Upload
yuna-tafa
View
143
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
keperawatan
Citation preview
LAPORAN PENDAHULUAN
PASIEN DENGAN ENSEFALITIS
Disusun oleh :
Yuna Mustafa
2020101855
II C
AKADEMI KEPERAWATAN YAYASAN NOTOKUSUMO
YOGYAKARTA
2011/2012LAPORAN PENDAHULUAN PASIEN DENGAN ENSEFALITIS
I. Konsep dasar penyakit
A. Pengertian
Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh bakteri,
virus, jamur, protozoa. Mansjoer dkk, (2000)
Ensefalitis adalah suatu penyakit yang menyerang susunan syaraf pusat di
medula spinalis dan meningen yang di sebabkan oleh japanese ensefalitis virus yang
ditularkan oleh nyamuk. Soedarmo dkk, (2008)
B. Klasifikasi
Klasifikasi menurut Soedarmo dkk, (2008) adalah:
1. Ensefalitis fatal yang biasanya didahului oleh viremia dan perkembang biakan
virus ekstraneural yang hebat
2. Ensefalitis subklinis yang biasanya didahului viremia ringan, infeksi otak
lambat dan kerusakan otak ringan
3. Infeksi asimptomatik yang ditandai oleh hmpir tidak adanya viremia, sangat
terbatasnya replikasi ekstraneural
4. Infeksi persisten.
Meskipun Indonesia secara klinis dikenal banyak kasus encephalitis tetapi
baru Japanese B encepalitis yang ditemukan (Soedarmo dkk, 2008).
C. Anatomi dan Fisiologi Sistem Persyarafan
a. Pengertian
Menurut Setiadi, (2007) sistem syaraf adalah salah satu organ yang berfungsi
untuk menyelenggarakan kerja sama yang rapih dalam organisasi dan
koordinasi kegiatan tubuh. Dengan pertolongan syaraf kita dapat mengisap
suatu rangsangan dari luar pengndalian pekerja otot.
b. Sel sel pada sistem syaraf
1. Neuron
Unit fungsional sistem syaraf yang terdiri dari : Badan Sel, yaitu bagian
yang mengendalikan metabolisme keseluruhan neuron. Sedangakan Akson
adalah suatu prosesus tunggal, yang lebih tipis dan lebih panjang dari
dendrit. Bagian ini mengahantarkan impuls menjauhi badan sel ke neuron
lain, ke sel lain atau ke ke badan sel neuron yang menjadi asal akson ( arah
menuju ke luar sel ). Maka, Semua akson dalam sistem syaraf perifer di
bungkus oleh lapisan schwann ( neurolema ) yang di hasilkan oleh sel – sel
schwann. Kemudian mielin berfungsi sebagai insulator listrik dan
mempercepat hantaran impuls syaraf. Sedangkan Dendrit adalah
Perpanjang sitoplasma yang biasanya berganda dan pendek yang berfungsi
sebagai penghantar impuls ke sel tubuh.
2. Neuroglial
Sel penunjang tambahan pada susunan syaraf pusat yang berfungsi sebagai
jaringan ikat yang mensuport sel dan nervous sistem.
3. Sistam komunikasi sel
Rangsangan ini di sebut stimulus, sedangkan yang di hasilkan dinamakan
respon. Alat penghantar stimulus yang berfungsi menerima rangsangan
disebut reseptor,sedangkan yang menjawab stimulus di sebut efektor
seperti otot,sel , kelenjar atau sebagainya.
c. Sistem Syaraf Pusat
1. Perkembangan Otak
Otak terletak dalam rongga kranium (tengkorak) berkembang dari sebuah
tabung yang mulanya memperlihatkan tiga gejala pembesaran otak
awal,yaitu:
a. Otak depan menjadi hamisfer serebri, korpus striatum, talamus, serta
hipotalamus. Fungsinya menerima dan mengintegrasikan informasi
mengenai kesadaran dan emosi.
b. Otak tengah,mengkoordinir otot yang berhubungan dengan penglihatan
dan pendengaran. Otak ini menjadi tegmentum, krus serebrium, korpus
kuadriigeminus.
c. Otak belakang ( pons ), bagian otak yang menonjol kebnyakan
tersusun dari lapisan fiber ( berserat ) dan termasuk sel yang terlibat
dalam pengontrolan pernafasan. Otak belakang ini menjadi :
Pons vorali, membantu meneruskan informasi. Medula oblongata,
mengendalikan fungsi otomatis organ dalam( internal ). Serebelum,
mengkoordinasikan pergerakan dasar.
