CO2(g) + O2(g)
84
Hasil perhitungan dari persamaan reaksi diatas diperoleh massa bahan dasar yang
diperlihatkan pada Tabel 3.2
Tabel 3.2. Massa bahan dasar sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
Sampel X La2O3 (g) BaCO3 (g) MnCO3 (g) TiO2 (g)
1 0 6,79 4,05 7,15 0,00
2 0,02 6,80 4,05 7,01 0,10
3 0,04 6,80 4,06 6,87 0,20
4 0,06 6,80 4,06 6,73 0,30
Setelah mengetahui massa bahan-bahan dasar yang dibutuhkan, bahan-
bahan dasar ditimbang dengan menggunakan neraca digital type Libror AE-210
merek Shimadzu dengan kapasitas 200,0000 gram, skala terkecil 0,0001 gram
(Gambar 3.3)
85
Gambar 3.3. Neraca digital Shimadzu
Selanjutnya bahan-bahan dasar tersebut dicampur dan dihaluskan melalui
proses mechanical milling untuk waktu milling efektif 40 jam dengan Planetary
Ball Mill (Gambar 3.4). Rasio antara bola dan material adalah 10 : 1. Untuk
menghindari kerusakan alat milling karena adanya peningkatan suhu motor yang
terlalu tinggi, maka untuk setiap satu siklus milling selama 30 menit, proses
dihentikan selama 30 menit untuk pendinganan motor.
86
Gambar 3.4. Planetary Ball Mill
Mechanical milling adalah teknik yang efektif untuk memperkecil ukuran
partikel dan memadukan beberapa senyawa ke dalam suatu fasa baru. Selama
proses berlangsung serbuk-serbuk bahan dasar terjebak dalam bola-bola yang
saling bertumbukan, sehingga mengakibatkan terjadinya deformasi dan proses
fracture, kemudian terjadi cold welding dari serbuk-serbuk secara elementer.
Selanjutnya sampel dikalsinasi untuk menghilangkan impuritas selama 10
jam dengan suhu 800oC. Sebelum dipanaskan, semua sampel dikompaksi terlebih
dahulu dengan menggunakan alat pencetak pellet (Gambar 3.5).
87
Gambar 3.5. Alat kompaksi
Kemudian semua sampel dipanaskan sampai temperatur 1200oC selama 10
jam dengan menggunakan tube furnace High Temperature Furnace merk
Termolyne (Gambar 3.6).
Gambar 3.6. High temperature Furnice Thermolyne 46100
88
3.3.2. Proses Sonikasi
Untuk memperkecil ukuran partikel digunakan proses sonikasi daya tinggi
(Gambar 3.7). Prinsip dasar proses ini adalah terbentuknya gelembung vakum
oleh gelombang ultrasonik pada cairan. Gelembung vakum yang terbentuk
kemudian runtuh dengan kecepatan tinggi dan dapat menghasilkan tekanan dan
temperatur yang sangat tinggi. Jika terdapat partikel disekeliling gelembung
vakum tersebut, partikel-partikel akan bertumbukan dengan kecepatan yang
sangat tinggi dan memungkinkan terjadinya pengecilan ukuran karena energi yang
dihasilkan lebih besar dari energi ikat antar butir pada sampel.
Gambar 3.7. Sonikator
89
3.4. Karakterisasi Sampel
3.4.1. Thermogravimetric analysis (TGA)
Dasar dari TGA adalah mengamati perubahan massa sampel terhadap
kenaikan temperatur. Kurva kontinu perubahan massa terhadap temperatur
diperoleh ketika sampel dipanaskan dengan kecepatan yang seragam. Kurva
thermogravimetric (TG) umumnya merupakan plot antara penurunan massa pada
sumbu y (ordinat) dan kenaikan temperatur pada sumbu x (absis).
Karakterisasi sampel dengan TGA dilakukan di Pusat Laboratorium
Terpadu UIN Jakarta. TGA (TA Instrument) tersebut menggunakan gas oksigen
dan nitrogen.
Gambar 3.8. TGA
90
3.4.2. Difraksi Sinar-X (XRD)
Analisa kuantitas dan kualitas fasa-fasa yang ada dalam sampel
menggunakan XRD merek Shimadzu. Berkas sinar-x dihasilkan dari tube anode
Cu, dengan panjang gelombang 1,5405Å, mode: continous-scan, step size: 0,2 dan
timer per step 0,5 detik, dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta.
Gambar 3.9. Alat Difraksi sinar-X (XRD) Shimadzu-7000
91
3.4.3. SEM
Karakterisasi dengan Scanning Electron Microscope (SEM) dilakukan
untuk mengetahui morfologi dari sampel. Karakterisasi SEM dilakukan di PTBIN
BATAN, Serpong. Dengan spesifikasi alat Jeol JED-2300.
Gambar 3.10. Scanning Electron Microscope (SEM)
92
3.4.4. Permagraf
Karakterisasi dengan permagraph dilakukan dengan tujuan mengetahui
sifat magnetik dari sampel, seperti saturasi dan koersifitas magnet. Karakterisasi
permagraf dilakukan di laboratorium UI Depok.
Gambar 3.11. Permagraf
93
3.4.5. Vibrating Sample Magnetometer
Alat VSM tipe OXFORD VSM1.2H merupakan salah satu jenis peralatan
yang digunakan untuk mempelajari sifat magnetic bahan. Dengan alat ini akan
diperoleh informasi mengenai besaran-besaran sifat magnetik sebagai akibat
perubahan medan magnet luar yang digambarkan dalam kurva histerisis seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 3.12.
Gambar 3.12. Alat Vibrating Sample Magnetometer (VSM) tipe OXFORD VSM1.2H
94
Semua bahan mempunyai momen magnetic jika ditempatkan dalam medan
magnetic. Momen magnetic per satuan volume dikenal sebagai magnetisasi.
Secara prinsip ada dua metode mengukur besar magnetisasi tersebut, yaitu metode
induksi (induction method) dan metode gaya (force method). Pada metode
induksi, magnetisasi diukur dari sinyal yang ditimbulkan/diinduksikan oleh
cuplikan yang bergetar dalam lingkungan medan magnet pada sepasang
kumparan. Sedangkan pada metode gaya pengukuran dilakukan pada besarnya
gaya yang ditimbulkan pada cuplikan yang berada dalam gradient medan magnet.
