55
Laporan Buku Kelompok Oleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni JUDUL BUKU : Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006) PENULIS : Siahaan, N.H.T, Subiharta PENERBIT : Pancuran Alam dan PK2HE TAHUN : 2007 JUMLAH BAB : 6 Bab TEBAL : X, 141 hlm BAB I PENDAHULUAN Memandang HAM memang tidak akan utuh jika hanya dipahami secara utuh jika hanya dipahami secara inkremental, atau tidak secara komprenhensip, karena HAM hendaknya dipahami sebagai berpasangan denga kewajiban. HAM dibingkaikan dalam kerangka hukum, demikian pula hal yang sama kewajiban dibingkaikan pula dalam kerangka hukum. Dalam aspek bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sejauh manapun tingginya nilai-nilai HAM nya maka kerangka hukum dan politik dalam konteks bermasyarakat dan bernegara selalu berada dalam condito sine qua non. HAM yang baik dan benar jika ia dilihat dalam totalitas hak dan kewajiban yang seimbang, dan tidak berat sebelah. Segala sesuatunya dirajut dengan aturan-aturan hukum yang mengatur dan menata hak-hak, kewenangnan, tugas, kewajiban dan tanggung jawab. Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006) 1

LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

JUDUL BUKU : Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

PENULIS : Siahaan, N.H.T, SubihartaPENERBIT : Pancuran Alam dan PK2HETAHUN : 2007JUMLAH BAB : 6 BabTEBAL : X, 141 hlm

BAB I

PENDAHULUAN

Memandang HAM memang tidak akan utuh jika hanya dipahami secara utuh jika

hanya dipahami secara inkremental, atau tidak secara komprenhensip, karena HAM

hendaknya dipahami sebagai berpasangan denga kewajiban. HAM dibingkaikan dalam

kerangka hukum, demikian pula hal yang sama kewajiban dibingkaikan pula dalam

kerangka hukum. Dalam aspek bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sejauh manapun

tingginya nilai-nilai HAM nya maka kerangka hukum dan politik dalam konteks

bermasyarakat dan bernegara selalu berada dalam condito sine qua non.

HAM yang baik dan benar jika ia dilihat dalam totalitas hak dan kewajiban yang

seimbang, dan tidak berat sebelah. Segala sesuatunya dirajut dengan aturan-aturan hukum

yang mengatur dan menata hak-hak, kewenangnan, tugas, kewajiban dan tanggung jawab.

Seseorang warga negara warga negara tidak hanya cukup menuntut pemenuhan HAM nya

secara baik, sementara kewajiban dan tanggung jawabnya tidak dijalankan secara baik

pula. Sebaliknya pun bisa terjadi bilamana pemenuhan HAM diabaikan, atau dikondisikan

tidak baik, bahkan dirusak, maka kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai manusia,

warga negara dan terutama dalam proporsi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak

akan kontributif.

Demikianlah dalam pemahaman kita, bahwa aspek HAM dalam setiap warga negara

Indonesia, hendaknya diporsikan dalam kerangka hukum sebagai bingkai dan pilar penting

dalam elemen-elemen berbangsa dan bernegara. Tetapi patut dipahami pula bahwa bingkai

dan pilar-pilar hukum hendaknya dengan landasan-landasan yang adil, beradab atau tidak

diskriminatif tidak lebih mengutamakan yang satu dengan lainya, atau membelangkangkan

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

1

Page 2: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

yang lainya, hanya karena perbedaan yang bersifat suku, ras, agama, keyakinan, golongan

dan sebagainya.

Bertolak dari situ maka jika memang SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan

Republik Indonesia) dipandang sebagai suatu wujud yang bersifat membatasi ruang gerak

dan kebebasan kalangan warga negara indonesia dari keturunan asing, tentu kita harus

segera gentleman mengakui bahwa kebijakan seperti ini sangat mendistorsi nilai-nilai

HAM yang kita junjung, dan selanjutnya mendistorsi nilai-nilai konstitusi (UUD 1945)

pula.

Jadi dimensi hukum, politik dan pemerintahan yang berlandaskan pada nilai ke-

pancasilaan harus konsekwen menolak diskriminasi dengan segala wujudnya

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

2

Page 3: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

BAB II

PEMBAHASAN

A. Rumusan Isi Pokok Pemikiran Penulis Buku

Sistematika laporan buku ini diawali dengan mengkaji secara umum isi buku yang

akan dilaporkan, Buku ini terdiri dari 6 Bab, yang memuat Materi Hukum

Kewarganegaraan dan HAM yang terkait bagaimana SBKRI menurut Undang-Undang No

12 Tahun 2006. Berikut ini kami rumuskan isi pokok pemikiran penulis dari bab ke bab.

1. Otonomi Daereh Dalam Perspektif Negara Kesatuan

Dalam proses politik sepanjang masa, seperti bangsa-bangsa lain didunia, negara

kesatuan republik indonesia juga dihadapkan kepada lima masalah besar (great issues)

sebagaimana diihtisarkan oleh Lislie Lipton dalam The Great Issues of Politics An

Introduction to Political Science, yang salah satu diantaranya adalah the Structure of

authorithy? Should power be concentrated or dispresed? Masalah ini berkaitan

langsung dengan masalah pemilihan (penentuan) antara centralization atau local

autonomy. Apabila pilihan jatuh pada local autonomy, maka pemerintah pusat harus

melaksanakan desentralisasi, atau dengan kata lain, bahwa desentralisasi merupakan

konsekuensi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah pusat sebagai pilihan pada local

autonomy.

Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan Negara Indonesia ialah

Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, Pada hakekatnya merupakan cermin dari

perumusan gagasan negara kesatuan sebagai suatu ketentuan Hukum. Selanjutnya

dalam penjelasannya diterangkan. Negara melindungi segenap bangsa indonesia dan

seluruh tumpah dara indonesia dengan berdasarkan atas persatuan dengan

mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara menurut

pengertian ini menghendaki persatuan meliputi segenap bangsa indonesia seliruhnya.

Berkenaan dengan pemerintah daerah telah diatur pada pasal 18 Undang-Undang

dasar 1945 yang berbunyi:

“Pembagian daerah indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang lebih kecil.”

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

3

Page 4: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

Dari ketentuan pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 Beserta penjelasanya, dapat

ditarik kesimpulan:

1. Wilayah indonesia dibagai kedalam daerah-daerah (propinsi dan derah lebih kecil

lagi). Baik yang bersifat otonom maupun yang bersifat administratif.

2. Daerah tersebut mempunyai pemerintahan, tetapi tidak bersifat staat.

3. Pembagian wilayah maupun susunan pemerintahan daerah ditetapkan dengan

undang-undang.

4. Didaerah otonom dibentuk badan perwakilan daerah sesuai dengan dasar

permusyawaratan dalam sistem pemerintah Negara.

Dapatlah dikatakan, Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang di

desentralisasikan, meskipun terdapat asas, bahwa segenap urusan-urusan negara tidak

berarti dibagi antar pemerintah pusat sedemikian rupa, sehingga urusan-urusan negara

dalam negara kesatuan tetap merupakan suatu kebulatan (eenheid), dan bahwa

pemegang kekuasaan tertinggi adalah pemerintah pusat.

Pada intinya terdapat dua hal mendasar yang ingin dicapai dari pilihan

desentralisasi (Otonomi daerah).

1. Agar tercapainya efektifitas pemerintahan (doelmatigheid van het bestuur).

Wilayah negara terdiri dari berbagai satuan daerah yang masing-masing memiliki

sifat khusus tersendiri akibat perbedaan faktor geografis, adat istiadat, kehidupan

ekonomi, dialek (bahasa), tingkat pendidikan masyarakat dan lain-lain.

2. Agar terlaksananya demokrasi secara bottom up (grassroots democracy)

Negara yang menganut demokrasi, rakyat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk

ikut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebagai landasan filosofis dari

demokrasi sendiri adalah goverment of the people and for the people.

Meskipun tujuan dasar otonomi daerah sangat strategis, tetapi selama 25 tahun

pelaksanaan UUD No. 5 Tahun 1974, sebenarnya tidak lebih dari membungkus

sentralisasi dengan pola hubungan pemerintah pusat dengan daerah melalui apa yang

disebut dekonsentrasi.

Pola demikian telah menafsirkan aspirasi masyarakat, memperlemah proses

demokratisasi, cenderung tidak transparan dan jauh dari sense of public

accountability. Denag kata lain, pelaksanaan pola pemerintahan daerah menurut UUD

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

4

Page 5: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

No. 5 Tahun 1974 dianggap telah gagal, karena pendekatan yang digunakan adalah

sentralisrtik, menumbuhkan inefisiensi administrasi dan korupsi, serta tidak mampu

mengantisipasi arus globalisasi dunia yang terjadi terutama dalam bidang ekonomi

dan keuangan.

Memahami kegagalan, sebagai bangsa yang berupaya untuk cerdas, maka pola

hubungan pusat dan daerah yang peternalistik dan sentralistik diubah menjadi pola

hubungan yang bersifat kemitraan dan desentralistik, sebagaimana tertuang dalam

Undang-undang No. 22 tahun 1999 dan UUD No. 25 tahun 1999. Yang memberikan

otonomi yang luas kepada daerah khususnya Kabupaten/Kota.

