160

LAPORAN PENELITIAN BERBASIS PUBLIKASI INTERNASIONALrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/32214/1/laporan... · bahwa semakin kecil ukuran partikel maka sifat absorbsinya

  • Upload
    buique

  • View
    230

  • Download
    2

Embed Size (px)

Citation preview

LAPORAN PENELITIAN BERBASIS PUBLIKASI INTERNASIONAL

DISAIN MATERIAL ABSORBER GELOMBANG

MIKRO SENYAWA DASAR (La, Ba)(Mn, Ti)O3

MELALUI PROSES PENGAHALUSAN MEKANIK

DAN SONIKASI DAYA TINGGI

SITTI AHMIATRI SAPTARI

19770416 2005 01 2 008

PROGRAM STUDI FISIKA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2014

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah Azza Wa Jalla, Robb Alam Semesta. Yang

tidak ada ilah yang pantas disembah kecuali Allah. Yang seluruh detail alam

semesta bersaksi bahwa pernyataan tersebut adalah benar adanya. Kemudian

sholawat dan salam semoga tercurah bagi Muhammad bin Abdullah, satu-satunya

manusia yang mendahului manusia dalam setiap kebaikan. Tidak ada satupun

kebaikan kecuali kita telah diajarkan dan tidak ada satupun kebaikan kecuali kita

telah dilampaui oleh Rosulullah saw.

Penulis bersyukur kepada Allah SWT karena hanya atas rahmat dan

petunjuk-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana

penelitian ini

Penulis sadar bahwa laporan hasil penelitian ini tidak luput dari

kekurangan, namun penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi

masyarakat luas.

Jakarta, Desember 2014

Sitti Ahmiatri Saptari

iv

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………………………………… ii

Abstrak ……………………………………………………………………… iii

Daftar Isi ……………………………………………………………………. iv

Bab 1 Pendahuluan ………………………………………………………… 1

1.1. Latar Belakang ……………………………………………………….... 1

1.2. Rumusan Masalah ……………………………………………………. 2

1.3. Tujuan Penelitian ……………………………………………………… 4

1.4.Batasan Penelitian ……………………………………………………… 4

1.5.Manfaat Penelitian ……………………………………………………… 4

Bab 2 Tinjauan Pustaka …………………………………………………….. 5

2.1. Struktur Kristal ………………………………………………………… 5

2.2. Teori Dasar Sinar X …………………………………………………… 11

2.3. Metode Analisis Rietvield ……………………………………………… 19

2.4. Magnetisasi Material …………………………………………………… 23

2.5. Mechanical Alloying …………………………………………………… 27

2.6. Sonikasi ………………………………………………………………… 30

2.7. Absorpsi Gelombang Elektromagnet ………………………………….. 33

2.8. Gelombang Mikro ……………………………………………………… 40

2.9. Scanning Electron Microscope …………………………………………. 41

2.10. Teori Double Exchange ………………………………………………. 44

2.11. Teori Interaksi Superexchange ………………………………………… 47

2.12. Ligand Field Theory …………………………………………………… 48

2.13. Lantanum Manganat …………………………………………………… 53

2.14. Mekanisme Serapan Gelombang Mikro ……………………………….. 60

Bab 3 Metode Penelitian ……………………………………………………. 79

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian …………………………………………. 79

3.2. Alat dan Bahan …………………………………………………………. 82

3.3. Preparasi Pembentukkan Fasa Tunggal ………………………………… 83

3.4. Karakterisasi Sampel …………………………………………………… 89

Bab 4 Hasil dan Pembahasan ……………………………………………….. 103

v

4.1. Karakterisasi TGA Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 ……………………. 103

4.2. Karakterisasi XRD Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 …………………… 115

4.3. Karakterisasi Sifat Magnet Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 …………… 125

4.4. Karakterisasi VNA Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 …………………… 131

4.5. Pembuatan Nano Partikel Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3

Melalui Prosese Sonikasi …………………………………………... 137

4.6. Diskusi …………………………………………………………………. 142

Bab 5 Kesimpulan …………………………………………………………… 147

Referensi ……………………………………………………………………. 148

iii

ABSTRAK

Judul : Disain Material Absorber Gelombang Mikro Senyawa Dasar (La,

Ba)(Mn, Ti)O3 Melalui Proses Penghalusan Mekanik dan Sonikasi

Daya Tinggi

Beberapa tahun terakhir ini, polusi interferensi gelombang elektromagnet

cukup serius muncul akibat perkembangan yang pesat dari bisnis alat komunikasi,

seperti telepon selular dan sistem radar. Hal ini dapat menyebabkan terganggunya

sistem peralatan berbasis elektronik dan sistem keamanan yang sangat vital.

Material lantanum manganat La1-xAxMnO3 (A : Sr, Ba, Ca) telah beberapa

dekade ini menjadi topik riset yang menarik bagi para peneliti. Hal ini disebabkan

karena sifat magnetik dan transport yang tidak biasa, sehingga lantanum manganat

dapat menjadi kandidat yang potensial sebagai material penyerap gelombang

mikro pada frekuensi tinggi.

Sintesa senyawa La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 (x = 0, 0,02, 0,04, dan 0,06)

dengan metode reaksi padatan mekanisme penghalusan mekanik telah berhasil

dilakukan. Karakterisasi XRD (X Ray Diffraction) menunjukkan bahwa seluruh

sampel adalah fasa tunggal dengan struktur krisatal monoklinik. Tahap

berikutnya material disonikasi selama 5 jam, sehingga ukuran partikel rata-rata

mengecil dari 5,02 µm menjadi 0,36 µm. Kurva histerisis sampel dari hasil

karakterisasi permagraph menunjukkan bahwa sampel termasuk material magnet

lunak. Ditemukan pula bahwa ketika ukuran partikel rata-rata mengecil maka

harga saturasinya naik dan medan koersitifitasnya menurun. Sifat penyerapan

gelombang mikro sampel diteliti dengan menggunakan VNA (Vector Network

Analyzer) pada rentang frekuensi 8 – 12 GHz. Nilai Reflection Loss optimum

diperoleh pada frekuensi 11,4 GHz sebesar -13,6 dB untuk sampel dengan

penghalusan mekanik saja, dan -24,4 dB untuk sampel dengan dua kali proses

yakni penghalusan mekanik dan sonikasi daya tinggi.

Kata kunci: material absorber, lanthanum manganat, penghalusan mekanik,

sonikasi, ukuran partikel

iv

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Material perovskite lantanum manganat La1-xAxMnO3 (A : Sr. Ba. Ca)

telah beberapa dekade ini menjadi topik riset yang menarik bagi para ilmuwan.

Hal ini disebabkan karena sifat magnetik dan transport yang tidak biasa, serta

adanya fenomena magnetoresistansi yakni perubahan resistansi listrik ketika ada

medan magnet eksternal [1-8]. Sifat magnetoresistensi ini diaplikasikan untuk

sensor magnetik dan juga penyimpanan data (data storage) [9]. Selain itu.

material lantanun manganat juga memiliki sifat serapan gelombang mikro

sebagaimana hasil penelitian Zhou dkk [10-12]. Mereka merekayasa struktur

LMO dengan menggantikan secara parsial La dengan Sr dan Mn dengan Fe.

Rekayasa struktur senyawa tersebut telah melahirkan sifat baru disamping GMR

atau CMR yaitu memiliki kemampuan menyerap gelombang elektromagnetik

khususnya pada jangkauan frekuensi ultra tinggi (GHz).

Di sisi lain, perkembangan teknologi khususnya pada bidang elektronik,

telekomunikasi, dan teknologi informasi (TI) telah dan sedang berjalan begitu

pesat pada akhir-akhir ini dan telah ikut mempengaruhi kehidupan dan aktivitas

manusia sehari-hari. Tidak dapat disangkal lagi, pengenalan teknologi komunikasi

semakin canggih. Berbagai jenis perangkat teknologi media elektronik dan

informasi dalam era globalisasi seperti saat ini maka penggunaan gelombang

elektromagnetik (EM) berbagai frekuensi khususnya frekuensi tinggi semakin

intensif. Dapat dipastikan sebagai implikasi langsung dari masuknya teknologi-

teknologi canggih pada bidang elektronik, komunikasi, dan informasi tersebut,

atmosfir sekitar aktivitas kehidupan manusia sudah dan akan terpolusi oleh

pembawa gelombang elektromagnetik (EM) termasuk EM dengan frekuensi ultra

tinggi (GHz). Implikasi negatif dari perkembangan pesat tersebut adalah berbagai

sistem peralatan berbasis elektronik seperti sistem kontrol elektronik dan sistem

keamanan peralatan yang sangat vital bahkan keselamatan dan kesehatan manusia

2

kini menghadapi suatu ancaman baru datang dari atmosfir sekitar yaitu

interferensi gelombang elektromagnetik atau Electromagnetic Interferences (EMI)

[13-15].

Sebagai contoh, berbagai peralatan elektronik dan telekomunikasi seperti

komunikasi nirkabel (wireless communication), jaringan area terbatas. maupun

aplikasi pada transportasi udara dan sistem pertahanan udara militer (deteksi

RADAR) dapat terganggu berupa interupsi yang menyebabkan tidak berfungsinya

atau terganggunya system [16]. Tidak terkecuali juga sistem kontrol elektronik

baik itu pada kegiatan industri maupun kegiatan keselamatan dan kesehatan di

rumah sakit ikut terancam oleh efek EMI. Jelaslah pada masa-masa mendatang

penggunaan gelombang-gelombang elektromagnetik pada berbagai jangkau

frekuensi akan makin intensif dan ancaman EMI pada kehidupan manusia

semakin nyata.

Sejalan dengan perkembangan baru yang memberi dampak positif dan

negatif pada kehidupan manusia tersebut maka diperlukan berbagai usaha untuk

tetap bisa mengakomodir masuknya teknologi baru namun secara bersamaan juga

diperlukan usaha-usaha penyeimbangan dan perbaikan untuk meminimalkan

dampak negatifnya. Sebagai seorang peneliti dalam bidang Ilmu Material.

pengusul ikut terpanggil untuk dapat berpartisipasi dan berkontribusi dalam

mencari solusi terhadap dampak negatif dengan memperkenalkan material

penyerap gelombang elektromagnetik. Dalam kegiatan ini pengusul mengusulkan

suatu kegiatan penelitian dengan judul “Disain Material Absorber Gelombang

Mikro Senyawa Dasar (La.Ba)(Mn.Ti)O3 Melalui Penghalusan Mekanik dan

Sonikasi Daya Tinggi”, merupakan kegiatan sintesa material fokus pada rekayasa

struktur LMO menjadi senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan x = 0 – 1.0.

1.2. Rumusan Masalah

Penelitian yang dilakukan oleh Cheng dkk [17] menemukan bahwa

nanopartikel La0.6Sr0.4MnO3 yang dibuat dengan metode sol gel mampu

menyerap gelombang mikro. Daerah frekuensi yang diamati dari 1 GHz sampai

12 GHz. Reflection loss (RL) optimal -41.1 dB pada frekuensi 8.2 GHz dengan

3

ketebalan 2.2 mm, bandwidth dengan haga RLkurang dari -10 dB dicapai pada

daerah frekuensi 5.5-11.3 GHz. Dalam laporannya Cheng juga mengungkapkan

bahwa semakin kecil ukuran partikel maka sifat absorbsinya semakin baik. Oleh

karena itu pengusul mencoba membuat disain sintesa material penyerap

gelombang mikro yang mampu menghasilkan material dengan ukuran partikel

yang berskala nano.

Proses pemaduan mekanik atau mechanical alloying telah terbukti dapat

menjadi teknik alternatif dalam pembuatan alloy baik itu berbasis logam maupun

berbasis oksida logam seperti senyawa-senyawa oksida dalam material keramik.

Hasil penghalusan material dengan proses ini memerlukan perlakuan sintering

untuk melangsungkan reaksi padat atau solid state reaction. Sebagai produk akhir

dari proses ini adalah material dengan ukuran partikel dalam orde beberapa

mikron [18].

Prinsip dasar destruksi ultrasonik adalah terbentuknya gelembung vakum

(cavity) oleh gelombang ultrasonik pada cairan. Cavity yang terbentuk kemudian

collapse dengan kecepatan tinggi dan dapat menghasilkan tekanan dan temperatur

yang sangat tinggi. Jika terdapat partikel disekeliling cavity tersebut. maka saat

terjadi penghacuran cavity partikel-partikel akan bertumbukan dengan kecepatan

yang sangat tinggi dan memungkinkan terjadinya pengecilan ukuran karena energi

yang dihasilkan lebih besar dari energ ikat antar grain pada material kristalin yang

getas [19].

Oleh karena itu, dapat diduga kombinasi teknik pemaduan mekanik dan

sonifikasi dengan frekuensi berdaya tinggi tersebut diharapkan dapat

menghasilkan material yang berukuran nano partikel. Kedua teknik preparasi

material tersebut akan diterapkan pada sintesa material sistem La0.67Ba0.33Mn1-

xTixO3 dengan x = 0 – 0.06 untuk menghasilkan material elektrik-magnetik sistem

nanokomposit sebagai senyawa utama material penyerap gelombang mikro.

Karakterisasi material mencakup sifat sifat elektrik. magnetik dan absorpsi

gelombang mikro.

4

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut

a. Mensintesa senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan x=0–0.06 dengan

ukuran nanopartikel.

b. Mengetahui struktur kristal senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan x=0–

0.06.

c. Mengetahui karakteristik magnetik senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3

dengan x=0–0.06.

d. Mengetahui karakteristik absorpsi senyawa La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan

x=0–0.06.

1.4. Batasan Penelitian

Kajian penelitian ini hanya dibatasi pada pembuatan sampel dengan variasi

konsentrasi nilai x = 0 – 0.06. Selanjutnya sampel hanya dikarakterisasi dengan

PSA, SEM, XRD, Permagraph, VSM dan VNA.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini di lakukan dengan harapan mendapatkan material

nanopartikel La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 yang dapat diaplikasikan sebagai material

penyerap gelombang mikro.

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Struktur Kristal

Zat padat yang terdapat di alam ini bila ditinjau secara mikrostruktur dapat

dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu zat padat yang memiliki susunan

atom tidak teratur ( non kristal ) dan zat padat yang memiliki susunan atom yang

teratur (kristal) [20].

Kristal didefinisikan sebagai material padat yang letak atom-atomnya

membentuk barisan yang teratur rapih secara periodik dalam pola tiga dimensi,

sehingga memiliki sifat fisika maupun kimia serba sama di seluruh bagiannya,

adapun yang termasuk bahan-bahan kristal seperti: semua logam, sebagian besar

keramik dan beberapa polimer.

2.1.1. Kisi kristal

Cara paling sederhana untuk memahami kisi kristal adalah dengan

membayangkan atom-atom dalam kristal berupa titik-titik. Setiap titik-titik

mempunyai lingkungan yang serba sama, sehingga satu sama lain tidak dapat

dibedakan walaupun dipandang dari segala arah. Bila tiap-tiap titik tersebut

dihubungkan maka akan diperoleh kisi-kisi yang teratur dan periodik memenuhi

ruang. Gambar 2.1 adalah ilustrasi yang menunjukan kisi sebuah suatu sistem

kristal [21].

6

Gambar 2.1. Sistem dan kisi kristal

2.1.2. Parameter Kisi

Panjang tiap-tiap ruang sel yang searah dengan sumbu kristalografi disebut

dengan tetapan kisi (lattice constant), dan dinamakan dengan parameter kisi

sumbu a, b, dan c. Sudut yang dibentuk oleh garis bc, ac, dan ab berturut-turut

disebut dengan α, β, γ . Gambar 2.2 adalah ilustrasi dari parameter kisi.

7

Gambar 2.2. Parameter kisi

2.1.3. Sistem kristal

Terdapat tujuh sistem kristal yang dikembangkan menjadi empat belas kisi

bravais dalam pengelompokan struktur kristal. Pengelompokan ini berdasarkan

pada karakteristik unit selnya, antara lain sifat-sifat vektor basis, sudut antar

vektor basis dan karakteristik elemen simetrinya. Pada karakteristik unit sel

terdapat sifat-sifat geometri kristal antara lain ; indeks Miller, bidang kristal (hkl)

dan konstanta kisi. Pada Gambar 2.3 ditunjukkan tujuh system krsital berikut

pengembangan empat belas kisi bravaisnya.

8

Gambar 2.3 Tujuh sistem kristal dan 14-kisi bravais [20]

9

Tabel 2.1 Tujuh sistem kristal [21]

Sistem

Kristalografi

Panjang sumbu dan

sudut

Kisi Bravais Simbol

Kisi

Triklinik a ≠ b ≠ c

α ≠ β ≠γ =90 0

Simple P

Monoklinik a ≠ b ≠ c

α = β =90 0

≠ γ ataua ≠

b ≠ c

α = γ = 900 ≠ β

Simple

Base – centered

P

C

Ortorombik a ≠ b ≠ c

α = β =γ =90 0

Simple

Base centered

Face centered

Body centered

P

C

F

I

Tetragonal a = b ≠ c

α = β =γ =90 0

Simple

Body centered

P

I

Trigonal/

Rombohedral

a = b = c

α = β =γ ≠ 90 0 < 120

0

Simple P

Hexagonal a = b ≠ c

α = β = 90 0 γ =120

0

Simple P

Kubus a = b = c

α = β =γ =90 0

Simple

Face centered

Body centered

P

F

I

5

10

2.1.4. Indeks Miller

Misalkan x adalah fraksi perkalian dari vektor basis a, y adalah fraksi

perkalian dari vektor b dan z adalah perkalian dari vektor basis c, maka invers dari

ketiga fraksi dapat dikalikan dengan suatu bilangan sedemikian rupa sehingga

ketiga fraksi (triplet) menghasilkan bilangan bulat terkecil. Triplet atau set

bilangan bulat ini disebut indeks miller, diberi simbol (hkl). Hubungan ketiga

indeks miller ini akan membentuk bidang yang disebut dengan bidang Bragg.

Gambar 2.4. Bidang kristal pada berbagai indeks miller [21]

11

2.1.5. Jarak Bidang Kristal ( d )

Untuk mengetahui jarak antara bidang di dalam kristal adalah harus

mengetahui indeks miller dari bidang-bidang tersebut. Misalkan jarak antar

bilangan diberi symbol dhkl , maka secara matematis hubungan antara dhkl dengan

indeks miller basis kostanta kisi untuk sistem orthorombik, dapat ditulis sebagai

berikut:

(2.1)

dimana : h k l itu merupakan bidang kristalografi atau indeks miller.

2.2. Teori Dasar Sinar-X

Sinar-X adalah salah satu bentuk dari radiasi gelombang elektromagnetik

yang memiliki panjang gelombang antara 0,01 – 100 Ǻ. Karena berbentuk

gelombang maka energi yang dimiliki oleh foton sinar-X ini dapat dihitung

dengan menggunakan persamaan [22] berikut:

(2.2)

Dengan h konstanta planck ( 6,626 x 10-34

[J.s] ), c kecepatan cahaya ( 3 x 108

m/s) dan λ sebagai panjang gelombang [m]. Sehingga untuk sinar-X dengan

panjang gelombang 1 Ǻ ( 10-10

m ) akan memiliki energi sebesar 1,9898 x 10-15

Joule atau 12400,8 eV. Dengan energi yang demikian besar, sinar-X dapat

mengionisasi elektron terdalam dari beberapa unsur ringan seperti pada Tabel 2.2

[23]

12

Tabel 2.2 Energi ionisasi beberapa atom ringan

Atom Energi Ionisasi (eV)

I II III IV V VI VII

H 14 1

He 25 55 4

Li 5 76 123 9

Be 9 18 154 218 16

Be 8 25 38 260 341 25

C 11 24 48 64 393 492 36

N 14 30 48 78 98 523 668 49

Sinar-x ditemukan dengan tidak sengaja oleh seorang professor Fisika

Wilhelm K. Rontgen 8 November 1895 ketika sedang melakukan percobaan

dalam laboratorium yang berada di lantai dua apartemennya di Würzburg, Bavaria

(sekarang bagian dari German). Dia melakukan percobaan dengan menggunakan

tabung sinar katoda dengan sumber tegangan DC sebesar 20 Volt dan dengan

menggunakan koil dia dapat menaikan tegangan sampai 35000 Volt dengan cara

memutus secara periodik aliran arus ke rangkaian sebanyak 8 kali per detik. Dia

menyimpulkan bahwa radiasi dengan kemampuan tembus yang besar dapat

ditimbulkan jika elektron dengan energi kinetik yang besar menumbuk materi.

