34
PTERYGIUM I. DEFENISI Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. (1) Pterygium berasal dari bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya “wing” atau sayap. Menurut Hamurwono pterygium merupakan Konjungtiva bulbi patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea. (2) 1

laporan kasus pterigium

Embed Size (px)

DESCRIPTION

njnjl

Citation preview

Page 1: laporan kasus pterigium

PTERYGIUM

I. DEFENISI

Pterygium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva

yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada

celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke

daerah kornea. Pterygium berbentuk segitiga dengan puncak di bagian

sentral atau di daerah kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi

iritasi, maka bagian pterygium akan berwarna merah. (1)

Pterygium berasal dari bahasa yunani, yaitu pteron yang artinya

“wing” atau sayap. Menurut Hamurwono pterygium merupakan Konjungtiva

bulbi patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk

segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea. (2)

Gambar 1. Pterygium

II. EPIDEMIOLOGI

Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah

iklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering.

Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan ekuator yaitu

daerah <370 lintang utara dan selatan dari ekuator. Prevalensi tinggi sampai

22 % di daerah dekat ekuator dan <2 % pada daerah di atas lintang 400.(3)

1

Page 2: laporan kasus pterigium

Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung pada

lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya berkisar

kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang utara sampai 5-15% untuk

daerah garis lintang 28-36o. Sebuah hubungan terdapat antara peningkatan

prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi di bawah

garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan angka kejadian di

lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah.Pasien

di bawah umur 15 tahun jarang terjadi pterygium. Prevalensi pterygium

meningkat dengan umur, terutama dekade ke 2 dan 3 kehidupan. Insiden

tinggi pada umur antara 20-49 tahun. Pterygium rekuren sering terjadi pada

umur muda dibandingkan dengan umur tua. Laki-laki 4 kali lebih berisiko

daripada perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah

dan riwayat paparan lingkungan di luar rumah.(3,4)

III. ANATOMI KONJUNGTIVA

Konjungtiva merupakan membran mukosa yang transparan dan tipis

yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva

palpebralis) dan permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris).

Konjungtiva bersambungan dengan kulit pada tepi palpebra (suatu

sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea dilimbus.(5)

Sesuai dengan namanya, konjungtiva menghubungkan antara bola

mata dan kelopak mata. Dari kelopak mata bagian dalam, konjungtiva

terlipat ke bola mata baik dibagian atas maupun bawah. Refleksi atau lipatan

ini disebut dengan forniks superior dan inferior. Forniks superior terletak 8-

10 mm dari limbus sedangkan forniks inferior terletak 8 mm dari limbus.

Lipatan tersebut membentuk ruang potensial yang disebut dengan sakkus

konjungtiva, yang bermuara melalui fissura palpebra antara kelopak mata

superior dan inferior. Pada bagian medial konjungtiva, tidak ditemukan

forniks, tetapi dapat ditemukan karunkula dan plika semilunaris yang

penting dalam sistem lakrimal. Pada bagian lateral, forniks bersifat lebih

dalam hingga 14 mm dari limbus.(6)

2

Page 3: laporan kasus pterigium

Secara anatomi, konjungtiva terdiri atas 3 bagian:

1. Konjungtiva Palpebra

Mulai pada mucocutaneus junction yang terletak pada bagian

posterior kelopak mata yaitu daerah dimana epidermis bertransformasi

menjadi konjungtiva. Dari titik ini, konjungtiva melapisi erat permukaan

dalam kelopak mata. Konjungtiva palpebra dapat dibagi lagi menjadi

zona marginal, tarsal, dan orbital. Konjungtiva marginal dimulai pada

mucocutaneus junction hingga konjungtiva proper. Punktum bermuara

pada sisi medial dari zona marginal konjungtiva palpebra sehingga

terbentuk komunikasi antara konjungtiva dengan sistem lakrimal.