Meskipun demikian, ketika masih disosialisasikan dan bahkan ketika sudah

dilaksanakan, otonomi daerah atas Undang-undang No. 22 Tahun 1999, yang telah

menimbulkan kesimpangsiuran pemahaman, ditafsirkan berbeda-beda, yang lebih

mengedepankan argumentasi politik ketimbang argumentasi bersifat keilmuan. Hal ini

jelas telah melahirkan stigmasi kurang menguntungkan, antara lain.

a. Otonomi dikaitkan semata-mata hanya dengan uang sehinga derah dianggap

belum mampu.

b. Melalui otonomi daerah, pemerintah pusat akan melepaskan tanggungjawabnya

untuk membantu dan membina daerah.

c. Dengan otonomi maka derah dapat bebas melakukan apa saja.

d. Dengan otonomi akan melahirkan raja-raja kecil, memindahkan korupsi kedaerah

dan dapat menimbulkan disintegrasi bangsa.

Ketika Undang-undang No. 22 dan 25 Tahun 1999 digulirkan, seiring nuansa

euphoria reformasi saat itu, harus diakui, tiba-tiba banyak daerah Kabupaten/Kota

yang merasa kaget, berkembang perdebatan serta presepsi yang berbeda-beda.

Sebagian diliputi ptimisme, tetapi sebagian lagi merasakan pesimis terhadap misi yang

di emban oleh Undang-undang tersebut.

Melalui kewenangan yang diberikan, sebagian daerah menganggap otonomi

sebagai sebuah peluang dalam menangkap berbagai kesempatan menata kehidupan

yang lebih baik, terlebih dalam menghadapi daerah globalisasi dan demokratisasi.

Namun demikian, tersapat juga yang bersifat pesimistis terhadap implementasi

Undang-undang No. 22 Tahun 1999, antara lain. Pertama, meskipun dengan mision

yang sangat kuat melalui pemberian kewenangan yang luas kepada masyarakat

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

5

Page 6: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

daerah, emerintah pusat yang telah memiliki hagemoni kekuasaan dengan berbagai

atribut, masih terkesan setengah hati untuk melaksanakan otonomi daerah. Hal ini

tercermin dari masih terjadinya tarik ulur mengenai kewenangan-kewenagnan mana

yang pantas dan tidak pantas untuk diberukan kepada daerah. Kedua, sebagai daerah

belum siap untuk berotonomi, karena merasa kurang memiliki dukungan sumberdaya

keuangan. Ketiga, belum adanya kepastian yang berkaitan dengan kebijakan-

kebijakan pendukung pelaksanaanya.

2. Prinsip-Prinsip Ham dan Kebijakan SBKRI

Belakangan ini, isu hak Asasi manusia (HAM) begitu gencar dipersoalkan

dimana-mana, baik ditingkat internasional, regional maupun nasional. Dari isu-isu

yang tercuat, muncul suatu sistem nilai bahwa negara yang tidak menghormati dan

melaksanakan penerapan nilai-nilai HAM, berarti belum menjunjung asas-asas

keberradaban masa kini. Mungkin dapat diartikan bahwa negara pelanggar HAM

adalah bangsa tidak beradab. Pada hematnya dikatakan demikian, karena sesuai

penjelasan dari UU No. 27 Tahun 1999 tentang ratifikasi konvensi internasional

tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial 1965 menyatakan.

“Oleh karena diskriminasi rasial menjadi musuh, baik bagi masyarakat luas

maupun internasional, maka harus dihapuskan dari peradaban umat manusia “.

Mengartikan hak-hak asasi manusia (HAM) sebenarnya sangat sulit dirumuskan.

Mengingat apakah semua hak yang dipunyai setiap orang dapat disebut HAM. Apakah

masing-masing pemilik hak yang berlainan tidak akan kolitif (tabrakan kepentingan),

dan sampai berapa jauh hak-hak itu dapat didukung atau direalisasikan, dan juga

dimana hak-hak harus berhenti. Membuat kesimpulan, yang mencakup seluruh hal-hal

diatas dalam suatu pengertian, amatlah sulit. Namun Undang-undang No.39 Tahun

1999 tentang hak asasi manusia (UUHAM) memberikan devinisi, kendati sebenarnya

masih belum mudah dicerna dan dipahami.

“Seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Than Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia “. (Pasal 1 ayat 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

6

Page 7: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

Undang-undang HAM dalam devinisi diatas, dalam kenyataannya tidak dapat

mengkaitkan semua hal itu, dan sebaiknya batasan-batasan demikian harus

ternuansa/tercakup dalam suatu definisi, apalagi telah menjadi terminologi yuridis.

Pengingkaran dan kesewenangan-wenangan atas HAM dapat disebut sebagai telah

melanggar HAM.

Hukum yang mengatur hak-hak asasi manusia pada dasarnya bertumbuh dan

bersumber dari proses atau interaksi internasional. Nilai-nilai dan konsep hak asasi

manusia yang tumbuh diberbagai negeri di dunia, yang kemudian diterima oleh

berbagai bangsa dikembangkan, dirumuskan dan dijadikan sebagai pedoman universal

oleh masyarakat dunia untuk melindungi setiap orang/kelompok dengan segala hak-

hak dasar kemanusiaan yang melekat padanya.

Perkembangan demi perkembangan terjadi secara internasional, dari suatu

dimensi umum hak-hak yang dilindungi, hingga berbagai dimensi yang lebih khusus.

Sehingga, dimensi hukum internasional mengenai Ham berkembang kini seperti untuk

diskriminasi rasial, genocide, diskriminasi gender, hak-hak anak, hak-hak pekerja, dan

lain lain.

Undang-undang yang secara khusus mengatur HAM seperti UU No. 39 Tahun

1999. Tetapi dalam berbagai pengaturan bidang lain, aspek HAM juga dimasukan,

contohnya didalam KUHAP, didalam hukum ketenagakerjaan, didalam hukum

sumber daya alam, dll. Kemajuan HAM didunia diikuti di indonesia, dan konvensi-

konvensi internasional diadopsi kedalam hukum nasional melalui ratifikasi. Terakhir

dibentuknya sebuah institusi pengadilan HAM.

Tetapi hal yang terpenting dari semua ini ialah implementasi atau pelaksanaan

pengaturan HAM itu sendiri, bagaimana hukum HAM berjalan dalam proses

pelaksanaan yang konsekkuen.

Berikut beberapa produk Hukum HAM, baik dalam level Internasional dan

Nasional.

a. Internasional.

1) Deklarasi Hak Asasi Manusia (1948)

2) Piagam PBB (1945)

3) Konvenan Internasional tentang Hak-Hak ekonomi sosial budaya (1966)

4) Konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial (1966)

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

7

Page 8: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

5) Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan hukuman kejam, tidak

manusiawi dan merendahkan martabat manusia (1948)

6) Konvensi pencegahan dan penghukuman kejahatan Genocide.

7) Konvensi tentang Hak-Hak anak (1989)

8) Code of Conduct for Law Enforcement officials (1979)

b. Nasional

1) UUD 1945 dan perubahannya.

2) TAP, MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

3) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang diubah oleh

UU No.35 Tahun 1999.

4) UU No.8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

5) UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka

umum.

6) UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

7) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengedalan Hak Asasi Manusia

Untuk melihat ada tidaknya pelanggaran HAM didalam masalah SBKRI, perlu

dilihat dari sudut indikatornya. Indikator HAM dapat diartikan sebagai sebuah

informasi yang digunakan untuk mengukur sejauh mana sebuah hak secara hukum

dipenuhi atau dinikmati dalam situasi tertentu (Audrey R. Chapman, sebagimana

diambil dari Maria Green; What We Talk About Indicator: Current Approaches to

Human Rights Measurement, 1999). Indikator dapat didasarkan pada informasi

kuantitatif maupun kualitatif dan dapat menilai input maupun output. Indikator perlu

dibedakan dengan Benchmark, jika indikator mengukur observasi atau pemuasan

HAM dalam kondisi mutlak, maka benchmarks umumnya mengacu kepada target

yang ditetapkan oleh pemerintahan tertentu dalam kaitanya dengan hak-hak ekonomi,

sosial dan budaya.

Dikatakan bahwa indikator merupakan sebuah alat untuk membuat kebijakan-

kebijakan dan perkembangan pemantauan yang lebih baik serta menindentifikasi

dampak-dampak yang tidak diharapkan dari undang-undang, kebijakan-kebijakan dan

pelaksanaanya.

Dalam pelayanan berbagai kepentingan administaratif warga negara, pemerintah

daerah masih saja mensyaratkan adanya SBKRI, Pemda DKI misalnya dalam rangka

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

8

Page 9: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

pembuatan kartu keluarga bagi warganya, mensyaratkan SBKRI, bagi WNI dan surat

kependudukan dan catatan sipil Pemda DKI dalam pencatatan perkawinan, juga

mensyaratkan SBKRI. Dinas kependudukan kota medan, dalam persyaratan

memperoleh akte lahir, harus melengkapi syarat dengan SKBRI bagi WNI keturunan,

hal sama pula pada pemkot/catatan sipil kota pontianak, mensyaratkan SBKRI dan

ganti nama bagi WNI keturunan.

