LAPORAN AKHIR INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

KAJIAN EKONOMI APLIKASI TEKNOLOGI RENDAH EMISIPADA INDUSTRI KECIL-MENENGAH

Citation preview

  • LAPORAN AKHIR INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA

    KAJIAN EKONOMI APLIKASI TEKNOLOGI RENDAH EMISI PADA INDUSTRI KECIL-MENENGAH

    KEMENTERIAN/LEMBAGA:

    BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN

    Peneliti:

    1. Dr. Ir. Hariyatno Dwiprabowo, M.Sc 2. Dra. Setiasih Irawanti, M.Si 3. Dra. Sylviani 4. Elvida Yosefi Suryandari, S.Hut, MSE 5. Aneka Prawesti Suka, S.Sos,MSE,MA

    INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI

    2012

    KODE JUDUL : N.24

  • LEMBAR PENGESAHAN

    LAPORAN AKHIR

    INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA

    KAJIAN EKONOMI APLIKASI TEKNOLOGI RENDAH EMISI PADA INDUSTRI KECIL-MENENGAH

    Mengesahkan, Yang Menyusun,

    Kepala Lembaga/Institusi

    Dr. Ir. Kirsfianti Linda Ginoga, M.Sc NIP. 19640118 199003 2 001

    Koordinator/ Peneliti Utama

    Dr. Ir. Hariyatno Dwiprabowo, M.Sc NIP. 19500530 197702 1 001

  • i

    EXECUTIVE SUMMARY

    Peningkatan permintaan bahan bakar fosil tidak mampu diiringi dengan peningkatan lifting migas sehingga mendorong makin tingginya harga BBM dari waktu ke waktu. Seperti diungkapkan dalam National Geographic, penggunaan migas dan batubara menyumbang sekitar 80% kebutuhan energi dunia dan menghasilkan banyak sekali emisi karbon dan gas rumah kaca lainnya. Oleh karena itu, pemanfaatan energi alternatif yang rendah emisi, efisien, dan murah semakin digalakkan. Bahan bakar biomassa (BBB) khususnya dari limbah kayu merupakan salah satu bentuk energi alternatif sebagai substitusi BBM yang dapat digunakan oleh industri kecil-menengah (IKM) untuk menekan biaya produksi sekaligus meningkatkan nilai tambah.

    Penelitian berlokasi di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) melakukan studi komparasi kelayakan finansial antara penggunaan BBM dan BBB, (2) menghitung nilai tambah dari penggunaan BBB, (3) melakukan analisis resiko terhadap lingkungan terkait kesinambungan pasokan BBB, (4) mengidentifikasi enabling factors yang mendorong penggunaan BBB, dan (5) memberikan rekomendasi aplikasi teknologi rendah emisi. Fokus penelitian adalah penggunaan energi di IKM tahu, tempe, dan gula kelapa yang menggunakan bahan bakar gas (BBG) yang dapat disubstitusi dengan BBB (kayu bakar, serbuk gergaji, dan pellet kayu). Bentuk kegiatan penelitian ini adalah penelitian aksi.

    Tahapan kegiatan yang dilakukan meliputi: pengumpulan data lapangan tentang penggunaan berbagai bahan bakar pada IKM dan produksi limbah kayu yang dihasilkan industri pengolahan kayu; ujicoba penggunaan berbagai bahan bakar, yakni kayu, serbuk gergaji, gas dan pellet kayu pada IKM tahu dan tempe; analisis ekonomi, resiko lingkungan, dan enabling factor penggunaan BBB. Hasil kajian dan analisis disampaikan kepada stakeholder terkait melalui diseminasi. Tahap terakhir adalah penyusunan laporan akhir.

    Anggaran yang digunakan berjumlah Rp 250.000.000,- untuk gaji/upah, belanja bahan habis pakai, perjalanan, dan lain-lain yang dicairkan dalam 3 tahap (30%, 50%, dan 20%). Kendala yang dihadapi adalah pada tata waktu pencairan dana. Idealnya pencairan tahap pertama pada akhir Februari namun baru diterima

  • ii

    pada awal April, sementara laporan akhir tetap harus diselesaikan pada akhir September.

    Untuk mencapai target yang diharapkan, telah dilakukan: identifikasi dan inventarisasi IKM gula kelapa, tahu, dan tempe di Kab. Wonosobo dan Banyumas Prov. Jawa Tengah dan Kab. Cianjur Prov. Jawa Barat yang dilanjutkan dengan pengumpulan data lapangan; ujicoba tungku serbaguna untuk proses perebusan kedelai dan kedelai giling pada IKM tahu dan tempe menggunakan BBB sebetan kayu dan pellet kayu serta BBG di Kab. Cianjur; analisis komparasi biaya energi, komparasi nilai tambah, resiko lingkungan, dan identifikasi enabling factors yang mendorong penggunaan BBB; penyusunan 2 leaflet dan video, serta diseminasi hasil penelitian dan pengenalan pellet kayu di Kab. Cianjur.

    Kelangkaan bahan bakar fosil mendorong sumber energi terbarukan seperti BBB semakin banyak dimanfaatkan. Oleh karena itu, strategi yang ditempuh dalam pengembangan ke depan adalah: menyebarluaskan cara pemanfaatan limbah pengolahan kayu sebagai BBB, mencari inovasi teknologi tungku yang kompatibel dan pengembangan industri pembuatan pellet kayu terutama di sekitar sentra-sentra industri pengolahan kayu.

    Koordinasi dan sinergi kelembagaan dilakukan di Kab. Wonosobo, Banyumas, dan Cianjur yakni dengan Disperindag, Dishutbun, IKM tahu, tempe, gula kelapa, dan penggergajian kayu, KOPTI, dan PT. Solar Park serta Puslitbang Keteknikan dan Pengolahan Hasil Hutan, Bogor. Melalui koordinasi diperoleh fasilitasi dari instansi terkait dalam pelaksanaan kegiatan lapangan serta ketertarikan dan kesediaan IKM tahu-tempe untuk ujicoba pellet kayu. Kegiatan ini telah digunakan sebagai acuan oleh Disperindag Cianjur dalam menyusun usulan kegiatan dan program tahun mendatang.

    Pemanfaatan hasil litbangyasa dapat dilakukan apabila tersedia tungku serbaguna yang dapat dioperasikan menggunakan BBB pellet kayu dan serbuk gergaji serta melakukan sosialisasi dan pendampingan kepada konsumen (IKM tahu-tempe) dan produsen BBB (penggergajian kayu). Dengan demikian diharapkan penggunaan BBB makin meluas dengan pasokan yang berkesinambungan dan harga BBB yang terjangkau.

    Agar IKM pengguna lebih mengenal pemanfaatan BBB dan pelaku usaha lain tertarik memproduksinya maka diperlukan sosialisasi dan pendampingan lebih lanjut serta fasilitasi pengadaan tungku serbaguna sebagai percontohan.

  • iii

    DAFTAR ISI

    Hal. Executive Summary i Daftar Isi iii Daftar Tabel v Daftar Gambar vi

    BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 B. Pokok Masalah 1

    C. Maksud dan Tujuan 2 D. Metodologi Pelaksanaan 2

    BAB II PELAKSANAAN KEGIATAN 3 A. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan 3 B. Pengelolaan Administrasi Manajerial 5

    BAB III METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA 6 A. Metode Pencapaian Target Kinerja 6 1. Kerangka Rancangan Metode Penelitian 6 2. Indikator Keberhasilan Pencapaian 7 3. Perkembangan dan Hasil Pelaksanaan Penelitian 8 B. Potensi Pengembangan ke Depan 37 1. Kerangka Pengembangan ke Depan 37 2. Strategi Pengembangan kedepan 37

    BAB IV SINERGI PELAKSANAAN KEGIATAN 38 A. Sinergi Koordinansi Kelembagaan program 38 1. Kerangka Sinergi Koordinasi 38 2. Indikator Keberhasilan Sinergi Koordinasi 38 3. Perkembangan Sinergi Koordinasi 38 B. Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa 39 1. Kerangka dan Strategi Pemanfaatan 39 2. Indikator Keberhasilan Pemanfaatan 39 3. Perkembangan Pemanfaatan 39

  • iv

    BAB V PENUTUP 40 A. Kesimpulan 40 B. Saran 41

    DAFTAR PUSTAKA 43

  • v

    DAFTAR TABEL

    Hal. Tabel 1. Rencana Anggaran Penelitian TA 2012 5 Tabel 2. Rincian Penggunaan Anggaran Tahap 1, 2 dan 3 6 Tabel 3. Rendemen Penggergajian Kayu Rakyat di Kab. Banyumas,

    2012 8

    Tabel 4. Harga Serbuk di Penggergajian dan di IRT Pengguna, 2012 10 Tabel 5. Komparasi Penggunaan BBG dan BBB pada IKM Gula

    Kelapa 11

    Tabel 6. Harga Gula Glondong dan Gula Kristal di Cilongok, 2012 12 Tabel 7. Perbandingan Biaya dan Keuntungan Proses Perebusan

    Kedelai Giling untuk Tahu per Hari dengan Berbagai Jenis Bahan Bakar

    13

    Tabel 8. Perbandingan Biaya dan Keuntungan Proses Perebusan Kedelai untuk Tempe per Hari dengan Berbagai Jenis Bahan Bakar

    14

    Tabel 9. Biaya Bahan Bakar per Produk Tahu (Rp/kg) 15 Tabel 10. Nilai Tambah Pengolahan Tahu dengan Serbuk Gergaji 15 Tabel 11. Nilai Tambah Pengolahan Tahu Menggunakan Sebetan Kayu 18 Tabel 12. Penggunaan Lahan di Kabupaten Wonosobo (2005-2010) 19 Tabel 13. Luas Hutan Rakyat Penerima Gerhan 2003 - 2008 22 Tabel 14. Potensi dan Lahan Kritis Kabupaten Wonosobo 22 Tabel 15. Penggunaan Lahan di Kabupaten Banyumas Periode 2005-

    2011 24

    Tabel 16. Luas Lahan Kritis di Kabupaten Banyumas, 2010 25 Tabel 17. Pembangunan Hutan Rakyat Melalui Proyek Gerhan di

    Kabupaten Banyumas Periode 2003-2008 27

    Tabel 18. Potensi Serbuk Gergaji dari IPHHK di Wonosobo 29 Tabel 19. Potensi Serbuk Gergaji dari Hutan Rakyat 35

  • vi

    DAFTAR GAMBAR

    Hal. Gambar 1. Sebetan kayu dan serbuk gergaji 9 Gambar 2. Tungku serbuk gergaji sebelum dan sesudah digunakan

    memasak gula kelapa 11

    Gambar 3. Perebusan gilingan kedelai untuk tahu dengan serbuk gergaji, gas, dan pellet kayu

    13

    Gambar 4. Perebusan kedelai untuk tempe dengan kayu bakar, gas, dan pellet kayu

    14

    Gambar 5. Penggunaan lahan di Wonosobo (2010) 20 Gambar 6. Luas hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo tahun 2005-2010 21 Gambar 7. Lahan kritis di Kabupaten Wonosobo (2007-2010) 23 Gambar 8. Grafik Luas Hutan Rakyat Kabupaten Banyumas 24 Gambar 9. Grafik Akumulasi Luas Pembangunan Hutan Rakyat Proyek

    Gerhan 26

    Gambar 10. Kerangka analisis enabling factor penggunaan biomassa 28 Gambar 11. Pabrik Pellet Kayu PT Solar Park, Wonosobo 31

    Gambar 12. Kegiatan diseminasi hasil penelitian dan pengenalan pellet kayu di Kab. Cianjur

    38

    Gambar 13. Leaflet 39

  • 1

    BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

    Krisis energi dunia yang terjadi pada dekade terakhir memberi dampak yang signifikan pada meningkatnya harga bahan bakar fosil, sehingga telah mendorong pengembangan energi alternatif dengan pemanfaatan sumberdaya energi terbarukan (renewable resources). Sejalan dengan hal itu, dampak dari perubahan iklim saat ini juga telah dirasakan oleh berbagai pihak di berbagai negara, sehingga telah mendorong masyarakat internasional untuk menyepakati pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari berbagai sektor.

    Salah satu bentuk energi alternatif yang saat ini mulai dikembangkan adalah Bahan Bakar Biomassa (BBB) yang rendah emisi. Pengembangkan energi alternatif BBB diperlukan untuk mendukung kegiatan produktif yang telah ada serta sebagai entry point untuk mengembangkan kegiatan produktif yang baru untuk meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian daerah. Industri kecil-menengah (IKM) umumnya memiliki keluwesan dalam penggunaan sumber energi karena dioperasikan dengan teknologi sederhana, dan kebutuhan energinya dapat dipenuhi dari pasokan BBB yang berasal dari limbah sektor pertanian, perkebunan dan kehutanan.

    Perubahan penggunaan energi dari Bahan Bakar Fosil ke BBB pada IKM dipandang sebagai langkah strategis untuk mengurangi emisi GRK, dan menghidupkan sektor-sektor lain yang terkait dengan pemenuhan pasokan BBB seperti sektor kehutanan, pertanian dan perkebunan.

    B. Pokok Permasalahan Substitusi penggunaan bahan bakar minyak tanah ke bahan bakar lain

    sudah dilakukan pada saat harga minyak tanah naik sekitar tahun 2008. Oleh karena itu sebagian besar IKM makanan-minuman saat ini menggunakan bahan bakar gas (BBG) dan kayu bakar. Terkait hal tersebut, penelitian ini lebih difokuskan untuk melakukan substitusi penggunaan BBG ke BBB dari limbah industri penggergajian dan pengolahan kayu yang berupa sebetan kayu, serbuk gergaji, dan pellet kayu.