Kemudian zona tarsal konjungtiva merupakan bagian dari konjungtiva

palpebralis yang melekat erat pada tarsus. Zona ini bersifat sangat

vaskuler dan translusen. Zona terakhir adalah zona orbital, yang mulai

dari ujung perifer tarsus hingga forniks. Pergerakan bola mata

menyebabkan perlipatan horisontal konjungtiva orbital, terutama jika

mata terbuka. Secara fungsional, konjungtiva palpebra merupakan daerah

dimana reaksi patologis bisa ditemui.(6)

2. Konjungtiva Bulbi

Menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera dibawahnya.

Konjungtiva bulbi dimulai dari forniks ke limbus, dan bersifat sangat

translusen sehingga sklera dibawahnya dapat divisualisasikan.

Konjungtiva bulbi melekat longgar dengan sklera melalui jaringan

alveolar, yang memungkinkan mata bergerak ke segala arah. Konjungtiva

bulbi juga melekat pada tendon muskuler rektus yang tertutup oleh

kapsula tenon. Sekitar 3 mm dari limbus, konjungtiva bulbi menyatu

dengan kapsula tenon dan sklera.(6)

3. Konjungtiva Forniks

Merupkan tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva

bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat erat pada

struktur sekitarnya konjungtiva forniks ini melekat secara longgar dengan

struktur di bawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta

3

Page 4: laporan kasus pterigium

muskulus rektus. Karena perlekatannya bersifat longgar, maka

konjungtiva forniks dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-

otot tersebut berkontraksi. (6)

Gambar 2. Konjugtiva

Konjungtiva di vaskularisasi oleh arteri ciliaris anterior dan arteri

palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis dengan bebas dan bersama

banyak vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya

membentuk jaring-jaring vaskuler konjungtiva yang sangat banyak.

Pembuluh limfe konjungtiva tersusun didalam lapisan superfisial dan

profundus dan bergabung dengan pembuluh lemfe palpebra membentuk

pleksus limfatikus. Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan

nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini memiliki serabut nyeri

yang relatif sedikit.(6)

Secara histologis konjungtiva terdiri atas epitel dan stroma. Lapisan

epitel konjungtiva terdir atas 2-5 lapisan sel epitel silindris bertingkat,

superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat limbus, diatas

caruncula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata

terdiri atas sel-sel epitel skuamous bertingkat. Sel-sel superfisial

mengandung sel-sel goblet bulat dan oval yang mensekresi mukus. Mukus

4

Page 5: laporan kasus pterigium

yang terbentuk mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk

dispersi lapisan air mata prakornea secara merata.(6)

Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat dibandingkan sel-sel

superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. Lapisan stroma

di bagi menjadi 2 lapisan yaitu lapisan adenoid dan lapisan fibrosa. Lapisan

adenoid mengandung jaringan limfoid dan di beberapa tempat dapat

mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum germinativum.(6)

Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi berumur 2-3

bulan. Hal ini menjelaskan konjungtivitis inklusi pada nenonatus bersifat

papilar bukan folikular dan mengapa kemudian menjadi folikular. Lapisan

fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat pada lempeng

tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reaksi papilar pada radang

konjungtiva.(6)

Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Kelenjar lakrimal

aksesorius (kelenjar krause dan wolfring), yang struktur fungsinya mirip

kelenjar lakrimal terletak di dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause

berada di forniks atas, sisanya di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak

di tepi tarsus atas.(6)

IV. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Pterygium diduga disebabkan oleh iritasi kronis akibat debu, cahaya

matahari, dan udara yang panas. Etiologinya tidak diketahui dengan jelas

dan diduga merupakan suatu neoplasma, radang dan degenerasi.(1)

