79
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI BLOK CARDIO-VASKULAR “OBAT ANTI HIPERTENSI DAN OBAT GAGAL JANTUNG” Asisten : Rahayu Normalia Fauziah G1A012020 Kelompok D-3 M. Ricky Fachrurrozy G1A013011 Yupita Maya Sari G1A013045 Muhammad Mahdi Alattas G1A013056 Sisilia T.J.S.S. G1A013063 Sofyan Hardi G1A013069 Husnan Mujiburrahman G1A013071 Dzaki Luqmanul Hakim G1A013109 Hasan Mursidi G1A013130 Priambodo Jati Kuncoro G1A013136 KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI FAKULTAS KEDOKTERAN JURUSAN PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN 1

Laporan Farmakolagi Kardio Fix

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Farmakolagi Kardio

Citation preview

Page 1: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

BLOK CARDIO-VASKULAR

“OBAT ANTI HIPERTENSI DAN OBAT GAGAL JANTUNG”

Asisten :

Rahayu Normalia Fauziah

G1A012020

Kelompok D-3

M. Ricky Fachrurrozy G1A013011

Yupita Maya Sari G1A013045

Muhammad Mahdi Alattas G1A013056

Sisilia T.J.S.S. G1A013063

Sofyan Hardi G1A013069

Husnan Mujiburrahman G1A013071

Dzaki Luqmanul Hakim G1A013109

Hasan Mursidi G1A013130

Priambodo Jati Kuncoro G1A013136

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

JURUSAN PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2015

1

Page 2: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

Lembar Pengesahan

Dengan ini, Laporan Praktikum Farmakologi dengan judul “Obat Anti Hipertensi dan

Obat Gagal Jantung”

Tanggal Percobaan : Kamis, 16 April 2015

Tujuan Percobaan :

1. Mengetahui efek obat gagal jantung.

2. Mengamati perubahan denyut, irama, ukuran, dan warna jantung pada katak yang

diberi obat gagal jantung.

telah diperiksa, disetujui, diterima, dan disahkan.

Purwokerto, April 2015

Asisten,

Rahayu Normalia Fauziah

G1A012020

2

Page 3: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Hipertensi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang umum terjadi di Negara

berkembang dan merupakan penyebab kematian tertinggi kedua di Indonesia. Tekanan

darah tinggi juga merupakan faktor resiko penting penyakit jantung koroner. Pada

beberapa penelitian di Indonesia, dilaporkan bahwa prevalensi hipertensi berkisar antara

10% (Noer Staffoeloh, 2009).

Peningkatan tekanan darah arteri dapat meningkatkan risiko terjadinya gagal ginjal,

penyakit jantung, pengerasan dinding arteri yang biasa disebut atherosclerosis juga

terjadinya stroke. Komplikasi ini sering berakhir menjadi kerusakan atau kematian (Noer

Staffoeloh, 2009).

Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di

Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia. Diperkirakan sekitar 80 %

kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang tahun 2025 dari sejumlah 639

juta kasus di tahun 2000, diperkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2025 (Noer

Staffoeloh, 2009).

Nilai normal tekanan darah seseorang dengan ukuran tinggi badan, berat

badan,tingkat aktifitas normal dan kesehatan secara umum adalah 120/80 mmHG.

Dalamaktivitas sehari-hari, tekanan darah normalnya adalah dengan nilai angka kisaran

stabil. Tetapi secara umum, angka pemeriksaan tekanan darah menurun saat tidur dan

meningkat diwaktu beraktifitas atau berolahraga (Noer Staffoeloh, 2009).

Bila seseorang mengalami tekanan darah tinggi dan tidak mendapatkan pengobatan

dan pengontrolan secara teratur (rutin), maka hal ini dapat membawa si penderita

kedalam kasus-kasus serius bahkan bisa menyebabkan kematian. Tekanan darah tinggi

yang terus menerus menyebabkan jantung seseorang bekerja extra keras, akhirnya

kondisi ini berakibat terjadinya kerusakan pada pembuluh darah jantung, ginjal, otak dan

mata (Noer Staffoeloh, 2009).

3

Page 4: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

B. Tujuan praktikum

1. Mengetahui efek obat gagal jantung.

2. Mengamati perubahan denyut, irama, ukuran, dan warna jantung pada katak yang

diberi obat gagal jantung.

C. Manfaat praktikum

1. Praktikan mengetahui efek obat gagal jantung.

2. Praktikan dapat membedakan denyut, irama, ukuran, dan warna jantung pada katak

sebelum dan sesudah diberikan obat gagal jantung.

D. Tinjauan pustaka

1. Obat-obat Anti Hipertensi

Dikenal 5 kelompok obat lini pertama yang lazim digunakan untuk pengobatan

awal hipertensi, yaitu : i. Diuretik; ii. Penyekat reseptor beta adrenergik; iii.

Penghambat agiotensin converting enzyme; iv. Penghambat reseptor angiotensin; v.

Antagonis kalsium. Pada JNC VII, penyekat reseptor alfa adrenergik tidak dimasukan

ke dalam obat lini pertama. Sedangkan pada JNC sebelumnya termasuk lini pertama.

Selain itu dikenal juga tiga kelompok obat yang dianggap lini kedua yatu : i.

penghambat saraf adrenergik; ii. Agonis α-2 sentral; dan iii. Vasodilator (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

a. Diuretik

Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air, dan klorida sehingga

menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan

curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik

juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotensinya. Efek

ini diduga akibat penurunan natrium di ruang intersitial dan di dalam sel otot

polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

1) Tiazid

a) Mekanisme Kerja

Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara

lain hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid, dan diuretik lain

yang memiliki gugus aryl-sulfonamida. Obat golongan ini bekerja denga

menghambat transport bersama Na+ dan Cl- di tubulus distal ginjal, 4

Page 5: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat (Departemen Farmakologi dan

Terapeutik FKUI, 2007).

b) Indikasi

Sampai sekarang tiazid merupakan obat utama dalam terapi

hipertensi. Pada pasien gagal ginjal, tiazid kehilangan efektivitas diuretik

dan antihipertensinya; untuk pasien ini dianjurkan penggunaan diuretik

kuat. Tiazid terutama efektif untuk pasien hipertensi dengan kadar renin

yang rendah, misalnya pada orang tua (Departemen Farmakologi dan

Terapeutik FKUI, 2007).

Tiazid dapat digunakan sebagai obat tunggal pada hipertensi

ringan sampai sedang, atau dalam kombinasi dengan antihipertensi lain

bila TD tidak berhasil diturunkan dengan diuretik saja (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

c) Efek Samping Obat

Tiazid, terutama dalam dosis tinggi dapat menyebabka

hipokalemia yang dapat berbahaya pada pasien yang mendapat digitalis.

Tiazid juga dapat menyebabkan hiponatremia dan hipomagnesia serta

hiperkalsemia. Selain itu, tiazid dapat menghambat ekskresi asam urat

dari ginjal, dan pada pasien hiperurisemia dapat mencetuskan serangan

gout akut (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

Tiazid dapat meningkatkan kadar kolesterol LDL dan trigliserida,

tetapi kemaknaannya dalam peningkatan risiko penyakit jantung koroner

belum jelas. Pada pasien DM, tiazid dapat menyebabkan hiperglikemia

karena mengurangi sekresi insulin. Pada pasien pria, gangguan fungsi

seksual merupakan efek saping tiazid yang kadang-kadang cukup

mengganggu (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

d) Dosis dan Contoh Obat

Obat Dosis

(mg)

Pemberian Sediaan

Hidroklorotiazid 12,5–25 1 x sehari Tab 25 dan 50

mg

5

Page 6: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

Klortalidon 12,5–25 1 x sehari Tab 50 mg

Indapamid 1,25-2,5 1 x sehari Tab 2,5 mg

Bendroflumetiazid 2,5-5 1 x sehari Tab 5 mg

Metolazon 2,5-5 1 x sehari Tab 2,5; 5; dan

10 mg

Metolazon rapid

acting

0,5-1 1 x sehari Tab 0,5 mg

Xipamid 10-20 1 x sehari Tab 2,5 mg

2) Diuretik kuat

a) Mekanisme Kerja

Diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian epitel tebal

dengan cara menghambat kotransport Na, K, Cl, dan menghambat

resorpsi air dan elektrolit (Departemen Farmakologi dan Terapeutik

FKUI, 2007).

b) Indikasi

Mula kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat

daripada golongan tiazid, oleh karena itu diuretik kuat jarang digunakan

sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien dengan gangguan fungsi

ginjal atau gagal jantung (Departemen Farmakologi dan Terapeutik

FKUI, 2007).

c) Efek Samping Obat

Efek samping diuretik kuat hampir sama dengan tiazid, kecuali

bahwa diuretik kuat menimbulkan hiperkalsiuria dan menurunkan

kalsium darah, sedangkan tiazid menimbulkan hipokalsiuria dan

meningkatkan kadar kalsium darah (Departemen Farmakologi dan

Terapeutik FKUI, 2007).

d) Dosis dan Bentuk Sediaan

Obat Dosis Pemberian Sediaan

6

Page 7: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

(mg)

Furosemid* 20-80 2-3 x sehari Tab 40 mg; amp 20

mg

Torsemid** 2,5-10 1-2 x sehari Tab 5; 10; 20; 100

mg

Ampul 10 mg/mL (2

dan 5 mL)

Bumetanid 0,5-4 2-3 x sehari Tab 0,5; 1; dan 2 mg

As. etkrinat 25-100 2-3 x sehari Tab 25 dan 50 mg

* Dosis Furosemid untuk gagal jantung dan gagal ginjal dapat

ditingkatkan sampai 240 mg/hari.

** Dosis Torsemid untuk gagal jantung dapat ditingkatkan sampai

200 mg/hari.