Radiasi ini dapat menembus bahan dengan mudah, menyebabkan bahan

fosforesen berkilau dan menghitamkan plat foto. Karena sifat-sifat dari radiasi ini

belum diketahui maka pada saat itu dinamakan sinar-X. Daya tembus sinar-X

akan bertambah dangan bertambahnya energi kinetik elektronnya, juga intensitas

yang makin besar dengan bertambahnya jumlah elektron.

13

Pada Gambar 2.5 diperlihatkan skema dari produksi sinar-X didalam

sebuah tabung katoda. Beda potensial Ua akan mempercepat gerakan elektron dari

katoda ke target anoda, sedangkan Uh menentukan banyaknya elektron yang

terlepas dari katoda. Elektron yang terlepas akan menumbuk target anoda

sehingga akan kehilangan sebagian besar atau seluruh energi kinetiknya ketika

mengalami tumbukan dengan dengan atom target; energi inilah yang berubah

menjadi sinar-X.

Gambar 2.5. Skema produksi sinar-X [23]

14

2.2.1. Brehmsstrahlung

Elektron yang bergerak cepat dari katoda akan mengenai target anoda dan

mengalami penghentian mendadak. Berdasarkan teori elektromagnetik, muatan

listrik yang mengalami percepatan akan meradiasikan gelombang elektromagnetik

dan elektron yang bergerak cepat yang tiba-tiba dihentikan jelas mengalami

percepatan. Sinar-X brehmsstrahlung atau “breaking radiation” merupakan

produksi sinar-x yang dihasilkan dari penghentian elektron yang bergerak dengan

kecepatan yang tinggi oleh inti atom target. Kekuatan sinar-x yang dihasilkan

merupakan selisih energi kinetik elektron mula-mula dan energi elektron setelah

mengalami penghentian. Gambar 2.6 menjelaskan bagaimana proses terjadinya

sinar-X bremsstarhlung dan spektrum sinar-X tungsten pada berbagai potensial

pemercepat [23].

Gambar 2.6. Sinar-X bremsstarhlung [23]

15

2.2.2 Sinar-X Karakteristik

Pada Gambar 2.7 terlihat dua puncak dengan intensitas yang tajam pada

panjang gelombang tertentu dari target unsur molybdenum. Puncak-puncak ini

timbul pada berbagai panjang gelombang tertentu untuk masing-masing bahan

target dan asalnya adalah penataan kembali struktur elektron atom target setelah

diganggu oleh tembakan elektron energi tinggi.

Gambar 2.7. Sinar-X karakteristik [23]

Elektron dari katoda yang bergerak dengan percepatan yang cukup tinggi,

dapat mengenai elektron dari atom target (anoda) sehingga menyebabkan elektron

tereksitasi dari atom, selanjutnya elektron lain yang berada pada sub kulit yang

lebih tinggi akan mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh elektron tersebut

dengan memancarkan sinar-X yang memiliki energi sebanding dengan selisih

level energi elektronnya.

16

Mekanisme munculnya K dan K adalah ketika kekosongan terjadi pada

kulit kulit-K (n=1), elektron dari kulit di atasnya (L, M, N dst) akan turun mengisi

kekosongan tersebut sambil memancarkan foton dengan energi yang merupakan

selisih energi dari kulit elektron asal (L,M,N dst) dan kulit-K . Sinar-X yang

dihasilkan oleh elektron dari L ke K dinamakan sinar-X Kα dan sinar-X Kβ untuk

dari M ke K. Sedangkan pada kulit-L akan menghasilkan sinar-X Lα untuk

transisi M ke L dan Lβ untuk transisi N ke L dan seterusnya. Sedangkan

kekosongan pada kulit yang ditinggalkan elektron untuk mengisi level energi

dibawahnya akan diisi oleh elektron dengan level energi yang ada diatasnya dan

seterusnya sehingga dihasilkan sinar-X dengan berbagai panjang gelombang.

2.2.3. X-Ray Diffractometer (XRD)

Pada tahun 1912, Max Von Laue menyatakan bahwa panjang gelombang

sinar-X ternyata bersesuaian dengan jarak antar atom-atom dalam kristal. Dengan

alasan itu dia mengusulkan untuk menggunakan kristal untuk mendifraksikan

sinar-X dengan kisi kristal berlaku sebagai kisi tiga dimensi.

Sebuah kristal terdiri dari deretan atom yang teratur letaknya, masing-

masing atom dapat menghamburkan gelombang elektromagnetik yang

mengenainya. Berkas sinar-X monokromatik yang jatuh pada sebuah kristal akan

dihamburkan ke segala arah, tetapi karena keteraturan letak atom-atom, pada arah

tertentu gelombang hambur itu akan berineraksi konstruktif sedangkan yang lain

berinteraksi destruktif. Atom-atom dalam kristal membentuk keluarga bidang

datar dengan masing-masing keluarga mempunyai jarak tertentu untuk tiap

komponen bidangnya. Analisis ini diusulkan oleh W. L. Bragg pada tahun 1913,

yang kemudian bidang-bidang tersebut dinamai bidang Bragg.

17

Ketika suatu bidang kristal disinari, maka akan terjadi dua kemungkinan

interferensi akibat difraksi atom-atom penyusun kristalnya; pertama interferensi

konstruktif: berkas sinar yang didifraksikan saling menguatkan karena

mempunyai fasa yang sama dan kedua intrferensi destruktif: berkas sinar yang

didifraksikan saling melemahkan. Kedua jenis interferensi tersebut dapat dilihat

pada Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Berkas sinar-x konstruktif dan destruktif [23]

18

Gambar 2.9. Hamburan sinar-X pada kristal

Syarat yang diperlukan agar sinar-X membentuk interaksi konstruktif

dapat dilihat pada Gambar 2.9 diatas. Suatu berkas sinar-X dengan panjang

gelombang λ jatuh pada kristal dengan sudut θ terhadap permukaan bidang

Bragg yang jarak diantaranya d. Berkas sinar mengenai atom Z pada bidang

pertama dan atom B pada bidang berikutnya, dan masing-masing atom akan

menghamburkan sebagian berkas tersebut pada arah rambang. Interferensi

konstruktif hanya terjadi antara sinar yang terhambur sejajar dengan beda jarak

jalannya tepat λ, 2 λ, 3 λ dan seterusnya. Jadi beda jarak jalan harus n λ, dengan

n sebagai bilangan bulat.

Maka syarat Bragg untuk berkas hamburan konstruktif adalah

- Sudut jatuh dan sudut hambur kedua berkas harus sama

- 2d sin θ = n λ ; n = 1, 2, 3, ... dst

karena sinar II harus menempuh 2d sin θ lebih jauh dari sinar I,

bilangan bulat n menyatakan orde berkas sinar yang dihamburkan.

19

Gambar 2.10 Skema XRD [23]

2.3. Metode Analisis Rietveld

Metode tradisional untuk melakukan analisis kualitatif dan kuantitatif pada

teknik Difraksi sinar-X biasanya melibatkan pengukuran intensitas dari puncak

yang terpilih dan membandingkannya dengan data standar seperti International

Committee Difraction Data (ICDD). Bagaimanapun, metoda ini sangat

membosankan, disamping memerlukan data standar yang sangat bervariasi pada

saat muncul keganjilan intensitas yang disebabkan oleh penyimpangan sudut.

Sehingga terkadang hasil analisisnya sulit untuk dipertanggungjawabkan.

Disamping itu pula metode ini tak dapat lagi memberikan hasil yang akurat jika

20

terdapat banyak puncak-puncak yang saling tumpang tindih (overlap) sehingga

akan menyebabkan hilangnya rincian informasi yang terkandung di dalam profil

puncak difraksi tersebut. Dengan demikian diperkenalkan metode baru untuk

menganalisis profil multifasa dari pola difraksi serbuk.

Dasar untuk analisis profil multifasa dari pola difraksi serbuk secara

lengkap pertama kali diperkenalkan oleh Rietveld tahun 1969. Rietveld

menunjukkan bahwa kemungkinan mereplika hasil sebuah pengukuran pola

difraksi dengan pola hitungan/kalkulasi. Kelebihannya adalah di kala terjadi

kesalahan yang disebabkan oleh penyimpangan intensitas dari preparasi cuplikan

atau ketidaksempurnaan model struktur cenderung akan meninggalkan sisa

intensitas baik negative maupun positif selama factor-faktor dari kalkulasi tersebut

tidak diubah oleh Taylor tahun 1991. Kemudian para peneliti lain seperti Hewat

tahun 1973, Wiles & Young tahun 1981, Will, Huang dan Parrish tahun 1983, Hill

dan Howard tahun 1986, dan Taylor tahun 1991 melengkapi hasil refinement

program Rietveld ini dengan memberikan sebuah parameter kualitas.

Setiap titik pada pola difraksi dipandang sebagai satu pengamatan tunggal

yang kemungkinan mengandung kontribusi dari sejumlah refleksi Bragg yang

berbeda. Pada setiap posisi sudut atau setiap titik pada profil pola difraksi, jumlah

kontribusi intensitas akibat overlap dapat dihitung berdasarkan nilai parameter-

parameter yang didapat dengan asas perhitungan Siroquant. Siroquant adalah

suatu program analisis multi fasa jenis Rietveld yang dapat mereplika pola

difraksi hasil pengukuran/observasi dengan memanfaatkan least-square fitting

routine, yaitu melakukan penyesuaian faktor skala sampai pola yang dihitung

terbaik mendekati pola difraksi yang terukur. Sehingga perbedaan yang dihasilkan

dari pola difraksi observasi dan kalkulasi ditandai dengan derajat tingkat

replikasinya. Derajat tingkat replika (degree of fit) dilambangkan dengan sebuah

parameter statistik χ2 (chi-squared). Idealnya nilai dari chi-squared χ

2 = 1. Namun

nilai ini sangat sulit dicapai, umumnya kurang dari 3. Namun program Rietveld

versi Izumi (1994) memberikan parameter lain, dimana goodness of fit yang

dilambangkan dengan parameter S terbaik kurang dari 1,3 [24].

21

2.3.1. Prinsip Dasar

Prinsip dasar analisis Rietveld adalah mencocokkan (fitting) profil puncak

perhitungan terhadap profil puncak pengamatan. Pencocokan profil tersebut

dilakukan dengan menerapkan prosedur perhitungan kuadrat terkecil non linear

yang diberi syarat batas. Jadi analisis Rietveld tidak lain adalah problem optimasi

fungsi non linear dengan pembatas (constraints). Sehingga minimumkan fungsi

obyektif dapat dinyatakan sebagai berikut :

2

1

( ) ( ) ( )N

i i i

i

f x w y o y c

(2.3)

dengan ( 1/ ( )) dan ( )i i iw y o y o berturut-turut adalah faktor bobot (weighting

factor) dan intensitas pengamatan (observation) pada posisi 2 i . Sedangkan yi(c)

merupakan intensitas perhitungan (calculation).

2.3.2. Persamaan Profile Pola Difraksi

Fungsi intensitas secara fisis yang dinyatakan :

2( ) ( ) ( )k k kI s F hkl ML (2.4)

dengan s, Fk(hkl), M, dan L berturut-turut adalah factor skala, factor struktur,

multiplisitas, dan faktor Lorentz-polarization. Persamaan tersebut menyatakan

bahwa banyaknya elektron akan didifraksikan hanya jika sudut hamburan ()

sama dengan sudut Bragg ( k ). Jadi fungsi intensitas tidak lain adalah persamaan

intensitas garis. Namun pada kenyataannya bahwa pengukuran intensitas difraksi

tersebut tidak terbentuk garis tetapi berupa puncak-puncak Bragg yang melebar.

22

Berdasarkan hasil pengembangan program analisis Rietveld ini bahwa

fungsi bentuk puncak merupakan fungsi pseudo-voigt yang telah dimodifikasi,

yakni kombinasi linear dari fungsi Gauss dan fungsi Lorentz dengan tinggi puncak

dan lebar penuh setengah tinggi puncak maksimum (FWHM) tidak sama. Fungsi

pseudo-Voigt yang telah dimodifikasi dituliskan sebagai berikut :

2

2 2

2 22 exp 4ln 2

( )

2 22 21 1 4 1

( ) tan

k

k

kk

k k

G CH G

AtH L

(2.5)

dengan

11

2 (1 ) ( )( )

4ln 2 2

kk

H LC H G

(2.6)

12 2( ) (tan ) (tan )k k s k sH G U C V C W

(2.7)

( )( ) k

k

H GH L

(2.8)

Pada persamaan-persamaan (2.5) hingga (2.8) di atas, = fraksi

komponen Gauss, ( )kH G = FWHM komponen Gauss, ( )kH L = FWHM

komponen Lorentz, 0sC atau 0,6 dan 2

2 21

tank

k

At

= faktor koreksi

bentuk puncak asimetris. Faktor koreksi bentuk asimetris perlu diberikan karena

pada sudut hamburan yang sangat rendah dan sangat tinggi, puncak-puncak

difraksi menjadi tidak simetris akibat terbatasnya divergensi vertikal berkas. A =

23

parameter asimetris dan t = konstanta yang diberi nilai +1, 0 atau -1 tergantung

pada apakah selisih (2 2 )k berturut-turut positif, nol atau negatif.

Persamaan (2.8) menyatakan ketergantungan ( )kH G pada k , U V dan W

disebut parameter FWHM. Bila korelasi antara parameter-parameter FWHM

sangat tinggi, maka sC sebaiknya diberi nilai 0,6. Dalam persamaan (2.6)

terdapat lima buah parameter variabel yakni : U, V, W, dan . Fungsi bentuk

puncak dapat diubah-ubah tergantung pada berapa nilai parameter . Jika = 1

bentuk puncak memenuhi fungsi Gauss dan bentuk puncak memenuhi fungsi

Lorentz jika diberi nilai 0. Parameter variabel memiliki daerah nilai : 0 1 .

Untuk pola difraksi neutron, profile puncak difraksinya tepat memenuhi fungsi

Gauss ( = 1).

Dengan demikian nilai intensitas profile pola difraksi pada posisi 2 i

dapat dihitung dengan mengalikan persamaan (2.3) dengan persamaan (2.5),

setelah dikoreksi dengan fungsi latar belakang ( )iby c dan fungsi orientasi

“preferred” kP , diperoleh :

2( ) ( ) ( ) (2 ) ( )i k k k k i ib

k

y c s F hkl M P L G y c (2.9)

k

melambangkan penjumlahan jika terdapat puncak-puncak Bragg yang saling

tumpang tindih. Penjumlahan dilakukan terhadap semua refleksi yang dianggap

masih dapat menyumbangkan intensitasnya pada ( )iy c [22].

2.4. Magnetisasi Material

Ketika suatu material ditempatkan pada medan magnet, maka material

tersebut akan mengalami magnetisasi. Momen magnet persatuan volume yang

terbentuk dalam material disebut magnetisasi M. Pada suatu material dengan n

24

magnetic dipole atomic elementer persatuan volume dengan masing-masing m

momen magnet, maka saat momen-momen ini tersusun secara paralel akan

memiliki magnetisasi yang disebut magnetisasi saturasi M [25]. Parameter yang

penting adalah suseptibilitas magnetic , yang menyatakan kualitas dari suatu

material magnetic, yang dirumuskan :

(2.10)

dimana H adalah kuat medan magnet eksternal.

Medan magnet dapat di deskripsikan sebagai dua vektor, yaitu induksi

magnet B dan medan magnet H yang memiliki hubungan seperti pada persamaan

dalam kondisi vakum berikut ini

(2.11)

Dimana adalah permeabilitas pada ruang vakum (4 x 10-7

Hz/m)

Ketika sebuah material diletakkan pada medan magnet, maka material tersebut

akan mengalami magnetisasi. Magnetisasi ini dinyatakan dengan vektor M, yang

menyatakan besaran momen magnet persatuan volume. Induksi magnetik didalam

material dinyatakan dengan

(2.12)

Jika magnetisasi diinduksi oleh medan magnet H, maka magnetisasi yang ada

akan berbanding lurus dengan medan magnet, yaitu :

25

(2.13)

Dimana koefisien disebut suseptibilitas magnetic material. Jadi persamaan B

dan H dapat dinyatakan dengan

(2.14)

Pada bahan ferromagnetic, nilai dan tidak memiliki nilai yang konstan.

Permeabilitas dan suseptibilitas sangat dipengaruhi oleh medan magnet luar.

Kurva magnetisasi mempresentasikan densitas fluks induksi magnet B terhadap

kekuatan medan magnet luar untuk bahan ferromagnetic dapat dilihat pada

Gambar 2.11.

Gambar 2.11. Kurva Histerisis [26]

26

Kurva magnetisasi untuk bahan yang belum termagnetisasi disebut dengan

initial curve magnetization. Kurva diawali dengan permeabilitas awal, dengan

bertambahnya medan magnet H, induksi magnetic B dengan cepat naik (disebut

dengan easy magnetization) dan selanjutnya menjadi menjadi lebih rendah hingga

tercapai nilai maksimum tertentu atau disebut dengan saturasi magnetik. Jika

medan magnet H diturunkan kembali, maka fluks induksi magnet B juga ikut

turun, tetapi lebih pelan dari medan magnet H nya. Dengan kata lain, menurunnya

kurva magnetisasi tidak mengikuti kurva ketika medan magnet dinaikkan pertama

kali. Dengan demikian, terdapat sisa/residu induksi medan magnet B (remanen)

ketika medan magnet telah mencapai nol. Untuk mengembalikan B kembali ke

nol, diperlukan medan magnet negative yang disebut dengan coercive force. Jika

medan magnet negative terus dinaikkan, maka material akan termagnetisasi

dengan arah polaritas kearah negative. Ketika medan magnet dinaikkan hingga

nol, maka juga akan didapati residu induksi medan magnet –B yang

membutuhkan medan magnet positif untuk membuat induksi medan magnet

menjadi nol kembali. Kurva seperti ini yang disebut dengan kurva loop histerisis

[25].

Berdasarkan koersivitasnya, bahan magnetik dapat dibedakan menjadi soft

magnetic dan hard magnetic. Untuk bahan yang memiliki koersivitas yang besar

(di atas 10 kA/m) disebut hard magnetic, sedangkan untuk bahan yang memiliki

koersivitas kecil (dibawah 1 kA/m) disebut soft magnetic [26].

27

Gambar 2.12. Kurva histerisis material hard magnetic dan soft magnetic [25]

2.5. Mechanical Alloying

Proses mechanical alloying dengan mekanisme mechanical milling atau pun

dengan menggunakan high energy ball milling (HEBM) pada prinsipnya adalah

pengurangan ukuran butir atau partikel dan proses substitusi yang diakibatkan

oleh tumbukan yang terus menerus antar bola logam (ball mill) dan sampel di

dalam alat milling, seperti pada Gambar 2.13. Aplikasi metode mechanical

alloying seperti pada Gambar 2.14 [27].

28

Gambar 2.13. Prinsip dan tahapan dari mechanical alloying [28]

29

Gambar 2.14. Aplikasi metode mechanical alloying [27]

Parameter yang harus diperhatikan di dalam proses mechanical milling,

yang akan mempengaruhi kualitas produk akhir dari serbuk yang dicampur adalah

seperti pada Gambar 2.15 [29].