Terdapat banyak perdebatan mengenai etiologi atau penyebab

pterygium. Disebutkan bahwa  radiasi sinar Ultra violet B sebagai salah satu

penyebabnya. Sinar UV-B merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi

pada gen suppressor tumor p53 pada sel-sel benih embrional di basal limbus

kornea. Tanpa adanya apoptosis (program kematian sel), perubahan

pertumbuhan faktor Beta akan menjadi berlebihan dan menyebabkan

pengaturan berlebihan pula pada sistem kolagenase, migrasi seluler dan

angiogenesis. Perubahan patologis tersebut termasuk juga degenerasi

5

Page 6: laporan kasus pterigium

elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular, seringkali disertai

dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal atau menipis

dan biasanya menunjukkan dysplasia. (7)

Terdapat teori bahwa mikrotrauma oleh pasir, debu, angin, inflamasi,

bahan iritan lainnya atau kekeringan juga berfungsi sebagai faktor resiko

pterygium. Orang yang banyak menghabiskan waktunya dengan melakukan

aktivitas di luar ruangan lebih sering mengalami pterygium dan pinguekula

dibandingkan dengan orang yang melakukan aktivitas di dalam ruangan.

Kelompok masyarakat yang sering terkena pterygium adalah petani, nelayan

atau olahragawan (golf) dan tukang kebun. Kebanyakan timbulnya

pterygium memang multifaktorial dan termasuk kemungkinan adanya

keturunan (faktor herediter). (7)

Pterygium banyak terdapat di nasal daripada temporal. Penyebab

dominannya pterygium terdapat di bagian nasal juga belum jelas diketahui

namun kemungkinan disebabkan meningkatnya kerusakan akibat sinar ultra

violet di area tersebut. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kornea sendiri

dapat bekerja seperti lensa menyamping (side-on) yang dapat memfokuskan

sinar ultra violet ke area nasal tersebut. (7)

Teori lainnya menyebutkan bahwa pterygium memiliki bentuk yang

menyerupai tumor. Karakteristik ini disebabkan karena adanya kekambuhan

setelah dilakukannya reseksi dan jenis terapi yang diikuti selanjutnya

(radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan penanda neoplasia dan

apoptosis  ditemukan pada pterygium. Peningkatan ini merupakan kelainan

pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak terkontrol

daripada kelainan degeneratif. (7)

1. Paparan sinar matahari (UV)

Paparan sinar matahari merupakan faktor yang penting

dalam perkembangan terjadinya pterigium. Hal ini menjelaskan

mengapa insidennya sangat tinggi pada populasi yang berada pada

daerah dekat equator dan pada orang –orang yang menghabiskan

banyak waktu di lapangan. (7)

6

Page 7: laporan kasus pterigium

2. Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu)

Faktor lainnya yang berperan dalam terbentuknya pterigium

adalah alergen, bahan kimia berbahaya, dan bahan iritan (angin,

debu, polutan). UV-B merupakan mutagenik untuk p53 tumor

supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa apoptosis, transforming

growth factor-beta over produksi dan memicu terjadinya

peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan angiogenesis.

Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah degenerasi

elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler subepitelial.

Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman akibat

pertumbuhan jaringan fibrovaskuler. (7)

Faktor risiko yang mempengaruhi antara lain :

1. Usia

Prevalensi pterygium meningkat dengan pertambahan usia

banyak ditemui pada usia dewasa tetapi dapat juga ditemui pada usia

anak-anak. Tan berpendapat pterygium terbanyak pada usia dekade dua

dan tiga. (7)

2. Pekerjaan

Pertumbuhan pterygium berhubungan dengan paparan yang

sering dengan sinar UV. (7)

3. Tempat tinggal

Gambaran yang paling mencolok dari pterygium adalah

distribusi geografisnya. Distribusi ini meliputi seluruh dunia tapi

banyak survei yang dilakukan setengah abad terakhir menunjukkan

bahwa negara di khatulistiwa memiliki angka kejadian pterygium yang

lebih tinggi. Survei lain juga menyatakan orang yang menghabiskan 5

tahun pertama kehidupannya pada garis lintang kurang dari 300

memiliki risiko penderita pterygium 36 kali lebih besar dibandingkan

daerah yang lebih selatan. (7)

4. Jenis kelamin

Tidak terdapat perbedaan risiko antara laki-laki dan perempuan.

