Upload
elfianirusadi
View
28
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
:)
Citation preview
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di unit
gawat darurat suatu rumah sakit.”No head injury is so serious that it should be
despaired of, nor so trivial as to be lightly ignored”, menurut Hippocrates bahwa tidak
ada cedera kepala yang perlu dikhawatirkan serius yang bisa kita putus harapan dan
tidak ada juga keluhan yang dapat kita abaikan. Setiap tahun di Amerika Serikat
Mencatat 1,7 juta kasus trauma kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat
inap.
Trauma kepala juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis
trauma yang dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010). Menurut penelitian yang
dilakukan oleh National Trauma Project di Islamic Republic of Iran bahwa diantara
semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7% Trauma kepala dan
kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma kepala
1.2. RUMUSAN MASALAH
Dalam laporan kasus ini akan dibahas kasus di bangsal Al-Ihsan, atas nama Ny.
Ester Mene mengenai : Contusio Serebri
1.3. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
a. Untuk memahami kasus Contusio Serebri
b. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
1.4. METODE PENULISAN
Penulisan ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu kepada
beberapa literatur.
2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. STATUS PASIEN
1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ester Mene Evangelister
Umur : 23 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Dusun IX kenanga kelurahan laut dendang
Agama : Kristen
Pekerjaan : Mahasiswi
Status perkawinan : Menikah
Tanggal MRS : 06 agustus 2015
Tanggal KRS :
2.2. ANAMNESA
Keluhan Utama : Nyeri kepala bagian depan
Telaah : Pasien datang ke rumah sakit Haji Medan dengan keluhan sakit kepala bagian
depan, keluhan ini dialami os empat hari yang lalu. Nyeri kepala bersifat terus menerus.
Nyeri kepala disertai keluarnya darah dari telinga kiri. Pasien merupakan rujukan dari
bagian Bedah RSHM. Menurut keterangan keluarga awalnya os mengalami kecelakaan
lalu lintas, os sempat mengalami penurunan kesadaran saat setelah kecelakaan sampai
sehari sesudahnya kurang lebih 24 jam. Riwayat Muntah (+), Muntah menyembur (+),
frekuensi 2 xsehari. Kejang (-), Riwayat DM (-), Riwayat hipertensi disangkal oleh
keluarga.
Riwayat penyakit terdahulu
- Riwayat penyakit terdahulu : Tidak dijumpai
Riwayat penyakit keluarga
- Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal.
- Riwayat penyakit lain di keluarga: -
Riwayat penggunaan Obat
- Riwayat penggunaan obat : Tidak dijumpai
3
ANAMNESA TRAKTUS
Traktus Sirkulatorius : Dalam batas normal
Traktus Respiratorius : Dalam batas normal
Traktus Urogenitalis : Dalam batas normal
Penyakit Terdahulu dan Kecelakaan : Tidak ada, Kecelakaan : +
Intoksikasi dan Obat-obatan : Tidak dijumpai
ANAMNESA KELUARGA
Faktor Herediter : Tidak ada, disangkal
Faktor Familier : Tidak ada, disangkal
Lain-lain : Tidak ada
ANAMNESA SOSIAL
Kelahiran dan Pertumbuhan: Normal
Imunisasi : Tidak Jelas
Pendidikan : Perguruan Tinggi
Pekerjaan : Mahasiswi
Perkawinan dan Anak : Belum Menikah
PEMERIKSAAN JASMANI
PEMERIKSAAN UMUM
Tekanan Darah : 130/70 mmHg
Nadi : 80 x/i
Frekuensi Nafas : 20 x/i
Temperatur : 36oC
Kulit dan Selaput Lendir : Dalam batas normal
Kelenjar Getah Bening : Dalam batas normal
Persendian : Dalam batas normal
KEPALA DAN LEHER
Bentuk dan Posisi : Bulat dan medial
Pergerakan : Dalam batas normal
Kelainan Panca Indera : Tidak ada
Rongga mulut dan Gigi : Dalam batas normal
4
Kelenjar Parotis : Dalam batas normal
Desah : Tidak ada
Dan lain-lain : Tidak ada
RONGGA DADA DAN ABDOMEN
Paru-paru
Inspeksi : Simetris kanan = kiri
Palpasi : Normal
Perkusi : Sonor dikedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler, Ronkhi (-), Wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas jantung ICS II, batas kanan linea sternalis kanan ICS
IV, batas kiri linea midclavicularis ICS IV
Auskultasi : HR 80x/menit, regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Simetris, datar
Palpasi : Soepel, Nyeri tekan (-), Hepar dan Lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
GENITALIA
Toucher : Tidak dilakukan pemeriksaan
4. STATUS NEUROLOGI
SENSORIUM : Compos Mentis
KRANIUM
Bentuk : Bulat lonjong, Normocephali
Fontanella : Tertutup, keras
Palpasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Perkusi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Auskultasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Transiluminasi : Tidak dilakukan pemeriksaan
5
PERANGSANGAN MENINGEAL
Kaku Kuduk : -
Tanda Kernig : -
Tanda Lasegue : -
Tanda Brudzinski I : -
Tanda Brudzinski II : -
PENINGKATAN TEKANAN INTRAKRANIAL
Muntah : -
Sakit Kepala : -
Kejang : -
5. SARAF OTAK/NERVUS KRANIALIS
NERVUS I Meatus Nasi Dextra Meastus Nasi Sinistra
Normosmia : + +
Anosmia : - -
Parosmia : - -
Hiposmia : - -
NERVUS II Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)
Visus : Tidak dilakukan pemeriksaan
Lapangan Pandang
Normal : + +
Menyempit : - -
Hemianopsia : - -
Scotoma : - -
Refleks Ancaman : DBN DBN
Fundus Oculi : Tidak dilakukan pemeriksaan
Warna : TDP
Batas : TDP
Ekstavasio : TDP
Arteri : TDP
Vena : TDP
6
NERVUS III, IV, VI Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)
Gerakan Bola Mata : DBN DBN
Nistagmus : - -
Pupil
Lebar : 3 mm 3 mm
Bentuk : Bulat, isokor Bulat,isokor
Ref. cahaya (L) : + +
Ref. cahaya (TL) : + +
Rima Palpebra : 7 mm 7 mm
Deviasi Konjugate : - -
Fenomena Doll’s Eye: - -
Strabismus : - -
NERVUS V Kanan Kiri
Motorik
Membuka dan Menutup Mulut: + +
Palpasi otot masseter & temporalis: + +
Kekuatan gigitan : TDP TDP
Sensorik
Kulit : DBN DBN
Selaput lendir : DBN DBN
Refleks kornea
Langsung : + +
Tidak langsung : + +
Refleks Masseter : DBN DBN
Refleks Bersin : + +
NERVUS VII Kanan Kiri
Motorik
