19
PENGARUH PERBEDAAN KONSENTRASI PEWARNA SINTESIS (DYLON) DAN MACAM STRAIN TERHADAP FREKUENSI GAGAL BERPISAH (Non Disjunctions) PADA PERSILANGAN Drosophila melanogaster PERSILANGAN N >< w a dan N >< w e BESERTA RESIPROKNYA LAPORAN PROYEK Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Genetika II yang Dibina Oleh Dr. Hj. Siti Zubaidah, M. Pd Oleh: Kelompok 3 off. C/Rabu 1. Mayang Puspa Rena (130341614833) 2. Sintya Yuliandini (130341614838) The Learning University UNIVERSITAS NEGERI MALANG

Laporan Kelompok 3 NDJ-DYLON

Embed Size (px)

DESCRIPTION

GENETIK

Citation preview

Page 1: Laporan Kelompok 3 NDJ-DYLON

PENGARUH PERBEDAAN KONSENTRASI PEWARNA SINTESIS (DYLON) DAN

MACAM STRAIN TERHADAP FREKUENSI GAGAL BERPISAH (Non Disjunctions)

PADA PERSILANGAN Drosophila melanogaster PERSILANGAN N ♂ >< wa ♀ dan N

♂ >< we♀ BESERTA RESIPROKNYA

LAPORAN PROYEK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Genetika II yang Dibina Oleh

Dr. Hj. Siti Zubaidah, M. Pd

Oleh:

Kelompok 3 off. C/Rabu

1. Mayang Puspa Rena (130341614833)

2. Sintya Yuliandini (130341614838)

The Learning University

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN BIOLOGI

Oktober 2015

Page 2: Laporan Kelompok 3 NDJ-DYLON

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Genetika adalah salah satu cabang ilmu biologi yang mempelajari materi

genetik, khususnya mengenai struktur, reproduksi, kerja (ekspresi), perubahan,

keberadaan dalam populasi, serta perekayasaannya. Berdasarkan sejarahnya, genetika

tumbuh dan berkembang sejak temuan hasil percobaan J. G. Mendel yang diumumkan

pada tahun 1865. Genetika Mendel mengacu pada beberapa konsepsi, yaitu hukum

pemisahan Mendel (Mendel’s laws of segregation), hukum pilihan bebas Mendel

(Mendel’s laws of independent assortment), populasi Mendel (Mendelian population),

dan gen-gen Mendel (Mendelian genes) (Corebima, 2013).

Berkenaan dengan hukum pemisahan Mendel, Ayala dkk. (1984) dalam

Corebima (2013) menyebutkan kesimpulan Mendel sebagai “Beliau menyimpulkan

bahwa kedua faktor (gen) untuk tiap sifat tidak bergabung dengan cara apapun, tetapi

tetap berdiri sendiri selama hidupnya individu, dan memisah di saat pembentukan

gamet, sehingga separuh gamet mengandung satu gen sedangkan separuhnya lagi

mengandung gen lainnya. Kesimpulan ini dikenal sebagai hukum pemisahan

Mendel”. Untuk selanjutnya, hukum pemisahan Mendel ini dikenal sebagai Hukum

Mendel I.

Ada beberapa fenomena yang dapat menolak dari hukum Mendel diantaranya

adalah peristiwa gagal berpisah (nondisjunction). Fenomena gagal berpisah yang

didasari oleh kenyataan bahwa faktor (gen) adalah bagian dari kromosom, merupakan

perangkat alat evaluasi terhadap hukum pemisahan Mendel dan hukum pilihan bebas

Mendel yang mula-mula (Corebima, 1997).

Peristiwa gagal berpisah pada makhluk hidup dapat menyebabkan perubahan-

perubahan jumlah kromosom yang merupakan salah satu bentuk mutasi kromosom.

Peristiwa gagal berpisah dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor luar dan faktor

dalam. Faktor luar meliputi energi radiasi yang tinggi, karbondioksida, zat kimia

tertentu, dan suhu. Sedangkan faktor dalam meliputi umur, gen mutan, dan faktor

yang berkaitan dengan kelainan-kelainan tingkah laku genetik yang disebabkan oleh

adanya unsur mobile dalam genom (Balqis, 1995).