2. Pelindung Otak
a. Kulit kepala dan rambut
b. Tulang tengkorak dan columna vetebral
c. Meningen ( selaput otak )
3. Bagian – bagian Otak
a. Hemifer cerebral ( otak besar )di bagi menjadi 4 lobus, yaitu :
1. Lobus frontalis, menstimuli pergerakan otot, yang bertanggung
jawab untuk proses berfikir
2. Lobus parietalis, merupakan area sensoris dari otak yang
merupakan sensasi perabaan, tekanan, dan sedkit menerima
perubahan temperatur.
3. Lobus occipitallis, mengandung area visual yang menerima sensasi
dari mata.
4. Lobus temporalis, mengandung area auditory yang menerima
sensasi dari telinga.
Area khusus otak besar (cerebrum ) adalah :
Somatic sensory area yang menerima impuls dari reseptor sensory
tubuh. Primary motor area yang mengirim impuls ke otot skeletal
broca’s area yang terliabat dalam kemampuan bicara.
b. Cerebelum ( otak kecil )
Fungsi cerebelum mengmbalikan tonus otot di luar kesadaran yang
merupakan suatu mekanisme syaraf yang berpengaruh dalam
pengaturan dan pengendalian terhadap :
1. Perubahan ketegangan dalam otot untuk mempertahankan
keseimbangan dan sikap tubuh,
2. Terjadinya kontraksi dengan lancar dan teratur pada pergerakan
di bawah pengendalian kemauan dan mempunyai aspek
keterampilan.
Ada tiga jens kelompok syaraf yang di bentuk oleh syaraf
cerebrospinalis yaitu:
a. Syaraf sensorik, ( syaraf afferen ), yaitu membawa impuls dari
otak dan medulla spinalis ke perifer.
b. Syaraf motorik ( syaraf efferen ), menghantarkan impuls dari
otak dan medulla spinalis ke perifer.
c. Syaraf campuran, yang mengandung serabut motorik dan
sensorik, sehingga dapat mengantar impuls dalam dua jurusan.
4. Medulla Spinallis
Disebut juga sumsum tulang belakang. Yang terlindung di dalam tulang
belakang dan berfungsi untuk mengadakan komunikasi anatara otak dan
semua bagian tubuh serta berperan dalam : gerak reflek, berisi pusat
pengontrolan yang penting, heart rate contol atau denyut jantung,
pengaturan tekanan darah, pernafasan, menelan, muntah.
d. Susunan Syaraf Perifer
Sistem syaraf perifer menyampaikan informasi antara jaringan dan saraf pusat
( CNS ) dengan cara membawa signals dari syaraf pusat ke CNS. Susunan
syaraf terbagi menjadi 2, yaitu :
1. Susunan syaraf somatic
Susunan syaraf yang memiliki peranan yang spesifik untuk mengatur
aktivitas otot sadar atau serat lintang, jadi syraf ini melakuakan sistem
pergerakan otot yang di sengaja atau tanpa sengaja
2. Susunan syaraf otonom
Susunan syaraf yang mempunyai peranan penting mempengaruhi
pekerjaan otot sadar atau serat lntang, dengan membawa informasi ke otot
halus atau otot jantung yang dilakuakan otomatis.Menurut fungsinya
susunan syaraf otonom terdiri dari dua bagian yaitu:
a. Susunan syaraf simpatis
b. Susunan syaraf para simpatis( Setiadi, 2007).