Mimik : DBN DBN
7
Kerut kening : DBN DBN
Menutup mata : DBN DBN
Meniup sekuatnya : DBN DBN
Memperlihatkan gigi: DBN DBN
Tertawa : DBN DBN
NERVUS VIII Kanan Kiri
Auditorius
Pendengaran : + +
Test Rinne : TDP TDP
Test Weber : TDP TDP
Test Schwabach : TDP TDP
Vestibularis
Nistagmus : - -
Reaksi Kalori : TDP TDP
Vertigo : - -
Tinnitus : - -
NERVUS IX, X
Pallatum mole : Simetris
Uvula : Medial
Disfagia : -
Disartria : -
Disfonia : -
Refleks Muntah : +
Pengecapan 1/3 belakang : TDP
NERVUS XI
Mengangkat bahu : SDN
Fungsi otot sternokleidomastoideus : SDN
NERVUS XII
Lidah
Tremor : -
Atrofi : -
8
Fasikulasi : -
Ujung lidah sewaktu istirahat : Medial
Ujung lidah sewaktu dijulurkan : Medial
SISTEM MOTORIK
Trofi : Normotrofi
Tonus : Normotonus
Kekuatan Otot :
Sikap (Duduk-Berdiri-Berbaring) : TDP
Gerakan Spontan Abnormal
Tremor : -
Khorea : -
Ballismus : -
Mioklonus : -
Ateotsis : -
Distonia : -
Spasme : -
Tic : -
Dan lain-lain : -
TES SENSIBILITAS
Eksteroseptif : DBN
Propioseptif : DBN
Fungsi kortikal untuk sensibilitas
Sterognosis : TDP
Pengenalan 2 titik : TDP
Grafestesia : TDP
REFLEKS
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Biceps : ++ ++
Triceps : ++ ++
Radioperiost : -- ++
9
APR : ++ ++
KPR : ++ ++
Strumple : ada ada
Refleks Patologis
Babinski : - -
Oppenheim : - -
Chaddock : - -
Gordon : - -
Schaeffer : - -
Hoffman – Tromner: - -
Klonus Lutut : - -
Klonus Kaki : - -
Refleks Primitif : - -
KOORDINASI
Lenggang : TDP
Bicara : -
Menulis : TDP
Percobaan Apraksia : TDP
Mimik : Baik
Test telunjuk-telunjuk : TDP
Tes Telunjuk-hidung : TDP
Diadokhinesia : TDP
Tes tumit-lutut : TDP
Tes Romberg : TDP
VEGETATIF
Vasomotorik : DBN
Sudomotorik : DBN
Pilo-erektor : DBN
Miksi : DBN
Defekasi : DBN
10
Potensi dan Libido : TDP
VERTEBRA
Bentuk
Normal : +
Scoliosis : -
Hiperlordosis : -
Pergerakan
Leher : DBN
Pinggang : DBN
TANDA PERANGSANGAN RADIKULER
Laseque : TDP
Cross Laseque : TDP
Tes Lhermitte : TDP
Test Naffziger : TDP
GEJALA-GEJALA SEREBELLAR
Ataksia : -
Disartria : -
Tremor : -
Nistagmus : -
Fenomena Rebound : -
Vertigo : -
Dan lain-lain : -
GEJALA-GEJALA EKSTRAPRAMIDAL
Tremor : -
Rigiditas : -
Bradikinesia : -
Dan lain-lain : -
FUNGSI LUHUR
11
Kesadaran Kualitatif : Compos Mentis
Ingatan Baru : Baik
Ingatan Lama : Baik
Orientasi
Diri : Baik
Tempat : Baik
Waktu : Baik
Situasi : Baik
Intelegensia : Baik
Daya Pertimbangan : Baik
Reaksi Emosi : Baik
Afasia
Represif : -
Ekspresif : -
Apraksia : -
Agnosia
Agnosia visual : -
Agnosia jari-jari : -
Akalkulia : -
Disorientasi Kanan-Kiri : -
KESIMPULAN :
Pasien datang ke rumah sakit Haji Medan dengan keluhan sakit kepala bagian depan,
keluhan ini dialami os empat hari yang lalu. Nyeri kepala bersifat terus menerus. Nyeri
kepala disertai keluarnya darah dari telinga kiri. Pasien merupakan rujukan dari bagian
Bedah RSHM. Menurut keterangan keluarga awalnya os mengalami kecelakaan lalu
lintas, os sempat mengalami penurunan kesadaran saat setelah kecelakaan sampai sehari
sesudahnya kurang lebih 24 jam. Riwayat Muntah (+), Muntah menyembur (+),
frekuensi 2x/hari. Kejang (-), Riwayat DM (-), Riwayat hipertensi disangkal oleh
keluarga.
Riwayat penyakit terdahulu
- Riwayat penyakit terdahulu : -
Riwayat penyakit keluarga
12
- Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama disangkal
- Riwayat penyakit lain di keluarga: -
Riwayat penggunaan Obat
- Riwayat penggunaan obat : -
STATUS PRESENS
Tekanan Darah : 130/70 mmHg
Nadi : 80 x/i
Frekuensi Nafas : 20 x/i
Temperatur : 36oC
STATUS NEUROLOGI
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
B/T : ++/++ ++/++
APR/KPR : ++/++ ++/++
Refleks Patologis Kanan Kiri
Babinski : - -
Oppenheim : - -
Chaddock : - -
Gordon : - -
Schaeffer : - -
Hoffman – Tromner : - -
Klonus Lutut : - -
Klonus Kaki : - -
Refleks Primitif : -/-
Peningkatan Tekanan Intrakranial
Muntah : -
Sakit Kepala : -
Kejang : -
Perangsangan Meningeal
Kaku Kuduk : -
Tanda Kernig : -
Tanda Lasegue : -
13
Tanda Brudzinski I : -
Tanda Brudzinski II : -
Kekuatan Otot : ESD : 55555 ESS : 55555
55555 55555
EID : 55555 EIS : 55555
55555 55555
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium ( 06Agustus 2015)
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan
A.Hematologi
Darah Rutin
Hemoglobin 13.1 g/dl 12 - 16
Hitung eritrosit 4.2 106 /µL 3.9 – 5.6
Hitung Leukosit 22.000 /µL 4.000 – 11.000
Hematokrit 38.5 % 36 - 47
Hitung Trombosit 277.000 /µL 150.000 – 450.000
Index Eritrosit
MCV 91,2 fl 80 - 96
MCH 30,9 pg 27 - 31
MCHC 34,0 % 30 – 34
Hitung Jenis Leukosit
Eosinofil 1 % 1 - 3
Basofil 0 % 0 - 1
N. Stab 0 % 2 - 6
N. Seg 86 % 53 - 75
Limfosit 7 % 20 - 45
Monosit 6 % 4 - 8
Laju endap darah - % 0 - 20
B. Kimia Klinik
14
Elektrolit
Natrium (Na) - mEq/L 135-155
Kalium (K) - mEq/L 3.5-5.5
Cholarida(Cl) - mEq/L 98-106
KIMIA KLINIK
FUNGSI HATI
Protein Total - g/dL 6.7 - 8.7
Albumin - g/dL 3.2 - 5.2
Globulin - g/dL 1.9 - 3.2
2.1. Hasil foto rongtgen Ny. Ester Mene
Sinus costofrenikus normal
Diagfragma normal
Jantung dalam batas normal
Paru : corakan bronkovaskular normal
Tak tampak kelainan aktif spesifik dan patologik lainnya
Kesan : cor dan pulmo dalam batas normal
Angkle joint terlihat fraktur distal os radius dan dilokasi ulna.
2.2. Hasil CT Scan Ny. Ester Mene
Head scan :
NCCT :
Infratentorial cerebellum dan ventricle 4 normal. Supratentorial tampak hyperdense
lesion di daerah temporal dan parietal kanan. Tidak tampak midline shift. Cortikal sulci
kanan obliterated Ventricular system normal. Tampak fracture dari os. temporalis kiri
dan subgaleal hematoma di daerah parietal kiri.
CECT : ----
15
Kesan : Haemorrahagic contusio di daerah temporal dan paerietal kanan serta subaleal
hematoma di daerah parietal kiri. Tampak fracture dari os. temporais kiri.
DIAGNOSA ANATOMIK : Haemorrahagic contusio di daerah temporal dan
paerietal kanan serta subaleal hematoma di daerah parietal kiri. Tampak fracture dari os.
temporalis kiri.