30

Gambar 2.15. Parameter-parameter di dalam proses mechanical milling [29]

Ball mill adalah alat yang baik untuk grinding banyak material menjadi

bubuk halus. Ball Mill digunakan untuk menggiling berbagai jenis tambang dan

bahan lainnya. Ada dua jenis proses grinding yaitu proses kering dan proses

basah. Setelah bahan mengalami proses grinding maka bahan padat akan berubah:

ukuran, bentuk partikelnya, dan lain-lainnya.

2.6. Sonikasi

Prinsip kerja sonikasi adalah pemberian gelombang ultrasonik dengan

frekuensi sekitar 20 kHz pada cairan sehingga menimbulkan propagasi gelombang

dalam bentuk siklus compression (kompresi) - rarefaction (ekspansi) sesuai

31

dengan frekuensinya. Siklus ini menciptakan gelembung vakum (cavity).

Gelembung vakum yang dihasilkan memiliki kecepatan yang sangat tinggi (~400

km/h) dan saat gelombang vakum tersebut hancur (implode), akan dihasilkan

temperatur lokal yang sangat tinggi (~5000 oK), tekanan yang sangat tinggi

(~1000 atm) serta cooling rate yang sangat cepat (109 K/sec) [30].

Gambar 2.16 memperlihatkan mekanisme pembentukan dan penghancuran

gelembung vakum dalam satu siklus sonikasi. Terlihat bahwa gelembung vakum

semakin membesar sejalan dengan waktu dengan kompresi dan ekspansi yang

mengikuti amplitudo gelombang ultrasoniknya sampai pada saat gelembung

tersebut hancur. Jika terdapat partikel atau ion di sekeliling gelembung tersebut

maka akan terjadi tumbukan antar partikel dan ion yang akan menghasilkan dua

keadaan yaitu pengecilan ukuran partikel atau proses ultrasonic destruction dan

perbeseran partikel atau proses sonochemistry.

Gambar 2.16. Proses terjadinya cavity oleh ultrasonik [19]

Ultrasonic destruction dimulai dari partikel dengan ukuran besar

kemudian diperkecil dengan bantuan sonikasi. Gambar 2.17 memperlihatkan

proses pengecilan ukuran partikel dengan proses sonikasi pada TiO2 [31]. Ukuran

partikel semakin kecil dengan bertambahnya waktu sonikasi. Ukuran partikel

32

berkisar diantara 200 - 250 nm sebelum proses sonikasi. Setelah proses sonikasi

ukuran partikel mengalami pengecilan secara berturut-turut menjadi sekitar 50, 20

dan 10 nm dengan bertambahnya waktu sonikasi. Selain itu dimensi partikel

semakin berbentuk bola dan distribusi ukuran yang semakin seragam dengan

pengecilan ukuran partikel.

Hasil tersebut menunjukan bahwa sonikasi efektif untuk mengecilkan

ukuran partikel sampai pada skala nano terutama pada top down synthesis.

Gambar 2. 17. Reduksi partikel dengan sonikasi [31]

Sonochemistry dimulai dari ion atau partikel yang bereaksi atau

beraglomerasi sehingga membentuk partikel yang lebih besar dengan bantuan

sonikasi. Gambar 2.18 menunjukan proses untuk menghasilkan partikel dengan

ukuran yang lebih besar dengan menggunakan sonikasi pada Zn [32]. Serbuk Zn

yang berukuran sekitar 5 m diultrasonik 1.5 jam sehingga menghasilkan

aglomerasi dengan ukuran partikel sekitar 50 m.

33

Gambar 2.18. Aglomerasi dengan bantuan sonikasi [32]

2.7. Absorpsi Gelombang Elektromagnet

Pada dasarnya suatu material jika dikenai gelombang electromagnet

maka akan mengalami interaksi antara material dengan gelombang electromagnet.

Misalkan suatu bahan memiliki ketebalan x dikenai gelombang electromagnet

dengan intensitas maka gelombang electromagnet akan mengalami attenuasi

sehingga intensitas yang keluar dari material menjadi

(2.15)

dengan µ adalah konstanta. Dari persamaan (2.15) terlihat semakin tebal bahan

maka energi gelombang electromagnet semakin banyak yang diserap.

x

Gambar 2.19. Skema absorpsi gelombang electromagnet

34

Namun seiring dengan perkembangan zaman, material absorber yang

dibutuhkan adalah bahan yang tipis tapi memiliki kemampuan absorpsi yang

maksimal. Selain karena ketebalan suatu bahan, absorpsi gelombang elektomagnet

juga terjadi akibat interaksi gelombang dengan material yang menghasilkan efek

rugi-rugi energy yang umumnya didisipasikan dalam bentuk panas. Dalam hal ini

material absorber dibagi menjadi dua yakni material dielektrik dan magnetic. Pada

bahan dielektrik energy gelombang electromagnet diserap sehingga terjadi

polarisasi yang mengikuti arah medan listrik. Ketika gelombang electromagnet

berubah-ubah terhadap waktu maka arah polarisasi juga berubah-ubah sehingga

terjadi gesekan antar molekul yang menimbulkan panas.

Gambar 2.20. Pengaruh medan listrik pada bahan dielektrik (telah diolah kembali)

Hal yang analog juga terjadi pada bahan ferromagnetik. Ketika medan

magnet mengenai bahan ferromagnet maka energy gelombang electromagnet akan

digunakan untuk menyearahkan momen magnet. Untuk material absorber yang

baik dibutuhkan bahan magnetic yang memiliki koersifitas yang rendah.

Karakteristik dielektrik dan magnetik suatu bahan direpresentasikan oleh

permitifitas kompleks dan permeabilitas kompleks [33]

(2.16)

(2.17)

35

Dimana , tanda ‘ dan ‘’ bagian real dan imaginer. Impedansi yang tiba

pada material ditunjukkan

(2.18)

Dimana d adalah ketebalan sampel, adalah faktor propagasi kompleks

(2.19)

f adalah frekuensi dan c adalah kecepatan gelombang elektomagnet dalam ruang

vakum.

Reflektifitas radiasi electromagnet, Γ, dalam gelombang normal yang tiba

pada permukaan material ditunjukkan

(2.20)

Dan reflection loss- nya, R (dB), didefinisikan sebagai

= (2.21)

Dimana adalah bilangan kompleks dan adalah modulus dari . Sedangkan

adalah impedansi pada ruang hampa.

36

(2.22)

Nilai H/m dan F/m, sehingga diperoleh

. Kondisi impedansi yang cocok saat menunjukkan bahwa

terjadi penyerapan yang sempurna.

Secara umum criteria material absorber yang baik haruslah memiliki

permeabilitas dan permitifitas yang tinggi. Selain itu diperlukan resistifitas yang

tinggi dan saturasi magnet tinggi.

2.7.1. Permeabilitas

Permeabilitas (H·m−1

) atau (N·A−2

) adalah ukuran kemampuan suatu

bahan untuk mensupport pembentukan medan magnet dalam dirinya. Dengan kata

lain adalah tingkat magnetisasi bahan akibat respons terhadap medan magnet yang

diterapkan. Permeabilitas konstan (μ0), juga dikenal sebagai konstanta magnetik

atau permeabilitas ruang bebas adalah ukuran jumlah hambatan yang ditemui

ketika membentuk medan magnet dalam kondisi vakum (µ0 = 4π×10−7

1.2566370614… × 10−6

H·m−1

or N·A−2

). Dalam elektromagnetisme, medan

magnet H mempengaruhi sekumpulan dipol magnetik menghadirkan medan

magnet B dalam media tertentu, termasuk migrasi dipole dan reorientasi dipole

magnetik. Hubungannya dengan permeabilitas adalah

(2.23)

Dalam bahan feromagnetik, hubungan antara B dan H non-linearitas dan

membentuk pola hysteresis. Dalam media nonlinear, permeabilitas dapat

bergantung pada kekuatan medan magnet. Secara umum, permeabilitas tidak

konstan, karena dapat bervariasi terhadap posisi dalam medium, frekuensi medan

yang diterapkan, kelembaban, suhu, dan parameter-parameter lainnya.

37

Permeabilitas relatif, kadang-kadang dilambangkan dengan simbol μr, adalah rasio

permeabilitas media terhadap permeabilitas ruang bebas, μ0.

(2.24)

Permeabilitas sebagai fungsi frekuensi dapat berupa nilai-nilai riil atau kompleks.

Dalam prakteknya, permeabilitas umumnya sebagai fungsi frekuensi. Pada

frekuensi tinggi, medan magnet H dan B saling bertautan satu sama lainnya

dengan beberapa jeda waktu sehingga terbentuk permeabilitas kompleks.

Sedangkan pada frekuensi rendah, medan magnet H dan B linier dan sebanding

satu sama lain melalui beberapa permeabilitas skalar. Sehingga medan magnet H

dan B dapat didefinisikan sebagai :

(2.25)

Dengan adalah penundaan fase B dari H. Permeabilitas merupakan rasio dari

medan magnet B dengan medan magnet H, maka dapat ditulis sebagai

(2.26)

sehingga permeabilitas menjadi bilangan kompleks. Dengan rumus Euler,

permeabilitas kompleks dapat diterjemahkan menjadi

(2.27)

Sedangkan rasio antara bagian imajiner terhadap riil dari permeabilitas komplek

ini disebut dengan loss tangent permeabilitas.

(2.28)

38

2.7.2. Permitivitas

Permitivitas (F.m-1

) adalah ukuran kemampuan suatu bahan ketika

membentuk medan listrik dalam suatu media. Dengan kata lain, permitivitas

adalah ukuran berapa besar medan listrik mempengaruhi dan dipengaruhi oleh

media dielektrik. Permitivitas medium menggambarkan seberapa banyak fluks

medan listrik yang dihasilkan per unit muatan dalam media itu. Fluks medan

listrik berlebih yang ada dalam bahan dengan permitivitas tinggi (per unit muatan)

dapat mengakibatkan efek polarisasi. Permitivitas secara langsung berkaitan

dengan kerentanan medan listrik yang merupakan ukuran seberapa mudah

polarisasi dielektrik terjadi dalam merespon medan listrik. Dengan demikian,

permitivitas dapat didefinisikan sebagai :

(2.29)

dengan εr adalah permitivitas relatif bahan, dan ε0 = 8,854187817... × 10-12

F.m-1

adalah permitivitas vakum.

Sebuah spektrum permitivitas dielektrik umumnya sebagai fungsi frekuensi,

sehingga permitivitas relatifnya menjadi permitivitas komplek yang dinotasikan

sebagai ε’ dan ε”. ε’ dan ε” berturut-turut menunjukkan permitivitas bagian riil

dan imajiner. Dengan demikian permitivitas relatif dapat didefinisikan sebagai :

(2.30)

Sedangkan rasio antara bagian imajiner terhadap riil dari permeabilitas komplek

ini disebut juga dengan loss tangent permitivitas.

(2.31)

Loss tangent ini yang memberikan ukuran berapa besar daya yang hilang dalam

bahan terhadap daya yang diserap.

39

2.7.3. Reflection Loss

Telah banyak diketahui bahwa parameter dielektrik dan magnetik meliputi

vektor medan listrik E, medan magnet H, medan induksi B, diplacement D,

polarisasi P, dan magnetisasi M. Interaksi medan listrik dalam bahan mengikuti

pola yang mirip dengan interaksi magnetik dalam bahan. Salah satu syarat yang

harus dipenuhi untuk aplikasi praktis sebagai penyerap gelombang

elektromagnetik adalah bahwa bahan ini harus memiliki nilai permeabilitas dan

permitivitas setinggi mungkin dengan saturasi magnet yang tinggi. Permitivitas

dalam farad per meter dan permeabilitas dalam henry per meter. Dalam hal

penyerapan energi gelombang EM, keseluruhan interaksi dapat diwakili oleh

impedance matching dari material (Zin) yang bersifat dielektrik dan magnetik

dengan impedance udara sebagai fungsi frekuensi. Penyesuai impedansi adalah

hal yang penting dalam rentang frekuensi gelombang mikro. Suatu saluran

transmisi yang diberi beban yang sama dengan impedansi karakteristik

mempunyai standing wave ratio (SWR) sama dengan satu, dan mentransmisikan

sejumlah daya tanpa adanya refleksi gelombang. Juga efisiensi penyerapan

menjadi optimum jika tidak ada daya yang direfleksikan. Matching mempunyai

pengertian memberikan impedansi yang sama dengan impedansi karakteristik

gelombang elektromagnetik.

(2.32)

(2.33)

(2.34)

Dengan RL, Zin, Zo, o, o, r, r, f, c, dan d berturut-turut adalah reflection loss,

impedance bahan absorber, impedance gelombang EM di udara, permeabilitas

udara, permitivitas udara, permeabilitas relatif bahan, permitivitas relatif bahan,

40

frekuensi, kecepatan cahaya, dan ketebalan bidang absorp bahan. Jadi secara

umum impedance bahan absorber dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor

intrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik ditentukan oleh sifat permeabilitas dan

permitivitas bahan absorber, sedangkan faktor ekstrinsik ditentukan oleh faktor

ketebalan bidang bahan absorp.

2.8. Gelombang Mikro

Gelombang electromagnet ketika sampai pada material maka sebagian

gelombang tersebut akan direfleksikan dan sebagian lagi diabsorpsi. Karakter ini

bisa kita manfaatkan untuk mengurangi pantulan radiasi. Beberapa material

memantulkan banyak radiasi namun ada juga yang hampir tidak memantulkan

sama sekali. Sebagai contoh air, yang hampir tidak memantulkan radiasi sama

sekali oleh karena itu air termasuk absorber yang bagus. Material magnetic

misalnya ferit juga dapat menyerap gelombang electromagnet. Hal ini

dikarenakan adanya perubahan arah momen magnetic ketika dikenai medan

electromagnet [34].

Gelombang mikro adalah bagian dari gelombang electromagnet yang

memiliki daerah frekuensi sekitar 0,3-300 GHz atau panjang gelombang 1m-1mm.

Gelombang mikro digunakan pertama kali untuk teknologi RADAR pada awal

perang dunia kedua. Saat ini gelombang mikro umum digunakan sebagai oven

microwave atau pun perangkat-perangkat komunikasi dan teknologi informasi.

Gelombang mikro dibagi dalam beberapa daerah jangkauan yang telah ditetapkan

secara internasional (Tabel 2.3).

41

Tabel 2.3. Pembagian daerah jangkauan gelombang mikro [35].

Simbol Daerah Frekuensi (GHz)

L 1.22 - 1.70

R 1.70 - 2.60

S 2.60 - 3.95

H 3.95 - 5.85

C 5.85 - 8.20

X 8.20 - 12.4

Ku 12.4 - 18.0

K 18.0 - 26.5

Ka 26.5 - 40.0

U 40.0 - 60.0

E 60.0 - 90.0

F 90.0 - 140.0

G 140.0- 220.0

2.9. Scanning Electron Microscope (SEM)

Scanning Electron Microscope (SEM) adalah suatu alat yang digunakan

untuk mengamati dan menganalisis karakteristik strukturmikro dari material baik

yang konduktif maupun non konduktif. Dibandingkan dengan MO, SEM

mempunyai daya pisah (resolusi) yang lebih tinggi yaitu 5nm, sehingga SEM

dapat menghasilkan perbesaran hingga 500.000 kali. Perbedaan daya pisah ini

42

ditimbulkan dari sumber radiasi yang berbeda. Elektron sebagai sumber radiasi

pada SEM mempunyai panjang gelombang yang jauh lebih pendek dari pada sinar

foton pada MO.

Berkas elektron primer yang datang mengenai permukaan benda uji akan

berinteraksi dan menghasilkan berbagai macam sinyal secara serentak, sinyal-

sinyal tersebut diantaranya adalah elektron, sinar-X dan foton. Secara skematik

ditunjukan pada Gambar 2.21. Interaksi elektron primer dengan benda uji

tersebut mengakibatkan hamburan elektron (elastic scattering) dan hamburan

nonelastik (inelastic scattering).

Hamburan elastik ditimbulkan akibat adanya tumbukan berkas elektron

primer dengan inti atom benda uji (sampel) tanpa perubahan energi. Pada saat

terjadinya hamburan elastik, arah komponen kecepatan elektron, v, akan berubah,

tetapi besarnya |v| relatif konstan, sehingga energi kinetik E = 1/2 mev2, dengan

me adalah massa elektron, tidak berubah. Dalam hal ini energi sebesar <1eV

Gambar 2.21. Interaksi antara electron primer dengan benda uji

43

dipindahkan dari elektron [primer ke benda uji, perpindahan energi ini relatif kecil

bila dibandingkan dengan energi elektron primer sebesar 10 keV, karenanya

perpindahan enrgi tersebut dapat diabaikan. Hamburan elektron dari permukaan

benda uji setelah berkas elektron primer masuk ke dalam benda uji dan melintasi

jarak beberapa nm dengan distribusi energi 0≤E≤Eo, dimana Eo adalah energi

elektron p[rimer, disebut sebagai backscattered electron (elektron terhambur balik

– BSE).

Hamburan nonelastik (inelastic scattering) diakibatkan adanya tumbukan

elektron primer dengan elektron benda uji. Dalam proses tumbukan ini terjadi

perpindahan energi dari elektron primer ke atom dan elektron benda uji, sehingga

terjadi penurunan energi kinetik dari berkas elektron. Energi yang berada dalam

benda uji tersebut akan didistribusikan dan menghasilkan sinyal-sinyal yang

digunakan untuk analisis mikro. Sinyal-sinyal tersebut adalah secondary electron

(elektron sekunder – SE), Auger electron, continuum X-ray atau bremsstrahlung,

characteristic X-ray dan secondary fluorescence emission.

Secondary electron (elektron sekunder) adalah elektron yang dipancarkan

dari benda uji akibat dari interaksi antara berkas elektron primer dengan elektron-

elektron pada pita penghantar benda uji. Interaksi ini hanya menghasilkan

perpindahan energi yang relatif rendah (3-5 eV) ke elektron pita penghantar.

Karena elektron sekunder ini mempunyai energi rendah, maka elektron-elektron

ini mudah dibelokan pada sudut tertentu dan menimbulkan bayangan topografi,

dengan kata lain elektron sekunder dari suatu area tertentu akan memberikan

informasi benda uji pada area tersebut dalam bentuk image (citra) .

Mekanisme terbentuknya citra pada SEM meliputi beberapa hal penting

diantaranya; sistem scanning untukpembentukan citra, mekanisme kontras sebagai

hasil interaksi elektron dan benda uji, karakteristik detektor dan pengaruhnya

terhadap kualitas citra, kualitas sinyal dan pengaruhnya terhadap kualitas citra dan

proses pen-sinyal-an untuk tampilan pada layar monitor. Ilustrasi proses

pembentukan citra pada SEM diilustrasikan pada Gambar 2.22.

44

2.10. Teori Double Exchange (DE)

Mekanisme Double Exchange (DE) merupakan tipe magnetik exchange

yang muncul diantara ion yang berdekatan dengan keadaan oksidasi yang berbeda

[36]. Teori ini pertama kali diajukan oleh Zener (1951) dan mempunyai implikasi

yang penting dari sifat magnetik dari suatu material. Energi sistem berada pada

nilai terendah jika spin inti yang bertetangga saling sejajar atau parallel. Demikian

juga dengan keadaan spin elektron, energi akan menjadi lebih rendah ketika spin

elektron parallel dengan spin inti ion Mn [37]. Teori ini sesuai dengan aturan

Hund untuk membuat energi sistem menjadi seminimal mungkin. Aturan pertama

Hund menyatakan bahwa energi akan minimum bila susunan spin-spin elektron

saling sejajar satu dengan yang lainnya.