VSM adalah salah satu alat ulur magnetisasi yang bekerja berdasarkan metode
induksi. Pada metode ini, cuplikan yang akan diukur magnetisasinya dipasang
pada ujung bawah batang kaku yang bergetar secara vertikal dalam lingkungan
medan magnet luar H. Jika cuplikan termagnetisasi secara permanen ataupun
sebagai respon dari adanya medan magnet luar, getaran ini akan mengakibatkan
perubahan garis gaya magnetik. Perubahan ini akan menginduksi/menimbulkan
suatu sinyal tegangan AC pada kumparan pengambil (pick-up atau sense coil)
yang ditempatkan secara tepat dalam sistem medan magnet ini. Dengan memakai
hokum Biot-Savart untuk sistem medan dipole, tegangan induksi diberikan
sebagai :
V Afm G(x,y,z) (3.1)
A : amplitude getaran cuplikan,
f : frekuansi getaran cuplikan,
m : momen magnetik,
G(x,y,z) : fungsi sensitivistas, yang ditunjukkan adanya kebergantungan
sinyal pada posisi cuplikan dalam system kumparan
Selanjutnya sinyal AC ini akan dibaca oleh rangkaian pre-amp dan Lock-in
amplifier. Frekuensi dari Lock-in amplifier diset sama dengan frekuensi getaran
sinyal referensi dari pengontrol getaran cuplikan. Lock-in amplifier ini akan
membaca sinyal tegangan dari kumparan yang sefasa dengan sinyal referensi.
95
Kumparan pengambil biasanya dirangkai berpasangan dengan kondisi lilitan yang
berlawanan. Hal ini untuk menghindari terbacanya sinyal yang berasal dari selain
cuplikan,misalnya dari akibat adanya perubahan medan magnet luar itu sendiri.
selanjutnya dalam proses pengukuran, medan magnet luar yang diberikan, suhu
cuplikan, sudut dan interval waktu pengukuran dapat divariasikan melalui kendali
computer. Komputer akan merekam data tegangan kumparan sebagai fungsi
medan magnet luar, suhu, sudut ataupun waktu.
3.4.6. Pengukuran Resistivitas menggunakan Four Point Probe (FPP)
Alat Four Point Probe (FPP) digunakan untuk melihat perubahan resistansi
sampel dengan dan tanpa medan magnet. Jadi, dengan menggunakan alat Four
Point Probe (FPP) dapat menentukan nilai magnetoresistansi setiap sampel
La0,67Sr0,33Mn1-xFexO3 untuk masing-masing komposisi x. Alat ukur Four Point
Probe (FPP) memiliki komponen utama yaitu :
1. Perangkat computer : yang terdiri dari CPU, monitor, keybord dan mouse
2. Sumber arus DC : Programmable DC Power Suplly TSX1820P buatan
Thurlby-Thadar, digunakan untuk mengukut rapat arus kritis superkonduktor,
daerah pengukuran 10 mA sampai dengan 20 A
3. Sumber arus konstan DC : 2554 DC Voltage Current Standard buatan
Yokogawa, digunakan untuk mengukur cuplikan yang memiliki resistansi
tinggi, daerah pengukuran 1 A sampai dengan 10 mA.
4. Voltmeter : 181 Nanovoltmeter merek Keithley.
5. Alat pengontrol suhu : Lake Shore Cryotronics 201 Thermometer.
6. Alat pembangkit magnet (coil electromagnetic)
7. Fou Point Probe merek Jandel, dengan spesifikasi jarak antar probe 1 mm.
massa probe 70+ gram, dan bahan probe adalah Tungten Carbida (TC).
Alat Four Point Probe (FPP) terdiri dari empat kabel keluaran, terdiri dari
dua kabel yang dihubungkan dengan voltmeter dan dua kabel lainnya
dihubungkan dengan sumber arus konstan. Sumber arus DC dihubungkan dengan
96
coil elektromagnetik yang akan digunakan sebagai sumber pembangkit medan
magnet. Skematik peralatan ini diperlihatkan sebagai berikut :
Gambar 3.13. Skematik alat ukur Four Point Probe (FPP)
Langkah-langkah persiapan
a. Sampel yang diukur dipersiapkan dalam bentuk padatan (berbentuk silinder)
dengan ukuran diameter maksimumnya adalah 15 mm dan ketebalan
maksimum 5 mm.
b. Permukaan sampel yang telah dipersiapkan harus bersih, sehingga sampel
terbebas dari oksida-oksida pengotor dan diusahakan permukaannya rata.
c. Sampel diletakkan pada sampel holder
d. Sampel siap untuk diukur.
Langkah-langkah pengukuran
Pengukuran ini dikontrol dengan menggunakan komputer. Apabila program ini
dijalankan, akan tampil dialog box menu GPIBJc.
a) Pada gambar 3.14, terilhat ada 4 icon, terletak dibagian bawah layar monitor,
yakni : start, stop, konfigurasi dan main menu.
97
Gambar 3.14. Kotak dialog pengukuran magnetoresistansi pada FPP
b) Icon konfigurasi diklik satu kali, maka kursor akan berpindah ke panel
parameter isian I (Ampere). Jika I (Ampere) diisi 0,01, artinya nilai minimum
arus yang dialirkan pada sampel adalah 0,01 Ampere.
c) Tombol ENTER ditekan, kursor berpindah ke lokasi parameter ΔI. Harga ΔI
diisi 0,01, artinya nilai maksimum perubahan arus yang diinginkan adalah
0,01 Ampere.
Point b) dan c) ini digunakan untuk mengontrol perubahan medan magnet
pada coil dengan memasukkan sumber arus awal dan delta arusnya.
d) Tombol ENTER ditekan, kursor berpindah ke lokasi parameter range Volt.
Harga range Volt diisi 0,002, artinya nilai maksimum tegangan yang akan
diukur adalah 2 mV
e) Tombol Enter ditekan, kursor berpindah ke lokasi file dan mengisi nama file
yang kita kehendaki untuk setiap perlakuan sampel.
f) Tombol ENTER ditekan, maka akan muncul informasi pada layar :
1. Alat anda sudah tersambung dengan baik.
2. Parameter konfigurasi belum benar
3. Alat anda belum tersambung dengan PC
Jika informasi (1) muncul, berarti data konfigurasi yang dimasukkan sudah
benar dan bisa dilanjutkan kelangkah berikutnya. Jika informasi (2) muncul,
berarti ada kesalahan pada nilai parameter konfigurasi. Jika informasi (3) yang
98
muncul, berarti ada sebagian alat yang belum tersambung dengan baik pada
PC.
g) Klik icon start satu kali, maka pengukuran dimulai.
h) Jika grafik pada layar monitor sudah terbentuk, maka pengukuran dihentikan
dengan mengklik satu kali pada icon stop
i) Kemudian mouse dipindahkan ke icon main menu, di klik satu kali dan pada
monitor muncul kembali ke menu pilihan gambar 3.10.
j) Selanjutnya keluar dari menu pengukuran masuk ke file data ini dengan
mengklik dua kali F10 Exit, klik start, pilih program, klik Windows-Explorer,
pilih Newgpib, kemudian klik dua kali File data hasil pengukuran
k) Data hasil pengukuran dapat dibaca dengan menggunakan program excel
Microsoft for windows.