DIAGNOSA FUNGSIONAL : Secondary headache
DIAGNOSA ETIOLOGIK : Trauma kapitis
DIAGNOSA KERJA : Contusio serebri ec trauma kapitis
PENATALAKSANAAN
- IVFD RL 20 gtt/i
- Injeksi Ranitidin 1 amp / 12 jam
- Injeksi citikolin 250 mg/8 jam
- Injeksi ketorolac 1 amp/8 jam
- Injeksi ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Paracetamol 500mg 3 x 1
FOLLOW UP PASIEN
Tanggal Pemeriksaan (VS,
Neurologi)
Diagnosis Penatalaksanaan
0
7/08/2015
S: Nyeri kepala
O: Compos Mentis
TD: 120/70 mmHg
Contusio serebri
ec trauma kapitis
1. IVFD RL 20 gtt/i
2. Inj.Ranitidin
1amp/12 jam
3. Inj.Citicolin
16
HR: 80 x/i
RR: 22 x/i
Temp: 36oC
TIK ↑: -
Rangsang meningeal: -
N. Kranialis : -
NI : Normosmia
NII,III : RC +/+ pupil
isokor, 3 mm
NIII,IV,VI : Gerak bola
mata = DBN
NV : DBN
NVII : DBN
NVIII : DBN
NIX,X : uvula terlihat
medial
NXI : DBN
NXII : DBN
Refleks Fisiologis
B/T: +/+
APR/KPR: +/+
Refleks Patologis : -
250mg/8 jam
4. Inj.Ketorolac
1amp/8 jam
5. Inj.Ceftriaxone
1gr/12 jam
6. Paracetamol
500mg 3x1
0
8/08/2015
S: Nyeri kepala
O: Compos Mentis
TD: 100/70 mmHg
HR: 82 x/i
RR: 28 x/i
Temp: 36oC
TIK ↑: -
Rangsang meningeal: -
N. Kranialis : -
NI : Normosmia
Contusio serebri
ec trauma kapitis
1. IVFD RL 20 gtt/i
2. Inj.Ranitidin
1amp/12 jam
3. Inj.Citicolin
250mg/8 jam
4. Inj.Ketorolac
1amp/8 jam
5. Inj.Ceftriaxone
1gr/12 jam
6. Paracetamol
17
NII,III : RC +/+ pupil
isokor, 3 mm
NIII,IV,VI : Gerak bola
mata = DBN
NV : DBN
NVII : DBN
NVIII : DBN
NIX,X : uvula terlihat
medial
NXI : DBN
NXII : DBN
Refleks Fisiologis
B/T: +/+
APR/KPR: +/+
Refleks Patologis : -
500mg 3x1
0
9/08/2015
S: -
O: Compos Mentis
TD: 120/80 mmHg
HR: 80 x/i
RR: 28 x/i
Temp: 36,5 oC
TIK ↑: -
Rangsang meningeal: -
N. Kranialis : -
NI : Normosmia
NII,III : RC +/+ pupil
isokor, 3 mm
NIII,IV,VI : Gerak bola
mata = DBN
NV : DBN
NVII : DBN
NVIII : DBN
Contusio serebri
ec trauma kapitis
1. IVFD RL 20 gtt/i
2. Inj.Ranitidin
1amp/12 jam
3. Inj.Citicolin
250mg/8 jam
4. Inj.ketorolac
1amp/8 jam
5. Inj.Ceftriaxone
1gr/12 jam
6. Paracetamol
500mg 3x1
18
NIX,X : uvula terlihat
medial
NXI : DBN
NXII : DBN
Refleks Fisiologis
B/T: +/+
APR/KPR: +/+
Refleks Patologis : -
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI
19
SUSUNAN SARAF PUSAT
1. Medula Spinalis
a. Otak besar
b. Otak kecil
2. Otak
3. Batang otak
SUSUNAN SARAF PERIFER
1. Susunan Saraf Somatik
Susunan saraf yang mempunyai peranan spesifik untuk mengatur aktivitas
otot sadar atau serat lintang.
2. Susunan Saraf Otonom
Susunan saraf yang mempunyai peranan penting memengaruhi pekerjaan
otot involunter (otot polos) seperti jantung, hati, pancreas, jalan pencernaan,
kelenjar dan lain-lain.
a. Susunan saraf simpatis
b. Susunan saraf parasimpati
OTAK
Otak terletak dalam rongga kranium (tengkorak) berkembang dari sebuah
tabung yang mulanya memperhatikan tiga gejala pembesaran otak awal.
20
a. Otak depan menjadi hemisfer serebri, korpus striatum, thalamus, serta
hipotalamus.
b. Otak tengah, tegmentum, krus serebrium, korpus kuadrigeminus.
c. Otak belakang, menjadi pons varoli, medulla oblongata, dan serebelum.
Serebrum
Pada otak besar ditemukan beberapa lobus yaitu:
1. Lobus frontalis, adalah bagian dari serebrum yang terletak di depan sulkus
sentralis.
2. Lobus parietalis, terdapat di depan sulkus sentralis dan dibelakang oleh korako-
oksipitalis.
3. Lobus temporalis, terdapat dibawah lateral dari fisura serebralis dan di depan
lobus oksipitalis.
4. Lobus Oksipitalis yang mengisi bagian belakang dari serebrum.
Korteks serebri selain dibagi dalam lobus dapat juga dibagi menurut
fungsi dan banyaknya area.Campbel membagi bentuk korteks serebri menjadi 20
area. Secara umum korteks serebri dibagi menjadi empat bagian:
1. Korteks sensoris. Pusat sensasi umum primer suatu hemisfer serebri yang
mengurus bagian badan, luas daerah korteks yang menangani suatu alat atau
bagian tubuh bergantung pada fungsi alat yang bersangkutan. Di samping itu
21
juga korteks sensoris bagian fisura lateralis menangani bagian tubuh bilateral
lebih dominan.
2. Korteks asosiasi. Tiap indra manusia, korteks asosiasi sendiri merupakan
kemampuan otak manusia dalam bidang intelektual, ingatan, berpikir,
rangsangan yang diterima diolah dan disimpan serta dihubungkan dengan daya
yang lain. Bagian anterior lobus temporalis mempunyai hubungan dengan
fungsi luhur dan disebut psikokorteks.
3. Korteks motoris menerima impuls dari korteks sensoris, fungsi utamanya
adalah kontribusi pada traktur piramidalis yang mengatur bagian tubuh
kontralateral.
Korteks pre-frontal terletak pada lobus frontalis berhubungan dengan
sikap mental dan kepribadian.
Fungsi serebrum
1. Mengingat pengalaman yang lalu.
2. Pusat persarafan yang menangani, aktivitas mental, akal, intelegensi,
keinginan, dan memori.
3. Pusat menangis, buang air besar, dan buang air kecil.
Batang otak
22
Batang otak terdiri dari:
1. Diensefalon , ialah bagian otak yang paling rostral, dan tertanam di antara ke-dua
belahan otak besar (haemispherium cerebri). Diantara diensefalon dan
mesencephalon, batang otak membengkok hampir sembilah puluh derajat kearah
ventral. Kumpulan dari sel saraf yang terdapat di bagian depan lobus temporalis
terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap kesamping.
Fungsi dari diensefalon:
a. Vasokonstriktor, mengecilkan pembuluh darah
b. Respiratori, membantu proses persarafan
c. Mengontrol kegiatan reflex
d. Membantu kerja jantung.