D. Etiologi
Berbagai macam organisme dapat menimbulkan Encephalitis, misalnya ozoa, cacing,
jamur, spirokaeta, dan virus. Penyebab yang tersering adalah virus. Infeksi dapat
terjadi karena virus langsung menyerang otak atau reaksi radang akut karena infeksi
sistemik atau vaksinasi terdahulu. Encephalitis juga dapat diakibatkan oleh invasi
langsung cairan serebrospinal selama pungsi lumbal.
Berbagai jenis virus dapat menimbulkan Encephalitis, meskipun gejala klinisnya
sama. Sesuai dengan jenis virus serta epidemiologinya, diketahui berbagai macam
Encephalitis virus. Menurut Soedarmo dkk, (2008) bahwa virus Ensefalitis
berkembang biak dari sel hidup yaitu di dalam nukleus dan sitoplasma seperti babi,
kuda, gigitan nyamuk, dan lain lain.
Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan encephalitis, misalnya bakteria,
protozoa, cacing, jamur, spirochaeta, dan virus. Bakteri penyebab ensefalitis adalah
Staphylococcus aureus, streptokok, E. Coli, M. Tuberculosa dan T. Pallidum.
Encephalitis bakterial akut sering disebut encephalitis supuratif akut (Mansjoer,
2000).
E. Patofisiologi
Setelah nyamuk menggigit manusia yang rentan, virus menuju sistem getah
bening sekitar tempat gigitan nyamuk (kelenjar regional) dan berkembang biak,
kemudian masuk ke peredaran darah dan menimbulkan viremia pertama. Melalui
aliran darah virus menyebar ke organ tubuh seperti susunan syaraf pusat dan organ
eksterneural. Kemudian virus di lepaskan dan masuk ke dalam peredaran darah
menyebabkan virema kedua yang bersamaan dengan penyebaran infeksi di jaringan
dan menimbulkan gejala penyakit sistemik.
Bagaimana cara virus masuk menembus sawar otak tidak diketahui dengan
pasti, namun diduga setelah terjadinya viremia virus menembus dan berkembng biak
pada endotel vaskular dengan cara endositosis, sehingga dapat menembus sawar darah
otak. Setelah mencapai susunan saraf pusat, virus berkembang biak di dalam sel
dengan cepat pada retikulum endoplasma yang kasar serta badan golgi dan setelah itu
menghancurkannya. Akibat infeksi virus tersebut maka permeabelitas sel neuron, glia
dan endotel meningkat, mengakibatkan cairan di luar sel masuk ke dalam sel dan
timbullah edema sistoksik. Adanya edema dan kerusakan susunan saraf pusat ini
memeberikan memberikan manifestasi klinis berupa ensefalitis. Area otak yang
terkena dapat pada thalamus, ganglia basal, batang otak, hipokampus, dan krteks
selebra (Soedarmo dkk, 2008).
F. Manifestasi Klinis
Gejala klinisnya adalah :
a. Terjadi peningkatan tekanan intarakraniaum,berupa nyeri kepala, penurunan
kesadaran, dan muntah.
b. Terjadi demam akibat infeksi
c. Fotofobia (respon nyeri terhadap sinar) akibat iritasi saraf – saraf kranial
d. Ensefalitis biasanya memperlihatkan gejala awal yang dramatis berupa
delirium dan penurunan progresif kesadaran. Dapat timbul kejang dan
gerakan- gerakan abnormal (Corwin, 2001).
G. Penatalaksanaan
1. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan cairan serebrospinal
Warna jernih terdapat pleocytosis berkisar antara 50- 2000 sel. Dimana
sel limfosit merupakan sel yang dominan, protein agak meningkat,
sedangkan glukosa dalam batas normal.
2) Pemeriksaan EEG
Memperlihatkan proses inflamasi yang difuse “Bilateral” dengan
aktivitas rendah.
3) Pemeriksaan virus
4) Ditemukan virus pada CNS. Didapatkan kenaikan titer antibodi yang
spesifik terhadap virus penyebab.