Gambar 3.15. Rangkaian Alat Four Point Probe (FPP)
3.4.7. Vector Network Analyzer
Pengujian sifat penyerapan gelombang elektromagnetik menggunakan
peralatan Vector Network Anayzer (VNA). Sistem kerja Vector Network Anayzer
(VNA) adalah menganalisis efek refleksi dan transmisi sumber gelombang
elektromagnet yang dihasilkan dari sinyal frekuensinya seperti terlihat pada
Gambar 3.16 dan Gambar 3.17.
99
Gambar 3.16. Vector Network Analyzer – Advantest type R3770
Gelombang datang (S11) dari Port 1 dan gelombang pantul diterima juga oleh Port
1 serta gelombang transmisi (S21) diterima oleh Port 2.
Gambar 3.17. Skema Perambatan Gelombang Elektromagnetik dalam Air Line Wave
Guide
Pengujian refelection loss (RL) terhadap sampel diukur dengan
menggunakan alat Vector Nework Analyzer tipe ADVANTEST R3770 dengan
rentang frekuensi pengujian dilakukan pada frekuensi 5 GHz hingga 18 GHz
dengan prototipe 300 KHz – 20 GHz. Untuk analisis refleksi dan transmisi
100
gelombang mikro sampel berbentuk bulk dengan diameter 15 mm dan ketebalan 2
mm.
Dalam hal penyerapan energi gelombang EM, keseluruhan interaksi dapat
diwakili oleh impedansi dari material (Zin) yang bersifat dielektrik dan induktif.
Gambar 3.18. Skematik proses absorpsi gelombang elektomagnetik
Analisa refleksi (S11) dan transmisi (S21) pada gelombang mikro dilakukan pada
frekuensi 1 – 20 GHz menggunakan model matematik Nicholson-Ross-Weir
(NRW) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.18 [58].
Prosedur model NRW ini diturunkan dari persamaan berikut :
(3.2)
Kedua parameter ini dapat diperoleh dari hasil pengukuran dengan menggunakan
vector network analyzer.
Sedangkan hubungan antara S11 dan S21 sebagai factor koefisien refleksi dan
transmisi ditunjukkan pada persamaan berikut ini.
(3.3)
(3.4)
(3.5)
101
Gambar 3.19. Model matematik Nicholson-Ross-Weir [58]
Dari kedua persamaan diatas dapat diperoleh permeabilitas relative menurut
persamaan sebagai berikut :
(3.6)
Dimana 0 panjang gelombang ruaang hampa dan c is adalah panjang gelombang
cut off dari karakteristik adapter dan waveguide.
(3.7)
102
Sedangkan permitivitas relative dapat didefiniskan sebagai :
(3.8)
Dimana d adalah ketebalan bahan absorp, r adalah permitivitas relative, µr adalah
permeabilitas relative, g adalah panjang gelombang di dalam sampel, and
merupakan konstata propagasi dari bahan.
Berdasarkan teori reflection loss radiasi elektromagnetik RL (dB) dalam
gelombang normal pada permukaan material lapis tunggal dengan sebuah
penghantar sempurna dapat didefinisikan sebagai:
(3.9)
dimana Z0 adalah karakteristik impedansi ruang hampa
Z0 = (0 / 0)1/2
377 (3.10)
Zin adalah imput impedansi adalah metal-backed lapisan penyerapan gelombang
mikro.
(3.11)
Zin adalah normalisasi input impedansi yang sama dengan rasio Zin terhadap Z0, 0,
0 adalah permeabilitas dan permitivitas kompleks dari media komposit, c adalah
kecepatan cahaya pada ruang hampa, f adalah frekuensi dan d adalah ketebalan
penyerap. Kondisi impedansi yang matcing jika Z0 = Zin yang merepresentasikan
sifat penyerapan sempurna. Bandwidth penyerapan 10 dB berarti frekuensi
bandwidth dapat mencapai 90 % dari reflection loss, jika bandwidth penyerapan
adalah 20 dB berarti frekuensi bandwidth dapat mencapai 99 % reflection loss.
103
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakterisasi TGA (Thermogravimetric Analysis) Sampel La0,67Ba0,33Mn1-
xTixO3
Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 disintesa dari beberapa bahan dasar yaitu
La2O3, BaCO3, MnCO3, dan TiO yang memiliki tingkat kemurnian rata-rata diatas
99%. Seluruh bahan dasar tersebut dimilling dengan Planetary Ball Mill selama
40 jam. Hasil milling tersebut selanjutnya dikarakterisasi dengan alat TGA
(Thermogravimetric Analysis) yang memliki kemampuan mengkarakterisasi
sampel dari 0oC sampai 1000
oC. Hasil TGA sampel dengan variasi nilai x yang
selesai dimilling dapat dilihat dalam Gambar 4.1.
Dari hasil TGA tersebut tampak terdapat penurunan berat sampel ketika
terjadi kenaikan suhu sekitar 50oC – 800
oC. Penurunan berat sampel
dimungkinkan karena ada ion karbon yang berasal dari bahan dasar BaCO3 mau
pun MnCO3 terbuang ketika terjadi pemanasan. Atas dasar inilah tahapan
selanjutnya dilakukan kalsinasi pada suhu 800oC selama 10 jam untuk
menghilangkan impuritas-impuritas yang ada.
105
Gambar 4.2. Kurva TGA bahan dasar BaCO3
Selain sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3, bahan dasar yang mengandung
karbonat yakni BaCO3 dan MnCO3 dikarakterisasi pula dengan TGA (Gambar 4.2
dan 4.6). Gambar 4.2 menunjukkan ada dua tahapan penurunan massa sampel
terhadap kenaikan suhu yakni antara suhu 200oC – 400
oC dan antara suhu 800
oC –
1000oC. Dan yang menarik, antara suhu 400
oC-800
oC terdapat kenaikan massa
terhadap kenaikan temperatur. Namun dari kurva TGA tersebut belum terlihat
adanya garis horizontal yang menandakan tidak ada lagi penurunan massa
senyawa BaCO3 terhadap kenaikan suhu.