3) Diuretik hemat kalium

a) Mekanisme Kerja

Amilorid, triamteren, dan spinorolakton merupakan diuretik

lemah. Penggunaannya terutama dalam kombinasi diuretik lain untuk

mencegah hipokalemia. Diuretik hemat kalium dapat menimbulkan

hiperkalemia bila diberikan pada pasien gagal ginjal, atau bila

dikombinasi dengan penghambat ACE, ARB, β-bloker, AINS, atau

dengan suplemen kalium (Departemen Farmakologi dan Terapeutik

FKUI, 2007).

b) Indikasi

Spironolakton merupakan antagonis aldosteron sehingga

merupakan obat yang terpilih pada hiperaldosteronisme primer. Obat ini

sangat berguna pada pasien dengan hiperurisemua, hipokalemia, dan

dengan intoleransi glukosa. Berbeda dengan golongan tiazid,

spinorolakton tidak mempengaruhi kadar kalsium dan gula darah

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

7

Page 8: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

c) Efek Samping Obat

Efek samping spinorolakton antara lain ginekomastia,

mastodinia, gangguan menstruasi, dan penurunan libido pada pria

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

d) Dosis dan Bentuk Sediaan

Obat Dosis

(mg)

Pemberian Sediaan

Amilorid 5-10 1-2 x sehari

Spironolakton

*

25-100 1 x sehari Tab 25 dan 100

mg

Triamteren 25-300 1 x sehari Tab 50 dan 100

mg

* Dosis Spironolakton untuk asites refrakter dapat ditingkatkan

sampai 400 mg/hari.

b. Penghambat Adrenergik

1) Penghambat Adrenoseptor Beta (β-Blocker)

a) Mekanisme Kerja

Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian

β-bloker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara lain: (1)

penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga

menurunkan curah jantung; (2) hambatan sekresi renin di sel-sel

jugstaglomeruler ginjal dengan akibat penurunan produksi angiotensin

II; (3) efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis,

perubahan pada sensitivitas baroreseptor, perubahan aktivitas neuron

adrenergik perifer dan peningkatan biosintesis prostasiklin (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

Penurunan TD oleh β-bloker yang diberikan per oral berlangsung

lambat. efek ini mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu setelah

terapi dimulai, dan tidak diperoleh penurunan TD lebih lanjut setelah 2

8

Page 9: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

minggu bila dosisnya tetap. Obat ini tidak menimbulkan hipotensi

ortostatik dan tidak menimbulkan retensi air dan garam (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

b) Indikasi

Β-bloker digunakan sebagai obat tahap pertama pada hipertensi

ringan sampai sedang terutama pada pasien dengan penyakit jantung

koroner, pasien dengan aritmia supraventrikel dan ventrikel tanpa

kelainan konduksi, pada pasien muda dengan sirkulasi hiperdinamik, dan

pada pasien yang memerlukan antidepresan trisiklik atau antipsikotik

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

Efektivitas antihipertesi berbagai β-bloker tidak berbeda satu

sama lain bila diberikan dalam dosis yang ekuipoten. Ada atau tidaknya

kardioselektivitas, aktivitas simpatomimetik intrinsik dan aktivitas

stabilisasi membran, menentukan pemilihan obat ini dalam kaitannya

dengan kondisi patologi pasien.Semua pasien dikontraindikasikan pada

pasien dengan asma bronkial. Bila harus diberikan pada pasien dengan

diabetes atau dengan gangguan sirkulasi perifer, maka penghambat

selektif β1 adalah lebih baik dibandingkan reseptor β-bloker nonselektif,

karena efek hipoglikemia relatif ringan serta tidak menghambat reseptor

β2 yang memperantarai vasodilatasi di otot rangka (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

c) Efek Samping Obat

β-bloker dapat menyebabkan bradikardia, blokade AV, hambatan

nodus SA dan menurunkan kekuatan kontraksi miokard. Oleh karena itu

obat golongan ini dikontraindikaskan pada keadaan bradikardia, blokade

AV derajat 2 dan 3, sick sinus syndrome, dan gagal jantung yang belum

stabil. Bronkospasme merupakan efek samping yang penting pada pasien

dengan riwayat asma bronkial atau penyakit paru obstruktif kronik

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

Gangguan sirkulasi perifer lebih jarang terjadi dengan β-bloker

kardioselektif atau yang memiliki vasodilatasi. Efek sentral berupa

depresi, mimpi buruk. Halusinasi dapat terjadi dengan β-bloker yang

lipofilik. Gangguan fungsi seksual sering terjadi akibat pemakaian β-

9

Page 10: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

bloker terutama yang tidak selektif (Departemen Farmakologi dan

Terapeutik FKUI, 2007).

d) Dosis dan Bentuk Sediaan

Obat Dosis

(mg)

Dosis

Maksimal

(mg)

Pemberia

n

Sediaan

Kardioselektif

Asebutolol 200 800 1-2 x

sehari

Cap 200

mg, Tab

400 mg

Atenolol 25 100 1 x sehari Tab 50 dan

100 mg

Bisoprolol 2,5 10 1 x sehari Tab 5 mg

Metoprolol

-biasa 50 200 1-2 x

sehari

Tab 50 dan

100 mg

-lepas

lambat

100 200 1 x sehari Tab 100

mg

Nonselektif

Alprenolol 100 200 2 x sehari Tab 50 mg

Karteolol 2,5 10 2-3 x

sehari

Tab 5 mg

Nadolol 20 160 1 x sehari Tab 40 dan

80 mg

Oksprenolol

-biasa 80 320 2 x sehari Tab 40 dan

10

Page 11: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

80 mg

-lepas

lambat

80 320 1 x sehari Tab 80 dan

160 mg

Pindolol 5 40 2 x sehari Tab 5 dan

10 mg

Propanolol 40 160 2-3 x

sehari

Tab 10 dan

40 mg

Timolol 20 40 2 x sehari Tab 10 dan

20 mg

Karvedilol 12,5 50 1 x sehari Tab 25 mg

Labetalol 100 300 2 x sehari Tab 100

mg

2) Penghambat Adrenoseptor Alfa (α-Blocker)

a) Mekanisme Kerja

Hambatan reseptor α1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan

venula sehingga menurunkan resistensi primer. Di samping itu,

venodilatasi menyebabkan aliran balik vena berkurang yang selanjutnya

menurunkan curah jantung. Venodilatasi ini dapat menyebabkan

hipotensi ortostatik terutama pada pemberian dosis awal, menyebabkan

refleks takikardia dan peningkatan akivitas renin plasma. Pada

pemakaian jangka panjang refleks kompensasi ini akan hilang, sedagkan

efek anti hipertensi tetap bertahan (Departemen Farmakologi dan

Terapeutik FKUI, 2007).

b) Indikasi

Alfa-bloker memiliki beberapa keunggulan antara lain efek

positif terhadap lipid darah (menurunkan LDL, dan trigliserida serta

meningkatkan HDL) dan mengurangi retensi insulin, sehingga cocok

untuk pasien hipertensi dengan dislipidemia dan/atau diabetes melitus.

11

Page 12: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

Alfa-bloker juga sangat baik untuk pasien hipertensi dengan hipertrofi

prostat, karena hambatan reseptor alfa-1 akan merelaksasi otot polos

prostat dan sfingter utera sehingga meretensi urin. Obat ini juga

memperbaiki insufisiensi vaskular perifer, tidak mengganggu fungsi

jantung, tidak mengganggu aliran darah ginjal dan tidak berinteraksi

dengan AINS (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

c) Efek Samping Obat

Hipotensi ortostatik sering terjadi pada pemberian dosis awal

atau pada peningkatan dosis, terutama dengan obat yang kerjanya

singkat seperti prazosin. Pasien dengan deplesi cairan dan usia lanjut

lebih mudah mengalami fenomena dosis pertama ini. Gejalanya berupa

pusing sampai sinkop. Untuk menghindari hal ini, sebaiknya pengobatan

dimulai dengan dosis kecil dan diberikan sebelum tidur. Efek samping

lain antara lain sakit kepala, palpitasi, edema perifer, hidung tersumbat,

mual, dan lain-lain (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,

2007).

d) Dosis dan Bentuk Sediaan

Obat Dosis

(mg)

Dosis

Maksimal

(mg)

Pemberian Sediaan

Prazosin 0,5 4 1-2 x sehari Tab 1 dan 2

mg

Terazosin 1-2 4 1 x sehari Tab 1 dan 2

mg

Bunazosin 1,5 3 3 x sehari Tab 0,5 dan

1 mg

Doksazosin 1-2 4 1 x sehari Tab 1 dan 2

mg

c. Vasodilator

12

Page 13: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

1) Hidralazin

a) Mekanisme Kerja

Hidralazin bekerja langsung merelaksasi otot polos arteriol

dengan mekanisme yang belum dapat dipastikan. Sedangkan otot polos

vena hampir tidak dipengaruhi. Vasodilatas yang terjadi menimbulkan

reflek kompensasi yang kuat berupa peningkatan kekuatan dan frekuensi

denyut jantung, peningkatan renin dan norepinefrin plasma. Hidralazin

menurunkan tekanan darah berbaring dan berdiri. Karena lebih selektif

bekerja pada arteriol, maka hidralazin jarang menimbulkan hipotensi

ortostatik (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

b) Indikasi

Hidralazin tidak digunakan sebagai obat tunggal karena

takifilaksis akibat retensi cairan dan refleks simpatis akan mengurangi

efek antihipertensinya. Obat ini biasanya digunakan sebagai obat kedua

atau ketiga setelah diuretik dan β-bloker. Retensi cairan dapat diatasi

oleh diuretik dan reflek takikardia akan dihambat oleh β-bloker

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

c) Efek Samping Obat

Hidralazin dapat menimbulkan sakit kepala, mual, flushing,

hipotensi, takikardia, palpitasi, angina pektoris. Iskemia miokard dapat

terjadi pada pasien PJK, yang dapat dicegah dengan pemberian bersama

β-bloker. Retensi air dan natrium disertai edema dapat dicegah dengan

pemberian bersama diuretik. Efek samping lain adalah neuritis perifer,

diskrasia darah, hepatotoksisitas dan kolangitis akut (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

d) Dosis dan Bentuk Sediaan

Dosis pemberian oral 25-100 mg dua kali sehari. Untuk

hipertensi darurat seperti pada glomerulonefritis akut dan eklamsia,

dapat juga diberikan secara i.m. atau i.v. dengan dosis 20-40 mg. Dosis

maksimal 200 mg/hari (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,

2007).

2) Minoksidil

13

Page 14: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

a) Mekanisme Kerja

Obat ini bekerja dengan membuka kanal kalium sensitif ATP

dengan akibat terjadinya effluks kalium dan hiperpolarisasi membran

yang diikuti oleh relaksasi otot polos pembuluh darah dan vasodilatasi.

Efeknya lebih kuat pada arteriol daripada vena. Obat ini menurunkan

tekanan sistol dan diastol yang sebanding dengan tingginya tekanan

darah awal. Efek hipotensifnya minimal pada subjek yang normotensif.

Efekhipotensifnya diikuti oleh refleks takikardia danpeningkatan curah

jantung. Curah jantung dapat meningkat 3-4 kali lipat (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

b) Indikasi

Obat ini efektif hampir di semua pasien, dan berguna untuk terapi

jangka panjang hipertensi berat yang refrakter terhadap kombinasi 3 obat

yag terdiri dari diuretik, penghambat adrenergik, dan vasodilator lain.