2. Pengobatan pada encephalitis dilakukan dalam 2 cara, yaitu:
1) Pengobatan penyebabnya adalah:
Diberikan apabila jenis virus diketahui.Herpes encephalitis: adenosine
arabinose 15mg/kgBB/hari selama 5 hari.
2) Pengobatan suportif adalah :
Sebagian besar pengobatan encephalitis adalah pengobatan non
spesifik yang bertujuan mempertahankan fungsi organ tubuh.
Pengobatannya antara lain:
a. ABC ( Airway, Breathing, Circulation) harus dapat
dipertahankan sebaik- baiknya.
b. Pemberian makanan secara adekuat baik secara interal maupun
parenteral dengan memperhatikan jumlah kalori, protein,
keseimbangan cairan elektrolit dan vitamin.
c. Obat- obatan yang lain apabila diperlukan harus diberikan agar
keadaan umum penderita tidak bertambah jelek,Misalnya:
Hiperpireksia, diberikan: antipiretik paracetamol 10 mg/
kgBB/ X,kompres dingin. Kejang, diberikan: Diazepam 0,3-
0,5mg/kgBB/X diikuti dengan oemberian, Fenitoin 2 mg/
kgBB/ X untuk rumatan. Edema otak, diberikan: steroid:
dexametasone 0,5 mg/ kgBB/ X dilanjutkan dengan dosis 0,1
mg /kg BB/ X tiap 6 jam, Monitol dosis 1-2 gr/ kgBB selama ±
15 menit diulangi 8- 12 jam apabila diperlukan.
3. Perawatannya, yaitu :
Mata: cegah adanya exposure keratitis dengan pemberian BWC atau salep
antibiotika. Cegah decubitus: dengan merubah posisi penderita tiap 2 jam.
Penderita dengan gangguan menelan dan akumulasi sekret lakukan postural
drainage dan aspirasi mekanis ( Soedarmo dkk, 2008 ).
H. Komplikasi
Kompikasi yang terjadi pada ensefalitis adalah : (1) pasien dapat mengalami
ketidakmampuan permanen, kerusakan otak atau meninggal akibat ensefalitis, (2)
dapat timbul kejang ( Corwin, 2001 ).
I. Pemeriksaan Laboraturium dan Diagnostik
1. Dilakukan pegambilan CSS untuk pemeriksaan sel darah putih dan sensitivitas
mikro-organisme. Glukosa dan protein dalam CSS.
2. Dapat digunakan CT scan atau MRI untuk mengevaluasi drajat pembengkakan
dan tempat nekrosis ( Corwin, 2001).
II. Konsep dasar asuhan keperawatan
A. Pengkajian Keperawatan
1. Pengkajian umum : Riwayat penyakit sekarang : adanya luka parah dan luka bakar
dan imunisasi yang tidak adekuat.
2. Pengkajian khusus:
a. System pernafasan : dyspnea asfiksia dan sianosis akibat kontraksi oto
pernafasan.
b. System cardiovascular : disritmia, takicardi, hipertensi dan perdarahan,
suhu tubuh awalnya 38 - 40°Catau febris sampai ke terminal 43 - 44°C.
c. System neurologis: irritability (awal), kelemahan, konvulsi (akhir),
kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.
d. System perkemihan : retensi urine (distensi kandung kemih dan urine
output tidak ada/oliguria)
e. System pencernaan : konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus.
f. Siatem integument dan muskuloskletal : nyeri kesemutan pada tempat
luka, berkeringatan (hiperhidrasi), pada awalnya didahului trismus, spasme
otot muka dengan peningkatan kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot
kaku dan kesulitan menelan.
Apabila hal ini berlanjut terus maka akan terjadi status konvulsi dan
kejang umum.
B. Diagnosa yang mungkin muncul
1. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sputum
pada trakea dan spasme otot pernafasan.