106
Untuk mengetahui proses dekomposisi senyawa BaCO3, senyawa tersebut
dipanaskan dengan variasi suhu 825oC dan 1200
oC selanjutnya dikarakterisasi
dengan XRD. Pola difraksi sinar X dari senyawa dasar BaCO3 dan yang telah
dipanaskan dapat dilihat pada Gambar 4.3 sampai Gambar 4.5.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
Inte
nsita
s
Sudut dua theta
BaCo3
Gambar 4.3. Pola difraksi sinar X bahan dasar BaCO3 dengan variasi pemanasan
107
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Inte
nsita
s
Sudut dua theta
BaCO3 825
oC
Gambar 4.4. Pola difraksi sinar X BaCO3 dengan pemanasan 825oC
108
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
0
200
400
600
800
Inte
nsitas
Sudut dua theta
BaCO3 1200
oC
Gambar 4.5. Pola difraksi sinar X BaCO3 dengan pemanasan 1200oC
Pola difraksi sinar X BaCO3 yang telah dipanaskan dengan variasi suhu
diidentifikasi puncak-puncaknya dengan melihat International Centre for
Diffraction Data (ICDD). Dari hasil pencocokan dengan PDF diketahui bahwa
BaCO3 dengan pemanasan 825oC menunjukkan tetap merupakan senyawa
BaCO3 (00-045-1471). Sedangkan untuk senyawa BaCO3 yang dipanaskan
dengan suhu 1200oC terdapat tiga fasa yakni fasa BaCO3 (00-045-1471) dengan
struktur ortorombik, fasa BaCO4 (00-003-0659), dan fasa BaO (00-022-1056)
dengan struktur kubik. Adanya fasa BaCO4 inilah yang memungkinkan terjadinya
kenaikan massa seperti tampak pada kurva TGA. Reaksi dekomposisi yang
mungkin terjadi pada tahap ini adalah
109
3 BaCO3 + ½ O2 BaCO3 + BaCO4 + BaO +CO2
Dari kurva TGA bahan dasar MnCO3 (Gambar 4.6) terdapat beberapa
tahapan yang menandakan terjadinya perubahan MnCO3 menjadi manganat
oksida Mn2O3 atau Mn3O4 tergantung suhu kalsinasi.
Gambar 4.6. Kurva TGA bahan dasar MnCO3
110
Untuk mengetahui perubahan yang terjadi, bahan dasar MnCO3
dipanaskan pada suhu 300oC, 525
oC, 700
oC, dan 1100
oC selanjutnya dilakukan
karakterisasi XRD. Profil XRD bahan dasar MnCO3 yang telah dipanaskan pada
suhu bervariasi dapat dilihat pada Gambar 4.7 sampai Gambar 4.11.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
2000
Inte
nsitas
Sudut dua theta
MnCO3
Gambar 4.7. Pola difraksi sinar X bahan dasar MnCO3
111
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
200
400
600
800
1000
1200
1400
Inte
nsitas
Sudut dua theta
MnCO3 300
oC
Gambar 4.8. Pola difraksi sinar X MnCO3 dengan pemanasan 300oC
112
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
200
400
600
800
1000
1200
1400
Inte
nsita
s
Sudut dua theta
MnCO3 525
oC
Gambar 4.9. Pola difraksi sinar X MnCO3 dengan pemanasan 525oC
113
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
0
500
1000
1500
2000
2500
Inte
nsitas
Sudut dua theta
MnCO3 700
oC
Gamabar 4.10. Pola difraksi sinar X MnCO3 dengan pemanasan 700oC
114
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
150
200
250
300
350
400
450
Inte
nsitas
Sudut dua theta
MnCO3 1100
oC
Gambar 4.11. Pola difraksi sinar X MnCO3 dengan pemanasan 1100oC
Berdasarkan identifikasi puncak-puncak pola difraksi yang bersumber dari
Crystallography Open Database (COD) dapat diketahui bahwa pola difraksi
untuk bahan dasar MnCO3 dengan pemanasan 300oC dan 525
oC tetap senyawa
MnCO3 (COD 96-900-7692). Sedangkan pola difraksi MnCO3 dengan pemanasan
700oC mengikuti pola difraksi senyawa Mn2O3 (COD 96-900-7521). Dan untuk
pola difraksi MnCO3 dengan pemanasan 1100oC sesuai dengan pola difraksi
senyawa Mn3O4 (COD 96-900-1964). Agar lebih jelas hasil tersebut dapat dilihat
dalam Tabel 4.1.
115
Tabel 4.1. Hasil karakterisasi MnCO3 dengan variasi temperatur pemanasan
Temperatur pemanasan (oC) Senyawa
300 MnCO3
525 MnCO3
700 Mn2O3
1100 Mn3O4
Tabel 4.1 menunjukkan ada dua tahap dekomposisi MnCO3, tahap
pertama
MnCO3 + O2 ½ Mn2O3 + CO2 + ¾ O2
Tahap pertama ini berhubungan dengan reaksi MnCO3 dan oksigen sehingga
membentuk fase Mn2O3 dan melepaskan karbon dioksida dan oksigen. Sedangkan
untuk tahap kedua reaksi dekomposisinya
Mn2O3 ⅔ Mn3O4 + ⅙ O2
Tahap kedua ini berhubungan dengan transformasi Mn2O3 menjadi Mn3O4 diikuti
dengan pelepasan oksigen.
4.2. Karakterisasi XRD (X-Ray Diffraction) Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
Bahan-bahan dasar yang membentuk sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 yakni
La2O3, BaCO3, MnCO3, dan TiO2 sebelumnya dikarakterisasi dengan XRD.
Selanjutnya dilakukan proses sintesis seperti yang telah dijelaskan pada Bab 3,
sehingga terbentuk sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 , kemudian dikarakterisasi
dengan XRD. Perbandingan pola difraksi sinar X keempat bahan dasar dan pola
difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dapat dilihat pada Gambar 4.12.
116
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
0
440
880
1320
0
500
1000
15000
500
1000
1500
20000
500
1000
1500
0
750
1500
2250
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90
Sudut dua theta
La2
O3
BaCO3
Inte
nsita
s
MnCO3
TiO2
La0,67
Ba0,33
Mn0,98
Ti0,02
O3
Gambar 4.12. Pola difraksi sinar X bahan dasar dan sampel
La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
117
Gambar 4.12 menunjukkan adanya perbedaan antara pola difraksi sinar X
sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dengan pola difraksi sinar X bahan-bahan dasar
penyusunnya. Hal ini ditandai dengan perbedaan sudut dua theta puncak-puncak
difraksi antara sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dan bahan-bahan dasar. Oleh karena
itu dapat dikatakan bahwa proses eksperimen yang dilakukan telah berhasil
membuat sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 .