  • 2

    C. Maksud dan Tujuan Kegiatan 1. Maksud Kegiatan

    Menemukan bahan bakar substitusi dari BBG ke BBB pada IKM makanan-minuman yang lebih murah dan lebih ramah lingkungan.

    2. Tujuan Kegiatan Melakukan komparasi finansial antara penggunaan BBG dan BBB Menghitung nilai tambah atas penggunaan BBB Melakukan analisis resiko terhadap lingkungan terkait

    kesinambungan pasokan BBB Mengidentifikasi enabling factor yang mendorong penggunaan BBB Menghasilkan rekomendasi aplikasi teknologi rendah emisi

    D. Metodologi Pelaksanaan 1. Lokus Kegiatan

    Penelitian dilaksanakan di Propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kedua lokasi ini dipilih karena jumlah populasi IKM yang cukup besar sehingga sangat potensial sebagai pengguna BBB, disamping itu sumber bahan baku untuk BBB yang berasal dari industri pengolahan kayu khususnya dari hutan rakyat cukup melimpah.

    2. Fokus Kegiatan Fokus kegiatan adalah penggunaan energi pada IKM makanan-

    minuman. Obyek penelitian ini adalah IKM makanan-minuman yang menggunakan energi BBG namun secara teknis dapat disubstitusi dengan BBB yang dapat berupa sebetan kayu, serbuk gergaji, dan pellet kayu.Tujuannya menemukan bahan bakar substitusi dari BBG ke BBB yang lebih murah dan lebih ramah lingkungan.

    3. Bentuk Kegiatan Bentuk kegiatan penelitian ini adalah Penelitian Aksi, meliputi

    pengumpulan data lapangan, uji coba lapangan, dan sosialisasi hasil penelitian kepada pengguna potensial.

  • 3

    4. Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan penelitian ini adalah menemukan energi alternatif

    dengan memanfaatkan BBB yang berasal dari limbah industri penggergajian berupa sebetan kayu, serbuk gergaji, dan pellet kayu, bagi IKM pengolahan gula kelapa, tahu dan tempe.

    BAB II PELAKSANAAN KEGIATAN A. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan

    1. Perkembangan Kegiatan Secara keseluruhan, tahapan kegiatan yang dilakukan adalah sebagai

    berikut. a. Melakukan identifikasi dan inventarisasi IKM makanan-minuman

    sebagai dasar dalam penentuan obyek dan lokasi penelitian, yaitu IKM pengolahan gula kelapa, tahu, dan tempe di Kabupaten Wonosobo dan Banyumas Propinsi Jawa Tengah serta IKM pengolahan tahu dan tempe di Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat.

    b. Melakukan pengumpulan data lapangan di Jawa Tengah dan Jawa Barat.

    c. Membuat 1 unit tungku serbaguna di lokasi IKM pengolahan tempe di Kabupaten Cianjur yang dapat dioperasikan menggunakan BBB pellet kayu, serutan kayu, atau sebetan kayu.

    d. Melakukan ujicoba proses perebusan kedele dan kedele giling pada IKM pengolahan tahu dan tempe menggunakan BBB sebetan kayu dan pellet kayu serta BBG di Kabupaten Cianjur.

    e. Melakukan analisis: 1) Analisis komparasi biaya energi antara menggunakan BBG dan

    BBB (serbuk gergaji) dalam proses pengolahan gula kelapa pada IKM pengolahan gula kelapa.

    2) Analisis komparasi nilai tambah antara menggunakan BBG dan BBB (sebetan/serutan kayu dan pellet kayu) dalam proses perebusan kedele dan kedele giling pada IKM pengolahan tahu dan tempe.

  • 4

    3) Analisis resiko lingkungan atas dampak penggunaan BBB pada pengolahan gula kelapa dan tahu di Kabupaten Banyumas serta pengolahan tahu dan tempe di Kabupaten Wonosobo.

    4) Identifikasi enabling factors yang mendorong penggunaan BBB pada pengolahan gula kelapa dan tahu di Kabupaten Banyumas serta pengolahan tahu dan tempe di Kabupaten Wonosobo.

    f. Menyusun 2 buah leaflet tentang: (1) komparasi biaya energi antara menggunakan BBG dan BBB

    (serbuk gergaji) pada IKM pengolahan gula kelapa. (2) komparasi nilai tambah antara menggunakan BBG dan BBB

    (sebetan kayu dan pellet kayu) pada IKM pengolahan tahu dan tempe.

    g. Membuat 2 buah video tentang: (1) Ujicoba penggunaan BBG dan BBB pellet kayu dalam

    pemasakan tahu dan tempe. (2) Diseminasi hasil penelitian dan pengenalan BBB pellet kayu.

    h. Melakukan diseminasi hasil penelitian dan memperkenalkan pellet kayu sebagai salah satu jenis BBB. Alat peraga yang digunakan adalah (1) pemutaran video ujicoba penggunaan BBG dan BBB, (2) membagikan 2 buah leaflet, dan (3) membagikan contoh pellet kayu kepada peserta di Kabupaten Cianjur. Peserta forum diseminasi adalah Pejabat Pemerintah Kabupaten, Pengurus KOPTI, dan para perajin tahu tempe. Forum diseminasi ini merupakan wahana untuk (1) memperkenalkan pellet kayu sebagai salah satu jenis BBB, dan (2) sebagai upaya melakukan difusi atas iptek yang dihasilkan oleh penelitian ini.

    i. Menyelesaikan Laporan Akhir Penelitian.

    2. Kendala dan Hambatan Pelaksanaan Kegiatan Substitusi penggunaan bahan bakar antara lain dilakukan berdasarkan

    hasil perbandingan nilai ekonomi penggunaan bahan bakar pada tungku yang tingkat efisiensinya setara. Pada IKM tahu dan IKM gula kelapa ditemukan 2 jenis tungku yang dioperasikan menggunakan BBB yaitu (1) tungku serba guna yang dioperasikan menggunakan bahan bakar

  • 5

    berukuran kecil (serutan kayu, kulit kacang, kulit padi, pellet kayu) dan (2) tungku yang hanya dapat dioperasikan menggunakan sebetan kayu atau kayu bakar saja. Sedangkan pada IKM tempe hanya ditemukan tungku kayu bakar saja.

    Kedua jenis tungku tersebut memiliki tingkat efisiensi penggunaan energi yang berbeda sehingga untuk keperluan ujicoba dan penelitian maka keduanya tidak dapat diperbandingkan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dibuat 1 unit tungku serbaguna di lokasi IKM pengolahan tempe yang dapat dioperasikan menggunakan sebetan kayu, serutan kayu dan pellet kayu.

    B. Pengelolaan Administrasi Manajerial 1. Perencanaan Anggaran Perencanaan anggaran didasarkan atas Surat Keputusan Kepala Badan Litbang No SK II/CIII-Set/2012 yang ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan kebijakan No. 40/Kpts/VIII-P3PIKK/2012. Rencana anggaran penelitian seperti pada tabel berikut :

    Tabel 1. Rencana anggaran penelitian TA 2012 (100%) Tolok Ukur Jumlah (Rp)

    A. Belanja Gaji Upah 124.200.000 B. Belanja Bahan Habis Pakai 1.638.500 C. Belanja Perjalanan 111.601.500 D. Belanja lain-lain 12.560.000

    TOTAL 250.000.000

    2. Mekanisme Pengelolaan Anggaran Pengelolaan anggaran dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu tahap

    pertama sebesar 30% (Rp 75.000.000,-), tahap kedua 50% (Rp 125.000.000,-) dan tahap ketiga 20% (Rp 50.000.000,-). Rincian penggunaannya sebagaimana disajikan dalam Tabel 2 berikut.

  • 6

    Tabel 2. Rincian Penggunaan Anggaran Tahap 1, 2 dan 3 No Uraian Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3 1 Honor Peneliti 14.700.000 62.100.000 47.400.000 2 Belanja Bahan (ATK dan fotocopy) 1.309.700 28.800 300.000 3 Belanja Perjalanan panjang 58.990.300 52.611200 0 4 Belanja lain-lain 0 10.260.000 2.300.000 Total 75.000.000 125.000.000 50.000.000

    3. Rancangan dan Perkembangan Pengelolaan Aset Dalam penelitian in tidak ada aset yang dikelola.

    4. Kendala dan Hambatan Pengelolaan Administrasi Manajerial Dalam pelaksanaan kegiatan ini terdapat kendala tata waktu pencairan

    dana. Pencairan anggaran pertama adalah awal April, sementara itu jangka waktu kontrak kerja kegiatan ini adalah 8 bulan di mana laporan akhir kegiatan harus diserahkan pada bulan September 2012. Idealnya pencairan anggaran pertama pada akhir bulan Februari 2012 sehingga jangka waktu kontrak kerja 8 bulan terpenuhi.

    BAB III METODE PENCAPAIAN TARGET KINERJA A. Metode Pencapaian Target Kinerja

    1. Kerangka-Rancangan Metode Penelitian Setelah pencairan dana 50%, untuk mencapai target kinerja maka

    dilaksanakan tahapan kegiatan sebagai berikut. a. Membuat 1 unit tungku serbaguna di lokasi IKM pengolahan tempe dan

    melakukan ujicoba di Kabupaten Cianjur. b. Melakukan analisis komparasi biaya energi, komparasi nilai tambah,

    analisis resiko lingkungan, dan identifikasi enabling factors. c. Menyusun leaflet, membuat video, melakukan diseminasi, dan

    menyelesaikan laporan akhir penelitian.

  • 7

    2. Indikator Keberhasilan Pencapaian a. Teridentifikasi IKM makanan-minuman yang menggunakan BBG, BBB

    sebetan kayu dan serbuk gergaji yang dapat disubstitusi dan diperbandingkan dengan penggunaan pellet kayu, yaitu IKM pengolahan gula kelapa, tahu, dan tempe.

    b. Teridentifikasi industri penggergajian dan pengolahan kayu yang menghasilkan limbah serbuk gergaji dan sebetan kayu sebagai sumber bahan bakar IKM tersebut.

    c. Teridentifikasi pabrik pellet kayu yang mengolah serbuk gergaji dan limbah industri pengolahan kayu menjadi pellet kayu, yaitu PT Solar Park di Wonosobo.

    d. Terealisasi ujicoba penggunaan BBG, BBB pellet kayu dan sebetan kayu pada IKM pengolahan tahu dan tempe.

    e. Teridentifikasinya jenis-jenis BBB berupa limbah industri kayu dan pertanian yang digunakan di IKM

    f. Teridentifikasi jenis tungku serbaguna pada IKM pengolahan tahu dan tempe yang dapat dioperasikan menggunakan bahan bakar gas, sebetan kayu, serutan kayu dan pellet kayu, serta tungku serbaguna pada IKM pengolahan gula kelapa yang dapat dioperasikan menggunakan serbuk gergaji dan pellet kayu.

    g. Terealisasi melakukan analisis komparasi biaya energi dan nilai tambah antara penggunaan BBG dan BBB, analisis resiko lingkungan dan indentifikasi enabling faktor.

    h. Teridentifikasi teknologi rendah emisi pada IKM pengolahan gula kelapa, tahu dan tempe, berupa tungku serbaguna yang dioperasikan menggunakan BBB.

    i. Terealisasi diseminasi hasil penelitian, model tungku BBB serbaguna yang rendah emisi, dan pengenalan pellet kayu.

    j. Terealisasi koordinasi dan sinergi dengan instansi terkait yaitu Disperindag, Dishutbun, Perum Perhutani, KOPTI, dan para pelaku IKM pengolahan gula kelapa, tahu dan tempe, penggergajian kayu, serta Puslitbang Keteknikan dan Pengolahan Hasil Hutan.

    k. Terealisasi penyusunan lealet, pembuatan video, dan penyusunan laporan akhir penelitian.

  • 8

    3. Perkembangan dan Hasil Pelaksanaan Penelitian a. Kelayakan finansial antara penggunaan BBM dan BBB

    Di Kabupaten Wonosobo dan Banyumas, IKM pengolahan gula kelapa, tahu dan tempe telah bekerja menggunakan BBB sebetan kayu dan serbuk gergaji sehingga penggunaan jenis bahan bakar tersebut dipandang telah layak secara teknis dan ekonomis. Sementara itu, penggunaan jenis BBB pellet kayu baru diujicobakan di Kabupaten Cianjur sehingga analisis kelayakan finansial dalam penelitian ini tidak dilakukan. Sementara itu, nira kelapa pada IKM gula kelapa di Kabupaten Banyumas rata-rata disadap sendiri, tidak diperjual belikan, sehingga biaya bahan baku pengolahan gula kelapa tidak diketahui. Terkait hal tersebut, pada Sub Bab ini disajikan hasil analisis komparasi finansial penggunaan BBG dan BBB serbuk gergaji.

    1) Produksi serbuk gergaji dan sebetan IKM gula kelapa di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas menggunakan BBG serta BBB serbuk gergaji dan sebetan kayu. Serbuk gergaji dan sebetan kayu berasal dari jenis kayu pohon buah-buahan dan albasia. Di Kabupaten Banyumas terdapat sekitar 150 usaha penggergajian kayu yang memiliki ijin dan sekitar 80 usaha penggergajian yang tidak memiliki ijin. Tabel 3 berikut menyajikan hasil wawancara dan pengamatan lapangan.