Minoksidil efektif untuk hipertensi akselerasi atau maligna dan pada

pasien dengan penyakit ginjal lanjut karena obat ini meningkatkan aliran

darah ginjal (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

c) Efek Samping Obat

Tiga efek samping utama minoksidil, yaitu retensi cairan dan

garam, efek samping kardiovaskuler karena refleks simpatis, dan

hipertrikosis. Selain itu dapat terjadi gangguan toleransi glukosa dengan

tendensi hiperglikemia; sakit kepala, mual, erupsi obat, rasa lelah, dan

nyeri tekan di dada (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,

2007).

d) Dosis dan Bentuk Sediaan

Sediaan minoksidil berbentuk krim sering digunakan untuk

penyubur rambut. Dosis dapat dimulai dengan 1,25 mg satu atau dua kali

seharian dapat ditingkatkan sampai 40 mg/hari (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

3) Diazoksid

14

Page 15: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

a) Mekanisme Kerja

Obat ini merupakan derivat benzotiadiazid dengan struktur mirip

tiazid, tapi tidak meiliki efek diuresis. Mekanisme kerja,

farmakodinamik, dan efek samping diazoksid mirip dengan minoksidil

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

b) Indikasi

Walaupun diabsorbsi dengan baik melalui oral, diazoksid hanya

diberikan secara intravena untuk mengatasi hipertensi darurat, hipertensi

maligna, hipertensi ensefalopati, hipertensi berat pada glomerulonefritis

akut dan kronik. Obat ini juga digunakan untuk mengendalikan

hipertensi pada preeklampsia yang refrakter terhadap hidralazin

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

c) Efek Samping Obat

Retensi cairan dan hiperglikemia merupakan efek samping yang

paling sering terjadi pada pemberian diazoksid. Efek samping

hiperglikemia terjadi pada kira-kira 50% pasien yang mendapat

diazoksid. Hal ini terjadi karena hambatan sekresi insulin dari sel-sel β

pankreas akibat stimulasi kanal kalium sensitif ATP. Respon tubuh

terhadap pemberian insulin tidak dipengaruhi (Departemen Farmakologi

dan Terapeutik FKUI, 2007).

d) Dosis dan Bentuk Sediaan

Pemberian bolus intravena akan menurunkan tekanan darah

dalam waktu 3-5 menit dan berlangsung kira-kira 30 menit. Dosis dapat

dimulai dengan 50-100 mg dengan interval 5-10 menit. Dapat juga

diberikan secara infus i.v. dengan dosis 15-30 mg/menit (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

d. Penghambat Angiotensin-Converting Enzyme dan Antagonis Reseptor

Angiotensin II

1) Penghambat Angiotensin-Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)

a) Mekanisme Kerja

ACE-inhibitor menghambat perubahan angiotensin I menjadi

angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi

aldosteron. Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga

15

Page 16: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek

vasodilatasi ACE-inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan

menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan

menyebabkan ekskresi air dan natrium serta retensi kalium (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

b) Indikasi

ACE-inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang, maupun

berat. Bahkan beberapa diantaranya dapat digunakan pada krisis

hipertensi seperti kaptopril dan enalaprilat. Obat ini efektif pada sekitar

70% pasien. Kombinasi dengan diuretik memberikan efek sinergistik,

sedangkan efek hipokalemia diuretik dapat dicegah (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

Kombinasi dengan β-bloker memberikan efek aditif. Kombinasi

dengan vasodilator lain, termasuk prazosin dan antagonis kalsium,

memberi efek yang baik. Tetapi pemberian bersama penghambat

adrenergik lain yang menghambat respon adrenergik α dan β sebaiknya

dihindari karena dapat menimbulkan hipotensi berat dan berkepanjangan

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

c) Efek Samping Obat

Hipotensi, terjadi pada awal pemberian ACE-inhibitor terutama

pada hipertensi dengan aktivitas renin yang tinggi. Batuk kering, terjadi

segera atau setelah beberapa lama pengobatan berkaitan dengan

peningkatan kadar bradikinin dan substansi P serta prostaglandin.

Hiperkalemia, terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau

pasien yang juga mendapat diuretik hemat kalium, AINS, suplemen

kalium atau β-bloker (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,

2007).

Rash, gangguan pengecapan lebih sering pada penggunaan

kaptopril dan beberapa ACE-inhibtor lain. Edema angioneurotik, berupa

pembengkakan di hidung, bibir, tenggorokan, laring, dan sumbatan jalan

napas yang bisa berakibat fatal. Efek samping lainnya berupa gagal

ginjal akut, proteinuria, dan efek teratogenik (Departemen Farmakologi

dan Terapeutik FKUI, 2007).

16

Page 17: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

d) Dosis dan Bentuk Sediaan

Obat Dosis

(mg)

Pemberian Sediaan

Kaptopril 25-100 2-3 x sehari Tab 12,5 dan 25 mg

Benazepril 10-40 1-2 x sehari Tab 5 dan 10 mg

Enalapril 2,5-40 1-2 x sehari Tab 5 dan 10 mg

Fosinopril 10-40 1 x sehari Tab 10 mg

Lisinopril 10-40 1 x sehari Tab 5 dan 10 mg

Perindopril 4-8 1-2 x sehari Tab 4 mg

Quinapril 10-40 1 x sehari Tab 5; 10; dan 20

mg

Ramipril 2,5-20 1 x sehari Tab 10 mg

Trandolapril 1-4 1 x sehari

Imidapril 2,5-10 1 x sehari Tab 5 dan 10 mg

2) Antagonis Reseptor Angiotensin II (ARB)

a) Mekanisme Kerja

Pemberian obat ini akan menghambat semua efek angiotensin II,

seperti: vasokonstriksi, sekresi aldosteron, rangsangan saraf simpatis,

efek sentral angiotensin II (sekresi vasopresin, rangsangan haus),

stimulasi jantung, efek renal serta efek jangka panjang berupa hipertrofi

otot polos pembuluh darah dan miokard. Dengan kata lain, ARB

menimbulkan efek yang mirip dengan ACE-inhibitor. Tapi karena tidak

mempengaruhi metabolisme bradikinin, maka obat ini dilaporkan tidak

memiliki efek samping batuk kering dan angioedema seperti yang sering

terjadi dengan ACE-inhibitor (Departemen Farmakologi dan Terapeutik

FKUI, 2007).

17

Page 18: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

b) Indikasi

ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien

hipertensi dengan kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovaskular

dan hipertensi genetik, tapi kurang efektif pada hipertensi dengan

aktivitas renin yang rendah. Pada pasien dengan hipovolemia, dosis

ARB perlu diturunkan (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,

2007).

Pemberian ARB menurunkan tekanan darah tanpa mempengaruhi

frekuensi denyut jantung. Penghentian mendadak tidak menimbulkan

hipertensi rebound. Pemberian jangka panjang tidak mempengaruhi lipid

dan glukosa darah (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,

2007).

c) Efek Samping Obat

Hipotensi dapat terjadi pada pasien dengan kadar renin tinggi

seperti hipovolemia, gagal jantung, hipertensi renovaskular, dan sirosis

hepatis. Hiperkalemia biasanya terjadi dalam keadaan tertentu seperti

insufisiensi ginjal, atau bila dikombinasi dengan obat-obat yang

cenderung meretensi kalium seperti diuretik hemat kalium dan AINS

juga bila asupan kalium berlebihan serta bersifat fetotoksik yang

berbahaya untuk janin (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI,

2007).

d) Dosis dan Bentuk Sediaan

Obat Dosis

(mg)

Pemberian Sediaan

Losartan 25-100 1-2 x sehari Tab 50 mg

Valsartan 80-320 1 x sehari Tab 40 dan 80 mg

Irbesartan 150-300 1 x sehari Tab 75 dan 150 mg

Telmisartan 20-80 1 x sehari Tab 20; 40; dan 80

mg

Candesartan 8-32 1 x sehari Tab 4; 8; dan 16 mg

18

Page 19: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

e. Antagonis Kalsium

1) Antagonis Kalsium

a) Mekanisme Kerja

Antagonis kalsium menghambat influks kalsium pada sel otot

polos pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis

kalsium terutama menimbulkan relaksasi arteriol, sedangkan vena

kurang dipengaruhi. Penurunan resistensi perifer ini sering diikuti oleh

reflek takikardia dan vasokonstriksi, terutama bila menggunakan

golongan dihidropirin kerja pendek (Departemen Farmakologi dan

Terapeutik FKUI, 2007).

Sedangkan diltiazem dan verapamil tidak menimbulkan

takikardia karena efek kronotropik negatif langsung pada jantung. Bila

reflek takikardia kurang baik, seperti pada orang tua, maka pemberian

antagonis kalsium dapat menimbulkan hipotensi yang berlebihan

(Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

b) Indikasi

Antagonis kalsium telah menjadi salah satu golongan

antihipertensi tahap pertama. Sebagai monoterapi antagonis kalsium

memberikan efektivitas yang sama dengan obat antihipertensi lainnya.

Antagonis kalsium terbukti sangat efektif pada hipertensi dengan kadar

renin rendah seperti pada usia lanjut. Kombinasi dengan ACE-inhibitor,

metildopa, atau β-bloker (Departemen Farmakologi dan Terapeutik

FKUI, 2007).

Nifedipin oral sangat bermanfaat untuk mengatasi hipertensi

darurat. Antagonis kalsium tidak mempunyai efek samping metabolik,

baik terhadap lipid, gula darah, maupun asam urat. Pada pasien penyakit

jantung koroner, pemakaian nifedipin kerja singkat dapat meninggikan

risiko infark miokard dan stroke iskemik serta dalam jangka panjang

terbukti mempertinggi mortalitas (Departemen Farmakologi dan

Terapeutik FKUI, 2007).

c) Efek Samping Obat

19

Page 20: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

Nifedipin kerja singkat paling sering menyebabkan hipotensi dan

dapat menyebabkan iskemia miokard atau serebral. Refleks takikardia

dan palpitasi mempermudah terjadinya serangan angina pada pasien

dengan PJK. Hipotensi sering terjadi pada pasien usia lanjut, keadaan

deplesi cairan dan yang mendapat antihipertensi lain (Departemen

Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

Sakit kepala, muka merah terjadi karena vasodilatasi arteri

meningeal dan di daerah muka. Edema perifer terutama terjadi oleh

dihidropiridin, dan yang paling sering adalah nifedipin. Bradiaritmia dan

gangguan konduksi terutama terjadi akibat verapamil, kurang dengan

diltiazem dan tidak teradi dengan dihidropiridin. Serta efek samping

lainnya berupa efek inotropik negatif, kontipasi, retensi urin, dan

hiperplasia gusi (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI, 2007).

d) Dosis dan Bentuk Sediaan

Obat Dosis

(mg)

Pemberian Sediaan

Nifedipin 3-4 x sehari Tab 10 mg

Nifedipin

(long acting)

30-60 1 x sehari Tab 30; 60; dan 90

mg

Amlodipin 2,5-10 1 x sehari Tab 5 dan 10 mg

Felodipin 2,5-20 1 x sehari Tab 2,5; 5; dan 10

mg

Isradipin 2,5-10 2 x sehari Tab 2,5 dan 5 mg

Nicardipin Cap 20 dan 30 mg

Nicardipin

SR

60-120 2 x sehari Tab 30; 45; da 60

mg

Amp 2,5 mg/mL

Nisoldipin 10-40 1 x sehari Tab 10; 20; 30;

20

Page 21: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

dan 40 mg

Diltiazem 90-180 3 x sehari Tab 30 dan 60 mg

Amp 50 mg/mL

Diltiazem SR 120-540 1 x sehari Tab 90 dan 180

mg

Verapamil 80-320 2-3 x sehari Tab 40; 80; dan

120 mg

Amp 2,5 mg/mL

Verapamil

SR

240-480 1-2 x sehari Tab 240 mg

2. Obat Gagal Jantung

Gagal jantung adalah suatu kumpulan sindrom penyakit yang ditandai dengan

kegagalan dalam pemompaan jantung yang adekuat. Pemompaan jantung yang

inadekuat ini menyebabkan kongesti berat pada pembuluh darah vena yang berfungsi

sebagai reservoar darah sehingga akan terjadi kongesti di pembuluh darah vena yang

kemudian mengganggu pengisian jantung. Karena ada bendungan itulah biasanya

kasus gagal jantung ini disebut gagal jantung kongestif. Manifestasi penyakit yang

penting adalah terjadinya penurunan cardiac output berat dari jantung yang bisa

ditandai oleh adanya penurunan kontraktilitas, massa otot jantung, dan gangguan

sinergisitas konduksi-kontraksi otot jantung. Penyakit ini sering merupakan asosiasi

dengan penyakit infark miokard dan menjadi keadaan patologis akhir dimana perfusi

yang inadekuat akibat pompa jantung yang gagal sudah menimbulkan stress hipoksik

pada berbagai jaringan di area tubuh (Ganiswarna, 2009).