2. Mesensefalon , atap dari mesensefalon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke
atas. Dua di sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan dua di sebelah
bawah disebut korpus kuadrigeminus inferior. Serat saraf okulomotorius berjalan
ke ventral di bagian medial. Serat nervus troklearis berjalan ke arah dorsal
menyilang garis tengah ke sisi lain. Fungsinya:
a. Membantu pergerakan mata dan mengangkat kelopak mata
b. Memutar mata dan pusat pergerakan mata
3. Pons varoli , brakium pontis yang menghubungkan mesensefalon dengan pons
varoli dengan serebelum, terletak di depan serebelum di antara otak tengah dan
23
medula oblongata. Disini terdapat premotoksid yang mengatur gerakan pernapasan
dan refleks. Fungsinya:
a. Penghubung antara kedua bagian serebelum dan juga antara medula oblongata
dengan serebelum atau otak besar.
b. Pusat saraf nervus trigeminus.
4. Medula oblongata merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang
menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Bagian bawah medula
oblongata merupakan persambungan medula spinalis ke atas, bagian atas medula
oblongata yang melebar disebut kanalis sentralis di daerah tengah bagian ventral
medula oblongata. Fungsi medula oblongata:
a. Mengontrol kerja jantung.
b. Mengecilkan pembuluh darah (vasokonstriktor).
c. Pusat pernapasan.
d. Mengontrol kegiatan reflex
Serebellum
Serebelum (otak kecil) terletak pada bagian bawah dan belakang tengkorak
dipisahkan dengan serebrum oleh fisura transversalis dibelakangi oleh pons varoli dan
diatas medula oblongata. Organ ini banyak menerima serabut aferen sensoris,
merupakan pusat koordinasi dan integrasi.
Bentuknya oval, bagian yang mengecil pada sentral disebut vermis dan bagian yang
melebar pada lateral disebut hemisfer. Serebelum berhubungan dengan batang otak
24
melalui pendunkulus serebri inferior (korpus retiformi) permukaan luar serebelum
berlipat-lipat menyerupai serebelum tetapi lipatannya lebih kecil dan lebih teratur.
Permukaan serebelum ini mengandung zat kelabu.
Korteks serebelum dibentuk oleh subtansia grisea, terdiri dari tiga lapisan yaitu
granular luar, lapisan purkinye, lapisan granular dalam. Serabut saraf yang masuk dan
yang keluar dari serebrum harus melewati serebelum.
Fungsi serebelum
1. Arkhioserebelum (vestibuloserebelum), serabut aferen berasal dari telinga
dalam yang diteruskan oleh nervus VIII (auditorius) untuk keseimbangan
dan rangsangan pendengaran ke otak.
2. Paleaserebelum (spinoserebelum. Sebagai pusat penerima impuls dari
reseptor sensasi umum medula spinalis dan nervus vagus (N. trigeminus)
kelopak mata, rahang atas, dan bawah serta otot pengunyah.
3. Neoserebelum (pontoserebelum). Korteks serebelum menerima informasi
tentang gerakan yang sedang dan yang akan dikerjakan dan
mengaturgerakan sisi badan.
Saraf Otak
25
Urutan
saraf
Nama Saraf Sifat Saraf Memberikan saraf untuk
dan fungsi
I N. Olfaktorius Sensorik Hidung
Sebagai alat penciuman
II N. Optikus Sensorik Bola mata
Untuk penglihatan
III N. Okulomotoris Motorik Penggerak bola mata dan
mengangkat kelopak mata
IV N. Troklearis Motorik Mata, memutar mata dan
penggerak bola mata
V
N. Trigeminus Motorik dan
Sensorik
-
N. Oftalmikus Motorik dan
Sensorik
Kulit kepala dan kelopak
mata atas
N. Maksilaris Sensorik Rahang atas, pallatum dan
hidung
N. Mandibularis Motorik dan
Sensorik
Rahang bawah dan lidah
VI N.Abdusen Motorik Mata, penggoyang sisi mata
VII N. Fasialis Motorik dan
Sensorik
Otot lidah, menggerakkan
lidah dan selaput lendir
rongga mulut
VIII N. Auditorius Sensorik Telinga, rangsangan
pendengaran
IX
N. Vagus
Sensorik dan
motorik
Faring, tonsil, dan lidah,
rangsangan cita rasa
X Sensorik dan
motorik
Faring, laring, paru-paru dan
esophagus
XI N. Accesorius Motorik Leher, otot leher
XII N. Hipoglosus Motorik Lidah, cita rasa, dan otot
lidah
26
Saraf Otonom
Saraf Simpatis
Saraf ini terletak didepan kolumna vertebra dan berhubungan dengan
sumsum tulang belakang melalui serabut-serabut saraf. Sistem simpatis terdiri dari 3
bagian, yaitu :
1. Kornu anterior segmen torakalis ke-1 sampai ke-12 dan segmen lumbalis 1-3
terdapat nukleus vegetatif yang berisi kumpulan-kumpulan sel saraf simpatis. Sel
saraf simpatis ini mempunyai serabut-serabut preganglion yang keluar dari kornu
anterior bersama-sama dengan radiks anterior dan nukleus spinalis. Setelah keluar
dari foramen intervertebralis, serabut-serabut preganglion ini segera
memusnahkan diri dari nukleus spinalis dan masuk ke trunkus simpatikus serabut.
Serabut preganglion ini membentuk sinaps terhadap sel-sel simpatis yang ada
dalam trunkus simpatikus. Tetapi ada pula serabut-serabut preganglion setelah
berada di dalam trunkus simpatikus terus keluar lagi dengan terlebih dahulu
membentuk sinaps menuju ganglion-ganglion/pleksus simpatikus.
2. Trunkus simpatikus beserta cabang-cabangnya. Di sebelah kiri dan kanan vertebra
terdapat barisan ganglion saraf simpatikus yang membujur di sepanjang vertebra.
Barisan ganglion-ganglion saraf simpatikus ini disebut trunkus simpatikus.
Ganglion-ganglion ini berisi sel saraf simpatis. Antara ganglion satu dengan
ganglion lainnya, atas, bawah, kiri, kanan, dihubungkan oleh saraf simpatis yang
keluar masuk ke dalam ganglion-ganglion itu. Hali ini menyebabkan sepasang
trunkus simpatikus juga menerima serabut-serabut saraf yang datang dari kornu
anterior. Trunkus simpatikus dibagi menjadi 4 bagian yaitu :
a. Trunkus simpatikus servikalis
Terdiri dari 3 pasang ganglion. Dari ganglion-ganglion ini keluar cabang-
cabang saraf simpatis yang menuju ke jantung dari arteri karotis. Disekitar
arteri karotis membentuk pleksus. Dari pleksus ini keluar cabang-cabang
yang menuju ke atas cabang lain mempersarafi pembuluh darah serta organ-
organ yang terletak di kepala. Misalnya faring, kelenjar ludah, kelenjar
lakrimalis, otot-otot dilatators, pupil mata, dan sebagainya.
b. Trunkus simpatikus torakalis
Terdiri dari 10-11 ganglion, dari ganglion ini keluar cabang-cabang simpatis
seperti cabang yang mensarafi organ-organ di dalam toraks (mis. aorta, paru-
27
paru, bronkus, esophagus, dsb) dan cabang-cabang yang menembus
diafragma dan masuk ke dalam abdomen, Cabang ini dalam rongga abdomen
mensarafi organ-organ di dalamnya.
c. Trunkus simpatikus lumbalis
Bercabang-cabang menuju ke dalam abdomen, juga ikut membentuk pleksus
solare yang bercabang-cabang ke dalam pelvis untuk turut membentuk
pleksus pelvini.
d. Trunkus simpatikus pelvis. Bercabang cabang ke dalam pelvis untuk
membentuk pleksus pelvini.