    Tabel 3. Rendemen Penggergajian Kayu Rakyat di Kab. Banyumas, 2012 No Uraian Sampel-1 Sampel-2 Sampel-3 Sampel-4 Rata-rata 1 Jenis

    produk bahan bangunan

    balken balken balken

    2 Jenis kayu Kayu keras Albasia Karet Albasia Kayu keras Kayu albasia

    3 Vol bhn baku

    12 m3/hr 18 m3/hr 10 m3/hr 10 m3/hr 12,5 m3/hr

    4 Rendemen: - produk - limbah

    60% 40%

    80% 20%

    50% 50%

    90% 10%

    70% 30%

    5 Harga sebetan

    350.000/colt 180.000/colt 350.000/colt 180.000/colt

    350.000/colt 180.000/colt

    6 Harga serbuk

    6.000/karung 2.000/krg 5.000/krg 10.000 /bandsaw/hari Borongan

    Sumber: Diolah dari data primer hasil wawancara dan pengamatan, 2012

  • 9

    Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa rata-rata rendemen penggergajian kayu adalah 70%. Sebetan kayu dan serbuk gergaji rata-rata diambil sendiri oleh pembeli di lokasi penggergajian dengan harga Rp 350.000/colt sebetan kayu keras, Rp 180.000/colt sebetan albasia, Rp 5.000 s/d 6.000 per karung serbuk kayu keras, Rp 2.000/karung serbuk albasia, dan Rp 10.000/bandsaw/hari. Pengguna sebetan kayu adalah pengrajin genteng, tahu, ceriping, gula kelapa, dan pembakaran kapur, sedangkan pengguna serbuk gergaji adalah perajin gula kelapa, bata merah, dan petani jamur.

    Gambar 1. Sebetan kayu dan serbuk gergaji

    2) Agen penjualan serbuk gergaji Sekitar 80% IKM gula kelapa menggunakan bahan bakar serbuk gergaji dan sisanya menggunakan sebetan kayu (Disperindagkop Kab. Banyumas, 2012). Terdapat agen serbuk yang membeli dengan sistem borongan dan mengambil sendiri serbuknya dari bawah bandsaw di lokasi penggergajian. Setiap bandsaw rata-rata menghasilkan 20 karung serbuk per hari, harga borongannya Rp 10.000/bandsaw/hari atau Rp 500/karung. Berat serbuk albasia 20 kg/karung dan serbuk kayu keras 35 kg/karung. Harga jual di pintu pembeli untuk serbuk albasia Rp 3.500 s/d Rp 4.000 per karung dan serbuk kayu keras Rp 6.000 s/d Rp 7.500 per karung tergantung jarak angkut. Harga serbuk gergaji di penggergajian dan di penggunanya disajikan pada Tabel 4 berikut.

  • 10

    Tabel 4. Harga serbuk di penggergajian dan di IRT pengguna, 2012 Harga (Rp/karung) No Serbuk

    di penggergajian di pengguna margin

    1 Albasia 500 3.500 s/d 4.000 3.000 s/d 3.500

    2 Kayu keras 500 6.000 s/d 7.500 5.500 s/d 7.000

    Sumber: Diolah dari data primer hasil wawancara, 2012

    3) Potensi bahan baku nira kelapa Di Kecamatan Cilongok terdapat 136.011 pohon kelapa yang setiap hari disadap niranya. Penyadapan dilakukan 2 kali/hari yaitu pagi dan sore, serta dilakukan sepanjang tahun. Normalnya kemampuan memanjat pohon kelapa adalah 25 pohon/orang/hari pada pagi dan sore hari (Disperindagkop Kab. Banyumas, 2012). Umumnya hasil sadapan sore hanya dididihkan saja agar nira tidak rusak, kemudian esok paginya dimasak bersama-sama dengan hasil sadapan pagi itu sampai menjadi gula kelapa. Di Kecamatan Cilongok terdapat 6.512 unit industri rumah tangga (IRT) gula kelapa yang memiliki pohon kelapa dan menyadap sendiri. Selain itu, ada 2.500 unit IRT gula kelapa yang tumbuh dari kegiatan maro, yaitu sebagian memiliki pohon kelapa tetapi tidak menyadap sendiri dan sebagian lagi tidak memiliki pohon kelapa tetapi menyadap pohon milik orang lain. Bagi hasil kegiatan maro adalah hasil sadap 5 hari pertama untuk pemilik pohon dan hasil sadap 5 hari berikutnya untuk penyadap. Dengan demikian di Kecamatan Cilongok terdapat 9.012 unit IRT gula kelapa. Apabila ditambah IRT gula kelapa yang ada di Kecamatan Ajibarang, Karanglawas dan Pekuncen, maka jumlahnya dapat mencapai 10.000 unit (Disperindagkop Kab.Banyumas, 2012).

    4) Komparasi penggunaan BBG dan BBB serbuk gergaji dan sebetan kayu Jenis tungku yang digunakan dengan BBB serbuk gergaji, sebetan dan gas secara umum adalah sama yaitu berbetuk bulat seperti sumur, terbuat dari bata merah, semen dan pasir atau dicor dengan rangka

  • 11

    besi, dan dilengkapi cerobong asap agar tidak mengotori produk dan ruang masak. Bila serbuk dipadatkan, tungku serbuk memuat 4 karung serbuk gergaji. Cara menggunakannya, apabila telah selesai memasak 1 hari, maka esok harinya cukup ditambah 1 karung serbuk gergaji, begitu seterusnya sampai 10 hari. Setiap 10 hari sekali tungku diisi penuh lagi dengan serbuk baru.

    Gambar 2. Tungku serbuk gergaji sebelum dan sesudah digunakan memasak gula kelapa

    Satu karung serbuk dengan berat rata-rata 30 kg cukup untuk memasak 10 s/d 15 kg gula kelapa dalam waktu 3 jam. Ada pula industri yang mengolah gula menggunakan gas. Perbandingan kebutuhan serbuk gergaji, kayu bakar dan gas untuk memasak gula kelapa dapat diikuti dalam Tabel 5 berikut.

    Tabel 5. Komparasi penggunaan BBG dan BBB pada IKM Gula Kelapa No Jenis bahan

    bakar Volume produk

    gula kelapa Kebutuhan bahan

    bakar Biaya bahan bakar (Rp)

    1 Serbuk gergaji 10 -15 kg 1 karung 7.500 2 Sebetan kayu 10 -15 kg 3 gulung @Rp 7.000 21.000 3 Gas 20 kg 1 tabung 13 kg 80.000

    Sumber: Diolah dari data primer Disperindagkop Kab. Banyumas, 2012

    Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa untuk menghasilkan gula kelapa glondongan 10 15 kg diperlukan biaya serbuk gergaji sebesar Rp 7.500, biaya sebetan kayu sebesar Rp 21.000, dan rata-rata biaya gas Rp 50.000. Dengan demikian dalam proses produksi gula kelapa, biaya bahan bakar yang paling murah adalah biaya BBB serbuk gergaji dan sebaliknya yang paling mahal adalah BBG.

  • 12

    Setiap IKM gula kelapa setidaknya mempekerjakan 4 orang, yaitu bapak yang menyadap nira pada pagi dan sore hari serta ibu dan 2 orang anak yang memasak nira. Terdapat sekitar 36.000 orang bekerja di IKM gula kelapa, dengan upah Rp 30.000 s/d Rp 35.000 per hari.

    Gula kelapa glondong dapat diolah lebih lanjut menjadi gula kristal dengan cara memanaskan hingga mencair dan diaduk terus hingga mengkristal, lalu diangkat sambil dikeruk dan digerus hingga halus. Setelah itu disaring sehingga diperoleh gula kristal yang halus, dijemur sebentar dan siap dimasukan ke dalam kantong plastik untuk dijual. Harga gula glondong dan gula kristal disajikan dalam Tabel 6 berikut.

    Tabel 6. Harga gula glondong dan gula kristal di Cilongok, 2012 No Jenis gula kelapa Harga di penderes

    (Rp/kg) Harga di pedagang desa

    (Rp/kg) 1 Gula glondong 10.000 12.000 13.000 2 Gula kristal 12.000 13.000 15.000

    Sumber: Diolah dari data primer hasil wawancara, 2012

    b. Hasil ujicoba dan komparasi penggunaan BBG, BBB sebetan kayu, serbuk gergaji dan pellet kayu pada IKM Tahu dan Tempe. Proses pembuatan tahu konvensional biasanya menggunakan serbuk

    gergajian, kayu bakar, dan gas; sedangkan proses pembuatan tempe menggunakan kayu bakar dan gas. Rata-rata proses satu (1) kali perebusan kedelai giling untuk tahu sebanyak 9 s/d 12 kg atau senilai Rp 72.000,- s/d Rp 96.000,- (harga kedelai Rp 8.000,-/kg) menggunakan bahan bakar serbuk gergaji sebanyak 1 karung atau setara dengan Rp 6.000,-. Jika menggunakan bahan bakar kayu bakar, sebetan/bebetan kayu diperlukan sebanyak 3 kg (1/5 ikat) atau senilai Rp 1.500,-, apabila menggunakan bahan bakar gas diperlukan sebanyak 1,5 tabung atau senilai Rp 22.500,- dan apabila menggunakan bahan bakar pellet kayu diperlukan sebanyak 6 kg atau senilai Rp 11.100,-. Perbandingan biaya dan keuntungan berbagai jenis bahan bakar untuk proses perebusan kedelai giling dapat diikuti dalam Tabel 7 berikut.

  • 13

    Tabel 7. Perbandingan biaya dan keuntungan proses perebusan kedelai giling untuk tahu per hari dengan berbagai jenis bahan bakar

    Jenis Bahan Bakar No Uraian

    Serbuk gergaji Kayu Bakar Gas Pellet kayu 1 Pengeluaran

    bahan baku kedelai

    Rp 540.000 (78,97%)

    Rp 1.248.000 (90,51%)

    Rp 1.580.000 (69,06%)

    Rp 800.000 (82,00%)

    2 Volume kedelai (1 hari)

    72 kg

    150 kg

    200 kg

    100 kg

    3 Nilai jual produk Rp 936.000 Rp 2.050.000 Rp 3.300.000 Rp 1.400.000 4 Lamanya sekali

    memasak 1 jam 1 jam 1 jam 30 menit

    5 Volume /berat bahan bakar (kg)

    6 kg 10 kg 20 tabung @ 3 kg

    60 kg

    6 Pengeluaran bahan bakar

    Rp 36.000 (5,26%)

    Rp 7.500 (0,54%)

    Rp 300.000 (13,11%)

    Rp 81.000 (8,00%)

    7 Pengeluaran bahan bakar utk 50 kg kedelai

    Rp 25.000 Rp 37.500 Rp 75.000 Rp 45.000

    8 Biaya tenaga kerja (3 orang)

    Rp 84.000 (12,28%)

    Rp 90.000 (6,53%)

    Rp 320.000 (13,99%)

    Rp 70.000 (7,00%)

    9 Biaya lainnya Rp 23.807 (3,48%)

    Rp 24.307 (1,76%)

    Rp 23.138 (1,00%)

    Rp 24.056 (2,00%)

    10 Nilai keuntungan Rp 252.193 (27 %)

    Rp 671.193 (33%)

    Rp 1.012.000 (31 %)

    Rp 424.904 (30%)

    Sumber: data primer berdasarkan pengamatan di lapangan

    Gambar 3. Perebusan gilingan kedelai untuk tahu dengan serbuk gergaji, gas, dan pellet kayu

    Dalam uji coba tungku serba guna untuk perebusan kedelai tempe sebanyak 50 kg atau senilai Rp 400.000,- (harga kedelai Rp 8.000,-/kg) digunakan bahan bakar berupa kayu bakar sebanyak 28 kg atau setara dengan Rp 14.000,-. Jika menggunakan bahan bakar berupa pellet kayu diperlukan sebanyak 20 kg atau senilai Rp 37.000,-

  • 14

    Gambar 4. Perebusan kedelai untuk tempe dengan kayu bakar, gas, dan pellet kayu

    Perbandingan biaya penggunaan bahan bakar dan keuntungan dalam proses perebusan kedelai untuk tempe dapat diikuti dalam Tabel 8.