Secara klinis gagal jantung bisa dikelompokkan menjadi dua yaitu gagal

jantung sistol dan gagal jantung diastol. Gagal jantung sistol terjadi karena

pemompaan dan kontraktilitas miosit jantung tidak adekuat sehingga volume End

Sistolic Volume (ESV) meningkat. Sedangkan gagal jantung diastol terjadi karena

pengisian volume ventrikel tidak sebanyak yang diharuskan sehingga membuat

21

Page 22: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

volume End Diastolic Volume (EDV) menurun yang bisa disebabkan kekakuan otot

jantung sehingga compliance jantung turun. Pada banyak kasus, kedua kategori ini

terjadi bersamaan karena memang secara patofisiologis kedua kelainan ini saling

berkaitan. Ketika pengisian ventrikel berkurang maka volume yang dipompa keluar

jantung juga berkurang (forward failure) dan karena volume yang dipompa keseluruh

tubuh menurun maka akan kembali lagi terjadi penurunan pengisian ventrikel dan

darah akan terakumulasi dan terkongesti dalam sistem vena (Backward Failure).

Proses ini secara terus menurus akhirnya sampai pada tahap kekuatan pompa jantung

sudah benar-benar inadekuat dan menimbulkan kekurangan O2 di berbagai jaringan

(Ganiswarna, 2009 dan Brunton et al., 2012).

Forward failure dan Backward failure ini akan mengakibatkan keadaan yang

lebih parah jika terjadi pada sisi kiri jantung dibandingkan sisi kanan jantung. Jika

terjadi Backward failure pada sisi ventrikel kiri jantung maka akan terjadi bendungan

pada pembuluh kapiler paru dan meningkatkan risiko terjadinya edema paru yang bisa

mengganggu difusi pernafasan. Jika terjadi forward failure pada ventrikel kiri, maka

akan terjadi penurunan perfusi darah sistemik termasuk aliran darah ke ginjal

berkurang. Penurunan perfusi darah ke ginjal akan membuat ginjal menjaga volume

darah melalui sistem renin-angiotensin dengan menahan retensi air dan Na+ di plasma

darah sehingga bisa padahal pompa jantung tidak menghasilkan tekanan lebih untuk

mendorong darah tersebut sehingga justru bisa memperburuk kondisi kongesti darah

(Ganiswarna, 2009 dan Brunton et al., 2012).

Selain itu, gagal jantung kongestif juga bisa dibagi menajdi dua yaitu gagal

jantung terkompensasi, dan gagal jantung dekompensasi. Pada keadaan gagal jantung

terkompensasi, tubuh berhasil mempertahankan fungsi pompa jantung melalui

berbagai kompensasi. Jika terjadi penurunan cardiac output dari ventrikel kiri, maka

akan merangsang fungsi saraf simpatis dan dan sistem renin-angiotensin-aldosteron

yang kemudian akan menjaga perfusi darah tetap adekuat dan mengstabilkan preload

jantung dengan memicu inotropik positif otot jantung dan retensi volume darah.

Sesuai hukum Frank-Starkling, bahwa dalam keadan normal peregangan panjang

serat otot jantung akan menambah daya kontraksinya sehingga dengan semakin

besarnya preload yang kemudian akan meningkatkan EDV akan memicu

peningkatan kontraksis sistol ventrikel. Selain itu sistem RAA dan saraf simpatis juga

22

Page 23: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

mengatur vasokonstriksi pembuluh darah perifer sehingga tahanan perifer cukup kuat

yang mengakibatkan tekanan darah tetap terjadi dan redistribusi darah adekuat ke

jaringan. Dengan kompensasi ini kasus gagal jantung terkompensasi akan bisa tetapi

bekerja secara normal hanya pada tingkat kontraksi yang lebih tinggi dari normal

(Sherwood, 2011).

Namun, pada kasus dekompensasi kordis (gagal jantung dekompensasi) ,

mekanisme kompensasi tidak berjalan semudah itu. Mekanisme yang menjaga

homeostasis ini justru memperparah progresifitas penyakit. Peningkatan preload pada

otot jantung akrena ekspansi volume darah yang terus menerus menyebabkan

hipertrofi ventrikel terutama ventrikel kiri yang kerjanya paling berat. Dengan adanya

peningkatan afterload juga akibat vasokonstriksi pembuluh arteri maka tekanan pada

otot jantung semakin besar yang meningkatkan kebutuhan O2 dengan drastis.

Peningkatan kebutuhan O2 yang semakin lama tidak tercukupi maka akan semakin

memicu Norepinefrin dan Sistem RAA yang bersamaan terjadinya apoptosis miosit,

muncul ekspresi gen miosit abnormal, sampai pada perubahan matriks ekstraseluler

yang akan meningkatkan kekakuan ventrikel. Kalau sudah sampai tahap ini

kompensasi dari tubuh sudah tidak bisa mengembalikan fungsi karena pompa jantung

akan semakin kehilangan kontraktilitasnya dan mengakibatkan perfusi jantung ke

jaringan sistemik turun sampai tingkat yang sangat fatal yang bisa memicu kematian

(Sherwood, 2011).

Secara klinis gagal jantung diklasifikasikan berdasarkan derajat keparahannya

oleh New York Heart Association, yaitu derajat satu yang ditandai oleh tidak adanya

batasan aktivitas , derajat dua yaitu aksus gagal jantung yang penderitanya sudah

sedikit terbatas dalam aktivitas namun keadaan palpitasi, dispneu dan gangguan lain

hilang saat istirahat. Pada derajat tiga, aktivitas sudah terbatas namun gejalanya

mereda saat istirahat. Pada derajat 4, kondisi semua aktivitas terganggu dan gejala

tidak mereda saat istirahat (McMurray, 2010).

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Gagal Jantung (McMurray, 2010).

23

Page 24: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

Secara klinis, terapi dan pemberian obat gagal jantung bertujuan untuk

mengurangi gejala akibat bendungan sirkulasi, memperbaiki kapasitas kerja, serta

memperpanjang angka harapan hidup. Pada prinsip medisnya, target dalam

pengobatan adalah (Ganiswarna, 2009) :

a. Mengurangi beban kerja jantung

b. Menurunkan aktivitas kontratil miokardium

c. Menekan tingkat preload (tingkat peregangan otot jantung yang ditentukan

volume darah yang mengisi ventrikel selama diastole) & afterload (tekanan

yang harus dilampaui jantung untuk dapat memompa darah ke system arteri).

d. Memperbaiki frekuensi irama dan frekuensi jantung dengan anti aritmia.

24

Page 25: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

Berdasarkan efek kerjanya pada pengaturan tekanan dan volume darah tubuh ,

obat gagal jantung terbagi menjadi 3 kategori yaitu obat-obat inotropik, diuretik, dan

obat vasodilator (Ganiswarna, 2009).

Gambar 2. Alur Patofisiologi Gagal Jantung beserta Obat dan Target Kerjanya

(Brunton, 2012)

a. Obat-obatan Inotropik

Obat-obatan yang bersifat inotropik mampu meningkatkan kemampuan kontraksi

jantung dengan meningkatkan kandungan Ca2+ di sitoplasma sel sehingga bisa

meningkatkan stroke volume yang kemudian akan meningkatkan cardiac output

jantung (Ganiswarna, 2009).

1) Obat Digitalis / Glikosida Jantung

a) Contoh Obat

Digoksin, Digitoksin (Ganiswarna, 2009).

b) Mekanisme Kerja

i. Menghambat enzim Na+-K+ ATPase sehingga menurunkan hidrolisis

ATP untuk mengaktifkan pompa Na+-K+ yang mengakibatkan

25

Page 26: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

peningkatan ion Na intrasel. Peningkatan Na ini akan memicu

peningkatan influx Ca ke dalam sel melalui Sistem karier Na+-Ca2+

ii. Peningkatan arus lamabat Ca2+ yang kemudian berefek pada

peningkatan daya kontraksi otot jantung

(Ganiswarna, 2009).

c) Farmakokinetik

i. Absorbsi

Efek absorbsi obat digitalis terhambat oleh adanya makanan. Daya

absorbsi digitoksi lebih besar dari digoksin (Ganiswarna, 2009).

ii. Distribusi

Dalam sirkulasi darah sebagian besar berikatan dengan protein

plasma. Kadar obat di jantung lebih besar daripada di otot dan plasma

(Ganiswarna, 2009).

iii. Metabolisme

Digitoksin mengalami metabolisme lintas pertama di hepar dan

menghasilkan metabolit yang salah satunya adalah digoksin.

Metabolisme digitoksi diperhambat oleh adanya obat fenobarbital,

fenitoin (Ganiswarna, 2009).

iv. Ekskresi

Obat diekskresikan lewat urin (Ganiswarna, 2009).

d) Farmakodinamik

Pada otot jantung memiliki efek inotropik positif yang berarti

meningkatkan kemampuan kontraksinya. Dan sekaligus meningkatkan

cardiac outputnya. Pada sistem saraf meningkatkan efek saraf

parasimpatis saraf vagus. Obat digitalis juga berperan dalam menurunkan

denyut ventrikel pada kasus fibrilasi dan flutter atrium (Ganiswarna,

2009).

e) Indikasi

Kasus gagal jantung, fibrilasi atrium, flutter atrium, dan takikardia

paroksismal (Ganiswarna, 2009).

f) Kontraindikasi

Blok AV total, Blok AV derajat 2 , dan sinus arrest (Ganiswarna,

2009).

26

Page 27: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

g) Efek samping obat

Intoksikasi digitalis dengan disertai tanda dan gejala seperti mual,

muntah, anorexia, kelelahan , mengigau, gangguan penglihatan.

Intoksikasi bisa mengganggu konduksi Nodus SA dan AV sehingga bisa

mengganggu sistem listrik jantung dan berpotensi kematian (Ganiswarna,

2009).

h) Dosis dan sediaan

Sediaan digoksin ada dalam bentuk tablet 0,25 mg, 0,5 mg, ampul 2

ml : 0,4 mg, 4 ml : 0,8 mg. Dosis maintenance diberikan 3x 0,25 mg per

hari (3x sehari) (Ganiswarna, 2009).

b. Antagonis aldosteron

Aldosteron adalah mineralokortikoid endogen yang paling kuat. Peranan

utama aldosteron ialah memperbesar reabsorpsi natrium dan klorida di tubuli

serta memperbesar ekskresi kalium. Jadi pada hiperaldosteronisme, akan terjadi

penurunan kadar kalium dan alkalosis metabolik karena reabsorpsi HCO3- dan

sekresi H+ yang bertambah (Ganiswarna, 2009).