3. Pleksus simpatikus beserta cabang cabangnya. Di dalam abdomen, pelvis, toraks,
serta di dekat organ-organ yang dipersarafi oleh saraf simpatis (otonom).
Umumnya terdapat pleksus-pleksus yang dibentuk oleh saraf simpatis / ganglion
yaitu pleksus/ganglion simpatikus.
Ganglion lainnya (simpatis) berhubungan dengan rangkaian dua ganglion
besar, ini bersama serabutnya membentuk pleksus-pleksus simpatis :
1. Pleksus kardio, terletak dekat dasar jantung serta mengarahkan cabangnya ke
daerah tersebut dan paru-paru
2. Pleksus seliaka, terletak di sebelah belakang lambung dan mempersarafi organ-
organ dalam rongga abdomen
3. Pleksus mesentrikus (pleksus higratrikus), terletak depan sacrum dan mencapai
organ-organ pelvis
Organ tubuh dan system pengendalian ganda
Organ Rangsangan
simpatis
Rangsangan
parasimpatis
Jantung
Arteri koronari
Pembuluh darah perifer
Tekanan darah
Bronkus
Kelenjar ludah
Kelenjar lakrimalis
Denyut dipercepat
Dilatasi
Vasokonstriksi
Naik
Dilatasi
Sekresi berkurang
Sekresi berkurang
Denyut dipercepat
Konstriksi
Vasodilatasi
Turun
Konstriksi
Sekresi bertambah
Sekresi bertambah
28
Pupil mata
Sistem pencernaan
makanan (SPM)
Kelenjar – kelenjar SPM
Kelenjar keringat
Dilatasi
Peristaltik berkurang
Sekresi berkurang
Ekskresi bertambah
Konstriksi
Peristaltik bertambah
Sekresi bertambah
Ekskresi berkurang
Fungsi serabut saraf simpatis
1. Mensarafi otot jantung
2. Mensarafi pembuluh darah dan otot tak sadar
3. Mempersarafi semua alat dalam seperti lambung, pancreas dan usus
4. Melayani serabut motorik sekretorik pada kelenjar keringat
5. Serabut motorik pada otot tak sadar dalam kulit
6. Mempertahankan tonus semua otot sadar.
29
Sistem Parasimpatis
Saraf cranial otonom adalah saraf cranial 3, 7, 9, dan 10.Saraf ini merupakan
penghubung, melalui serabut – serabut parasimpatis dalam perjalanan keluar dari otak
menuju organ – organ sebagian dikendalikan oleh serabut – serabut menuju iris.Dengan
demikian merangsang gerakan – gerakan saraf ke -3 yaitu saraf okulomotorik.
Saraf simpatis sacral keluar dari sumsum tulang belakang melalui daerah
sacral.Saraf – saraf ini membentuk urat saraf pada alat – alat dalam pelvis dan bersama
saraf – saraf simpatis membentuk pleksus yang mempersarafi kolon rectum dan
kandung kemih.
Refleks miksi juga menghilang bila saraf sensorik kandung kemih mengalami
gangguan. System pengendalian ganda ( simpatis dan parasimpatis ). Sebagian kecil
organ dan kelenjar memiliki satu sumber persarafan yaitu simpatis atau parasimpatis.
Sebagian besar organ memiliki persarafan ganda yaitu : menerima beberapa serabut dari
saraf otonom sacral atau cranial. Kelenjar organ dirangsang oleh sekelompok urat saraf
( masing – masing bekerja berlawanan ).
Dengan demikian penyesuaian antara aktivitas dan tempat istirahat tetap
dipertahankan.Demikian pula jantung menerima serabut – serabut ekselevator dari saraf
simpatis dan serabut inhibitor dari nervus vagus.Saluran pencernaan memiliki urat saraf
ekselevator dan inhibitor yang mempercepat dan memperlambat peristaltic berturut –
turut.
Fungsi serabut parasimpatis :
1. Merangsang sekresi kelenjar air mata, kelenjar sublingualis, submandibularis,
dan kelenjar – kelenjar dalam mukosa rongga hidung.
2. Mempersarafi kelenjar air mata dan mukosa rongga hidung, berpusat di nuclei
lakrimalis, saraf – sarafnya keluar bersama nervus fasialis.
3. Mempersarafi kelenjar ludah ( sublingualis dan submandibularis ), berpusat di
nucleus salivatorius superior, saraf – saraf ini mengikuti nervus VII
4. Mempersarafi parotis yang berpusat di nucleus salivatoris inferior di dalam
medulla oblongata, saraf ini mengikuti nervus IX
5. Mempersarafi sebagian besar alat tubuh yaitu jantung, paru – paru,
gastrointestinum, ginjal, pancreas, limfa, hepar, dan kelenjar suprarenalis yang
berpusat pada nucleus dorsalis nervus X
6. Mempersarafi kolon desendens, sigmoid, rectum, vesika urinaria dan alat
kelamin, berpusat di sacral II, III, IV.
30
7. Miksi dan defekasi pada dasarnya adalah suatu reflex yang berpusat di kornu
lateralis medulla spinalis bagian sacral. Bila kandung kemih dan rectum tegang
miksi dan defekasi secara reflex. Pada orang dewasa reflex ini dapat
dikendalikan oleh kehendak. Saraf yang berpengaruh menghambat ini berasal
dari korteks di daerah lotus parasentralis yang berjalan dalam traktus
piramidalis.
3.2. Contusio Serebri
3.2.1. Definisi Trauma Kapitis (Contusio Serebri)
Trauma bisa timbul akibat gaya mekanik,tetapi bisa juga karena gaya
nonmekanik.Trauma kapitis (cedera kepala = craniocerebral trauma = head injury)
adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai
kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis.
Kontusio serebri adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh trauma kapitis
yang menimbulkan lesi perdarahan interstisial (perdarahan yang terjadi diantara bagian-
bagian atau sela-sela jaringan) nyata pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas
jaringan dan dapat mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap. Jika lesi otak
menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan maka disebut laserasio serebri.
3.3. Epidemiologi
Di Inggris, menurut Thornhill S dkk (2000) terdapat 71% penderita trauma
kapitis yang berumur > 14 tahun Di Amerika Serikat, menurut Centers for Disease
Control and Prevention(2002-2006) terdapat 1,7 juta orang yang mengalami trauma
kapitis setiap tahunnya dengan CFR 3,1%, dan dirawat dirumah sakit sebesar 16,2%.
Trauma kapitis adalah faktor penyumbang ketiga (30,5%) dari semua kematian terkait
trauma di Amerika Serikat.
Menurut Dawodu (2004), IR trauma kapitis ringan di Amerika Serikat yaitu 131
kasus per 100.000 penduduk, IR trauma kapitis sedang 15 kasus per 100.000 penduduk,
dan IR trauma kapitis berat 14 kasus per 100.000 penduduk.Di Indonesia, menurut
Depkes RI tahun 2007 cedera menempati urutan ke-7 pada 10 penyakit utama penyebab
kematian terbanyak pada pasien rawat inap di rumah sakit dengan CFR 2,94% dan pada
tahun 2008 menempati urutan ke-6 dengan CFR 2,99%.