Pola difraksi sinar X untuk sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dengan variasi
x=0; 0,02; 0,04; dan 0,06 dapat di lihat pada Gambar 4.13 sampai Gambar 4.16.
10 20 30 40 50 60 70 80
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
Inte
nsitas
Sudut dua theta
La0,67
Ba0,33
MnO3
Gambar 4.13. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33MnO3
118
10 20 30 40 50 60 70 80
0
500
1000
1500
2000In
tensita
s
Sudut dua theta
La0,67
Ba0,33
Mn0,98
Ti0,02
O3
Gambar 4.14. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3
119
10 20 30 40 50 60 70 80
0
500
1000
1500
2000In
tensitas
Sudut dua theta
La0,67
Ba0,33
Mn0,96
Ti0,04
O3
Gambar 4.15. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ti0,04O3
120
10 20 30 40 50 60 70 80
0
500
1000
1500
2000
2500In
tensita
s
Sudut dua theta
La0,67
Ba0,33
Mn0,94
Ti0,06
O3
Gambar 4.16. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ti0,06O3
Pola difraksi sinar X sampel La,.67Ba0,33Mn1-xTixO3 untuk seluruh variasi
nilai x memperlihatkan pola difraksi yang sama, ditandai dengan puncak-puncak
pada sudut dua theta yang hampir sama. Selajutnya dilakukan refinement dengan
menggunakan software GSAS. Hasil refinement sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
dengan variasi x ditunjukkan pada Gambar 4.17 sampai dengan Gambar 4.20
124
Gambar 4.20. Hasil refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ti0,06O3
Hasil refinement GSAS tersebut memberikan informasi bahwa seluruh
sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dengan harga x = 0,02; 0,04; dan 0,06 telah
terbentuk fasa tunggal dengan struktur kristal monoklik dan grup ruang I 1 2/c 1 .
Beberapa data hasil refinement GSAS dapat dilihat pada Tabel 4.2. Harga χ2
yang
diperoleh yakni dibawah 1,3 dan wRP dibwah 10% menunjukkan bahwa data yang
dihasilkan dapat diterima dengan baik. Dari hasil refinement tersebut tampak
bahwa pengaruh doping Ti terhadap strutur kristal ataupun perubahan parameter
kisinya tidak terlalu berpengaruh. Ditandai dengan tetanpnya struktur kristal untuk
setiap variasi konsentrasi x, dan harga parameter kisi yang tidak mengalami
perubahan secara signifikan.
125
Tabel 4.2. Hasil refinement GSAS sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
Sampel a(Å) b(Å) c(Å) Β χ2 wRp Densitas
(g/cm3)
La0,67Ba0,33MnO3 5,538 5,534 7,830 89,922 1,239 0,077 6,678
La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 5,534 5,538 7,829 89,955 1,187 0,079 6,676
La0,67Ba0,33Mn0,96Ti0,04O3 5,550 5,520 7,812 90,097 1,265 0,083 6,690
La0,67Ba0,33Mn0,94Ti0,06O3 5,560 5,513 7,804 90,166 1,321 0,082 6,689
4.3. Karakterisasi Sifat Magnet Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
Sifat magnet sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dikarakterisasi dengan
menggunakan permagraf. Kurva histerisis hasil karakterisasi permagraf sampel
La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dengan variasi harga x dapat dilihat dalam Gambar 4.21
sampai dengan Gambar 4.24.
126
-2000 -1500 -1000 -500 0 500 1000 1500 2000
-0.15
-0.10
-0.05
0.00
0.05
0.10
0.15
J(T
)
H(kA/m)
La0,67
Ba0,33
MnO3
Gambar 4.21. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33MnO3
127
-2000 -1500 -1000 -500 0 500 1000 1500 2000
-0.15
-0.10
-0.05
0.00
0.05
0.10
0.15
J(T
)
H(kA/m)
La0,67
Ba0,33
Mn0,98
Ti0,02
O3
Gambar 4.22. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3
128
-2000 -1500 -1000 -500 0 500 1000 1500 2000
-0.06
-0.04
-0.02
0.00
0.02
0.04
0.06
J(T
)
H(kA/m)
La0,67
Ba0,33
Mn0,96
Ti0,04
O3
Gambar 4.23. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ti0,04O3
129
-2000 -1500 -1000 -500 0 500 1000 1500 2000
-0.04
-0.02
0.00
0.02
0.04
J(T
)
H(kA/m)
La0,67
Ba0,33
Mn0,94
Ti0,06
O3
Gambar 4.24. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ti0,06O3
Bentuk kurva histerisis hasil permagraf pada Gambar 4.21 sampai dengan
Gambar 4.24 menunjukkan bahwa sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 termasuk
material soft magnetic. Gambar tersebut juga memperlihatkan adanya harga
saturasi yang cenderung menurun seiring dengan meningkatnya nilai komposisi x
pada sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3. Agar lebih jelas kurva histerisis sampel
La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dapat dilihat pada Gambar 4.25.
130
-2000 -1500 -1000 -500 0 500 1000 1500 2000
-0.15
-0.10
-0.05
0.00
0.05
0.10
0.15
J(T
)
H(kA/m)
x=0
x=0,02
x=0,04
x=0,06
Gambar 4.25. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dengan variasi x
131
0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06
0.04
0.06
0.08
0.10
0.12
0.14
Sa
tura
si (T
)
Variasi x
Gambar 4.26. Grafik medan saturasi terhadap variasi x
4.4. Karakterisasi VNA Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
Kurva reflection loss (RL) sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 ditunjukkan
pada Gambar 4.27 sampai dengan Gambar 4.30. Berdasarkan kurva RL sampel
La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 , harga frekuensi dan reflection loss saat absorpsi
maksimum dapat di lihat pada Tabel 4.3.
132
8 9 10 11 12
-10
-8
-6
-4
-2
0
2R
eflection L
oss (
dB
)
Frekuensi (GHz)
La0,67
Ba0,33
MnO3
Gambar 4.27. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33MnO3
133
8 9 10 11 12
-14
-12
-10
-8
-6
-4
-2
0
2R
efle
ctio
n L
oss (
dB
)
Frekuensi (GHz)
La0,67
Ba0,33
Mn0,98
Ti0,02
O3
Gambar 4.28. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3
134
8 9 10 11 12
-15
-10
-5
0
Re
flect
ion
Loss
(dB
)
Frekuensi (GHz)
La0,67
Ba0,33
Mn0,96
Ti0,04
O3
Gambar 4.29. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ti0,04O3
135
8 9 10 11 12
-15
-10
-5
0
Re
flect
ion
Loss
(dB
)
Frekuensi (GHz)
La0,67
Ba0,33
Mn0,94
Ti0,06
O3
Gambar 4.30. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ti0,06O3
136
8 9 10 11 12
-14
-12
-10
-8
-6
-4
-2
0R
efle
ctio
n L
oss (
dB
)
Frekuensi (GHz)
x=0
x=0,02
x=0,04
x=0,06
Gambar 4.31. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
Tabel 4.5. Reflection Loss (RL) sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
Sampel Frekuensi (GHz) RL (dB)
X = 0 11,45 -5,79
X = 0,02 11,46 -13,26
X = 0,04 11,40 -11,20
X = 0,06 11,40 -12,90
Dari Gambar 4.31 dan Tabel 4.5. terlihat bahwa sampel dengan variasi
konsentrasi x = 0,02 atau La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 memiliki sifat absorpsi yang
terbaik, dengan nilai reflection loss optimum -13,26 dB pada daerah frekuensi
11,46 GHz.