Gambar 2.22. Skematis pembentukan citra pada SEM

45

Teori Double Exchange (DE) merupakan salah satu dari sekian banyak

teori pertukaran yang ada dalam material. Mekanisme Double Exchange (DE)

pada material perovskite manganites terjadi perpindahan spin elektron yang

parallel pada tetangga terdekat dengan melakukan dua kali hopping secara

bersamaan dari Mn3+

ke Mn4+

melalui O2-

. Pada sistem sampel LaSrMnO3, yang

berperan sebagai ion ialah atom Mn karena atom Mn telah menjadi ion Mn3+

dan

Mn4+

akibat adanya doping unsur Sr pada site La.

Zener (1951) telah mendapatkan persamaan yang menggambarkan

korelasi antara konduktivitas listrik terhadap sifat magnetiknya, yang dikaitkan

terhadap temperatur Curie (Tc) ferromagnetik pada sistem sampel La1-xAxMnO3

(A = Ca atau Sr), tetapi hanya berlaku untuk variasi doping

Berikut persamaan yang menyatakan hubungan tersebut

(2.35)

Dimana x adalah konsentrasi doping A (untuk ),

, h = konstanta Planck, e = muatan elektron, T adalah

temperature, dan Tc adalah temperature Curie. Berdasarkan persamaan (2.16)

dapat diketahui bahwa untuk sistem sampel La1-xAxMnO3 dimana

membuka hubungan linier antara magnetoresistansi terhadap magnetisasi dari

sampel, sehingga dapat disimpulkan konduktivitas listrik dan sifat magnetik

sampel saling berhubungan.

46

Gambar 2.23. Skema Teori Double Exchange (DE) [38]

Gambar 2.23 mengilustrasikan mekanisme Double Exchange (DE) yang

terjadi pada Mn3+

-O-Mn4+

. Elektron dari orbital eg pada ion Mn3+

melompat ke

orbital O2-

dan secara bersamaan elektron pada orbital 2p O2-

melompat ke orbital

eg ion Mn4+

yang kosong. Kedua elektron yang terlibat dalam pertukaran harus

memiliki spin yang sama (sesuai prinsip larangan pauli). Hal ini menyebabkan

terjadinya sifat feromagnetik dari elektron eg [35].

Teori lebih lanjut telah dilakukan oleh Anderson & Hasegawa yang

menyatakan bahwa sudut antara spin inti ion Mn tetangga terdekat turut

mempengaruhi pada proses Double Exchange (DE) [39]. Hal ini diperkuat oleh

de Gennes [40] membahas tentang batas besarnya coupling Hund (JH), spin

elektron pada eg terikat pada inti spin t2g yang mengubah parameter hopping (t),

yang dipenuhi oleh persamaan berikut :

(2.36)

Dimana θij adalah sudut antara spin inti pada t2g yang berdekatan dengan ion

manganese, dan tij hanya bergantung pada orientasi relatif pada dua spin. Energi

47

kinetik pada elektron eg adalah sebanding terhadap t. Dengan demikian, jika spin

tersusun secara feromagnetik (spin parallel) maka nilai t akan maksimum

sehingga resistivitas sampel bernilai minimum [39].

2.11. Teori Interaksi Superexchange

Superexchange merupakan coupling kuat antara interaksi spin

antiferomagnetik terhadap tetangga terdekat kation melalui anion non magnetik

[41]. Gagasan bahwa pertukaran dapat dimediasi oleh sebuah atom non magnetik

telah diajukan pada tahun 1934, dan secara resmi dikembangkan oleh Anderson

pada tahun 1950.

Pada superexchange, interaksi magnetik antara ion yang berdekatan di

mediasi oleh ion non-magnetik dengan spin elektron yang berpasangan. Hal ini

merupakan interaksi yang lazim terjadi pada oksida manganiat terisolasi, dimana

ion penghubungnya adalah O2-

. Pada kasus manganat, orbital yang telibat adalah

orbital eg yang kosong dari ion Mn dan orbital 2p pada O2-

yang terisi. Jadi

elektron pada orbital 2p pada O2-

terbagi diantara dua ion Mn yang berdekatan

yang mengisi orbital eg yang kosong. Ini merupakan transfer elektron secara tidak

langsung yang menjadi ciri khas dari mekanisme interaksi superexchange [36].

Berikut gambar yang mengilustrasikan proses terjadinya interaksi superexchange.

48

Gambar 2.24. Mekanisme interaksi superexchange (a) sesama ion Mn3+

dan (b) sesama ion Mn4+

[41].

2.12. Ligand Field Theory (LFT)

Ligand Field Theory (LFT) merupakan salah satu teori yang digunakan

untuk menjelaskan struktur elektronik kompleks [42]. Awalnya teori ini adalah

aplikasi dari Crystal Field Theory (CFT). Menurut LFT, interaksi antara metal

transisi dan ligand muncul karena adanya gaya tarik antara muatan positif pada

metal sebagai kation bebas dengan muatan negatif pada elektron yang tidak

berikatan pada ligand. Ketika ligand tertarik mendekati ion metal, elektron-

elektron pada ligand juga akan semakin mendekati elektron-elektron yang ada

pada orbital d, sehingga menghasilkan gaya tolak diantara kedua muatan yang

sama tersebut. Elektron-elektron pada orbital d yang mempunyai jarak paling

dekat dengan ligand akan memiliki energi yang lebih tinggi di bandingkan dengan

yang lain, sehingga akan terjadi perbedaan energi. Perbedaan energi ini disebut d-

orbital splitting energy.

Oktahedral kompleks merupakan bentuk paling umum yang membentuk

ikatan dengan metal-metal transisi. Lima orbital d dalam kation logam transisi

49

terdegenerasi dan memiliki energi yang sama, dimana probabilities density

elektron berbanding lurus dengan satuan level energi yang akan ditempati elektron

pada orbital d tersebut, dan adanya ligand akan menimbulkan pemisahan level

energi pada beberapa sub orbitalnya.

Gambar 2.25. Perubahan energi elektronik selama proses pembentukan

kompleks [42]

Gambar 2.25 di atas menyatakan bahwa medan listrik negatif sferik di

sekitar kation logam akan menghasilkan tingkat energi total yang lebih rendah

dari tingkat energi kation bebas yang disebabkan karena adanya interaksi

elektrostatis. Interaksi repulsif antara elektron dalam orbital logam dan medan

listrik mendestabilkan sistem dan sedikit banyak mengkompensasi stabilisasinya.

Sekarang ion tidak berada dalam medan negatif yang seragam, tetapi dalam

logam yang dihasilkan oleh enam ligand yang terkoordinasi secara octahedral

pada atom logam. Medan negatif dari ligand disebut medan ligand. Level energi

yang lebih rendah diberi simbol t2g (triply degenerate orbital) dan level energi

yang lebih tinggi diberi simbol eg (exited degenerate orbital).

Bila ligand ditempatkan di sumbu, reaksi repulsifnya lebih besar untuk

orbital eg dari pada untuk t2g , dan orbital eg di

stabilkan dan orbital t2g distabilkan dengan penstabilan yang sama. Perbedaan

50

energi antara orbital t2g dan eg sangat penting dan energi rata-rata orbital-obital ini

dianggap sebagai skala nol. Bila perbedaan energi dua orbital eg dan tiga orbital

t2g dianggap Δo, tingkat energi eg adalah

dan energi total t2g adalah

.

Gambar 2.26. Splitting octahedral pada level d5 [42]

Ion logam transisi memiliki 0 sampai 10 elektron d dan bila orbital d yang

terbelah diisi dari tingkat energi rendah, konfigurasi elektron

yang

berkaitan dengan masing-masing ion didapatkan. Jika tingkat energi nol

ditentukan sebagai tingkat energi rata-rata, energi konfigurasi elektron relatif

terhadap energi nol adalah

(2.37)

Nilai ini disebut energi penstabilan medan ligand (Ligand Field Stabilization

Energy LFSE). Konfigurasi elektron dengan nilai LFSE lebih kecil (dengan

51

memperhitungkan tanda minusnya). LFSE merupakan parameter penting untuk

menjelaskan kompleks medan transisi.

Syarat lain selain tingkat energi yang diperlukan untuk menjelaskan

pengisian elektron dalam orbital t2g dan eg adalah energi pemasangan (pairing

energy Pe), yaitu energi yang diperlukan untuk memasangkan dua elektron dalam

level energi yang sama namun dengan syarat spin berlawanan. Ada dua

kemungkinan yang muncul bila ada 4 jumlah elektron di orbital d. orbital yang

energinya lebih rendah t2g lebih disukai, tetapi pengisian orbital ini akan

memerlukan energi pemasangan (Pe). Energi totalnya menjadi

(2.38)

Bila elektron mengisi orbital yang energinya lebih tinggi eg, maka energi totalnya

menjadi

(2.39)

Dengan demikian, jelas bahwa untuk ion Mn yang terdapat pada material

perovskite manganites lebih menyukai konfigurasi medan lemah (weak field)

karena akan lebih stabil. Parameter pemisahan medan ligand ∆O ditentukan oleh

ligand dan logam, sedangkan energi pemasangan (Pe) hampir konstan dan

menunjukkan sedikit ketergantungan pada identitas logam [42].

Pada keadaan high-spin state ∆O > Pe, konfigurasi t2g4 lebih disukai dan

konfigurasinya disebut medan kuat (strong field) karena gaya tolakan yang terjadi

lebih besar dibandingkan pada kasus low-spin state. Sedangkan pada keadaan low-

spin state ∆O < Pe yaitu konfigurasi t2g3 eg

1 lebih disukai dan disebut konfigurasi

medan lemah (weak field) atau konfigurasi elektron spin tinggi.

52

Gambar 2.27. Spin state pada weak field dan strong field ligand untuk

d4 sistem [42]

Dengan demikian, jelas bahwa untuk ion Mn yang terdapat pada material

perovskite manganites lebih menyukai konfigurasi medan lemah (weak field)

karena akan lebih stabil. Parameter pemisahan medan ligand ∆O ditentukan oleh

ligand dan logam, sedangkan energi pemasangan (Pe) hampir konstan dan

menunjukkan sedikit ketergantungan pada identitas logam [42].

Pada sifat elektrik dari lantanum manganat La1-xSrxMnO3 sangat terkait

dengan adanya ion manganese dengan valensi yang berbeda. Untuk x = 0 dan 1

ion manganese hanya memiliki satu jenis valensi dan biasanya bersifat

antiferromagnetic-insulator (AF-I). Untuk konsentrasi doping intermediate, ion

manganese muncul dengan valensi yang berbeda, dan mengubah sifatnya menjadi

ferromagnetic- metallic (F-M). Orbital yang aktif secara elektronik adalah orbital

d manganese, dimana konfigurasi keadaan dasar dari trivalent dan quadrivalent

Mn adalah 3d4 dan 3d

3.

Kelima orbital d masing-masing dapat mengakomodasi elektron dengan

satu spin up dan satu spin down akan terpecah (splitting) akibat adanya medan

kristal octahedral yang berasal dari 6 atom oksigen yang berada disekeliling ion

Mn. Pemisahan energi ini membagi orbital d menjadi tiga orbital pada energi

rendah t2g dan dua orbital pada level energi yang lebih tinggi eg

53

. Terjadinya pemisahan orbital ini berada pada orde 1,5 eV,

sehingga elektron mengisi pada keadaan orbital dengan spin maksimum sesuai

dengan aturan Hund. Oleh karena itu, konfigurasi elektronik pada Mn3+

adalah

, dan Mn4+

adalah

[3].

Gambar 2.28. Struktur elektronik dari Mn3+

dan Mn4+

sebelum dan

setelah adanya distorsi Jahn-Teller [3]

Gambar 2.28 mengilustrasikan splitting Jahn-Teller, energi dari Mn3+

menjadi lebih rendah sekitar 0,6 eV, sedangkan Mn4+

tidak mengalami apapun

akibat distorsi octahedron oksigen [42].

2.13. Lantanum Manganat

Lantanum manganat, La1-xAxMnO3, dapat dianggap sebagai sistem biner

yang terdiri dari larutan padat LaMnO3 dan AMnO3, untuk x = 0 dan x = 1. G.H

Jonker dan J.H Van Saten [43] adalah pelopor penelitian bahan perovskite pada

54

tahun 1950, dengan menerbitkan kilasan dari sistem biner bahan perovskite

seperti LaMnO3 – CaMnO3, LaMnO3 – SrMnO3, dan LaMnO3 – BaMnO3.

2.13.1. Struktur Kristal Lantanum Manganat

Struktur kristal lantanum manganat merupakan turunan dari struktur

perovskite, yang memiliki formula umum ABO3. Gambar 2.29 menunjukkan

struktur perovskite kubik yang ideal. Dalam lantanum manganat kedudukan A

diisi oleh ion La3+

dan jika x>0 maka disubstitusi kation Ca2+

, Sr2+

, Ba2+

, dan

lain-lain. Sedangkan kedudukan B diisi oleh ion Mn.

Gambar 2.29. Struktur perovskite ideal [3]

Kestabilan struktur perovskite tergantung pada ukuran ion kedudukan A

dan B. Jika ada ketidakcocokan antara ukuran ion kedudukan A dan B dalam kisi

dimana mereka berada maka stuktur perovskite akan mengalami distorsi.

Goldschmidt [4] mendefinisikan faktor toleransi sebagai berikut

(2.40)

55

Dengan rA dan rB adalah jari-jari ion kedudukan A dan kedudukan B, secara

bertuturut-turut., dan rO adalah jari-jari ion oksigen. Struktur perovskite kubik

yang ideal didapatkan jika harga t*=1.

.Norby dkk [5] melaporkan bahwa material dasar dari lantanum manganat,

LaMnO3, memiliki struktur ortorombik pada suhu ruang. Berbeda halnya dengan

lanthanum manganat yang telah didoping oleh ion lain, strukturnya tergantung

dari ion dopingnya, variasi konsentrasi ion doping, temperatur, dan lain-lain.

Untuk La1-xSrxMnO3 ketika harga x sekitar 0,1 memiki struktur ortorombik namun

saat x=0,175 memiliki struktur rombohedral [6]. Ju dkk [7] memperoleh struktur

La0,62Ba0,38MnO3 adalah kubik dengan parameter kisinya 3,906 Å. Pada penelitian

lain yang dilakukan oleh Sergei [44] La1-xBaxMnO3, saat 0≤x≤0,05 memiliki

struktur ortorombik, saat 0,1≤x≤0,25 strukturnya rombohedral sedangkan saat

0,27≤x≤0,5 strukturnya kubik. Transformasi fasa struktur ini biasanya disertai

dengan perubahan fasa magnetik dan elektriknya.

2.13.2. Sifat Magnetik Lantanum Manganat

Karakteristik mendasar dari manganat dengan valensi campuran adalah

hubungan yang dekat antara transport elektronik dan kemagnetan. Ciri utamanya

adalah transisi simultan dari antiferomagnetik dengan sifat isolator ke

feromagnetik dengan sifat konduktor akibat adanya substitusi pada kedudukan A.

Teori dasar dari fenomena ini telah dikemukan oleh Zener tahun 1951 [36] , yang

memperkenalkan konsep double exchange, yaitu terjadi karena transfer elektron

yang bergantung pada spin dari ion Mn3+

ke Mn4+

pada tetangga terdekat melalui

ion O2-

. Teori ini selanjutnya diperbarui oleh Anderson dan Hasegawa tahun 1953

[39] dan de Gennes tahun 1960 [40] yang melibatkan distorsi Jahn-Taller.

Schiffer dan Ramirez [45] pada tahun 1995 melakukan penelitian tentang

diagram fase magnetik dari La1-x CaxMnO3 dengan variasi konsentrasi 0≤x≤1

(Gambar 2.30). Ketika x=0 dan x=0,1 bahan bersifat feromagneti isolator pada

temperature rendah dengan temperature Currie sekitar 160K. Diantara x=0,2 dan

x=0,45 bahan bersifat feromagnetik logam dan menunjukkan fenomena colossal

56

magnetoresistance (CMR). Untuk x lebih besar dari 0,45 bahan bersifat

antiferomanetik isolator.

Gambar 2.30. Diagram fase La1-x CaxMnO3 [45]

Penelitian diagram fase magnetik La1-xBaxMnO3 (Gambar 2.31) dilakukan

oleh Ju dkk [46]. Sampel keramik padatan La1-xBaxMnO3 (x=0; 0,06; 0,13; 0,19;

0,25; 0,31; 0,38; 0,44; 0,5; 0,63; 0,75; 0,88; 1,0) dibuat dengan metode solid state

reaction. Bahan La2O3, BaCO3, dan MnCO3 dicampur selanjutnya dipanaskan

pada suhu 1100oC-1300

oC kemudian dikalsinasi pada suhu 1400

oC-1550

oC. Sifat

magnetic dikarakterisasi dengan menggunakan SQUID (superconducting quantum

interference device). Ditemukan bahwa bahan bersifat feromagnetik untuk seluruh

harga x, namun terdapat tiga fase. Untuk wilayah konsentrasi doping yang rendah

bahan bersifat feromagnetik isolator, wilayah 0,2≤x≤0,5 bahan bersifat

feromagnetik logam, sedangkan untuk konsentrasi doping yang tinggi bahan

bersifat feromagnetik dengan multiphase.

57

Gambar 2.31. Diagram fase La1-xBaxMnO3 [46]

Urushibara dkk [6] pada tahun 1995 melakukan pendopingan Sr terhadap

LaMnO3, ketika doping Sr kecil bahan bersifat isolator. Saat x mencapai titik

kritis yakni sekitar 0,17 bahan bersifat metalik diserta dengan munculnya sifat

feromagnetik. Digram fase dari La1-xSrxMnO3 dapat dilihat pada Gambar 2.32.

58

Gambar 2.32. Diagram fase La1-xSrxMnO3 [6]

2.13.3. Sifat Absorbsi Gelombang Elektromagnet Lantanum Manganat

Penelitian yang dilakukan oleh Cheng dkk [17] menemukan bahwa

nanopartikel La0,6Sr0,4MnO3 yang dibuat dengan metode sol gel mampu

menyerap gelombang mikro. Daerah frekuensi yang diamati dari 1 GHz sampai

12 GHz. Reflection loss (RL) optimal -41,1 dB pada frekuensi 8,2 GHz dengan

ketebalan 2,2 mm, bandwidth dengan haga RLkurang dari -10 dB dicapai pada

daerah frekuensi 5,5-11,3 GHz (Gambar 2.33). Dalam laporannya Cheng juga

mengungkapkan bahwa semakin kecil ukuran partikel maka sifat absorbsinya

semakin baik.

59

Gambar 2.33. Hubungan refletation loss dengan frekuensi gelombang mikro

pada La0,6Sr0,4MnO3 [17]

Zhou dkk pada tahun 2007 [12] melaporkan bahwa nanopartikel

La0,8Ba0,2MnO3 memiliki sifat absorbsi gelombang mikro pada frekuensi 2-18

GHz, dengan puncak 13 dB pada frekuensi 6,7 GHz, dan bandwidth absorbing

diatas 10 dB pada frekuensi 1,8 GHz. Nanopartikel La0,8Ba0,2MnO3 dibuat dengan

metode sol-gel dari bahan dasar La2O3, Mn(C2H4O2)2, dan Ba(OH)2 dengan berat

fraksi mol 2:5:1. Bahan dasar tersebut dicampur bersama pada suhu 70oC selama

6 jam dan selanjutnya dikalsinasi pada suhu 800oC selama 2 jam. Kurva

hubungan antara frekuensi dan flection lossnya dapat dilihat pada Gambar 2.34.

60

Gambar 2.34. Hubungan antara reflektansi dan frekuensi gelombang mikro

pada La0,8Ba0,2MnO3 [12]

2.14. Mekanisme serapan gelombang mikro

Gelombang mikro adalah gelombang EM yang berada pada jangkauan 300

MHz – 300 GHz dengan panjang gelombang antara 1m – 1mm [47]. Gelombang

mikro mematuhi hukum-hukum optik seperti transmisi, absorpsi dan refleksi yang

tergantung pada karakteristik material.