31
Menurut penelitian Lusiyawati di Rumah Sakit Pandan Arang Boyolali (2009),
dari sepuluh kasus penyakit yang terbanyak terdapat 32,28% trauma kapitis, yang
terbagi menjadi 20,05% trauma kapitis ringan, 9,12% trauma kapitis sedang, 2,11%
trauma kapitis berat
3.3. Klasifikasi
Klasifikasi Trauma Kapitis
Secara klinis, trauma kapitis dibagi atas :
1. Komosio serebri (Geger Otak)
Komosio serebri adalah keadaan dimana si penderita setelah mendapat trauma
kapitis mengalami kesadaran yang menurun sejenak (tidak lebih dari 10
menit).Kemudian si penderita dengan cepat siuman kembali tanpa mengalami suatu
kelainan neurologis.
Gejala-gejala yang dapat dilihat adalah :
a. Penderita tidak sadar sejenak (±10 menit)
b. Wajahnya pucat
c. Kadang-kadang disertai muntah
d. Nadi agak lambat : 60-70/ menit
e. Tensi normal atau sedikit menur un
f. Suhu normal atau sedikit menur un
g. Setelah sadar kembali mungkin tampak ada amnesia retrogad
h. Tidak ada Post-Traumatic Amnesia (PTA)
2. Kontusio serebri (memar otak)
Kontusio serebri adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh trauma kapitis
yang menimbulkan lesi perdarahan intersitiil (perdarahan yang terjadi diantara bagian-
bagian atau sela-sela jaringan) nyata pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas
jaringan dan dapat mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap.Jika lesi otak
menyebabkan terputusnya kontinuitas jaringan maka disebut laserasio serebri.
3. Hematoma epidural
Hematoma epidural ialah perdarahan yang terjadi diantara tulang tengkorak dan
durameter.Perdarahan epidural terjadi pada 1-3% kasus trauma kapitis.Perdarahan ini
32
terjadi akibar robeknya salah satu cabang arteria meningea media, robeknya sinus
venosus durameter, dan robeknya arteria diploika.
Gejala-gejala yang dapat dijumpai yaitu :
a. Adanya suatu “lucid interval” yang berarti bahwa diantara waktu
terjadinya trauma kapitis dan waktu terjadinya koma terdapat waktu
dimana kesadaran penderita adalah baik.
b. Tensi yang semakin bertambah tinggi
c. Nadi yang semakin bertambah lambat
d. Sindrom weber, yaitu midriasis (pupil mengecil) di sisi ipsilateral dan
hemiplegi di sisi kontralateral dari garis fraktur
e. Fundoskopi dapat memperlihatkan papil edema (setelah 6 jam kejadian)
f. Foto Roentgen : garis fraktur yang jalannya melintang dengan jalan
arteri meningea media atau salah satu cabangnya.
4. Hematoma subdural
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara durameter dan
arakhnoidea.Hematoma ini timbul karena adanya sobekan pada “bridging veins”.
Menurut saat timbulnya gejala-gejala klinis, hematoma subdural dibagi atas 3 jenis :
a. Hematoma subdural akut
Gejala-gejala timbul segera hingga berjam-jam setelah trauma.Perdarahan dapat
kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas.
b. Hematoma subdural sub-akut
Gejala-gejala timbul beberapa hari hingga 10 hari setelah trauma.Perdarahan
dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya.
c. Hematoma subdural kronik
Gejala-gejala timbul lebih dari 10 hari hingga beberapa bulan setelah trauma.
Kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma. Pada hematoma yang
baru, kapsula masih tipis atau belum terbentuk di daerah permukaan
arakhnoidea. Kapsula merekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput
otak. Kapsula ini mengandung pembuluh-pembuluh darah yang tipis dindingnya
terutama di sisi durameter. Karena dindingnya yang tipis ini protein dari plasma
darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume hematoma. Pembuluh
33
darah ini dapat pula pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang
menyebabkan menggembungnya hematoma.
Darah didalam kapsula akan terurai membentuk cairan kental yang dapat
menghisap cairan dari ruangan subdural arakhnoidea. Hematoma akan
membesar dan menimbulkan gejala-gejala seperti tumor serebri. Sebagian besar
hematoma subdural ditemukan pada pasien berusia diatas 50 tahun. Seringkali
trauma kapitis yang menyebabkan hematoma subdural juga menimbulkan lesi
pada jaringan otak berupa hematoma serebri, laserasi atau kontusio serebri yang
menyebabkan keadaan pasien menjadi lebih parah dengan mortalitas yang lebih
tinggi.
Gejala-gejala hematoma subdural akut sama dengan gejala-gejala hematoma
epidural, yaitu midriasis pupil ipsilateral dan hemiparesis kontralateral.
Mungkin dapat juga dijumpai defisit neurologis lainnya. Pada perdarahan
campuran keadaan umum dapat lebih buruk dan defisit neurologisnya dijumpai
lebih banyak. Defisit neurologis yang terjadi mungkin disebabkan oleh lesi
parenkimnya dan bukan oleh penekanan hematomanya.
Pada hematoma subdural sub-akut gejala-gejala berkembang lebih lambat.
Hematoma subdural kronik pada sebagian kasus menimbulkan gejala tumor
serebri, sisanya tidak memberikan gejala atau hanya gejala ringan yang dapat
diabaikan atau diobati sendiri oleh pasien. Hal ini terjadi bila perdarahannya
kecil dan penyerapannya berjalan dengan baik. Gejala-gejala yang dapat timbul
ialah nyeri kepala yang kronis dan progresif, mungkin hemiparesis, anisokori
pupil (pupil tidak sama besar), kaku kuduk, apatis (tidak acuh), amnesia,
perubahan kepribadian dan perilaku misalnya menjadi acuh tidak acuh terhadap
orang lain atau dirinya sendiri, tanda-tanda demensia, dan mungkin pula kejang.
5. Hematoma intraserebral
Hematoma intraserebral terjadi bersama dengan kontusio sehingga secara umum
lebih buruk baik dioperasi maupun tidak. Dorongan yang mengancam terjadianya
herniasi oleh bekuan darah di tengah otak disertai edema lokal yang hebat biasanya
berprognosis buruk daripada hematoma epidural yang dioperasi.Pada suatu hematoma
intraserebral, seorang penderita yang setelah mengalami trauma kapitis akan
memperlihatkan gejala : hemiplegi, papiledem (pembengkakan pada mata) serta gejala-
gejala lain dari tekanan intrakranium yang meningkat, dan artreiografi karotis dapat
34
memperlihatkan suatu peranjakan dari arteri perikalosa ke sisi kontralateral serta
gambaran cabang-cabang arteri serebri media yang tidak normal.
6. Fraktur kranii
Pada setiap penderita dengan trauma kapitis sebaiknya diperiksa secara rutin
dengan foto Roentgen kepala terutama untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang
tengkorak. Penderita dengan trauma kapitis sebaiknya dipalpitasi dengan teliti untuk
mengetahui ada tidaknya suatu hematoma karena dibawah hematoma mungkin
tersembunyi suatu garis fraktur. Pada fraktur impresi (juga disebut fraktur depresi),
bagian yang patah menonjol ke dalam rongga tengkorak. Biasanya fraktur kepala
berbeda dengan fraktur tulang di tulang panjang. Disini tidak diperlukan fiksasi maupun
reposisifiksasi karena kedudukan selalu baik, kecuali bila terjadi fraktur impresi pada
kalvarium yang harus ditangani agak cepat (sebelum 8 minggu) karena potensial
menyebabkan epilepsi pascatrauma. Juga fraktur basis kranii memerlukan perawatan
lama karena selalu bersama kontusio serebral yang berat dan kadang-kadang ada
likuore (otore : perdarahan pada telinga atau rinore : perdarahan di hidung) yang apabila
ditunggu 4 minggu tidak menutup secara spontan, memerlukan operasi penutupan
kebocoran dura.