137
4.5. Pembuatan Nano Partikel Sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,03Ti0,03 Melalui
Proses Sonikasi
Ukuran partikel sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,03Ti0,03 setelah milling selama
40 jam di ukur dengan PSA (particle size analyser), hasilnya dapat dilihat pada
Gaambar 4.32. Dari Gambar 4.32 diperoleh ukuran partikel rata-rata sebesar 5016
nm.
Gambar 4.32. Ukuran partikel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 setelah proses milling 40 jam
Gambar 4.33 memperlihatkan ukuran partikel setelah proses re-milling
selama 10 jam. Ukuran partikel rata-rata sampel setelah proses re-milling 10 jam
diperoleh sebesar 2886 nm. Setelah sampel di re-milling selanjutnya dilakukan
proses sonikasi terhadap sampel selama 3 jam. Dari proses sonikasi diperoleh
d=5016 nm
138
ukuran partikel rata-rata sampel sebesar 358,3 nm (Gambar 4.34). Hasil ini
membuktikan bahwa proses sonikasi efektif untuk memperkecil ukuran partikel.
Gambar 4.34. Ukuran partikel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 setelah proses remilling 10
jam
d=2886 nm
139
Gambar 4.35. Ukuran partikel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 setelah proses sonikasi
Sampel yang telah melalui prose re-milling dan sonikasi selanjut dikarakterisasi
sifat magnetnya dengan menggunakan VSM. Gambar 4.36 menunjukan perbandingan
kurva histerisis antara sampel yang telah melalui proses re-milling dan proses sonikasi.
Dari Gambar 4.36 memperlihatkan bahwa harga saturasi tetap dan penurunan koersifitas
meskipun kecil.
d=358,3 nm
140
-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4M
(em
u/g
ram
)
H(Tesla)
remilling
sonikasi
Gambar 4.36. Kurva histerisis La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 setelah proses remilling dan
sonikasi
141
Gambar 4.37 menunjukkan serapan yang diperoleh sampel setelah proses
sonikasi. Terlihat bahwa serapan tertinggi terjadi pada frekuensi 11,4 GHz dengan nilai
reflection loss maksimum sebesar 24,44 GHz. Dari spectrum reflection loss ini
menunjukan bahwa nilai serapan semakin baik ketika ukuran partikel semakin mengecil.
8.0 8.5 9.0 9.5 10.0 10.5 11.0 11.5 12.0
-25
-20
-15
-10
-5
0
Re
fle
ctio
n L
oss (
dB
)
Frekuensi (GHz)
Gambar 4.37. Kurva Reflection Loss (RL) La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 setelah proses
sonikasi
142
4.6. Diskusi
Pola difraksi sinar X dan hasil refinement sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3,
(x = 0; 0,02; 0,04; dan 0,06) , menunjukkan bahwa sintesis system La0,67Ba0,33Mn1-
xTixO3, (x = 0; 0,02; 0,04; dan 0,06) tersebut telah berhasil membuat sampel satu
fasa dengan struktur kristal monoklinik. Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3, (x = 0;
0,02; 0,04; dan 0,06) fasa tunggal diperkuat dengan hasil pengamatan SEM
(Gambar 4.38) yang memperlihatkan morfologi permukaan sampel.
Gambar 4.38. Morfologi permukaan sampel x = 0,02
143
Gambar 4.39. Morfologi permukaan sampel x = 0,04
Gambar 4.39. Morfologi permukaan sampel x = 0,06
144
Berdasarkan referensi [5], bahan lanthanum manganat LaMnO3 memiliki
sifat antiferomagnet atau paramagnet isolator. Ketika kedudukan Mn3+
sebagian
disubstitusi oleh ion divalent Ba2+
komposisinya menjadi La1-xBaxMnO3 dengan
keadaan oksidasi La1-x3+
Bax2+
Mn1-x3+
Mnx4+
O32-
maka ion Mn hadir sebagai ion
Mn3+
dan ion Mn4+
. Electron 3d4+
dari ion Mn3+
bersifat mobile karena ada
kelebihan satu electron dibanding dengan electron 3d3+
dari ion Mn4+
yang
terlokalisasi. Electron bebas dari ion Mn3+
inilah yang dapat melompat melalui
ion O2-
menuju tetangganya ion Mn4+
, karena keadaan oksidasinya berbalik maka
lompatan tersebut dapat terus berlangsung (Gambar 2.24). Proses interaksi ini
menyebabkan bahan bertransisi menjadi feromagnet metalik. Dalam eksperimen
ini dapat dilihat bahwa kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33MnO3 merupakan bahan
yang bersifat feromagnet (Gambar 2.11). Kurva histerisis La0,67Ba0,33MnO3
menunjukkan harga koersifitas yang sangat kecil sehingga bahan ini termasuk
material feromagnet lunak (soft magnetic) [25]. Begitu pula dengan kurva
histerisis seluruh sampel lainnya memiliki koersifitas kecil yang mengindikasikan
bahwa seluruh sampel termasuk material soft magnetic.
Kurva histerisis hasil karakterisasi sampel La0,67Ba0,33MnO3 yang didoping
dengan Ti pada site Mn, menunjukkan adanya kecenderungan penurunan harga
magnetisasi seiring bertambahnya doping Ti. Hal ini dimungkinkan ketika sampel
didoping Ti mengakibatkan ion Mn3+
menjadi berkurang, sehinga interaksi double
exchange antara ion Mn3+
dan Mn4+
yang berkontribusi terhadap terjadinya
fenomena feromagnet pun berkurang. Keadaan oksidasi sampel menjadi
La0,673+
Ba0,332+
Mn0,67-x3+
Tix3+
Mn0,334+
O3. Pada kondisi ini hadir pula interaksi
super exchange menandai adanya sifat antiferomagnetnya bertambah. Jika kita
kembalikan ke definisi bahwa magnetisasi adalah jumlah momen magnet per
satuan volume maka jumlah momen magnet pada sampel berkurang seiring
bertambahnya harga x.