Page 3: Laporan Kelompok 3 NDJ-DYLON

Mengenai macam strain, Sved (1979) dalam Balqis (1995) menyatakan bahwa gen-

gen pada strain juga berperan dalam menyebabkan fenomena gagal berpisah. Selain

itu, Sved menyatakan gagal berpisah juga disebabkan oleh adanya fenomena hybrid

dysgenesis yaitu suatu sindrom yang berkaitan dengan penyimpangan genetik yang

terjadi secara spontan pada hybrid (hasil persilangan antara dua individu yang secara

genetik berbeda) hasil persilangan dua strain yang berlainan.

Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kemunculan fenotip makhluk

hidup di antaranya adalah medium sebagai sumber nutrisi atau makanan. Medium

yang digunakan bisa ditambahkan zat-zat tertentu untuk menguji pengaruhnya

terhadap pertumbuhan Drosophila melanogaster. Salah satu zat yang bisa

ditambahkan adalah zat pewarna sintetis untuk tekstil. Zat warna tekstil adalah semua

zat berwarna yang mempunyai kemampuan untuk diserap oleh serap tekstil dan

mudah dihilangkan kembali (Mimir, 2011). Pewarna tekstil Dylon hampir sama

dengan wantex atau pewarna lainnya. Pewarna ini berbentuk serbuk dengan aneka

jenis warna, perbedaannya dengan pewarna tekstil lainnya adalah Dylon

menghasilkan warna secerah warna bubuknya (Arini, 2012).

Sampai saat ini banyak penelitian mengenai pewarna sintetis. Berdasarkan

data dari berbagai studi yang telah dilakukan, EFSA (2009) menyimpulkan bahwa

pewarna sintetis berpotensi memiliki sifat karsinogenik dan genotoksik. Pemberian

dosis pewarna sintetis 150 ppm, 300 ppm, dan 600 ppm pada mencit menunjukkan

terjadinya perubahan bentuk dan organisasi sel dalam jaringan hati dari normal ke

patologis, yaitu perubahan sel hati menjadi nekrosis dan jaringan di sekitarnya

mengalami desintegrasi atau disorganisasi (Aroni, 2011).

Pemberian pewarna sintetis dapat memberikan pengaruh negatif dan

mengubah beberapa penanda biokimia pada organ-organ penting seperti hati dan

ginjal, baik pada dosis tinggi ataupun rendah. Lebih jauh lagi, pewarna sintetis juga

memberikan efek yang lebih beresiko pada dosis yang lebih tinggi karena dapat

menginduksi stress oksidatif melalui pembentukan radikal bebas (Aroni, 2011).

Persilangan dapat dilakukan dengan perlakuan pemberian pewarna sintetis dengan

menyilangkan strain yang satu dengan strain lainnya. Strain mutan memiliki gen-gen

mutan yang menyebabkan sentromer tidak dalam keadaan normal. Dalam keadaan

normal, dua sentromer sesaudara terletak saling menutup pada saat metafase. Satu

sentromer akan berorientasi ke salah satu kutub dan sentromer lain akan berorientasi

Page 4: Laporan Kelompok 3 NDJ-DYLON

ke kutub yang berlawanan (Herkowitz, 1973). Beberapa contoh strain mutan adalah

strain wa dan strain we.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dilakukan penelitian dengan judul

“Pengaruh Konsentrasi Pewarna Sintetik (Dylon) dan Macam Strain terhadap

Frekuensi Gagal Berpisah (Non Disjuncions) pada Persilangan Drosophila

melanogaster N♂ >< Wa♀ dan N♂ >< We♀ Beserta Resiproknya”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti membuat rumusan masalah sebagai

berikut:

1. Apakah ada pengaruh perbedaan konsentrasi pewarna sintesis (dylon) (0%,0,05%,

0,25%, 0,75%, 1%) terhadap frekuensi gagal berpisah pada persilangan

Drosophila melanogaster N♂ >< Wa♀ dan N♂ >< We♀ beserta resiproknya?

2. Apakah ada pengaruh macam strain terhadap frekuensi gagal berpisah pada

persilangan N♂ >< Wa♀ dan N♂ >< We♀ beserta resiproknya?