    Tabel 8. Perbandingan biaya dan keuntungan proses perebusan kedelai untuk tempe per hari dengan berbagai jenis bahan bakar

    Jenis Bahan Bakar No Uraian

    Kayu Bakar Gas Pelet kayu 1 Pengeluaran bahan baku

    kedelai Rp 1.200.000

    (87,2%) Rp 1.580.000

    (87 %) Rp1.200.000

    (84,6%) 2 Volume kedelai 150 kg 200 kg 150 kg

    3 Nilai jual produk Rp 2.025.000 Rp 3.440.000 Rp 2.025.000 4 Lamanya memasak 1

    jerangan 1 jam 20 mnt 1 jam 25 menit

    5 Berat bahan bakar (kg) 28 kg 3,5 tabung @ 3 kg

    60 kg

    6 Pengeluaran bahan bakar Rp 42.000 (3,05%)

    Rp 52.500 (4,30%)

    Rp 81.000 (5,7 %)

    7 Pengeluaran bahan bakar/50 kg kedelai

    Rp 14.000 Rp 13.125 Rp 27.000

    8 Biaya tenaga kerja (3 orang)

    Rp 90.000 (6,53%)

    Rp 72.000 (4,00%)

    Rp 90.000 (6,3%)

    9 Biaya bahan pembantu Rp 37.500 (2,72%)

    Rp 74.000 (4,00%)

    Rp 37.500 (2,6%)

    10 Biaya lainnya Rp 9.433 (0,7%)

    Rp 27.223 (7,1%)

    Rp 9.433 (1,0%)

    11 Nilai keuntungan Rp 646.067 (32 %)

    Rp 1.634.277 (48%)

    Rp 607.067 (30 %)

    Sumber: Data primer berdasarkan pengamatan di lapangan

    c. Nilai tambah atas penggunaan BBB 1) Kabupaten Wonosobo

    Di beberapa desa di kabupaten Wonosobo memiliki kapasitas produksi yang yang bervariasi dari 50 200 kg kedelai/hari. Sebagai contoh, pembuat tahu konvensional biasanya memiliki kapasitas produksi yang lebih kecil yaitu untuk 1 tungku serbuk gergaji adalah 50

  • 15

    kg kedelai (harga Rp 7.500,-/kg). Bahan bakar yang dibutuhkan adalah 10 karung serbuk gergaji, di mana 6 karung untuk merebus tahu dan 4 karung untuk menggoreng tahu dengan harga serbuk gergaji Rp 6.000,-/karung. Tungku konvensional telah digunakan sejak tahun 2005 dengan umur teknis bisa mencapai 20 tahun. Pabrik ini memiliki 2 tungku dengan biaya pembuatan Rp 1.000.000,-/tungku, dan memiliki 3 sumur untuk mengolah tahu dengan biaya Rp 400.000,-/sumur (tinggi 1 meter). Dengan bahan baku kedelai 50 kg dapat menghasilkan 36 kotak dengan harga Rp 13.000/kotak. Apabila tahu digoreng maka harga jual tahu goreng adalah Rp 17.000/kotak.

    Dari kedua industri tahu dengan skala usaha yang berbeda, dapat diketahui biaya bahan bakar persatuan output (tahu) seperti terlihat pada Tabel 9.

    Tabel 9 . Biaya Bahan Bakar per Produk Tahu (Rp/kg) No Jenis bahan

    bakar Volume produk tahu Kebutuhan bahan

    bakar Biaya bahan bakar (Rp)

    Biaya BB/ produk Rp/bh

    1. Kayu Bakar 80000 tahu 1 pick up 150000 1,875 2. Serbuk Gergaji 80000 tahu grng 65 krng@ Rp 6000 390000 4,875 3. Serbuk Gergaji 3600 tahu/50 kg

    kedelai 10 krng@ Rp 6000 60000 16,67

    1200/kg Sumber: data primer, diolah

    Sedangkan nilai tambah untuk pengolahan tahu dengan serbuk gergaji dapat dilihat pada Tabel 10.

    Tabel 10. Nilai tambah pengolahan tahu dengan serbuk gergaji Variabel Nilai I. Output, Input dan Harga 1. Output (kg) (1) 7200 potong, 60 kg ampas 2. Input (kg) (2) 72 3. Tenaga Kerja (Hok) (3) 2 Hok

    (4) = (1) / (2) = 100 (tahu) 4. Faktor Konversi 0,83 (ampas)

    5. Koefesien tenaga kerja (Hok/kg) (5) = (3) / (2) = 0,028 Hok/kg 6. Harga output (6) 125/potong, 1.000/kg

  • 16

    7. Upah tenaga kerja (Rp/Hok) (7) 42.000/Hok II. Penerimaan dan Keuntungan 8. Harga bahan baku (Rp/Kg) (8) 7.500/kg 9. Sumbangan input lain (Rp/Kg) (9) 831kg

    (10) = (4)x(6)=12.500 (tahu) 0,83 x 1.000 = 833,3 (ampas)

    10. Nilai Output (Rp/Kg)

    Total = 13.333

    11. a. Nilai tambah (Rp/Kg) (11a) = (10)-(9)-(8)=5003 11. b. Rasio nilai tambah (%) (11b) = (11a/10) x 100=37,52 12. a. Pendapatan tenaga kerja (Rp/Kg) (12a) = (5) x (7)= 1167 12. b. Pangsa tenaga kerja (%) (12b) = (12a/11a) x 100= 23,32 13. a. Keuntungan (Rp/Kg) (13a) = 11a 12a =3.836 13. b. Tingkat keuntungan (%) (13b) = (13a/11a) x 100= 76,68 III. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi

    14. Marjin (Rp/Kg) (14) = (10) (8) = 5.833 14. a. Pendapatan tenaga kerja (14a) = (12a/14) x 100 = 20 14. b. Sumbangan input lain (14b) = (9/14) x 100 =14,24 14. c. Keuntungan pengusaha (14c) = (13a/14) x 100 = 65,76

    Sumber: data primer diolah

    Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa nilai tambah untuk pengolahan tahu dengan serbuk gergaji seharga Rp 5.000,-/kg dan input kedelai sebanyak 72 kg (harga Rp 7.500,-) dapat mencapai 65,76 %.

    2) Nilai tambah pengolahan tahu di Kabupaten Banyumas a) IKM pengolahan tahu

    Sekitar 80% IKM pengolahan tahu di Desa Kalisari Kabupaten Banyumas menggunakan sebetan kayu meskipun tidak ada lahan untuk menjemur pada musim penghujan karena pemukiman perajin tahu relatif padat. Para perajin memilih sebetan kayu keras daripada serbuk gergaji karena apinya lebih panas. Sebetan kayu keras yang digunakan seperti sebetan pinus, mahoni, halaban, petai, dan lain-lain.

    Model tungkunya sama seperti tungku gula kelapa yaitu bulat seperti sumur, tetapi keliling wajan pemasak kedelai ditanam dalam bangunan tungku sehingga posisinya rendah dekat dengan api, dan

  • 17

    bentuk alat perebus kedelai menjadi menyerupai drum dengan alas wajan dan dinding cor semen-pasir.

    Jam kerja pengolahan tahu antara jam 7:30 s/d 16:00, upah pengolah tahu Rp 30.000 s/d 35.000/hari, penggoreng tahu Rp 22.500/hari, pembungkus tahu Rp 7.500/hari. Upah tenaga kerja tersebut masih ditambah makan, rokok, dan makanan kecil. Bahan bantu dalam pengolahan tahu terutama kunyit, garam, sereh, daun salam dan kecombrang kering. Kebutuhan kunyit untuk perajin tahu di desa Karangsari sekitar 3,75 kwintal per hari, karena setiap 20 kg kedelai kira-kira membutuhkan 1 kg kunyit parut seharga Rp 3.000/kg. Sedangkan harga kedelai saat ini Rp 8.000/kg. Pekerjaan perebusan finishing tahu dengan tambahan bahan bantu tersebut umumnya dilakukan oleh pemilik usaha pada sore hari. Produksi tahu hari ini dijual besok pagi dengan cara diangkut ke pasar menggunakan jasa mobil bak.

    Hasil samping pengolahan tahu adalah ampas tahu. Tahu akan makin awet bila dipres makin lama. Diantara 312 IKM pengolahan tahu di Desa Kalisari, ada 8 IKM yang limbah cairnya diolah lebih lanjut menjadi biogas sehingga sejak tahun 2009 telah menyediakan bahan bakar untuk memasak di 28 rumah tangga tanpa harus membeli gas elpiji lagi. Kalisari merupakan desa percontohan yang siap dicanangkan sebagai Desa Mandiri Energi (DME).

    b) Nilai tambah pengolahan tahu Di Kalisari terdapat 312 IKM tahu yang mengolah kedelai sebanyak

    7,5 ton/hari dan menghasilkan tahu sekitar 8 ton/hari. Di Ciroyong dan Cikembulan juga terdapat 340 IRT tahu yang menghasilkan 10 ton tahu/hari sehingga seluruhnya dihasilkan sekitar 18 ton tahu/hari.

    Pengolahan tahu rata-rata dilakukan dengan ukuran bahan baku 10 kg kedelai per masak, sehingga setiap IKM dapat melakukan beberapa kali masak per hari. Proses pemasakan diawali dengan merendam kedelai, kemudian digiling sampai halus, dan dimasak sampai mendidih. Setelah kedelai masak lalu disaring untuk memisahkan ampas dari sarinya. Cairan sari kedelai diberi cuka yang

  • 18

    dibuat dari proses pemasakan sebelumnya. Setelah sarinya menggumpal, segera disendok dan disimpan dipapan cetakan yang telah diberi alas kain penyaring. Nilai tambah pengolahan tahu menggunakan bahan bakar sebetan di Desa Kalisari dapat diikuti pada Tabel 11.

    Tabel 11. Nilai Tambah Pengolahan Tahu Menggunakan Sebetan Kayu Variabel Nilai I. Output, Input dan Harga 1. Output (kg) 900 potong tahu

    7,5 kg ampas 2. Input (kg) 10 kg kedelai 3. Tenaga Kerja (Hok) 3 Hok 4. Faktor Konversi (output/input) 90 (tahu)

    0,75 (ampas) 5. Koefesien tenaga kerja (Hok/kg) (tenaga kerja/input)

    0,3 Hok/kg

    6. Harga output Rp 200/potong tahu Rp 12.000/kg ampas

    7. Upah tenaga kerja (Rp/Hok) Rp 20.000/Hok II. Penerimaan dan Keuntungan 8. Harga bahan baku (Rp/Kg) Rp 8.000/kg kedelai 9. Sumbangan input lain (Rp/Kg) Rp 475/kg kedelai (bahan bantu)

    Rp 400/kg kedelai (biaya giling) Rp 875/kg kedelai (sebetan) Total Rp 1.750/kg kedelai

    10. Nilai Output (Rp/Kg) (faktor konversi x harga output)

    Rp 18.000/kg kedelai (tahu) Rp 9.000/kg kedelai (ampas) Total Rp 27.000/kg kedelai

    11. a. Nilai tambah (Rp/Kg) (nilai output sumbangan input lain

    - harga bahan baku)

    Rp 17.250/kg kedelai

    11. b. Rasio nilai tambah (%) (nilai tambah/nilai output x 100)

    63,88%

    12. a. Pendapatan tenaga kerja (Rp/Kg) (koefisien t.k x upah t.k.)

    Rp 6.000/kg kedelai

    12. b. Pangsa tenaga kerja (%) (pendapatan t.k./nilai tambah x 100)

    34,78%

    13. a. Keuntungan (Rp/Kg) (nilai tambah pendapatan t.k.)

    Rp 11.500/ kg kedelai

  • 19

    13. b. Tingkat keuntungan (%) (keuntungan/nilai tambah x 100)

    66,67%

    III. Balas Jasa Pemilik Faktor Produksi 14. Marjin (Rp/Kg) (nilai output-harga bahan baku)

    Rp 19.000/kg kedelai

    14. a. Pendapatan tenaga kerja (pendapatan t.k./marjin x 100)

    31,58%

    14. b. Sumbangan input lain (sumbangan input lain/marjin x 100)

    9,21% (total) 4,6% (sebetan)

    14. c. Keuntungan pengusaha (keuntungan/marjin x 100)

    60,53%

    Sumber: Data primer, diolah

    Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa dengan harga kedelai Rp 8.000/kg diperoleh nilai tambah pengolahan sebesar Rp 17.250/kg kedelai, keuntungan sebesar Rp 11.500/kg kedelai, marjin sebesar Rp 19.000/kg kedelai, dan sumbangan input sebetan kayu hanya 4,6%.

    d. Analisis Resiko Lingkungan Terkait Kesinambungan Pasokan BBB 1) Kabupaten Wonosobo

    Resiko lingkungan terhadap keberlanjutan penyediaan bahan bakar biomasa dapat didekati dengan keberadaan hutan, penggunaan lahan di kabupaten maupun adanya lahan kritis yang ada di daerah tersebut. Penggunaan lahan di kabupaten Wonosobo 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 12 berikut.

    Tabel 12. Penggunaan lahan di Kabupaten Wonosobo (2005-2010) Luas (ha) Penggunaan

    Lahan 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Sawah 17715,61 14715,65 17712,69 17283 17174 17150 Pekarangan 8100,01 8110,2 8110,2 7801 7816 7964 Tegalan/kebun 47091,16 47072,67 47072,67 41990,4 42082 42080 Padang rumput 4,37 4,38 4,38 3 3 3 Kolam 221,19 221,38 221,38 227 226 226 Waduk 1484,07 1484,07 1484,07 1576 1484 1463 Perkebunan 1994,87 1994,86 1994,86 2315 2315 2625 Hutan Negara 18888,13 18888,12 18888,12 16837 16837 16837 Hutan Rakyat 18374,25 19085 19619 18982 18982 18982 Lainnya 2970,71 2979,63 2979,63 2649 2912 2611

    Sumber : BPS Kabupaten Wonosobo

  • 20

    Komposisi penggunaan lahan di Kabupaten Wonosobo pada tahun 2010 dapat dilihat pada Gambar 5 berikut.

    Gambar 5. Penggunaan lahan di Wonosobo (2010)

    Dari Gambar 1 di atas dapat dilihat bahwa luasan penutupan hutan cukup baik terlihat dari luas hutan negara 15 % dan luas hutan rakyat 17%. Luas hutan rakyat di Wonosobo pada tahun 2009 mencapai 10% dari total luas hutan rakyat di seluruh Jawa Tengah (Dishutbun Wonosobo, 2010). Hutan rakyat atau kebun campur merupakan budaya pertanian turun temurun di desa-desa di Wonosobo, yang dikenal dengan sebutan wono atau alas. Kata wono itu sendiri, dalam khazanah kebudayaan pertanian di Jawa, tidak hanya berarti hutan sebagaimana yang kita kenal. Wono dalam pemahaman mereka berarti sumber daya (resource) yang bisa berguna bagi pertanian, peternakan, dan kebutuhan hidup lainnya. Itu sebabnya dalam konteks pertanian mereka tidak dikenal sistem tanaman monokultur atau tanaman satu lapis. Tanaman dalam hutan rakyat dibuat belapis-lapis (multi layers) dengan banyak jenis yang dalamnya terdapat pohon kayu, tanaman buah-buahan, tanaman semusim, pakan ternak, dan lain sebagainya. Pola tanam ini dikenal sebagai agroforestry. Adapun perkembangan luas hutan rakyat selama 5 tahun terakhir disajikan dalam Gambar 6 berikut.