1) Farmakokinetik

Tujuh puluh persen spironolakton oral diserap di saluran cerna,

mengalami sirkulasi enterohepatik dan metabolisme lintas pertama. lkatan

dengan protein cukup tinggi. Metabolit utamanya, kanrenon, memperlihatkan

aktivitas antagonis aldosteron dan turut berperan dailam aktivitas biologik

spironolakton. Kanrenon mengalami interkonversi enzimatik menjadi

kanrenoat yang tidak aktif (Ganiswarna, 2009).

2) Mekanisme kerja

Obat yang juga tergolong diuretik ini menurunkan absorbsi Na+ di

tubulus dan ductus colligentes, sehingga menahan retensi Na+, air dan

beberapa zat lainnya (Ganiswarna, 2009).

3) Indikasi

Gagal jantung, hipertensi dan beberapa penyakit ginjal (Ganiswarna, 2009).

27

Page 28: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

4) Kontraindikasi

Pasien dengan insufisiensi ginjal, dan keadaan hiperkalemia (Ganiswarna,

2009).

5) Efek samping

Elek toksik yang utama dari spironolakton adalah hiperkalemia yang

sering terjadi bila obat ini diberikan bersama- sama dengan asupan kalium

yang berlebihan. Tetapi elek toksik ini dapat pula terjadi bila dosis yang

biasa diberikan bersama dengan tiazid pada penderita dengan gangguan

fungsi ginjal yang berat. Efek samping lain yang ringan dan reversibel

diantaranya ginekomastia, efek samping mirip androgen dan gejala saluran

cerna. (Ganiswarna, 2009).

6) Contoh Obat

Spironolakton, eplerenon

7) Sediaan dan dosis

Spironolakton terdapat dalam bentuk tablet 25, 50 dan 100 mg. Dosis

dewasa berkisar antara 25-200 mg, tetapi dosis efektif sehari rata-rata 100 mg

dalam dosis tunggal atau terbagi. Terdapat pula sediaan kombinasi tetap

antara spironolakton 25 mg dan hidrokloroliazid 25 mg, serta antara

spironolakton 25 mg dan tiabutazid 2,5 mg (Ganiswarna, 2009).

3. Obat Antiaritmia

Obat aritmia dikelompokkan menurut efek elektrofisiologi dan mekanisme

kerjanya. Sebagian besar informasi yang digunakan untuk mengelompokkan obat

anti aritmia berasal dari kajian pada hewan. Obat-obat yang kelas I secara langsung

mengubah arus kation pada membran, khusunsya ion K+ . kelas II meliputi obat-obat

yang terutama mempunyai efek tak langsung terhadap parameter elektrofisiologis,

melalui kesanggupannya dalam menghambat reseptor beta. Obat-obat yang ada di

keals III adalah yang secara langsung mengubah arus kation ion Na+ . akhirnya, obat

yang ada di kelas IV mempunyai efek depresi yang relatif selektif terhadap kanal

Ca++, khususnya jenis L (Gunawan, 2012).

28

Page 29: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

Tabel 1. : klasifikasi obat aritmia berdasarkan mekanisme kerjanya (Vaughan-Williams)

Kelas Mekanisme Kerja Obat

I Penyekat kanal Natrium

A Depresi sedang fase 0 dan

konduksi lambat (2+),

memanjangkan repolarisasi

Kuinidin, prokainamid,

disopiramid

B Depresi minimal fase 0,

konduksi lambat (0-1+),

mempersingkat repolarisasi

Lidokain, meksiletin,

fenitoin, tokainid

C Depresi kuat fase 0, konduksi

lambat (3+ - 4+), efek ringan

terhadap repolarisasi

Enkainid, flekainid,

indekanid, propafenon

II Penyekat adrenoseptor beta Propranolol, asebutolol,

esmolol

III Penyekat kanal Na Amoidaron, bretilium,

sotalol, dofetilid, ibutilid

IV Penyekat kanal Ca Verapamil, diltiazem

Besar efek relatif terhadap kecepatan dinyatakan dalam skala 1+ sampai 4+

a. Kelas IA : Kuinidin, Prokainamid, dan disopiramid

Tabel 2. : Rincian obat Kelas IA

Kuinidin Prokainamid Disopiramid

Sediaan Tablet lepas

lambat (324 mg,

330mg)

Tablet dan

kapsul (250-

500mg)

Tablet kerja

lambat (250-

Tablet (100 atau

150 mg basa)

29

Page 30: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

1000mg)

IM & IV

(100/500 mg/dL)

Dosis 200-300 mg, 3-4

kali sehari

3-6 g per hari 400-800 mg

untuk 4 dosis

Efek

samping

obat

Gejala saluran cerna, penglihatan kabur, mulut kering,

hambatn miksi, tinitus, tuli, dan lain sebgainya.

b. Kelas IB : Lidokain, fenitoin, Tokainid

Tabel 3. : Rincian obat Kelas IB

Lidokain Meksiliten Tokainid

Sedian Poliampul 20 ml

2%, 2 ml 2%,

Jel 2%

Larutan semprot

10%

Kapsul (150 ;

200 ; 250 mg)

Tablet (400 ; 600

mg

Dois IV 0,7- 1,4

mg/kgBB

IM 4 – 5

mg/kgBB

200-300 mg, max

400 mg tiap 8

jam

400-600 mg tiap 8

jam

Efek smping

obat

Dinodius, ngantuk, kedutan otot, kejang, vertigo, tremor,

pusing, dan lain sebagainya.

c. Kelas IC : Flekainid, Enkainid, Profenon

1) Flekainid

30

Page 31: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

Flekainid diabsorbsi hampir sempurna setelah pemberian oral dan

kadar puncak dalam plasma muncul dalam waktu 3 jam. Flekainid

dimetabolisme oleh hati dan diekskresikan dalam urin dalam bentuk tak

berubah; metabolitnya tidak berkhasiat antiaritmia. Flekainid asetat

( Tambocor) tersedia dalam pemberian per oral sebagai tablet 50, 100, dan

150 mg. Dosis awal adalah 2 kali 100 mg/hari (Gunawan, 2012).

2) Enkainid

Enkainid diabsorbsi hampir sempurna setelah pemberian per oral, tetapi

bioavibilitasnya turun menjadi 30% melaui metabolisme lintas pertama di

hati. Enkaid dimetabolisme oleh sitokrom P450 hati dan mempunyai waktu

paruh 2-3 jam. Tersedia untuk pemmberian per oral sebagia kapsul 25, 35,

dan 50 mg. Dosisi awal adalah 25 mg, diberikan setiap tiga kali sehari, dosis

ini dapat dinaikkan tiap 3-5 hari sampai mencapai 4 kali 50 mg/hari

(Gunawan, 2012).

3) Efek samping obat

Flenikainid dan enkainid (seta propafenon dan indekainid)

diindikasikan untuk aritmia ventrikel yang mengancam jiwa. Semua obat

kelas IC menimbulkan efek samping yang sama pada jantung. Enkainid dan

flekainid meningkatkan risiko kematian mendadak dan henti jantung pada

pasien yang pernah mengalami infark miokard dan pasien dengan aritmia

ventrikel asimptomatik. Kedua obat ini juga dapat menimbulkan disfungsi

sinus dan gagal jantung juga dapat diperberat (Willacy, 2010).

d. Kelas II Beta Bloker

1) Propanolol

Pada pemberian per oral diabsorbsi sangat baik, tetapi metabolisme

lintas pertama menurunkan bioavaibilitasnya. Waktu paruh eliminasi adalah

sekitar 4 jam, namun eliminasinya banyak berkurang bila aliran darah ke hati

meurun. Propanolol terutama diberikan per oral untuk pengobatan aritmia

jangka lama. Biasanya diberikan 3 sampai 4 kali sehari, dosis berkisar dari 30

sampai 320 mg per hari untuk pengobatan aritmia yang sensitif terhadap obat

ini. Dalam keadaan darurat, propanolol dapat diberikan secar intravena

dengan dosis 1-3 mg diberikan dalam beberapa menit disertai pemantauan

EKG yang cermat (Gunawan, 2012).

31

Page 32: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

2) Asebutolol

Asebutolol diaborbi dengan baik oleh saluran cerna. Metabolit

utamanya adalah N-asetil asebutolol (diasetolol) yang sama akuat efeknya

dengan asebutolol sebagai beta-bloker dan lebih selektif pada adrenoreseptor

beta-1. Diasetolol dieliminasi sebagian besar oleh ginjl, sehingga dosis

asebutolol peru disesuaikan pada gagal ginjal. Asebutolol peroral unruk

pengobatan aritmia jantung. Dosis awal adalah dua kali 200 mg (Willacy,

2010).

3) Esmolol

Esmolol memiliki waktu paruh hanya 2 menit. Ikatan esternya

dihidrolisis dalam darah dengan cepat oleh esterase sel darah merah. Waktu

eliminasi adalah 8 menit dan metabolitnya tidak aktif. Esmolol diberikan

sacara intravena untuk pengobatan jangka pendek dan sebagia pengobatan

kegawatan pada takikardi supraventrikel (Gunawan, 2012).

4) Efek samping obat

Beta bloker menghambat konduksi nodus AV maka dapat terjadi blok

AV atau asistol. Penghentian beta bloker pada pasien angina pectoris secara

mendadak dapat memperberat angina dan aritmia jantung dan menimbulkan

infark miokard akut (Gunawan, 2012).

e. Kelas III : Bretilium, Amiodaron, Sotalol, Dofetilid, dan Ibutilid

1) Bretilium

Absorbsi oral bretilium adalah buruk, karena merupakan amonium

kwatemer, dieliminasi hampir semuanya melaui ginjal tanpa dimetabolisme.

Waktu paruh adalah sekitar 9 jam, dan naik menjadi 15-30 menit pada pasien

gagal ginjal. Bretilium tosilat tersedia dalam larutan 50 mg/dL. Obat in perlu

diencerkan menjadi 10 mg/dL, dan dosisnya adalah 5-10mg/kgBB yang

diberikan per infus selama 10-30 menit. Untuk pemberian intramuskular

dosisnya dalah 5-10 mg/kgBB tanpa pengenceran dan diulangi aetiap 1-2 jam

bila aritmia belum teratasi atau dilanjutkan dengan pemberian setiap 6-8 jam

untuk pemeliharaan (Gunawan, 2012).

2) Amiodaron

32

Page 33: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

Amidaron diabsorbsi secara lambat dan tidak sempurna pada

pemberian per oral, bioavaibilitasnya adalah sekitar 30% dan berbeda antar

individu. Amidoran terkait pada jaringan dan dimetabolisme secara lambat di

hati. Amidaron HCl tersedia sebagai tablet 200 mg. Karena memerlukan

beberapa bulan untuk mencapai efek penuh, diperlukan dosis muat 600-800

mg/hari (elama 4 minggu), sebelum dosis pemeliharaan dimulai dengan 400-

800 mg/hari (Yuniadi, 2009).