3. Apakah ada interaksi antara perbedaan konsentrasi pemberian pewarna sintesis

(dylon) dan macam strain terhadap frekuensi gagal berpisah pada persilangan N♂

>< Wa♀ dan N♂ >< We♀ beserta resiproknya?

C. Tujuan Peneliatian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Mengetahui adanya pengaruh perbedaan konsentrasi pewarna sintesis (dylon)

(0%,0,05%, 0,25%, 0,75%, 1%) terhadap frekuensi gagal berpisah pada

persilangan Drosophila melanogaster N♂ >< Wa♀ dan N♂ >< We♀ beserta

resiproknya.

2. Mengetahui adanya pengaruh macam strain terhadap frekuensi gagal berpisah

pada persilangan Drosophila melanogaster N♂ >< Wa♀ dan N♂ >< We♀ beserta

resiproknya.

3. Mengetahui adanya interaksi antara perbedaan konsentrasi pemberian pewarna

sintetis (dylon) dan macam strain terhadap frekuensi gagal berpisah pada

persilangan Drosophila melanogaster N♂ >< Wa♀ dan N♂ >< We♀ beserta

resiproknya.

D. Manfaat Penelitian

Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagi peneliti

Page 5: Laporan Kelompok 3 NDJ-DYLON

Menambah wawasan mengenai genetika, memberikan informasi dan pemahaman

serta bukti tentang adanya pengaruh perbedaan konsentrasi pewarna sintetik

(dylon) terhadap frekuensi gagal berpisah pada persilangan D. melanogaster N♂

>< Wa♀ dan N♂ >< We♀ beserta resiproknya.

2. Bagi mahasiswa

Memberikan informasi dan pengetahuan lebih lanjut tentang frekuensi gagal

berpisah pada persilangan N♂>< y♀ dan N♂ >< we♀ beserta resiprok yang

dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi pewarna sintetis Dylon dan macam strain.

E. Asumsi Penelitian

Anggapan dasar peneliti adalah sebagai berikut:

1. Semua aspek biologis D. Melanogaster dianggap sama kecuali warna mata, warna

tubuh, dan bentuk sayap.

2. Faktor internal D. Melanogaster seperti umur dianggap sama.

3. Faktor eksternal seperti kondisi medium dalam tiap botol pada stok maupun

ulangan persilangan dari awal hingga akhir penelitian dianggap sama dan kondisi

lingkungan, seperti suhu, cahaya, kelembaban, pewarna sintetis (dylon) dan

medium juga dianggap sama.

4. Semua perlakuan yang dilakukan pada setiap ulangan persilangan selama proses

penelitian dianggap tidak sama, hal ini disebabkan karena ada perbedaan

konsentrasi adalah 0%,0,05%, 0,25%, 0,75%, 1%.

F. Ruang Lingkup dan Batasan Masalah

Adapun ruang lingkup dan batasan masalah penelitian ini sebagai berikut:

1. Strain D. melanogaster yang digunakan dalam penelitian ini adalah strain N, wa,

dan we yang diperoleh dari laboratorium Genetika Jurusan Biologi FMIPA UM.

2. Pengamatan fenotip yang dilakukan meliputi ciri morfologi yaitu warna mata,

warna tubuh, dan sayap.

3. Pengambilan data diperoleh dari pengamatan fenotip dan hasil persilangan

Drosophila melanogaster pada strain N♂ >< wa♀ dan N♂ >< we♀ beserta

masing-masing resiproknya yang meliputi F1

4. Konsentrasi dylon yang digunakan dalam penelitian adalah 0%,0,05%, 0,25%,

0,75%, 1%.

G. Definisi Operasional

Adapun definisi operasional dalam penelitian ini sebagai berikut:

Page 6: Laporan Kelompok 3 NDJ-DYLON

1. Strain merupakan suatu kelompok-kelompok intraspesifik yang memiliki hanya

satu atau sejumlah kecil ciri yang berbeda, biasanya secara genetik homozigot

untuk ciri-ciri tersebut atau galur murni (Klug dan Cummings, 2000). Strain yang

digunakan dalam penelitian strain N, wa, dan we.

2. Fenotip adalah karakter yang dapat diamati pada suatu individu seperti morfologi,

fisiologi, tingkah laku yang merupakan hasil interaksi antara genotip dengan

lingkungan tempat hidup berkembang (Corebima, 1997).