7. Post-concussion syndrome
Pada Post-concussion syndrome secara umum terdapat gejala-gejala psikiatrik-
neurastenik-hipokhondrik seperti palpitasi, konsentrasi menurun, demensia ringan,
mudah tersinggung, gangguan seksual, berkeringat, cepat ke kerusakan jaringan otak),
psikologik (termasuk premorbid personality) dan sosio-ekonomi (pekerjaan, tingkat
pendidikan, lingkungan dan keuangan). Pada umumnya sindrom pascatrauma jarang
disebabkan oleh satu faktor saja. Ketiga faktor tersebut dapat berkombinasi sehingga
menimbulkan masalah yang kompleks.
3.4 Patofisiologi
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis
tergantung pada besar dan kekuatan benturan, arah dan tempat benturan, serta sifat dan
keadaan kepala sewaktu menerima benturan. Sehubungan dengan berbagai aspek
benturan tersebut maka dapat mengakibatkan lesi otak berupa : lesi bentur (Coup), lesi
35
antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak
peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain=lesi media), dan lesi kontra
(counter coup).
Berdasarkan hal tersebut cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan
sekunder :
3.4.1 Proses primer
Proses primer merupakan kerusakan otak yang diakibatkan oleh benturan/proses
mekanik yang membentur kepala. Derajat kerusakan tergantung pada kuatnya benturan
dan arahnya, kondisi kepala yang bergerak/diam, dan percepatan/perlambatan gerak
kepala. Proses primer ini mengakibatkan fraktur tengkorak, perdarahan dalam rongga
tengkorak/otak, robekan selaput saraf dan kematian langsung neuron pada daerah yang
terkena
3.4.2. Proses sekunder
Proses sekunder merupakan tahap lanjutan dari kerusakan otak primer dan
timbul karena berubahnya struktur anatomi maupun fungsional dari otak, misalnya:
meluasnya perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berlanjut, iskemia lokal/global
otak, dan hipertermi
3.5 Diagnosa
Pada pencegahan sekunder dilakukan diagnosis yang berupa anamnesis,
pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan radiologis.
a. Anamnesis
Sedapatnya dicatat apa yang terjadi, dimana, kapan waktu terjadinya kecelakaan
yang dialami pasien. Selain itu perlu dicatat pula tentang kesadarannya, luka-luka yang
diderita, muntah atau tidak adanya kejang. Keluarga pasien ditanyakan apa yang terjadi.
b. Pemeriksaan fisik umum
Pada pemeriksaan fisik dicatat tanda-tanda vital : kesadaran, nadi, tensi darah,
frekuensi dan jenis pernapasan serta suhu tubuh. Tingkat kesadaran dicatat yaitu
kompos mentis, apatis, somnolen (ngantuk), sopor (tidur), koma. Selain itu ditentukan
pula Skala Koma Glasgow (SKG)
3.6. Diagnosis Banding
36
Ensefalitis
Perdarahan intrakranial
Edema serebri
3.7. Komplikasi
3.7.1. Tekanan Intrakranial (TIK) Meninggi
Pada trauma kapitis tekanan intrakranial dapat meninggi pada perdarahan
selaput otak (hematoma epidural, hematoma subdural, dan hematoma subaraknoidal),
perdarahan di dalam jaringan otak (kontusio serebri berat, laserasio serebri, hematoma
serebri besar, dan perdarahan ventrikel), dan kelainan pada parenkim otak (edema
serebri berat).
Tekanan pada vena jugularis menaikkan TIK yang berlangsung sementara
saja.Demikian pula batuk, bersin, mengejan yang mengakibatkan tekanan di dalam
sistem vena meningkat.Pada hipoksia terjadi dilatasi arteriol yang meningkatkan
volume darah di otak dengan akibat TIK meningkat pula.Pada Trauma kapitis yang
dapat meningkatkan TIK adalah hematoma yang besar (lebih dari 50cc), edema yang
berat, kongesti yang berat dan perdarahan subarakhnoidal yang mengga nggu aliran
cairan otak di dalam ruangan subarakhnoidea.Bila TIK meninggi, mula-mula absorbsi
cairan otak meningkat kemudian bagian-bagian sinus venosus di dalam dura meter
tertekan. Bila massa desak ruangan berkembang cepat dan melebihi daya kompensasi
maka TIK akan meningkat dengan tajam. Arteri-arteri pia-arahnoidea melebar. Bila
autoregulasi baik aliran darah akan dipertahankan pada taraf normal, akibatnya volume
darah otak bertambah.
Bila TIK meninggi terus dengan cepat, aliran darah akan menurun dan TIK akan
tetap rendah meskipun tekanan darah naik. Bila kenaikannya sangat lambatseperti pada
neoplasma jinak otak, kemungkinan TIK tidak meninggi banyak karena selain
penyerapan otak yang meningkat, otak akan mengempes dan mengalami artrofi
ditempat yang tertekan yang dapat menetralisir volume massa desak ruang yang
bertambah.
3.7.2. Komplikasi infeksi pada trauma kapitis
37
Kemungkinan terjadinya infeksi sekunder pada trauma kapitis meningkat bila
durameter robek terutama sekali bila terjadi di daerah basal yang letaknya berdekatan
dengan sinus-sinus tulang dan nasofaring. Keadaan ini jug bisa terjadi bila ada fraktur
basis kranii.
3.7.3. Lesi akibat trauma kapitis pada tingkat sel
Lesi dapat mengenai semua jenis sel di dalam jaringan otak yaitu neuron dengan
dendrit dan aksonnya, astrosit, oligodendrosit, sel ependim maupun sel-sel yang
membentuk dinding pembuluh darah. Bila badan sel neuron rusak, maka seluruh dendrit
dan aksonnya juga akan rusak. Kerusakan dapat mengenai percabangan dendrit dan
sinapsis-sinapsinya, dapat pula mengenai aksonnya saja. Dengan kerusakan ini
hubungan antar neuron pun akan terputus. Lesi sekunder juga dapat mengakibatkan
kerusakan-kerusakan demikian.
3.7.4. Epilepsi pasca Trauma Kapitis
Pada sebagian penderita trauma kapitis dapat terjadi serangan kejang.Serangan
ini dapat timbul dini pada minggu-minggu pertama sesudah trauma, mungkin pula
timbul kasip berbulan-bulan sesudahnya. Epilepsi kasip cenderung terjadi pada pasien
yang mengalami serangan kejang dini, fraktur impresi dan hematoma akut .Epilepsi
juga lebih sering terjadi pada trauma yang menembus durameter.Lesi di daerah sekitar
sulkus sentralis cenderung menimbulkan epilepsi fokal.
3.7.5. Respirasi pada Trauma Kapitis berat
Kelainan Repirasi akut pascatrauma yaitu :
a. Perubahan pola pernapasan, yang berupa :
1.Pernapasan Cheyne-Stokes yangdisertai periode pernapasan berhenti dan bernapas
lagi. Setelah beberapa lamanya pernapasan berhenti, mulai bernapas lagi dengan
amplitudo yang mula-mula kecil.kemudian berangsur membesar lalu mengecil lagi dan
berhenti.