145
Untuk sampel LBMO dengan doping Ti menunjukkan bahwa penambahan
konsentrasi doping Ti tidak memberikan perubahan absorpsi yang signifikan.
Padahal dari hasil karakterisasi magneticnya diperoleh bahwa magnetisasi
menurun seiring bertambahnya harga x, hal ini mengindikasikan bahwa sampel
LBMO doping Ti memiliki sifat listrik yang meningkat. Kemungkinan ini
diperkuat dengan hasil penelitian pengujian sampel dengan menggunakan four
point probe . Pengukuran ini dilakukan ketika tidak ada medan eksternal (H=0)
dan dilakukan pada suhu ruang. Nilai resistivitas (ρ) sampel La0,67Ba0,33Mn1-
xTixO3 dapat dilihat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Nilai resistivitas sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 Resistivitas (Ohm.cm)
X=0 96
X=0,02 178
X=0,04 365
X=0,06 1612
Dari data Tabel 4.8 diplot menjadi grafik yang dapat dilihat pada Gambar 4.40.
146
0 0,02 0,04 0,06
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
1600
1800
Re
sis
tivita
s (
Oh
m.c
m)
Sampel variasi X
Gambar 4.40. Grafik perubahan resistivitas terhadap variasi x pada sampel
La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3
147
BAB 5
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah
1. Sampel fasa tunggal La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 untuk seluruh variasi harga x
telah berhasil disintesa. Berdasakan hasil refinement diketahui bahwa
struktur kristal sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 adalah monoklinik dengan
space group I 1 2/c 1.
2. Bentuk kurva histerisis hasil permagraph menunjukkan bahwa sampel
La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 termasuk material soft magnetic. Kurva histerisis
sampel juga memperlihatkan adanya kecenderungan harga saturasi
semakin menurung seiring dengan meningkatnya harga x.
3. Seluruh sampel memperlihatkan adanya absorpsi gelombang mikro pada
rentang frekuensi 8 -12 GHz. Performa absorpsi gelombbang mikro yang
terbaik adalah sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3. Reflection loss
maximumnya adalah -13,26 dB saat frekuensi 11,46 GHz.
4. Proses sonikasi daya tinggi secara efektif mampu memperkecil ukuran
partikel sampel, dari ukuran partikel rata-rata 2886 nm menjadi 358,3 nm
5. Karakteristik serapan semakin baik ketika ukuran partikel mengecil yakni
reflection loss maksimumnya -24,44 dB pada frekuensi 11,4 GHz.
148
REFERENSI
[1] J. Zhang, F. Wang, P. Zhang, and Q. Yan, “Effect of Fe doping on
magnetic properties and magnetoresistance in La1.2Sr1.8Mn2O7,” J.
Appl. Phys. 86, pp. 1604-1606, 1999.
[2] A. Tiwari and K. P. Rajeev, “Metal-insulator in La0.67Sr0.33Mn1-xFexO3,”
J. Appl. Phys. 86 , pp. 5175-5178, 1999.
[3] A. R. Dinesen, “Magnetocaloric and magnetoresistive properties
La0.67Ca0.33-xSrxMnO3,” Disertasi: Technical University of Denmark, 2004.
[4] V. Goldschmidt, Geochemistry, Oxford University Press, 1958.
[5] P. Norby, I. G. Krogh Andersen, E. K. Andersen, and N. H. Andersen,
“The crystal structure of lanthanum manganate (III), LaMnO3, at room
temperature and at 1273K under N2,” J. Solid State Chem. 119 , pp. 191-
196, 1995.
[6] A. Urushibara, Y. Moritomo, T. Arima, A. Asamitsu, and Y. Tokura,
“Insulator-metal transition and giant magnetoresistance in La1-xSrxMnO3,”
Physical Review B 51, pp. 14103–14109, 1995
[7] H. L. Ju, Y. S. Nam, J. E. Lee, and H. S. Shin, “Anomalous magnetic
properties and magnetic phase diagram of La1-xBaxMnO3,” J. Magnetism
& Mag. Mat. 219 , pp. 1-8, 2000.
[8] I. A. Serrano, M. L. Lopez, C. Pico, and M. L. Veiga, “CMR in a
manganite with 50% of Ti in the Mn sites,” Solid State Sciences 8, pp. 37-
43, 2006.
[9] H. Jifan and H. Qin, “Enhancement of room temperature
megnetoresistance in La0.67Sr0.33Mn1-xTixO3 manganites," J. Mat. Sci.
Eng. B 90, pp. 146-148, 2002.
149
[10] K. S. Zhou, D. Wang, L. S. Yin, D. M. Kong, and K. L. Huang, The
Chinese Journal of Nonferrous Metals 16 , pp. 754-757, 2006.
[11] K. S. Zhou, D. Wang, K. L. Huang, L. S Yin, Y. P. Zhou, and S. H. Gao,
“Characteristics of permittivity and permeability spectra in range of 2-18
GHz microwave frequency for La1-xSrxMn1-yByO3 (B = Fe, Co, Ni),”
Trans. Nonferrous Met. Soc. China 17 , pp. 1294-1299, 2007.
[12] K. S. Zhou, J. Deng, L. S. Yin, S. H. Mao, and S. H. Gao, “Microwave
absorbing properties of La0.8Ba0.2MnO3 nanoparticles,” Trans.
Nonferrous Met. Soc. China 17 , pp. 947-950, 2007.
[13] Y. L. Cheng, J. M. Dai, D. J. Wu, and Y. P. Sun, “Electomagnetic and
microwave absorption properties of carbonyl iron/La0.6Sr0.4MnO3
composites,” J. Magnetism and Magnet Mat. 322, pp. 97-101, 2010.
[14] D. I. Kim, S. J. Kim, and J. M. Song, “Dependence on preparation
temperature of the microwave absorption properties in absorbers for
mobile phones,” J. Korean Phys. Soc 43, pp. 269-272, 2003.
[15] L. W. Deng, J. J. Jiang, S. C. Fan, Z. K. Feng, W. Y. Xie, X. C. Zhang,
and H. H. He, “GHz microwave permeability of CoFeZr amorphous
materials synthesized by two-step mechanical alloying,” J. Magnetism
and Magnet Mat. 264, pp 50-54, 2003.