2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme
otot-otot pernafasan
3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efek toksin
( bakterimia )
4. Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kekakuan
otot pengunyah
5. Hubungan interpersonal terganggu berhubungan dengan kesulitan bicara
6. Gangguan kebutuhan sehari-hari berhubungan dengan kondisi lemah dan sering
kejang
7. Resiko terjadi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake
yang kurang dan oliguria
8. Resiko terjadi cedera berhubungan dengan sering kejang
9. Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit tetanus dan
penanggulangannya berhubungan dengan kurangnya informasi
10. Kurangnya kebutuhan istirahat berhubungan dengan sering kejang
C. Rencana keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan sputum
pada trakea dan spasme otot pernafasan, ditandai dengan : ronchi, sianosis,
dyspnea, batuk tidak efektif disertai dengan sputum atau lender, hasil pemeriksaan
laboratorium menunjukan : AGD abnormal (asidosis respiratotik)
Tujuan: jalan nafas efektif
Kriteria:
a. Klien tidak sesak, lender atau sleam tidak ada
b. Pernafasan 16 – 18 kali/menit
c. Tidak ada pernafasan cuping hidung
d. Tidak ada tambahan otot pernafasan
e. Hasil pemeriksaan laboratorium darah AGD dalam batas normal
( pH=7,35 – 7,45 ; PCO2= 35 – 45 mmHg, PO2 = 80 – 100 mmHg )
Intervensi dan rasional :
a. Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi
Rasianal : secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk
meluruskan rongga pernafasan sehingga proses respirasi tetap berjalan
lancar dengan menyingkirkan pembuntuan jalan nafas.
b. Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengar suara nafas (adakah
ronchi) tiap 2 – 4 jam sekali
Rasional : ronchi menunjukan adanya gangguan pernafasan akibat atas
cairan atau secret yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan
sehingga perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas.
c. Bersihkan mulut dan saluran nafas dari secret dan lendir dengan
melakukan section.
Rasional : section merupakan tindakan bantuan untuk mengeluarkan
secret, sehingga mempermudah proses respirasi.
d. Oksigenisasi sesuai intruksi dokter
Rasional : pemberian oksigen secara adekuat dapat mensuplai dan
memberikan cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadi hipoksia
e. Observasi tanda-tanda vital setiap 2 jam
Rasional : dyspnea, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas
disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul tacikardi dan capillary
reffil time yang memanjang/lama.
f. Observasi timbulnay gagal nafas/apnea
Rasional : ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan
intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan
(mechanical ventilation)
g. Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer secret (mukolotik)
Rasional : obat mukolitik dapat mengencerkan secret yang kental sehingga
mudah mengeluarkan dan mencegah kekentalan.
2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme
otot-otot pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsangan, kontraksi otot-otot
pernafasan, adanya lender dan secret yang menumpuk.
Tujuan : pola nafas teratur dan normal
Kriteria :
a. Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuhan oksigen
b. Tidak sesak, pernafasan normal 16 – 18 kali/menit
c. Tidak sianosis
Intervensi dan rasional :
a. Monitor irama pernafasan dan respirasi rate
Rasional : indikasi adanya penyimpangan atau kelainan dari pernafasan
dapat dilihat dari frekuensi, jenis pernafasan, kemampuan dan irama nafas.
b. Atur posisi luruskan jalan nafas
Rasional : jalan nafas yang longgar tidak ada sumbatan proses respirasi
dapat berjalan dengan lancar.
Observasi tanda dan gejala sianosis
Rasional : sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi klinik
ketidakadekuatan suplai O2 pada jaringan tubuh perifer.
c. Berikan oksigenasi sesuai dengan intruksi dokter
Rasional : pemberian oksigen secara adekuat dapat mensuplai dan
memberikan cadangan oksigen, sehingga mncegah terjadinya hipoksia.
d. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam
Rasional : dyspnea, sianosis merupan tanda terjadinya gangguan nafas
disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul tacikardi dan capillary
reffil time yang memanjang/lama.
e. Observasi timbulnya gagal nafas
Rasional : ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan
intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan
(mechanical ventilato)
f. Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah
Rasional : kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi
jaringan dapat mengakibatkan terjadinya asidosis respiratory.