7

Page 8: laporan kasus pterigium

5. Herediter

Pterygium diperengaruhi faktor herediter yang diturunkan secara

autosomal dominan. (7)

6. Infeksi

Human Papiloma Virus (HPV) dinyatakan sebagai faktor

penyebab pterygium. (7)

7. Faktor risiko lainnya

Kelembaban yang rendah dan mikrotrauma karena partikel-

partikel tertentu seperti asap rokok , pasir merupakan salah satu faktor

risiko terjadinya pterygium. (7)

V. PATOFISIOLOGI

Terjadinya pterigium berhubungan erat dengan paparan sinar

ultraviolet, kekeringan, inflamasi dan paparan angin dan debu atau factor

iritan lainnya. UV-B yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi

sebagai tumor suppressor gene pada stem sel di basal limbus. (8)

Pelepasan yang berlebih dari sitokin seperti transforming growth factor

beta (TGF-β) dan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang

berperanan penting dalam peningkatan regulasi kolagen, migrasi sel

angiogenesis. (8)

Selanjutnya terjadi perubahan patologi yang terdiri dari degenerasi

kolagen elastoid dan adanya jaringan fibrovaskular supepithelial. Pada

kornea nampak kerusakan pada membrane bowman oleh karena

bertumbuhnya jaringan fibrovaskuler, yang sering kali disertai dengan

adanya inflamasi ringan. Epitel bisa normal, tebal atu tipis dan kadang-

kadang terjadi dysplasia. (8)

VI. KLASIFIKASI PTERYGIUM

Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,

stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah

episklera , yaitu:

8

Page 9: laporan kasus pterigium

1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3 :

- Tipe I : Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus

atau menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm

dari kornea. Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada

epitel kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis,

meskipun sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang

memakai lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih cepat.

- Tipe II : di sebut juga pterigium tipe primer advanced atau

ptrerigium rekuren tanpa keterlibatan zona optik. Pada tubuh

pterigium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Lesi

menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau rekuren

setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan

astigmat.

- Tipe III: Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona

optik. Merupakan bentuk pterigium yang paling berat.

Keterlibatan zona optik membedakan tipe ini dengan yang lain.

Lesi mengenai kornea > 4 mm dan mengganggu aksis visual.

Lesi yang luas khususnya pada kasus rekuren dapat

berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke

forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola

mata serta kebutaan

2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:

o Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.

o Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum

mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

o Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi

tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya

normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm).

o Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati

pupil sehingga mengganggu penglihatan.

9

Page 10: laporan kasus pterigium

Gambar 2. Pterigium stadium 1 Gambar 3. Pterigium stadium 2

Gambar 4.Pterigium stadium 3 Gambar 5. Pterigium stadium 4

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2

yaitu:

- Pterigium progresif : tebal dan vaskular dengan beberapa

infiltrat di kornea di depan kepala pterigium (disebut cap

dari pterigium)

- Pterigium regresif : tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya

menjadi bentuk membran, tetapi tidak pernah hilang.

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan

harus diperiksa dengan slit lamp pterigium dibagi 3 yaitu:

- T1 (atrofi) : pembuluh darah episkleral jelas terlihat

- T2 (intermediet) : pembuluh darah episkleral sebagian

terlihat

- T3 (fleshy, opaque) : pembuluh darah tidak jelas.(5,9)

Pterigium Duplex adalah lesi yang biasanya dijumpai pada sisi nasal

dan temporal pada satu mata pasien.