Implementasinya dari SBKRI ialah kepres No. 56 Tahun 1996 ini secara baik,

instruksi lainya yaitu Kepres No 4 Tahun 1999 tentang pelaksanaan bukti

Kewarganegaraan RI. Intruksi presiden atau Inpres ini di tujukan kepada para mentri,

para pimpinan lembaga pemerintah non departemen (LPND), hingga kepada gubernur

dan bupati/Walikota seluruh indonesia menegaskan kembali bahwa dengan keluarnya

Kepres No. 56 Tahun 1996, semua peraturan perundangan yang mensyaratkan

SBKRI untuk berbagai urusan kepentingan, dinyatakan tidak berlaku lagi, maka bagi

warga negara RI yang telah memiliki KTP, kartu keluarga, atau kelahiran, tentang

pelaksananaan bukti kewarganegaraan RI, cukuplah dengan menggunakan KTP, kartu

keluarga atau akte kelahiran tersebut (butir 3 Inpres No 4 Tahun 1999).

Tampaknya dalam masalah SBKRI ini diperlukan sebuah undang-undang,

mungkin juga dengan membuat UU baru mengenai kewarganegaraan indonesia. UU

ini misalnya dapat memuat secara tegas dan jelas bahwa syrat bukti kewarganegaraan

tidak perlu menjadi keharusan bagi pelayanan administrasi tertentu Wni, jikalau ia

sudah melampirkan surat bukti kewarganegaraan ayah/ibu atau orang tuanya, yakni

keputusan presiden tentang pewarganegaraan orang tuanya.

Dalam hal belum tersosialisasinya produk hukum itu ketingkat bawah, dapat

diatasai dengan membuat surat edaran atau petunjuk oleh aparatur-aparatur tingkat

pusat, dengan tentunya disertai sanksi administratif bagi aparaturnya yang tidak

melaksanakan dilapangan.

Alasan kepentingan administratif juga tidak menjadi dasar untuk tidak

melaksanakan hukum, sementara rekayasa birokrasi demi pemasukan uang melalui

keharusan SBKRI, dengan mudah dapat dikikis jika ada kemauan melaksanakanya.

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

9

Page 10: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

3. Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, Sejarah dan Masalahnya

Dalam Praktek.

Berbicara mengenai SBKRI tidak terlepas dari permasalahan kewarganegaraan.

Kewarganegaraan merupakan identitas seseorang yang diperoleh dari adanya

kepastian hukum dari negara dimana orang itu berasal. Oleh karena itu,

kewarganegaraan seseorang sangat penting karena berkaitan dengan hak-hak dan

kewajibannya terhadap negara dimana diperoleh kewarganegaraanya tersebut.

Pemikiran kewarganegaraan berpijak pada arti warga negara. Warga negara

adalah anggota negara. Warga negara secara kolektif merupakan salah satu fundamen

penting keberadaan suatu negara. Warga negara adalah suatu syarat yang harus

dipenuhi yntuk berdirinya suatu negara yang merdeka dan berdaulat, disamping syarat

lainya ialah adanya suatu wilayah yang tertentu dan pemerintah yang berdaulat.

Secara politis warga negara adalah unsur penting dari suatu negara yang patut

mendapatkan kepastian dan jaminan hukum yang layak dari negara.

Istilah warga negara merupakan terjemahan dari belanda, yakni Staatsburger.

Menurut Koerniatmanto Soetoprawiro yang dimaksud warga negara adalah anggota

negara sehingga sebagai anggota negara ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban

yang bersifat timbal balik terhadap negaranya.

Pentingnya status warga negara seseorang erat kaitannya dengan keberadaan

yang meliputi hak dan kewajiban. Dalam suatu negara terdapat 2(dua) jenis penduduk,

yaitu warga negara dan bukan warga negara.

Dalam pembatasan antara pengertian warga negara dengan orang asing dapat

dilihat dari adanya berbagai hak yang disediakan khusus warga negaranya. Hak-hak

ini termasuk dalam lingkungan hak-hak politik, hak-hak sipil, hak-hak sosial dan hak

ekonomi dan budaya.

Pengaturan mengenai warga negara dapat dilihat dari Undang-undang

kewarganegaraan. Undang-undang No. 3 Tahun 1946 tentang warga negara dan

penduduk Negara Indonesia. (UU No.3/1946) pasal 1 UU No.3?146 Menyatakan

bahwa Warga negara Indonesia ialah.

a. Orang yang asli dalam daerah negara indonesia

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

10

Page 11: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

b. Orang yang tidak dalam golongan tersebut diatas, akan tetapi keturunan dari

seseorang dari golongan itu lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman

didalam daerah negara indonesia....”

Melihat peraturan tersebut, jelas UU No. 3/1946 menganut asas ius soli, artinya

kewarganegaraan seseorang ditentukan dari negara dimana ia dilahirkan, atau setiap

orang yang dilahirkan di Indonesia otomatis menjadi warga negar Indonesia.

Namun setelah jatuhnya soekarno dan digantikan soeharto, segala sesuatu yang

sudah mulai dirintis berkaitan dengan peranan etnis tionghoa dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara mulai dikengkang.

Entah apa yang melatarbelakangi pemerintah orde baru sehingga diawal

kepemimpinan soeharto dikeluarkan kebijakansanaan yang menyangkut

kewarganegaraan indonesia keturunan asing yang sifatnya menekan etnis Tionghoa

indonesia yaitu dengan Kepres No. 240 Tahun 1967 yang kemudia dilanjutkan dengan

kebijakan-kebijakan baru yang lebih diskriminatif terhadap warga negara indonesia

etnis Tionghoa. Salah satunya adalah SBKRI.

Dalam Permenkeh No. 3/4/12 Tahun 1978 tersebut ditetapkan bahwa setiap warga

Negara Republik Indonesia harus mengajukan permohonan SBKRI kepada Mentri

Kehakiman khususnya bagi mereka yang keturunan asing, yang sudah menjadi warga

negara indonesia dan telah dewasa, namun saat itu tidak memiliki bukti

kewarganegaraan, dengan demikian SBKRI dimaksudkan untuk naturalisasi warga

negara asing menjadi warga negara indonesia.

Jika ditilik dari sejarah politik dan kewarganegaraan etnis tionghoa di Indonesia

pada masa sebelum kemerdekaan RI, masa kepemimpinan Soekarno dan masa

kepemimpina Soeharto, tampak jelas sekali perbedaan yang mencolok, warga negara

republik indonesia dari etnis tionghoa telah mendapatkan penekanan-penekanan yang

sangat tidak manusiawi di bawah kepemimpinan Soeharto pada masa orde baru.

Jika dilihat dari perspektif hukum Undang-undang kewarganegaraan, tentunya

sangat jelas sekali terlihat masi adanya perlindungan hukum yang diberikan kepada

warga negara indonesia dari etnis tionghoa pada masa itu. Namun permasalahan

timbul pada masa pemerintahan soeharto. Yaitu dikeluarkanya Permenkeh No. JB

3/4/12 Tahun 1978 jo. SK bersama Menkeh dan Mendagri.

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

11

Page 12: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

Yang lebih disayangkan adalah bahwa dalam prakteknya kebijakan SBKRI

tersebut telah ditafsirkan dan diberlakukanya hanya untuk warga negara indonesia

keturunan Tionghoa saja. Perlu disadari bahwa apabila pemerinyahan orde baru saat

itu memiliki pemahaman dan pengertian yang benar akan arti kewarganegaraan, maka

tentu tidak akan muncul masalah mengenai SBKRI yang pada prakteknya hanya

ditujukan kepada warga negara indonesia dari etnis Tionghoa. Dengan kata lain

SBKRI adalah bentuk lain dari apartheid (segregation) atau state sponsored racial

discrimination, yang diekspresikan melalui perangkat hukum kebiasaan.

Angin segar dihembuskan ketika kebijakan mengenai SBKRI ditiadakan melelui

kepres No. 56 tahun 1996 tentang surat bukti Kewarganegaraan republik indonesia jo.

INMENDAGRI No.25 Thun 1996 tentang SBKRI jo. Surat Edaran MENDAGRI

No.471.2/1265/SJ tanggal 18 juni 2002 perihal SBKRI jo Inpres No. 4 Tahun 1999

tentang pelaksanaan Bukti Kewarganegaraan RI Jo. Inpres No.26 Tahun 1998 Tentang

intruksi agar semua institusi pemerintah memberikan layanan yang sama. Serta Surat

Edaran Direktorat Penelitian dan pengaturan Perbankan N0. 6 Tanggal 11 Juni 2004

Tentang SBKRI dalam Dokumen Perbankan.

Namun demikian, bukan pekerjaan mudah bagi pemerintah era reformasi saat ini

untuk memprkokoh integritas bangsa indonesia dan menegakan demokrasi dan hak

asasi manusia. Walaupun pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk

mencabut kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa di

indonesia, namun kenyataan dilapangan masi menunjukan perlakuan-perlakuan

diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, contoh permasalahan yang masih sering

dijumpai seperti masih diisaratkan SBKRI dalam pembuatan KTP dan Paspor.

Hal ini jelas karena sampai dengan saat ini masih berlaku beberapa peraturan

peraturan yang bersifat diskriminatif yang belum dicabut/dihapuskan oleh pemerintah,

salah satunya yang berkaitan dengan kewarganegaraan atau masalah kependudukan

adalah peraturan mengenai catatan sipil yang dibuat pada zaman belanda, yaitu

staatsblad 1849-25 Tahun 1849 tentang catatn sipil untuk golongan timur Tionghoa,

golongan indonesia Asli Beragama Islam, dan staatbslad 1933-75 tahun 1933 tentang

catatan sipil untuk golongan indonesia asli beragam kristen. Peraturan tersebut masih

berlaku dan dipergunakan oleh kantor catatan sipil diseluruh indonesia sampai saat ini,

khususnya dalam pembuatan akta lahir, akta kawin, akta cerai dan kematian. Padahal

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

12

Page 13: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

peraturan tersebut cenderung diskriminatif dan sengaja dibuat oleh pemerintah hindia

belanda untuk menjalankan praktek devide et impera, sehingga jelas adanya peraturan-

peraturan tersebut telah melahirkan diskriminatif kependudukan dalam pelayanan

catatan sipil.