3) Sotalol

Pemberian per oral akan diabsorbsi dengan cepat dan bioavaibilitasnya

hampir 100%. Waktu paruhnya adalah sekitar 10-11 jam. Eliminasinya

adalah melalui urin dalam bentuk tka berubah sehingga dosisnya perlu

disesuaikan pada gagal ginjal. Sotalol untuk pengobatan aritmia ventrikel,

doisinya dalah 2 kali 80-320 mg. Keberhasilan terapi dinilai dengan

pencatatan EKG selama 24 jam atau dengan stimulasi ventrikel terprogram

(Gunawan, 2012).

4) Efek samping

Hipotensi adalah efek samping utama bretilium bila diberikan intravena

untuk pengobatan atrium akut. Amidaron menghambat konversi tiroksin

menjadi triidotironin dan menimbulkan kelainan uji fungsi tiroid, gejala

hipotiroid terjadi pada 5% pasien dan 2% paseien mengalami hipertiroid.

Pengobatan sotalol dilaporkan dapat menimbulkan gagal jantung (1%),

proaritmia (2,5%), dan bradikardi (3%) (Willacy, 2010).

f. Kelas IV (Antagonis Kalsium) : Verapamil dan Diltiazem

Verapamil dan diltiazem mempunyai efek langsung terhadap

elektrofisiologik dan mekanik otot jantung dan otot polos pembuluh darah.

Verapamil telah menjadi oabt pilihan pertama untuk pengobatan serangan akut

takikardi supraventrikel paroksismal yang disebabkan oleh arus balik pada

nodus AV. Verapamil juga bermanfaat untuk penurunan segera respon ventrikel

pada fibrilasi atau flutter atrium bila aritmia tidak disertai dengan sindrom

Wolff-Parkinson-White (Willacy, 2010).

Tabel 4. : Rincian Obat Kelas IV

33

Page 34: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

Obat Indikasi Dosis

Verapamil Mengubah PSVT

menjadi irama sinus

5 – 10 mg, IV, selama 2-3

menit

Mengendalikan irama

ventrikel pada fibrilasi

atau flutter atrium

10 mg selama 2-5 menit,

diulangi dalam 30 menit

bila perlu

Mencegah kembalinya

PSVT

240-480 mg/hari dibagi

dalam 3-4 dosis

Diltiazem Pencegahan PSVT 60-90 mg, diberikan tiap

6 jam

4. Obat Anti Angina

Obat yang digunakan untuk menanggulangi serangan akut angina pektoris dan

profilaksisnya meliputi (IONI, 2008):

1) Nitrat

2) Antagonis kalsium

3) β-Bloker

4) Antiangina lain

Nitrat, antagonis kalsium dan aktivator kanal kalium (potassium-channel

activators) mempunyai efek vasodilatasi. Pada gagal jantung, vasodilator bekerja

dengan mendilatasi arteri yang menurunkan resistensi vaskular perifer dan tekanan

sistolik ventrikel kiri sehingga mengakibatkan meningkatnya curah jantung, atau

dilatasi vena yang menyebabkan meningkatnya kapasitas vena, dan berkurangnya

aliran balik vena menuju jantung (menurunkan tekanan diastolik ventrikel kiri).

Angina. Angina stabil biasanya disebabkan oleh plak aterosklerosis pada arteri

koroner, sedangkan angina tidak stabil biasanya disebabkan oleh ruptur plak dan dapat

terjadi pada pasien dengan riwayat angina stabil atau pada pasien yang sebelumnya

menderita penyakit arteri koroner tanpa gejala. Penting untuk membedakan angina

tidak stabil dan angina stabil; ciri-ciri angina tidak stabil adalah angina yang baru 34

Page 35: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

terjadi dan langsung berat atau angina stabil yang sebelumnya ada dan tiba-tiba

memburuk (IONI, 2008).

a. Nitrat

Senyawa nitrat berguna dalam pengobatan angina. Walaupun, senyawa nitrat

merupakan vasodilator koroner yang poten, manfaat utamanya adalah mengurangi

alir balik vena sehingga mengurangi beban ventrikel kiri. Efek samping senyawa

nitrat seperti sakit kepala, muka merah, dan hipotensi postural, dapat membatasi

pelaksanaan terapi, terutama pada angina yang berat atau pada pasien yang sangat

sensitif terhadap efek nitrat (IONI, 2008).

Gliseril trinitrat sublingual merupakan salah satu obat yang paling efektif

untuk mengurangi gejala angina dengan cepat. Namun, efeknya hanya 20-30 menit.

Pada pemberian pertama, biasanya diberikan tablet 300 mcg. Bentuk semprot

aerosol merupakan cara lain untuk mengurangi gejala-gejala angina dengan cepat

bagi pasien yang kesulitan untuk melarutkan sediaan sublingual. Lama kerja dapat

diperpanjang dengan modifikasi pelepasan obat dan sediaan transdermal (IONI,

2008).

Isosorbid dinitrat secara sublingual aktif dan merupakan sediaan yang lebih

stabil bagi pasien yang hanya kadang-kadang memerlukan nitrat. Senyawa ini juga

efektif secara oral untuk profilaksis. Walaupun mula kerjanya lebih lambat, tetapi

efeknya dapat bertahan beberapa jam. Aktivitas isosorbid dinitrat mungkin

bergantung pada produksi metabolit aktifnya, terutama isosorbid mononitrat.

Metabolit aktif ini juga tersedia untuk profilaksis angina, namun keuntungannya

dibanding isosorbid dinitrat masih belum jelas (IONI, 2008).

Gliseril trinitrat atau isosorbid dinitrat dapat diberikan secara intravena, bila

bentuk sublingualnya tidak efektif pada pasien nyeri dada akibat infark miokard

atau iskemia yang berat. Pemberian intravena juga bermanfaat dalam pengobatan

gagal ventrikel kiri akut (IONI, 2008).

Toleransi. Beberapa pasien yang diberi senyawa nitrat kerja panjang atau

transdermal dengan cepat mengalami toleransi (efek terapi berkurang). Jika

toleransi diperkirakan dapat terjadi setelah penggunaan sediaan transdermal,

sediaan tersebut harus dihentikan selama beberapa jam berurutan dalam setiap

35

Page 36: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

kurun waktu 24 jam. Jika menggunakan sediaan isosorbid dinitrat lepas lambat

(atau formulasi konvensional isosorbid mononitrat), tablet kedua dapat diberikan 8

jam setelah tablet pertama, tidak perlu sampai 12 jam. Sediaan konvensional

isosorbid mononitrat tidak boleh diberikan lebih dari 2 kali sehari (kecuali bila

digunakan dosis kecil), sedangkan bentukretard hanya boleh sekali sehari (IONI,

2008).

Monografi (IONI, 2008): 

1) Gliseril Trinitrat

a) Indikasi: 

Profilaksis dan pengobatan angina; gagal jantung kiri.

b) Peringatan: 

Gangguan hepar atau ginjal berat; hipotiroidisme, malnutrisi, atau

hipotermia; infrak miokard yang masih baru; sistem transdermal yang

mengandung logam harus diambil sebelum kardioversi atau diatermi;

toleransi (lihat keterangan di atas).

c) Interaksi: 

Gliseril trinitrat.

d) Kontraindikasi: 

Hipersensitivitas terhadap nitrat; hipotensi atau hipovolemia; kardiopati

obstruktif hipertrofik, stenosis aorta, tamponade jantung, perikarditis

konstruktif, stenosis mitral; anemia berat, trauma kepala, perdarahan otak

glaukoma sudut sempit.

e) Efek Samping: 

Sakit kepala berdenyut, muka merah, pusing, hipotensi postural, takikardi

(dapat terjadi bradikardi paradoksikal).

Injeksi. Efek samping yang khas setelah injeksi (terutama jika diberikan

terlalu cepat) meliputi hipotensi berat, mual dan muntah, diaforesis, kuatir,

gelisah, kedutan otot, palpitasi, nyeri perut, sinkop; pemberian jangka

panjang disertai dengan methemoglobinemia.

f) Dosis: 

36

Page 37: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

Sublingual, 0,3-1 mg, bila perlu diulang.

Oral profilaksis angina, 2,6-2,8 mg 3 kali sehari atau 10 mg 2-3 kali

sehari. Infus intravena, 10-200 mcg/menit.

2) Isosorbid Dinitrat

a) Indikasi: 

Profilaksis dan pengobatan angina; gagal jantung kiri

b) Peringatan: 

Gliseril Trinitrat

c) Kontraindikasi: 

Gliseril Trinitrat

d) Efek Samping: 

Gliseril Trinitrat

e) Dosis: 

Sublingual, 5-10 mg. 

Oral, sehari dalam dosis terbagi, angina 30-120 mg; gagal jantung kiri 40-

160 mg, sampai 240 mg bila diperlukan. Infus intravena, 2-10 mg/jam; dosis

lebih tinggi sampai 20 mg/jam mungkin diperlukan.

3) Isosorbid Mononitrat

a) Indikasi: 

Profilaksis angina; tambahan pada gagal jantung kongesif

b) Peringatan: 

Gliseril Trinitrat

c) Kontraindikasi: 

Gliseril Trinitrat

d) Efek Samping: 

Gliseril Trinitrat

e) Dosis: 

Dosis awal 20 mg 2-3 kali sehari atau 40 mg 2 kali sehari (10 mg 2 kali

sehari pada pasien yang belum pernah menerima nitrat sebelumnya); bila

perlu sampai 120 mg sehari dalam dosis terbagi

37

Page 38: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

4) Pentaeritriol Tetranitrat

a) Indikasi: 

Profilaksis angina

b) Peringatan: 

Gliseril Trinitrat

c) Kontraindikasi: 

Gliseril Trinitrat

d) Efek Samping: 

Gliseril Trinitrat

e) Dosis: 

Oral, 60 mg 3-4 kali sehari

b. Antagonis Kalsium

Antagonis kalsium menghambat arus masuk ion kalsium melalui saluran

lambat membran sel yang aktif. Golongan ini mempengaruhi sel miokard jantung,

dan sel otot polos pembuluh darah, sehingga mengurangi kemampuan kontraksi

miokard, pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam jantung, dan tonus

vaskuler sistemik atau koroner. Pemilihan obat-obat golongan antagonis kalsium

berbeda-beda berdasarkan perbedaan lokasi kerja, sehingga efek terapetiknya tidak

sama, dengan variasi yang lebih luas daripada golongan beta-bloker. Terdapat

beberapa perbedaan penting di antara obat- obat golongan antagonis kalsium

verapamil, diltiazem, dan dihidropiridin (amlodipin, felodipin, isradipin, lasidipin,

lerkanidipin, nikardipin, nifedipin, nimodipin, dan nisoldipin). Verapamil dan

diltiazem biasanya harus dihindari pada gagal jantung karena dapat menekan

fungsi jantung sehingga mengakibatkan perburukan klinis (IONI, 2008).

Verapamil digunakan untuk pengobatan angina, hipertensi, dan aritmia. Obat

ini merupakan antagonis kalsium dengan kerja inotropik negatif yang poten,

mengurangi curah jantung, memperlambat denyut jantung, dan mengganggu

konduksi AV. Dengan demikian verapamil dapat mencetuskan gagal jantung,

memperburuk gangguan konduksi, dan menyebabkan hipotensi pada dosis tinggi.