  • 21

    Gambar 6. Luas hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo tahun 2005-2010

    Dari Gambar 6 tersebut terlihat bahwa luas hutan rakyat meningkat hingga tahun 2007, yang kemudian menurun dan stagnan hingga tahun 2010. Apabila kecenderungan luas hutan rakyat yang menurun maka potensi untuk memenuhi kebutuhan bahan baku untuk bahan bakar biomassa juga berkurang. Sisi positifnya bahwa masyarakat telah memiliki pengetahuan untuk melakukan agrorestry di tanah milik sehingga tidak sulit untuk meningkatkan potensi hutan rakyat di Wonosobo.

    Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) yang telah dilakukan di Kabupaten Wonosobo sejak tahun 2003 sampai sekarang diarahkan pada pembuatan bibit tanaman albasia, jati, suren, durian, dan akasia yang bertujuan selain untuk mengatasi lahan kritis dengan penanaman tanaman keras juga untuk konservasi air dan lahan, dan untuk jangka panjang diharapkan bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui usaha hutan rakyat. Dari tahun 2003 sampai tahun 2008 telah dilaksanakan pada 13 kecamatan pada Hutan Rakyat seluas 7.935 ha (Tabel 13). Tanaman albasia pada program GNRHL dari tahun 2003 sampai 2008 telah ditanam sebanyak 736.604 batang dengan kemungkinan tumbuh 70 % maka ada sekitar 515.623 pohon Albasia yang tumbuh dari program Gerhan tersebut.

    Potensi komoditas hutan rakyat yang berkembang di Wonosobo adalah albasia, mahoni, suren, jenitri, akasia, jati, dan lainnya. Kecamatan Kepil, Kaliwiro, Sukoharjo, Leksono dan Mojotengah

  • 22

    merupakan kecamatan dengan potensi komoditas albasia. Sedangkan untuk kayu Mahoni adalah kecamatan Kepil, Kecamatan Wadaslintang, dan Kecamatan Kaliwiro, serta jati untuk Kecamatan Wadaslintang dan Kaliwiro.

    Tabel 13. Luas hutan rakyat penerima Gerhan 2003 - 2008 LUAS HUTAN PENERIMA GERHAN ( Ha)

    NO KECAMATAN 2003 2004 2005 2006 2007 2008 1 Kaliwiro 835 - - - - - 2 Mojotengah - 240 475 - 475 75 3 Leksono - 625 - - - 4 Watumalang - 1.000 350 - 75 - 5 Kepil - - - - - - 6 Sukoharjo - 875 200 - - - 7 Kalikajar - - - 25 - 125 8 Kejajar - - 25 - 100 - 9 Wadaslintang 250 - - 50 - -

    10 Wonosobo - 125 - - 50 - 11 Garung - 60 200 - 650 - 12 Kertek - - 200 - 400 200 13 Selomerto - 225 - - - - 14 Kalibawang - - - 25 - - 15 Sapuran - - - - - - JUMLAH 1.085 3.150 1.450 100 1.750 400

    Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Wonosobo. 2009

    Potensi lahan kritis yang terjadi di Kabupaten Wonosobo dari tahun 2007 hingga tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 14 berikut.

    Tabel 14. Potensi dan lahan kritis Kabupaten Wonosobo Tahun Sangat kritis Kritis Agak kritis Potensi kritis

    2007 14.641,37 115.564,1 442.225,93 697.036,53 2008 16.462,19 140.103,9 418.982,97 579.044,91 2009 6.419,05 75.130,74 252.403,19 489.215,49 2010 5.694,92 98.245,63 380.802,07 595.856,74

    Sumber : BPS Propinsi Jawa Tengah

  • 23

    Dalam Gambar 7 terlihat bahwa lahan sangat kritis cenderung menurun dari tahun 2008 hingga 2010. Hal ini menunjukkan luas lahan kritis berkurang dengan adanya GERHAN atau kegiatan rehabilitasi lainnya. Resiko ke depan mungkin berkurang dengan adanya program GERHAN dan semacamnya serta adanya pengetahuan dasar yang telah dimiliki oleh petani dalam pola tanam agroforestry dan pentingnya hutan bagi kelestarian dan kesejahteraan masyarakat.

    Gambar 7. Lahan kritis di Kabupaten Wonosobo (2007-2010)

    2) Kabupaten Banyumas Analisis resiko lingkungan sebagaimana telah dijelaskan dalam

    pendahuluan dapat dilihat dari segi internal dan eksternal. Dari segi internal yang dilihat adalah indikator ketersediaan supply bahan baku energi, sedangkan resiko eksternal dapat dilihat dari beberapa indikator antara lain perubahan tata guna lahan dan perubahan luas lahan kritis. Kabupaten Banyumas memiliki wilayah seluas 132.759 ha. Selama periode 2005-2011 terjadi kecenderungan perubahan fungsi lahan yakni peningkatan penggunaan lahan bukan pertanian dan sebaliknya pula terjadi penurunan penggunaan lahan sawah dan pertanian non sawah. Rincian pola penggunaan lahan pada tahun 2005 sampai dengan 2011 disajikan dalam Tabel 15. Lahan pertanian yang ditanami pohon/hutan rakyat merupakan salah satu sumber kayu yang limbahnya banyak digunakan sebagai bahan bakar biomassa pada industri kecil terutama tahu, tempe, dan gula

  • 24

    kelapa serta bata merah dan genteng di Kabupaten Banyumas. Dari Tabel 15 terlihat adanya kecenderungan penurunan luas hutan rakyat selama dari tahun ke tahun dan mengalami sedikit peningkatan pada tahun terakhir. Secara lebih jelas penurunan tersebut dapat dilihat dalam Gambar 8.

    Tabel 15. Penggunaan Lahan di Kabupaten Banyumas Periode 2005 2011 Penggunaan Lahan Luas (ha)

    2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 1. Luas Sawah 32.770 32.668 32.226 32.219 32.307 32.307 32.326 1. Pengairan teknis 10.505 10.313 10.608 10.650 10.448 10.448 10.551 2. Pengairan setengah teknis 4.430 4.552 4.832 4.827 4.752 4.752 5.032 3. Pengairan sederhana PU 5.697 5.423 5.630 5.933 7.570 7.570 7.179 4. Pengairan non PU 5.726 5.458 4.471 4.761 3.140 3.140 3.227 5. Tadah hujan 6.412 6.894 6.685 6.048 6.397 6.397 6.337 6. Pasang surut - - - - - - - 7. Tanah sawah lebak, polder, dll - 28 - - - - - 8. Tanah sawah yang sementara tidak diusahakan - - - - - - - 2. Lahan Pertanian Bukan Sawah 54.161 54.185 54.253 53.293 52.062 52.062 51.921 1. Tegalan/Kebun 26.280 26.760 27.122 27.408 27.520 27.520 26.066 2. Ladang/Huma - - - 61 2.430 2.430 2.430 3. Perkebunan 12.353 12.025 12.134 11.132 9.684 9.684 9.676 4. Ditanami pohon/Hutan rakyat 10.552 10.326 10.237 9.579 8.470 8.470 8.769 5. Tambak - - - 7 43 43 653 6. Kolam/Tebat/Empang 389 404 407 404 357 357 340 7. Padang penggembalaan/rumput 13 14 12 35 - - 46 8. Sementara tidak diusahakan - - - 8 - - - 9. Lainnya (pekarangan yang ditanami pertanian, dll) 4.574 4.656 4.341 4.659 3.558 3.558 3.941 3. Lahan Bukan Pertanian 45.825 45.906 46.260 47.247 48.390 48.390 48.511 1. Rumah, bangunan dan halaman sekitarnya 18.731 18.811 15.291 16.667 17.504 17.504 17.668 2. Hutan negara 27.095 27.093 27.087 26.327 26.910 26.910 26.910 3. Rawa-rawa (tidak ditanami) 2 2 2 2 3 3 3 4. Lainnya (jalan, sungai, danau, lahan tandus, dll) - - 3.880 4.251 3.973 3.973 3.930

    Jumlah 132.759 132.759

    132.759 132.759 132.759 132.759 132.758

    Sumber: BPS Kabupaten Banyumas. Kabupaten Banyumas Dalam Angka Tahun 2005 s/d 2011

    Grafik Luas Hutan Rakyat Kab. Banyumas 2005-2011 (ha)

    0

    2.000

    4.000

    6.000

    8.000

    10.000

    12.000

    2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

    Tahun

    Luas (ha)

    Sumber: BPS Kabupaten Banyumas. Kabupaten Banyumas Dalam

    Angka Tahun 2005 s/d 2011. Data diolah

    Gambar 8. Grafik Luas Hutan Rakyat kabupaten Banyumas

  • 25

    Adanya penurunan luas hutan rakyat perlu dicermati karena beresiko terhadap ketersediaan supply limbah kayu untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar biomassa bagi industri kecil sebagai akibat dari penurunan volume kayu yang diolah. Dari 283 Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) yang tercatat beroperasi di Kabupaten Banyumas, limbah pengolahan kayu yang dapat digunakan sebagai bahan bakar biomassa berkisar antara 10-50% dari volume kayu yang diolah sesuai dengan masing-masing jenis produk kayu olahannya. Penurunan ketersediaan limbah kayu lebih lanjut akan mendorong peningkatan permintaan akan bahan bakar fosil karena pengusaha beralih kembali pada minyak tanah atau gas agar dapat terus berproduksi.

    Konsumsi kayu yang tinggi yang diperlihatkan oleh penurunan luas hutan rakyat mendorong berbagai pihak untuk menanam lebih banyak pohon untuk menjaga stabilitas produksi kayu di samping untuk menjaga lingkungan agar tetap hijau dan segar. Dari sisi pemerintah, langkah yang diambil antara lain berupa rehabilitasi lahan kritis dan pembangunan hutan rakyat melalui program Gerhan. Luas lahan kritis di wilayah Kabupaten Banyumas bervariasi dari tahun ke tahun sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 16 berikut.

    Tabel 16. Luas Lahan Kritis di Kabupaten Banyumas, 2010 Tahun Luas lahan kritis (ha) Perubahan

    ha % 2006 15.415 - - 2007 12.742 -2.673 -17,34 2008 10.540 -2.202 -17,28 2009 10.043 -497 -4,72

    2010 (Juni) 10.700 657 6,54 Sumber: Bappeda Kabupaten Banyumas. 2010. Buku Laporan Sistem Informasi Profil Daerah Kabupaten Banyumas Semester I Tahun 2010.

    Upaya penghijauan kembali lahan kritis selalu dilakukan untuk memperbaiki kondisi lahan. Dari Tabel 16 di atas, sesuai alokasi dana yang ada, pada tahun 2006 dilakukan penghijauan pada lahan seluas 854 Ha, tahun 2007 meningkat menjadi 2.238,70 Ha, tahun 2008

  • 26

    menurun menjadi 461 Ha, tahun 2009 terjadi peningkatan kembali seluas 670 Ha dan sampai dengan bulan Juni 2010 luas lahan penghijauan yang diusahakan seluas 900 Ha.

    Selain upaya rehabilitasi lahan kritis, Dishutbun Kab. Banyumas juga melakukan pembangunan hutan rakyat melalui Program Gerhan sejak tahun 2003. Pada tahun 2009 dilaksanakan evaluasi keberhasilan Proyek Gerhan periode 2003-2008 yang disajikan dalam Tabel 17. Dari evaluasi tersebut diketahui bahwa lahan yang sudah ditanami selama 2003-2008 berjumlah 8.350 ha dengan akumulasi luas hutan rakyat yang telah dibangun dapat dilihat pada Grafik 5. Selama enam tahun berjalannya proyek, persentase tumbuh bervariasi antara 60% - 95%. Jenis yang ditanam merupakan hasil kesepakatan dari pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan dengan kelompok petani pemilik lahan. Jenis tersebut terdiri dari jati, mahoni, akasia mangium, petai, melinjo, sengon, kemiri, pala, trembesi, rambutan, dan durian dengan jumlah total yang telah ditanam sebanyak 3.726.700 pohon. Jenis yang paling diminati adalah jati yang berdaur panjang sehingga menjamin stok kayu dan limbah kayu yang dapat digunakan 20-30 tahun yang akan datang. Sementara itu untuk pemenuhan kebutuhan jangka menengah banyak dipilih akasia mangium dan sengon yang mampu mensupply kebutuhan untuk 4-7 tahun mendatang.