VII. GAMBARAN KLINIK

Gejala klinis pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering tanpa

keluhan sama sekali. Beberapa keluhan yang sering dialami pasien seperti

mata sering berair dan tampak merah, merasa seperti ada benda asing, dapat

10

Page 11: laporan kasus pterigium

collum

corpus

apeks

timbul astigmatisme akibat kornea tertarik, pada pterigium lanjut stadium 3

dan 4 dapat menutupi pupil dan aksis visual sehingga tajam penglihatan

menurun. (10)

Pterigium memiliki tiga bagian :

i. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri atas zona abu-

abu pada kornea yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area

ini menginvasi dan menghancurkan lapisan Bowman pada

kornea. Garis zat besi (iron line/Stocker’s line) dapat dilihat

pada bagian anterior kepala. Area ini juga merupakan area

kornea yang kering.

ii. Bagain whitish. Terletak langsung setelah cap, merupakan

sebuah lapisan vesikuler tipis yang menginvasi kornea seperti

halnya kepala.

iii. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian yang mobile (dapat

bergerak), lembut, merupakan area vesikuler pada konjungtiva

bulbi dan merupakan area paling ujung. Badan ini menjadi

tanda khas yang paling penting untuk dilakukannya koreksi

pembedahan. (11)

VIII. DIAGNOSIS

Anamnesis

Pada anamnesis didapatkan keluhan berupa mata sering berair dan

tampak merah dan mungkin menimbulkan astigmatisma yang memberikan

keluhan berupa gangguan penglihatan. Pada kasus berat dapat didapatkan

adanya diplopia, biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang

tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan

11

Page 12: laporan kasus pterigium

kosmetik, keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, dan ada yang

mengganjal. (2)

Pemeriksaan fisis

Pada inspeksi pterigium terlihat sebagai jaringan fibrovaskular pada

permukaan konjuntiva. Pterigium dapat memberikan gambaran yang

vaskular dan tebal tetapi ada juga pterigium yang avaskuler dan flat.(10)

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan tambahan yang dapat dilakukan pada pterigium adalah

topografi kornea untuk menilai seberapa besar komplikasi berupa

astigmtisme ireguler yang disebabkan oleh pterigium.(4)

IX. PENATALAKSANAAN

1. Konservatif

Penanganan pterigium pada tahap awal adalah berupa tindakann

konservatif seperti penyuluhan pada pasien untuk mengurangi iritasi

maupun paparan sinar ultraviolet dengan menggunakan kacamata anti UV

dan pemberian air mata buatan/topical lubricating drops.(7)

2. Tindakan operatif

Adapun indikasi operasi menurut Ziegler and Guilermo Pico, yaitu:

Menurut Ziegler :

a. Mengganggu visus

b. Mengganggu pergerakan bola mata

c. Berkembang progresif

d. Mendahului suatu operasi intraokuler

e. Kosmetik

Menurut Guilermo Pico :

1. Progresif, resiko rekurensi > luas

2. Mengganggu visus

3. Mengganggu pergerakan bola mata

4. Masalah kosmetik

5. Di depan apeks pterigium terdapat Grey Zone

6. Pada pterigium dan kornea sekitarnya ada nodul pungtat

12

Page 13: laporan kasus pterigium

7. Terjadi kongesti (klinis) secara periodik. (7)

Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan

operasi. Ada berbagai macam teknik operasi yang digunakan dalam

penanganan pterigium di antaranya adalah:

1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva

dengan permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah

tingginya tingkat rekurensi pasca pembedahan yang dapat

mencapai 40-75%.(7,3)

2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang

terbuka, diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva

relatif kecil. (7,3)

3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas

eksisi untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap. (7,3)

4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka

bekas eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva

yang kemudian diletakkan pada bekas eksisi. (7,3)

5. Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya

diambil dari konjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai

dengan ukuran luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau

difiksasi dengan bahan perekat jaringan (misalnya Tisseel VH,

Baxter Healthcare, Dearfield, Illionis).(7,3)

13

Page 14: laporan kasus pterigium

Gambar 7. Teknik Operasi Pterigium

X. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium.

Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan

pada orangtua, terutama yang matanya sering mendapatkan rangsangan sinar

matahari, debu, dan angin panas. Yang membedakan pterigium dengan

pinguekula adalah bentuk nodul, terdiri atas jaringan hyaline dan jaringan

elastic kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi sering meradang. (7)

14

Page 15: laporan kasus pterigium

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea

yang cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan

tukak kornea, sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga

sering dilaporkan sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada

kornea. Pseudopterigium dapat ditemukan dibagian apapun pada kornea dan

biasanya berbentuk oblieq. Sedangkan pterigium ditemukan secara

horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9. (7)

Gambar 8. Pinguekula Gambar 9. Pseudopterigium

XI. KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat timbul pada pterygium, adalah :

- Distorsi dan penglihatan berkurang

- Mata merah

- Iritasi

- Scar (jaringan parut) kronis pada konjungtiva dan kornea

- Pada pasien yang belum exicisi, scar pada otot rectus medial dapat

menyebabkan terjadinya diplopia. (3)

Komplikasi post eksisi pterygium, adalah:

- Infeksi, reaksi bahan jahitan (benang), diplopia, scar cornea,

conjungtiva graft longgar dan komplikasi yang jarang termasuk

perforasi bola mata, vitreous hemorrhage atau retinal detachment.

15

Page 16: laporan kasus pterigium

- Penggunaan mytomicin C post operasi dapat menyebabkan ectasia

atau melting pada sclera dan kornea.

- Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterygium adalah rekuren

pterygium post operasi. (3)

XII. PROGNOSIS

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik.

Kebanyakan pasien dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi.

Pasien dengan pterigium rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft

dengan konjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. (4)

LAPORAN KASUS

Seorang penderita laki-laki, umur 33 tahun, suku Minahasa, pekerjaan

Nelayan, agama Kristen Protestan, alamat Kalasey, datang ke Poliklinik Mata

RSU Prof. dr. R. D. Kandou pada tanggal 09 Agustus 2012 dengan keluhan

utama: Rasa mengganjal pada kedua mata.

I. ANAMNESIS

Keluhan utama : Rasa mengganjal pada kedua mata

Anamnesa : dialami sejak ± 5 tahun yang lalu secara perlahan-lahan, awalnya

tampak selaput kecil yang lama-kelamaan membesar. Penglihatan

terganggu (-), nyeri (-), air mata berlebih (+), silau (-), kotoran mata

berlebih (-), rasa berpasir (+), riwayat mata merah sebelumnya (+).

Riwayat sering terpapar sinar matahari (+), pasien bekerja sebagai

pelaut. Riwayat hipertensi (-) dan riwayat DM (-), riwayat trauma (-).

II. PEMERIKSAAN

Pada pemeriksaan fisik status generalis keadaan umum cukup, kesadaran

kompos mentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 88 x/mnt, respirasi 18 x/mnt, suhu

badan (aksiler) 36,6oC. Paru dan jantung dalam batas normal, abdomen dalam batas

16

Page 17: laporan kasus pterigium

normal, ekstremitas akral hangat. Status Psikiatrik sikap, ekspresi dan respon penderita

baik (wajar). Status Neurologik motorik dan sensibilitas baik

A. INSPEKSI OD OS

1. Palpebra Edema(-) Edema(-)

2. Apparatus Lakirmalis Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)

3. Silia Sekret (-) Sekret (-)

4. Konjungtiva Hiperemis(+)

Terdapat selaput

berbentuk segitiga di

nasal dan temporal

bola mata dengan

apeks sudah melewati

limbus tapi belum

mencapai pupil

Hiperemis (+)

Terdapat selaput

berbentuk segitiga di

nasal dan temporal

bola mata dengan

apeks sudah melewati

limbus tapi belum

mencapai pupil

5. Kornea Jernih Jernih

6. Bilik Mata Depan Normal Normal

7. Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)

8. Pupil Bulat sentral Bulat sentral

9. Lensa Jernih Jernih

10.Mekanisme

muskular

B. PALPASI OD OS

1. Tensi Okular Tn Tn

2. Nyeri tekan - -

3. massa tumor - -

4. glandula pre-

aurikuler

Pembesaran (-) Pembesaran (-)