Karena itu obat ini tidak boleh digunakan bersama dengan beta-bloker. Efek

samping utamanya berupa konstipasi (IONI, 2008).

Nifedipin merelaksasi otot polos vaskular sehingga mendilatasi arteri koroner

dan perifer. Obat ini lebih berpengaruh pada pembuluh darah dan kurang

38

Page 39: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

berpengaruh pada miokardium dari pada verapamil. Tidak seperti verapamil,

nifedipin tidak mempunyai aktivitas antiaritmia. Nifedipin jarang menimbulkan

gagal jantung, karena efek inotropik negatifnya diimbangi oleh pengurangan kerja

ventrikel kiri. Sediaan nifedipin kerja pendek tidak dianjurkan untuk pengobatan

jangka panjang hipertensi, karena menimbulkan variasi tekanan darah yang besar

dan refleks takikardia (IONI, 2008).

Nikardipin memiliki efek serupa dengan nifedipin, dengan menghasilkan

sedikit pengurangan kontraktilitas miokard. Amlodipin dan Felodipin

menunjukkan efek yang serupa dengan nifedipin dan nikardipin, tidak mengurangi

kontraktilitas miokard dan tidak menyebabkan perburukan pada gagal jantung.

Obat ini mempunyai masa kerja yang lebih panjang, dan dapat diberikan sekali

sehari. Nifedipin, nikardipin, amlodipin, dan felodipin digunakan untuk

pengobatan angina atau hipertensi. Semuanya bermanfaat pada angina yang

disertai dengan vasospasme koroner. Efek samping akibat efek vasodilatasinya

adalah muka merah dan sakit kepala, dan edema pergelangan kaki (yang hanya

memberikan respons parsial terhadap diuretika) (IONI, 2008).

Diltiazem efektif untuk sebagian besar angina. Selain itu, sediaan kerja

panjangnya juga digunakan untuk terapi hipertensi. Senyawa ini dapat digunakan

untuk pasien yang karena sesuatu sebab tidak dapat diberikan beta-bloker. Efek

inotropik negatifnya lebih ringan dibanding verapamil dan jarang terjadi depresi

miokardium yang bermakna. Meskipun demikian, karena risiko bradikardinya,

tetap diperlukan kehati-hatian bila digunakan bersama beta-bloker (IONI, 2008).

Monografi (IONI, 2008): 

1) Amlodipin

a) Indikasi: 

Hipertensi, profilaksis angina

b) Peringatan: 

Kehamilan, gangguan fungsi hati.

c) Interaksi: 

Antagonis kalsium.

d) Kontraindikasi: 

Syok kardiogenik, angina tidak stabil, stenosis aorta yang signifikan,

menyusui.

39

Page 40: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

e) Efek Samping: 

Nyeri abdomen, mual, palpitasi, wajah memerah, edema, gangguan tidur,

sakit kepala, pusing, letih; jarang terjadi, gangguan saluran cerna, mulut

kering, gangguan pengecapan, hipotensi, pingsan, nyeri dada, dispnea,

rhinitis, perubahan perasaan, tremor, paraestesia, gangguan kencing,

impoten, ginekomastia, perubahan berat badan, mialgia, gangguan

penglihatan, tinitus, pruritus, ruam kulit (termasuk adanya laporan eritema

multiform), alopesia, purpura dan perubahan warna kulit; sangat jarang,

gastritis, pankreatitis, hepatitis, jaundice, kolestasis, hiperplasia pada gusi,

infark miokard, aritmia, vaskulitis, batuk, hiperglikemia, trombositopenia,

angioedema dan urtikaria

f) Dosis: 

Hipertensi atau angina, dosis awal 5 mg sekali sehari; maksimal 10 mg sekali

sehari

2) Diltiazem Hidroklorida

a) Indikasi: 

Pengobatan angina pektoris; profilaksis angina pektoris varian; hipertensi

esensial ringan sampai sedang.

b) Peringatan: 

Kurangi dosis pada pasien gangguan fungsi hati dan ginjal; gagal jantung

atau gangguan bermakna fungsi ventrikel kiri yang bermakna , bradikardi

(hindarkan jika berat), blokade AV derajat satu, atau perpanjangan interval

PR.

c) Interaksi: 

Aantagonis kalsium.

d) Kontraindikasi: 

Bradikardi berat, gagal jantung kongesti (denyut jantung di bawah 50

denyut/menit); gagal ventrikel kiri dengan kongesti paru, blokade AV derajat

dua atau tiga (kecuali jika digunakan pacu jantung), sindrom penyakit sinus

(sinus bradikardi, sinus ares, sinus atrial); kehamilan; menyusui; hipersensitif

terhadap diltiazem.

40

Page 41: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

e) Efek Samping: 

Bradikardi, blokade sino-atrial, blokade AV, jantung berdebar, pusing,

hipotensi, malaise, asthenia, sakit kepala, muka merah dan panas, gangguan

saluran cerna, edema (terutama pada pergelangan kaki); jarang terjadi ruam

kulit (termasuk eritema multiforme dan torn dermatitis), fotosensitif;

dilaporkan juga hepatitis, gynaecomastia, hiperplasia gusi, sindrom

ekstrapiramidal, dan depresi

f) Dosis: 

Aritmia, 60 mg tiga kali sehari (usia lanjut awalnya dua kali sehari) jika perlu

tingkatkan hingga 360 mg sehari disesuaikan dengan usia dan gejala

hipertensi esensial ringan sampai sedang, dewasa oral 100-200 mg satu kali

sehari, angina varian, dewasa oral 100 mg sekali sehari, jika tidak ada

perubahan maka dapat ditingkatkan hingga 200 mg satu kali sehari.

3) Felodipin

a) Indikasi: 

Hipertensi, angina.

b) Peringatan: 

Hentikan bila terjadi nyeri iskemik; gangguan hati; menyusui; hindari sari

buah grape-fruit(mempengaruhi metabolisme).

c) Interaksi: 

Antagonis kalsium.

d) Kontraindikasi: 

Kehamilan.

e) Efek Samping: 

Muka merah, sakit kepala, palpitasi, pusing, fatigue, edema kaki, ruam kulit

dan gatal, hiperplasia, demam, impoten.

f) Dosis: 

Hipertensi, dosis awal 5 mg (usia lanjut 2,5 mg) sehari pada pagi hari; dosis

penunjang lazim 5-10 mg sekali sehari; jarang diperlukan dosis di atas 20 mg

sehari. Angina, dosis awal 5 mg sehari pada pagi hari, jika perlu tingkatkan

sampai 10 mg sekali sehari.

4) Dan Obat Antagonis Kalsium lainnya

41

Page 42: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

c. β-Blocker

d. Anti Angina Lain

Monografi (IONI, 2008): 

1) IVAbradin

a) Indikasi: 

Arteri koroner, pengobatan simtomatik angina pektoris stabil kronik pada

pasien dengan ritme sinus normal yang tidak dapat mentoleransi penggunaan

beta-bloker, gagal jantung kronis (gagal jantung kronis kategori NYHA II

sampai IV dengan disfungsi sistolik, ritme sinus dan denyut jantung ≥ 75

detak/menit) dikombinasikan dengan terapi standar termasuk terapi yang

menggunakan beta-bloker atau tidak dapat mentoleransi penggunaan beta-

bloker.

b) Peringatan: 

Gagal jantung ringan termasuk disfungsi ventrikel kiri asimtomatik, pasien

dengan fibrilasi atrial atau aritmia lainnya dipantau (ketidakefektifan

pengobatan), hipotensi sedang,retinitis pigmentosa, lansia, gangguan fungsi

hati (sedang), gangguanfungsi ginjal apabila kreatinin klirens kurang dari 15

mL/menit.

c) Interaksi: 

Tidak dianjurkan penggunaan bersama dengan diltiazem atau verapamil,

denyut jantung dimonitor pada penggunaan bersama inhibitor CYP3A4

seperti flukonazol, pemberian bersama amiodaron atau disopiramid

meningkatkan risiko aritmia ventrikular, pemberian bersama klaritromisin

dan telitromisin dapat meningkatkan kadar plasma ivabradin, pemberian

bersama eritromisin meningkatkan risiko aritmia ventrikel, pemberian

bersama ketokonazol meningkatkan kadar plasma ivabradin, pemberian

bersama flukonazol meningkatkan kadar plasma ivabradin- dosis awal

ivabradin diturunkan, pemberian bersama itrakonazol kemungkinan dapat

meningkatkan kadar plasma ivabradin, pemberian bersama meflokuin

meningkatkan risiko aritmia ventrikel, pemberian bersama pimozid atau

sertindol meningkatkan risiko aritmia ventrikel, pemberian bersama

nelfinavir dan ritonavir kemungkinan dapat meningkatkan kadar plasma

ivabradin, pemberian bersama sotalol meningkatkan risiko aritmia ventrikel,

42

Page 43: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

pemberian bersama diltiazem dan verapamil meningkatkan kadar plasma

ivabradin, pemberian bersama grapefruit juice meningkatkan kadar plasma

ivabradin sehingga harus dihindari, pemberian bersama pentamidin isetionat

meningkatkan risiko aritmia ventrikel.

d) Kontraindikasi: 

Hipersensitivitas terhadap ivabradin, bradikardi (denyut jantung kurang dari

60 detak/menit), syok kardiogenik, infark miokard akut, sesaat setelah

stroke, sick-sinus syndrome, sino-atrial block, gagal jantung sedang sampai

berat, pasien dengan pacemaker, angina tidak stabil, blokade jantung derajat

dua dan tiga, congenital QT syndrome, gangguan fungsi hari berat, hipotensi

berat (tekanan darah < 90/50 mmHg), pemberian bersama inhibitor CYP3A4

seperti ketokonazol, itrakonazol, antibiotik makrolida (klaritromisin,

eritromisin, josamisin, telitromisin), inhibitor protease HIV (nelfinavir,

ritonavir) dan nefazodon, kehamilan, menyusui.

e) Efek Samping: 

Sangat umum: gangguan penglihatan termasuk phosphenes umum: sakit

kepala (bulan pertama pengobatan), pusing (akibat bradikardi), pandangan

kabur, bradikardi, perpanjangan interval PQ pada EKG (AV 1st degree block),

ekstrasistol ventrikel; tidak umum: eosinofil, hiperurisemia, sinkop (akibat

bradikardi), vertigo, palpitasi, ekstrasistol supraventrikel, hipotensi (akibat

bradikardi), dispnea, mual, konstipasi, diare, angioedema, ruam, kram otot,

astenia (akibat bradikardi), letih, peningkatan kreatinin

darah. Jarang: eritema, pruritus, urtikaria, malaise (akibat bradikardi). Sangat

jarang: fibrilasi atrial, sick-sinus syndrome, AV 2nd degree block, AV

3rd degree block.

f) Dosis: 

Arteri koroner: dosis awal 5 mg dua kali sehari, apabila diperlukan dosis

dapat ditingkatkan setelah 3-4 minggu pengobatan menjadi 7,5 mg dua kali

sehari, apabila pasien tidak dapat mentoleransi dosis ini (denyut jantung pada

saat istirahat kurang dari 50 detak/menit atau muncul gejala bradikardi

seperti pusing, kelelahan atau hipotensi) maka dosis diturunkan menjadi 2,5

mg dua kali sehari, pengobatan harus dihentikan apabila denyut jantung tetap

di bawah 50 detak/menit atau gejala bradikardi muncul, lansia dosis awal 2,5

43

Page 44: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

mg dua kali sehari; gagal jantung kronis: dosis awal 5 mg dua kali sehari,

setelah 2 minggu pengobatan apabila diperlukan dosis dapat ditingkatkan

menjadi 7,5 mg dua kali sehari jika denyut jantung istirahat terus-menerus

lebih dari 60 detak/menit atau diturunkan menjadi 2,5 mg dua kali sehari jika

denyut jantung istirahat terus-menerus kurang dari 50 detak/menit atau

muncul gejala bradikardi seperti pusing, kelelahan atau hipotensi, pengobatan

harus dihentikan apabila denyut jantung tetap di bawah 50 detak/menit atau

gejala bradikardi tetap muncul.