Sebagai negara hukum, indonesia harus menghormati hak asasi manusia, baik

dalam bidang politik, budaya, ekonomi,sosial , hukum dan kependudukan. Berbicara

mengenai hak asasi manusia, tentu kita harus mengerti apa yang dimaksud dengan hak

asasi manusia itu. Hak asasi manusia merupakan hak yang menjadi bagian inti dari

kodrat manusia dan terdapat pada setiap peradaban manusia yang tidak dapat

dikurangi maknanya (non-drogable rights). Hak tersebut antara lain meliputi hak atas

hak milik (right to property), hak atas kehidupan (right to life) dan hak atas kebebasan

(right to liberty).

4. Kebijakan Pemerintah dalam Penghapusan Diskriminasi di Indonesia

Bab ini ditulis oleh Dr. Ramly Hutabarat, SH. M.Hum yang studi kasusnya

tentang Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Bab ini

mendeskripsikan beberapa hal diantaranya tentang bagaimana mengedepankan etos

kebangsaan dan hukum, konsep penghapusan diskriminasi, bukti kewarganegaraan

dan kebijakan penghapusan dikriminasi dalam perspektif SBKRI.

a. Mengedepankan Etos Kebangsaan dan Hukum

Masyarakat keturunan yang berada dan bertempat tinggal di Indonesia adalah

bagian dari masyarakat indonesia secara keseluruhan. Merekapun merupakan

masyarakat hukum Indonesia juga sebagaimana warga negara lain. Oleh karena itu

kedudukan hukum mereka adalah sama dengan kedudukan masayarakat Indonesia

lainnya.

Secara konstitusional dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah ditentukan

kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib mematuhi hukum dan

pemerintahan itu. Baik etnis Tionghoa maupun etnis lainnya adalah sama

kedudukannya sebagai warganegara.

Dengan kenyataan tersebut adalah tugas kita bersama untuk memahami dan

mewujudkan kesatauan bangsa menuju masyarakat Indonesia baru. Satu hal yang

patut diperhatikan bahwa usaha mwujudkan kesatuan bangsa adalah suatu proses

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

13

Page 14: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

dimana setiap warga negara Indonesia terlibat di dalamnya, baik sebagai subyek atau

sekaligus sebagai obyek yang menentukan peranan selanjutnya di dalam masyarakat.

Keberadaan WNI keturunan di Indonesia adalah bagian dari asset umum bangsa

Indonesia. Hal inilah yang perlu ditingkatkan peranannya dalam rangka membangun

bangsa dan negara menuju Indonesia baru. Policy (kebijakan) pemerintah terhadap

keturunan etnis Tionghoa, didasarkan kepada pandangan bahwa semua warga negara

adalah sama haknya secara kultural, ekonomi dan hukum.

Oeh karena itu pada tempatnyalah meningkatkan peran serta didalam

pembengunan bangsa dan negara menurut kemampuan dan bidang yang ditekuni

sehari-hari. Dengan peran serta keturunan etnis Tionghoa, akan mengharumkan citra

keturunan etnis Tionghoa dan otomatis akan membantu semakin bergairahnya

pelaksaan pembangunan bangsa dan negara.

b. Konsep Penghapusan Diskriminasi

Dalam rangka Penghapusan diskriminasi di Indonesia, pemerintah telah

meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadapa perempuan

melalui Undang-Undang no 7 Tahun 1984. Dalam pasal 3 konvensi yang telah

diratifikasi ini menyebutkan agar negara peserta membuat Undang-Undang yang

menjamin pelaksanaan dan penikmatan hak-hak asasi manusia. Salah satu Undang-

Undang yang telah dibuat untuk mengatur dan melindungi hak asasi manusia adalah

Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Dari tahun 1958 hingga sekarang sudah ada 6 instrumen internsional HAM yang

sudah diratifikasi oleh pemerintah republik Indonesia, yaitu:

a. Konvensi hak-hak politik kaum wanita (UU No. 68 Tahun 1958, Tanggal 17 Juli

1958).

b. Konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi wanita (UU No. 7

Tahun 1984, Tanggal 24 Juli 1984).

c. Konvensi tentang hak-hak anak (Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 Tanggal

25 Agustus 1990).

d. Konvensi Internasional anti apartheid dalam olahraga (UU No. 48 Tahun 1993

Tanggal 22 Mei 1993)

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

14

Page 15: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

e. Konvensi tentang penyiksaan atau perlakuan atau hukum yang kejam, tidak

manusiawi dan merendahkan martabat manusiawi (UU No. 5 Tahun 1998,

Tanggal 28 September 1998).

Inilah beberapa konvensi yang telah diratifikasi yang pada hakekatnya

menghilangkan diskriminasi dan melindungi hak-hak asasi manusia. Pada tahun 1993

telah dibentuk pula komisi hak asasi manusia (KOMNAS HAKM). Lembaga ini

merupakan instrumen yang memperlihatkan langkah maju kebijakan pemerintah

melindungi HAM. KOMNAS HAM ini pada tahun 1999 menjadi lembaga yang

mendiri setelah dikeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusi.

Substansi ketentuan hukum yang mangatur HAM yanga ada sekarang ini, pada

hakekatnya menghilangkan diskriminasi. Diskriminasi ini biasa terjadi dalam berbagai

dimensi kehidupan. Salah satu diantaranya adalah masalah kewarganegaraa. Namun

kita tidak menganut diskriminasi dalam memperlakukan warganegara.

Setiap warganegara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Hal ini

berarti tidak ada diskriminasi terhadap warganegara. Dalam hal kewarganagaraan

pasal 28 D ayat (4) UUD 1945 setelah diamandemen menyebutkan: “setiap orang

berhak atas status kewarganegaraan”. Namum masih ada pandangan dalam hal status

dan pembuktian kewarganegaraan ini yang berpandangan terhadap diskriminasi.

c. Bukti Kewarganegaraan

Setiap orang asing yang menjadi warganegara Indonesia harus bisa menunjukkan

bukti kewarganegaraannya. Tanpa bukti itu, dia bukanlah warganegara Indonesia. Ada

24 bukti kewarganegaraan yang kita kenal, salah satunya adalah SBKRI (Surat Bukti

Kewarganegaraan Republik Indonesia).

Dalam RUU kewarganegaraan pada Pasal 39 tentang bukti Kewarganegaraan

disebut bahwa setiap orang yang perlumembuktikan kewarganegaraan Republik

Indonesia dan tidak mempunyai surat bukti untuk itu, dapat mengajukan permohonan

kepada mentri atau pejabat untuk memperolehnya. Ketentuan ini menurut sebagian

orang memberikan kesan adanya perbedaan (diskriminasi) dalam pembuktian tentang

status kewarganegaraan Indonesia (khususnya bagi warganegara republik Indonesia

keturunan asing, telah banyak muncul kepermukaan, baik melalui media cetak, media

elektronik maupun melaui surat yang dikirim kepada mentri kehakiman dan hak asasi

manusia).

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

15

Page 16: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

Berkaitan dengan maksud dan tujuan dicantumkannya ketentuan bukti

kewarganegaraan dan kondisi dilapangan, yang sering dtemukan bukti

kewarganegaraan Indonesia yang palsu atau aspal, maka pencantuman ketentuan

tersebut bukanlah suatu upaya untuk membedakan (diskriminatif). Justru merupakan

upaya pemerintah untuk melindungi warganegaranya, untuk memberikan kepastian

jaminan hukum bagi orang yang bersangkutan dalam hubungannya dengan instansi

atau lembaga yang terkait.

d. Kebijakan Penghapusan Diskriminasi dalam Perspektif SBKRI

Berbicara tentang policy (kebijakan) Pemerintah RI dalam penghapusan,

diskriminasi, pertama-tama penulis menyampaikan bahwa kita adalah masyarakat

Indonesia yang harus tunduk pada tatanan hukum yang berlaku di Indonesia.

Pemerintah memandang tidak perlu adanya diskriminasi dalam segala bidang,

termasuk mengenai variasi adat dan budaya masing-masing, masih tetap

diperkenankan sepanjang tidak bertentangan dengan budaya bangsa Indonesia yang

bersifat kekeluargaan dan gotong-royong.

Kebijakan tersebut dapat kita perhatikan dari berbagai keputusan pemerintah

misalnya instruksi presiden No. 4 Tahun 1999 dan keputusan Presiden No. 6 Tahun

2000 tentang pencabutan inpres No. 14/1967 tentang Agama, kepercayaan dan adat

istiadat Cina seperti barongsay dan sejenisnya tidak perlu ijin khusus dari Pemerintah

karena secara kultural budaya etnis Tionghoa tetap dipandang sebagai salah satu aset

budaya bangsa yang secara yuridis dijamin keberadaannya.

Jika selama ini ada anggapan bahwa pemerintah kurang memperhatikan WNI

keturunan misalnya dalam hal pemilikan SBKRI bukan merupakan kewajiban bagi

setiap warga negara, melainkan merupakan suatu kebutuhan yang sifatnya biologi.