Ilustrasi skematis pada Gambar 2.35 memperlihatkan bahwa material-

material yang bersifat transparan akan meneruskan gelombang mikro secara

sempurna tanpa ada yang diserap dan didisipasikan dalam bentuk panas. Hal yang

sama terjadi pada konduktor namun tidak ada gelombang mikro yang diteruskan

maupun diserap, melainkan dipantulkan kembali dengan sempurna, sehingga

material yang bersifat konduktif seperti logam merupakan reflektor yang baik.

61

Gambar 2. 35 Jenis interaksi gelombang pada material [48]

Idealnya material penyerap gelombang mikro harus memiliki komponen

magnetik dan dielektrik yang sesuai dengan jangkauan frekuensi gelombang

mikro yang akan berinteraksi dengan material tersebut.

Mekanisme serapan yang terjadi pada material penyerap gelombang mikro akan

lebih mudah dipahami jika membagi interaksi gelombang mikro dan material

penyerap ke dalam komponen elektrik dan magnetik.

2.14.1 Rugi-rugi akibat osilasi medan elektrik

Terdapat dua mekanisme yang terjadi pada rugi-rugi material non-

magnetik, yaitu: rugi-rugi dielektrik dan rugi-rugi konduksi. Rugi-rugi konduksi

mendominasi bahan dengan nilai konduktifitas tinggi seperti logam, sedangkan

rugi-rugi dipolar mendominasi bahan dielektrik seperti isolator.

Jika gelombang mikro berinteraksi dengan material dielektrik, maka

medan internal yang ditimbulkan akan menginduksi gerak translasi dari muatan

bebas atau berikatan seperti elektron atau ion, dan membuat muatan kompleks

seperti dipol berotasi. Momen inersia, tahanan elastis dan gaya gesek di dalam

material akan melawan efek yang dihasilkan oleh medan induksi tersebut dan

menghasilkan efek rugi-rugi elektrik.

Ilustrasi pada Gambar 2.36 memperlihatkan polarisasi medan litrik

terhadap sebuah dipol. Pada frekuensi rendah, arah medan listrik berubah dengan

Material Type Penetration

Transparent

(no Heat)

Conductor

(no Heat)

Absorber

(material are heated)

Total Transmission

None

Partial to total

absorption

62

lambat sehingga dipol memiliki cukup waktu untuk mengikuti perubahannya,

namun dengan bertambahnya frekuensi, momen inersia dan gaya gesek akan

menghasilkan hambatan sampai pada frekuensi dimana tidak lagi terjadi rotasi.

Gesekan dan momen inersia yang menyertai penyearahan dipol mengakibatkan

disipasi energi dalam bentuk panas.

Gambar 2. 36. Mekanisme polarisasi oleh medan listrik [49]

Rugi-rugi dielektrik terbagi dalam empat segmen yang bersesuaian dengan daerah

frekuensi terjadinya, yaitu: ionik, dipolar, atomik dan elektronik seperti pada

Gambar 2.37 berikut:

Gambar 2.37. Mekanisme rugi rugi dielektrik [49]

Pada material dielektrik seperti isolator, displacement (D) berbanding lurus

dengan medan elektrik gelombang mikro (E) menurut persamaan 2.41 berikut:

63

(2. 41)

sehingga nilai permitivitas bahan dapat ditulis seperti persamaan 2.42 berikut:

(2.42)

untuk medan elektrik yang berubah terhadap waktu, nilai permitivitas merupakan

suatu besaran kompleks seperti persamaan 2.43 berikut:

(2.43)

dengan o sebagai permitivitas ruang hampa (8.86 x 10-12

F/m), r sebagai

permitivitas relatif ril yang menunjukan besar energi gelombang mikro yang

tersimpan dalam material dan r adalah permitivitas relatif imajiner yang

menunjukan besar energi gelombang mikro yang terdisipasi.

Ilustrasi pada gambar 2.38 menunjukan perubahan nilai permitivitas

material terhadap induksi gelombang mikro sebagai fungsi frekuensi yang dikenal

dengan nama Debye relaxation [50]. Kombinasi permitivitas ril dan imajiner

merupakan penentu daerah frekuensi kerja material.

Gambar 2.38. Model relaksasi Deby [49]

64

Hubungan antara translasi atau rotasi muatan yang terinduksi gelombang mikro

dan rugi-rugi elektrik disebut dengan loss tangent dielektrik (tan) seperti yang

deskripsikan melalui persamaan 2.44 berikut:

2. 44

dengan σ sebagai konduktifitas bahan (S/m) yang disebabkan oleh konduksi ion

atau perubahan arus dan f sebagai frekuensi.

Persamaan 2.44 memperlihatkan bahwa makin besar nilai konduktifitas maka

makin besar pula serapannya, sehingga penggunaan konduktor sebagai bahan

penyerap sangatlah logis. Namun demikian nilai konduktifitas logam yang tinggi

akan menyebabkan arus eddy yang menghasilkan medan magnet dengan arah

berlawanan, sehingga konduktor merupakan reflektor yang baik pula.

Jumlah daya per unit volume (W/m3) yang diserap oleh material elektrik

dapat ditulis menurut persamaan 2.45 berikut:

2. 45

dengan sebagai nilai mutlak medan elektrik internal karena induksi (V/m)

dengan asumsi bahwa daya tersebut tersebar merata ke seluruh material sehingga

kesetimbangan termal telah tercapai. Terlihat bahwa daya yang terserap berubah

secara linier dengan frekuensi, permitivitas relatif ril, loss tangent, namun berubah

dengan kuadrat medan elektrik internal.

2.14.2 Rugi-rugi akibat osilasi medan magnet

Serupa dengan material dielektrik, material magnetik akan menghasilkan

efek magnetisasi seperti pada persamaan 2.46 berikut:

2.46

dengan B sebagi magenisasi total (T), H sebagai medan magnet induksi (A/m),

65

M sebagai magnetisasi di dalam material (A/m) dan sebagai permeabilitas

ruang hampa (4 x 10-7

H/m).

Jika medan induksi cukup kecil, maka nilai magnetisasi dalam material

akan proporsional dengan intensitas medan tersebut, sehingga permeabilitas relatif

(r) akan bernilai konstan seperti deskripsi persamaan 2.47 berikut:

2.47

Disipasi energi pada material magnetik akibat karena perubahan medan magnet

oleh gelombang mikro dapat dideskripsikan melalui persaman 2.48 berikut:

2.48

dengan demikian loss tangent magnetik (tan ) pada material dapat ditulis seperti

persamaan 2.49 berikut:

2.49

Jumlah daya per unit volume (W/m3) yang diserap oleh material magnetik dapat

ditulis menurut persamaan 2.450 berikut:

2.50

Persamaan 2.50 serupa dengan persamaan 2.45, namun loss tangent pada material

magnetik terdiri dari oleh loss tangent histerisis (tan h), arus eddy (tan e) dan

residual (tan r) menurut persamaan 2.51 berikut:

2.51

Rugi-rugi residual didominasi oleh rugi-rugi resonansi dan rugi-rugi relaksasi oleh

domain-domain magnet pada material magnetik dan umumnya terjadi pada

frekuensi yang tinggi [50].

66

2.14.2.1. Rugi-rugi histerisis

Kurva histerisis material feromagnetik merupakan bentuk disipasi energi

selama proses magnetisasi dan demagnetisasi. Disipasi energi (Wh) per unit

volume dalam material magnetik dapat ditulis seperti persamaan 2.52 berikut:

2.52

Selama proses magnetisasi dan demagnetisasi, terjadi fenomena penyimpanan

energi dalam bentuk kumpulan domain-domain magnet yang searah (remanen

magnetik) dan disipasi dalam bentuk panas yang dihasilkan dari pergerakan

domain-domain magnetik tersebut. Rugi-rugi histerisis bergantung pada sifat

intrinsik, porositas, ukuran grain dan impuritas material magnetiknya [50].

Fenomena ini dikenal sebagai refleksi histerisis yang mempunyai hubungan

nonlinier antara induksi magnetik (H) dan magnetisasi (B) yang terjadi dalam

material. Dua parameter penting yang menghasilkan rugi-rugi histerisis adalah

saturasi magnetik dan koersivitas yang membentuk kurva histerisis seperti pada

Gambar 2.39 berikut:

Gambar 2.39 Kurva histerisis feromagnetik [51]

67

2.14.2.2. Rugi-rugi oleh arus eddy

Konduktifitas material merupakan faktor penting dalam hal disipasi oleh

arus eddy. Ketika gelombang mikro mengenai permukaan konduktor maka

elektron-elektron bebas akan terinduksi dan menghasilkan gaya gerak listrik

(GGL) dengan arah tegak lurus arah induksi sehingga menyebabkan terjadinya

aliran arus yang melingkar pada permukaan konduktor dengan frekuensi yang

sama dengan frekuensi medan induksi. Aliran arus ini akan mengalami efek

resistansi dan induktansi karena sifat intrinsik dan ekstrinsik material.

Faktor yang paling berpengaruh terhadap terjadinya arus eddy adalah skin

depth () atau kedalaman penetrasi medan magnet pada material. Skin depth

berhubungan dengan rapat arus pada kedalaman tertentu relatif terhadap rapat arus

di permukaan. Nilai skin depth tergantung pada frekuensi, konduktifitas,

permebilitas dan berkurang menurut 1/e dari permukaan seperti deskripsi pada

gambar 2.40 berikut:

Gambar 2.40. Mekanisme arus eddy dan skin depth [52]

Skin depth didapatkan dari persamaan 2.53 berikut:

68

2.53

Gambar 2.40 dan persamaan 2.53 menunjukan bahwa arus eddy dapat dihindari

dengan mengurangi ukuran sampel menjadi lebih kecil dari nilai skin depth-nya.

Gambar 2.41. Kontribusi arus eddy terhadap linewidth frekuensi serapan [53]

Gambar 2.41 menunjukan variasi ukuran sampel dan jenis sampel terhadap

frekuensi serapan. Untuk ukuran sampel yang sama, meningkatnya nilai

koersivitas akan menggeser daerah serapan material ke frekuensi yang lebih

tinggi. Untuk jenis material yang sama, meningkatnya ukuran sampel akan

menggeser daerah serapan ke frekuensi yang lebih rendah. Dengan demikian

untuk menentukan jangkauan frekuensi serapan yang tepat maka pemilihan

material magnetik dan ukuran sampel menjadi faktor yang sangat penting.

Untuk sampel dengan ukuran yang lebih besar dari nilai skin depth,

disipasi energi oleh arus eddy dapat ditulis seperti persamaan 2.54 berikut:

2.54

69

Disipasi energi akan berbeda untuk tiap material namun secara umum akan

meningkat dengan kuadrat nilai frekuensi, induksi medan magnet, dimensi sampel

(r untuk bola dan silinder) dan meningkat secara linier dengan konduktifitas

seperti deskripsi pada persamaan 2.55 berikut:

2.55

Material magnetik dengan nilai konduktifitas tinggi dan memiliki perbandingan

ukuran sampel dengan nilai skin depth yang sangat besar akan mengalami

fenomena arus eddy ketika berinteraksi dengan gelombang mikro. Material ferro-

magnetik Nd2Fe14B dan SmCo5 merupakan hard-magnet dengan koersivitas 3 kali

lebih besar dari koersivitas BHF, namun karena konduktifitasnya yang tinggi

menghasilkan arus eddy mendominasi serapannya.

Konduktifitas pada material ferrite terjadi karena pertukaran elektron-

elekton valensinya dan peningkatan temperatur akan meningkatkan konduktifitas

seperti deskripsi persamaan 2.56 berikut:

2. 56

dengan Ep sebagai energi aktifasi dan k sebagai konstanta Boltzman (1.38 x 10-23

J/K), persamaan 2.56 memperlihatkan bahwa kontribusi arus eddy akan semakin

signifikan pada temperatur tinggi sehingga material ferrite dengan resistivitas

tinggi menjadi pilihan untuk aplikasi pada temperatur tinggi.

70

2.14.2.3. Rugi-rugi oleh resonansi domain wall

Peristiwa resonansi yang terjadi antara material magnetik dengan

gelombang mikro dibagi dalam dua mekanisme yaitu domain wall resonance dan

spin elektron resonance. Domain wall resonance adalah resonansi yang terjadi

pada domain-domain magnet oleh induksi gelombang mikro. Spin elektron

resonance adalah resonansi yang terjadi pada elektron yang sedang berpresisi

pada arah medan magnet internal oleh induksi gelombang mikro. Ferromagnetic

resonace (FMR) adalah istilah lain dari spin elektron resonance . DMR terjadi

pada frekuensi diantara 0.1 - 0.3 dari nilai FMR [50]. Perubahan orientasi domain

magnet oleh karena induksi magnetik akan menghasilkan restoring forces (gaya

pemulih) dengan arah yang berlawanan. Momen inersia domain wall dan gesekan

dengan sesama domain akan menghasilkan hambatan berupa disipasi energi

menurut persamaan 2.57 berikut:

2.57

dengan x sebagai perubahan orientasi domain wall, m sebagai massa domain, β

sebagai faktor damping atau redaman yang dipengaruhi oleh porositas, impuritas

dan cacat kristal, k sebagai stiffness atau koefisien kekakuan yang merupakan nilai

intrinsik material, Ms sebagai magnetisasi total material dan B(t) sebagai medan

magnet induksi gelombang mikro. Persamaan 2.56 memperlihatkan bahwa

semakin besar ukuran domain dan semakin banyak cacat (porositas, impuritas dan

cacat kristal) yang tekandung dalam material maka energi yang didisipasikan akan

semakin besar.

Material yang memiliki redaman relatif kecil akan menghasilkan DMR

karakteristik pada frekuensi tertentu menurut persamaan 2.58 berikut:

2.58

71

Pada grain yang sangat kecil (rgrain rsingle-domain), DMR menjadi kurang

signifikan (DMR 0) dan pada domain tunggal (k 0), tidak terjadi DMR

(DMR = 0) [54].

Perbedaan nilai permeabilitas fungsi frekuensi terhadap monodomain dan

multidomain pada material ferrite diperlihatkan oleh gambar 2.42 berikut:

Gambar 2.42 Pengaruh ukuran butir terhadap permiabilitas [54]

Pada frekuensi rendah (10 - 50 MHz) nilai permeabilitas ril multidomain

( 27.5) mencapai 7 kali nilai permeabilitas ril monodomain ( 4), namun

pada frekuensi tinggi (500 - 1500 MHz) nilai permeabilitas ril multidomain turun

dan mendekati nilai permeabilitas ril monodomain.

Nilai permeabilitas imajiner multidomain menunjukan efek serapan pada

frekuensi yang lebar (10 – 1500 MHz) dengan serapan maksimal pada frekuensi

karakteristik (75 MHz), sebaliknya permeabilitas imajiner monodomain

menunjukan bahwa serapan mulai terjadi pada frekuensi tertentu (100 MHz) dan

meningkat dengan kenaikan frekuensi.

72

2.14.2.4 Rugi-rugi oleh resonansi feromagnetik (FMR)

Struktur magnetik material ferro-magnetik dapat direpresentasikan dengan

banyaknya spin elektron yang tidak berpasangan menurut persamaan 2.59 berikut:

2.59

dengan g sebagai faktor pemisahan spektroskopis (~2), µB adalah Bohr magneton

(9.274 x 10-24

Am2) dan S sebagai jumlah spin yang tidak berpasangan.

Total momen magnet pada sistem kristal sepenuhnya tergantung pada momen

magnet spin elektron yang tidak berpasangan. Momen magnet spin tersebut akan

mengalami torsi dari medan magnet intrinsik kristal sehingga menghasilkan gerak

presisi dengan frekuensi Larmor menurut persamaan 2.60 berikut:

2.60

dengan γ sebagai rasio giroskopik ( ) dan Ha

sebagai medan anisotropi kristal. Karena maka frekuensi resonansi

material magnetik dapat dituliskan kembali seperti persamaan 2.61 berikut:

2.61

Mekanisme resonansi ferro-magnetik (FMR) dapat diilustrasikan secara sederhana

pada Gambar 2.43 berikut:

73

Gambar 2.43. MekanismeFMR oleh gelombang miro terhadap rotasi magnetik disekitar

medan anisotropis: (a) gerakan berpresisi sekitar medan anisotropi Hz oleh microwave Hrf

; (b) presisi elektron saat mendisipasikan energi [50]

Jika arah medan magnetik gelombang mikro tegak lurus terhadap medan statik

material dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi resonansinya, maka energi

gelombang mikro tersebut akan menghasilkan torsi yang membuat jari-jari

elektron yang sedang berpresisi menjadi lebih besar, dengan kata lain memiliki

level energi yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Gerak presisi pada level energi yang lebih tinggi tersebut akan

menghasilkan vibrasi kristal dalam bentuk gelombang spin atau magnon. Faktor

masa, koefisien kekakuan, porositas, impuritas dan cacat kristal akan menghalangi

pergerakan magnon tersebut dan menghasilkan disipasi. Proses tersebut yang

mengakibatkan terjadinya serapan energi gelombang mikro oleh efek FMR.

2.14.2.5 Rugi-rugi magnetik oleh proses relaksasi

Relaksasi magnetik merupakan proses kompleks yang melibatkan begitu

banyak faktor. Ilustrasi pada gambar 2.44 menunjukan proses relaksasi magnetik

yang mengakibatkan terjadinya disipasi dan merupakan penjelasan bagaimana

mekanisme damping pada FMR terjadi. Kumpulan gelombang spin yang

tereksitasi oleh gelombang mikro akan mendistribusikan energinya melalui

dipolar interaction, exchange interaction, atau melalui interaksi pembawa

muatan, lattice vibration dan relaksasi ion. Selain rugi-rugi intrinsik, perlu

74

diperhatikan kontribusi rugi-rugi ekstrinsik seperti ketidaksempurnaan struktur

kristal yang bergantung pada proses penumbuhan dan kondisi pembentukan

kristalnya, keacakan orientasi anisotropis ( polycrystallinity), porositas, kekasaran

permukaan, grain boundaries dan kecepatan relaksasi.

Proses relaksasi spin dapat diklasifikasikan ke dalam 2, 3 dan 4-magnon menurut

reprensentasi Hamiltonian [55] 2-magnon berhubungan dengan

ketidakhomogenan dalam material magnetik yang mencakup ketidaksempurnaan

struktur kristal, porositas, kekasaran permukaan dan impuritas. 3-magnon

berhubungan dengan dipolar interaction yaitu interaksi antar domain-domain

magnet berjangkauan panjang namun lemah yang bertanggung jawab mememecah

domain tunggal material ferro atau ferri-magnetik menjadi domain-domain yang

lebih kecil dengan arah yang saling berlawanan untuk meminimalisasi energi

sistem. 4-magnon berhubungan dengan exchange interaction yaitu interaksi

berjangkauan pendek namun kuat antar domain-domain magnet yang bertanggung

jawab menjaga arah domain-domain tetap pada arah yang sama. Kombinasi semua

magnon tersebut akan menghasilkan efek kombinasi yang menginduksi pembawa

muatan, relaksasi ion, lattice vibration dan akhirnya didisipasikan dalam bentuk

panas.

Gambar 2.44. Klasifikasi frekuensi relaksasi [56]

75

2.14.3 Impedansi gelombang dan reflektifitas

Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan mekanisme serapan gelombang

oleh material dielektrik dan magnetik secara terpisah. Namun demikian untuk

mendapatkan material penyerap gelombang mikro yang baik maka sifat dielektrik

dan magnetik perlu dipadukankan dalam satu material. Paduan sifat magnetik dan

dielektrik tersebut mengakibatka analisis menjadi semakin kompleks. Metode

impedansi dan reflektivitas menjadi alternatif yang cukup komperhensif untuk

memahami fenomena yang terjadi di dalam material penyerap gelombang mikro.