3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan efek toksin
(bakterimia), yang ditandai dengan : suhu tubuh meningkat menjadi 38 – 40 °C,
hiperhidrasi, sel darah putih lebih dari 10.000/mm3
Tujuan : suhu tubuh normal
kriteria :
a. Suhu kembali normal 36 – 37 °C
b. Hasil laboratorium sel darah putih (leukosit) antara 5.000 – 10.000/mm3
Intervensi dan rasional :
a. Atur suhu lingkungan yang nyaman
Rasional : iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh
individu sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan
konveksi
b. Pantau suhu tubuh tiap 2 jam
Rasional : identifikasi perkembangan gejala-gejala kearah syok exhaustion
c. Berikan hidrasi atau minum yang adekuat
Rasional : cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan
kompresi badan dari demam.
d. Lakukan tindakan teknik aseptic dan antiseptic pada perawatan luka
Rasional: perawatan luka mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih
berada disekitar luka.
e. Berikan kompres dingin bila tidak terjadi eksternal rangsangan kejang
Rasional : kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan
suhu tubuh dengan cara proses konduksi.
f. Laksanakan program pengobatan antibiotic dan antipiretik
Rasional : obat-obatan antibacterial dapat mempunyai spectrum untuk
mengobati bakteri gram positif, atau bakteri gram negative, antipiretik
bekerja sebagai proses termoregulasi untuk mengantisipasi panas.
g. Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium leukosit
Rasional : hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari
100.000/mm3 mengidentifikasikan adanya infeksi dan atau untuk
mengikuti perkembangan pengobatan yang diprogramkan.
4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot
pengunyah yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk
lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun disertai
hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg%
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria :
a. Berat badan optimal
b. Intake adekuat
c. Hasil pemeriksaan albumin 3,5 – 5 mg%
Intervensi dan rasional :
a. Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesuliatan dalam makan dan
pentingnya makanan bagi tubuh
Rasional : dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot
pengunyah sehingga klien mengalami kesuliatan menelan dan kadang
timbul reflex balik atau kesedak. Dengan tingkat pengetahuan yang
adekuat diharapkan klien dapat berpartisipasi dan kooperatif dalam
program diet.
b. Kolaborasi dengan tim gizi untuk pemberian diet TKTP cair, lunak, dan
bubur kasar.
Rasional : diet yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat
membuka mulut dan proses mengunyah
c. Kolaborasi untuk memberikan caiaran IV line
Rasioanal : pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan
ketidakmampuan mengunyah atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga
kebutuhan nutrisi terpenuhi.
d. Kolaborasikan untuk pemasangan NGT bila perlu
Rasional : NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk
memberikan obat
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, E. (2001). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Dongoes, E. Marilyn,(2000). Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. ISBN
Setiadi. (2007). Anatomi Fisiologi Manusia. Yogyakarta: Graha Ilmu
Johnson, Morrison, (2000). Nursing Outcome Classification. Mosby Year Book Philadelphia.
Mc. Closkey, Joanne, (2004). Nursing Intervention Classification. Mosby Year Book
Philadelphia.
Joyce, E. (2009). Pengkajian Pediatrik Edisi 4. Jakarta: EGC
NANDA, (2005). Nursing Diagnose:Definition and Classification. NANDA international.
Nursalam, et al. (2007). Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta: EGC.
Mansjoer, et al. (2001). Kapita Selekta Kedokteran Volume 1 Edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Wong, D, et al. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Edisi 6 volume 2. Jakarta: EGC
Wong, D. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik Edisi 4. Jakarta:EGC
Soedarmo,et al. (2008). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis Edisi 2. Jakarta:Ilmu Kesehatan
Anak FKUI
Rd. Arry yulianita, D. (2007). Buku Saku Keperawatan. Bandung:
Sofiyah, Yusi. (2007). Cat Kuliah Anak. Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan. Jakarta:
Universitas Indonesia.