[16] M. R, Meshram, N. K. Agrawal, B. Sinha, and P. S. Misra, “A syudy on
the behavior of M-type barium hexagonal ferrite based microwave
absorbing paints,” Bull. Mater. Sci. 25, pp. 207-214, 2001.
[17] Y. L. Cheng, J. M. Dai, X. B. Zhu, D. J. Wu, Z. R. Yang, and Y. P. Sun,
“Enhanced microwave absorption properties of intrinsically core/shell
structured La0,6Sr0,4MnO3 nanoparticles,” Nanoscale Res. Lett. 4, pp.
1153-1158, 2009.
[18] L. Lu, Mechanical Alloying, Singapore, 2009.
150
[19] D. A. Cobley and P. T. Mason, (den 23 March 2010). I-Connect007.
Hämtat från I-Connect007: http://www.pcbdesign007.com den 10 June
2013
[20] C. Kittle, Introduction Solid State Physic, Addison Wesley, 1994
[21] M. Hikam, Kristalografi dan Teknik Difraksi, Universitas Indonesia ,2007.
[22] A. Beiser, Modern Physics, 1987.
[23] B. D..Cullity, Element of XRD, Addison Wesley, 1956.
[24] GSAS Manual
[25] W. D. Callister, Material Science and Engineering, Wiley and Son ,2000.
[26] G. Bertotti, Hysteresis in Magnetism for Physicists, Materials Scientists,
and Engineers, 1998.
[27] P. R. Soni, Mechanical Alloying Fundamentals and Applications, 2001.
[28] Suryanarayana, Mechanical Alloying and Milling, 2004.
[29] M. S. El-Eskandarany, Mechanical Alloying for Fabrication of Advanced
Engineering , 2001.
[30] T. Heielscher, ”Ultrasonic Production of Nano-Size Dispersions and
Emulsions, Dans European Nano Systems Workshop, 2005.
[31] A. Primo, A. Corma, and H. Garcia, ” Titania supported gold nanoparticles
as photocatalyst,” Physical Chemistry Chemical Physics 13, pp. 886-910,
2011.
[32] T. Prozorov, R. Prozoro, and K. S. Suslick, ”High Velocity Interparticle
Collisions Driven by Ultrasound, American Chemical Society 126, pp.
13890-13891, 2004.
151
[33] Y. C. Qing, W. C. Zhou, S. Jia, F. Luo, and D. M. Zhu, “Electromagnetic
and microwave absorption properties of carbonyl iron and carbon fiber
filled epoxy/silicone resin coatings,” Appl. Phys. A 100, pp. 1177-1181,
2010
[34] N. Andersson, R. Andersson, V. Bergman, M. Ek, and K. Mamberg, Royal
Institute of Technology Stockholm Sweden, 2006.
[35] Y. Liu, D.J. Sellmyer, and D. Shindo, Handbook of Advance Magnetic
Materials, Springer , 2006.
[36] C. Zener, “Interaction between the d-shells in the transition metal. II.
Ferromagnetic compound of manganese with perovskite structure,” J.
Phys. Rev. 82 , pp. 403-405, 1951.
[37] M. B. Salamon, “The physics of manganites: structure and transport,”
Review of Modern Physics 73 ,2001.
[38] J.C. Chapman, Phase Coexistence in Manganites, University of
Cambridge, 2005.
[39] P. W. Anderson and H. Hasegawa, “Consideration on double exchange,’
Physical Review 100 , pp. 675–681, 1955
[40] P. G. de Gennes, “Effect of double exchange in magnetic crystals,”
Physical Review 118 , pp. 141-154, 1960.
[41] P. W. Anderson, “ Antiferromagnetism, Theory of superexchange,” Phys.
Rev. 75 ,1950.
[42] Ismunandar, Kimia Anorganik, 2004
[43] G. H. Jonker and J. H. van Santen, “Ferromagnetic compound of
manganese with perovskite structure,” Physica XVI , pp. 337-349, 1950.
152
[44] S. V. Trukhanov, “Magnetic and magnetotransport properties of
La1-xBaxMnO3-x/2 perovskite manganites,” J. Mat. Chem. 13 , pp. 347-
352, 2003.
[45] P. Schiffer, A. P. Ramirez, W. Bao, and S. W. Cheong, “Low temperature
magnetoresistance and the magnetic phase diagram of La1-xCaxMnO3,”
Phys. Rev. Lett. 75 , pp. 3336-3339, 1995
[46] H. L. Ju, Y. S. Nam, J. E. Lee, H. S. Shin, “Anomalous magnetic
properties and magnetic phase diagram of La1-xBaxMnO3,” J. Magnetism
& Mag. Mat. 219 , pp 1-8, 2000.
[47] ITU International Telecommunications Union. Hämtat från International
Telecommunications Union: http://www.itu.int, den 20 November 2013.
[48] K. E. Haque, ”Microwave energy for mineral treatment processes—a brief
review,” International Journal of Mineral Processing 57, pp. 1-24, 1999.
[49] Agilent Technology, Basic of measuring dielectric properties of materials.
Agilent, 2006.
[50] A. J. Moulson and J. M. Herbert, Electroceramics 2nd Edition: Materials.
Properties. Application. England: John Wiley and Sons, 2003.
[51] Y. Liu, , D. J. Sellmyer, and D. Shindo, Handbook of advance magnetic
material Vol 1: Nanostructural effects. New York: Springer, 2006.
[52] NDT Education. About Us: Nondestructive Testing (NDT) Education
Resource Center. Hämtat från Nondestructive Testing (NDT) Education
Resource Center: http://www.ndt-ed.org, den 9 May 2013
[53] J. R. Truedson, K. D. McKinstry, P. Kabos, and C. E. Patton, ”High-field
effective linewidth and eddy current losses in moderate conductive single-
crystal M-type barium hexagonal ferrite disks at 10-60 GHz,” Journal
Applied Physics 74, pp 1-8, 1993.
153
[54] E. P. Wohlfart, Handbook of magnetic material Vol.3. Netherlands: North-
Holland, 1982.
[55] U. Ozgur, Y. Alivov, and H. Morkoc, ”Microwave ferrites, part 1:
fundamental properties,” Journal of Matererial Sciences: Material and
Electronic 20, pp.789–834, 2009.
[56] E.F. Schloemann, ”Intrinsic low-field loss in microwave ferrites,”
Magnetics, IEEE Transactions, 34, pp.3830-3836,2008.
[57] M. V. Akhterov, Microwave Absorption in Nanostructures. Santa Cruz:
University of California, 2010.
[58] A. M. Nicolson and G. F. Ross, ”Measurement of the intrinsic properties
of materials by time-domain techniques,” IEEE Transaction on
Intrumentation and Measurement 19, pp. 377-382, 1970