    Grafik Akumulasi Luas Pembangunan Hutan Rakyat Melalui Proyek GERHAN di Kab. Banyumas 2003-2008

    (ha)

    01.0002.0003.0004.0005.0006.0007.0008.0009.000

    2003 2004 2005 2006 2007 2008

    Tahun

    Luas (ha)

    Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyumas. 2009. Data Kelembagaan Gerhan 2003-2008. Data diolah

    Gambar 9. Grafik Akumulasi Luas Pembangunan Hutan Rakyat Proyek Gerhan

  • 27

    Tabel 17. Pembangunan Hutan Rakyat Melalui Proyek Gerhan di Kabupaten Banyumas Periode 2003-2008 Jenis dan Jumlah Tanaman (batang) Tahun Luas

    (ha) %

    tumbuh Jati Mahoni A.Mangium

    Petai Melinjo Sengon Kemiri Pala Trembesi Rambutan Durian Jumlah

    2003 1.500 78 86 337.500 165.000 75.000 120.000 127.500 - - - - - - 825.000

    2004 3.000 70 80 840.000 - 150.000 - - 90.000 120.000 120.000 - - - 1.320.000

    2005 800 75 86 173.700 - - 5.200 - 91.000 - - 30.800 2.500 2.500 305.700

    2006 550 70 95 162.800 - 66.000 - - 8.800 - - - 4.400 - 242.000

    2007 2.100 60 70 686.400 - 171.600 - - - - - - - - 858.000

    2008 400 80 85 88.000 - 44.000 - - 44.000 - - - - - 176.000

    Jumlah 8.350 60 95 2.288.400 165.000 506.600 125.200 127.500 233.800 120.000 120.000 30.800 6.900 2.500 3.726.700 Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyumas. 2009. Data Kelembagaan Gerhan 2003-2008. Data diolah

  • 28

    Selain bersumber dari hutan rakyat, pemenuhan kebutuhan bahan bakar biomassa dari limbah kayu juga dapat diperoleh dari hasil pengolahan kayu yang dibudidayakan oleh Perum Perhutani di areal hutan negara yang berfungsi sebagai hutan produksi. Luas areal tersebut relatif stabil yakni seluas sekitar 20.500 ha dalam wilayah kelola Perum Perhutani KPH Banyumas Barat, KPH Banyumas Timur, dan KPH Kedu Selatan.

    d. Enabling Factors yang Mendorong Penggunaan BBB 1) Kabupaten Wonosobo

    Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lokasi penelitian untuk mengkaji masalah enabling factors ada beberapa hal : 1. Ketersediaan bahan baku biomassa 2. Potensi pengguna bahan bakar biomassa 3. Stakeholder penyedia bahan bakar biomassa 4. Kebijakan yang mendukung untuk penggunaan bahan bakar

    biomasa Dari keempat hal diatas dapat dijabarkan suatu kerangka analisis

    seperti diagram pada Gambar 6 di bawah ini.

    Gambar 10. Kerangka analisis enabling factor penggunaan biomassa

    Dinas Hutbun Dinas Perindag

    IPHHK Industri pngolah biomassa

    (kayu) Industri

    pengguna biomassa

    Pemerintah Daerah

    Kebijakan

  • 29

    Ad.1. Ketersediaan bahan baku biomassa Penggunaan BBB memiliki resiko yang kecil atau bahkan tidak ada

    resiko terhadap ketersediaannya, karena bahan bakunya terdiri dari limbah kayu gergajian maupun limbah veneer kayu. Penggunaan limbah kayu dikategorikan rendah emisi/karbon netral. Pemanfaatan limbah kayu dari industri pengolahan kayu saat ini sebagai bahan baku pelet kayu yang berguna untuk bahan bakar.

    Berkaitan hal tersebut, jumlah industri pengolahan kayu merupakan faktor penentu dalam penyediaan bahan baku. Kabupaten Wonosobo memiliki industri pengolahan kayu sejumlah 40 unit (mempunyai ijin) yang terdiri dari 30 IPHHK kapasitas < 2000 m3/thn, 8 IPHHK dengan kapasitas 2000-6000 m3/thn dan 1 IPHHK dengan kapasitas > 6000 m3 seperti terlihat pada Tabel 18.

    Tabel 18. Potensi serbuk gergajian dari IPHHK di Wonosobo Skala industri/

    kapasitas (m3/thn)

    Jumlah IPHHK (Unit)

    Volume serbuk gergajian (m3/thn)

    Volume bebetan/ sebetan menjadi serbuk (m3/thn)

    Total volume serbuk

    (m3/thn) < 2000 30 12.000 18000 30000

    2000- 6000 8 6.400 9600 16000

    >6000 1 14.640 21960 36600

    Jumlah 39 30.040 49560 82600 Sumber : Data sekunder diolah

    Dari Tabel 18 di atas terlihat bahwa perkiraan jumlah serbuk gergajian yang dapat dihasilkan dari IPHHK yang ada di Wonosobo adalah 82.600 m3/tahun. Asumsi yang digunakana dalah perhitungan adalah 20 % limbah dari kapasitas industri, begitu pula untuk asumsi bebetan/sebetan kayu. Berdasarkan wawancara dengan industri PT. Solar Park bahwa setiap 1 m3 bebetan dan sebetan dapat menghasilkan 1,5 m3 serbuk gergajian. Dengan rendemen pelet kayu 80% dari serbuk gergajian maka dapat dihitung jumlah pelet yang dapat dihasilkan dari potensi serbuk adalah sebesar 66.080 m3 pelet kayu.

  • 30

    Ad.2. Potensi pengguna BBB Berdasarkan data statistik Kabupaten Wonosobo (2011) bahwa

    jumlah IKM tahu sebesar 106 unit dan 1602 unit IKM tempe. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir semua industri tahu menggunakan bahan bakar serbuk gergajian untuk merebus gilingan kedelai selama 1 jam. Bahan bakar serbuk untuk merebus 50 kg kedelai dibutuhkan adalah 0,83 m3/hari. Dengan jumlah industri tahu sejumlah 106 unit, maka serbuk yang dibutuhkan sebesar 88 m3/hari. Kebutuhan serbuk gergajian untuk 1 tahun (asumsi 300 hari) adalah 26.394 m3. Dengan melihat potensi serbuk gergajian yang tersedia kebutuhan industri tahu akan bahan bakar ini masih terpenuhi. Dengan adanya bahan bakar pengganti berupa pelet kayu, maka kemungkinan penggunaan pelet untuk industri tahu dapat dilakukan karena bahan baku pelet kayu adalah serbuk gergaji.

    Industri kecil lainnya yang kemungkinan menggunakan serbuk gergaji atau pelet adalah industri tempe. Jumlah industri tempe yang ada di kabupaten Wonosobo (2011) adalah 1604 unit. Berdasarkan hasil uji coba di Cianjur (2012) bahwa kebutuhan pelet kayu untuk merebus kedelai sebanyak 50 kg dibutuhkan 20 kg pelet (setara 0,32 m3 serbuk gergajian) (PT. Solar Park, 2012). Volume serbuk gergajian yang dibutuhkan untuk merebus tempe selama 1 tahun untuk 1604 unit IKM tempe adalah 151.578 m3. Dari hasil perhitungan tersebut bahwa potensi serbuk gergajian yang tersedia di Wonosobo belum mencukupi untuk bahan bakar produksi tempe.

    Ad.3. Stakeholder penyedia BBB Industri pellet yang terdapat di Kabupaten Wonosobo (PT. Solar

    Park) adalah industri PMA dibawa kepemilikan Korea yang menggunakan bahan baku serbuk gergajian, sebetan dan bebetan kayu sengon. Pabrik ini memiliki 3 mesin pelet dan 1 mesin rotary. Bahan baku pelet kayu terdiri dari bebetan (limbah dari pabrik vener), sebetan (limbah sawmill), serbuk gergajian (limbah sawmill) dan bacore dengan diameter kurang dari 10 cm (limbah vener). Rendemen pelet dari serbuk

  • 31

    gergajian 80%, sedang dari chip atau bebetan dari 1 m3 bahan baku bisa menjadi 1,5M3 serbuk gergajian dengan kadar air maksimal 10%.

    Gambar 11. Pabrik pellet kayu PT. Solar Park, Wonosobo

    Stakeholder lain terkait dalam penyediaan bahan bakar biomasa ini adalah IPHHK (Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu), Dinas Kehutanan, Dinas Perindustrian, penyuluh masing-masing Dinas tersebut, Koperasi Tahu Tempe, dan pihak Swasta (investor). Tugas dan fungsi dari masing-masing stakeholder berbeda. Dinas Kehutanan dan perkebunan bertugas untuk mengkoordinasikan dalam hal penyediaan bahan baku lahan dan produk biomasa. Dishutbun akan menjadi fasilitator untuk menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri pellet kayu. Disperindag akan menjadi stakeholder kunci untuk mendorong penggunaan pellet kayu sebagai bahan bakar IKM dan industri pengolahan bahan bakar biomasa. Penyuluh bertugas untuk melakukan pembinaan, mediator antara instansi pemerintah dan IKM. KOPTI bertugas untuk penyediaan bahan baku untuk produk IKM dan bahan bakarnya. Mengingat pellet kayu sebagai bahan bakar merupakan hal yang relatif baru maka perlu upaya promosi dari dinas-dinas terkait untuk menarik minat swasta untuk mendirikan pabriknya dan rantai distribusinya. BBB pellet kayu sebagai alternatif bahan bakar IKM dalam mengolah tahu dan tempe perlu dipertimbangkan. Namun demikian dengan melihat potensi ketersediaan serbuk gergajian sebagai bahan baku pelet kayu khususnya di Kabupaten Wonosobo masih mencukupi untuk

  • 32

    pengolahan IKM tahu, karena sebagianan besar IKM tahu menggunakan bahan bakar serbuk gergajian. Sementara itu apabila IKM tempe juga menggunakan bahan bakar biomasa pelet kayu, potensi ketersediaan serbuk gergajian belum mencukupi. Hal ini dilihat dari perhitungan diatas bahwa perkiraan kebutuhan serbuk gergaji untuk kedua IKM tersebut adalah 177.972 m3/tahun. Sementara potensi ketersediaan serbuk gergaji yang ada sebesar 82.600 m3/tahun (berdasarkan kapasitas/tahun), sehingga terlihat ada kekurangan sebesar 95.372 m3/tahun. Hal ini dapat dipenuhi dengan melalui kebijakan melalui penanaman pohon baik di hutan negara maupun hutan milik. Apabila diasumsikan 1ha tanaman sengon dengan jarak tanam 3x3 m sebanyak 1111 pohon, maka volume kayu yang dapat dihasilkan sebanyak 560 m3 (Asumsi 1 pohon dengan panjang 130 cm, diameter 30 cm akan menghasilkan 0,5 m3 kayu). Serbuk gergajian yang dapat dihasilkan dari 560 m3 adalah 111 m3 serbuk gergajian ditambah 167 m3 serbuk gergajian dari bebetan/sebetan kayu. Sehingga total serbuk gergajian ang dapat dihasilkan setiap ha tanaman adalah 278 m3. Dengan demikian luas lahan yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pelet kayu sebesar 343 ha. Diharapkan adanya koordinasi antara Pemerintah Daerah, Dishutbun dan masyarakat dalam penyediaan lahan. Sebagaimana diketahui bahwa di Kabupaten Wonosobo luas lahan yang cukup hingga sangat kritis seluas 26.891 ha (BPS Wonosobo, 2010). Luas lahan kritis ini dapat dilakukan penanaman untuk mencukupi kebutuhan bahan baku pelet kayu seluas 343 ha.

    2) Kabupaten Banyumas Menurut Kartasasmita (1995), enabling factors adalah faktor-faktor

    yang dapat menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat untuk berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan dengan cara mendorong (encourage), memotivasi, dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Terkait dengan hal tersebut,

  • 33

    setidaknya ada dua potensi, yaitu potensi sumber daya manusia dan potensi daerah yang telah berkembang dengan cara didorong, dimotivasi, dan dibangkitkan kesadarannya.

    a) Potensi sumberdaya manusia Menguasai pengetahuan dan keterampilan menyadap nira kelapa

    Menurut sejarah, awalnya bahan baku gula merah hanya dari tebu, namun belakangan gula merah juga dibuat dari air nira sadapan bunga jantan aren, kelapa, dan lontar. Dahulu di Kabupaten Banyumas terdapat pabrik gula Kalibagor, sehingga diduga pengetahuan dan keterampilan penduduk tentang penyadapan nira sebagai bahan baku pembuatan gula telah dikuasai secara turun-temurun. Saat ini penyadapan nira kelapa dilakukan dua kali sehari yakni setiap pagi dan sore hari serta dilakukan sepanjang tahun. Pekerjaan menyadap nira telah menjadi mata pencaharian dan sumber pendapatan bagi sekitar 9.000 orang penduduk Kecamatan Cilongok atau sekitar 10.000 orang penduduk Kabupaten Banyumas.

    Di masa lalu ada permasalahan terkait penggunaan bahan bakar di mana IKM gula kelapa dituduh sebagai perusak hutan negara karena memanfaatkan rencek dari hutan di sekitarnya. Berkembangnya hutan rakyat dalam dekade terakhir membawa berkah bagi IKM gula kelapa karena pasokan bahan bakar dari lahan rakyat sangat melimpah, terutama limbah industri pengolahan kayu rakyat. Para perajin gula kelapa kemudian melakukan modifikasi tungku pemasak nira disesuaikan dengan jenis bahan bakar yang tersedia yaitu serbuk gergaji dan sebetan kayu. Hutan negara sekarang aman dari perencekan oleh penduduk sekitar dan IKM gula kelapa bebas dari tuduhan sebagai perusak hutan.

    Meskipun termasuk jenis pekerjaan yang beresiko bagi keselamatan, namun pengetahuan dan keterampilan menyadap nira dapat dipandang sebagai potensi sumberdaya manusia yang telah mereka bangun dan kembangkan sendiri. Demikian pula kreatifitas dan inovasi untuk memodifikasi tungku masak gula kelapa dalam mengatasi permasalahan bahan bakar, keduanya merupakan daya ungkit

  • 34

    (leverage) bagi berkembangnya pemanfaatan limbah pengolahan kayu dalam memajukan IKM gula kelapa.