2) Nesiritid

a) Indikasi: 

Terapi intravena pada gagal jantung kongestif akut yang mengalami dispnea

pada saat istirahat atau dengan aktivitas yang minimal.

b) Peringatan: 

Dapat terjadi reaksi alergi karena kandungan proteinnya yang diberikan

secara parenteral. Hindari pada pasien dengan cardiac filling pressure rendah

atau berpotensi mengalami cardiac filling pressure rendah. Tidak dianjurkan

pada kondisi valvular stenosis, kardiomiopati obstruktif atau restriktif,

perikarditis konstriktif, pericardial tamponade. Dapat menyebabkan

hipotensi, sehingga harus diikuti dengan monitoring tekanan darah secara

intensif. Risiko hipotensi meningkat jika diberikan bersamaan dengan obat

lain yang menyebabkan hipotensi atau pemberian dosis yang lebih tinggi

daripada yang dianjurkan. Dapat menyebabkan azotemia dan peningkatan

klirens kreatinin.

c) Interaksi: 

Peningkatan efek hipotensi dengan pemberian bersamaan dengan

penghambat ACE atau obat lain yang menimbulkan efek hipotensi.

Inkompatibel secara fisika dan kimia dengan injeksi heparin, insulin,

etakrinat, bumetanid, enalaprilat, hidralazin dan furosemid.

d) Kontraindikasi: 

Hipersensitif terhadap nesiritid. Tidak boleh digunakan sebagai terapi awal

pada kondisi syok kardiogenik atau pada pasien dengan tekanan darah

sistolik kurang dari 90 mmHg pada awal terapi.

44

Page 45: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

e) Efek Samping: 

Hipotensi, takikardi ventrikel, ekstrasistol ventrikel, bradikardi, angina

pektoris, sakit kepala, nyeri abdomen, nyeri punggung, insomnia, pusing,

ansietas, mual, muntah.

f) Dosis: 

Injeksi bolus 2 mcg/kg bb diikuti dengan pemberian melalui infus 0,01

mcg/kg bb/menit.

3) Trimetazidin Dihidroklorida

a) Indikasi: 

Terapi tambahan pada antiangina lain. Tidak digunakan sebagai terapi

tunggal.

b) Peringatan: 

Kehamilan dan menyusui. Tidak sebagai terapi kuratif serangan angina, tidak

untuk pengobatan awal angina tidak stabil atau infark miokard; Gagal ginjal

dengan bersihkan kreatinin < 15 mL/menit, gagal hati berat.

c) Kontraindikasi: 

Hipersensitif terhadap obat dan komponen obat, menyusui.

d) Efek Samping: 

Jarang terjadi: mual, muntah.

e) Dosis: 

Dua kali sehari pada pagi dan sore hari saat makan.

45

Page 46: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

II. METODE PRAKTIKUM

A. Binatang Percobaan / Orang Percobaan

2 ekor katak

B. Alat dan Bahan

1. Alat

a. Pisau bedah

b. Pinset

c. Gunting lurus

d. Pipet tetes

e. Alat perusak otak katak

f. Papan

g. Beker glass

h. Alat pengukur waktu

2. Bahan

a. Sulfas Atropin (Ampule)

b. Ringer Laktat

C. Cara Kerja

1. Rusak SSP masing – masing katak.

2. Terlentangkan masing – masing katak di atas papan.

3. Gunting kulit bagian ventral katak untuk membuka abdomen sampai thoraks dari

katak.

4. Buka selaput perikardium dari katak.

5. Jaga agar jantung katak tetap basah dengan diberikan larutan ringer laktat.

6. Pada katak pertama berikan 1 tetes larutan ringer laktat tiap 1 menit, sedangkan pada

katak kedua berikan sulfas atropin 1 tetes.

7. Catat denyut, ukuran, warna, irama atrium dan ventrikel selama 5 menit selama 15

menit.

46

Page 47: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Tabel 3.1. Perubahan yang diamati dari jantung katak yang diberikan atropin

sulfat dan yang tidak diberikan atropin sulfat.

Tiga menit

ke-

Faktor yang

diamati

Katak yang tidak

diberikan atropin

sulfat

Katak yang diberikan

Atropin

1 Irama Atrium-

Ventrikel

Reguler Reguler

Denyut Atrium-

Ventrikel

43x/menit 84x/menit

Ukuran Atrium-

Ventrikel

Normal Normal

Warna Jantung Merah darah segar Merah darah

segar/merahtua

2 Irama Atrium-

Ventrikel

Reguler Irreguler

Denyut Atrium-

Ventrikel

43x/menit 80x/menit

Ukuran Atrium-

Ventrikel

Normal Mengecil

Warna Jantung Merah darah segar Merah darah

agakterang

3 Irama Atrium-

Ventrikel

Reguler Irreguler (Melemah)

Denyut Atrium-

Ventrikel

42x/menit 64x/menit

47

Page 48: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

Ukuran Atrium-

Ventrikel

Normal Mengecil

Warna Jantung Merha darah segar Merah darah terang

B. Pembahasan

Praktikum kali ini menggunakan dua larutan yakni ringer laktat dan atropin sulfat.

Praktikum ini melihat hubungan atropin sulfat dengan jantung katak. Atropin sulfat

merupakan obat antimuskarinik golongan belladona. Atropin sulfat beraksi pada saraf

post ganglion. Dosis 0,25mg Atropin sulfat yang diberikan akan menimbulkan efek

hanya menurunkan sekresi air liur dan keringat, sementara pada dosis 0,5-1 mg Atropin

sulfat akan memberikan efek dilatasi pupil, penghambatan vagus pada jantung, dan lain-

lain (Handoko, et al, 2012).

Efek pemberian sulfat atropin dengan dosis sekitar 0,4-0,6 mg pada menit-menit

awal akan menurunkan denyut jantung. Namun, pada pemberian dosis yang semakin

tinggi dan menunggu sampai menit-menit berikutnya denyut jantung akan meningkat.

Tempat kerja sulfat atropin ini adalah di penghambatan jalan asetilkolin. Asetilkolin

memberikan efek untuk memberikan impuls untuk berkontraksi pada jantung. Efek

relaksasi didapatkan dari blokade jalan asetilkolin agar tidak menghantarkan impuls

(Brunton, et al,2008).

Atropin sulfat terbukti sebagai antimuskarinik dengan cara memblok hantaran

impuls melalui asetilkolin. Anestesi umum atropin sulfat juga digunakan untuk

merelaksasikan tubuh saat akan dilakukan operasi. Semuanya mengalami penurunan oleh

karena hambatan tersebut. Efek tersebut dibuktikan pada jantung katak di praktikum

farmakologi ini (Handoko,et al, 2012).

Denyut jantung sebanding dengan irama. Irama jantung semakin ireguler oleh

karena daya kompensasi jantung untuk mengirimkan darah ke jaringan yang semakin

menurun pasokan oksigennya. Sementara, pada warna jantung tidak terdapat perubahan

menjadi sianosis atau lainnya. Hal tersebut terjadi olehkarena mekanisme kompensasi

yang masih baik dan jantung belum sepenuhnya berhenti dari kerjanya. Sehingga oksigen

masih tersalurkan dengan baik. Bila oksigen masih tersalurkan dengan baik dan perfusi

tidak terganggu atau tidak ada obstruksi maka keadaan sianosis tidak akan nampak

(Sherwood, 2012).

48

Page 49: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

Keadaan katak yang diberikan atropin sulfat sangat berbeda sekali dengan katak

yang tidak diberi perlakuan. Variabel yang paling mencolok yaitu dilihat dari denyut

jantung, irama, serta ukuran jantung. Denyut jantung katak cenderung dalam range yang

tidak berubah (normal). Irama dari jantungnya pun reguler, tidak melambat atau cepat

(reguler). Ukuran jantungnya pun dalam batas normal, tidak sekecil jantung yang

mengalami bradikardi. Walaupun dirusak otaknya, sinyal dari pacemaker tidak dihambat

oleh atropin sulfat sehingga denyutnya cendereung teratur. Sinyal yang dihantarkan baik

menuju atrium dan ventrikel akan setimbang, namun kedepannya akan melemah setelah

beberapa lama oleh karena pacemakernya pun kekurangan suplai nutrisi dan oksigen

untuk mempertahankan denyut. Penurunan denyutnya tidak sedrastis yang diberikan

atropin sulfat (namun secara perlahan) (Guyton and Hall, 2014).

49

Page 50: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

IV. KESIMPULAN

1. Pemberian sulfas atropine pada katak dapat memberikan efek berup apeningkatan denyut

jantung yang disertai perubahan irama jantung menjadi ireguler.

2. Pemberian sulfas atropine membuat ukuran jantung katak membesar sebagai efek dari

kontraksi otot jantung yang mengalami peningkatan.

3. Terdapat rentang waktu dari pemberian sulfas atropin hingga menimbulkan reaksi pada

katak.

50

Page 51: Laporan Farmakolagi Kardio Fix

DAFTAR PUSTAKA

Badan POM RI. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta. Sagung Seto

Brunton , Laurence L. 2011. Goodman and Gilman : The Pharmacological Basis of Therapeutics 12th edition. United Stated of America : The McGraw Hill Companies , Inc.

Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007. Farmakologi dan Terapi ed 5. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Ganiswarna, Sulistia G. 2009. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta : Bagian Penerbit FKUI.

Gunawan, Sulistia Gan. 2012. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Badan Penerbit FKUIWillacy, halley. 2010. Anti-arrhytmic drug. Diakses dari :

http://www.ptient.co.uk/doctor/Anti-arrhytmic-Drugs.htm (diakses pada 18 April 2015)Handoko, T.S, dkk. 2012. Farmakologi Dan Terapi Edisi 7. Jakarta : Penerbit FKUIKatzung, B.G., et al. 2012. Basic And Clinial Pharmacology 12th Edition. New York:

McGraw Hill

McMurray, John JV. 2010. “Systolic Heart Failure”. New England Journal of Medicine. 36(2) : 228-238.

Noer Staffoeloh et la.2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.

Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Jakarta :EGC.

Yuniadi, Yoga. 2009. Aplikasi Kinis Beberapa Trial Amiodaron. Jurnal Kardiologi Indonesia. 30; 25-31.

51