C. TONOMETRI

17

Page 18: laporan kasus pterigium

TIOD : 17,3 mmHg

TIOS : 17,3 mmHg

D. VISUS :

VOD:6/6

VOS: 6/6

E. CAMPUS VISUAL: Tidak dilakukan pemeriksaan.

F. COLOR SENSE: Tidak dilakukan pemeriksaan.

G. LIGHT SENSE: Tidak dilakukan pemeriksaan.

H. PENYINARAN OPTIK DEKSTRA SINISTRA

1. Konjungtiva Hiperemis (+), selaput

segitiga di nasal dan

temporal bola mata

denagn apeks melewati

limbus tapi belum

mencapai pupil

Hiperemis (+), selaput

segitiga di nasal dan

temporal bola mata

dengan apeks melewati

limbus tapi belum

mencapai pupil

2. Kornea Jernih Jernih

3. BMD Normal Normal

4. Iris Coklat, kripte(+) Coklat, kripte(+)

5. Pupil Bulat sentral, Refleks

cahaya (+)

Bulat sentral, Refleks

cahaya (+)

6. Lensa Jernih Jernih

J. OFTALMOSKOPI:

- FOD : Refleks fundus (+), papil n.optik berbatas tegas, CDR : 0,3, A.V : 2/3, makula :

refleks fovea (+), retina perifer kesan normal.

- FOS : Refleks fundus (+), papil n.optik berbatas tegas, CDR : 0,3, A.V : 2/3, makula :

refleks fovea (+), retina perifer kesan normal.

K. SLIT LAMP:

18

Page 19: laporan kasus pterigium

-SLOD : Konjungtiva hiperemis (+), tampak selaput segitiga di bagian nasal dan

temporal, mengarah ke limbus kornea, tampak apeks melewati limbus tapi

belum mencapai pupil, BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat,

sentral, RC (+), lensa jernih.

- SLOS : Konjungtiva hiperemis (+), tampak selaput segitiga di bagian nasal dan

temporal, mengarah ke limbus kornea, tampak apeks melewati limbus tapi

belum mencapai pupil, BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat,

sentral, RC (+), lensa jernih.

L. USG B-SCAN : Tidak dilakukan pemeriksaan

M. LABORATORIUM : Tidak dilakukan pemeriksaan

N. RESUME

Seorang laki-laki, umur 33 tahun datang ke RS dengan keluhan

utama rasa mengganjal pada kedua mata, dialami sejak ± 5 tahun yang

lalu secara perlahan-lahan, awalnya tampak selaput kecil yang lama-

kelamaan membesar. Visus menurun (-), nyeri (-), lakrimasi (+),

fotofobia (-), sekret (-), rasa berpasir (+), riwayat mata merah

sebelumnya (+). Riwayat sering terpapar sinar matahari (+), pasien

bekerja sebagai pelaut. Riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-), riwayat

trauma (-).

Pada pemeriksaan fisis didapatkan, pemeriksaan tonometri dalam

batas normal, pemeriksaan visus VOD:6/6, VOS:6/6. Pada

pemeriksaan Slit Lamp, SLOD : Konjungtiva hiperemis (+), tampak

selaput segitiga di bagian nasal dan temporal, mengarah ke limbus

kornea, tampak apeks melewati limbus tapi belum mencapai pupil,

BMD normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa

jernih. SLOS : Konjungtiva hiperemis (+), tampak selaput segitiga di

bagian nasal dan temporal, mengarah ke limbus kornea, tampak apeks

melewati limbus tapi belum mencapai pupil, BMD normal, iris coklat,

kripte (+), pupil bulat, sentral, RC (+), lensa jernih. Pada pemeriksaan

19

Page 20: laporan kasus pterigium

oftalmoskopi, FOD : Refleks fundus (+), papil n.optik berbatas tegas,

CDR : 0,3, A.V : 2/3, makula : refleks fovea (+), retina perifer kesan

normal. FOS : Refleks fundus (+), papil n.optik berbatas tegas, CDR :

0,3, A.V : 2/3, makula : refleks fovea (+), retina perifer kesan normal.