3. Gagal berpisah (nondisjuction) adalah suatu peristiwa dimana bagian-bagian dari

sepasang kromosom yang homolog tidak bergerak memisahkan diri sebagaimana

mestinya pada meiosis I, atau dimana kromatid saudara gagal berpisah selama

meosis II (Campbell,dkk, 2002).

4. Pewarna tekstil Dylon adalah pewarna yang berbentuk serbuk dengan aneka jenis

warna yang dapat menghasilkan warna secerah warna bubuknya (Arini, 2012).

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Sistematika Drosophila melanogaster

Sistematika Drosophila melanogaster secara lengkap menurut Storer, 1979

sebagai berikut :

Filum : Arthropoda

Kelas : Insecta

Anak Kelas : Pterygota

Bangsa : Diptera

Anak Bangsa : Cyclorrhapha

Suku : Drosophilidae

Anak Suku : Drosophilinae

Marga : Drosophila

Jenis : Drosophila melanogaster

Jenis Drosophila melanogaster di Indonesia terdapat sekitar 600 jenis, di Pulau

Jawa sekitar 120 jenis dari suku Drosophilidae (Wheeler, 1981). Kimball (1983)

menyebutkan D. melanogaster digunakan dalam penelitian genetika karena beberapa

alasan; ukuran tubuh relatif kecil, sehingga dalam populasi besar mudah dipelihara

dalam laboratorium, mudah diamati, mempunyai daur hidup yang sangat cepat, dalam

Page 7: Laporan Kelompok 3 NDJ-DYLON

dua minggu dapat dihasilkan satu generasi dewasa yang baru, dan lalat betina

menghasilkan ratusan telur yang dibuahi dalam siklus hidupnya yang sangat pendek.

Setiap jenis Drosophila melanogaster khususnya jantan memiliki susunan

yang berbeda antara jenis yang satu dengan yang lainnya. Lalat Drosophila jantan

memiliki perbedaan dengan lalat Drosophila betina yang terletak pada ukuran tubuh,

bentuk ujung abdomen posterior, segmen garis hitam pada abdomen posterior serta

ada tidaknya sisir kelamin (sex comb) (Suryo,1984).

B. Macam Strain pada Drosophila melanogaster

Drosophila melanogaster memiliki empat macam kromosom di dalam

tubuhnya. Tiga diantaranya merupakan kromosom tubuh dan satu kromosom

merupakan kromosom X atau kromosom kelamin. Macam strain Drosophila

melanogaster berkaitan erat dengan gen-gen yang mempengaruhinya. Di kalangan

Drosophila melanogaster, gen-gen yang terpaut kromosom kelamin X antara lain

(ditunjukkan dalam bentuk mutan) yellow, white, vermilion, miniature, rudimentary

(Ayala dalam Corebima, 1997).

Menurut Corebima (2003:46) dari dua kromosom X pada individu betina itu,

satu kromosom diwariskan kepada keturunan betina, dan yang lainnya diwariskan

kepada keturunan jantan, sedangkan dari kromosom XY pada individu jantan,

kromosom X diwariskan kepada turunan betina, dan kromosom Y diwariskan pada

turunan jantan. Dengan demikian terlihat jelas bahwa suatu sifat yang dikendalikan

oleh faktor yang terletak pada kromosom X akan mengalami suatu pewarisan

menyilang (crisscross inheritance), dalam hal ini individu jantan akan mewariskan

sifat semacam itu kepada cucu turunan jantan melalui betinanya (anaknya), dan tidak

pernah melalui turunan jantan (anak).

Atas dasar kenyataan bahwa individu jantan hanya memiliki sebuah

kromosom X dan sebuah kromosom Y yang tidak memiliki sebagian besar gen pada

kromosom X, dinyatakan bahwa alela mata putih tersebut pada individu jantan

tergolong hemizigot, oleh karena itu, alela diekspresikan. Lebih lanjut dikemukakan

bahwa alela mutan mata putih yang ada pada kromosom X dari individu jantan induk

bermata putih, mula-mula diwariskan kepada turunan betina (kromosom Y diwariskan

kepada turunan jantan). Semua turunan betina merupakan carrier alela mutan

tersebut. Demikian pula turunan jantan F2 bersifat hemizigot, dan 50% sari seluruh

turunan jantan F2 itu memperoleh kromosom X yang membawahi alela mutan mata

putih dari induk betina yang heterozigot (Corebima, 2004:43).