2. Trakipnea, frekuensi pernapasan tinggi (> 25 per menit)
3. Hiperpnea, ampitudo pernapasan besar
4. Pernapasan tidak teratur
5. Apnea, Pernapasan terhenti. Pada keadaan ini bantuan pernapasan harus cepat
dilakukan untuk menolong jiwa pasien
38
b. Aspirasi pada keadaan koma, refleks batuk dapat menurun. Bila pasien muntah,
muntahan mungkin terhirup ke dalam trakea dan menimbulkan aspirasi. Isi perut yang
masuk ke dalam bronki akan menimbulkan edema, perdarahan, dan bronkospasme. Isi
perut yang masuk ke dalam bronki harus diusahakan dihisap keluar melalui
trakeostomi.
c. Trauma pada alat napas. Trauma pada toraks dapat menimbulkan fraktur iga-iga,
dapat terjadi hemotoraks dan pneumotoraks yang semuanya akan mengganggu
pernapasan.
d. Edema pulmonum neurogen. Pada trauma kapitis yang berat dapat terjadi edema
pulmonum. Mekanismenya mungkin kontriksi vena pulmonum yang disebabkan
aktivitas adrenergik alfa yang berlebihan.
Pemeriksaan Neurologis
Pada pasien yang sadar dapat dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap seperti
biasanya. Pada pasien yang berada dalam keadaan koma hanya dapat dilakukan
pemeriksaan obyektif. Bentuk pemeriksaan yang dilakukan adalah tanda perangsangan
meningens, yang berupa tes kaku kuduk yang hanya boleh dilakukan bila kolumna
vertebralis servikalis (ruas tulang leher) normal. Tes ini tidak boleh dilakukan bila ada
fraktur atau dislokasi servikalis.
Selain itu dilakukan perangsangan terhadap sel saraf motorik dan sarah sensorik
(nervus kranialis). Saraf yang diperiksa yaitu saraf 1 sampai saraf 12, yaitu : nervus I
(nervus olfaktoris), nervus II (nervus optikus), nervus III (nervus okulomotoris), nervus
IV (troklearis),nervus V (trigeminus), nervus VI (Abdusen), nervus VII (fasialis),
nervus VIII (vestibulokoklealis), nervus IX (glosofaringeus) dan nervus X (vagus),
nervus XI (spinalis) dan nervus XII (hipoglosus), nervus spinalis (pada otot lidah) dan
nervus hipoglosus (pada otot belikat) berfungsi sebagai saraf sensorik dan saraf
motorik.
d. pemeriksaan radiologis berupa :
Foto Rontgen polos
39
Pada trauma kapitis perlu dibuat foto rontgen kepala dan kolumna vertebralis
servikalis. Film diletakkan pada sisi lesi akibat benturan. Bila lesi terdapat di daerah
oksipital, buatkan foto anterior-posterior dan bila lesi pada kulit terdapat di daerah
frontal buatkan foto posterior-anterior. Bila lesi terdapat pada daerah temporal, parietal
atau frontal lateral kiri, film diletakkan pada sisi kiri dan dibuat foto lateral dari kanan
ke kiri. Kalau diduga ada fraktur basis kranii, maka dibuatkan foto basis kranii dengan
kepala menggantung dan sinar rontgen terarah tegak lurus pada garis antar angulus
mandibularis (tulang rahang bawah).
Foto kolumna vertebralis servikalis dibuat anterior-posterior dan lateral untuk
melihat adanya fraktur atau dislokasi. Pada foto polos tengkorak mungkin dapat
ditemukan garis fraktur atau fraktur impresi.Tekanan intrakranial yang tinggi mungkin
menimbulkan impressions digitae.
Compute Tomografik Scan (CT-Scan)
CT-Scan diciptakan oleh Hounsfield dan Ambrose pada tahun 1972.Dengan
pemeriksaan ini kita dapat melihat ke dalam rongga tengkorak. Potongan-potongan
melintang tengkorak bersama isinya tergambar dalam foto dengan jelas.
Indikasi pemeriksaan CT
Scan pada penderita trauma kapitis :
SKG < 15 atau terdapat penurunan kesadaran
Trauma kapitis ringan yang disertai dengan fraktur tulang tengkorak
Adanya tanda klinis
Fraktur basis kranii
Adanya kejang
Adanya tanda neurologis fokal
Sakit kepala yang menetap
MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI dapat memberikan foto berbagai kelainan parenkim otak dengan lebih
jelas. Beberapa keuntungan MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : lebih baik
dalam menilai cedera sub-akut, termasuk kontusio, shearing injury, dan sub dural
hematoma, lebih baik dalam menilai dan melokalisir luasnya kontusio dan hematoma
40
secara lebih kurat karena mampu melakukan pencitraan dari beberapa posisi, dan lebih
baik dalam pencitraan cedera batang otak.
Sedangkan kerugian MRI dibandingkan dengan CT-Scan yaitu : membutuhkan
waktu pemeriksaan lama sehingga membutuhkan alat monitoring khusus pada pasien
trauma kapitis berat, kurang sensitif dalam menilai perdarahan akut, kurang baik dalam
penilaian fraktur, perdarahan subarachnoid dan pneumosefalus minimal dapat
terlewatkan
3.8 Penatalaksanaan
Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat/emergensi
didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6 B”, yakni:
1) Breathing Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan penderita.
Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan dengan tindakan-tindakan :
suction, inkubasi, trakheostomi. Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu,
merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan edema cerebri.
2) Blood mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan laboratorium darah
(Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah dan denyut nadi yang menurun mencirikan
adanya suatu peninggian tekanan intrakranial, sebaliknya tekanan darah yang menurun
dan makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya syok hipovolemik akibat
perdarahan (yang kebanyakan bukan dari kepala/otak) dan memerlukan tindakan
transfusi.
3) Brain Penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon mata, motorik dan
verbal (GCS). Perubahan respon ini merupakan implikasi perbaikan/perburukan kiranya
perlu pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran, bentuk dan reaksi
terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola mata.
4) Bladder Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter) mengingat
bahwa kandung kemih yang penuh merupakan suatu rangsangan untuk mengedan
sehingga tekanan intracranial cenderung lebih meningkat.
5) Bowel Seperti halnya di atas, bahwa yang penuh juga cenderung dapat meninggikan
TIK.
6) Bone Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder infeksi.
BAB 4
41
PENUTUP
Trauma bisa timbul akibat gaya mekanik,tetapi bisa juga karena gaya
nonmekanik.Trauma kapitis (cedera kepala = craniocerebral trauma = head injury)
adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai
kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis.Kontusio serebri adalah suatu
keadaan yang disebabkan oleh trauma kapitis yang menimbulkan lesi perdarahan
intersitiil (perdarahan yang terjadi diantara bagian-bagian atau sela-sela jaringan) nyata
pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan dan dapat mengakibatkan
gangguan neurologis yang menetap. Jika lesi otak menyebabkan terputusnya
kontinuitas jaringan maka disebut laserasio serebri
Pada pencegahan sekunder dilakukan diagnosis berupa anamnesis, pemeriksaan
fisik umum, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan radiologis.Penanganan kasus-
kasus cedera kepala di unit gawat darurat/ emergensi didasarkan atas patokan
pemantauan dan penanganan terhadap “6 B”,yakni: Breathing, Blood, Brain, Bladder,
Bowel, Bone.
DAFTAR PUSTAKA
42
1. Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta,
2004
2. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press, Yogyakarta,
2005
3. Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, dian Rakyat,
Jakarta, 2004
4. Arif Mansjoer dkk Editor, Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta
Kedokteran edisi Ketiga jilid 2, Media Aesculapius, Jakarta, 2000
5. Robert L. Martuza, Telmo M. Aquino, Trauma dalam Manual of Neurologic
Therapeutics With Essentials of Diagnosis, 3th ed, Litle Brown & Co, 2000