Warganegara RI keturunan Tionghoa tidak wajib memiliki SBKRI, melainkan cukup

dengan dokumen yang dapat membuktikan status kewarganegaraannya, karena

berdasarkan Pasal 20 UU No. 62 Tahun 1958 “ barang siapa bukan warganegara RI

adalah orang asing”. Dalam melaksanakan ketentuan tersebut perlu diketahui dan

dipastikan siapa-siapa yang menjadi warganegara RI, sebab hak-hak seorang WNI dan

WNA berbeda, maka untuk warganegara RI, diperlukan pembuktian. Bukti

kewarganegaraan itu ada yang termasuk bukti langsung dan tidak langsung.

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

16

Page 17: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

Bukti langsung itu diperoleh oleh seseorang yang secara aktif berdasarkan

peraturan yang berlaku memperoleh kewarganegaraan RI, misalnya Keputusan

Presiden, Formulir tentang melepaskan kewarganegaraan RRT, SBKRI dan lain-lain.

Bukti tidak langsung adalah bukti yang menunjukkan seseorang yang berstatus

warganegara RI misalnya akte kelahiran seseorang yang membuktikan seseorang lahir

dari seorang warganegara RI, atau seseorang memiliki KTP bagi warganegara RI.

Menurut pasal 4 ayat (2), menyebutkan :” bagi warganegara RI yang telah

memeiliki KTP, atau kartu keluarga atau akte kelahiran, pemenuhan kebutuhan

persayaratan untuk kepentingan tertentu tersebut cukup manggunakan kartu tanda

penduduk, atau kartu keluarga atau akte kelahiran tersebut.

Adanya RUU kewarganegaraan juga merupakan usaha-usaha pemerintah

mengahapuskan diskriminasi dan bias gender melalui peraturan perundang-undangan

yang dalam RUU tersebut tiada lagi istilah bukti kewarganegaraan.

Untuk menindak lanjuti tentang ketentuan tidak perlunya SBKRI baru-baru ini

mentri kehakiman dan HAM telah memerintahkan untuk menghentikan penerbitan

SBKRI dan diikuti dengan mengeluarkan instruksi No. M-01.HL.05.06 Tahun 2004

yang intinya bagi warganegara RI dalam memohon surat perjalanan RI dan perijinan

lainnya cukup menunjukkan KTP, kartu keluarga atau akte kelahiran.

Mudah-mudahan dengan keluarnya instruksi mentri kehakiman dan HAM ini

dapat secara tepat orang melupakan SBKRI, tetapi manakala instruksi ini belum

berjalan departemen kehakiman dan HAM akan mengusahakan lagi agar tidak muncul

anggapan-anggapan diskriminatif.

5. Kesimpulan Diskusi Panel

Dalam bab ini, penulis hanya menyampaikan kesimpulan tentang hasil diskusi

panel yang dibahas di bab empat (4).

1. Secara normatif, HAM merupakan hak kodrati yang diberikan oleh Tuhan Yang

Maha Esa kepada manusia, sifatnya tidak boleh dikurangi, dibebani, bahkan

dihapuskan oleh siapapun juga.

2. Indonesia secara kelembagaan telah menghormati HAM, secara kongkrit hal ini

dapat dilihat dari lahirnya beberapa kebijaksanaan negara dan pemerintah dalam

mengeluarkan peroduk hukum perlindungan HAM.

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

17

Page 18: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

3. Dalam rangka bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, dalam peradaban dunia

modern sekarang, sudah seharusnya setiap insan Indonesia (individu, pejabat,

masyarakat, suku, ras, agama, kelompok, golongan) membenci/memerangi sikap

pembeda-bedaan atau pola diskriminatif. Dimensi hukum, politik, dan

pemerintahan dan berlandas nilai ke-Pancasila-an harus konsekuen pula menolak

diskriminasi dengan segala wujudnya, dimana aparaturnya pun harus bisa

mengamplikasikan itu dalam segala kebijakan dan sikapnya.

4. Status warganegara Indonesia hanya dibedakan dengan Warganegara Indonesia

dan warganegara asing. Ditegaskan, penyebutan warganegara keturunan tidak ada

lagi, karena tidak pada proporsinya ditempatkan baik dalam sistem hukum

maupun proporsi politik.

5. Diskriminasi adalah pelanggaran terhadap HAM dan dapat menjurus kepada

perbuatan melanggar hukum (discrimination is crime).

6. UU No. 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan RI, tidak sesuai dengan

kebutuhan dan sesuai dengan perkembangan zaman, sudah waktunya untuk

diganti. Hal ini dapat dilihat dengan keluarnya Kepres No. 56 Tahun 1996 tentang

SBKRI dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya (SK KaBPN, SK

MENDAGRI, dll).

7. Hukum menentukan bahwa tidak lagi menyaratkan SBKRI bagi WNI (Keturunan

Tionghoa) untuk berbagai kepentingan perdatanya (Berdasarkan Kepres No. 56

Tahun 1996 maupun Inpres No. 4 Tahun 1999).

8. Diperlukan sosialisasi berbagai produk hukum di tingkat pelaksanaan (di

lapangan), agar diperoleh pemahaman yang sama untuk pelaksanaan di

masyarakat rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan, mengenai

ketidak harusan SBKRI.

9. Pemerintah telah mencanangkan program legislasi nasional, antara lain dengan

dibuatnya RUU tentang kependudukan dan catatan sipil, serta RUU

Kewarganegaraan RI. Itu semua usulan-usulan dalam rangka menuju kesetaraan

dan keadilan yang menjunjung martabat setiap orang.

10. Dalam rangka percepatan penghapusan bukti SBKRI di lapangan, perlu ditunjang

proses asimilasi dan pambauran warganegara Indonesia Cina dan Warganegara

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

18

Page 19: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

Indonesia Pribumi perlu juga proses kultural dan sosiologi pendekatan gotong

royong dan kesetiakawanan dalam masalah sosial dan kemasyarakat.

11. Tugas dan peranan media cetak/elektronik menyampaikan berita secara utuh, agar

tidak ditafsirkan sepotong-sepotong yang mengakibatkan saling curiga antar

komponen bangsa.

6. Hak Asasi Manusia dalam Perspektif UU No. 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan RI

Bab ini ditulis oleh Subiharta yang berisi tentang Waraganegara dan penduduk,

pewarganegaraan, kehilangan kewarganegaraan RI, dan ketentuan pidana.

a. Warganegara dan Penduduk

Pasal 26 ayat (1) UUD 1945 ditentukan : yang menjadi warganegara ialah orang-

orang bangsa Indonesia asli atau orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan UU

sebagai warganegara.

Sedangkan ayat (2) ditentukan : penduduka ialah warganegara Indonesia dan

orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia.

Ketentuan pasal 20 ayat (1) UUD 1945 tersebut sesuai dengan ketentuan yang

diatur dalam pasal 2 UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI, yang

menjadi warganegara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesiaasli dan orang-

orang bangsa lain yang disahkan oleh UU sebagai warganegara.

Ornga Indoesia asli berarti orang yang nenek moyangnya sejak beratus tahun

yang lalu tinggal di Indonesia sehingga sulit untuk diketahui asal-usulnya. Hal ini

yang membedakan dengan orang keturunan Eropa, Cina, Arab, India dan lain-lain.

Orang-orang yang terkhir ini sesuai dengan ketentuan pasal 2 UU No. 12 tahun 2006

harus mengajukan permohonan untuk dapat disahkan sebagai warganegara Indonesia.

Dengan berlakunya UU No. 12 tahun 2006 mengakui seorang (anak) mempunyai

dwi kewargangaraan (warganegara rangkap) hal ini disebabkan oleh pengaturan pasal

5 ayat (1) yang menentukan:

Anak warganegara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah belum

berusia 18 tahun dan belum diakui secara sah oleh ayanhnya yang warganegara asing

tetap diakui sebagai warganegara Indonesia.

Pasal 5 ayat (2) menentukan:

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

19

Page 20: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

Anak warganegara Indonesia yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah

sebagai anak warganegara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui

sebagai warganegara Indonesia.

Berdasarkan ketentuan di muka menyebabkan seorang anak menjadi dwi

warganegara maka pasal 6 ayat (1) menentukan dalam hal status kewarganegaraan RI

terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 hurup c, huruf d, huruf h, huruf i,

dan pasl 5 mengakibatkan anak berkewaraganegaraan ganda, setelah berusia 18 tahun

atau sudah kawin anak tersebut harus mengatakan memilih salah satu

kewarganegaraannya.

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat 1, bahwa yang dimaksud dengan

waragnegara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan

perundang-undangan. Hal ini selaras dengan ketentuan pasal 8, yang menentukan

bahwa kewarganegaraan RI dapat juga diperoleh melalui pewarganegaraan.

b. Pewarganegaraan

Ada tiga unsur dasar atau asas yang menentukan warga negara atau

kewarganegaraan sesorang:

1. Asas “ketentuan” atau “pertalian darah” atau istilah asingnya “ius sanguinis”.

Disini di dalam menentukan kewarganegaraan seseorang didasarkan atas

kewarganegaraan orang tuanya, sekalipun anak itu sendiri dilahirkan diluar

negaranya. Asas ius sanguinis ini antara lain di anuat oleh Cina, sehingga seorang

ayah berkewarganegaraan Cina juga, tanpa memperhatikan tempat atau negara di

mana anak itu dilahirkan. Asas ini juga dianut misalnya oleh Negara Indonesia.\

2. Asas “kedaerahan” atau “territorial” atau istlah asingnya “ius soli”. Asas ini

kebalikan dari asas yang pertama, yakni menentukan kewarganegaraan seseorang

didasarkan pada tempat dimana dia dilahirkan, meskipun orang tuannya berasal

dari negara lain.