Interaksi gelombang elektromagnetik dengan materi dapat didefinisikan dengan

koefisien refleksi (R) dan absorpsi (A) seperti persamaan 2.62 dan 2.63 berikut:

2.62

2.63

dengan EI sebagai intensitas sumber, ER sebagai intensitas refleksi dan EA sebagai

intensitas absorpsi. Persamaan 2.62 dan 2.63 dapat ditulis kembali dalam bentuk

impedansi menurut persamaan 2.64 dan 2.65 berikut [57]:

2.64

76

2. 65

dimana :

2. 66

2.67

Propagasi gelombang mikro dengan material penyerap akan menghasilkan nilai ZL

yang bergantung pada konduktifitas, permitivitas dan permeabilitas.

Nilai o = 8.85 x 10-12

Fm-1

dan o = 1.26 x 10-6

Hm-1

, sehingga Z0 = 377 Ω.

Persamaan 2.65 memperlihatkan bahwa material yang sangat konduktif

akan menghasilkan nilai impedansi yang sangat kecil ), akibatnya

dan yang menunjukan bahwa seluruh gelombang mikro akan

dipantulkan dengan beda fasa 180o. Material penyerap gelombang mikro yang

baik harus mempunyai nilai dan nilai , sehingga seluruh energi

gelombang mikro akan diserap oleh material dan terjadi impedance matching atau

ZL = Z0 = 377 Ω.

Kemampuan suatu material penyerap gelombang mikro diukur berdasarkan nilai

reflektivitas pada persamaan 2.68 berikut:

77

2. 68

Material penyerap dengan nilai RL sebesar -20 dB akan menyerap 90% energi

gelombang mikro yang mengenainya. Gambar 2.11 menunjukan hubungan antara

RL dengan persentasi gelombang yang dipantulkan kembali oleh material.

Gambar 2. 45 Reflection loss and reflectivity correlation

Telah diolah kembali [51, 54]

Karena material penyerap harus memiliki reflektivitas yang sangat kecil, maka

persamaan 2.66 ditulis kembali menjadi persamaan 2.69 berikut [57]

2.69

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

-50

-45

-40

-35

-30

-25

-20

-15

-10

-5

0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10-50

-45

-40

-35

-30

-25

-20

RL (

dB

)

Reflection (%)

78

sehingga:

2. 70

dengan ZL sebagai impedansi sampel, Z0 sebagai impedansi udara, c sebagai

kecepatan cahaya di udara, f sebagai frekuensi, d sebagai tebal sampel, sebagai

permeabilitas kompleks dan sebagai permitivitas kompleks. Oleh karena nilai

permeabilitas relatif dan permitivitas relatif sangat bergantung pada frekuensi,

maka tujuan melakukan rekayasa material adalah untuk menghasilkan material

penyerap gelombang mikro yang memiliki nilai RL sekecil mungkin dan

jangkauan frekuensi serapan yang selebar mungkin.

79

BAB 3

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap yakni, pertama sintesis fasa

tunggal system La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 (x = 0, 0,02, 0,04 dan 0,06) dengan metode

penghalusan mekanik. Kedua, memperkecil ukuran partikel system

La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 dengan melakukan proses sonikasi. Secara lengkap, proses

penelitian tahap pertama dapat dilihat pada Gambar 3.1.

Sistem La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 yang telah disintesa pada tahap pertama

selanjutnya diproses dengan alat sonikator untuk memperkecil ukuran partikel.

Proses penelitian tahap kedua dapat dilihat pada Gambar 3.2.

3.1. Waktu dan Tempat penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Mei sampai November 2014.

Untuk tahap preparasi/pembuatan sampel dilakukan di laboratorium Departemen

Fisika FMIPA UI. Sedangkan tahap karakterisasi sampel dilaksanakan di PLT

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Departemen Fisika FMIPA UI, BATAN

Serpong, Fakultas Teknik UI, dan LIPI Bandung.

80

Gambar 3.1. Skema pembentukan fasa tunggal system La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3

Preparasi Material

Bahan-bahan dasar

Pencampuran (Mixing)

Proses penghalusan mekanik

Kalsinasi

Kompaksi

Sintering

Karakterisasi

Pengolahan data dan Analisis

XRD

PSA

81

Gambar 3.2. Skema proses sonikasi

Material absorber system

La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3

Grinding

Proses sonikasi

Heating

Material absorber

nanopartikel

Pengolahan data dan Analisis

Karakterisasi

82

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan sebagai berikut:

a. Timbangan digital. digunakan untuk menimbang bahan dasar

b. Spatula. beaker glass

c. Dies (cetakan specimen/sampel) berbentuk silindris.

d. Planetary Ball Milling untuk mencampur serbuk bahan dasar

e. Bola baja (ball mill) digunakan untuk menumbuk campuran di dalam vial

Planetary Ball Milling.

f. Furnace (dapur pemanas) untuk men-sintering sampel

g. Universal testing machine atau pressing mechine digunakan untuk

membuat/mengkompaksi sampel (green body).

h. Cawan kramik digunakan untuk tempat sampel ketika disintering

i. Sonikator dengan frekuensi daya tinggi untuk memperkecil ukuran

partikel.

j. X Ray Diffraction (XRD) digunakan untuk melihat struktur kristal

sampel

k. Permagraph Magnet-Physic Dr. Steingroever GmbH digunakan untuk

pengujian sifat magnetik sampel

l. Vector Network Analyzer (VNA) digunakan untuk pengujian sifat

absorber sampel.

m. Particle Size Analyzer (PSA) untuk mengetahui ukuran partikel sampel.

Bahan habis pakai yang digunakan sebagai berikut

n. Serbuk bahan dasar La2O3. MnCO3. BaCO3. dan TiO2 selengkapnya

dapat dilihat pada Tabel 3.1

o. Tissue. Aquabidest

p. Serbuk karbon diunakan untuk membersihkan vial planetary ball mill

q. PVAc. digunakan sebagai perekat pada saat mencetak spesimen dengan

kompaksi.

r. Sabun cream diunakan untuk membersihkan vial dan ball mill

s. Aseton digunakan sebagai pembersih dan campuran proses milling.

83

3.3. Preparasi Pembentukkan Fasa Tunggal

3.3.1. Bahan Dasar

Preparasi sampel dilakukan di laboratorium Fisika UI Depok dengan

metode reaksi padatan menggunakan mechanical milling (proses penghalusan

mekanik). Bahan-bahan dasar yang digunakan untuk membuat fasa tunggal

sistem La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 adalah La2O3, BaCO3, MnCO3, dan TiO2 produk

Aldrich dengan tingkat kemurnian pro analisis seperti yang ditunjukkan pada

Tabel 3.1

Tabel 3.1 Bahan Dasar Penelitian

No. Nama Formula

Kimia

Mr Produk Kemurnian

1. Lantanum

oksida

La2O3 325,78 Aldrich 99,9%

2. Barium

karbonat

BaCO3 197,31 Aldrich 99,9%

3. Mangan

karbonat

MnCO3 114,92 Aldrich 99,9%

4. Titanium

dioksida

TiO2 79,88 Aldrich 99,9%

Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dibuat melalui metode reaksi padatan

menggunakan milling dari prekursor berbahan dasar oksida yaitu La2O3, BaCO3,

MnCO3, dan TiO2. Komposisi sampel yang akan dibuat dihitung secara

stoikiometri dengan perbandingan persen bobot (%wt) dari masing-masing

senyawa menurut persamaan reaksi berikut :

La2O3(s) + BaCO3(s) + (1-x)MnCO3(s) + xTiO2(s)

La0,67Ba0,33Mn(1-x)TixO3 + CO2(g) + O2(g)

84

Hasil perhitungan dari persamaan reaksi diatas diperoleh massa bahan dasar yang

diperlihatkan pada Tabel 3.2

Tabel 3.2. Massa bahan dasar sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3

Sampel X La2O3 (g) BaCO3 (g) MnCO3 (g) TiO2 (g)

1 0 6,79 4,05 7,15 0,00

2 0,02 6,80 4,05 7,01 0,10

3 0,04 6,80 4,06 6,87 0,20

4 0,06 6,80 4,06 6,73 0,30

Setelah mengetahui massa bahan-bahan dasar yang dibutuhkan, bahan-

bahan dasar ditimbang dengan menggunakan neraca digital type Libror AE-210

merek Shimadzu dengan kapasitas 200,0000 gram, skala terkecil 0,0001 gram

(Gambar 3.3)

85

Gambar 3.3. Neraca digital Shimadzu

Selanjutnya bahan-bahan dasar tersebut dicampur dan dihaluskan melalui

proses mechanical milling untuk waktu milling efektif 40 jam dengan Planetary

Ball Mill (Gambar 3.4). Rasio antara bola dan material adalah 10 : 1. Untuk

menghindari kerusakan alat milling karena adanya peningkatan suhu motor yang

terlalu tinggi, maka untuk setiap satu siklus milling selama 30 menit, proses

dihentikan selama 30 menit untuk pendinganan motor.

86

Gambar 3.4. Planetary Ball Mill

Mechanical milling adalah teknik yang efektif untuk memperkecil ukuran

partikel dan memadukan beberapa senyawa ke dalam suatu fasa baru. Selama

proses berlangsung serbuk-serbuk bahan dasar terjebak dalam bola-bola yang

saling bertumbukan, sehingga mengakibatkan terjadinya deformasi dan proses

fracture, kemudian terjadi cold welding dari serbuk-serbuk secara elementer.

Selanjutnya sampel dikalsinasi untuk menghilangkan impuritas selama 10

jam dengan suhu 800oC. Sebelum dipanaskan, semua sampel dikompaksi terlebih

dahulu dengan menggunakan alat pencetak pellet (Gambar 3.5).

87

Gambar 3.5. Alat kompaksi

Kemudian semua sampel dipanaskan sampai temperatur 1200oC selama 10

jam dengan menggunakan tube furnace High Temperature Furnace merk

Termolyne (Gambar 3.6).

Gambar 3.6. High temperature Furnice Thermolyne 46100

88

3.3.2. Proses Sonikasi

Untuk memperkecil ukuran partikel digunakan proses sonikasi daya tinggi

(Gambar 3.7). Prinsip dasar proses ini adalah terbentuknya gelembung vakum

oleh gelombang ultrasonik pada cairan. Gelembung vakum yang terbentuk

kemudian runtuh dengan kecepatan tinggi dan dapat menghasilkan tekanan dan

temperatur yang sangat tinggi. Jika terdapat partikel disekeliling gelembung

vakum tersebut, partikel-partikel akan bertumbukan dengan kecepatan yang

sangat tinggi dan memungkinkan terjadinya pengecilan ukuran karena energi yang

dihasilkan lebih besar dari energi ikat antar butir pada sampel.

Gambar 3.7. Sonikator

89

3.4. Karakterisasi Sampel

3.4.1. Thermogravimetric analysis (TGA)

Dasar dari TGA adalah mengamati perubahan massa sampel terhadap

kenaikan temperatur. Kurva kontinu perubahan massa terhadap temperatur

diperoleh ketika sampel dipanaskan dengan kecepatan yang seragam. Kurva

thermogravimetric (TG) umumnya merupakan plot antara penurunan massa pada

sumbu y (ordinat) dan kenaikan temperatur pada sumbu x (absis).

Karakterisasi sampel dengan TGA dilakukan di Pusat Laboratorium

Terpadu UIN Jakarta. TGA (TA Instrument) tersebut menggunakan gas oksigen

dan nitrogen.

Gambar 3.8. TGA

90

3.4.2. Difraksi Sinar-X (XRD)

Analisa kuantitas dan kualitas fasa-fasa yang ada dalam sampel

menggunakan XRD merek Shimadzu. Berkas sinar-x dihasilkan dari tube anode

Cu, dengan panjang gelombang 1,5405Å, mode: continous-scan, step size: 0,2 dan

timer per step 0,5 detik, dilakukan di Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta.

Gambar 3.9. Alat Difraksi sinar-X (XRD) Shimadzu-7000

91

3.4.3. SEM

Karakterisasi dengan Scanning Electron Microscope (SEM) dilakukan

untuk mengetahui morfologi dari sampel. Karakterisasi SEM dilakukan di PTBIN

BATAN, Serpong. Dengan spesifikasi alat Jeol JED-2300.

Gambar 3.10. Scanning Electron Microscope (SEM)

92

3.4.4. Permagraf

Karakterisasi dengan permagraph dilakukan dengan tujuan mengetahui

sifat magnetik dari sampel, seperti saturasi dan koersifitas magnet. Karakterisasi

permagraf dilakukan di laboratorium UI Depok.

Gambar 3.11. Permagraf

93

3.4.5. Vibrating Sample Magnetometer

Alat VSM tipe OXFORD VSM1.2H merupakan salah satu jenis peralatan

yang digunakan untuk mempelajari sifat magnetic bahan. Dengan alat ini akan

diperoleh informasi mengenai besaran-besaran sifat magnetik sebagai akibat

perubahan medan magnet luar yang digambarkan dalam kurva histerisis seperti

yang ditunjukkan pada Gambar 3.12.

Gambar 3.12. Alat Vibrating Sample Magnetometer (VSM) tipe OXFORD VSM1.2H

94

Semua bahan mempunyai momen magnetic jika ditempatkan dalam medan

magnetic. Momen magnetic per satuan volume dikenal sebagai magnetisasi.

Secara prinsip ada dua metode mengukur besar magnetisasi tersebut, yaitu metode

induksi (induction method) dan metode gaya (force method). Pada metode

induksi, magnetisasi diukur dari sinyal yang ditimbulkan/diinduksikan oleh

cuplikan yang bergetar dalam lingkungan medan magnet pada sepasang

kumparan. Sedangkan pada metode gaya pengukuran dilakukan pada besarnya

gaya yang ditimbulkan pada cuplikan yang berada dalam gradient medan magnet.

VSM adalah salah satu alat ulur magnetisasi yang bekerja berdasarkan metode

induksi. Pada metode ini, cuplikan yang akan diukur magnetisasinya dipasang

pada ujung bawah batang kaku yang bergetar secara vertikal dalam lingkungan

medan magnet luar H. Jika cuplikan termagnetisasi secara permanen ataupun

sebagai respon dari adanya medan magnet luar, getaran ini akan mengakibatkan

perubahan garis gaya magnetik. Perubahan ini akan menginduksi/menimbulkan

suatu sinyal tegangan AC pada kumparan pengambil (pick-up atau sense coil)

yang ditempatkan secara tepat dalam sistem medan magnet ini. Dengan memakai

hokum Biot-Savart untuk sistem medan dipole, tegangan induksi diberikan

sebagai :

V Afm G(x,y,z) (3.1)

A : amplitude getaran cuplikan,

f : frekuansi getaran cuplikan,

m : momen magnetik,

G(x,y,z) : fungsi sensitivistas, yang ditunjukkan adanya kebergantungan

sinyal pada posisi cuplikan dalam system kumparan

Selanjutnya sinyal AC ini akan dibaca oleh rangkaian pre-amp dan Lock-in

amplifier. Frekuensi dari Lock-in amplifier diset sama dengan frekuensi getaran

sinyal referensi dari pengontrol getaran cuplikan. Lock-in amplifier ini akan

membaca sinyal tegangan dari kumparan yang sefasa dengan sinyal referensi.

95

Kumparan pengambil biasanya dirangkai berpasangan dengan kondisi lilitan yang

berlawanan. Hal ini untuk menghindari terbacanya sinyal yang berasal dari selain

cuplikan,misalnya dari akibat adanya perubahan medan magnet luar itu sendiri.

selanjutnya dalam proses pengukuran, medan magnet luar yang diberikan, suhu

cuplikan, sudut dan interval waktu pengukuran dapat divariasikan melalui kendali

computer. Komputer akan merekam data tegangan kumparan sebagai fungsi

medan magnet luar, suhu, sudut ataupun waktu.

3.4.6. Pengukuran Resistivitas menggunakan Four Point Probe (FPP)

Alat Four Point Probe (FPP) digunakan untuk melihat perubahan resistansi

sampel dengan dan tanpa medan magnet. Jadi, dengan menggunakan alat Four

Point Probe (FPP) dapat menentukan nilai magnetoresistansi setiap sampel

La0,67Sr0,33Mn1-xFexO3 untuk masing-masing komposisi x. Alat ukur Four Point

Probe (FPP) memiliki komponen utama yaitu :

1. Perangkat computer : yang terdiri dari CPU, monitor, keybord dan mouse

2. Sumber arus DC : Programmable DC Power Suplly TSX1820P buatan

Thurlby-Thadar, digunakan untuk mengukut rapat arus kritis superkonduktor,

daerah pengukuran 10 mA sampai dengan 20 A

3. Sumber arus konstan DC : 2554 DC Voltage Current Standard buatan

Yokogawa, digunakan untuk mengukur cuplikan yang memiliki resistansi

tinggi, daerah pengukuran 1 A sampai dengan 10 mA.

4. Voltmeter : 181 Nanovoltmeter merek Keithley.

5. Alat pengontrol suhu : Lake Shore Cryotronics 201 Thermometer.

6. Alat pembangkit magnet (coil electromagnetic)

7. Fou Point Probe merek Jandel, dengan spesifikasi jarak antar probe 1 mm.

massa probe 70+ gram, dan bahan probe adalah Tungten Carbida (TC).

Alat Four Point Probe (FPP) terdiri dari empat kabel keluaran, terdiri dari

dua kabel yang dihubungkan dengan voltmeter dan dua kabel lainnya

dihubungkan dengan sumber arus konstan. Sumber arus DC dihubungkan dengan

96

coil elektromagnetik yang akan digunakan sebagai sumber pembangkit medan

magnet. Skematik peralatan ini diperlihatkan sebagai berikut :

Gambar 3.13. Skematik alat ukur Four Point Probe (FPP)

Langkah-langkah persiapan

a. Sampel yang diukur dipersiapkan dalam bentuk padatan (berbentuk silinder)

dengan ukuran diameter maksimumnya adalah 15 mm dan ketebalan

maksimum 5 mm.

b. Permukaan sampel yang telah dipersiapkan harus bersih, sehingga sampel

terbebas dari oksida-oksida pengotor dan diusahakan permukaannya rata.

c. Sampel diletakkan pada sampel holder

d. Sampel siap untuk diukur.

Langkah-langkah pengukuran

Pengukuran ini dikontrol dengan menggunakan komputer. Apabila program ini

dijalankan, akan tampil dialog box menu GPIBJc.

a) Pada gambar 3.14, terilhat ada 4 icon, terletak dibagian bawah layar monitor,

yakni : start, stop, konfigurasi dan main menu.

97

Gambar 3.14. Kotak dialog pengukuran magnetoresistansi pada FPP

b) Icon konfigurasi diklik satu kali, maka kursor akan berpindah ke panel

parameter isian I (Ampere). Jika I (Ampere) diisi 0,01, artinya nilai minimum

arus yang dialirkan pada sampel adalah 0,01 Ampere.

c) Tombol ENTER ditekan, kursor berpindah ke lokasi parameter ΔI. Harga ΔI

diisi 0,01, artinya nilai maksimum perubahan arus yang diinginkan adalah

0,01 Ampere.

Point b) dan c) ini digunakan untuk mengontrol perubahan medan magnet

pada coil dengan memasukkan sumber arus awal dan delta arusnya.

d) Tombol ENTER ditekan, kursor berpindah ke lokasi parameter range Volt.

Harga range Volt diisi 0,002, artinya nilai maksimum tegangan yang akan

diukur adalah 2 mV

e) Tombol Enter ditekan, kursor berpindah ke lokasi file dan mengisi nama file

yang kita kehendaki untuk setiap perlakuan sampel.

f) Tombol ENTER ditekan, maka akan muncul informasi pada layar :

1. Alat anda sudah tersambung dengan baik.

2. Parameter konfigurasi belum benar

3. Alat anda belum tersambung dengan PC

Jika informasi (1) muncul, berarti data konfigurasi yang dimasukkan sudah

benar dan bisa dilanjutkan kelangkah berikutnya. Jika informasi (2) muncul,

berarti ada kesalahan pada nilai parameter konfigurasi. Jika informasi (3) yang

98

muncul, berarti ada sebagian alat yang belum tersambung dengan baik pada

PC.

g) Klik icon start satu kali, maka pengukuran dimulai.

h) Jika grafik pada layar monitor sudah terbentuk, maka pengukuran dihentikan

dengan mengklik satu kali pada icon stop

i) Kemudian mouse dipindahkan ke icon main menu, di klik satu kali dan pada

monitor muncul kembali ke menu pilihan gambar 3.10.

j) Selanjutnya keluar dari menu pengukuran masuk ke file data ini dengan

mengklik dua kali F10 Exit, klik start, pilih program, klik Windows-Explorer,

pilih Newgpib, kemudian klik dua kali File data hasil pengukuran

k) Data hasil pengukuran dapat dibaca dengan menggunakan program excel

Microsoft for windows.