IV. DIAGNOSIS:

Pterigium Stadium II Duplex Okulus Dextra Sinistra

V. DIAGNOSIS BANDING:

- Pseudopterigium

- Pinguekula

VI. TERAPI:

Rencana OD Eksisi Pterigium + Autograft Konjungtiva

VII. DISKUSI:

Pasien ini didiagnosa dengan ODS Pterigium Stadium II

Duplex berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan

penunjang. Dari anamnesis di dapatkan rasa selaput pada kedua mata

kanan dan kiri dialami kurang lebih 5 tahun yang lalu.

Pada pemeriksaan inspeksi OD di dapatkan adanya selaput

berbentuk segitiga pada konjungtiva dengan tepi melewati limbus,

tetapi belum melewati pupil, yang menunjukkan tanda pterygium

stadium II dan pada OS di dapatkan adanya selaput berbentuk segitiga

pada konjungtiva dengan tepi melewati limbus, tetapi belum

mencapai pupil, yang menunjukkan tanda pterygium stadium II.

Tidak ada pengobatan medikamentosa yang spesifik untuk

pterigium. Tujuan pengobatan medikamentosa adalah untuk

mengurangi peradangan. Bila terjadi peradangan dapat diberikan

steroid topikal. Tindakan pembedahan pada pterigium adalah suatu

tindakan bedah untuk mengangkat jaringan pterigium dengan berbagai

teknik operasi.

Teknik operasi yang direncanakan pada pasien ini adalah

teknik graft konjungtiva dengan alasan karena teknik ini dianggap

paling bagus dalam menurunkan rekurensi pterygium.

20

Page 21: laporan kasus pterigium

Diharapkan agar penderita sedapat mungkin menghindari

faktor pencetus timbulnya pterigium seperti sinar matahari, angin dan

debu serta rajin merwat dan menjaga kebersihan kedua mata. Oleh

karena itu dianjurkan untuk selalu memakai kacamata pelindung atau

topi pelindung bila keluar rumah. Menurut kepustakaan, umumnya

pterigium  bertumbuh secara perlahan dan jarang sekali

menyebabkan  kerusakan yang bermakna sehingga prognosisnya

adalah baik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, Sidharta. Ilmu Penyakit Mata edisi 6. Jakarta : Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia. 2006.p.2-7,117.

2. Riri Julianti,S.Ked. Pterigium.[online]2009.[ cited 2011 Maret 08]. Available

from : http://facultyofmedicine.riau.com /procedures/pterigium..html

3. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter

Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara. 2009.

4. Jerome P Fisher, Pterygium. [online]. 2011 [cited 2011 July 24]

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview

5. Voughan & Asbury. Oftalmologi Umum edisi 17. Jakarta : EGC. 2010. Hal

119.

6. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [online] 2009. [ cited 2011 Maret 08].

Available from : http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi

7. Anonymus. Pterigium. [online] 2009. [cited 2011 Maret 08] Available from :

http://www.dokter-online.org/index.php.htm

8. Skuta, Gregory L. Cantor, Louis B. Weiss, Jayne S. Clinical Approach to

Depositions and Degenerations of the Conjungtiva, Cornea, and Sclera. In :

External Disease and Cornea. San Fransisco : American Academy of

Ophtalmology. 2008. P.8-13, 366.

21

Page 22: laporan kasus pterigium

9. Maheswari, sejal. Pterydium-inducedcornealrefractive changes.[online] 2007.

[cited 2011 August 11]. Aviable from : http//www.ijo.in/article.asp?issn

10. Anton,dkk. Pterigium. [online] 2010. [ cited 2011 July 10]. Available from:

www.inascrs.org/pterygium/

11. Drakeiron. Pterigium. [online]2009. [cited 2011 August 11]. Avaible from :

http://drakeiron.wordpress.com/info-pterigium.

22