3. Asas “pewarganegaraan” atau “naturalisasi”. Asas atau dasar penentuan ini dapat

dilakukan manakala seseorang yang berkewargaenagaraan asing mengajukan

permohonan untuk menjadi warga negara dari suatu negara tertentu. Prosesnya,

yakni sayarat-syarat dan prosedur yang harus dilakukan antara satu negara dengan

negara lainya tidak sama.

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

20

Page 21: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

Permohonan kewaraganegaraan sebagaimana diatur di dalam UU No. 12 tahun

2006 dikenai biaya. Permohonan diajukan kepada Presiden, selanjutnya Presiden

dapat mengabulkan atau menolak permohonan pewarganegaraan. Apabila

permohonan pewarganegaraan di kabulkan maka akan ditetapkan dengan Keputusan

Presiden. Keputusan Presiden untuk paling lama 3 bulan terhitung sejak permohonan

dikeluarkan oleh Mentri dan diberitahukan kepada pemohon paling lambat 14 hari

terhitung sejak Keputusan Presiden ditatapkan.

Dalam UU ini juga menentukan orang asing yang telah berjasa kepada negara RI

atau dengan alasan kepentingan negara dapat diberi kewarganegaraan RI oleh

Presiden setelah memperoleh pertimbangan DPR RI, juga memungkinkan orang yang

bersangkutan melepaskan kewarganegaraan asalnya.

c. Kehilangan Kewarganegaraan RI

Menjadi warganegara Indonesia tentu bangga dengan berbagai suka dan dukanya

meskipun demikian warganegara bisa kehilangan kewarganegaraannya karena:

1. Memperoleh kewarganegaraan lain atas kamauan sendiri. Prinsip ini merupakan

konsekuensi dari dihindarkannya kewarganegaraan rangkap.

2. Tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan orang

yang bersangkutan mendapatkan kesempatan untuk itu.

3. Dinyatakan hilang kewarganegaraan oleh Presiden atas permohonannya sendiri

yang bersngkutan sduah berusia 18 tahu atau sudah kawin, bertempat tinggal di

luar negari, dan dengan dinyatakan hilang kewarganegaraan RI tidak terjadi tanpa

kewarganeagaraan.

4. Masuk dalam dinas tentara asing tanpa ijin terlebih dahulu dari Presiden.

5. Secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam dinas

semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undang

hanya dapat dijabat oleh WNI.

6. Secara suka rela mangangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara

asing atau bagian dari negara asing tersebut.

7. Tidak diwajibkan tapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang berkaitan

ketatanegaraan untuk suatu negara asing.

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

21

Page 22: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

8. Mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing atau surat

yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlakudari

negara lain atas namanya, atau

9. Bertempat tinggal di luar wilayah RI selama 5 (tahun) berturut-turut bukan dalam

pangkatdinas negara, tanpa alasan yang sah dan dengan sengaja tidak mengatakan

keinginannya untuk tetap menjadi WNI sebelum jangka waktu 5 (lima) tahun itu,

dan setiap 5 tahun berikutnya yang bersangkutan tidak mengajukan pernyataan

ingin tetap menjadi WNI kepada perwakilan RI yang wilayah kerjanya meli[uti

tempat tinggal yang bersangkutan. Perwailan RI tersebut telah memberitahukan

secara tertulis kepada yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan menjadi

tanpa keawargaengaraan.

Di samping hal tersebut, menurut pasal 26 ayat (1) perempuan WNI yang kawin

dengan laki-laki warganegara asing kehilangan kewarganegaraan RI jika menurut

kewarganegaraan suaminya, kewarganegaraan istri mengikat kewarganegaraan suami

sebagai akibat perkawinan tersebut. Ayat (2)-nya menyebutkan bahwa laki-laki yang

kawin dengan perempuan warganegara asing kehilangan kewarganegaraan RI jika

menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan suami mangikut

keawrganegaraan istirnya sebagai akibat perkawinan tersebut.

Apabila seseorang yang kehilangan kewarganegaraan maka UU No. 12 tahun

2006 memperbolehkan orang tersebut mangajukan permohonan sebagai warganegara

RI yang wilayah negaranya meliputi tempat tinggal pemohon.

d. Ketentuan Pidana

Di dalam ranah hukum, terasa kurang sempurna apabila suatu UU tidak memuat

ancaman pidana. Meskipun dalam ilmu hukum sebagai ultimatum remedium tetapi

manfaatnya masih dapat dirasakan, sebab didalamnya membrikan ancamandengan

upaya paksa bagi pelanggar. Meskipun demikian, tidak semua UU di dalamnya

membrikan ancaman pidana. Hal mana karena tidak selamanya kurang memberikan

manfaat, dan dirasa pula memberikan danpak pembelasan.

UU Kewarganegaraan RI No. 12 Tahun 2006 mangatur tentang ketentuan pidana.

Ketentuan ini tidak diatur dalam UU No.62 tahun 1958.

Pasal 36 ayat (1) :

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

22

Page 23: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

Memerintahkan pejabat yang karena kelalaiannya melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam UU ini sehingga mengakibatkan seorang kehilangan hak untuk memperoleh atau memperoleh kembali dan atau kehilangan kewarganagaraan RI dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Ayat (2) nya menetukan :

Dalam hal tindak pidana tersebut sebagaimana dimaksud pada ayat satu dilakukan karena kesengajaan, dipidana dengan pidana paling lama 3 (tiga) tahun;Sedangkan setiap orang yang dengan sengaja memakai keterangan palsu, termasuk keterangan di atas sumpa, membuat surat atau dokumen palsu, mamalsukan surat atau dokumen dengan maksud untuk memakai atau menyuruh memakai keterangan atau surat atau dokumen yang dipalsukan untuk memperoleh kewaraganegaraan RI atau mamperoleh kembali kewarganegaraan RI dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit RP.250.000.000,- dan paling banyak RP.1.000.000.000,-.

Ayat (3)-nya mnenetukan :

Setiap orang yang dengan sengja menggunakan keterangan palsu, termasuk keterangan di atas sumpah, membuat surat atau dokumen palsu, memalsukan surat atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling sedikit RP. 250.000.000,- dan paling banyak RP.1.000.000.000,-.

Ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam bab VI pasal 36,37,38 UU No. 12

tahun 2006 memberi kesan seakan aspek kewarganegaraan perlu dilakukan

krimaninalisasi. Ancaman pidana penjara dan denda yang cukup berat menimbulkan

pertanyaan, efektifkah ancaman pidana demikian. Apakah ancaman tidak terlalu berat

bagi perorangan maupun korporasi yang melakukan pelanggaran. Di damping itu

ancaman pidana paling sedikit apakah tidak mempersulit hakim dalam menjatuhkan

pidana.

Kriminalisasi dalam UU Kewarganegaraan tahun 2006 ini efektif atau tidak,

tentunya kita tunggu dalam praktek di lapangan. Kemudian apabila tidak efektif mau

tidak mau dalam waktu tak terlalu lama UU No.12 Tahun 2006 ini harus mengalami

revisi. Memang tidak ada gading yang tak retak. Kasempurnaan bukan ada pada

manusia tetapi ada pada sang Kholik.

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

23

Page 24: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

B. KSIMPULAN

Brdasarkan uraian di atas, maka kita menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan Negara Indonesia

ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, Pada hakekatnya merupakan

cermin dari perumusan gagasan negara kesatuan sebagai suatu ketentuan

Hukum. Selanjutnya dalam penjelasannya diterangkan. Negara melindungi

segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah dara indonesia dengan

berdasarkan atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia. Negara menurut pengertian ini menghendaki persatuan

meliputi segenap bangsa indonesia seliruhnya. Berkenaan dengan pemerintah

daerah telah diatur pada pasal 18 Undang-Undang dasar 1945 yang berbunyi:

“Pembagian daerah indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk

susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan

memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem

pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang lebih

kecil.”

2. Isu Hak Asasi Manusia (HAM) begitu gencar dipersoalkan dimana-mana, baik

ditingkat internasional, regional maupun nasional. Dari isu-isu yang tercuat,

muncul suatu sistem nilai bahwa negara yang tidak menghormati dan

melaksanakan penerapan nilai-nilai HAM, berarti belum menjunjung asas-asas

keberradaban masa kini. Mungkin dapat diartikan bahwa negara pelanggar

HAM adalah bangsa tidak beradab. Pada hematnya dikatakan demikian, karena

sesuai penjelasan dari UU No. 27 Tahun 1999 tentang ratifikasi konvensi

internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial 1965

menyatakan.“Oleh karena diskriminasi rasial menjadi musuh, baik bagi

masyarakat luas maupun internasional, maka harus dihapuskan dari

peradaban umat manusia “.