Gambar 3.15. Rangkaian Alat Four Point Probe (FPP)

3.4.7. Vector Network Analyzer

Pengujian sifat penyerapan gelombang elektromagnetik menggunakan

peralatan Vector Network Anayzer (VNA). Sistem kerja Vector Network Anayzer

(VNA) adalah menganalisis efek refleksi dan transmisi sumber gelombang

elektromagnet yang dihasilkan dari sinyal frekuensinya seperti terlihat pada

Gambar 3.16 dan Gambar 3.17.

99

Gambar 3.16. Vector Network Analyzer – Advantest type R3770

Gelombang datang (S11) dari Port 1 dan gelombang pantul diterima juga oleh Port

1 serta gelombang transmisi (S21) diterima oleh Port 2.

Gambar 3.17. Skema Perambatan Gelombang Elektromagnetik dalam Air Line Wave

Guide

Pengujian refelection loss (RL) terhadap sampel diukur dengan

menggunakan alat Vector Nework Analyzer tipe ADVANTEST R3770 dengan

rentang frekuensi pengujian dilakukan pada frekuensi 5 GHz hingga 18 GHz

dengan prototipe 300 KHz – 20 GHz. Untuk analisis refleksi dan transmisi

100

gelombang mikro sampel berbentuk bulk dengan diameter 15 mm dan ketebalan 2

mm.

Dalam hal penyerapan energi gelombang EM, keseluruhan interaksi dapat

diwakili oleh impedansi dari material (Zin) yang bersifat dielektrik dan induktif.

Gambar 3.18. Skematik proses absorpsi gelombang elektomagnetik

Analisa refleksi (S11) dan transmisi (S21) pada gelombang mikro dilakukan pada

frekuensi 1 – 20 GHz menggunakan model matematik Nicholson-Ross-Weir

(NRW) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.18 [58].

Prosedur model NRW ini diturunkan dari persamaan berikut :

(3.2)

Kedua parameter ini dapat diperoleh dari hasil pengukuran dengan menggunakan

vector network analyzer.

Sedangkan hubungan antara S11 dan S21 sebagai factor koefisien refleksi dan

transmisi ditunjukkan pada persamaan berikut ini.

(3.3)

(3.4)

(3.5)

101

Gambar 3.19. Model matematik Nicholson-Ross-Weir [58]

Dari kedua persamaan diatas dapat diperoleh permeabilitas relative menurut

persamaan sebagai berikut :

(3.6)

Dimana 0 panjang gelombang ruaang hampa dan c is adalah panjang gelombang

cut off dari karakteristik adapter dan waveguide.

(3.7)

102

Sedangkan permitivitas relative dapat didefiniskan sebagai :

(3.8)

Dimana d adalah ketebalan bahan absorp, r adalah permitivitas relative, µr adalah

permeabilitas relative, g adalah panjang gelombang di dalam sampel, and

merupakan konstata propagasi dari bahan.

Berdasarkan teori reflection loss radiasi elektromagnetik RL (dB) dalam

gelombang normal pada permukaan material lapis tunggal dengan sebuah

penghantar sempurna dapat didefinisikan sebagai:

(3.9)

dimana Z0 adalah karakteristik impedansi ruang hampa

Z0 = (0 / 0)1/2

377 (3.10)

Zin adalah imput impedansi adalah metal-backed lapisan penyerapan gelombang

mikro.

(3.11)

Zin adalah normalisasi input impedansi yang sama dengan rasio Zin terhadap Z0, 0,

0 adalah permeabilitas dan permitivitas kompleks dari media komposit, c adalah

kecepatan cahaya pada ruang hampa, f adalah frekuensi dan d adalah ketebalan

penyerap. Kondisi impedansi yang matcing jika Z0 = Zin yang merepresentasikan

sifat penyerapan sempurna. Bandwidth penyerapan 10 dB berarti frekuensi

bandwidth dapat mencapai 90 % dari reflection loss, jika bandwidth penyerapan

adalah 20 dB berarti frekuensi bandwidth dapat mencapai 99 % reflection loss.

103

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakterisasi TGA (Thermogravimetric Analysis) Sampel La0,67Ba0,33Mn1-

xTixO3

Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 disintesa dari beberapa bahan dasar yaitu

La2O3, BaCO3, MnCO3, dan TiO yang memiliki tingkat kemurnian rata-rata diatas

99%. Seluruh bahan dasar tersebut dimilling dengan Planetary Ball Mill selama

40 jam. Hasil milling tersebut selanjutnya dikarakterisasi dengan alat TGA

(Thermogravimetric Analysis) yang memliki kemampuan mengkarakterisasi

sampel dari 0oC sampai 1000

oC. Hasil TGA sampel dengan variasi nilai x yang

selesai dimilling dapat dilihat dalam Gambar 4.1.

Dari hasil TGA tersebut tampak terdapat penurunan berat sampel ketika

terjadi kenaikan suhu sekitar 50oC – 800

oC. Penurunan berat sampel

dimungkinkan karena ada ion karbon yang berasal dari bahan dasar BaCO3 mau

pun MnCO3 terbuang ketika terjadi pemanasan. Atas dasar inilah tahapan

selanjutnya dilakukan kalsinasi pada suhu 800oC selama 10 jam untuk

menghilangkan impuritas-impuritas yang ada.

104

Gambar 4.1. Kurva TGA Sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3

105

Gambar 4.2. Kurva TGA bahan dasar BaCO3

Selain sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3, bahan dasar yang mengandung

karbonat yakni BaCO3 dan MnCO3 dikarakterisasi pula dengan TGA (Gambar 4.2

dan 4.6). Gambar 4.2 menunjukkan ada dua tahapan penurunan massa sampel

terhadap kenaikan suhu yakni antara suhu 200oC – 400

oC dan antara suhu 800

oC –

1000oC. Dan yang menarik, antara suhu 400

oC-800

oC terdapat kenaikan massa

terhadap kenaikan temperatur. Namun dari kurva TGA tersebut belum terlihat

adanya garis horizontal yang menandakan tidak ada lagi penurunan massa

senyawa BaCO3 terhadap kenaikan suhu.

106

Untuk mengetahui proses dekomposisi senyawa BaCO3, senyawa tersebut

dipanaskan dengan variasi suhu 825oC dan 1200

oC selanjutnya dikarakterisasi

dengan XRD. Pola difraksi sinar X dari senyawa dasar BaCO3 dan yang telah

dipanaskan dapat dilihat pada Gambar 4.3 sampai Gambar 4.5.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

Inte

nsita

s

Sudut dua theta

BaCo3

Gambar 4.3. Pola difraksi sinar X bahan dasar BaCO3 dengan variasi pemanasan

107

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

Inte

nsita

s

Sudut dua theta

BaCO3 825

oC

Gambar 4.4. Pola difraksi sinar X BaCO3 dengan pemanasan 825oC

108

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0

200

400

600

800

Inte

nsitas

Sudut dua theta

BaCO3 1200

oC

Gambar 4.5. Pola difraksi sinar X BaCO3 dengan pemanasan 1200oC

Pola difraksi sinar X BaCO3 yang telah dipanaskan dengan variasi suhu

diidentifikasi puncak-puncaknya dengan melihat International Centre for

Diffraction Data (ICDD). Dari hasil pencocokan dengan PDF diketahui bahwa

BaCO3 dengan pemanasan 825oC menunjukkan tetap merupakan senyawa

BaCO3 (00-045-1471). Sedangkan untuk senyawa BaCO3 yang dipanaskan

dengan suhu 1200oC terdapat tiga fasa yakni fasa BaCO3 (00-045-1471) dengan

struktur ortorombik, fasa BaCO4 (00-003-0659), dan fasa BaO (00-022-1056)

dengan struktur kubik. Adanya fasa BaCO4 inilah yang memungkinkan terjadinya

kenaikan massa seperti tampak pada kurva TGA. Reaksi dekomposisi yang

mungkin terjadi pada tahap ini adalah

109

3 BaCO3 + ½ O2 BaCO3 + BaCO4 + BaO +CO2

Dari kurva TGA bahan dasar MnCO3 (Gambar 4.6) terdapat beberapa

tahapan yang menandakan terjadinya perubahan MnCO3 menjadi manganat

oksida Mn2O3 atau Mn3O4 tergantung suhu kalsinasi.

Gambar 4.6. Kurva TGA bahan dasar MnCO3

110

Untuk mengetahui perubahan yang terjadi, bahan dasar MnCO3

dipanaskan pada suhu 300oC, 525

oC, 700

oC, dan 1100

oC selanjutnya dilakukan

karakterisasi XRD. Profil XRD bahan dasar MnCO3 yang telah dipanaskan pada

suhu bervariasi dapat dilihat pada Gambar 4.7 sampai Gambar 4.11.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

2000

Inte

nsitas

Sudut dua theta

MnCO3

Gambar 4.7. Pola difraksi sinar X bahan dasar MnCO3

111

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

200

400

600

800

1000

1200

1400

Inte

nsitas

Sudut dua theta

MnCO3 300

oC

Gambar 4.8. Pola difraksi sinar X MnCO3 dengan pemanasan 300oC

112

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

200

400

600

800

1000

1200

1400

Inte

nsita

s

Sudut dua theta

MnCO3 525

oC

Gambar 4.9. Pola difraksi sinar X MnCO3 dengan pemanasan 525oC

113

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0

500

1000

1500

2000

2500

Inte

nsitas

Sudut dua theta

MnCO3 700

oC

Gamabar 4.10. Pola difraksi sinar X MnCO3 dengan pemanasan 700oC

114

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

150

200

250

300

350

400

450

Inte

nsitas

Sudut dua theta

MnCO3 1100

oC

Gambar 4.11. Pola difraksi sinar X MnCO3 dengan pemanasan 1100oC

Berdasarkan identifikasi puncak-puncak pola difraksi yang bersumber dari

Crystallography Open Database (COD) dapat diketahui bahwa pola difraksi

untuk bahan dasar MnCO3 dengan pemanasan 300oC dan 525

oC tetap senyawa

MnCO3 (COD 96-900-7692). Sedangkan pola difraksi MnCO3 dengan pemanasan

700oC mengikuti pola difraksi senyawa Mn2O3 (COD 96-900-7521). Dan untuk

pola difraksi MnCO3 dengan pemanasan 1100oC sesuai dengan pola difraksi

senyawa Mn3O4 (COD 96-900-1964). Agar lebih jelas hasil tersebut dapat dilihat

dalam Tabel 4.1.

115

Tabel 4.1. Hasil karakterisasi MnCO3 dengan variasi temperatur pemanasan

Temperatur pemanasan (oC) Senyawa

300 MnCO3

525 MnCO3

700 Mn2O3

1100 Mn3O4

Tabel 4.1 menunjukkan ada dua tahap dekomposisi MnCO3, tahap

pertama

MnCO3 + O2 ½ Mn2O3 + CO2 + ¾ O2

Tahap pertama ini berhubungan dengan reaksi MnCO3 dan oksigen sehingga

membentuk fase Mn2O3 dan melepaskan karbon dioksida dan oksigen. Sedangkan

untuk tahap kedua reaksi dekomposisinya

Mn2O3 ⅔ Mn3O4 + ⅙ O2

Tahap kedua ini berhubungan dengan transformasi Mn2O3 menjadi Mn3O4 diikuti

dengan pelepasan oksigen.

4.2. Karakterisasi XRD (X-Ray Diffraction) Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3

Bahan-bahan dasar yang membentuk sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 yakni

La2O3, BaCO3, MnCO3, dan TiO2 sebelumnya dikarakterisasi dengan XRD.

Selanjutnya dilakukan proses sintesis seperti yang telah dijelaskan pada Bab 3,

sehingga terbentuk sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 , kemudian dikarakterisasi

dengan XRD. Perbandingan pola difraksi sinar X keempat bahan dasar dan pola

difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dapat dilihat pada Gambar 4.12.

116

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

0

440

880

1320

0

500

1000

15000

500

1000

1500

20000

500

1000

1500

0

750

1500

2250

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

Sudut dua theta

La2

O3

BaCO3

Inte

nsita

s

MnCO3

TiO2

La0,67

Ba0,33

Mn0,98

Ti0,02

O3

Gambar 4.12. Pola difraksi sinar X bahan dasar dan sampel

La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3

117

Gambar 4.12 menunjukkan adanya perbedaan antara pola difraksi sinar X

sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dengan pola difraksi sinar X bahan-bahan dasar

penyusunnya. Hal ini ditandai dengan perbedaan sudut dua theta puncak-puncak

difraksi antara sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dan bahan-bahan dasar. Oleh karena

itu dapat dikatakan bahwa proses eksperimen yang dilakukan telah berhasil

membuat sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 .

Pola difraksi sinar X untuk sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dengan variasi

x=0; 0,02; 0,04; dan 0,06 dapat di lihat pada Gambar 4.13 sampai Gambar 4.16.

10 20 30 40 50 60 70 80

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000

7000

Inte

nsitas

Sudut dua theta

La0,67

Ba0,33

MnO3

Gambar 4.13. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33MnO3

118

10 20 30 40 50 60 70 80

0

500

1000

1500

2000In

tensita

s

Sudut dua theta

La0,67

Ba0,33

Mn0,98

Ti0,02

O3

Gambar 4.14. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3

119

10 20 30 40 50 60 70 80

0

500

1000

1500

2000In

tensitas

Sudut dua theta

La0,67

Ba0,33

Mn0,96

Ti0,04

O3

Gambar 4.15. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ti0,04O3

120

10 20 30 40 50 60 70 80

0

500

1000

1500

2000

2500In

tensita

s

Sudut dua theta

La0,67

Ba0,33

Mn0,94

Ti0,06

O3

Gambar 4.16. Pola difraksi sinar X sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ti0,06O3

Pola difraksi sinar X sampel La,.67Ba0,33Mn1-xTixO3 untuk seluruh variasi

nilai x memperlihatkan pola difraksi yang sama, ditandai dengan puncak-puncak

pada sudut dua theta yang hampir sama. Selajutnya dilakukan refinement dengan

menggunakan software GSAS. Hasil refinement sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3

dengan variasi x ditunjukkan pada Gambar 4.17 sampai dengan Gambar 4.20

121

. Gambar 4.17. Hasil refinement sampel La0,67Ba0,33MnO3

122

Gambar 4.18. Hasil refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3

123

Gambar 4.19. Hasil refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ti0,04O3

124

Gambar 4.20. Hasil refinement sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ti0,06O3

Hasil refinement GSAS tersebut memberikan informasi bahwa seluruh

sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dengan harga x = 0,02; 0,04; dan 0,06 telah

terbentuk fasa tunggal dengan struktur kristal monoklik dan grup ruang I 1 2/c 1 .

Beberapa data hasil refinement GSAS dapat dilihat pada Tabel 4.2. Harga χ2

yang

diperoleh yakni dibawah 1,3 dan wRP dibwah 10% menunjukkan bahwa data yang

dihasilkan dapat diterima dengan baik. Dari hasil refinement tersebut tampak

bahwa pengaruh doping Ti terhadap strutur kristal ataupun perubahan parameter

kisinya tidak terlalu berpengaruh. Ditandai dengan tetanpnya struktur kristal untuk

setiap variasi konsentrasi x, dan harga parameter kisi yang tidak mengalami

perubahan secara signifikan.

125

Tabel 4.2. Hasil refinement GSAS sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3

Sampel a(Å) b(Å) c(Å) Β χ2 wRp Densitas

(g/cm3)

La0,67Ba0,33MnO3 5,538 5,534 7,830 89,922 1,239 0,077 6,678

La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 5,534 5,538 7,829 89,955 1,187 0,079 6,676

La0,67Ba0,33Mn0,96Ti0,04O3 5,550 5,520 7,812 90,097 1,265 0,083 6,690

La0,67Ba0,33Mn0,94Ti0,06O3 5,560 5,513 7,804 90,166 1,321 0,082 6,689

4.3. Karakterisasi Sifat Magnet Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3

Sifat magnet sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dikarakterisasi dengan

menggunakan permagraf. Kurva histerisis hasil karakterisasi permagraf sampel

La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dengan variasi harga x dapat dilihat dalam Gambar 4.21

sampai dengan Gambar 4.24.

126

-2000 -1500 -1000 -500 0 500 1000 1500 2000

-0.15

-0.10

-0.05

0.00

0.05

0.10

0.15

J(T

)

H(kA/m)

La0,67

Ba0,33

MnO3

Gambar 4.21. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33MnO3

127

-2000 -1500 -1000 -500 0 500 1000 1500 2000

-0.15

-0.10

-0.05

0.00

0.05

0.10

0.15

J(T

)

H(kA/m)

La0,67

Ba0,33

Mn0,98

Ti0,02

O3

Gambar 4.22. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3

128

-2000 -1500 -1000 -500 0 500 1000 1500 2000

-0.06

-0.04

-0.02

0.00

0.02

0.04

0.06

J(T

)

H(kA/m)

La0,67

Ba0,33

Mn0,96

Ti0,04

O3

Gambar 4.23. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ti0,04O3

129

-2000 -1500 -1000 -500 0 500 1000 1500 2000

-0.04

-0.02

0.00

0.02

0.04

J(T

)

H(kA/m)

La0,67

Ba0,33

Mn0,94

Ti0,06

O3

Gambar 4.24. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ti0,06O3

Bentuk kurva histerisis hasil permagraf pada Gambar 4.21 sampai dengan

Gambar 4.24 menunjukkan bahwa sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 termasuk

material soft magnetic. Gambar tersebut juga memperlihatkan adanya harga

saturasi yang cenderung menurun seiring dengan meningkatnya nilai komposisi x

pada sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3. Agar lebih jelas kurva histerisis sampel

La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dapat dilihat pada Gambar 4.25.

130

-2000 -1500 -1000 -500 0 500 1000 1500 2000

-0.15

-0.10

-0.05

0.00

0.05

0.10

0.15

J(T

)

H(kA/m)

x=0

x=0,02

x=0,04

x=0,06

Gambar 4.25. Kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 dengan variasi x

131

0.00 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06

0.04

0.06

0.08

0.10

0.12

0.14

Sa

tura

si (T

)

Variasi x

Gambar 4.26. Grafik medan saturasi terhadap variasi x

4.4. Karakterisasi VNA Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3

Kurva reflection loss (RL) sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 ditunjukkan

pada Gambar 4.27 sampai dengan Gambar 4.30. Berdasarkan kurva RL sampel

La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 , harga frekuensi dan reflection loss saat absorpsi

maksimum dapat di lihat pada Tabel 4.3.