Page 8: Laporan Kelompok 3 NDJ-DYLON

C. Peristiwa Gagal Berpisah pada Drosophila melanogaster

Gagal berpisah adalah suatu peristiwa di mana bagian-bagian dari sepasang

kromosom yang homolog tidak bergerak memisahkan diri sebagaimana mestinya

pada meiosis I, atau di mana kromatid saudara gagal berpisah selama meosis II. Pada

kasus ini, satu gamet menerima dua jenis kromosom yang sama dan satu gamet

lainnya tidak mendapat salinan sama sekali (Campbell dkk. 2002). Dalam hal ini

kedua kromosom kelamin X gagal memisah selama meiosis sehingga keduanya

menuju ke kutub yang sama dan terbentuklah telur yang memiliki dua kromosom

kelamin X maupun yang tidak memiliki kromosom kelamin X (Corebima, 2003).

Berkenaan dengan kejadian gagal berpisah (nondisjunction) pada Drosophila

melanogaster seperti yang dikemukakan pertama kali oleh Bridges tahun 1916, dalam

Novitasari (1997) menjelaskan bahwa kejadian nondisjunction tersebut dijelaskan

melalui kejadian nondisjunction pada betina bermata putih dalam hal ini betina

bermata putih yang mengalami nondisjunction saat meiosis akan menghasilkan telur

Xw Xw dan 0 (tanpa kromosom sex). Jika telur Xw Xw dibuahi oleh Y yang dibawa

sperma akan dihasilkan keturunan betina bermata putiih (Xw XwY). Jika telur tanpa

kromosom sex dibuahi oleh X yang dibawa sperma, akan menghasilkan keturunan

jantan normal (X+0). Tipe lain dari kejadian nondisjunction adalah telur XX yang

akan dibuahi oleh X yang dibawa sperma dan telur 0 yang akan dibuahi oleh Y yang

akan dibawa sperma. Zigot XXX yang bergenotip Xw XwX+ (betina) biasanya mati

dan lalat YO selalu mati. Contoh persilangan antara D. melanogaster strain N ♀ >< w

♂ yang menghasilkan keturunan nondisjunction dapat dilihat pada gambar 2.1.

Page 9: Laporan Kelompok 3 NDJ-DYLON

Peristiwa gagal berpisah merupakan salah satu bentuk mutasi kromosom

karena menyebabkan perubahan dalam jumlah kromosom. Gagal berpisah dapat

terjadi pada autosom maupun gonosom, selama meiosis maupun mitosis, pada betina

maupun jantan. Peristiwa nondisjunction dibedakan menjadi nondisjunction primer

dan sekunder. Nondisjunction primer dapat terjadi pada induk lalat yang belum

mengalami nondisjunction atau lalat normal, sedangkan nondisjunction sekunder

terjadi pada keturunan yang merupakan hasil nonodisjunction primer. Peristiwa itu

disebut sebagai gagal berpisah sekunder karena kejadiannya berlangsung pada

turunan dari individu betina, yang keberadaannya merupakan produk gagal berpisah

primer. Dalam hal ini individu betina yang dimaksud memiliki dua kromosom

kelamin X dan satu kromosom Y (Corebima, 2003).

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Peristiwa Gagal Berpisah

Faktor yang mempengaruhi terjadinya peristiwa gagal berpisah

(nondisjunction) terdiri dari faktor luar dan faktor dalam. Menurut Herkowith (1965)

dalam Ellinda (1999) menyatakan bahwa peristiwa gagal berpisah kromosom X pada

Drosophila melanogaster dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar

meliputi suhu, energi matahari, dan zat kimia. Salah satu zat kimia yang dapat

menyebabkan gagal berpisah adalah pewarna sintetis.