3. Pengaturan mengenai warga negara dapat dilihat dari Undang-undang

kewarganegaraan. Undang-undang No. 3 Tahun 1946 tentang warga negara dan

penduduk Negara Indonesia. (UU No.3/1946) pasal 1 UU No.3?146

Menyatakan bahwa Warga negara Indonesia ialah.

a. Orang yang asli dalam daerah negara indonesia

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

24

Page 25: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

b. Orang yang tidak dalam golongan tersebut diatas, akan tetapi keturunan

dari seseorang dari golongan itu lahir dan bertempat kedudukan dan

kediaman didalam daerah negara indonesia....”

4. UU No. 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan RI, tidak sesuai dengan

kebutuhan dan sesuai dengan perkembangan zaman, sudah waktunya untuk

diganti. Hal ini dapat dilihat dengan keluarnya Kepres No. 56 Tahun 1996

tentang SBKRI dan beberapa peraturan perundang-undangan lainnya (SK

KaBPN, SK MENDAGRI, dll).

5. Hukum menentukan bahwa tidak lagi menyaratkan SBKRI bagi WNI

(Keturunan Tionghoa) untuk berbagai kepentingan perdatanya (Berdasarkan

Kepres No. 56 Tahun 1996 maupun Inpres No. 4 Tahun 1999).

6. Diperlukan sosialisasi berbagai produk hukum di tingkat pelaksanaan (di

lapangan), agar diperoleh pemahaman yang sama untuk pelaksanaan di

masyarakat rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan, mengenai

ketidak harusan SBKRI.

7. Pemerintah telah mencanangkan program legislasi nasional, antara lain dengan

dibuatnya RUU tentang kependudukan dan catatan sipil, serta RUU

Kewarganegaraan RI. Itu semua usulan-usulan dalam rangka menuju kesetaraan

dan keadilan yang menjunjung martabat setiap orang.

8. Dalam rangka percepatan penghapusan bukti SBKRI di lapangan, perlu

ditunjang proses asimilasi dan pambauran warganegara Indonesia Cina dan

Warganegara Indonesia Pribumi perlu juga proses kultural dan sosiologi

pendekatan gotong royong dan kesetiakawanan dalam masalah sosial dan

kemasyarakat.

9. Tugas dan peranan media cetak/elektronik menyampaikan berita secara utuh,

agar tidak ditafsirkan sepotong-sepotong yang mengakibatkan saling curiga

antar komponen bangsa.

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

25

Page 26: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

BAB III

KOMENTAR TERHADAP ISI BUKU

Buku tulisan N.H. T. Siahaan (Nommy), Subiharta, H. Mokh. Muslikh

Abdussyukur, SH, M.Si, DR. Frans Hendra Winarta dan DR Ramly Hutabarat, SH,

M.Hum Tahun 2007 dengan judul Hukum Kewarganegaraan Dan HAM (Bagaimana

SBKRI Menurut UU No 12 Tahun 2006) merupakan buku yang berisi tentang bagaimana

gambaran seputar masalah kewarganegaraan di Indonesia dikaitkan dengan sejumlah

ketentuan-ketentuan hukum dan HAM menurut UU No.12 Tahun 2006.

Meskipun pada masa sekarang kita sudah mempunyai undang-undang

kewarganegaraan yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang pada

esensinya ditafsirkan bahwa semangat dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 adalah

mempermudah dan melindungi hak-hak warga negara dan bertujuan memberi kepastian

hukum.

Bahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia sebelumnya, menyatakan

bahwa paradigma pemerintah tentang kewarganegaraan berubah, sebelumnya cara

pandang tentang kewarganegaraan didominasi latar belakang etnis atau suku. Namun sejak

undang-undang itu disahkan pada tanggal 1 Agustus 2006, cara pandang tersebut berubah.

Cara pandang kewarganegaraan baru itu menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

didasarkan pada hukum. “Bukan lagi etnis atau warna kulit, tidak diskriminatif dan

menghargai prestasi seseorang” (www.iapw.info).

Kemudian ditegaskan bahwa dengan cara pandang itu, setiap orang yang ingin

menjadi Warga Negara Indonesia tidak lagi harus susah payah mengurus syarat

administrasi yang bertele-tele termasuk SBKRI. Kendati demikian, dengan berlakunya

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tersebut, terhadap masalah kewarganegaraan

Warga Tionghoa Indonesia bukan lantas terselesaikan. Sebagai contoh konkrit kita

saksikan di sekitar kita sekarang ini masih terjadi kesulitan-kesulitan berkenaan dengan

Warga Tionghoa Indonesia. Mereka yang hendak menjadi Warga Negara Indonesia atau

mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan menjadi Warga Negara Indonesia

ternyata menemui kesulitan yang hanya dapat diatasi dengan bantuan dari pihak negara

atau pelaksanaan undang-undang kewarganegaraan yang baru sesuai dengan semangat

pembaharuan dan non diskriminatif.

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

26

Page 27: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

Justru sebaliknya sehari sebelum penegasan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

pada harian surat kabar Kompas memuat berita yang sangat mengejutkan, bahwa ternyata

masih banyak warga Tionghoa di Surabaya yang dianggap sebagai Warga Negara Asing

meskipun lahir dan tumbuh besar di Indonesia. (Kompas “Susahnya menjadi Warga

Negara Indonesia di Surabaya”, tanggal 20 September 2006 dalm www.iapw.info)

Berdasarkan pemantauan wartawan harian surat kabar Kompas di lapangan,

ditegaskan bahwa ternyata di Jakarta pun praktik diskriminasi pada Warga Negara

Indonesia keturunan Tionghoa masih terjadi kendati undang-undang kewarganegaraan

baru diberlakukan. (baca Kompas, “Susahnya menjadi Warga Negara Indonesia di

Surabaya”, tanggal 20 September 2006 dalam www.iapw.info). Adanya diskriminasi itu di

masyarakat, meskipun Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

2006 menjamin hak setiap Warga Negara Indonesia sama di hadapan hukum.

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 menentukan bahwa “Yang menjadi

Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang

bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.” Dalam

penjelasan Pasal 2 tersebut menerangkan pengertian orang-orang bangsa Indonesia asli

adalah “Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima

kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri”. Hal ini berarti secara yuridis ketentuan ini

oleh pembentuk undang-undang dimaksudkan sedapat mungkin mencegah timbulnya

keadaan tanpa kewarganegaraan.

Oleh karena itu, dengan menerapkan asas kelahiran (ius soli), orang yang lahir di

wilayah Republik Indonesia mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum, karena

mereka adalah warga negara Republik Indonesia. Titik berat diletakkan atas kelahirannya

dalam wilayah negara Republik Indonesia dengan tujuan supaya tidak ada anak yang lahir

menjadi apatride.

Interpretasi tentang pengertian orang-orang bangsa Indonesia asli ini, setidak-

tidaknya telah memperjelas pengertian “Asli” yang bersifat yuridis konstitusional yang

tidak dapat kita abaikan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 26 dan Pasal 6 ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945 (sebelum amandemen) dengan Pasal 1 huruf (a) dan (b)

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946, sehingga mereka yang menjadi warga negara

Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 sama aslinya

seperti yang dimaksud asli berdasarkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

27

Page 28: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

ditetapkan oleh Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 3

Tahun 1946 bahwa Warga Negara Indonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli

dalam negara Republik Indonesia secara otomatis menjadi warga negara Republik

Indonesia.

Ketegasan siapa orang-orang bangsa Indonesia asli sebagaimana diatur dalam Pasal

2 berikut penjelasannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 telah

memperjelas dan mempertegas kedudukan dan kepastian hukum bagi setiap Warga Negara

Indonesia yang sejak kelahirannya di wilayah Republik Indonesia tidak pernah menerima

kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri ; Adalah senafas dan sejalan dengan ketegasan

yang diatur dalam ketentuan Pasal 26 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Dasar

1945 yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Undang-Undang

Nomor 3 tahun 1946, sehingga dengan demikian pada tataran yuridis konstitusional

interpretasi tentang pengertian “Asli” menjadi lebih jelas.

Sehubungan dengan itu, dipandang perlu guna mempertegas siapa saja yang menjadi

Warga Negara Indonesia, Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 menegaskan

sebagai berikut :

“Warga Negara Indonesia adalah :

a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan

perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain sebelum undang-

undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia ;

b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara

Indonesia ;

c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara

Indonesia dan ibu Warga Negara Asing ;

d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Asing

dan ibu Warga Negara Indonesia ;

e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia,

tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya

tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut ;

f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya

meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia ;

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

28

Page 29: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara

Indonesia ;

h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Asing

yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan

pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau

belum kawin ;

i. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak

jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya ;

j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia selama

ayah dan ibunya tidak diketahui ;

k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak

mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya ;

l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah

dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak

tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan ;

m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan

kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum

mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia”.

Selanjutnya mengenai cara-cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia dapat

diperoleh melalui pewarganegaraan yang memenuhi persyaratan dapat mengajukan

permohonan pewarganegaraan Republik Indonesia sebagai berikut : (Pasal 9 Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2006)

1. Telah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin ;

2. Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah negara

Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat

10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut ;

3. Sehat jasmani dan rohani ;

4. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar negara Pancasila dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ;

5. Tidak Pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan

pidana penjara 1 (satu) tahun atau lebih ;

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

29

Page 30: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

6. Jika dengan memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak menjadi

berkewarganegaraan ganda ;

7. Mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap ; dan

8. Membayar uang pewarganegaraan ke kas negara.

Adapun asas-asas yang dianut dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2006 ditegaskan sebagai berikut :

1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan

seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.

2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan

kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan

terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang

ini.