132

8 9 10 11 12

-10

-8

-6

-4

-2

0

2R

eflection L

oss (

dB

)

Frekuensi (GHz)

La0,67

Ba0,33

MnO3

Gambar 4.27. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33MnO3

133

8 9 10 11 12

-14

-12

-10

-8

-6

-4

-2

0

2R

efle

ctio

n L

oss (

dB

)

Frekuensi (GHz)

La0,67

Ba0,33

Mn0,98

Ti0,02

O3

Gambar 4.28. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3

134

8 9 10 11 12

-15

-10

-5

0

Re

flect

ion

Loss

(dB

)

Frekuensi (GHz)

La0,67

Ba0,33

Mn0,96

Ti0,04

O3

Gambar 4.29. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,96Ti0,04O3

135

8 9 10 11 12

-15

-10

-5

0

Re

flect

ion

Loss

(dB

)

Frekuensi (GHz)

La0,67

Ba0,33

Mn0,94

Ti0,06

O3

Gambar 4.30. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ti0,06O3

136

8 9 10 11 12

-14

-12

-10

-8

-6

-4

-2

0R

efle

ctio

n L

oss (

dB

)

Frekuensi (GHz)

x=0

x=0,02

x=0,04

x=0,06

Gambar 4.31. Kurva RL sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3

Tabel 4.5. Reflection Loss (RL) sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3

Sampel Frekuensi (GHz) RL (dB)

X = 0 11,45 -5,79

X = 0,02 11,46 -13,26

X = 0,04 11,40 -11,20

X = 0,06 11,40 -12,90

Dari Gambar 4.31 dan Tabel 4.5. terlihat bahwa sampel dengan variasi

konsentrasi x = 0,02 atau La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 memiliki sifat absorpsi yang

terbaik, dengan nilai reflection loss optimum -13,26 dB pada daerah frekuensi

11,46 GHz.

137

4.5. Pembuatan Nano Partikel Sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,03Ti0,03 Melalui

Proses Sonikasi

Ukuran partikel sampel La0,67Ba0,33Mn0,94Ni0,03Ti0,03 setelah milling selama

40 jam di ukur dengan PSA (particle size analyser), hasilnya dapat dilihat pada

Gaambar 4.32. Dari Gambar 4.32 diperoleh ukuran partikel rata-rata sebesar 5016

nm.

Gambar 4.32. Ukuran partikel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 setelah proses milling 40 jam

Gambar 4.33 memperlihatkan ukuran partikel setelah proses re-milling

selama 10 jam. Ukuran partikel rata-rata sampel setelah proses re-milling 10 jam

diperoleh sebesar 2886 nm. Setelah sampel di re-milling selanjutnya dilakukan

proses sonikasi terhadap sampel selama 3 jam. Dari proses sonikasi diperoleh

d=5016 nm

138

ukuran partikel rata-rata sampel sebesar 358,3 nm (Gambar 4.34). Hasil ini

membuktikan bahwa proses sonikasi efektif untuk memperkecil ukuran partikel.

Gambar 4.34. Ukuran partikel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 setelah proses remilling 10

jam

d=2886 nm

139

Gambar 4.35. Ukuran partikel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 setelah proses sonikasi

Sampel yang telah melalui prose re-milling dan sonikasi selanjut dikarakterisasi

sifat magnetnya dengan menggunakan VSM. Gambar 4.36 menunjukan perbandingan

kurva histerisis antara sampel yang telah melalui proses re-milling dan proses sonikasi.

Dari Gambar 4.36 memperlihatkan bahwa harga saturasi tetap dan penurunan koersifitas

meskipun kecil.

d=358,3 nm

140

-1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0

-4

-3

-2

-1

0

1

2

3

4M

(em

u/g

ram

)

H(Tesla)

remilling

sonikasi

Gambar 4.36. Kurva histerisis La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 setelah proses remilling dan

sonikasi

141

Gambar 4.37 menunjukkan serapan yang diperoleh sampel setelah proses

sonikasi. Terlihat bahwa serapan tertinggi terjadi pada frekuensi 11,4 GHz dengan nilai

reflection loss maksimum sebesar 24,44 GHz. Dari spectrum reflection loss ini

menunjukan bahwa nilai serapan semakin baik ketika ukuran partikel semakin mengecil.

8.0 8.5 9.0 9.5 10.0 10.5 11.0 11.5 12.0

-25

-20

-15

-10

-5

0

Re

fle

ctio

n L

oss (

dB

)

Frekuensi (GHz)

Gambar 4.37. Kurva Reflection Loss (RL) La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3 setelah proses

sonikasi

142

4.6. Diskusi

Pola difraksi sinar X dan hasil refinement sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3,

(x = 0; 0,02; 0,04; dan 0,06) , menunjukkan bahwa sintesis system La0,67Ba0,33Mn1-

xTixO3, (x = 0; 0,02; 0,04; dan 0,06) tersebut telah berhasil membuat sampel satu

fasa dengan struktur kristal monoklinik. Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3, (x = 0;

0,02; 0,04; dan 0,06) fasa tunggal diperkuat dengan hasil pengamatan SEM

(Gambar 4.38) yang memperlihatkan morfologi permukaan sampel.

Gambar 4.38. Morfologi permukaan sampel x = 0,02

143

Gambar 4.39. Morfologi permukaan sampel x = 0,04

Gambar 4.39. Morfologi permukaan sampel x = 0,06

144

Berdasarkan referensi [5], bahan lanthanum manganat LaMnO3 memiliki

sifat antiferomagnet atau paramagnet isolator. Ketika kedudukan Mn3+

sebagian

disubstitusi oleh ion divalent Ba2+

komposisinya menjadi La1-xBaxMnO3 dengan

keadaan oksidasi La1-x3+

Bax2+

Mn1-x3+

Mnx4+

O32-

maka ion Mn hadir sebagai ion

Mn3+

dan ion Mn4+

. Electron 3d4+

dari ion Mn3+

bersifat mobile karena ada

kelebihan satu electron dibanding dengan electron 3d3+

dari ion Mn4+

yang

terlokalisasi. Electron bebas dari ion Mn3+

inilah yang dapat melompat melalui

ion O2-

menuju tetangganya ion Mn4+

, karena keadaan oksidasinya berbalik maka

lompatan tersebut dapat terus berlangsung (Gambar 2.24). Proses interaksi ini

menyebabkan bahan bertransisi menjadi feromagnet metalik. Dalam eksperimen

ini dapat dilihat bahwa kurva histerisis sampel La0,67Ba0,33MnO3 merupakan bahan

yang bersifat feromagnet (Gambar 2.11). Kurva histerisis La0,67Ba0,33MnO3

menunjukkan harga koersifitas yang sangat kecil sehingga bahan ini termasuk

material feromagnet lunak (soft magnetic) [25]. Begitu pula dengan kurva

histerisis seluruh sampel lainnya memiliki koersifitas kecil yang mengindikasikan

bahwa seluruh sampel termasuk material soft magnetic.

Kurva histerisis hasil karakterisasi sampel La0,67Ba0,33MnO3 yang didoping

dengan Ti pada site Mn, menunjukkan adanya kecenderungan penurunan harga

magnetisasi seiring bertambahnya doping Ti. Hal ini dimungkinkan ketika sampel

didoping Ti mengakibatkan ion Mn3+

menjadi berkurang, sehinga interaksi double

exchange antara ion Mn3+

dan Mn4+

yang berkontribusi terhadap terjadinya

fenomena feromagnet pun berkurang. Keadaan oksidasi sampel menjadi

La0,673+

Ba0,332+

Mn0,67-x3+

Tix3+

Mn0,334+

O3. Pada kondisi ini hadir pula interaksi

super exchange menandai adanya sifat antiferomagnetnya bertambah. Jika kita

kembalikan ke definisi bahwa magnetisasi adalah jumlah momen magnet per

satuan volume maka jumlah momen magnet pada sampel berkurang seiring

bertambahnya harga x.

145

Untuk sampel LBMO dengan doping Ti menunjukkan bahwa penambahan

konsentrasi doping Ti tidak memberikan perubahan absorpsi yang signifikan.

Padahal dari hasil karakterisasi magneticnya diperoleh bahwa magnetisasi

menurun seiring bertambahnya harga x, hal ini mengindikasikan bahwa sampel

LBMO doping Ti memiliki sifat listrik yang meningkat. Kemungkinan ini

diperkuat dengan hasil penelitian pengujian sampel dengan menggunakan four

point probe . Pengukuran ini dilakukan ketika tidak ada medan eksternal (H=0)

dan dilakukan pada suhu ruang. Nilai resistivitas (ρ) sampel La0,67Ba0,33Mn1-

xTixO3 dapat dilihat pada Tabel 4.6.

Tabel 4.6. Nilai resistivitas sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3

Sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 Resistivitas (Ohm.cm)

X=0 96

X=0,02 178

X=0,04 365

X=0,06 1612

Dari data Tabel 4.8 diplot menjadi grafik yang dapat dilihat pada Gambar 4.40.

146

0 0,02 0,04 0,06

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

Re

sis

tivita

s (

Oh

m.c

m)

Sampel variasi X

Gambar 4.40. Grafik perubahan resistivitas terhadap variasi x pada sampel

La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3

147

BAB 5

KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah

1. Sampel fasa tunggal La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 untuk seluruh variasi harga x

telah berhasil disintesa. Berdasakan hasil refinement diketahui bahwa

struktur kristal sampel La0,67Ba0,33Mn1-xTixO3 adalah monoklinik dengan

space group I 1 2/c 1.

2. Bentuk kurva histerisis hasil permagraph menunjukkan bahwa sampel

La0.67Ba0.33Mn1-xTixO3 termasuk material soft magnetic. Kurva histerisis

sampel juga memperlihatkan adanya kecenderungan harga saturasi

semakin menurung seiring dengan meningkatnya harga x.

3. Seluruh sampel memperlihatkan adanya absorpsi gelombang mikro pada

rentang frekuensi 8 -12 GHz. Performa absorpsi gelombbang mikro yang

terbaik adalah sampel La0,67Ba0,33Mn0,98Ti0,02O3. Reflection loss

maximumnya adalah -13,26 dB saat frekuensi 11,46 GHz.

4. Proses sonikasi daya tinggi secara efektif mampu memperkecil ukuran

partikel sampel, dari ukuran partikel rata-rata 2886 nm menjadi 358,3 nm

5. Karakteristik serapan semakin baik ketika ukuran partikel mengecil yakni

reflection loss maksimumnya -24,44 dB pada frekuensi 11,4 GHz.

148

REFERENSI

[1] J. Zhang, F. Wang, P. Zhang, and Q. Yan, “Effect of Fe doping on

magnetic properties and magnetoresistance in La1.2Sr1.8Mn2O7,” J.

Appl. Phys. 86, pp. 1604-1606, 1999.

[2] A. Tiwari and K. P. Rajeev, “Metal-insulator in La0.67Sr0.33Mn1-xFexO3,”

J. Appl. Phys. 86 , pp. 5175-5178, 1999.

[3] A. R. Dinesen, “Magnetocaloric and magnetoresistive properties

La0.67Ca0.33-xSrxMnO3,” Disertasi: Technical University of Denmark, 2004.

[4] V. Goldschmidt, Geochemistry, Oxford University Press, 1958.

[5] P. Norby, I. G. Krogh Andersen, E. K. Andersen, and N. H. Andersen,

“The crystal structure of lanthanum manganate (III), LaMnO3, at room

temperature and at 1273K under N2,” J. Solid State Chem. 119 , pp. 191-

196, 1995.

[6] A. Urushibara, Y. Moritomo, T. Arima, A. Asamitsu, and Y. Tokura,

“Insulator-metal transition and giant magnetoresistance in La1-xSrxMnO3,”

Physical Review B 51, pp. 14103–14109, 1995

[7] H. L. Ju, Y. S. Nam, J. E. Lee, and H. S. Shin, “Anomalous magnetic

properties and magnetic phase diagram of La1-xBaxMnO3,” J. Magnetism

& Mag. Mat. 219 , pp. 1-8, 2000.

[8] I. A. Serrano, M. L. Lopez, C. Pico, and M. L. Veiga, “CMR in a

manganite with 50% of Ti in the Mn sites,” Solid State Sciences 8, pp. 37-

43, 2006.

[9] H. Jifan and H. Qin, “Enhancement of room temperature

megnetoresistance in La0.67Sr0.33Mn1-xTixO3 manganites," J. Mat. Sci.

Eng. B 90, pp. 146-148, 2002.

149

[10] K. S. Zhou, D. Wang, L. S. Yin, D. M. Kong, and K. L. Huang, The

Chinese Journal of Nonferrous Metals 16 , pp. 754-757, 2006.

[11] K. S. Zhou, D. Wang, K. L. Huang, L. S Yin, Y. P. Zhou, and S. H. Gao,

“Characteristics of permittivity and permeability spectra in range of 2-18

GHz microwave frequency for La1-xSrxMn1-yByO3 (B = Fe, Co, Ni),”

Trans. Nonferrous Met. Soc. China 17 , pp. 1294-1299, 2007.

[12] K. S. Zhou, J. Deng, L. S. Yin, S. H. Mao, and S. H. Gao, “Microwave

absorbing properties of La0.8Ba0.2MnO3 nanoparticles,” Trans.

Nonferrous Met. Soc. China 17 , pp. 947-950, 2007.

[13] Y. L. Cheng, J. M. Dai, D. J. Wu, and Y. P. Sun, “Electomagnetic and

microwave absorption properties of carbonyl iron/La0.6Sr0.4MnO3

composites,” J. Magnetism and Magnet Mat. 322, pp. 97-101, 2010.

[14] D. I. Kim, S. J. Kim, and J. M. Song, “Dependence on preparation

temperature of the microwave absorption properties in absorbers for

mobile phones,” J. Korean Phys. Soc 43, pp. 269-272, 2003.

[15] L. W. Deng, J. J. Jiang, S. C. Fan, Z. K. Feng, W. Y. Xie, X. C. Zhang,

and H. H. He, “GHz microwave permeability of CoFeZr amorphous

materials synthesized by two-step mechanical alloying,” J. Magnetism

and Magnet Mat. 264, pp 50-54, 2003.

[16] M. R, Meshram, N. K. Agrawal, B. Sinha, and P. S. Misra, “A syudy on

the behavior of M-type barium hexagonal ferrite based microwave

absorbing paints,” Bull. Mater. Sci. 25, pp. 207-214, 2001.

[17] Y. L. Cheng, J. M. Dai, X. B. Zhu, D. J. Wu, Z. R. Yang, and Y. P. Sun,

“Enhanced microwave absorption properties of intrinsically core/shell

structured La0,6Sr0,4MnO3 nanoparticles,” Nanoscale Res. Lett. 4, pp.

1153-1158, 2009.

[18] L. Lu, Mechanical Alloying, Singapore, 2009.

150

[19] D. A. Cobley and P. T. Mason, (den 23 March 2010). I-Connect007.

Hämtat från I-Connect007: http://www.pcbdesign007.com den 10 June

2013

[20] C. Kittle, Introduction Solid State Physic, Addison Wesley, 1994

[21] M. Hikam, Kristalografi dan Teknik Difraksi, Universitas Indonesia ,2007.

[22] A. Beiser, Modern Physics, 1987.

[23] B. D..Cullity, Element of XRD, Addison Wesley, 1956.

[24] GSAS Manual

[25] W. D. Callister, Material Science and Engineering, Wiley and Son ,2000.

[26] G. Bertotti, Hysteresis in Magnetism for Physicists, Materials Scientists,

and Engineers, 1998.

[27] P. R. Soni, Mechanical Alloying Fundamentals and Applications, 2001.

[28] Suryanarayana, Mechanical Alloying and Milling, 2004.

[29] M. S. El-Eskandarany, Mechanical Alloying for Fabrication of Advanced

Engineering , 2001.

[30] T. Heielscher, ”Ultrasonic Production of Nano-Size Dispersions and

Emulsions, Dans European Nano Systems Workshop, 2005.

[31] A. Primo, A. Corma, and H. Garcia, ” Titania supported gold nanoparticles

as photocatalyst,” Physical Chemistry Chemical Physics 13, pp. 886-910,

2011.

[32] T. Prozorov, R. Prozoro, and K. S. Suslick, ”High Velocity Interparticle

Collisions Driven by Ultrasound, American Chemical Society 126, pp.

13890-13891, 2004.

151

[33] Y. C. Qing, W. C. Zhou, S. Jia, F. Luo, and D. M. Zhu, “Electromagnetic

and microwave absorption properties of carbonyl iron and carbon fiber

filled epoxy/silicone resin coatings,” Appl. Phys. A 100, pp. 1177-1181,

2010

[34] N. Andersson, R. Andersson, V. Bergman, M. Ek, and K. Mamberg, Royal

Institute of Technology Stockholm Sweden, 2006.

[35] Y. Liu, D.J. Sellmyer, and D. Shindo, Handbook of Advance Magnetic

Materials, Springer , 2006.

[36] C. Zener, “Interaction between the d-shells in the transition metal. II.

Ferromagnetic compound of manganese with perovskite structure,” J.

Phys. Rev. 82 , pp. 403-405, 1951.

[37] M. B. Salamon, “The physics of manganites: structure and transport,”

Review of Modern Physics 73 ,2001.

[38] J.C. Chapman, Phase Coexistence in Manganites, University of

Cambridge, 2005.

[39] P. W. Anderson and H. Hasegawa, “Consideration on double exchange,’

Physical Review 100 , pp. 675–681, 1955

[40] P. G. de Gennes, “Effect of double exchange in magnetic crystals,”

Physical Review 118 , pp. 141-154, 1960.

[41] P. W. Anderson, “ Antiferromagnetism, Theory of superexchange,” Phys.

Rev. 75 ,1950.

[42] Ismunandar, Kimia Anorganik, 2004

[43] G. H. Jonker and J. H. van Santen, “Ferromagnetic compound of

manganese with perovskite structure,” Physica XVI , pp. 337-349, 1950.

152

[44] S. V. Trukhanov, “Magnetic and magnetotransport properties of

La1-xBaxMnO3-x/2 perovskite manganites,” J. Mat. Chem. 13 , pp. 347-

352, 2003.

[45] P. Schiffer, A. P. Ramirez, W. Bao, and S. W. Cheong, “Low temperature

magnetoresistance and the magnetic phase diagram of La1-xCaxMnO3,”

Phys. Rev. Lett. 75 , pp. 3336-3339, 1995

[46] H. L. Ju, Y. S. Nam, J. E. Lee, H. S. Shin, “Anomalous magnetic

properties and magnetic phase diagram of La1-xBaxMnO3,” J. Magnetism

& Mag. Mat. 219 , pp 1-8, 2000.

[47] ITU International Telecommunications Union. Hämtat från International

Telecommunications Union: http://www.itu.int, den 20 November 2013.

[48] K. E. Haque, ”Microwave energy for mineral treatment processes—a brief

review,” International Journal of Mineral Processing 57, pp. 1-24, 1999.

[49] Agilent Technology, Basic of measuring dielectric properties of materials.

Agilent, 2006.

[50] A. J. Moulson and J. M. Herbert, Electroceramics 2nd Edition: Materials.

Properties. Application. England: John Wiley and Sons, 2003.

[51] Y. Liu, , D. J. Sellmyer, and D. Shindo, Handbook of advance magnetic

material Vol 1: Nanostructural effects. New York: Springer, 2006.

[52] NDT Education. About Us: Nondestructive Testing (NDT) Education

Resource Center. Hämtat från Nondestructive Testing (NDT) Education

Resource Center: http://www.ndt-ed.org, den 9 May 2013

[53] J. R. Truedson, K. D. McKinstry, P. Kabos, and C. E. Patton, ”High-field

effective linewidth and eddy current losses in moderate conductive single-

crystal M-type barium hexagonal ferrite disks at 10-60 GHz,” Journal

Applied Physics 74, pp 1-8, 1993.

153

[54] E. P. Wohlfart, Handbook of magnetic material Vol.3. Netherlands: North-

Holland, 1982.

[55] U. Ozgur, Y. Alivov, and H. Morkoc, ”Microwave ferrites, part 1:

fundamental properties,” Journal of Matererial Sciences: Material and

Electronic 20, pp.789–834, 2009.

[56] E.F. Schloemann, ”Intrinsic low-field loss in microwave ferrites,”

Magnetics, IEEE Transactions, 34, pp.3830-3836,2008.

[57] M. V. Akhterov, Microwave Absorption in Nanostructures. Santa Cruz:

University of California, 2010.

[58] A. M. Nicolson and G. F. Ross, ”Measurement of the intrinsic properties

of materials by time-domain techniques,” IEEE Transaction on

Intrumentation and Measurement 19, pp. 377-382, 1970