    Melakukan diversifikasi produk dan pengemasan Produksi gula kelapa di Kabupaten Banyumas pada tahun 2006

    sebesar 45.507 ton dan terus meningkat hingga pada tahun 2009 mencapai 51.400 ton. Selain diolah menjadi gula glondongan, saat ini para pengusaha gula kelapa telah mengembangkan pengolahan produk lebih lanjut menjadi gula semut, gula cair, serta minuman segar jahe, kunyit asem, kencur dan lain-lain, untuk memenuhi permintaan pasar. Bahkan ada beberapa IKM yang telah mengemas dan memberi merk produknya. Para pengusaha IKM gula kelapa sangat menyadari pentingnya memajukan dan mengembangkan usahanya karena selain telah menjadi penggerak roda perekonomian Kecamatan Cilongok khususnya atau Kabupaten Banyumas umumnya, IKM ini telah melibatkan hajat hidup orang banyak karena menjadi lahan usaha bagi 9.021 pemilik IKM dan lapangan kerja bagi sekitar 36.000 penduduk Kecamatan Cilongok. Majunya IKM gula kelapa dapat menjadi insentif bagi berkembangnya usaha pengolahan kayu sebagai pemasok limbah sebetan dan serbuk gergaji yang merupakan bahan bakar bagi IKM gula kelapa.

    Kesadaran menanam pohon kelapa dan kayu-kayuan Pada tahun 2006 di Kabupaten Banyumas terdapat 4.599 ha

    tanaman kelapa deres/sadap dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 5.156 ha. Ladang, tegalan, dan halaman pekarangan sekitar rumah penduduk Kecamatan Cilongok khususnya telah menjadi lahan budidaya kelapa, albasia, dan pohon buah-buahan lainnya yang luasnya kini sekitar 40% dari luas total wilayah Kecamatan Cilongok. Saat ini ada 136.011 pohon kelapa sadap di dalamnya. Proses pengolahan kayu rakyat dapat menghasilkan limbah sebetan dan serbuk gergaji yang merupakan bahan bakar pengolahan gula kelapa, tahu dan tempe. Dalam hal ini penduduk telah menyadari bahwa pohon kelapa merupakan pemasok bahan baku nira bagi IKM gula kelapa dan

  • 35

    hutan rakyat merupakan pemasok bahan bakarnya sehingga selalu dipertahankan dan dikembangan potensinya.

    Selain itu setiap tahun ada kegiatan penanaman hutan rakyat melalui berbagai program pemerintah, dan luasnya di Kabupaten Banyumas pada tahun 2011 adalah 8.769 ha. Dengan beberapa asumsi maka dapat dihitung potensi serbuk gergaji dari hutan rakyat seperti terlihat pada Tabel 19 berikut.

    Tabel 19. Potensi serbuk gergaji dari hutan rakyat No Asumsi Hasil taksasi

    1 Jarak tanam 2mx2m, jumlah 1100 pohon per ha Jumlah pohon: 9.645.900 pohon 2 Volume kayu per pohon 0,2 m3 (umur3-5 tahun) Produksi kayu 1.929.180 m3 3 Rendemen pengolahan kayu rata-rata 70% dan

    rendemen serbuk 10% Produksi serbuk 192.918 m3

    4 Berat setiap m3 serbuk adalah 80 kg Produksi serbuk 15.433.440 kg 5 30 kg serbuk untuk memasak 15 kg gula Gula yang dimasak 7.716.720 ton

    Produksi gula pada tahun 2009 adalah 51.400 ton, sehingga limbah serbuk gergaji dari hutan rakyat di Kabupaten Banyumas diprediksikan masih mampu memenuhi permintaan bahan bakar IKM gula kelapa. Berkembangnya hutan rakyat dan industri pengolahan kayu rakyat yang dapat menghasilkan limbah serbuk gergaji dan sebetan kayu menjadi daya ungkit (leverage) bagi penggunaan BBB yang lebih ramah lingkungan.

    b) Potensi Daerah Industri kecil sebagai andalan daerah

    Sektor industri kecil di Kabupaten Banyumas merupakan kelompok industri yang terbanyak dan menjadi andalan, karena mampu menyerap banyak tenaga kerja atau labor intensive, serta mengolah dan memanfaatkan sumberdaya alam dan jasa yang potensial di daerah tersebut. Pada tahun 2009 menyerap tenaga kerja 82.874 orang dan pada tahun 2010 sebanyak 83.399 orang, serta merupakan industri yang memanfaatkan produk-produk pertanian dan industri yang dikerjakan oleh masyarakat atau termasuk kelompok industri rumah

  • 36

    tangga (home industry). Kebijakan Pemerintah Daerah yang mendorong berkembangnya IKM akan mendorong makin tingginya permintaan dan persaingan penggunaan bahan bakar untuk IKM sehingga pemanfaatan limbah industri pengolahan kayu makin tinggi.

    Berkembangnya pasar produk Produksi gula kelapa di Kabupaten Banyumas pada tahun 2010

    sebesar 51.663,39 ton (Disperbunhut, 2012), dan dari Kecamatan Cilongok saja sebesar 48,963 ton/hr atau sekitar 49 ton/hr (Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Banyumas, 2012). Hasil gula kelapa ini dijual ke Jakarta, Semarang, Bandung dan dipasok ke industri makanan minuman ABC, Indofood, sehingga Kecamatan Cilongok dapat menghasilkan nilai gula kelapa sebesar Rp 490.000.000/hari atau sekitar Rp 500 juta/hari atau Rp 175 milyar/th (1 th = 300 hr).

    Sebagai pemasok bahan bakar, sentra-sentra industri pengolahan kayu di Kabupaten Banyumas tersebar di Kecamatan Cilongok, Ajibarang, Pekuncen, Kalibagor dan Somagede, dimana jumlah usaha industri pengolahan kayu pada tahun 2009 sebanyak 253 unit. Majunya usaha gula kelapa memiliki keterkaitan kebelakang (backward linkage) dan keterkaitan kedepan (forward linkage), yaitu menghidupkan sektor-sektor yang terkait sebagai berikut. o Agen penjualan serbuk gergaji dan sebetan merupakan lapangan

    usaha yang tumbuh karena berkembangnya usaha pengolahan kayu rakyat dan usaha pengolahan gula kelapa, tahu, tempe, jamur, genteng, bata merah, dan lain-lain.

    o Tumbuhnya lembaga-lembaga keuangan, Di Kecamatan Cilongok ada 2 cabang BRI, ada BKK (Badan Kredit Kecamatan), dan Bank Syariah.

    o Tumbuhnya 7- 8 pedagang gula kelapa per desa diantara 20 desa di kecamatan tersebut, atau 140 160 pedagang gula tingkat desa, sekitar 10 pedagang gula tingkat kecamatan.

  • 37

    o Tumbuhnya usaha jasa angkutan, seperti PT Surya Citra Kelapa mempunyai 11 unit truk gandeng, dan setidaknya 1 unit truk per pedagang tingkat kecamatan.

    o Tumbuh 11 unit industri kemasan gula kelapa dari papan yang kapasitasnya 10 kg s/d 20 kg per kotak.

    o Tumbuh usaha pembuatan tungku di 10 desa di Kecamatan Cilongok, dan berkembang agen-agen penjualan tungku.

    Pesatnya perputaran roda perekonomian menjadi entry point bagi tumbuhnya lembaga-lembaga ekonomi dan kegiatan produktif baru yang akan meningkatkan nilai tambah bagi perekonomian daerah. Tumbuhnya dua pabrik yang mengolah balken menjadi barcore di Kabupaten Banyumas yang produknya diekspor ke Cina dan Taiwan makin memperkuat perekonomian Banyumas yang berbasis IKM.

    B. Potensi Pengembangan Ke Depan 1. Kerangka Pengembangan Ke Depan

    Mempertimbangkan bahwa BBM maupun BBG kedepan akan mengalami kelangkaan karena makin majunya proses industralisasi dan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, karena itu sumber energi yang terbarukan menjadi alternatif yang potensial untuk penggunaan kedepan. Diharapkan IKM dapat menggunakan BBB antara lain serbuk gergaji dan pellet kayu yang dipandang lebih efisien dan ramah lingkungan sebagai substitusi dari BBG yang selama ini digunakan.

    2. Strategi Pengembangan Ke Depan Menyebarluaskan cara pemanfaatan limbah pengolahan kayu sebagai

    BBB. Mencari inovasi teknologi tungku yang sesuai dengan ketersediaan

    jenis BBB Pengembangan industri pembuatan pellet kayu skala kecil/menengah

    terutama di sekitar sentra-sentra industri pengolahan kayu.

  • 38

    BAB IV SINERGI PELAKSANAAN KEGIATAN A. Sinergi Koordinasi Kelembagaan-Program

    1. Kerangka Sinergi Koordinasi Studi ini terkait dengan program mitigasi perubahan iklim untuk mendorong pengurangan emisi GRK dan berpotensi mendorong berkembangnya sistem inovasi daerah (SIDA). Untuk itu koordinasi dalam rangka penelitian ini dilakukan dengan instansi terkait yaitu Disperindag, Dishutbun, Perum Perhutani, pengusaha pellet kayu, pelaku industri penggergajian/pengolahan kayu, KOPTI, dan para pelaku IKM pengolahan gula kelapa, tahu dan tempe.

    2. Indikator Keberhasilan Sinergi Koordinasi Diketahuinya kegiatan penelitian ini oleh instansi terkait di lokasi

    penelitian Kegiatan penelitian ini menjadi acuan bagi jajaran Pemerintah Daerah

    setempat untuk menyusun usulan kegiatan dan program tahun mendatang.

    Gambar 12. Kegiatan diseminasi hasil penelitian dan pengenalan pellet kayu di Kab. Cianjur

    3. Perkembangan Sinergi Koordinasi Penyampaian informasi kepada Dinas dan industri terkait tentang

    penggunaan BBB untuk substitusi BBG pada IKM pengolahan tempe, tahu, dan gula kelapa

    Adanya fasilitasi dari Dinas terkait di lokasi penelitian pada pelaksanaan kegiatan lapangan.

    Adanya kesediaan IKM pengolahan tahu dan tempe untuk melakukan uji coba penggunaan pellet kayu.

  • 39

    Adanya ketertarikan dari para pelaku usaha tahu dan tempe untuk menggunakan bahan bakar pellet kayu dengan syarat pasokan yang berkesinambungan dan harga yang rasional.

    B. Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa 1. Kerangka dan Strategi Pemanfaatan

    Memfasilitasi tersedianya tungku serbaguna yang dapat dioperasikan menggunakan BBB seperti pellet kayu dan serbuk gergaji.

    Melakukan sosialisasi dan pendampingan kepada IKM pengolahan tahu dan tempe yang telah menggunakan BBB pellet kayu dan serbuk gergaji.

    2. Indikator Keberhasilan Pemanfaatan Teridentifikasinya IKM pengolahan tahu dan tempe yang telah

    menggunakan BBB pellet kayu dan dioperasikan menggunakan tungku serbaguna.

    Teridentifikasinya adanya pelaku usaha yang memproduksi pellet kayu dalam skala industri kecil/menengah.

    3. Perkembangan Pemanfaatan Makin meluasnya penggunaan BBB pada IKM pengolahan tahu dan

    tempe serta IKM lainnya. Pasokan BBB semakin berkesinambungan Harga BBB semakin terjangkau oleh para pelaku IKM

    Gambar 13. Leaflet

  • 40

    BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

    1. Tahapan Pelaksanaan Kegiatan dan Anggaran Dalam pelaksanaan kegiatan ini terdapat kendala tata waktu pencairan

    anggaran. Pencairan anggaran pertama adalah awal April, sementara itu jangka waktu kontrak kerja kegiatan penelitian ini adalah 8 bulan dimana laporan akhir kegiatan harus diserahkan pada bulan September 2012. Idealnya pencairan anggaran pertama pada akhir bulan Februari 2012 sehingga jangka waktu kotrak kerja 8 bulan terpenuhi.

    2. Metode Pencapaian Target Kinerja Tahapan yang dilakukan untuk mencapai target kinerja secara ringkas

    adalah sebagai berikut : Melakukan identifikasi dan inventarisasi IKM makanan-minuman dan

    ditentukan sebagai obyek penelitian adalah IKM pengolahan tahu, tempe, dan gula kelapa di Kabupaten Wonosobo dan Banyumas Propinsi Jawa Tengah serta tempat ujicoba di IKM pengolahan tahu dan tempe di Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat.

    Melakukan pengumpulan data lapangan di Jawa Tengah dan Jawa Barat.

    Membuat 1 unit tungku serbaguna di IKM pengolahan tempe, dan melakukan ujicoba menggunakan BBB pellet kayu.

    Melakukan analisis komparasi biaya energi, analisis nilai tambah, analisis resiko lingkungan, dan identifikasi enabling factor.

    Menyusun 2 buah leaflet dan video, melakukan diseminasi hasil penelitian dan memperkenalkan pellet kayu sebagai salah satu jenis BBB.