3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan

bagi setiap orang.

4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan

kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam

undang-undang ini.

Undang-undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda

(bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride).

Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam undang-undang ini

merupakan suatu pengecualian.

Selain asas tersebut di atas, beberapa asas khusus juga menjadi dasar penyusunan

undang-undang tentang kewarganegaraan Republik Indonesia,

a. Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan

kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad

mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita-cita dan

tujuannya sendiri.

b. Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah

wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap Warga Negara Indonesia

dalam keadaan apapun baik di dalam maupun luar negeri.

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

30

Page 31: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

c. Asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan adalah asas yang menentukan

bahwa setiap Warga Negara Indonesia mendapatkan perlakuan yang sama di dalam

hukum dan pemerintahan.

d. Asas kebenaran substantif adalah prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya

bersifat administratif, tetapi juga disertai substansi dan syarat-syarat permohonan

yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

e. Asas non diskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala

hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama,

golongan, jenis kelamin dan gender.

f. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia adalah asas yang

dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara harus menjamin,

melindungi, dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan hak warga

negara pada khususnya.

g. Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ihwal yang

berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka.

h. Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa seseorang yang memperoleh

atau kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia diumumkan dalam Berita

Negara Republik Indonesia agar masyarakat mengetahuinya.

Selanjutnya ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 secara tegas

telah menyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlakunya :

1. Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraa Republik

Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 113,

Tambahan Lembaran Negara Nomor 1647) sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 Tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang

Nomor 62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1976 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3077) ;

2. Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 Tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1976 Tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor

62 Tahun 1958 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dinyatakan masih

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

31

Page 32: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan ketentuan

dalam undang-undang ini.

Selain itu, semua peraturan perundang-undangan sebelumnya yang mengatur

mengenai kewarganegaraan, dengan sendirinya dinyatakan tidak berlaku karena tidak

sesuai dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu :

1. Undang-Undang Tanggal 10 Pebruari 1910 Tentang Peraturan Tentang

Kekaulanegaraan Belanda Bukan Belanda (Stb. 1910 296 jo. 27 458) ;

2. Undang-Undang Tahun 1946 Nomor 3 Tentang Warga Negara dan Penduduk

Negara jo. Undang-Undang Tahun 1947 Nomor 6 jo. Undang-Undang Tahun 1947

Nomor 8 jo. Undang-Undang Tahun 1948 Nomor 11 ;

3. Persetujuan Perihal Pembagian Warga Negara antara Republik Indonesia Serikat dan

Kerajaan Belanda (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 2) ;

4. Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1971 Tentang Pernyataan Digunakannya

Ketentuan-Ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 Tentang Warga

Negara dan Penduduk Negara Republik Indonesia untuk Menetapkan

Kewarganegaraan Republik Indonesia bagi Penduduk Irian Barat ; dan

5. Peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan kewarganegaraan.

(Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia)

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 ternyata salah satu

permasalahan pokok yang di dalam proses “Menjadi” negara bangsa Indonesia setelah

berusia lebih dari setengah abad adalah belum memberikan pemecahan dan penyelesaian

masalah kewarganegaraan Indonesia bagi Warga Tionghoa Indonesia yang tidak memiliki

surat bukti kewarganegaraan sebagaimana diberitakan pada harian surat kabar Kompas

tertanggal 20 September 2006 tersebut di atas. Kita masih membutuhkan Peraturan

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 dan Peraturan Perundang-undangan

masa silam yang justru sudah dinyatakan tidak berlaku.

Dengan undang-undang kewarganegaraan yang baru ini diharapkan Presiden

Republik Indonesia dapat memberikan pemecahan dan penyelesaian secara tertib, tegas,

dan tuntas, agar mereka yang tidak memiliki surat bukti kewarganegaraan tetap diakui

sebagai Warga Negara Indonesia baik melalui permohonan berdasarkan pewarganegaraan

atau secara otomatis menjadi Warga Negara Indonesia melalui Peraturan Pengganti

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

32

Page 33: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

Undang-Undang atau pemulihan dengan Keputusan Presiden berdasarkan kepentingan

nasional yang mendesak guna mengakhiri persoalan tersebut.

Dengan cara demikian masalah kewarganegaraan bagi Warga Tionghoa Indonesia

yang belum mempunyai dan memiliki bukti kewarganegaraan Indonesia dapat diatasi

sehingga untuk jangka panjang keturunan seluruh Warga Tionghoa Indonesia dalam

membina persatuan dan kesatuan akan lebih mudah dan lebih lancar, dapat dimengerti,

diyakini, dan dihayati dalam rangka menetapkan dan memperkokoh ketahanan nasional

sehingga dipandang perlu untuk mempercepat proses penyelesaian Warga Negara

Indonesia yang belum memiliki surat apapun tersebut.

Negara kesatuan Republik Indonesia bukan hanya mempunyai Undang-Undang

Dasar 1945 dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia, Ratifikasi Konvensi Internasional

Tentang Hak Sipil dan Politik, Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala

Bentuk Diskriminasi Rasial dan Undang-Undang Kewarganegaraan Baru, yang menjamin

perlakuan baik dan adil terhadap Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing yang

selaras dengan ukuran dan anggapan internasional, tetapi juga memiliki sebuah Aparatur

Penyelenggara Negara, Kebijakan, Pelaksana Program, ataupun Pelaksanaan Kegiatan

Penyelenggaraan Pemerintahan yang secara praktis berusaha untuk mewujudkan jaminan

yang diberikan secara yuridis konstitusional Hak-Hak Atas Identitas Kewarganegaraan

dengan bukti-bukti yang nyata yaitu memberikan perlakuan dan layanan yang sama kepada

seluruh Warga Negara Indonesia dalam penyelenggaraan layanan Pemerintahan,

Kemasyarakatan dan Pembangunan, dan meniadakan pembedaan dalam segala bentuk,

sifat, serta tingkatan kepada Warga Negara Indonesia baik ras atas dasar suku, etnik,

agama, kepercayaan maupun asal usul dalam penyelenggaraan layanan tersebut.

Bahwa Aparatur Penyelenggara Negara yang belum atau tidak berhasil menjalankan

amanat yuridis konstitusional sebagaimana diharapkan oleh warga negara yang

berkepentingan dan oleh Pemerintah sendiri perlu secara tegas diberikan sanksi

sebagaimana diamanatkan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006.

Ketika para pendiri negara bersepakat untuk membentuk sebuah negara merdeka

yang berdaulat, mereka sebenarnya telah meletakkan prinsip-prinsip dasar diatas mana

negara merdeka yang berdaulat dan ditegakkan. Salah satu yang penting adalah

ditegakkannya prinsip kewarganegaraan yang akan menjadi dasar bagi format dan struktur

politik hukum negara kesatuan Republik Indonesia, bukan hanya pelopor kemerdekaan

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

33

Page 34: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

bagi seluruh bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke, tetapi juga perintis jalan

dalam memecahkan soal-soal kewarganegaraan Warga Tionghoa Indonesia yang benar-

benar memadai di dalam proses menjadi negara bangsa di alam Indonesia merdeka.

Sekarang dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 kita doakan

dan bersama-sama berjuang agar undang-undang kewarganegaraan yang telah dirintis

dengan susah payah di masa lalu maupun sekarang yang telah dirintis oleh Dewan

Perwakilan Rakyat bersama-sama Pemerintah dengan memberlakukan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2006 dapat kiranya diteruskan, dikawal, dan diperjuangkan dengan

memperbaiki kesalahan di masa lampau dan memperkuat yang sudah benar untuk masa

depan bangsa dan negara Republik Indonesia.

Sesungguhnya dengan semangat warga bangsa dalam mewujudkan supremasi hukum

dengan menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka upaya perjuangan

berbagai pihak, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan berbagai organisasi-organisasi

non pemerintah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah yang tidak kenal

akhir, maka upaya perjuangan untuk mewujudkan perlakuan yang adil bagi semua warga

telah berhasil dengan disahkannya undang-undang kewarganegaraan baru, yang

merupakan usaha bersambungan sejak dulu hingga sekarang sampai ke masa yang akan

datang, diharapkan dalam kehidupan sehari-hari yang objektif dan tidak diskriminatif

terhadap warga negara yang hendak memiliki bukti kewarganegaraan Indonesia perlu

mendapatkan prioritas utama.

Dalam perjuangan itu seluruh Warga Negara Indonesia dengan jiwa pancasila

berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dengan tidak memandang suku, etnis, ras,

agama, kepercayaan, dan sebagainya, mempunyai kewajiban dan hak yang sama untuk

mengabdi kepada tanah air, tempat kita lahir, hidup, dan akan mati.

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

34

Page 35: LAPORAN BUKU KELOMPOK Prof AZIS

Laporan Buku KelompokOleh : Sawaludin, Irwan Efendi, Patoni

DAFTAR PUSTAKA

Siahaan, N.H.T, dan Subiharta. (2007). Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006). Jogjakarta. Pancuran Alam dan PK2HE

__________. (2007). Politik Hukum Kewarganegaraan dan Pewarganegaraan (ii). (online) http://www.iapw.info/home/index.php?option=com_content&view=article&id=48:politik-hukum-kewarganegaraan-dan-pewarganegaraan-&catid=28:hukum&Itemid=45 . Diakses Tanggal 25 Desmber 2010

Hukum Kewarganegaraan dan HAM (Bagaimana SBKRI menurut UU No. 12 Tahun 2006)

35