Faktor dalam yang mempengaruhi yaitu umur dan gen mutan. Gen mutan

menyebabkan sentromer tidak berada dalam keadaan normal dimana sentromer

sesaudara terletak saling menutup pada saat metaphase. Dua sentromer sesaudara

terletak berdekatan pada metaphase dalam keadaan normal, sampai ketika satu

sentromer menuju kutub dan sentromer lain menuju kutub yang berlawanan. Adanya

gen mutan (gen mei-s322) yang merupakan gen semi dominan pada kromosom II

Drosophila melanogaster, maka pada metaphase II sentromer sesaudara terletak

menjauh, dan masing-masing akan berorientasi bebas, konsekuensinya kedua

sentromer kadang-kadang menuju kutub yang sama sehingga pada anaphase II terjadi

peristiwa nondisjunction (gagal berpisah). Pai (1985) dalam Balqis (1995),

menyatakan bahwa peristiwa gagal berpisah cenderung meningkat dengan semakin

bertambahnya umur khususnya pada bentuk kehidupan yang rendah.

E. Kajian Pewarna (Dylon)

Page 10: Laporan Kelompok 3 NDJ-DYLON

Pewarna sintetik adalah salah satu zat pewarna sintetik yang biasa digunakan

pada industri tekstil dan kertas. Pewarna sintetik ini digunakan sebagai bahan pewarna

dasar dalam tekstil dan kertas. Menurut Menteri Kesehatan (Permenkes) No.

239/Menkes/Per/V/85, zat ini ditetapkan sebagai zat yang dilarang penggunaannya

pada makanan. Namun penggunaan pewarna sintetik dalam makanan masih terdapat

di masyarakat. Di Makasar ditemukan pewarna sintetik e-B pada kerupuk, sambal

botol, dan sirup melalui pemeriksaan pada sejumlah sampel makanan dan minuman.

Pada awalnya zat ini digunakan untuk kegiatan histologi dan sekarang berkembang

untuk berbagai keperluan yang berhubungan dengan sifatnya dapat berfluorensi dalam

sinar matahari (Fitrah, 2010).

Menurut Arini (2012), pewarna tekstil dylon hampir sama dengan wantex atau

pewarna lainnya. Dylon menghasilkan warna yang secerah warna bubuknya. Pewarna

sintetik dylon ini berbentuk serbuk dengan aneka jenis warna.

Kelarutan pewarna sintetik ada dua macam yaitu lakes dan dyes. Lakes adalah

pigmen yang dibuat melalui pengendapan dari penyerapan dyes pada bahan dasar,

biasa digunakan pada pelapisan tablet, campuran adonan kue, cake dan donat. Dyes

merupakan zat warna yang larut air dan diperjual belikan dalam bentuk granula,

cairan, campuran warna dan pasta. Digunakan untuk mewarnai minuman berkarbonat,

minuman ringan, roti, kue-kue produk susu, pembungkus sosis, dan lain-lain. Dylon

termasuk pewarna dyes. (Anonim, 2011).

Proses pembuatan zat pewarna sintetik biasanya melalui perlakuan pemberian

asam sulfat atau asam nitrat yang sering kali terkontaminasi oleh arsen atau logam

berat lain yang bersifat racun. Pada pembuatan zat pewarna organik sebelum

mencapai produk akhir, harus melalui suatu senyawa antara yang kadang-kadang

berbahaya dan sering kali tertinggal dalam hasil akhir, atau terbentuk senyawa-

senyawa baru yang berbahaya. Untuk zat pewarna yang dianggap aman, ditetapkan

bahwa kandungan arsen tidak boleh lebih dari 0,00014 persen dan timbal tidak boleh

lebih dari 0,001 persen, sedangkan logam berat lainnya tidak boleh ada.

Pewarna tekstil ini sering disalahgunakan untuk pewarna makanan dan

pewarna kosmetik, Dylon ini terbuat dari dietillamniphenol dan phatalic anchidria

dimana kedua bahan baku ini sangat toksik bagi manusia (Soneta, 2007). Cahyadi,

2006 menyebutkan bahan zat warna ini dapat menyebabkan iritasi dan merupakan zat

Page 11: Laporan Kelompok 3 NDJ-DYLON

karsinogenik (dapat menyebabkan kanker). Efek kronis pewarna sintetik dalam

konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kerusakan pada hati.