    3. Potensi Pengembangan Ke Depan Mempertimbangkan bahwa BBM maupun BBG ke depan akan

    mengalami kelangkaan karena makin majunya proses industralisasi dan merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui, oleh karena itu sumber energi terbarukan menjadi alternatif potensial untuk penggunaan

  • 41

    ke depan. Diharapkan IKM dapat menggunakan BBB antara lain serbuk gergaji dan pellet kayu yang dipandang lebih efisien dan ramah lingkungan sebagai substitusi dari BBG yang selama ini digunakan. Strategi yang ditempuh dalam pengembangan ke depan adalah: menyebarluaskan cara pemanfaatan limbah pengolahan kayu sebagai BBB, mencari inovasi teknologi tungku yang kompatibel dan pengembangan industri pembuatan pellet kayu terutama di sekitar sentra-sentra industri pengolahan kayu.

    4. Sinergi Koordinasi Kelembagaan-Program Studi ini terkait dengan program mitigasi perubahan iklim untuk mendorong pengurangan emisi GRK dan berpotensi mendorong berkembangnya sistem inovasi daerah (SIDA). Untuk itu koordinasi dalam rangka penelitian ini dilakukan antara lain instansi terkait yaitu Disperindag, Dishutbun, Perum Perhutani, pengusaha pellet kayu, para pelaku industri penggergajian, KOPTI, dan para pelaku IKM pengolahan gula kelapa, tahu dan tempe.

    5. Kerangka Pemanfaatan Hasil Litbangyasa Dalam rangka pengembangan pemanfaatan hasil litbangyasa maka

    akan difasilitasi ketersediaan tungku serbaguna yang dapat dioperasikan menggunakan BBB seperti pellet kayu dan serbuk gergaji serta melakukan sosialisasi dan pendampingan kepada IKM pengolahan tahu tempe. Dengan demikian diharapkan akan makin meluas penggunaan BBB, pasokan BBB semakin berkesinambungan serta harga BBB diharapkan semakin terjangkau oleh para pengguna.

    B. Saran 1. Keberlanjutan Pemanfaatan Hasil Kegiatan

    Diperlukan adanya pendampingan dan fasilitasi penggunaan BBB pada IKM secara berkesinambungan dalam waktu 5 tahun ke depan. Hal ini perlu dilakukan agar para pengguna makin mengenal cara pemanfaatan BBB dan para pelaku ekonomi lain tertarik untuk memproduksinya.

  • 42

    2 Keberlanjutan Dukungan Program Ristek Terkait saran butir 1, maka dukungan pembiayaan RISTEK sangat

    diharapkan setidaknya dalam waktu 5 tahun ke depan.

  • 43

    DAFTAR PUSTAKA

    Anonim. 2012. Profile Perusahaan PT Solar Park. Wonosobo

    Bappeda Kabupaten Banyumas. 2010. Buku Laporan Sistem Informasi Profil Daerah Kabupaten Banyumas Semester I Tahun 2010

    BPS Propinsi Jawa Tengah. 2009. Statistik Industri Besar dan Sedang Propinsi Jawa Tengah. Semarang

    BPS Kabupaten Banyumas. Kabupaten Banyumas Dalam Angka Tahun 2005 s/d 2011. Banyumas

    BPS Kabupaten Wonosobo. 2012. Statistik Wonosobo Dalam Angka. Wonosobo

    Deragon, J. 2008. What are the Enabling Factors. www.relationship-economy.com/2008/ 06/11/what-are-the-enabling-factors/

    Dinas Kehutanan Wonosobo. 2010. Master Plan Industri Perkayuan di Wonosobo. Wonosobo

    Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Tengah. Data Direktori Industri Menengah. 2010. Semarang

    Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Tengah. Data Direktori Industri Pengolahan Skala Kecil. 2010. Semarang

    Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyumas. 2009. Data Kelembagaan Gerhan 2003-2008. Banyumas

    Gittinger, J.P. 1982. Economic Analysis of Agricultural Projects. John Hopkins University Press. Baltimore

    Hayami Y., Thosinori, M., dan Masdjidin, S. 1987. Agricultural Marketing and Processing in Upland Java: A Prospective from A Sunda Village, Bogor

    Hsu P dan P Sharma. 2008. A Case Study of Enablings Factors in the Technology Intergration Change Process. Educational Technology dan Society, II(4),213-228. USA

    Idris, Y.Z. 2003. Analisa Resiko Limbah Industri di Sungai Tulang Bawang. Program Pascasarjana Program Studi Magister Teknik Lingkungan ITS. Surabaya

    Kadariah, Karlina, L., Gray, C. 1978. Pengantar Evaluasi Proyek. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta

  • 44

    P3TKEBT. 2011. Laporan Sintesis Penelitian Gasifikasi Biomassa. Puslitbang Teknologi Kelistrikan dan Energi Baru Terbarukan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Jakarta

    Sugiyono. 2001. Metode Penelitian Bisnis. Penerbit Alfa-Beta. Bandung

  • ?Lubang keatas berfungsi untuk mengalirkan udara dan semburan api serta nyala api lebih fokus ?Lubang bawah berfungsi untuk memasukan

    sebatang kayu yang dibakar di bagian bawah serbuk untuk memicu pembakaran?Nyalakan api dengan cara memasukan kayu yang

    terbakar melalui lubang bawah?Satu karung serbuk dapat untuk memasak 10-15 kg

    gula dalam waktu 3 jam.?Serbuk gergaji dapat juga diolah terlebih dahulu

    menjadi pellet kayu baru digunakan sebagai bahan bakar.

    BIAYA MURAHPerbandingan Serbuk Gergaji, Kayu Bakar, dan Gas Untuk Memasak Gula Kelapa.

    Sumber: Diolah dari Disperindagkop Kab. Banyumas, 2012

    Sumber:Data primer Kab. Banyumas,2012

    Bahan Bakar

    Volume Gula

    Kebutuhan Biaya(Rp)

    Serbuk Gerbaji

    10-5 Kg 1 Karung 7.500

    Kayu Bakar

    10-5 Kg 3 Gulung@ Rp 7.000

    21.000

    Gas 20 Kg 1 Tabung13 Kg

    80.000

    Jenis Serbuk

    Harga (Rp/Karung)

    di Penggergajian di IKM

    Kayu SengonKayu Keras

    500-2.000500-2.000

    3.500-4.0006.000-7.000

    HEMAT ENERGI HEMAT BIAYA

    Ingin Hemat Energi ?

    GUNAKAN BAHAN BAKAR

    SERBUK GERGAJI !!!PKPP TAHUN 2012

    KerjasamaKEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI

    dan

    KEMENTERIAN KEHUTANANBADAN LITBANG KEHUTANAN

    PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANPERUBAHAN IKLIM DAN KEBIJAKAN

  • ?Krisis energi dunia menyebabkan kenaikan harga BBM ?Penggunaan BBM juga meningkatkan emisi gas

    rumah kaca (GRK)

    Diperlukan sumber energi alternatif yang murah, mudah didapat, tersedia secara

    berkesinambungan, ramah lingkungan, dan cocok untuk

    Industri Kecil Menengah (IKM)

    Jawabnya adalah:

    Bahan Bakar Biomassa (BBB)

    SERBUK GERGAJI !!!

    TUNGKU SERBUK GERGAJI

    ?

    ?Sesuai untuk IKM gula kelapa, tahu, tempe, dll di wilayah sentra penggergajian / pengolahan kayu?Pemanasannya stabil?Hanya sedikit panas yang terbuang?Mudah digunakan

    SERBUK MUDAH DIDAPATSetiap gergaji pita (bandsaw) di pabrik penggergajian rata-rata menghasilkan 20 karung serbuk (20-35 kg) per hari.

    MUDAH DIGUNAKAN

    ?Sebelum serbuk dimasukan ke tungku, ditengah tungku dipasang bambu tegak keatas dan di bagian bawah dipasang bambu mendatar menuju lubang bawah ?Serbuk dimasukan melalui lubang atas lalu

    dipadatkan

    ?Cabut ke dua bilah bambu sehingga pada padatan serbuk terbentuk lubang tegak keatas dan mendatar kearah lubang bawah

  • Perbandingan keuntungan per hari dari penggunaan berbagai jenis bahan bakar dalam perebusan

    kedelai giling untuk tahu Jenis bahan bakar

    No.

    Uraian Serbuk gergaji

    Kayu bakar

    Gas Pellet kayu

    1. Pengeluarn bahan baku

    kedelai

    Rp 540.000 (78,97%)

    Rp 1.248.

    000 (90,51%)

    Rp 1.580.

    000 (69,06%)

    Rp 800.000

    (82%)

    2. Volume kedelai (1 hari)

    72 kg

    150 kg

    200 kg

    100 kg

    3. Nilai jual produk

    Rp

    936.000

    Rp

    2.050.

    000

    Rp

    3.300.

    000

    Rp

    1.400.

    000

    4. Lama 1 kali memasak

    1 jam 1 jam 1 jam 30

    menit

    5. Volume/berat bahan bakar (kg)

    6 kg 10 kg 20

    tabung @ 3 kg

    60 kg

    6. Pengeluarn bahan bakar

    Rp

    36.000 (5,26%)

    Rp

    7.500 (0,54%)

    Rp

    300.000 (13,11%)

    Rp

    81.000 (8%)

    7. Pengeluarn bahan bakar per 50 kg kedelai

    Rp

    25.000

    Rp

    37.500

    Rp

    75.000

    Rp

    45.000

    8. Biaya tenaga

    kerja (3 orang)

    Rp 84.000 (12,28%)

    Rp 90.000

    (6,53%)

    Rp 320.000 (13,99%)

    Rp 70.000

    (7%)

    9. Biaya lainnya

    Rp

    23.807 (3,48%)

    Rp

    24.307 (1,76%)

    Rp

    23.138 (1%)

    Rp

    24.056 (2%)

    10. Nilai keuntungan

    Rp

    252.193

    (27%)*

    Rp

    671.193

    (33%)*

    Rp

    1.012.

    000 (31%)*

    Rp

    424.904

    (30%)*

    Ket: Angka di dalam kurung merupakan persentase dari total biaya produksi

    * merupakan persentase keuntungan dari total penerimaan

    Sumber: Hasil pengamatan di lapangan

    Perebusan tahu dengan bahan bakar limbah kayu

    Perbandingan keuntungan per hari dari penggunaan berbagai jenis bahan bakar dalam perebusan kedelai

    untuk tempe Jenis bahan bakar

    No.

    Uraian Kayu bakar Gas Pellet kayu

    1. Pengeluaran bahan baku kedelai

    Rp

    1.200.000 (87,2%)

    Rp

    1.580.000 (87%)

    Rp

    1.200.000 (84,6%)

    2. Volume kedelai (1 hari )

    150 kg

    200 kg

    150 kg

    3. Nilai jual produk

    Rp

    2.025.000

    Rp

    3.440.000

    Rp 2.025.000

    4. Lama 1 kali memasak

    1 jam 20 mnt

    1 jam 25 menit

    5. Volume/berat bahan

    bakar (kg)

    28 kg 3,5 tabung

    @ 3 kg

    60 kg

    6. Pengeluaran bahan bakar

    Rp 42.000

    (3,05%)

    Rp 52.500

    (4,3%)

    Rp 81.000

    (5,7%)

    7. Pengeluaran bahan bakar per 50 kg

    kedelai

    Rp 14.000 Rp 13.125 Rp 27.000

    8. Biaya tenaga kerja (3 orang)

    Rp 90.000

    (6,53%)

    Rp 72.000

    (4%)

    Rp 90.000

    (6,3%)

    9. Biaya bahan pembantu

    Rp 37.500

    (2,72%)

    Rp 24.000

    (4%)

    Rp 37.500

    (2,6%)

    10. Biaya lainnya Rp 9.433 (0,7%)

    Rp 27.223 (7,1%)

    Rp 9.433 (1%)

    11. Nilai keuntungan

    Rp 646.067 (32%)*

    Rp 1.634.227 (48%)*

    Rp 607.067 (30%)*

    Ket: Angka di dalam kurung merupakan persentase dari total biaya produksi

    * merupakan persentase keuntungan dari total penerimaan

    Sumber: Hasil pengamatan di lapangan

    Instalasi tungku gas dalam perebusan kedelai untuk

    tempe

    Pembuatan tempe dengan bungkus daun

    PPEELLUUAANNGG SSUUBBSSTTIITTUUSSII

    BBAAHHAANN BBAAKKAARR MMIIGGAASS ((BBBBMM)) DDEENNGGAANN

    BBAAHHAANN BBAAKKAARR BBIIOOMMAASSSSAA ((BBBBBB))

    PPAADDAA IINNDDUUSSTTRRII KKEECCIILL--MMEENNEENNGGAAHH ((IIKKMM)) TTAAHHUU--TTEEMMPPEE

    Kerjasama:

    KEMENTERIAN RISET DAN TEKNOLOGI

    dengan

    KEMENTERIAN KEHUTANAN

    Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan Program PKPP 2012

  • Pertimbangan substitusi bahan bakar:

    - Substitusi kemungkinan menuntut penggantian tungku

    atau investasi peralatan baru

    - Ukuran/kapasitas tungku harus sesuai dengan kapasitas

    perebusan kedelai untuk tempe dan wajan perebusan

    gilingan kedelai untuk tahu

    - Bahan bakar dapat diperoleh/dibeli dengan mudah dan

    tersedia secara berkesinambungan.

    Tungku serbaguna untuk perebusan kedelai tempe dapat menggunakan bahan bakar kayu atau pellet kayu

    Salah satu jenis bahan bakar substitusi adalah

    pellet kayu (wood pellet).

    Pellet kayu memiliki kandungan karbon yang rendah

    namun efisiensi pembakaran yang tinggi.

    Pellet kayu

    Proses pembuatan tahu biasa menggunakan bahan bakar