Djarismamti, 2004 (dalam Soneta, 2007) menyebutkan bahwa dalam uji

toksisitas pewarna sintetik terhadap hewan, menunjukkan terjadinya perubahan

bentuk dan organisasi sel dalam jaringan hati dari normal ke patologis, yaitu

perubahan sel hati menjadi nekrosis dan jaringan di sekitarnya mengalami

desintegrasi atau disorganisasi. Kerusakan pada jaringan hati ditandai dengan

terjadinya piknotik dan hiperkromatik dari nukleus, degenerasi lemak dan sitolisi dari

sitoplasma. Degenerasi lemak ini disebabkan karena terhambatnya pasokan energi

yang digunakan untuk memelihara fungsi dan struktur reticulum endoplasmic

sehingga proses sintesa protein menjadi menurun dan sel kehilangan daya untuk

mengeluarkan trigliserida, akibatnya menyebabkan necrosis hati.

Dalam analisis penelitian menggunakan metode destruksi dan

spektrofotometri telah diketahui bahwa sifat racun pewarna sintetik tidak hanya

disebabkan senyawa organik, tetapi oleh karena kontaminasi senyawa anorganik

terutama timbal dan arsen (Subandi, 1999). Dengan terkontaminasinya pewarna

sintetik dengan kedua unsur tersebut, menyebabkan pewarna sintetik ini berbahaya

jika digunakan sebagai pewarna pada makanan, obat maupun kosmetik. Hal ini

didukung oleh Winarno (2004) yang menyatakan bahwa timbal memang banyak

digunakan sebagai pigmen atau zat pewarna dalam industri kosmetik dan kontaminasi

dalam makanan dapat terjadi akibat penggunaan zat pewarna tekstil tersebut.

Di dalam strukturnya terdapat ikatan dengan senyawa klorin (Cl) di mana

atom klorin tergolong sebagai senyawa halogen dan sifat halogen yang berada di

dalam senyawa organik sangat berbahaya dan memiliki reaktivitas yang tinggi untuk

mencapai kestabilan dalam tubuh dengan cara berikatan terhadap senyawa-senyawa di

dalam tubuh yang menimbulkan efek toksik dan memicu kanker pada manusia

(Kusmayadi dan Sukandar 2009). Juga senyawa Alkilating (CH3-CH3 ) dan bentuk

struktur kimia yang poli aromatik hidrokarbon (PAH) di mana bentuk senyawa

tersebut bersifat sangat radikal, menjadi bentuk metabolit yang reaktif setelah

mengalami aktivasi dengan enzim sitokrom P-450. Bentuk radikal ini akan berikatan

dengan protein, lemak dan DNA (Zakaria et al., 1996). Respon bervariasi tidak hanya

sesuai dengan dosis, usia, jenis kelamin, status gizi dan genetik faktor, tetapi juga

sesuai dengan jangka panjang paparan dosis rendah (Sasaki et al.,dalam Hassan

Page 12: Laporan Kelompok 3 NDJ-DYLON

2010). Beberapa metabolit dari zat ini, seperti senyawa nitrat, juga telah ditemukan

menjadi karsinogen (Hassan, 2010).

Beberapa aditif makanan sebenarnya, telah dilarang dari penggunaan karena

toksisitas bahan aditif makanan tersebut. Aditif ini terbukti menyebabkan kerusakan

DNA pada bakteri, jamur, serangga dan mamalia sel in vivo dan in vitro. Mereka juga

menyebabkan penyimpangan kromosom dalam sel mamalia, termasuk sel manusia

(IARC, 1982). Dengan mengguanakan teknik alat tes komet menunjukkan adanya

kerusakan DNA. Pengujian dengan in vivo komet adalah cara yang cepat, sederhana

dan sensitif genotoxicological teknik untuk mengukur kerusakan DNA dalam tipe sel

individu hewan atau tanaman asal. Pengujian dengan teknik komet akan menjadi alat

yang lebih efektif untuk mendeteksi genotoxisitas dari aditif makanan. Pengujian

tersebut di dirikan sebagai tes genotoksititas dengan banyak lipat aplikasi in vitro dan

in vivo (Speit et al.,1999).

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kerangka Konseptual

Page 13: Laporan Kelompok 3 NDJ-DYLON